BAB I-IV (1)

115
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2007 adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. (Badan Pusat statistik & Macro International, 2007) Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara angka ini adalah masih tinggi. Indonesia berupaya menurunkan angka ini menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012) Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia khususnya di Jawa Barat masih tinggi. Angka yang pasti saat ini di Jawa Barat belum diketahui, namun diperkirakan tidak jauh dari angka nasional, yaitu AKI 421 per 100.000 kelahiran hidup. Pada akhir 1

description

1Perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak terjadi segera setelah persalinan yang mengganggu kesejahteraan ibu dan terlihat ibu menjadi lemas bahkan pre syok ataupun syok. Salah satu intervensti yang penting untuk mencegah perdarahan postpartum primer adalah penggunaan uterotonika seperti oksitosin dan misoprostol yang merupakan bagian dari manajemen aktif kala tiga persalinan.

Transcript of BAB I-IV (1)

Page 1: BAB I-IV (1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu masalah kesehatan

dunia. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Angka

Kematian Ibu (AKI) tahun 2007 adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup.

(Badan Pusat statistik & Macro International, 2007) Dibandingkan dengan

negara-negara di Asia Tenggara angka ini adalah masih tinggi. Indonesia

berupaya menurunkan angka ini menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup

pada tahun 2015. (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012)

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia khususnya di Jawa Barat

masih tinggi. Angka yang pasti saat ini di Jawa Barat belum diketahui, namun

diperkirakan tidak jauh dari angka nasional, yaitu AKI 421 per 100.000

kelahiran hidup. Pada akhir PELITA VI diharapkan terdapat penurunan angka

kematian ibu menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. ( Djuhaeni, 2009)

Perdarahan hebat adalah penyebab yang paling utama dari kematian

ibu diseluruh dunia. Sebagian besar kasus perdarahan pada persalinan terjadi

selama persalinan kala tiga. Diperkirakan ada 14.000.000 kasus perdarahan

dalam kehamilan paling sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan

sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu

empat jam setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul

1

Page 2: BAB I-IV (1)

2

selama persalinan kala tiga. Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai

kehilangan darah sebanyak lebih dari 500 ml setelah kelahiran dan perdarahan

pasca persalinan berat didefinisikan kehilangan darah lebih dari 1000 ml

(Shane 2002).

Dalam penelitian deskriptif yang dilakukan oleh sebuah Rumah sakit

bagian Obstetri dan Ginekologi di Pakistan diperoleh data secara retrospektif

dari tanggal 1 januari sampai 31 Desember 2009 dengan jumlah total 302

kematian, terdapat 74 kasus kematian ibu dinyatakan bahwa 34 kasus

kematian terbanyak (45,9%) terjadi karena perdarahan postpartum yang

disebabkan atonia uteri. (Fayyaz et al., 2011)

Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan

kurang dari satu jam. Lebih dari 90 % dari seluruh kasus perdarahan pasca

salin yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi disebabkan oleh atonia

uteri. Sebagian besar kematian akibat perdarahan pascapersalinan terjadi pada

beberapa jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena alasan ini,

penatalaksanaan persalinan kala tiga sesuai dengan standar dan penerapan

manajemen aktif kala tiga merupakan cara terbaik dan sangat penting untuk

mengurangi kematian ibu. (JNPK-KR, 2008)

Penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga terdiri dari pemberian

uterotonika, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri yang

efektif mencegah perdarahan pasca persalinan. Penggunaan uterotonika dapat

menurunkan 40% insidensi perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika

yang sering digunakan adalah oksitosin. Selain itu juga penggunaan

Page 3: BAB I-IV (1)

3

uterotonika yang lain adalah sintometrin dan prostaglandin E1 (misoprostol).

(Carpenter, 2001)

Oksitosin synthetic termasuk dalam golongan oksitosik. Oksitosik

ialah obat yang merangsang kontraksi uterus. (Ganiswara, 1995) Oksitosin

merupakan obat pilihan utama untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan

mempunyai efektivitas yang sama dengan ergot alkalaoid dan prostaglandin

tetapi dengan efek samping yang lebih rendah. (Carpenter, 2001)

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik obat yang

telah diberikan secara oral dan diindikasikan untuk mencegah ulkus lambung

akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. (Allen &O’Brien, 2009)

WHO melakukan penelitian yang membandingkan antara misoprostol

600 mcg per rectal dengan 10 IU Intramuscular, dan hasilnya diperoleh tidak

ada perbedaan jumlah darah pasca persalinan. Namun dengan

mempertimbangkan efek samping yang berkaitan dengan perbedaan dosis

misoprostol maka WHO menyatakan adalah bijaksana untuk melakukan uji

klinis terhadap misoprostol dengan dosis yang lebih rendah. (Situmorang,

2009)

Dalam suatu penelitian prospektif observasional yang melibatkan 237

orang wanita didapatkan bahwa pemberian 600 mcg misoprostol per oral

segera setelah penjepitan tali pusat hanya memberikan insidens perdarahan

postpartum sebesar 6%, dan tidak ada yang mengalami perdarahan ≥1000cc.

(Goldberg et al., 2001)

Page 4: BAB I-IV (1)

4

Berdasarkan hasil penelitian, uterotonika misoprostol 600 mcg per

rectal sama efektifnya dibandingkan 10 IU oksitosin intramuscular. Walaupun

efektivitasnya sama dengan oksitosin intramuscular, namun misoprostol

unggul dalam hal kepraktisan cara pemberian dan lebih menyenangkan pasien

karena tidak harus disuntik, lebih mudah disimpan dan lebih tahan lama.

(Manu, 2004)

Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2500/MENKES/SK/XII/2011 usulan

untuk memasukkan misoprostol untuk kelas oksitosik ini belum dapat

diterima, walaupun penggunaanya sudah sangat meluas untuk mencegah

perdarahan pada persalinan. Hal ini disebabkan karena obat ini belum

mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) untuk indikasi tersebut, disamping keamanananya (kemungkinan

penyalahgunaan).

Penyimpanan oksitosin dan ergometrin dalam jangka panjang

memerlukan lemari pendingin, yang memungkinkan tidak tersedia pada

beberapa kondisi. (Shane, 2002)

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi obat oksitosika

akan menurun bila tidak disimpan dengan cara yang benar. Disarankan agar

obat-obatan oksitosika disimpan dalam lemari es (suhu antara 2-6 oC) dan

dihindarkan dari sinar matahari langsung. Obat ini dapat disimpan selama 1

bulan dalam suhu 30 oC atau 2 minggu dalam suhu 40 oC. (IBI, 2006)

Page 5: BAB I-IV (1)

5

Berdasarkan pengalaman, penulis menemukan bahwa di berbagai

tempat praktik seperti praktik bidan swasta, puskesmas bahkan rumah sakit,

penyimpanan obat-obatan oksitosik seperti tidak sesuai dengan stándar yang

seharusnya disimpan di dalam rantai dingin dan tidak terkena cahaya.

Gülmezoglu et al (2007) dalam Cochrane Review menilai efek

profilaksis prostaglandin pada persalinan kala III. Tiga puluh tujuh uji

misoprostol dan 9 uji prostaglandin intramuskular (42.621 perempuan)

dimasukkan dalam studi ini.

Peneliti ini menyimpulkan bahwa pilihan uterotonika di tempat dimana

manajemen aktif bisa dilakukan adalah 10 IU oksitosin yang diberikan IV atau

IM. Pemakaian oksitosin secara luas di berbagai tempat persalinan harus

menjadi tujuan utama.

Namun oksitosin mempunyai keterbatasan dalam penyimpanannya dan

sedikit lebih mahal dari pada misoprostol. Kalau keadaan ini menjadi kendala,

maka pemakaian misoprostol dapat dipertimbangkan. Dosis empiris yang

sering digunakan dalam berbagai uji adalah 600 mcg oral. (DEPKES RI,

2008)

Misoprostol stabil pada suhu kamar dan stabil terhadap cahaya.

misoprostol memiliki banyak keunggulan dan mudah dipergunakan, terutama

jika dibandingkan dengan preparat prostaglandin lainnya, misoprostol relatif

murah, stabil, mudah disimpan, dan cepat diabsorpsi sehingga beberapa

penelitian dilakukan berkaitan dengan penggunaanya di bidang obstetric dan

ginekologi. (Carpenter, 2001)

Page 6: BAB I-IV (1)

6

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengetahui

lebih lanjut mengenai “Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk

pencegahan perdarahan postpartum primer ditinjau dari berbagai literatur“?

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penyusunan

Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Bagaimana efektivitas pemberian oksitosin dan

misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum primer ditinjau dari

berbagai literatur?”

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai efektivitas pemberian

oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan postpartum

primer

2. Tujuan khusus

a. Memaparkan konsep perdarahan postpartum

b. Memaparkan tentang oksitosin

c. Memaparkan tentang misoprostol

d. Memaparkan efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk

pencegahan perdarahan postpartum primer berdasarkan cara kerja,

waktu atau onset reaksi, cara pemberian dan dosis, efek samping,

penyimpanan obat dan sumber daya

Page 7: BAB I-IV (1)

7

D. Manfaat

Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, penulis berharap

karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Diantaranya:

1). Bagi penulis

Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berguna dari

berbagai literatur

2). Bagi Tenaga Kesehatan

Agar tenaga kesehatan lebih mengetahui efektivitas oksitosin dan

misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan yang dapat

dikembangkan lebih lanjut

3). Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan informasi bagi mahasiswi

lain

E. Ruang lingkup

Dalam karya tulis ilmiah ini, akan dibahas mengenai konsep

perdarahan postpartum, oksitosin dan misoprostol serta efektivitas pemberian

oksitosin dan misoprostol berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi,

cara pemberian dan dosis, efek samping, penyimpanan obat dan sumber daya

untuk pencegahan perdarahan postpartum primer

Page 8: BAB I-IV (1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep perdarahan postpartum

1. Pengertian

Perdarahan pasca partum adalah perdarahan berlebihan dari traktus

genital setelah bayi lahir hingga 6 minggu setelah persalinan. Jika terjadi

selama kala tiga persalinan atau dalam 24 jam setelah melahirkan, perdarahan

ini disebut perdarahan pasca partum primer. Jika terjadi setelah 24 jam

pertama hingga minggu keenam pasca partum, perdarahan ini disebut

perdarahan pasca partum sekunder. (Fraser & Cooper, 2009)

Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi segera setelah

persalinan melebihi 500 ml yang dibagi menjadi bentuk perdarahan

postpartum primer (atonia uteri, retensio plasenta, robekan jalan lahir) dan

sekunder (tertinggalnya sebagian plasenta atau membranya, perlukaan terbuka

kembali, infeksi pada tempat implantasi plasenta). (Manuaba et al., 2007)

Perdarahan postpartum primer adalah berapapun jumlah darah yang

hilang yang mengganggu kesejahteraan ibu. Akan tetapi, harus selalu diingat

bahwa gangguan pada kondisi ibu mungkin tidak terlihat sampai ia telah

kehilangan sejumlah darah yang membahayakan dirinya. (Boyle, 2008)

Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat

dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh ke dalam

keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan

Page 9: BAB I-IV (1)

9

tetapi terus menerus yang juga berbahaya karena kita tidak menyangka

akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh

dalam keadaan pre syok atau syok. (Mochtar, 1998)

2. Penyebab

Perdarahan merupakan akibat dari kelainan pada 4 faktor utama yang

mendasari terjadinya perdarahan menurut Anderson & Etches (2007), yaitu:

a. Tonus otot terdiri dari atonia uteri (70 %)

Penyebab perdarahan terbanyak adalah karena tonus otot yang

disebabkan karena atonia uteri (80-85%). (Versavel & Darling, 2006). Pada

kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit.

Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka

ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat

melekatnya plasenta. (JNPK-KR, 2008)

Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman

pembuluh darah yang berjalan diantara serabut saraf tadi. Atonia uterus adalah

suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi

maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak

terkendali. (JNPK-KR, 2008)

Kesalahan paling sering adalah mencoba mempercepat kala tiga.

Dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologi pelepasan

plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang

mengakibatkan perdarahan. (Oxorn & Forte, 2010)

Page 10: BAB I-IV (1)

10

Atonia uteri dan kemungkinan perdarahan pascapartum segera pada

wanita normal sebenarnya dapat diantisipasi segera sebelum kelahiran terjadi.

Kondisi berikut ini harus diwaspadai bidan mengingat potensi perdarahan

pascapartum segera berhubungan dengan atonia uterus menurut Varney (2008)

adalah

a) Distensi uterus pada kehamilan (kehamilan kembar, polihidramnion, atau

bayi besar). Polihidramnion atau kehamilan kembar yang menyebabkan

distensi uterus yang berlebihan.

Jika ketuban pecah saat persalinan pada kasus polihidramnion atau

setelah kelahiran bayi pertama dalam kehamilan multiple, penyempitan

rongga uterus yang mendadak dan luas dapat menjadi presipitasi pelepasan

plasenta. Saat uterus sangat teregang dalam kehamilan, sel otot menjadi

kurang mampu berkontraksi dan retraksi pada kala tiga persalinan. (Boyle,

2008)

b) Induksi oksitosin atau augmentasi

Persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan

mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. (Cunningham et al.,

2005)

c) Persalinan cepat atau presipitatus

Kerja uterus yang berlebihan pada kala satu dan kala dua persalinan

dapat mengakibatkan kegagalan retraksi otot uterus pada kala tiga,

jalannya janin yang terlalu cepat pada jalan lahir dapat menghalangi

regangan jaringan yang berangsur-angsur dan perlahan, yang dapat

Page 11: BAB I-IV (1)

11

mengakibatkan laserasi serviks, vagina, atau perineum sehingga

meningkatkan kehilangan darah. (Boyle, 2008)

d) Kala satu dan dua persalinan yang memanjang atau partus lama

Persalinan lama yang mengakibatkan inersia uterus. Dalam

persalinan yang fase aktifnya berlangsung lebih dari 12 jam, inersia uteri

dapat terjadi kelelahan otot. (Fraser &Cooper, 2009)

Kelelahan akibat partus lama, bukan hanya rahim yang lelah

cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang

keletihan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah. (Oxorn &

Forte, 2010)

e) Grand multiparitas

Wanita dengan paritas tinggi mungkin beresiko besar mengalami

atonia uteri. Fuchs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir 5800

wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan

postpartum sebesar 2,7 persen pada wanita ini meningkat empat kali lipat

dibandingkan dengan obstetric umum.

Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum

sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen

pada mereka dengan para atau lebih. (Cunningham et al., 2005)

Page 12: BAB I-IV (1)

12

f) Riwayat atonia uterus/ perdarahan pascapartum pada saat melahirkan anak

sebelumnya

Riwayat obstetric yang detail yang diperoleh pada pemeriksaan

antenatal yang pertama akan memastikan dilakukanya pengaturan agar ibu

dapatmelahirkan di unit konsultan. (Fraser & Cooper, 2009)

b. Trauma jalan lahir terdiri dari laserasi, hematom, inversio uteri,

rupture uteri (20 %)

Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi dari robekan yang

dialami selama proses melahirkan baik yang normal maupun tindakan. Jalan

lahir harus diinspeksi sesudah tiap melahirkan selesai hingga perdarahan

dapat dikendalikan. (Oxorn & Forte, 2010)

c. Jaringan plasenta tertahan atau retensio plasenta (10 %)

Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan

mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap

terbuka, dan menimbulkan perdarahan postpartum. (Oxorn & Forte, 2010)

d. Kelainan faktor koagulasi terdiri dari koagulapati (1%)

Hal-hal yang berhubungan dengan kelainan pembekuan darah antara

lain solusio plasenta, pre-eklampsia, septkemia dan sepsis dan emboli air

ketuban. (Situmorang, 2009)

Page 13: BAB I-IV (1)

13

3. Pencegahan

Untuk mengurangi kemungkinan perdarahan postpartum khususnya

disebabkan atonia uteri atau retensio plasenta maka dilaksanakan tatalaksana

aktif pertolongan kala tiga. (Manuaba et al., 2007)

Ada tiga langkah manajemen aktif kala tiga yaitu memberikan

oksitosin 10 IU unit secara intramuscular dalam waktu satu menit setelah bayi

lahir, penegangan talipusat terkendali, massase fundus uteri segera setelah

plasenta lahir. (JNPK-KR, 2008)

Penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan telah direkomendasikan

International Confederation of Midwives (ICM) and International Federation

of Gynaecologists Obstetricians (FIGO) yang efektif untuk mencegah

perdarahan postpartum. (Fayyaz et al., 2011)

Manajemen aktif kala tiga telah terbukti merupakan cara terbaik untuk

mencegah timbulnya perdarahan pasca persalinan. Rumah sakit yang telah

memasukkan praktik ini dalam prosedur tetapnya mendapatkan adanya

penurunan bermakna kejadian perdarahan pasca persalinan. (DEPKES RI,

2008)

Manajemen aktif kala tiga telah dianggap sebagai cara menurunkan

hemoragi pascapartum pada ibu dengan risiko peningkatan kehilangan darah

dan manajemen ini telah didukung oleh World Health Organization (1994)

sebagai suatu cara menurunkan perdarahan postpartum ketika tidak ada

keterbatasan akses mendapatkan produk darah atau sumber lain. (Walsh,

2008)

Page 14: BAB I-IV (1)

14

Penatalaksanaan aktif merupakan kebijakan yang mengharuskan

dilakukanya pemberian uterotonika profilaktik sebagai tindakan pencegahan

untuk menurunkan resiko perdarahan pasca partum tanpa memperdulikan

status obstetrik ibu. Kebijakan penatalaksanaan aktif biasanya meliputi

pemberian rutin agens uterotonika, baik secara intravena, intramuskular

maupun secara oral.

Pemberian ini dilakukan bersamaan dengan pengkleman talipusat

segera setelah kelahiran bayi dan pelahiran plasenta dengan menggunakan

traksi tali pusat terkontrol. Penatalaksanaan aktif kala tiga merupakan

kebijakan penatalaksanaan persalinan kala tiga yang paling banyak dilakukan

di dunia. (Fraser & Cooper, 2009)

Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang tersedia melalui

database Cochrane dan WHO reproductive Health Library (Kesehatan

Reproduksi WHO) menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan

berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk perdarahan post partum biasa

hingga berat), berkurangnya anemia setelah persalinan dan berkurangnya

kebutuhan terhadap trasfusi darah.

Pengelolaan aktif juga berkaitan dengan berkurangnya risiko kala III

yang patologis dan berkurangnya pemakaian obat-obat uterotonika yang

berlebihan, sehingga manajemen Aktif Kala III penting dilakukan. ( Shane,

2002)

Beberapa studi berskala besar, yang dilakukan secara acak dan

terkontrol (dilakukan di RS yang memiliki perlengkapan yang lengkap)

Page 15: BAB I-IV (1)

15

membandingkan pengaruh Pengelolaan Aktif Kala III dengan Pengelolaan

Menunggu pada suatu percobaan di Dublin, Irlandia, 705 ibu bersalin

ditangani secara aktif dengan 0,5 ergometrin dan dilakukan penegangan

talipusat terkendali, sementara 724 ibu bersalin ditangani secara

menunggu/fisiologis.

Hasil dari percobaan tersebut adalah berkurangnya perdarahan pasca

persalinan dan berkurangnya kasus anemia di antara ibu bersalin yang

mendapat penanganan pengelolaan Aktif Kala III. ( Shane, 2002)

Ibu bersalin yang ditangani dengan aktif secara bermakna menurunkan

kasus perdarahan pasca persalinan, dan sisa plasenta serta lebih sedikit

memerlukan tambahan obat-obatan uterotonika. Tidak satupun dari studi-studi

tersebut di atas memperlihatkan meningkatnya kasus komplikasi serius

sehubungan dengan pengelolaan aktif. Di Indonesia, uterotonika yang

digunakan umumnya adalah oksitosin. ( Shane, 2002)

Beberapa uji klinis telah dilakukan oleh beberapa negara sedang

berkembang salah satunya di Mozambique yang memperoleh hasil dimana

misoprostol 400 mcg per rectal sama efektifnya dengan oksitosin 10 IU IM

dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009)

Penelitian yang dilakukan di Inggris menyimpulkan misoprostol

sebagai uterotonik pengganti efektif dalam mencegah perdarahan postpartum

serta dapat diberikan bila oksitosin tidak tersedia. (Situmorang, 2009)

Penelitian pada tahun 1998 telah membandingkan pemakaian

misoprostol untuk penatalaksanaan aktif kala tiga dibanding dengan placebo.

Page 16: BAB I-IV (1)

16

Pada penelitian di Afrika selatan tersebut menggunakan uji klinik acak pada

550 penderita.

Pada pemberian misoprostol secara rectal dengan dosis 400 mcg,

didapatkan perdarahan ≥1000 ml pada kelompok misoprostol 4,8 % dan pada

placebo 7% (tidak bermakna), dan pemberian oksitosin juga berbeda tidak

bermakna dari kelompok yaitu 3,3 % pada kelompok misoprostol dan 4,7 %

pad kelompok placebo. (Manu, 2004)

B. Oksitosin

1. Pengertian

Oksitosin adalah bentuk sintesis oksitosin alami yang diproduksi

dalam pituitary posterior dan aman digunakan dalam konteks luas

dibandingkan kombinasi agens ergometrin/oksitosin. ( Fraser & Cooper, 2009)

Oksitosin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise

posterior (oksitosin endogen), yang pada wanita pasca melahirkan hormon ini

menstimulasi produksi air susu dan kontraksi uterus untuk menghasilkan

perdarahan dari uterus.

Oksitosin baik endogen maupun eksogen bekerja pada reseptor di

uterus yaitu miometrium dan desidua (endometrium). Namun, jumlah

oksitosin endogen adalah tidak cukup untuk mencegah perdarahan pasca

persalinan sehingga dibuat suatu oksitosin sintetik (oksitosin eksogen) untuk

digunakan sebagai preparat uterotonika dalam mencegah perdarahan

postpartum. (Situmorang, 2009)

Page 17: BAB I-IV (1)

17

Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelanjar mama. Fungsi

perangsangan ini bersifat selektif dan cukup kuat. Stimulus sensories pada

serviks, vagina dan payudara secara reflek melepaskan oksitosin dari hipofisis

posterior. (Ganiswara, 1995)

Oksitosik menyebabkan uterus berkontraksi. Oksitosin adalah

uterotonik endogen dari lobus posterior kelenjar hipofisis. Uterotonik eksogen

meliputi bentuk-bentuk sintesis oksitosin, ergot, dan prostaglandin. Bentuk

sintesis oksitosin (pitocin, Oxytocin, Syntocinon) menstimulasi kontraksi

intermitten. (Varney, 2008)

2. Indikasi

Oksitosin dapat membantu menghasilkan kontraksi uterus pada kala III

persalinan, sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum. (Fitrianingsih,

Dwi & Zulkoni, A, 2009).

a. Terapi perdarahan postpartum

Pada perdarahan postpartum yang disebabkan atonia uteri,

tetesan oksitosin merupakan metode terapi yang baik. Pemberian

tetesan ini efektif untuk memperbaiki tonus uterus dan dapat

dipertahankan selama diperlukan. (Oxorn & Forte, 2010)

b. Pencegahan perdarahan postpartum

Untuk mempercepat kelahiran placenta dan untuk mengurangi

perdarahan pada kala plasenta, oksitosin dapat diberikan sebelum

plasenta lahir (Oxorn & Forte, 2010)

Page 18: BAB I-IV (1)

18

Bila oksitosin digunakan untuk mengontrol perdarahan uteri,

pemakaian injeksi intravena secara cepat harus dihindari, karena dapat

menyebabkan penurunan tekanan darah akut. (Fitrianingsih, Dwi &

Zulkoni, A, 2009).

Penyuntikan obat-obat uterotonika segera setelah melahirkan

bayi adalah salahsatu intervensi paling penting yang digunakan untuk

mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin dan traksi tali pusat

adalah intervensi utama dari manajemen aktif dikaitkan dengan tahap

ketiga lebih pendek, dan kehilangan darah berkurang. (Shane, 2002)

Obat-obatan oksitosika makin banyak digunakan secara rutin

pada kala tiga persalinan untuk membantu pelepasan plasenta dan

mengendalikan perdarahan. Keuntungan pemberian obat-obatan

oksitosika dalam manajemen kala tiga telah di buktikan melalui

beberapa uji coba klinis. Bila kebijaksanaan penggunaan obat-obatan

oksitosika dalam persalinan akan dilaksanakan, maka bidan harus

dilatih sehingga memiliki kompetensi untuk memberikan obat tersebut

mampu mengenali efek samping obat itu. Bidan harus mampu

mengenali tanda-tanda dini keracunan oksitosika, terutama tanda-tanda

dini rupture uteri dan merujuk segera untuk mendapatkan bantuan

dokter spesialis secepatnya. (IBI, 2006)

Uterotonika profilaksis menurunkan risiko perdarahan

postpartum sebesar 60% dan menurunkan tambahan uterotonika

Page 19: BAB I-IV (1)

19

sekitar 70% dihubungkan dengan efeksamping obat seperti nausea dan

nyeri kepala. (Dasuki et al, 2010)

Penggunaan uterotonik sangat bermanfaat dalam

mengendalikan perdarahan uterus pascapartum. Kerja yang diharapkan

dapat cepat diperoleh melalui rute intermuskular maupun rute

intervena untuk obat oksitosin terlarut, dan tidak ada bahaya

kardiovaskuler pada pemberian langsung intravena masing-masing

obat ini. (Varney, 2008)

3. Kontraindikasi

Kontraindikasi pada penggunaan oksitosin menurut Oxorn & Forte

(2010) adalah

a. Ada disproprsi, umumnya berupa panggul sempit, dan obstruksi jalan

lahir oleh tumor.

b. Grandemultipara, kemungkinan terjadinya rupture uteri terlampau

besar

c. Bekas SC

d. Uterus yang hipertonik (Hipertonic uterus) atau yang tak terkoordinasi

(incoordinate uterus).

Keadaan hipertonik atau inkoordinasi uterus ini menjadi

semakin buruk pada pemberian oksitosin dan dapat menimbulkan

cincin konstriksi.

Page 20: BAB I-IV (1)

20

Pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi jika uterus

sudah berkontraksi dengan kuat atau bila terdapat obstruksi mekanis

yang menghalangi kelahiran anak seperti plasenta previa atau

disporporsi sefalopelvik. Jika keadaan serviks masih belum siap,

pematangan serviks harus dilakukan sebelum pemberian oksitosin.

(Jourdan, 2004)

e. Kelelahan ibu

Keadaan ini harus diatasi dengan istirahat dan pemberian

cairan, bukan dengan stimulasi oleh oksitosin. Kontraksi otot uterus

memerlukan glukosa maupun oksigen. Jika pasokan keduanya tidak

terdapat pada otot yang berkontraksi tersebut dan keadaan ini mungkin

terjadi karena starvasi atau pasokan darah yang tidak memadai maka

respons yang timbul terhadap pemberian oksitosin tidak akan adekuat

sehingga pemberian oksitosin secara sedikit demi sedikit tidak akan

efektif. Situasi ini lebih cenderung dijumpai pada persalinan yang

lama. (Jourdan, 2004)

f. Fetal distress

Bukan saja oksitosin tidak boleh diberikan pada keadaan ini,

tetapi juga bila dalam pemberian tetesan terjadi ketidakteraturan atau

kelambatan denyut jantung, maka tetesan tersebut harus dihentikan.

g. Segala jenis kelainan prsentasi dan posisi

Page 21: BAB I-IV (1)

21

Kelainan letak yang diperkirakan tidak dapat lahir spontan

pervaginam misalnya letak lintang merupakan kontraindikasi.

(Fitrianingsih, Dwi & Zulkoni, A, 2009).

Pemberian infus oksitosin merupakan kontraindikasi pada ibu

hamil yang menghadapi risiko melahirkan per vaginam, misalnya

kasus dengan malpresentasi atau solusio plasenta atau dengan risiko

ruptur uteri yang tinggi. Pemberian infus oksitosin yang terus menerus

pada kasus dengan resistensi dan inersia uterus merupakan

kontraindikasi. (Jourdan, 2004)

Obat-obatan oksitosika tidak boleh diberikan secara

intramuskulaer sebelum bayi dilahirkan. Bidan perlu diingatkan bahwa

obat-obatan oksitosika tidak boleh diberikan sebelum bayi lahir,

kecuali atas petunjuk dokter dan itu pun hanya sebagai terapi untuk

mempercepat persalinan. Bila diberikan sebelum bayi lahir, obat-

obatan oksitosika selalu harus diberikan dalam cairan intravenous

(dengan titrasi) sehingga bisa dihentikan bila kontraksi menjadi terlalu

kuat. Pemberian dimulai dengan beberapa tetes per menit dan

meningkat sampai kontraksi menjadi kuat. (IBI, 2006)

Penggunaan obat oksitosika untuk mempercepat persalinan

berkaitan dengan terjadinya rupture uteri dan perdarahan antepartum

hebat. Oleh karena itu pemberian obat oksitosika sebelum persalinan

harus dilakukan dengan hati-hati dan selalu dibawah pengawasan

Page 22: BAB I-IV (1)

22

dokter. Penggunaan obat-obatan oksitosika sebelum persalinan bukan

bagian dari praktik normal kebidanan. (IBI, 2006)

C. Misporostol

1. Pengertian

Misoprostol adalah analog prostaglandin E1. Misoprostol telah

disahkan FDA (Food And Drug Administration) sejak tahun 1988 untuk

mencegah ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid

Sejak tahun 1990, misoprostol banyak digunakan dalam bidang obstetri dan

ginekologi karena efeknya terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks

yang diberikan secara oral. Kemudian, secara off label saat ini, misoprostol

menjadi salah satu obat yang penting di bidang obstetri dan ginekologi. Pada

tahun 2005, penggunaan misoprostol untuk kehamilan tidak diakui oleh FDA

(Food And Drug Administration) karena dapat menyebabkan hiperstimulasi

uterus. (Bellad & Goudar, 2006)

Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetis yang telah

disahkan oleh FDA sejak tahun 1985. Sebagai analog prostaglandin E1

sintetis, misoprostol bersifat uterotonika dan memiliki efek dalam pelebaran

servik. Preparat misoprostol ini merupakan satu-satunya preparat

prostaglandin yang terjangkau untuk pematangan serviks dan induksi

persalinan di negara-negara miskin. (DEPKES RI, 2008)

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 obat yang telah

disahkan (Food And Drug Administration) untuk mencegah ulkus lambung

Page 23: BAB I-IV (1)

23

akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Misoprostol dipasarkan

dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet 100 mcg dan 200 mcg (Goldberg &

Wing, 2003)

Misoprostol termasuk dalam golongan hormon prostaglandin yang

dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penipisan serviks. Misoprostol telah

di pasarkan sejak 1985 dengan merek Cytotec®. Misoprostol tersedia lebih

dari 80 negara di seluruh dunia untuk mencegah ulkus lambung akibat

penggunaan obat anti inflamasi non steroid (Fiala & Weeks, 2005)

Prostaglandin merupakan asam-asam carboxylat dengan 20 atom

carbon yang secara enzimatik terbentuk dari asam-asam lemak essential

polyunsaturasi. Kebanyakan organ tubuh mampu mensitesis prostaglandin

disamping mampu memetabolismenya menjadi senyawa-senyawa yang

kurang aktif. (Oxorn & Forte, 2010)

Berdasarkan strukturnya, prostaglandin dibagi menjadi empat

kelompok yaitu kelompok E, F, A dan B. Tiga senyawa dari kelompok E dan

tiga senyawa dari kelompok F merupakan senyawa primer. Delapan senyawa

lainya adalah matabolit dari enam senyawa induk tersebut. Tigabelas diantara

empat belas senyawa prostaglandin yang dikenal terdapat pada manusia.

(Oxorn & Forte, 2010)

Cara kerjanya yang tepat belum diketahui, tetapi diperkirakan

prostaglandin menjadi bagian dari mekanisme yang mengendalikan transmisi

dalam saraf simpatetik. Tampak adanya ada dua aktivitas yang umum yaitu

Page 24: BAB I-IV (1)

24

pengubahan kontraktilitas otot polos dan modulasi aktivitas hormonal. (Oxorn

& Forte, 2010)

Prostaglandin menghasilkan respons-respons fisiologik dengan ragam

yang luas. Baik kelompok E maupun F memiliki daya stimulasi yang sangat

kuat terhadap myometrium. Namun demikian, pada keadaan dimana

pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi, prostaglandin bisa memainkan

peranan dalam menstimulasi aktivitas uterus pada saat aterm. (Oxorn & Forte,

2010)

Didalam tubuh terdapat berbagai jenis prostaglandin (PG) dan tempat

kerjanya berbeda-beda, serta saling mengadakan interaksi dengan autakoid

lain, neurotransmitter, hormone serta obat-obatan. Prostaglandin ditemukan

pada ovarium, miometrium, dan cairan menstrual dengan konsenterasi berbeda

selama siklus haid. (Ganiswara, 1995)

Pada manusia Prostaglandin berperan penting dalam peristiwa

persalinan. Berlainan dengan oksitosin prostaglandin merangsang terjadinya

persalinan, pada setiap usia kehamilan. (Ganiswara, 1995)

Dibagian kebidanan penggunaan prostaglandin terbatas pada PGE2 dan

PGF2α.. Semua PGF merangsang kontraksi uterus baik hamil maupun tidak

hamil. Sebaliknya PGE2 merelaksasi jaringan uterus tidak hamil in vitro, tetapi

memperlihatkan efek oksitosik lebih kuat dari PGF2α pada kehamilan trimester

kedua dan ketiga. Untuk memulai persalinan aterm, PGE2 sama efektifnya

dengan PGF2α atau oksitosin. (Ganiswara, 1995)

Page 25: BAB I-IV (1)

25

2. Indikasi

Indikasi yang diakui oleh FDA adalah untuk pencegahan dan

pengobatan ulkus lambung akibat pemakaian antiinflamasi non steroid.

Indikasi ini didasarkan pada efeknya merangsang sistem mucus dan

bikarbonat di lambung dan mengurangi produksi asam lambung.

Pemakaian misoprostol di bidang obstetri dan ginekologi pada

umumnya direkomendasikan pada daerah di mana uterotonika atau

prostaglandin tidak tersedia atau terlalu mahal. Pada daerah dengan sumber

daya terbatas (low-resource settings), keamanan pemakaian misoprostol

hendaknya diperbandingkan dengan metode aborsi yang tidak aman seperti

ramuan herbal, insersi benda asing atau trauma yang disengaja.

Manfaat misoprostol adalah untuk terminasi kehamilan, induksi

persalinan penatalaksanaan kala tiga persalinan dan penatalaksanaan

perdarahan pasca persalinan. Penggunaan misoprostol untuk keadaan tersebut

tidak diindikasikan pada kemasan obat (off-label). Di Indonesia, misoprostol

sudah banyak digunakan dalam praktik kebidanan, baik untuk terminasi

kehamilan, induksi persalinan maupun penatalaksanaan perdarahan pasca

persalinan

Ditetapkanya status penggunaan: terbatas, Hingga saat ini misoprostol

masuk dalam kategori obat golongan G (Obat keras yang hanya bisa

didapatkan dengan resep dokter) artinya penggunaan obat ini, baik untuk

pembelian maupun penggunaan harus selalu dalam pengawasan dokter.

(DEPKES RI, 2008)

Page 26: BAB I-IV (1)

26

Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep

dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain

obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat darah rendah/antihipotensi,

obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung. Obat

golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter.

(www.yoyoke.web.ugm.ac.id)

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1, berbeda dengan

prostaglandin lainya, tidak memiliki efek signifikan pada paru-paru atau

pembuluh darah (dan dapat digunakan pada penderita asma). (Fiala & Weeks,

2005)

Penggunaan misoprostol dalam bidang obstetric dan ginekologi tidak

ada satupun yang disetujui Badan Pengawasan Obat dan makanan di Amerika

Serikat (Food And Drug Administration). (Allen & O’Brien, 2009)

Misoprostol mempunyai pengaruh terhadap kontraksi uterus dan

penipisan serviks sehingga misoprostol banyak digunakan dalam bidang

obstetric dan ginekologi diantaranya menurut Goldberg, et al, (2001) adalah

a. Abortus terapeutikus/medical abortion.

b. Induksi Persalinan

Goldberg & Wing (2003) Pada Agustus tahun 2003, (Cytotek,

Searle) sebagai manufaktur dari misoprostol yang telah mengeluarkan

peringatan tertulis kepada seluruh provider kesehatan di Amerika yang

berisikan peringatan pemberian misoprostol untuk wanita hamil karena

Page 27: BAB I-IV (1)

27

didapatkanya laporan kejadian rupture uteri setelah penggunaanya

pada induksi persalinan di beberapa negara.

Peringatan tertulis ini kemudian banyak rekasi dan kontroversi

diberbagai negara, Banyak rumah sakit yang kemudian menghilangkan

obat ini dari daftar obatnya. Bahkan di beberapa negara terjadi

pembatasan pemasukan obat dikarenakan fungsinya yang dapat

mengakibatkan aborsi dan sering kali digunakan sebagai aborsi illegal.

Namun, The American College of Obstetricians and

Gynecologists (ACOG), kemudian mengungkapkan persetujuanya

terhadap penggunaan misoprostol ini untuk induksi persalinan.

Perdebatan dan kontroversipun kemudian terjadi di berbagai media dan

forum terbuka.

c. Pencegahan perdarahan postpartum

Beberapa studi klinis kecil telah menganjurkan bahwa 400-600

misoprostol yang diberikan secara mcg misoprostol (diberikan melalui

mulut dan dubur) memiliki efektivitas seperti oksitosin dan ergometrin

dalam mengurangi perdarahan pasca persalinan. Beberapa hasil studi

menemukan bahwa misoprostol seefektif oksitosin, tetapi disertai

dengan menggigil dan suhu tubuh meningkat. (Shane, 2002)

Bambigboye dkk (1998) melaporkan misoprostol 400 mcg

yang diberikan per rectal efektif mencegah perdarahan persalinan.

(Carpenter, 2001)

Page 28: BAB I-IV (1)

28

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 yang dapat

menjadi alternatif obat uterotonika yang digunakan dalam

penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dalam pernyataan

International Federation of Gynaecology and Obstetrics (FIGO) dan

International Confederation of Midwives (ICM), prevention and

treatment of postpartum Haemorrhage: New Advances for low

Resources Setting. Jika tidak tersedia oksitosin, dan tidak ada tenaga

kesehatan kurang terlatih, pemberian misoprostol per oral yang

diberikan satu menit setelah bayi lahir yang dapat menstimulasi uterus

berkontraksi yang akan membantu terlepasnya plasenta. Sebelum

memberikan misoprostol juga harus memastikan bahwa tidak ada janin

kedua. (POPHI, 2008)

d. Penanganan perdarahan postpartum.

Dalam suatu penelitian deskriptif didapatkan misoprostol dapat

menghentikan perdarahan postpartum yang tidak responsive dengan

pemberian oksitosin dan metilergometrine. Penelitian tersebut

melibatkan 14 wanita yang mendapatkan 1000 mcg misoprostol per

rectal setelah pemberian oksitosin dan metilergometrine, dan pada

semua kasus perdarahan berhenti dalam waktu 3 menit setelah

pemberian misoprostol. (DEPKES RI, 2008)

Page 29: BAB I-IV (1)

29

3. Kontraindikasi

Adapun Kontraindikasi Penggunaan misoprostol menurut DEPKES RI

(2008) adalah:

a. Kehamilan

Pada kemasan obat terbaru terdapat peringatan bahwa

misoprostol dikontraindikasikan pada kehamilan karena memiliki efek

abortus. Namun demikian FDA mengetahui bahwa pada beberapa

keadaan, penggunaan misoprostol untuk terapi medis yang tepat,

rasional dan diterima. Peresepan obat untuk indikasi yang belum

disahkan ini sering dilakukan untuk terapi pada wanita hamil dan tidak

dianggap sebagai percobaan karena telah didasarkan pada bukti-bukti

ilmiah yang ada.

Misoprostol merupakan stimulator kontraksi uterus pada

kehamilan lanjut yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kematian

janin serta ruptur uterus jika digunakan dalam dosis yang tinggi. Oleh

karena itu, pemakaiannya harus mengikuti dosis yang dianjurkan dan

tidak melebihi dosis tersebut.

Berdasarkan aspek legal, misoprostol tidak dapat digunakan

pada kehamilan karena sampai saat ini misoprostol hanya

diregistrasikan untuk penatalaksanaan ulkus gaster dan duodenal yang

refrakter terhadap antagonis H-2 reseptor.

Page 30: BAB I-IV (1)

30

a) Pada kasus kehamilan bekas SC. Angka kejadian ruptur uteri pada

penggunaan misoprostol meningkat pada trimester 3. Sedangkan

di trimester 1 dan 2 tidak menunjukkan perbedaan bermakna

b) Pada kasus suspect CPD

c) Pada kasus kehamilan multiple dan grande multi

d) Pada kasus presentasi bokong. Presentasi bokong bukan

kontraindikasi untuk induksi dengan misoprostol. Namun,

pertimbangkan kelebihan dan kekuranganya jika dibandingkan SC

e) Pada kasus pertumbuhan janin terhambat. Misoprostol

meningkatkan resiko terjadinya hipoksia intra uteri dihubungkan

dengan efek sampingnya hiperkontraktilitas miometrium

f) Pada kematian mudigah, blighted ovum, abortus medicinalis,

abortus inkomplit dan insipiens. Misoprostol dapat digunakan

dengan aman (sesuai dosis) untuk kasus tersebut. Hal yang perlu

diperhatikan adalah untuk abortus inkomplit/insipiens dimana

biasanya sedang/telah terjadi perdarahan yang banyak, sedangkan

misoprostol membutuhkan waktu untuk bekerja.

g) Pada obortus infeksiosa dan missed abortion, sering kali telah

terjadi perlekatan dalam kavum uteri, hingga penggunaan

misoprostol tidak cukup untuk mengeluarkan seluruh jaringan.

Kondisi ini meningkatkan resiko sepsis

Page 31: BAB I-IV (1)

31

h) Pada mola hidatidosa. karena jaringan mola yang banyak dan

miometrium yang tipis, penggunaan misoprostol meningkatkan

resiko tertinggalnya jaringan mola dan rupture uteri.

Meskipun jarang, Misoprostol dapat menimbulkan kelainan

congenital yang serius diantaranya adalah sindroma Mobius

(kelainan congenital pada wajah). (Goldberg et al., 2001)

b. Postpartum

Kontraindikasi Pemberian misoprostol untuk perdarahan

postpartum adalah alergi terhadap pemberian misoprostol. Ataupun

prostaglandin lainya. (Faundes, 2005)

Dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan, sebelum

memberikan misoprostol juga harus memastikan bahwa tidak ada janin

kedua. (POPHI, 2008)

D. Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan

perdarahan postpartum primer

1. Pengertian Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti

berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah

populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil

guna atau menunjang tujuan. Disebut efektif apabila tercapai tujuan

ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. (Rihadini, 2012)

Page 32: BAB I-IV (1)

32

2. Cara Kerja

a. Oksitosin

Oksitosin yang beredar akan berefek bila terdapat reseptor

oksitosin pada membrane sel otot polos uterus sehingga merangsang

pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus. Oksitosin

terikat pada reseptornya pada membrane sel miometrium, yang

selanjutnya terbentuk siklik adenosin-5-monofosfat (camp).

Oksitosin bekerja dengan menimbulkan depoarisasi potensial

membrane sel, sehingga terjadi penurunan nilai ambang listrik

membrane sel. Dengan terikatnya oksitosin pada membrane sel, maka

Ca 2+ dimobilisasi dari reticulum sarkoplasmik untuk mengaktivasi

protein kontraktil. (Manu, 2004)

Oksitosin bekerja selektif pada otot polos uterus untuk

menstimulasi kontraksi ritmis pada uterus, meningkatkan frekuensi

kontraksi yang telah ada dan meningkatkan tonus otot-otot polos

uterus. Respon yang ditimbulkan tergantung pada ambang rangsangan

uterus terhadap obat ini.

Oksitosin terutama bekerja pada akhir kehamilan, selama

kehamilan dan segera setelah proses persalinan. Oksitosin sintetik

tidak mempunyai efek pada system kardiovaskuler seperti peningkatan

tekanan darah yang biasanya terjadi karena sekresi vasopressin oleh

pituitary posterior.

Page 33: BAB I-IV (1)

33

Oksitosin juga bekerja pada reseptor-reseptor sel mioepitel di

payudara dan menstimulasi kontraksi sel-sel, ini yang menyebabkan

mengalirnya air susu ke duktus yang lebih besar, serta memudahkan

keluarnya air susu. (Fitrianingsih & Zulkoni, 2009)

Oksitosin dalam penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dapat

digunakan untuk membuat rahim berkontraksi. Sintetik oksitosin juga

dapat digunakan untuk mencegah dan menangani kontraksi uterus.

(Khan & El-Refaey, 2006)

b. Misoprostol

Misoprostol (Cytotec, Arthrotec) berkhasiat menghambat

produksi asam lambung dan melindungi mukosa. Selain itu,

meningkatkan sekresi mucus dan bikarbonat, dan mempengaruhi

sirkulasi darah di mukosa lambung. (Tjay & Rahardja, 2007)

Prostaglandin dipercaya sebagai pengatur regulasi

myometrium. prostaglandin dapat digunakan dalam penatalaksanaan

aktif kala tiga persalinan dalam menurunkan perdarahan postpartum.

Prostaglandin diproduksi oleh jaringan desidua dan jaringan plasenta.

(Khan &El Refaey, 2006)

Sampai sekarang literatur mengenai cara kerja misoprostol

untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan masih terbatas. Pada

pemakaian per oral, efek didapatkan secara sistemik untuk mencapai

reseptornya di uterus sedangkan pada pemakaian secara vaginal

memberikan efek secara topical.

Page 34: BAB I-IV (1)

34

Pada pemakaian misoprostol per rectal, obat akan diserap

melalui mukosa rectal dan akan masuk ke sirkulasi darah, sehingga

uterus akan berkontraksi (target organ) melalui peningkatan hubungan

kesenjangan (gap junction) dan peningkatan kadar Ca 2+ intraceluler,

peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actin-miosin sehingga

terjadi kontraksi miometrium. (Manu, 2004)

Penelitian lain membandingkan pemberian 600 mcg

misoprostol peroral segera setelah penjepitan tali pusat dengan

plasebo. Pada penelitian ini terbukti secara signifikan bahwa kejadian

perdarahan post-partum dan jumlah darah post-partum lebih rendah

pada kelompok misoprostol, sehingga misoprostol dianggap

merupakan obat yang tepat untuk pencegahan perdarahan post-partum

pada daerah dengan sarana dan sumber daya yang rendah. (DEPKES

RI, 2008)

Diab KM dkk (1999) meneliti pemberian misoprostol per oral

dan rectal dengan dosis 200 mcg dan 400 mcg dibandingkan dengan

oksitosin 5 IU dan ergometrine 0,2 mcg intramuscular. Didapatkan

hasil dimana dengan pemberian misoprostol per oral perdarahan lebih

sedikit dan dengan per rectal efek samping lebih minimal dibanding

per oral. (Carpenter, 2001) Benzinger dkk menyatakan pada rectum

tidak ditemukan sistem termoregulasi. (IDAI, 2008)

Page 35: BAB I-IV (1)

35

3. Waktu atau onset bekerja

a. Oksitosin

Oksitosin bekerja dalam 2,5 menit yang diberikan secara

intramusculer. Data penelitian terbaru menunjukkan bahwa oksitosin

merupakan pilihan uterotonik yang efektif jika penatalaksanaan kala

tiga persalinan profilaktik dilakukan, terutama pada ibu yang

mengalami kehilangan darah lebih dari 1000 ml. (Fraser & Cooper,

2009)

Oksitosin mempunyai waktu paruh yang singkat yaitu dalam

beberapa menit. Beberapa hasil penelitian menunjukkan waktu paruh

oksitosin 2,5-5 menit karena itu pemberianya harus diulang untuk

mempertahankan kadarnya didalam plasma. (Manu, 2004)

Oksitosin akan bekerja dalam waktu 1 menit setelah pemberian

intravena dan 3-4 menit melalui intramuskuler dengan waktu paruh

yang singkat berkisar 1-10 menit. Peningkatan kontraksi uterus

dimulai hampir seketika. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-

40 menit sesudah pemberianya. (Royadi et al., 2010)

Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi dan bekerja 2-3

menit setelah pemberian intramuscular, dan mempunyai waktu paruh

10-12 menit. (Situmorang, 2009) 

Waktu paruh oksitosin diperkirakan berkisar 1-20 menit,

kendati data-data farmakologis yang lebih mutakhir menunjukkan

angka 15 menit. Oksitosin akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit

Page 36: BAB I-IV (1)

36

sesudah pemberianya Meskipun sampai sejauh mana oksitosin

melintasi plasenta masih belum jelas namun oksitosin dengan cepat

dieliminasi lewat hati, ginjal dan enzim plasenta. (Jourdan, 2004)

b. Misoprostol

Tabel 2.1

Rute pemberian misoprostol

4. Cara pemberian dan dosis

a. Oksitosin

Obat-obatan oksitosika yang diberikan pada manajemen kala

tiga dapat mencegah terjadinya perdarahan pasca salin. Pemberian 10

IU oksitosin segera setelah bayi lahir dan manajemen aktif kala tiga

akan mencegah perdarahan pasca persalinan. (IBI, 2006)

Pemberian oksitosin 10 IU Intramuskular sebagai manajemen

aktif kala tiga persalinan berguna untuk merangsang uterus

berkontraksi yang juga mempercepat pelepasan plasenta. (Manu, 2004)

Rute Onset reaksi Lama Reaksi

Oral 8 menit 2 jam

Sublingual 11 menit 3 jam

Vaginal 20 menit 4 jam

Rektal 100 menit 4Jam

Page 37: BAB I-IV (1)

37

Oksitosin diberikan baik secara injeksi intravena maupun

intramuscular. Namun demikian, pemberian oksitosin melalui bolus

intravena dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan fatal, terutama

jika terdapat perburukan kardiovaskuler. Jika diberikan sebagai bolus

intravena, obat ini harus segera diberikan secara perlahan dengan dosis

yang tidak lebih dari 5IU. (Jourdan, 2004)

b. Misoprostol

Pada semua rute pemberian, absorpsi terjadi sangat cepat tetapi

yang paling cepat bila misoprostol diberikan secara oral (mencapai

konsenterasi puncak setelah 12 menit, waktu paruh 20-30 menit).

(Fiala & Andrew Weeks, 2005)

Dosis, efektifitas dan keamanan penggunaan misoprostol untuk

pencegahan perdarahan pasca persalinan. Untuk pencegahan

perdarahan pasca persalinan, diberikan misoprostol 400-600 mcg,

peroral atau rectal, segera setelah bayi lahir dan sebelum plasenta lahir.

(Carpenter, 2001)

a) Misoprostol per oral

Menurut Dasuki, et al. (2010) penelitian tentang

perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral dengan 10

IU secara intramuskular yang dilakukan secara uji klinik ajak

terkontrol.

Didapatkan hasil penelitian bahwa rata-rata lama kala tiga

(0,21 ml), jumlah perdarahan kala tiga (0,55 ml), jumlah

Page 38: BAB I-IV (1)

38

perdarahan kala empat (3,46 ml) pada prevensi perdarahan

postpartum menggunakan misoprostol per oral dibandingkan

dengan pemberian oksitosin intramuskuler tidak berbeda baik

secara statistik maupun secara klinis.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektifitas

misoprostol per oral tidak berbeda baik dengan oksitosin untuk

prevensi perdarahan postpartum.

Sebagaimana uterotonika yang lain, misoprostol

menyebabkan rahim berkontraksi sehingga dapat mengurangi

perdarahan pasca persalinan. Misoprostol memiliki manfaat

potensial termasuk mudah diberikan (melalui mulut dan dubur),

murah dan stabil. Efektivitasnya, dibandingkan dengan obat-obatan

uterotonika yang lain dalam mengurangi perdarahan pasca

persalinan. (Shane, 2002).

Misoprostol dengan dosis 400 mcg per oral dapat

menurunkan 81% insidensi perdarahan postpartum yang telah

terbukti pada wanita di Bangladesh.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan Negara yang

berkembang seperti India, Guinea Bissau, Indonesia, Nepal,

Nigeria yang menujukkan misoprotol efektif untuk mencegah

perdarahan postpartum jika tidak tersedia oksitosin. (Nashreen et

al., 2011)

b) Misoprostol per rectal

Page 39: BAB I-IV (1)

39

Penelitian tentang perbandingan efektifitas misoprostol per

bukkal dan rektal dan oksitosin terhadap jumlah darah kala IV

persalinan dengan melkaukan randomized clinical trial Hasil

penelitian menurut Royadi et al (2010) adalah Misoprostol 400

mcg per rektal mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap

jumlah perdarahan kala 1V dibandingkan misoprostol 400 mcg per

bukkal dan oksitosin 10 IU per intramuskuer.

Terlihat semua pasien yang terlibat dalam penelitian ini

jumlah perdarahanya < 500 ml atau rata-rata 35-80 ml. Diantara

ketiga obat uterotonika tersebut misoprostol rektal paling sedikit

jumlah perdarahanya dibanding misoprostol per bukkal dan

oksitosin intramuskuler dengan rata-rata 43,82 ml. Tidak

ditemukan perbedaan signifikan efek samping pada kedua

kelompok perlakuan.

Hal ini disebabkan karena lapisan epitel di mukosa rectum

lebih tipis dan tidak berkreatin. Pembuluh darah vena di rectum

juga banyak. Bila penyerapan obat melalui vena rektalis media dan

vena rektalis inferior, maka absorpsi obat akan masuk kedalam

sirkulasi sistemik dan tidak melewati metabolisme lintas pertama

sehingga bioavailibiltas baik. Bila melalui vena rectalis superior

yang merupakan bagian dari sirkulasi portal, setelah terabsorpsi

langsung dibawa ke hati melalui vena porta.

Page 40: BAB I-IV (1)

40

Pada pemberian melalui rectal rata-rata waktu untuk

mencapai konsenterasi maksimum adalah 40-65 menit.

Metabolisme lintas pertama dihati adalah sekitar 50% obat yang

diabsorpsi dari rectum akan melalui sirkulasi portal. Prinsip

pemberian secara rectal adalah sama dengan pemberian oral dalam

penyebaranya di mukosa mulut. Efek pertama pada pemberian

secara rectal tergantung dari tingkat area mukosa rectal dimana

obat tersebut diserap. Keuntungan pemberian cara rectal adalah

bisa diberikan pada penderita yang mengalami gangguan

pencernaan seperti mual, muntah, tidak sadar pada penderita pasca

bedah.

Pada pemberian obat melalui bukkal penyerapan obat lebih

lambat karena lapisan epitel bukkal lebih tebal dibandingkan

mukosa rectum walaupun juga tidak berkreatin. Pembuluh darah di

mukosa bukkal juga tidak melewati vena porta hepatica tapi

langsung ke vena jugularis kemudian ke vena kava dan selanjutnya

ke sirkulasi sistemik. Sedangkan pada efek samping tidak

memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap jenis efek

samping dari penggunaan obat tersebut.

Menurut Situmorang (2009) dalam penelitian tentang

perbandingan efektifitas misoprostol 400 mcg per rectal dengan 10

IU oksitosin pada penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga yang

Page 41: BAB I-IV (1)

41

dilakukan secara uji klinis acak terkontrol (randomized clinical

trial).

Didapatkan hasil penelitian bahwa Tidak ada perbedaan

bermakna rata-rata volume darah kala IV, pada kelompok

misoprostol 63,17 ml sedangkan kelompok oksitosin 151,50 ml

Ada perbedaan bermakna rata-rata lamanya kala tiga, dimana

kelompok misoprostol 10,6 menit sedangkan kelompok oksitosin

13,9 menit.

Secara penelitian radiologis awal mengidentifikasi bahwa

pelepasan plasenta biasanya terjadi setelah 3 menit kelahiran bayi.

Penelitian lebih baru menemukan rata-rata lama kala tiga adalah

6,8 menit, dengan rentang intrakuartal 4 sampai 10 menit. (Wals,

2008)

Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan

pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi lama kala tiga

adalah 6 menit. (Cunningham et al., 2005)

Tidak dijumpai subyek yang mengeluhkan efek samping pada

kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin

dijumpai 2 subyek (6,6%) mengeluhkan nyeri kepala,

Tidak dijumpai kejadian retensio plasenta, atonia uteri,

perlunya penambahan uterotonika, dan kematian pada kelompok

misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai satu

kasus. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa efektifitas

Page 42: BAB I-IV (1)

42

misoprostol 400 mcg per rectal sama dengan oksitosin sebagai

uterotonika.

Dalam perbandingan antara misoprostol per rectal dengan

intramuscular oksitosin dapat disimpulkan bahwa misoprostol

sebagai altenatif sebagai uterotonika seperti oksitosin yang

digunakan dalam manajemen aktif kala tiga khususnya di negara

berkembang. Dan misoprostol memiliki efektifitas yang sama

untuk pencegahan perdarahan postpartum seperti oksitosin.

Sehingga misoprostol per rectal dapat dijadikan sebagai alternatif

pengganti oksitosin jika tidak tersedia. (Shrestha, 2011)

5. Efeksamping

a. Oksitosin

Obat-obatan oksitosika tersebut bukan tanpa efek samping. Ada

ibu bersalin yang mendapat dosis tunggal oksitosika yang akan dialami

menurut IBI (2006) adalah

a) Cardiac arrest (henti jantung)

Pemberian oksitosin dengan jumlah yang besar dapat

mengakibatkan vasodilatasi yang nyata dan mendadak sehingga

penurunan tekanan darah, khususnya tekanan diastolic. Curah

jantung dapat berkurang dan penurunan curah jantung dapat

memicu reflex takikardia. (Jourdan S, 2004)

Page 43: BAB I-IV (1)

43

b) Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh edema paru atau

perdarahan intra serebral akibat hipertensi hebat

c) Kecenderungan meningkatnya insiden dari lambatnya pelepasan

atau tidak bisa lepasnya plasenta.

Dalam studi di Dublin (Irlandia), ditemukan insidensi

plasenta manual (ada gangguan pelepasan plasenta), insiden

perdarahan postpartum sekunder yang lebih tinggi,

d) Mual, sakit kepala dan nyeri setelah persalinan.

Mual dan muntah dapat disebabkan oleh kontraksi otot polos

usus atau kerja langsung oksitosin pada zona pemicu kemoreseptor

dan pusat muntah dalam medula oblongata. (Jourdan, 2004)

Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot

rahim terhadap oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat. Bila

dilakukan pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan

kontraksi otot polos rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri

persalinan semakin hebat. Pasien melaporkan bahwa kontraksi yang

diinduksi oleh pemberian oksitosin terasa lebih nyeri daripada

kontraksi pada persalinan spontan. Penguatan persalinan dengan

oksitosin membawa risiko hiperstimulasi uerus, karena beberapa

individu hipersensitif terhadap oksitosin, pemberian infuse oksitosin

selalu mengandung bahaya kontraksi uterus yang tetanik atau

spasmodic sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah. (Jourdan,

2004)

Page 44: BAB I-IV (1)

44

e) Oksitosika juga berpotensi meningkatkan tekanan darah, namun

dapat mengurangi insiden perdarahan postpartum primer.

Oksitosin bekerja pada reseptor hormone anti diuretic dalam

pembuluh darah untuk menghasilkan vasokonstriksi. Efek

vasokonstriksi ini dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang

hebat dan mendadak hingga diatas 200/120 mmHg, kenaikan

tekanan darah yang hebat serta mendadak ini dapat menimbulkan

krisis hipertensi, dan kematian ibu pernah terjadi. (Jourdan, 2004)

f) Kontraksi pembuluh darah tali pusat

Jika mekanisme proteksi ini diaktifkan sebelum waktunya,

janin akan mengalami kekurangan oksigen. Hipoksia janin dapat

menimbulkan bradikardia, disritmia kardiak dan bahkan kematian.

Setiap keadaan gawat janin sudah ada sebelumnya cenderung

menjadi semakin berat dengan pemberian infus oksitosin. (Jourdan,

2004)

g) Kerja antidiuretik

Jika preparat oksitosin sintetik diberikan, khususnya dengan

dosis tinggi, maka kerjanya menyerupai kerja hormone antidiuretik.

Tanpa pemantauan yang cermat, hal ini dapat menimbulkan retensi

cairan yang berbahaya. Setiap air yang ditahan akan mengalir lewat

osmosis dari plasma kedalam cairan jaringan dan kemudian

kedalam sel-sel tubuh yang akan membengkak. Retensi air dapat

meningkatkan volume cairan jaringan. Peningkatan ini pada

Page 45: BAB I-IV (1)

45

gilirannya akan menimbulkan edema dependen, kenaikan tekanan

vena jugularis dan bahkan edema paru yang mengganggu

pernafasan serta oksigenasi. Retensi air dapat menyebabkan

intoksikasi air (Pembengkakan sel) namun, tidak semua kasus

intoksikasi air lebih cenderung terjadi jika diberikan cairan infuse

yang hipotonik, seperti larutan glukosa (dekstrosa). (Jourdan, 2004)

h) Reaksi hipersensitivitas

b. Misoprostol

Efek samping misoprostol untuk pencegahan perdarahan

postpartum tergantung dosis yang diberikan. Suatu studi melaporkan

efek samping yang terjadi yaitu demam dan menggigil pada pemberian

misoprostol 400 mcg yang diberikan setelah penjepitan talipusat

menurun dari 11% menjadi 4%. Studi lain menyatakan jika

misoprostol diberikan 400 mcg atau 200 mcg diberikan per rectal

terjadi 7% insidensi menggigil. (UM et al., 2009).

Adapun efek samping yang paling umum terjadi pada

pemberian misoprostol menurut Goldberg et al., (2001) adalah

a) Diare

Efek samping pemberian misoprostol yang terjadi adalah

diare (3%). (Carpenter, 2001). Diare juga merupakan hal yang

mungkin terjadi setelah pemberian misoprostol akan tetapi,

biasanya dapat diatasi dengan sendirinya setelah 1 hari. (Gynuity

Health Projects, 2007).

Page 46: BAB I-IV (1)

46

b) Mual dan muntah

Insidensi muntah (8%) pada pemberian misorostol.

(Carpenter, 2001). Peningkatan kontraktilitas traktus

gastrointestinal keadaan ini akan menimbulkan diare, muntah, dan

kram abdomen. (Jourdan, 2004). Mual dan muntah bisa terjadi 2

sampai 6 jam setelah pemberian misoprostol. Jika dibutuhkan

maka diberikan anti emetic (anti mual)

c) Nyeri perut

Kram atau nyeri perut, biasanya terjadi setelah melahirkan,

biasanya tejadi dalam beberapa jam pertama dan mungkin mulai

terjadi setelah 30 menit pemberian misoprostol. Nonsteroidal anti-

inflammatorydrugs (NSAIDs) atau analgesia lain dapat digunakan

untuk menghilangkan rasa sakit tanpa mempengaruhi keberhasilan.

(Gynuity Health Projects, 2007)

d) Demam

Insidensi demam (suhu> 38C) adalah 2 sampai 34%.

(Carpenter, 2001) Insidensi Efek samping demam lebih sedikit

dibandingkan dengan menggigil, dan demam belum tentu

menunjukkan infeksi. Peningkatan suhu tubuh sering didahului

dengan menggigil, puncaknya terjadi 1-2 jam setelah pemberian

misoprostol, dan secara bertahap berkurang dalam waktu 2-8 jam.

jika dibutuhkan, antipiretik dapat digunakan untuk menghilangkan

demam. Jika demam atau menggigil berlangsung setelah 24 jam,

Page 47: BAB I-IV (1)

47

pasien harus diberi tindakan medis untuk menghindari infeksi.

(Gynuity Health Projects, 2007)

Normalnya prostaglandin bekerja pada hipotalamus untuk

menimbulkan panas (pireksia) ketika terjadi infeksi. Pireksia

dengan kenaikan suhu yang melebihi 1oC terjadi pada 34% pasien

yang mendapatkan misoprostol oral untuk pencegahan postpartum.

Efek ini biasanya bersifat sepintas dan akan hilang dalam waktu

beberapa jam setelah pemberian berakhir. (Jourdan, 2004).

Prostaglandin PGE2 dan 15 metil PGF2α yang

meningkatkan suhu tubuh sekilas dan diduga kerjanya melalui

pusat pengatur suhu di hipotalamus. (Ganiswara, 1995)

Dalam otak prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap

zat-zat pirogen berasal dari bakteri (infeksi). Prostaglandin ini

menstimulasi pusat regulasi suhu di hipotalamu dan menimbulkan

demam. (Tjay & Rahardja, 2007)

Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh diatas normal

sebagai akibat peningkatan pusat pengaturan suhu di hipotalamus

yang dipengaruhi oleh Interlukein-1. Pengaturan suhu pada

keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara

produksi dan pelepasan panas.

Demam disebabkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen.

Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan

sel tertentu lainya secara langsung atau dengan perantaraan

Page 48: BAB I-IV (1)

48

pembuluh limfe masuk sistem sirkulasi dan dibawa ke

hipotalamus. Didalam pusat pengendalian suhu tubuh pirogen

endogen menimbulkan perubahan metabolic, antara lain sintesis

prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian

suhu tubuh sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan

untuk suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian

mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan

aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi

aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam.

(IDAI, 2008)

e) Mengigil

Jalur pemberian oral dapat berhubungan dengan menggigil

(19 sampai 62%). (Carpenter, 2001) Menggigil merupakan efek

samping yang paling umum terjadi dari pemberian misoprostol

selama postpartum, terjadi dalam satu jam pemberian dan efek

samping sementara akan mereda setelah 2-6 jam setelah

melahirkan. (Gynuity Health Projects, 2007)

Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan

vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan vasokonstriksi

dengan menggigil sebagai respons terhadap kenaikan suhu tubuh.

Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf memegang peranan

penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh.

Page 49: BAB I-IV (1)

49

Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat,

pusat pengatur suhu di hipotalamus mempengaruhi serabut saraf

eferen dari sistem saraf autonom untuk melebarkan pembuluh

darah. Peningkatan aliran darah di kulit menyebabkan pelepasan

panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit ke sekitarnya

dalam bentuk keringat. Di lain pihak, ada lingkungan dingin,

penurunan aliran peredaran darah dikulit (vasokonstriksi) akan

mempertahankan suhu tubuh. Hipertermia maligna adalah keadaan

patologis, ditandai adanya peningkatan produksi panas yang tidak

terkendali. (IDAI, 2008)

c. Oksitosin dan misoprostol

Penelitian multicenter WHO melakukan randomisasi trial dalam

penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dengan pemberian oksitosin 10

IU intramuskuler dibandingkan dengan misoprostol 600 mcg oral

menunjukkan misoprostol memiliki efektivitas yang sama dengan

oksitosin atau metilergometrine dalam mengurangi perdarahan jika

diberikan sebagai manajemen aktif kala tiga dalam persalinan.

Dibandingkan dengan perempuan yang menerima oksitosin,

perempuan yang menerima misoprostol 600 mcg peroral segera setelah

persalinan memiliki jumlah kehilangan darah yang lebih besar,

membutuhkan uterotonika lain dan memiliki insidens mengalami

peningkatan suhu dan menggigil. (Gulmezoglu et al., 2001)

Page 50: BAB I-IV (1)

50

Penelitian Amant tahun 1999 membandingkan efektifitas dan

efeksamping misoprostol oral dibandingkan dengan metilergometrine

intravena dalam pencegahan perdarahan postpartum. Hasil penelitian ini

menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap perdarahan pasca

persalinan, namun misoprostol berhubungan dengan efeksamping yang

lebih besar. (Capenter, 2001)

Menurut Shresta et al., (2011) Dalam journal Rectal Misoprostol

versus Intramuscular Oksitosin for prevention of postpartum Hemorrhage

adapun hasil penelitianya adalah efeksamping dalam 6 jam diantara

kelompok misoprostol dan oksitosin secara statistik terdapat kemiripan

secara signifikan. Sedangkan efeksamping yang timbul antara kelompok

misoprostol dan oksitosin dalam 24 jam secara statistik tidak signifikan

Tabel 2.2

Efeksamping antara misoprostol dan oksitosin

Efek samping dalam 6 jam

Misoprostol Oksitosin

Tidak ada efek samping

73 % 87%

Demam dengan menggigil

25 % 10 %

Nyeri perut 2% 3%

Efek samping dalam 24 jam

Misoprostol Oksitosin

Tidak ada efek samping

77 % 89%

Demam dengan menggigil

16 % 4%

Nyeri perut 7% 7%

Page 51: BAB I-IV (1)

51

Perbedaan yang agak menonjol adalah pada efek samping obat

terutama menggigil, sedangkan mual ditemukan 5 kasus pada penggunaan

misoprostol dan 1 kasus pada penggunaan oksitosin. Menurut Nissen, efek

samping misoprostol yang terbanyak adalah diare diikuti mual dan

muntah. Hal ini disebabkan misoprostol menyebabkan kontraksi otot polos

longitudinal traktus gastrointestinal tetapi relaksasi pada otot polos

sirkuler. Pada penelitian ini tidak ditemukan efek samping berupa diare.

Untuk efek samping misoprostol berupa menggigil, pada

farmakokinetika dari misoprostol belum pernah disebutkan penyebabnya.

Tetapi pada penelitian El-Refaey ditemukan kejadian menggigil 62%.

Tidak dilakukan tindakan atau terapi untuk mengatasi menggigil, karena

tidak dikatakan tidak menimbulkan morbiditas, hanya perasaan yang tidak

menyenangkan. Terjadi sekitar 20 menit setelah menelan obat

(misoprostol) dan berlangsung selama 10-15 menit.

Pada penelitian ini, dari 120 kasus misoprostol, didapatkan 14 kasus

dengan menggigil (11,7 %). Seluruhnya berlangsung 10-15 menit dan

tidak ada tindakan tambahan yang diberikan. Menurut WHO insidensi

menggigil pada persalinan normal tanpa intervensi 10% sehingga efek

samping obat berupa menggigil masih harus dilihat lagi, apakah

disebabkan oleh misoprostol. Apakah menggigil disebabkan oleh

Page 52: BAB I-IV (1)

52

misoprostol, maka farmakokinetikanya yang dapat menerangkan adalah

bahwa misoprostol ini bereaksi menimbulkan proses inflamasi berupa

demam.

Demam tersebut menimbulkan meggigil pada kasus pemakaian

misoprostol. Dari 13 kasus misoprostol yang didapatkan menggigil hanya

7 kasus yang mengalami kenaikan temperatur, sedangkan lainnya tetap

atau turun. ( Dasuki., et al 2010)

Adapun meggigil dapat ditemukan jika misoprostol digunakan dalam

dosis tinggi. efek samping penggunaan rectal untuk pencegahan

perdarahan postpartum, Khan et al menunjukkan bahwa mengigil terjadi

73 % pada pemberian rectal dan 95% pada pemberian oral.

Adapun Analisis berdasarkan efeksamping antara misoprostol dan

oksitosin mennunjukkan demam dan menggigil dengan frekuensi paling

tinggi pada kelompok misoprostol 41% sedangkan oksitosin 14%. Dan

nyeri perut terjadi pada kelompok misoprostol dan oksitosin. ketika

pasien mengalami menggigil dapat diberikan selimut. Demam dan

menggigil yang terjadi pada kelompok prostaglandin E (misoprostol) yang

terjadi di pusat termoregulator. (Shrestha, 2011)

6. Penyimpanan

a. Oksitosin

Oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan

methylergometrine. Jika oksitosin, ergometrine & methylergometrine

Page 53: BAB I-IV (1)

53

disimpan dalam rantai dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau

dalam keadaan tidak terkena cahaya, jumlah zat aktifnya tidak akan

menghilang. Namun, jika disimpan dalam suhu yang lebih tinggi dan

terkena cahaya, oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan

ergometrine dan methylergometrine. Secara penglihatan ergometrine

dapat terdeteksi jika kehilangan zat aktifnya, yaitu larutan ergometrine

akan kehilangan bahan aktifnya kurang dari 90 %.

Ergometrine dan methylergometrine sangat sensitif terhadap

cahaya. Kedua obat tersebut harus disimpan dalam keadaan gelap atau

tidak terkena cahaya dan akan kehilangan zat aktifnya jika terpapar

cahaya dalam waktu yang singkat.

Perbedaan kestabilan antara oksitosin, ergometrine dan

methylergometrine sangat penting jika terpapar cahaya. Penulis

menemukan bahwa ergometrine dan methylergometrine akan cepat

kehilangan potensinya jika terpapar cahaya bahkan cahaya langsung .

Rata-rata ergometrine dan methylergometrine akan kehilangan potensi

zat aktifnya sebesar 21% dan 27 % dari masing-masing obat tersebut

akan kehilangan zat aktifnya selama satu bulan penyimpanan jika

terpapar cahaya tidak langsung. Oksitosin tidak menunjukkan banyak

kehilangan potensi jika dilakukan uji yang sama. Penulis

menyimpulkan bahwa oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan

ergometrine dan methylergometrine, karena oksitosin tidak memiliki

efek buruk jika terpapar cahaya.

Page 54: BAB I-IV (1)

54

Tabel 2.3

Kesimpuan studi simulasi tentang kestabilan obat oksitosika

dibawah kondisi tropis

Rata-rata zat aktif setelah 12 bulan

penyimpanan

Gelap, 4-8 oC

Gelap, 30 oC

Terkena

cahaya

21-25 oC

Ergometrine Kehilangan

5 %

Kehilangan

31 %

Kehilangan

90 %

Methylergometrine Kehilangan

4 %

Kehilangan

18 %

Kehilangan

90 %

Oksitosin Kehilangan

0 %

Kehilangan

14 %

Kehilangan

7 %

Nilai rata-rata presentase kehilangan potensi berdasarkan zat aktifnya.

WHO dalam penelitianya menyimpulkan bahwa obat uterotonika

dapat disimpan dalam dua minggu jika suhu 400 C atau satu bulan

dengan suhu 300 C selama tidak menyebabkan efek yang serius tentang

Page 55: BAB I-IV (1)

55

potensi obat oksitosika tersebut. Oleh karena itu, obat oksitosika

tersebut tidak didinginkan dari pemasok atau central store yang tidak

akan menimbulkan efek yang signifikan tentang potensi obat

oksitosika injeksi. Dalam kasus tidak tersedia rantai dingin atau cold

chain, oksitosin dan ergometrine mungkin sementara waktu

penyimpanannya tidak pada rantai pendingin maksimum selama 3

bulan dengan suhu tidak melebihi 300 C.

Oleh sebab itu dalam peningkatan efektivitas, kestabilan yang

lebih baik, kontraindikasi dan efeksamping yang lebih sedikit dan

biaya yang sama. WHO merekomendasikan oksitosin sebagai obat

pilihan utama yang diberikan pada manajemen aktif kala tiga

persalinan di negara-negara berkembang. Jika oksitosin tidak tersedia,

ergometrine boleh digunakan jika penyimpananya baik dan tidak

terkena cahaya. (www.pphprevention.org/files/Practicalguidance-

secure_00.)

Penyimpanan oksitosin harus ditempat yang tidak terkena dengan

cahaya diantara 4-22 oC, misalnya didalam lemari es. ( Jourdan, 2004)

Page 56: BAB I-IV (1)

56

Bagan 2.1

Pemilihan obat oksitosika

Jika oksitosin dan ergometrine tersedia

Lemari pendingin?

(2-8 o C)

IYA

Kontraindikasi untuk ergometrine?

IYA

OKSITOSIN

TIDAK

PENYIMPANAN*

Lokasi:

Central drug store Labor/delivery

unit Postpartum unit

Selama pengangkutan

CAHAYA OKSITOSIN

GEL

Kontraindikasi untuk ergometrine?

TIDA

OKSITOSIN ATAU ERGOMETRINE **

T

IYA OKSITOSIN

Page 57: BAB I-IV (1)

57

b. Misoprostol

Misoprostol telah tersedia dalam bentuk tablet yang mempunyai

masa aktif obat adalah 18-36 bulan. Dan penyimpanan oksitosin dalam

suhu dibawah 25-30 oC (77 - 86 oF) disimpan dalam tempat yang

kering. Dan misoprostol stabil pada suhu ruangan.

7. Sumber daya

Apabila ditinjau dari segi ekonomis dan biaya, penggunaan

misoprostol per rectal lebih mahal dari pada oksitosin intramuskuler, tetapi

misoprostol mempunyai keuntungan yaitu: lebih praktis dalam hal cara

pemberian, penyimpanan mudah, dan tidak perlu keahlian dalam

pemakaian. (Manu, 2004)

Dengan mempertimbangkan masih banyak persalinan dilakukan

penolong belum benar-benar terampil dan tanpa pengetahuan penggunaan

oksitosin yang standar, misoprostol dapat menjadi uterotonika alternatif

untuk menurunkan kejadian perdarahan pasca persalinan secara global.

(Situmorang, 2009)

Untuk melaksanakan pemberian oksitosika secara rutin pada

manajemen kala tiga di Negara-negara asia tenggara perlu

dipertimbangkan masalah biaya. Komponen biaya bukan hanya meliputi

Page 58: BAB I-IV (1)

58

biaya pelatihan dan biaya obat, tetapi juga biaya penyimpanan (lemari es),

penyimpanan persediaan dan transportasi. (IBI, 2006).

Dalam jurnal Misoprostol and active management of the third stage

of labor yang melakukan penelitian tentang penggunaan misoprostol 600

mcg per oral dalam manajemen aktif kala tiga persalinan, didapatkan hasil

penelitian bahwa wanita yang diberikan misoprostol 11% lebih sedikit

kehilangan darah 500 ml. Sehingga dapat dipertimbangkan pemberian

misoprostol ketika oksitosin tidak tersedia (Prata et al., 2006)

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan

praktik bidan bahwa bidan tidak berwenang dalam pemberian misoprostol.

Dan bidan hanya berwenang untuk pemberian uterotonika pada

manajemen aktif kala tiga dan postpartum.

USP Expert Advisory Panel merekomendasikan misoprostol sebagai

alternative dalam mengurangi insidens perdarahan pasca persalinan,

terutama pada kondisi tidak tersedia oksitosin dan obat uterotonik lainnya.

karena adanya pengaruh yang dihasilkan oleh misoprostol terhadap

kontraksi uterus dan penipisan serviks dapat digunakan untuk pencegahan

dan penanganan perdarahan postpartum. (Carpenter, 2001)

Page 59: BAB I-IV (1)

59

BAB III

PEMBAHASAN

A. Konsep perdarahan postpartum

Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa

perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak yang

terjadi segera setelah persalinan setelah bayi lahir hingga 6 minggu setelah

persalinan yang dapat mengganggu kesejahteraan ibu seperti ibu menjadi

lemas bahk dalam keadaan pre syok atau syok. Sehingga, seorang bidan

harus cepat dan tanggap untuk melakukan intervensi jika terjadi perdarahan

postpartum.

Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum

primer sebesar 70-85 %. Atonia uteri adalah keadaan otot uterus tidak

mengalami retraksi dan kontraksi yang kuat sehingga pembuluh darah

terbuka.

Page 60: BAB I-IV (1)

60

Deteksi dini komplikasi selama kehamilan dan persalinan sangat

penting bagi bidan, sehingga kemungkinan terjadi perdarahan postpartum

akan segera diantisipasi segera sebelum kelahiran terjadi.

Pada kasus-kasus perdarahan pasca persalinan dapat diramalkan

seperti kasus kelahiran bayi besar, uterus yang overdistensi kemungkinan

besar akan menjadi hipotonik setelah persalinan. Sehingga, wanita dengan

janin yang besar, janin lebih dari satu atau hamil kembar, hidramanion,

partus lama, induksi/stimulasi, cenderung mengalami perdarahan karena

atonia uteri.

Suatu meta-analisa dari studi-studi tersebut, yang tersedia melalui

database Cochrane dan WHO reproductive Health Library (Kesehatan

Reproduksi WHO) menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan

berkurangnya kehilangan darah ibu (termasuk perdarahan post partum biasa

hingga berat), berkurangnya anemia setelah persalinan dan berkurangnya

kebutuhan terhadap trasfusi darah. WHO merekomendasikan pengelolaan

aktif Kala III untuk setiap persalinan ( Shane, 2002)

B. Oksitosin

Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa

oksitosin endogen adalah suatu hormon alami yang diproduksi oleh

hipotalamus dan diekskesikan oleh kelenjar hipofisis posterior.

Oksitosin baik endogen maupun eksogen bekerja pada reseptor di

uterus yaitu miometrium dan desidua (endometrium) dan payudara.

59

Page 61: BAB I-IV (1)

61

Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi otot polos uterus dan kelenjar

payudara sehingga, oksitosin memiliki peranan dalam proses persalinan dan

pengeluaran air susu.

Namun, jumlah oksitosin endogen adalah tidak cukup untuk

mencegah perdarahan pasca persalinan sehingga dibuat suatu oksitosin

sintetik (oksitosin eksogen) untuk digunakan sebagai preparat uterotonika

dalam mencegah perdarahan postpartum. (Situmorang, 2009) Bentuk

sintesis oksitosin (pitocin, Oxytocin, Syntocinon) menstimulasi kontraksi

uterus.

Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus sehingga dapat

mengontrol perdarahan postpartum. Sehingga oksitosin eksogen merupakan

obat uterotonika yang utama digunakan secara rutin pada kala tiga

persalinan untuk membantu pelepasan plasenta dan mencegah perdarahan

postpartum primer.

C. Misoprostol

Misoprostol termasuk dalam golongan hormon prostaglandin yang

dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penipisan serviks. Misoprostol

telah di pasarkan sejak 1985 dengan merek Cytotec®. (Fiala & Weeks,

2005)

Misoprostol adalah sintetis dari analog prostaglandin E1. Pada

awalnya misoprostol digunakan untuk mencegah ulkus lambung akibat

penggunaan obat anti inflamasi non steroid.

Page 62: BAB I-IV (1)

62

FDA (Food And Drug Administration) hanya menerima dan

menganjurkan untuk digunakan sebagai pencegahan ulkus lambung akibat

penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Dan secara off label misoprostol

menjadi obat yang penting dalam bidang obstetri dan ginekologi karena

efeknya terhadap kontraksi uterus dan penipisan serviks.

Searle, selaku manufaktur dari misoprostol pada tahun 2000 telah

mengeluarkan peringatan tertulis kepada seluruh provider kesehatan di

Amerika yang berisikan peringatan pemberian misoprostol untuk wanita

hamil dan juga untuk penggunaan di bidang kebidanan. Karena

didapatkanya laporan kejadian rupture uteri setelah penggunaanya pada

induksi persalinan di beberapa negara.

Namun, The American College of Obstetricians and Gynecologists

(ACOG), kemudian mengungkapkan persetujuanya terhadap penggunaan

misoprostol ini untuk induksi persalinan.

D. Efektivitas pemberian oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan

perdarahan postpartum primer

1. Cara kerja oksitosin dan misoprostol

Seperti yang dikemukakan oleh Fitrianingsih & Zulkoni (2009)

Oksitosin bekerja pada membrane sel otot polos uterus sehingga

merangsang pelepasan sel yang akan menyebabkan kontraksi uterus.

Sedangkan cara kerja misoprostol seperti yang dikemukakan oleh

Manu (2004) Sampai sekarang literatur mengenai cara kerja

Page 63: BAB I-IV (1)

63

misoprostol untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan masih

terbatas. Pada pemakaian per oral, efek didapatkan secara sistemik

untuk mencapai reseptornya di uterus sedangkan pada pemakaian

secara vaginal memberikan efek secara topical.

Pada pemakaian misoprostol per rectal, obat akan diserap

melalui mukosa rectal dan akan masuk ke sirkulasi darah, sehingga

uterus akan berkontraksi (target organ) melalui peningkatan hubungan

kesenjangan (gap junction) dan peningkatan kadar Ca 2+ intraceluler,

peningkatan reseptor oksitosin, peningkatan actin-miosin sehingga

terjadi kontraksi miometrium.

2. Waktu atau onset bekerja oksitosin dan misoprostol

Oksitosin memiliki onset bekerja lebih cepat dibandingkan

dengan misoprostol. Oksitosin bekerja dalam 2,5 menit yang diberikan

secara intramusculer. Sedangkan misoprostol memiliki onset reaksi

paling cepat yaitu misoprostol per oral bekerja dalam 8 menit

dibandingkan dengan misoprostol per sublingual, vaginal dan rectal.

3. Cara pemberian dan dosis

a. Oksitosin

Oksitosin dapat diberikan secara rutin pada setiap persalinan

yang telah direkomendasikan oleh WHO. Obat-obatan oksitosika

yang mengandung oksitosin syntetik yang diberikan pada

Page 64: BAB I-IV (1)

64

manajemen aktif kala tiga persalinan efektif mencegah terjadinya

perdarahan postpartum. Intervensi yang dilakukan dengan pemberian

10 IU oksitosin secara intramuskuler segera satu menit setelah bayi

lahir. Dan dikontraindikasikan jika terdapat janin kedua.

b. Misoprostol

Dosis penggunaan misoprostol untuk pencegahan perdarahan

pasca persalinan yang telah direkomendasikan adalah misoprostol

400-600 mcg peroral atau rectal, yang diberikan segera setelah bayi

lahir dan sebelum plasenta lahir.

a) Misoprostol per oral

Pada semua rute pemberian, absorpsi terjadi sangat cepat

tetapi yang paling cepat bila misoprostol diberikan secara oral

(mencapai konsenterasi puncak setelah 12 menit, waktu paruh

20-30 menit). (Fiala & Andrew Weeks, 2005)

Banyak penelitian yang menyatakan bahwa dengan

pemberian misoprostol per oral dapat menurunkan insidensi

perdarahan postpartum. Seperti yang dikemukakan oleh Dasuki,

et al. (2010) dalam penelitian yang dilakukan secara uji klinik

ajak terkontrol tentang perbandingan efektivitas misoprostol 600

mcg per oral dengan 10 IU secara intramuskular didapatkan hasil

penelitian efektifitas misoprostol per oral tidak berbeda baik

dengan oksitosin untuk prevensi perdarahan postpartum dalam

Page 65: BAB I-IV (1)

65

hal rata-rata lama kala tiga, jumlah perdarahan kala tiga jumlah

perdarahan kala empat.

b) Misoprostol per rectal

Misoprostol per rectal juga efektif untuk menurunkan

insidensi perdarahan postpartum seperti yang dikemukakan oleh

Royadi, et al. (2010) bahwa misoprostol 400 mcg per rektal

mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap jumlah

perdarahan kala 1V dibandingkan misoprostol 400 mcg per

bukkal.

Hal ini disebabkan karena lapisan epitel di mukosa

rectum lebih tipis dan tidak berkreatin. Pada pemberian obat

melalui bukkal penyerapan obat lebih lambat karena lapisan

epitel bukkal lebih tebal dibandingkan mukosa rectum walaupun

juga tidak berkreatin. Keuntungan pemberian cara rectal adalah

bisa diberikan pada penderita yang mengalami gangguan

pencernaan seperti mual, muntah, tidak sadar pada penderita

pasca bedah.

4. Efek samping

Menurut berbagai literatur yang telah penulis sampaikan bahwa

bahwa efek samping yang terjadi pada kelompok oksitosin lebih kecil

dibandingkan dengan kelompok misoprostol untuk pencegahan

perdarahan postpartum primer.

Page 66: BAB I-IV (1)

66

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gulmezoglu et

al., (2001) perempuan yang menerima misoprostol 600 mcg peroral

segera setelah persalinan memiliki insidens mengalami peningkatan suhu

dan menggigil. Beberapa hasil studi menemukan bahwa misoprostol

seefektif oksitosin, tetapi disertai dengan menggigil dan suhu tubuh

meningkat. (Shane, 2002)

Hal ini diperkuat oleh Shresta et al., (2011) Dalam journal Rectal

Misoprostol versus Intramuscular Oxytocin for prevention of postpartum

Hemorrhage hasil penelitianya adalah efeksamping lebih besar pada

kelompok misoprostol. Efek samping yang terjadi adalah

a. Demam dan menggigil sebesar 25 % pada kelompok misoprostol

sedangkan 10 % pada kelompok oksitosin pada 6 jam pertama.

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Dasuki, et

al. (2010) tentang perbandingan efektivitas misoprostol 600 mcg per oral

dengan 10 IU secara intramuskular dinyatakan bahwa perbedaan yang

agak menonjol adalah pada efek samping obat terutama menggigil.

Pada penelitian ini, dari 120 kasus misoprostol, didapatkan 14

kasus dengan menggigil (11,7 %). Seluruhnya berlangsung 10-15 menit

dan tidak ada tindakan tambahan yang diberikan. Dari 13 kasus

misoprostol yang didapatkan menggigil hanya 7 kasus yang mengalami

kenaikan temperatur, sedangkan lainnya tetap atau turun.

Page 67: BAB I-IV (1)

67

Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan

vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan vasokonstriksi dengan

menggigil sebagai respons terhadap kenaikan suhu tubuh. (IDAI, 2008)

Dalam otak prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zat-

zat pirogen berasal dari bakteri (infeksi). Prostaglandin ini menstimulasi

pusat regulasi suhu di hipotalamu dan menimbulkan demam. (Tjay &

Rahardja, 2007)

b. Nyeri perut

Nyeri perut sebesar 2% pada kelompok misoprostol sedangkan

3% pada kelompok oksitosin. Oksitosin menyebabkan mual, sakit kepala

dan nyeri setelah persalinan.

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Situmorang

(2009) Tidak dijumpai subyek yang mengeluhkan efek samping pada

kelompok misoprostol, sedangkan pada kelompok oksitosin dijumpai 2

subyek (6,6%) mengeluhkan nyeri kepala.

Kram atau nyeri perut, biasanya terjadi setelah melahirkan,

biasanya tejadi dalam beberapa jam pertama dan mungkin mulai terjadi

setelah 30 menit pemberian misoprostol. Nonsteroidal anti-

inflammatorydrugs (NSAIDs) atau analgesia lain dapat digunakan untuk

menghilangkan rasa sakit tanpa mempengaruhi keberhasilan. (Gynuity

Health Projects, 2007)

Page 68: BAB I-IV (1)

68

Adapun efek samping yang paling umum terjadi pada pemberian

misoprostol menurut Carpenter (2001) adalah diare (3 %), muntah (8%),

Nyeri perut, demam (2 sampai 34%) , Mengigil (19 sampai 62%).

5. Penyimpanan

Penyimpanan obat-obatan oksitosika sesuai dengan standar harus

selalu diperhatikan. Penyimpanan oksitosin disarankan pada rantai

dingin atau cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak

terkena cahaya, sehingga jumlah zat aktifnya tidak akan menghilang.

Oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine dan

methylergometrine. ergometrine dan methylergometrine akan cepat

kehilangan zat aktifnya jika tidak disimpan dalam rantai dingin atau

cold chain dengan suhu 4-8 OC atau dalam keadaan tidak terkena cahaya.

Sehingga penyimpanan oksitosin yang tidak pad rantai dingin atau cold

chain dapat disimpan dalam dua minggu jika suhu 400 C atau satu bulan

dengan suhu 300 C.

Rata-rata ergometrine dan methylergometrine akan kehilangan

potensi zat aktifnya sebesar 21% dan 27 % dari masing-masing obat

tersebut akan kehilangan zat aktifnya selama satu bulan penyimpanan

jika terpapar cahaya tidak langsung

Pemakaian oksitosin secara luas di berbagai tempat persalinan

harus menjadi tujuan utama. Namun oksitosin mempunyai keterbatasan

dalam penyimpanannya dan sedikit lebih mahal dari pada misoprostol.

Page 69: BAB I-IV (1)

69

Jika keadaan ini menjadi kendala, maka pemakaian misoprostol dapat

dipertimbangkan.

Penyimpanan misoprostol lebih mudah dibandingkan dengan

oksitosin. Misoprostol tidak memerlukan rantai dingin, misoprostol

stabil pada suhu ruangan dengan suhu dibawah 25-30 oC (77 - 86 oF)

disimpan dalam tempat yang kering.

6. Sumber daya

Asuhan kebidanan yang berkualitas khususnya selama

tatalaksana aktif persalinan kala tiga dapat memberikan kenyamanan

bagi ibu, sehingga bidan dapat mepertimbangkan pemilihan obat

uterotonika yang utama untuk profilaksis perdarahan postpartum

tergantung pada penilaian klinis dari pemberi pelayanan kesehatan,

tersedianya pilihan obat, dan pertimbangan antara manfaat dan efek

sampingnya.

Oksitosin memerlukan tenaga terlatih, memerlukan jarum suntik

steril sedangkan misoprostol melihat cara pemberian yang mudah, tanpa

memerlukan tenaga kesehatan, tanpa memerlukan jarum suntik dan

stabil dalam suhu kamar.

Oeh karena itu, misoprostol dapat dipertimbangkan sebagai

alternative dalam mengurangi insidens perdarahan pasca persalinan,

Page 70: BAB I-IV (1)

70

terutama pada kondisi tidak tersedia oksitosin dan obat uterotonik

lainnya.

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dengan jumlah banyak

terjadi segera setelah persalinan yang mengganggu kesejahteraan ibu

dan terlihat ibu menjadi lemas bahkan pre syok ataupun syok. Salah

satu intervensti yang penting untuk mencegah perdarahan postpartum

primer adalah penggunaan uterotonika seperti oksitosin dan

misoprostol yang merupakan bagian dari manajemen aktif kala tiga

persalinan.

2. Dalam tubuh manusia mengeluarkan oksitosin alami yang disebut

dengan oksitosin endogen, karena jumlahnya tidak cukup mencegah

perdarahan postpartum primer sehingga dibuat suatu oksitosin eksogen

atau oksitosin sintetik.

Page 71: BAB I-IV (1)

71

Pemberian oksitosin eksogen terutama dalam manajemen aktif kala

tiga persalinan lebih efektif pada ibu hamil yang beresiko seperti

anemia, grandemultipara, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya,

hamil kembar, dan bayi besar, hidramnion, dan partus lama.

Sedangkan oksitosin endogen lebih efektif diberikan pada ibu yang

tidak memiliki resiko untuk terjadinya perdarahan postpartum primer.

3. Misoprostol adalah sintetik dari analog prostaglandin E1, efeknya

dapat menstimulasi kontraksi uterus sehingga dapat digunakan untuk

mencegah perdarahan postpartum primer pada manajemen aktif kala

tiga persalinan.

4. Efektivitas oksitosin dan misoprostol untuk pencegahan perdarahan

postpartum primer berdasarkan cara kerja, waktu atau onset reaksi,

cara pemberian dan dosis, efeksamping, penyimpanan, dan

sumberdaya

a. Oksitosin bekerja pada otot polos uterus sehingga dapat

menstimulasi kontraksi uterus dan misoprostol dapat berinteraksi

dengan reseptor di dalam sel myometrim, yang dapat memicu

terjadinya kontraksi uterus.

b. Oksitosin memiliki onset reaksi yang lebih cepat dibandingkan

dengan misoprostol sehingga efektivitas oksitosin dalam hal onset

reaksi lebih baik dibandingkan dengan misoprostol.

c. Oksitosin dapat diberikan segera 1 menit setelah bayi lahir dengan

dosis 10 IU secara intramuskuler sedangkan dosis misoprostol 400-

Page 72: BAB I-IV (1)

72

600 mcg yang diberikan secara oralatau rectal. Misoprostol per oral

paling cepat diabsorpsi dibandingkan dengan pemberian

misoprostol sublingual, vaginal dan rectal.

d. Efek samping lebih besar pada kelompok misoprostol untuk

mencegah perdarahan postpartum primer. Demam dan menggigil

merupakan efeksamping yang paling menonjol. Sedangkan

efeksamping lainya nyeri perut.

e. Keefektifan oksitosin terhadap pencegahan perdarahan postpartum

primer memerlukan kedisiplinan dalam hal penyimpanan harus

menggunakan rantai dingin atau cold chain dengan temperatur 4-8

oC atau dalam keadaan tidak terpapar cahaya sehingga seluruh zat

aktif bisa dipelihara dengan baik.

Apabila disimpan dengan suhu yang lebih tinggi dan terpapar

cahaya, oksitosin lebih stabil dibandingkan dengan ergometrine

dan metylergometrine yang sangat sensitive terhadap cahaya yang

dalam waktu singkat akan kehilangan zat aktifnya. Apabila

terpapar cahaya tidak langsung tingkat kehilangan obat uterotonika

ergometrine dan methylergometrine 21-27 % dalam satu bulan.

Sedangkan misoprostol disimpan dalam tempat yang kering dan

tidak memerlukan rantai dingin.

f. Oksitosin harus diberikan oleh seorang penolong persalinan yang

terlatih, memerlukan jarum suntik steril dan memerlukan rantai

dingin atau cold chain dalam hal penyimpananya sedangkan

Page 73: BAB I-IV (1)

73

misoprostol bisa dilakukan sendiri tanpa memerlukan tenaga

terlatih, mudah cara pemberianya dan tanpa memerlukan jarum

suntik steril.

B. Rekomendasi

1. Bagi Produsen ( Tempat penyimpanan awal)

Harus memperhatikan peraturan-peraturan bagaimana penyimpanan

oksitosin harus disimpan dalam rantai dingin dengan suhu 4-8 oC

sampai ke konsumen dalam kondisi cold chain atau dalam keadaan

tidak terpapar cahaya. Sedangkan misoprostol dalam hal penyimpanan

tidak memerlukan rantai dingin sehingga disimpan dalam suhu

ruangan.

2. Bagi Petugas kesehatan khususnya bidan (Pengguna oksitosin)

Untuk petugas kesehatan khusunya bidan wajib menyiapkan

penyimpanan oksitosin baik dari segi temperature dengan suhu 4-8 oC

dan tidak terpapar cahaya, apabila sistem ini tidak terlaksana

hendaknya oksitosin tidak digunakan untuk pencegahan perdarahan

postpartum primer karena akan kehilangan zat aktifnya.

3. Tempat-tempat pemberi pelayanan khusunya Rumah Bersalin

Page 74: BAB I-IV (1)

74

Diperlukan lemari pendingin atau refrigerator untuk menyimpan

oksitosin dengan suhu 4-8 oC, jika tidak tersedia lemari pendingin

dapat disimpan selama 2 minggu dengan suhu 30 oC dan 1 bulan

dengan suhu 40 oC.

4. Bagi Pembuat kebijakan

Diperlukan adanya pertimbangan pemberian misoprostol sebagai

uterotonika alternatif untuk menurunkan kejadian perdarahan

postpartum primer secara gobal khususnya di beberapa tempat yang

mungkin pemberian intervensi manajemen aktif kala tiga secara penuh

tidak memungkinkan karena masih banyak persalinan yang dilakukan

penolong yang belum benar-benar terampil dan tanpa pengetahuan

penggunaan oksitosin yang standar, tidak adanya rantai dingin atau

cold chain dan jarum suntik yang steril, sehingga penggunaan

oksitosin tidak memungkinkan.

5. Bagi mahasiswa

Perkembangan ilmu pengetahuan mengenai pemberian uterotonika

seperti oksitosin dan misoprostol efektif untuk mencegah perdarahan

postpartum primer dalam manajemen aktif kala tiga persalinan terus

berkembang melalui berbagai penelitian. Oleh karena itu, mahasiswi

diharapkan untuk terus meningkatkan pengetahuan dengan mengikuti

perkembangan dari penelitian-penelitian tersebut.

Page 75: BAB I-IV (1)

75