3. Bab i - IV Rev i
-
Upload
anggie-pradetya-maharani -
Category
Documents
-
view
238 -
download
0
description
Transcript of 3. Bab i - IV Rev i
I. PENDAHULUAN
Pada referat ini akan dibahas menegenai Toxic epidermal necrolisis
(TEN), yang juga dikenal sebagai lyell’s syndrome. Pembahasan meliputi definisi,
epidemiologi di dunia dan di Indonesia, etiopatogenesisi, klasifikasi, gejala klinis,
diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana dan prognosis. Namun, untuk
memahami TEN, terlebih dahulu akan disajikan mengenai anatomi dan fisiologi
kulit secara umum.
1
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT
2.1. Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar
16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 –
1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm
tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak
mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit
tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong.1
Kulit melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benteng pertahanan
terhadap bakteri, virus dan jamur. Kehilangan panas dan penyimpanan panas
diatur melalui vasodilatasi pembuluh darah kulit atau sekresi kelenjar keringat.
Setelah kehilangan seluruh kulit, maka cairan tubuh yang penting akan menguap
dan elektrolit-elektrolit yang penting akan menghilang dari tubuh dalam beberapa
jam saja. Contoh dari keadaan ini adalah penderita luka bakar. Bau yang sedap
atau tidak sedap dari kulit berfungsi sebagai pertanda penerimaan atau penolakan
sosial dan seksual. Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, dan
nyeri berkat jalinan ujung-ujung saraf yang bertautan. 1
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar
adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan
lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.1
Secara anatomis kulit tersusun atas 3 lapisan pokok terdiri dari : a. lapisan
epidermis, b. lapisan dermis, c. subkutis, sedangkan alat-alat tambahan juga
terdapat pada kulit antara lain kuku, rambut, kelenjar sebasea, kelenjar apokrin,
1 Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toxic. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:FKUI. 2010. p. 163-8.
2
dan kelenjar ekrin. Keseluruhan tambahan yang terdapat pada kulit dinamakan
appendices atau adneksa kulit. 1
2.1.1. EPIDERMIS
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari
epitel berlapis gepeng bertanduk (keratinosit), mengandung sel melanosit,
Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di
tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya
sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu.1
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang
terdalam) :
1. Stratum korneum (lapisan tanduk). Adalah lapisan kulit yang paling luar
dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). 1
2. Stratum lusidum. Terdapa langsung di bawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang
berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak
lebih jelas di telapak tangan dan kaki. 1
3. Stratum granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin. Terdapat sel Langerhans. 1
4. Stratum spinosum (Stratum malphigi). Disebut pula prickle cell layer
(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti
terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin
gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-
3
jembatan antar sel (intercelullar bridge) yang terdiri atas protoplasma dan
tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan-jembatan ini membentuk
penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel
spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel Stratum spinosum
mengandung banyak glikogen. 1
5. Stratum basale (Stratum germinativum).Terdiri atas sel-sel berbentuk
kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal
berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis
paling bawah.Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab
dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui
setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia
dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.1
Fungsi lapisan Epidermis diantaranya adalah proteksi barier, organisasi
sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi
oleh melanosit dan pengenalan alergen oleh sel Langerhans.1
2.1.2. DERMIS
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap
sebagai “True Skin”. Lapisan dermis ini paling tebal dapat dijumpai di punggung
dan paling tipis pada palpebra. Hubungan antara dermis dan epidermis ini tidaklah
sebagai bidang yang rata, tetapi berbentuk gelombang. Bagian dermis yang
menonjol ke dalam epidermis dinamakan pars papilare, sedangkan bagian
epidermis yang menonjol ke dermis disebut pars retikulare (rete ridge). Papila ini
pada telapak tangan dan jari-jari terutama tersusun linier yang memberi gambaran
kulit yang berbeda-beda sebagai dermatoglyphic (sidik jari). Bagian dermis
papiler ini tebalnya sekitar seperlima dari tebal dermis total. Bagian bawah dari
dermis papiler ini dinamakan dermis retikuler yang mengandung pembuluh darah
dan lymphe, serabut saraf, adneksa dan lainnya. 1
4
Dermis ini tersusun dari beberapa unsuratau organ yang meliputi: unsur
seluler, unsur fibrous, substansi dasar, pembuluh darah dan limfe, dan sistem
saraf. 1
1. Unsur seluler lebih banyak didapatkan pada stratum papillaris yang terdiri dari:
a) Fibroblast: merupakan sel pembentuk unsur untuk fibrous dan substansi
dasarnya. 1
b) Sel mast : merupakan sel pembentuk dan penyimpanan histamin dan
histamine like substance yang berperan dalam anafilaksis. 1
c) Makrofag : merupakan sel fagosit yang berfungsi memfagosit bahan-bahan
asing dan mikroorganisme. 1
d) Leukosit : Banyak dijumpai pada proses-proses peradangan yang dapat
berupa mononuklear ataupun granulosit. 1
2. Unsur fibrous lebih padat pada stratum retikularis dibandingkan pada stratum
papilaris. Unsur fibrous terdiri dari :
a) Kolagen : merupakan 70% dari berat kering seluruh jaringan ikat, serabut
ini terbentuk oleh fibroblast, tersusun atas fibrin dari rantai polypeptide.
Serabut ini bertanggung jawab pada ketegangan kulit merupakan unsur
pembentuk garis langer (cleavage line) 1
b) Elastin : Hanya 2 % dari berat kering jaringan ikat. Serabut elastin, ini
juga dibentuk oleh fibroblast tetapi susunannya lebih halus dibandingkan
dengan kolagen. Serabut elastin ini bertanggung jawab atas elastisitas
kulit. 1
c) Retikulin : Merupakan serabut kolagen yang masih muda dan hanyalah
dapat dilihat dengan pewarnakhusus. 1
3. Substansi dasar tersusun dari bahan mukopolisakaris (asam hialuronat dan
dermatan sulfat) yang juga dibentuk oleh fibroblast. Substansi dasar hanya
merupakan 0,1% dari berat kering jaringan ikat, tetapi substansi dasar ini
mampu menahan sejumlah air sehingga akan menempati ruang terbesar dari
dermis. 1
4. Pembuluh darah dan limfe
5
Fungsi dermis antara lain sebagai struktur penunjang, mechanical strength,
suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. 1
2.1.3. SUBKUTIS
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan
sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang
bertambah.1
Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain
oelh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa,
berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf
tepi, pembuluh darah, dan getah bening.Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama
bergantung pada lokalisasinya. Di abdomen dapat mencapat 3 cm, di daerah
kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan
bantalan. 1
Fungsi Subkutis/hipodermis antara lain sebagai melekat ke struktur dasar,
isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock
absorber.1
6
Gambar 1. Histologi kulit normal1
Gambar 2. Anatomi Kulit1
7
2.2. FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan,
sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), fungsi persepsi,
ekskresi dan metabolisme.1
Sebagai fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap
gangguan fisik atau mekanis misalnya tekanan, gesekan, dan tarikan. Gangguan
kimiawi misalnya oleh zat-zat kimia yang bersifat iritan seperti lisol dan karbol.
Kulit juga melindungi dari gangguan infeksi luar seperti infeksi jamur dan bakteri.
Hal ini dikarenakan kulit memiliki bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan
serabut-serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai pelindung terhadap
gangguan fisis. Kulit dilindungi dari radiasi ultraviolet oleh melanin. Melanin
adalah produk dari melanosit yang memberikan warna (pigmen) kecoklatan pada
kulit. Melanin dibentuk oleh melanosit dengan enzim tirosinase memainkan
peranan penting dalam proses pembentukannya. 1
Sebagai akibat dari kerja enzim tironase, tiroksin diubah menjadi 3,4
dihidroksiferil alanin (DOPA) dan kemudian menjadi dopaquinone, yang
kemudian dikonversi dan melalui beberapa tahap transformasi menjadi melanin.
Setelah terbentuk melanin akan ditransfer ke keratinosit yang merupakan sel-sel
pembentuk jaringan epidermis. Melanin akan berakumulasi di dalam sitoplasma
tepatnya di atas inti sel keratinosit. Akumulasi melanin di atas inti sel keratinosit
bertujuan melindungi nukleus dari efek radiasi ultraviolet. Nukleus yang
mengandung DNA di dalamnya dapat bermutasi apabila terpapar radiasi
ultraviolet. 1
Sinar yang sampai ke kulit di absorbsi oleh stratum korneum yang
mengandung protein (asam urokanik). Mekanisme proteksi berupa meningkatnya
proses mitosis epidermis setelah mengalami pajanan sinar matahari, menyebabkan
penebalan stratum korneum dalam waktu 4-7 hari. Meningkatnya kandungan
melanin dalam epidermis merupakan proteksi kulit tehadap keadaaan terbakar
matahari. Melanin dalam hal ini mepunyai peran mampu menyerap radiasi luar,
8
mampu mengamburkan radiasi sinar, menstabilkan radikal-radikal bebas yang
disebabkan radiasi sinar UV. 1
Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang
impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air, di samping itu terdapat lapisan
keasaman kulit yang melindungi kontak-kontak zat kimia dengan kulit. 1
Sebagai fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang
tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat dan amonia. Kulit juga memiliki fungsi persepsi karena kulit mengandung
ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas
diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin
diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil
Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan
Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan
diperankan oleh badan Paccini di epidermis. 1
Kulit melakukan peranan termoregulasi dengan cara mengeluarkan
keringat dan kontraksi otot pembuluh darah kulit. Sebagai fungsi metabolisme,
kulit dapat membentuk vitamin D dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol
dengan pertolongan sinar matahari.1
9
III. TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS (TEN)
3.1. DEFINISI
Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Toxic epidermal necrolisis (TEN)
merupakan dua penyakit yang sama, namun dengan tingkat keparahan yang
berbeda.2 TEN merupakan bentuk parah dari SSJ, dimana gejala klinis yang
terpenting adalah epidermolisis generalisata dan dapat disertai dengan kelainan
pada selaput lendir di orifisium dan mata. SSJ dan TEN disebabkan oleh alergi
obat dan merupakan kasus emergensi medis, dengan mortalitas dan morbiditas
yang cukup tinggi.1 SSJ juga merupakan suatu Adverse Drug Reaction (ADR),
dimana SSJ dan TEN dikategorikan kedalam Adverse Drug Reaction (ADR) tipe
IV (delayed).2
3.2. EPIDEMIOLOGI
Insidens SSJ semakin tahun semakin meningkat karena salah satu
penyebabnya adalah alergi obat, dan saat ini, semua obat dapat diperoleh secara
bebas. SSJ biasanya terjadi pada pasien dewasa. Meskipun begitu, SSJ dan TEN
masih tergolong kasus yang jarang, dengan insidens diperkirakan sebanyak 2-8
kasus per juta penduduk per tahun diseluruh dunia, tergantung dari posisi
geografis dan penggunaan obat di negara tersebut, dengan insidens tertinggi
terjadi pada musim panas dan awal musim semi. Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo – Universitas Indonesia sendiri mencatat kira – kira 12
pasien SSJ dan TEN setiap tahunnya.1 Rumah Sakit Kardinah Tegal mencatat
sebanyak 10 pasien baru (4 laki – laki dan 6 perempuan) yang didiagnosis SSJ
pada tahun 2012. Penelitian di Amerika Serikat, penggunaan sulfonamide,
NSAID, dan obat – obat anti epilepsi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya
SSJ dan TEN.2
2 Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology. 5th Ed. New Delhi: Aptara Inc. p.
121-4
10
Di Indonesia, di RS Ciptomangunkusumo – Universitas Indonesia Jakarta,
setiap tahun didapatkan kira – kira 12 pasien SSJ dan TEN, umumnya
3.3. ETIOPATOGENESIS
Banyak ahli menganggap SSJ dan TEN termasuk kedalam reaksi
hipersensitivitas tipe 4 (delayed) terhadap obat tertentu dengan alasan yang tidak
diketahui. Limfosit T Sitotoksik (CD8+ drug-specific cells), bersama dengan
Natural Killer T Cells, mencetuskan destruksi keratinosit (kematian sel
terprogram), yang menghasilkan pemisahan antara lapisan dermis dan epidermis.3
Secara umum, CD4 T Cells mendominasi di dermis bagian atas, sementara
CD8 T Cells dan makrofag hanya sebagai pelengkap, dan sel langerhans
menghilang secara nyata. Keratinosit mengekspresikan HLA-DR dan ICAM-1,
dan VCAM-1, dan E-Selectin. CD3 mengaktivasi T Cells untuk mengekspresikan
skin-homing receptor (cutaneous leukocyte antigen/CLA) di kulit dan darah
perifer paralel dengan keparahan penyakit dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-
A), IFN-Gamma, dan Interleukin-2 (IL-2) diekspresi secara berlebihan di dalam
darah, hal ini mengindikasikan peran penting dari T Cells dalam patogenesis
TEN.4
TNF-A diekspresikan secara kuat pada SSJ dan TEN sehingga terdapat
kemungkinan besar terlibat dalam epidermal nekrosis. Soluble TNF-A (s TNF-A),
s TNF-R1, dan s TNF-R2 terdapat lebih tinggi pada lesi TEN daripada pada lesi
luka bakar. sTNF-R1 dan sTNF-R2 lebih tinggi secara signifikan pada lesi TEN
daripada di serum, hal ini mengindikasikan bahwa proses TNF-A merupakan
proses lokal pada kulit TEN.4
3 Blair G, Griffin V, Bobonich MA, Nolen ME. Cutaneous Drug Eruptions. In: Bobonich MA, Nolen ME. Editors. Dermatology for Advanced Practice Clinicians. 1st Ed. Philadelphia:Wolters Kluwer. p.272-85
4 Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Erythema Multiform, Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Rook’s Textbook of Dermatology Vol 4. 8th Ed. Oxford:Wiley-Blackwell. 2010. Chap. 76
11
Keratinosit pada pasien TEN dilaporkan mengalami apoptosis yang luas.
Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit yang teraktivasi dan atau dari keratinosit
mungkin berperan terhadap kematian sel lokal pada TEN. Limfosit yang
teraktivasi mungkin menginduksi apoptosis melalui interaksi antara Fas-ligand
(FasL) yang diekspresikan dan disekresikan oleh limfosit, dan Fas antigen
(CD95), yang di ekspresikan oleh IFN-Gamma. Pada SSJ, TEN, dan eritem
multiform yang dipicu oleh obat-obatan terdapat pengekspresian berlebihan dari
Fas antigen. Serum pada pasien TEN dan SSJ mengandung konsentrasi tinggi dari
soluble FasL, dan menginduksi apoptosis keratinosit yang tinggi pada percobaan
in vitro, dibandingkan dengan serum pada pasien dengan eritema multiform.
Bahkan, sel mononuklear darah perifer pada pasien SSJ dan TEN mensekresikan
sFasL dalam jumlah besar dengan stimulasi dari obat penyebab alerginya.
Peningkatan sFasL memicu terjadinya pelepasan kulit pada pasien dengan TEN
dan SSJ. Bcl-2, sebuah protein yang dikenal sebagai pemblok apoptosis, di
ekspresikan secara kuat pada sepanjang lapisan basal dan di lapisan dermal pada
pasien dengan eritema multiform dan SSJ/TEN; sehingga kematian sel yang
berhubungan dengan Fas mungkin dapat ditekan dengan protein Bcl-2.4
Nekrosis keratinosit, dapat juga dimediasi oleh CD8 Cytotoxic T Cells
yang spesifik terhadap obat tertentu melalui jalur perforin-granzyme. Peran kunci
dari sel T limfosit spesifik pada mekanisme reaksi obat telah dikonfirmasi oleh
berbagai penelitian in vitro pada banyak klon sel T limfosit. CD3+, CD8+, CD28-,
KIR/KAR (Killer Inhibitory Receptor), Cytotoxic T Cells CLA-Positive (CTL)
dengan sitotoksisitas mirip NK mendominasi pada cairan pada TEN. Dalam kasus
TEN yang diinduksi oleh cotrimoxazole, peran CD8+, DR+, CLA+ CD56
perforin-positive CTL mendominasi pada cairan vesikel. Pada pasien dengan TEN
yang diinduksi oleh carbamazepine, proses sitotoksik dari limfosit lebih
terpengaruh oleh liver microsome-induced carbamazepine intermediates.4
3.4. KLASIFIKASI
12
Telah dijelaskan bahwa SSJ dan TEN dianggap sebagai penyakit yang
sama dengan tingkat keparahan yang berbeda, dimana TEN merupakan bentuk
parah dari SSJ. Tingkat keparahan ini dilihat dari luasnya anggota tubuh yang
terkena. Batas pasti antara SSJ dan TEN sampai sejauh ini masih belum jelas,
tetapi telah disepakati bahwa pada SSJ, luas permukaan tubuh yang terkena
<10%, sedangkan pada TEN luas tubuh yang terkena >30%, apabila luas tubuh
yang terkena berkisar antara 10%-30% maka disebut sebagai SSJ/TEN (bentuk
peralihan).3
Gambar 3.(A)SSJ <10% TBSA, (B)SSJ/TEN 10-30% TBSA, (C)TEN >30% TBSA.
3.5. GEJALA KLINIS
SSJ lebih sering terjadi pada anak anak dan dewasa muda, dan biasanya
didahului oleh gejala prodormal seperti demam tinggi, nyeri tenggorokan, batuk,
malaise, athralgia, mata perih, dan infeksi saluran nafas bagian atas. Gejala
tersebut dapat terjadi 1 sampai 3 hari sebelum lesi pada kulit dan mukosa muncul.
Pada SSJ, sekelompok lesi eritem berbentuk target (2 zona) atau atipikal (3 zona)
13
muncul, beberapa dengan vesikel ditengahnya (Gambar 3). Telapak tangan dapat
menjadi tempat pertama erupsi pada kulit. Makula purpura dapat muncul pada
badan dan menyebar ke wajah, leher dan ekstremitas, dan selanjutnya berkembang
menjadi vesikel/bula, erosi, dan akhirnya lepas dari kulit. Mukosa mulut hampir
selalu terlibat, dan sering membentuk krusta hemoragik pada bibir. Membran
mukosa lainnya misalnya, konjungtiva, mukosa mulut dan bibir, dan anogenital
dan vulvogenital juga dapat terlibat (Gambar 4).3
Gambar 4. Bula dan Krusta pada Bibir, Lesi target pada tangan.3
14
Gambar 5. Keterlibatan membran mukosa pada SSJ/TEN3
TEN pada awalnya muncul sebagai SSJ yang berkembang secara cepat
dan meliputi 30% dari total permukaan tubuh dengan deskuamasi penuh pada
epidermis. Meskipun begitu, harus diwaspadai bahwa tidak semua TEN terjadi
dengan proses “linear” ini. Kurang lebih setengah dari kasus TEN, berkembang
dengan sangat cepat dari eritem difus menjadi nekrosis dan pelepasan epidermis.
Tekanan ringan atau gesekan ringan pada kulit dan menyebabkan robeknya
lapisan epidermis (Nikolsky Sign), sehingga terlihat lapisan dermis yang eritem
dan basah.3
Tabel 1. Perbandingan antar Eritem Multiform, SSJ dan TEN2
Eritem Multiform SSJ TEN
Onset Akut, musim semi &
musim gugur.
Remaja.
Anak & Dewasa muda.
Wanita > Pria
Etiologi Sering: Infeksi HSV.
Jarang: Mycoplasma
pneumoniae, obat –
Sering: Obat – obatan (Sulfonamides,
Quinolon, Aminopenicilin, dll),
Antikolvusan, NSAIDs.
15
obatan, infeksi lain. Jarang: M.Pneumoniae, virus, imunisasi,
CMV.
Sistemik Jarang, dan ringan Tampak Sakit Tampak Toksik
(Beracun)
Gejala
Prodormal
Tiba – tiba, biasanya
tidak disertai gejala
prodormal.
Demam tinggi,
malaise, ST, gejala
seperti influenza,
awalnya dapat
seperti ruam makula.
Sama seperti SSJ.
Gejala sistemik lebih
berat, sebanyak 25%
melibatkan saluran
nafas.
Morfologi
dan
Distribusi
Targetoid (3 zona).
Warna merah dengan
pusat lebih gelap.
Menonjol.
Melebar kemudian
terjadi erosi.
Simetris, lebih sering
terjadi pada akral,
ekstensor, telapak
tangan dan kaki.
Atipikal/Targetoid (2
zona), atau atipikal
targetoid, berwarna
merah.
Rata.
Vesikel pada
tengahnya.
Bermula di badan,
biasanya melibatkan
telapak tangan dan
kaki.
Tidak gatal.
Nikolsky Sign +
Papul/plaque,
kehitaman, difus,
meluas.
Bula lembek.
Deskuamasi penuh
dari epidermis.
>30% TBSA dan
gejala lebih berat.
Nyeri.
Nikolsky Sign +
16
Distribusi
Membran
Mukosa
Sedikit, atau tidak
ada lesi pada mulut.
Biasanya lesi pada
mulut. Lesi pada
konjungtiva jarang.
Krusta hemoragik.
Selalu terlibat
(Sebelum munculnya
ruam).
Biasanya lebih dari 1
area.
Edema konjungtiva.
Prognosis Self-limiting
Lesi sembuh dalam 1
bulan, tanpa gejala
sisa.
Mortalitas 5%-15%.
Sembuh sempurna
tanpa jaringan parut.
Biasanya
meninggalkan
depigmentasi.
Mortalitas 30%-40%.
Apabila terlambat
menghentikan obat
kausa dapat
meningkatkan angka
mortalitas.
3.6. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis SSJ dan TEN ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, yang
didukung dengan pemeriksaan histologi. Pasien dengan SSJ/TEN akan memiliki
tanda Nikolsky yang positif. Namun, pemeriksaan Nikolsky juga positif pada
penyakit pemfigus dan staphylococcal scalded skin syndrome sehingga dilakukan
pemeriksaan tanda Absoe-Hansen (Nikolsky II). 3
17
Pemeriksaan penunjang diagnostik utama adalah punch biopsy yang
diambil dari lesi pada tahap awal, yang secara histologik dapat menunjukkan
terjadinya proses nekrosis epidermis dan pelepasan epidermis dari dermis dengan
apoptosis pada keratinosit. Biasanya terdapat infiltrat pada lapisan dermis. Punch
biopsy dengan pemeriksaan immunofluorescence dapat membedakan SSJ/TEN
dengan penyakit autoimun lainnya. Pemeriksaan laboratorium tidak diagnostik
untuk SSJ dan TEN tetapi penting untuk memonitor keterlibatan sistemik dan
komplikasi dari adverse drug reaction. Apabila obat penyebab terjadinya
SSJ/TEN tidak diketahui dengan pasti, maka perlu dilakukan pemeriksaan
provokasi yang diawasi dengan ketat atau patch test pada saat keadaan pasien
sudah membaik.3
Pada pemeriksaan histologi TEN / SSJ tahap awal, lesinya menunjukkan
gambaran infiltrasi sel mononuklear pada papil dermis, dengan epidermis
spongiosis dan eksositosis. Pada TEN / SSJ yang telah berkembang penuh,
terdapat nekrosis pada seluruh lapisan epidermis dengan pembentukan vesikel /
bula. Proses nekrotik ini melibatkan garis epitelial dari saluran keringat. Dalam
hal ini, folikel rambut kurang terpengaruh. Kelainan pada lapisan dermis bisa
disebut sangat minimal.4
18
Gambar 6. Histopatologi dari TEN. Terdapat nekrosis penuh pada lapisan epidermis, pemisahan lapisan dermis-epidermis, dan kurangnya infiltrasi sel
dermis.
19
3.7. DIAGNOSIS BANDING
Secara klinis, Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) sangat
menyerupai gejala dari SSJ/TEN. Tetapi, hanya bagian dari stratum korneum
epidermis yang hilang. TEN/SSJ biasanya terjadi pada orang dewasa, sedangkan
pada SSSS biasanya menyerang pada anak – anak atau bayi. Secara histologis,
keduanya juga berbeda. Pemfigus juga dapat terlihat mirip dengan SSJ, tetapi
perjalanan penyakit pemfigus biasanya lebih lambat dan gejalanya lebih
terlokalisir. Reaksi graft versus host yang parah juga dapat menyerupai dari SSJ
ini.2
TEN dapat dibedakan secara cepat dengan SSSS, dimana pada SSSS
pembentukan vesikel / bula bermula dari pelepasan lapisan subkorneum
intraepidermial akibat toksin dari Staphylococcus aureus grup II, dengan
pemeriksaan langit – langit vesikel / bula dengan potongan beku (frozen section).
Tingkat pelepasan pada SSSS terletak di subkorneal, sedangkan pada TEN
terletak lebih dalam karena pelepasan penuh dari epidermis membentuk atap dari
vesikel / bula tersebut.4
3.8. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada SSJ/TEN mirip dengan tatalaksana pada luka bakar. Hal
ini karena seperti pada luka bakar, pada SSJ/TEN juga ditemukan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bakteriemia akibat kehilangan lapisan
protektif dari kulit, hiperkatabolisme, dan terkadang acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Kebutuhan cairan dan metabolit pada SSJ/TEN lebih rendah
dibandingkan dengan pada luka bakar, tetapi nutrisi dan monitoring sepsis tetap
menjadi sangat penting. Penggunaan agen sistemik untuk mengobati SSJ/TEN
masih kontroversi akibat resiko kematian akibat sepsis.5
5 James WD, Berger TG. Elson DM, Neuhaus IM. Bullous drug reactions: Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Andrews’ Disease of Skin. 12th Edition. Philadelphia:Elsevier. 2011. p. 115-7.
20
Sudah jelas bahwa obat – obatan yang menyebabkan terjadinya TEN/SSJ
harus dihentikan sesegera mungkin. Prinsip terapi dari TEN/SSJ mirip seperti
pada luka bakar, yang meliputi analgesik, terapi penggantian cairan, terapi anti-
infeksi, dukungan nutrisi secara agresif, penghangatan suhu lingkungan dan
pembalutan kulit dengan balutan yang sesuai. Luas kulit yang terlepas harus
dievaluasi setiap hari untuk melihat prognosis pasien. Luas kulit yang terkena
dapat dihitung dengan menggunakan tabel luka bakar, atau dihitung dengan
telapak tangan (luas telapak tangan = 1% BSA). Hiperventilasi dan hipoksemia
ringan pada analisa gas darah mengindikasikan resiko tinggi terjadinya ARDS.4
Terdapat bukti yang signifikan mengenai komplikasi jangka panjang yang
mengakibatkan disabilitas pada pasien yang hidup, terutama bila mengenai mata
dan bagian mukosa lainnya. Maka dari itu, perlu kewaspadaan dan dilakukan
tindakan preventif. Kontak fisik dengan pasien pada saat perawatan mungkin
dapat mengakibatkan kehilangan lapisan kulit dalam jumlah besar, sehingga
penggunaan turning frame dan atau air fluidized bed dapat mengurangi
ketidaknyamanan dan memfasilitasi perawatan. Trauma, misalnya akibat
penggunaan perekat pada balutan, atau yang digunakan pada elektroda EKG harus
diminimalkan. Kelopak mata dan konjungtiva harus dilubrikasi dengan paraffin
lunak, yang diaplikasikan secara perlahan untuk mencegah terjadinya
perlengketan. Pendapat ahli opthalmologist juga perlu diminta dalam hal ini.
Penggunaan gas-permeable scleral contact lenses dapat meningkatkan kualitas
hidup pada 90% dengan mengurangi fotofobia dan ketidaknyamanan pada mata,
dan juga memperbaiki ketajaman pengelihatan dan menyembuhkan defek epitel
kornea pada 50% pasien. Higienitas mulut harus dijaga untuk menghindari
terjadinya parotitis. Pemeriksaan vagina harus diulang pada wanita dan diberikan
balutan yang sesuai untuk menghindari terjadinya synechia bila terdapat erosi.
Apakah jaringan nekrotik harus dibersihkan masih kontroversional, kebanyakan
ahli berpendapat bahwa hal ini akan mengganggu proses penyembuhan. Bagian
kulit yang telah hilang, harus dibalut dengan balutan biologis atau sintetis.
Penggunaan balutan dengan bahan silver nitrate dianjurkan.4
21
Belum ada satu konsensus pun yang menyatakan keuntungan dari
pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada pasien TEN/SSJ. Beberapa ahli
berbendapat bahwa pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat memudahkan
terjadinya infeksi atau bahkan menyamarkan tanda – tanda infeksi, mengganggu
proses penyembuhan, mempercepat terjadinya pendarahan lambung, memperlama
waktu perawatan di rumah sakit, dan bahkan meningkatkan mortalitas. 4
Banyak penelitian membuktikan bahwa pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIG) dosis tinggi (1-2g/kgBB/hari selama 3-4 hari pada orang
dewasa) terbukti dapat bermanfaat dalam memperbaiki prognosis, tetapi beberapa
penelitian gagal membuktikan manfaat pemberian IVIG terhadap mortalitas
pasien TEN/SSJ dibandingkan dengan terapi suportif saja. Sejauh ini belum ada
konsensus mengenai penanganan terbaik pada pasien TEN/SSJ.4
Secara singkat, perawatan pasien TEN tercantum dalam tabel berikut ini:
Tabel 1. Manajemen Nekrosis Epidermal ToksikIntensive therapy atau burns unit
Air fluidized bed
Analgesik
Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit (sampai 5L/hari)
Mempertahankan suhu tubuh
Menjaga nutrisi dan oral hygiene
Pemeriksaan opthalmologi berulang
Antiseptik/Antibiotik tetes mata setiap 2 jam
Menghambat terjadinya synechiae
Mencegah terjadinya infeksi
Reverse barrier nursing pada pasien neutropenia
Kultur darah dan jaringan kulit yang terlepas
Kultur dari ujung foley cathether dan IV line
Antibiotik sistemik spektrum luas (kontroversional)
Pembersih topikal/agen anti bakteri topikal. (Solusio perak nitrat 0,5% dalam
balutan, atau 10% chlorhexidine gluconate wash, atau saline wash atau
22
polymixin/bacitracin atau mupirocin 2%.)
Perawatan luka
Pembersihan jaringan nekrotik di epidermis (kontroversional)
Balutan paraffin atau hydrogel (mata)
Balutan biologis (xenograft, allograft, skin substitutes.
3.9. PROGNOSIS
Bila tidak ditangani, SSJ memiliki angka mortalitas sebesar 5% - 15%
yang diakibatkan dari infeksi, toxaemia atau gangguan ginjal, tetapi seiring
dengan berkembangnya ilmu kedokteran, angka mortalitas ini semakin menurun.
Erupsi pada kulit biasanya sembuh sempurna tanpa sekuele, meskipun pada mata
mungkin terjadi kerusakan yang permanen. Eruptive melanocytic naevi dilaporkan
dapat muncul setelah SSJ.4
Dibandingkan dengan SSJ, TEN memiliki angka mortalitas yang lebih
tinggi. Bentuk peralihan SSJ/TEN memiliki angka mortalitas 10-15%, sedangkan
TEN sendiri memiliki angka mortalitas sebesar 30-40%, yang mayoritas
disebabkan oleh ARDS dan Multiple organ failure (MoF). Hal ini juga diperberat
dengan sepsis akibat septikemia, yang terutama disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Penyebab kematian yang lain diantaranya
emboli paru dan perdarahan saluran cerna. Pada sebuah penelitian dengan 64
pasien TEN, tercatat bahwa sebanyak 28% tidak tertolong dalam episode akut,
dan 23% meninggal setelah dipulangkan dari rumah sakit, sedangkan sisanya
yang selamat mengalami gangguan pada mata (54%), kulit (81%), dan ginjal
(23%). Pada pasien dengan gangguan pada mata, sebanyak 79% mengalami
gangguan mata permanen, dan 73% pasien dengan gangguan pada mukosa
mengalami lesi persisten pada mukosanya.4
Penghentian secepatnya dari obat yang menyebabkan SSJ dapat
memperbaiki prognosis dan pemberian obat – obatan dengan waktu paruh yang
lama dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian. TEN yang luas,
23
keterlambatan perujukan (lebih dari 3-4 hari), trombositopenia awal dan
pemberian antibiotik diluar rumah sakit dikaitkan dengan perburukan prognosis.
Granulositopenia yang berat juga dikaitkan sebagai indikator buruknya prognosis,
meskipun pada dasarnya limfopenia umumnya ditemukan pada pasien TEN yang
berat.4
Untuk menentukan prognosis TEN secara lebih spesifik, dapat digunakan
indikator SCORTEN, yang didasarkan dari tujuh faktor resiko kematian pada saat
pasien pertama kali datang ke rumah sakit., meskipun skor ini memiliki
kekurangan dengan tidak mencantumkan keterkaitan dengan infeksi saluran nafas,
yang juga dapat memperburuk prognosis.4
Tabel 2. SCORTENSCORTEN Prognosis Score
Paremeter (Nilai terburuk dalam 24 jam setelah masuk rumah sakit)
Usia > 40 tahun Setiap kategori memiliki nilai 1,
yang akan dimasukkan dan
dijumlahkan kedalam skoring bila
dijumpai pada pasien.
Adanya penyakit keganasan
Pelepasan epidermis >30%
Heart Rate >120x/m
Bicarbonate < 20mmol/L
Urea > 10mmol/L
Glycaemia >14mmol/L
SCORTEN Probabilitas Kematian (%)
0-1 3
2 12
3 35
4 58
≥5 90
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toxic. Dalam: Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S. Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6.
Jakarta:FKUI. 2010. p. 163-8.
2. Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology. 5th Ed. New Delhi:
Aptara Inc. p. 121-4
3. Blair G, Griffin V, Bobonich MA, Nolen ME. Cutaneous Drug Eruptions.
In: Bobonich MA, Nolen ME. Editors. Dermatology for Advanced
Practice Clinicians. 1st Ed. Philadelphia:Wolters Kluwer. p.272-85
4. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Erythema Multiform, Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Rook’s Textbook of
Dermatology Vol 4. 8th Ed. Oxford:Wiley-Blackwell. 2010. Chap. 76
5. James WD, Berger TG. Elson DM, Neuhaus IM. Bullous drug reactions:
Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Andrews’
Disease of Skin. 12th Edition. Philadelphia:Elsevier. 2011. p. 115-7.
25