BAB 2 Wahyu Hipertensi
-
Upload
wahyu-adi-kurniawan -
Category
Documents
-
view
45 -
download
0
description
Transcript of BAB 2 Wahyu Hipertensi
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Landasan Teori
a. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD) ≥140/90 mm Hg
(Mohrman and Heller, 2006; Siyad, 2011; Tisa, 2012; Tedjasukmana, 2012).
Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah
yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul
kerusakan lebih berat seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian
yang tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah
jantung) serta penyempitan ventrikel kiri/bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain
penyakit-penyakit tersebut, hipertensi dapat pula menyebabkan gagal ginjal, penyakit
pembuluh lain, diabetes mellitus dan lain-lain (Siyad, 2011; Syahrini et al, 2012).
b. Epidemiologi
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang cukup
banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Pada umumnya, terjadi pada manusia
yang setengah umur (Iebih dari 40 tahun). Namun banyak orang tidak menyadari
bahwa dirinya menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya tidak nyata dan
pada stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatannya.
Boedi Darmoyo dalam penelitiannya menemukan bahwa antara 1,8%-28,6%
penduduk dewasa adalah penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di seluruh dunia
diperkirakan antara 15-20%. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih
banyak menyerang pria daripada wanita. Pada golongan umur 55-64 tahun, penderita
8
9
hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, penderita
hipertensi wanita lebih banyak daripada pria. Penelitian epidemiologi membuktikan
bahwa tingginya tekanan darah berhubungan erat dengan kejadian penyakit jantung.
Sehingga, pengamatan pada populasi menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah
dapat menurunkan terjadinya penyakit jantung (Depkes RI, 2006).
c. Etiologi Hipertensi
Hipertensi dibagi dua golongan yaitu hipertensi esensial yang tidak
diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yang diketahui penyebabnya seperti
gangguan ginjal, gangguan hormon, dan sebagainya. Hipertensi disebut sebagai silent
killer atau pembunuh terselubung yang tidak menimbulkan gejala atau asimptomatik
seperti penyakit lain (Tisa, 2012).
1. Hipertensi primer (esensial)
Pasien dengan hipertensi arterial dan penyebab yang tidak dapat dijelaskan
disebut hipertensi primer, esensial, atau idiopatik. Tanpa diragukan, kesulitan primer
dalam menjelaskan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap hipertensi dianggap
disebabkan oleh berbagai sistem yang terlibat dalam pengaturan tekanan arteri perifer
dan/atau adrenergik sentral, renal, hormonal, dan vaskuler dan kompleksnya
hubungan sistem-sistem ini satu dengan lainnya (Eugene, 2005).
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi esensial merupakan 95%
dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi
untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang
tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun
10
temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik
memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila
ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik
mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi esensial. Banyak karakteristik
genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga
didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein
urine, pelepasan nitrit oksid, ekskresi aldosteron, steroid adrenal dan angiotensinogen
(Depkes RI Pharmaceutical Care, 2006).
2. Hipertensi sekunder
Ketika ditemukan lebih dini, pada hanya sebagian kecil pasien dengan
tekanan arteri meninggi dapat diidentifikasi sebabnya yang spesifik (Eugene, 2005).
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid
atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (Depkes RI
Pharmaceutical Care, 2006). Sebelumnya pasien ini sebaiknya tidak mengabaikan
paling sedikitnya ada dua alasan yaitu dengan memperbaiki penyebabnya, hipertensi
mungkin membaik, dan bentuk sekunder memberikan pengertian yang mendalam
mengenai etiologi hipertensi esensial. Hampir seluruh bentuk sekunder dihubungkan
dengan perubahan sekresi hormon dan/atau fungsi ginjal (Harrison, 2005).
Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskuler adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan
11
atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan
tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI Pharmaceutical
Care, 2006).
d. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah atau
hipertensi adalah :
i. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
1. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin
besar risiko terserang hipertensi (Sugiharto, 2007). Onset hipertensi esensial
biasanya muncul pada pasien yang berusia antara 25-55 tahun, sedangkan usia
dibawah 20 tahun jarang ditemukan. Pada orang muda, hipertensi sekunder
disebabkan oleh insufisiensi renal, stenosis arteri renal atau koartasio aorta,
namun kasus ini relatif masih kecil dibandingkan dengan hipertensi esensial
(Tierney et al, 2002).
Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi. Dengan
bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi
hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan
kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enam puluhan.
Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun
hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang
12
berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit
meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami
pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut
disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi (Sugiharto,
2007).
2. Jenis Kelamin
Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-menopause
dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormon (Gray et al, 2005).
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio
sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan
wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita
meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih
tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.
Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes
RI, 2006).
3. Keturunan (Genetik)
Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih
banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya, dan lebih besar
tingkat morbiditas maupun mortalitasnya, sehingga diperkirakan ada kaitan
hipertensi dengan perbedaan genetik. Beberapa peneliti mengatakan terdapat
13
kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat
poligenik (Gray et al, 2005).
Tingkat tekanan darah menunjukkan hubungan familial kuat yang
tidak bisa dianggap hanya disebabkan oleh lingkungan yang sama. Namun
demikian, faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan hipertensi mungkin
sangat beragam, sehingga membaurkan pencarian gen penyebab. Secara prinsip
perhatian dipusatkan pada identifikasi kandidat gen, yang termasuk diantaranya
adalah gen yang terlibat dalam sistim renin-angiotensin, bersama dengan
sejumlah substansi vasokonstriktor dan vasodilator penting yang ditemukan baru-
baru ini (Rubenstein et al, 2007).
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan)
juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer
(esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan
lain, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik
juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel.
Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar
45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang
menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes RI,
2006).
4. Ras dan Suku
Sekitar 95% kasus, penyebab hipertensi tidak dapat ditentukan. Ini
terjadi pada 10-15% orang kulit putih dewasa dan 20-30% orang kulit hitam
dewasa di Amerika Serikat (Tierney et.al, 2002).
14
Di Amerika Serikat lebih banyak diderita oleh masyarakat berkulit
hitam yaitu 25-30%, sedangkan masyarakat golongan kulit putih yang menderita
hipertensi adalah 15%, adanya kecenderungan heterogenitas gen antara ras yang
berbeda mempengaruhi kerentanan terhadap hipertensi. Budi Darmojo (2001)
dalam tulisannya mengamati perjalanan epidemiologi hipertensi Indonesia,
melaporkan prevalensi hipertensi pada penduduk 20 tahun ke atas di berbagai
daerah mempunyai angka berkisar 5-15%, prevalensi terendah terdapat pada
suku Lembah Bileam Jaya (0,65%) sedangkan yang tertinggi terdapat pada Suku
Jawa (11,4%) (Silitonga, 2009).
i. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
1. Psikososial dan Stres
Menurut Damayanti (2003) stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan,
murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang
kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung
berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.
Jika stres berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian
sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul
dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau
kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi
dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stres atau rasa tidak puas
orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes RI, 2006).
15
Rosenman dan Friedman telah mempopulerkan hubungan yang menarik
antara apa yang dikenal sebagai tingkah laku tipe A dengan aterogenesis yang
dipercepat. Kepribadian yang termasuk dalam tipe A adalah mereka yang
memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif dan merasa diburu
waktu. Sudah diketahui bahwa stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi
masih dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya
mempercepat serangan. Teori bahwa aterogenesis disebabkan oleh stres dapat
merumuskan pengaruh neuroendokrin terhadap dinamika sirkulasi, lemak serum
dan pembekuan darah (Price and Wilson, 2002).
Stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk
mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya
(biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang. Peningkatan darah
akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stres emosional
yang tinggi. Dalam penelitian Framingham dalam Yusida (2001) bahwa bagi
wanita berusia 45-64 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti keadaan
tegangan, ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stres harian, mobilitas
pekerjaan, gejala ansietas dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal
tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik
penyakit kardiovaskuler apapun. Studi eksperimental pada laboratorium animals
telah membuktikan bahwa faktor psikologis stres merupakan faktor lingkungan
sosial yang penting dalam menyebabkan tekanan darah tinggi, namun stres
merupakan faktor risiko yang sulit diukur secara kuantitatif, bersifat spekulatif
16
dan ini tak mengherankan karena pengelolaan stres dalam etikologi hipertensi
pada manusia sudah kontroversial (Depkes RI, 2006).
2. Kegemukan (Obesitas)
Sejumlah kondisi menyebabkan peningkatan tekanan darah, terutama pada
individu yang mempunyai faktor predisposisi. Faktor yang diketahui dengan baik
adalah obesitas, dimana berhubungan dengan peningkatan volume intravaskular
dan curah jantung. Pengurangan berat badan sedikit saja sudah menurunkan
tekanan darah (Tierney et al, 2002).
Obesitas adalah meningkatnya massa tubuh karena jaringan lemak yang
berlebihan sehingga meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsumsi oksigen
secara menyeluruh, akibatnya curah jantung bertambah. Walaupun belum
diketahui secara pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun terbukti
bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan
hipertensi lebih tinggi daripada penderita hipertensi dengan berat badan normal
(Silitonga, 2009).
3. Kebiasaan Merokok
Risiko merokok tergantung pada jumlah rokok yang diisap per hari,
namun tidak pada lamanya merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu
pak rokok sehari menjadi dua kali lebih rentan dari pada mereka yang tidak
merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap
pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom. Tetap efek nikotin tidak
kumulatif, bekas perokok tampaknya mempunyai risiko rendah seperti pada
bukan perokok (Price and Wilson, 2002).
17
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbonmonoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah
segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok,
nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan
diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai
otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik
tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mm Hg. Tekanan darah
akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok.
Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan
menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada
pada level tinggi sepanjang hari (Sugiharto, 2007).
4. Konsumsi Alkohol Berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah
merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa
studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol,
dan diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak
18
apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya.
Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh
terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan
oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya,
kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok
usia ini (Depkes RI, 2006).
Penggunaan alkohol secara berlebihan juga dapat meningkatkan tekanan
darah, mungkin dengan cara meningkatkan katekolamin plasma. Hipertensi
dapat sulit dikontrol pada pasien dengan konsumsi etanol lebih dari 40 gram (dua
minuman) per hari atau minum etanol pada acara pesta minum-minuman keras
(Tierney et al, 2002).
5. Konsumsi Garam berlebih
Banyak orang meyakini bahwa garam berperan penting dalam
meningkatkan tekanan daarah tinggi. Fakta yang mendukung teori ini datang dari
sebagian studi yang dilakukan terhadap populasi penduduk di seluruh dunia.
Hasilnya ditunjukkan bahwa masyarakat primitif yang mengkonsumsi sodium
rendah lebih kecil peluangnya untuk tekanan darah tinggi. Sementara masyarakat
barat yang asupan sodiumnya lebih tinggi berpeluang lebih tinggi untuk terkena
hipertensi (Silitonga, 2009).
Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam
dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme
timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui
peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan
19
diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada
keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial
mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh. Reaksi
orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat
maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi natrium
tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak
ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah
yang juga memicu terjadinya hipertensi (Sugiharto, 2007).
20
e. Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥18 tahun)
berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih
kunjungan klinis. Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai
normal pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mm Hg dan tekanan darah diastolik
(TDD) <80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke
klasifikasi hipertensi di masa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi,
dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat (Depkes RI
Pharmaceutical Care, 2006).
Adapun klasifikasi tekanan darah adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7Klasifikasi tekanan
darahTekanan darah sistolik
(mmHg)Tekanan darah diastolik
(mmHg)Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89Hipertensi, tingkat 1 140-159 Atau 90-99Hipertensi, tingkat 2 ≥160 ≥100
(Sumber: JNC, 2003)
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut ESH/ESCKlasifikasi tekanan
DarahTekanan darah
sistolik (mmHg)Tekanan darah diastolik
(mmHg)OptionalNormal
<120<130
<80<85
Hipertensi tingkat I 140-159 90-99Hipertensi tingkat II 160-179 100-109Hipertensi tingkat III
Hipertensi sistolik isolasi≥180≥140
≥110<90
(Sumber: Eduardo et al, 2005)
21
f. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular,
sehingga tekanan darah meningkat, resistensi vaskular perifer bertambah, atau
keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi
melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya
diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah sana dimulai (Gray et al,
2005).
Pada saat tersebut, beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah
dimulai sehingga kelainan dasar curah jantung biasanya normal atau sedikit
meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung
cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga
menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, mungkin sebagian diperantarai
oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular dan vasokontriksi
(insulin, katekolamin, angiotensin, hormon pertumbuhan), sehingga menjadi alasan
sekunder mengapa terjadi kenaikan tekanan darah (Gray et al, 2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi
oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki
peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama (Situmorang
et al, 2009).
22
Kadar angiotensin II dan aldosteron meningkat dua hingga tiga kali pada
banyak pasien dengan obesitas. Hal ini, sebagian mungkin disebabkan oleh
meningkatnya perangsangan saraf simpatis, yang meningkatkan pelepasan renin oleh
ginjal dan juga pembentukan angiotensin II, yang kemudian merangsang kelenjar
adrenal untuk menyekresi aldosteron (Guyton, 2008).
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan
rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume
darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah utama
(Situmorang et al, 2009).
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi
NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah
utama (Situmorang et al, 2009).
.
23
catalyse inhibit
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi
Sumber (Siyad.A.R. M.Pharm, 2011)
g. Gejala Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak
ada keluhan. Bila simptomatik, maka biasanya disebabkan oleh:
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang (dizzy)
dan impoten.
2. Penyakit jantung/hipertensi vaskular seperti cepat capek, sesak napas, sakit dada
(iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan
Angiotensin II
Blood volume
N Na + depletion
Angiotensin I
Angiotensinogen
Blood pressure
Renin relase
Aldosterone relase
Angiotensin-converting
enzyme
Angiotensin Converting
enzyme inhibitor
Sartan
Blood volume
Na+
retention
Blood pressure
24
vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan
retina, transient serebral ischemic.
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsia, poliuria, dan kelemahan
otot pada aldosteronisme primer, peningkatan berat badan dengan emosi yang labil
pada sindrom Cushing. Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit
kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy)
(Sudowo, 2006).
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik
yang menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi pada
pemeriksaan fisik. Jika gejala membuat pasien datang kedokter, dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, pasien dihubungkan dengan kenaikan tekanan darah itu sendiri,
penyakit vaskular hipertensif, dan penyakit yang mendasarinya pada kasus hipertensi
sekunder. Meskipun dengan populer dianggap gejala kenaikan tekanan darah, sakit
kepala hanya karakteristik untuk hipertensi berat, paling sering terletak di daerah
oksipital, terjadi ketika pasien bangun pada pagi hari, dan berkurang secara spontan
setelah bebrapa jam. Keluhan lain yang mungkin berhubungan adalah pusing,
palpitasi, mudah lelah, dan impotensi. Keluhan yang mengarah ke penyakit vaskular
termasuk epistaxis, hematuria, pandangan kabur karena perubahan retina, episode
lemah atau pusing yang disebabkan oleh iskemia serebral sementara, angina pectoris
dan dispnea yang disebabkan oleh gagal jantung. Nyeri karena diseksi aorta atau
bocornya aneurisma merupakan gejala yang kadang-kadang terjadi (Eugene, 2005).
25
Contoh gejala yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya pada
hipertensi sekunder adalah poliuria, polidipsia dan kelemahan otot sekunder terhadap
hipokalemia pada pasien dengan aldosteroinisme primer atau berat badan bertambah
dan emosi yang labil pada pasien dengan sindrom Cushing. Pasien dengan
feokromositoma datang dengan sakit kepala episodik, palpitasi, diaforesis dan pusing
postural (Harrison, 2005).
Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang
mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun
berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan
darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler (Sugiharto, 2007).
26
h. Komplikasi
Komplikasi hipertensi berkaitan baik dengan tekanan darah yang sudah
meningkat sebelumnya dengan konsekuensi perubahan dalam pembuluh darah dan
jantung, maupun dengan aterosklerosis yang menyertai hipertensi dan dipercepat oleh
hipertensi yang sudah lama diderita. Tekanan darah yang naik turun atau tidak stabil
sangat erat kaitannya dengan kerusakan organ target. Komplikasi spesifik antara lain
sebagai berikut:
1. Penyakit kardiovaskular hipertensif
2. Penyakit serebrovaskular hipertensif dan demensia
3. Penyakit renal hipertensif
4. Diseksi aorta
5. Komplikasi aterosklerotik (Tierney et al, 2002).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,
gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi
yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ
dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi.
27
Tabel 4. Komplikasi Hipertensi (Giles et al, 2008).Sistem organ Komplikasi Komplikasi HipertensiJantung Hipertrofi ventrikuler kiri
Gagal jantung kongestifAngina pectorisInfark miokardPenyakit jantung iskemik
Serebrovaskular StrokeTransient ischemic attack(TIA)Penurunan fungsi kognitifDemensiaPenurunan visusEnsefalopati hipertensif
Ginjal AlbuminuriaGagal ginjal kronis
Mata Retinopati hipertensif
Pembuluh darah perifer Penyakit pembuluh darah periferAnourisma aortaPenyakit pembuluh darah karotis
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan
pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat
mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA)
(Anggreini et al, 2009).
28
i. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah kerja fisik yang menyangkut sistem lokomotor tubuh
yang ditujukan dalam menjalankan aktivitas hidup sehari-harinya, jika suatu aktivitas
fisik memiliki tujuan tertentu dan dilakukan dengan aturan-aturan tertentu secara
sistematis seperti adanya aturan waktu, target denyut nadi, jumlah pengulangan
gerakan dan lain-lain disebut latihan. Sedangkan yang dimaksud dengan olahraga
adalah latihan yang dilakukan dengan mengandung unsur rekreasi (Harahap, 2008).
Aktivitas fisik akan menyebabkan perubahan-perubahan pada faal tubuh
manusia, baik bersifat sementara/sewaktu-waktu (respons) maupun yang bersifat
menetap (adaption). Aktivitas fisik dengan intensitas tinggi (antara sub maximal
hingga maksimal) akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi
otot secara anaerobik. Kontraksi otot secara anaerobik membutuhkan penyediaan
energi (ATP) melalui proses glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (lactid acid
system). Glikolisis anaerobik akan menghasilkan produk akhir berupa asam laktat.
Jadi, aktivitas dengan intensitas sub maximal hingga intensitas maksimal akan
menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah (Harahap, 2008).
Aktivitas fisik seperti olahraga mempunyai manfaat yang besar karena dapat
meningkatkan unsur-unsur kesegaran jasmani, yaitu sistem jantung dan pernafasan,
kelenturan sendi, dan kekuatan otot-otot tertentu. Olahraga dapat mengurangi
kejadian serta keparahan penyakit jantung dan pembuluh darah, kegemukan, Diabetes
mellitus, hipertensi, beberapa kelainan sendi, otot, tulang dan juga stres. Bahkan bila
dilakukan secara teratur, dapat mengendalikan kadar lemak darah, memperbaiki
gangguan saraf dan mental (Ansar et al, 2013).
29
Pengaruh aktivitas fisik dapat seketika yang disebut respon akut dan pengaruh
jangka panjang akibat latihan yang teratur dan terprogram yang disebut adaptasi.
Termasuk respon akut adalah bertambahnya frekuensi pernafasan, peningkatan
tekanan darah dan peningkatan suhu badan. Termasuk adaptasi antara lain
peningkatan massa otot, bertambahnya massa tulang, bertambahnya sistem
pertahanan antioksidan serta penurunan frekuensi denyut jantung istirahat (Harahap,
2008).
Menurut Ilyas (2009) dalam berolahraga perlu diperhatikan intensitas, durasi,
dan waktu yang tepat (Rahmawati et al, 2011). Aktivitas fisik dianjurkan terhadap
setiap orang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesegaran tubuh. Aktivitas
fisik berguna untuk melancarkan peredaran darah dan membakar kalori dalam tubuh.
Penelitian oleh Tety S, menemukan bahwa usia 60-70 tahun mempunyai aktivitas
yang tergolong tinggi sedangkan umur >70 tahun cenderung rendah. Salah satu faktor
yang sangat berperan dalam mempertahankan kondisi fisik adalah olahraga atau
melaksanakan kegiatan fisik secara teratur disamping mengkonsumsi makanan yang
seimbang (Hermansyah et.al, 2012).
Aktivitas fisik secara teratur mempunyai berbagai efek perlindungan yang
signifikan terhadap penyakit jantung iskemik, mengontrol berat badan dan mencegah
osteoporosis dengan cara mempertahnkan massa tulang. Aktivitas fisik yang teratur
juga dapat mencegah keseimbangan dan koordinasi yang akan mengurangi insidens
jatuh. Aktivitas fisik meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan menaikan tingkat
HDL kolestrol, dan mengurangi resiko terrhadap penyakit jantung. Bahkan aktivitas
fisik rekreasional membantu menghilangkan kecemasan dan depresi. Sementara gaya
30
hidup tanpa gerak/sedentary life style diketahui berisiko terhadap terhadap terjadinya
hal-hal tersebut diatas, perhatian tentang gaya hidup pola aktivitas yang dapat
mencegah risiko tersebut mulai bergeser sejak tahun 1990. Sebelumnya fokus
penelitian adalah pada “latihan” dan dampaknya terhadap kardiorespirasi fitness.
Penelitian-penelitian selanjutnya mengacu kepada adanya efek yang nyata dari
aktivitas fisik yang sedang/moderate tapi dilakukan secara terus-menerus (Irianti,
2008).
Aktivitas fisik berupa olahraga, kegiatan harian bahkan menari yang
dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mencegah timbunan lemak di dinding
pembuluh darah. Hal ini terbukti dari outopsi pada juara marathon Boston tujuh kali,
Clarence de Mar, yang menunjukan ukuran pembuluh darah koronernya dua sampai
tiga kali ukuran normal serta tak ditemukan adanya stenosis (penyempitan pembuluh
darah). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan secara
rutin dapat mempertahankan status gizi optimal. Aktivitas fisik yang dilakukan secara
rutin semisal jalan cepat atau jogging dapat mengurangi penimbunan lemak sehingga
mengurangi risiko seseorang dari kondisi overweight (Sada et al, 2012).
Aktivitas fisik (olahraga) yang dilakukan 3 sampai 5 kali setiap minggu
dengan waktu minimal 15 menit setiap pelaksanaannya, akan dapat mengurangi risiko
terjadinya overweight. Kebiasaan olahraga merupakan salah satu bentuk aktivitas
fisik yang dapat menurunkan berat badan. Olahraga jika dilakukan secara teratur
dengan takaran yang cukup akan dapat mencegah munculnya kegemukan dan
menjaga kesehatan. Olahraga semestinya dibiasakan sejak dini agar menjadi sebuah
31
kebiasaan yang terus dapat dilakukan hingga usia dewasa dan lanjut (Oktaviani et al,
2012).
Aktivitas fisik dibagi dalam 3 domain yaitu kegiatan fisik berhubungan
dengan pekerjaan dan kegiatan fisik diluar pekerjaan serta kegiatan fisik yang
berhubungan dengan perjalanan/transportasi (Irianti, 2008).
Intensitas latihan dengan tujuan meningkatkan kebugaran fisik dilakukan
pada 60-85% denyut nadi maksimal. Efek latihan terhadap kebugaran jasmani
umumnya terlihat setelah 8 sampai 12 minggu. Olahragawan paling banyak
melakukan latihan fisik aerobik intensitas sedang. Latihan fisik aerobik intensitas
sedang bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas kardiovaskular dan meminimalkan
terjadinya cedera. Pada latihan fisik aerobik intensitas sedang, sistem energi aerobik
menyediakan hampir seluruh energi yang dibutuhkan untuk kerja otot. Asam laktat
dihasilkan dalam kecepatan yang cukup lambat selama latihan dan dioksidasi atau
diubah kembali menjadi glikogen di hati (kecepatan pembentukan asam laktat
seimbang dengan kecepatan pengubahan asam laktat). Jadi, dibawah kondisi steady-
state (siaga) akumulasi laktat minimal (Irianti, 2008).
Menurut Almatsier (2002) aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh
otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot
membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan
paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen
keseluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang
dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan
berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Aziiza, 2008).
32
Komponen terbesar kedua dari penggunaan energi total setelah metabolisme
basal yaitu penggunaan energi pada aktivitas fisik. Riyadi (2006) menyatakan bahwa
jika diketahui jumlah energi tubuh yang telah dikeluarkan selama aktivitas sehari
maka sebenarnya jumlah tersebut merupakan kebutuhan energi seseorang, dengan
asumsi aktivitas harian tersebut merupakan aktivitas normal sehari-hari untuk hidup
sehat. Intensitas aktivitas fisik secara khusus digolongkan menjadi aktivitas ringan,
sedang, dan berat yang didasarkan pada jumlah usaha atau energi yang digunakan
seseorang untuk melakukan aktivitas (Aziiza, 2008).
Hardinsyah dan Martianto (1988) mengelompokkan pengeluaran energi
berdasarkan jenis kegiatan antara lain: tidur, pekerjaan (ringan, sedang, berat), santai,
dan kegiatan lainnya (kegiatan rumah tangga, sosial, dan olah raga atau kesegaran
jasmani). Kegiatan di rumah tangga meliputi: memperbaiki rumah, membersihkan
rumah, dan memelihara pekarangan, menyiapkan makanan dan minuman, mengasuh
anak, dan kegiatan lainnya di rumah tangga. Kegiatan sosial meliputi: menghadiri
rapat, pertemuan, undangan, bertamu atau berkunjung, pergi ke tempat pelayanan
kesehatan, ke tempat ibadah, dan lain-lain. Kegiatan olah raga meliputi: latihan,
kesegaran jasmani, dan lain-lain (Aziiza, 2008).
Menurut Nuhonni (2000) aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan
pada tubuh atau anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang, seperti jalan kaki,
jogging, aerobik (termasuk dansa) atau jalan naik turun bukit. Aktivitas fisik juga
dapat dilihat dari kebutuhan energi untuk aktivitas yang dilakukan sehari-hari dengan
cara mencatat semua waktu kegiatan dalam satuan jam dan selanjutnya dikalikan
dengan kebutuhan energi untuk tiap jenis aktivitas dalam satuan kalori/kg berat
33
badan/jam. Kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 5. Kebutuhan Energi Untuk Berbagai Aktivitas (Kosnayani, 2007)Aktivitas Kal/
Kg/JamAktivitas Kal/
Kg/jamBersepeda (cepat) 7,6 Main piano (sedang) 1,4Bersepeda (sedang) 2,5 Membaca keras 0,4Menyulam 0,4 Berlari 7,0Berdansa (cepat) 3,8 Menjahit, tangan 0,4Mencuci piring 1,0 Menjahit, mesin jahit tangan 0,6Mengganti baju 0,7 Menjahit, mesin jahit motor 0,4Menyetir mobil 0,9 Menyanyi, keras 0,8Makan 0,4 Duduk diam 0,4Mencuci pakaian 1,3 Berdiri tegap 0,5Menulis 0,4 Berdiri relaks 0,5Mengecat kursi 1,5 Menyapu lantai 1,4Tiduran 0,1 Berenang 3 ½ Km/jam 7,9Main pingpong 4,4 Berjalan 6,8 Km/jam (cepat) 3,4Bertukang/kayu (berat) 2,3 Berjalan 10 Km/jam (sangat cepat) 9,3
Menurut Muhilal dkk (1994), melalui perhitungan Angka Metabolisme Basal
(AMB) responden dengan menggunakan persamaan menurut FAO (1985) :
Wanita dengan usia 30 – 60 tahun : 8,7 BB + 829 kkal
Wanita dengan usia > 60 tahun : 10,5 BB + 596 kkal
aktivitas fisik dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Ringan, (jenis kegiatan 25% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri, 75 %
untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi totalnya (AMB +
aktivitas fisik) atau sebesar 1,55 AMB.
2. Sedang, (jenis kegiatan 40% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri, 60 %
untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi totalnya (AMB +
aktivitas fisik) atau sebesar 1,70 AMB.
34
3. Berat, (jenis kegiatan 75% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri, 25 %
untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi totalnya (AMB +
aktivitas fisik) atau sebesar 2,00 AMB (Kosnayani, 2007).
35
II.2 Kerangka Teori
Aktivitas Fisik
Staging Tekanan Darah
Faktor Genetik
Riwayat Keluarga
Respon Individual
Merokok
Psikososial/Stress
Alkohol
Gaya Hidup
UmurJenis Kelamin
Biologis
Gen Khusus
ObesitasKonsumsi
36
II.3 Kerangka Konsep
II.4 Hipotesis
Ada hubungan umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik dengan staging
tekanan darah.
Variabel Independen
Umur
Jenis kelamin
Aktifitas Fisik
Variabel Dependen
Staging Tekanan Darah