BAB 2 TP 2003 - Copy

download BAB 2 TP 2003 - Copy

of 32

description

jurnal

Transcript of BAB 2 TP 2003 - Copy

38

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks

Kanker serviks suatu keadaan akhir dari sel epitel serviks yang terinfeksi Human Papilloma Virus (HPV) onkogenik yang telah mengalami integrasi DNA virus ke dalam DNA sel, disertai dengan berbagai kofaktor lain, seperti penurunan sistem imun, merokok, infeksi oleh mikroba lain, dan instabilitas kromosom, (Hacker dan Friedlander, 2010; Hersoug, 2006) menyebabkan sel epitel terinfeksi tersebut mengalami transformasi ganas, ditandai dengan invasi sel ke jaringan sekitarnya, tidak mengalami apoptosis, terus tumbuh, mengalami neovaskularisasi, dan metastasis. Spektrum penyakit ini dimulai dari invasi jaringan lokal sampai metastasis jauh ke organ lain. Pada tahap awal seringkali tidak memberikan gejala sampai terjadi invasi yang lebih dalam atau ke organ sekitarnya, memberikan gejala terbanyak adalah perdarahan uterus abnormal atau pelepasan lendir vagina. (Holschneider, 2007)

2.1.1. Epidemiologi Kanker ServiksKanker serviks adalah kanker tersering nomer tiga pada wanita di dunia, dan nomer dua di negara berkembang. Kanker serviks adalah penyebab kematian terbanyak nomer empat pada wanita di dunia. Lebih dari delapan puluh lima persen dari kasus baru tersebut ditemukan di negara berkembang. Di negara berkembang jumlah kasus baru kanker serviks tiap tahun kurang lebih 529.800 dengan jumlah kematian terkait penyakit ini sebesar 275.100. (Jemal, 2011) Menurut Kementrian Kesehatan Indonesia, data Sistem Informasi Rumah Sakit tahun 2007 menunjukkan bahwa kanker serviks menempati tempat kedua setelah kanker payudara sebagai diagnosis pasien rawat inap sebesar 10,3 %. (Anonim, 2008) Jumlah pasien dengan kanker serviks di RSUP Sanglah pada tahun 2007 didapatkan sebanyak 189 pasien,di mana tipe skuamosa yang paling banyak. (Susanti, 2006)2.1.2 Anatomi dan Histologi Serviks

Serviks adalah perpanjangan dari segmen bawah rahim dan dapat dibagi menjadi komponen vagina dan supravagina. Panjang serviks bervariasi, dengan rerata sebesar 3 4 cm. Di tengah tengah komponen vagina serviks terdapat os eksterna serviks, yang menghubungkannya dengan kanalis endoservikalis, os interna serviks, dan kanalis endometrium. Serviks adalah organ fibrosa yang dilapisi oleh sel epitel skuamosa dan kolumner. Transisi dari sel kolumner ke sel skuamosa terdapat pada area os serviks di zona transformasi. (Randall, 2009)

Epitel kolumner yang melapisi saluran vagina mengalami kolonisasi oleh pertumbuhan keatas dari epitel skuamosa berlapis yang berasal dari endoderm kloaka pada usia kehamilan 18 20 minggu. Pertemuan antara epitel skuamosa berlapis vagina dan ektoserviks dengan epitel kolumner kanalis endoservikal disebut sebagai sambungan skuamokolumner. Posisi sambungan tersebut bervariasi, 66% pada ektoserviks, 30% pada kanalis endoservikalis, dan 4% pada fornix vagina bayi. Posisi sambungan tersebut menentukan luasnya metaplasia skuamosa serviks. Posisi sambungan tersebut dapat berubah sepanjang hidup perempuan karena adanya pengaruh stimulasi hormon. Peningkatan sekresi estrogen pada pubertas atau kehamilan menyebabkan peningkatan volume serviks dan eversi epitel kolumner endoservikal. Eversi epitel tersebut menyebabkan paparan pada lingkungan vagina yang asam, meghasilkan proliferasi sel stroma dibawah epitel kolumner. Hal ini menyebabkan terjadi pergeseran epitel kolumner dengan epitel skuamosa metaplastik imatur, tidak terdiferensiasi, dan berlapis, yang selanjutnya akan mengalami maturasi. Hal ini menyebabkan sambungan linear kedua epitel tergantikan oleh suatu zona epitel skuamosa metaplastik yang disebut zona transformasi. (Campion, 2010)

Suplai darah serviks terutama berasal dari arteri uterina. Pembuluh darah ovarium juga memberikan suplai darah ke serviks. Terdapat banyak anastomosis antara arteri uterina dan ovarium. Drainase vena mengikuti pembuluh darah arteri. Drainase limfatik serviks amat banyak dan kompleks. Di sebelah lateral serviks, drainase limfe mengalir ke limfonodi paraservikal dan parametrial lalu ke rantai iliaka internal, eksternal dan communis. Limfonodi obturatorium adalah bagian paling medial dari area nodi iliaka eksternal. Rute drainase limfatik lainnya antara lain limfonodi gluteal inferior dan superior dan limfonodi rektum superior, presakral, dan paraaorta. Persarafan serviks berasal dari cabang sakral (S2-S4) melintas melalui pleksus hipogastrika. (Randall, 2009)2.1.3 Karsinogenesis Kanker Serviks

Kanker serviks hampir seluruhnya disebabkan oleh infeksi HPV onkogenik. Studi epidemiologis menemukan bahwa hubungan antara infeksi HPV dengan kanker serviks bersifat kausal. (Stanley, 2001) Genus HPV yang paling penting secara klinis adalah golongan alpha-papillomavirus. Anggota genus tersebut adalah semua tipe HPV yang berkaitan dengan lesi mukosa dan genital. Tabel berikut mencantumkan anggota genus alpha-papillomavirus. (Bernard, 2005)Tabel 2.1

Anggota Genus Alpha-Papillomavirus (Bernard, 2005)

Family : Papillomavirus (Papillomaviridae)

GenusSpesiesTipe

Alpha-papillomavirus4HPV-2, HPV-27, HPV-57Warts kulit biasa, seringkali warts genital pada anak anak

5HPV-26, HPV-51, HPV-69, HPV-82Lesi mukosa jinak dan risiko tinggi ganas

6HPV-53, HPV-30, HPV-56, HPV-66Lesi mukosa jinak dan risiko tinggi ganas

7HPV-18, HPV-39, HPV-45, HPV-59, HPV-68, HPV-70Lesi mukosa risiko tinggi ganas, beberapa (terutama HPV-18) lebih sering pada karsinoma serviks adenosa daripada skuamosa

8HPV-7, HPV-40, HPV-43Lesi mukosa dan kulit risiko rendah, HPV-7 dikenal sebagai virus butchers warts, sering pada lesi di pasien dengan HIV

9HPV-16, HPV-31, HPV-33, HPV-35, HPV-52, HPV-67Lesi mukosa risiko tinggi ganas, beberapa (terutama HPV-16) lebih sering pada karsinoma serviks skuamosa daripada adenosa, HPV-16 adalah tipe yang paling sering ditemukan pada keganasan serviks.

10HPV-6, HPV-11, HPV-13, HPV-44, HPV-74Lesi mukosa jinak, HPV-6 dan HPV-11 pada warts genital laki laki dan perempuan, kondiloma akuminata serviks, papilloma laringeal. Beberapa lesi ini dapat mengalami progresi menjadi ganas.

HPV-16 dan HPV-18 paling sering ditemukan pada karsinoma serviks dan WHO telah menyatakan bahwa HPV-16 dan HPV-18 adalah agen karsinogenik manusia (Cheng, 2005) Sifat karsinogenik yang dimiliki oleh HPV-16 dan HPV-18 disebabkan oleh gen gen onkogenik yang terkandung di dalam DNA virus tersebut. Ekspresi sifat sifat onkogenik HPV sangat terkait dengan siklus hidup dan perjalanan klinis infeksi virus tersebut.

HPV adalah virus berukuran kecil (52-55 nm), nonenveloped, dengan DNA rantai ganda, terbungkus dalam kapsid protein icosahedral dengan 72-sisi. Genom HPV tersusun atas DNA rantai ganda sirkuler yang terdiri dari kurang lebih 7900 pasangan basa nukleotida yang terikat pada histon seluler dan berada dalam kapsid protein yang terbentuk dari 72 capsomer. Kapsid mengandung dua protein struktural, yaitu Late (L) I, yang berukuran 55kDa, menyusun 80% dari total protein virus, dan L2, yang berukuran 70kDa, yang keduanya terkoda dalam virus. (IARC, 2007; Campion, 2010)

Genom semua tipe HPV mengandung kurang lebih delapan Open Reading Frame (ORF) yang semuanya ditranskripsi dari seutas DNA. ORF dapat dibagi menjadi tiga bagian fungsional, yaitu area Early (E) yang mengkode protein E1-E7 yang berperan dalam replikasi virus; area L; dan bagian non-koding, disebut sebagai Long Control Region (LCR), yang mengandung elemen cis yang dibutuhkan untuk replikasi dan transkripsi DNA virus. (Fehrmann dan Laimins, 2003)

.

Gbr.2.1. Genom HPV 16 (Schiffman, 2007)

Protein E virus ditranskripsi dari promoter awal, sedangkan protein L ditranskripsi oleh promoter akhir. Protein E1 dan E2 HPV berperan sebagai faktor yang mengenali asal replikasi, E2 juga berperan sebagai regulator utama pada transkripsi gen virus. E4 diyakini terlibat pada stadium akhir dari siklus hidup virus dan E5 mungkin berperan pada fase awal dan akhir. Sasaran protein E6 dan E7 adalah beberapa regulator negatif pada siklus sel, terutama p105Rb dan p53. Selama siklus hidup virus, E6 dan E7 memfasilitasi perawatan episom viral dan menstimulasi sel yang sedang berdiferensiasi untuk masuk kembali ke fase S. Protein L1 dan L2 tersusun dalam kapsomer, yang membentuk kapsid icosahedral di sekeliling genom virus selama pembentukan progeni virion (Fehrmann dan Laimins, 2003)

Tabel 2.2. Fungsi ORF HPV-16 (Stanley, 2001)

ORFFungsi

E6Bekerja sama dengan E7 untuk immortalisasi dan transformasi. Mengikat p53 dan mengarahkan degradasi p53 oleh proteolisis melalui ubiquitin.

E7Bekerja sama dengan E6 untuk immortalisasi keratinosit. Transaktivasi transkripsiona. Berikatan dengan pRb dan mendisosiasi kompleks E2f-Rb yang merangsang transkripsi gen, diikuti dengan deregulasi cekpoin G1/S dalam siklus sel.

E1Helicase esensial bagi replikasi DNA virus ekstrakromosom dan melengkapi siklus hidup virus. Bekerja dengan produk E2

E2Protein utuh bekerja sebagai aktivator transkripsi virus dan berikatan pada DNA pada URR untuk meningkatkan transkripsi pada area Early Mengikat E1 untuk memfasilitasi inisiasi replikasi DNA virus Penting dalam enkapsidasi genom

E4Berinteraksi dengan protein sitoskeletal Diekspresikan pada infeksi tahap lanjut, saat terjadi penyusunan virion

E5Aktivitas transformer lemah Upregulasi jumlah reseptor faktor pertumbuhan

L1Protein kapsid mayor

L2Protein kapsid minor

HPV sepenuhnya bersifat epitheliotropik, sehingga amat bergantung pada diferensiasi epitel untuk memenuhi siklus hidupnya. Infeksi awal memerlukan akses pada sel di lapisan basal, sehingga diperlukan perlukaan pada epitelium berlapis. Perlukaan tersebut dapat terjadi karena adanya mikrotrauma atau pengaruh lingkungan lainnya. Setelah infeksi, genom viral dipertahankan sebagai episome dalam jumlah rendah. Selama diferensiasi epitel, promoter p97 mengarahkan ekspresi gen E6 dan E7 yang diperlukan untuk masuk ke dalam fase S. promoter p670 mengalami peningkatan regulasi pada lapisan epitel yang lebih tinggi, dan protein replikasi virus (E1, E2, E4, dan E5) meningkat jumlahnya, dan membantu amplifikasi genom virus. Perubahan dalam splicing mRNA menyebabkan E4 bertahan sampai lapisan epitel atas, tempat ditemukannya protein kapsid virus. (Doorbar, 2005)

Sel di lapisan epitel bawah mampu masuk ke fase S. Amplifikasi genom virus dimulai dari sel ini namun berhenti begitu sel kehilangan kemampuannya mengekspresikan protein fase S. Walaupun genom viral teramplifikasi dapat terdeteksi pada lapisan epitel atas, sel yang aktif mendukung amplifikasi genom tampak terbatas pada area yang menggambarkan pertemuan antara ekspresi E7 dengan E4, dan mungkin juga peningkatan jumlah E1 dan E2.

Gbr.2.2. Siklus Hidup HPV pada Infeksi Produktif (Doorbar, 2005)

Progresi infeksi HPV menjadi kanker serviks adalah proses yang lambat, dan dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu transmisi HPV pada epithelium metaplastik di zona transformasi serviks, persistensi virus, progresi klon sel epithelium yang mengalami infeksi persisten menjadi prekanker, dan invasi menembus membran basalis epithelium. (Schiffman, 2007) Tahap pertama adalah transmisi atau infeksi HPV. Infeksi akan hilang dalam waktu dua tahun pada sebagian besar orang yang terinfeksi. Namun sekitar 10 persen dari infeksi tersebut akan bertahan. Virus dapat bertahan selama beberapa tahun dan erat kaitannya dengan tingginya risiko terdiagnosis dengan Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL). Tahap kedua, LSIL, ditandai dengan displasia ringan karena progresi sel yang terinfeksi menjadi prekanker. Lesi ini dapat berkembang lebih jauh menjadi High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL), tahap ketiga, yang ditandai dengan displasia moderat yang dapat mengalami progresi ke tahap terakhir, karsinoma invasif. (Piersma, 2011) Regresi lesi dapat terjadi, yang disebut klirens infeksi HPV. Regresi lesi prekanker menjadi normal lebih jarang terjadi. (Schiffman, 2007)

Gbr.2.3. Progresi Ganas yang Dipicu HPV (Piersma, 2011)

Enam ciri khas dari awal onkogenesis adalah sel kanker yang menyediakan faktor pertumbuhan mereka sendiri, mengabaikan sinyal penghambat pertumbuhan, menghindari kematian sel, replikasi tanpa batas, mempertahankan angiogenesis, dan menginvasi jaringan melalui membran basalis dan dinding kapiler. Pada tahap awal karsinogenesis, barrier intrinsik sel terhadap perkembangan tumor diimbangi dengan adanya terhadap respon imun antitumor yang aktif, sedangkan pada pertumbuhan tumor berlebihan berkorelasi dengan perubahan pada imunogenisitas sel tumor. (Hanahan, 2000; Jayshree, 2009) Defek atau penurunan efisiensi dalam imunosurveilans mungkin berperan pada peningkatan insiden keganasan dan dapat menjadi ciri ke tujuh kanker (Schreiber, 2006)

2.1.4 Histopatologi Kanker Serviks

Pemeriksaan histology kanker serviks langkah yang penting dalam menentukan terapi dan prognosis dari pasien. Menurut WHO pembagian histology seperti table di bawah ini:

Squamous cell carcinoma (epidermoid carcinoma)

Keratinising (well differentiated and moderately differentiated)

Non keratinizing (large and small cell types)

Spindle cell carcinoma

Adenocarcinoma ebndocervical type

Variant: adenoma malignum (minimal deviation carcinoma)

Variant: villoglandular papillary adenocarcinoma Endometrioid adenocarcinoma

Clear cell adenocarcinoma

Serous adenocarcinoma

Mesonephric adenocarcinoma

Intestinal type (signet ring) adenocarcinoma

Other epithelial tumors

Adenosquamous carcinoma

Adenoid cystic carcinoma

Small cell carcinoma

Undifferentiated carcinoma

Metastatic tumors (breast, ovary, colon, dan direct spread of endometrial carcinoma)2.1.4.1 Kanker Serviks Tipe SkuamosaDua kasus terbanyak kanker serviks adalah karsinoma sel skuamosa dan adenomatosa dimana 85 persen dari semua kanker serviks merupakan sel tumor skuamosa dan berasal dari ektoserviks. Dalam 30 tahun terakhir, terjadi penurunan insiden kanker sel skuamosa dan peningkatan insiden karsinoma adenomatosa. Perubahan ini adalah karena peningkatan metode pemeriksaan lesi awal prekanker skuamosa (Vizcaino,2000)

Karsinoma skuamosa tersususn dari sel skuamosa. Kebanyakan karsinoma skuamosa adalah bersifat nonkeratinisasi, sedangkan yang bersifat keratinisasi ditandai oleh adanya mutiara keratin. Secara umum hanya sedikit perbedaan prognosis dari ketiga pembagian tersebut. Ada pendapat mengatakan lebih berguna bila kanker jenis ini diklasifikasikan berdasarkan diferensiasi selnya seperti berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk. Karsinoma skuamosa diferensiasi baik ditandai oleh : gambaran berbentuk pita atau pulau terpisah, adanya jembatan interselular serta banyak bentukan mutiara epitel, menampakkan relatif sedikit pleomorfia,atipia atau aktivitas mitosis. Berdiferensiasi sedang ditandai oleh: kecenderungan menunjukkan pertumbuhan infiltrasi atau bentuk lembaran padat, jembatan interselular yang kurang dan tidak teratur, ada sel keratinisasi secara tersendiri tapi mutiara epitel tidak ada; pleomorfia, atipia, aktivtas mitosis tampak jelas. Diferensiasi buruk ditandai oleh : banyak bentuk sel muda, pleomorfia sehingga sulit dikenali sel dewasanya. Sedangkang undifferentiated bila tidak ada memenuhi kriteria diatas serta tidak ada musin. Subtipe lain dari sel skumosa karsinoma adalah karsinoma verukosa, condilomatous ( warty ) , papiler skuamosa karsinoma serta lymphoepithelioma-like carcinoma . Pada sel skumosa karsinoma lebih banyak ditemukan HPV tipe 16.(Wright TC et al, 2002)

Gbr. 2.4. Keratinizing well differentiated dan non-keratnizing invasive squamous cell carcinoma (WHO, 2008)2.1.4.2 Kanker Serviks Tipe Adenosa

Kanker serviks tipe adenosa berawal dari kelenjar epitel saluran endoserviks. Bentuk paling umum di mana kelenjar berbentuk dan berukuran tidak beraturan dengan bercabang. Sebagian besar tumor ini berdifferensiasi sedang sampai baik. Bagian-bagian penyusun kelenjar tersusun dalam suatu komplek. Papil terlihat sampai ke lumen.

Kehadiran sel tumor di antara ruang kapiler membuktikan pertumbuhan agresif dari sel tumor baik kanker serviks skuamosa dan adenosa, hal ini juga memiliki korelasi dengan meningkatnya metastasis kelenjar getah bening sekitarnya serta prognosis yang buruk.

Gbr. 2.5 invasive adenocarcinoma2.2 Sistem Imun dalam Kanker Serviks

Transformasi ganas kanker serviks melibatkan pertentangan terus menerus antara sel tumor dan sistem imun. (Piersma, 2011) Kompartemen imun innate dan adaptif berpartisipasi dalam proses tersebut dan tidak hanya berperan untuk melindungi penderita dari perkembangan tumor, tetapi juga membentuk, atau mengedit imunogenisitas tumor. (Jayshree, 2009) Schreiber (2011) mengusulkan bahwa proses yang dapat berlangsung bertahun tahun ini, cancer immunoediting, terdiri dari tiga fase yang disingkat three Es, yaitu Elimination, Equilibrium, dan Escape.

Tahap Elimination adalah tahap timbulnya respon imun baik bawaan ataupun adaptif untuk mendeteksi dan membunuh sel tumor sebelum tampak secara klinis. Mekanisme perangsangan sistem imun terhadap adanya tumor masih belum sepenuhnya dipahami. Beberapa kemungkinan yang terjadi adalah adanya danger signal, berupa ekspresi Interferon (IFN) tipe I yang terinduksi pada awal pembentukan tumor. Sitokin ini mengaktivasi sel dendrite dan membantu induksi sistem imun adaptif. Ekspresi molekul Damage-associated Molecular Pattern (DAMPs) dari jaringan tumor yang mati atau jaringan sehat yang mengalami kerusakan karena invasi tumor juga telah dipertimbangkan. Mekanisme ke tiga adalah ekspresi ligan stress pada permukaan sel tumor, yang dapat mengaktivasi sistem imun bawaan, yang memicu pelepasan sitokin proinflamasi dan imunomodulator, yang selanjutnya menc.iptakan lingkungan yang memfasilitasi aktivasi sistem imun adaptif. Fase eliminasi memerlukan ekspresi tumor antigen yang dapat memicu propragasi sel T efektor CD8 dan CD4, dan hal ini ditemukan pada wanita dengan displasia serviks yang mengalami regresi. (Nakagawa, 2005; Schreiber, 2011)

Tahap Equilibrium menunjukkan adanya varian sel tumor yang mampu bertahan dari respon imun adaptif. Sistem imun mempertahankan sel tumor pada fase laten. Fase ini diperkirakan dapat berlangsung cukup lama. Pertumbuhan tumor yang timbul pada fase ini disebabkan oleh penurunan respon imun. Penelitian pada tikus dengan sistem imun baik yang diberikan karsinogenik dosis rendah menunjukkan sel kanker dapat tersembunyi dalam waktu cukup lama tanpa memberikan gejala. Begitu sistem imun tikus tersebut diablasi maka sel tumor mulai tumbuh di tempat penyuntikan. (Schreiber, 2012)

Tahap Escape adalah tahap sel tumor memiiliki mekanisme untuk menghindari pengenalan atau penghancuran oleh sistem imun sembari terus bertumbuh dengan progresif. Tahap ini dapat tercapai karena terjadi perubahan sel tumor karena tekanan sistem imun atau terjadi perubahan pada sistem imun, baik berupa perburukan sistem imun atau, dipicu oleh sel kanker, malah menimbulkan imunosupresi. (Schreiber, 2011). Terdapat temuan baru, yaitu infiltrasi limfosit aberan pada tepi jaringan tumor dapat mengurai taut interseluler dan molekul perekat permukaan, menyebabkan disosiasi sel tumor dari jaringan tumor dan penempelan limfosit pada sel tumor tersebut lalu membawanya ke jaringan lain, menyebabkan metastasis tumor. (Song, 2012)

Gbr.2.4. Konsep 3E dalam Imunoediting Kanker (Schreiber, 2011)

Konsep diatas menunjukkan peran ganda sistem imun, yaitu dapat membasmi sel kanker atau mendukung pertumbuhannya. Sistem imun bawaan dan adaptif berperan dalam keduanya, berinteraksi sedemikian rupa sehingga menimbulkan proses inflamasi kronis dalam lingkungan tumor. Sistem imun adaptif tampak berperan penting dalam proses terjadinya kanker serviks, karena pada infeksi HPV sebelum terjadinya integrasi DNA, ditemukan respon imun seluler yang tinggi dalam jaringan, menyebabkan penyembuhan lesi yang disebabkan infeksi HPV. Efektor utama dari sistem imun adaptif adalah sel T sitotoksik (CTL). Pada kanker serviks, sel sel kanker ditemukan selalu mengekspresikan protein E6 dan E7, namun respon imun di jaringan sulit dinilai. Karena itulah penilaian respon imun seluler dilakukan melalui darah. (Das, 2003; Nakagawa, 2005) Penilaian subpopulasi sel T sitotoksik dalam darah pada pasien kanker serviks masih bervariasi hasilnya. 2.2.1 Peran Sistem Imun Seluler pada Kanker Serviks

Peran sistem imun seluler dalam kanker serviks mulai tampak sejak ditemukan bahwa pada pasien yang mengalami depresi sistem imun seperti penderita HIV/AIDS atau pasien transplantasi organ, mengalami peningkatan insiden displasia serviks, warts genital, atau rekurensi infeksi HPV. (Steele, 2005; Veroux, 2009) Nakagawa et al (2005) menemukan bahwa tidak terdapat respon sel T sitotoksik pada wanita dengan infeksi HPV persisten, dibandingkan dengan wanita yang mengalami klirens. Fan et al (2011) menemukan bahwa pada CIN dan kanker serviks ditemukan penurunan regulasi atau bahkan delesi HLA-1, CD8 dan CD4. Fungsi sel T CD8+ sebagai antivirus yang paling banyak diketahui adalah sitolitik yang membunuh sel target melalui protein pembentuk pori namanya perforin. Sel ini lebih banyak diketahui sebagai CTL yang sering digunakan sebagai sinonim untuk semua sel T CD8+. Aktifitas CTL terdeteksi 4-5 hari setelah terinfeksi, dan puncaknya pada hari 7-10, kemudian menurun segera setelahnya sampai kira-kira hari ke 15, kebanyakan sel T CD8+ yang spesifik terhadap virus kehilangan kemampuan untuk melisis sel target. Cara lain sel T CD8+ mengkontrol infeksi virus adalah melalui mekanisme non litik, dengan mengekskresi sitokin seperti IFN-, dan TNF, yang langsung mengurangi virus dan dapat mengobati sel yang terinfeksi melalui inaktivasi replikasi virus tanpa adanya kematian sel. Jadi berdasarkan fungsi antivirus, sel T CD8+dibagi menjadi 4 kelas besar: non litik dan non sitokin (sel naf), litik non sitokin, litik dan sitokin, dan non litik sitokin. (Whitton et al,2005)Ada 3 fase respon sel T CD8+ sebgai antivirus, yaitu ekspansi, kontraksi dan memori.(Whitton et al,2005)

1. Fase ekspansi: sel T CD8+ naif mengekpresikan banyak protein seperti CD26L, dan CCR7 yang memediasi perlekatannya ke venula limfonodi sehingga sel naif diambil kembali kedalam jaringan limfoid yang kaya APC. Jika sel naf berjumpa dengan antigen yang dipresentasikan dengan APC. Sinyal yang tergantung pada TcR akan mengakibatkan pembelahan dan diffrensiasi sel. Aktifasi sel T mengakibatkan down regulasi CD26L ,dan CCR7, lalu mengijinkan sel baru keluar dari limfonodi. Studi terkini menunjukkan bahwa beberapa jam terekspos antigen dapat mengakibatkan sel T CD8+ berkembang penuh tanpa adanya kontak antigen tambahan (tidak tergantung antigen). Sel T memerlukan 6 jam antara tiap pembelahan, dan respon sel T yang spesifik terhadap virus mempunyai waktu puncak 7-10 hari setelah infeksi virus yang selanjutnya menurun.2. Fase kontraksi ( fase kematian): fase ini mulai 6 hari setelah infeksi. Kira-kira 90% sel T mati sampai hari ke 21 setelah infeksi. Mekanisme yang mengatur kematian sel T masih belum jelas namun teori yang diterima secara aptosis melalui 2 mekanisme yaitu: activation-induced cell death (AICD) atau cytokine withdrawl [activated T cell autonomous death (ACAD)]. Kemungkinan jalur-jalur apoptosis ini ditentukan oleh sejarah sel (jumlah pembelahan yang sudah terjadi, kontak antigen), dan microenvironment mereka. Waktu berperan penting dalam apoptosis. 3. Fase memori : sel T memori CD8+ penting untuk melindungi dari infeksi banyak dan vaksin percobaan yang menginduksi hanya sel T memori CD8+ ( tidak termasuk antibodi ) ternyata melindungi secara baik dari serangan virus. Jumlah memori yang diinduksi oleh suatu infeksi berhubungan dengan derajat ekspansi sel T CD8+ ketika respon primer dan pada suasana normal, jumlah sel memori yang istirahat bertahan stabil sampai bertahun-tahun setelah infeksi atau vaksinasi. Jumlah sel T memori CD8+ yang stabil ini terjadi melalui pembelahan yang diatur oleh sitokin, terutama IL-7 dan IL-15, dan tidak perlu melakukan kontak antigen terus menerus. Sel T memori terdapat banyak pada jaringan non-limfoid, meningkatkan kemampuan host untuk secara cepat mengeradikasi virus.2.2.2 Mekanisme Kanker Serviks Dalam Menghindari Sistem Imun

Instabilitas genetik adalah ciri molekuler sel kanker yang disebabkan oleh delesi/mutasi yang menyebabkan inaktivasi penjaga genom, misalnya p53. Akibatnya sel kanker akan terus membentuk antigen. Pengenalan system imun terhadap tumor pada dasarnya bergantung pada pengenalan sel T terhadap antigen spesifik atau antigen terkait tumor. (Drake, 2006) Sel yang telah bertransformasi mendapatkan beberapa mekanisme untuk melindungi diri mereka dari respon imun seluler. (Piersma, 2011) Mekanisme ini meliputi :

a. Penurunan regulasi MHC klas I dan gangguan pemrosesan antigen untuk mencegah presentasi antigen

Sel kanker serviks secara konsisten mengalami penurunan modulasi MHC klas I seiring progresinya dari lesi prekanker menjadi kanker melalui berbagai mekanisme. Kehilangan HLA alel individual secara selektif terjadi pada banyak kasus kanker. Penurunan modulasi atau hilangnya MHC klas I secara global juga telah dilaporkan, dan paling sering disebabkan oleh terjadinya mutasi dan delesi pada gen 2 mikroglobulin. Penurunan modulasi gen MHC klas I juga dapat disebabkan oleh gangguan pada mekanisme transkripsi. (Drake, 2006)

Penurunan regulasi gen TAP dan komponen imunoproteasom, seperti LMP-2 dan LMP-7, juga dapat menyebabkan penurunan ekspresi antigen. (Drake, 2006) Presentasi antigen protein E6 HPV-16 bergantung pada TAP dan proteasom, sehingga defek pada protein tersebut dapat menyebabkan menurunnya pengenalan sel tumor oleh sel T spesifik HPV. Efek ini ditemukan pada protein E7 HPV-11, tapi tidak ditemukan pada tipe lain. Protein E7 dari HPV 16 dan 18 ditemukan menurunkan ekspresi heavy chain MHC klas I, LMP2, dan atau TAPI Namun demikian, kehilangan MHC klas I jarang ditemukan pada LSIL atau HSIL. Gangguan pada TAP hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien kanker serviks. Hal ini menunjukkan inteferensi HPV terhadap proses ekspresi MHC klas I tidak dominan. (Drake, 2006; Piersma, 2011)

Defek MHC klas I dapat timbul pada transformasi ganas karena tekanan imunologis tumor. Gangguan pada jalur presentasi MHC klas I telah diamati pada 90% pasien kanker serviks, namun kehilangan total MHC klas I hanya ditemukan pada 10% pasien. (Piersma, 2011)

b. Resistensi terhadap apoptosis yang dimediasi sel T

Faktor imunosupresif yang dihasilkan oleh sel tumor berperan dalam microenvironment yang bersifat imunosupresif. Faktor tersebut antara lain indoleamine 2,3-di oxygenase (IDO), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Tumor Growth Factor (TGF ) dan IL-10. (Piersma, 2011)

HPV diperkirakan menginduksi produksi factor imunosupresif. Protein E6 dan E7 dilaporkan telah menghambat Interferon Regulatory Factors (IRF3 dan IRF1), yang merupakan factor transkripsi yang terlibat dalam jalur imunitas. Protein HPV menyebabkan gangguan pada jalur IFN yang menyebabkan gen NFB terstimulasi, menghasilkan penurunan kadar sitokin pro inflamasi. Hal ini mungkin merupakan mekanisme langsung HPV dalam menciptakan lingkungan yang imunosupresif. (Piersma, 2011)c. Mengundang sel imun yang dapat menghambat respon imunitas.

Sel sel yang terlibat berasal dari sistem imun bawaan dan adaptif yang mampu menekan respon antitumor. Makrofag direkrut oleh berbagai tipe tumor dalam jumlah besar, dan sebagian besar mengalami diferensiasi menjadi fenotip M2. Tumor-associated Macrophages (TAMs) memiliki efek langsung pada pertumbuhan tumor, vaskularisasi, dan modulasi stroma tumor. TAM juga memproduksi berbagai sitokin dan khemokin, yang mengakibatkan sel tumor menghindari sistem imun di berbagai tingkat, antara lain berubahnya fenotip sel dendrit (DC) dan modulasi respon sel T. (Piersma, 2011)

Sel dendrit adalah pemain kunci dalam inisiasi dan pengaturan respon imun. DC ditemukan menginfiltrasi jaringan tumor, namun biasanya memiliki fenotip yang imatur karena sel sel ini tidak memiliki molekul kostimulari. Sel DC ini memicu delesi dan anergi sel T daripada menginduksi sel T efektor yang dapat membasmi tumor. (Melief, 2008) Pada kanker serviks ditemukan DC imatur dalam jumlah yang sama dalam jaringan tumor dibandingkan dengan serviks normal. Jumlah DC meningkat sesuai dengan ukuran tumor, yang dapat mengindikasikan bahwa DC mulai teraktivasi dalam tumor, namun kemampuannya bermigrasi keluar dari tumor menurun. Dalam limfonodi yang menjadi muara tumor pada kanker serviks ditemukan DC yang mengekspresikan IDO, menandakan sel ini berperan dalam menghindari sistem imun. (Piersma, 2011)2.3 Katepsin

Katepsin adalah cysteine protease lisosom yang tergolong dalam keluarga papain, yang ditandai dengan sebuah lokasi aktif yang berisi residu asam amino cysteine dan histidine yang membentuk pasangan ion katalitik. Katepsin manusia terdiri dari 11 jenis, yaitu katepsin B, C, H, F, K, L, O, S, V, W, dan X/Z. Katepsin mulanya dipikirkan hanya memediasi degradasi terminal protein intraseluler dalam lisosom, namun baru baru ini ditemukan bahwa setiap katepsin memiliki fungsi biologis yang beragam, antara lain metabolisme thrombin dan fibronectin, klirens apoptotik sel-sel terinfeksi virus dan sel tumor melalui limfosit sitotoksik, bertahan hidup melalui sepsis, dan arthritis eksperimental. (Affara, 2008)

Anggota keluarga cysteine katepsin memiliki perbedaaan spesifisitas walaupun memiliki kemiripan pada sekuens dan lipatan. Sebagian besar adalah endopeptidase, namun beberapa memiliki aktivitas exopeptidase, misalnya katepsin X adalah carboksipeptidase dan katepsin C dapat memotong dipeptida dari terminus-N substrat proteinnya. Katepsin B dan H memiliki aktivitas endo dan eksopeptidase. Perbedaan spesifitas ini dapat mempengaruhi kemampuan masing masing untuk memotong substrat tertentu, sembari menjaga degradasi protein tetap efisien dan menyeluruh melalui aktivitas kolektif dalam lisosom. (Affara, 2008)

Gbr 2.7. Anggota Keluarga Protease

(Sumber : Chwieralski, 2006)

Profil aktivitas cysteine katepsin pada berbagai model tikus dengan berbagai stadium kanker menunjukkan kaskade protease yang saling terhubung yang dimulai oleh protease aktivator yang serupa, katepsin C, dan berujung pada amplifikasi aktivitas enzimatik protease terminal seperti MMP-9. Penelitian pada model tikus menunjukkan bahwa terdapat regulasi bioaktivitas protease yang spesifik terhadap organ atau tipe tumor, dan juga keterlibatan protease yang berasal dari beberapa kelas enzim, antara lain cystein, serine, dan metallo. (Affara, 2008)

Gbr. 2.8. Jaringan Protease di Ruang Ekstraseluler (Affara, 2008)

2.3.1 Pembentukan Katepsin

Cysteine katepsin disintesis sebagai prekursor inaktif, preproenzim berukuran 30-50 kDa, yang mengandung peptide dignal amino-terminal yang memperantarai transport mereka melintasi membran retikulum endoplasma. Semua cysteine katepsin memliki situs N-glikosilasi, yang digunakan untuk mengarahkan enzim ke kompartemen lisosomal melalui jalur reseptor mannosa-6-fosfat. Aktivasi penuh dicapai setelah enzim berada pada lingkungan asam dalam endosom atau lisosom, yaitu saat propeptide yang menghalangi akses substrat ke ujung katalitik proenzim dipotong, menyebabkan perubahan massa molekularnya menjadi 20-35 kDa. Pembuangan propeptide endoproteolitik dicapai melalui proses autokatalitik (pada endopeptidase) atau proteolisis terbatas oleh protease lainnya. Proses ini dipicu oleh pH rendah dan diperkuat oleh adanya glikosaminoglikan (GAGs). GAGs mendukung autoaktivasi dan aktivitas cysteine katepsin pada pH netral, yang sangat relevan bagi aktivasi prokatepsin yang disekresi (Affara, 2008)

2.3.2 Peran Fisiologis Katepsin

Katepsin memilii peran yang luas pada proses fisiologis dan patolgis dalam tubuh. Secara fisiologis, mereka terlibat dalam aktivasi precursor protein (termasuk di sini adalah proenzim dan prohormon), presentasi antigen yang dimediasi MHC-II, remodeling tulang, diferensiasi keratinosit, siklus folikel rambut, reproduksi, dan apoptosis. Katepsin B yang ditemukan pada banyak organ dan terlibat dalam berbagai proses tubuh, melalui katalisa hidrolisis protein dalam lisosom. (Berdowska, 2004)Katepsin B berperan dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Katepsin B, L dan K kemungkinan berpartisipasi dalam proteolisis thyreoglobulin pada kelenjar tiroid, melepaskan thyroxine dan thyronine. Katepsin B juga terlibat dalam aktivasi -galaktosidase, rennin, dan tripsin. Dalam respon imun, katepsin B terlibat dalam presentasi antigen dan pengaturan proses inflamasi melalui apoptosis sel imun. (Conus, 2010) Dalam sel APC professional terkandung katepsin B, C, H, S, dan X. Katepsin tersebut tidak tersebar merata dalam sel, menunjukkan kemungkinan terdapat perbedaan peran masing masing katepsin dalam memproses antigen. (Chapman, 2005) Pada model toleransi antigen dosis tinggi selama inkubasi sel T dengan anti-thymocyte globulin (ATG), penurunan proliferasi sel T dan meningkatnya apoptosis sel T bergantung pada aktivitas sitosolik katepsin B (Michallet, 2004)

2.3.3 Peran Patologis Katepsin

Katepsin berperan dalam berbagai proses patologis, yang seringkali ditandai dengan peningkatan ekspresi dan aktivitas enzim tersebut, antara lain kelainan neurologis, penyakit kardiovaskuler, obesitas, penyakit yang berkaitan dengan proses inflamasi, dan kanker. (Turk, 2012) Ekspresi katepsin juga meningkat pada infeksi parasit, seperti Opisthorcis viverrini. dan Fasciola hepatica. (Chen, 2011) Katepsin B ditemukan memiliki kaitan kuat dengan kanker, antara lain kanker payudara, kanker hepatoselular, pancreas, dan ovarium (Reinheckel, 2008) Tingkat ekspresi kathepsin berkorelasi positif dengan prognosis jelek pada pasien kanker dan disarankan sebagai marker prognostik. (Turk, 2012; Wu, 2012) Kadar katepsin juga berkorelasi positif dengan metastasis. (Berdowska, 2004). Katepsin ditemukan terlibat dalam kaskade aktivasi protease lainnya, seperti serine preotease, seperti uPA, dan MMP, yang memperkuat disolusi matriks ekstraseluler dan membrane basal, menyebabkan terjadinya invasi dan metastasis sel kanker. (Turk, 2012)

Gbr. 2.7. Kaskade Proteolitik (Reinheckel, 2008)

Katepsin harus disekresikan ke ruang ekstraseluler agar dapat mencapai target potensial tersebut. (Turk, 2012) Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan kadar dan aktivitas katepsin dalam serum pada kanker serviks (Makarewicz, 1995), ovarium (Warwas, 1997; Scorilas, 2002) dan melanoma maligna.( Kos, 1997). Pada kanker serviks, katepsin B ditemukan mampu menciptakan lingkungan yang bersifat imunosupresif dan mampu menekan proliferasi limfosit. (Navarro, 2005)

2.3.3.1 Peran Dalam Invasi dan Metastasis

Katepsin cysteine dapat membantu diseminasi sel kanker ke jaringan sekitarnya melalui degradasi matriks ekstraseluler, aktivasi protease lainnya, atau memotong faktor adhesi antar sel. Pada model tikus RT2, protein adhesi sel, E-cadherin, merupakan salah satu substrat yang dapat dipotong oleh katepsin B, L, dan S. E-cadherin adalah komponen utama taut antar sel yang mempertahankan adhesi antar sel. Salah satu ciri kanker invasif adalah penurunan ekspresi E-cadherin, yang dapat terjadi melalui gene silencing, mutasi titik, atau modifikasi posttranslasional. Pada model tikus RT2 yang tidak mengekspresikan katepsin B, L, atau S, tingkat protein E-cadherin tetap terjaga. (Reinheckel, 2008)

Mekanisme invasi lainnya adalah degradasi langsung komponen matriks ekstraseluler sehingga tercipta ruang bagi migrasi sel invasif. Katepsin B diketahui dapat memotong komponen membran basalis atau matriks ekstraseluler, antara lain laminin, kolagen tipe IV, fibronektin, dan tenascin-C. Dalam progresi tumor, katepsin cysteine seringkali mengalami translokasi ke permukaan sel atau disekresi ke ruang ekstraseluler, memudahkan akses katepsin pada protease lain di permukaan sel atau substratnya dalam matriks ekstraseluler. (Reinheckel, 2008)Katepsin cysteine juga berperan dalam aktivasi protease lain dengan memulai kaskade proteolitik yang berujung pada pemecahan beberapa target, yang secara keseluruhan memperkuat proses invasi tumor. Eksperimen in vitro menunjukkan bahwa katepsin memotong dan mengaktifkan MMP-1 dan MMP-3, mengkonversi prekursor aktivator plasminogen tipe urokinase (uPA) menjadi enzim aktif, yang selanjutnya mengkatalisis pemotongan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin adalah protease serine spektrum luas yang dapat langsung mendegradasi komponen matriks ekstraseluler dan mengaktifkan MMP lainnya. (Reinheckel, 2008)

2.3.3.2 Peran Dalam Neoangiogenesis

Angiogenesis dan invasi adalah dua tahap dalam perkembangan tumor yang sejak lama diketahui memerlukan aktivitas proteolitik. Proses pembentukan pembuluh darah baru, angiogenesis atau neovaskularisasi, amat penting bagi pertumbuhan tumor dengan ukuran lebih dari 1-2mm3. Angiogenesis umumnya dipicu oleh dilepaskannya proangiogenic growth factors, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dari tumor. Sel endotel bermigrasi ke lesi yang bertumbuh dan membelah dan berdiferensiasi untuk membentuk pembuluh darah baru, yang dapat didukung oleh perisit dan sel otot polos. Induksi proteolisis diperlukan untuk degradasi terkontrol matriks ekstraseluler dan membran basalis vaskuler, sebuah tahap penting bagi pertumbuhan pembuluh darah. Pada akhirnya, proses ini bergantung pada keseimbangan antara faktor proangiogenik (VEGF, FGFs, protease, dll) dengan antiangiogenik (endostatin, tumstatin, thrombospondin, dll). (Joyce, 2004)

Sampai saat ini, katepsin B dan S ditemukan terlibat dalam angiogenesis tumor pada RT2. Proses ini terjadi melalui proteolisis protein yang menyusun membran basalis, seperti laminin, kolagen IV, dan fibronektin, yang dipotong oleh katepsin B secara in vitro. Katepsin B juga dapat memecah endostatin, walaupun kurang efisien dibandingkan dengan katepsin L, yang dapat mengurangi faktor antiangiogenik dalam proses angiogenesis. (Joyce, 2004) 2.3.3.3 Peran Dalam Apoptosis Sel

Pertumbuhan tumor sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara proliferasi sel tumor dan apoptosis. Data penelitian in vitro menunjukkan katepsin cysteine tertentu memiliki peran baik proproliferatif dan antiapoptotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor dan keganasan. Pada model tikus RT2 dan PyMT tanpa ekspresi katepsin B ditemukan penurunan laju proliferasi, sebaliknya pada model tikus RT2 tanpa ekspresi cystatin C, inhibitor katepsin B, L, S, dan H, terjadi peningkatan aktivitas katepsin dan proliferasi sel meningkat dengan signifikan. Ablasi katepsin B, L, atau S pada model tikus RT2 menunjukkan peningkatan signifikan pada kematian sel terprogram, yang menunjukkan bahwa katepsin mungkin bersifat antiapoptotik selama perkembangan tumor, yang kemungkinan memerlukan stimulus dan kondisi tertentu. Namun pada studi lain menunjukkan katepsin berperan sebagai protease akhir pada kematian sel tumor yang dipicu oleh TNF- pada lini sel fibrosarkoma dan dapat memicu pelepasan sitokrom c dari mitokondria pada apoptosis hepatosit yang dipicu oleh TNF-. (Reinheckel, 2008)8