ASFIKSIA NEONATORUM SEBAGAI FAKTOR RISIKO … · penelitian 62 neonatus terdiri dari 31 neonatus...
Transcript of ASFIKSIA NEONATORUM SEBAGAI FAKTOR RISIKO … · penelitian 62 neonatus terdiri dari 31 neonatus...
i
TESIS
ASFIKSIA NEONATORUM SEBAGAI
FAKTOR RISIKO TERJADINYA
GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL
PUTU VERITA WULANDARI
NIM 1114018201
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
ASFIKSIA NEONATORUM SEBAGAI
FAKTOR RISIKO TERJADINYA
GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PUTU VERITA WULANDARI
NIM 1114018201
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL,
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. I Wayan Dharma Artana, SpA(K) dr. I Made Arimbawa, Sp.A(K)
NIP. NIP.
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Dekan Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Universitas Udayana,
,
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes.
NIP.195805211985031002 NIP. 195902151985102001
iv
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal,16 Juni 2017
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, No: 131.5/UN14.2.2/PD/2017
Tanggal: 26 Mei 2017
Ketua: dr. I Wayan Dharma Artana, Sp.A(K)
Sekretaris: dr. I Made Arimbawa, Sp.A(K)
1. dr. Putu Siadi Purniti, SpA(K)
2. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH
3. Prof.dr.N.Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul
“Asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran
sensorineural” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran,
dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak,
tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Putu Astawa. SpOT, M.Kes yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti program
Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ketua Program
Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde
Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK. yang telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana, Program Studi
Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah
Denpasar, dr. Wayan Sudana, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Sanglah Denpasar.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr.
Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) yang telah bersedia memberikan
kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di
bagian/SMF Ilmu kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr. Ketut Suarta, Sp.A(K)
selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-1)
vi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bagi penulis merupakan orangtua yang
luar biasa selama pendidikan, bersedia selalu memberikan masukan, arahan, dan
bimbingan dalam segala aspek selama proses pendidikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga tidak hentinya menyampaikan terima kasih kepada dr. I Putu
Gede Karyana, Sp.A(K) selaku pembimbing akademik penulis yang selalu
bersedia dengan senang hati menaungi penulis, memberikan solusi terhadap
permasalahan penulis dalam menjalani program studi ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. I Wayan Dharma
Artana, Sp.A(K) selaku pembimbing satu dan dr. I Made Arimbawa, Sp.A(K)
selaku pembimbing dua yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan,
dorongan, serta meluangkan waktu dan pemikiran selama penyusunan tesis ini
sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh supervisor
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis
menempuh pendidikan. Rekan sejawat PPDS I Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang
baik selama masa pendidikan dan penyusunan tesis.
Pada akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga, kepada
orangtua: I Wayan Pudja, Bsc dan Ni Ketut Sukasih, adik saya Kadek Hadi
Pramana, BA, suami tercinta dr. I Komang Wisuda Dwija Putra, Sp.PD, kepada
anak saya Kadek Divya Ishana Dwija Putri yang selalu menjadi pemacu semangat
buat penulis untuk menyelesaikan pendidikan, kedua mertua yang luar biasa
dukungannya DR.Drs.I Nengah Narsa, SH, Msi dan Ni Wayan Sudani, S.pd,
M.pd yang telah memberikan dukungan finansial, material, mental dan selalu
memberikan semangat untuk penulis selama menempuh proses pendidikan
sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih pada semua
pihak, sahabat, rekan paramedik dan non paramedik yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan dan bantuan yang telah
diberikan selama penulis menjalani program pendidikan PPDS I IKA. Tidak lupa
vii
juga penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang mendalam
kepada subyek penelitian dan orangtua subyek atas pengertian dan kerja sama
yang baik sehingga penelitian ini berjalan dengan baik sesuai potokol penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam
penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan
supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran
dan pelayanan kesehatan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Denpasar, 31 Mei 2017
dr. Putu Verita Wulandari
viii
ABSTRAK
ASFIKSIA NEONATORUM SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA
GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. Kondisi ini dapat menimbulkan kerusakan
jaringan secara permanen maupun bersifat sementara. Salah satu gejala sisa yang
sering terjadi pada asfiksia neonatorum adalah gangguan pendengaran
sensorineural. Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini adalah membuktikan
asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran
sensorineural.
Penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif dengan subyek
penelitian 62 neonatus terdiri dari 31 neonatus kelompok asfiksia dan 31 neonatus
tanpa asfiksia yang lahir dan atau dirawat di RSUP Sanglah Denpasar mulai bulan
Maret 2013 sampai dengan Maret 2014 atau hingga jumlah sampel terpenuhi.
Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan timpanometri,
otoacoustic emissions (OAE) pertama usia <1 bulan dan OAE kedua dan
pemeriksaan OAE kedua usia usia 3 bulan. Analisis statistik dengan uji chi-square
dan cox regression.
Didapatkan hasil kejadian gangguan pendengaran 83,9% pada asfiksia
berdasarkan OAE pertama (p <0,001; RR 6,5; IK 95% 2,6-16,4), menjadi 80,6%
pada OAE kedua (p <0,001; RR 6,3; IK 95% 2,5-15,9). Analisis multivariat
asfiksia neonatorum merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran
sensorineural (adjusted RR 5,6; IK 95% 1,9-17,1; p 0,002). Prematuritas, terapi
aminoglikosida dan berat lahir rendah bukan merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural.
Kata kunci: OAE, gangguan pendengaran, asfiksia neonatorum.
ix
ABSTRACT
NEONATORUM ASPHYXIA AS RISK FACTORS FOR
SENSORINEURAL HEARING LOSS
Neonatorum asphyxia is a spontaneous and regular respiratory failure at
birth or sometime after birth, characterized by hypoxemia, hypercarbia and
acidosis. This condition can cause tissue damage permanently or temporarily. One
of the most frequent sequelae symptoms of neonatal asphyxia is sensorineural
hearing loss. Based on the above objectives of this study is to prove the asphyxia
neonatorum as a risk factor of sensorineural hearing loss.
Observational studies with prospective cohort designs with neonatal study
subjects 62 neonates consisted of 31 neonates of asphyxia group and 31 neonates
without asphyxia born and or treated at Sanglah Hospital Denpasar from March
2013 to March 2014 or until the number of samples were met. Subjects that
fulfills inclusion criteria were tested for a thympanometric examination, first oto
acustic emission (OAE) examination at <1 months and second OAE examination
at 3 months. Statistical analysis with chi-square test and cox regression.
Hearing loss was obtained from 83.9% in asphyxia based on first OAE (p
<0.001, RR 6.5; 95% CI 2.6-16.4), to 80.6% in second OAE (p <0.001; 6.3; 95%
CI 2.5-15.9). Risk factors of prematurity in the first OAE (p 0.301; RR 1.3; 95%
CI 0.8-2.2) and second OAE (p 0.425; RR 1.2; 95% CI 0.7-2.1). Multivariate
analysis of asphyxia neonatorum was a risk factor for sensorineural hearing loss
(adjusted RR 5.6, 95% CI 1.9-17.1, p 0.002). Prematurity, aminoglycoside therapy
and low birth weight are not risk factors for sensorineural hearing loss.
Keywords: otoacoustic emissions, hearing loss, neonatorum asphyxia.
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM……………………………………………………… i
PRASYARAT GELAR…………………………………………………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………………….. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI…………………………………….. iv
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………. v
ABSTRAK………………………………………………………………. viii
ABSTRACT…………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL………………………………………………………. xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xv
DAFTAR ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG.................………… xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… xviii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………....…. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………... 5
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………..... 5
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………….…... 5
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………….....….. 6
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………...…. 6
xi
1.4.1 Manfaat Akademik..................................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis.......................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………….....………. 7
2.1. Gangguan Pendengaran…………………………....………………… 7
2.1.1 Anatomi Telinga……………...……………………………….. 7
2.1.2 Fisiologi Pendengaran……....……….………………………... 10
2.1.3 Definisi Gangguan Pendengaran……………………………... 11
2.1.4 Faktor Penyebab Gangguan Pendengaran…………………..... 13
2.1.5 Faktor Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran .............…. 17
2.1.6 Penilaian Gangguan Pendengaran……………..…………….. 19
2.2 Asfiksia Neonatorum…………………………………………....….. 25
2.2.1 Definisi Asfiksia……………..……………………………..… 25
2.2.2 Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Asfiksia ….........… 27
2.3 Pengaruh Asfiksia Terhadap Gangguan Pendengaran ….....…... 28
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN………………………….....................…………. 35
3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………………... 35
3.2 Konsep Penelitian…………………………………………………… 39
3.3 Hipotesis Penelitian…………………………………………………. 39
BAB IV METODE PENELITIAN…………………………………….... 40
4.1 Rancangan Penelitian………………………………………………… 40
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………… 40
4.3 Penentuan Sumber Data……………………………………………… 40
xii
4.3.1 Populasi Penelitian..…………………..………………………. 40
4.3.2 Penentuan Sampel .…………………………………………… 41
4.3.3 Besar Sampel Penelitian.…………………………………………... 42
4.4 Variabel dan Batasan Operasional Variabel …………..……………. 44
4.4.1 Variabel Penelitian……………………………………..……... 44
4.4.2 Batasan Operasional Variabel……………….............………… 44
4.5 Instrumen Penelitian…………….…………………………………… 47
4.6 Prosedur Penelitian………………………………………………….. 48
4.6.1 Cara Pengumpulan Data……………..……………………….. 48
4.6.2 Alur Penelitian………………………….…………………….. 49
4.7 Analisis Data………………………………………………………… 50
BAB V HASIL PENELITIAN……..…………………………………… 51
5.1 Karateristik Subjek Penelitian………………………………………. 51
5.2 Analisis Hubungan Asfiksia Neonatorum terhadap Kejadian Gangguan
pendengaran sensorineural…………………………………………. 52
5.3 Analisis Hubungan antara Asfiksia dan Gangguan Pendengaran
Sensorineural Usia ≤1 Bulan dan 3 Bulan Setelah Dikontrol
dengan Prematuritas, Terapi Aminoglikosida,
Berat Lahir Rendah dan Cara Persalinan...................…....................... 54
BAB VI PEMBAHASAN……...……...................................................... 56
6.1 Karateristik Subjek ………….……………………………………… 56
6.2 Hubungan Asfiksia Neonatorum terhadap Kejadian Gangguan
Pendengaran Sensorineural…………….……………………….…... 60
xiii
6.3 Analisis Hubungan antara Asfiksia dan Gangguan Pendengaran
Sensorineural Usia ≤1 Bulan dan 3 Bulan Setelah Dikontrol
dengan Prematuritas, Terapi Aminoglikosida
Berat Lahir Rendah dan Cara Persalinan.......................................... 62
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………..……………………….. 69
7.1 Simpulan…...……………………………………………………… 69
7.2 Saran……….……………………………………………………… 69
DAFTAR PUSTAKA…………….….……………………………….. 70
LAMPIRAN…………………………………………………………... 75
xiv
DAFTAR TABEL
2.1 Manifestasi klinis infeksi TORCH pada perinatal…………………... 16
2.2 Manifestasi klinis infeksi bakteri dan protozoa pada perinatal……... 17
2.3 Tes pendengaran pada bayi…………………………………………. 24
2.4 Skor Apgar……………………………………………………...…… 27
5.1 Karateristik data subjek penelitian...................................................... 52
5.2 Hasil analisis bivariat hubungan asfiksia neonatorum terhadap
kejadian gangguan pendengaran sensorineural................................... 53
5.3 Hasi analisis multivariat hubungan antara asfiksia dan gangguan pendengaran
sensorineural usia ≤1 bulan setelah dikontrol dengan prematuritas, terapi
aminoglikosida, berat lahir rendah dan cara persalinan............…....... 54
5.4 Hasi analisis multivariat hubungan antara asfiksia dan gangguan pendengaran
sensorineural usia ≤1 bulan setelah dikontrol dengan prematuritas, terapi
aminoglikosida, berat lahir rendah dan cara persalinan......................... 55
xv
DAFTAR GAMBAR
2.1 Anatomi telinga…..…………………………………………………. 10
2.2 Skema proses pendengaran…………………………………………. 11
2.3 Skema hubungan asfiksia neonatorum, perubahan hemodinamik,
dan kerusakan otak…………………………………………………. 29
2.4 Skema mekanisme neurotoksik pada asfiksia……………………… 34
3.1 Kerangka berpikir…………………………………………………… 38
3.2 Konsep penelitian…………………………………………………… 39
4.1 Skema rancangan penelitian………………………………….....….. 40
4.2 Skema alur penelitian…………………………………………..…… 49
xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah
BBLSR : Bayi Berat Lahir Sangat Rendah
BERA : Brainstem Evoked Response Audiometry
BPD : Bronkhopulmonary dysplasia
Caspase : cystein-dependent aspartate-directed
CO2 : Karbondioksida
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
CVP : Central Venous Return
dB : desiBell
FiO2 : fractional concentration of inspired oxygen
HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir
ICP : Intracranial Pressure
IHC : Inner Hair Cell
NICU : Neonatal Intensive Care Unit
NMDA : N-methyl-D-aspartate
NO : Nitric Oxide
NOS : Nitric Oxide Synthesis
OAE : Otoacoustic Emissions
OHC : Outer Hair Cell
RDS : Respiratory Distress Syndrome
SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi nasional
WHO : World Health Organization
xvii
< : kurang dari
< : kurang dari sama dengan
> : lebih dari sama dengan
> : lebih dari
% : perseratus
+ : positif
- : negatif
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Keterangan Laik Etik (ethical clearance)……………...……………. 75
2. Kuisioner Penelitian............………………………………………… 76
3. Surat Persetujuan (Informed Consent)……………………………… 80
4. Surat Permohonan Ethical clearance……………………………….. 83
5. Surat Permohonan Ijin Penelitian…………………………………… 84
6. Analisis Data SPSS…………………................…………………….. 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada tahun pertama
kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama. Penyebab
utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan
dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah.
Penyebab utama kematian yang menarik untuk diteliti adalah asfiksia. Karena
berdasarkan Laporan dari World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak
8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria,
sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan satu juta anak yang
bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas
jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.
Laporan dari WHO menunjukkan bahwa selain menyebabkan kematian maka
asfiksia juga berdampak jangka panjang bagi bayi yang dapat bertahan. Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan
asidosis (Ikatan Dokter Indonesia, 2004). Akibatnya terjadi perubahan aliran
darah pada otak yang menyebabkan kerusakan sel otak. Pada tingkat seluler dan
biokimia, terjadi kerusakan struktur sel dan dapat berlanjut menjadi kematian sel,
melalui kombinasi dari dua mekanisme yaitu selective neuronal necrosis dan
2
apoptosis pada sel otak dan batang otak dalam waktu 10 menit setelah terjadinya
hipoksia.
Dampak yang paling sering terdeteksi pada kejadian hipoksia sebagai
dampak asfiksia adalah gangguan pendengaran. Hipoksia menyebabkan kerusakan
pada koklea yaitu hilangnya Outer Hair Cell (OHC) dan edema stria vaskularis
sehingga terjadi kerusakan pada serabut saraf pendengaran yang melekat pada
outer hair cell tersebut. Asfiksia dapat juga menyebabkan terjadinya perdarahan
pada telinga dalam. Keadaan-keadaan tersebut yang menyebabkan terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural (Menkes dan Sarnat, 2000 ; Koyama dkk,
2005).
Kondisi gangguan pendengaran di Indonesia masih belum dapat
teridentifikasi secara jelas. Artinya jumlah nominal penderita ganguan
pendengaran masih belum diketahui. Berdasarkan beberapa survei yang telah
dilakukan maka dapat diperkirakan jumlah penderita gangguan pendengaran di
Indonesia. Survei Kesehatan Indera Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-
1996 menyebutkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia
16,8% dan 0,4% (Runjan dkk, 2005; Suwento, 2007), menurut data WHO (2007)
prevalensi gangguan pendengaran penduduk Indonesia diperkirakan 4,2%.
Mengacu pada rasio prevalensi dari WHO dan hasil Survei Sosial Ekonomi
nasional (SUSENAS) 2010 yang menunjukkan jumlah penduduk sebesar
237.641.326 maka diperkirakan jumlah penderita gangguan pendengaran di
Indonesia adalah sebesar 9.980.936. Berdasarkan hasil SUSENAS selama enam
kali mengenai laju pertumbuhan penduduk yaitu sebesar 15%, maka dapat
3
diperkirakan penderita gangguan pendengaran di Indonesia di Tahun 2012 adalah
sebanyak 12.976.784.
Menemukan gangguan pendengaran pada bayi tidak mudah, gangguan
pendengaran sering diabaikan karena orangtua tidak langsung sadar anaknya
menderita gangguan, kadang-kadang anak dianggap sebagai anak autis atau
hiperaktif karena sikapnya yang sulit diatur. Tanpa program skrining pendengaran
gangguan pendengaran baru diketahui pada usia 18-24 bulan (Taghdiri dkk, 2008;
Rajendran dkk, 2011).
Gangguan pendengaran sensorineural merupakan jenis yang paling banyak
terjadi yaitu sebesar 90% dari seluruh kejadian gangguan pendengaran.
Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran dan batang
otak sehingga terjadi kegagalan untuk memperkuat gelombang suara sebagai
impuls saraf secara efektif pada koklea atau untuk mengirimkan impuls tersebut
melalui nervus vestibulocochlearis.
Gangguan pendengaran sensorineural pada masa bayi akan menyebabkan
gangguan bicara, berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional. Identifikasi
gangguan pendengaran secara dini dan intervensi yang sesuai sebelum usia 6
bulan terbukti dapat mencegah segala konsekuensi tersebut. The Joint Committee
on Infant Hearing (2007) merekomendasikan skrining pendengaran dilakukan
sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Bayi
dengan gangguan pendengaran sensorineural yang dilakukan intervensi sebelum
usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa yang
normal bila dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan.
4
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang pengaruh asfiksia
neonatorum terhadap gangguan pendengaran pada neonatus menunjukkan adanya
kerusakan pada fungsi pendengaran yang menyebabkan terjadinya gangguan
pendengaran. Meyer dkk (1999) yang meneliti tentang skrining gangguan
pendengaran dengan menggunakan Otoacoustic Emissions (OAE) dan Brainstem
Evoked Response Audiometry (BERA) pada neonatus dengan risiko tinggi
mendapatkan hasil 7,3% neonatus dengan asfiksia terjadinya gangguan
pendengaran. Penelitian Jiang dkk (2004) pada neonatus aterm dengan
menggunakan BERA mendapatkan 18,5-25,6% mengalami gangguan
pendengaran.
Di Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi, SubBagian THT
Komunitas, Bagian THT RSCM, sejak tahun 2002 telah mulai dilakukan skrining
gangguan pendengaran terhadap neonatus risiko tinggi. Skrining pendengaran
menggunakan 2 tahapan pemeriksaan OAE dilanjutkan dengan BERA dengan
tujuan mengidentifikasi bayi dengan tuli koklea dan retrokoklea. Penelitian Sarosa
dkk (2010) pada neonatus yang mengalami asfiksia, berdasarkan pemeriksaan
OAE pertama, asfiksia berat 57,1% terjadi gangguan pendengaran sedangkan
asfiksia sedang 29,6%, sedangkan OAE kedua, asfiksia berat 28,6% terjadi
gangguan pendengaran sedangkan asfiksia sedang 18,5%.
Deteksi dini gangguan pendengaran yang dapat digunakan pada bayi baru
lahir adalah tes OAE, waktu pengerjaannya cepat, dan efektif mengukur aktifitas
proses biomekanik koklea, terutama OHC, yang merupakan organ yang pertama
5
kali terkena akibat asfiksia. Sensitivitas OAE 98%-100%, spesifitas 94%
(Cunningham dan Cox, 2003; Stearn dan Swanepoel, 2007).
Pemilihan penggunaan OAE karena keunggulan karakteristik operasionalnya
yang sederhana, cepat, tidak menyakitkan, efektif serta dapat diterapkan dengan
mudah karena tidak tergantung pada kondisi tidur atau bangun.
Mengacu pada dampak dari asfiksia neonatorum yang berbahaya bagi balita
dan besarnya perkiraan jumlah penderita gangguan pendengaran di Indonesia
maka perlu kiranya dilakukan suatu riset yang terkait dengan asfiksia neonatorum.
Keluaran dari riset ini diharapkan dapat mengidentifikasi kebenaran dari asfiksia
neonatorum sebagai faktor risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran
sensorineural.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah asfiksia neonatorum merupakan faktor risiko terhadap terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural pada usia ≤1 bulan?
2. Apakah asfiksia neonatorum merupakan faktor risiko terhadap terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural pada usia 3 bulan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah asfiksia neonatorum
merupakan faktor risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran sensorineural.
6
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membuktikan asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural pada usia ≤1 bulan.
2. Membuktikan asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural pada usia 3 bulan.
1.4 Manfaat Penelitian
Apabila dari penelitian ini diketahui asfiksia merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada neonatus maka dari hasil
penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi:
1.4.1 Manfaat Akademik
a. Menambah pengetahuan tentang aspek klinis asfiksia pada neonatus.
b. Meningkatkan pengetahuan tentang asfiksia pada neonatus dan gangguan
yang ditimbulkan khususnya terhadap fungsi pendengaran.
1.4.2 Manfaat Praktis
Masukan bagi para klinisi khususnya dokter spesialis anak dalam pengelolaan
neonatus dengan asfiksia, khususnya tentang pentingnya resusitasi yang
merupakan penanganan pertama asfiksia neonatorum dan terapi yang diberikan
selama perawatan serta perlunya dilakukan deteksi sedini mungkin adanya
gangguan pendengaran sensorineural baik pada neonatus aterm maupun preterm,
sehingga penanganan gangguan pendengaran dapat dilakukan lebih dini pula.