ASFIKSIA

65
1 REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK DUGAAN KASUS ASFIKSIA Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Disusun Oleh: Erasta Agri Ramandika 22010112210113 FK UNDIP Zen Ary Prasetyo 22010112210116 FK UNDIP Edward Sutanto 22010113210058 FK UNDIP Kwa Angela Ricke S 22010113210048 FK UNDIP Amelia K W M 22010112210090 FK UNDIP Amira Azkadina 22010112210091 FK UNDIP Rizka Hastari 22010112210133 FK UNDIP Regina Wulandari 22010112210135 FK UNDIP Dosen Pembimbing : dr. Gatot Suharto, Sp. F, SH, M.Kes

description

forensik

Transcript of ASFIKSIA

33

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK DUGAAN KASUS ASFIKSIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh:

Erasta Agri Ramandika

22010112210113FK UNDIP

Zen Ary Prasetyo

22010112210116FK UNDIP

Edward Sutanto

22010113210058FK UNDIP

Kwa Angela Ricke S

22010113210048FK UNDIP

Amelia K W M

22010112210090FK UNDIP

Amira Azkadina

22010112210091FK UNDIP

Rizka Hastari

22010112210133FK UNDIP

Regina Wulandari

22010112210135FK UNDIP

Dosen Pembimbing :dr. Gatot Suharto, Sp. F, SH, M.Kes

Residen Pembimbing :dr. Bianti H. Machroes, MH(Kes)

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP DR. KARIADI SEMARANG

Periode 10 Maret 2014 5 April 2014

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari :

Nama / NIM

: Erasta Agri Ramandika22010112210113

Zen Ary Prasetyo

22010112210116

Edward Sutanto

22010113210058

Kwa Angela Ricke S

22010113210048

Amelia K W N

22010112210090

Amira Azkadiva

22010112210091

Rizka Hastari

22010112210133

Regina Wulandari

22010112210135

Fakultas

: Fakultas Kedokteran

Universitas

: Universitas Diponegoro

Bagian

: Ilmu Kedokteran Forensik

Judul: Pemeriksaan Penunjang untuk Dugaan Kasus Asfiksia

Dosen Pembimbing

: dr. Gatot Suharto, Sp. F, SH, M.Kes

Residen Pembimbing

: dr. Bianti H. Machroes, MH(Kes)

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Semarang, Maret 2014

Dosen Pembimbing

dr. Gatot Suharto, Sp. F, SH, M.KesKATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak-Nyalah sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul Pemeriksaan Penunjang untuk Dugaan Kasus Asfiksia. Karya tulis ini dibuat dengan tujuan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:1. dr. Gatot Suharto, Sp.F, SH, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis dalam penyusunan karya tulis ini juga selalu memberikan pengarahan dan bimbingannya dalam penulisan karya tulis ini.

2. dr. Bianti H. Machroes, MH(Kes) selaku residen pembimbing, atas semua bimbingan, bantuan, dan waktu yang diberikan selama penyusunan referat ini.3. Semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan karya tulis ini yang penyusun tidak dapat sebutkan satu persatu.

Penyusun menyadari bahwa karya tulis ini masih memilki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, semoga referat ini dapat memperkaya khasanah informasi dan bermanfaat bagi pembaca. Semarang, Maret 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULi

LEMBAR PENGESAHANii

KATA PENGANTARiiiDAFTAR ISIvi

DAFTAR TABELxDAFTAR GAMBARxi

BAB I PENDAHULUAN1

1.1 Latar Belakang1

1.2 Masalah3

1.3 Tujuan3

1.4 Manfaat3

BAB II PEMBAHASAN5

2.1 Asfiksia5

2.2 Pemeriksaan Penunjang Umum pada Dugaan Kasus Asfiksia17

2.3 Pemeriksaan Penunjang pada Tipe - Tipe Kasus Asfiksia19

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN36

3.1 Kesimpulan 36

3.2 Saran37

DAFTAR PUSTAKA38

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Spesies diatome yang sering ditemukan dalam sampel organ tubuh .....26

DAFTAR GAMBARGambar 1. Skema Patofisiologi Asfiksia .............................................10

Gambar 2. Tardieus spot pada kulit, mata, dan jantung .........................13

Gambar 3. Lebam mayat pada kasus asfiksia...........................................14

Gambar 4. Pemeriksaan histopatologis paru pada pembekapan...20

Gambar 5. Pemeriksaan histopatologi paru pada tersedak21

Gambar 6. Contoh spesies diatome yang ditemukan di air tawar ............25

Gambar 7. Gambaran histopatologi Emphyesema aquosum ....................29

Gambar 8. Gambaran histopatologi jaringan paru yang menunjukkan adanya

material yang terkandung dalam media tenggelam.29

Gambar 9. Lebam mayat pada keracunan CO/CN33

Gambar 10. Reaksi Prussian Blue.............................................35

BAB 1PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Terhentinya suplai oksigen merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan kematian. Keadaan dimana terjadinya gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal, berakibat oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan adanya peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea) disebut asfiksia.1

Dari segi etiologi asfiksia dapat disebabkan oleh penyebab alamiah, trauma mekanik, dan keracunan. Akan tetapi asfiksia sebenarnya adalah anoksia anoksik yang disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan atau disebut juga asfiksia mekanik. Penyebab asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas. Kejadian kejadian ini sering dijumpai pada keadaan strangulation (pencekikan), drowning (tenggelam), smothering (pembekapan), dan suffocation (sufokasi). Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia.2,3

Pengetahuan mengenai asfiksia, penyebab, gambaran post mortem, serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus asfiksia memiliki arti yang penting dalam proses penyidikan. Proses penyidikan untuk kepentingan peradilan dalam menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, maka seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman dan ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Oleh sebab itu, seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia.2

Untuk menegakan bahwa sebab kematian disebabkan oleh asfiksia, tidak jarang dokter harus melakukan pemeriksaan penunjang laboratorium yang umum dilakukan dalam kedokteran forensik seperti pemeriksaan toksikologi, histopatologi, antropologi dan pemeriksaan forensik khusus lainnya seperti pemeriksaan sidik jari, peneriksaan DNA, dan hingga fotografi forensik. Pemeriksaan penunjang dalam kedokteran forensik berbeda dengan pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam kedokteran medis, terutama karena obyek pemeriksaan diperlakukan sebagai barang bukti yang dapat membantu pihak penyidik dalam membuat terang suatu perkara. Pemeriksaan penunjang adalah salah satu cara agar barang bukti bisa berbicara, seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli forensik ternama dr. Paul L Kirk dalam bukunya Crime Investigation disebutkan Barang bukti tidak boleh dilupakan, karena barang bukti terebut tidak akan dipengaruhi oleh keadaan, tidak bisa absen sebagaimana saksi bisa. Barang bukti sangat faktual dan tidak akan salah, juga tidak akan melanggar sumpah. 41.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan asfiksia?

b. Apakah pemeriksaan penunjang umum yang dapat dilakukan pada dugaan kasus asfiksia?c. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada tipe - tipe kasus asfiksia?1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umumMengetahui tentang berbagai pemeriksaan penunjang pada dugaan kasus asfiksia. 1.3.2 Tujuan khusus

Mengetahui tentang pemeriksaan penunjang umum pada dugaan kasus asfiksia dan tipe tipe asfiksia:

a. Asfiksia mekanik

b. Tenggelam

c. Keracunan karbon monoksida

d. Keracunan sianida1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan terutama tentang pemeriksaan penunjang pada dugaan kasus asfiksia

1.4.2 Manfaat Aplikatif

a. Bagi dokter

Menambah pengetahuan mengenai pemeriksaan penunjang pada dugaan kasus asfiksia, sehingga dapat mengaplikasikannya dalam tugas yang berkaitan (visum atau otopsi)

b.Bagi masyarakat

Menambah informasi mengenai pemeriksaan penunjang pada dugaan kasus asfiksiaBAB 2

PEMBAHASAN2.1 Asfiksia2.1.1 Pengertian

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.1 2.1.2Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:1

a.Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.

b.Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.

c.Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.2.1.3Fisiologi Asfiksia

Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:5

1.Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)

Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:

- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.

- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.

2.Anoksia Anemia (Anemia anoxia)

Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.

3.Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)

Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)

Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:

- Ekstraseluler

Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.

- Intraselular

Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.

- Metabolik

Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

2.1.4Jenis-jenis Asfiksia

Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:51.Strangulasi

a.Gantung (Hanging)

b.Penjeratan (Strangulation by Ligature)

c.Pencekikan (Manual Strangulation)

2.Sufokasi (Suffocation)3.Pembengkapan (Smothering)

4.Tenggelam (Drowning)

5.Crush Asphyxia

6.Keracunan CO dan sianida2.1.5Patofisiologi Asfiksia

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:51.Primer (akibat langsung dari asfiksia)

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.

Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.

2.Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)

Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:

Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).

Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.

Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia).

Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

Gambar 1. Skema Patofisiologi Asfiksia52.1.6Gejala Klinis

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) fase gejala klinis, yaitu:5,6

1.Fase Dispnea

Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.

2.Fase Kejang

Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.

3.Fase Apnea

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak.

4.Fase Akhir

Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.52.1.7Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:51.Tardieus spot (Petechial hemorrages)

Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

Gambar 2. Tardieus spot pada kulit, mata, dan jantung2.Kongesti dan Oedema

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).

3.Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.

Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.2.1.8Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia

2.1.8.1 Pemeriksaan Luar

Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:1,51.Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

2.Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

3.Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Gambar 3. Lebam mayat pada kasus asfiksia4.Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

5.Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.

6.Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

2.1.8.2Pemeriksaan Dalam

Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:51.Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian.

2.Busa halus di dalam saluran pernapasan.

3.Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

4.Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.

5.Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

6.Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.2 Pemeriksaan Penunjang Umum pada Dugaan Kasus Asfiksia

2.2.1 Pemeriksaan Darah Rutin

Asfiksia akan timbul di tingkat organ jika terjadi kegagalan proses oksigenasi di tingkat organ. Pada asfiksia akan terjadi peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan pH. Bagaimanapun, jaringan akan tetap mengkonsumsi oksigen dalam darah sampai PaO2 mencapai kadar yang sangat rendah. Akan terjadi hipoksia jaringan dan metabolism anaerob yang menghasilkan asam laktat. Keadaan ini dikompensasi dengan mekanisme buffer bikarbonat dalam darah. Gangguan dari metabolime tampak dari penurunan kadar ATP akibat metabolism anaerob dan peningkatan kadar laktat akan berakibat kerusakan sel dan jaringan. Kerusakan ini diakibatkan ion hidrogen pada asam laktat bersifat toksik pada sel dan jaringan.7

Komplikasi metabolisme terjadi di dalam tubuh akibatnya persediaan garam elektrolit sebagai buffer akan terganggu juga keseimbangannya. Umumnya pada pemeriksaan elektrolit pada darah rutin akan ditemukan asidosis laktat, hipokalsemi, hiponatremi, dan hiperkalemi. Selain itu, pada pemeriksaan gula darah umumnya ada penderita asfikia ditemukan kondisi hipoglikemi.72.2.2Analisis Gas DarahDari analisis gas darah dapat kita ketahui informasi mengenai oksigenasi pada korban tersebut. Hambatan yang umumnya ditemui dalam melakukan pemeriksaan ini adalah dalam pengambilan sampel untuk pemeriksaan.7 Pemeriksaan analisis gas darah pada asfiksia didapatkan peningkatan kadar PaCO2, penurunan pH, PaO2, bikarbonat dan gangguan pada defisit basa. Pada penelitiah oleh Mohan asfiksia ditetapkan bila kada PaO2 < 50m H2O, PaCO2 > 55 mm H2O, Ph < 7,3. Sedangkan American Heart Association menetapkan salah satu kriteria terjadinya asfiksia adalah adanya asidemia yang ditandai dengan kadar pH < 7,3.72.2.2 Pemeriksaan Urin Rutin

Asfiksia akan mengakibatkan gagal ginjal akut (GGA) dikarenakan gangguan aliran distribusi darah bersifat GGA pre renal. Hal ini tentunya akan bermanifestasi pada pemeriksaan urin rutin dari korban.7GGA pre renal ditandai dengan laju filtrasi glomerulus yang normal dan meningkatnya reabsorbsi air dan elektrolit pada tubulus. Menurunnya aliran darah ada nefron bagian distal akan menstimulasi apparatus juxtaglomerulus untuk mensekresi renin yang mengakibatkan peningkatan pelepasan aldosteorn sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium.7Menurunnya aliran darah akan menurunkan volume intravaskuler sehingga menstimulasi pelepasan vasopressin dan reabsorbsi air dari duktus kolektivus. Hal ini akan bermanifestasi sebagai oligouria, menurunnya kadar natrium dalam urin dan meningkatnya osmolalitas urin. Hipoksia pada ginjal juga mengakibatkan peningkatan fraksi ekskresi dari klorida sama seperti peningkatan osmolalitas urin dan penurunan klirens dari ginjal.72.3 Pemeriksaan Penunjang pada Tipe - Tipe Kasus Asfiksia

2.3.1 Asfiksia Mekanis

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya:1

1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan penyumbatan benda asing (gagging dan choking).

2. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).

3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan asfiksia mekanis seperti pada dugaan kasus pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau tersedak yaitu:

2.3.1.1Pemeriksaan histopatologisPemeriksaan mikroskopis sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk membedakan apakah luka terjadi pada saat seorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie, dan emboli.1Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena asfiksia.1Gambaran mikroskopis parenkim paru adanya sufokasi pada pembekapan dapat diperoleh antara lain sebagai berikut:8

Gambar 4. Pemeriksaan histopatologis paru pada sufokasiPada gambar 4 di atas terdapat hiperinflasi duktus (ov), kolapnya alveolus (col), dan edema interstitial (ed). Hiperinflasi duktus yang terjadi akibat emfisiema yang akut merupakan tanda khas dari sufokasi.8Sedangkan pada tersedak (choking/gagging), jika benda asing sudah diinhalasi maka partikel dari benda asing dapat ditemukan menempel pada mukosa dari trachea dan bronkus. Secara mikroskopis, pada paru akan terlihat edema interalveolar.8

Gambar 5. Pemeriksaan histopatologi paru pada tersedak

Pada gambar 5 di atas terdapat area kongesti (con) dan pelebaran pembuluh kapiler sampai mendesak lumen alveoli (panah), terdapat juga benda benda asing pada lumen bronkiolus dan alveoli (kepala panah). Terdapat juga perdarahan septum (panah ganda).82.3.2TENGGELAM (Drowning)

Tenggelam umumnya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam keadaan membusuk. Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada dugaan kasus tenggelam:92.3.2.1Pemeriksaan Biokimiawi

1. Tes Gettler atau tes Gettler Chloride, untuk membandingkan kadar klorida dalam darah. Darah dari jantung kanan dibandingkan dengan darah dari jantung kiri. Bila didapatkan kadar klorida yang rendah pada sisi jantung sebelah kanan, korban diasumsikan tenggelam dalam air asin sedangkan bila kadar klorida lebih tinggi pada sisi jantung sebelah kanan maka diasumsikan korban tenggelam dalam air tawar. 92. Tes Durlacher, tes ini digunakan untuk menentukan perbedaan berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri. Bila pada pemeriksaan ditemukan berat jenis plasma jantung kiri lebih tinggi dibandingkan dengan jantung kanan maka dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat tenggelam.93. Rammer dan Gerdin : membandingkan osmolaritas dan kadar natrium-kalium pada jantung kanan- kiri dengan cairan serebrospinal. Osmolaritas dan kadar natrium-kalium yang lebih rendah dalam cairan serebrospinal dapat diasumsikan bahwa korban tenggelam dalam air tawar.94. Coutseliuis : terdapat peningkatan kadar magnesium dalam cairan vitreus pada korban tenggelam dalam air laut. 92.3.2.2 Pemeriksaan Diatom10-13Keseluruhan prosedur dalam persiapan bahan untuk analisa diatome meliputi contoh air dari dugaan lokasi tenggelam, contoh jaringan dari hasil otopsi korban, jaringan yang dihancurkan untuk mengumpulkan diatome, konsentrasi diatome, dan analisa mikroskopis. Pengumpulan bahan dari media tenggelam yang diduga harus dilakukan semenjak penemuan jenazah, dari air permukaan dan dalam, menggunakan 1 hingga 1,5 L tempat steril untuk disimpan pada suhu 4C, di dalamnya disimpan bahan-bahan dari korban dugaan tenggelam yang diambil dengan cara steril., kebanyakan berasal dari paru-paru, ginjal, otak, dan sumsum tulang. Usaha untuk mencari diatome (binatang bersel satu) dalam tubuh korban. Karena adanya anggapan bahwa bila orang masih hidup pada waktu tenggelam, maka akan terjadi aspirasi, dan karena terjadi adanya usaha untuk tetap bernafas maka terjadi kerusakan bronkioli/bronkus sehingga terdapat jalan dari diatome untuk masuk ke dalam tubuh. Syaratnya paru-paru harus masih dalam keadaan segar, yang diperiksa bagian kanan perifer paru-paru, dan jenis diatome harus sama dengan diatome di perairan tersebut. Cara melakukan pemeriksaan diatome yaitu:1. Ambil potongan jaringan sebesar 2-5 gram (hati, ginjal, limpa dan sumsum tulang).

2. Potongan jaringan tersebut dimasukkan 10 mL asam nitrat jenuh, 0,5 ml asam sulfatjenuh.

3. Kemudian dimasukkan lemari asam sampai semua jaringan hancur.

4. Warna jaringan menjadi hitam oleh karena karbonnya.

5. Ditambahkan natrium nitrat tetes demi tetes sampai warna menjadi jernih.

6. Kadang-kadang sifat cairan asam sehingga sukar untuk melakukan pemeriksaan, oleh karena itu ditambahkan sedikit NaOH lemah (sering tidak dilakukan oleh karena bila berlebihan akan menghancurkan chitine)

7. Kemudian dicuci dengan aquadest. Lalu dikonsentrasikan (seperti telur cacing),disimpan/diambil sedikit untuk diperiksa, diteteskan pada deck gelas lalu keringkan dengan api kecil.

8. Kemudian ditetesi minyak emersi dan diperiksa di bawah mikroskop.Pemeriksaan diatome dinyatakan positif bila ditemukan 4-5 diatome/LPB atau 10-20 diatome per satu sediaan, atau pada sumsum tulang cukup ditemukan satu diatome. Pada kasus tenggelam di air tawar, keberadaan diatome di sumsum tulang dapat digunakan untuk mendiagnosis 30% dari kasus tenggelam di air tawar, hasil diagnose tersebut sangat bergantung oleh dinamika populasi diatome yang dipengaruhi oleh musim, selain juga faktor ukuran dari diatome tersebut. Diatome yang biasa ditemukan pada kasus tenggelam pada air tawar seperti kolam, danau, sungai dan kanal adalah: Navicula pupula, N. cryptocephara, N.graciloides, N.meniscus N. bacillum N. radiosa, N. simplex, N. pusilla, Pinnularia mesolepta, P. gibba, P. braunii, Nitzscia mesplepta, Mastoglia smithioi, Cymbella cistula, Camera lucida, Cymbella cymbiformi, dan Cocconeis diminut. Pinnularia boreali ditemukan pada air tawar yang dingin, Pinnularia capsoleta ditemukan pada air tawar yang dangkal.

Gambar 6. Contoh spesies diatome yang ditemukan di air tawar A. Biddulphia sp, B. Amphipleura sp , C. yclotella sp, D. Anomoeneis sp , E. Achnantes sp, F. Surirella sp

Berikut adalah rangkuman dari spesies diatome yang sering di temukan di dalam organ tubuh:

Tabel 1. Spesies diatome yang sering ditemukan dalam sampel organ tubuh

Metode lain dalam pengidentifikasian diatome adalah dengan amplifikasi DNA ataupun RNA diatome pada jaringan manusia, analisa mikroskopis pada bagian jaringan, kultur diatome pada media, dan spectrofluophotometry untuk menghitung klorofil dari plankton di paru-paru.Metode pendeteksi diatome di darah meliputi observasi secara langsung diatome pada membrane filter, setelah darah dihemolisa menggunakan sodium dodecyl sulfate, atau dengan metode hemolisa kombinasi, 5 mm pori membrane filter.Dicampur dengan asam nitrat, dan disaring ulang. Setelah pencampuran selesai diatome dapat diisolasi dengan metode sentrifuse atau membrane filtration. Siklus sentrifuse mengkonsentrasikan diatome dan menyingkirkan semua sisa asam dengan pencucian berulang, supernatant diganti tiap beberapa kali dengan air destilasi. Penggunaan saring nitroselulose adalah bagi bahan dengan jumlah diatome yang rendah dan diikuti dengan analisa LM.2.3.2.3 Pemeriksaan Getah Paru ( LONGSAP PROOF) Merupakan pemeriksaan patognomonis untuk kasus-kasus tertentu. Dicari benda-benda asing dalam getah paru yang diambil pada daerah subpleura, antara lain: pasir, lumpur, telur cacing, tanaman air, dll. Cara pemeriksaan getah paru yaitu: 10-131. Paru-paru dilepaskan satu persatu secara tersendiri dengan memotong hilus.

2. Paru-paru yang sudah dilepas tidak boleh diletakkan tetapi langsung disiram dengan air bersih (bebas diatome dan alga).

3. Permukaan paru dibersihkan dengan cara dikerik/dikerok 2-3 kali, lalu pisau kembali dibersihkan dengan air yang mengalir.

4. Dengan mata pisau yang tegak lurus permukaan paru, kemudian permukaan paru diiris sedangkal (subpleura), lalu pisau kembali dibersihkan di bawah air yang megalir, lalu dikibaskan sampai kering.

5. Dengan ujung pisau, getah paru pada irisan tadi diambil kemudian diteteskan pada objek glass lalu ditutup cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop.

6. Cara lain yaitu dengan menempelkan objek glass pada permukaan irisan didaerah subpleural, lalu ditutup cover glass pada permukaan irisan didaerah subpleural, lalu ditutup cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop.

Syarat sediaan percobaan getah paru yaitu eritrosit dalam sediaan harus sedikit jumlahnya.Bila banyak, mungkin irisan terlalu dalam.2.3.2.4. Pemeriksaan Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi dari jaringan paru akan ditemukan hasil hasil peneriksaan sebagai berikut 11,141. Deposit material yang terkandung pada media (air)

2. Emphysema aquosum, perubahan pada struktur alveoli akibat aktivasi pneumosit tipe II dan peningkatan aktivitas fagositik

3. Edema intra-alveolar dan dilatasi dari ruang alveolar dengan kompresi senkuder dari kapiler septum.

Gambar 7. Gambaran histopatologi Emphyesema aquosum dengan adanya

penyempitan septum interalveolaris (H&E,40x)Gambar 8. Gambaran histopatologi jaringan paru yang menunjukkan adanya material yang terkandung dalam media tenggelam (lumpur) dan cairan akibat edema yang terkumpul dalam alveoli

2.2.3Keracunan Karbon MonoksidaKarbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna, tidak berbau yang dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan organik, baik dalam alur pengolahan hasil jadi industri, ataupun proses di alam lingkungan. Keracunan CO disebabkan afinitasnya yang tinggi terhadap hemoglobin sehingga oksigen yang berikatan dengan hemoglobin akan berkurang dan akan terbentuk senyawa COHb.15,16Jika ditemukan kadar COHb pada darah, dimana kadarnya >50% menunjukan penyebab utamanya adalah keracunan CO, jika kadarnya 10- 50% menunjukan bahwa jenazah menghirup asap, karbonmoniksida merupakan faktor yang berkontribusi dalam kematian dan membuktikan bahwa jenazah masih hidup saat kebakaran dimulai. Jika kadarnya