Anemia Aplastik

59
BAB II ANEMIA APLASTIK 2.1. Definisi Anemia aplastik merupakan kelainan stem-cell hemopoetik yang jarang terjadi, yang berakhir pada pansitopenia dan sumsum tulang yang hiposeluler. 4 Menurut The National Organization for Rare Disorders (NORD, 2008), anemia aplastik adalah kelainan yang memiliki karakteristik berupa kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi sel-sel darah yang cukup untuk sirkulasi. Kekurangan produksi sel-sel darah tersebut berpotensi sangan serius atau dapat menjadi penyakit yang fatal apabila tidak diatasi sebagaimana mestinya. 6 Anemia aplastik didapat merupakan kelainan hematologi yang serius yang memiliki karakteristik berupa pansitopenia dan aplasia atau hipoplasia sumsum tulang. 7 3

Transcript of Anemia Aplastik

Page 1: Anemia Aplastik

BAB II

ANEMIA APLASTIK

2.1. Definisi

Anemia aplastik merupakan kelainan stem-cell hemopoetik yang jarang

terjadi, yang berakhir pada pansitopenia dan sumsum tulang yang hiposeluler.4

Menurut The National Organization for Rare Disorders (NORD, 2008),

anemia aplastik adalah kelainan yang memiliki karakteristik berupa kegagalan

sumsum tulang dalam memproduksi sel-sel darah yang cukup untuk sirkulasi.

Kekurangan produksi sel-sel darah tersebut berpotensi sangan serius atau dapat

menjadi penyakit yang fatal apabila tidak diatasi sebagaimana mestinya.6

Anemia aplastik didapat merupakan kelainan hematologi yang serius yang

memiliki karakteristik berupa pansitopenia dan aplasia atau hipoplasia sumsum

tulang.7

2.2. Sejarah

Kasus anemia aplastik pertama kali dilaporkan oleh Ehrlich pada tahun

1888 pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita

penyakit dengan karakteristik anemia berat, perdarahan, hiperpireksia, dan

sumsum tulang yang hiposelular. Pada tahun 1972, seorang pasien dengan anemia

aplastik menjadi resipien pertama yang berhasil menerima transplantasi sumsum

tulang allogenik. Perkembangan transplantasi sumsum tulang dan terapi

imunosupresif potensial pada tahun 1970-an meningkatkan prognosis penyakit ini

3

Page 2: Anemia Aplastik

secara signifikan, yang sebelumnya penyakit ini berakhir fatal pada sebagian

besar kasus dalam beberapa tahun setelah ditegakkan diagnosis.2

2.3. Epidemiologi

Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan dengan

insidensi tahunan sebesar 2-6/ 1.000.000 penduduk.3 Anemia aplastik jarang

didapatkan pada negara barat dan lebih sering ditemukan di Asia.8

Anemia aplastik memiliki insidensi yang sangat rendah di Prancis, sampai

angka insidensi yang sangat tinggi di Negara seperti Swedia. Penelitian Ahmed et

al (2006) menyimpulkan bahwa insidensi penyakit ini di India adalah sebesar

6,8%.6

Anemia aplastik yang didapat seringkali muncul diantara usia 15 sampai 25

tahun, namun insidensi berkurang setelah usia 60 tahun. Seperti penyakit autoimu

lain, spesifisitas lokus histokompatibilitas, khususnya HLA DR2, dihubungkan

dengan predisposisi yang mengikuti anemia aplastik didapat. Beberapa penelitian

menemukan insidensi penyakit ini sebanyak 1-3 kasus per juta penduduk di

Amerika Utara, Eropa dan Israel. Insidensi ini meningkat 2 sampai 3 kali lipat di

Asia Tenggara. Meskipun anemia aplastik didapat telah dihubungkan dengan

berbagai penyebab seperti beberapa agen termasuk obat-obatan, paparan benzene,

insektisida dan virus, agen etiologi tidak dapat diidentifikasi pada sebagian besar

kasus. 4,5

Berdasarkan literatur, perbandingan pria dan wanita pada pasien anemia

aplastik adalah 1:1. Namun menurut penelitian yang dipimpin Gordon (1989) dan

4

Page 3: Anemia Aplastik

di India oleh Ahmed et al (2006) memperlihatkan rasio yang lebih tinggi pada

pria dibandingkan wanita dan menghubungkannya dengan peningkatan risiko

terpajan agen toksik potensial di lingkungan pada pria disbanding wanita. Pada

penelitian terbaru, penyakit ini ditemukan 3,24 kali lebih tinggi pada pria

dibandingkan wanita.6

Penelitian populasi yang berdasarkan case-control mengenai anemia

aplastik di Thailand menemukan bahwa obat-obatan merupakan kausa yang

paling sering berhubungan, namun hal tersebut hanya menjelaskan 5% dari kasus

yang baru didiagnosis. Hubungan antara anemia aplastik dan hepatitis ditemukan

pada 1% kasus baru. Umumnya kasus sindrom hepatitis dan anemia aplastik

memiliki seronegatif untuk virus hepatitis yang diketahui (A sampai G).

pansitopenia berat bermula pada 2-3 bulan setelah peningkatan konsentrasi

aminotransferase di serum pada banyak kasus. Sebagai tambahan, setelah

transplantasi hati pada pasien hepatitis seronegatif, sekitar 30% pasien menderita

anemia aplastik. Hubungan antara hepatitis dan anemia aplastik belum diketahui

apakah proses autoimun atau merupakan hasil dari virus dan toksin yang tidak

ditemukan.4

Hepatitis-associated aplastic anemia (HAAA) merupakan sindrom yang

jartang terjadi pada pasien dengan kegagalan sumsum tulang, dengan hepatitis

pada 2-5% dari kasus anemia aplastik yang terjadi di Negara barat, dan 4-10%

terjadi di Negara timur. Secara karakteristik, sindrom HAAA lebih sering terjadi

pada pria usia muda.9

5

Page 4: Anemia Aplastik

HAAA adalah deviasi dari anemia aplastik dimana anemia aplastik terjadi

mengikuti serangan akut hepatitis. Kegagalan sumsum tulang dapat menjadi berat

dan hal ini seringkali menjadi letal apabila tidak ditangani. Lorenz dan Quazier

telah mendokumentasikan HAAA untuk pertama kali pada 2 kasus pada tahun

1955. Adil et al telah melaporkan severe aplastic anemia (SAA) 51,4%, very

severe anemia aplastic (VSAA) sebanyak 16,7% pada 144 pasien kasus anemia

aplastik.10

Anemia aplastik juga merupakan komplikasi yang jarang setelah

transplantasi hati. Insidensinya telah diperkirakan sebesar 0,007%. Anemia

aplastik diobservasi pada 23,2-33% pasien yang menjalani transplantasi hati pada

hepatitis virus fulminan non-A, non-B dan non-C. kejadian anemia aplastik

setelah transplantasi hati untuk gagal hepatik fulminan non-A, non-B dan non-C

ini lebih sering terjadi pada anak daripada dewasa (33%: 5%). Angka

mortalitasnya sebanyak 39%.11

Penelitian Gonzales-Huezo et al (2006) melaporkan kasus anemia aplastik

pda pasien Nodular regenerative hyperplasia (NRH) yang merupakan penuakit

berhubungan dengan autoimun, neoplasma, kelainan vascular, obat dan toksin.

Pada biopsy sumsum tulang didapatkan gambaran anemia aplastik, yang

diperkirakan berhubungan dengan etiologi autoimun.12

2.3. Klasifikasi

Seperti kebanyakan penyakit autoimun, anemia aplastik memiliki cakupan

luas yang memperlihatkan aktivitas penyakit dari yang paling ringan sampai berat.

6

Page 5: Anemia Aplastik

Risiko morbiditas dan mortalitas anemia aplastik berkorelasi lebih baik dengan

keparahan sitopenia dibandingkan dengan selularitas sumsum tulang. Dengan

demikian, anemia aplastik yang didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat

dan sangat berat berdasarkan derajat pansitopenia darah perifer. Selularitas

sumsum tulang yang kurang dari 25%, dan nilai yang sangat rendah dari paling

sedikitnya 2 dari 3 aktivitas hemopoietik (hitung netrofil <0,5x 109/L, hitung

trombosit <20x109/L, dan hitung retikulosit absolut <60x109/L) didefinisikan

sebagai kategori berat (severe). Anemia aplastik yang sangat berat (very severe)

memiliki kriteria yang sama, kecuali hitung netrofil harus dibawah 0,2x109/L.4

Kategori anemia aplastik yang tidak berat memiliki karakteristik berupa

sumsum tulang hiposelular dan pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan

darah seperti pada anemia aplastik berat.13

Angka mortalitas 2 tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien

dengan anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%, infeksi jamur

invasif dan dan sepsis bakterial merupakan penyebab yang paling sering pada

kematian. Anemia aplastik yang tidak berat masih dapat diatasi, dan pada

kebanyakan kasus tidak diperlukan terapi khusus.4

2.4. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi anemia aplastik yang pasti tidak diketahui, sulit dipastikan dan

kebanyakan kasus (70-80%) yang dilaporkan di literatur merupakan idiopatik.

Obat-obatan termasuk sulfonamid, tiazid, mebendazol, karbamazepin dan NSAID

dilaporkan berhubungan dengan penyakit ini. Hubungan kuat dengan status

7

Page 6: Anemia Aplastik

sosioekonomi, agen-agen kimia seperti pajanan pestisida agrikultur dan hubungan

positif dengan infeksi seperti hepatitis seropositif juga telah dilaporkan.8,14,15

Trigger potensial anemia untuk onset anemia aplastik yaitu termasuk

penyakit autoimun yang diperantarai sel T, agen-agen iatrogenik, infeksi virus dan

kehamilan. Tidak ada hubungan sebab akibat antara kehamilan dengan onset

anemia aplastik, hal ini didukung oleh insidensi yang sama antara anemia aplastik

pada pria maupun wanita.3

a. Obat-obatan

Obat-obatan merupakan kausa anemia aplastik yang paling

penting. Terdapat 11 jenis obat yang berhubungan dengan anemia

aplastik, obat yang paling sering adalah penisilamin, karbamazepin, dan

NSAID. Obat lain yaitu termasuk diuretic tiazid, sulfonamide, dan

mebendazol. Tidak ada hubungan dengan kloramfenikol.8

Penelitian Goulard (2005) melaporkan kasus anemia aplastik yang

terjadi pada pasien lepra yang mendapatkan Multidrug Therapy (MDT)

dengan kombinasi dapson, rifampicin dan clofazimine. Dapsone

merupakan obat yang diketahui berhubungan dengan Adverse Drug

Reaction (ADR) hematologi yang serius, termasuk agranulositosis, anemia

hemolitik, dan lebih jarang lagi bisa menyebabkan anemia aplastik. Kasus

anemia aplastik non fatal yang diinduksi dapson telah dilaporkan pada

tahun 1985 pada pasien dengan lepra yang mendapatkan terapi dapson 50

mg sekitar 24 hari. ADR hematologi juga dapat terjadi pada pemakaian

8

Page 7: Anemia Aplastik

rifampicin yang berupa anemia hemolitik dan trombositopenia. Terdapat

pula laporan yang menyatakan terdapat hubungan antara clofazimine dan

leucopenia.14

b. Pekerjaan

Pekerja tani di rural Thailand memiliki hubungan penting dengan

anemia aplastik. Pestisida agrikultur telah dilaporkan berhubungan dengan

anemia aplastik. Hubungan signifikan yang telah diteliti pada pestisida

agrikultur yang disebut organofosfat, DDT, dan karbamat.15

Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida

rumah tangga yang dapat meningkatkan risiko anemia aplastik. Terdapat 2

penelitian case-control yang meneliti pajanan cat dan benzene yang dapat

meningkatkan risiko anemia aplastik. Terdapat pula hubungan signifikan

untuk lem dan tinner.8

c. Status sosial ekonomi

Terdapat trend signifikan dalam peningkatan risiko dengan

penurunan tahun edukasi dan pemasukan rumah tangga total. Status

sosioekonomi bukan merupakan kausa anemia aplastik namun lebih pada

indicator pada faktor risiko lingkungan yang memungkinkan agen-agen

infeksius, dan pajanan toksik yang prevalensinya lebih sering terjadi pada

individu dengan status sosioekonomi yang rendah.8

d. Hepatitis viral

Lebih dari 200 kasus telah digambarkan dimana hepatitis viral

telah dihubungkan dan tidak ada keterlibatan potensial agen

9

Page 8: Anemia Aplastik

myelosupresif. Penyakit seringkali terjadi sekitar 2 bulan setelah onset

hepatitis, meskipun kadang-kadang hepatitis meningkat atau saat hepatitis

telah teratasi. Sebagian besar kasus disebabkan oleh hepatitis non A dan

non B, namun bukan hepatitis C. Kasus sporadic dari anemia aplastik

dihubungkan dengan hepatitis A atau B telah dilaporkan. Hepatitis sering

terjadi di Thailand, dan anemia aplastik juga lebih sering terjadi disana

daripada di negara-negara barat, teradapat hubungan yang mungkin terjadi

pada hepatitis dan anemia aplastik. Tidak ada bukti yang mengatakan ada

hubungan antara anemia aplastik dengan hepatitis B atau hepatitis C.

pajanan sebelumnya oleh hepatitis A dibedakan dari immunoglobulin G

seropositif telah berhubungan secara signifikan dengan anemia aplastik.

Hepatitis A bukan merupakan kausa anemia aplastik dikarenakan angka

prevalensi pada control sangat tinggi (81%) namun dapat merupakan

penanda surrogate untuk faktor risiko yang tidak diketahui pada anemia

aplastik yang dapat ditransmisikan dengan kondisi yang sama. Hepatitis A

sering ditransmisikan melalui rute fekal-oral, dan faktor risiko yang

berhubungan dapat berupa agen infeksius enterik.8

2.5. Patofisiologi

Anemia aplastik awalnya dipikirkan sebagai hasil dari efek toksik secara

langsung pada stem-sell hemopoetik yang menghasilkan penurunan jumlah sel-sel

tersebut. Pada akhir tahun 1960an, Mathe dan kawan-kawan mengajukan postulat

pertama yang berbasis autoimun untuk kelainan ini. Mereka mentransplantasi

10

Page 9: Anemia Aplastik

sumsum tulang dari sebagian donor yang tidak cocok ke pasien dengan anemia

aplastik, setelah mendapat antilimfosit globulin sebagai imunosupresor. Meskipun

sumsum tulang yang ditransplantasi tidak dapat dipindah, terjadi perbaikan

autologous hemopoesis pada beberapa pasien. Hasil penemuan ini menunjukkan

bahwa pasien dengan anemia aplastik dapat memelihara stem-cell hemopoietik,

pertumbuhan dan diferensiasi stem-cell disupresi oleh system imun. Analisis oleh

“International Bone Marrow Transplant Registry” mengenai transplantasi

sumsum tulang diantara kembar identik yang menderita anemia aplastik juga

memperlihatkan bahwa autoimun merupakan etiologi yang paling banyak pada

pasien anemia aplastik.4

Bukti laboratoris pertama mengenai autoimun pada anemia aplastik

berawal dari percobaan yang memperlihatkan bahwa limfosit menghambat

formasi koloni hemopoetik alogenik dan autolog in vitro. Konsekuensinya,

limfosit T sitotoksik ditemukan untuk memediasi kelainan destruksi stem-cell

hemopoetik. Efektor sel T lebih menonjol pada sumsum tulang daripada di darah

perifer pada pasien dengan anemia aplastik dan sel menghasilkan interferon dan

faktor nekrosis tumor. Sitokin-sitokin tersebut merupakan penghambat langsung

hemopoiesis dan terlihat lebih mengatur ekspresi Fas pada sel positif CD-34.

Klonus yang tidak dapat mati pada sel T positif untuk CD4 dan CD8 dari pasien

dengan anemia aplastik selalu mensekresi sekresi T-helper-1 dan secara langsung

toksik untuk autologi sel positif CD34. Terdapat pula bukti untuk respon

autoimun humoral pada anemia aplastik. Pasien dengan anemia aplastik memiliki

autoantibodi yang melawan kinektin, sebuah protein asam amino 1300 yang

11

Page 10: Anemia Aplastik

merupakan ekspresi sel hemopoietik manusia dan hati, ovarium, testis dan sel

otak. Penelitian perbedaan sel T dengan menggunakan complementarity-

determining-region (CDR3) spectratyping berimplikasi lebih jauh terhadap

patofisiologi autoimun pada anemia aplastik. Sel T dari pasien dengan kelainan

memperlihatkan heterogenitas terbatas pada rantai reseptor sel T, yang kemudian

menimbulkan ekspansi sel T oligoklonal untuk merespon antigen positif sel CD34

positif, dan progenitor hemopoietik assay, menurun secara drastis pada anemia

aplastik. Bagaimanapun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid dan

megakariositik) umum ditemukan pada kelainan, defisiensi imunologis jarang

terjadi, hitung limfosit normal pada kebanyakan kasus, seperti fungsi sel B dan sel

T. Lebih jauh lagi, pemulihan komplit dari hemopoiesis normal dapat terjadi

dengan terapi imunosupresif efektif. Kemudian, stem-cell hemopoietik tetap

terjadi pada pasien anemia aplastik. Sel T pada pasien membunuh stem-cell

hemopoietik pada HLA-DR yang terestriksi, melalui Fas ligand. Stem-cell

hemopoietik memperlihatkan beberapa kelas sel dengan kapasitas bervariasi untuk

produksi jangka panjang pada garis keturunan hemopoietik yang berbeda. Stem-

cell hemopoietik yang paling primitive mengekspresi HLA DR secara kecil atau

tidak sama sekali, atau Fas, dan ekspresi dari HLA DR dan Fas meningkat seperti

kematangan stem-cell. Kemudian, stem-cell hemopoietik primitif, dengan

kemunculan normalnya kurang dari 10% dari total sel positif CD34, dapat

menjadi tidak terlihat secara relatif terhadap sel T autorelatif, sehingga, justru

stem-cell hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama pada serangan

imun pada anemia aplastik (gambar 1). Stem-cell hemopoietik primitif

12

Page 11: Anemia Aplastik

menghindarkan diri dari serangan autoimun dapat mengikuti perbaikan

hemopoietik secara perlahan yang terjadi pada pasien dengan anemia aplastik

setelah mendapat terapi imunosupresif.4

13

Page 12: Anemia Aplastik

Gambar 1. Konsekuensi potensial terhadap jejas sumsum tulang.4

A: Jejas secara khusus menimbulkan reaksi autoimun yang melawan stem-cell hemopoietik atau progenitor.B: Jejas secara khusus menginduksi mutasi genetik pada stem-cell hemopoietik yang berakhir pada ekspansi klonal.C: Jejas menghasilkan reaksi perlawanan autoimun, dan ekspansi klonal pada stem-cell hemopoietik.Berdasarkan pada kecepatan pertumbuhan klonal, klonalitas terjadi secara simultan dengan serangan autoimun (anemia aplastik/ paroksismal nocturnal hemoglobinuria overlap atau sindrom mielodisplasia hipoplastik) atau subsekuen (penyakit klonal sekunder).

2.6. Manifestasi Klinis

Anemia aplastik dapat bermanifestasi mendadak (dalam beberapa hari)

atau perlahan-lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Manifestasi klinis

anemia aplastik ditentukan oleh sitopenia darah perifer. Manifestasi tersebut yaitu

dispneu saat beraktifitas, cepat lelah, mudah memar, peteki, epistaksis, perdarahan

gusi, haid dengan jumlah darah yang banyak, nyeri kepala, dan demam.2,4

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan

rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 1). Pada tabel

berikut terlihat bahwa perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan keluhan

yang paling sering ditemukan.2

Jenis Keluhan %

Perdarahan 83

Pusing 69

Jantung berdebar 36

14

Page 13: Anemia Aplastik

Demam 33

Badan lemah 30

Penurunan nafsu makan 29

Pucat 26

Sesak napas 23

Penglihatan kabur 19

Telinga berdengung 13

Tabel 1. Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder, 1983)2

2.7. Diagnosis

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis

leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi sumsum tulang serta biopsi sumsum

tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan paroxysmal

nocturnal haemoglobinuria, dan karyotyping sumsum tulang dapat

menyingkirkan sindrom mielodisplasia hipoplasik, yang sebaiknya dilakukan pada

semua pasien. Pasien yang berusia kurang dari 40 tahun sebaiknya diskrining

untuk anemia fanconi dengan menggunakan agen klastogenik diepoxybutane atau

mitomycin, dengan uji peningkatan kromosom yang terlihat pada kelainan ini.

Riwayat keluarga dengan sitopenia dapat meningkatkan kemungkinan adanya

kelainan yang diwariskan meskipun tidak ada kelainan fisik yang muncul.

Sumsum tulang yang hiposeluler didapatkan pada diagnosis anemia aplastik.2,4

15

Page 14: Anemia Aplastik

Spikula dari aspirat dapat terlihat selular pada beberapa pasien meskipun

secara keseluruhan sumsum tulang terlihat hiposeluler dikarenakan sebagian besar

pasien memiliki simpanan residual untuk meneruskan hemopoiesis. Sehingga,

core biopsy 1-2 cm penting untuk menegakkan selularitas. Diseritropoiesis ringan

tidak jarang ditemukan pada anemia aplastik, khususnya pada pasien dengan

populasi kecil sampai sedang yang secara simultan memiliki sel-sel paroxysmal

nocturnal haemoglobinuria. Bagaimanapun, kemunculan dari myeloid blast

dengan proporsi yang kecil, atau terdapatnya displastik pada garis myeloid atau

megakariosit, menandakan diagnosis sindrom mielodisplasia hipoplastik.

Perbedaan antara anemia aplastik dan sindrom mielodisplasia hipoplastik dapat

dilihat, khususnya pada pasien yang lebih tua dimana lebih sering terjadi sindrom

yang lanjut. Proporsi CD34 dengan sel yang positif pada sumsum tulang dapat

menolong pada beberapa kasus. CD34 terekspresi pada stem cell hemopoetik dan

progenitor, hal ini merupakan fundamental pada kedua kelainan tersebut (Gambar

1). Pada sindrom mielodisplasia, ekspansi klonal berasal dari stem-cell CD34

yang positif, sedangkan pada anemia aplastik yang didapat, stem-cell CD34 yang

positif merupakan target serangan autoimun. Berdasarkan hal tersebut, proporsi

sel CD34 yang positif berjumlah 0,3% atau kurang pada sebagian besar pasien

dengan anemia aplastik, dimana pada sindrom mielodisplasia hipoplastik

proporsinya normal (0,5-1%) atau lebih tinggi dari normal.2

2.8. Pemeriksaan Fisik

16

Page 15: Anemia Aplastik

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi. Pada

tabel 2 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,

yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien

sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya

splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Jenis Pemeriksaan Fisik %

Pucat 100

Perdarahan: 63

-Kulit 34

-Gusi 26

-Retina 20

-Hidung 7

-Saluran Cerna 6

-Vagina 3

Demam 16

Hepatomegali 7

Splenomegali 0

Tabel 2. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik2

2.9. Pemeriksaan Laboratorium

17

Page 16: Anemia Aplastik

a. Darah Tepi

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis

anemia adalah normokromik normositik. Kadang-kadang, ditemukan pula

makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau

leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.

Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif ditemukan

pada lebih dari 75% kasus.2

Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian

kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi,

bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte

count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.

Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia

aplastik. 2

Perbedaan antara gambaran sumsum tulang normal dan sumsum

tulang aplastik dapat dilihat pada gambar berikut.2

18

Page 17: Anemia Aplastik

Gambar. Sumsum tulang normal (kiri) dan aplastik (kanan)2

b. Laju Endap Darah

Laju endap darah selalu meningkat. Menurut Widjanarko dkk (2007), 62

dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm

dalam jam pertama.2

c. Faal Hemostasis

Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh

trombositopenia. Fase hemostasis lainnya normal.2

d. Sumsum Tulang

Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin

teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan

melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia

aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai criteria diagnosis.2

e. Virus

Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis,

HIV, parvovirus dan sitomegalovirus.2

f. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa

Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.2

g. Kromosom

Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.

Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridation (FISH)

19

Page 18: Anemia Aplastik

dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk

menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.2

h. Defisiensi Imun

Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin

dan pemeriksaan imunitas sel T.2

i. Lain-lain

Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin

ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin

ditemukan meningkat pada anemia aplastik.2

2.10. Pemeriksaan Radiologis

a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging

Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya

perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum

tulang ebrlemak dan sumsum tulang berseluler.2

b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)

Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh

setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan

terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan

terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat

ditemukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna

pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.2

20

Page 19: Anemia Aplastik

2.11. Diagnosis Banding

Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia, namun

hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji

diagnostic yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman

tentang kegagalan sumsum tulang. Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan

herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan

zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul

pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun

tanpa kelainan skeletal atau urogenital.2

Sumsum tulang hiposeluler dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik.

Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun

secara keseluruhan sumsum tulang hiposeluler, sebab sebagian besar pasien masih

mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy

1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak

lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi

sel-sel hemoglobinuria nocturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun,

adanya sejumlah sel kecil sel-sel blas myeloid, atau gambaran displastik seri

myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplastik

hipoplastik.2

a. Myelodisplasia Hiposeluler

21

Page 20: Anemia Aplastik

Membedakan anemia aplastik dari sindom myelodisplastik

hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih

tua, karena sindrom ini lebih banyak terjadi. Proporsi sel-sel CD34 di

sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34

diekspresikan pada sel-sel asal/induk hemopoietik dan bersifat

fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom

myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34, sedangkan

pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34 merupakan target

serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel SD34 adalah 0,3%

atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal

(0,5-1,0 %) atau lebih tinggi pada sindrm myelodisplastik hipoplastik.2

Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah

rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat controversial. Kromosom

umumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau

abnormalitas structural relative sering pada sindrom myelodisplastik. Jika

sumsum tulang normal atau hiperseluler dan sel-sel hematopoietik jelas-

jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia

aplastik. Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak

hiposeluler, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau

meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak

berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia

aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.2

22

Page 21: Anemia Aplastik

Perbedaan antara anemia aplastik dengan MDS hiposeluler sulit

didapatkan. Baik anemia aplastik maupun MDS dapat ditemukan

diseritropoiesis. Mikromegakaryosit di sirkulasi, blas di ssirkulasi, cincin

sideroblas, disgranulopoiesis, dismegakaryositopoiesis, lokalisasi

abnormal pada precursor imatur, fibrosis sumsum tulang, dan peningkatan

blas lebih banyak menetap pada MDS.2,16

Kemunculan morfologik tersebut didapatkan pada perubahan

anemia aplastik menjadi MDS. Pada penelitian terbaru, 3 kasus anemia

aplastik dengan sitogenetik normal berubah menjadi MDS dengan

dismegakaryositopoiesis dan monosomi. Penelitian sebelumnya

menyimpulkan bahwa pewarnaan specimen biopsy trephine sumsum

tulang untuk SD34 dan sel proliferasi antigen nuclear dapat membantu

untuk diferensial diagnosis antara anemia aplastik dan mDS. Penelitian

terbaru memperlihatkan pewarnaan CD61 untuk mengevaluasi

megakaryosit. Meskipun monosomi 7 telah terlihat melibatkan

megakaryosit, hal tersebut tidak spesifik untuk turunan megakaryosit pada

gangguan myeloid. Penelitian Dollan et al (2005) menganjurkan bahwa

pada kasus anemia aplastik dengan monosomi 7 harus dievaluasi secara

teliti untuk dismegakaryosit yang dapat mengindikasikan MDS.16

23

Page 22: Anemia Aplastik

Gambar 2. A. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada

hapusan aspirasi sumsum tulang (Pewarnaan Wright-giemsa, pembesaran 2000x)

B. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada biopsy trephine sumsum tulang (Pewarnaan H&E, pembesaran 1200x)

Gambar 3. A. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine sumsum tulang yang

memperlihatkan megakaryosit displastik setelah penambahan monosomi 7 (pembesaran 400x)

B. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine pada anemia aplastik sebelumnya dengan karyotipe normal (pembesaran 400x)

b. Leukemia Limfositik Granular Besar

Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang

yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari

fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola

pulasan sel-sel khusus pada glow cytometri, dan ketidakteraturan reseptor

sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoclonal populasi sel T.2

24

Page 23: Anemia Aplastik

c. Anemia Aplastik dan Paroxysmal Haemoglobinuria Paroxyxmal (PNH)

Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik

dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan

populasi sel darah merah, granulosit dan trombosit yang semuanya tidak

mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetic PNH adalah

mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan

sintesis struktur jangkar glikosilfosfatidilinositol. Defisiensi protein ini

menyebabkan hemolisis intravascular, yang mengakibatkan

ketidakmampuan eritrosit untuk meng-inaktivasi komplemen permukaan.

Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometry

eritrosit dan leukosit, tes Ham, dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan

jaman (obsolete).2

Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami

kegagalan sumsum tulang, dan sevaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai

“peristiwa klonal lanjut” bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik.

Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar

pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH

hematopoietic pada saat datang.2

2.12. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri atas17:

a. Identifikasi dan eliminasi penyebab

b. Pengobatan suportif: terhadap infeksi, perdarahan dan anemia

25

Page 24: Anemia Aplastik

c. Usaha mempercepat penyembuhan pansitopenia melalui imunosupresif,

transplantasi sumsum tulang, obat-obatan anabolik dan kortikosteroid

Hanya terdapat sedikit bukti pada harapan hidup pasien dengan anemia

aplastik. Meskipun kelainan dapat terus berlanjut progresif, banyak pasien yang

tetap stabil selama beberapa tahun, dan beberapa secara spontan mengalami

peningkatan meskipun tanpa terapi spesifik. Terapi harus berdasarkan derajat

sitopenia, bukan selularitas sumsum tulang. Pasien dengan sitopenia yang

asimtomatik mungkin tidak memerlukan terapi. Sedangkan pasien anemia aplastik

dengan sitopenia yang lebih berat, seperti anemia simtomatik, lebih baik dicoba

untuk menjalani terapi imunosupresif dengan antitimosit globulin dan siklosporin.

Belum diketahui apakah terapi untuk anemia aplastik yang tidak berat dapat

meningkatkan ketahanan hidup.4

Terapi efektif untuk anemia aplastik yang didapat terdiri atas 3 macam

yaitu transplantasi sumsum tulang allogenik, terapi imunosupresif dengan

anttithymocyte globulin (ATG) dan siklosporin, dan siklofosfamid dosis tinggi

tanpa transplantasi sumsum tulang. Masing-masing pendekatan tersebut berbeda

secara substansial pada aplikatifnya dan juga dalam risiko jangka pendek dan

jangka panjang.4,16

Transplantasi sumsum tulang (Bone Marrow Transplantation= BMT) dan

terapi imunosupresif merupakan modalitas terapeutik utama yang digunakan

akhir-akhir ini dalam menerapi anak-anak maupun dewasa, dengan angka

keberhasilan antara 60% sampai 80%.7

26

Page 25: Anemia Aplastik

Pemilihan diantara terapi imunosupresi atau BMT berdasarkan atas

ketersediaan donor saudara kandung dan berdasarkan usia. Pada banyak pusat

kesehatan, pasien dengan usia 45-50 tahun tidak dianjurkan untuk pemberian

terapi BMT sebagai terapi lini pertama, sedangkan untk terapi imunosupresif tidak

ada batasan umur, sehingga keputusan untuk terapi pasien dengan usia lebih tua

diputuskan berdasarkan status performance nya.7

Transplantasi sumsum tulang allogenik menghilangkan serangan imun

dengan terapi sitotoksik dosis tinggi dan memberikan sumber yang baik untuk

stem-cell. Dengan demikian, hal tersebut dapat efektif dalam melawan seluruh

bentuk kegagalan sumsum tulang. Antitimosit globulin ditambah siklosporin dan

siklofosfamid dosis tinggi memiliki target primer serangan autoimun, yang diikuti

stem-cell endogen untuk menjadi normal atau hemopoiesis yang hampir normal.4

Penyebab kematian dapat dilihat pada tabel 3. Infeksi merupakan penyebab

kematian paling banyak, baik pasien yang mendapat terapi BMT maupun

imunosupresif: infeksi lebih sering terjadi pada dewasa dibandingkan pada anak-

anak yang dihitung untuk angka mortalitas yang lebih tinggi. Penyebab kematian

lain yaitu GvHD setelah transplantasi, dan perdarahan setelah imunosupresi.

Keganasan sekunder dapat pula ditemukan, khususnya pada pasien yang

mendapatkan terapi imunosupresif.7

27

Page 26: Anemia Aplastik

Tabel 3. Penyebab kematian pada pasien yang diterapi dengan BMT atau terapi imunosupresi, berdasarkan kelompok umur.

2.12.1. Transplantasi Sumsum Tulang

Pilihan terapi pada kebanyakan center untuk pasien-pasien muda dengan

anemia aplastik berat yang memiliki donor saudara dengan HLA yang cocok

( HLA matched sibling donor) adalah transplantasi sumsum tulang. Ketahanan

hidup setelah transplantasi sumsum tulang dari matched sibling telah meningkat

secara terus menerus sejak tahun 1970an, sebagai hasil dari peningkatan

28

Page 27: Anemia Aplastik

perawatan suportif, khususnya pada profilaksis yang melawan reaksi penolakan

sumsum tulang donor yang disebut graft-versus-host disease (GVHD).

Probabilitas pada anemia aplastik berat yang dapat sembuh dengan transplantasi

sumsum tulang adalah besar, namun kurang dari 30% pasien mendapat donor

saudara kandung yang cocok. Selanjutnya, komplikasi yang lanjut, seperti GVHD

kronik, terjadi pada lebih dari sepertiga pasien, dengan banyak memerlukan terapi

jangka panjang untuk GVHD.4

Prosedur untuk transplantasi dari matched sibling donors (MDS) adalah

berdasarkan protocol asli Seattle: siklofosfamid 200 mg/kgBB, anti-lymphocyte

globulin, sel-sel sumsum tulang dosis tinggi (>3,5x108/kgBB) dan siklosporin A

dan metotreksat untukprofilaksis graft-versus-host disease (GvHD).7

Keuntungan mayor dari transplantasi sumsum tulang yaitu dapat secara

besar menurunkan risiko relaps dan perkembangan kelainan klonal lanjut seperti

sindroma mielodisplasia dan paroxysmal nocturnal haemoglobinuria. Usia pasien

dan tipe dari allograft (saudara kandung dengan HLA yang cocok, tidak berkaitan,

atau donor yang tidak cocok) merupakan faktor-faktor yang paling penting yang

dapat mempengaruhi outcome. Pada pasien dengan usia kurang dari 30 tahun,

angka kesembuhan setelah transplantasi sumsum tulang dari saudara kandung

dengan HLA yang cocok adalah sekitar 70-90%. Bagaimanapun, risiko GVHD

meningkat terus menerus sesuai dengan usia, dengan demikian ketahanan hidup

menjadi lebih buruk pada pasien-pasien tua. Transplantasi yang berhubungan

dengan mortalitas mencapai 50% pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.

Transplantasi sumsum tulang dari donor yang tidak berkaitan atau tidak cocok

29

Page 28: Anemia Aplastik

dapat terjadi pada pasien yang tidak dapat merespon dengan antitimosit globulin

dan siklosporin. Transplantasi yang berhubungan dengan mortalitas dan risiko

GVHD secara kasar 2 kali lebih tinggi dengan donor yang tidak berkaitan

dibandingkan dengan donor saudara kandung yang cocok.4

Selama kehamilan, transplantasi sumsum tulang merupakan kontraindikasi

dikarenakan hal tersebut berpotensi toksik pada embrio. Belum ada pedoman yang

tepat untuk penatalaksanaan anemia aplastik pada wanita hamil.3

2.12.2. Terapi imunosupresif

Terapi imunosupresif dengan antithymocyte globulin dan siklosporin

digunakan pada pasien yang tidak dapat diterapi dengan transplantasi sumsum

tulang dikarenakan usia yang tua atau kekurangan matched sibling donor. Tingkat

respons terhadap antithymocyte globulin dan siklosporin berkisar antara 60-80%,

dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sama dengan setelah transplantasi sumsum

tulang.4

Outcome terapi imunosupresif tergantung pada usia pasien, 5 tahun

ketahanan hidup dicapai lebih dari 90% pasien anak-anak yang dilaprkan dalam

penelitian terbaru, sedangkan pada pasien dewasa berusia lebih dari 60 tahun,

ketahanan hidup anemia aplastik setelah terapi imunosupresif sekitar 50%.18

Bagaimanapun, berlawanan dengan transplantasi sumsum tulang, pada

sebagian besar pasien tidak dapat mencapai jumlah darah normal, dan banyak

yang mengalami relaps, menjadi ketergantungan dengan siklosporin, atau menjadi

penyakit klonal sekunder seperti paroxysmal nocturnal haemoglobinuria atau

30

Page 29: Anemia Aplastik

sindroma myelodisplasia. The European Group for Blood and Marrow

Transplantation (EBMT) Severe Aplastic Anaemia Working Party melakukan

analisis retrospektif pada 468 pasien yang diterapi dengan terapi imunosupresif

diantara tahun 1975 dan 1986. Pasien- pasien tersebut bertahan hidup lebih lama

dari 2 tahun dan diklasifikasikan sebagai long-term survivors. Angka mortalitas

pada 223 long-term survivor tersebut sebesar 22% selama 8 tahun, dan risiko

menjadi PNH dan sindrom myelodisplasia sebesar 13% dan 15%, secara respektif,

pada tahun ke 7.4

Bacigalupo dan kawan-kawan melaporkan angka respon sebanyak 77%

dan ketahanan hidup keseluruhan sebesar 86% pada 100 pasien (usia median 16

tahun) pada pasien yang diterapi dengan antithymocyte globulin dan siklosporin,

prednisolon dan filgrastim. Risiko relaps sebesar 9%, perkembangan

abnormalitas sitogenik sebesar 11%, namun probabilitas dari penghentian terapi

siklosporin hanya sebesar 38% pada tahun kelima. The US National Institutes of

Health memberikan terapi 122 pasien dengan usia median 35 tahun, dengan

kombinasi antithymocyte globulin dan siklosporin ditambah metilprednisolon dan

mem-follow up mereka sampai periode 8 tahun. Angka respons sebesar 58%, dan

angka survival pada tahun ke-7 sebesar 55%, sedangkan 13% pasien meninggal

dalam 3 bulan masa terapi, paling banyak dikarenakan infeksi jamur. Angka

relaps pada responder sebesar 40%, dan 13 pasien menjadi sindrom

myelodisplasia.4

2.12.3 Siklofosfamid Dosis Tinggi Tanpa Transplantasi Sumsum Tulang

31

Page 30: Anemia Aplastik

Siklofosfamid dengan dosis tinggi (umumnya dikombinasi dengan

antithymocyte globulin) merupakan regimen yang paling digunakan sebelum

transplantasi sumsum tulang untuk anemia aplastik. Rekonstitusi komplit dari

hemopoiesis autolog terjadi pada 10-20% pasien anemia aplastik yang mendapat

transplantasi sumsum tulang allogenik, yang disebabkan efek farmakologi dari

siklofosfamid. Sebagian besar pasien tersebut mendapatkan remisi jangka panjang

walaupun terdapat rekonstruksi autolog.4

Siklofosfamid merupakan prodrug dan dikonversi menjadi 4-

hidroksisiklofosfamid dan tautomernya berupa aldofosfamid oleh system sitokrom

hepatik P450 (Gambar 2). Aliran darah yang tidak stabil tersebut

ditransportasikan secara difus ke dalam sel. Di dalam sel dengan konsertasi

aldehyde dehydrogenase (ALDH; sel sensitif) yang rendah, aldofosfamid

dikonversikan menjadi fosforamid mustard dan acrolein melalui dekomposisi

intraseluler sederhana. Komponen alkylating aktif, fosforamid mustard,

menghasilkan interstrand dan intrastrand DNA cross-links yang menghasilkan

sitotoksik pada obat, acrolein diekskresikan melalui ginjal dan dosis tinggi dapat

mencetuskan jejas uroepitelial, sistisis hemoragis.4

Di dalam sel dengan konsentrasi ALDH (sel resisten) yang tinggi,

aldofosfamid dikonversikan menjadi karboksifosfamid. Sebuah komponen lemah

yang diekskresikan melalui ginjal, ALDH1A1, yang sebelumnya dikenal dengan

ALDH kelas I atau ALDH sitosolik, ALDH 1, atau retinaldehyde dehydrogenase

1, terlihat menjadi bentuk yang paling aktif pada proses detoksifikasi

siklofosfamid ini. ALDH1A1 selalu memiliki peran penting pada metabolism

32

Page 31: Anemia Aplastik

etanol, namun fungsi utamanya adalah biosintesis asam retinoat dari vitamin A

(retinol). Setelah oksidisasi retinol menjadi retinaldehid oleh alcohol

dehydrogenase, ALDH1A1 mengoksidasi retinaldehid menjadi asam retinoat,

yang penting untuk pertumbuhan seluler dan diferensiasi. Sel-sel dengan potensial

proliferatif yang tinggi, seperti haemopoietic stem-cells, memiliki ekspresi yang

tinggi pada ALDH1A1 dikarenakan syaratnya untuk asam retinoat, kemudian

menjadi resisten terhadap siklofosfamid. Sebaliknya, limfosit memiliki ekspresi

ALDH yang rendah dan secara cepat dibunuh oleh siklofosfamid dosis tinggi.

Obat ini kemudian menjadi imunosupresif yang tinggi, namun tidak

myeloablative, yang mengikuti stem-cell hemopoietik endogen untuk menyusun

hemopoiesis kembali.4

Siklofosfamid dosis tinggi tanpa transplantasi sumsum tulang telah

berhasil digunakan untuk menerapi pasien anemia aplastik yang tidak memiliki

donor yang sesuai. Sebuah penelitian pada National Institutes of Health meneliti

randomized trial siklofosfamid dosis tinggi ditambah siklosporin yang

dibandingkan dengan antithymocyte globulin ditambah siklosporin. Percobaan ini

ditutup setelah enrolling 31 pasien (17% dari yang direncanakan) dikarenakan

frekuensi efek toksik dini yang lebih tinggi pada kelompok siklofosfamid

ditambah siklosporin. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan secara statistic pada

angka respons, ketahanan hidup, atau kelainan klonal sekunder. Kemudian,

dilakukan pemberian siklofosfamid dosis tinggi pada 19 pasien dengan anemia

aplastik berat, 16 orang hidup sampai bulan ke-24, dengan 14 pasien meraih

remisi komplit atau parsial. Tidak ada relaps atau kelainan klonal sekunder.

33

Page 32: Anemia Aplastik

Waktu median untuk mencapai jumlah netrofil 0,5x 109/L adalah 49 hari, dan

waktu median untuk transfuse trombosit terakhir adalah 129 hari. Penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa penambahan siklosporin ke dalam regimen

siklofosfamid dosis tinggi tidak diperlukan dikarenakan kemungkinan hal tersebut

dapat meningkatkan toksisitas tanpa meningkatkan efikasi. Siklofosfamid dosis

tinggi telah terlihat memiliki keberhasilan pada pasien yang tidak merespon

terhadap antithymocyte globulin dan siklosporin.4

Jalur metabolik siklofosfamid dapat dilihat pada gambar berikut.

34

Page 33: Anemia Aplastik

Gambar 4. Jalur Metabolik Siklofosfamid4

2.12.4. Terapi Suportif

a. Transfusi

Pasien dengan anemia simtomatik atau trombositopenia yang dihubungkan

dengan purpura basah atau perdarahan memerlukan transfusi segera. Seluruh

transfusi pada pasien dengan suspek anemia aplastik harus diperhatikan untuk

mencegah transfusion-associated GVHD. Apabila pasien merupakan kandidat

35

Page 34: Anemia Aplastik

potensial untuk transplantasi sumsum tulang dan status sitomegalovirus yang

negative atau tidak diketahui, transmisi virus ini harus dicegah dengan pemberian

leucoreduction atau penggunaan produk cytomegalovirus-negative. Donor darah

dari anggota keluarga sebaiknya tidak dilakukan untuk mencegah alloimunisasi

yang dapat pula memberikan komplikasi transplantasi sumsum tulang dalam

waktu ke depan. Setelah stabilisasi pasien, produk darah harus digunakan secara

bijaksana untuk mencegah kardiopulmuner compromise. Sedangkan untuk

mengurangi risiko perdarahan, target jumlah trombosit pada sebagian besar pasien

adalah 10x109/L, meskipun beberapa pasien akan mentoleransi keadaan

penurunan target jumlah trombosit tanpa perdarahan atau peteki.4

b. Haematopoietic Growth Factors

Penggunaan Haematopoietic Growth Factors (HGFs) untuk membantu

hitung darah merupakan hal yang terbatas pada anemia aplastik berat, seperti yang

dipresiksi dari penelitian in vitro dan pengukuran kadar serum endogen dari

HGFs, yang terdapat peningkatan. Pemberian HGFs tunggal tidak memiliki

peranan dalam terapi anemia aplastik berat. Granulocyte colony-stimulating factor

(G-CSF), Granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan

interleukin 3 dapat berperan penting dalam meningkatkan jumlah granulosit pada

pasien yang tetap memiliki sel-sel precursor yang cukup. Pada pasien dengan

aplasia total, seringkali tidak terdapat peningkatan. Prognosis dan ketahanan

hidup pasien anemia aplastik berat tidak dipengaruhi oleh terapi tersebut.

Bagaimanapun, G-CSF telah menjadi terapi yang diberikan bersamaan dengan

ATG dan siklosporin (CsA) sebagai terapi lini pertama.19

36

Page 35: Anemia Aplastik

Defisiensi HGFs (seperti eritropoietin, granulocyte-colony-stimulating

factor, trombopoietin, dan granulocyte-monocyte-colony-stimulating factor)

bukan merupakan penyebab kegagalan sumsum tulang pada anemia aplastik.

Konsentrasi faktor pertumbuhan hemopoietik sangat tinggi pada pasien dengan

kelainan ini, sebagai usaha kompensasi untuk meningkatkan produksi darah. Oleh

karena itu, faktor-faktor tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai pengganti

dari terapi definitive. Faktor pertumbuhan hemopoietik sering digunakan setelah

terapi imunosupresif atau siklofosfamid dosis tinggi untuk mempercepat

pemulihan hemopoietik, namun penggunaannya tidak memperlihatkan

peningkatan ketahanan hidup.4

c. Androgen dan Kortikosteroid

Sejarahnya androgen atau steroid anabolik merupakan bentuk terapi

spesifik pertama yang diberikan pada pasien anemia aplastik. Terdapat

keuntungan sementara dari terapi inisial. Respon androgen telah diteliti namun

tidak meningkatkan ketahanan hidup pada beberapa penelitian. Pada beberapa

kasus, terdapat peningkatan kecepatan pemulihan sumsum tulang setelah terapi

dengan Antilymphosyte Globulin (ALG). Androgen akhir-akhir ini terbukti

meningkatkan aktivitas telomerase pada sel-sel CD34, yang dapat menjelaskan

efeknya pada beberapa pasien. Kortikosteroid pada dosis konvensional dapat

memperbaiki kerusakan serum selama terapi ALG, namun memiliki aktivitas

sendiri yang kecil pada penyakit anemia aplastik. Penggunaan dosis rendah

kortikosteroid untuk meningkatkan stabilitas vascular memiliki basis yang rendah

37

Page 36: Anemia Aplastik

pada penelitian di laboratorium maupun pengalaman klinis. Dan perlu

diperhatikan secara penuh efek samping pada penggunaan kortikosteroid jangka

panjang.19

d. Antibiotik

Sepsis yang disebabkan oleh bakteri atau jamur (khususnya aspergilus)

merupakan penyebab kematian yang paling sering pada anemia aplastik. Pada

kondisi umum, antibiotik profilaksis tidak diperlukan. Bagaimanapun, untuk

pasien dengan hitung netrofil absolute yang konsisten kurang dari 0,2x109/L,

profilaksis oral dengan quinolone dan obat antijamur triazole dapat diberikan

dengan alasan. Pasien dengan demam netrofilia seharusnya diterapi promptly

dengan antibiotic spectrum luas, pada pasien dengan demam yang persisten

setelah inisiasi obat antibakteri, agen yang melawan aspergillus dapat

ditambahkan. Profilaksis untuk pneumonia Pneumocytis carinii harus diberi pada

seluruh pasien dalam waktu paling sedikit 6 bulan setelah terapi imunosupresif,

transplantasi sumsum tulang, dan terapi siklofosfamid dosis tinggi.4

2.13. Respon Terapi

Kelompok European Bone Marrow Transplantation (EBMT)

mendefinisikan respons terapi sebagai berikut.2,13

a. Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3,

dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3, Hb normal

38

Page 37: Anemia Aplastik

b. Remisi parsial: tidak membutuhkan transfusi eritrosit dan trombosit,

granulosit di bawah 2000/mm3, dan trombosit di bawah 100.000/mm3

c. Remisi minimal: granulosit diatas 500/mm3, membutuhkan transfusi

eritrosit dan trombosit

d. Refrakter: tidak ada perbaikan, anemia aplastik berat menetap

2.14 Prognosis dan Perjalanan Penyakit

Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa4:

a. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali apabila

iatrogenic akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya

terjadi segera.

b. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.

c. Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup

lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.

Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk

membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia

aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan

pengobatan prognosis menjadi lebih baik.

Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada

penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan antilymphocyte

globulin (ALG), 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,

mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin

39

Page 38: Anemia Aplastik

merupakan riwayat alamiah penyakit meskipun komplikasi tersebut lebih jarang

ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.4

40