Anemia Aplastik
-
Upload
nika-sterina-skripsiana -
Category
Documents
-
view
693 -
download
0
Transcript of Anemia Aplastik
BAB II
ANEMIA APLASTIK
2.1. Definisi
Anemia aplastik merupakan kelainan stem-cell hemopoetik yang jarang
terjadi, yang berakhir pada pansitopenia dan sumsum tulang yang hiposeluler.4
Menurut The National Organization for Rare Disorders (NORD, 2008),
anemia aplastik adalah kelainan yang memiliki karakteristik berupa kegagalan
sumsum tulang dalam memproduksi sel-sel darah yang cukup untuk sirkulasi.
Kekurangan produksi sel-sel darah tersebut berpotensi sangan serius atau dapat
menjadi penyakit yang fatal apabila tidak diatasi sebagaimana mestinya.6
Anemia aplastik didapat merupakan kelainan hematologi yang serius yang
memiliki karakteristik berupa pansitopenia dan aplasia atau hipoplasia sumsum
tulang.7
2.2. Sejarah
Kasus anemia aplastik pertama kali dilaporkan oleh Ehrlich pada tahun
1888 pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita
penyakit dengan karakteristik anemia berat, perdarahan, hiperpireksia, dan
sumsum tulang yang hiposelular. Pada tahun 1972, seorang pasien dengan anemia
aplastik menjadi resipien pertama yang berhasil menerima transplantasi sumsum
tulang allogenik. Perkembangan transplantasi sumsum tulang dan terapi
imunosupresif potensial pada tahun 1970-an meningkatkan prognosis penyakit ini
3
secara signifikan, yang sebelumnya penyakit ini berakhir fatal pada sebagian
besar kasus dalam beberapa tahun setelah ditegakkan diagnosis.2
2.3. Epidemiologi
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan dengan
insidensi tahunan sebesar 2-6/ 1.000.000 penduduk.3 Anemia aplastik jarang
didapatkan pada negara barat dan lebih sering ditemukan di Asia.8
Anemia aplastik memiliki insidensi yang sangat rendah di Prancis, sampai
angka insidensi yang sangat tinggi di Negara seperti Swedia. Penelitian Ahmed et
al (2006) menyimpulkan bahwa insidensi penyakit ini di India adalah sebesar
6,8%.6
Anemia aplastik yang didapat seringkali muncul diantara usia 15 sampai 25
tahun, namun insidensi berkurang setelah usia 60 tahun. Seperti penyakit autoimu
lain, spesifisitas lokus histokompatibilitas, khususnya HLA DR2, dihubungkan
dengan predisposisi yang mengikuti anemia aplastik didapat. Beberapa penelitian
menemukan insidensi penyakit ini sebanyak 1-3 kasus per juta penduduk di
Amerika Utara, Eropa dan Israel. Insidensi ini meningkat 2 sampai 3 kali lipat di
Asia Tenggara. Meskipun anemia aplastik didapat telah dihubungkan dengan
berbagai penyebab seperti beberapa agen termasuk obat-obatan, paparan benzene,
insektisida dan virus, agen etiologi tidak dapat diidentifikasi pada sebagian besar
kasus. 4,5
Berdasarkan literatur, perbandingan pria dan wanita pada pasien anemia
aplastik adalah 1:1. Namun menurut penelitian yang dipimpin Gordon (1989) dan
4
di India oleh Ahmed et al (2006) memperlihatkan rasio yang lebih tinggi pada
pria dibandingkan wanita dan menghubungkannya dengan peningkatan risiko
terpajan agen toksik potensial di lingkungan pada pria disbanding wanita. Pada
penelitian terbaru, penyakit ini ditemukan 3,24 kali lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita.6
Penelitian populasi yang berdasarkan case-control mengenai anemia
aplastik di Thailand menemukan bahwa obat-obatan merupakan kausa yang
paling sering berhubungan, namun hal tersebut hanya menjelaskan 5% dari kasus
yang baru didiagnosis. Hubungan antara anemia aplastik dan hepatitis ditemukan
pada 1% kasus baru. Umumnya kasus sindrom hepatitis dan anemia aplastik
memiliki seronegatif untuk virus hepatitis yang diketahui (A sampai G).
pansitopenia berat bermula pada 2-3 bulan setelah peningkatan konsentrasi
aminotransferase di serum pada banyak kasus. Sebagai tambahan, setelah
transplantasi hati pada pasien hepatitis seronegatif, sekitar 30% pasien menderita
anemia aplastik. Hubungan antara hepatitis dan anemia aplastik belum diketahui
apakah proses autoimun atau merupakan hasil dari virus dan toksin yang tidak
ditemukan.4
Hepatitis-associated aplastic anemia (HAAA) merupakan sindrom yang
jartang terjadi pada pasien dengan kegagalan sumsum tulang, dengan hepatitis
pada 2-5% dari kasus anemia aplastik yang terjadi di Negara barat, dan 4-10%
terjadi di Negara timur. Secara karakteristik, sindrom HAAA lebih sering terjadi
pada pria usia muda.9
5
HAAA adalah deviasi dari anemia aplastik dimana anemia aplastik terjadi
mengikuti serangan akut hepatitis. Kegagalan sumsum tulang dapat menjadi berat
dan hal ini seringkali menjadi letal apabila tidak ditangani. Lorenz dan Quazier
telah mendokumentasikan HAAA untuk pertama kali pada 2 kasus pada tahun
1955. Adil et al telah melaporkan severe aplastic anemia (SAA) 51,4%, very
severe anemia aplastic (VSAA) sebanyak 16,7% pada 144 pasien kasus anemia
aplastik.10
Anemia aplastik juga merupakan komplikasi yang jarang setelah
transplantasi hati. Insidensinya telah diperkirakan sebesar 0,007%. Anemia
aplastik diobservasi pada 23,2-33% pasien yang menjalani transplantasi hati pada
hepatitis virus fulminan non-A, non-B dan non-C. kejadian anemia aplastik
setelah transplantasi hati untuk gagal hepatik fulminan non-A, non-B dan non-C
ini lebih sering terjadi pada anak daripada dewasa (33%: 5%). Angka
mortalitasnya sebanyak 39%.11
Penelitian Gonzales-Huezo et al (2006) melaporkan kasus anemia aplastik
pda pasien Nodular regenerative hyperplasia (NRH) yang merupakan penuakit
berhubungan dengan autoimun, neoplasma, kelainan vascular, obat dan toksin.
Pada biopsy sumsum tulang didapatkan gambaran anemia aplastik, yang
diperkirakan berhubungan dengan etiologi autoimun.12
2.3. Klasifikasi
Seperti kebanyakan penyakit autoimun, anemia aplastik memiliki cakupan
luas yang memperlihatkan aktivitas penyakit dari yang paling ringan sampai berat.
6
Risiko morbiditas dan mortalitas anemia aplastik berkorelasi lebih baik dengan
keparahan sitopenia dibandingkan dengan selularitas sumsum tulang. Dengan
demikian, anemia aplastik yang didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat
dan sangat berat berdasarkan derajat pansitopenia darah perifer. Selularitas
sumsum tulang yang kurang dari 25%, dan nilai yang sangat rendah dari paling
sedikitnya 2 dari 3 aktivitas hemopoietik (hitung netrofil <0,5x 109/L, hitung
trombosit <20x109/L, dan hitung retikulosit absolut <60x109/L) didefinisikan
sebagai kategori berat (severe). Anemia aplastik yang sangat berat (very severe)
memiliki kriteria yang sama, kecuali hitung netrofil harus dibawah 0,2x109/L.4
Kategori anemia aplastik yang tidak berat memiliki karakteristik berupa
sumsum tulang hiposelular dan pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan
darah seperti pada anemia aplastik berat.13
Angka mortalitas 2 tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien
dengan anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%, infeksi jamur
invasif dan dan sepsis bakterial merupakan penyebab yang paling sering pada
kematian. Anemia aplastik yang tidak berat masih dapat diatasi, dan pada
kebanyakan kasus tidak diperlukan terapi khusus.4
2.4. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi anemia aplastik yang pasti tidak diketahui, sulit dipastikan dan
kebanyakan kasus (70-80%) yang dilaporkan di literatur merupakan idiopatik.
Obat-obatan termasuk sulfonamid, tiazid, mebendazol, karbamazepin dan NSAID
dilaporkan berhubungan dengan penyakit ini. Hubungan kuat dengan status
7
sosioekonomi, agen-agen kimia seperti pajanan pestisida agrikultur dan hubungan
positif dengan infeksi seperti hepatitis seropositif juga telah dilaporkan.8,14,15
Trigger potensial anemia untuk onset anemia aplastik yaitu termasuk
penyakit autoimun yang diperantarai sel T, agen-agen iatrogenik, infeksi virus dan
kehamilan. Tidak ada hubungan sebab akibat antara kehamilan dengan onset
anemia aplastik, hal ini didukung oleh insidensi yang sama antara anemia aplastik
pada pria maupun wanita.3
a. Obat-obatan
Obat-obatan merupakan kausa anemia aplastik yang paling
penting. Terdapat 11 jenis obat yang berhubungan dengan anemia
aplastik, obat yang paling sering adalah penisilamin, karbamazepin, dan
NSAID. Obat lain yaitu termasuk diuretic tiazid, sulfonamide, dan
mebendazol. Tidak ada hubungan dengan kloramfenikol.8
Penelitian Goulard (2005) melaporkan kasus anemia aplastik yang
terjadi pada pasien lepra yang mendapatkan Multidrug Therapy (MDT)
dengan kombinasi dapson, rifampicin dan clofazimine. Dapsone
merupakan obat yang diketahui berhubungan dengan Adverse Drug
Reaction (ADR) hematologi yang serius, termasuk agranulositosis, anemia
hemolitik, dan lebih jarang lagi bisa menyebabkan anemia aplastik. Kasus
anemia aplastik non fatal yang diinduksi dapson telah dilaporkan pada
tahun 1985 pada pasien dengan lepra yang mendapatkan terapi dapson 50
mg sekitar 24 hari. ADR hematologi juga dapat terjadi pada pemakaian
8
rifampicin yang berupa anemia hemolitik dan trombositopenia. Terdapat
pula laporan yang menyatakan terdapat hubungan antara clofazimine dan
leucopenia.14
b. Pekerjaan
Pekerja tani di rural Thailand memiliki hubungan penting dengan
anemia aplastik. Pestisida agrikultur telah dilaporkan berhubungan dengan
anemia aplastik. Hubungan signifikan yang telah diteliti pada pestisida
agrikultur yang disebut organofosfat, DDT, dan karbamat.15
Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida
rumah tangga yang dapat meningkatkan risiko anemia aplastik. Terdapat 2
penelitian case-control yang meneliti pajanan cat dan benzene yang dapat
meningkatkan risiko anemia aplastik. Terdapat pula hubungan signifikan
untuk lem dan tinner.8
c. Status sosial ekonomi
Terdapat trend signifikan dalam peningkatan risiko dengan
penurunan tahun edukasi dan pemasukan rumah tangga total. Status
sosioekonomi bukan merupakan kausa anemia aplastik namun lebih pada
indicator pada faktor risiko lingkungan yang memungkinkan agen-agen
infeksius, dan pajanan toksik yang prevalensinya lebih sering terjadi pada
individu dengan status sosioekonomi yang rendah.8
d. Hepatitis viral
Lebih dari 200 kasus telah digambarkan dimana hepatitis viral
telah dihubungkan dan tidak ada keterlibatan potensial agen
9
myelosupresif. Penyakit seringkali terjadi sekitar 2 bulan setelah onset
hepatitis, meskipun kadang-kadang hepatitis meningkat atau saat hepatitis
telah teratasi. Sebagian besar kasus disebabkan oleh hepatitis non A dan
non B, namun bukan hepatitis C. Kasus sporadic dari anemia aplastik
dihubungkan dengan hepatitis A atau B telah dilaporkan. Hepatitis sering
terjadi di Thailand, dan anemia aplastik juga lebih sering terjadi disana
daripada di negara-negara barat, teradapat hubungan yang mungkin terjadi
pada hepatitis dan anemia aplastik. Tidak ada bukti yang mengatakan ada
hubungan antara anemia aplastik dengan hepatitis B atau hepatitis C.
pajanan sebelumnya oleh hepatitis A dibedakan dari immunoglobulin G
seropositif telah berhubungan secara signifikan dengan anemia aplastik.
Hepatitis A bukan merupakan kausa anemia aplastik dikarenakan angka
prevalensi pada control sangat tinggi (81%) namun dapat merupakan
penanda surrogate untuk faktor risiko yang tidak diketahui pada anemia
aplastik yang dapat ditransmisikan dengan kondisi yang sama. Hepatitis A
sering ditransmisikan melalui rute fekal-oral, dan faktor risiko yang
berhubungan dapat berupa agen infeksius enterik.8
2.5. Patofisiologi
Anemia aplastik awalnya dipikirkan sebagai hasil dari efek toksik secara
langsung pada stem-sell hemopoetik yang menghasilkan penurunan jumlah sel-sel
tersebut. Pada akhir tahun 1960an, Mathe dan kawan-kawan mengajukan postulat
pertama yang berbasis autoimun untuk kelainan ini. Mereka mentransplantasi
10
sumsum tulang dari sebagian donor yang tidak cocok ke pasien dengan anemia
aplastik, setelah mendapat antilimfosit globulin sebagai imunosupresor. Meskipun
sumsum tulang yang ditransplantasi tidak dapat dipindah, terjadi perbaikan
autologous hemopoesis pada beberapa pasien. Hasil penemuan ini menunjukkan
bahwa pasien dengan anemia aplastik dapat memelihara stem-cell hemopoietik,
pertumbuhan dan diferensiasi stem-cell disupresi oleh system imun. Analisis oleh
“International Bone Marrow Transplant Registry” mengenai transplantasi
sumsum tulang diantara kembar identik yang menderita anemia aplastik juga
memperlihatkan bahwa autoimun merupakan etiologi yang paling banyak pada
pasien anemia aplastik.4
Bukti laboratoris pertama mengenai autoimun pada anemia aplastik
berawal dari percobaan yang memperlihatkan bahwa limfosit menghambat
formasi koloni hemopoetik alogenik dan autolog in vitro. Konsekuensinya,
limfosit T sitotoksik ditemukan untuk memediasi kelainan destruksi stem-cell
hemopoetik. Efektor sel T lebih menonjol pada sumsum tulang daripada di darah
perifer pada pasien dengan anemia aplastik dan sel menghasilkan interferon dan
faktor nekrosis tumor. Sitokin-sitokin tersebut merupakan penghambat langsung
hemopoiesis dan terlihat lebih mengatur ekspresi Fas pada sel positif CD-34.
Klonus yang tidak dapat mati pada sel T positif untuk CD4 dan CD8 dari pasien
dengan anemia aplastik selalu mensekresi sekresi T-helper-1 dan secara langsung
toksik untuk autologi sel positif CD34. Terdapat pula bukti untuk respon
autoimun humoral pada anemia aplastik. Pasien dengan anemia aplastik memiliki
autoantibodi yang melawan kinektin, sebuah protein asam amino 1300 yang
11
merupakan ekspresi sel hemopoietik manusia dan hati, ovarium, testis dan sel
otak. Penelitian perbedaan sel T dengan menggunakan complementarity-
determining-region (CDR3) spectratyping berimplikasi lebih jauh terhadap
patofisiologi autoimun pada anemia aplastik. Sel T dari pasien dengan kelainan
memperlihatkan heterogenitas terbatas pada rantai reseptor sel T, yang kemudian
menimbulkan ekspansi sel T oligoklonal untuk merespon antigen positif sel CD34
positif, dan progenitor hemopoietik assay, menurun secara drastis pada anemia
aplastik. Bagaimanapun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid dan
megakariositik) umum ditemukan pada kelainan, defisiensi imunologis jarang
terjadi, hitung limfosit normal pada kebanyakan kasus, seperti fungsi sel B dan sel
T. Lebih jauh lagi, pemulihan komplit dari hemopoiesis normal dapat terjadi
dengan terapi imunosupresif efektif. Kemudian, stem-cell hemopoietik tetap
terjadi pada pasien anemia aplastik. Sel T pada pasien membunuh stem-cell
hemopoietik pada HLA-DR yang terestriksi, melalui Fas ligand. Stem-cell
hemopoietik memperlihatkan beberapa kelas sel dengan kapasitas bervariasi untuk
produksi jangka panjang pada garis keturunan hemopoietik yang berbeda. Stem-
cell hemopoietik yang paling primitive mengekspresi HLA DR secara kecil atau
tidak sama sekali, atau Fas, dan ekspresi dari HLA DR dan Fas meningkat seperti
kematangan stem-cell. Kemudian, stem-cell hemopoietik primitif, dengan
kemunculan normalnya kurang dari 10% dari total sel positif CD34, dapat
menjadi tidak terlihat secara relatif terhadap sel T autorelatif, sehingga, justru
stem-cell hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama pada serangan
imun pada anemia aplastik (gambar 1). Stem-cell hemopoietik primitif
12
menghindarkan diri dari serangan autoimun dapat mengikuti perbaikan
hemopoietik secara perlahan yang terjadi pada pasien dengan anemia aplastik
setelah mendapat terapi imunosupresif.4
13
Gambar 1. Konsekuensi potensial terhadap jejas sumsum tulang.4
A: Jejas secara khusus menimbulkan reaksi autoimun yang melawan stem-cell hemopoietik atau progenitor.B: Jejas secara khusus menginduksi mutasi genetik pada stem-cell hemopoietik yang berakhir pada ekspansi klonal.C: Jejas menghasilkan reaksi perlawanan autoimun, dan ekspansi klonal pada stem-cell hemopoietik.Berdasarkan pada kecepatan pertumbuhan klonal, klonalitas terjadi secara simultan dengan serangan autoimun (anemia aplastik/ paroksismal nocturnal hemoglobinuria overlap atau sindrom mielodisplasia hipoplastik) atau subsekuen (penyakit klonal sekunder).
2.6. Manifestasi Klinis
Anemia aplastik dapat bermanifestasi mendadak (dalam beberapa hari)
atau perlahan-lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Manifestasi klinis
anemia aplastik ditentukan oleh sitopenia darah perifer. Manifestasi tersebut yaitu
dispneu saat beraktifitas, cepat lelah, mudah memar, peteki, epistaksis, perdarahan
gusi, haid dengan jumlah darah yang banyak, nyeri kepala, dan demam.2,4
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan
rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 1). Pada tabel
berikut terlihat bahwa perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan keluhan
yang paling sering ditemukan.2
Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Pusing 69
Jantung berdebar 36
14
Demam 33
Badan lemah 30
Penurunan nafsu makan 29
Pucat 26
Sesak napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13
Tabel 1. Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder, 1983)2
2.7. Diagnosis
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis
leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi sumsum tulang serta biopsi sumsum
tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan paroxysmal
nocturnal haemoglobinuria, dan karyotyping sumsum tulang dapat
menyingkirkan sindrom mielodisplasia hipoplasik, yang sebaiknya dilakukan pada
semua pasien. Pasien yang berusia kurang dari 40 tahun sebaiknya diskrining
untuk anemia fanconi dengan menggunakan agen klastogenik diepoxybutane atau
mitomycin, dengan uji peningkatan kromosom yang terlihat pada kelainan ini.
Riwayat keluarga dengan sitopenia dapat meningkatkan kemungkinan adanya
kelainan yang diwariskan meskipun tidak ada kelainan fisik yang muncul.
Sumsum tulang yang hiposeluler didapatkan pada diagnosis anemia aplastik.2,4
15
Spikula dari aspirat dapat terlihat selular pada beberapa pasien meskipun
secara keseluruhan sumsum tulang terlihat hiposeluler dikarenakan sebagian besar
pasien memiliki simpanan residual untuk meneruskan hemopoiesis. Sehingga,
core biopsy 1-2 cm penting untuk menegakkan selularitas. Diseritropoiesis ringan
tidak jarang ditemukan pada anemia aplastik, khususnya pada pasien dengan
populasi kecil sampai sedang yang secara simultan memiliki sel-sel paroxysmal
nocturnal haemoglobinuria. Bagaimanapun, kemunculan dari myeloid blast
dengan proporsi yang kecil, atau terdapatnya displastik pada garis myeloid atau
megakariosit, menandakan diagnosis sindrom mielodisplasia hipoplastik.
Perbedaan antara anemia aplastik dan sindrom mielodisplasia hipoplastik dapat
dilihat, khususnya pada pasien yang lebih tua dimana lebih sering terjadi sindrom
yang lanjut. Proporsi CD34 dengan sel yang positif pada sumsum tulang dapat
menolong pada beberapa kasus. CD34 terekspresi pada stem cell hemopoetik dan
progenitor, hal ini merupakan fundamental pada kedua kelainan tersebut (Gambar
1). Pada sindrom mielodisplasia, ekspansi klonal berasal dari stem-cell CD34
yang positif, sedangkan pada anemia aplastik yang didapat, stem-cell CD34 yang
positif merupakan target serangan autoimun. Berdasarkan hal tersebut, proporsi
sel CD34 yang positif berjumlah 0,3% atau kurang pada sebagian besar pasien
dengan anemia aplastik, dimana pada sindrom mielodisplasia hipoplastik
proporsinya normal (0,5-1%) atau lebih tinggi dari normal.2
2.8. Pemeriksaan Fisik
16
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi. Pada
tabel 2 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,
yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Perdarahan: 63
-Kulit 34
-Gusi 26
-Retina 20
-Hidung 7
-Saluran Cerna 6
-Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0
Tabel 2. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik2
2.9. Pemeriksaan Laboratorium
17
a. Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis
anemia adalah normokromik normositik. Kadang-kadang, ditemukan pula
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif ditemukan
pada lebih dari 75% kasus.2
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian
kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi,
bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte
count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia
aplastik. 2
Perbedaan antara gambaran sumsum tulang normal dan sumsum
tulang aplastik dapat dilihat pada gambar berikut.2
18
Gambar. Sumsum tulang normal (kiri) dan aplastik (kanan)2
b. Laju Endap Darah
Laju endap darah selalu meningkat. Menurut Widjanarko dkk (2007), 62
dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm
dalam jam pertama.2
c. Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Fase hemostasis lainnya normal.2
d. Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin
teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan
melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai criteria diagnosis.2
e. Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis,
HIV, parvovirus dan sitomegalovirus.2
f. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.2
g. Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridation (FISH)
19
dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.2
h. Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin
dan pemeriksaan imunitas sel T.2
i. Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin
ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin
ditemukan meningkat pada anemia aplastik.2
2.10. Pemeriksaan Radiologis
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya
perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum
tulang ebrlemak dan sumsum tulang berseluler.2
b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh
setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan
terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan
terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditemukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna
pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.2
20
2.11. Diagnosis Banding
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia, namun
hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji
diagnostic yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman
tentang kegagalan sumsum tulang. Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan
herediter telah dipertajam dengan assay spesifik untuk kelainan kromosomal dan
zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul
pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun
tanpa kelainan skeletal atau urogenital.2
Sumsum tulang hiposeluler dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik.
Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun
secara keseluruhan sumsum tulang hiposeluler, sebab sebagian besar pasien masih
mempunyai sarang-sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy
1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak
lazim pada anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi
sel-sel hemoglobinuria nocturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun,
adanya sejumlah sel kecil sel-sel blas myeloid, atau gambaran displastik seri
myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplastik
hipoplastik.2
a. Myelodisplasia Hiposeluler
21
Membedakan anemia aplastik dari sindom myelodisplastik
hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih
tua, karena sindrom ini lebih banyak terjadi. Proporsi sel-sel CD34 di
sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus. CD34
diekspresikan pada sel-sel asal/induk hemopoietik dan bersifat
fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom
myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34, sedangkan
pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34 merupakan target
serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel SD34 adalah 0,3%
atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal
(0,5-1,0 %) atau lebih tinggi pada sindrm myelodisplastik hipoplastik.2
Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah
rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil dapat controversial. Kromosom
umumnya normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau
abnormalitas structural relative sering pada sindrom myelodisplastik. Jika
sumsum tulang normal atau hiperseluler dan sel-sel hematopoietik jelas-
jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia
aplastik. Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak
hiposeluler, selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau
meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak
berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia
aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.2
22
Perbedaan antara anemia aplastik dengan MDS hiposeluler sulit
didapatkan. Baik anemia aplastik maupun MDS dapat ditemukan
diseritropoiesis. Mikromegakaryosit di sirkulasi, blas di ssirkulasi, cincin
sideroblas, disgranulopoiesis, dismegakaryositopoiesis, lokalisasi
abnormal pada precursor imatur, fibrosis sumsum tulang, dan peningkatan
blas lebih banyak menetap pada MDS.2,16
Kemunculan morfologik tersebut didapatkan pada perubahan
anemia aplastik menjadi MDS. Pada penelitian terbaru, 3 kasus anemia
aplastik dengan sitogenetik normal berubah menjadi MDS dengan
dismegakaryositopoiesis dan monosomi. Penelitian sebelumnya
menyimpulkan bahwa pewarnaan specimen biopsy trephine sumsum
tulang untuk SD34 dan sel proliferasi antigen nuclear dapat membantu
untuk diferensial diagnosis antara anemia aplastik dan mDS. Penelitian
terbaru memperlihatkan pewarnaan CD61 untuk mengevaluasi
megakaryosit. Meskipun monosomi 7 telah terlihat melibatkan
megakaryosit, hal tersebut tidak spesifik untuk turunan megakaryosit pada
gangguan myeloid. Penelitian Dollan et al (2005) menganjurkan bahwa
pada kasus anemia aplastik dengan monosomi 7 harus dievaluasi secara
teliti untuk dismegakaryosit yang dapat mengindikasikan MDS.16
23
Gambar 2. A. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada
hapusan aspirasi sumsum tulang (Pewarnaan Wright-giemsa, pembesaran 2000x)
B. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada biopsy trephine sumsum tulang (Pewarnaan H&E, pembesaran 1200x)
Gambar 3. A. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine sumsum tulang yang
memperlihatkan megakaryosit displastik setelah penambahan monosomi 7 (pembesaran 400x)
B. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine pada anemia aplastik sebelumnya dengan karyotipe normal (pembesaran 400x)
b. Leukemia Limfositik Granular Besar
Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang
yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari
fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola
pulasan sel-sel khusus pada glow cytometri, dan ketidakteraturan reseptor
sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoclonal populasi sel T.2
24
c. Anemia Aplastik dan Paroxysmal Haemoglobinuria Paroxyxmal (PNH)
Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik
dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan
populasi sel darah merah, granulosit dan trombosit yang semuanya tidak
mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetic PNH adalah
mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan
sintesis struktur jangkar glikosilfosfatidilinositol. Defisiensi protein ini
menyebabkan hemolisis intravascular, yang mengakibatkan
ketidakmampuan eritrosit untuk meng-inaktivasi komplemen permukaan.
Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometry
eritrosit dan leukosit, tes Ham, dan sukrosa sekarang sudah ketinggalan
jaman (obsolete).2
Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami
kegagalan sumsum tulang, dan sevaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai
“peristiwa klonal lanjut” bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik.
Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar
pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH
hematopoietic pada saat datang.2
2.12. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri atas17:
a. Identifikasi dan eliminasi penyebab
b. Pengobatan suportif: terhadap infeksi, perdarahan dan anemia
25
c. Usaha mempercepat penyembuhan pansitopenia melalui imunosupresif,
transplantasi sumsum tulang, obat-obatan anabolik dan kortikosteroid
Hanya terdapat sedikit bukti pada harapan hidup pasien dengan anemia
aplastik. Meskipun kelainan dapat terus berlanjut progresif, banyak pasien yang
tetap stabil selama beberapa tahun, dan beberapa secara spontan mengalami
peningkatan meskipun tanpa terapi spesifik. Terapi harus berdasarkan derajat
sitopenia, bukan selularitas sumsum tulang. Pasien dengan sitopenia yang
asimtomatik mungkin tidak memerlukan terapi. Sedangkan pasien anemia aplastik
dengan sitopenia yang lebih berat, seperti anemia simtomatik, lebih baik dicoba
untuk menjalani terapi imunosupresif dengan antitimosit globulin dan siklosporin.
Belum diketahui apakah terapi untuk anemia aplastik yang tidak berat dapat
meningkatkan ketahanan hidup.4
Terapi efektif untuk anemia aplastik yang didapat terdiri atas 3 macam
yaitu transplantasi sumsum tulang allogenik, terapi imunosupresif dengan
anttithymocyte globulin (ATG) dan siklosporin, dan siklofosfamid dosis tinggi
tanpa transplantasi sumsum tulang. Masing-masing pendekatan tersebut berbeda
secara substansial pada aplikatifnya dan juga dalam risiko jangka pendek dan
jangka panjang.4,16
Transplantasi sumsum tulang (Bone Marrow Transplantation= BMT) dan
terapi imunosupresif merupakan modalitas terapeutik utama yang digunakan
akhir-akhir ini dalam menerapi anak-anak maupun dewasa, dengan angka
keberhasilan antara 60% sampai 80%.7
26
Pemilihan diantara terapi imunosupresi atau BMT berdasarkan atas
ketersediaan donor saudara kandung dan berdasarkan usia. Pada banyak pusat
kesehatan, pasien dengan usia 45-50 tahun tidak dianjurkan untuk pemberian
terapi BMT sebagai terapi lini pertama, sedangkan untk terapi imunosupresif tidak
ada batasan umur, sehingga keputusan untuk terapi pasien dengan usia lebih tua
diputuskan berdasarkan status performance nya.7
Transplantasi sumsum tulang allogenik menghilangkan serangan imun
dengan terapi sitotoksik dosis tinggi dan memberikan sumber yang baik untuk
stem-cell. Dengan demikian, hal tersebut dapat efektif dalam melawan seluruh
bentuk kegagalan sumsum tulang. Antitimosit globulin ditambah siklosporin dan
siklofosfamid dosis tinggi memiliki target primer serangan autoimun, yang diikuti
stem-cell endogen untuk menjadi normal atau hemopoiesis yang hampir normal.4
Penyebab kematian dapat dilihat pada tabel 3. Infeksi merupakan penyebab
kematian paling banyak, baik pasien yang mendapat terapi BMT maupun
imunosupresif: infeksi lebih sering terjadi pada dewasa dibandingkan pada anak-
anak yang dihitung untuk angka mortalitas yang lebih tinggi. Penyebab kematian
lain yaitu GvHD setelah transplantasi, dan perdarahan setelah imunosupresi.
Keganasan sekunder dapat pula ditemukan, khususnya pada pasien yang
mendapatkan terapi imunosupresif.7
27
Tabel 3. Penyebab kematian pada pasien yang diterapi dengan BMT atau terapi imunosupresi, berdasarkan kelompok umur.
2.12.1. Transplantasi Sumsum Tulang
Pilihan terapi pada kebanyakan center untuk pasien-pasien muda dengan
anemia aplastik berat yang memiliki donor saudara dengan HLA yang cocok
( HLA matched sibling donor) adalah transplantasi sumsum tulang. Ketahanan
hidup setelah transplantasi sumsum tulang dari matched sibling telah meningkat
secara terus menerus sejak tahun 1970an, sebagai hasil dari peningkatan
28
perawatan suportif, khususnya pada profilaksis yang melawan reaksi penolakan
sumsum tulang donor yang disebut graft-versus-host disease (GVHD).
Probabilitas pada anemia aplastik berat yang dapat sembuh dengan transplantasi
sumsum tulang adalah besar, namun kurang dari 30% pasien mendapat donor
saudara kandung yang cocok. Selanjutnya, komplikasi yang lanjut, seperti GVHD
kronik, terjadi pada lebih dari sepertiga pasien, dengan banyak memerlukan terapi
jangka panjang untuk GVHD.4
Prosedur untuk transplantasi dari matched sibling donors (MDS) adalah
berdasarkan protocol asli Seattle: siklofosfamid 200 mg/kgBB, anti-lymphocyte
globulin, sel-sel sumsum tulang dosis tinggi (>3,5x108/kgBB) dan siklosporin A
dan metotreksat untukprofilaksis graft-versus-host disease (GvHD).7
Keuntungan mayor dari transplantasi sumsum tulang yaitu dapat secara
besar menurunkan risiko relaps dan perkembangan kelainan klonal lanjut seperti
sindroma mielodisplasia dan paroxysmal nocturnal haemoglobinuria. Usia pasien
dan tipe dari allograft (saudara kandung dengan HLA yang cocok, tidak berkaitan,
atau donor yang tidak cocok) merupakan faktor-faktor yang paling penting yang
dapat mempengaruhi outcome. Pada pasien dengan usia kurang dari 30 tahun,
angka kesembuhan setelah transplantasi sumsum tulang dari saudara kandung
dengan HLA yang cocok adalah sekitar 70-90%. Bagaimanapun, risiko GVHD
meningkat terus menerus sesuai dengan usia, dengan demikian ketahanan hidup
menjadi lebih buruk pada pasien-pasien tua. Transplantasi yang berhubungan
dengan mortalitas mencapai 50% pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
Transplantasi sumsum tulang dari donor yang tidak berkaitan atau tidak cocok
29
dapat terjadi pada pasien yang tidak dapat merespon dengan antitimosit globulin
dan siklosporin. Transplantasi yang berhubungan dengan mortalitas dan risiko
GVHD secara kasar 2 kali lebih tinggi dengan donor yang tidak berkaitan
dibandingkan dengan donor saudara kandung yang cocok.4
Selama kehamilan, transplantasi sumsum tulang merupakan kontraindikasi
dikarenakan hal tersebut berpotensi toksik pada embrio. Belum ada pedoman yang
tepat untuk penatalaksanaan anemia aplastik pada wanita hamil.3
2.12.2. Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dengan antithymocyte globulin dan siklosporin
digunakan pada pasien yang tidak dapat diterapi dengan transplantasi sumsum
tulang dikarenakan usia yang tua atau kekurangan matched sibling donor. Tingkat
respons terhadap antithymocyte globulin dan siklosporin berkisar antara 60-80%,
dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sama dengan setelah transplantasi sumsum
tulang.4
Outcome terapi imunosupresif tergantung pada usia pasien, 5 tahun
ketahanan hidup dicapai lebih dari 90% pasien anak-anak yang dilaprkan dalam
penelitian terbaru, sedangkan pada pasien dewasa berusia lebih dari 60 tahun,
ketahanan hidup anemia aplastik setelah terapi imunosupresif sekitar 50%.18
Bagaimanapun, berlawanan dengan transplantasi sumsum tulang, pada
sebagian besar pasien tidak dapat mencapai jumlah darah normal, dan banyak
yang mengalami relaps, menjadi ketergantungan dengan siklosporin, atau menjadi
penyakit klonal sekunder seperti paroxysmal nocturnal haemoglobinuria atau
30
sindroma myelodisplasia. The European Group for Blood and Marrow
Transplantation (EBMT) Severe Aplastic Anaemia Working Party melakukan
analisis retrospektif pada 468 pasien yang diterapi dengan terapi imunosupresif
diantara tahun 1975 dan 1986. Pasien- pasien tersebut bertahan hidup lebih lama
dari 2 tahun dan diklasifikasikan sebagai long-term survivors. Angka mortalitas
pada 223 long-term survivor tersebut sebesar 22% selama 8 tahun, dan risiko
menjadi PNH dan sindrom myelodisplasia sebesar 13% dan 15%, secara respektif,
pada tahun ke 7.4
Bacigalupo dan kawan-kawan melaporkan angka respon sebanyak 77%
dan ketahanan hidup keseluruhan sebesar 86% pada 100 pasien (usia median 16
tahun) pada pasien yang diterapi dengan antithymocyte globulin dan siklosporin,
prednisolon dan filgrastim. Risiko relaps sebesar 9%, perkembangan
abnormalitas sitogenik sebesar 11%, namun probabilitas dari penghentian terapi
siklosporin hanya sebesar 38% pada tahun kelima. The US National Institutes of
Health memberikan terapi 122 pasien dengan usia median 35 tahun, dengan
kombinasi antithymocyte globulin dan siklosporin ditambah metilprednisolon dan
mem-follow up mereka sampai periode 8 tahun. Angka respons sebesar 58%, dan
angka survival pada tahun ke-7 sebesar 55%, sedangkan 13% pasien meninggal
dalam 3 bulan masa terapi, paling banyak dikarenakan infeksi jamur. Angka
relaps pada responder sebesar 40%, dan 13 pasien menjadi sindrom
myelodisplasia.4
2.12.3 Siklofosfamid Dosis Tinggi Tanpa Transplantasi Sumsum Tulang
31
Siklofosfamid dengan dosis tinggi (umumnya dikombinasi dengan
antithymocyte globulin) merupakan regimen yang paling digunakan sebelum
transplantasi sumsum tulang untuk anemia aplastik. Rekonstitusi komplit dari
hemopoiesis autolog terjadi pada 10-20% pasien anemia aplastik yang mendapat
transplantasi sumsum tulang allogenik, yang disebabkan efek farmakologi dari
siklofosfamid. Sebagian besar pasien tersebut mendapatkan remisi jangka panjang
walaupun terdapat rekonstruksi autolog.4
Siklofosfamid merupakan prodrug dan dikonversi menjadi 4-
hidroksisiklofosfamid dan tautomernya berupa aldofosfamid oleh system sitokrom
hepatik P450 (Gambar 2). Aliran darah yang tidak stabil tersebut
ditransportasikan secara difus ke dalam sel. Di dalam sel dengan konsertasi
aldehyde dehydrogenase (ALDH; sel sensitif) yang rendah, aldofosfamid
dikonversikan menjadi fosforamid mustard dan acrolein melalui dekomposisi
intraseluler sederhana. Komponen alkylating aktif, fosforamid mustard,
menghasilkan interstrand dan intrastrand DNA cross-links yang menghasilkan
sitotoksik pada obat, acrolein diekskresikan melalui ginjal dan dosis tinggi dapat
mencetuskan jejas uroepitelial, sistisis hemoragis.4
Di dalam sel dengan konsentrasi ALDH (sel resisten) yang tinggi,
aldofosfamid dikonversikan menjadi karboksifosfamid. Sebuah komponen lemah
yang diekskresikan melalui ginjal, ALDH1A1, yang sebelumnya dikenal dengan
ALDH kelas I atau ALDH sitosolik, ALDH 1, atau retinaldehyde dehydrogenase
1, terlihat menjadi bentuk yang paling aktif pada proses detoksifikasi
siklofosfamid ini. ALDH1A1 selalu memiliki peran penting pada metabolism
32
etanol, namun fungsi utamanya adalah biosintesis asam retinoat dari vitamin A
(retinol). Setelah oksidisasi retinol menjadi retinaldehid oleh alcohol
dehydrogenase, ALDH1A1 mengoksidasi retinaldehid menjadi asam retinoat,
yang penting untuk pertumbuhan seluler dan diferensiasi. Sel-sel dengan potensial
proliferatif yang tinggi, seperti haemopoietic stem-cells, memiliki ekspresi yang
tinggi pada ALDH1A1 dikarenakan syaratnya untuk asam retinoat, kemudian
menjadi resisten terhadap siklofosfamid. Sebaliknya, limfosit memiliki ekspresi
ALDH yang rendah dan secara cepat dibunuh oleh siklofosfamid dosis tinggi.
Obat ini kemudian menjadi imunosupresif yang tinggi, namun tidak
myeloablative, yang mengikuti stem-cell hemopoietik endogen untuk menyusun
hemopoiesis kembali.4
Siklofosfamid dosis tinggi tanpa transplantasi sumsum tulang telah
berhasil digunakan untuk menerapi pasien anemia aplastik yang tidak memiliki
donor yang sesuai. Sebuah penelitian pada National Institutes of Health meneliti
randomized trial siklofosfamid dosis tinggi ditambah siklosporin yang
dibandingkan dengan antithymocyte globulin ditambah siklosporin. Percobaan ini
ditutup setelah enrolling 31 pasien (17% dari yang direncanakan) dikarenakan
frekuensi efek toksik dini yang lebih tinggi pada kelompok siklofosfamid
ditambah siklosporin. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan secara statistic pada
angka respons, ketahanan hidup, atau kelainan klonal sekunder. Kemudian,
dilakukan pemberian siklofosfamid dosis tinggi pada 19 pasien dengan anemia
aplastik berat, 16 orang hidup sampai bulan ke-24, dengan 14 pasien meraih
remisi komplit atau parsial. Tidak ada relaps atau kelainan klonal sekunder.
33
Waktu median untuk mencapai jumlah netrofil 0,5x 109/L adalah 49 hari, dan
waktu median untuk transfuse trombosit terakhir adalah 129 hari. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa penambahan siklosporin ke dalam regimen
siklofosfamid dosis tinggi tidak diperlukan dikarenakan kemungkinan hal tersebut
dapat meningkatkan toksisitas tanpa meningkatkan efikasi. Siklofosfamid dosis
tinggi telah terlihat memiliki keberhasilan pada pasien yang tidak merespon
terhadap antithymocyte globulin dan siklosporin.4
Jalur metabolik siklofosfamid dapat dilihat pada gambar berikut.
34
Gambar 4. Jalur Metabolik Siklofosfamid4
2.12.4. Terapi Suportif
a. Transfusi
Pasien dengan anemia simtomatik atau trombositopenia yang dihubungkan
dengan purpura basah atau perdarahan memerlukan transfusi segera. Seluruh
transfusi pada pasien dengan suspek anemia aplastik harus diperhatikan untuk
mencegah transfusion-associated GVHD. Apabila pasien merupakan kandidat
35
potensial untuk transplantasi sumsum tulang dan status sitomegalovirus yang
negative atau tidak diketahui, transmisi virus ini harus dicegah dengan pemberian
leucoreduction atau penggunaan produk cytomegalovirus-negative. Donor darah
dari anggota keluarga sebaiknya tidak dilakukan untuk mencegah alloimunisasi
yang dapat pula memberikan komplikasi transplantasi sumsum tulang dalam
waktu ke depan. Setelah stabilisasi pasien, produk darah harus digunakan secara
bijaksana untuk mencegah kardiopulmuner compromise. Sedangkan untuk
mengurangi risiko perdarahan, target jumlah trombosit pada sebagian besar pasien
adalah 10x109/L, meskipun beberapa pasien akan mentoleransi keadaan
penurunan target jumlah trombosit tanpa perdarahan atau peteki.4
b. Haematopoietic Growth Factors
Penggunaan Haematopoietic Growth Factors (HGFs) untuk membantu
hitung darah merupakan hal yang terbatas pada anemia aplastik berat, seperti yang
dipresiksi dari penelitian in vitro dan pengukuran kadar serum endogen dari
HGFs, yang terdapat peningkatan. Pemberian HGFs tunggal tidak memiliki
peranan dalam terapi anemia aplastik berat. Granulocyte colony-stimulating factor
(G-CSF), Granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan
interleukin 3 dapat berperan penting dalam meningkatkan jumlah granulosit pada
pasien yang tetap memiliki sel-sel precursor yang cukup. Pada pasien dengan
aplasia total, seringkali tidak terdapat peningkatan. Prognosis dan ketahanan
hidup pasien anemia aplastik berat tidak dipengaruhi oleh terapi tersebut.
Bagaimanapun, G-CSF telah menjadi terapi yang diberikan bersamaan dengan
ATG dan siklosporin (CsA) sebagai terapi lini pertama.19
36
Defisiensi HGFs (seperti eritropoietin, granulocyte-colony-stimulating
factor, trombopoietin, dan granulocyte-monocyte-colony-stimulating factor)
bukan merupakan penyebab kegagalan sumsum tulang pada anemia aplastik.
Konsentrasi faktor pertumbuhan hemopoietik sangat tinggi pada pasien dengan
kelainan ini, sebagai usaha kompensasi untuk meningkatkan produksi darah. Oleh
karena itu, faktor-faktor tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai pengganti
dari terapi definitive. Faktor pertumbuhan hemopoietik sering digunakan setelah
terapi imunosupresif atau siklofosfamid dosis tinggi untuk mempercepat
pemulihan hemopoietik, namun penggunaannya tidak memperlihatkan
peningkatan ketahanan hidup.4
c. Androgen dan Kortikosteroid
Sejarahnya androgen atau steroid anabolik merupakan bentuk terapi
spesifik pertama yang diberikan pada pasien anemia aplastik. Terdapat
keuntungan sementara dari terapi inisial. Respon androgen telah diteliti namun
tidak meningkatkan ketahanan hidup pada beberapa penelitian. Pada beberapa
kasus, terdapat peningkatan kecepatan pemulihan sumsum tulang setelah terapi
dengan Antilymphosyte Globulin (ALG). Androgen akhir-akhir ini terbukti
meningkatkan aktivitas telomerase pada sel-sel CD34, yang dapat menjelaskan
efeknya pada beberapa pasien. Kortikosteroid pada dosis konvensional dapat
memperbaiki kerusakan serum selama terapi ALG, namun memiliki aktivitas
sendiri yang kecil pada penyakit anemia aplastik. Penggunaan dosis rendah
kortikosteroid untuk meningkatkan stabilitas vascular memiliki basis yang rendah
37
pada penelitian di laboratorium maupun pengalaman klinis. Dan perlu
diperhatikan secara penuh efek samping pada penggunaan kortikosteroid jangka
panjang.19
d. Antibiotik
Sepsis yang disebabkan oleh bakteri atau jamur (khususnya aspergilus)
merupakan penyebab kematian yang paling sering pada anemia aplastik. Pada
kondisi umum, antibiotik profilaksis tidak diperlukan. Bagaimanapun, untuk
pasien dengan hitung netrofil absolute yang konsisten kurang dari 0,2x109/L,
profilaksis oral dengan quinolone dan obat antijamur triazole dapat diberikan
dengan alasan. Pasien dengan demam netrofilia seharusnya diterapi promptly
dengan antibiotic spectrum luas, pada pasien dengan demam yang persisten
setelah inisiasi obat antibakteri, agen yang melawan aspergillus dapat
ditambahkan. Profilaksis untuk pneumonia Pneumocytis carinii harus diberi pada
seluruh pasien dalam waktu paling sedikit 6 bulan setelah terapi imunosupresif,
transplantasi sumsum tulang, dan terapi siklofosfamid dosis tinggi.4
2.13. Respon Terapi
Kelompok European Bone Marrow Transplantation (EBMT)
mendefinisikan respons terapi sebagai berikut.2,13
a. Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3,
dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3, Hb normal
38
b. Remisi parsial: tidak membutuhkan transfusi eritrosit dan trombosit,
granulosit di bawah 2000/mm3, dan trombosit di bawah 100.000/mm3
c. Remisi minimal: granulosit diatas 500/mm3, membutuhkan transfusi
eritrosit dan trombosit
d. Refrakter: tidak ada perbaikan, anemia aplastik berat menetap
2.14 Prognosis dan Perjalanan Penyakit
Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa4:
a. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali apabila
iatrogenic akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya
terjadi segera.
b. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
c. Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup
lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk
membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia
aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan
pengobatan prognosis menjadi lebih baik.
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada
penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan antilymphocyte
globulin (ALG), 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin
39
merupakan riwayat alamiah penyakit meskipun komplikasi tersebut lebih jarang
ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.4
40