4638309 Anemia Aplastik

43
BAB I PENDAHULUAN Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. 1,2,3 Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik. 1,2,4 Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur 1

Transcript of 4638309 Anemia Aplastik

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan

penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan

produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi

tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi

kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2,3

Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun

1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas

dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan

autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian

menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada

tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.1,2,4

Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai

6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih

sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin

berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan

kimia toksik dibandingkan faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya

peningkatan insiden pada penduduk Asia yang tinggal di Amerika. Penelitian yang

dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan dengan pestisida sebagai

etiologi yang tersering.3,5

Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan

salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti

dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan

mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab

tingginya insiden.6

Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif,

gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif

1

dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat

bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.

Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan

pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah penting

sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan

atau parsial semakin besar.6,7

Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak

dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit

saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.8 Semakin berat

hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi

tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69% sedangkan dengan

pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9

Mengingat kasus anemia aplastik ini memiliki angka morbiditas dan

mortalitas yang cukup tinggi dan pentingnya diagnosis lebih dini diharapkan tinjauan

pustaka ini dapat menjadi salah satu sumber referensi.

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang

ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia

aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga

menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan

trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan

anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang

sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia

hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1

2.2 Epidemiologi

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,

berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif

di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai

5 kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and

Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang

pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai

25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik

lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta

penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta

penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada

di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan

dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,

dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan

peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5

2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik

3

Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :

A. Klasifikasi menurut kausa2 :

1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira

50% kasus.

2. Sekunder : bila kausanya diketahui.

3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan,

misalnya anemia Fanconi

B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10

Anemia aplastik berat

Anemia aplastik sangat berat

Anemia aplastik bukan berat

- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%

dengan <30% sel hematopoietik residu, dan

- Dua dari tiga kriteria berikut :

netrofil < 0,5x109/l

trombosit <20x109 /l

retikulosit < 20x109 /l

Sama seperti anemia aplastik berat kecuali

netrofil <0,2x109/l

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia

aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum

tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari

tiga kriteria berikut :

- netrofil < 1,5x109/l

- trombosit < 100x109/l

- hemoglobin <10 g/dl

4

2.4 Etiologi Anemia Aplastik

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.

Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti

penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi

virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12

Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)

Anemia aplastik sekunder

  Radiasi

  Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

     Efek regular

       Bahan-bahan sitotoksik

       Benzene

     Reaksi Idiosinkratik

       Kloramfenikol

       NSAID

       Anti epileptik

       Emas

       Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya

  Virus

     Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)

     Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)

     Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)

     Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)

  Penyakit-penyakit Imun

     Eosinofilik fasciitis

     Hipoimunoglobulinemia

     Timoma dan carcinoma timus

5

     Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi

  Paroksismal nokturnal hemoglobinuria

  Kehamilan

Idiopathic aplastic anemia

Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)

Anemia Fanconi

   Diskeratosis kongenita

   Sindrom Shwachman-Diamond

   Disgenesis reticular

   Amegakariositik trombositopenia

   Anemia aplastik familial

   Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)

   Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

  

2.4.1 Radiasi

Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi

dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana

jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat

sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik.

Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan

fibrosis.2

Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan

luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat

digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum

tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang.

Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis

yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv

(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat

6

berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).

Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.

Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis

radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.

Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan

anemia aplastik.13

2.4.2 Bahan-bahan Kimia

Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan

anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang

lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang

berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13

2.4.3 Obat-obatan

Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat

berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang

dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah

kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,

senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran

atau nitrosourea.2

Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9

Kategori Resiko Tinggi Resiko Menengah

Resiko Rendah

Analgesik     Fenasetin, aspirin, salisilamide

Anti aritmia     Kuinidin, tokainid

Anti artritis   Garam Emas Kolkisin

Anti konvulsan   Karbamazepin, hidantoin, felbamat

Etosuksimid, Fenasemid, primidon, trimethadion, sodium

7

Kategori Resiko Tinggi Resiko Menengah

Resiko Rendah

valproate

Anti histamin     Klorfeniramin, pirilamin, tripelennamin

Anti hipertensi     Captopril, methyldopa

Anti inflamasi   Penisillamin, fenilbutazon, oksifenbutazon

Diklofenak, ibuprofen, indometasin, naproxen, sulindac

Anti mikroba

 Anti bakteri   Kloramfenikol Dapsone, metisillin, penisilin, streptomisin, β-lactam antibiotik 

 Anti fungal     Amfoterisin, flusitosin

 Anti protozoa   Kuinakrine Klorokuin, mepakrin, pirimetamin

Obat Anti neoplasma

 Alkylating agen

Busulfan, cyclophosphamide, melphalan, nitrogen mustard

   

 Anti metabolit Fluorourasil, mercaptopurine, methotrexate

   

 Antibiotik Sitotoksik

Daunorubisin, doxorubisin, mitoxantrone

   

Anti platelet     Tiklopidin

Anti tiroid     Karbimazol, metimazol, metiltiourasil, potassium perklorat, propiltiourasil, sodium thiosianat

Sedative dan tranquilizer

    Klordiazepoxide, Klorpromazine (dan fenothiazin yang lain), lithium, meprobamate, metiprilon

8

Kategori Resiko Tinggi Resiko Menengah

Resiko Rendah

Sulfonamid dan turunannya

 Anti bakteri     Numerous sulfonamides

 Diuretik   Acetazolamide Klorothiazide, furosemide

 Hipoglikemik     Klorpropamide, tolbutamide

Lain-lain     Allopurinol, interferon, pentoxifylline

Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang

disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik

merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko

rendah.

2.4.4 Infeksi

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,

virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling

sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi

hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat

hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus

B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik

kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang

imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap

Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13

Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum

tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat

menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan

sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,

9

inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel

atau destruksi jaringan stroma penunjang.4

2.4.5 Faktor Genetik

Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian

dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia

Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia

sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius,

mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.2

2.4.7 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain

1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan

hipoplasia sumsum tulang.2

2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).

Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai

pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH.2

3. Kehamilan

Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi

hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan

mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan

membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama

kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan

berikutnya.9

2.5 Patogenesis11

Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik

yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan

oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan

(acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen

10

toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang

didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.

Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang

paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka.

Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami

perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia

Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan

akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu

kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan

perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan

gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana

berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen

dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.

Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat

disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini

dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA

dan RNA.

Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin

merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun

mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan

dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.

“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi

antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,

yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang

timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan

menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe

11

d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen

lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi

peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik

bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan

pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.7 Pada kebanyakan

pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau

pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin

Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat

bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering

dikemukakan.

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2

Jenis Keluhan %

Pendarahan

Lemah badan

Pusing

Jantung berdebar

Demam

Nafsu makan berkurang

Pucat

Sesak nafas

Penglihatan kabur

Telinga berdengung

83

80

69

36

33

29

26

23

19

13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada

tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang

12

sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan

splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan

limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2

Jenis Pemeriksaan Fisik %

Pucat

Pendarahan

Kulit

Gusi

Retina

Hidung

Saluran cerna

Vagina

Demam

Hepatomegali

Splenomegali

100

63

34

26

20

7

6

3

16

7

0

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Darah

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia

yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda

regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan

bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis,

anisositosis, dan poikilositosis.2

Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih

menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat

pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit

13

kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang

dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9

Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.

Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit

bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic

anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang

berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik

trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan

berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia

aplastik dapat ditegakkan.9

Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya

memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya

trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin

ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2

Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk

erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe

serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi

Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.9

b. Pemeriksaan sumsum tulang

Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan

daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,

sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan

kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini.

Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah

hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler

atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9

Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara

kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran

14

hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis

(misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area

fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi

dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12

Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30%

sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada

individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8

International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila

selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari

30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9

2.7.2 Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom

kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya

memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan

digantikan oleh jaringan lemak.

2.8 Diagnosa3,9,10

Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan

pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai

sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut

dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1).

2.9 Diagnosa Banding

15

Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan

pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.

Table 6 Penyebab Pansitopenia14

Kelainan sumsum tulang

   Anemia aplastik

   Myelodisplasia

   Leukemia akut

   Myelofibrosis

   Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia

   Anemia megaloblastik

Kelainan bukan sumsum tulang

   Hipersplenisme

   Sistemik lupus eritematosus

   Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom

myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma

myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan

anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat

morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan

anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia

menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering

ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor

granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat

menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9

Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu

dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan

16

adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya

disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14

Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell

leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan

sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14

Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh

sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum

tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.

2.10 PenatalaksanaanAnemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana

untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9

Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga

menjadi penyebab anemia aplastik.

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.

Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang

dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik

tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan

kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)

pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-

CSF.

Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan

histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.

17

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu

transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin

dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar

untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.

Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling

donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus

dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi

imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya

mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD

(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai

komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat

dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15

a. Pengobatan Suportif15

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed

red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien

dengan penyakit kardiovaskular.

Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.

Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah

20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.

Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti

terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok

HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).

18

Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak

dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup

leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.

b. Terapi Imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte

globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG

atau ALG diindikasikan pada15 :

- Anemia aplastik bukan berat

- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat

pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih

dari 200/mm3

Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin

melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi

langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15

Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi

alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan

kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan

menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.15 Sebuah protokol

pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11

Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11

Dosis test ATG :

ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan

dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.

Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.

Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :

Asetaminofen 650 mg peroral

19

Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus

Hidrokortison 50 mg intravena perbolus

Terapi ATG :

ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari

Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :

Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG

dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum

sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.

Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal

kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau

lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan

bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi

ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada

anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi

sebesar 46%.15

Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi

imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki

kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid.

Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif

daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas

sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan

siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk

imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai

kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.

Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps

dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.15

20

c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)

Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian

faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15

Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon

terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang

refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.15

Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-

Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan

tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan

neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor

pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi

anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan

untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang

lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15

Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin

dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk

ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen

digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi

imunosupresif.9,15

d. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia

aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan

tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil

pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).

Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,

namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi

imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan

beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host

21

Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang

lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum

tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.10

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival

yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien

dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)

maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi

survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah

mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum

mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10

Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan

transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat

mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal

ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena

antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15

22

Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation

(EBMT) adalah sebagai berikut15 :

- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan

trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.

- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3

dan trombosit dibawah 100.000/mm3.

- Refrakter : tidak ada perbaikan.

2.11 Prognosis9

Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah

absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang

dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah

netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap

imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik

tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa.

Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan

glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi

sumsum tulang.

Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang

berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan

sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien

yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita

gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada

pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi

stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi

imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi

dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning

untuk transplantasi.

23

Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi

kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien

setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian

mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan

berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom

myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada

mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang

mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama

15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38%

yang bertahan dalam 15 tahun.

Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang

sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki

toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun

memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

BAB III

RINGKASAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh

kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen

selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel

darah merah, sel darah putih, dan trombosit).

Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya

bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk

pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan

terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang

24

ditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik

merupakan idiopatik.

Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari

pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala

anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-

lain. Pengurangan elemen lekopoisis (granulositopenia) menyebabkan penderita

menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi

baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia dapat mengakibatkan

pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Gejala yang

paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.

Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia

aplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda

regenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang

sedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan mengandung banyak sel lemak

dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel

primitif.

Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan

dua dari tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10

g/dl). Anemia aplastik berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%

dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x109/l,

trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat berat sama

seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.

Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC

dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab

anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus

dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia

aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang

lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan

25

sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan

yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.

Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia

pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum

tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum

tranplantasi sumsum tulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee

GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-

London: Lee& Febiger, 1993;911-43.

2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,

2001;501-8.

3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK

http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm

4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic

Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.

26

5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.

Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp

6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik

2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6.

7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101

8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.

Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/

9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William

Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.

10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow

failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al

(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,

2005;190-206.

11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).

Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey:

Humana Press, 2007 ;207-16.

12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure

syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal

Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.

13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed. New

York: Lange McGraw Hill, 2005.

14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current

Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.

15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.

27