anemia akibat malnutrisi pada geriatri
-
Upload
tia-monita -
Category
Documents
-
view
128 -
download
15
Transcript of anemia akibat malnutrisi pada geriatri
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut
oksigen darah.1 Apabila oksigen dalam tubuh berkurang maka orang tersebut akan
menjadi lemah, lesu dan tidak bergairah. Indikasinya penyakit ini bisa diketahui dengan
memeriksa kelopak mata bawah bagian dalam, ujung kuku, tangan dan kaki, jari-jari
tangan dan mukosa mulut.
Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin pada
orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan jenis
kelamin dan umur dari orang tersebut.2 Oleh WHO telah ditetapkan batasan anemia
yaitu untuk wanita apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L)
dan untuk pria apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).3
Insidensi anemia bervariasi tetapi diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia
menderita anemia, dimana prevalensi tertinggi berada di negara–negara sedang
berkembang. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, prevalensi
anemia pada tahun 1999-2005 di dunia masih tinggi dimana prevalensi pada balita
47,4%, anak usia sekolah 25,4%, wanita tidak hamil 30,2%, wanita hamil 41,8%, pada
lansia 23,9% dan terendah pada laki-laki 12,7%.
Anemia merupakan salah satu gejala sekunder dari sesuatu penyakit pada lansia.
Prevalensi anemia pada lansia adalah sekitar 8–44%, dengan prevalensi tertinggi pada
laki–laki usia 85 tahun atau lebih. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan bahwa
prevalensi anemia pada laki–laki lansia adalah 27–40% dan wanita lansia sekitar 16–
21%. Derajat anemia tersering pada lanjut usia adalah anemia ringan. Sebagai penyebab
tersering anemia pada orang–orang lansia adalah anemia penyakit kronik dengan
prevalensinya sekitar 35%, diikuti oleh anemia defisiensi besi sekitar 15%. Penyebab
lainnya yaitu defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, perdarahan saluran cerna
dan sindroma mielodisplastik.4
1
Anemia pada lanjut usia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya sering
dianggap sebagai fenomena fisiologis yang mungkin disebabkan karena menurunnya
sekresi androgen pada laki-laki lanjut usia atau menurunnya ploriferasi stem sel seiring
dengan bertambahnya usia.2 Namun, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
meningkatnya prevalensi anemia pada lanjut usia menunjukkan terjadinya peningkatan
penyakit yang mendasari terjadinya anemia tersebut. Sehingga anggapan bahwa anemia
ringan pada lanjut usia merupakan fenomena fisiologis dapat menyebabkan lalainya
diagnosis penyakit yang mendasari anemia pada lanjut usia.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA
2.1.1 Definisi anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang
dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin.3 WHO telah
menggolongkan penetapan kadar normal hemoglobin dalam berbagai kelompok seperti
dibawah ini:
Tabel 1. Kadar hemoglobin normal.
Kelompok Hemoglobin (%)
Dewasa Wanita
Wanita hamil
Laki-laki
12
11
14
Anak-anak 6 bulan – 6 tahun
6 tahun – 14 tahun
11
12
2.1.2 Manifestasi klinik
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan
manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada5:
(1) kecepatan timbulnya anemia
(2) umur individu
(3) mekanisme kompensasinya
(4) tingkat aktivitasnya
(5) keadaan penyakit yang mendasari, dan
(6) parahnya anemia tersebut.
Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang
dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti
pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia.
Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan
(walaupun pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk
3
menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani
berat.
Mekanisme kompensasi bekerja melalui6:
(1) peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2 ke
jaringan-jaringan oleh sel darah merah
(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan, dan
(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital
2.1.3 Etiologi6
a. Kelainan sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM sendiri,
sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami
penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya kelainan yang dialami SDM
menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini
menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
b. Kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor
luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak
dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga
mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya
mengurangi penyulit yang terjadi.
c. Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar
dan dalam waktu singkat ini jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena
kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha
akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah
darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
d. Autoimun
4
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini
sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi
terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh
sistem imun.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah:5,6
kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah
sakit kepala, dan mudah marah
tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh,
pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi
kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat
yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta
konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah
yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat.
Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat
diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah
jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat
menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan
bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan
manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus
(telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan
saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang
umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia,
nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).6
2.1.5 Klasifikasi anemia
a. Menurut Morfologi
5
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran
sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga
klasifikasi besar.5,6
(1) Anemia normositik normokrom.
Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung
hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab
anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk
infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-
penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
(2) Anemia makrositik normokrom.
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi
normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada
defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab
agen-agen yang digunakan mengganggu metabolisme sel.
(3) Anemia mikrositik hipokrom.
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis
heme (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan
darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit
hemoglobin abnormal kongenital).
b. Menurut Etiologi
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Penyebab utama yang
dipikirkan adalah5,6
(1) Meningkatnya kehilangan sel darah merah
Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan
atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau
akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan,
hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal
dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang
memperpendek hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan
6
penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu
adalah:
1. hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal nya anemia sel
sabit
2. gangguan sintetis globin misalnya talasemia
3. gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter
4.defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat juga
disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali memerlukan
respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies yang sama dan
diakibatkan oleh tranfusi darah yang tidak cocok. Respon autoimun terdiri dari
pembentukan antibodi terhadap sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di
namakan anemia hemolitik autoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah
pemberian suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau
pada penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus eritematosus,
artritis reumatorid dan infeksi virus. Anemia hemolitik autoimun selanjutnya
diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah –
antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia
hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada
keadaan ini terjadi kerusakan pada sel darah merah, dimana permukaan sel darah merah
tidak teratur. Sel darah merah yang terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran
darah oleh limpa.
Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang
hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat penjeratan dan
penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika kapiler pecah
dapat juga mengakibatkan hemolisis.
(2) Penurunan atau gangguan pembentukan sel
7
Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah
yang berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi
fungsi sumsum tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah:
(1) keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel mieloma;
obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi dan
(2) penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit-penyakit
infeksi dan defiensi endokrin.
Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi
dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga
menimbulkan anemia. Untuk menegakkan diagnosis anemia harus digabungkan
pertimbangan morfologis dan etiologi.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia
adalah2,5:
1. Complete Blood Count (CBC)
A. Eritrosit
a. Hemoglobin (N ♀: 12-16 gr/dl ; ♂: 14-18 gr/dl)
b. Hematokrit (N ♀: 37-47% ; ♂: 42-52%)
B. Indeks eritrosit
a. Mean Cell Volume (MCV) = Hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 106
(N: 90 + 8 fl)
b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) = Hemoglobin x 10
Jumlah eritrosit x 106
(N: 30 + 3 pg)
c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) = Hemoglobin x 10
Hematokrit
(N: 33 + 2%)
C. Leukosit (N : 4500 – 11.000/mm3)
D. Trombosit (N : 150.000 – 450.000/mm3)
2. Sediaan Apus Darah Tepi
8
a. Ukuran sel
b. Anisositosis
c. Poikolisitosis
d. Polikromasia
3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)
4. Persediaan Zat Besi
a. Kadar Fe serum ( N: 9-27μmol/liter )
b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 μmol/liter)
c. Feritin Serum ( N ♀: 30 μmol/liter ; ♂: 100 μmol/liter)
5. Pemeriksaan Sumsum Tulang
a. Aspirasi
- E/G ratio
- Morfologi sel
- Pewarnaan Fe
b. Biopsi
- Selularitas
- Morfologi
I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC)
Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin
dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai
abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin.
Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai
makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa
hemoglobin (hipokromia).5
II. Sediaan Apus Darah Tepi
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah ada
gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan
ukuran eritrosit yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk
dari eritrosit yang beraneka ragam.5
III. Hitung Retikulosit
9
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang.
Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36
jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang
menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di
sirkulasi.2
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien
berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit
prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah-olah
tinggi.
RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)
Faktor koreksi untuk:
Ht 35% : 1,5
Ht 25% : 2,0
Ht 15% : 2,5
Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat
RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan
IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC
dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi
transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk.10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga
merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun
kronis, kadarnya dapat meningkat.2,5
V. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum
tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif.
Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau
eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada sumsum tulang (ratio
eritroid dan granuloid).5
10
2.2 GIZI PADA USIA LANJUT
2.2.1 Perubahan anatomi dan fisiologi
Menua (aging) merupakan proses normal yang dimulai sejak konsepsi dan
berakhir saat kematian. Selama periode pertumbuhan, proses anabolisme melampaui
proses katabolisme. Pada saat tubuh sudah mencapai tingkat kematangan fisiologik,
kecepatan katabolisme atau proses degenerasi lebih besar daripada kecepatan proses
regenerasi sel (anabolisme). Akibat yang timbul adalah hilangnya sel-sel yang
berdampak dalam bentuk penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ. Dengan
demikian menua ditandai dengan kehilangan secara progresif lean body mass (jaringan
aktif tubuh) dan perubahan-perubahan di semua sistem di dalam tubuh manusia.7
Berikut ini adalah perubahan fisiologik yang berhubungan dan mempengaruhi status
gizi lansia.
2.2.2 Indera
Indera pengecap, pencium dan penglihatan menurun yang akan secara langsung
dan tak langsung mempengaruhi nafsu makan dan asuapan makanan. Papila pengecap
mulai mengalami atrofi pada usia 50 tahun, dari jumlah 245 pada anak menjadi hanya
88 pada usia 74-85 tahun. Terjadi penurunan sensitifitas terhadap rasa manis dan asin.
Selain itu muncul glossodyna atau nyeri pada lidah.7
2.2.3 Saluran cerna/digestif
Terjadi perubahan-perubahan pada kemampuan digesti dan absorbsi yang terjadi
sebagai akibat hilangnya opioid endogen dan efek berlebihan dari kolesistokin.4,7 Akibat
yang muncul adalah anoreksia.
Penyakit periodonsia dan gigi palsu yang tidak tepat akan makin memberikan rasa
sakit dan tak nyaman saat mengunyah. Selain itu sekresi ludah juga menurun hingga
terjadi gangguan pengunyahan dan penelanan.
Hipoklorhidria yang terjadi oleh karena berkurangnya sel-sel parietal mukosa
lambung akan mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium dan non-hem-iron.
Terjadi pula overgrowth bakteri yang akan menurunkan bioavailability B12,
malabsorbsi lemak, fungsi asam empedu yang menurun dan diare. Selain itu terjadi
penurunan motilitas usus, hiungga terjadi konstipasi.
11
2.2.4 Metabolisme
Pada lansia dapat terjadi penurunan toleransi glukosa yang akan mengakibatkan
kenaikan glukosa di dalam plasma sekitar 1,5 mg/dl untuk tiap dekade umur.7 Hal ini
terjadi mungkin karena penurunan produksi insulin atau karena respon jaringan terhadp
insulin yng menurun.
Metabolisme basal (BM) menurun sekitar 20% antara usia 30-90 tahun. Hal ini
terjadi karena berkurangnya lean body mass pada lansia.
2.2.5 Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 50 % antara usia 30-80 tahun. Reaksi respon asam
basa terhadap perubahan-perubahan metabolik melambat. Pembuangan sisa-sia
metabolisme protein dan elektolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban
tersendiri.
2.2.6 Fungsi jaringan
Pada usia sekitar 75 tahun, maka prosentsenya fungsi jaringan yang tertinggal
adalah 82 % untuk cairan/air tubuh, 56% glomerulus, 63 % serat syaraf, 36 % taste buds
dan 56 % berat otak.7
(1) Gangguan Gizi
Gangguan gizi yang dapat muncul pada usia lanjut dapat berbentuk gizi kurang
maupun gizi lebih. Gangguan ini dapat menyebabkan munculnya penyakit atau terjadi
sebagi akibat adanya penyakit tertentu. Oleh karena itu langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menetukan terlebih dahulu ada tidaknya gangguan gizi, mengevaluasi
faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan gizi serta merencakan bagaimana
gangguan gizi tersebut dapat diperbaiki.
(2) Metabolisme Energi
Produksi energi untuk tiap m2 luas tubuh menurun secara progresif dengan
bertambahnya usia. Rata-rata penurunanya dalah 12 kal/m2/jam untuk tiap tahun antara
usia 20 – 90 tahun. Penurunan ini terjadi oleh karena berkurangnya jaringan aktif
(metabolizing tissue) sejalan dengan bertambahnya usia.
Produksi energi ini merupakan produksi untuk metabolisme basal ditambah
dengan energi untuk aktifitas. Kebutuhan energi untuk aktivitas menurun lebih besar
daripada untuk metabolisme basal, terutama pada lansia.
12
(3) Kecukupan Zat-Zat Gizi
Tiap Negara mempunyai standar/baku untuk kebutuhan zat-zat gizi dengan
menggunakan standar FAO/WHO sebagai acuan utamanya. Indonesia memiliki Daftar
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (KGA) untuk energi dan zat-zat gizi lainnya yang
diperbaharui tiap 5 tahun melalui Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Berikut ini
contoh KGA untuk lansia yang dikeluarkan oleh Depkes RI dan Negara Inggris.8
Tabel 2. Asupan yang dianjurkan
Laki-laki Perempuan
Inggris Indonesia Inggris Indonesia
Usia 75 + 60 + 75 + 60 +
Energi (Kal) 2100 2200 1900 1850
Protein (gram) 53 62 48 54
Zat besi (mgram) 10 13 10 14
Kalsium (mgram) 500 500 500 500
Vit. C (mgram) 30 60 30 60
Apabila dijabarkan dalam porsi makanan/ukuran rumah tangga, maka KGA
lansia untuk Indonesia adalah seperti dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kecukupan makan satu hari (usia 60 tahun ke atas)
13
Jenis bahan makan Laki-laki Perempuan
Nasi 3 x 200 gram 2 x 200 gram
(3 x 1,5 gls blimbing) (2 x 1,5 gls blimbing)
Lauk daging/ikan, 1,5 x 50 gram 2 x 50 gram
- tempe 5 x 25 gram ( 1pt kecil ) 4 x 25 gram ( 1 pt kecil )
- tahu 5 x 50 gram 4 x 50 gram
Sayur 1,5 x 100 gram 1,5 x 100 gram
( 1,5 x 1 gls penuh sayur)
Buah 2 x 100 gram
( 1 pt sedang )
2 x 100 gram
( 1 pt sedang )
2.2.7 Keadaan Gizi Lansia
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami baik keadaan
gizi lebih maupan kekurangan gizi. Boedhi-Darmoyo (1995) melaporkan bahwa lansia
di Indonesia yang dalam keadaan kurang gizi ada 3,4 %, BB kurang 28,3 %, BB ideal
berjumlah 42,4 %, BB lebih ada 6,7 % dan obesitas sebanyak 3,4 %. Temuan proporsi
lansia yang kurang gizi di Indonesia pada tahun 1994 tersebut tak banyak berbeda
dengan temuan di Inggris pada tahun1972 dan 1979 yakni sebanyak 3 %. Setelah di
follow up ternyata lansia di Inggris yang menjadi kurang gizi meningkat 2 kali lipat
lima tahun kemudian Selanjutnya Wichaidit (1995) melaporkan bahwa ada 10-60 %
lansia di Thailand yang menderita anemia dan 80-90 % lansia mengkonsumsi kalsium
kurang dari 2/3 dari kecukupan yang dianjurkan.
Terjadi kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer
maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan isolasi sosial, hidup
seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indrera,
gangguan mental, kemiskinan dan iatrogenik. Sebab-sebab sekunder meliputi gangguan
nafsu makan/selera, gangguan mengunyah, malabsorpsi, obat-obatan, peningkatan
kebutuhan zat gizi serta alkoholisme. Ketidaktahuan dapat dibawa sejak kecil atau
disebabkan olah pendidikan yang sangat terbatas. Isolasi sosial terjadi pada lansia yang
hidup sendirian, yang kehilangan gairah hidup dan tidak ada keinginan untuk masak.
Gangguan fisik terjai pada lansia yang mengalami hemiparese/hemiplegia, artritis dan
ganggun mata. Gangguan mental terjadi pada lansia yang dement dan mengalami
depresi. Kondisi iatrogenik dapat terjadi pada lansia yang mendapat diet lambung untuk
jangka waktu lama, hingga terjadi kekurangan vitamin C. selanjutnya gangguan selera,
megunyah dan malabsorbsi terjadi sebagi akibat penurunan fungsi alat pencernaan dan
pancaindera, sebagai akibat penyakit berat tertentu, pasca operasi, ikemik dinding perut
dan sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu seperti lombok,
santan, lemak dan tepung ber ’gluten’(misalnya ketan). Kebutuhan yang meningkat
terjadi pada lansia yang mengalami keseimbangan nitrogen negatif dan katabolisme
protien yang terjadi pada mereka yang harus berbaring di tempat tidur untuk jangka
waktu lma dan yang mengalami panas yang tinggi.
Kondisi kekurangan gizi pada lansia dapat terbentuk KKP(kurang kalori protein)
kronik, baik ringan sedang maupun berat. Keadaan ini dapat dilihat dengan mudah
melalui penampilan umum, yakni adanya kekurusan dan rendahnya BB seorang lansia
14
dibanding dengan baku yang ada. Kekurangan zat gizi laing yang banyak muncul
adalah defisiensi besi dalam bentuk anemia gizi, defisiensi B1 dan B12.3,4
Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan afluency denga ngaya
hidup pada usia sekitar 50 tahun. Dengan kondisi ekonomi yang membaik dan
tersedianya berbagai makanan siap sji yang enak dan kaya energi. Utamany sumber
lemak, terjadi asupan makan dan zat-zat gizi melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan
kelbihan gizi yang dimulai pada awal usia 50 tahun-an ini akan membawa lansia pada
keadaan obesitas dan dapat pula disertai dengan munculnya berbagai penyakit
metabolisme seperti diabetes mellitus dan dislipidemia. Penyakit-penyakit tersebut akan
memerlukan pengelolaan dietetik khusus yang mungkin harus dijalani sepanjang usia
yang masih tersisa.
2.2.8 Penentuan Status Gizi
Status gizi pada lansia dapat dinilai dengan cara-cara yang baku bagi berbagai
tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan tak langsung. Penilaian secara
langsungdilakukan melaui pemeriksaan klinik, antropometrik, biokimia dan biofisik.9
Di dalam melakukan pemeriksaan klinik perlu dibedakan tiga kelompok gejala
yaitu: (1) tanda-tanda yang dianggap mempunyai nilai dalam pemeriksaan gizi; (2)
gejala-gejala yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut; (3) gejala-gejala yang tidak
berhubungan dengan gizi. Tanda-tanda yang masuk ke tiga kategori dapat ditemukan di
berbagai organ seperti rambut, lidah, konjungtiva, bibir, kulit, hati, limpa dan
sebagainya.
Pemeriksaan antropometrik adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan
komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan.
Pemgukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan
tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap
umur dan jenis kelami. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai bahan baku
(standard) internasional maupun nasional seperti baku WHO, NCHC, Havard, dan
sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada lansia dapat
memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena telah terjadinya
osteoporosis pada lansia yang akan berakibat pada kompresi tulang-tulang columna
vertebral. Untuk itu para ahli sepakat bahwa sebagai gantinya tinggi badan dapat
dipakai panjang rentang tangan (armspan) dalam penentuan indeks massa tubuh (BMI)
15
Ternyata korelasi koefisien antara BMI dengan BMA (body mass-armspan) cukup
tinggi yaitu 0,83 dan 0,81 untuk wanita dan untuk pria dengan nilai p-0,001.
Pemeriksaan biokimia dapat dilakukan terhadap berbagai jaringan tubuh, namun
yang paling lazim, mudah dan praktis adalah darah dan urine. Zat-zat gii tertentu dapat
dievaluasi statusnya melalui pemeriksaan biokimiawi seoerti vitamin A, besi, iodium
protein dan sebagainya.
Pemeriksaan biofisik dilakuakan misalnya terhadap tulang untuk menilai derajat
osteoporosis, jantung untuk kecurigaan beri-beri dan smear terhadap mukosa organ
tertentu.
2.2.9 Nutrisi Enteral dan Parenteral
Pada keadaan tertentu, terkadang diperlukan pemberian makan secara
enteral maupun parenteral bagi lansia, terutama yang mengalami perawatan di
rumah sakit. Aspen (American Society for Parenteral and Enteral Nutrition) Board
of Directors telah membuat pedoman umum pada tahun 1993. Pedomannya
adalah sebagai berikut8:
NUTRISI ENTERAL
1. Dukungan nutrisi enteral melalui tube feeding hendaknya dipakai pada
pasien yang akan atau telah mengalami malnutrisi, atau pada pasien yang
oral feeding-nya tak dapat memepertahankan status gizinya.
2. Pada pasien yang akan mengalami home care, mereka dan perawat yang
menjagantya harus dididik tentang prosedur yang diperlukan dan diberi
tahu tentang komplikasi yang dapat terjadi.
3. Program nutrisinya harus dengan pemenuhan kebutuhan pola hidup di
rumah.
4. Disamping perawat/anggota keluarga yang terlatih, masih diperlukan
pemantauan berkala oleh tenga yang memiliki pengetahuan tentang
potensi resiko infeksi, mekanik, metabolik dari tube feeding.
16
NURISI PARENTERAL
1. Calon penerima dukungan nutrisi parenteral adalah mereka yang telah
malnutrisi atau berpotensi mengalami malnutrisi namun tidak bisa
mencerna atau tidak dapat menyerap nutrien yang diberikan secara oral.
2. Peripheral parenteral nutrition (PPN) diindikasikan untuk dukunga nitrisi
partial atau total sampai dengan 2 minggu.
3. Total parenteral nutrition (TPN) diberikan bilan nutrisi parenteral
didindikasikan lebih dari 2 minggu atau jalan masuk perifer terbatas.
2.2.10 Pedoman Umum Gizi Seimbang untuk Lansia
Khusus untuk Indonesia, Departemen Kesehatan telah menerbitkan Pedman
Umum Gizi Seimbang (PUGS) (DepKes, 1995) yang berisi 13 pesan dasar gizi
seimbang bagi lansia dengan dasar PUGS dan dengan memepertimbangkan
pengurangan berbagai resiko pentyakit degenerasi yang dihadapi para lansia.8
1. Makanlah aneka ragam makanan
2. Makanlah sumber karbohidrat kompleks (serealia dan umbi)
3. Batasi minyak dan lemak secar berlebihan
4. Makanlah sumber zat besi secara bergantian antara sumber hewani dan
nabati.
5. Minumlah air yang bersih, aman, dan cukup jumlahnya dan telah didihkan.
6. Kurangi konsumsi makanan jajanan dan minuman yang tinggi gula murni
dan lemak.
7. Perbanyak frekuensi makanhewani laut dalam menu harian.
8. Gunakanlah garam berodium, namaun batasilah penggunaan garam secar
berlebihan, kurangi konsumsi makanan dengan pengawet
2.3 ANEMIA PADA LANJUT USIA
Anemia merupakan salah satu gejala sekunder dari sesuatu penyakit pada lansia.
Prevalensi anemia pada lansia adalah sekitar 8–44%, dengan prevalensi tertinggi pada
laki–laki usia 85 tahun atau lebih. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan bahwa
prevalensi anemia pada laki–laki lansia adalah 27–40% dan wanita lansia sekitar 16–
21%.
17
Anemia pada lanjut usia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya sering dianggap
sebagai fenomena fisiologis yang mungkin disebabkan karena menurunnya sekresi
androgen pada laki-laki lanjut usia atau menurunnya ploriferasi stem sel seiring dengan
bertambahnya usia. Namun, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa meningkatnya
prevalensi anemia pada lanjut usia menunjukkan terjadinya peningkatan penyakit yang
mendasari terjadinya anemia tersebut.2,3,4
2.3.1 Etiologi
Dari beberapa penelitian diperkirakan sepertiga penderita anemia mengalami
defisiensi besi, sepertiga dengan inflamasi kronis, penyakit ginjal kronik maupun
keduanya, sedangkan sepertiga lainnya tidak dapat dijelaskan.2,4
Tabel 4. Etiologies of Anemia in Noninstitutionalized Persons 65 Years and Older
Etiology Subtype Percentage of anemia
Nutritional Iron deficiency 16.6Folate deficiency 6.4Vitamin B12 deficiency 5.9Iron deficiency plus folate or vitamin B12 deficiency, or all three 3.4Folate and vitamin B12 deficiencies 2.0
Chronic disease Anemia of chronic inflammation 19.7Renal insufficiency 8.2Renal insufficiency and anemia of chronic inflammation 4.3
Unexplained — 33.6
2.3.2 Diagnosis
Anemia sering memiliki onset berbahaya pada orang tua. Meskipun penurunan
akut pada hemoglobin akan menyebabkan gejala penurunan volume, seperti pusing,
onset lambat anemia dapat ditoleransi dengan lebih baik, dengan gejala berkembang
sebagai mekanisme kompensasi gagal.4 Orang tua tidak dapat meningkatkan denyut
jantung dan cardiac output sama mudahnya seperti orang muda, dengan dyspnea,
kelelahan, dan kebingungan menjadi lebih umum sebagai memburuk anemia. Sudah ada
penyakit jantung, seperti penyakit arteri koroner dan gagal jantung kongestif, sering
menjadi lebih gejala sebagai tingkat hemoglobin menurun.
18
Ada beberapa tanda-tanda pada pemeriksaan fisik yang spesifik untuk anemia
ringan atau sedang. Konjungtiva pucat biasanya ditemukan ketika tingkat hemoglobin
turun di bawah 9 g per dL (90 g per L). Pada orang dengan penyakit kronis, dokter
mungkin mengabaikan gejala anemia atau atribut terhadap proses penyakit yang
mendasari. Dengan demikian, penting untuk memiliki indeks kecurigaan yang tinggi
ketika orang tua hadir bahkan dengan gejala halus penurunan hitung darah lengkap atau
point-of-perawatan pengukuran hematokrit cepat akan mengkonfirmasi diagnosis dari
anemia.4
Tambahan riwayat dan temuan pemeriksaan fisik seringkali memperjelas
etiologi anemia. Pertanyaan harus mencakup tanda-tanda dan gejala yang berhubungan
dengan kehilangan darah, seperti gangguan pencernaan kronis atau tinja gelap sugestif
perdarahan gastrointestinal, urin gelap sugestif hematuria, dan operasi baru-baru ini.
Riwayat diet adalah penting, dengan diet vegan yang ketat meningkatkan risiko vitamin
B12 deficiency. Konsumsi alkohol berat meningkatkan risiko kekurangan folat dan
pendarahan dari penyakit ulkus peptikum dan varises. Penyakit peradangan kronis dan
penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan anemia. Sebuah sejarah lama
pertimbangan anemia waran gangguan keluarga, seperti thalassemia dan spherocytosis
turun-temurun. 2,4
Pengobatan harus ditinjau ulang, dengan memperhatikan hal-hal yang
meningkatkan risiko perdarahan (misalnya, nonsteroidal anti-inflammatory drugs,
warfarin. Sebuah tinjauan seksama sistem dapat mengidentifikasi tanda-tanda yang
mengkhawatirkan seperti imobilitas terakhir, anoreksia, dan keringat malam.Berat
badan, limfadenopati, dan nyeri tulang lokal adalah tanda-tanda dari penyakit serius dan
pertimbangan keganasan dan infeksi kronis.
Setelah anemia dikonfirmasi, hitung darah lengkap sangat membantu. Jika
perdarahan atau anemia defisiensi zat besi secara klinis dicurigai, pengukuran ferritin
serum juga dibenarkan. Mean corpuscular volume (MCV) digunakan untuk
membedakan anemia mikrositik, normositik, dan makrositik.2,4,5
(1) Anemia Mikrositik
Anemia mikrositik biasanya disebabkan oleh defisiensi besi. Feritin adalah
penanda penyimpanan besi, dan tingkat feritin bawah 35 ng per mL (78,64 pmol per L)
19
menandakan adanya anemia defisiensi besi. Tingkat feritin meningkat dengan penyakit
akut dan peradangan, dan pada beberapa orang dengan anemia defisiensi besi dan
proses inflamasi akut, tingkat feritin mungkin meningkat palsu. Batasan nilai 45 ng per
mL (101.11 pmol per L) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi pada orang dewasa
yang lebih tua.
Anemia defisiensi besi sering disebabkan oleh perdarahan gastrointestinal dan
memerlukan penyelidikan lebih lanjut pada sebagian penderita lanjut usia. Kehadiran
anemia defisiensi besi meningkat secara nyata pada kemungkinan keganasan
gastrointestinal, terutama pada orang usia lebih dari 65 tahun.3,4 Bahkan pada pasien
asimtomatik, lebih dari satu setengah yang ditemukan memiliki lesi perdarahan dengan
evaluasi endoskopi dan kolonoskopi dengan esophagogastroduodenoscopy. Usia lanjut,
rendahnya MCV (60 fL atau kurang), dan hasil positif tes darah okultisme tinja
dikaitkan dengan tingkat perdarahan gastrointestinal yang lebih tinggi. Meskipun
bermanfaat mendiagnosis potensi keganasan dan keadaan patologi lain, penting untuk
diingat bahwa risiko perforasi dengan kolonoskopi meningkat seiring dengan usia,
komorbiditas yang signifikan, obstruksi, dan tindakan invasif.
(2) Anemia Normositik
Anemia normositik memiliki diagnosis diferensial yang luas. Meskipun anemi
normositik banyak merupakan sekunder untuk penyakit kronis, termasuk penyakit
ginjal kronis, penting untuk menyingkirkan kemungkinan anemia kekurangan gizi dan
hemolisis. Peripheral blood smear, jumlah retikulosit, dan vitamin B12 dan tingkat folat
harus diperiksa. Banyak pasien dengan vitamin B12 atau kekurangan folat memiliki
MCV normal. 4,5
Jika indeks retikulosit (jumlah kali tingkat hematokrit retikulosit, dibagi dengan
tingkat hematokrit normal) lebih besar dari 2 persen, hemolisis dan tes konfirmasi
selanjutnya harus dipertimbangkan. Sebuah hasil positif tes Coombs langsung sangat
mendukung anemia hemolitik autoimun. Anemia hemolitik autoimun, kedua jenis
antibodi hangat dan dingin, dapat mengancam nyawa jika tidak diobati, namun
memiliki hasil yang baik dengan immunosupresif. Penyebab lain retikulositosis
termasuk kehilangan darah dan hipersplenisme. Kebanyakan orang dengan anemia
memiliki jumlah retikulosit rendah, yang menunjukkan bahwa sumsum tulang tidak
20
memproduksi sel darah merah yang memadai. Jika vitamin B12 dan tingkat folat yang
memadai, pasien harus dievaluasi untuk anemia defisiensi zat besi dan penyakit ginjal.
Banyak orang tua memiliki anemia dengan campuran lebih dari satu
etiologi. Tingkat transferin reseptor larut biasanya meningkat menjadi 2,5 mg per L
(29,5 nmol per L) atau lebih besar dari anemia defisiensi besi. Nilai 1,5 atau kurang
menunjukkan anemia penyakit kronis dan lebih besar dari 1,5 mendukung defisiensi
besi dengan penyakit kronis.4
(3) Anemia Makrositik
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh terapi obat, alkoholisme, penyakit
hati, hipotiroidisme, kekurangan vitamin B12, atau kekuragan asam folat. Jumlah
retikulosit yang tinggi menunjukkan hemolisis, hipersplenisme, atau kehilangan darah
akut. Ketika jumlah retikulosit rendah, langkah berikutnya adalah untuk mendapatkan
vitamin B12 serum dan kadar folat. Jika vitamin B12 atau tingkat folat ada pada batas
rendah, homosistein serum (untuk mengkonfirmasi defisiensi folat) dan tingkat asam
methylmalonic (untuk mengkonfirmasi defisiensi vitamin B12) harus
diperoleh. Tingkat normal homosistein dan asam methylmalonic hamper dapat
menyingkirkan defisiensi folat dan vitamin B12.4,5
Sebuah darah abnormal hasil smear perifer pada pasien dengan anemia
menjamin pertimbangan yang kuat untuk sindrom myelodysplastic dan keganasan,
khususnya myeloma multiple. Anemia makrositik dikaitkan dengan sindrom
myelodysplastic dan kondisi myeloproliferative. Dalam kasus tersebut, biopsi sumsum
tulang harus dipertimbangkan jika temuan berpotensi akan mempengaruhi pengobatan.
2.3.3 Penatalaksanaan
Pada anemia defisiensi besi, dosis biasa adalah pengganti ferrous sulfat, 325 mg
(65 mg elemental zat besi) per hari, atau ferrous glukonat, 325 mg (38 mg elemental zat
besi) per hari. Dosis rendah terapi besi, dengan 15 mg besi elemental per hari sebagai
ferrous glukonate cair, efektif mengoreksi hemoglobin dan konsentrasi feritin dengan
sedikit efek samping gastrointestinal dibandingkan dosis tinggi besi. Pengobatan
biasanya berlangsung selama enam bulan untuk memenuhi persediaan besi.3,4 Bagi
orang-orang yang gagal untuk merespon terapi zat besi oral, pengobatan parenteral
dengan besi dekstran atau sukrosa besi. Dosis tinggi terapi oral (cyanocobalamin, 1
21
sampai 2 mg per hari) untuk mengobati kekurangan vitamin B12 efektif dan ditoleransi
dengan baik. Anemia defisiensi folat harus diterapi dengan asam folat, 1 mg per
hari. Pengobatan yang efektif anemia gizi ditandai oleh retikulositosis dalam waktu satu
minggu, diikuti dengan peningkatan lebih bertahap di tingkat hemoglobin.5
Pengobatan anemia penyakit kronis, anemia penyakit ginjal kronis, dan anemia
yangtidak diketahui penyebabnya akan lebih sulit. Pengobatan awal dan lebih disukai
adalah Pengelolaan yang optimal dari penyakit kronis akan meminimalkan peradangan
dan mengurangi penekanan sumsum tulang.4 Kebanyakan anemi pada orang tua yang
ringan dan tidak memerlukan intervensi lebih lanjut. Ketika anemia berat (kadar
hemoglobin kurang dari 10 g per dL [100 g per L]), gejala yang mengetahui pengobatan
tambahan sering berkembang. Dua pilihan untuk mengobati anemia berat adalah
transfusi darah dan Erythropoiesis-stimulating agents, yang keduanya memiliki
keterbatasan yang signifikan. Transfusi darah memberikan bantuan langsung dari gejala
umum, termasuk dispnea, kelelahan, dan
pusing. Risiko transfusi meliputi volume overload, kelebihan zat besi, infeksi, dan
reaksi akutuntuk memperbaiki gangguan yang mendasarinya.
Erythropoiesis-stimulating agent telah disetujui untuk pengobatan anemia
penyakit kronis dalam situasi terbatas, tetapi penggunaannya masih kontroversial.
Erythropoietin diproduksi terutama oleh ginjal dan merangsang produksi sel darah
merah di sumsum tulang. Dua percobaan acak baru-baru ini penggunaan
Erythropoiesis-stimulating agents pada orang dengan penyakit ginjal kronis dan anemia
menemukan bahwa peningkatan kadar hemoglobin dengan target 13,5 g g per dL (135 g
per L) atau 13 per dL mengakibatkan peningkatan tingkat kematian dan kejadian
kardiovaskular. Tujuan dari pengobatan dengan pemberian obat perangsang
erythropoiesis untuk penyakit ginjal kronis adalah menghindari transfusi dan
mempertahankan tingkat hemoglobin agar tidak jauh di bawah 12 g per dL. Meskipun
beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat sederhana Erythropoiesis-stimulating
agent spada orang dengan kanker dan anemia, beberapa telah menemukan penurunan
kelangsungan hidup dengan agents. Untuk kemoterapi terkait anemia, Erythropoiesis-
stimulating agents direkomendasikan pada tingkat hemoglobin yang turun di bawah 10
g per dL untuk menghindari transfusi.
22
Bagi kebanyakan orang dengan anemia penyakit kronis atau anemia yang tidak
dapat dijelaskan, ada sedikit bukti bahwa mengoreksi tingkat hemoglobin dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas, atau meningkatkan kualitas hidup. Pada pasien
ini, anemia dapat menjadi penanda penurunan kelemahan dan fisiologis. Oleh karena
itu, adalah bijaksana untuk membatasi erythropoiesis-stimulating agents untuk
pengobatan anemia parah yang terkait dengan penyakit ginjal kronis dan indikasi lain
yang disetujui, kecuali pasien merupakan bagian dari uji klinis untuk mengevaluasi
erythropoiesis-stimulating agents.
23
BAB III
KESIMPULAN
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin.
Menurut WHO, batasan anemia yaitu untuk wanita apabila konsentrasi hemoglobinnya
di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk pria apabila konsentrasi hemoglobinnya di
bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).
Pada aging process, saat tubuh sudah mencapai tingkat kematangan fisiologik,
kecepatan katabolisme atau proses degenerasi lebih besar daripada kecepatan proses
regenerasi sel (anabolisme). Akibat yang timbul adalah hilangnya sel-sel yang
berdampak dalam bentuk penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ. Dengan
demikian menua ditandai dengan kehilangan secara progresif lean body mass (jaringan
aktif tubuh) dan perubahan-perubahan di semua sistem di dalam tubuh manusia.
Dari beberapa penelitian diperkirakan sepertiga penderita anemia mengalami
defisiensi besi, sepertiga dengan inflamasi kronis, penyakit ginjal kronik maupun
keduanya, sedangkan sepertiga lainnya tidak dapat dijelaskan. Anemia defisiensi besi
sering disebabkan oleh perdarahan gastrointestinal dan memerlukan penyelidikan lebih
lanjut pada sebagian penderita lanjut usia.
Diagnosis anemia dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada lanjut usia, teman klinis dan hasil laboratorium yang
didapat memiliki batasan yang berbeda dengan dewasa muda. Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan kompensasi pada lanjut usia. Oleh karena itu, semua jenis
anemia pada lanjut usia harus ditatalaksana sesuai dengan klasifikasi anemia itu sendiri.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaushansky K, et all. 2001. Williams Hematology, Eight Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States.
2. Adamko DJ, et all. 2009. Wintrobe’s Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia
3. Kurniawan I. Iron deficiency anemia in the elderly. Med J Indones Vol. 20, No. 1, Februari 2011, pp 71-77
4. Bross MH, et all. Anemia in Older Persons. Am Fam Physician. 2010;82(5):480-487.
5. Bakta IM. 2003. Hematologi Klinik Ringkas. EGC. Jakarta.
6. Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson. 2002. Patofisiologi, Jilid1. EGC. Jakarta
7. Van Dern cammen JM, Rai GS, An. Manual Geriatric Medicine. New York, 19398 ; 159 – 173.
8. Departemen Kesehatan RI. 2000. Panduan 13 Dasar Gizi Seimbang. Departemen Kesehatan. Jakarta.
25