Analisis tokoh ara dalam roman larasati karya Pramoedya .../Analisis... · Karya sastra yang...
Transcript of Analisis tokoh ara dalam roman larasati karya Pramoedya .../Analisis... · Karya sastra yang...
1
Analisis tokoh ara dalam roman larasati karya Pramoedya Ananta Toer:
Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra
Djarot Haryadi
C0299012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam
kehidupannya, maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan
ide, teori atau sistem berpikir tetapi juga merupakan media untuk menampung ide,
teori serta sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu
melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan
keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah
penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang
kehidupan umat manusia (Atar Semi, M., 1993:8).
Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu
lainnya. Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan
sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas
dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain
tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok
2
maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota
kelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami
konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di
lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-
persoalan hidup. Manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya tidak terlepas
dari jiwa manusia itu sendiri. Jiwa di sini meliputi pemikiran, pengetahuan,
tanggapan, khalayak dan jiwa itu sendiri (Bimo Walgito, 1997:7).
Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya sastra dihidupkan oleh
tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-
tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia
dengan problem-problem atau konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik
dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya
sendiri.
Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang
memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia,
walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan
kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan
kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas
jiwa dan raga. Maka penelitian yang meggunakan pendekatan psikologi terhadap
karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi
psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra
dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia
yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila
3
dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan megenai
hidup dan kehidupan (Andre Hardjana, 1985:60).
Roman Larasati merupakan salah satu roman karya Pramoedya Ananta
Toer. Seorang penulis yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara, 3
tahun dalam penjara Kolonial Belanda, 1 tahun pada masa Orde Lama, dan 14
tahun pada masa Orde Baru. Beberapa karyanya lahir dari penjara-penjara
tersebut, di antaranya Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Dari tangannya telah lahir lebih dari 40 karya yang diterjemahkan ke
dalam beberapa bahasa asing. Hal ini pantas bila Pramoedya Ananta Toer
memperoleh pelbagai penghargaan, di antaranya: The PEN Freedom to Write
Award pada 1988 dan Ramon Magsasay Award pada 1995. Sampai kini, ia adalah
satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar
kandidat pemenang Nobel Sastra.
Dalam roman Larasati diceritakan bahwa Ara atau Larasati adalah seorang
artis panggung yang cantik, penampilannya banyak ditunggu oleh para
penontonnya, bahkan ia juga punya banyak penggemar di luar dunia panggung.
Ketika masa revolusi, tahun 1940-an ia tumbuh dewasa sebagai seorang gadis.
Ketika pergolakan revolusi pecah, ia harus dihadapkan pada kenyataan
bahwa selama ini ia selalu berada di pihak musuh. Pada saat menyaksikan
penderitaan bangsanya, kesadaran dirinya sebagai anak bangsa mulai tumbuh. Ia
berjanji dalam hatinya tidak bakal main untuk propaganda Belanda, untuk
maksud-maksud yang memusuhi revolusi.
4
Pada saat angkatan muda berjuang mati-matian, banyak angkatan tua
mendapatkan kedudukan enak. Banyak terjadi pengkhianatan, korupsi yang
dilakukan oleh para oportunis atau orang yang hanya mengambil keuntungan
pribadi. Dari kejadian-kejadian ini, timbul berbagai konflik yang terjadi dalam
dirinya yang harus diselesaikan. Untuk menghadapi konflik yang terjadi, ia harus
mengambil sikap serta penemuan dirinya pada situasi semacam ini.
Adapun yang menarik untuk diteliti dari roman Larasati ialah dikarenakan
roman ini memaparkan dan mendeskripsikan situasi sosial mempengaruhi dan
menjadi penyebab timbulnya berbagai sikap manusia dalam menghadapi situasi
tersebut. Dalam roman ini digambarkan situasi pergolakan revolusi Indonesia
pascaproklamasi yang tidak menentu akibat belum adanya kestabilan kekuasaan.
Di satu sisi, secara de jure Indonesia merupakan bangsa yang telah merdeka,
namun di sisi lain kekuasaan Belanda masih tetap bertahan. Bagi sebagian orang
situasi semacam ini justru digunakan untuk mencari keuntungan pribadi, namun
sebagian orang justru semakin terbakar semangat nasionalismenya.
Keadaan yang digambarkan di atas bagi Ara bukan berarti harus
mengambil sikap untuk mencari keuntungan sendiri. Sebagai seorang republieken,
ia rela terjun ke daerah pendudukan demi mengumpulkan informasi strategis, dan
supaya ia bisa menjadi kurir pembawa Oeang Republik Indonesia (ORI) bagi
kepentingan para pejuang Indonesia.
Dalam kisah perjalanannya tersebut, Ara dihadapkan pada persoalan-
persoalan yang menyebabkan konflik dalam dirinya. Sebagai seorang perempuan
dan juga artis, dengan caranya sendiri ia menunjukkan sikapnya sebagai seorang
5
pejuang. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian
terhadap tokoh Ara.
Dalam roman Larasati tokoh Ara tetap menunjukkan sikap hormat
terhadap perjuangan nasional. Di akhir kisahnya, digambarkan bahwa ia lebih
bersedia hidup bersama pejuang, daripada dengan seorang pengkhianat dan
oportunis, yang mengambil keuntungan dari situasi penjajahan.
Guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi akan digunakan psikologi
kepribadian sebagai alat bantunya. Psikologi kepribadian adalah bidang psikologi
yang berusaha mempelajari manusia secara utuh menyangkut motivasi, emosi,
serta penggerak tingkah laku.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mengambil judul Analisis
Tokoh Ara dalam Roman “Larasati” Karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah
Pendekatan Psikologi Sastra.
B. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, agar penelitian tetap terfokus dan tidak melebar
melewati fokus permasalahan perlu adanya pembatasan masalah. Adapun masalah
yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada deskripsi kepribadian tokoh Ara
dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund
Freud, konflik psikologis yang dialami tokoh Ara, serta sikap tokoh Ara dalam
menghadapi konflik tersebut.
C. Perumusan Masalah
6
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana deskripsi kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati
berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud?
2. Bagaimana konflik psikologis yang dialami tokoh Ara dalam roman
Larasati?
3. Bagaimana sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah.
1. Mendeskripsikan kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati
berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.
2. Mendeskripsikan konflik psikologis yang dialami tokoh Ara dalam
roman Larasati.
3. Mendeskripsikan sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoretis
maupun praktis, yaitu.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra
Indonesia khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian
7
ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sastra
dan teori psikologi dalam mengungkap roman Larasati.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu
pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam roman Larasati
terutama kondisi kejiwaan para tokoh dan konflik yang dihadapi
dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu psikologi dan sastra.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam sebuah penelitian berfungsi untuk
memberikan gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian. Adapun
sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.
Bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II landasan teori terdiri dari pengertian tokoh dan penokohan,
pendekatan psikologi sastra, dan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.
Bab III metodologi penelitian terdiri dari metode penelitian, pendekatan,
sumber data, objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data,
dan teknik penarikan kesimpulan.
Bab IV analisis berisi analisis roman Larasati dengan pendekatan
psikologi sastra menggunakan teori psikologi. Analisis ini membahas tentang
kepribadian tokoh Ara, konflik yang dihadapi serta sikap yang diambil tokoh Ara
dalam menghadapi konflik tersebut.
8
Bab V penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian
ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
Tokoh dan Penokohan
Struktur yang hendak dikaji dalam roman ini hanya akan dititikberatkan pada tokoh dan penokohan. Tokoh dalam suatu cerita rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita rekaan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:164).
Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:165).
Penokohan dapat juga dikatakan sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu cerita. “Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Oleh karena itu, tokoh-tokoh harus dihidupkan” (Soediro Satoto, 1998:43).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak dan tokoh-tokoh
dalam sebuah cerita rekaan. Penciptaan citra atau karakter ini merupakan hasil
imajinasi pengarang untuk dimunculkan dalam cerita sesuai dengan keadaan yang
diinginkan.
Penokohan dalam cerita dapat disajikan melalui dua metode, yaitu metode langsung (analitik) dan metode tidak langsung (dramatik). Metode langsung (analitik) adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang memberikan komentar tentang kedirian tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, bahkan ciri fisiknya. Metode tidak langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap dan peristiwa yang terjadi (Burhan Nurgiyantoro, 1995:166).
9
Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan
yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi,
berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu :
1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan),
jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.
2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status
sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan,
pandangan hidup, agama, aktifitas sosial, suku bangsa dan keturunan.
3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran
moral, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan
keahlian khusus (Soediro Satoto, 1998:44 - 45).
Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu penggambaran yang jelas tentang tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh dapat dibagi sebagai berikut.
1. Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya.
a. Tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan.
b. Tokoh tambahan, yaitu tokoh yang permunculannya lebih sedikit dan
kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara
langsung atau tidak langsung.
2. Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh.
a. Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama yang merupakan pengejawantahan
nilai-nilai yang ideal bagi pembaca.
b. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan
Nurgiyantoro, 1995:173 - 174).
10
B. Pendekatan Psikologi Sastra
1. Pengertian Psikologi
Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan
‘logos’ yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologis (menurut arti kata)
psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-
macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Abu Ahmadi, 1979:1).
Bimo Walgito mengatakan bahwa ‘psikologi’ adalah ilmu yang
membicarakan tentang jiwa. Ia merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta
mempelajari tingkah laku serta aktifitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan
(1997:9).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian
‘psikologi’ adalah ilmu yang berkaitan dengan dengan proses-proses mental baik
normal maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan
tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (1995:792).
Dengan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa psikologi
adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia, baik mengenai gejala-gejalanya,
prosesnya maupun latar belakangnya yang tercermin dalam tingkah laku serta
aktivitas manusia atau individu sendiri.
Dalam penelitian ini, ada beberapa peristiwa kejiwaan yang perlu
dipahami antara lain.
a. Konflik
Konflik terjadi bila ada tujuan yang ingin dicapai sekaligus dalam waktu
yang bersamaan. Konflik terjadi akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi antara
11
kebutuhan individu dan kemampuan potensial. Konflik dapat diselesaikan melalui
keputusan hati. Konflik dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Approach-approach conflict, yaitu konflik-konflik psikis yang dialami oleh
individu karena individu tersebut mengalami dua atau lebih motif yang positif
dan sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa pergi kuliah atau menemui
temannya karena sudah berjanji.
2. Approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu
karena dalam waktu yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung
motif positif dan motif negatif yang sama kuat. Misalnya, mahasiswa diangkat
menjadi pegawai negeri (positif) di daerah terpencil (negatif).
3. Avoidance-avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu
karena menghadapi dua motif yang sama-sama negatif dan sama-sama kuat.
Misalnya, seorang penjahat yang tertangkap dan harus membuka rahasia
kelompoknya dan apabila ia melakukan akan mendapat ancaman dari
kelompoknya.
4. Double approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami
individu karena menghadapi dua situasi yang masing-masing mengandung
motif negatif dan motif positif yang sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa
harus menikah dengan orang yang tidak disukai (negatif) atau melanjutkan
studi (positif) (Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, 1993:73 - 75).
b. Sikap
Sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam lapangan
psikologi. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan warna atau corak
pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui sikap
12
seseorang, orang dapat menduga respon atau perilaku yang akan diambil oleh
orang yang bersangkutan, terhadap sesuatu masalah atau keadaan yang
dihadapkan kepadanya.
Gerungan (1991:149), “pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan
dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap
pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan
untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih
tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap sesuatu hal.”
Bimo Walgito menegaskan bahwa, “sikap itu merupakan organisasi
pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang
disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut
untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang
dipilihnya” (1978:109).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan
organisasi pendapat, pandangan, keyakinan seseorang mengenai objek tertentu
yang disertai adanya perasaan tertentu yang memberikan dasar kepada seseorang
untuk membuat respon atau bereaksi dengan cara tertentu yang dipilihnya.
2. Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan
segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi
akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra
manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk
memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan
kehidupan manusia (Andre Hardjana, 1985:66).
13
Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari
sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca
(psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B.
Rahmanto, 1986:126).
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu
(1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif,
(3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan
(4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca atau psikologi pembaca
(Wellek, Rene dan Austin Warren, 1989:90).
Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada roman
Larasati ini mengarah pada pengertian ketiga, yaitu pendekatan psikologi sebagai
studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik
dapat dijelaskan, bahwa analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada
kondisi kejiwaan tokoh utama yang berperan dalam cerita, untuk mengungkap
kepribadiannya secara menyeluruh.
C. Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud
Sigmund Freud lahir di Moravia, 6 Mei 1856. Freud adalah psikolog
pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud
mengibaratkan kesadaran manusia sebagai gunung es, sedikit yang terlihat di
permukaan adalah menunjukkan kesadaran, sedangkan bagian tidak terlihat yang
lebih besar menunjukkan aspek ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran
yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan
perasaan-perasan yang ditekan, suatu dunia dalam yang besar dan berisi kekuatan-
14
kekuatan vital yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan
perbuatan sadar manusia (S. Calvin Hall dan Lindzey Gardner, 1993:60).
Penekanan Freud pada aspek ketidaksadaran yang letaknya lebih dalam dari pada
aspek kesadaran tersebut, membuat aliran psikologi yang disusun atas dasar
penyelidikannya itu disebut ‘psikologi dalam’ (Sujanto, 1980:62).
Ajaran-ajaran Freud di atas, dalam dunia psikologi lazim disebut sebagai
psikoanalisa, yang menekankan penyelidikannya pada proses kejiwaan dalam
ketidaksadaran manusia. Dalam ketidaksadaran inilah menurut Freud berkembang
insting hidup yang paling berperan dalam diri manusia yaitu insting seks, dan
selama tahun-tahun pertama perkembangan psikoanalisa, segala sesuatu yang
dilakukan manusia dianggap berasal dari dorongan ini. Seks dan insting-insting
hidup yang lain, mempunyai bentuk energi yang menopangnya yaitu libido (S.
Calvin Hall dan Lindzey Gardner, 1993:73).
Struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu id, (das es), ego (das
ich), dan super ego (das ueber ich). Perilaku manusia pada hakikatnya merupakan
hasil interaksi substansi dalam kepribadian manusia id, ego, dan super ego yang
ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu di antaranya terlepas atau bekerja
sendiri.
1. Id adalah aspek biologis yang merupakan sistem asli dalam kepribadian, dari
sini aspek kepribadian yang lain tumbuh. Id berisikan hal-hal yang dibawa
sejak lahir dan yang menjadi pedoman id dalam berfungsi adalah
menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan. Untuk
mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu: tindakan refleks dan
proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan proses
15
primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan (Sumadi Suryabrata,
1993:145 - 146).
2. Ego adalah adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena
kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Dalam
berfungsinya ego berpegang pada prinsip kenyataan atau realitas. Ego dapat
pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol
jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta
cara-cara memenuhinya. Dalam berfungsinya sering kali ego harus
mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan super ego. Peran ego
ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dan keadaan
lingkungan (Sumadi Suryabrata, 1993:146 - 147).
3. Super ego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-
nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang
tua kepada anaknya lewat perintah-perintah atau larangan-larangan. Super ego
dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan
apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai
dengan moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok super ego adalah
merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang ditentang
oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis
dari pada realistis, dan megejar kesempurnaan. Jadi super ego cenderung
untuk menentang id maupun ego dan membuat konsepsi yang ideal (Sumadi
Suryabrata, 1983:148 - 149).
Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari tiga
aspek yaitu id, ego dan super ego yang ketiganya tidak dapat dipisahkan. Secara
16
umum, id bisa dipandang sebagai komponen biologis kepribadian, ego sebagai
komponen psikologisnya sedangkan super ego adalah komponen sosialnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah petunjuk yang memberi arah dan corak
penelitian, sehingga dengan metode yang tepat suatu penelitian akan memperoleh
hasil yang maksimal.
Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode
penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat suatu individu,
keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Lexy J. Moleong,
2001:6).
Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang
dikumpulkan berbentuk kata-kata, frase, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan
angka-angka. Dengan demikian, hasil penelitian ini berisi analisis data yang
sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis dan menafsirkan
(Soediro Satoto, 1992:15).
B. Pendekatan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pendekatan berarti proses,
perbuatan, cara mendekati usaha dalam rangka aktifitas penelitian untuk
17
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk
mencapai pengertian tertentu masalah penelitian (1995:218).
Pendekatan adalah cara untuk memandang terhadap suatu hal. Pendekatan
(ancangan) sastra pada dasarnya adalah teori-teori untuk memahami jenis sastra
tertentu sesuai dengan sifatnya (Soediro Satoto, 1992:9).
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
psikologi sastra. Andre Hardjana (1985:60) mengatakan bahwa dalam sastra,
psikologi merupakan ilmu bantu dan memasuki sastra di dalam bahasan tentang
ajaran dan kaidah yang dapat ditimba dari karya sastra. Pendekatan psikologi
dilakukan untuk mengetahui psikologi tokoh Ara dalam roman Larasati yang
berkaitan dengan kepribadian, konflik yang dihadapi, serta sikap yang diambil
dalam menghadapi konflik tersebut.
C. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah aspek psikologis yang menitikberatkan
pada kepribadian tokoh Ara, konflik yang dihadapi serta sikap dalam menghadapi
konflik tersebut.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah roman Larasati karya Pramoedya
Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara tahun 2003 cetakan I dengan
tebal 178 halaman.
18
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, yaitu
pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh
data.
F. Teknik Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa tahap teknik pengolahan data.
Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut..
1. Tahap Deskriptif
Yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan permasalahan
kemudian dilakukan tahap pendeskripsian dan pengidentifisian.
2. Tahap Klasifikasi
Yaitu mengklasifikasikan data yang telah dideskripsikan sesuai dengan
permasalahan masing-masing.
3. Tahap Analisis
Yaitu mengadakan analisis terhadap data yang telah diklasifikasikan
menurut kelompoknya masing-masing berdasarkan teori yang relevan dengan
penelitian.
4. Tahap Interpretasi
Yaitu menafsirkan hasil analisis data untuk memperoleh pemahaman yang
sesuai dengan tujuan penelitian.
19
5. Tahap Evaluasi
Yaitu tahap pengecekan terhadap hasil analisis data untuk meneliti
kebenarannya, sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
G. Teknik Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh dari data-data yang telah di
olah dan dianalisis pada tahap sebelumnya. Dalam tahap ini digunakan teknik
penarikan kesimpulan induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan yang melihat
permasalahan dari data yang bersifat khusus untuk memperoleh kesimpulan yang
bersifat umum.
BAB IV
ANALISIS
Pada bagian ini akan dibahas tentang kepribadian, konflik yang dihadapi dan sikap yang
diambil tokoh Ara dalam roman Larasati dalam menghadapi konflik tersebut.
Analisis ini diawali dengan pembahasan tokoh dan penokohan untuk menjawab rumusan
permasalahan yang ditetapkan sebelumnya. Analisis ini berfungsi untuk mendeskripsikan salah
satu unsur pembentuk karya sastra yaitu tokoh dan penokohan, sehingga mampu menjembatani
analisis psikologi sastra selanjutnya.
Analisis selanjutnya adalah pembahasan dengan pendekatan psikologi sastra untuk
mendeskripsikan kepribadian, konflik yang dihadapi dan sikap yang diambil tokoh Ara dalam
menghadapi konflik. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teori kepribadian psikoanalisis
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.
20
Tokoh dan Penokohan
Dalam roman Larasati ditampilkan beberapa tokoh yang dapat
diklasifikasikan sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan. Secara umum dalam
roman Larasati tokoh utama adalah Larasati atau Ara dan beberapa tokoh
tambahan yang ikut mempengaruhi jalan cerita.
Penggambaran tokoh dalam roman ini menggunakan metode dramatik,
yaitu teknik pengarang menggambarkan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh
tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing, melalui berbagai
aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah
laku, sikap dan peristiwa yang terjadi. Penggambaran tokoh ini akan dibagi dalam
tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
1. Ara/ Larasati
Ara merupakan tokoh utama dalam roman Larasati. Keberadaannya
mendominasi seluruh jalinan cerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun pelaku
yang dikenai kejadian.
a. Dimensi Fisiologis
Gambaran-gambaran fisik yang diperoleh mengenai Ara atau Larasati
merupakan hasil pencermatan mendalam pada cerita. Tokoh Ara adalah seorang
perempuan muda. Gambaran ini diperoleh dari pengertian kata ‘nona’ yang berarti
panggilan bagi seorang perempuan muda yang belum menikah, seperti yang
terlihat dalam kutipan berikut:
“Nona nampak bingung, merokok?” pemuda itu menyodorkan sebatang rokok. Ia tersenyum menolak. Nona, dia bilang. Berapa saja pria seperti kau yang sudah kubalikkan kepalanya? Nona, katanya. Dan kalau nyonya, nyonya siapa pula? Ia menggeleng.
21
“Tidak, tidak. Terima kasih,” Larasati menjawab tak peduli (Pramoedya Ananta Toer, 2003:11). Gambaran fisik mengenai Ara yang lain adalah mengenai keindahan
tubuhnya. Hal ini tergambarkan dalam kutipan berikut.
“Cuma kenalan,” Larasati berdiri dihadapannya, memamerkan keindahan tubuhnya, tersenyum memutar badan, menghadapi tamunya kembali, mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan, “Ara, larasati.” Ia sambut tangan opsir piket itu, terasa panas dan gemetar. Orang semuda itu, tanpa pengalaman macam ini, tidak menarik. Dan dibiarkannya tamunya mengagumi tubuhnya, sedang ia mengganti kain dan kebayanya dengan house coat (Pramoedya Ananta Toer, 2003:19 - 20).
b. Dimensi Sosiologis
Dalam roman Larasati ini tokoh Ara memiliki pekerjaan sebagai seorang
bintang film, hal ini didasarkan pada kutipan di bawah ini.
Terdengar mereka berhenti di depan pintu kamar Larasati. “Hai, bung pelayan, mana tamumu bintang film Ara?”
Terdengar langkah kaki telanjang pelayan berlarian menghampiri. Terdengar bisik-bisik tidak nyata. Kemudian langkah-langkah sepatu bot terdengar berhati-hati pergi menjauh, lenyap dalam malam kota kecil Cikampek.
Perwira piket itu menarik nafas dalam. Larasati terkejut. Begitu keras hembusan nafas itu. Baru kelihatan perwira itu tersenyum. Dan memandangnya dengan ramah – ramahnya seorang pria pada wanita yang dikehendakinya – Larasati membalas senyumnya. Kini bintang film itu mengerti: kedatangannya di Cikampek telah menjadi berita yang diketahui setiap orang… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:18 - 19).
c. Dimensi Psikologis
Salah satu unsur dari dimensi psikologis dari tokoh dalam novel atau roman adalah
mentalitas tokoh. Tokoh Ara secara mentalitas adalah seorang idealis, ia memiliki pemikiran
bahwa perjuangan tidak selamanya dengan mengangkat senjata melainkan dapat menggunakan
cara-cara yang lain seperti seni. Sebagai seorang bintang film Ara ingin menggunakan keahliannya
untuk berjuang, idealisme Ara ini terlihat dalam kutipan berikut. “Kalau surat dari Kapten Oding
itu beres, pikirnya, nanti sore aku sudah di Cikampek, besok di Jakarta, Jakarta! Oi, Jakarta! Akan
terbukti nanti apakah aku, sebagai bintang film juga sanggup berjuang dengan seniku atau tidak.”
(Pramoedya Ananta Toer, 2003:9).
Data lain yang mendukung mengenai idealisme Ara terhadap perjuangan juga terlihat dari
kutipan di bawah ini.
… Ia diam saja. Justru karena itu Larasati makin merasa panas. Ia sendiri telah mainkan cerita-cerita perjuangan dan hiburan di tempat-tempat yang sama sekali tidak penting di masa damai, biarpun tidak ada di peta bumi tempat dia
22
bermain! Tidak ada pengagum, tidak ada pemuja, tidak ada honorarium barang sepeser – cuma makan nasi keras dan ikan asin, dan transpor di atas truk yang berdesak membanting-banting! Kadang-kadang tepuk-tangan pun tidak – karena penduduk dusun belum biasa bertepuk-tangan, lebih biasa menerima segala diam-diam dengan hatinya. Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di jaman Revolusi ini hanya terletak pada kepalang-merahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya iapun dapat berbakti pada Revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri (Pramoedya Ananta Toer, 2003:26).
Ara juga adalah seorang yang simpatik pada perjuangan, perasaan simpatik itu terlihat
ketika ia menangis melihat anak-anak muda yang rela mati demi kemerdekaan. Hal ini tampak
dalam kutipan di bawah ini.
“Waktu selendang merah itu ia singkirkan dari wajahnya, nampak olehnya anak-anak muda yang nanti, besok, atau lusa mungkin tewas, tanpa mengenal kesenangan-kesenangan yang banyak dikenyamnya selama ini. Dua butir air mata menitik pada wajahnya. Sekarang aku bukan pemain sandiwara, ia tersedan-sedan dalam renungannya – sekarang aku sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:28).
2. Mardjohan
Tokoh Mardjohan dalam roman Larasati adalah sebagai tokoh tambahan
yang kehadirannya dalam cerita memiliki keterkaitan dengan tokoh utama.
Kehadiran tokoh Mardjohan dalam roman Larasati adalah sebagai pemicu
timbulnya konflik pada diri tokoh Ara.
a. Dimensi Fisiologis
Gambaran fisik mengenai tokoh Mardjohan dalam roman ini adalah bahwa ia adalah
seorang laki-laki. Hal ini didasarkan pada nama Mardjohan yang merupakan nama orang yang
beridentik laki-laki. Hal ini didasarkan pada kutipan berikut. “Larasati menyeka mukanya dengan
selendang tengik itu. Menajamkan pandang pada pendatang. Tapi ia pura-pura tak peduli. Dia juga
pengkhianat,bisik hatinya. Ia kenal dia: Mardjohan – di jaman Jepang seorang announcer…”
(Pramoedya Ananta Toer, 2003:34).
b. Dimensi Sosiologis
Tokoh Mardjohan adalah seorang announcer atau penyiar pada waktu penjajahan Jepang,
pada waktu itu pekerjaan seorang announcer adalah melakukan propaganda untuk kepentingan
Jepang.
Larasati menyeka mukanya dengan selendang tengik itu. Menajamkan pandang pada pendatang. Tapi ia pura-pura tak peduli. Dia juga pengkhianat, bisik hatinya. Ia kenal dia: Mardjohan – di jaman Jepang seorang announcer. Sebentar ia bakal banjir propaganda dari mulutnya yang jorok, ia memperingatkan dirinya sendiri. Kalau didiamkan, dia akan
23
bertekuk lutut. Tapi merajalelea kalau dilayani. Siapa orang film yang tak kenal dia? (Pramoedya Ananta Toer, 2003:34).
Pada waktu pendudukan Belanda Mardjohan menjadi seorang produser dan juga
sutradara film. Ia membuat film dokumentasi untuk kepentingan propaganda Belanda, seperti
terlihat pada kutipan berikut.
“Kau sudah bikin film?” “Aku sekarang produser, sutradara – segala-galanya.” Waktu dia cerita kebesarannya Larasati tak tertarik.
Segera Mardjohan mengubah pokok, “Nanti aku perkenalkan kau dengan tuan kolonel Surjo Sentono. Dia yang kasih petunjuk bagaimana mendokumenkan pengungsi-pengungsi yang tidak tahan di daerah pedalaman ke daerah pendudukan kerajaan. Mereka berbahagia di bawah lindungan artileri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:35).
c. Dimensi Psikologis
Tokoh Mardjohan secara psikologis dalam roman ini digambarkan sebagai
seorang pribadi yang memiliki mental oportunis, seorang yang hanya mengambil
keuntungan dari situasi penjajahan. Pada waktu pendudukan Jepang ia menjadi
seorang announcer atau penyiar yang melakukan propaganda bagi kepentingan
Jepang. Ketika Sekutu datang mengusir Jepang ia berpihak kepada Nica dan
menjadi seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas membuat film
dokumenter untuk kepentingan propaganda tentara Nica.
Ketika Jepang diusir oleh tentara Sekutu, Mardjohan dapat selamat dan
menjadi seorang sutradara berkat jasa seorang mayor besar. Pada masa
pendudukan Jepang Mardjohan pernah membantu menghubungkan seorang
mayor besar dengan anak perempuannya.
Mardjohan meremas-remas kedua belah tangannya untuk mendapatkan kekuatan. Tiba-tiba hati berkisar begitu sentimental, meneruskan kata-katanya: Waktu Revolusi pecah segera mayorbesar Surjo Sentono dibebaskan oleh Sekutu dari kamp Jepang, menggabungkan diri dengan Nica. Maria Magdalena Sentono lari, menggabungkan diri dengan korps mahasiswa – melakukan perlawanan terhadap Nica. Dua manusia dari satu darah berhadap-hadapan sebagai musuh. Ayah dan anak. Sang ibu tinggal menangis. “Aku lepaskan cintaku pada Maria. Aku berpihak pada ayahnya.” “Kau cerdik!” tiba-tiba Ara menuduh. “Cerdik.”
24
“Setelah kau dapat kedudukan dari ayahnya kau bakal dapat wanita manapun juga kau suka, selain si nona, selain aku. Dan besok atau lusa kalau berpihak pada Revolusi, bukan karena kau telah sadar, tapi karena mau ikut mendapatkan kemenangan.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:55). Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Mardjohan hanya
mencari keuntungan pribadi dari situasi penjajahan. Mardjohan menjadi seorang
announcer pada masa penjajahan Jepang, ketika Sekutu datang mengusir Jepang
Mardjohan berpihak kepada Sekutu dan menjadi seorang sutradara film untuk
kepentingan Nica. Bahkan Mardjohan rela melepaskan kekasihnya yang
tergabung dalam korps mahasiswa demi berpihak kepada Nica.
3. Pemimpin Pemuda
Tokoh Pemimpin Pemuda dalam roman ini adalah tokoh tambahan, tokoh
ini mempunyai peran dalam kisah perjalanan hidup Ara. Kehadiran Pemimpin
Pemuda ini hanya sebentar dalam cerita, namun kehadirannya sangat berarti bagi
tokoh Ara. Ia mengajarkan pada Ara tentang keberanian dan perjuangan.
a. Dimensi Fisiologis
Gambaran fisik mengenai Pemimpin Pemuda ini adalah seorang anak muda berusia tujuh
belasan, seperti terlihat dari kutipan berikut, “Beberapa orang pemuda berpakaian preman dengan
cepat menyeretnya ke beranda. Seorang anak muda, lebih cocok disebut kanak-kanak usia tujuh
belasan, yang nampak jadi pemimpin mereka…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:88 - 89).
Pemimpin Pemuda dalam roman ini juga digambarkan sebagai seorang pemuda yang
bertubuh kurus, seperti terlihat dari kutipan berikut. “Sampai di depan rumah ibunya, Martabat
datang menolong. Pemimpin itu, pemuda yang kurus berumur belasan tahun itu, diletakkan di atas
ambin Lasmidjah. Larasati menyeka pelipisnya dan menyuruh ibunya mengambilkan air bersih.”
(Pramoedya Ananta Toer: 2003:107).
b. Dimensi Sosiologis
Tokoh Pemimpin Pemuda adalah seorang pemuda yang tinggal di kampung ibu
Lasmidjah atau ibunda Ara, kampung tempat Ara tinggal selama ada di daerah pendudukan. Tokoh
25
ini adalah seorang pemuda yang memimpin dan menggerakkan para pemuda untuk melakukan
perlawanan terhadap tentara Nica. Hal ini terlihat pada kutipan berikut, “Beberapa orang pemuda
berpakaian preman dengan cepat menyeretnya ke beranda. Seorang anak muda, lebih cocok
disebut kanak-kanak usia tujuh belasan, yang nampak jadi pemimpin mereka…” (Pramoedya
Ananta Toer, 2003:88 - 89).
c. Dimensi Psikologis
Tokoh Pemimpin Pemuda ini adalah seorang pemuda yang memiliki
mental pemberani. Meskipun bertubuh kurus ia berani memimpin para pemuda
dalam melakukan penyergapan terhadap patroli Nica. Ia merasa dendam terhadap
bangsa asing yang menjajah tanah air yang dicintainya.
“Jangan takut. Duduk biar tidak berbunyi. Kau tidak punya dendam pada mereka, karena itu takut. Kau mesti pikir, bagaimana orang-orang lain mereka bunuh. Kau harus bunuh mereka,” bisik pemimpin itu. “Jangan anggap mereka itu manusia berakal. Pandang saja sebagai ayam-ayam yang datang ke dapur. Beri sedikit jagung, mau? Dan mereka tewas. Cuma begitu saja. Lebih tidak. Kau takut Tabat?” “Aku pernah bertempur.”
“Suaramu gemetar. Kau tidak punya rasa dendam? Kalau orang cintai tanah airnya dia mesti dendam pada musuh tanah airnya. Dia takkan takut…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:97).
Keberanian Pemimpin Pemuda ini juga ditunjukkan dengan pernyataannya bahwa ia rela mati demi perjuangan,
demi anak-anak yang belum dilahirkan. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut.
Dari kejauhan terdengar seorang bayi menangis ngilu. “Kau punya anak?” Pertanyaan itu mengagetkan Larasati untuk kesekian kalinya. Anak! Sebelum Ara sempat menjawab, pemimpin pemuda itu telah meneruskan: “Ingat, buat dialah kami semua rela mati. Kami semua tidak pernah tidur selama ini – satu demi satu kawan-kawan kami tewas,” tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi, “Kau punya anak?”
“Belum.”
“Kalau kau punya anak kau akan mengerti lebih banyak apa kataku. Mengerti? Juga buat anakmu yang belum lahir kami lakukan perjuangan ini,” (Pramoedya Ananta Toer: 2003:99).
4. Pemuda Arab/ Jusman
Tokoh Pemuda Arab adalah tokoh tambahan yang berpengaruh terhadap
kehidupan Ara ketika di Jakarta, kehadiran tokoh ini berpengaruh besar bagi Ara.
26
Jusman adalah orang yang menyekap Ara dan ibunya, sehingga Ara harus
merelakan keinginannya untuk terlibat dalam perjuangan.
a. Dimensi Fisiologis
Tokoh Pemuda Arab adalah seorang laki-laki keturunan bangsa Arab. Ia memiliki tubuh
tinggi besar, gagah, dan hidung mancung yang merupakan tipe fisiologis bangsa Arab. Gambaran
fisik tokoh Pemuda Arab ini didasarkan pada kutipan di bawah ini.
“Nenek bersiap hendak masuk ke dalam. Degupan jantung Larasati bertambah kencang. Tamu itu kini nampak jelas melela dihadapannya: tinggi besar, gagah, bercelana wol berkemeja putih rambutnya berombak hidungnya mancung – terlalu mancung, kulitnya kehitam-hitaman dan – matanya kuning. Waktu tamu itu pergi. Larasati terjatuh lemas di balik daun pintu.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:118 - 119). Ciri fisik yang paling menonjol dari tokoh Pemuda Arab ini adalah matanya yang
berwarna kuning. Dari ciri inilah Ara akan mengenal siapa sebenarnya Pemuda Arab ini.
Selama tamunya bicara, Ara mengawasi matanya yang kuning. Tamu itu sebentar-sebentar menunduk atau membuang muka. Mengapa matanya begitu kuning kalau dia tidak sakit kuning? Kena racun rokok? Waktu ia meneliti tangan pemuda itu nampak ujung telunjuk dan jari tengahnya kehitam-hitaman bercampur sedikit kuning (Pramoedya Ananta Toer, 2003:130). Tokoh Pemuda Arab ini ternyata bernama Jusman, ia memperkenalkan diri kepada Ara
ketika ingin meminta kepada Ara untuk menjadi penyanyi pada orkes gambusnya.
“Kami tiadalah jahat, nona. Kami mempunyai orkes gambus. Tentu nona mau menyanyi buat orkes kami.” ……… “Aku bukan penyanyi. Biarpun menyanyi juga bukan gambus.” “Kami juga baru mulai, nona. Tak perlu nona takut. Banyak orang ternama dalam orkes kami. Ada tuan Alayctrus, tuantanah Tanah Abang. Ada tuan Husain dari Krukut. Dan aku sendiri Jusman, nona. Aku memang orang Arab, tapi tak biasa pakai nama suku. Tidak senang, kaya orang kolot.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:131).
b. Dimensi Sosiologis
Tokoh Pemuda Arab atau Jusman adalah seorang mata-mata bagi tentara Nica, ia
bertugas menunjukkan siapa saja orang-orang yang terlibat dalam penyergapan-penyergapan
terhadap tentara Nica yang dilakukan oleh para pemuda. Pada waktu melakukan tugas ini ia
menggunakan penutup kepala berbentuk seperti sarung guling yang hanya dilubangi pada bagian
matanya. Meskipun menggunakan penutup kepala, ia dapat dikenali karena matanya yang
berwarna kekuning-kuningan, seperti terlihat dari kutipan di bawah ini.
27
Mereka pergi ke ujung depan barisan orang dijemur itu. Setiap kali meneliti seseorang, orang dari balik sarung guling itu menggeleng. Pada waktu ia mengangguk seseorang dikeluarkan dari barisan. Orang itu adalah kakek Mo. Sampai di hadapan Larasati, opsir itu berjalan terus seakan tidak tahu atau tidak mau tahu. Tetapi mata dari dalam sarung guling itu mengawasinya dengan berapi-api. Dingin seluruh tubuh bintang film itu. Apa yang ada di balik mata yang kekuning-kuningan itu? Maut? Siksa? Dendam? Ancaman? Larasati menunduk ngilu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:112).
c. Dimensi Psikologis
Dalam roman ini digambarkan bahwa Jusman adalah seorang oportunis, orang yang
hanya mengejar keuntungan dari sebuah situasi atau keadaan. Hal ini didasarkan pada kutipan di
bawah ini.
“… aku sendiri Jusman, nona. Aku memang orang Arab, tapi tak biasa memakai nama suku. Tidak senang, kaya orang kolot.” Larasati terus mengawasi tamunya. “Yang bertempur, bertempur, yang main gambus, main gambus. Kami tidak tak tahu urusan pertempuran. Itu urusan Belanda. Kami orang Arab, tidak mau turut campur. Kami takkan mendapat keuntungan apa-apa dari semua itu. Ngomong-ngomong, mengapa nona mengawasi aku saja?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:131).
5. Chaidir
Tokoh Chaidir dalam roman ini adalah tokoh tambahan, kehadirannya hanya sebentar
namun memiliki peran bagi keberadaan tokoh Ara. Kehadiran Chaidir dalam hidup Ara adalah
mengajarkan dan membangkitkan semangat revolusi bagi Ara.
a. Dimensi Fisiologis
Gambaran fisik yang didapat dari tokoh Chaidir adalah seorang pemuda yang berbadan
kerempeng dan matanya merah seperti terlihat pada kutipan di bawah ini.
Suara yang mengandung simpati dan teguran mau tak mau menarik perhatiannya. Ia tegakkan duduknya. Tiba-tiba merasa malu: mungkin sekali ini ia duduk merosot di tempat umum. Biasanya ia selalu tunjukkan harga dirinya, juga dalam gaya duduknya. Ia tatap pria yang duduk di sampingnya. Sepasang mata merah yang menyala-nyala. Ara segera meruntuhkan pandangnya. Siapa pria bermata merah ini? Apakah dia kalong yang tak bersayap yang tak pernah pejamkan matanya? Siapa dia? Dan sebelum pikirannya bekerja mengingat-ingat, pemuda bermata merah itu meneruskan, “Chaidir, kau tak pernah dengar nama Chaidir?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:136).
b. Dimensi Sosiologis
Tokoh Chaidir berdasarkan profesi ataupun perannya dalam masyarakat adalah seorang
penyair. Ara mengenal sosok Chaidir sebagai seorang penyair sewaktu berada di Yogya.
28
“Chaidir. Masa kau tidak kenal? Aku penyair.” Bulu badan Ara meremang. Rupa-rupanya anak kecil dekil bermata merah ini yang banyak goncangkan pendapat-pendapat di dunia sandiwara di Yogya. Ha, ia sekarang ingat. Ia duduk di kejauhan. Chaidir duduk di samping kepala redaksi majalah Arena di depan perdana menteri yang juga setinggi Chaidir, hanya gemuk dan juga tidak bermata merah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:136 - 137).
c. Dimensi Psikologis
Chaidir adalah seorang penyair yang memiliki idealisme bahwa seni dapat memberikan
sumbangan pada revolusi. Chaidir yakin bahwa sandiwara yang merupakan bagian dari seni dapat
mengobarkan semangat api revolusi.
… Chaidir duduk di samping kepala redaksi majalah Arena di depan perdana menteri yang juga setinggi Chaidir, hanya gemuk dan tidak dekil, dan tidak bermata merah. “Sandiwara?” kata perdana menteri, “apa yang bisa diperbuat sandiwara dalam masa orang tidak membutuhkan seni apapun juga sekarang ini?” Dan Chaidir dengan berapi-api membela seakan-akan sandiwara itu adalah dirinya sendiri, “dalam keadaan bagaimanapun setiap orang membutuhkan segala-galanya. Berikan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan padamkan api Revolusi. Berikan minyak pada api itu!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137). Analisis mengenai tokoh dan penokohan dalam roman Larasati di atas diperoleh
deskripsi mengenai tokoh-tokoh yang memiliki karakteristik tiga dimensional. Dalam roman ini
tokoh Ara adalah tokoh utama yang kehadirannya sangat menentukan perkembangan alur secara
keseluruhan. Tokoh-tokoh lain yang hadir dalam roman ini merupakan tokoh tambahan yang
permunculannya lebih sedikit, kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini mempengaruhi perkembangan
plot karena keberadaannya dibutuhkan untuk memunculkan keberadaan tokoh utama. Berdasarkan
perumusan masalah pada bab sebelumnya, kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini juga memiliki
keterkaitan dengan tokoh utama dalam menciptakan konflik. Hasil dari analisis ini bertujuan untuk
mempermudah dan mensistematiskan pada analisis psikologis selanjutnya.
29
Kepribadian Tokoh Ara Dilihat dari
Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud Pada bagian ini, untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kepribadian
tokoh Ara akan digunakan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud tentang
struktur kepribadian. Menurut Freud struktur kepribadian terdiri atas tiga sistem
yaitu id, ego, dan super ego. Perilaku manusia pada dasarnya merupakan hasil
interaksi antara ketiga substansi tersebut.
Kisah dalam roman ini diawali ketika Ara, seorang aktris panggung dan
bintang film yang ingin pergi ke Jakarta pada masa pendudukan Nica untuk
bermain film. Ara bertekad untuk membantu revolusi dengan kemampuannya
sebagai seorang pemain film. Ia berjanji tidak akan main untuk propaganda
Belanda melainkan untuk kepentingan revolusi.
Larasati tersenyum dan disentuhnya pipi opsir itu dengan sambil lalu. Tapi dalam bayangannya terbentang hari depan yang gilang-gemilang di daerah pendudukan Nica. Ia akan terjun kembali di gelanggang film. Dan seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke, akan bertempik sorak untuknya. seluruh pria berotak dan berjantung dari Merauke sampai ke Sabang akan memujanya, akan berebutan memiliki tubuhnya. Kembali ia tersenyum. tapi ia berjanji dalam hatinya, tidak bakal aku main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi Revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajahan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:8 - 9). Dalam perjalanannya menuju daerah pendudukan ia merenung tentang
kehidupannya di zaman Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang Ara pernah
mengenyam kehidupan yang mewah, tidak seperti saat ini bersama para pejuang
revolusi. Id yang merupakan unsur biologis dan bekerja pada prinsip kesenangan
serta kenikmatan terlihat dalam kehidupan Ara pada waktu itu.
… Setidak-tidaknya opsir-opsir Jepang masih dapat memberinya duit. Saburo Sakai, itu Letnan Kolonel Laut Jepang, sahabat bekas perdana menteri dan memimpin partai Sosialis itu yang giat menentang kolaborasi
30
dengan Jepang! Apa saja yang tak diterimanya dari dia: dari karung beras sampai gelang jamrud buatan Tiongkok dan cincin delima buatan Birma! Dan Sjimizu: dari kimono sutra komplet dengan bakiak dan kipasnya sampai pada rahasia penyerbuan Jepang ke Australia! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:11 - 12) Dari kutipan di atas, id lebih mendominasi kehidupan Ara dari pada super
ego. Pada waktu pendudukan tentara Sekutu, Ara memutuskan untuk membantu
perjuangan revolusi dengan kemampuannya sebagai seorang bintang film karena
secara moral sebagai orang yang bertanah air Ara harus ikut berjuang untuk tanah
airnya. Hal ini merupakan bentuk dari kerja super ego dalam mendorong ego
untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dari pada realitas.
… Jakarta! Oi, Jakarta! Aku boleh seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film gagal! Tapi beradat! Tidak. Aku juga punya tanah air. Aku Larasati, bintang Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu akan membuat aku berkulit putih. Apakah sebutan itu cuma tantangan kaum pria, kalau aku milik siapa saja? (Pramoedya Ananta Toer, 2003:12). Dari kutipan di atas nampak bahwa super ego yang merupakan aspek
sosiologi kepribadian yang menentukan benar tidaknya suatu tindakan
berdasarkan moral masyarakat, mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang
bersifat moralitas. Ara tidak mempedulikan bahwa ia dulu seorang pelacur,
seorang sampah masyarakat, ia tetap yakin bahwa ia akan berjuang demi revolusi
dan tidak akan berkhianat pada tanah airnya. Hal tersebut juga terlihat dalam
kutipan berikut. “… Nanti juga – di bumi penjajahan. Bekasi yang bakal
menentukan! Bekasi! Tapi biar bagaimanapun, aku tidak akan berkhianat. Aku
juga punya tanahair. Jelek-jelek tanahairku sendiri, bumi dan manusia yang
menghidupi aku selama ini. Cuma binatang ikut Belanda.” (Pramoedya Ananta
Toer, 2003:13).
31
Dari kutipan di atas terlihat bahwa ego sebagai eksekutif kepribadian telah
mendorong pribadi Ara untuk menentukan dirinya sebagai seorang pejuang. Ara
merasa bahwa tanah airnya yang selama ini telah memberinya makan, dan ia tidak
pantas berkhianat pada tanah airnya.
Ketika kereta yang ditumpanginya sampai di Cikampek Ara langsung
menuju ke penginapan di desa Pucung. Di penginapan ini ia kedatangan tamu
seorang perwira piket yang ingin melakukan pemeriksaan.
… Sebelum ia dapat senyum, perwira piket itu telah duduk di atas kasur ranjang yang begitu dekil. Larasati mencoba membohongi ketakutannya dengan merayu, tetapi ketakutan lebih berkuasa atas seluruh kehadirannya. Cilampek ini, terkenal di Yogya sebagai tempat seram., di mana prajurit muda begitu garang dan berhati dingin. Ia lebih suka berhadapan dengan raksasa membawa belati telanjang di tangan, asal wajahnya merah segar, tidak pucat. Setidak-tidaknya si merah segar akan dapat dibalikkan kepalanya dalam satu atau dua sekon (Pramoedya Ananta Toer, 2003:16 - 17).
Dari kejadian tersebut terlihat bahwa rasa takut yang merupakan
representasi id menuntut untuk direduksi. Ara berusaha mereduksikan tegangan
tersebut dengan membentuk khayalan tentang objek yang ingin direduksikan.
Namun ketika proses ini tidak dapat menjawab kebutuhan untuk memenuhi
tuntutan ini maka berkembang proses baru yaitu ego mulai terbentuk. Ego yang
merupakan pelaksana kepribadian yang berhubungan dengan dunia luar bekerja
berdasarkan realitas dan berpikir logis, ego akan berusaha untuk mereduksi rasa
takut seperti terlihat pada kutipan berikut.
Perwira piket itu menjarah wajahnya dengan pandangnya. Larasati menggigil tak kentara. Dicurinya pandang pada kolt telanjang. Tapi opsir muda itu nampak tak ada niat untuk menggunakannya. “Tidak diperiksa, pak?” piket itu tak memperhatikan kopernya. “Surat keterangan,” perintahnya. Ia merasa lega sedikit. Setidak-tidaknya suaranya tak mengandung kekejaman. Buru-buru ia ambil surat keterangan dari tas tangannya. Opsir itu menerimanya, hanya menatap wajahnya tajam-tajam. Waktu ia dapat
32
menangkap kobaran berahi pada mata si wajah pucat itu, ia mulai dapat menguasai dirinya. Ia tak berbeda dengan laki-laki lainnya. Larasati berusaha membujuk (Pramoedya, 2003:17). Setelah Ara mampu mengendalikan rasa takutnya, ia kemudian leluasa
bercakap-cakap dengan tamunya itu. Dari percakapan itu, akhirnya perwira piket
meminta Ara untuk membantunya mencarikan informasi mengenai ajudan serta
pembantunya yang hilang ketika sedang bertugas mencari perbekalan untuk seksi
yang dipimpinnya. Perwira piket itu bercerita tentang kesulitan-kesulitan yang
dialami seksinya, termasuk ketika harus mencari perbekalan sendiri untuk
seksinya.
“Mengapa perbekalan mesti cari sendiri?” tiba-tiba Ara bertanya. “Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi. Rencana-rencanaku kandas di laci-laci. Tapi kau tahu sendiri – itu semua di Yogya lebih banyak kukira. Angkatan tua itu sungguh-sungguh bobrok!” ia bangkit berdiri, menatap Ara dengan berahinya, dan meneruskan dengan suara menyesal: “Setiap replubikein mestinya republikein sejati. Satu kesalahan bisa membuat dia jadi khianat tanpa maunya sendiri. Kapan kau berangkat ke Jakarta?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:22).
Pernyataan perwira piket tersebut sangat berpengaruh bagi Ara. Super ego
yang merupakan aspek sosiologi kepribadian dan fungsinya menentukan benar
tidaknya suatu tindakan berdasarkan moral masyarakat, mendorong ego Ara
mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dengan tetap konsisten untuk berjuang
demi revolusi. Dari pertemuannya dengan perwira piket inilah Ara belajar untuk
menjadi republikein, dan seorang republikein sejati tidak akan melakukan korupsi
dan berkhianat pada revolusi.
Ara akhirnya meninggalkan Cikampek tanpa mendapatkan kesulitan.
Dengan diantar oleh perwira piket itu, ia menuju ke stasiun untuk meneruskan
perjalanannya ke Jakarta.
33
“Revolusi pasti menang!” Ara menjerit menjawab. Mata piket itu nampak bertanya-tanya menyelidiki: Apa akan kau kerjakan? Dan segera ia menjerit untuk kedua kalinya. “Aku juga berjuang dengan caraku sendiri.” Waktu kereta telah berangkat itulah ia berpikir orang seperti aku, bagaimana pun buruk namanya, dia tidak mungkin bakal berkhianat. Berkhianat pada Revolusi ini berarti juga berkhianat pada diri sendiri, pada publik yang membayarnya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:25 - 26). Dari kutipan di atas terlihat bahwa keyakinan Ara untuk berjuang sangat
kuat. Ia akan berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang pemain film dan
tidak akan berkhianat pada revolusi. Di sini ego sebagai eksekutif dari kepribadian
telah mendorong pribadi Ara untuk menemukan dirinya sebagai seorang seniman
yang akan berjuang untuk revolusi.
Hal yang sama seperti sikap Ara di atas juga nampak ketika ia bertemu
dengan orang tua cacat di atas kereta ketika sedang meninggalkan Cikampek.
… Orang tua itu hanya berkaki sebelah. Dua orang pemuda beruniform, kedua-duanya berpangkat kapten memapah orang tua itu. Larasati tak sempat meminta maaf atas kekeliruannya. Waktu turun dari gerbong, orang tua cacat itu disambut oleh satu seksi barisan kehormatan… Dalam hati ia mengagumi si tua yang tak ketahuan nama, pekerjaan, dan pangkatnya. Mungkin seorang menteri. Mungkin seorang Inspektur Jenderal dalam pakaian preman. Secacat itu, tapi dia masih berjuang! Mestinya perjuanganku lebih dari dia. Aku tak cacat. Lebih – mesti! Lebih – mesti! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:27).
Dari pertemuannya dengan orang tua cacat ini, super ego mendorong ego
untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas serta melaksanakan ukuran
moralnya dengan memberikan rasa bersalah. Ara meyaksikan seorang tua yang
cacat namun masih tetap berjuang, hal ini semakin meyakinkan dirinya untuk
tetap berjuang melebihi orang tua cacat itu karena Ara akan merasa bersalah kalau
tidak membantu perjuangan.
34
Sesampainya di Bekasi kereta berhenti untuk dilakukan pemeriksaan oleh
serdadu Nica. Para opsir melakukan pemeriksaan terhadap setiap penumpang
untuk menangkap para pengikut Soekarno. Dalam pemeriksaan ini akhirnya
sampai giliran Ara untuk diperiksa.
Waktu Larasati sampai di depan tenda, seorang inlander mendorong wanita di belakangnya. Dengan demikian ia masuk seorang diri. Untuk memberanikan dirinya ia remas-remas selendang merah pemberian pejuang sebentar sebentar tadi. Di hadapannya duduk seorang sersan inlander berkulit lebih hitam daripadanya sendiri, mengkilat, bermandi keringat … “Buka baju!” perintah sersan hitam mengkilat itu. “Buat apa?” Larasati memberontak. “Buat apa? Buka semua! Cepat! Anjing-anjing Soekarno suka berlagak goblok.” Garang benar kelihatannya, pikir Larasati. Dia Cuma pembunuh bayaran. Melihat aku sebagai anjing. Mungkin matanya bukan mata orang, mata anjing, maka manusia kelihatannya sebagai anjing, itulah dia tuannya. Kalau Cuma cari makan dan pakaian mengapa jadi pembunuh dan penghina orang? Kan aku juga cari makan dan pakaian? Orang-orang macam dia ini mungkin lebih bodoh daripada kerbau. Paling tidak kerbau tidak membunuh sesamanya. Waktu melihat Ara tak mengikuti perintahnya, ia bangkit. Matanya berapi-api. Ditariknya kain kurbannya. Tangan Ara menangkis. Selendang merahnya jatuh. “Binatang!” Ara memekik. (Pramoedya Ananta Toer, 2003:33 - 34). Dari peristiwa di atas terlihat id Ara menuntut untuk direduksi, ego
berusaha untuk mereduksinya dengan mencari objek pemuasan dengan meremas-
remas selendang. Namun usaha itu tidak begitu berhasil sampai akhirnya super
ego berperan untuk mendorong ego Ara untuk melakukan penolakan dengan cara
menangkis tangan sersan inlander tersebut. Di sini terlihat bahwa ego berperan
menjadi perantara antara kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan.
Di stasiun Bekasi inilah Ara bertemu dengan Mardjohan. Seorang
announcer pada masa pendudukan Jepang, dan sekarang Mardjohan adalah
seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas membuat film
35
dokumenter untuk kepentingan Nica. Sebelumnya Mardjohan sudah mengenal
Ara sebagai seorang bintang film. Mardjohan selama ini berusaha mencari Ara
untuk diajak bermain film sampai akhirnya bertemu di stasiun Bekasi.
Segera Mardjohan mengubah pokok, “Nanti, aku perkenalkan kau dengan tuan kolonel Surjo Sentono. Dia yang kasih petunjuk bagaimana mendokumenkan pengungsi-pengungsi yang tidak tahan di pedalaman ke daerah pendudukan kerajaan. Mereka berbahagia di bawah lindungan artileri. Kolonel tulen dari kenil. Opsir artileri paling cakap di seluruh Asia. Ayoh, aku bawakan kopormu. Mari kuperkenalkan dengannya.” “Kau gila.” “Lebih baik kau pikirkan keselamatanmu.” Mardjohan mulai mengancam. “Lihat, semua orang mengawasi kau. Juga tuan kolonel – itu, di stasiun sana ia bawa tongkat.” Larasati menyadari benarnya ancaman. Ia menunduk. Lambat-lambat ia ikuti langkah Mardjohan – menghadap tuan kolonel (Pramoedya Ananta Toer, 2003:35). Pertemuan ini memaksa Ara untuk mengikuti kemauan Mardjohan. Di satu
sisi id mendapatkan tegangan ketika mendapatkan ancaman sedangkan super ego
mendorong Ara untuk tidak akan berkhianat terhadap perjuangan. Di sini
dorongan id lebih kuat dari pada super ego sehingga ego yang merupakan
pelaksana kepribadian mendorong Ara untuk mengikuti perintah Mardjohan untuk
bertemu dengan kolonel.
Pertemuan dengan kolonel akhirnya membawa Ara menuju ke penjara.
Kepergiannya ke penjara adalah atas perintah kolonel untuk melihat kondisi para
tawanan sehingga akan membuat Ara takut dan mau mengikuti kemauan tuan
kolonel untuk bermain film.
“Husy. Kau mengerti maksudku.” “Tidak, tuan kolonel.” “Tidak? Ara, penjara tidak cocok bagimu.” “Entahlah tuan kolonel. Belum pernah aku alami.” “Mau coba?” Larasati berdebar-debar. Tak ada guna bicara tentang pokok semacam ini. Aku datang ke bumi penjajahan bukan untuk masuk penjara. Aku datang
36
untuk kembali memasuki dunia film. Ia takut. Penjara berarti kematian (Pramoedya Ananta Toer, 2003:40). Dari kutipan di atas terlihat bahwa id kembali mendominasi Ara. Id yang
berprinsip pada kesenangan dan kenikmatan akan melakukan penolakan terhadap
hal-hal yang tidak menyenangkan. Dorongan id yang kuat ini akhirnya
mendorong Ara untuk mengikuti Mardjohan pergi ke penjara.
Dalam perjalanannya ke penjara, Mardjohan berusaha mempengaruhi Ara
untuk tetap mau bermain film. Mardjohan tidak hanya membujuk secara halus
melainkan juga mengancam bahwa ia sanggup membunuh Ara, namun Ara
berusaha untuk tetap berani dan tidak terpengaruh terhadap ancaman tersebut. Ego
Ara berusaha mengendalikan rasa takut seperti terlihat pada kutipan berikut.
Mobil melambatkan jalannya untuk memberi jalan pada sebuah truk militer dari empat setengah ton, yang terengah-engah membawa muatan batangan-batangan besi. Udara mulai mengandung kadar air berat. Panas merajalela di dalam mobil besar dan megah itu. Tetapi Larasati mencoba tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan di luar dirinya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:43). Ara mendapatkan pengertian mengenai pribadi Mardjohan sebagai seorang
oportunis, orang yang hanya mencari keuntungan pribadi dari situasi penjajahan.
Tetapi sementara itu bintang film itu mendapat pengertian tentang bangun dari bumi penjajahan: hancur-menghancurkan! Sedang mereka yang tidak dihancurkan, mereka yang tidak menghancurkan, adalah yang jadi landasan hidup binatang ini. “Tak ada gunanya dibicarakan terus, Ara.” Mardjohan memutuskan. Ia geserkan duduknya. Mendekat. Kian mendekat. Berapatan. “Kita bisa jadi sekutu yang baik! Kau dan aku.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:43).
Setelah mengenal siapa sebenarnya sosok Mardjohan yang seorang
pengkhianat dan juga oportunis, hal tersebut tidak membuat Ara berhenti berjuang
dan berkhianat terhadap revolusi. Hal ini menunjukkan bahwa super ego
37
mendorong ego Ara untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas, seperti
terlihat pada kutipan di bawah ini.
Dan Larasati tidak membantah. Bumi penjajahan ini membuat aku kian detik kian berpikir. Tak pernah demikian sebelumnya. Tak pernah ia meneropong dirinya sendiri. Kini ia dapatkan gambaran tentang dirinya sendiri agak jelas, kadang samar: menolak seluruh bentuk penjajahan apapun. Ia tak membutuhkan kehancuran orang lain dan dirinya sendiri. Ia inginkan suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya dengan kecakapan satu-satunya yang dimilikinya: main film. Bagaimanapun juga kotornya namaku aku akan tetap dapat berguna. Kotor? Tiba-tiba ia memberontak terhadap dirinya sendiri. Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak! Negara pun tidak! Rakyat apalagi! Yang aku kotori hanya sendiri. Bukan orang lain. Orang lain takkan rugi karenanya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:44). Dari kutipan di atas terlihat bahwa super ego mampu merintangi impuls-
impuls id dan mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas.
Aktivitas super ego terlihat pada sikap Ara ketika melakukan observasi terhadap
dirinya sendiri. Ara menginginkan kehidupan damai tanpa penjajahan dan ia ingin
membaktikan diri pada perjuangan serta tidak akan mengotori perjuangan itu
sendiri.
Dorongan super ego untuk merintangi impuls-impuls id pada diri Ara dan
menciptakan dunia menurut gambarannya sendiri juga terlihat pada kutipan
berikut.
Larasati meneruskan renungannya: mengapa dunia ini begini penuh iga manusia busuk? Hanya karena mau hidup lebih sejahtera daripada yang lain? Apakah kesejahteraan hidup sama dengan kebusukan buat orang lain? Alangkah sia-sia pendidikan orangtua kalau demikian. Alangkah sia-sia pendidikan agama. Alangkah sia-sia guru dan sekolah-sekolah… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:48). Di penjara ini Ara bertemu dengan para tawanan yang kondisinya sangat
memprihatinkan. Ketika Ara bertemu dengan tawanan yang sakit parah, ia
mendapatkan gambaran mengenai tidak adanya keadilan di bumi penjajahan ini.
38
Dan sersan itu menghilang. Bintang film itu menghampiri tawanan itu. Meraba kakinya: panas di atas 41 derajat. Orang ini akan segera mati, pikir Larasati. Mati, berhadapan dengan pembunuhnya sendiri. Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan. Larasati ingin menghibur orang sakit itu. Orang telah jatuh di medan perjuangan – dia tidak bakal menyaksikan kemenangan. Mungkin beranak, mungkin beristeri. Mungkin juga tidak sama sekali. Namun ia berjuang…(Pramoedya Ananta Toer, 2003:60). Dari kutipan di atas terlihat bahwa super ego mendominasi pikiran Ara.
Super ego sebagai aspek sosiologi kepribadian dan merupakan wakil dari nilai-
nilai tradisional masyarakat mempengaruhi ego Ara dalam memahami situasi
yang sedang dialaminya sekarang, yaitu mengenai tidak adanya keadilan di negeri
yang sedang di jajah ini.
Setelah selesai menyaksikan keadaan penjara, akhirnya Ara minta untuk
pulang ke rumah ibunya. Ia diantarkan oleh seorang sersan sopir inlander. Di
dalam mobil ia kembali merenungi atas apa yang dialaminya selama satu hari
kemarin.
Larasati menjauhkan mukanya pada pangkuan. Dalam sehari kemarin ia hidup dalam suasana ketakutan yang baru sekali ini dialaminya: begitu panjang, serasa tiada kan habis-habisnya. Dan sehari ini, walaupun merangkak begitu lambat, penuh kengerian, kebencian, kebuasan, kebinatangan. Kalau aku tak memiliki tubuh indah dan wajah cantik mungkin aku jadi sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan dalam penjara itu. Atau justru karena kedua-duanya aku jadi begini? Ia menggeleng lemah. Mungkin ini akan terus dialami diriku sampai hilang keindahan dan kecantikanku (Pramoedya Ananta Toer, 2003:66 - 67).
Dari peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya selama satu hari kemarin
tampak bahwa ego Ara mampu mereduksi impuls-impuls id dengan cara
menghubungkannya dengan dunia luar dan berpikir secara realistis. Ara berpikir
bahwa andai kata ia tidak memiliki kecantikan dan keindahan tubuh maka ia
39
sudah mati seperti yang lain. Sampai saat ini ia masih hidup karena orang-orang
masih ingin memanfaatkan kecantikannya sebagai seorang bintang film.
Sebelum sampai di rumah ibunya, sersan sopir yang mengantarnya pulang
menghentikan mobil di sebuah rumah makan Tionghoa untuk mengatakan suatu
hal kepada Ara. Sersan sopir tersebut menyatakan akan mencari hubungan dan
bergabung dengan pejuang di daerah pedalaman Yogya. Ia bersama beberapa
kawannya akan melarikan sebuah mobil dan beberapa senjata serta amunisi.
“Nona curiga karena pakaianku, karena pekerjaanku. Aku baru seminggu turun dari Papua, dari Sorong. Tidak tahu tentang semua ini.” “Pergilah sendiri ke seberang.” “Seberang mana, nona.” “Seberang kali Bekasi. Kau akan tahu sendiri.” “Itulah nona, aku mencari hubungan. Aku yakin nona bisa menghubungkan. Kalau tidak sia-sia saja bakalnya. Aku mau larikan mobil, dan beberapa kawan ikut serta nanti.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:69).
Sesampainya di kampung yang dituju, Ara menjumpai rumah ibunya
dalam keadaan kosong. Ara hanya bertemu dengan seorang nenek dan kakek.
Mereka mengatakan bahwa Lasmidjah – ibunya Ara bekerja sebagai seorang babu
di rumah orang Arab.
Tiba-tiba kakek itu menjadi ramah. Sambil menyerahkan uangnya kembali ia menunjuk dengan tongkatnya ke arah jalan besar dan dengan ramah pula ia berkata, “Tentu tadi sudah kau lewati. Itu di rumah baru, rumah Arab.” Ibuku jadi babu Arab! Alhamdulillah. Biarpun karena kesalahanku. “Biar aku cari sendiri sekarang,” kata Larasati (Pramoedya Ananta Toer, 2003:78).
Setelah berusaha mencari alamat yang telah diberitahukan oleh si kakek,
akhirnya Ara dapat menemukan rumah yang dicari dan dapat bertemu dengan
ibunya.
Seorang wanita tua belum lagi beruban muncul. “Bu!” Larasati berseru pelan.
40
Orang tua itu terburu-buru membuka pintu depan, menuruni jenjang rumahdan menubruk Ara. “Ara kebangetan kau. Tidak ada kabar tidak ada cerita.” Kasih sayang ibunya yang tidak pernah putus ini menyebabkan Larasati terus merasa tersiksa bila jauh darinya – biar hanya buat sehari pun! Dan ia telah tinggalkan orangtua itu lebih dari setahun. “Mari pulang, bu. Bilang dulu sama tuan. Aku tunggu di pinggir jalan.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:81). Pertemuan Ara dengan ibunya menunjukkan bahwa super ego yang
berfungsi menentukan benar tidaknya suatu tindakan dan melaksanakan ukuran
moralnya dengan rasa bersalah, membuat Ara merasa bersalah telah
meninggalkan orang tuanya selama satu tahun lebih.
Sesampainya di rumah, Ara baru sadar bahwa keadaan di daerah
pendudukan ternyata cukup susah. Ara tidak sempat untuk memikirkan apa yang
akan dimakan hari ini dan tidak mungkin Ara minta makan kepada ibunya yang
kondisinya sangat menderita.
Tiba-tiba Larasati menjadi bingung. Pertanyaan itu tak pernah dipikirkannya sebelumnya. Apa kau minta makan dari ibu yang sudah setengah kelaparan? Apa mungkin? Ia gelengkan kepalanya yang indah. Matanya runtuh di atas ujung selopnya. Tidak. Ini bukan kesulitan yang pertama-tama. Ini kesulitan biasa. Tidak, aku bilang. Aku tidak akan serahkan diri pada lelaki siapa saja. Itu biarlah dilupakan oleh masa lampau. Sedang dulu pun ia tidak pernah serahkan diri tanpa sesuka hatinya sendiri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:82 - 83). Dari keadaan yang digambarkan pada kutipan di atas tampak bahwa super
ego mampu merintangi impuls-impuls id dan mendorong ego Ara untuk tidak
menyerahkan tubuhnya hanya untuk mendapatkan makanan. Ara menyadari
bahwa kesulitan ini bukan yang pertama ia hadapi, ia sudah biasa menghadapi
kesulitan semacam ini.
Di daerah pendudukan sering terjadi pertempuran antara pemuda dan
tentara Nica. Setiap malam terdengar rentetan senjata otomatik dan ledakan
41
granat. Keadaan semacam ini tidak biasa terjadi di Yogya. Malam itu para
pemuda di kampungnya melakukan penyergapan terhadap terntara Nica yang
sedang melakukan patroli.
Dan puluhan pasang sepatu itu berderap melewatinya. Akhirnya padam setelah yang kini pengkolan gang yang lain. Sunyi sepi. Tiada cahaya. Cuma ada satu suara terdengar. Dan suara itu suara hatinya sendiri: juga di sini, pemuda berjuang. Sekutu – Belanda, Inggris, setiap hari mendapat kemenangan selangkah demi selangkah. Tetapi pemuda tetap melawan. Mereka bertempur. Mereka tukarkan bambu runcingnya dengan senjata api di pertempuran-pertempuran. Sore-sore begini orang mengasoh sehabis kerja berat (Pramoedya Ananta Toer, 2003:85).
Kejadian ini sangat mempengaruhi batin Ara, terlihat bahwa super ego
mempengaruhi ego Ara untuk bersemangat berjuang. Ara sangat mengagumi
semangat para pemuda ini, meskipun tentara Sekutu selalu mendapatkan
kemenangan di setiap pertempuran namun para pemuda tetap berjuang melakukan
perlawanan.
Pada malam yang sama setelah terjadi pertempuran, Ara didatangi oleh
sersan sopir Nica yang telah mengantarkannya pulang. Sersan sopir itu akan
melarikan mobil dan beberapa pucuk senjata serta beberapa kawan untuk dibawa
ke pedalaman, namun sersan sopir itu ingin minta surat pada Ara sebagai bukti
perjuangan. Karena tidak ada kertas untuk menulis surat, Ara menjanjikan agar
sersan sopir itu besok kembali lagi.
Ketika sedang berpamitan tiba-tiba beberapa orang pemuda berpakaian
preman menyergap. Para pemuda mencurigai sersan yang bernama Martabat itu
sebagai mata-mata. Martabat berusaha menjelaskan maksudnya menemui Ara
kepada pemimpin pemuda, namun para pemuda tersebut tidak mau percaya.
Pemimpin pemuda itu tidak tahu apakah Ara dan Martabat adalah seorang
42
pejuang atau mata-mata, sehingga pemimpin pemuda meminta jaminan agar dapat
percaya.
Ara tidak tahu jaminan apa yang diminta oleh pemimpin pemuda tersebut.
Kemudian Ara mendapat pikiran bahwa mereka berdua sendiri sebagai
jaminannya. Ara dan Martabat akan ikut bertempur di bawah komando pemimpin
pemuda itu. Akhirnya pemimpin pemuda menyanggupi jaminan yang diberikan
Ara dan Martabat.
Pada malam itu juga mereka melakukan penyergapan terhadap tentara
Nica yang sedang berpatroli melewati kampung itu. Ketika mereka sedang
melakukan penyergapan, Ara tidak sanggup menguasai rasa takutnya.
Mereka merangkak masuk ke bawah jembatan got yang panjangnya hanya dua meter. Larasati dengar jelas-jelas nafas kedua pemuda itu bersahut-sahutan. Panjang-panjang. Dan ia sendiri pun nafasnya tak kalah panjang-panjang. Gas got yang bercampur dengan gas kotoran manusia nitu membumbung tebal, mencekik nafas. Keringat-keringat dingin membasahi punggung Ara. Apa aku kerjakan kalau pertempuran terjadi? Menjerit? Apa gunanya jerit? Suara takkan takutkan mereka. Jantungnya terus berdegup kencang. Ia rasai betapa dadanya terasa hendak pecah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:96 - 97). Dari kutipan di atas terlihat bahwa id mendominasi Ara ketika akan
melakukan penyergapan. Id yang bekerja pada prinsip kesenangan dan
kenikmatan ketika sedang mendapatkan tegangan akan menuntut untuk direduksi.
Ketika penyergapan dilakukan oleh para pemuda, dari kejauhan terdengar
suara seorang bayi menangis. Suara tangisan bayi itu terdengar ngilu. Tiba-tiba
pemimpin pemuda bertanya apakah Ara memiliki anak. Pertanyaan ini sangat
mengagetkan Ara. Sebelum Ara sempat menjawab pertanyaan itu, pemimpin
pemuda itu mengatakan kepada Ara bahwa dia dan kawan-kawannya rela
43
berjuang demi anak itu, bahkan untuk anak-anak yang belum dilahirkan pun
mereka rela mati dalam perjuangan ini.
Kehadiran pemimpin pemuda sangat berarti sekali terhadap pribadi Ara.
Pemimpin pemuda itu mengajarkan kerelaan serta keberanian dalam berjuang.
Ketika pertempuran pecah, pemimpin pemuda itu terluka cukup parah akibat dari
pecahan granatnya sendiri. Sebelum ajalnya tiba, pemimpin pemuda itu sempat
mengatakan suatu hal kepada Ara.
Anak itu membuka matanya. Menatap wajah Larasati dalam keremangan lampu minyak tanah. Meliuk-liuk menahan sakit. Kemudian berkata perlahan-lahan, “Kau tidak takut bukan?” Larasati tak dapat menjawab. Ia tak tahu apa yang mesti dikerjakannya. “Tak perlu lagi tolong aku.” Suaranya kian perlahan. “Kau tidak takut lagi bukan? Jawablah.” Tak ada sesuatu apapun yang dapat dikatakan oleh Larasati selain menggeleng. “Tak perlu takut. Kau harus mendendam. Kita memerlukan dendam.” Dan ia tak bicara lagi. Nafasnya pun tak terdengar lagi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:107 - 108).
Kata-kata terakhir pemimpin pemuda tersebut sangat mempengaruhi batin
Ara. Keberanian seperti yang dimiliki pemuda inilah yang dibutuhkan dalam
perjuangan. Kehadiran pemimpin pemuda tersebut bagi pribadi Ara merupakan
super ego yang menghalangi impuls-impuls id dan mendorong ego untuk
mengejar hal-hal yang bersifat moralitas. Rasa takut yang sebelumnya menguasai
diri Ara mampu dirintangi oleh super ego. Meskipun Ara masih merasa takut
namun super ego mendorong ego Ara untuk berpikir bahwa harus ada keberanian
dalam perjuangan. Pengalaman-pengalaman selama beberapa hari kemarin sangat
berpengaruh dalam mendorong ego untuk menentukan sikap Ara dalam
perjuangan.
Keesokan hari setelah terjadinya pertempuran antara patroli Nica dengan
pemuda, tentara Belanda mendatangi kampung tersebut untuk melakukan
44
penggeledahan dan mencari orang-orang yang terlibat dalam penyergapan tadi
malam. Semua penduduk kampung dikumpulkan dan disuruh berbaris. Dalam
pemeriksaan itu seorang kakek dan anak kecil dikeluarkan dari barisan, siapa saja
yang dikeluarkan dari barisan tidak akan pulang untuk selamanya. Orang yang
bertugas untuk menentukan dan menunjuk siapa saja orang-orang yang terlibat ini
menggunakan penutup kepala yang hanya terlihat kedua matanya yang berwarna
kuning.
Seusai penggeledahan, Ara memeriksa tas miliknya yang berisi ORI
(Oeang Republik Indonesia) dan ternyata uang itu hilang. Orang yang mengambil
uang ORI tersebut sebenarnya mengetahui bahwa Ara seorang republikein. Ara
merasa bahwa ia dalam bahaya, orang yang mengambil uang ORI tersebut pasti
memiliki maksud tersembunyi. Ibunya meminta Ara untuk kembali ke pedalaman
karena daerah pendudukan bukan tempat yang aman untuknya. Kejadian ini
mengingatkan Ara pada pengalaman-pengalamannya dari Yogya sampai bertemu
dengan pemimpin pemuda yang gugur tadi malam.
… Yogya. Semua orang begitu ramah dan penolong kepadanya. Tetapi selesainya daerah Republik berarti pula selesainya orang-orang peramah dan penolong. Dan di bumi pendudukan semuanya saja maling yang bisa baris di tengah jalan di siang bolong. Yang peramah dan penolong hanya mereka yang masih setia pada Republik. Jangan takut! Jangan takut! Kau harus mendendam. Barang siapa kurang dendamnya akan lebih takutnya. Barang siapa banyak dendamnya akan kurang takutnya. Pemimpin pemuda itu melela remang-remang dalam ingatannya. Ia belum lagi sempat melihat wajahnya jelas-jelas. Mungkin ia takkan bertemu lagi dengannya untuk selama-lamanya. Namun ia telah mewariskan padanya pegangan: jangan takut, mendendamlah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:115 - 116). Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa tiga aspek kepribadian yaitu id,
ego, dan super ego sangat berpengaruh bagi kepribadian Ara. Super ego berperan
merintangi impuls-impuls id, sedangkan ego melaksanakan perannya dengan
45
menengahi antara dorongan id dan super ego. Di dalam ego berlaku realitas dan
berpikir logis, hal ini mendorong Ara untuk dapat memahami keadaan di
sekitarnya serta menentukan tindakan yang harus dilakukan. Ara semakin yakin
dalam perjuangan ini, dan ia merasa sudah menjadi bagian dari perjuangan.
“Biarlah, nek. Aku tinggal di sini.” “Kalau kau ditangkap jangan celakakan yang lain-lain.” “Insyaallah.” “Insyaallah? Akhirnya kau sendiri yang menentukan. Kau sendiri harus berusaha. Ingat kakek Mo dan anak itu. Mereka pun tidak akan seret yang lain-lain. Mereka sudah sedia untuk mati. Kami di sini belum kenal kau.” “Mereka akhirnya akan kenal aku. Aku sudah sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:117). Setelah kejadian penggeledahan, rumah Ara didatangi oleh seorang laki-
laki dengan maksud untuk mencari Ara. Laki-laki tersebut adalah orang Arab
yang tinggal di rumah tempat ibunya bekerja sebagai babu. Ara bersembunyi di
belakang, dan akhirnya ditemui oleh nenek. Ara tidak dapat melihat wajah laki-
laki itu, ia hanya mendengar suaranya yang sepertinya pernah ia dengar. Sebelum
pergi laki-laki tersebut berpesan kepada nenek agar Ara datang ke rumahnya.
Setelah laki-laki itu pergi si nenek menjelaskan tentang keberadaan orang-orang
Arab di tempat ibu Ara bekerja. Nenek itu mengatakan kepada Ara bahwa orang-
orang Arab tersebut telah banyak membunuh penduduk di kampung ini.
Pada waktu itulah Larasati menyadari adanya bahaya yang mengancam
dirinya. Ara sepertinya telah mengenal tamu yang datang ke rumahnya, ia
mengenalinya sebagai kaki tangan Belanda yang tadi pagi memakai penutup
kepala untuk menunjuk orang-orang yang terlibat penyergapan. Ara menyadari
kedatangan tamu tersebut mencari dirinya, tamu itu menyandera ibunya agar Ara
mau datang ke rumahnya.
46
“Bilang, ibunya tidak pulang sebelum dia datang,” ia pergi tanpa meminta diri seperti pada permulaan datang. “Kau sayang pada ibumu, nak?” Larasati mengangguk. “Kalau begitu kamu mestinya datang. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatanmu.” “Kalau aku ditahan di sana?” Nenek itu tak menjawab. Ia hanya menggeleng. Larasati bangkit dan berjalan perlahan-lahan pulang ke ibunya, menutup pintu, kemudian dengan penuh pikiran berjalan menuju keluar gang… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:122 - 123). Dari kutipan di atas terlihat id lebih berkuasa dalam diri Ara, ia mengalami
pertentangan dalam batinnya. Ara harus memilih antara keselamatan dirinya atau
ibunya. Ketika ia sudah memiliki keyakinan pada perjuangan, ia harus dihadapkan
pada pilihan yang sangat berat. Ara tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia harus
menyerah atau harus melawan. Di sini terjadi pertentangan antara id dan super
ego. Id Ara diwakili oleh keselamatannya sendiri sedangkan super ego diwakili
oleh keselamatan ibunya serta keyakinannya pada perjuangan.
Akhirnya Ara harus menyerah dan datang ke rumah orang Arab tersebut,
namun dalam perjalanan menuju ke rumah itu ia merasa ragu. Tiba-tiba
keberanian Ara muncul, ia tidak akan datang dan akan menunggu orang Arab itu
ke rumahnya. Impuls id yang sebelumnya berkuasa atas diri Ara dapat dirintangi
oleh super ego yang mendorong ego untuk bersikap berdasarkan pemikiran. Ara
tidak akan memutuskan untuk menyerah pada orang Arab itu. Hal ini merupakan
bentuk dorongan super ego yang fungsinya menentukan benar tidaknya suatu
tindakan. Super ego berpengaruh dalam membentuk ego Ara berdasarkan
pengalaman-pengalamannya selama ini, salah satunya ketika bertemu dengan
pemimpin pemuda yang telah gugur ketika terjadi pertempuran di kampungnya.
Revolusi ini tidak memberi sesuatu pun, dia minta dari setiap orang – segala-galanya. Mengapa si Arab itu meminta? Dia yang tidak punya sangkut-paut sedikit pun dengan Revolusi? Apakah aku dengan sukarela
47
berjalan seorang diri menuju tiang gantungan? Mendadak ia tengadahkan kepalanya ke langit. Tidak! Tidak mungkin … Aku tunggu dia. Aku akan hadapi dia (Pramoedya Ananta Toer, 2003:123 - 124). Setelah kejadian itu Ara memutuskan menunggu di rumah, Ara merasa
lebih berani dari sebelumnya. Ia merasa persoalan yang dihadapinya hanya dia
sendiri yang bisa menyelesaikannya. Ketika malam datang, akhirnya Martabat
datang ke rumahnya untuk meminta surat kepada Ara sebagai tanda bukti
perjuangan. Ara mengutarakan maksudnya kepada Martabat untuk ikut pergi ke
pedalaman bersama ibunya.
“Maksudmu tidak ada tempat?” “Tentu saja tidak. Maksudku kami sedang melakukan terobosan maut. Itu tidak tepat bagi seorang wanita, walau kami ingin membawa.” Tak terkirakan kecil hati Larasati mendengar jawaban itu. Ia belum dimasukkan ke dalam kelas pejuang oleh si Martabat ini. Tapi ia menjaga agar tak membantah, tidak melukai rencana anak muda itu…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:125).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa ego Ara mampu menjembatani antara
dorongan id dan juga super ego. Id mendorong Ara agar dia dan ibunya ikut pergi
ke pedalaman karena di sana lebih aman, namun dalam mobil sudah tidak ada
tempat lagi. Selain tidak ada tempat, rencana pelarian ini bukan untuk perempuan
karena sangat berbahaya. Anggapan tersebut membuat Ara merasa belum
dianggap sebagai seorang pejuang. Super ego Ara mendorong untuk menolak
pernyataan ini, sebagai seorang perempuan ia telah membuktikan diri sebagai
pejuang pada waktu ikut dalam penyergapan kemarin malam. Namun ego yang
berprinsip pada hubungan baik dengan lingkungan mendorong Ara untuk
memutuskan tidak ikut dalam pelarian itu. Ara tidak ingin merusak perjuangan
48
dengan mengacaukan rencana Martabat untuk melarikan mobil dan senjata
menuju ke daerah pedalaman.
Keesokan harinya tamu orang Arab yang kemarin mencarinya akhirnya
datang. Tanpa dipersilakan tamu itu langsung masuk ke rumah. Tamu itu
memperkenalkan diri dengan nama Jusman, ia mengaku memiliki orkes gambus
dan bermaksud ingin mengajak Ara untuk bergabung sebagai penyanyi. Selama
percakapan itu berlangsung, Ara mengawasi tamu itu dan merasa semakin yakin
bahwa tamunya adalah orang yang memakai penutup kepala pada waktu
pemeriksaan oleh tentara Nica beberapa hari yang lalu. Ara mengenali tamu itu
dari warna matanya yang kuning.
Permintaan orang Arab agar Ara bergabung sebagai penyanyi dalam
orkesnya akhirnya ditolak Ara. Sebelum pergi orang Arab itu mengancam Ara
bahwa ibunya tidak akan selamat kalau Ara tidak memenuhi permintaan itu.
“Tapi nona, ibu nona juga di sana. Bagaimana pikir nona?” “Kau boleh ambil ibuku kalau suka. Dia boleh tidak pulang untuk selama-lamanya.” Pemuda Arab itu kini menatap nenek tapi tak berkata apa-apa. Akhirnya ia bangkit berdiri, bersiap hendak pulang, tetapi berhenti dan berpaling ke belakang, “Tapi ibu nona dalam bahaya.” “Aku tahu. Aku juga tahu mata siapa yang memandangi aku dari balik sarung guling kemarin dulu.” Pemuda Arab itu tiba-tiba menegakkan badan, menghadapi Ara, dengan mata tajam mengawasi. Dengan suara mengancam ia berbisik, “Jadi kau tahu, bagus.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:132). Dari peristiwa di atas terlihat bahwa keberanian dalam diri Ara semakin
terbangun ketika harus menghadapi bahaya. Keberanian Ara ini semakin
terbangun karena pengalaman-pengalamannya selama ini telah membentuk
keberanian dalam pribadi Ara. Pengalaman-pengalamannya tersebut merupakan
bentuk dari super ego yang ada dalam diri Ara. Dari peristiwa di atas super ego
49
lebih mendominasi dan menekan dorongan id, ia tidak mempedulikan ancaman
orang Arab tersebut. Super ego dalam fungsinya cenderung merintangi id, tidak
rasional dan menciptakan gambaran dunianya sendiri. Ara lebih mementingkan
perjuangan dan kemenangan revolusi dibandingkan dengan keselamatan ibunya.
Beberapa bulan berlalu dan ibunya juga tak kunjung pulang. Pada suatu
hari Ara memutuskan untuk mendatangi kantor Republik untuk mencari
pekerjaan, namun tidak ada satu pun kantor yang ada lowongan. Belanda
melancarkan aksi militernya pertama, di mana-mana terjadi pertempuran antara
patroli Belanda dan pemuda. Ara tidak tahu banyak tentang keadaan politik pada
saat itu sampai akhirnya ia mendengar bahwa Yogya sudah jatuh ke tangan
Belanda.
… Ara tak banyak tahu tentang perkisaran politik. Tak banyak mengikuti diplomasi. Kota-kota jatuh ke tangan Belanda. Juga Yogya sendiri. dan berita runtuhnya Yogya disambut Ara dengan tangis tersedan-sedan. Dengan air mata yang mengucur sejadi-jadinya membasahi wajahnya yang kian menjadi kurus dan pucat. Tidak, keyakinanku tidak bisa digoncangkan dengan jatuhnya Yogya. Revolusi tidak pernah kalah. Setiap kekalahan yang dideritakannya tidak lain dari kemenangan kaum koruptor. Revolusi selalu menang (Pramodya Ananta Toer, 2003:134). Dari kutipan di atas terlihat bahwa semangat perjuangan Ara melemah
ketika kota Yogya jatuh ke tangan Belanda. Ara yakin bahwa kekalahan ini akibat
dari korupsi yang dilakukan orang-orang yang memiliki kedudukan di
pemerintahan. Pada peristiwa ini super ego sangat mendominasi Ara. Super ego
memiliki fungsi pokok menentukan benar tidaknya suatu tindakan dan
melaksanakan ukuran moralnya dengan jalan memberikan penghargaan berupa
perasaan bangga dan memberikan hukuman berupa perasaan bersalah. Ara merasa
tidak mampu berbuat apa-apa dalam perjuangan menjaga revolusi.
50
… Pemimpin? Apa mereka itu berhak dinamakan pemimpin? Mereka tidak memimpin! Mereka menjerumuskan Revolusi. Pimpinan, apa yang sudah mereka berikan? Hanya omong besar mereka semburkan. Bah! Dan aku? Apa aku sendiri tidak ikut bersalah? Mengapa aku mesti menjadi begini konyol tersangkut di kampung celaka ini? Aku? Aku juga terkutuk! Tidak waspada menjaga Revolusi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:135).
Setelah mendengar kabar mengenai jatuhnya Yogya, Ara hanya berjalan-
jalan tanpa tujuan. Di suatu taman Ara bertemu dengan seorang laki-laki yang
sepertinya pernah ia kenal. Ia berusaha untuk mengingat laki-laki itu dan akhirnya
ia tahu bahwa orang itu adalah Chaidir. Chaidir adalah seorang penyair yang dulu
pernah Ara temui di Yogya.
Pertemuannya dengan Chaidir ini sangat mempengaruhi pribadi Ara dalam
memandang dan memaknai Revolusi. Chaidir mengatakan kepada Ara bahwa
revolusi membutuhkan segala-galanya, apapun yang bisa diberikan oleh orang
kepada revolusi harus diterima dan bukan untuk ditolak. Chaidir adalah salah
seorang seniman yang memiliki semangat untuk berjuang membantu revolusi
dengan seni, namun banyak pemimpin yang meragukan dan mengecilkan peran
seni dalam revolusi. Chaidir memandang jatuhnya Yogya ke tangan Belanda
akibat para pemimpin yang angkuh dan gila hormat.
“Sandiwara?” kata perdana menteri, “apa yang bisa diperbuat sandiwara dalam masa orang tidak membutuhkan seni apapun juga sekarang ini?” Dan Chaidir dengan berapi-api membela seakan-akan sandiwara itu dirinya sendiri, “Dalam keadaan bagaimana pun setiap orang membutuhkan segala-galanya. Berikan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan padamkan api Revolusi. Berikan minyak pada api itu!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137). Perjuangan Chaidir yang di remehkan oleh para pemimpin membuat
Chaidir seperti orang gila, matanya merah dan tubuhnya dekil. Ara sangat
51
bersimpati kepada Chaidir, Ara berpikir bahwa seharusnya para pemimpin tidak
meremehkan peran seni dalam revolusi dan memadamkan semangat para seniman.
Ara tak dengar lagi kata Chaidir selanjutnya. Ia tatap pemuda itu kembali waktu pemuda itu bertanya. “kau ada uang, Ara? Aku lapar.” Mau rasanya Ara mengucurkan airmata untuk ke sekian kalinya dalam sehari ini. Api yang harus juga menanggung kelaparan! Api revolusi ini. Ara menggeleng. Dan baru sekarang Ara mulai bicara, “Apa guna makan hari ini? Yogya jatuh!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137). Dari kutipan di atas terlihat bahwa super ego dalam diri Ara lebih
mendominasi. Super ego yang dalam fungsinya menekan atau merintangi
dorongan id mendorong Ara untuk tidak mempedulikan perutnya yang lapar,
karena revolusi yang selama ini diimpikannya harus kalah ketika Yogya harus
jatuh ke tangan Belanda akibat dari para pemimpin yang angkuh dan sombong.
Pertemuan antara Ara dan Chaidir akhirnya harus diakhiri, mereka berdua
berpisah di sebuah pertigaan jalan. Ara melanjutkan jalannya sampai kemudian
terdengar suara orang yang memanggil namanya. Orang yang memanggil
namanya tersebut ternyata Jusman, Ara mencoba mempercepat langkahnya namun
tangan Jusman telah mencengkeram tangannya. Ara tiba-tiba merasa tidak
memiliki kekuatan untuk melawan cengkeraman tangan Jusman dan hanya pasrah
mengikuti Jusman.
Jusman dan Ara naik sebuah becak menuju ke kampungnya sendiri,
namun di depan rumah orang Arab tersebut becak itu kemudian berbelok dan
masuk ke rumah. Sampai di rumah Jusman, Ara seperti kehilangan semangat yang
dulu pernah ia miliki. Ara tiba-tiba saja menuruti kemauan Jusman untuk tinggal
di rumahnya. Ara merasa sangat letih dan akhirnya tertidur di kamar yang telah
disediakan oleh Jusman.
52
Ketika matahari telah tenggelam Ara terbangun dan teringat mengenai
kejatuhan Yogya dan juga Chaidir. Ara kaget dan hendak turun, namun kepalanya
terasa pening dan akhirnya ia tertidur lagi. Keesokan harinya ketika bangun, Ara
sudah ada di bawah kekuasaan Jusman. Ara harus menjadi tawanan dalam rumah
orang Arab tersebut dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ara tidak diijinkan untuk
keluar rumah tanpa persetujuan Jusman.
Telah sebulan lebih Ara tinggal bersama Jusman, ia ingin sekali tahu apa
yang sedang terjadi di luar. Jusman tidak mungkin mengizinkan Ara untuk keluar,
akhirnya Jusman membelikan sebuah radio untuk memenuhi keinginan Ara. Pada
sebuah siaran radio Ara mendengar berita tentang kematian Chaidir. Ara teringat
kembali mengenai kejatuhan Yogya, tentang kekalahan, termasuk kekalahannya
sendiri. Keesokan harinya ia ingin mengetahui kelanjutan berita mengenai
Chaidir, seperti terlihat pada kutipan berikut. “Sudah sejak sepagi ia pasang radio,
tapi lanjutan berita tentang Chaidir ternyata tak ada. Revolusi yang mati di atas
bumi tanah air, dan bumi tanah air yang sedang dikepal musuh. Nasibnya seperti
aku. Tapi aku belum lagi mati. Aku baru menjalani lakon. Dan lakon ini,
bagaimanapun akan tamat” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:148).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara sudah kembali menemukan
kesadarannya. Selama dalam sekapan Jusman seolah-olah kesadarannya sebagai
seorang pejuang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri Ara, super ego
kembali muncul mendorong ego untuk menemukan sosok dirinya sebagai bagian
dari perjuangan. Hal tersebut dibuktikannya dengan keinginannya menulis naskah
sandiwara yang berisi tentang kebesaran revolusi.
Sudah sejak di rumah ini ia ingin menulis, ia ingin mengarang. Tapi ia tidak mampu. Ia ingin menyusun sebuah repertoire sandiwara yang
53
melukiskan kebesaran Revolusi, dan ia ingin tunjukkan dirinya sendiri di tengah-tengah situasi revolusioner, sebagai tokoh dan juga sebagai api revolusi itu sendiri. Ia akan tokohkan pikiran-pikirannya dan perasaan-perasaannya. Ia akan hukum pembesar-pembesar dan peguasa-peguasa jaman Revolusi itu, yang bercokol seperti feodal baru di atas pundaknya tubuh Revolusi, dan yang segera terbirit-birit apabila saatnya datang untuk menetukan sikap dan mengambil tindakan. Berkali-kali ia merancang bagan, tetapi selalu gagal (Pramoedya Ananta Toer, 2003:148 - 149). Keinginan Larasati untuk mengarang sebuah naskah sandiwara yang
melukiskan kebesaran revolusi seperti pada kutipan di atas merupakan bentuk
penemuan ego-nya yang selama dalam sekapan Jusman telah hilang. Ego Ara
untuk kembali menemukan keakuannya sebagai seorang seniman yang berjuang
demi revolusi merupakan hasil dorongan dari super ego. Berita mengenai
kematian Chaidir ini merupakan bentuk dari super ego karena kehadiran Chaidir
sangat berpengaruh dalam hidup Ara. Chaidir adalah seniman pejuang yang
pernah mengajarkan pada Ara bahwa seni adalah bagian dari perjuangan, dan Ara
akan merasa bersalah jika tidak meneruskan perjuangannya. Hal ini merupakan
bentuk kerja dari super ego yaitu melaksanakan ukuran moralnya dengan
memberikan hukuman dengan perasaan bersalah dan memberikan penghargaan
dengan perasaan bangga.
Ara tetap mencoba mencari berita tentang kematian Chaidir melalui radio,
namun tetap saja tidak ada. Ketika hari sudah mulai malam Jusman belum juga
pulang. Di tengah malam terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Mobil
tersebut dikendarai oleh seorang sersan Belanda yang memberitahukan bahwa
Jusman berada di rumah sakit. Ara keluar rumah dan mengambil bungkusan yang
terdapat lumuran darah, dan bungkusan tersebut berisi surat kabar pesanannya.
… segulungan koran dan majalah ada di dalamnya. Tiada sesuatu pun yang patut dicurigakan. Dan darah itu… Benda itu sekaligus memberitakan pada Ara, Jusman selalu ingat akan dirinya. sudah pasti ia
54
meminta pada seseorang untuk menyampaikan padanya, apa yang dipesankannya pada Jusman. Ia terharu dan matanya berkaca-kaca. Dia cintai aku! Dia begitu jujur padaku. Tapi hatiku bukan buat dia. Hatiku buat sesuatu yang lain: Revolusi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:151). Terlihat dari kutipan di atas bahwa terjadi pertentangan antara id dan super
ego, namun super ego mampu merintangi id dan mendorong ego untuk tetap
konsisten pada keakuannya yang telah terbangun dalam diri Ara. Ego sebagai
eksekutif atau pelaksana kepribadian mendorong Ara memilih berjuang demi
revolusi dari pada cinta yang diberikan oleh Jusman selama ini.
Kabar mengenai kondisi dan keberadaan Jusman tidak ada seorang pun
yang mengetahui. Ara tidak tahu harus berbuat dan bersikap mengenai berita yang
dibawa sersan Belanda itu.
… Buru-buru ia lari ke kamar dan meneliti segala penerbitan itu. Anehnya, mengapa aku sekarang tak dapat main sandiwara? Aku anak panggung ini? Ia tutup mukanya dengan kedua belah tangan untuk menyembunyikan wajahnya, untuk memperlihatkan pada mereka bahwa ia sedang bingung. Tetapi tambah ia mencoba bersandiwara, bertambah ia tak dapat menahan keinginan-keinginannya untuk segera meninggalkan panggung terkutuk sekarang ini dan mengikuti pengalaman-pengalaman Chaidir yang terakhir dalam penerbitan-penerbitan itu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:154). Dari kutipan di atas terlihat keinginan Ara untuk kembali terlibat dalam
perjuangan. Ia ingin segera meninggalkan Jusman yang selama ini telah
menyekapnya sehingga membuat perjuangan Ara menjadi sia-sia. Hal ini
merupakan bentuk ego sebagai eksekutif kepribadian untuk menemukan kembali
pribadi Ara yaitu sebagai seorang seniman yang berjuang dalam revolusi.
Akhirnya ibunya datang menemui Ara dan mengajak Ara masuk ke kamar.
Mereka duduk berdua di ranjang berhadap-hadapan sebagai seorang ibu dan anak.
Terjadi percakapan antara mereka berdua. Ibunya dulu pernah berpesan kepada
Ara untuk pergi ke pedalaman dan jangan ke rumah orang Arab ini.
55
“Ibu, kalau bisa ditempuh jalan itu, tentu sudah kutempuh.” “Mengapa pergi juga ke sarang ini?” “Kalau ada jalan keselamatan, tentu juga kutempuh jalan itu ibu.” “Sayang perjuanganmu jadi sia-sia, Ara.” Bulu badan Ara meremang. Sekaligus ia mengerti, bukan perjuangannya, tapi perjuangan ibunya yang telah dirusakkannya… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:154 - 155). Dari percakapan antara Ara dan ibunya di atas tampak bahwa id Ara lebih
mendominasi ketika ia mau menuruti kemauan Jusman masuk ke rumahnya. Pada
waktu itu ego Ara benar-benar menjadi lemah ketika mendengar berita mengenai
jatuhnya Yogya ke tangan Belanda. Ego sebagai pelaksana kepribadian harus
mengikuti dorongan id karena super ego tidak mampu mendorong ego untuk
menentukan sikap Ara dalam melanjutkan perjuangan ketika Yogya jatuh.
Selama dalam sekapan Jusman ini Ara merasa dirinya telah kalah karena
tidak sanggup berbuat apapun untuk revolusi. Ara seharusnya mengikuti perintah
ibunya untuk kembali ke Yogya sehingga dapat membantu revolusi, namun ia
tetap tinggal di Jakarta dan memasuki sarang pembunuh, yaitu rumah Jusman.
Waktu itu Ara tidak dapat berbuat dan menentukan sikap setelah mendengar
jatuhnya Yogya. Akhirnya ia menuruti kemauan Jusman demi keselamatan
ibunya.
… “Ibu, kau pejuang yang gagah berani.” “Huss, diam.” “Tapi ibu, setiap pejuang harus selalu bersedia untuk kalah.” “Bersedia kalah?” “Dalam perjuangan, bukankah kekalahan harus selalu diterima sebagai sahabat?” “Ara, aku tidak mengerti. Tentu kau lebih tahu dari aku. Tapi aku sungguh menyesal kau datang kemari.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:155). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara merasa dirinya telah kalah, namun
ia sanggup menerima kekalahan tersebut sebagai sahabat. Keputusan ini
merupakan bentuk ego Ara sebagai eksekutif kepribadian. Ego mampu
56
menghubungkan antara dunia subjektif dan kenyataan, sehingga tidak terjadi
penyimpangan dalam diri Ara.
Keesokan harinya Ara didatangi seorang teman Jusman. Ara mencoba
mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menembak Jusman tadi malam. Dari
informasi yang dia dapatkan, bahwa gerakan pemuda saat ini mulai meningkat
lagi. Ara mencoba untuk mengetahui kabar di luar lewat radio, berita-berita
mengabarkan pertempuran meletus di mana-mana, dan sekarang sedang mengarah
ke Jakarta.
Beberapa hari kemudian akhirnya Jusman pulang ke rumah dengan diantar
sebuah mobil militer Belanda. Jusman curiga bahwa Ara telah membawa masuk
laki-laki lain ke rumahnya selama ia ada di rumah sakit. Ia merasa cemburu,
namun Ara berani mengatakan bahwa selama ini dirinya bukan istri melainkan
tawanan dan Jusman tidak dapat berbuat apa-apa dengan jawaban Ara tersebut.
Pada suatu hari Ara berada di rumah sakit, sudah beberapa bulan ia
menjadi pasien spesialis penyakit dalam karena mengalami pendarahan-
pendarahan yang cukup serius selama beberapa minggu setelah kepulangan
Jusman. Di rumah sakit ini Ara mendapatkan kabar mengenai Republik yang
bersedia bekerja sama dengan Belanda.
… Lagi pula Republik sudah bersedia kerjasama dengan Belanda. Sebentar lagi pemimpin-pemimpin, yang ditawan di Prapat akan dikembalikan ke Yogya. Ara terlonjak bangun. Pemimpin? Masa pemimpin bisa diambil dan ditaruh kembali seperti bidak-bidak diatas papan catur? Tanpa diketahuinya darah menyembur dari pangkuannya, menjalar di lantai-lantai, merayap melingkar-lingkar. Ia terduduk kembali. Pemandangannya berkunang-kunang akhirnya pingsan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169). Dari kabar mengenai Republik yang bersedia bekerja sama dengan
Belanda serta para pemimpin yang akan dikembalikan ke Yogya membuat ego
57
Ara yang semula telah menemukan keakuannya menjadi lemah kembali. Hal itu
tidak saja melemahkan ego Ara melainkan sampai menyerang kesehatan fisiknya.
Sembuh? Selama jusman terus-menerus menempel pada batang hidupnya, ia tidak mungkin sembuh dan pendarahan-pendarahan ini akan semakin hebat. Tiba-tiba ia menyadari keadaannya: alangkah busuknya, kalau aku mati karena pendarahan dan pendarahan yang disebabkan pemuda Arab, pengkhianat Revolusi ini…betapa konyolnya! Ah, konyolnya! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169 - 170). Ara menyadari keadaan dirinya selama ini tidak berguna bagi revolusi
karena keberadaan Jusman di sisinya. Hal ini merupakan bentuk dorongan dari
super ego yang melaksanakan ukuran moralnya dengan memberikan rasa bersalah
dalam diri Ara. Ia mengetahui bahwa selama ini Jusman adalah mata-mata yang
memberikan informasi kepada Belanda, sementara Ara sendiri adalah seorang
seniman republikein. Ara tidak sanggup berontak terhadap Jusman, hal ini
menyebabkan rasa bersalah timbul dalam dirinya.
Selama berada di rumah sakit Ara mencoba untuk mendapatkan kembali
kekuatan untuk menghadapi konflik batin yang dia alami. Ara mencoba untuk
memikirkan dan menyusun rencana agar dapat kembali diterima oleh masyarakat.
Dan dengan demikian lebih dari satu setengah bulan ia tergolek di ranjang rumah sakit. Di sini tak ada orang mengganggunya. Dengan tenang ia memikirkan bagaimana dapat menyusun diri kembali agar dapat diterima masyarakat setelah sembuh. Berita tentang kompromi antara Revolusi dan kontra-Revolusi yang akan melahirkan negara Indonesia Serikat, menyeretnya dari situasinya yang buruk ke situasi yang memberi harapan… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:170). Keinginan Ara untuk menyusun rencana agar dapat diterima masyarakat
setelah sembuh merupakan bentuk dari kerja ego. Sebagai eksekutif kepribadian,
ego timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan baik dengan dunia
luar. Ego merumuskan rencana-rencana untuk memenuhi keinginan yang selama
ini terhambat. Super ego yang merupakan aspek sosiologi dan moral kepribadian
58
mendorong ego Ara untuk bekerja menyusun rencana agar dapat diterima
masyarakat.
Pada suatu hari Jusman datang mengunjungi Ara. Jusman terlihat tidak
seperti biasanya, ia seperti merasa tidak aman. Ara menduga bahwa bahwa
perkiraan politik telah membuat pemuda Arab ini menjadi panik. Jusman
bermaksud menikahi Ara agar tidak perlu lari ke Singapura atau Malaya karena
keadaan semakin memburuk. Ara tidak dapat memberikan jawaban dan akhirnya
Jusman harus lari ke Singapura.
Ara dan ibunya telah meninggalkan rumah Jusman dan kembali ke rumah
ibunya. Semangat revolusi semakin memudar di kampung-kampung karena
perundingan Meja Bundar tak kunjung memberikan hasil. Kampungnya telah
banyak ditinggali orang-orang, dan Ara sudah tidak merasakan lagi keramahan
yang dulu pernah mempengaruhinya. Orang-orang menjadi tidak peduli lagi
antara satu sama lain.
Pada suatu hari terdengar berita bahwa Tentara Nasional Indonesia akan
masuk ke Jakarta. Ini merupakan tanda bahwa revolusi telah menang, Belanda
akan segera meninggalkan bumi penjajahan. Orang-orang tidak peduli dengan
bentuk Serikat atau Kesatuan, yang penting bagi mereka adalah penjajahan
Belanda telah berakhir.
Presiden Soekarno memasuki Yogya menggantikan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda sebagai Presiden Sementara Negara Republik Indonesia Serikat.
Orang berduyun-duyun membanjiri lapangan Merdeka Utara untuk mengikuti
upacara dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sewaktu upacara telah selesai,
Ara pulang menuju ke kampungnya, tiba-tiba ada sebuah jeep tentara yang hampir
59
menyerempetnya. Jeep itu berhenti dan seorang laki-laki bertubuh tinggi keluar
dari mobil tersebut. ternyata laki-laki itu adalah Kapten Oding.
Pertemuan itu membuat keduanya sangat gembira, mereka saling
berpelukan untuk menyatakan kegembiraan. Ara kemudian mengikuti ajakan
Kapten Oding untuk naik mobil bersama, mobil tersebut menuju ke sebuah
gedung bekas tempat tinggal orang Belanda. Kapten Oding meminta Ara untuk
tinggal bersama di gedung itu, dan pada malam itu juga Ara dan ibunya pindah ke
gedung itu. Akhirnya mereka dapat merayakan kemenangan revolusi.
Berdasarkan uraian di atas, secara umum dapat diketahui bahwa di dalam
kepribadian Ara dipengaruhi oleh ketiga unsur dalam sistem kepribadian menurut
Sigmund Freud. Ketiga unsur tersebut yaitu id, ego dan super ego bekerja dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam tokoh Ara terlihat bahwa id dan
super ego selalu bertentangan, meskipun super ego lebih mendominasi namun ego
sebagai eksekutif kepribadian mampu menjadi jembatan antara keduanya. Ara
sebagai seorang seniman yang berjuang dalam revolusi harus mengalami
kekalahan ketika berada dalam sekapan Jusman, namun Ara mampu menerima
kekalahan tersebut sebagai sahabat. Hal ini karena ego Ara dapat bekerja dengan
baik untuk menyatukan antara dorongan id dan super ego, dan akhirnya Ara dapat
menikmati kemenangan revolusi.
60
C. Sikap Tokoh Ara dalam Menghadapi Konflik
Pada bagian ini akan dibahas mengenai sikap yang diambil tokoh Ara
dalam menghadapi konflik.
Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengeai objek atau situasi
yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang
tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya (Bimo
Walgito, 1978:109).
Konflik timbul dalam situasi dimana terdapat dua atau lebih kebutuhan,
harapan keinginan dan tujuan yang tidak saling bersesuaian, saling bersaing dan
menyebabkan tarik menarik dan menimbulkan perasaan yang sangat tidak enak
(Davidoff, Linda L., 1991:178).
Dalam roman Larasati dikisahkan tokoh Ara adalah seorang aktris panggung dan juga
bintang film yang ingin pergi ke Jakarta. Ara akan kembali memasuki dunia film di daerah
pendudukan, kali ini ia akan bermain film untuk tujuan perjuangan melawan penjajahan.
… Jakarta! Oi, Jakarta! Aku boleh seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film! Tapi beradat! Tidak. Aku juga punya tanah air. Aku, Larasati, bintang Ara. Sedang sebutan Miss pun aku tak pernah pakai. Ara! Cukup Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu akan membuat aku berkulit putih. Apakah sebutan itu Cuma tantangan kaum pria, kalau aku milik siapa saja? (Pramoedya Ananta Toer, 2003:12). Dari kutipan di atas terlihat bahwa terjadi konflik dalam diri Ara. Pada masa pendudukan
Jepang, Ara sangat dekat sekali dengan perwira-perwira Jepang. Hal ini menciptakan pandangan
masyarakat bahwa dirinya adalah seorang pelacur dan sampah masyarakat. Ara tidak
mempedulikan pandangan masyarakat ini, Ara telah bertekad bahwa dirinya akan bermain film
untuk kepentingan perjuangan dan bukan untuk memusuhi perjuangan. Pandangan masyarakat atas
dirinya tidak membuat Ara mundur untuk berjuang, Ara tetap maju untuk berjuang dengan caranya
sendiri sebagai seorang seniwati.
Dalam perjalanan dari Cikampek ke Jakarta, Ara bertemu dengan seorang tua yang
kakinya cacat. Orang tua tersebut mengatakan kepada Ara bahwa tidak ada gunanya menghambat
perjuangan para pemuda. Ara merasa perannya dikecilkan oleh perkataan orang tua tersebut.
61
Seorang berusia tua di sampingnya memulai percakapan dengannya, “Kalau sampai di Jakarta – nona ke Jakarta, bukan? – jangan lupakan pemuda-pemuda ini. Mereka sedang melahirkan sejarah. Tak ada guna menghambatnya. Lebih baik membantu mereka.” Larasati merasa dikecilkan oleh kata-kata orang tua itu, menukas, “Mengapa bapak sendiri tidak?” … … Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di jaman Revolusi ini terletak pada kepalang-merahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya ia pun dapat berbakti pada Revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri (Pramoedya Ananta Toer, 2003:26). Dari kutipan di atas terlihat bahwa perkataan orang tua tersebut
membuat Ara merasa dikecilkan. Selama ini pandangan masyarakat
terhadap perempuan dalam perjuangan hanya terletak pada
kepalangmerahan. Namun pandangan masyarakat semacam ini tidak
membuat Ara mundur dalam berjuang membantu revolusi, ia tetap yakin
dapat berbakti terhadap perjuangan. Hal ini merupakan bentuk sikap Ara
dalam perjuangan, bahwa seni mampu berbakti dan memberikan
sumbangan dalam perjuangan.
Di atas kereta ketika dalam perjalanan tersebut Ara juga menemui
para pemuda yang rela untuk berjuang. Para pemuda ini tidak
menghiraukan nyawa mereka yang besok atau lusa mungkin hilang.
Peristiwa ini membuat konflik dalam diri Ara, ia merasa bersalah karena
selama ini tidak membantu dalam perjuangan. Ketika Ara mulai terlibat
dalam perjuangan ia harus menentukan sikap dalam perjuangan seperti
terlihat pada kutipan berikut, “Ara terhempas di tempatnya. Tidak, tidak
patut mereka dikhianati – mereka yang tidak mengharapkan apa-apa bagi
jiwanya yang besok atau lusa diberikan kepada maut. Ya, Allah, apa
sebenarnya yang sudah aku berikan kepada kemerdekaan ini? Mereka
sedang melahirkan sejarah. Apa aku lahirkan? Anak pun tidak” (Pramoedya
Ananta Toer, 2003:29).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa untuk menyelesaikan konflik yang
dihadapinya, Ara tidak akan mengkhianati perjuangan para pemuda
tersebut. Hal ini merupakan bentuk sikap Ara dalam perjuangan, Ara
merasa dirinya belum memberikan sesuatu pun yang berarti dalam
62
perjuangan sehingga tidak patut kalau ia harus mengkhianati perjuangan
para pemuda.
Sampai di Bekasi kereta yang ditumpangi Ara dihentikan oleh
serdadu-serdadu Nica, mereka bermaksud untuk melakukan penggeledahan
dan mencari para pengikut Soekarno. Semua penumpang mengalami
perlakuan yang kasar dan tidak menyenangkan dari serdadu-serdadu Nica.
Di stasiun Bekasi inilah Ara bertemu dengan Mardjohan, seorang announcer
di jaman Jepang dan sekarang menjadi sutradara sekaligus produser film.
Sebagai seorang announcer di zaman Jepang, Mardjohan melakukan
propaganda untuk kepentingan Jepang. Pada saat Sekutu datang untuk
mengusir Jepang, Mardjohan menjadi seorang sutradara dan juga produser
film. Mardjohan bertugas untuk membuat film-film dokumenter untuk
melemahkan semangat dan perlawanan para pejuang.
Sosok Mardjohan sebagai seorang pengkhianat dan oportunis
membuat Ara semakin menegaskan sikapnya sebagai seorang seniman yang
membaktikan hidupnya pada perjuangan. Meskipun Ara merasa dirinya
kotor, namun ia berusaha untuk tidak mengkhianati perjuangan seperti apa
yang dilakukan Mardjohan.
Dan Larasati tidak membantah. Bumi penjajahan ini membuat aku kian detik kian berpikir. Tak pernah demikian sebelumnya. Tak pernah ia meneropong dirinya sendiri. Kini ia dapatkan gambaran tentang dirinya sendiri agak jelas, kadang samar: menolak seluruh bentuk penjajahan apapun. Ia tak membutuhkan kehancuran orang lain dan dirinya sendiri. Ia inginkan suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya dengan kecakapan satu-satunya yang dimilikinya: main film. Bagaimanapun juga kotornya namaku aku akan tetap dapat berguna. Kotor? Tiba-tiba ia memberontak terhadap dirinya sendiri. Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak! Negara pun tidak! Rakyat apalagi! Yang aku kotori hanya sendiri. Bukan orang lain. Orang lain takkan rugi karenanya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:44). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara merasa dirinya kotor, pada masa
pendudukan Jepang Ara pernah dekat dengan perwira-perwira Jepang dan sempat
mengalami kehidupan yang penuh kemewahan. Kedekatan ini menciptakan
pandangan masyarakat bahwa dirinya adalah seorang pelacur. Pertemuannya
63
dengan Mardjohan memberikan dasar bagi Ara untuk menentukan respon dan
sikap. Sekarang Ara telah mendapatkan gambaran mengenai dirinya, meskipun
namanya kotor ia tidak ingin mengotori dan mengkhianati perjuangan. Ara ingin
membaktikan dirinya untuk berjuang dengan kemampuannya sebagai seorang
pemain film.
Mardjohan berusaha membujuk Ara untuk mau bermain dalam film yang
akan dia buat, namun Ara menolak ajakan tersebut. Untuk membuat Ara mau
mengikuti ajakannya, Mardjohan membawa Ara ke sebuah penjara kolonial.
Dalam penjara ini Ara dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti ajakan
Mardjohan atau bernasib seperti para tahanan. Di sini Ara bertemu dengan
beberapa tahanan yang kondisinya sangat menyedihkan, hal ini menyebabkan
konflik dalam diri Ara.
Dan sersan itu menghilang. Bintang film itu menghampiri tawanan itu. Meraba kakinya: panas di atas 41 derajat. Orang ini akan segera mati, pikir Larasati. Mati, berhadapan dengan pembunuhnya sendiri. Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan. Larasati ingin menghibur orang sakit itu. Orang telah jatuh di medan perjuangan – dia tidak bakal menyaksikan kemenangan. Mungkin beranak, mungkin beristeri. Mungkin juga tidak sama sekali. Namun ia berjuang…(Pramoedya Ananta Toer, 2003:60). Dari keadaan yang digambarkan di atas, terlihat bahwa Ara dihadapkan
pada situasi yang sangat ironis yang terjadi di negerinya. Seorang yang telah
berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan namun harus berakhir dalam penjara
dan kematian tanpa ada proses pengadilan. Dari kejadian ini Ara memandang
bahwa di negerinya ini sudah tidak ada lagi keadilan. Ara sangat ingin sekali
menolong tahanan itu namun ia sendiri tidak memiliki kekuatan serta kekuasaan
untuk menolong tahanan itu.
64
Setelah melihat-lihat kondisi penjara, Mardjohan berharap agar Ara mau
menjadi bintang dalam film dokumenter yang telah ia siapkan rencananya. Ara
belum bisa memberikan jawaban atas ajakan Mardjohan tersebut dan meminta
untuk diantar pulang. Dalam perjalanan pulang, Ara merenungi kehidupannya
selama sehari kemarin.
Larasati menjauhkan mukanya pada pangkuan. Dalam sehari kemarin ia hidup dalam suasana ketakutan yang baru sekali ini dialaminya: begitu panjang, serasa tiada kan habis-habisnya. Dan sehari ini, walaupun merangkak begitu lambat, penuh kengerian, kebencian, kebuasan, kebinatangan. Kalau aku tak memiliki tubuh indah dan wajah cantik mungkin aku jadi sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan dalam penjara itu. Atau justru karena kedua-duanya aku jadi begini? Ia menggeleng lemah. Mungkin ini akan terus dialami diriku sampai hilang keindahan dan kecantikanku (Pramoedya Ananta Toer, 2003:66 - 67).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara mengalami konflik dalam dirinya.
Ara berpikir bahwa selama ini kecantikan dan keindahan tubuhnya yang telah
membuat dirinya masih hidup. Seandainya Ara tidak memiliki kecantikan ini,
mungkin ia termasuk dari sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan dalam
penjara yang baru saja ia lihat. Dari kejadian yang telah dialaminya, Ara hanya
mampu memahami keadaannya namun ia tidak mampu untuk berbuat apa-apa atas
keadaan dirinya tersebut.
Setelah melihat keadaan penjara itu, akhirnya Ara pulang dengan diantar
oleh seorang sersan inlander. Dalam perjalanan pulang tersebut, sersan sopir
menyampaikan keinginannya untuk bergabung dengan pejuang di pedalaman. ia
bersama beberapa orang temannya akan melarikan sebuah mobil dan beberapa
senjata serta amunisi. Ara menyanggupi permintaan sersan sopir tersebut untuk
memberikan surat penghubung ke daerah pedalaman.
65
Sesampainya di rumah ibunya, Ara menjumpai rumah tersebut dalam
keadaan kosong. Ara hanya bertemu dengan seorang kakek dan nenek yang
mengatakan bahwa ibunya bekerja menjadi babu di rumah orang Arab. Ia
berusaha mencari rumah orang Arab tersebut dan akhirnya berhasil bertemu
dengan ibunya.
Di rumah ibunya ini Ara sadar bahwa keadaan di daerah pendudukan sama
susahnya dengan di pedalaman. Ara tidak sempat memikirkan apa yang akan
dimakan hari ini, dan tidak mungkin ia minta makan kepada ibunya yang
kondisinya sangat menderita.
Tiba-tiba Larasati menjadi bingung. Pertanyaan itu tak pernah dipikirkannya sebelumnya. Apa kau minta makan dari ibu yang sudah setengah kelaparan? Apa mungkin? Ia gelengkan kepalanya yang indah. Matanya runtuh di atas ujung selopnya. Tidak. Ini bukan kesulitan yang pertama-tama. Ini kesulitan biasa. Tidak, aku bilang. Aku tidak akan serahkan diri pada lelaki siapa saja. Itu biarlah dilupakan oleh masa lampau. Sedang dulu pun ia tidak pernah serahkan diri tanpa sesuka hatinya sendiri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:82 - 83). Dari keadaan yang digambarkan di atas terlihat bahwa Ara mengalami
pertentangan dalam dirinya, ia tidak mungkin minta makan pada ibu yang
kondisinya sangat susah. Dalam kejadian ini Ara menyatakan sikapnya untuk
tidak menyerahkan tubuhnya hanya untuk sekedar mendapatkan makanan. Ara
menyadari bahwa kesulitan seperti ini bukan yang pertama kali ia hadapi, ia sudah
biasa menghadapi kesulitan semacam ini bersama para pejuang di daerah
pedalaman.
Di daerah pendudukan sering terjadi pertempuran antara pemuda dengan
tentara Nica. Setiap malam terdengar rentetan senjata otomatik dan ledakan
granat. Keadaan semacam ini tidak biasa terjadi di Yogya. Malam itu para
66
pemuda di kampungnya melakukan penyergapan terhadap terntara Nica yang
sedang melakukan patroli.
Pada malam yang sama setelah terjadi pertempuran, Ara didatangi oleh
sersan sopir Nica yang telah mengantarkannya pulang. Sersan sopir itu akan
melarikan mobil dan beberapa pucuk senjata serta beberapa kawan untuk dibawa
ke pedalaman, namun sersan sopir itu ingin minta surat pada Ara sebagai bukti
perjuangan. Karena tidak ada kertas untuk menulis surat, Ara menjanjikan agar
sersan sopir itu besok kembali lagi.
Ketika sedang berpamitan tiba-tiba beberapa orang pemuda berpakaian
preman menyergap. Para pemuda mencurigai sersan yang bernama Martabat itu
sebagai mata-mata. Martabat berusaha menjelaskan maksudnya menemui Ara
kepada pemimpin pemuda, namun para pemuda tersebut tidak mau percaya.
Pemimpin pemuda itu tidak tahu apakah Ara dan Martabat adalah seorang
pejuang atau mata-mata, sehingga pemimpin pemuda meminta jaminan agar dapat
percaya.
Ara tidak tahu jaminan apa yang diminta oleh pemimpin pemuda tersebut.
Kemudian Ara mendapat pikiran bahwa mereka berdua sendiri sebagai
jaminannya. Ara dan Martabat akan ikut bertempur di bawah komando pemimpin
pemuda itu.
“Kau!” pemimpin itu menuding Ara. “Bintang film, kan?” Apa bisa diperbuat bintang film dalam pertempuran?” “Dram! Larasati membentak marah. “Tahu apa kau tentang perjuangan bintang film? Sedang para pemimpin bisa hargai perjuangank, mengapa kau tidak? Apa kau lebih besar dari mereka? Lepaskan ikatan dia. Kalau hanya bertempur, ayoh. Aku juga bisa bertempur di bawah komando yang baik. Kapan kau mau bertempur? Sekarang?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:93).
67
Dari kejadian di atas terlihat bahwa Ara merasa direndahkan oleh sikap
pemimpin pemuda. Dalam kejadian ini Ara dihadapkan pada pendapat bahwa
bintang film tidak mampu memberikan sumbangan apapun pada perjuangan.
Sebagai bentuk sikap atas pernyataan pemimpin pemuda tersebut Ara menyatakan
untuk ikut bertempur pada malam itu juga.
Pasukan pemuda itu diam-diam mengawasi kedua orang itu, tak tahu apa yang mesti diperbuat. Melihat itu Ara segera menyerbu untuk menguasai suasana “Malam ini kami ikut bertempur. Mengapa diam semua?” “Ara!” seru ibunya. “Apa yang ditakuti, bu? Kita semua hidup terus-menerus dalam ketakutan. Apa kalian biasanya ketakutan? Tidak ada. Kalau revolusi menang, tidak seorang pun perlu takut lagi. Mari berangkat!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:93). Dari kutipan di atas terlihat sikap Ara dalam menghadapi pernyataan
pemimpin pemuda yang merendahkan peran bintang film dalam perjuangan. Ara
menyatakan keberaniannya untuk ikut bertempur malam itu juga. Pernyataan ini
merupakan bentuk sikap Ara atas pandangan yang merendahkan peran bintang
film dalam perjuangan.
Pada malam itu juga mereka bersiap untuk melakukan penyergapan
terhadap patroli Nica yang melewati kampung mereka. Dalam peristiwa
penyergapan ini Ara dihadapkan pada situasi yang belum pernah ia alami
sebelumnya, ia dihadapkan pada situasi saling bunuh-membunuh antara sesama
manusia bahkan sesama anak bangsa. Ketika petempuran telah pecah, Ara sangat
takut dan tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pertempuran itu pemimpin pemuda
terluka akibat pecahan granatnya sendiri dan akhirnya dibawa ke rumah sakit.
Keesokan hari setelah terjadinya pertempuran antara patroli Nica dengan
pemuda, tentara Belanda mendatangi kampung tersebut untuk melakukan
penggeledahan dan mencari orang-orang yang terlibat dalam penyergapan tadi
68
malam. Semua penduduk kampung dikumpulkan dan disuruh berbaris. Dalam
pemeriksaan itu seorang kakek dan anak kecil dikeluarkan dari barisan, siapa saja
yang dikeluarkan dari barisan tidak akan pulang untuk selamanya. Orang yang
bertugas untuk menentukan dan menunjuk siapa saja orang-orang yang terlibat ini
menggunakan penutup kepala yang hanya terlihat kedua matanya yang berwarna
kuning.
Seusai penggeledahan, Ara memeriksa tas miliknya yang berisi ORI
(Oeang Republik Indonesia) dan ternyata uang itu hilang. Orang yang mengambil
uang ORI tersebut sebenarnya mengetahui bahwa Ara seorang republikein. Ara
merasa bahwa ia berada dalam bahaya, orang yang mengambil uang ORI tersebut
pasti memiliki maksud tersembunyi.
Ara akhirnya diminta oleh ibunya untuk kembali ke pedalaman karena
daerah pendudukan tidak aman untuknya, namun Ara bertekad untuk tetap tinggal
bersama ibunya. Keesokan harinya ketika ia bangun ibunya sudah tidak ada di
rumah, ia hanya bertemu dengan nenek yang juga menyarankannya untuk
meninggalkan daerah pendudukan.
“Mengapa aku mesti pergi?” “Ah kau, nak. Itu justru lebih berbahaya. Pergilah.” “Jadi si mata kuning itu kenal aku?” “Semua orang kenal siapa si mata kuning… Dengarkan kata kami, nak. Kau mesti pergi. Kau bisa celaka. Kau bisa mencelakakan semua orang di sini. Kau hanya seorang perempuan, tidak punya senjata pula. Kau juga tidak mungkin bisa pimpin nenek dan kakek-kakek ini bertempur.” “Biarlah, nek. Aku tinggal di sini.” “Kalau kau ditangkap jangan celakakan yang lain-lain.” “Insyaallah.” “Insyaallah? Akhirnya kau sendiri yang menentukan. Kau sendiri harus berusaha. Ingat kakek Mo dan anak itu. Mereka pun tidak akan seret yang lain-lain. Mereka sudah sedia untuk mati. Kami di sini belum kenal kau.” “Mereka akhirnya akan kenal aku. Aku sudah sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:117).
69
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara dihadapkan pada pilihan yang
sangat sulit, ia harus memilih antara tetap tinggal di daerah pendudukan atau
harus pergi meninggalkan daerah pendudukan. Jika tetap berada di daerah
pendudukan keselamatannya mungkin dalam bahaya, namun jika meninggalkan
daerah pendudukan mungkin keselamatnnya ibunya yang berada dalam bahaya.
Dari konflik yang dihadapinya ini Ara memutuskan untuk tetap tinggal di daerah
pendudukan, Ara mengambil keputusan ini karena ia menganggap dirinya sudah
menjadi seorang pejuang.
Setelah kejadian penggeledahan, rumah Ara didatangi oleh seorang laki-
laki dengan maksud untuk mencari Ara. Laki-laki tersebut adalah orang Arab
yang tinggal di rumah tempat ibunya bekerja sebagai babu. Ara bersembunyi di
belakang, dan akhirnya ditemui oleh nenek. Ara tidak dapat melihat wajah laki-
laki itu, ia hanya mendengar suaranya yang sepertinya pernah ia dengar. Sebelum
pergi laki-laki tersebut berpesan kepada nenek agar Ara datang ke rumahnya.
Setelah laki-laki itu pergi si nenek menjelaskan tentang keberadaan orang-orang
Arab di tempat ibu Ara bekerja. Nenek itu mengatakan kepada Ara bahwa orang-
orang Arab tersebut telah banyak membunuh penduduk di kampung ini.
Pada waktu itulah Larasati menyadari adanya bahaya yang mengancam
dirinya. Ara sepertinya telah mengenal tamu yang datang ke rumahnya, ia
mengenalinya sebagai kaki tangan Belanda yang tadi pagi memakai penutup
kepala untuk menunjuk orang-orang yang terlibat penyergapan. Ara menyadari
kedatangan tamu tersebut mencari dirinya, tamu itu menyandera ibunya agar Ara
mau datang ke rumahnya.
Tak pernah sebelumnya ia berlenggang begitu layu. Ayun tangannya begitu berat seperti batu gaib diikatkan pada pergelangannya. Ia tak tahu
70
apakah waktu ini ia harus menangis atau menentang atau harus menyerah. Ah. Itu orang asing yang berkuasa atas hidup dan mati pewaris yang sah dari tanah air sendiri. Apa mungkin yang demikian terjadi? Kalau dia Belanda, masih dapat diterima. Tapi dia Arab, yang tak tahu-menahu tentang politik! – yang dia tahu cuma duit dan datang ke Indonesia hanya cari duit (Pramoedya Ananta Toer, 2003:123). Kedatangan orang Arab ke rumahnya tersebut menyebabkan konflik dalam
diri Ara, dia tidak tahu harus menentang atau menyerah untuk menghadapi orang
Arab tersebut.
Sampai di tengah-tengah perjalanan ia berhenti. Ia ragu. Apakah layak seorang wanita datang ke rumah seorang asing dalam house-coat? Ia berhenti berpegangan pada tiang listrik. Menarik nafas dalam. Lantas apa aku kenakan? Lantas apa mesti aku kenakan? Pakaian orang lain? Orang lain siapa? Revolusi ini tidak memberi sesuatu pun, dia minta dari setiap orang – segala-galanya. Mengapa si Arab itu meminta? Dia yang tidak punya sangkut-paut sedikit pun dengan Revolusi? Apakah aku dengan sukarela berjalan seorang diri menuju tiang gantungan? Mendadak ia tengadahkan kepalanya ke langit. Tidak! Tidak mungkin. Ia lepaskan pegangannya dari tiang listrik. Ia kepalkan tangannya dan digocohkannya tiang listrik itu sekali. Membalik dan bercepat-cepat pulang ke rumah. Ini bukan caranya. … Aku tunggu dia. Aku akan hadapi dia (Pramoedya Ananta Toer, 2003:123 - 124). Dari kutipan di atas terlihat sikap Ara yang tegas untuk tidak menyerah
terhadap ancaman yang ditujukan kepada dirinya, ia tidak akan mendatangi rumah
orang Arab tersebut. Ara bertekad untuk menunggu di rumah dan mencoba berani
untuk menghadapi orang Arab tersebut.
Setelah mengambil keputusan tersebut, Ara merasa lebih berani dari pada
sebelumnya. Ia merasa persoalan yang dihadapinya sekarang hanya dia sendiri
yang dapat menyelesaikannya. Pada malam harinya Martabat datang ke rumahnya
untuk meminta surat kepada Ara sebagai tanda bukti perjuangan untuk masuk ke
daerah pedalaman. Ara mengutarakan maksudnya kepada Martabat untuk ikut
pergi ke pedalaman bersama ibunya.
71
“Maksudmu tidak ada tempat?” “Tentu saja tidak. Maksudku kami sedang melakukan terobosan maut. Itu tidak tepat bagi seorang wanita, walau kami ingin membawa.” Tak terkirakan kecil hati Larasati mendengar jawaban itu. Ia belum dimasukkan ke dalam kelas pejuang oleh si Martabat ini. Tapi ia menjaga agar tak membantah, tidak melukai rencana anak muda itu…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:125). Pernyataan Martabat kepada Ara tersebut membuat Ara merasa dikecilkan,
ia merasa belum dianggap sebagai seorang pejuang. Sebagai seorang perempuan
ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang pejuang pada waktu ikut dalam
penyergapan kemarin malam. Dalam menghadapi keadaan ini Ara berusaha untuk
tetap bersikap baik terhadap Martabat, sebagai seorang pejuang ia tidak ingin
merusak rencana Martabat yang telah direncanakan dengan matang.
Keesokan harinya tamu orang Arab yang kemarin mencarinya akhirnya
datang. Tanpa dipersilakan tamu itu langsung masuk ke rumah. Tamu itu
memperkenalkan diri dengan nama Jusman, ia mengaku memiliki orkes gambus
dan bermaksud ingin mengajak Ara untuk bergabung sebagai penyanyi. Selama
percakapan itu berlangsung, Ara mengawasi tamu itu dan merasa semakin yakin
bahwa tamunya adalah orang yang memakai penutup kepala pada waktu
pemeriksaan oleh tentara Nica beberapa hari yang lalu. Ara mengenali tamu itu
dari warna matanya yang kuning.
Permintaan orang Arab agar Ara bergabung sebagai penyanyi dalam
orkesnya akhirnya ditolak Ara. Sebelum pergi orang Arab itu mengancam Ara
bahwa ibunya tidak akan selamat kalau Ara tidak memenuhi permintaan itu.
“Tapi nona, ibu nona juga di sana. Bagaimana pikir nona?” “Kau boleh ambil ibuku kalau suka. Dia boleh tidak pulang untuk selama-lamanya.” Pemuda Arab itu kini menatap nenek tapi tak berkata apa-apa. Akhirnya ia bangkit berdiri, bersiap hendak pulang, tetapi berhenti dan berpaling ke belakang, “Tapi ibu nona dalam bahaya.”
72
“Aku tahu. Aku juga tahu mata siapa yang memandangi aku dari balik sarung guling kemarin dulu.” Pemuda Arab itu tiba-tiba menegakkan badan, menghadapi Ara, dengan mata tajam mengawasi. Dengan suara mengancam ia berbisik, “Jadi kau tahu, bagus.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:132). Dari peristiwa di atas terlihat bahwa Ara dihadapkan pada pilihan yang
sangat sulit, ia harus memilih antara keselamatannya sendiri atau keselamatan
ibunya. Namun terlihat bahwa dalam diri Ara telah terbangun sikap berani dalam
menghadapi ancaman tersebut. Keberanian Ara ini semakin terbangun karena
pengalaman-pengalamannya selama ini telah membentuk keberanian dalam diri
Ara.
Beberapa bulan berlalu dan ibunya juga tak kunjung pulang. Pada suatu
hari Ara memutuskan untuk mendatangi kantor Republik untuk mencari
pekerjaan, namun tidak ada satu pun kantor yang ada lowongan. Belanda
melancarkan aksi militernya pertama, di mana-mana terjadi pertempuran antara
patroli Belanda dengan pemuda. Ara tidak tahu banyak tentang keadaan politik
pada saat itu sampai akhirnya ia mendengar bahwa Yogya sudah jatuh ke tangan
Belanda.
… Ara tak banyak tahu tentang perkisaran politik. Tak banyak mengikuti diplomasi. Kota-kota jatuh ke tangan Belanda. Juga Yogya sendiri. dan berita runtuhnya Yogya disambut Ara dengan tangis tersedan-sedan. Dengan air mata yang mengucur sejadi-jadinya membasahi wajahnya yang kian menjadi kurus dan pucat. Tidak, keyakinanku tidak bisa digoncangkan dengan jatuhnya Yogya. Revolusi tidak pernah kalah. Setiap kekalahan yang dideritakannya tidak lain dari kemenangan kaum koruptor. Revolusi selalu menang (Pramodya Ananta Toer, 2003:134). Berita mengenai jatuhnya Yogya ke tangan Belanda membuat semangat
berjuang Ara menjadi lemah. Ara yakin bahwa jatuhnya Yogya ke tangan Belanda
akibat dari korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan di
pemerintahan. Dari kutipan yang ada di atas terlihat bahwa sikap Ara terhadap
73
perjuangan tidak akan digoyahkan oleh jatuhnya Yogya, Ara yakin bahwa
revolusi tidak akan dapat dikalahkan oleh para koruptor.
Setelah mendengar kabar mengenai jatuhnya Yogya, Ara hanya berjalan-
jalan tanpa tujuan. Di suatu taman Ara bertemu dengan seorang laki-laki yang
sepertinya pernah ia kenal. Ia berusaha untuk mengingat laki-laki itu dan akhirnya
ia tahu bahwa orang itu adalah Chaidir. Chaidir adalah seorang penyair yang dulu
pernah Ara temui di Yogya.
Pertemuannya dengan Chaidir ini sangat mempengaruhi pribadi Ara dalam
memandang dan memaknai Revolusi. Chaidir mengatakan kepada Ara bahwa
revolusi membutuhkan segala-galanya, apapun yang bisa diberikan oleh orang
kepada revolusi harus diterima dan bukan untuk ditolak. Chaidir adalah salah
seorang seniman yang memiliki semangat untuk berjuang membantu revolusi
dengan seni, namun banyak pemimpin yang meragukan dan mengecilkan peran
seni dalam revolusi. Chaidir memandang jatuhnya Yogya ke tangan Belanda
akibat para pemimpin yang angkuh dan gila hormat.
Pertemuan antara Ara dan Chaidir akhirnya harus diakhiri, mereka berdua
berpisah di sebuah pertigaan jalan. Ara melanjutkan jalannya sampai kemudian
terdengar suara orang yang memanggil namanya. Orang yang memanggil
namanya tersebut ternyata Jusman, Ara mencoba mempercepat langkahnya namun
tangan Jusman telah mencengkam tangannya. Ara tiba-tiba merasa tidak memiliki
kekuatan untuk melawan cengkaman tangan Jusman dan hanya pasrah mengikuti
Jusman.
Mulai hari itu Ara telah berada di bawah kekuasaan Jusman, Ara harus
menjadi tawanan dalam rumah orang Arab tersebut tanpa dapat berbuat apapun
74
untuk perjuangan. Telah sebulan lebih Ara tinggal bersama Jusman, ia tidak tahu
sama sekali mengenai keadaan yang terjadi di luar. Jusman tidak akan
mengizinkan Ara untuk keluar rumah, akhirnya Jusman membelikan sebuah radio
untuk memenuhi keinginan Ara. Pada sebuah siaran radio Ara mendengar berita
mengenai kematian Chaidir. Ara teringat kembali mengenai kejatuhan Yogya,
tentang kekalahan, termasuk kekalahannya sendiri.
Chaidir mati. Chaidir? Yogya telah jatuh. Para penguasa dan pembesar sudah kibarkan bendera kain kafan, menyerahkan diri dalam perlindungan Sri Ratu. Sekarang Chaidir pula. Dia meninggal! Dia – Revolusi itu sendiri! Dan aku – aku sendiri telah patah dua di sini. Aku – Revolusi itu sendiri juga, seperti kata Chaidir. Apa nasibnya Revolusi kemudian? Chaidir mati. Chaidir anak kerempeng bermata merah itu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:147). Berita menegenai kematian Chaidir menyebabkan konflik dalam diri Ara,
ia merasa bahwa revolusi sudah kalah termasuk Ara sendiri. Ara merasa kalah
karena selama ini tidak dapat berbuat apapun untuk perjuangan selama di bawah
kekuasaan Jusman. Namun berita mengenai kematian Chaidir ini tidak selamanya
membuat padam semangat Ara dalam berjuang, ia mencoba untuk menemukan
kembali dirinya sebagai bagian dari perjuangan dengan keinginannya menulis
naskah sandiwara yang berisi tentang kebesaran revolusi.
Sudah sejak di rumah ini ia ingin menulis, ia ingin mengarang. Tapi ia tidak mampu. Ia ingin menyusun sebuah repertoire sandiwara yang melukiskan kebesaran Revolusi, dan ia ingin tunjukkan dirinya sendiri di tengah-tengah situasi revolusioner, sebagai tokoh dan juga sebagai api revolusi itu sendiri. Ia akan tokohkan pikiran-pikirannya dan perasaan-perasaannya. Ia akan hukum pembesar-pembesar dan peguasa-peguasa jaman Revolusi itu, yang bercokol seperti feodal baru di atas pundaknya tubuh Revolusi, dan yang segera terbirit-birit apabila saatnya datang untuk menetukan sikap dan mengambil tindakan. Berkali-kali ia merancang bagan, tetapi selalu gagal (Pramoedya Ananta Toer, 2003:148 - 149). Keinginan Larasati untuk mengarang sebuah naskah sandiwara yang
melukiskan kebesaran revolusi seperti pada kutipan di atas merupakan bentuk
75
sikap Ara sebagai seorang seniman yang berjuang demi revolusi. Ia merasa
selama ini tidak mampu untuk berbuat apa-apa terhadap perjuangan, dan sekarang
ia ingin membuktikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan.
Ara tetap mencoba mencari berita tentang kematian Chaidir melalui radio,
namun tetap saja tidak ada. Ketika hari sudah mulai malam Jusman belum juga
pulang. Di tengah malam terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Mobil
tersebut dikendarai oleh seorang sersan Belanda yang memberitahukan bahwa
Jusman berada di rumah sakit. Ara keluar rumah dan mengambil bungkusan yang
terdapat lumuran darah, dan bungkusan tersebut berisi surat kabar pesanannya.
… segulungan koran dan majalah ada di dalamnya. Tiada sesuatu pun yang patut dicurigakan. Dan darah itu… Benda itu sekaligus memberitakan pada Ara, Jusman selalu ingat akan dirinya. sudah pasti ia meminta pada seseorang untuk menyampaikan padanya, apa yang dipesankannya pada Jusman. Ia terharu dan matanya berkaca-kaca. Dia cintai aku! Dia begitu jujur padaku. Tapi hatiku bukan buat dia. Hatiku buat sesuatu yang lain: Revolusi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:151). Dari kejadian yang digambarkan di atas, terlihat bahwa terjadi
pertentangan di dalam diri Ara. Ia harus memilih antara berjuang untuk revolusi
atau cinta kasih yang selama ini telah diberikan Jusman. Dalam menghadapi
pilihan ini Ara menunjukkan sikapnya yang tegas untuk tetap konsisten berjuang
demi revolusi.
Selama dalam sekapan Jusman ini Ara merasa dirinya telah kalah karena
tidak sanggup berbuat apapun untuk revolusi. Ara seharusnya mengikuti perintah
ibunya untuk kembali ke Yogya sehingga dapat membantu perjuangan, namun ia
tetap tinggal di Jakarta dan memasuki sarang pembunuh, yaitu rumah Jusman.
Waktu itu Ara tidak dapat berbuat dan menentukan sikap setelah mendengar
76
jatuhnya Yogya. Akhirnya ia menuruti kemauan Jusman demi keselamatan
ibunya.
… “Ibu, kau pejuang yang gagah berani.” “Huss, diam.” “Tapi ibu, setiap pejuang harus selalu bersedia untuk kalah.” “Bersedia kalah?” “Dalam perjuangan, bukankah kekalahan harus selalu diterima sebagai sahabat?” “Ara, aku tidak mengerti. Tentu kau lebih tahu dari aku. Tapi aku sungguh menyesal kau datang kemari.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:155). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara mampu menunjukkan sikap yang
tegar dalam menghadapi konflik yang sedang ia alami, sebagai pejuang Ara
sanggup menerima kekalahan tersebut sebagai sahabat. Meskipun Ara merasa
dirinya telah kalah selama berada di bawah kekuasaan Jusman, namun Ara
berusaha untuk tetap tidak mengkhianati perjuangan.
Pada suatu hari Ara berada di rumah sakit, sudah beberapa bulan ia
menjadi pasien spesialis penyakit dalam karena mengalami pendarahan-
pendarahan yang cukup serius selama beberapa minggu setelah kepulangan
Jusman. Di rumah sakit ini Ara mendapatkan kabar mengenai Republik yang
bersedia bekerja sama dengan Belanda.
… Lagi pula Republik sudah bersedia kerjasama dengan Belanda. Sebentar lagi pemimpin-pemimpin, yang ditawan di Prapat akan dikembalikan ke Yogya. Ara terlonjak bangun. Pemimpin? Masa pemimpin bisa diambil dan ditaruh kembali seperti bidak-bidak diatas papan catur? Tanpa diketahuinya darah menyembur dari pangkuannya, menjalar di lantai-lantai, merayap melingkar-lingkar. Ia terduduk kembali. Pemandangannya berkunang-kunang akhirnya pingsan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169). Dari kabar mengenai Republik yang bersedia bekerja sama dengan
Belanda serta para pemimpin yang akan di kembalikan ke Yogya meyebabkan
timbulnya konflik dalam diri Ara. Semuala Ara telah mendapatkan kembali
77
semangatnya sebagai seorang pejuang, namun sekarang semangatnya telah
melemah dan bahkan sampai menyerang fisiknya.
Sembuh? Selama jusman terus-menerus menempel pada batang hidupnya, ia tidak mungkin sembuh dan pendarahan-pendarahan ini akan semakin hebat. Tiba-tiba ia menyadari keadaannya: alangkah busuknya, kalau aku mati karena pendarahan dan pendarahan yang disebabkan pemuda Arab, pengkhianat Revolusi ini…betapa konyolnya! Ah, konyolnya! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169 - 170). Ara menyadari keadaan dirinya selama ini tidak berguna bagi revolusi
karena keberadaan Jusman di sisinya. Ia mengetahui bahwa selama ini Jusman
adalah mata-mata yang memberikan informasi kepada Belanda, sementara Ara
sendiri adalah seorang seniman republikein. Ara tidak sanggup berontak terhadap
Jusman, hal ini menyebabkan rasa bersalah timbul dalam dirinya.
Pada suatu hari Jusman datang mengunjungi Ara. Jusman terlihat tidak
seperti biasanya, ia seperti merasa tidak aman. Ara menduga bahwa bahwa
perkiraan politik telah membuat pemuda Arab ini menjadi panik. Jusman
bermaksud menikahi Ara agar tidak perlu lari ke Singapura atau Malaya karena
keadaan semakin memburuk. Ara tidak dapat memberikan jawaban dan akhirnya
Jusman harus lari ke Singapura.
Ara dan ibunya telah meninggalkan rumah Jusman dan kembali ke rumah
ibunya. Semangat revolusi semakin memudar di kampung-kampung karena
perundingan Meja Bundar tak kunjung memberikan hasil. Pada suatu hari
terdengar berita bahwa Tentara Nasional Indonesia akan masuk ke Jakarta. Ini
merupakan tanda bahwa revolusi telah menang, Belanda akan segera
meninggalkan bumi penjajahan. Orang-orang tidak peduli dengan bentuk Serikat
atau Kesatuan, yang penting bagi mereka adalah penjajahan Belanda telah
berakhir.
78
Meskipun Ara merasa dirinya kalah, ia sanggup menerima kekalahan
tersebut dengan besar hati. Ara menunjukkan sikap hormatnya terhadap
perjuangan dengan cara tidak mengkhianati perjuangan, dan akhirnya Ara dan
ibunya dapat menikmati kemenangan revolusi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Ara mengalami konflik
dalam dirinya. Konflik-konflik yang dialami Ara timbul karena pertentangan-
pertentangan antara dirinya dengan tokoh-tokoh lain serta situasi sosial yang
sedang dihadapinya. Kehadiran tokoh-tokoh lain dalam kehidupan Ara seperti
Mardjohan dan Jusman merupakan penyebab utama timbulnya konflik dalam diri
Ara. Kehadiran dua tokoh yang memiliki sifat oportunis dan juga pengkhianat ini
menghambat serta mempengaruhi keyakinan Ara terhadap perjuangan.
Dalam menghadapi konflik ini Ara dihadapkan pada situasi serta keadaan
yang melemahkan semangatnya dalam berjuang. Namun dalam menghadapi
konflik ini tokoh Ara menunjukkan sikapnya yang tegas untuk tetap berjuang
dengan caranya sendiri sebagai seorang seniwati dan berusaha untuk tidak
berkhianat terhadap perjuangan. Sikap tokoh Ara ini terbentuk dari pengalaman-
pengalaman serta pertemuannya dengan tokoh pemimpin pemuda dan Chaidir
yang membentuk pribadi Ara menjadi seorang pejuang.
BAB V
PENUTUP
79
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan dari keseluruhan analisis roman Larasati sebagai berikut.
Melalui teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud diperoleh gambaran tentang struktur
kepribadian tokoh Ara yang dipengaruhi oleh id, ego dan super ego. Ketiga sistem dalam
struktur kepribadian ini saling bekerja dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam
diri tokoh Ara, peran ego sebagai eksekutif kepribadian dapat bekerja dengan baik sehingga
mampu menjadi jembatan antara id dengan super ego. Namun dalam beberapa kejadian,
dorongan super ego lebih dominan dari pada id, hal inilah yang membentuk kepribadian Ara
menjadi seorang seniwati yang terlibat dalam perjuangan. Super ego yang merupakan aspek
moral kepribadian mendorong pribadi Ara untuk tetap konsisten pada perjuangan.
Konflik-konflik yang dialami Ara timbul karena pertentangan-pertentangan antara dirinya dan
tokoh-tokoh lain serta situasi sosial yang sedang dihadapinya. Kehadiran tokoh-tokoh lain
dalam kehidupan Ara seperti Mardjohan dan Jusman merupakan penyebab utama timbulnya
konflik dalam diri Ara. Kehadiran dua tokoh yang memiliki sifat oportunis dan juga
pengkhianat ini menghambat serta mempengaruhi keyakinan Ara terhadap perjuangan.
Dalam menghadapi konflik ini Ara dihadapkan pada situasi serta keadaan yang melemahkan
semangatnya dalam berjuang. Namun dalam menghadapi konflik ini tokoh Ara menunjukkan
sikapnya yang tegas untuk tetap berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang seniwati dan
berusaha untuk tidak berkhianat terhadap perjuangan. Sikap tokoh Ara ini terbentuk dari
pengalaman-pengalaman serta pertemuannya dengan tokoh pemimpin pemuda dan Chaidir
yang membentuk pribadi Ara menjadi seorang pejuang.
B. Saran
Saran yang peneliti sampaikan di sini berhubungan erat dengan hal-
hal yang bisa dikembangkan dalam penelitian ini.
1. Secara teoretis, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat dikembangkan untuk memperluas
wacana tentang penelitian sastra, khususnya dalam kerangka psikologi sastra.
80
2. Secara praktis, peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan bagi siapa saja yang mencermati segala sesuatu tentang kepribadian, atau yang
berminat pada kondisi kejiwaan manusia secara umum.
3. Secara umum, penelitian ini diharapkan mampu menjadi penegas kehadiran ilmu sastra dalam
masyarakat, setidaknya menegaskan bahwa ilmu sastra tidak kehilangan makna dan manfaat
di tengah masyarakat.
4. Penelitian terhadap roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer diharapkan agar dapat
dilakukan dengan konsep dan teori lain yang makin bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA Abu Ahmadi. 1979. Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu. Andre Hardjana. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Atar Semi, M. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. Bimo Walgito. 1978. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi
Offset. ____________. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Davidoff, Linda L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar (diterjemahkan oleh Mari
Jumiati). Jakartta: Erlangga. Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yoyakarta:
Kanisius. Fuad Hasan. 1984. Kamus Istilah Psikologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Gerungan, W. A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: Ereco. Hall, S. Calvin dan Lindzey Gardner. 1993. Teori-teori Psikodinamik (klinis)
(edisi terjemahan oleh A. Supratikna). Yogyakarta: Kanisius. Kartini Kartono. 1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju.
81
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pemuda Rosda Karya.
Mursal Esten. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung: Angkasa. __________. 1990. Kesusatraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:
Angkasa. Pramoedya Ananta Toer. 2002. Korupsi. Jakarta: Hasta Mitra. ___________________. 2003. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara. Putu Arya Tirtawirya. 1995. Apresiasi Puisi dan Prosa. Jakarta: Ikrar Mandiri
Abadi. Saifuddin Azwar. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:
Liberty. Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologi Sastra. Surakarta:
Muhammadyah University Press. Soediro Satoto. 1991. Metode Penelitian Sastra (Buku Pegangan Kuliah).
Surakarta: UNS Press. ____________. 1998. Telaah Drama Indonesia I (Buku Pegangan Kuliah).
Surakarta: UNS Press. Sumadi Suryabrata. 1993. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Usman Efffendi dan Juhaya S. Raja. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung:
Angkasa Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan
oleh Melanie Budianta). Jakarta: Gramedia. Zainuddin Fananie. 2000. Telaah sastra. Surakarta: Muhammadyah University
Press.
82
LAMPIRAN I
SINOPSIS ROMAN LARASATI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Roman ini mengisahkan perjalanan seorang perempuan bernama Larasati
atau Ara dari daerah pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan (Jakarta).
Ara adalah seorang aktris panggung dan bintang film yang ingin mulai lagi main
film untuk kepentingan revolusi. Dalam perjalanannya tersebut ia bertemu dengan
pejuang-pejuang yang rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan. Dari
pertemuan tersebut ia berjanji tidak akan bermain film untuk propaganda Belanda
melainkan untuk kepentingan perjuangan.
Pada sebuah tempat pemberhentian yang dikuasai oleh penguasa
pendudukan, ia bertemu dengan Mardjohan yang mengabdikan diri pada penjajah
hanya untuk mendapatkan keuntungan serta kenikmatan hidup. Mardjohan adalah
seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas untuk membuat film
propaganda untuk melemahkan perjuangan bangsa Indonesia. Ara kemudian
dibawa oleh Mardjohan untuk bertemu dengan pimpinannya.
83
Agar maksud Mardjohan tercapai, ia membawa Ara ke sebuah penjara
agar menyaksikan penderitaan yang akan dialami jika Ara tidak mau bekerja
sama. Di dalam penjara tersebut ia menyaksikan penderitaan yang harus dialami
para tawanan, namun bukan berarti Ara akan mau bekerja sama setelah
menyaksikan penderitaan tersebut. Ara justru semakin menegaskan sikapnya
untuk tidak mau bekerja sama dengan para pengkhianat.
Dari penjara Ara dibawa dengan mobil untuk istirahat, dalam perjalanan
ini Ara dibawa oleh seorang sopir NICA yang ternyata ingin menggabungkan diri
dengan para pejuang, Ara menyetujui dan berjanji akan memberinya surat agar
diterima oleh para pejuang di daerah pedalaman. Kemudian Ara minta diantar
sampai ke sebuah kampung di mana ibunya tinggal dan berjanji kepada sopir
NICA tersebut untuk bertemu esok harinya.
Kampung tempat tinggal ibunya tersebut ternyata adalah kampung para
pejuang yang sering dilewati patroli NICA. Para pemuda di kampung tersebut
semuanya bergerilya dan hanya orang-orang yang sudah tua saja yang berani
keluar. Di tempat inilah Ara terlibat dan merasakan pertempuran berlangsung. Ara
menyaksikan langsung bagaimana para pemuda kehilangan nyawanya demi
sebuah kemerdekaan.
Keesokan harinya Belanda melakukan penggeledahan untuk mencari
orang-orang yang terlibat dalam penyergapan. Orang yang menjadi algojo tersebut
adalah orang Arab yang tinggal dirumah tempat ibunya bekerja. Ara sangat benci
sekali dengan orang ini dan ingin membawa ibunya untuk keluar dari tempat
tersebut, namun ternyata orang Arab tersebut menyekap ibunya. Orang Arab
tersebut hanya akan melepaskan ibunya jika Ara mau tinggal bersama dengannya.
84
Ibunya menyuruh agar Ara pergi dari daerah pendudukan (Jakarta) dan
melupakan nasib ibunya. Untuk beberapa waktu Ara hidup di jalanan, selama di
jalanan tersebut ia bertemu dengan seorang kawan lamanya seorang penyair yang
bernama Chaidir. Pertemuan dengan kawannya ini sangat berkesan sekali
baginya, Ara akhirnya mengenal revolusi yang sesungguhnya, bukan revolusi
yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan.
Pada suatu waktu akhirnya Ara harus jatuh ke pelukan orang Arab
(Jusman), karena Ara tidak sanggup meninggalkan ibunya. Ia merasakan betapa
rendah dirinya dalam keadaan kekalahan. Ara merasakan hatinya pedih selama di
bawah kekuasaan orang Arab yang selama ini dibencinya, orang yang selama ini
telah mengambil nyawa orang-orang yang memperjuangkan sebuah kemerdekaan.
Selama dalam kekuasaan Jusman, Ara tidak dapat melakukan sesuatu yang berarti
untuk perjuangan, sementara banyak anak muda yang rela kehilangan nyawa demi
kemerdekaan. Konflik batin serta moral yang harus ia tanggung semakin berat dan
akhirnya ia harus menanggung sakit.
Waktu terus berjalan sampai akhirnya terdengar sebuah berita bahwa
Tentara Nasional Indonesia akan masuk ke Jakarta. Presiden Soekarno memasuki
Jakarta sebagai presiden menggantikan Gubernur Jenderal Belanda. Ara dan
ibunya meninggalkan rumah orang Arab tersebut karena Jusman harus lari ke
Malaya atau Singapura. Akhirnya Ara bertemu dengan kapten Oding, teman
seperjuangan ketika berada di Yogya. Mereka akhirnya tinggal bersama di sebuah
rumah bekas orang Belanda dan menikmati kemerdekaan.
85
LAMPIRAN II
A. RIWAYAT HIDUP PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925. Blora
merupakan kota kecil yang sangat bersejarah bagi Pramoedya. Banyak dari
cerita-ceritanya berlatar belakang geografis kota tersebut, misalnya Cerita
dari Blora, roman Perburuan dan Bukan Pasarmalam. Karena di kota Blora
itu ia dilahirkan dan dibesarkan, maka Pramoedya sangat paham mengapa
dan bagaimana peristiwa-peristiwa yang menjadi inspirasi cerita-ceritanya
itu terjadi.
Pramoedya Ananta Toer adalah anak sulung dari sebuah keluarga
Islam nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer (nama ini kemudian hanya
disingkatnya menjadi “Toer” saja dengan pertimbangan bahwa kata “Mas”
dalam “Mastoer” sangat feodal), adalah seorang guru HBS (Holandsch
Islandsche School) sebelum kemudian pindah dan mengajar di sekolah
partikelir IBO (Institut Boedi Oetomo). Ketika krisis ekonomi melanda serta
datang tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah liar,
membuat IBO banyak ditinggalkan murid-muridnya yang tidak sanggup lagi
86
membayar atau merasa bahwa IBO tidak bisa menjanjikan masa depan
karena karena tidak diakui pemerintah. Pak Mastoer akhirnya kembali
menjadi guru HIS, walaupun yang terjadi kemudian hari tak lebih dari
sekedar berstatus sebagai guru pengganti. Tindakan sang ayah sangat
mengecewakan Pramoedya yang menganggap sang ayah telah berkapitulasi
atau berkompromi dengan kekuasaan kolonial Belanda, meskipun ia dapat
memahami hal tersebut mengingat kondisi yang ada.
Aktivitas Pak Mastoer sendiri sebagai tokoh pergerakan di masa itu
cukup dikenal oleh masyarakat sekitar Blora. Pak Mastoer antara lain aktif
berpolitik menjadi anggota Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan
Soekarno. Beliau juga seorang aktivis pendidikan yang melalui IBO, banyak
mendirikan kursus-kursus kejuruan bagi pribumi serta menerbitkan buku-
buku perjuangan dan pelajaran. Aktivitasnya itu dapat diduga sangat
berpengaruh pada perwatakan Pramoedya kecil, terutama tumbuhnya jiwa
kerakyatan dan kebangsaan dalam dirinya, meskipun hal ini sangat terbatas
sejauh pemahamannya sebagai anak kecil.
Selain ayahnya orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan
masa kecil Pramoedya, sosok ibunya juga memberikan pengaruh yang tidak
sedikit. Ibunya adalah seorang aktivis perempuan bernama Oemi Saidah. Ia
adalah anak dari seorang selir penghulu Rembang yang telah melahirkan
Oemi Saidah yang diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Kisah
hidup neneknya yang demikian menjadi inspirasi bagi Pramoedya untuk
menulis roman Gadis Pantai, sebuah unfinished novel, karena roman itu
sebenarnya adalah buku pertama dari sebuah trilogi. Sangat disayangkan
87
bahwa dua naskah lainnya hilang dalam huru-hara 1965, saat ketika banyak
naskah Pramoedya dirampas dan dibakar sebelum sempat diterbitkan.
Ibu Pramoedya sendiri adalah seorang perempuan yang lembut dan
pada waktu tertentu bisa berubah menjadi keras dan tegas. Dalam ingatan
Pramoedya, ia adalah sosok perempuan satu-satunya di dunia yang ia cintai
dengan tulus. Di waktu-waktu kemudian ternyata sosok ibu ditempatkan
menjadi ukuran bagi Pramoedya dalam menilai setiap perempuan yang ia
kenal. Selain itu, sosok ini pulalah yang nampaknya menjadi figur yang
banyak ia citrakan sebagai sosok seorang ibu dalam beberapa ceritanya.
Misalnya dalam cerita pendek Yang Sudah Hilang ataupun Kemudian
Lahirlah Dia, seorang ibu yang tegas namun penuh kasih sayang.
Dengan latar belakang keluarga seperti itu, Pramoedya kemudian
masuk sekolah dasar yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Mengenai riwayat
pendidikannya ini, Pramoedya kecil bukanlah seorang siswa yang menonjol
secara prestasi. Tiga kali ia tidak naik kelas serta harus belajar langsung di
bawah pengawasan sang ayah. Dan ketika lulus dari kelas tujuh setelah
mengenyam sekolah dasar selama sepuluh tahun, ia justru diharuskan
kembali mengulang belajar di kelas tersebut oleh sang ayah yang masih
menganggap Pramoedya sebagai anak yang bodoh.
Pramoedya kemudian meneruskan pelajarannya di sebuah sekolah
kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya atas biaya ibunya, karena
sang ayah menolak menyekolahkan Pramoedya di MULO (setingkat SLTP).
Namun pecahnya Perang Dunia II membuat ijazah sekolah itu tak pernah
sampai di tangan Pramoedya. Hal ini erat kaitannya dengan wajib militer
88
yang dikenakan kepada para pelajar oleh pemerintah Jepang yang tidak
disukai Pramoedya, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan kursus
tersebut sebelum memperoleh ijazah.
Di awal penjajahan Jepang, Pramoedya menemui kenyataan pahit
karena ibu yang sangat dicintainya meninggal pada 3 Juni 1942 akibat TBC.
Kepergian sang ibu sangat mengguncang hati Pramoedya. Setelah ibunya
meninggal, Pramoedya berusaha membantu mengurus keluarga, karena ia
adalah anak sulung yang masih mempunyai tujuh orang adik. Saat berumur
17 tahun, bersama adiknya Pramoedya diharuskan meninggalkan rumah
dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jakarta, lalu tinggal di rumah
salah seorang pamannya.
Pertama kali datang ke Jakarta, Pramoedya bekerja sebagai juru
ketik di kantor berita Jepang, Domei. Di kantor ini Pramoedya mulai
mencoba menulis dan mengirimkannya ke koran Pemandangan, namun tak
ada satu karya pun dimuat. Selain itu Pramoedya juga pernah mendapat
kursus stenografi, ilmu ekonomi, sosiologi, sebelum akhirnya keluar dari
pekerjaannya, lalu melarikan diri dengan bersembunyi di sebuah desa
bernama Tanjung sampai masa kemerdekaan Indonesia.
Selain sebagai pengarang, Pramoedya juga sangat suka melakukan
riset sejarah. Tetralogi Karya Buru dan roman Arus balik bisa disebut
sebagai karya yang tak mungkin lahir tanpa dilakukan riset sejarah yang
mendalam. Riset sejarah kembali dilakukan Pramoedya untuk penulisan
buku Panggil Aku Kartini Saja, serta beberapa rangkaian karangan
mengenai Multatuli yang sangat dikaguminya. Karya Multatuli, Max
89
Havelaar, pernah diterjemahkannya dan secara bersambung dirubrik
kebudayaan Lentera, namun pemuatannya tidak selesai.
Kemampuan bahasa Belanda Pramoedya memang cukup baik meski
di masa kecilnya Pramoedya tidak begitu serius mempelajarinya. Selain Max
Havelaar, ia menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda berjudul
Moeder, Waarom Leven Wij? (Ibu, Mengapa Kita Hidup?) karangan Lode
Zielends, seorang yang bahasanya bagi orang Belanda sekarang pun tidak
mudah dipahami. Hal itu dilakukan Pramoedya di masa mudanya dan masih
banyak karya terjemahan Pramoedya yang lain. Semuanya semakin
memantapkan sosok Pramoedya bukan hanya sebagai sastrawan, tetapi juga
sebagai intelektual peneliti dan penterjemah.
Setelah merasa namanya sebagai pengarang sudah cukup dikenal,
akhirnya pada tanggal 13 Januari 1950. Pramoedya menikah dengan seorang
gadis yang telah dilamarnya sejak ia masih berada dalam penjara Belanda.
Banyak karya-karyanya yang ditulis di masa itu (sekitar tahun 1950-an).
Integritasnya pada kesusasteraan kemudian membuatnya mendapatkan
beasiswa dari Sticusa (Stichting Culturele Samunwerking, sebuah lembaga
kebudayaan Indonesia Belanda) untuk bekerja di Nederland. Beasiswa ini
hanya dijalaninya selama enam bulan dari rencana satu tahun.
Ternyata kondisi keluarga yang dibangunnya mulai memburuk di
tahun kelima perkawinan mereka, akhirnya Pramoedya bercerai dan tidak
berapa lama Pramoedya menikah lagi dengan gadis bernama Maimunah,
anak H.A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkemuka Mohammad
Husni Thamrin. Pramoedya menikah dalam situasi tanpa uang sedikitpun.
90
Meskipun begitu, dukungan teman-temannya cukup berarti. Rivai Apin,
A.S. Dharta, Ajip Rosidi, adalah teman-temannya yang menghadiri
pernikahan itu. Bahkan A.S. Dharta kemudian memberinya proyek
penerjemahan novel Maxim Gorky berjudul Ibunda, untuk membantu
menyelesaikan persoalan ekonomi yang berlarut-larut menimpanya.
Sebelum itu, Pramoedya sempat menerbitkan novel Korupsi (1954) dan
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954).
Pramoedya juga terlibat dalam penyusunan surat Kepercayaan
Gelanggang. Ia juga aktif dalam berpolitik. Ia juga diangkat sebagai anggota
Badan Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Putera (Pergerakan
Tenaga Rakyat). Selain itu menjadi ketua “Discusi Club Simpati Sembilan”,
sebuah kelompok diskusi yang antara lain mencetuskan “kembali ke UUD
1945”, pada tanggal 22-28 januari 1959. Pramoedya juga terpilih sebagai
anggota pimpinan pleno dalam Kongres Nasional Lekra yang diadakan di
Solo. Saat itulah secara resmi Pramoedya mulai dilibatkan dalam Lekra.
Karena Lekra memiliki kedekatan dengan PKI, maka para aktivis,
simpatisan dan siapapun yang diduga terlibat PKI banyak yang
dipenjarakan sebelum kemudian dibawa ke Pulau Buru, begitu juga dengan
Pramoedya.
Selama Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, semangat menulisnya
tidak menjadi luntur. Bahkan dari Pulau Buru inilah lahir karya masterpiece
Pramoedya. Empat buah buku yang disusun sebagai tetralogi Karya Buru
berhasil ditulisnya, begitu juga dengan roman Arus Balik.
91
Pada hari Minggu pagi 30 April 2006 di Utan Kayu, Jakarta Timur,
Pramoedya meninggal dunia karena penyakit infeksi paru-paru dan
komplikasi diabetes. Dua hal penting sepeninggal Pramoedya Ananta Toer
adalah warisannya untuk dunia dan perlakuan bangsa Indonesia terhadap
warisan itu. Warisan Pram terbesar adalah rasa cinta mendalam dari
berbagai bangsa pada sebuah negeri bernama Indonesia, sedangkan
perlakuan yang paling diharapkan adalah bagaimana warisan itu dapat
diterima dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
B. HASIL KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
1. Tulisan-tulisan semasa di SD, satu di antaranya pernah ditwarkan pada
penerbit Tan Koen Swie, Kediri, ditolak. Semua hilang.
2. Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan Balingka, Pasar Baru, Jakarta.
3. Kranji – Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi.
4. Perburuan (1950). Pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, (1949).
5. Keluarga Gerilya (1950).
6. Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen.
7. Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen.
8. Mereka yang Dilumpuhkan I dan II (1951).
9. Bukan Pasarmalam (1951).
10. Di Tepi Kali Bekasi (1951), sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada
22 Juli 1947.
11. Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen.
12. Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta (1953).
92
13. Gulat di Jakarta (1953).
14. Midah Si Manis Bergigi Emas (1954).
15. Korupsi (1954).
16. Cerita Calon Arang (1957).
17. Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
18. Panggil Aku Kartini Saja I dan II (1963), III dan IV dibakar Angkatan Darat,
13 Oktober 1965.
19. Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media, dibakar
Angkatan Darat, 13 Oktober 1965.
20. Wanita Sebelum Kartini, dibakar angkatan Darat 13 Oktober 1965.
21. Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita, bagian pertama trilogi tentang
keluarga penulis. Terbit sebagai buku (1987), dilarang Jaksa Agung. Jilid II
dan III dibakar Angkatan Darat, 13 Oktober 1965.
22. Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964). Dibakar Angkatan Darat
pada 13 Oktober 1965.
23. Mari Mengarang (1955), tidak jelas nasibnya di tangan penerbit Jalan Kramat
Raya, Jakarta.
24. Cerita dari Jakarta (1957).
25. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963).
26. Lentera (1965), kumpulan tulisan yang pernah diumumkan oleh Lentera.
Tidak jelas nasibnya di tangan penerbit di Jalan Pecenongan, Jakarta.
Semua karyanya dilarang oleh Kementrian PPK/ PDK, 1966.
27. Bumi Manusia (1980), bagian pertama tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung,
1981.
93
28. Anak Semua Bangsa (1981), bagian kedua tetralogi Buru. Dilarang Jaksa
Agung 1981.
29. Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981).
30. Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia.
31. Jejak Langkah (1985), bagian ketiga tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung,
1985.
32. Hikayat Siti Mariah, (ed.) Haji Mukti (1987). Dilarang Jaksa Agung, 1987.
33. Rumah Kaca (1988), bagian keempat tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung,
1988.
34. Sang Pemula (1985). Dilarang Jaksa Agung, 1985.
35. Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat (1995). Dilarang Jakasa Agung,
1995.
36. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995). Dilarang Jaksa Agung, 1995.
37. Arus Balik (1995).
38. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997).
39. Arok Dedes (1999).
40. Mangir (2000).
41. Larasati (Ara) (2000).
C. DAFTAR PENGHARGAAN
1988 Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989 Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.
94
1995 Wertheim Award, “for his meritorious services to the struggle for
emancipation of Indonesian people” dari The Wertheim Foundation,
Leiden Belanda.
1995 Ramon Magsaysay Award, “for Journalism, Literature, and
Creative Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the historical
awakening, and modern experience of the Indonesian people”, dari Ramon
Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina.
1996 UNESCO Madanjeet Singh Prize, “in recognition of his
outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence” dari
UNESCO, Paris, Perancis.
1999 Doctor of Humane Letters, “in recognition of his remarkable
imagination and distinguished literary contributions, his example to all who
oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom”, dari
University of Michigan, Madison, Amerika Serikat.
1999 Chanceller’s Distinguished Honor Award, “for his outstanding
literary achievements and for his contributions to etnic tolerance and global
understanding”, dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat.
1999 Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la
Culture et de la Communication Republique Francaise, Paris, Perancis.
2000 New York Foundation for the Arts Award, New York, Amerika Serikat.
2000 Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
Lain-lain 1978 Anggota Nederland Center, ketika itu masih di Pulau Buru.
95
1982 Anggota kehormatan seumur hidup dari International P.E.N.
Australia Center, Australia.
1982 Anggota kehormatan P.E.N. Center, Swedia.
1987 Anggota kehormatan P.E.N. American Center, USA.
1988 Deutschsweizerches P.E.N. member, Zentrum, Switzerland.
1992 International P.E.N. English Center, Great Britain.
1999 International P.E.N. Award Association of Writers Zentrum, Deutchland.