KONFLIK BATIN TOKOH BASRI DALAM NOVEL KETIKA LAMPU ... · KONFLIK BATIN TOKOH BASRI DALAM NOVEL...
Transcript of KONFLIK BATIN TOKOH BASRI DALAM NOVEL KETIKA LAMPU ... · KONFLIK BATIN TOKOH BASRI DALAM NOVEL...
KONFLIK BATIN TOKOH BASRI
DALAM NOVEL KETIKA LAMPU BERWARNA MERAH
KARYA HAMSAD RANGKUTI
(ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Fransiskus Kresno Widiat Moko
NIM : 004114062
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2006
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Bapak dan Ibu tercinta
2. Kedua Adikku Yoyok dan Devi yang kusayang
3. Mbah Sastrorejo Kakung dan Puteri
4. Mbah Kartorejo Kakung (Alm) dan Puteri
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
kasih, kekuatan dan rahmat-Nya dari hari ke hari sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dorongan dan
bimbingan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak, skripsi ini tidak
dapat terselesaikan. Untuk itu dengan tulus dan kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum dosen pembimbing I yang telah membantu
dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal hingga akhir
skripsi selesai.
2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S. M. Hum dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan pertimbangan dengan penuh kesabaran.
3. Drs. Hery Antono, M, Hum dosen Sastra Indonesia yang selalu memberi
dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan kuliahnya.
4. Dra. Tjandrasih Adji, M. Hum dosen Sastra Indonesia terimakasih atas
kesabarannya dalam membimbing kepada penulis.
5. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum; Dr. Alex Sudewa; Drs. Yoseph Yapi
Taum, M. Hum; Drs. FX. Santoso, M.S; Drs. P. Ari Subgyo, M. Hum dosen
Sastra Indonesia penulis mengucapkan terimakasih banyak atas ilmu yang
telah diajarkan kepada penulis. Semoga berguna bagi penulis.
6. Bapak dan ibuku tersayang yang telah dengan sabar mendoakan,
membimbing dan mendorong penulis, juga memberikan dana untuk
vi
memperlancar penulisan skripsi ini. Maaf kalau terlalu lama, tetapi akhirnya
selesai juga.
7. Kedua adik-adikku tersayang, Yoyok dan Devi yang selalu memberi
semangat dan dorongan. Mas salut sama semangat dan kerja keras kalian
sehingga dapat menyelesaikan studi dengan nilai yang memuaskan. I miss
you a ll.
8. Mbah kakung dan mbah putri yang dengan penuh kasih sayang mendoakan,
memberi semangat, memberi nasihat-nasihat dan juga omelan-omelan tetapi
hal ini membuatku terus maju dan berkembang. Serta uang sakunya setiap
kali mau pulang ke Jogya walau kadang kutolak tetapi mbah kadang
memaksa sampai-sampai hilang dua kali.
9. Om dan bulikku tersayang yang selalu mendoakan memberi nasihat dan
dukungannya. I’ll always remember that.
10. Retha tersayang yang sudah menemaniku selama aku kuliah di Jogya. Aku
tidak akan pernah melupakan sayang yang kamu telah berikan. Tanpa kamu
aku belum bisa menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih Tuhan
memberkatimu.
11. Anak-anak angkatan 2000 yang sudah mau berbagi sama aku terutama Dion,
Eko, Sigit, Kelik, Hendro, Yadi, dan Alm Joe (semoga kebaikanmu diterima
di sisi-Nya).
12. Teman-temanku Gagat, Dika, dan Faqih. Thanks atas pinjemannya good luck.
13. Semua pihak yang terkait dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebut satu persatu. Terimakasih banyak atas bantuannya baik secara
vii
langsung maupun tidak langsung. Penulis berharap semoga Tuhan akan
membalas semua kebaikan yang telah anda berikan pada penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Namun,
penulis berharap semoga karya yang sederhana ini dapat berguna bagi banyak pihak
dan khususnya bagi para pembaca sekalian.
Yogyakarta, 24 November 2006
Penulis
viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 November 2006
Penulis
ix
ABSTRAK
Widiat Moko, Kresno. 2006. Konflik Batin Tokoh Basri dalam Novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Karya Hamsad Rangkuti: Analisis Psikologi Sastra. Skripsi S-1. Sastra Indonesia. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini mengkaji konflik batin Basri dalam novel Ketika Lampu
Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk memaparkan antara lain: tokoh, alur, latar serta relasi antarunsur dan digunakan untuk memaparkan konflik batin tokoh Basri dalam Novel Ketika Lampu Berwarna Merah.
Konflik batin Basri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (i) konflik batin Basri sebelum pergi ke ibu kota; (ii) konflik batin Basri sesudah pergi ke ibu kota.
Konflik batin yang terjadi sebelum tokoh Basri pergi ke ibu kota disebabkan oleh keramaian kota Jakarta yang dilihatnya lewat layar televisi di halaman kantor kelurahan.
Konflik batin yang terjadi sesudah tokoh Basri pergi ke ibu kota dibedakan berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya konflik batin, yaitu: (i) Basri mengalami penolakan dari pedagang martabak; (ii) saat Basri menceritakan perasaannya pada teman-teman betapa ia merindukan kampung halaman, ayah, dan ibunya; (iii) ketika Basri menolong Sulistinah saat digendong laki-laki yang tidak dikenal; (iv) saat Basri menolak ikut pergi bersama ayah, ibu, dan penduduk desa ke tempat mereka dipindahkan.
Kebutuhan-kebutuhan dasar tokoh Basri selalu muncul lebih dari satu secara bersamaan. Di dalam pemenuhannya tokoh Basri tidak mungkin memenuhinya dalam waktu yang bersamaan.
x
ABSTRACT Widiat Moko, Kresno. 2006. The Inner Conflict of Basri Character on Ketika Lampu
Berwarna Merah. The work of Hamsad Rangkuti: Psychological Literatur Analysis. S-1 Thesis. Indonesian Literature. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
The research investigated the innfer conflict of Basri character on the novel
of Hamsad Rangkuti, Ketika Lampu Berwarna Merah. The research uses a descriptive method. The method was used to explain: character, plot, background and the relation of interelement and to explain the inner conflict of Basri character on Ketika Lampu Berwarna Merah.
The inner conflict of Basri character can be divided into: (i) the inner conflict of Basri character before he go to the capital city, (ii) the inner conflict of Basri character after he went to the capital city.
The inner conflict of Basri character before he go to the capital city caused by after he seen the lively of Jakarta city on the television at the village office.
The inner conflict after Basri character went to the capital city differended based on the accident which forms the inner conflict of Basri character, the researcher divides into: (i) Basri experienced the refusal of martabak seller, (ii) Basri revealed his feeling to his friends about how much he longing to his village, his father and mother, (iii) Basri helped Sulistinah when she was carried by an unknown man, (iv) Basri refused to go with his father, mother and another villagers to the place where they were moved.
The basic needs of Basri character was always appear more than one at once. In the fulfillment of the needs, it was impossible for him to fulfill the needs at once. This make the researcher to conclude that Basri character experienced the inner conflict.
xi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.............................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ iv
KATA PENGANTAR........................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................................ viii
ABSTRAK............................................................................................................ ix
ABSTRACT............................................................................................................ x
DAFTAR ISI......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................ 4
1.5 Tinjauan Pustaka / Landasan Teori ................................................. 4
1.5.1 Tinjauan Pustaka ....................................................................... 4
1.5.2 Teori Struktural......................................................................... 5
1.5.2.1 Tokoh.............................................................................. 6
1.5.2.2 Alur ................................................................................. 7
1.5.2.3 Latar................................................................................ 10
1.5.2.3.1 Latar Tempat ...................................................... 10
xii
1.5.2.3.2 Latar Sosial......................................................... 11
1.5.2.3.3 Latar Waktu........................................................ 11
1.5.3 Psikologi Sastra......................................................................... 12
1.5.4 Psikologi Abraham Maslow...................................................... 13
1.5.4.1 Kebutuhan Fisik ............................................................. 15
1.5.4.2 Kebutuhan Akan Rasa Aman.......................................... 16
1.5.4.3 Kebutuhan Akan Dicintai dan Dimiliki.......................... 17
1.5.4.4 Kebutuhan Akan Penghargaan ....................................... 17
1.5.4.5 Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri................................... 18
1.5.5 Konflik Batin Tokoh ................................................................. 19
1.6 Metode Penelitian............................................................................. 20
1.6.1 Pengumpulan Data .................................................................... 20
1.6.2 Pendekatan................................................................................ 20
1.6.3 Metode Penelitian ..................................................................... 21
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data........................................................ 22
1.7 Sumber Data ..................................................................................... 22
1.8 Sistematika Penyajian ...................................................................... 22
BAB II ANALISIS STRUKTUR TOKOH, ALUR, LATAR DAN
RELASI ANTARUNSUR ..................................................................... 24
2.1 Tokoh ............................................................................................... 24
2.1.1 Tokoh Protagonis ...................................................................... 24
2.1.1.1 Basri................................................................................ 25
2.1.2 Tokoh Antagonis....................................................................... 28
xiii
2.1.2.1 Pipin ................................................................................ 29
2.1.2.2 Sulistinah ........................................................................ 30
2.1.2.3 Kartijo ............................................................................. 34
2.2 Alur ................................................................................................. 36
2.2.1 Paparan...................................................................................... 37
2.2.2 Rangsangan............................................................................... 38
2.2.3 Gawatan .................................................................................... 39
2.2.4 Tikaian ...................................................................................... 40
2.2.5 Rumitan..................................................................................... 41
2.2.6 Klimaks ..................................................................................... 42
2.2.7 Leraian ...................................................................................... 43
2.2.8 Selesaian.................................................................................... 43
2.3 Latar ................................................................................................. 45
2.3.1 Latar Tempat............................................................................. 45
2.3.1.1 Perempatan Lampu Lalu Lintas ..................................... 45
2.3.1.2 Pedagang Martabak Dekat Restoran Can Nyan
di Jalan Sabang............................................................... 46
2.3.1.3 Monumen Nasioal .......................................................... 46
2.3.1.4 Panggung Orkes ............................................................. 47
2.3.1.5 Belakang Tembok Gudang Beras................................... 47
2.3.1.6 Emper Toko.................................................................... 48
2.3.1.7 Di atas kapal “Bengawan”.............................................. 48
2.3.2 Latar Waktu............................................................................... 49
xiv
2.3.3 Latar Sosial ............................................................................... 51
2.4 Relasi Antarunsur ............................................................................. 54
BAB III ANALISIS KONFLIK BATIN TOKOH BASRI
MENGGUNAKAN TEORI ABRAHAM MASLOW ........................... 56
3.1Konflik Batin..................................................................................... 58
3.1.1 Konflik Batin yang Terjadi Sebelum Tokoh Basri Pergi ke
Ibu Kota..................................................................................... 60
3.1.2 Konflik batin yang Terjadi Sesudah Tokoh Basri Pergi ke
Ibu Kota..................................................................................... 62
3.1.2.1 Basri Mengalami Penolakan dari
Pedagang Martabak........................................................ 63
3.1.2.2 Perasaan Basri tentang Kampung Halaman....... 64
3.1.2.3 Ketika Basri Menolong Sulistinah Saat Digendong
Laki-Laki tidak Dikenal ................................................. 66
3.1.2.4 Saat Basri Menolak Ikut Pergi Bersama Orang tua
dan Penduduk Desa ke Tempat Mereka Dipindahkan... 67
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 72
4.1Kesimpulan........................................................................................ 72
4.2Saran.................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1979: 1). Menurut Luxemburg (1989:
12) dalam suatu cerita, novel atau sajak, hubungan antara tokoh atau situasi yang
digambarkan sesuai dengan kenyataan sama sekali lain. Pada umumnya tak
mungkin diteliti apakah dalam teks semacam itu keadaan yang digambarkan
sesuai dengan kenyataan: kalaupun mungkin, tidak ada gunanya.
Menurut Oemardjati (1970: 153-154) sastra tidak saja lahir karena
fenomena logis, tetapi juga karena kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai
sesuatu yang imajinatif, juga fiktif yang dapat dipertanggungjawabkan. Sastrawan
ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan,
tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapatnya,
kesan-kesan, perasaannya terhadap sesuatu. Apa yang dikemukakan Oemarjati
benar. Ketika menciptakan novel KLBM, Hamsad Rangkuti ingin menyampaikan
pikiran, pendapat, kesan-kesan, dan perasaannya tentang orang-orang kecil. Jadi
novel KLBM karya Hamsad Rangkuti tidak lahir begitu saja, tetapi karena
sastrawan ingin menyampaikan pikiran, pendapat, kesan-kesan, dan perasaannya
tentang orang-orang kecil.
Apabila ditinjau dengan saksama, apa yang dilakukan oleh seorang
kritikus sastra sebenarnya sangat sederhana. Ia mengambil setiap karya sastra
2
yang mana pun dan bagaimanapun wujudnya untuk dibaca. Ia membaca setiap
karya yang bisa dia dapatkan, entah siapa pun penulisnya, lepas dari rasa senang
atau tidak, baik terhadap buku itu maupun penulisnya (Hardjana, 1985: 19).
Penulis merasa tertarik dengan novel Ketika Lampu Berwarna Merah
karya Hamsad Rangkuti karena kehidupan yang tercermin dalam novel ini, yakni
kehidupan sekelompok anak-anak pengemis yang kerap ditemukan di perempatan
jalan utama ibu kota. Selain itu, ada kehidupan lain yang saling bersinggungan,
seperti peminta -minta, pemulung, pelacur, dan tentang robohnya bangunan sebuah
komunitas untuk dan atas nama pembangunan (Hamsad, 2001: vi). Kehidupan
yang pelik dengan permasalahan fisik maupun psikis.
Basri sebagai tokoh utama dalam novel ini, dilukiskan sebagai tokoh yang
memiliki intensitas keterlibatan yang lebih banyak dengan tokoh lain di dalam
cerita. Sebab dari awal cerita pun penga rang telah melukiskan Basri sebagai anak
laki-laki yang memiliki hubungan baik dengan tokoh-tokoh lainnya. Selain itu,
konflik batin tokoh Basri dalam novel yang kemudian disingkat KLBM karya
Hamsad Rangkuti sejauh pengetahuan penulis belum pernah ditulis baik sebagai
karya ilmiah maupun makalah-makalah ilmiah. Oleh karena itu, penulis
mengangkat permasalahan tersebut menjadi topik pembicaraan dalam karya tulis
ini.
Dalam kajian ini, penulis mencoba menangkap dan menyimpulkan aspek-
aspek psikologis yang tercermin dalam perwatakan tokoh-tokoh dalam karya
sastra dengan tanpa mempertimbangkan aspek biografi pengarangnya. Penulis
dapat menganalisis psikologi para tokoh melalui dialog dan perilakunya dengan
3
menggunakan sumbangan pemikiran dari aliran psikologi Abraham Maslow.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh penulis sastra dalam kajian ini lebih
merupakan upaya mencari kesejajaran aspek-aspek psikologi dalam diri Basri
melalui dialog, perwatakan dan sebagainya dalam suatu karya dengan pandangan
tentang psikologis manusia menurut aliran psikologi tertentu (Roekhan via
Nurhadi, 1987: 148-149).
Dengan permasalahan yang belum pernah ditulis baik sebagai karya ilmiah
maupun makalah-makalah ilmiah, penulis berusaha menerangkan novel KLBM
dengan merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana unsur-unsur tokoh, alur, latar serta jalinan antarunsur dalam
novel KLBM?
1.2.2 Bagaimana konflik batin yang dialami tokoh Basri dalam novel KLBM
karya Hamsad Rangkuti?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan unsur-unsur tokoh, alur , dan latar serta jalinan antarunsur
dalam novel KLBM.
1.3.2 Mendeskripsikan konflik batin yang dialami tokoh Basri dalam novel KLBM
karya Hamsad Rangkuti.
4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dari segi praktis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan
apresiasi Sastra Indonesia khususnya novel KLBM.
1.4.2 Dalam bidang sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah cara seorang penulis mengkritik sebuah karya sastra, khususnya
karya sastra yang banyak mengandung pendekatan di bidang psikologi
sastra.
1.4.3 Dalam bidang psikologi, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan
tentang jiwa seseorang tokoh yang ada dalam sebuah karya sastra yang
berbentuk novel yang berjudul KLBM.
1.5 Tinjauan Pustaka / Landasan Teori
1.5.1 Tinjauan Pustaka
Novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti ini sempat
mendapat penghargaan dalam Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenia
Jakarta (DKJ) tahun 1981 ini. Sebelumnya, novel yang mengambil setting social
pada tahun 1970-an ketika DKI Jakarta di bawah pemerint ahan Gubernur Ali
Sadikin itu pernah dimuat secara bersambung di harian Kompas, 10 Juni-16 Juli
1981.
Rangkuti lebih dikenal khalayak sastra Indonesia sebagai cerpenis, seperti
halnya karya-karya Hamsad dalam bentuk cerpen, novel ini pun berbicara tentang
orang-orang kecil, yakni sekelompok anak-anak pengemis yang kerap ditemukan
diperempatan jalan utama ibu kota tempat lampu pengatur lalu lintas berada.
5
Dibalik keberadaan mereka ternyata ada rantai kehidupan lain yang saling
bersinggungan, seperti peminta-minta, pemulung, pelacur, dan tentang robohnya
bangun sebuah komunitas untuk dan atas nama pembangunan. Jalinan kisah yang
memayungi keberadaan sekelompok anak-anak pengemis itu disajikan pengarang
dengan gayanya yang khas: sederhana, namun tanpa kehilanga n daya tariknya
sebagai sebuah cerita.
Menurut Sarjono dalam (Horison, 2001) yang menjadi cirri khas penulisan
karya sastra ini dari Hamsad Rangkuti adalah tema yang pada dasarnya sederhana,
ibarat batu yang tidak kelewat mulia, digosok sedemikian rupa sehingga
memancarkan berbagai sisi warna yang memikat. Dalam novel ini Hamsad tidak
bercerita mengenai golongan atas. Golongan atas hanya sayup-sayup kita duga
dari akibat-akibatnya terhadap kehidupan kaum miskin dan rakyat kecil tempat
Hamsad begitu setia menceritakannya bagi kita.
1.5.2 Teori Struktural
Karya sastra merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang
bermakna. Struktur karya sastra menyarankan pada pengertian hubungan
antarunsur (intrinsik) seperti: alur, latar, tokoh (penokohan), sudut pandang, tema
yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara
bersama membentuk kesatuan yang utuh (Nurgiantoro, 1995: 36).
Jadi tujuan pemaparan adalah mengetahui fungsi dan keterkaitan
antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghadirkan
keseluruhannya (Nurgiantoro, 1995: 37).
6
Dengan demikian penulis mencoba menguraikan struktur novel ini yang
terdiri dari tokoh, alur, latar serta jalinan antarunsur. Pemilihan struktur novel ini
menurut penulis karena struktur yang seperti tema, amanat, sudut pandang yang
ada dalam novel ini tidak mendukung analisis konflik batin tokoh Basri.
1.5.2.1 Tokoh
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya be rwujud
manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan
(Sudjiman, 1988: 16). Berdasarkan sudut fungsi penampilannya. Menurut
Nurgiantoro (1995) tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu: tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis selalu memberi simpati dan empati kepada
pembaca karya sastra.
Tokoh-tokoh yang mengalami peristiwa dalam novel yang dipilih penulis
berwujud manusia. Oleh sastrawan salah satu tokohnya diberi nama Basri.
Namun, penulis tidak mengetahui kebenaran tokoh-tokoh ini nyata atau rekaan
yang memiliki sifat, kebiasaan tertentu sama atau mirip dengan individu dalam
kenyataan.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang diutamakan dalam novel yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai
pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiantoro, 1995:177).
Tokoh antagonis adalah tokoh yang kehadiran atau pemunculannya di
dalam sebuah cerita lebih sedikit, namun kehadiran tokoh antagonis akan sangat
7
mendukung tokoh protagonis. Jadi, tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak
sentral kedudukannya dalam sebuah cerita.
Pemunculan tokoh antagonis dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak
diperhitungkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
protagonis secara langsung ata upun tidak langsung (Nurgiantoro, 1995: 177).
Menurut penulis fungsi unsur tokoh dalam karya tulis ini adalah
mengetahui mana-mana saja tokoh yang termasuk tokoh protagonis dan antagonis.
Selain itu, penulis ingin menganalisis konflik batin tokoh Basri. Jadi perlu
memasukkan unsur tokoh sebagai landasan teori.
1.5.2.2 Alur
Alur sama dengan plot. Secara komplementer berkaitan dengan cerita
(story). Cerita sama dengan urutan peristiwa secara kronologis (Hartoko & B.
Rahmanto, 1986: 10).
Alur ialah peristiwa-peristiwa yang diurutkan yang membangun tulang
punggung cerita. Peristiwa-peristiwa tidak hanya meliputi yang bersifat fisik
seperti cakapan atau lakuan, tetapi juga termasuk perubahan sikap tokoh yang
merubah jalan nasib. Alur dengan susunan yang kronologis disebut alur linier.
Menyajikan rentetan peristiwa dalam rentetan peristiwa dalam urutan temporal
bukanlah satu-satunya cara dan cara yang utama dalam penyusunan cerita rekaan
(Sudjiman, 1988: 26).
Suatu cerita mengandung urutan kronologis peristiwa-peristiwa yang
disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya,
8
maka terjadilah apa yang disebut sorot balik. Sorot balik ini ditampilkan dalam
dialog, dalam bentuk mimpi, atau sebagai lamunan tokoh yang menelusuri
kembali jalan hidupnya, atau yang teringat kembali kepada sesuatu peristiwa
dimasa lalu (Sudjiman, 1988: 29).
Struktur alur biasanya terdiri atas awal, tengah, dan akhir. Bagian awal ini
terdiri atas: paparan (expositin ), rangsangan (inciting moment), dan gawatan
(rising action). Pada bagian tengah terdiri atas tikaian (conflict), rumitan
(complication), dan klimaks. Pada bagian akhir terdiri atas leraian (falling action ),
dan selesaian (denoument) (Sudjiman, 1988: 30).
Paparan atau (expositin) adalah suatu penyampaian informasi kepada
pembaca. Paparan ini biasanya merupakan fungsi utama awal atau suatu cerita. Di
sini penulis memberikan keterangan sekedarnya untuk memudahkan pembaca
mengikuti cerita selanjutnya. Situasi yang digambarkan pada awalnya harus
membuka kemungkinan cerita untuk berkembang (Sudjiman, 1988: 32).
Rangsangan, yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan.
Rangsangan atau (inciting moment) sering ditimbulkan oleh masuknya seorang
tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator (Sudjima n, 1988: 32). Rangsangan
dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang
merusak keadaan yang semula serasa selaras. Tidak ada patokan tentang panjang
paparan, kapan disusul oleh rangsangan dan berapa lama sesudah itu sampai
gawatan (Sudjiman, 1988: 33).
9
Gawatan atau (rising action) menurut Sudjiman terjadi setelah paparan
disusul oleh rangsangan dan berapa lama sesudah itu sampai pada tahap ini
(Sudjiman, 1988: 35).
Tikaian atau (conflict) adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat
adanya dua kekua tan yang bertentangan. Satu di antaranya diwakili oleh manusia
sebagai pribadi yang biasanya menjadi protagonis dalam cerita. Tikaian
merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan
masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam
diri satu tokoh itu (Sudjiman, 1988: 35).
Rumitan atau (complication) adalah perkembangan dari gejala mula
tikaian menuju klimaks cerita. Dalam cerita rekaan rumitan sangat penting. Tanpa
rumitan yang memadai tikaian akan lamban.rumitan mempersiapkan pembaca
untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Penciptaan dan cara
mengendalikan rumitan menunjukkan kemahiran pengarang (Sudjiman, 1988: 35).
Klimaks dalam sebuah cerita menurut Sudjiman tercapai apabila rumitan
mencapai puncak ke hebatannya. Dari titik ini penyelesaian cerita biasanya sudah
dapat dibayangkan karena sejak titik alur ini menurun ada yang menyebutnya titik
balik atau krisis (Sudjiman, 1988: 35)
Bagian struktur alur sesudah klimaks, meliputi: leraian dan selesaian.
Leraian adalah perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Patut dicatat yang
dimaksud dengan selesaian di sini bukan penyelesaian masalah yang dihadapi
tokoh cerita. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh
jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan (happy ending), boleh
10
jadi juga mengandung penyelesaian masalah yang menyedihkan. Boleh juga
pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan, penuh ketidakpastian,
ketidakjelasan, ataupun ketidakpahaman (Sudjiman, 1988: 36).
Menurut penulis unsur alur dalam karya tulis ini adalah mengerti jalan
cerita novel KLBM. Untuk itu penilis perlu memasukkan unsur alur sebagai data
yang penting dalam menganalisis konflik batin tokoh Basri.
1.5.2.3 Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra
(Sudjiman, 1988: 46). Fungsi latar di antaranya: pertama, memberi informasi
situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya; kedua, ada latar yang berfungsi
sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh (Sudjiman, 1988: 46). O leh penulis
kedua fungsi latar ini dimasukkan dalam analisis struktur dan analisis konflik
batin. Fungsi latar dalam analisis struktur digunakan untuk menganalisis latar
tempat, sedangkan fungsi yang kedua digunakan penulis untuk membedakan latar
yang menyebabkan konflik batin tokoh Basri.
Menurut Nurgiantoro (1995: 27) ada tiga unsur pokok latar yaitu: latar
tempat, latar sosial, dan latar waktu.
1. Latar Tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan pada sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin
11
berupa tempat dengan nama tertentu, misal inisial tertentu, mungkin lokasi berupa
tempat-tempat tertentu tanpa nama jelas (Nurgiantoro, 1995: 228).
Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur
local colour, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam
karya sastra yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas,
tipikal, dan fungsional. Namun perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah
tidak hanya ditentukan oleh rincian deskripsi lokasi, melainkan lebih harus
didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya (Nurgiantoro, ibid.
hlm: 229).
2. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks. Ia dapat berubah kebiasaan hidup, adat istiadat, tra disi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan bersikap, dan lain-lain yang
tergolong latar spiritual (Nurgiantoro, ibid . hlm: 223).
3. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual fakta yang ada kaitanya atau
dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiantoro, ibid . hlm: 230).
12
Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan
waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, fungsional, sehingga tidak
dapat digantikan dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan
cerita yang lain (Nurgiantoro, ibid. hlm: 231).
Menurut penulis latar waktu dalam karya tulis ini digunakan untuk
menunjukkan “kapan” waktu terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan konflik
batin tokoh Basri.
1.5.3 Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari
sudut psikologi (Hartoko & B. Rahmanto, 1986: 126). Jadi, penulis berusaha
menerangkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan erat dengan tokoh Basri
yang ada dalam novel KLBM karya Hamsad Rangkuti. Menurut Sukada, (1987:
102) psikologi merupakan ilmu yang dapat membantu memecahkan masalah-
masalah kejiwaan.
Berbicara tenta ng permasalahan-permasalahan yang berkaitan erat dengan
jiwa tokoh Basri, menurut Wellek dan Warren (1995) terdapat empat aspek yang
saling bersinggungan antara psikologi dengan karya sastra, yaitu: pertama, studi
mengenai aspek psikologi penulis sebagai pengarang. Kedua, studi mengenai
aspek psikologi tokoh-tokoh dalam karya sastra. Ketiga, studi mengenai efek
karya sastra terhadap psikologi pembaca. Keempat, studi mengenai tipe -tipe dan
hukum-hukum karya sastra.
13
Dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra yang menunjuk pada
studi mengenai aspek psikologi tokoh-tokoh dalam karya sastra (aspek kedua)
penulis hendak menerangkan permasalah-permasalahan yang berkaitan erat
dengan konflik batin tokoh Basri.
Penulis menerangkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan erat
dengan konflik batin tokoh Basri menggunakan pendekatan psikologi Abraham
Maslow.
1.5.4 Psikologi Abraham Maslow
Abraham Maslow (1908-1970) dapat dipandang sebagai bapak psikologi
humanistik. Psikologi Humanistik ini merupakan psikologi yang merasa tidak
puas dengan psikologi behavioristik dan psikoanalisis, dan mencari alternatif
psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri eksistensinya. psikologi ini
kemudian dikenal dengan psikologi humanistik (Misiak dan Sexton dalam Bimo
Walgito, 1991:78)
Berdasarkan fokus dari perhatian Abraham Maslow tersebut, dan
sehubungan dengan objek permasalahan dari karya tulis ini adalah konflik batin
tokoh maka penulis mencoba menerapkan teori bapak psikologi humanistik untuk
mengupas struktur intrinsik (tokoh) novel yang dipilih penulis dengan tanpa
mempertimbangkan aspek biograf pengarang
Menurut Maslow psikologi harus lebih manusiawi, yaitu lebih
memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Psikologi harus
mempelajari kedalaman sifat manusia, selain mempelajari perilaku yang tampak
14
juga mempelajari perilaku yang tidak tampak: mempelajari ketidaksadaran
sekaligus mempelajari kesadaran (Walgito, 1991: 79). Hal inilah yang tercermin
di kehidupan Basri dalam novel KLBM perilaku yang tampak dan perilaku yang
tidak tampak; ketidaksadaran juga kesadaran acapkali juga dilupakan oleh
manusia sehingga manusia tersebut masuk ke dalam masalah. Hal tersebut oleh
penulis disebut konflik batin yang perlu diselesaikan atau dipenuhi.
Kriteria manusia atau tokoh masuk ke dalam masalah yang disebut konflik
batin oleh penulis. Bisa kita lihat dari perilaku manusia tersebut memandang
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi seperti dikemukakan oleh Maslow
dalam Ladislaus Naisaban (2004: 278-279), yaitu: (1) kebutuhan fisik; (2)
kebutuhan rasa aman; (3) kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki; (4) kebutuhan
akan harga diri; (5) kebutuhan aktualisasi diri.
Fungsi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia di atas dipakai penulis untuk
mendukung penyataan para ahli seperti Daradjat dan Irwanto yang menyatakan
batasan tentang seorang tokoh mengalami konflik batin adalah munculnya dua
kebutuhan atau lebih yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang bersamaan.
Konsep fundamental Maslow adalah manusia dimotivasikan oleh sejumlah
kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan
berasal dari sumber genetis atau naluriah. Kebutuhan-kebutuhan ini juga bersifat
psikologis, bukan hanya fisiologis. Kebutuhan-kebutuhan itu inti dari kodrat
manusia, hanya saja mereka itu lemah, mudah diselewengkan dan dikuasai oleh
proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru (Maslow via Goble, 1987: 70).
15
Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, kebutuhan dasar manusia menurut
Maslow yang akan diuraikan sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan konflik
batin tokoh Basri. Adapun kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan fisik,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan dicintai dan dimiliki, kebutuhan akan
penghargaan serta kebutuhan aktualisasi diri, seperti berikut:
1.5.4.1 Kebutuhan fisik
Kebutuhan fisik adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling
mendesak pemuasannya karena berkitan langsung dengan pemeliharaan biologis
dan kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan
akan makan, minum, oksigen, kegiatan, dan istirahat, seks, proteksi dari cuaca
yang ekstrem (panas-dingin), dan rangsangan-rangsangan sensoris (Maslow via
Naisaban, 2004: 278-279).
Kebutuhan adalah kebutuhan yang paling dasar, paling kuat, dan paling
jelas dari antara sekalian kebutuhan manusia adalah kebutuhannya untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman,
tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen (Goble, 1987: 71).
Menurut Maslow (Goble, 1987: 71) kendati kebutuhan fisiologis ini dapat
dipilah-pilah dan diidentifikasikan secara lebih mudah dibandingkan kebutuhan-
kebutuhan lain yang lebih tinggi, namun kebutuhan-kebutuhan tersebut dianggap
sebagai fenomena yang terpisah-pisah, yang berdiri sendiri-sendiri.
16
Dalam karya tulis ini kebutuhan fisik digunakan penulis untuk melihat
kebutuhan tokoh Basri akan makan, minum, tempat berteduh dan lain-lain yang
perlu dipenuhinya dalam kehidupan sehari-hari.
1.5.4.2 Kebutuhan Akan Rasa Aman
Manusia memiliki beragam kebutuhan, salah satunya adalah akan rasa
aman. Kebutuhan ini sungguh perlu dipenuhi setelah kebutuhan lainnya terpenuhi.
Menurut Maslow dalam (Koeswara, 1991: 12) kebutuhan akan rasa aman ini
adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh
ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya.
Indikasi lain dari kebutuhan akan rasa aman pada anak-anak adalah
ketergantungan. Menurut Maslow, anak-anak akan memperoleh rasa aman yang
cukup apabila mereka berada dalam ikatan dengan keluarganya. Sebaliknya, jika
ikatan ini tidak ada, maka si anak akan merasa kurang aman, cemas, dan kurang
percaya diri, yang akan mendorong si anak untuk mencari area-area hidup di mana
dia bisa memperoleh kententraman, dan kepastian atau rasa aman (Koeswara,
1991: 12).
Kebutuhan akan rasa aman biasanya terpuaskan pada orang-orang yang
normal dan sehat, maka cara terbaik untuk memahaminya ialah dengan
mengamati anak-anak yang mengalami gangguan neurotik (Maslow via Goble,
1987: 73).
Seseorang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan
stabilitas secara berlebiha n serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang
17
bersifat asing dan tidak diharapkannya. Orang sehat juga menginginkan
keteraturan dan stabilitas, namun kebutuhan itu tidak sampai menjadi hidup atau
mati seperti pada orang neurotik (Maslow via Goble, 1987: 73).
1.5.4.3 Kebutuhan akan Dicintai dan Dimiliki
Kebutuhan akan dicintai dan dimiliki adalah suatu kebutuhan yang
mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional
dengan individu lain baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis, da lam
lingkungan keluarga atau lingkungan kelompok dalam masyarakat. Kebutuhan ini
muncul dalam bentuk merasa diterima dalam keanggotaan kelompok, mengalami
rasa kekeluargaan, persahabatan antar dua orang, kekaguman, dan kepercayaan
(Maslow via Naisaban, 2004: 279).
1.5.4.4 Kebutuhan Akan penghargaan
Kebutuhan akan penghargaan oleh Maslow dibagi ke dalam dua bagian.
Bagian pertama adalah penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, dan
bagian yang kedua adalah penghargaan dari diri orang lain. Bagian pertama
mencakup hasrat untuk memperoleh kompetisi, rasa percaya diri, kekuatan
pribadi, adekuasa, kemandirian, dan kebebasan. Individu ingin mengetahui atau
yakin bahwa dirinya berharga serta mampu mengatasi segala tantangan dalam
hidupnya. Adapun bagian yang kedua meliputi antara lain prestasi. Dalam hal ini
individu butuh penghargaan atas apa-apa yang dilakukan (Koeswara, 1991: 124).
18
Terpuaskannya kebutuhan akan rasa harga diri pada individu akan
menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, rasa mampu, dan
perasaan berguna. Sebaliknya, frustasi atau terhambatnya pemuasan kebutuhan
akan rasa harga diri itu akan menghasilkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa
lemah, rasa tak mampu, dan rasa tak berguna, yang menyebabkan individu
tersebut mengalami kehampaan, keraguan, dan keputusasaan dalam menghadapi
tuntutan-tuntutan hidupnya, serta memiliki penilaian yang rendah atas dirinya
sendiri dalam kaitannya dengan orang lain. Maslow menegaskan bahwa rasa harga
diri yang sehat lebih didasarkan pada prestas i ketimbang prestise, status, atau
keturunan. Dengan perkataan lain, rasa harga diri individu yang sehat adalah hasil
usaha individu yang bersangkutan. Dan merupakan bahaya psikologis yang nyata
apabila seseorang lebih mengandalkan rasa harga dirinya pada opini orang lain
ketimbang pada kemampuan dan prestasi nyata dirinya sendiri (Koeswara, 1991:
125).
1.5.4.5 Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri
Maslow menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu
untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya.
Atau, hasrat dari individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan
segenap potensi yang dimilikinya (Koeswara, 1991: 125).
Kebutuhan aktualisasi diri adalah hasrat individu untuk menjadi orang
yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya. Atau hasrat dari
19
individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi
yang dimilikinya (Maslow via Naisaban, 2004: 279).
Maslow juga melukiskan kebutuhan ini sebagai “hasrat untuk makin
menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut
kemampuannya.” Maslow menemukan bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri ini
biasanya muncul sesudah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan
secara memadai (Maslow via Goble, 1987: 77).
1.5.5 Konflik Batin Tokoh
Nurgiantoro (1995: 124) membagi konflik menjadi dua kategori, yaitu
konflik fisik (internal conflict) dan konflik sosial (external conflict). Konflik
eksternal merupakan konflik yang terjadi antara seseorang dengan sesuatu yang
ada di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau lingkungan manusia.
Konflik eksternal dibedakan lagi menjadi konflik fisik dan konflik sosial. Konflik
fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan
lingkungan alam. Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan adanya kontak
sosial antarmanusia. Konflik internal adalah konflik yang terjadi di dalam hati,
jiwa seorang tokoh cerita atau konflik yang dialami manusia dengan dirinya
sendiri. Lebih lanjut, penulis akan meneliti konflik jenis ini, khususnya yang
dialami oleh tokoh Basri.
Menurut Daradjat (1985: 26-27) menjelaskan konflik atau pertentangan
batin adalah terdapatnya dua dorongan atau lebih, yang berlawanan atau
20
bertentangan satu sama lain, dan tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama.
Kecemasan merupakan manifestasi dari pertentangan batin (konflik).
Menurut Irwanto (2002) dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan
(dorongan) dalam diri seseorang tidak selalu muncul satu demi satu. Seringkali
muncul dua atau lebih dorongan (kebutuhan) dalam diri seseorang dalam waktu
yang bersamaan ini disebut konflik batin.
Dalam karya tulis ini penulis membutuhkan kejelasan mengenai batasan
tentang seorang tokoh mengalami konflik batin atau tida k. Jadi penulis
membutuhkan pandangan dari para ahli seperti Daradjat dan Irwanto untuk
membantu penulis memberikan batasan tentang seorang tokoh mengalami konflik
batin atau tidak sehingga penulis mudah dalam pengerjaan karya tulis ini.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Pengumpulan Data
Dalam karya tulis ini, pe nulis melakukan pengumpulan data dengan jenis
penelitian studi pustaka (library research ). Berarti data-data yang berhubungan
dengan permasalah. Berasal dari buku-buku referensi yang penulis baca sehingga
penulis menemukan jawaban atas permasalahan yang ditemukan.
1.6.2 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan penulis dalam memecahkan permasalahan
yang ada dengan menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural di
awal penelitian digunakan penulis untuk menjelaskan struktur dari novel KLBM.
21
Struktur novel KLBM yang dianalisis, yaitu: unsur tokoh, alur, latar, serta jalinan
antarunsur. Pendekatan lain yang digunakan penulis yaitu pendekatan psikologi
Abraham Maslow . Pendekatan ini digunakan untuk menjelaskan konflik batin
tokoh Basri dalam novel KLBM karya Hamsad Rangkuti. Menurut Goldman via
Teeuw (1983: 152), studi karya sastra harus dimulai dengan analisis struktural.
Langkah ini tidak boleh ditiadakan atau dilampaui, sedangkan pendekatan
psikologi dapat mengungkapkan karya sastra sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam hal ini mendeskripsikan konflik batin yang dialami tokoh Basri dalam
novel KLBM karya Hamsad Rangkuti.
1.6.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecaha n masalah yang diselidiki,
dengan menggambarkan atau melukiskan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Untuk
memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini, maka fakta yang ditemukan
harus diberi arti. Fakta atau data yang terkumpul harus diolah dan ditafsirkan
(Nawawi dan H. Mini Martini, 1994: 73).
Metode deskriptif digunakan penulis untuk memberi bobot pada karya
tulis ini dalam memecahkan permasalahan yang dianalisis yaitu konflik batin
tokoh Basri.
22
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik merupakan penjabaran dari metode dalam sebuah penelitian, yang
disesuaikan dengan nilai dan sifat (Sudaryanto, 1993: 26). Teknik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik catat dengan kartu. Teknik catat dig unakan oleh
penulis untuk mencatat data-data yang merupakan bagian dari keseluruhan novel
KLBM yang berkaitan dengan masalah di atas. Setelah data yang berkaitan dengan
permasalahan diperoleh, kemudian data tersebut diklarifikasi sebelum akhirnya
dianalisis berdasarkan teori yang digunakan yaitu psikologi sastra dari Abraham
Maslow.
1.7 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel karya
Hamsad Rangkuti.
Judul buku : Ketika Lampu Berwarna Merah
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2001
Cetakan : Pertama
Halaman : 210 Halaman.
1.8 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitia n ini
23
dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,
metode penelitian, sistematika penyajian, dan sumber data. Bab dua berisi analisis
unsur-unsur intrinsik seperti: tokoh, alur, latar, dan jalinan antarunsur dalam novel
KLBM. Bab tiga berisi analisis konflik batin yang dialami tokoh Basri dalam
novel KLBM menggunakan teori Abraham Maslow . Bab empat berisi kesimpulan,
dan saran.
24
BAB II
ANALISIS STRUKTUR TOKOH, ALUR, LATAR, SERTA
HUBUNGAN ANTARUNSUR
2.1 Tokoh
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa. Dalam novel KLBM ini terdapat tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh prota gonis dalam novel KLBM ini adalah
Basri. Sedangkan tokoh antagonis adalah Pipin, Manan, Kusni, Tom, Minto,
Sukri, Yanto, Ibu Pipin, Kakak Pipin, Tukang Warung, Mustafa, Kartijo,
Margono, Surtini, Carik Basuki, Penduduk, Tetangga Kartijo, Pedagang
Martabak, Sutrisno, Nyonya dan Suaminya, dan seterusnya. Dalam penelitian ini
tokoh antagonis yang akan dianalisis hanya tokoh Pipin, Sulistinah, dan Kartijo
yaitu tokoh yang mempunyai kaitan dengan tekanan batin yang dialami oleh tokoh
protagonis. Berikut pemaparan unsur tokoh dalam novel KLBM.
2.1.1 Tokoh Protagonis
Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang tokoh yang berada dalam
novel KLBM. Pada bab sebelumnya telah disebutkan tokoh protagonis dalam
novel ini adalah Basri karena ia digambarkan sebagai tokoh yang memiliki
intensitas keterlibatan yang lebih banyak dengan tokoh lain di dalam cerita
(Nurgiantoro, 1998: 129).
25
2.1.1.1 Basri
Basri adalah seorang pengemis yang mempunyai banyak teman.
Diceritakan oleh pengarang, Basri dan teman-temannya tergolong anak-anak
karena umur mereka yang masih muda belia. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(1) Di trotoar itu ada delapan orang anak pengemis sekitar sepuluh dan lima belas tahun (hlm: 3).
Pertemanan mereka diawali sejak “kapan” pengarang tidak
menuliskannya. Basri cukup baik menjalani pertemanannya sesama pengemis. Hal
ini terlihat dalam kutipan berikut:
(2) Lalu anak yang berteriak belum makan pagi itu cepat-cepat menggendong anak yang berkaki satu itu. Dari dalam gendongannya dia menyodorkan bagian kaki yang buntung itu ke deka t kaca mobil yang terhenti (hlm: 4).
Dengan gambaran di atas tadi seolah-olah Basri memanfaatkan temannya
yang cacat itu. Tidak seperti itu rupanya sifat Basri. Ia tokoh yang tahu
berterimakasih kepada temannya dengan menolong Pipin dibelikan martabak. Hal
ini terlihat dalam kutipan berikut:
(3) Basri pergi membeli martabak untuk Pipin (hlm: 30).
Di sinilah keraguan Basri sebagai pengemis terlihat. Dia ragu ketika
hendak membeli martabak. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(4) Basri masih menggenggam uangnya untuk satu porsi martabak dengan dua butir telur. Dia belum sempat memesannya pada tukang martabak itu. Dia masih memperhatikan dari jarak jauh. Nanti kalau orang sudah selesai membeli, baru aku memesannya. Bagaimana caranya memesan martabak? “Beli marta bak Tuan. Pakai dua telur. Begitu?” kata Basri dalam batinnya (hlm: 35).
26
Basri mengalami penolakan dari pedagang martabak. Dirinya dilecehkan,
dianggap pengemis tidak layak membeli martabaknya. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
(5) ”Kau memesan martabak dengan dua butir telur? Apakah kau hendak berolok-olok? Jangan ganggu aku. Ini uang dua puluh lima rupiah. Aku sedang menyiapkan empat belas porsi.” (hlm: 39).
(6) ”Saya sungguh-sungguh.”
“Tidak pernah ada pengemis membeli martabak. Aku tidak menjual martabak untuk pengemis.” (hlm: 40).
Basri menceritakan perasaannya pada teman-temannya. Betapa ia
merindukan kampung halaman, ayah dan ibunya. Dengan menceritakan Basri
boleh merasa lega. Tetapi, rasa rindunya belum selesai karena ia harus pulang
namun tidak bisa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(7) ”Aku tidak tahu bagaimana untuk pulang. Mengapa mereka tidak mencariku?” (hlm: 62).
(8) “Aku sudah berada di kaki monumen itu. Seharusnya aku sudah
puas. Aku sudah bisa meraba batu itu di pelatarannya dengan jari-jariku. Aku sudah menyentuhnya. Seharusnya aku sudah pulang.” (hlm: 62)
Basri adalah penolong bagi Sulistinah. Kejadiannya ketika ia menolong
Sulistinah kaka k Pipin yang beranjak dewasa dibawa laki-laki tidak dikenal. Saat
itu terjadi pertengkaran antara Basri dengan laki-laki tak dikenal. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
(9) Dia melihat Sulistinah digendong laki-laki yang tak dikenalnya. Dia bangun dan melompat menerkam laki-laki itu. Tetapi dia menghunus pisaunya. Basri menerkam pisau yang terhunus itu dan mengenai bagian kepalanya (hlm: 157).
27
Basri adalah anak hilang yang berhasil ditemukan. Ditemukannya si anak
hilang menjadi puncak dari akhir cerita ini, yaitu saat Basri bertemu dengan
ayahnya. Terjadi pergolakan yang luar biasa dalam diri Basri ketika dirinya
hendak diajak Kartijo ayahnya pergi bersama “Ibumu, ayah, dan penduduk desa
kita, Karanglo, akan berangkat malam ini ke Sitiung. Kita semua dipindahkan
pemerintah ke Sumatera. Desa kita akan dijadikan waduk. K ita akan membuka
daerah baru di Sitiung. Ibumu ada di atas kapal. Kita akan berangkat malam ini.”
(hlm: 192). Hal itu membuat hati Basri bingung (tertekan).
Basri menolak ikut bersama ayahnya pergi dengan alasan-alasan tertentu.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(10) ”Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Mereka yatim piatu. Mereka telah terlanjur saya anggap sebagai adik-adik sendiri. Saya tidak bisa ikut, Ayah.” (hlm: 192-193)
Karena desakan ayahnya Basri terluka hatinya sampai ia meneteskan air
mata. Hal ini terlihat dalam kutipan be rikut:
(11) Basri menangis melihat emper toko itu. Dia seperti melihat dirinya kembali tidur bersama anak gadis itu. Terbayang semua teman-temannya. Dia sudah tidak dapat menahan rasa harunya. Semua penderitaan itu menjadi kenangan manis yang dia rasakan pada saat-saat seperti itu (hlm: 195).
Untuk menyembuhkan perasaannya yang hancur karena harus berpisah
dengan teman-teman yang telah dianggapnya adik. Basri memohon kepada
Kartijo ayahnya untuk membawa Pipin dan kakaknya, Sulistinah. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
(12) ”Aku tidak mau turut kalau Ayah tidak membawa mereka.” (hlm: 197)
28
Pada akhirnya penderitaan Basri berakhir dengan pergi membawa
Sulistinah bersama ayah dan ibunya. Namun, timbul penderitaan pada diri
Sulistinah karena adiknya Pipin tidak ikut serta bersama mereka.
Dari kutipan-kutipan 1-12 di atas terlihat tokoh Basri adalah seorang
pengemis dengan banyak teman. Ia masih anak-anak. Kehidupan Basri diwarnai
oleh suka dan duka yang dirasakan bersama dengan teman-temannya. Suka ketika
dirinya mengalami kesulitan, temannya Pipin mau menolongnya meminta -minta.
Dukanya ketika Basri harus menerima olokkan dari pedagang martabak dan harus
terluka kepalanya ketika menolong Sulistinah. Terlebih lagi harus dipisahkan dari
orang-orang terdekatnya. Tetapi semuanya berakhir dengan kebahagiaan karena
bisa pergi bersama Sulistinah, ayah, dan ibunya.
2.1.2 Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang kehadiran atau pemunculannya di
dalam sebuah cerita lebih sedikit, namun kehadiran tokoh antagonis akan sangat
mendukung tokoh protagonis. Jadi, tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak
sentral kedudukannya dalam sebuah cerita.
Pemunculan tokoh antagonis dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak
diperhitungkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
protagonis secara langsung ataupun tidak langsung.
Tokoh antagonis dalam novel KLBM adalah Pipin, Manan, Kusni, Tom,
Minto, Sukr i, Yanto, Ibu Pipin, Sulistinah, tukang warung, Mustafa , Kartijo,
Margono, Surtini, Carik Basuki, penduduk, tetangga Kartijo, pedagang martabak,
29
Sutrisno, Nyonya dan Suaminya, dan seterusnya. Dalam penelitian ini tokoh
antagonis yang akan dianalisis dibatasi pada tokoh Pipin, Sulistinah, dan Kartijo
karena tokoh inilah yang relevan dengan penelitian ini. Tokoh ini pulalah yang
mempunyai kaitan erat dengan ketertekanan batin tokoh Basri.
2.1.2.1 Pipin
Pipin adalah teman Basri. Profesinya sama dengan Basri yaitu sebagai
pengemis. Ia menderita cacat pada salah satu kakinya karena kecelakaan yang
dialaminya. Hal ini terlihat dalam kut ipan berikut:
(13) Di antara anak-anak itu seorang di antara mereka, anak yang terkecil dari mereka, menderita cacat fisik pada kakinya (hlm: 3).
Pengarang menceritakan dengan cacat kakinya itu Pipin sebagai teman
bisa membantu Basri memperoleh uang dengan cara mengiba kepada para
pengendara yang kendaraannya terhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(14) Kaki yang cacat itu menjadi modal utama untuk anak-anak itu mengemis. Kaki yang buntung itu telah menarik rasa iba orang yang melihatnya (hlm: 3).
Pipin diceritakan memiliki ibu yang sedang sakit. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
(15) "Ibuku sakit. Dia tidak turun mengemis hari ini, "kata anak yang berkaki satu itu. "Dimana dia berbaring?" "Dibelakang tembok guda ng. Kakakku menjaganya." (hlm:
Pipinlah yang pertamakali memberitahu keberadaan Basri. Ketika orang
tua temannya itu mencarinya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
30
(16) ”Aku telah lama mencari Basri. Di mana Basri teman kalian itu?” “Dia tidak mengemis hari ini.” kata Pipin. “Tadi malam kepalanya terluka.” “Apakah mungkin dia anakku?” tanya Kartijo kepada Sutrisno. “Mungkin lebih baik kita lihat saja.” “Di mana dia sekarang?” “Di belakang tembok gudang beras. Kakakku menungguinya,” kata Pipin. “Bisakah kalian menunjukkannya?” “Bisa. Saya akan menunjukkannya. Kakak perempuanku merawatnya.” (hlm: 189)
Pipin diceritakan pengarang sebagai yatim piatu setelah ibu bapaknya
meninggal. Pipin oleh Basri dianggap sebagai teman sekaligus adik yang tidak
bisa ditinggalkan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(17) "Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Mereka yatim piatu. Mereka telah terlanjur saya anggap sebagai adik-adik sendiri. Saya tidak bisa ikut, Ayah." (hlm: 193)
Dari kutipan 13 sampai 17 di atas terlihat bahwa tokoh Pipin adalah teman
Basri yang berprofesi sama, yaitu pengemis. Ciri fisik Pipin adalah menderita
cacat pada salah satu kakinya yang dijadikan modal bagi dirinya dan teman-
temannya mengemis. Pipin diceritakan memiliki ibu yang sedang sakit. Pipinlah
yang pertama kali memberitahu keadaan Basri kepada Kartijo. Pipin dianggap
teman sekaligus adik oleh Basri setelah dirinya menjadi yatim piatu karena
ditinggal mati ibu bapaknya yang sakit tak tertolong.
2.1.2.2 Sulistinah
Sulistinah adalah seorang wanita. Kakak dari tokoh Pipin teman Basri.
Saat ini, Sulitinah sedang menunggu ibunya yang sedang sakit. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
31
(18) Ibuku sakit. Dia tidak turun mengemis hari ini, kata anak yang berkaki satu itu. “Di mana ia berbaring?” “Di belakang tembok gudang. Kakakku menjaganya.” (hlm: 70)
Ternyata ibu Sulistinah mengalami sakit yang cukup parah, karenanya
Sulistinah yang merawatnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(19) Anak gadisnya yang duduk di dekat wanita itu, sesekali mengibaskan kertas mengusir lalat-lalat itu (hlm: 98).
Sulistinah bukanlah wanita dewasa, melainkan gadis berusia belasan
tahun. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(20) Di sebelah wanita itu berbaring seorang anak berumur dua belas tahun duduk memandanginya. Dia seorang anak wanita, anak gadis wanita itu (hlm: 99).
Karena sakit yang dideritanya, ibu Sulistinah pada akhirnya meninggal.
Dan ini menyebabkan Sulistinah sebatangkara. Hidup tanpa ayah dan ibu yang
tinggal hanya seorang adik dengan keadaan cacat. Oleh karenanya, mereka
membutuhkan perlindungan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(21) Sejak ibu mereka meninggal, Basri bertindak sebagai pelindung Sulistinah dan Pipin (hlm: 155).
Dan mulai saat itulah Sulistinah masuk ke dalam kehidupan Basri.
Hubungan mereka seakan tidak bisa dipisahkan. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(22) Mereka pergi ke mana-mana seolah Basri adalah kakak lelaki kedua anak itu. Mereka tidur di emper toko kalau malam tiba. Dan mengemis di perempatan lampu lalu lintas pada siang hari (hlm: 155).
Namun, kenyataannya menjadi pelindung bagi Sulistinah yang mulai
beranjak dewasa sangatlah sulit. Karena, pada tubuhnya sudah tampak sifat-sifat
32
kegadisannya. Di mana pun seorang gadis selalu mengundang birahi lelaki yang
memandangnya. Apalagi di tempat dia tinggal selalu berjalan hukum rimba (hlm:
155-156).
Berarti hidup Sulistinah menjadi beban yang sangat berat bagi Basri.
Untuk memperingan beban yang ditimpakan Sulistinah pada Basri, Sulistinah
tidak pernah mau pergi jauh dari Basri. Dia merasa Basri seperti abangnya sendiri
sekaligus sebagai pelindungnya. Dia tidak pernah mau jauh dari sisi anak laki-laki
itu (hlm: 191).
Hal lain yang dilakukan Sulistinah untuk memperingan beban yang
ditanggung Basri ialah Sulistinah bersedia berpisah dengan pelindungnya. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
(23) ”Ayahmu benar, Basri. Kau harus ingat masa depanmu. Tinggalkan kami.” (hlm: 193)
(24) ”Kau harus pulang kepada ibumu, Basri. Jangan kau turutkan
perasaanmu terhadap kami. Biarkan kami. Ikutlah bersama ayahmu. Mereka telah lama merindukanmu.” (hlm: 193)
Di saat Basri hendak diajak pergi oleh Kartijo. Basri memohon Sulistinah
untuk dibawa serta pergi bersamanya. Mendengar permohonannya Kartijo
mengabulkan permohonan anaknya. Tetapi, Sulistinah tidak bersedia ikut kalau
adiknya, Pipin. Tidak dibawa serta. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(25) ”Tidak. Tidak.” Katanya. “Tidak. Aku tidak bisa meninggalkan adikku. Pipin harus dibawa juga Basri.” (hlm: 199).
Tindakkan Sulistinah ternyata tidak diindahkan oleh adiknya. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
(26) ”Jangan bawa aku Basri. Lihat teman-teman kita. Jangan tinggalkan mereka tanpa aku. Berangkatlah bersama kakakku
33
saja.” (hlm: 200).
Sulistinah tidak sadar kalau tindakkannya itu membuat Basri tertekan.
Dirinya terus menekan Basri dengan mulai menangis di hadapan teman sekaligus
kakak yang melindunginya dan adiknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(27) ”Janganlah biarkan Pipin bersama mereka. Bawa serta dia Basri.” Sulistinah mulai menangis kembali (hlm: 201).
Sulist inah tidak bisa menghentikan tangisnya, sedangkan Pipin telah jauh
dibawa pergi oleh teman-temannya. Basri harus tetap pergi bersama ayahnya,
karena waktu yang tidak memungkinkan mengejar Pipin. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
(28) ”Tidak mungkin mengejar mereka. Aku tidak berhasil mendapatkan anak itu. Sekarang kita berangkat. Waktu tidak ada lagi untuk mengejarnya.” (hlm: 203)
(29) Anak perempuan itu menangis. Tetapi mereka naik ke atas
mobil itu, dan dengan cepat meluncur meninggalkan emper toko itu (hlm: 203).
Hingga akhir cerita Sulistinah tidak bisa menahan kesedihannya untuk
berpisah dengan adiknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(30) Matanya kembali berkaca-kaca, sehingga lampu-lampu itu menjadi berkristal-kristal dalam penglihatannya (hlm: 210).
Dari kutipan 18 sampai 30 di atas disimpulkan bahwa Sulistinah adalah
seorang wanita. Kakak dari Pipin yang bertugas menjagai ibunya yang sedang
sakit. Saat ini usia Sulistinah masih belasan tahun. Sehingga membutuhkan
perlindungan dari Basri. Setelah Sulistinah ditinggal mati ibunya karena sakit
parah. Sulistinah menggangap Basri sebagai kakaknya. Sejak Sulistinah masuk ke
dalam kehidupan Basri. Sulistinah membuat beban hidup Basri bertambah, karena
34
kakaknya itu harus ekstra melindungi dirinya yang mulai beranjak dewasa.
Sulistinah terus menambah tekanan batin tokoh Basri tanpa disadari dirinya
dengan terus menangis, meminta adiknya dibawa serta pergi bersamanya.
2.1.2.3 Kartijo
Kartijo adalah ayah Basri. Dialah yang mencari anaknya ke Jakarta setelah
mendapat berita dari tetangganya yang pernah pergi ke Jakarta. Ada di antara
tetangga Kartijo yang pernah pergi ke Jakarta menceritakan kepada Kartijo dan
Surtini, bahwa mereka melihat anak laki-laki itu bergabung di antara pengemis di
perempatan lampu lalu lintas (hlm: 24).
Dengan berbekal sedikit informasi itu, Kartijo pergi ke Jakarta mencari
anaknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(31) Setelah mereka mendengar berita itu, Kartijo menjual semua perabot rumah mereka dan Kartijo pergi ke Jakarta untuk mencari Basri, anaknya (hlm: 24).
Pencarian Kartijo di Jakarta tidak sia-sia. Ia bertemu dengan anaknya,
Basri di belakang sebuah gudang beras. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(32) Basri menoleh ke mulut gang tembok. Dia melihat Pipin digendong seorang lelaki setengah tua. Dia berdiri dari atas batu itu. Dia kaget melihat orang itu. “Sulistinah, orang itu ayahku. Dia datang menjemputku.” (hlm: 191).
Setelah bertemu dengan anaknya yang telah pergi dari rumah dan berpisah
selama satu tahun. Kartijo langsung menyampaikan tujuan dirinya mencari Basri.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(33) ”Ibumu, ayah, dan semua orang sedesa kita, Karanglo, akan berangkat malam ini ke Sitiung. Kita semua dipindahkan pemerintah ke Sumatera. Desa kita akan dijadikan waduk. Kita
35
akan membuka daerah baru di Sitiung. Ibumu ada di atas kapal. Kita akan berangkat malam ini.” (hlm: 192).
Kartijo sebagai ayah mulai mendesak anaknya agar mau ikut bersamanya,
karena bila tidak Kartijo dan Basri akan tertinggal kapal. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
(34) Kartijo menangkap erat tangan Basri. Dia mulai menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang ayah. Dia harus cepat bertindak. Anak ini harus disadarkan secara paksa. Dan Kartijo telah melakukan itu (hlm: 194).
Kartijo adalah seorang ayah yang tegas bagi Basri. Hal ini dilakukannya
karena ia tidak mau kehilangan anaknya. Ia tetap diam waktu Basri memohon
pada dirinya untuk berpamitan dengan teman-temannya, ketika Basri meminta
supaya Sulistinah dibawa serta. Hal ini terlihat dalam kutipan ber ikut:
(35) ”Bolehkah aku mengucapkan selamat tinggal untuk mereka ayah? Basri lama hidup bersama mereka. Basri tidak ingin perpisahan ini dilakukan secara terpaksa. Kami pasti tidak akan bertemu lagi. Biarkanlah saya menyalami mereka. Biarkanlah saya mencium kening-kening mereka. Mereka anak yatim piatu. Mereka anak yang terlunta -lunta. Tolonglah biarkan Basri mengucapkan selamat berpisah untuk kali yang terakhir, Ayah.” Tetapi Kartijo tidak menjawab. Lampu masih berwarna merah (hlm: 195).
(36) ”Maukah kau ikut bersamaku Sulistinah? Bawalah dia bersama
kita, Ayah. Bawalah mereka.” Kartijo diam mendengar kata-kata anaknya (hlm: 197).
(37) ”Turutlah bersama kami Sulistinah. Ibu pasti suka menerimamu.
Bawalah mereka Ayah. Mereka belum sempat menikmati kasih sayang orang tua mereka. Bawalah mereka. Tempat yang baru Ayah katakan itu tentu memerlukan juga tenaga mereka. Bawalah mereka Ayah. Kartijo masih saja diam mendengar permintaan anaknya (hlm: 198).
Tetapi Kartijo menjadi lemah ketika berhadapan dengan Sulistinah dan
Pipin. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
36
(38) Kartijo memandang pada Sulistinah. Dia melihat anak perempuan itu: kurus, kotor, rambut yang berserakan ditiup angin menutup sebagian mukanya. Benar, anak itu masih memerlukan kasih saya ng orang tua. “Bawalah dia!” kata Kartijo mengambil keputusan (hlm: 198).
(39) ”Berangkatlah kau, Sulistinah. Ini kesempatan yang baik
untukmu, jangan pikirkan aku. Aku tidak boleh memberati beban mereka. Tinggalkan aku. Biarkan aku hidup bersama teman-teman di Jakarta. Pergilah!” Kartijo tidak kuat melihat peristiwa itu. Dia ambil keputusan yang lain. “Bawalah serta adikmu. Kita akan merawatnya di daerah pertanian itu.” (hlm: 199).
Dari kutipan 31 sampai 39 di atas dapat disimpulkan Kartijo adalah ayah
Basri yang berusaha mencari anaknya di Jakarta setelah dirinya diberi informasi
oleh tetangganya. Kartijo di Jakarta berhasil bertemu Basri anak yang dicarinya.
Sebagai seorang ayah, Kartijo harus mendesak anaknya yang tidak mau diajak
pergi bersamanya, karena sikap anaknya Kartijo berbuat tegas kepada Basri.
Namun, lemah ketika dirinya berhadapan dengan Sulistinah dan adiknya, Pipin.
2.2 Alur
Sebagai sebuah karya sastra di dalamnya terdapat beberapa kejadian yang
merupakan isi. Menurut penulis bagaimana cara atau teknik penyajian dari
beberapa kejadian ke dalam sebuah karya sastra agar telihat menarik ini yang
disebut alur. Karya sastra ini kejadian-kejadiannya disajikan secara tidak tentu.
Karya sastra ini memiliki teknik penyajian atau alur campuran, yaitu alur lurus,
dan alur sorot balik. Alur sorot balik digunakan pengarang untuk menyajikan
kejadian yang pernah dialami baik oleh tokoh utama atau tokoh tambahan.
37
Menurut Sudjiman (1998: 30) kejadian-kejadian yang dialami tokoh utama
atau tokoh tambahan terdiri atas awal, tengah, dan akhir:
2.2.1 Paparan
Di bagian ini pengarang menyajikan tokoh Basri sebagai pengemis yang
berumur muda. Basri tidak sendirian melainkan bersama beberapa teman
seprofesinya. Pengarang juga menyajikan bagian-bagian yang terlihat dari pada
pengemis serta kebiasaan-kebiasaan mereka. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(40) Di trotoar itu ada delapan orang anak-anak pengemis berumur sekitar sepuluh dan lima belas tahun. Mereka kotor bagaikan sampah. Mereka pada saat ini sedang duduk-duduk di atas trotoar ditimpa panas pagi membiarkan lampu berwarna hijau. Ada satu di antara mereka berdiri menyandar pada pagar gedung bertingkat. Mereka memandang mobil-mobil yang melintas, dan sementara menunggu lampu lalu lintas itu menjadi merah, kedelapan anak-anak yang mengemis itu seolah sedang beristirahat dari tugas mengemis (hlm:3).
Basri diceritakan memiliki teman yang menderita cacat fisik pada kakinya.
Hal ini ter lihat dalam kutipan berikut:
(41) Di antara anak-anak itu seorang di antara mereka, anak yang terkecil dari mereka, menderita cacat fisik pada kakinya (hlm: 3).
Pengarang memperkenalkan Basri kepada pembaca sebagai pengemis
yang menggantungkan diri pada Pipin untuk membantunya mengemis. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
(42) ”Aku belum menggendongmu! Sekarang giliran aku. Aku belum sejak tadi.” (hlm: 4)
38
Pada bagian pemaparan ini, pengarang menyajikan apa yang dilakukan
Basri setelah menerima uang dari Pipin setelah dirinya berhasil menggendong
temannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(43) Anak yang baru saja menerima uang pergi ke warung nasi di ujung jalan sempit di daerah perkampungan. Ia memesan nasi dengan kuah sayur dan sepotong tahu goreng (hlm: 5).
Selebihnya pada bagian awal (paparan) pengarang menyajikan tentang
percakapan Basri dengan teman-temannya mengenai orang tua Pipin, makanan
yang belum pernah mereka makan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(44) ”Biasanya ibumu menjemputmu untuk makan bersama. Mengapa kali ini kau akan bersama kami?” kata satu di antara anak-anak itu kepada anak yang berkaki satu itu. “Ibuku sakit. Dia tidak turun mengemis hari ini.” Kata anak yang berkaki satu itu. (hlm: 7)
(45) ”Kau kepingin apa? Masa kau tidak menginginkan makanan yang belum pernah kau makan. Ingat-ingatlah. Biar kita semua memakan makanan yang kita idam-idamkan malam ini.” Kata anak yang bernama Basri (hlm: 9).
Dari kutipan 40 sampai 45 di atas dapat disimpulkan bahwa paparan berisi
tentang siapa Basri sesungguhnya, teman-teman Basri, apa saja yang dilakukan
Basri sebagai pengemis dan percakapan Basri dengan teman-temannya.
2.2.2 Rangsangan
Menurut penulis rangsangan yang dimaksud adalah faktor yang
menyebabkan Basri menjadi seorang pengemis di Jakarta. Faktor yang
merangsang penyebab Basri menjadi seorang pengemis bukan karena masuknya
tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Tetapi, lebih pada gambar monumen
nasional yang terpampang menghiasi tanggalan di dinding rumahnya dan
39
keramaian kota Jakarta yang dia lihat di layar televisi. Semua faktor Basri lihat
sewaktu dirinya masih tinggal di Desa Karanglo bersama ayah dan ibunya. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
(46) Sedang anak laki-lakinya yang terkecil bepergian dari rumah mereka sejak setahun yang lalu ketika anak itu tertarik melihat gambar monumen nasional terpampang menghiasi tanggalan di dinding rumah mereka. Anak itu terpengaruh dengan keramaian kota Jakarta yang dia lihat lewat layar televisi di halaman kantor kelurahan (hlm: 23).
Dari kutipan 46 di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang merangsang
Basri menjadi seorang pengemis adalah gambar monumen nasional yang
terpampang menghiasi tanggal di dinding rumahnya dan keramaian kota Jakarta
yang dia lihat di layar televisi di halaman kantor ke lurahan.
2.2.3 Gawatan
Gawatan yang ada dalam novel KLBM karya Hamsad Rangkuti mengacu
pada informasi tentang Basri di Jakarta yang diceritakan tetangga Kartijo pada
dirinya dan isterinya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(47) Ada di antara tetangga Kartijo yang pernah pergi ke Jakarta menceritakan kepada Kartijo dan Surtini, bahwa mereka melihat anak laki-laki itu bergabung di antara pengemis di perempatan lampu lalu lintas (hlm: 24).
Informasi yang didapat Kartijo dan Surtini membuat semua perabotan
rumah mereka terjual untuk biaya Kartijo ke Jakarta mencari Basri. Namun, Basri
tidak pernah diketemukan (hlm: 24). Kegagalan itu tidak membuat Surtini surut
memohon pada suaminya agar mencari Basri lagi. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
40
(48) ”Apa Kakang tidak ingin mencoba mencari Basri sekali lagi?” tiba-tiba Surtini berkata begitu.” “Kurasa, dua kali mencarinya sudah cukup.” “Cobalah cari sekali lagi. Carilah untuk kali terakhir sebelum kita meninggalkan kampung halaman kita.” (hlm: 25)
Usaha Surtini membuahkan hasil. Permohonannya, dikabulkan Kartijo.
Ditunjukkan dengan kepergian Kartijo ke Jakarta mencari Basri. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
(49) ”Dengan uang itu aku akan pergi ke Jakarta mencari Basri?” “Ya, carilah Basri untuk kali yang terakhir.” (hlm: 25)
Dari kutipan 47 sampai 49 di atas dapat disimpulkan bahwa tahap gawatan
berisi tentang usaha pencarian Basri yang dilakukan Kartijo berkat informasi dan
dorongan dari isterinya. Walau, dalam usaha pencariannya ke Jakarta Kartijo
pernah mengalami kegagalan. Namun, Kartijo kembali lagi berusaha mencari
Basri. Semua itu berkat dorongan isterinya.
2.2.4 Tikaian
Pada tahapan ini penulis menangkap ada 2 tikaian yang terjadi dalam diri
Basri. Pertama antara Basri dengan pedagang martabak. Hal ini terjadi waktu
Basri hendak membeli martabak. Kedua antara Basri dengan laki-laki tidak
dikenal. Hal ini terjadi waktu Basri menolong Sulistinah yang sedang tidur mau
diperkosa oleh laki-laki yng tidak dikenal. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(50) ”Pak saya pesan satu martabak dengan dua butir telur.” Basri merasa lega bisa mengucapkan kalimat itu. “Kau memesan martabak dengan dua butir telur? Apakah kau hendak berolok-olok? Jangan ganggu aku. Ini uang dua puluh lima rupiah. Aku sedang menyiapkan empat belas porsi.” “Karena itu saya memesan sekarang. Saya khawatir orang akan datang lagi dan memesan beberapa porsi lagi. Saya sudah lama
41
menunggu. Tetapi dari jauh. Semula saya ingin pesan bila orang lain sudah selesai memesan. Tetapi saya lihat orang terus-menerus memesannya. Jadi saya pesan sekarang. Satu martabak dengan dua telur.” “Kau jangan berolok-olok. Pergi sana!” “Saya sungguh-sungguh .” “Tidak pernah ada pengemis membeli martabak. Aku tidak menjual martabak untuk pengemis!” (hlm: 39-40).
(51) Orang itu melangkah di antara gelandangan yang sedang tidur
nyenyak. Tetapi dia menginjak borok gelandangan yang sedang dilintasinya. Orang itu memekik karena injakkan itu. Sulistinah terkejut dalam gendongan lelaki itu. Basri terjaga mendengar itu. Dia melihat Sulistinah digendong laki-laki yang tidak dikenalnya. Dia bangun dan melompat menerkam laki-laki itu. Tetapi dia menghunus pisaunya. Basri menerkam pisau yang terhunus itu dan mengenai bagian kepalanya (hlm: 157).
Dari kutipan 50 dan 51 di atas dapat disimpulkan bahwa tikaian yang
dialami Basri, berakar dari kebaikan dirinya kepada temannya. Pertama, Basri
hendak membalas budi kepada Pipin dengan cara membelikan makanan yang
diinginkan temannya. Yang kedua, atas desakan dirinya ia bersikap sebagai
pelindung Sulistinah sejak ditinggal ibunya yang meninggal karena sakit. Hal ini
menyebabkan kepala Basri terluka waktu menolong Sulistinah.
2.2.5 Rumitan
Menurut penulis adalah tahapan yang terjadi sebelum klimaks, yaitu
petunjuk yang diberikan Pipin pada Kartijo untuk bisa bertemu dengan anaknya.
Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(52) ”Kami punya teman bernama Basri. Apakah Basri teman kami itu yang bapak maksud?” “Aku telah lama mencari Basri. Di mana Basri teman kalian itu?” “Dia tidak mengemis hari ini,” kata Pipin. “Tadi ma lam kepalanya terluka.”
42
“Apakah mungkin dia anakku?” tanya Kartijo pada Sutrisno. “Di mana dia sekarang?” “Di belakang tembok gudang beras. Kakakku menungguinya,” kata Pipin. “Bisakah kalian menunjukkannya?” “Bisa. Saya akan menunjukkannya. Kakak perempua nku merawatnya.” (hlm: 189).
Dari kutipan 52 di atas dapat disimpulkan bahwa Pipinlah petunjuk bagi
Kartijo tentang keberadaan Basri sebagai anak yang dicari-cari orang tuanya.
Tahapan ini terjadi agar tahapan klimaks bisa terjadi dengan baik, karena menurut
penulis tahapan rumitan dibuat untuk menjembatani sebuah cerita menuju pada
klimaks.
2.2.6 Klimaks
Menurut penulis klimaks adalah tahapan yang menjadi puncak dari konflik
batin tokoh Basri. Kejadiannya diceritakan pengarang ketika seorang ayah
bertemu dengan anaknya di belakang sebuah tembok gudang beras. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
(53) Basri menoleh ke mulut gang tembok. Dia melihat Pipin digendong seorang lelaki setengah tua. Dia bediri dari atas batu itu. Dia kaget melihat orang itu (hlm: 191).
Setelah mengawalinya dengan pertemuan ayah dengan anaknya. Di sinilah
konflik batin Basri memuncak, yaitu saat Kartijo mengajak Basri pergi ke daerah
baru di Sitiung Sumatera. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(54) ”Kita tidak boleh lama-lama Basri. Kita harus berangkat sekarang. Ibumu menunggu di kapal.” (hlm: 192)
(55) ”Aku tidak bisa meninggalkan kalian. Aku melindungimu,
Sulistinah. Kalian berdua sudah kuanggap seperti adik sendiri. Aku tidak bisa. Saya tidak bisa ikut, ayah. Saya tidak bisa
43
berpisah dengan mereka.” (hlm: 193).
Dari kutipan 53 sampai 55 di atas dapat disimpulkan bahwa konflik batin
Basri terjadi melalui tahapan yang dimulai dengan pertemuan ayah dengan anak,
lalu diikuti dengan ajakkan Kartijo agar Basri mau ik ut bersamanya ke Sitiung.
Namun, ajakkan Kartijo ditolak oleh Basri, karena menurutnya Sulistinah dan
Pipin sudah menjadi bagian dalam hidupnya.
2.2.7 Leraian
Tahapan leraian terjadi ketika teman-teman Basri membawa lari Pipin,
atas permintaan Pipin yang perduli dengan masa depan teman-temannya. Karena,
menurut Pipin tanpa dirinya siapa yang akan digendong teman-temannya waktu
mengemis. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(56) ”Ambillah aku teman-teman. Jangan biarkan aku dibawa mereka. Kalian tidak bisa tanpa aku. Tinggalkan aku Basri. Cepatlah berangkat. Biarkan aku bersama teman-teman, Sulistinah. Berangkatlah.” (hlm: 200)
(57) Anak-anak itu membawa lari anak yang cacat itu (hlm: 202).
Dari kutipan 56 dan 57 di atas dapat disimpulkan bahwa tahap leraian
terjadi ketika Pipin dibawa lari oleh teman-temannya. Tindakan yang dilakukan
anak-anak itu diambil karena mereka tersadar dengan kata -kata yang diucapkan
Pipin tentang siapa yang akan digendong mereka waktu mengemis.
2.2.8 Selesaian
Tahap selesaian menunjukkan konflik batin yang dialami Basri berakhir.
Hal ini ditunjukkan dengan suasana haru di atas Kapal Bengawan yang akan
44
mengantarkan Basri, Kartijo, Surtini, Sulistinah dan penduduk Desa Karanglo
menuju daerah yang jarang penduduknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(58) Di atas kapal “Bengawan” yang bergerak, Surtini mendekap anaknya. Dia menangis di atas kepala anak itu. Dia tidak hiraukan orang menontonnya. Dia tidak hiraukan bau kemelaratan yang melekat pada tubuh anaknya. Dia mendekap kepala anak itu di dadanya. Dia meneteskan air matanya dan membasahi kepala anak itu. Kemudian matanya memandang Sulistinah. Anak perempuan itu berdiri goyah berpegang pada dinding. Dalam waktu yang singkat, Kartijo menceritakan tentang anak perempuan itu. Surtini memperhatikannya. Telinganya mendengarkan cerita suaminya. Kemudian dia mengeluarkan kedua tangannya. Sulistinah melepas pegangannya. Dia berjalan terhuyung-huyung oleh ayunan kapal. Dia menabra k Surtini dan menangis di dalam pelukan wanita itu. Surtini mengusap rambut yang kotor. Baginya, mungkin, seperti yang biasa dirasakannya pada saat itu, kehadiran Sulistinah di tengah-tengah keluarganya tidaklah merupakan beban, tetapi merupakan teman seiring untuk mencoba hidup baru di daerah pemukiman itu (hlm: 209).
Dari kutipan 58 di atas dapat disimpulkan bahwa tahap selesaian adalah
tahap akhir dari sebuah cerita yang ada dalam karya sastra. Berisi akhir dari
konflik batin Basri digantikan dengan suasana haru di atas kapal Bengawan.
Kesimpulan dari kutipan 40 sampai 58 di atas dapat disimpulkan bahwa
alur yang terdapat dalam novel KLBM adalah alur campuran, yaitu alur lurus dan
alur sorot balik. Arus sorot balik digunakan pengarang untuk menceritakan
kehidupan sebelum Basri pergi ke Jakarta, yaitu Desa Karanglo. Karena
pengarang mengawali cerita ini dengan bercakap-cakap mengenai kehidupan
ketika lampu berwarna merah. Langsung menjadikan Basri sebagai pengemis,
tanpa mengetahui penyebab Basri menjadi seorang pengemis. Jadi, menurut
penulis penyebab serta kehidupan Basri sebelum menjadi pengemis perlu
45
diceritakan. Oleh pengarang, bagian tersebut diceritakannya menggunakan alur
sorot balik.
2.3 Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.
Fungsi latar itu di antaranya memberi informasi situasi sebagaimana adanya. Di
samping itu, ada latar yang berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh.
2.3.1 Latar Tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan pada sebuah karya fiksi karena fungsi latar di antaranya memberi
informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya. Latar tempat di dalam
novel ini dibagi menjadi beberapa tempat.
2.3.1.1 Perempatan Lampu Lalu Lintas
Sejak perginya anak itu secara diam-diam sampai hari ini tidak pernah
kembali lagi ke rumahnya (hlm: 23). Basri pergi ke Jakarta untuk mendapatkan
apa yang dia lihat lewat layar televisi. Ini membuat ia harus pindah dari satu
tempat yang biasa ditempatinya ke tempat lain yang baru. Di Jakarta Basri hidup
sebagai pengemis, maka tempat yang sering dikunjunginya adalah perempatan
lampu lalu lintas. Di mana Basri meminta-minta kepada para pengendara yang
46
kendaraannya terhenti karena lampu lalu lintas. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(59) Ada di antara tetangga Kartijo yang pernah pergi ke Jakarta menceritakan kepada Kartijo dan Surtini, bahwa mereka melihat anak laki-laki itu bergabung di antara pengemis di perempatan lampu lalu lintas (hlm: 24).
2.3.1.2 Pedagang Martabak Dekat Restoran Can Nyan di Jalan Sabang
Di tempat inilah Basri memesan martabak yang diminta temannya, Pipin.
Di tempat ini pula Basri mendapatkan hinaan dari seorang penjual martabak,
karena menurut penjual martabak seorang pengemis tidak pernah membeli
martabak. Hinaan yang ditujukan kepada Basri oleh seorang penjual martabak,
disertai dengan sikap merendahkan pekerjaan orang lain dan menganggap
pekerjaan dirinya lebih mulia. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(60) ”Kau memesan martabak dengan dua butir telur? Apakah kau hendak berolok-olok? Jangan ganggu aku. Ini uang dua puluh lima rupiah. Aku sedang menyiapkan empat belas porsi.” (hlm: 39)
(61) ”Tidak pernah ada pengemis membeli martabak. Aku tidak
menjual martabak untuk pengemis!” (hlm; 40)
2.3.1.3 Monumen Nasional
Tempat inilah yang menjadi tujuan Basri ketika dirinya tertarik dengan
sebuah gambar monumen nasional terpampang menghiasi tanggalan di dinding
rumah mereka (hlm: 23). Di tempat ini pula Basri mengatakan keinginannya
untuk pulang kepada ayah dan ibunya di desa. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
47
(62) ”Aku sudah berada di kaki monumen itu. Seharusnya kau sudah puas. Aku sudah bisa meraba batu itu di pelatarannya dengan jari-jariku. Aku sudah menyentuhnya. Seharusnya aku sudah pulang.” (hlm: 62)
2.3.1.4 Panggung Orkes
Tempat yang dikunjungi Basri bersama dengan teman-temannya. Anak itu
rupanya belum hendak pulang. Mereka masih ingin menghibur diri dengan
meliuk-liukkan tubuh mereka mengikuti irama joget (hlm: 70). Sewaktu Basri dan
teman-temannya sedang asik berjoget terjadilah pertarungan antar geng.
Pertarungan itu menyebabkan salah satu teman Basri meninggal dunia. Kematian
teman Basri di tempat ini tidak diketahui Basri. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(63) Dan ketika mereka menyeberangi pintu kereta, baru anak-anak itu menyadari bahwa Mana n tidak ikut dengan mereka. Anak-anak itu tidak tahu bahwa Manan baru saja melintas di depan mereka, terbujur kaku di dalam mobil ambulans rumah sakit Dokter Cipto. Sebuah peluru bersarang di dadanya (hlm: 88).
2.3.1.5 Belakang Tembok Gudang Beras
“Di belakang tembok gudang beras kakakku menungguinya,” kata Pipin
(hlm: 189). Dari pernyataan Pipin, akhirnya seorang ayah berhasil menemukan
tempat di mana anaknya berada. Tempat yang akan menjadi saksi pertemuan
seorang ayah dengan anaknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(64) Basri menoleh ke mulut gang tembok (hlm: 191). (65) Kartijo terpaku melihat anak lelakinya dalam keadaan menderita
seperti itu. Pipin diletakkannya di atas lantai gang. Kartijo berlari menyongsong anaknya. Ayah dan anak itu saling berdekapan (hlm: 191).
48
2.3.1.6 Emper Toko
Tempat perpisahan antara Basri dengan teman-temannya yang selama ini
hidup bersama dengannya baik suka maupun duka. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(66) Basri meletakkan Pipin di atas lantai emper toko. Dia menghampiri temannya satu persatu. “Aku dijemput ayahku. Aku terpaksa meninggalkan kalian Sulistinah dan Pipin kubawa serta, kami akan berlayar ke Sumatera. Ini ayahku!” (hlm: 200).
2.3.1.7 Di Atas Kapal “Bengawan”
Kapal inilah yang nantinya akan mengantarkan keluarga Kartijo dan
seluruh penduduk Desa Karanglo menuju Sumatera. Di atas kapal Bengawan
adalah tempat pertemuan antara anak dan ibunya. Sekaligus tempat yang menjadi
akhir dari cerita, karena semua masalah telah terselesaikan. Seorang anak yang
hilang kini telah kembali kepada orang tuanya. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
(67) Di atas kapal “Bengawan” yang bergerak Surtini mendekap anaknya. Dia menangis di atas kepala anak itu. Dia tidak menghiraukan orang menontonnya. Dia tidak menghiraukan bau kemelaratan yang melekat pada tubuh anaknya. Dia mendekap kepala anak itu di dadanya. Dia meneteskan air matanya dan membasahi kepala anak itu (hlm: 209).
Dari kutipan 59 sampai 67 di atas dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat
yang dideskripsikan oleh penulis adalah tempat-tempat yang berkaitan dengan
tokoh utama, seperti: perempatan lampu lalu lintas adalah tempat Basri bersama
teman-temannya satu profesinya mengais rejeki dengan cara meminta -minta.
Pedagang martabak dekat restoran Can Nyan di Jalan Sabang adalah tempat Basri
49
dihina oleh pedangan martabak. Monumen nasional adalah tempat yang menjadi
tujuan Basri waktu dirinya pergi dari rumahnya. Panggung orkes adalah tempat
Manan, teman Basri meninggal dunia karena sebuah pertarungan. Bela kang
tembok gudang beras adalah tempat pertemuan Basri dengan ayahnya, Kartijo.
Emper toko adalah tempat perpisahan Basri dengan teman-temannya. Dan yang
terakhir di atas kapal “Bengawan” adalah tempat pertemuan Basri dengan Ibunya,
Surtini.
2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “Kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi. Semua akan ditunjukkan
penulis dengan merangkumnya seperti di bawah ini.
Satu tahun lamanya. Itulah yang diingat oleh Surtini, ibu Basri waktu
dirinya berziarah ke makam ibu bapaknya dan ke makam anak-anaknya sebelum
pergi meninggalkan Desa Karanglo ke tempat yang tidak padat penduduknya di
Sumatera. Waktu menonton televisi di halamam kantor kelurahan juga
mempengaruhi kepergian Basri ke Jakarta. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(68) Anak laki-lakinya yang terkecil bepergian dari rumah mereka sejak setahun yang lalu (hlm: 23).
(69) Anak itu terpengaruh dengan keramaian kota Jakarta yang dia
lihat lewat layar televisi di halaman kantor kelurahan (hlm: 23).
Basri menyadari betul-betul bahwa dirinya masih muda waktu ia
meninggalkan orang tuanya di desa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
50
(70) ”...Mengapa aku meninggalkan mereka dalam umur semuda ini?” (hlm: 61)
Pada malam hari yang tak terlupakan bagi Sulistinah. Basri terluka
kepalanya, waktu menolong Sulistina h ketika hendak diperkosa oleh lelaki yang
tak dikenalnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(71) Sulistinah belum juga mau tidur pulas pada malam naas itu (hlm: 156).
Ketika lampu berwarna merah adalah waktu yang tepat bagi para
pengemis, pengamen, dan kehidupan lainnya yang bergantung pada pengatur
lampu lalu lintas tersebut untuk bekerja mengais rejeki kepada pengendara yang
kendaraannya terhenti karena lampu berwarna merah. Selain itu, oleh pengarang
dipergunakan sebagai batasan waktu bagi Basri berpamitan dengan teman-
temannya untuk terakhir kalinya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(72) ”Tolonglah Oom,” pinta Basri kepada Sutrisno. “Saya ingin bertemu untuk kali terakhir dengan mereka. Bukalah pintu mobil ini. Berilah aku menemui mereka selama lampu berwarna merah.” (hlm: 195)
Waktu kapal Bengawan meninggalkan teluk Jakarta dan mulai bergerak
menuju Sumatera hari berangsur-angsur berubah menjadi gelap. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
(73) Lampu-lampu di sepanjang daratan Teluk Jakarta tampak memantul di atas permukaan air. Di antara ribuan lampu-lampu itu terciptalah monumen nasional yang lain (hlm: 210).
Dari kutipan-kutipan 68-73 di atas dapat disimpulkan bahwa Basri telah
satu tahun lamanya pergi meninggalkan rumahnya. Waktu Basri pergi ke Jakarta
untuk berada di monumen nasional umurnya masihlah sangat muda. Dan,
beberapa waktu lainnya yang tidak akan dilupakan oleh Basri, yaitu: malam naas
51
yang membuat Basri terluka di kepala waktu menolong Sulistinah, ketika lampu
berwarna merah, itulah waktu yang diberikan kepada dirinya untuk meminta-
minta juga berpamitan kepada teman-temannya. Malam hari di atas kapal
Bengawan bersama ayah, ibu dan Sulistinah.
2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Ada dua latar sosial yang mempengaruhi kehidupan tokoh Basri dalam
novel KLBM karya Hamsad Rangkuti, yaitu:
Pertama, kehidupan Basri sebelum dirinya pergi ke Jakarta, menunjukkan
perilaku anak desa yang senang bermain di alam pedesaan. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
(74) “Aku selalu ingat di desa. Bulan menyinari jalan setapak di belakang rumah kami. Kami berjalan menyibak rumpun padi bila kami ingin melintas. Cahaya bulan jatuh menyinari bekas telapak kaki kami di atas tanah yang lembek di pematang. Kodok melompat masuk ke dalam air. Aku berteriak memanggil ibu dari beranda, cahaya bulan jatuh sesudah itu. Mengapa aku meninggalkan mereka dalam umur semuda ini?” “Kamu harus melupakan kami, Basri. Kau harus pulang.” “Ibu membukakan pintu untukku ketika dia masih mengantuk. Dia tidak pernah bertanya mengapa sejauh malam begitu aku baru pulang. Ke mana kau pergi setelah selesai mengaji.” “Kau harus melupakan kami. Kau mesti pulang.” “Aku bawa lampu ke luar. Aku suluh mangga kami yang jatuh. Kelelawar beterbangan menghindar dari cahaya lampu yang kubawa. Begitu aku lakukan hampir tiap malam. Berlarian dari surau begitu ustadz membolehkan kami pulang. Kami berlarian mengejar acara televisi di halaman kantor kelurahan.” (hlm: 61-62).
52
Kedua, kehidupan setelah Basri pergi dari rumahnya, yaitu di Ibu Kota
Jakarta. Di mana dirinya hidup sebagai seorang pengemis. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
(75) “Aku belum menggendongmu! Sekarang giliran aku be lum sejak tadi.” (hlm: 4)
(76) ...anak laki-laki itu bergabung di antara pengemis di perempatan
lampu lalu lintas (hlm: 24).
Dengan latar belakang kehidupan kota Jakarta yang keras, perilaku Basri
yang keras kepala terbentuk dengan sendirinya. Hal ini terliha t dalam kutipan
berikut:
(77) ”Pak saya pesan satu martabak dengan dua butir telur.” Basri merasa lega bisa mengucapkan kalimat itu. “Kau memesan martabak dengan dua butir telur? Apakah kau hendak berolok-olok? Jangan ganggu aku. Ini uang dua puluh lima rupiah. Aku sedang menyiapkan empat belas porsi.” “Karena itu saya memesan sekarang. Saya khawatir orang akan datang lagi dan memesan beberapa porsi lagi. Saya sudah lama menunggu. Tetapi dari jauh. Semula saya ingin pesan bila orang lain sudah selesai memesan. Tetapi saya lihat orang terus-menerus memesannya. Jadi saya pesan sekarang. Satu martabak dengan dua telur.” “Kau jangan berolok-olok. Pergi sana!” “Saya sungguh-sungguh .” “Tidak pernah ada pengemis membeli martabak. Aku tidak menjual martabak untuk pengemis!” (hlm: 39-40)
Latar kehidupan Basri sebagai pengemis membentuk perilaku dirinya
sebagai pelindung bagi Sulistinah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(78) Dia melihat Sulistinah digendong laki-laki yang tidak dikenalnya. Dia bangun dan melompat menerkam laki-laki itu. Tetapi dia menghunus pisaunya. Basri menerkam pisau yang terhunus itu dan mengenai bagian kepalanya (hlm: 157).
53
Latar persahabatan yang telah dibina oleh Basri bersama teman-temannya
selama satu tahun lamanya membentuk perilaku Basri sebagai seorang teman
sekaligus kakak yang baik. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
(79) “Aku tidak bisa meninggalkan kalian. Aku melindungimu, Sulistinah. Kalian berdua sudah kuanggap seperti adik sendiri. Aku tidak bisa ikut, Ayah. Saya tidak bisa berpisah dengan mereka (hlm: 193).
Dari kutipan 74 sampai 79 di atas dapat disimpulkan ada dua latar sosial
yang mempengaruhi kehidupan Basri secara garis besar, yaitu kehidupan Basri
sebelum dirinya pergi ke Jakarta dan kehidupan setelah Basri pergi dari
rumahnya. Dua latar inilah yang mempengaruhi cara Basri berinteraksi dengan
tokoh lain. Di desa Basri tidak banyak memperlihatkan karakter yang dibentuk
oleh lingkungannya. Walaupun ada, penulis masih menganggapnya wajar. Yang
dilakukan Basri saat itu biasa dilakukan oleh anak-anak seumurannya di desa. Di
Jakarta sedikit banyak karakter hidup Basri dipengaruhi oleh lingkungan di
sekitarnya seperti: memiliki kemauan yang keras agar bisa bertahan hidup di Ibu
Kota Jakarta, harus kuat dan berani walau dirinya hanya anak laki-laki kecil agar
dapat melindungi diri sekaligus temannya, berlaku sebagai teman sekaligus kakak
bagi Sulistinah dan Pipin.
Kesimpulan dari kutipan-kutipan di atas 1 sampai 79 analisis secara
keseluruhan tokoh, alur, dan latar terlihat bahwa strukturnya saling terkait satu
sama lain. Dengan demikian, penulis telah sesuai dengan tujuannya seperti telah
dikemukakan di bab sebelumnya.
54
Menurut Nurgiantoro (1995: 37), tujuan pemaparan adalah mengetahui
fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama
menghadirkan keseluruhannya.
2.4 Relasi Antarunsur
Di bagian sub bab ini penulis mencoba memperlihatkan hubungan
antarunsur yang dipakai dalam analisis struktur, di antaranya: tokoh, alur, dan
latar. Hal ini dilakukan penulis agar pembaca nantinya bisa mengerti betul fungsi
unsur intrinsik yang ada.
Terlihat jelas hubungan antarunsur dalam novel KLBM membentuk satu
kesatuan yang utuh. Masing-masing memperlihatkan hubungan yang erat. Tiap-
tiap unsur intrinsik sama-sama memperlihatkan konflik yang terjadi di dalam diri
Basri.
Dalam setiap karya sastra, termasuk di dalamnya novel KLBM
mengandung unsur tokoh. Individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan di dalam berbagai peristiwa (Sudjiman, 1988). Peristiwa-peristiwa yang
dikenai tokoh membentuk apa yang disebut alur. Cerita sama dengan urutan
peristiwa secara kronologis (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986). Ini membuktikan
bahwa unsur tokoh dengan alur merupakan unsur yang saling mempengaruhi dan
menggantungkan satu sama lain. Adanya tokoh Basri dalam novel KLBM berlaku
sebagai anak yang pergi dari rumah tanpa diketahui orang tua, membangun cerita
dirinya menjadi pengemis di perempatan lampu lalu lintas dan mengalami banyak
konflik.
55
Hubungan antarunsur intrinsik lain, yang ditangkap oleh penulis seperti:
tokoh dengan latar dalam novel KLBM. Penulis menangkap adanya dua latar yang
mempengaruhi gaya hidup, serta tingkahlaku kehidupan tokoh Basri. Latar yang
pertama, Desa Karanglo tempat konflik batin tokoh Basri sebelum pergi ke ibu
kota meninggalkan kedua orang tuanya. Latar yang kedua, ibu kota tempat konflik
batin tokoh Basri sesudah pergi dari Desa Karanglo meninggalkan kedua orang
tuanya demi kebutuhan aktualisasi diri mencapai monumen nasional. Dengan
adanya hubungan antarunsur ini, penulis dipermudah untuk melihat konflik batin
tokoh berdasarkan latar.
56
BAB III
ANALISIS KONFLIK BATIN TOKOH BASRI
MENGGUNAKAN TEORI PSIKOLOGI ABRAHAM MASLOW
Dalam bab ini penulis hanya menganalisis konflik batin yang terjadi pada
diri tokoh Basri, karena dari sekian banyak jumlah tokoh yang ada dalam novel
Ketika Lampu Berwarna Merah tokoh Basrilah yang paling banyak mengalami
konflik batin. Konflik batin yang dialami tokoh Basri disebabkan si tokoh berla ku
sebagai tokoh protagonis. Menurut Nurgiantoro (1995:177) , tokoh protagonis
adalah tokoh yang diutamakan dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian. Kemunculannya menjadi pusat perhatian penulis karena terlalu
seringnya tokoh berinteraksi dengan tokoh lain.
Hal lain yang penulis tangkap dari analisis struktur pada bab sebelumnya,
bahwa penyebab konflik batin yang terjadi pada diri tokoh Basri adalah tokoh
berkembang sebagai tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan
(perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif
berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang
lain, yang kesemuanya itu mempengaruhi sikap, watak, dan tingkahlakunya
(Nurgiantoro, 1995: 188).
Penulis menangkap tidak hanya watak tokoh Basri yang berkembang
akibat interaksi aktif dengan lingkungannya, baik sosial, alam, maupun yang
lainnya. Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia pun berkembang, karena menurut
57
penulis kebutuhan berkembang semakin besar seiring dengan perubahan peristiwa
dan plot yang dikisahkan. Ini semua dibuktikan dengan munculnya kebutuhan-
kebutuhan dasar yang dikemukakan Abraham Maslow, yaitu: kebutuhan
fisiologis; kebutuhan rasa aman; kebutuhan akan sara cinta dan memiliki;
kebutuhan akan penghargaan; dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Pengarang
memberikan contoh Basri sebagai anak desa dalam memenuhi kebutuhan
fisiologis, yaitu dengan suluh mangga. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
80) "Aku bawa lampu keluar. Aku suluh mangga kami yang jatuh. Kelelewar berterbangan menghindar dari cahaya lampu yang kubawa. Begitu kulakukan hampir tiap malam…" (hlm: 62)
Kebutuhan Basri berkembang setelah kebutuhan fisiologisnya terpenuhi.
Pernyataan ini didukung oleh kebiasaan Basri menonton televisi di kantor
kelurahan sehabis pulang mengaji. Basri berusaha memenuhi kebutuhan lainnya,
seperti: kebutuhan akan aktualisasi diri. Hal ini terlihat dalam kutipan:
81) Sedang anak laki-lakinya yang terkecil bepergian dari rumah mereka sejak setahun yang lalu ketika anak itu tertarik melihat gambar monumen nasional terpampang menghiasi tanggalan di dinding rumah mereka. Anak itu terpengaruh dengan keramaian kota Jakarta yang dia lihat lewat layar televisi di halaman kantor kelurahan (hlm: 23)
Setelah kebutuhan Basri akan aktualisasi dirinya terpenuhi. Muncul
kebutuhan dirinya akan dicintai dan dimiliki oleh orang tua. Hal ini terlihat dalam
kutipan berikut:
82) ”Aku tidak tahu bagaimana untuk pulang. Mengapa mereka tidak mencariku?” (hlm: 62).
83) “Aku sudah berada di kaki monumen itu. Seharusnya aku sudah
puas. Aku sudah bisa meraba batu itu di pelatarannya dengan jari-jariku. Aku sudah menyentuhnya. Seharusnya aku sudah pulang.” (hlm: 62).
58
Kebutuhan Basri akan dicintai dan dimiliki orang tuanya terpenuhi setelah
Kartijo, Ayahnya mencari ke Jakarta dan bertemu dengan dirinya. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
84) Ada di antara tetangga Kartijo yang pernah pergi ke Jakarta menceritakan kepada Kartijo dan Surtini, bahwa mereka melihat anak laki-laki itu bergabung di antara pengemis di perempatan lampu lalu lintas (hlm: 24).
85) "Ini ayahku, Pin." Kata Basri mengenalkannya pada Pipin.
"Lama ayah mencarimu." "Sulis! ini ayahku." Sulistinah berdiri dari atas batu itu. Dia melompat dan datang kepada Kartijo. "Ini ayahku, Sulis. Ini Sulistinah, Ayah." (hlm: 191)
Untuk lebih jelasnya penulis akan menerangkan masalah konflik batin
yang terjadi dalam diri tokoh Basri di bawah ini.
3.1 Konflik Batin
Menurut Daradjat (1985: 26-27), konflik atau pertentangan batin adalah
terdapatnya dua dorongan atau lebih, yang berlawanan atau bertentangan satu
sama lain, dan tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama.
Irwanto (2002), dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan (dorongan) dalam
diri seseorang tidak selalu muncul satu demi satu. Seringkali muncul dua atau
lebih kebutuhan (dorongan) dalam dir i seseorang dalam waktu yang bersamaan ini
disebut konflik batin.
Pernyataan dari para ahli di atas digunakan penulis untuk memberikan
batasan seseorang mengalami konflik batin atau tidak. Berikut adalah analisis
konflik batin tokoh Basri.
59
Dalam menganalisis konflik batin tokoh Basri konflik -konflik batin
tersebut dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan berkembangnya watak tokoh
Basri akibat interaksi aktif dengan lingkungan, yaitu: (i) konflik batin yang terjadi
pada diri tokoh Basri sebelum pergi ke ibu kota meninggalkan kedua orang
tuanya; dan (ii) konflik batin yang terjadi pada diri tokoh Basri sesudah pergi ke
ibu kota meninggalkan kedua orang tua demi kebutuhan (dorongan) mencapai
monumen nasional. Penulis memasukkan hal ini sebagai konflik batin karena
dalam diri tokoh Basri muncul dua kebutuhan yang secara bersamaan dan
pemenuhannya tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan pula, yaitu
kebutuhan akan fisiologis dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebaga i seorang
manusia Basri perlu memenuhi kebutuhan fisiologis tetapi dalam dirinya ia ingin
mengaktualisasikan keinginannya untuk sampai di monumen nasional. Demikian
juga dengan konflik batin yang terjadi pada diri tokoh Basri sesudah pergi ke ibu
kota meninggalkan kedua orang tuanya demi kebutuha n mencapai monument
nasional. Penulis memasukkan hal ini sebagai konflik batin tokoh karena dalam
kehidupan Basri setelah sampai di ibu kota muncul kebutuhan-kebutuhan yang
tidak mungkin dipenuhinya dalam waktu yang bersamaan.
Setelah teridentifikasi konflik-konflik batin tokoh Basri berdasarkan
berkembangnya watak tokoh akibat interaksi aktif dengan lingkungan, penulis
tidak membedakan kembali konflik batin yang terjadi sebelum tokoh Basri pergi
ke ibu kota menjadi beberapa bagian berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi
terjadinya konflik batin. Se bab jelas terlihat oleh penulis peristiwa yang
melatarbelakangi terjadinya konflik batin tokoh Basri hanya satu, yaitu:
60
terpengaruhnya anak itu melihat keramaian kota Jakarta yang dilihatnya lewat
layar televisi di halaman kantor kelurahan (Rangkuti, 2001: 23).
Setelah teridentifikasi konflik-konflik batin tokoh Basri berdasarkan
berkembangnya watak tokoh akibat interaksi aktif dengan lingkungan, penulis
membedakan kembali konflik batin yang terjadi sesudah tokoh Basri pergi ke ibu
kota menjadi beberapa bagian berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi
terjadinya konflik batin, yaitu: (i) Basri mengalami penolakan dari pedagang
martabak; (ii) perasaan Basri yang merindukan kampung halaman; (iii) ketika
Basri menolong Sulistinah saat digendong laki-laki yang tidak dikenal; dan (iv)
saat Basri menolak ikut pergi bersama ayah, ibu, dan penduduk desa ke tempat
mereka dipindahkan. Penulis memasukkan hal ini sebagai konflik batin tokoh
Basri karena dalam setiap peristiwa yang terjadi muncul kebutuhan-kebutuhan
yang tidak mungkin dipenuhinya dalam waktu bersamaan.
Langkah berikutnya penulis menunjukkan kemunculan kebutuhan-
kebutuhan Basri yang secara bersamaan dan tidak mungkin dipenuhi secara
bersamaan pula sehingga dirinya dikategorikan sebagai tokoh yang mengalami
konflik batin.
3.1.1 Konflik Batin yang Terjadi Sebelum Tokoh Basri Pergi ke Ibu Kota
Penjelasan dari konflik batin yang ter jadi sebelum tokoh Basri pergi ke ibu
kota adalah konflik ini terjadi di Desa Karanglo tempat tinggal Basri, orang
tuanya, dan penduduk desa. Peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya konflik
batin tokoh Basri di Desa Karanglo terdiri dari satu peristiwa, yaitu: kebiasaan
61
menonton televisi di kantor kelurahan sehabis pulang mengaji. D i balik peristiwa
tersebut dalam diri Basri muncul kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan
aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini muncul secara bersamaan tetapi tidak
mungkin dipenuhi secara bersamaan sehingga dirinya mengalami konflik batin.
Pengarang menceritakan Basri sebagai anak desa dalam memenuhi
kebutuhan fisiologis, yaitu dengan suluh mangga. Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut:
86) "Aku bawa lampu keluar. Aku suluh mangga kami yang jatuh. Kelelewar berterbangan menghindar dari cahaya lampu yang kubawa. Begitu kulakukan hampir tiap malam…" (hlm: 62)
Pengarang menceritakan Basri sebagai anak desa dalam memenuhi
kebutuhan akan aktualisasi, yaitu dengan Basri berniat pergi ke Jakarta untuk
mengunjungi monumen nasional. Basri memiliki rasa keingintahuannya tentang
monumen nasional yang ia lihat dalam tayangan televisi, ingin diwujudkannya
dengan menyentuh atau melihatnya secara langsung karena faktor orang tua yang
kurang perhatian terhadap anaknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
87) Ibu membukakan pintu untukku ketika dia masih mengantuk. Dia tidak pernah bertanya mengapa sejauh malam begitu aku baru pulang. Ke mana pergi setelah selesai mengaji (hlm: 61).
Kutipan 87 di atas tampak menjelaskan tokoh Basri mengalami tekanan
bagi dirinya. Rasa keingintahuannya tentang monumen nasional yang ia lihat
dalam tayangan televisi, ingin diwujudkanya dengan menyentuh atau melihatnya
secara langsung. Namun, di sisi yang berlawanan kebutuhan yang tidak bisa
dilupakan bahwa seorang anak membutuhkan makan, minum, tempat berteduh,
perlindungan dari orang tua, harus berbakti pada orang tua, dan lain sebagainya.
62
3.1.2 Konflik Batin yang Terjadi sesudah Tokoh Basri Pergi ke Ibu Kota
Penjelasan dari konflik batin yang terjadi sesudah tokoh Basri pergi ke ibu
kota adalah konflik yang terjadi di ibu kota tempat Basri memenuhi kebutuhannya
untuk melihat monumen nasional atau menyentuhnya secara langsung, sekaligus
tempat tokoh protagonis menjadi pengemis. Menurut pengamatan penulis, bahwa
dalam cerita tokoh Basri tidak pernah terlepa s dari peristiwa yang menyebabkan
konflik da lam batinnya. Untuk itu penulis membedakannya kembali konflik batin
yang terjadi sesudah tokoh Basri ke ibu kota menjadi beberapa bagian berdasarkan
peristiwa yang menyebabkan konflik batin tokoh. Konflik-konflik itu terdiri dari
empat konflik batin, yaitu: (i) Basri mengalami penolakan dari pedagang
martabak; (ii) perasaan Basri yang merindukan kampung halaman; (iii) ketika
Basri menolong Sulistinah saat digendong laki-laki yang tidak dikenal; dan (iv)
saat Basri menolak ikut pergi bersama ayah, ibu, dan penduduk desa ke tempat
mereka dipindahkan.
Di bawah ini penulis akan menganalisis mengapa Basri tidak pernah
terlepas dari peristiwa yang menyebabkan konflik batin, dimana munculnya
kebutuhan lebih dari satu secara bersamaan dan tidak mungkin dipenuhi dalam
waktu yang bersamaan pula sehingga Basri dikategorikan sebagai tokoh yang
mengalami konflik batin.
63
3.1.2.1 Basri Mengalami Penolakan dari Pedagang Martabak
Konflik batin yang dialami tokoh Basri pertama kali di ibu kota adalah
Basri mengalami penolakan dari pedagang martabak. Berikut kutipan yang
menggambarkan Basri mengalami penolakan dari pedagang martabak.
88) “Kau memesan martabak dengan dua butir telur? Apakah kau hendak berolok-olok? Jangan ganggu aku. Ini uang dua puluh lima rupiah. Aku sedang menyiapkan empat belas porsi.” (hlm: 39)
89) “Saya sungguh-sungguh.”
“Tidak pernah ada pengemis membeli martabak. Aku tidak mejual martabak kepada pengemis.” (hlm: 40)
Dari kutipan 88 sampai 89 di atas, tampak jelas bahwa tokoh Basri
mengalami pergulatan atau konflik dalam batinnya. Di satu sisi Basri berniat
membantu Pipin membelikan martabak karena hari itu mereka menginginkan
makanan yang mereka impikan. Namun, kondisi fisik Pipin tidak memungkinkan
untuk membelinya sendiri karena kakinya cacat.
Di sisi lain pada saat memesan martabak tokoh Basri dilukai dengan kata-
kata yang tidak enak dari pedagang martabak. Dirinya dilecehkan oleh pedagang
martabak, dianggap tidak pantas seorang pengemis membeli martabak.
Alasan penulis memasukkan kutipan 88 dan 89 di atas dalam karya tulis
ini karena Basri sebagai tokoh protagonis benar-benar termasuk dalam kategori
orang yang mengalami konflik batin. Tampak sekali bahwa kebutuhan akan harga
diri tokoh Basri tidak terpenuhi. Siapa menduga niat baik berakhir dengan
penghinaan. Penulis dapat simpulkan siapa pun orangnya (tokoh), bila mendapat
penghinaan seperti itu pasti sakit hati termasuk tokoh Basri batinnya tertekan.
Selanjutnya, Basri dan Pipin tidak bisa memenuhi kebutuhan fisiknya, yaitu
64
memakan-makanan yang mereka impikan, karena oleh pengarang peristiwa di atas
diakhiri dengan tekanan batin tokoh Basri dan habisnya martabak. Semua
martabak dibeli oleh pembeli lainnya yang diangap lebih layak membeli martabak
dari pada seorang pengemis.
3.1.2.2 Perasaan Basri yang Merindukan Kampung Halaman
Konflik kedua yang terjadi dalam diri Basri adalah betapa ia merindukan
kampung halaman, ayah dan ibunya. Semua ini diceritakan oleh tokoh Basri dari
pelataran monumen nasional sambil menikmati makanan yang mereka impikan.
Martabak Pipin ditukar dengan martabak lain yang tokoh Basri beli di tempat lain.
Satu persatu dari delapan pengemis anak-anak itu bercerita. Termasuk di
dalamnya cerita tokoh Basri. Berikut kutipan dalam novel tersebut yang
membahas Basri menceritakan betapa ia merindukan kampung halaman, dan
orang tuanya.
90) “Aku sudah berada di kaki monumen itu. Seharusnya aku sudah puas. Aku sudah bisa meraba batu itu di pelatarannya dengan jari-jariku. Aku sudah menyentuhnya. Seharusnya aku sudah pulang.” (hlm: 62)
Dari kutipan 90 di atas menurut penulis jelas bahwa kepergian tokoh Basri
ke ibu kota setahun yang lalu tidak diketahui oleh orang tuanya, sedang orang
tuanya sendiri tidak mengetahui di mana atau ke mana perginya si anak bungsu.
Bila penulis memasukkan pendapat dari para ahli Daradjat dan Irwanto
penyataan dalam kutipan 90 di atas menunjukkan munculnya kebutuhan yang
tidak bisa dipenuhi tokoh Basri secara bersamaan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
di antaranya kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan akan dicintai dan dimiliki
65
orang tuanya. Kebutuhan aktualisasi diri Basri kinibukan lagi untuk sampai
monument nasional tetapi sebaliknya. Ia menghendakki pulang ke Desa Karanglo.
Kebuthan lain yang muncul saat itu juga adalah kebutuhan Basri akan
dicintai dan dimiliki orang tuanya. Kebutuhan ini selain muncul bersamaan
dengan kebutuhan yang lain. Dalam pemenuhannya tidak mungkin dipenuhi Basri
saat itu karena ia jauh dengan orang tua.
Setahun lamanya tokoh Basri merasa dirinya tidak dicari orang tuanya
sehingga muncul konflik batin dalam dirinya karena kebutuhan akan cinta dan
rasa memiliki tidak didapat oleh tokoh Basri yang tercatat sebagai anak. Di sisi
lain tokoh Basri telah memenuhi kebutuhannya akan aktualisasi diri yaitu pergi ke
monumen nasional. Berikut kutipan yang membaha s Basri merasa dirinya tidak
dicari orang tuanya.
91) “Aku tidak tahu bagaimana untuk pulang. Mengapa mereka tidak mencariku?” (hlm: 62)
Hal yang masih berkaitan dengan konflik batin tokoh Basri tentang
perasaannya tidak dicintai dan dimiliki yaitu, pencarian Kartijo, Ayah Basri yang
mencari ke kota setelah diceritakan tetangganya yang pernah melihat Basri waktu
tetangganya pergi ke Jakarta.
Ide cerita ini dibuat oleh pengarang sesuai pengamatan penulis untuk
menggambarkan bahwa sebenarnya tokoh Basri itu dicintai dan dimiliki oleh
orang tuanya. Namun, ini semua baru terjadi setelah Kartijo mendapat informasi
dari tetangganya yang baru saja pulang dari ibu kota. Sebelum informasi ini
sampai Kartijo pernah ia mencari tetapi tidak ketemu. Ini kali kedua Kartijo
mencari.
66
Penulis menghubungkan ide cerita ini dengan cerita sebelumnya adalah
satu kesatuan, tetapi berbeda tokoh yang dikenai peristiwa. Basri tidak dapat
memenuhi kebutuhan akan dicintai dan dimiliki. Demikian juga Kartijo dan
Surtini sebagai orang tua tidak merasakan dicintai dan dimiliki oleh Basri yang
pergi meninggalkan rumah.
3.1.2.3 Ketika Basri Menolong Sulistinah Saat di Gendong Laki-laki Tidak
di kenal
Di ibu kota yang menimbulkan konflik di dalam batin tokoh Basri adalah
ketika menolong Sulistinah saat dibawa laki-laki tidak dikenal. Pada bagian ini
konflik dalam batin Basri bersumber dari masuknya Sulistinah ke dalam
kehidupan Basri sejak Ibu dari anak gadis itu meninggal. Dari situ hubungan
tokoh Basri dengan Sulistinah seakan-akan tidak bisa dilepaskan. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
92) Mereka pergi ke mana-mana seolah Basri adalah kakak lelaki kedua anak itu. Mereka tidur di emper toko kalau malam tiba. Dan mengemis di perempatan lampu lalu lintas pada siang hari (hlm: 155).
Sebagai seorang kakak tokoh Basri berkewajiban menjaga keamanan adik-
adiknya. Saat tokoh Basri mengetahui Sulistinah dibawa laki-laki tidak dikenal,
dirinya mencoba menolong Sulistinah.
Apa yang dikhawatirkan tokoh Basri kini terjadi pada anak perempuan
yang mulai beranjak dewasa yang selama ini dijaganya. Kekhawatiran tokoh Basri
diwujudkan dengan ketakutan-ketakutan yang masuk akal (logis) karena tempat di
mana mereka tinggal adalah bersarangnya para penjahat (hlm: 156).
67
Kesimpulan sementara yang diambil penulis mengapa memasukkan
peristiwa ini menjadi konflik yang terjadi dalam batin tokoh Basri karena penulis
melihat munculnya kebutuhan lebih dari satu secara bersamaan, yaitu: kebutuhan
akan dicintai dan dimiliki, dan kebutuhan akan rasa aman. Sejak pertama tokoh
Basri mengenal Sulistinah. Dirinya sudah sama-sama merasa saling dicintai dan
dimiliki, karena nasib mereka sama tidak punya orang tua saa t itu. Namun, yang
membedakan Sulistinah mendapatkan perlindungan dari orang yang sudah
dianggapnya kakak. Berarti kebutuhan akan rasa aman bagi Sulistinah terpenuhi.
Sebaliknya, kebutuhan akan rasa aman bagi tokoh Basri tidak didapatnya.
Terbukti tokoh Basri harus terluka saat menolong Sulistinah karena tidak ada
orang (tokoh) lain yang memberi perlindungan bagi Basri. Dirinya berjuang
menangkap lelaki tidak dikenal itu sendiri walaupun hasil yang didapat kegagalan.
Lelaki tidak dikenal itu tidak berhasil ditangkapnya.
3.1.2.4 Saat Basri Menolak Ikut Pergi Bersama Orang Tua dan Penduduk
Desa ke Tempat Mereka Dipindahkan
Peristiwa selanjutnya yang ditangkap oleh penulis adalah saat tokoh Basri
bertemu Kartijo (Ayahnya). Pertemuan ini dipergunakan Kartijo untuk mengajak
anaknya pergi bersama ibu, beserta penduduk Desa Karanglo ke tempat yang
jarang penduduk. Ajakan Kartijo ditangkap penulis sebagai peristiwa yang
menyebabkan konflik yang terjadi di dalam batin tokoh Basri. Perbuatan Kartijo
mempunyai tujuan baik, yaitu mengembalikan apa -apa saja yang tokoh Basri
butuhkan. Kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa dicintai dan dimiliki
68
pasti akan tokoh Basri dapat dari ayah dan ibunya. Kebutuhan fisiologis (makan),
untuk memenuhinya tokoh Basri tidak perlu mendapat hinaan terlebih dahulu.
Namun, di dalam batin tokoh Basri muncul kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan dicintai dan
dimiliki dari Sulistinah, dan Pipin yang telah dianggapnya adik. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut:
93) “Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Mereka yatim piatu. Mereka telah terlanjur saya anggap adik-adik saya sendiri. Saya tidak bisa ikut, Ayah.” (hlm: 192-193)
Mengacu pada pengertian konflik batin menurut Daradjat, dan Irwanto.
Tokoh Basri sedang mengalami apa yang disebut konflik yang terjadi dalam
batinnya, yaitu munculnya kebutuhan (dorongan) sehari-hari secara bersama-
sama, tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang sama.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di antaranya kebutuhan akan dicintai dan
dimiliki oleh teman sekaligus adik Basri serta orang tua yang telah lama
mencarinya. Kebutuhan lainnya adalah kebutuhan akan rasa aman. Selama di ibu
kota Basri tidak pernah mendapatkan rasa aman dari orang tuanya. Dalam kutipan
93 sebenarnya pengarang ingin memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada diri
Basri tetapi hal itu tidak mungkin karena Basri lebih mementingkan kebutuhan
akan dicintai dan dimiliki teman sekaligus adik.
Konflik yang terjadi dalam batin tokoh Basri tidak bisa dihindari. Tetapi
bisa diperingan, bahkan bisa disele saikan. Langkah pertama yang diambil tokoh
Basri untuk memperingan konflik adalah memohon pada Kartijo agar membawa
serta Pipin, dan Sulistinah pergi bersamanya. Ini semua dilakukan tokoh Basri
69
dengan maksud kebutuhan yang tidak bisa diabaikan tersebut di atas bisa
terpenuhi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
94) “Aku tidak mau turut kalau Ayah tidak membawa mereka.” (hlm: 197).
Usaha yang dilakukan tokoh Basri tidak berjalan lancar. Itu semua karena
Pipin tidak mau ikut serta pergi bersama tokoh Basri. Maksud Pipin, dirinya
adalah tokoh yang dibutuhkan teman-teman waktu mengemis untuk digendong,
agar orang yang melihat merasa iba sehingga memberi uang receh pada mereka.
Kejadian ini membuat Sulistinah tidak bersedia ikut kalau tidak membawa serta
adiknya.
Tokoh Basri mulai binggung. Tindakan Pipin dan Sulistinah membuat
pikirannya tidak tenang. Tokoh Basri menarik Pipin dari tangan teman-temannya.
Teman-teman menghendaki Pipin bersama mereka, sedangkan tokoh Basri,
Sulistinah inginkan adiknya ikut pergi bersama-sama. Terjadi aksi tarik menarik
dan saling dorong antara tokoh Basri dengan teman-temannya. Setelah aksi hebat
itu berakhir, tokoh Basri hanya bisa melihat Sulistinah tidak bisa menghentikan
tangis. Pipin telah jauh dibawa pergi oleh teman-temannya.
Konflik batin tokoh Basri terselesaikan dengan terpenuhinya kebutuhan
akan dicintai dan dimiliki oleh ayah, ibu, dan Sulistinah yang ikut bersamanya.
Kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan penghargaan,
yang terakhir kebutuhan aktualisasi diri.
Dari kutipan 80 sampai 94 di atas dapat disimpulkan bahwa konflik batin
yang dialami tokoh Basri dibedakan menjadi dua, yaitu: (i) konflik batin sebelum
tokoh Basri pergi ke ibu kota meninggalkan kedua orang tuanya; dan (ii) konflik
70
batin sesudah tokoh Basri pergi ke ibu kota meninggalkan kedua orang tuanya
demi kebutuhan aktualisasi diri mencapai monumen nasional. Konflik yang kedua
ini dibagi lagi oleh penulis berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi. Ada
empat konflik batin, yaitu: (i) Basri mengalami penolakan dari pedagang
martabak. Dalam peristiwa ini muncul kebutuhan lebih dari satu, yaitu kebutuhan
harga diri dan kebutuhan fisiologis; (ii) perasaan Basri yang merindukan kampung
halaman. Dalam peristiwa ini muncul kebutuhan lebih dari satu, yaitu kebutuhan
aktualisasi diri dan kebutuhan akan dicintai dan dimiliki; (iii) saat tokoh Basri
menolong Sulistinah, ketika digendong laki-laki tidak dikenal. Dalam peristiwa
ini muncul kebutuha n lebih dari satu, yaitu kebutuhan akan dicintai dan dimiliki
dan kebutuhan akan rasa aman; dan (iv) saat tokoh Basri menolak ikut pergi
bersama ayah, ibu, dan penduduk ke tempat mereka dipindahkan. Dalam peristiwa
ini muncul kebutuhan lebih dari satu, ya itu kebutuhan dicintai dan dimiliki teman
sekaligus adik serta orang tua yang telah lama mencarinya. Kebutuhan lainnya
yaitu kebutuhan akan rasa aman.
Konflik–konflik yang terjadi di dalam batin tokoh Basri, karena
munculnya kebutuhan-kebutuhan dasar manus ia yang dikemukakan Abaraham
Maslow, yaitu: (i) kebutuhan fisiologi; (ii) kebutuhan akan rasa aman; (iii)
kebutuhan akan dicintai dan dimiliki; (iv) kebutuhan akan penghargaan; dan (v)
kebutuhan aktualisasi diri.
Dari konflik-konflik yang didapat penulis berdasarkan peristiwa yang
menyebabkan terjadinya konflik batin tokoh. Dalam analisisnya semua ini
dimasukkan dalam karya tulis ini karena di setiap peristiwa begitu sering muncul
71
kebutuhan lebih dari satu secara bersamaan dan tidak mungkin dipenuhi dalam
waktu yang bersamaan pula.
72
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis , maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
Langkah pertama yang ditempuh penulis adalah menganalisis struktur
novel, yaitu tokoh, alur, latar serta relasi antarunsur. Dari sekian banyak tokoh
yang ada dalam novel KLBM, penulis hanya menganalisis tokoh Basri sebagai
tokoh protagonis, karena memiliki intensitas keterlibatan yang lebih banyak
dengan tokoh lain. Hal ini membuat tokoh Basri dikenai peristiwa yang membuat
konflik dalam batinnnya. Tokoh antagonis yang dianalisis di antaranya adalah
Pipin, Sulistinah, dan Kartijo. Kehadiran mereka dianggap menunjang konflik
yang terja di di dalam batin tokoh Basri sehingga perlu dianalisis. Tokoh Pipin
adalah tokoh yang ditolong, teman sekaligus adik bagi Basri. Saat membeli
martabak untuk Pipin, tokoh Basri tidak dihargai, dilecehkan, sehingga dirinya
mengalami konflik batin. Sulistinah adalah tokoh yang ditolong, diberatkan oleh
Basri, orang yang telah dianggapnya sebagai kakak itu hendak diajak Kartijo
(ayahnya) pergi ke tempat penduduk Desa Karanglo dipindahkan. Sulistinah
menjadi penyebab konflik batin tokoh Basri. Tokoh antagonis yang terakhir
dianalisis adalah Kartijo (ayahnya). Kedatangannya untuk menjemput Basri
(anaknya) , menjadi sumber konflik batin tokoh Basri selanjutnya , sekaligus
menjadi akhir konflik yang ada dalam novel ini.
73
Untuk menganalisis alur novel KLBM. Penulis menggunakan struktur alur
yang dikemukakan Sudjiman (1988), terdiri dari awal, tengah, dan akhir. Bagian
awal terdir i atas: paparan (expositin ), rangsangan (inciting moment), gawatan
(rising action). Pada bagian tengah terdiri atas tikaian (conflict), rumitan
(complication), dan klimaks. Pada bagian akhir terdiri atas: leraian (falling
action ), selesaian (denoument).
Latar yang menunjang konflik batin tokoh Basri ada tiga, yaitu: latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempatnya di Desa Karanglo, di ibu
kota meliputi: perempatan lampu lalu lintas, pedagang martabak dekat Restoran
Can Nyan di Jalan Sabang, monumen nasional, panggung orkes, belakang tembok
gudang beras, emper toko, di atas kapal “Bengawan”. Latar waktu meliputi: satu
tahun lamanya tokoh Basri pergi dari rumah, pada malam hari saat tokoh Basri
menolong Sulistinah, ketika lampu berwarna merah adala h waktu tokoh Basri dan
teman-temannya mengemis, waktu kapal “Bengawan” meninggalkan teluk
Jakarta. Yang terakhir latar sosial meliputi: kehidupan tokoh Basri sebelum
dirinya pergi ke Jakarta, dan kehidupan setelah tokoh Basri pergi dari rumahnya.
Langkah kedua yang ditempuh penulis adalah menganalisis konflik batin
tokoh Basri menggunakan teori psikologi sastra Abraham Maslow tentang
kebutuhan dasar manusia. Pengertian konflik batin sendiri, penulis mengacu pada
teori yang dikemukakan Daradjat (1985), dan Irwanto (2002). Konflik batin tokoh
Basri dianalisis penulis tanpa memperhatikan aspek psikologi pengarang.
Dalam menganalisis konflik batin tokoh Basri dapat dibedakan konflik-
konflik batin tersebut menjadi dua berdasarkan berkembangnya watak tokoh Basri
74
akibat interaksi aktif dengan lingkungan. (i) konflik batin yang terjadi pada diri
tokoh Basri sebelum pergi ke ibu kota meninggalkan kedua orang tuanya. (ii)
konflik batin yang terjadi pada diri tokoh Basri sesudah pergi ke ibu kota
meninggalkan kedua orang tua demi kebutuhan (dorongan) mencapai monumen
nasional. Penulis memasukkan hal ini sebagai konflik batin karena dalam diri
tokoh Basri muncul dua kebutuhan yang secara bersamaan dan pemenuhannya
tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan pula, yaitu kebutuhan akan
fisiologis dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebagai seorang manusia Basri
perlu memenuhi kebutuhan fisiologis tetapi dalam dirinya ia ingin
mengaktualisasikan keinginannya untuk sampai di monumen nasional. Demikian
juga dengan konflik batin yang terjadi pada diri tokoh Basri sesudah pergi ke ibu
kota meninggalkan kedua orang tuanya demi kebutuhan mencapai monument
nasional. Penulis memasukkan hal ini sebagai konflik batin tokoh karena dalam
kehidupan Basri setelah sampai di ibu kota muncul kebutuhan-kebutuhan yang
tidak mungkin dipenuhinya dalam waktu yang bersamaan.
Konflik batin yang terjadi sebelum tokoh Basri pergi ke ibu kota. Penulis
tidak membedakannya kembali menjadi beberapa bagian berdasarkan peristiwa
yang melatarbelakangi te rjadinya konflik batin. Sebab jelas terlihat oleh penulis
peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya konflik batin tokoh Basri hanya satu,
yaitu: terpengaruhnya anak itu melihat keramaian kota Jakarta yang dilihatnya
lewat layar televisi di halaman kantor kelurahan (Rangkuti, 2001: 23).
Konflik batin yang terjadi sesudah tokoh Basri pergi ke ibu kota. Penulis
membedakannya kembali menjadi beberapa bagian berdasarkan perstiwa yang
75
melatarbelakangi terjadinya konflik batin, yaitu: (i) Basri mengalami penolakan
dari pedagang martabak. Dalam peristiwa ini muncul kebutuhan lebih dari satu,
yaitu kebutuhan harga diri dan kebutuhan fisiologis ; (ii) perasaan Basri yang
merindukan kampung halaman. Dalam peristiwa ini muncul kebutuhan lebih dari
satu, yaitu kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan akan dicintai dan dimiliki;
(iii) ketika Basri menolong Sulistinah saat digendong laki-laki yang tidak dikenal.
Dalam peristiwa ini muncul kebutuhan lebih dari satu, yaitu kebutuhan akan
dicintai dan dimiliki dan kebutuhan akan rasa aman; (iv) saat Basri menolak ikut
pergi bersama ayah, ibu, dan penduduk desa ke tempat mereka dipindahkan.
Dalam peristiwa ini muncul kebutuhan lebih dari satu, yaitu kebutuhan dicintai
dan dimiliki teman sekaligus adik serta orang tua yang telah lama mencarinya.
Kebutuhan lainnya yaitu kebutuhan akan rasa aman.
Penulis menyimpulkan konflik-konflik batin yang terjadi pada tokoh Basri
disebabkan munculnya kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud Maslow, seperti: kebutuhan fisiologi,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan dicintai dan dimiliki, kebutuhan akan
penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini
muncul lebih dari satu. Dan pemenuhannya tidak mungkin dalam waktu yang
bersamaan.
76
4.2 Saran
Berdasarkan hasil yang didapat penulis terhadap konflik batin tokoh Basri
dalam novel KLBM. Tentunya masih memiliki kekurangan-kekurangan maka
saran yang dapat digunakan penulis lain adalah seperti di bawah ini:
1. Penelitian ini bisa ditinja u dengan pendekatan lainnya sosiologis. Dengan
pendekatan ini bisa diteliti apakah dalam penggambarannya sesuai dengan
keadaan sesungguhnya.
2. Dengan pendekatan yang sama tetapi penerapannya pada tokoh-tokoh lain
dalam novel ini.
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan oleh penulis lainnya, karena akan
menghasilkan temuan yang menarik.
DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darajat, Zakiah. 1985. Kesehatan Mental. Jakarta:Gunung Agung. Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow.
Terjemahan oleh Supratiknya, A. Yogyakarta: Kanisius. Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius. Irwanto, Drs. 2002. Psikologi Umum: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT
Prenhallindo. Koeswara.1991. Teori-teori Kepribadian: Psikoanalisis, Behaviorisme, Humanistik .
Bandung: PT Eresco. Ladislaus, Naisaban. 2004. Para Psikologi Terkemuka Dunia Riwayat Hidup, Pokok
Pikiran, dan Karya . Jakarta: PT Grasindo. Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia. Nawawi, H. Hardani dan H. Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Oemarjati, Boes S. 1970. “Pengajaran Sastra Indonesia dan Pembinaan Apresiasi
Sastra”. Dalam Basis. Yogyakarta: Kanisius. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. 1996. Bandung:
CV. Pustaka Setia. Rangkuti, Hamsad. 2001. Ketika Lampu Berwarna Merah. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara. Roekhan. 1987. Ruang Lingkup Kajian Psikologi Sastra. Dalam Nurhadi (Ed)
Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya . Malang: YAE.
Sarjono, R Agus. 2001. “Menggali Cerita dari Hidup Sehari-hari”. Dalam Horison Kaki langit 48. Hlm. 8-9. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistik . Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistematika
Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Walgito, Bimo. 1995. Psikologi Sosial: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melanie
Budianta. Jakarta: Gramedia.