analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja ...
Transcript of analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja ...
ANALISIS HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN KUALITAS HIDUP PADA REMAJA SMU
KOTA MEDAN TAHUN 2007
T E S I S
Oleh:
OKTAVIA DEWI 047023017/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 0 8
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
ANALISIS HUBUNGAN MALOKLUSI DENGAN KUALITAS HIDUP PADA REMAJA SMU
KOTA MEDAN TAHUN 2007
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
OKTAVIA DEWI 047023017/AKK
.
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 0 8
ABSTRAK
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Prevalensi maloklusi pada remaja di Indonesia masih tinggi, mulai dari tahun 1983 adalah 90% sampai tahun 2006 adalah 89%, sementara perilaku kesehatan gigi pada remaja khususnya tentang maloklusi masih belum cukup baik dan pelayanan kesehatan gigi belum optimal. Akibat yang ditimbulkan maloklusi bukan hanya mengganggu rasa sakit fisik saja bahkan perkembangan psikologis dan sosial yang secara keseluruhannya menganggu terhadap kualitas hidup remaja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dan sampai seberapa besar maloklusi dapat mengganggu kualitas hidup pada remaja SMU di Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan disain cross sectional. Populasi adalah remaja yang berstatus sebagai pelajar SMU di Kota Medan, dengan jumlah sample sebanyak 413 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan status maloklusi berdasarkan Handicapping Malocclusion Assesment Index ( HMA Index). Analisis statistik dilakukan dengan uji statistik chi square dan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi maloklusi pada remaja SMU di kota Medan masih tergolong tinggi yaitu 60,5% dengan kebutuhan perawatan ortodonti yaitu 23%. Ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis,ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial dan hambatan. Sebagai kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU Kota Medan (p=0,003, PR = 3,227 dan CI 95%=3,061-20,425). Disarankan agar masalah maloklusi ditetapkan sebagai salah satu prioritas program kesehatan gigi dan mulut yang mengarahkan kegiatan kepada pelayanan promotif dan preventif.
Kata Kunci : Maloklusi, kualitas hidup.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
Malocclusion prevalence in adolescences in Indonesia is still high, from 1983 is 90% to 2006 is 89%, meanwhile the habit of dental health in adolescences especially malocclusion is not adequate and dental health service is not optimal. Whereas the causes with are present malocclusion not only to disturb physical pain even the development of psychologic of live in adolescences. The aim of the study was to know the relation of malocclusion of quality of live in senior high school adolescences in Medan city. This is analytic study with cross sectional design. The population were adolescences of senior high school student in Medan city with the total samples were 413 people. Data collection was performed with interview and examination of malocclusion status based on Handicapping Malocclusion Accesment Index (HMA Index). Statistical analysis was performed with statistical chi square test and double logistic regression. The result of this study showed that malocclusion prevalence in senior High School adolescences in Medan city is relatively high that is 60.5% with the need of orthodontic treatment that is 23%. There were relations among malocclusion with functional limitation, physical pain, psychological discomfort, physical disability, psychological disability, social disability and handicap. The conclusion there was relation between malocclusion with quality of live in Senior High School adolescences in Medan city (p=0.003, PR = 3.227 and CI 95%=3.061-20.425). It was suggested that malocclusion problem was estabilished as one of the priority programs of oral and dental health with directed the activity to preventive and promotive services. Key words : malocclusion, quality of live
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas rahmat dan ridho yang telah
diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Tesis
dengan judul ”Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU
Kota Medan tahun 2007”
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian Tesis ini selain upaya penulis juga
tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Prof.Dr.Ir.Chairun Nisa,B.,Msc.,Direktur Sekolah Pascasarjana USU.
2. Bapak Dr.Drs.Surya Utama,MS., Ketua Program Studi Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca sarjana USU.
3. Ibu Prof.Dr.drg.Nurmala Situmorang,Mkes., Ketua Komisi Pembimbing, yang
telah banyak memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
4. Ibu Dra.Syarifah,MS., Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
5. Ibu dr Arlinda Sari Wahyuni,Mkes., Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
6. Ibu Dr.Dra.Ida Yustina,Msi., dan Bapak Dr.Drs.Kintoko Rochadi,Mkes., selaku
pembanding dan penguji yang juga telah memberikan masukan yang sangat berharga
untuk penyempurnaan tesis ini.
8. Seluruh Dosen dan Pegawai Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
9. Kepala Sekolah dan para guru SMUN 3, SMUN 4, SMU Harapan dan SMU Panca
Budi yang telah memberikan izin dan membantu penulis melaksanakan penelitian di
sekolah.
10. Dekan FKG USU yang telah memberikan izin penulis untuk mengikuti program
Magister.
11. Ketua Departemen dan seluruh staf IKGP/KGM yang telah banyak memberikan
dorongan, semangat dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis
ini.
12. Seluruh teman-teman mahasiswa Pascasarjana USU, yang telah memberikan
sumbang saran, dorongan serta kerjasam yang baik selama mengikuti pendidikan.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan sati persatu dalam pengantar ini.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
1. Ayahanda Drs.Nurhadi dan Ibunda (Alm) Rosmalini yang telah berperan sangat besar
dalam mendidik dan membesarkan penulis.
2. Suami dr.Dasril Efendi,SpPD dan anak-anak tercinta Reyhan,Fadel dan Cica yang
selalu memberikan dorongan dan kesabaran serta kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan dengan baik.
Akhir kata izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala
kekhilafan selama mengikuti pendidikan Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Masyarakat USU ini dan semoga amalan-amalan yang telah diberikan kepada penulis
dapat diberikan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT, Amin ya Robbal Alamin.
Medan, 28 November 2007
Penulis
(Oktavia Dewi)
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS
Nama : Oktavia Dewi
Tempat/Tanggal Lahir: Padang, 15 Oktober 1970
Alamat : Komp. Puri Tanjung Sari no 12 Pasar I Tanjung Sari
Medan
Agama : Islam
Suami : dr.Dasril Efendi, SpPD
Anak : 1. Muhammad Reyhan
2. Fadel Muhammad
3. Raisha Daseviana
B. RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. SD PPSP IKIP Padang, 1977-1982
2. SMPN 7 Padang, 1982-1985
3. SMAN 2 Padang, 1985-1988
4. FKG USU Medan, 1988-1993
C. RIWAYAT PEKERJAAN :
1. Staf pengajar FKG Baiturahmah, tahun 1994-1995
2. PTT puskesmas, 1995-1998
3. Staf pengajar FKG USU, 1998 sampai sekarang
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................... i ABSTRAC ............................................................................................... ii KATA PENGANTAR .............................................................................. iii RIWAYAT HIDUP................................................................................... vi DAFTAR ISI ............................................................................................ vii DAFTAR TABEL...................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiii PENDAHULUAN ................................................................................... 1
Latar Belakang ....................................................................... 1 Permasalahan ......................................................................... 7 Tujuan Penelitian ................................................................... 7
Hipotesis ................................................................................ 8 Manfaat Penelitian ................................................................. 9 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 10 Pengertian Maloklusi .............................................................
Penyebab Maloklusi ............................................................. 11 Akibat Maloklusi ................................................................... 13 Diagnosis Maloklusi ............................................................. 13 Hubungan Maloklusi dengan Kesehatan Mulut .................... 14 Indeks Maloklusi ............................................................... 15 Pengertian Remaja ........................................................... 19 Pembagian dan Batasan Usia Remaja ................................. . 20 Perkembangan Masa Remaja ................................................. 22 Perilaku Kesehatan ................................................. . 26 Kebutuhan ................................................................. 27 Perilaku pencarian Pengobatan .............................................. 27 Pendidikan Orang Tua ................................................ 30 Konsep Sehat ................................................... 32 Konsep Kualitas hidup ................................................... 32 Landasan Teori .................................................. 37 Kerangka Konsep ................................................... 40 METODE PENELITIAN ......................................................................... 42 Jenis Penelitian ....................................................................... 42 Lokasi Penelitian ..................................................................... 42 Waktu Penelitian .................................................................... 42 Populasi dan Sampel ............................................................... 43 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 45
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Variabel dan Definisi operasional ................................................ 46 Metode Pengukuran ................................................................... 48 Analisis data ................................................................................. 54 HASIL PENELITIAN ................................................................................... 57 Deskripsi Lokasi Penelitian ......................................................... 57 Karakteristik Responden ............................................................. 58 Gambaran Pertilaku Kesehatan Responden ................................ 59 Gambaran Maloklusi..................................................................... 62 Gambaran Kualitas Hidup ............................................................ 65 Hubungan Jenis Kelamin dengan Maloklusi ................ 67 Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup ............................................................... 67 Uji Dimensi Kualitas Hidup ........................................................ 74 Uji Dimensi Keterbatasan Fungsi.................................................. 76 Uji Dimensi Rasa sakit Fisik ........................................................ 77 Uji Dimensi Ketidaknyamanan Psikis........................................... 79 Uji Dimensi Ketidakmampuan Fisik............................................. 80 Uji Dimensi Ketidakmampuan Psikis .......................................... 81 Uji Dimensi Ketidakmampuan Sosial .......................................... 83 Uji Dimensi Hambatan ................................................................. 84 Uji Kualitas Hidup ........................................................................ 86 PEMBAHASAN ............................................................................................. 89 Gambaran Sosiodemografi ............................................................. 89 Gambaran Maloklusi ............................................................. 89 Gambaran Perilaku Kesehatan ....................................................... 92 Gambaran Kualitas Hidup ............................................................. 93 Hubungan Sosiodemografi dengan Dimensi Kualitas Hidup ........ 94 Hubungan Perilaku Kesehatan dengan Dimensi Kualitas Hidup... 96 Hubungan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup ................. 97 Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup ................................ 99 Keterbatasan Penelitian ................................................................. 100 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 102 Kesimpulan ...................................................................................... 102 Saran ............................................................................................... . 104 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 107
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 1. Oral Health Index Profile-49 ................................................... 35 2. Karakteristik responden .......................................................... 56 3. Persentase remaja SMU menurut pengetahuan kesehatan gigi 58 4. Persentase remaja SMU berdasarkan tingkat pengetahuan tentang maloklusi.................................................................... 58 5. Persentase distribusi sikap remaja SMU terhadap susunan gigi-geliginya.......................................................................... 59 6. Persentase remaja SMU berdasarkan sikap terhadap maloklusi 59 7. Persentase remaja SMU yang menerima pelayanan kesehatan gigi............................................................................................. 60 8. Distribusi maloklusi pada remajaSMU.................................... 60 9. Persentase ciri-ciri maloklusi................................................... 61 10. Persentasi kualitas hidup pada remaja SMU .......................... 63 11. Hubungan jenis kelamin dengan status maloklusi .................. 64 12. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi ...................... 65 13. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi rasa sakit fisik ................................ 66 14. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidaknyamanan psikis ................. 67 15. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan fisik .................... 68 16. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan psikis ................. 69
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
17. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan sosial ......................................... 70 18. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi hambatan ................................................................ 71 19. Nilai p dan rasio prevalens variabel maloklusi, sosiodemografi dan perilaku kesehatan gigi terhadap dimensi kualitas hidup ................. 72 20. Persamaan regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku, maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi .............................. 73 21. Uji interaksi maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi ......... 73 22. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi keterbatasan fungsi ........................................................................... 74 23. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivaria regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap rasa sakit fisik ................................................................................................... 74 24. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan perilaku terhadap dimensi rasa sakit fisik................................... 75 24. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dam maloklusi terhadap ketidak- nyamanan psikis................................................................................ 76 25. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadapdimensi ketidanyamanan psikis ...................................................................... 77 26. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak- mampuan fisik..................................................................................... 77 27. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan fisik ............................. 77 28. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak- mampuan psikis .................................................................................. 78 29. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan Perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan psikis ........................... 79 30. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
ketidakmampuan psikis ................................................................ 79 31. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketidak- mampuan sosial .................................................................................. 80 32. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan perilaku terhadap dimensi ketidakmampuan sosial............................. 80 33. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap hambatan.. 81 34. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel sosiodemografi dan Perilaku terhadap dimensi hambatan .................................................. 82 35. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi Hambatan............................................................................................ 82 36. Nilai p dan rasio prevalens analisis multivariat regresi logistik ganda variabel sosiodemografi, perilaku dan maloklusi terhadap ketujuh dimensi kualitas hidup ...................................................................... 83 37. Uji interaksi variabel maloklusi dengan variabel model terhadap kualitas hidup...................................................................................... 83 38. Pemeriksaan variabel konfonder hubungan maloklusi dengan kualitas hidup ... ............................................................................................. 84 39. Persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap kualitas hidup................................................................................................... 84 40. Hasil penelitian prevalensi maloklusi................................................. 86
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 yang dilaporkan oleh Departemen
Kesehatan RI menunjukkan secara umum bahwa diantara penyakit yang dikeluhkan dan
yang tidak dikeluhkan, prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah yang tertinggi meliputi
60% penduduk. Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan se-panjang hidup,
peranannya cukup besar dalam mempersiapkan zat makanan sebelum absorbsi nutrisi
pada saluran pencernaan, di samping fungsi estetis dan bicara. Berbagai penyakit maupun
kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai fungsi rongga mulut, salah
satunya adalah kelainan susunan gigi atau yang disebut dengan maloklusi. Maloklusi
merupakan kelainan gigi yang menduduki urutan kedua setelah penyakit karies gigi.
Maloklusi adalah salah satu kelainan dentofasial yang kebanyakan bersifat morfogenik
dan merupakan masalah di bidang kesehatan gigi dan akan terus menerus meningkat
sehingga penelitian–penelitian dibidang ilmu kedokteran gigi masih tetap diperlukan
(Dewanto, 1993).
Maloklusi adalah bentuk oklusi gigi yang menyimpang dari normal. Oklusi adalah
hubungan kontak antara gigi geligi bawah dengan gigi atas waktu mulut ditutup. Oklusi
dikatakan normal, jika susunan gigi dalam lengkung geligi teratur baik serta terdapat
hubungan yang harmonis antara gigi atas dengan gigi bawah, hubungan seimbang antara
gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya yang dapat memberikan
keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik. Penyimpangan
tersebut berupa ciri–ciri maloklusi yang jumlah dan macamnya sangat bervariasi baik
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
pada tiap–tiap individu maupun sekelompok populasi. Ciri–ciri maloklusi di antaranya
adalah: gigi berjejal (crowdeed), gingsul (caninus ektopik), gigi tonggos (disto oklusi),
gigi cakil (mesio oklusi), gigitan menyilang (crossbite), gigi jarang (diastema).
Menurut penelitian Hong (2001) yang melakukan evaluasi terhadap perubahan
maloklusi selama 25 tahun dengan menggunakan indeks skor Harry L Draker California
Modification (HDL Cal Mod index) didapat bahwa terjadi penambahan yang signifikan
pada kasus–kasus crowdeed pada gigi anterior dalam hubungan labio-lingual .
Akhir–akhir ini perhatian pada penelitian kuantitatif tentang akibat-akibat penyakit
yang mempengaruhi fungsi, kenyamanan dan kemampuan untuk melakukan tugas sehari-
hari sedang ditingkatkan. Tindakan ini merupakan bagian dari promosi kesehatan
terutama dalam hubungan dengan ” hidup sehat sepanjang umur ” (healthy years of live).
Organisasi kesehatan sedunia (WHO) merumuskan konsep sehat bukan hanya dengan
tidak adanya penyakit dan kecacatan, melainkan juga mencakup keadaan sehat baik fisik,
mental maupun sosial. Hal ini menunjukkan adanya suatu status yang harus ditingkatkan.
Penelitian yang dilakukan hingga saat ini kebanyakan diarahkan pada akibat fisik yang
ditinggalkan oleh penyakit, seperti penelitian morbiditas sehingga konsep sehat WHO
tidak terukur. Penilaian menyeluruh terhadap hasil–hasil pelayanan kesehatan menjadi
tidak tergambar, karena hanya mengukur prevalensi dan keparahan penyakit sedangkan
gambaran fungsi, ketidaknyamanan secara psikis serta disabilitas tidak diperoleh. Telaah
mengenai pengaruh kesehatan gigi dan mulut terhadap kualitas hidup masih sedikit
dilakukan, sedangkan data prevalensi dan keparahan maloklusi yang bersifat klinis sudah
banyak tersedia namun belum dapat menggambarkan korelasi yang jelas antara maloklusi
dengan kualitas hidup (Situmorang, 2004).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam uraian ini dikembangkan dari konsep
sehat WHO, yaitu respons individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi fisik,
psikis dan sosial akibat adanya maloklusi pada remaja. Konsep ini tidak hanya
menekankan pada ada atau tidaknya penyakit tetapi juga menekankan pengukuran fungsi
fisik yang berhubungan dengan pengunyahan, tidak adanya rasa sakit dan
ketidaknyamanan , fungsi psikis seperti senyum dan daya tarik diri, fungsi sosial seperti
kepercayaan pada diri sendiri sehingga mampu mengerjakan pekerjaan normal sehari–
hari serta kepuasan terhadap kesehatan rongga mulut (Slade, 1994).
Menurut beberapa studi epidemiologi yang dilakukan pada remaja Amerika
Serikat dilaporkan 11% remaja umur 12–17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8%
mempunyai maloklusi ringan dan 25,2% mempunyai maloklusi yang berat sehingga
beberapa kasus memerlukan perawatan (Dewanto, 1993). Penelitian Gan-Gan (1997)
tentang maloklusi pada murid–murid SMP di wilayah Kotamadya Bandung me-
nunjukkan prevalensi maloklusi telah mencapai 90,79%. Keadaan ini mencakup
maloklusi berat 26,32%, maloklusi sedang 11,84% dan maloklusi ringan 11,84%. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan lebih dari separuh (54,4%) yang mengalami maloklusi
mempunyai pengetahuan yang kurang tentang akibat maloklusi dan perawatannya.
Hasil penelitian Agusni (1998) pada anak Sekolah Dasar di Surabaya menunjukan
31% anak tidak memerlukan perawatan terhadap maloklusi, 45% memerlukan perawatan
ringan dan 24% sangat memerlukan perawatan karena keadaan maloklusinya tergolong
parah sehingga mengganggu kesehatan fisik dan kehidupan sosialnya. Di Kota Medan,
prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Menengah Umum bahkan telah mencapai 83%
(Marpaung, 2006).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Maloklusi dapat mengakibatkan beberapa gangguan atau hambatan dalam diri
penderitanya . Dilihat dari segi fungsi, gigi crowdeed amat sulit dibersihkan dengan
menyikat gigi, kondisi ini dapat menyebabkan gigi berlubang (caries) dan penyakit gusi
(gingivitis) bahkan kerusakan jaringan pendukung gigi (periodontitis) sehingga gigi
menjadi goyang dan terpaksa harus dicabut. Dari segi rasa sakit fisik, maloklusi yang
berlebihan pada tulang penunjang dan jaringan gusi, kesulitan dalam
menggerakkanrahang (gangguan otot dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular,
yang dapat menimbulkan sakit kepala kronis atau sakit pada wajah dan leher (Dewanto,
1993).
Dari segi hambatan sosial, maloklusi dapat mempengaruhi kejelasan bicara
seseorang. Apabila ciri maloklusinya berupa disto oklusi akan terjadi hambatan
pengucapan huruf p, b, dan m. Apabila ciri maloklusinya berupa mesio oklusi akan terjadi
hambatan mengucapkan huruf s, z, t dan n. Dari segi psikis, maloklusi dapat
mempengaruhi estetis dan penampilan seseorang. Penampilan wajah yang tidak menarik
mempunyai dampak yang tidak menguntungkan pada perkembangan psikologis
seseorang, apalagi pada saat usia masa remaja (Kustiawan,2003).
Masa remaja merupakan tahap penting dalam kurun kehidupan manusia karena
merupakan masa peralihan dari masa kanak–kanak ke masa dewasa, terjadi perubahan
fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek
kehidupannya. Pada masa ini remaja lebih mementingkan daya tarik fisik dalam proses
sosialisasi (Sarwono, 2005). Beberapa penelitian yang melibatkan penampilan daya tarik
penampilan wajah menyatakan bahwa ” Anatomi adalah takdir dan kecantikan adalah
indah”. Kecantikan atau kesempurnaan fisik sangat didambakan oleh setiap remaja.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya
menyebabkan mereka merasa tertekan tapi juga akan menurunkan fungsinya dalam
kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan bahkan bisa menurunkan aktivitas belajar
karena sering tidak masuk sekolah akibat malu untuk bertemu orang lain atau merasa
dicemoohkan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap
diri sendiri sehingga untuk masa depan dalam hal mencari pekerjaan, remaja ini akan
mengalami hambatan, karena pada saat sekarang ini kebanyakan beberapa pekerjaan
membutuhkan penampilan fisik dan wajah yang menarik (Dewanto,1993). Bahkan untuk
kasus lebih jauh bisa terjadinya rasa putus asa yang parah sehingga remaja dapat
mengakhiri hidupnya. Menurut Dibiase (2001), remaja yang menderita maloklusi
merupakan korban penindasan (bullying) yang berupa ejekan dari teman sekolahnya
sehingga mereka akan terganggu psi-kososialnya.
Pada umumnya masyarakat lebih mengagumi atau menyanjung seseorang yang
mempunyai penampilan wajah yang menarik dan daya tarik itu dipandang sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan status sosial, harga diri dan kedudukan sosial yang
sukses. Dalam hal ini penampilan yang kurang menarik dipandang sebagai sesuatu
masalah kesehatan yang berarti dan kelainan susunan geligi dapat mempengaruhi daya
tarik wajah yang berhubungan dengan kesehatan sosial (Dewanto, 1993).
Di Indonesia penelitian tentang kesehatan gigi dan mulut kebanyakan me-rupakan
penelitian tentang prevalensi dan keparahan karies, penyakit periodontal dan maloklusi
saja. Belum ada studi yang menggambarkan pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidup,
sementara untuk karies dan penyakit periodontal telah dilakukan penelitian sebelumnya
di Kota Medan (Situmorang, 2004). Mengingat banyaknya masalah yang dapat
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
ditimbulkan akibat maloklusi pada remaja SMU, yang mementingkan penampilan estetis
dan perkembangan untuk kehidupan sosial dengan teman sebayanya dalam rangka
mencari identitas diri, maka diperlukan suatu penelitian analitik untuk mengetahui beban
dan akibat maloklusi yang bukan saja berupa informasi tentang prevalensi, keparahan dan
pengetahuan serta perilaku pencarian pengobatannya, melainkan untuk dapat mengetahui
pengaruhnya dalam kehidupan sehari–hari. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan
dalam penyusunan kebijakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Alasan-alasan
pentingnya dilakukan penelitian pengaruh maloklusi terhadap kualitas hidup adalah :
a. Tingginya prevalensi dan keparahan maloklusi dan akibat yang dapat dialami oleh
penderitanya terutama remaja SMU. Remaja yang menderita maloklusi akan
mengalami hambatan dalam perkembangan psikologis dan kehidupan sosial dengan
teman sebayanya.
b. Aspek kualitas hidup penting dalam menilai program kesehatan gigi dan mulut
apalagi pencegahan maloklusi belum termasuk salah satu program peningkatan
kesehatan gigi dan mulut dari Departemen Kesehatan RI, sementara pertemuan para
pakar kedokteran gigi di North Carolina, USA (1996) menekankan pentingnya
memasukkan aspek kualitas hidup dalam penilaian hasil program pelayanan
kesehatan gigi dan mulut.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut ; ” Apakah maloklusi mempunyai hubungan
dengan kualitas hidup remaja SMU dan seberapa besar hubungan tersebut ?
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui gambaran status sosiodemografi (jenis kelamin, pendidikan ibu,
pekerjaan orang tua) pada remaja SMU Kota Medan.
b. Mengetahui gambaran karakteristik perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan
perilaku pencarian pengobatan/perawatan) tentang maloklusi pada remaja SMU Kota
Medan.
c. Mengetahui prevalensi maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.
d. Mengetahui prevalensi maloklusi menurut kebutuhan perawatannya pada remaja
SMU Kota Medan.
e. Mengetahui tingkat keparahan maloklusi pada remaja SMU Kota Medan.
g. Menganalisis hubungan karakteristik sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup
h. Menganalisis hubungan perilaku kesehatan dengan dimensi kualitas hidup.
i. Menganalisis keluhan keterbatasan fungsi akibat maloklusi .
j. Menganalisis keluhan rasa sakit fisik akibat maloklusi.
k. Menganalisis keluhan ketidaknyamanan psikis akibat maloklusi.
l. Menganalisis keluhan disabilitas/ketidakmampuan fisik akibat maloklusi.
m. Menganalisis keluhan disabilitas / ketidakmampuan psikis akibat maloklusi.
n. Menganalisis keluhan disabilitas / ketidakmampuan sosial akibat maloklusi.
o. Menganalisis keluhan hambatan/handikap akibat maloklusi.
p. Menganalisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup.
1.4. Hipotesis.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan tujuan penelitian, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut : ”Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup remaja SMU Kota Medan”.
Hipotesis diatas dijabarkan menjadi beberapa sub hipotesis yaitu:
a. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi keterbatasan fungsi.
b. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi rasa sakit fisik.
c. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidaknyamanan psikis
d. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan fisik.
e. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan psikis.
f. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi ketidakmampuan sosial.
g. Ada hubungan maloklusi dengan kualitas hidup dimensi hambatan.
1.5. Manfaat Penelitian.
Berdasarkan tujuan penelitian maka manfaat penelitian adalah :
a. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan di lingkungan
Departemen Kesehatan khususnya bagian pelayanan kesehatan gigi di Puskesmas
dan Upaya Kesehatan Gigi di Sekolah untuk mengoptimalkan pelayanan
pencegahan maloklusi.
b. Sebagai pengembangan wawasan peneliti dalam bidang hubungan kesehatan gigi
dengan kualitas hidup khususnya hubungan maloklusi pada remaja dengan kualitas
hidup.
c. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Maloklusi
2.1.1. Pengertian maloklusi
Pengertian oklusi menurut Dewanto (1993) adalah berkontaknya permukaan oklusal
gigi geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi di rahang bawah pada saat
rahang atas dan rahang bawah menutup.
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada rahang atas
(maksila) dan rahang bawah (mandibula) yang terjadi selama pergerakan mandibula dan
berakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena
adanya interaksi antara dental system, skeletal system dan muscular system. Oklusi gigi
bukan merupakan keadaan yang statis selama mandibula bergerak, sehingga ada
bermacam macam bentuk oklusi misalnya : centrik, excentrix, habitual, supra-infra,
mesial, distal, lingual (Daniel, 2000).
Dikenal ada 2 macam istilah oklusi yaitu (Dewanto, 1993):
a Oklusi ideal yaitu suatu konsep teoritis oklusi yang sukar atau bahkan yang tak
mungkin terjadi pada manusia.
b. Oklusi normal yaitu suatu hubungan gigi geligi disatu rahang terhadap gigi geligi di
rahang lain apabila kedua rahang tersebut dikatupkan dan condylus mandibularis
berada pada fossa glenoidea.
Maloklusi adalah bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang
diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi juga berarti kelainan ketika gigi-geligi atas
dan bawah saling bertemu ketika menggigit atau mengunyah. Maloklusi dapat berupa
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
kondisi ”bad bite” atau sebagai kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan
yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), gigitan menyilang (scisor bite) atau
posisi gigi maju kedepan (protrusi). Hal ini dapat memberikan efek terhadap penampilan
estetis, berbicara atau kenyamanan dalam mengunyah makanan (Daniel, 2000). Dalam
penelitian ini maloklusi juga dapat diartikan dengan susunan gigi-geligi yang tidak
teratur.
Dengan menggunakan skor Treatment Priority Index (TPI), Kelly & Harvey
menginterpretasikan data United States Public Health Service (USPHS) untuk
menunjukan bahwa 11% remaja umur 12–17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8%
maloklusi ringan, 25,2% maloklusi nyata sehingga perlu dirawat. Dengan
membandingkan prevalensi berbagai komponen morfologi maloklusi anak umur 6–
11 tahun dengan remaja umur 12–17 tahun maka dapat diketahui hubungan umur dengan
perubahan maloklusi. Prevalensi tumpang gigit yang parah yang menyebabkan kerusakan
jaringan mukosa mulut meningkat dari 4% pada anak umur 6–11 tahun menjadi 9 % pada
remaja usia 12–17 tahun (Dewanto, 1993).
2.1.2. Penyebab maloklusi.
Maloklusi tidak disebabkan oleh satu faktor saja, ada beberapa faktor berbeda yang
merupakan penyebabnya yaitu, genetik dan lingkungan. Menurut Proffit (1998)
secara umum maloklusi disebabkan karena 2 faktor yaitu :
a. Faktor keadaan diluar gigi itu sendiri (ekstrinsik factor ) :
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
1. Herediter
2. Kelainan kongenital
3. Perkembangan dan pertumbuhan yang salah pada waktu prenatal dan postnatal
4. Penyakit–penyakit sistemik yang menyebabkan adanya kecenderungan kearah
maloklusi seperti: ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolisme,
penyakit-penyakit infeksi, malnutrisi.
5. Kebiasaan jelek, sikap tubuh yang salah dan trauma.
b. Faktor–faktor pada gigi (intrinsik / lokal factor) :
1. Anomali jumlah gigi, terdiri dari adanya gigi berlebih (dens supernumerary teeth)
dan tidak adanya gigi (anondontia).
2. Anomali ukuran gigi.
3. Anomali bentuk gigi.
4. Frenulum labii yang tidak normal.
5. Kehilangan dini gigi desidui.
6. Persistensi gigi desidui.
7. Terlambatnya erupsi gigi permanen.
8. Jalan erupsi yang abnormal.
9. Ankilosis.
10. Karies gigi.
11. Restorasi yang tidak baik.
2.1.3. Akibat maloklusi
Menurut Daniel (2000), maloklusi dapat menyebabkan beberapa gangguan pada
penderitanya yaitu :
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Masalah psikososial yang disebabkan karena gangguan estetis wajah.
b. Masalah dengan fungsi rongga mulut termasuk kesulitan dalam menggerakkan rahang
(gangguan otot dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular, gangguan
pengunyahan, menelan dan berbicara.
c. Kemungkinan mendapatkan trauma yang lebih mudah, masalah penyakit periodontal
atau kehilangan gigi.
Dibiase (2001) menyatakan beberapa kasus maloklusi pada anak remaja sangat
berpengaruh terhadap psikolgis dan perkembangan sosial, yang disebabkan karena
penindasan (bullying) yang berupa ejekan dan hinaan dari teman sekolahnya. Pengalaman
psikis yang tidak menguntungkan dapat sangat menyakitkan hati sehingga remaja korban
penindasan tersebut akan menjadi sangat depresi.
2.1.4. Diagnosis Maloklusi
Maloklusi sering ditemui selama pemeriksaan oleh dokter gigi, dapat terlihat ketika
gigi berkontak pada saat menelan air ludah dan kepala ditengadahkan, dan jika ditemukan
adanya maloklusi maka pemakaian rontgen photo dapat dilakukan untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
2.1.5. Hubungan maloklusi dengan kesehatan mulut
2.1.5.1. Hubungan maloklusi dengan gangguan fungsi mandibula. Mohlin menemukan
gejala subjektif disfungsi mandibula dari 12% sampai 15% populasi yang diteliti, dengan
prevalensi gejala klinis berkisar antara 18%–88% (Mc Lain & Proffit 1985). Dinyatakan
juga bahwa maloklusi Angle klas II mempunyai hubungan dengan gejala klinis terhadap
disfungsi mandibula. Ada juga beberapa bukti bahwa maloklusi merupakan predisposisi
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
terhadap kelainan fungsi gigi dan mulut pada orang dewasa. Helm dkk, melaporkan
adanya korelasi yang bermakna antara jarak gigit yang besar (>9mm) dan gigitan terbuka
anterior yang ditemukan pada remaja dengan ketidakpuasan kemampuan menggigit
setelah dewasa. Gigitan silang berhubungan dengan kesukaran berbicara atau
mengucapkan kata, hal ini disebabkan adanya gangguan dalam penutupan mandibula
(Dewanto,1993). Berdasarkan penelitian oleh Sadowsky & BeGole (1994) menyatakan
pada kelompok yang dirawat ortodonti mengalami masalah temporo mandibular joint
yang lebih rendah dibandingkan kelompok orang yang tidak dirawat.
2.1.5.2. Hubungan maloklusi dengan penyakit periodontal. Untuk kasus penyakit
periodontal yang ringan maloklusi bukan merupakan penyebab langsung yang utama,
karena yang utama penyebab penyakit periodontal adalah plak. Tapi keadaan gigi yang
berjejal dapat menyebabkan penumpukan plak akibat pembersihan gigi dan mulut yang
tidak adekuat sehingga dapat menimbulkan penyakit periodontal (Bhalajh, 1998).
2.1.5.3. Hubungan maloklusi dengan karies gigi. Sama halnya dengan penyakit
periodontal, maloklusi bukan merupakan penyebab utama dari karies gigi, karena yang
penyebab utama karies gigi adalah plak. Keadaan gigi yang berjejal dapat menyebabkan
penumpukan plak akibat pembersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat sehingga dapat
menimbulkan karies (Bhalajh, 1998).
2.1.6. Indeks Maloklusi
Istilah indeks menurut Toung dan Striffler ialah nilai numerik yang menjelaskan
status relatif suatu populasi pada suatu skala bertingkat dengan batas atas dan batas
bawah yang jelas. Hal ini dirancang agar mampu memberi kesempatan dan fasilitas untuk
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
dibandingkan dengan populasi lain yang telah dikelompokkan dengan kriteria dan metode
yang sama (Agusni, 1998). Indeks maloklusi yang diperlukan ialah penilaian kuantitatif
dan objektif yang dapat memberikan batasan adanya penyimpangan dari oklusi ideal
yang masih dianggap normal, dan dapat memisahkan kasus–kasus abnormal menurut
tingkat keparahan dan kebutuhan masyarakat.
Jamison H.D dan Mc Millan R.S (Agusni, 1998) menyatakan indeks ortodonti ideal
yang dapat digunakan dalam studi epidemiologi memerlukan syarat–syarat tertentu, yaitu
:
a. Indeks sebaiknya sederhana, akurat, dapat dipercaya dan dapat ditiru.
b. Indeks harus objektif dalam pengukuran dan menghasilkan data kuantitatif
sehingga dapat dianalisis dengan metode statistik tertentu.
c. Indeks harus didesain untuk membedakan maloklusi yang merugikan dan tidak
merugikan.
d. Pemeriksaan yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan cepat oleh pemeriksa
walaupun tanpa instruksi khusus dalam diagnosis ortodonti.
e. Indeks sebaiknya dapat dimodifikasi untuk sekelompok data epidemiologi tentang
maloklusi dari segi prevalensi, insiden dan keparahan, contohnya frekuensi malposisi
dari masing–masing gigi.
f. Indeks sebaiknya dapat digunakan pada pasien atau model studi.
g. Indeks sebaiknya mengukur derajat keparahan maloklusi.
Beberapa indeks maloklusi secara kuantitatif dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Master dan Frankel
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Indeks ini digunakan untuk menghitung jumlah gigi yang berpindah atau berotasi
secara kualitatif (ada atau tidak ada).
b. Malalignment Index (Mal)
Indeks ini digunakan untuk menilai keparahan gigi yang tidak teratur. Ciri oklusi
yang dinilai ialah letak gigi yang berpindah atau berotasi secara kuantitatif. Gigi yang
berpindah dinilai apakah lebih kecil atau lebih besar dari 1,5 mm dan gigi yang berotasi
dinilai apakah berputar lebih kecil atau lebih besar dari 45o. Penilaian dilakukan dengan
bantuan sebuah penggaris plastik kecil.
c. Handicapping Labio Lingual Deviation Index (HLD Index).
Indeks ini ditujukan kepada subjek yang dipilih dengan maloklusi yang parah atau
berat dan adanya anomali wajah. Indeks ini dapat digunakan pada gigi permanen.
d. Occlusion Feature Index (OFI)
Ciri maloklusi yang dinilai adalah letak gigi berjejal, kelainan integritas tonjol gigi
posterior, tumpang gigit, jarak gigit. Keuntungannya metode ini sederhana dan objektif
serta tidak memerlukan perlatan diagnostik yang rumit, namun kurang praktis karena
dalam menilai integritas tonjol hanya dengan memeriksa hubungan gigi posterior atas dan
bawah sebelah kanan serta memerlukan latihan khusus dalam menentukan besarnya skor
penilaian gigi berjejal anterior bawah.
e. Maloklusion Severity Estimate oleh Grainger.
Pengukuran dan pemberian skor dibuat untuk menilai jarak gigit, tumpang gigit,
gigitan terbuka anterior, insisivus maksila yang tidak tumbuh, hubungan gigi molar satu
permanen, gigitan silang posterior dan pergeseran letak gigi.
f. Occlusal Index (OI)
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan normal oklusi.
Penilaiannya adalah umur gigi, relasi gigi molar, tumpang gigit, jarak gigit, gigitan silang
posterior, gigitan terbuka posterior, penyimpangan gigi, relasi gigi tengah dan adanya
gigi insisivus atas. Indeks ini dapat digunakan pada masa gigi susu, gigi bercampur dan
gigi permanen, namun bentuk penilaiannya rumit sehingga kurang praktis.
g. Treatment Priority Index (TPI)
Indeks ini merupakan modifikasi dari Malocclusion Severity Estimate untuk
menentukan prioritas perawatan bagi sekelompok populasi dan digunakan untuk tujuan
epidemiologi. Indeks dibuat untuk menilai jarak gigit, gigitan terbalik, tumpang gigit,
gigitan terbuka anterior, gigi insisivus agenesis, disto oklusi, mesio oklusi, gigitan silang
posterior dengan segmen gigi atas bukoversi, gigitan silang posterior dengan segmen gigi
atas linguoversi, malpopsisi gigi individual dan celah langit-langit. Penggunaan indeks ini
memerlukan bantuan sebuah penggaris pengukur.
h. Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA)
Salah satu indeks yang dianjurkan oleh para ahli yang telah mengevaluasi
penggunaan indeks–indeks yang dianjurkan adalah indeks HMA oleh Salzman. Indeks
HMA secara kuantitatif memberikan penilaian terhadap ciri–ciri oklusi dan cara
menentukan prioritas perawatan ortodonti menurut keparahan maloklusi yang dapat
dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian. Indeks ini digunakan untuk
mengukur kelainan gigi pada satu rahang, dan mengukur ciri maloklusi yang merupakan
kelainan dentofasial. Keuntungan penggunaan indeks ini adalah :
1). Mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi dan peka terhadap semua tingkatan
maloklusi.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
2). Penilaian renggang dan absen gigi posterior dicatat.
3). Jika metode dipelajari dengan baik, tidak diperlukan catatan lain dan skor
keparahan maloklusi dapat dikalkulasi dengan cepat.
Selain keuntungan diatas, indeks ini juga dapat memenuhi persyaratan indeks yang
dituliskan sebelumnya, diantaranya sederhana, objektif dalam pengukuran, dapat
mengukur tingkat keparahan maloklusi, dapat diperiksa langsung pada pasien dan tidak
menggunakan alat yang rumit. Kekurangan metode ini memerlukan latihan cara
pemeriksaan untuk menyamakan persepsi pada pemeriksa.
2.2. Remaja
2.2.1. Pengertian Remaja
Perkataan remaja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu adolescence dan
berasal dari kata Latin, adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau
perkembangan menuju kematangan. Dalam arti yang lebih luas lagi, dikatakan bahwa
pengertian remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Sarwono,
2005).
Rice (1996) cit Rochadi mendefinisikan remaja sebagai suatu periode antara
masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Pandangan serupa dikemukakan Lerner dan
Hultsch (1983) cit Rochadi menyatakan bahwa perkembangan remaja adalah periode
diantara rentang waktu dimana saat dianggap masa anak-anak menuju ke masa
dewasa. Dimasa remaja terjadi proses perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional.
Perubahan fisik dan perkembangan seksual yang terjadi secara cepat juga disertai
bertambahnya tuntutan masyarakat.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual. Dalam defenisi ini diungkapkan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan
sosial ekonomi. Remaja adalah suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama
kali menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual. Remaja juga merupakan individu yang mengalami perkembangan psikologis dan
pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa serta terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada yang relatif lebih mandiri (Sarwono,
2005).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan
masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dan dalam prosesnya terjadi
perkembangan kematangan fisik, psikis dan sosial serta ber-tambahnya tuntutan
masyarakat.
2.2.2. Pembagian dan Batasan Usia Remaja
Berbagai batasan usia dan pembagian masa remaja yang telah dikemukakan para
ahli. Stone dan Church (1973) cit Rochadi membagi masa remaja menjadi remaja awal,
remaja akhir dan dewasa muda. Remaja awal adalah suatu periode dari mulainya masa
pubertas hingga kurang lebih satu tahun sesudah pubertas yaitu pada saat pola
fisiologis berfungsi dengan stabil. Remaja akhir adalah periode sesudahnya dari remaja
awal hingga usia yang dibolehkan untuk ikut pemilu, menyetir kendaraan atau saat mulai
masuk kuliah. Dewasa muda adalah periode dari permulaan kuliah hingga usia awal dua
puluhan.
Menurut Hurlock (1980) cit Rochadi secara umum masa remaja dibagi menjadi dua
bagian yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Awal masa remaja berlangsung
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
kira-kira dari 13 tahun hingga 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula
dari usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum.
Santrock (2001) cit Rochadi juga membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu
masa remaja awal dan masa remaja akhir. Hanya saja, dinyatakan usia remaja awal
sekitar 10-13 tahun dan usia remaja akhir berkisar antara 18-22 tahun. Mönks. (2001) cit
Rochadi beranggapan bahwa usia remaja berlangsung antara umur 12 tahun dan 21
tahun dan terbagi atas tiga bagian, yaitu masa remaja awal antara 12-15 tahun, masa
remaja pertengahan antara 15-18 tahun dan masa remaja akhir antara 18-21 tahun.
WHO menetapkan batas usia 10 sampai 20 tahun sebagai batasan usia remaja
dimana usia 10 sampai 14 tahun sebagai remaja awal dan usia 15 sampai 20 tahun
sebagai remaja akhir (Sarwono, 2005). Menurut Departemen Kesehatan (1997) masa
remaja di Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok usia yaitu remaja awal (13–15 tahun)
dan usia remaja akhir (16–18 tahun).
Sarwono (2005) menyatakan banyak defenisi remaja berdasarkan aspek pandangan
yang berbeda. Dari segi hukum di Indonesia hanya mengenal anak–anak dan dewasa.
Hukum perdata misalnya memberikan batas usia 21 tahun (kurang dari 21 tahun asal
sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang. Disisi lain, hukum pidana
memberikan batasan 18 tahun sebagai usia dewasa
2.2.3. Perkembangan Masa Remaja
Berbagai perkembangan pada masa remaja dapat dilihat dari berbagai aspek.
Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
2.2.3.1. Perkembangan fisik. Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja me-rupakan
gejala utama dari perkembangan remaja karena ada hubungannya dengan aspek lain dari
perkembangan remaja. Perubahan fisik terdiri atas dua bagian, yaitu :
a. Perubahan eksternal, yang meliputi perubahan tinggi badan, berat badan, proporsi
tubuh, perubahan organ seks dan ciri-ciri seks sekunder.
b. Perubahan internal, yang meliputi perubahan sistem pencernaan, sistem pere-daran
darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh.
Turner dan Helms (1995) cit Rochadi menyebutkan remaja mengalami
karakteristik yang primer dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah karak-teristik
dari organ reproduksi sedangkan karakteristik seks sekunder adalah per-kembangan
secara non-genital. Apabila karakteristik seks primer dan sekunder seorang individu
telah matang maka ia memiliki kemampuan bereproduksi atau yang disebut dengan
pubertas. Masa pubertas dimulai saat kelenjar di bawah otak mengirim pesan pada
kelenjar seks untuk meningkatkan pengeluaran hormon. Hal-hal yang berhubungan
dengan pubertas adalah gen, kesehatan dan lingkungan (Papalia dan Olds, 1995 cit
Rochadi).
2.2.3.2. Perkembangan kognitif. Piaget dalam Turner dan Helms (1995) cit Rochadi
menyebutkan perkembangan kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu
saat pemikirannya menjadi semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai
mengembangkan pemikiran yang bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat
berbagai kemungkinan dalam pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai
memikirkan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Sulaeman
(1995) cit Rochadi bahwa pada masa remaja, seorang individu mengalami kematangan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
secara intelektual dan cara berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk
konsep-konsep. Pada masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi,
pertambahan kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu berpikir
tentang hal-hal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan kemampuan untuk
berpikir dan berkomunikasi secara logis.
2.2.3.3. Perkembangan kepribadian. Pada tahap ini terjadi suatu konflik yang disebut
konflik identity versus role confusion (Erikson, 1964 cit. Rochadi). Dimasa ini remaja
sedang dalam proses pembentukan identitas diri yang merupakan masa dimana individu
berharap dapat mengatakan siapa dirinya saat ini dan apa yang dikehendakinya di masa
mendatang. Untuk membentuk identitas diri, remaja harus mengetahui dan
mengorganisasi kemampuan, keinginan, minat dan hasrat mereka sehingga mereka
mampu mengekspresikannya ke dalam konteks sosial. Freud dalam Turner dan
Helms (1995) mengatakan pada masa ini remaja berada pada tahap genital dalam
perkembangan kepribadiannya. Ciri-ciri yang mencolok dari tahap ini adalah adanya
sublimasi dari perasaan-perasaan oedipal melalui ekspresi libido, yaitu dengan cara
jatuh cinta dengan lawan jenis.
2.2.3.4. Perkembangan emosi. Secara tradisional, pada masa remaja dianggap sebagai
periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pada masa perkembangan emosi terjadi
ketidakstabilan emosi dimana individu mengalami perasaan-perasaan yang kontradiktif
sifatnya, seperti sinis terhadap orang lain maupun terhadap kejadian tertentu, benci,
perasaan cinta, apatis, peduli dan sebagainya (Rice, 1999). Meskipun emosi remaja
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irrasional tetapi pada umumnya
terjadi perbaikan perilaku emosional secara per-lahan.
2.2.3.5. Perkembangan sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit
adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Diterangkan Greenberger, (1975)
cit. Rochadi bahwa upaya yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan
meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial,
pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan ataupun
dukungan dan penolakan sosial serta seleksi pemimpin. Karena remaja lebih banyak
berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka
pengaruh teman sebaya lebih besar daripada pengaruh keluarga.
2.2.3.6. Perkembangan moral. Pada masa ini remaja diharapkan mengganti konsep-
konsep moral yang telah ada pada masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang
berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai
pedoman bagi perilakunya. Dalam diri seorang yang mempunyai moral yang matang
selalu ada rasa bersalah dan malu. Hanya saja rasa bersalah berperan lebih penting
daripada rasa malu dalam mengendalikan perilaku apabila pengendalian lahiriah tidak
ada. Dalam kondisi demikian, individu akan merasa bersalah apabila menyadari bahwa
perilakunya tidak memenuhi harapan sosial kelompoknya, sedangkan rasa malu timbul
bila ia sadar akan penilaian buruk kelompok terhadap perilakunya. Perilaku yang
dikendalikan rasa bersalah adalah perilaku yang dikendalikan dari dalam, sedangkan
perilaku yang dikendalikan oleh rasa malu adalah perilaku yang dikendalikan dari luar.
Masa remaja merupakan tahap penting dalam kurun kehidupan manusia karena
merupakan masa peralihan dari masa kanak–kanak kemasa dewasa. Pada masa ini terjadi
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek
kehidupannya. Pada masa ini mereka lebih mementingkan daya tarik fisik dalam proses
sosialisasi. Kecantikan atau kesempurnaan fisik sangat di-dambakan oleh setiap remaja.
Remaja dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya
menyebabkan mereka merasa tertekan tapi juga akan menurunkan fungsinya dalam
kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan bahkan bisa menurunkan aktifitas belajar
karena sering tidak masuk sekolah akibat malu untuk bertemu orang lain atau merasa
dicemoohkan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan terhadap
diri sendiri sehingga untuk masa depan dalam hal mencari pekerjaan, remaja ini akan
mengalami hambatan, karena pada saat sekarang ini kebanyakan beberapa pekerjaan
membutuhkan penampilan fisik dan wajah yang menarik.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
2.3. Perilaku kesehatan.
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri
yang mempunyai makna yang sangat luas antara lain mencakup berjalan, berbicara,
bereaksi, berfikir tanggap dan emosi. Perilaku juga berarti aktifitas organisme, baik yang
diamati secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Benyamin Bloom cit. Notoatmojo (2003), perilaku terdiri atas
pengetahuan, sikap dan tindakan.
a. Pengetahuan.
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui manusia
tentang objek tertentu. Pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui
proses pengingatan atau pengenalan suatu informasi, ide atau fenomena yang diperoleh
sebelumnya. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera pendengaran
dan penglihatan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang.
b. Sikap
Sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan suatu predisposisi untuk terjadinya suatu
perilaku. Alport menguraikan sikap menjadi tiga komponen yaitu; 1) Komponen kognisi,
yang berhubungan dengan keyakinan, ide dan konsep, 2) Komponen afeksi, yang
menyangkut kehidupan emosional seseorang dan komponen konasi, yang merupakan
kecendrungan bertingkah laku.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
c. Praktek atau Tindakan ( practice )
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan antara lain fasilitas.
2.4. Kebutuhan dan perilaku pencarian pengobatan
2.4.1. Kebutuhan
Dalam konsep tentang kebutuhan, ada empat jenis kebutuhan yaitu:
a. Kebutuhan Normatif, merupakan kebutuhan yang ditetapkan oleh seseorang ahli
atau profesional sesuai dengan tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang
ditetapkan berdasarkan standar sehingga menunjukkan kebutuhan itu ada. Kebutuhan
normatif ini dapat berbeda, sesuai dengan penelitian yang dipakai antara satu orang
dengan yang lainnya.
b. Kebutuhan yang dirasakan, merupakan kebutuhan yang diidentifikasikan orang-
orang sebagai apa yang mereka inginkan. Kebutuhan jenis ini dapat terbatas banyaknya
tergantung pada kesadaran dan pengetahuan orang tentang apa yang tersedia.
c. Kebutuhan yang dinyatakan, merupakan kebutuhan yang dirasakan dan telah diubah
menjadi permintaan yang terungkap (demand). Kebutuhan yang diungkapkan dapat
bertentangan dengan kebutuhan normatif oleh profesional.
d. Kebutuhan komparatif, jenis kebutuhan ini dapat dengan membandingkan
kelompok–kelompok individu yang sama, contohnya ada kelompok yang sudah
mendapat promosi kesehatan dan ada yang belum mendapatkan promosi kesehatan
kemudian ditetapkan sebagai kelompok yang memiliki kebutuhan.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Penilaian kebutuhan akan perawatan keadaan maloklusi memerlukan suatu
pengertian bahwa tanpa perawatan, maloklusi tersebut akan berakibat negatif, dan
keadaan negatif tadi tidak akan terjadi jika kondisi tersebut dirawat. Tuntutan akan
kebutuhan perawatan maloklusi ditentukan oleh gabungan dua faktor utama yaitu
kebutuhan yang timbul dari masyarakat dan profesional dan sumber ekonomi yang
tersedia untuk membiayai perawatan tersebut (Emilia, 2000).
2.4.2. Perilaku pencarian pengobatan
Perilaku pencarian pengobatan merupakan tindakan yang dilakukan seseorang saat
mengalami gejala sakit, yang selanjutnya mengambil keputusan apakah akan mencari
pengobatan profesional atau tidak. Perilaku pencarian pengobatan dapat dibedakan atas :
a. Tidak bertindak apa – apa
Tidak bertindak apa-apa kemungkinan karena individu merasa penyakitnya bisa
sembuh dengan sendirinya, atau menganggap tugas–tugas lain lebih penting daripada
pergi mencari pengobatan. Alasan lain kemungkinan karena individu mengganggap
penyakitnya adalah merupakan bagian dari hidupnya yang harus dijalani atau memang
karena tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah situasi.
b. Bertindak mengobati sendiri.
Bertindak mengobati sendiri kemungkinan karena individu merasa bahwa
berdasarkan pengalaman-pengalaman lalu pengobatan sendiri sudah dapat
menyembuhkan penyakitnya.
c. Pengobatan tradisional.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Pengobatan tradisional antara lain pengobatan yang dilakukan oleh dukun.
d. Mencari pengobatan modern yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta.
Mencari pengobatan modern dilakukan pada puskesmas, rumah sakit, dokter praktek dan
balai pengobatan (Notoatmojo, 2003).
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah konsep perilaku pencarian pengobatan
profesional akibat adanya kebutuhan yang dirasakan dan telah berubah menjadi
permintaan yang terungkap (demand). Seseorang mencari pengobatan tergantung dari
tingkat keparahan keadaan maloklusi yang dirasakannya. Apabila maloklusi dirasakan
sudah mengganggu aktifitas dan kehidupan sosial maka seseorang akan mencari
pengobatan sebaliknya jika tidak mengganggu kehidupannya maka dia tidak melakukan
tindakan apa–apa.
Anderson mengkategorikan faktor determinan dalam penggunaan pelayanan
kesehatan dalam tiga kategori utama yaitu :
a. Karakteristik predisposisi, ciri–ciri individu yang digolongkan dalam ciri-ciri
demografi (umur, jenis kelamin), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal)
dan kepercayaan kesehatan (Health belief )
b. Karakteristik pendukung (Enabling), yaitu pendapatan, asuransi kesehatan, fasilitas
pelayanan kesehatan.
c. Karakteristik kebutuhan (Need) yaitu kebutuhan yang dirasakan atau preceived
(subject assessment) dan evaluasi atau diagnosa klinis.
Model Anderson dapat diilustrasikan pada gambar dibawah ini.
Predisposing Enabling Need Health Services Use
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Demography Family resource Perceived
Social structure Communiy resources Evaluated
Health belief
Gambar 1. Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan Menurut Anderson (Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Notoatmodjo , 2003).
2.5. Pendidikan Orang Tua
Orang tua khususnya ibu adalah faktor yang sangat penting dalam mewariskan
status kesehatan bagi anak-anak mereka. Penelitian ini terkait dengan tingkat pendidikan
serta pekerjaan ibu karena ibu merupakan tokoh kunci dalam keluarga. Caldwel
mengemukakan bahwa posisi wanita sangat menentukan kesehatan keluarga. Bagi pasien
yang masih muda biasanya alasan mengenai tuntutan pelayanan kesehatan giginya
berasal dari anjuran yang diberikan oleh dokter gigi keluarga atau dokter gigi anak-anak
dan keikut-sertaan ibunya, selain didapat dari teman sebaya ataupun media massa.
Tingkat pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Berdasarkan UU No.2. RI tahun
1989 mengenai pendidikan, maka bagi seluruh bangsa Indonesia diberlakukan wajib
belajar 9 tahun, jadi anak-anak Indonesia diwajibkan mengikuti pendidikan sampai tamat
SLTP sebagai pendidikan dasar sehingga pendidikan dasar/rendah terdiri atas SD dan
SLTP, pendidikan menengah terdiri atas SMU dan pendidikan tinggi/akademi.
Menurut Barker (1978) klasifikasi pekerjaan terdiri atas lima kelas, yaitu:
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
a) Kelas 1 : Pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tingkat tinggi seperti dokter,
jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan,
notaris, manager perusahaan dan pekerjaan yang setaranya.
b) Kelas 2 : Pekerjaan keahlian yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru,
perawat, bidan, apoteker, pemilik toko, pemilik salon, PNS, Pegawai swasta,
teknisi,polisi, tentara, pramugari dan pekerjaan yang setaranya.
c) Kelas 3 : Pekerjaan yang mempunyai pendidikan dasar seperti supir, tukang jahit,
pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko, pelayan restoran, pelayan hotel,
penjaga kasir, penjual sayur, satpam, tukang parkir dan pekerjaan setaranya.
d) Kelas 4 : Pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dasar seperti buruh,
pembersih jalan, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh, buruh tani dan
pekerjaan yang setaranya.
e) Kelas 5 : Tidak bekerja.
2.6. Konsep Sehat
Sehat pada umumnya dinyatakan menurut model medis atau model patologis, yaitu
tidak adanya penyakit. Menurut Undang–Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992
memberikan batasan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal ini
berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosial saja,
tapi juga dapat diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau
menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia bekerja seperti anak–
anak, remaja dan usila, berlaku produktif secara sosial diartikan mempunyai kegiatan,
misalnya sekolah atau kuliah dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
WHO menyarankan agar status kesehatan penduduk diukur dalam 3 hal yaitu 1)
melihat ada tidaknya kelainan patofisiologis, 2) mengukur fungsi dan 3) penilaian
individu atas kesehatannya. Dengan demikian untuk menggambarkan status kesehatan
gigi dan mulut harus mencakup ada tidaknya penyakit, bagaimana status fungsi fisik
(pengunyahan), fungsi psikis (rasa malu), fungsi sosial (peranan sosial sehari–hari) dan
kepuasan terhadap kesehatannya. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan ini perlu dicapai
untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang.
2.7. Konsep Kualitas Hidup
Pada umumnya kualitas dapat didefenisikan sebagai tingkatan dari kesenangan.
Kualitas hidup merupakan konsep yang lebih luas dari status kesehatan seseorang dan
kesehatan sosial. Tidak ada konsensus yang pasti untuk defenisi kualitas hidup ini.
Literatur menyatakan ada beberapa komponen yang terdapat dalam kualitas hidup yaitu
kemampuan fungsional (meliputi kehidupan sehari-hari, kemampuan untuk bekerja),
tingkat kualitas sosial dan interaksi dalam masyarakat, kesehatan psikologi, kesehatan
fisik dan kepuasan hidup (Bowling, 2001).
Mendola dan Peligrini (2002) menyatakan bahwa kualitas hidup adalah prestasi
individu dalam suatu situasi kesejahteraan sosial yang terbatas dalam kapasitas fisik. Shin
dan Johnson menyatakan bahwa kualitas hidup terdiri dari kepentingan seseorang untuk
memiliki kebahagiaan individu, kebutuhan, keinginan dan impian, keikutsertaan dalam
berbagai aktivitas dan kepuasan terhadap diri sendiri dan orang lain (Bowling, 2001).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam paradigma kesehatan masa kini, aspek kualitas hidup sebagai outcome dari
intervensi suatu program perlu diperhatikan. Campbell (1990) menyatakan bahwa aspek
kesehatan hanya merupakan salah satu domain dari 12 domains of life yang dapat
digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia seperti domain komunitas,
pendidikan, kehidupan keluarga, persahabatan, perumahan, pernikahan, kebangsaan,
rukun tetangga, diri sendiri, tingkat kehidupan dan pekerjaan (Rivani, 2004).
Pengukuran kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan ternyata telah dimulai
dari tahun 1963 sampai sekarang ini, antara lain Health Utilities Index Mark 3 ( HUI-3)
dengan atribut : (1) vision, (2) hearing, (3) speech, (4) ambulation, (5) dexterity, (6)
emotion, (7) cognition & (8) pain dari Torrance 1972. Ada juga menurut Rosser Index
1982 yang disempurnakan oleh Centre for Health Economics, York University–York,
Inggris 1994 dengan EuroQol–5D yang mengarah pada pengukuran 5 status kesehatan
manusia yaitu (1) mobility, (2) self-care, (3) usual activities, (4) pain / discomfort & (5)
anxiety/ depression (Rivani, 2004).
Di Indonesia juga dikembangkan model pengukuran kualitas hidup manusia
Indonesia yang terkait dengan kesehatan yaitu Indonesia Health Related Quality of Live
(INA-HRQol), yang menghasilkan 12 atribut status kesehatan yang terdiri dari dua bagian
besar yang disebut atribut fisik (1) Mobilitas, (2) Aktifitas/kegiatan pribadi, (3)
Aktifitas/kegiatan umum/sosial, (4) Pandangan/penglihatan, (5) Pendengaran, (6)
Penciuman, (7) Rasa makanan, (8) Berbicara/komunikasi, (9) Pergerakan tangan, jari dan
kaki, (10) Rasa sakit ditambah dengan atribut non fisik yaitu : (1) Emosi dan (2) Ingatan
(Rivani 2004).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Konsep kualitas hidup yang dimaksud dalam penulisan ini dikembangkan dari
konsep sehat WHO, yaitu respon individu dalam kehidupan sehari–hari terhadap fungsi
fisik, psikis, dan sosial akibat maloklusi yang dialami individu. Konsep ini menekankan
pentingnya pengukuran fungsi bukan hanya tidak adanya penyakit. Kualitas hidup diukur
dengan menggunakan skala indeks Oral Health Impact Profile (OHIP-49) dari Slade.
Indeks ini adalah salah satu instrumen yang mengukur persepsi masyarakat mengenai
dampak sosial dari kelainan rongga mulut. Pertanyaan yang terdapat dalam OHIP
sebanyak 49 pertanyaan yang dikelompokan dalam teori Locker. Dalam teori ini terdapat
7 dimensi yang merupakan dampak–dampak akibat kelainan gigi dan mulut yang
mempengaruhi kualitas hidup, yaitu: keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik,
ketidaknyamanan psikologis, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikologis,
ketidakmampuan sosial dan hambatan (handicap) (Slade, 1993). Alat ukur OHIP dapat
dilihat pada tabel 2.1. (tanda (*) tidak ditanyakan karena tidak berhubungan dengan
maloklusi dan usia remaja)
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 2.1. Oral Health Index Profile-49 (Slade, 1993)
No Dimensi Kualitas Hidup Butir Pertanyaan 1 Keterbatasan fungsi Sulit mengunyah
Sulit mengucapkan kata Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut Merasa wajah kurang menarik Nafas bau Makanan sangkut Tidak dapat mengecap dengan baik Pencernaan terganggu Gigi palsu tidak pas *
2 Rasa sakit Sakit yang sangat dimulut Sakit dirahang Sakit kepala Gigi ngilu Gigi sakit Gusi sakit Tidak nyaman mengunyah Gigi palsu tidak nyaman *
3 Ketidaknyamanan psikis Khawatir Merasa rendah diri Tegang Merasa sangat menderita Menyadari ada yang salah pada gigi dan mulut
4 Ketidakmampuan fisik Bicara tidak jelas Kata–kata salah dimengerti Tidak dapat merasakan enaknya makanan Tidak bisa menyikat gigi dengan baik Menghindari makanan tertentu Diet kurang memuaskan Menghindari tersenyum Terhenti makan karena sakit gigi
5 Ketidakmampuan psikis Tidur terganggu Merasa kesal Sulit merasa rileks Depresi (hidup tidak bergairah) Sulit berkonsentrasi Merasa malu
6 Ketidakmampuan sosial Menghindari keluar rumah Cepat marah Sulit bersama orang lain Mudah tersinggung Sulit mengerjakan pekerjaan sehari hari *
7 Hambatan Kesehatan memburuk Keuangan memburuk Tidak mampu beramah tamah Hidup terasa kurang memuaskan Sama sekali tidak dapat berfungsi* Tidak dapat bekerja / belajar dengan baik
2.3. Landasan Teori
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Maloklusi adalah kelainan susunan gigi geligi yang menyimpang dari bentuk
standar yang diterima sebagai bentuk normal pada rahang atas atau rahang bawah atau
saat kedua rahang tersebut saling bertemu pada saat menggigit, mengunyah ataupun
menelan. Ciri–ciri maloklusi diantaranya adalah kontak gigitan menyilang (crossbite),
kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), gigitan menyilang
(scisor bite) atau posisi gigi maju kedepan (protrusi). Maloklusi dapat disebabkan oleh
intrinsik dan ekstrinsik faktor. Intrinsik faktor yaitu maloklusi yang berasal dari keadaan
gigi itu sendiri seperti misalnya anomali jumlah, bentuk dan ukuran gigi, persistensi gigi
susu, karies gigi, sedangkan ekstrinsik faktor yaitu maloklusi yang berasal dari luar gigi
itu sendiri, misalnya herediter, kelainan kongenital, penyakit sistemik sehingga
menyebabkan perkembangan pertumbuhan yang salah, kebiasaan jelek dan adanya
trauma.
Maloklusi yang tidak dirawat sejak dini akan bertambah parah pada saat gigi
permanen telah tumbuh sempurna yaitu pada masa remaja. Usia masa remaja di
Indonesia berkisar 13 sampai dengan 18 tahun. Anak Sekolah Menengah Umum
termasuk dalam batasan usia remaja akhir, terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial
yang cepat yang berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Pada masa ini mereka
lebih mementingkan daya tarik fisik, terutama wajah dalam proses sosialisasi. Remaja
dapat merasa tidak puas terhadap penampilan wajahnya yang tidak hanya membuat
mereka tertekan tapi juga menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial, keluarga, dan
bisa menurunkan aktifitas belajar. Dampak yang lebih parah adalah hilangnya semangat
hidup karena ejekan/hinaan teman dilingkungan sekolahnya.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dampak diatas merupakan ancaman terhadap kualitas hidup seorang remaja dalam
menjalani hidup sehari–hari yang mungkin saja terjadi krisis ketidakpercayaan pada diri
sendiri. Ancaman maloklusi terhadap kualitas hidup remaja berbeda antara satu remaja
dengan remaja lainnya, hal ini juga dipengaruhi oleh adanya faktor sosiodemografis yang
berupa umur, jenis kelamin dan kelas sosial (pendidikan ibu, pekerjaan ayah dan
pendapatan keluarga). Selain itu perilaku kesehatan terutama kesehatan gigi tidak kalah
juga berperan dalam cara pandang remaja terhadap pengaruh maloklusi terhadap kualitas
hidupnya. Perilaku kesehatan gigi yang mempengaruhinya adalah pengetahuan remaja
terhadap maloklusi, sikap remaja yaitu keyakinan remaja terhadap keadaan maloklusinya
serta perilaku pencarian pengobatan/perawatan pada remaja yang merasakan suatu
kelainan yang dialaminya.
Dalam hal konsep perilaku pencarian pengobatan/perawatan, dalam penelitian ini
remaja mendapatkan dorongan untuk melakukan tindakan (mencari solusi sendiri,
pengobatan tradisional atau alternatif maupun tidak melakukan apa–apa). Dorongan yang
memicu remaja untuk bertindak dapat berasal dari media cetak/elektronik, lingkungan
teman sebaya, orang tua ataupun anjuran dari tenaga profesional seperti petugas
kesehatan. Pada gambar 2 menunjukan hubungan antara maloklusi dengan kualitas hidup.
Sosiodemografis : 1.umur 2.jenis kelamin 3.peer & reference
groups 4.kelas social
(pendidikan ibu, pekerjaan ayah dan pendapatankeluarga)
Pendorong untuk bertindak:
1. media cetak / elektronik
2. lingkungan teman sebaya
3. dorongan orang tua 4. anjuran tenaga profesional
Penyebab 1. Intrinsik factor 2. Ekstrinsik factor
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Gambar 2. Kerangka Teori Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup.
.
Maloklusi Melakukan Perawatan maloklusi
Ancaman thd kualitas hidup
1.keterbatasan fungsi 2.rasa sakit fisik 3.ketidaknyamanan
psikis 4.ketidakmampuan
fisik 5.ketidakmampuan
psikis 6.ketidakmampuan
sosial 7.hambatan
Perilaku Kesehatan
Gigi 1.Pengetahuan 2.Sikap (keyakinan) 3.Perilaku perawatan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
2.4. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan kepustakaan maka dirumuskan kerangka
konsep penelitian sebagai berikut :
Gambar 3. Kerangka Konsep Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup
Kerangka konsep penelitian diturunkan dari kerangka teori yang bertujuan untuk
dapat mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup. Status sosiodemografi
berhubungan dengan karakteristik perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan perlaku
pencarian perawatan) dengan arti bahwa semakin tinggi status sosiodemografi maka
pengetahuan, sikap dan perilaku mencari perawatan akan kesehatan gigi lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai status sosiodemografi yang rendah.
Pengetahuan berhubungan dengan persepsi kualitas hidup. Dalam penelitian ini status
sosiodemografi dan perilaku kesehatan bertindak sebagai variabel perancu/konfonder.
Status Maloklusi
Perilaku kesehatan
Pengetahuan Sikap (keyakinan) Perilaku perawatan
Kualitas Hidup.
Keterbatasan fungsi Rasa sakit fisik Ketidaknyamanan psikis Ketidakmampuan fisik Ketidakmampuan psikis Ketidakmampuan social Hambatan
Status Sosiodemografi
Jenis Kelamin Pendidikan ibu Pekerjaan orang tua
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Variabel bebas utama adalah maloklusi dan variabel terikat adalah kualitas hidup.
Untuk mengetahui hubungan maloklusi dengan kualitas hidup maka kontrol terhadap
variabel konfondernya harus dilakukan pada analisis data.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan disain cross sectional, yaitu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor independen terhadap faktor
dependen dengan menggunakan model observasi sekaligus pada suatu saat (Murti 1997).
Pada disain penelitian ini informasi mengenai maloklusi diperoleh secara bersamaan
dengan kualitas hidup.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian.
3.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMU Kota Medan. Alasan untuk memilih daerah ini
adalah karena remaja Kota Medan merupakan kelompok referensi (reference group) bagi
para remaja Sumatera Utara.
3.2.2. Waktu penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan penelusuran pustaka dilanjutkan dengan
penelitian untuk mengumpulkan data, pengolahan data, analisis data, penyusunan laporan
penelitian, penulisan tesis, seminar hasil penelitian dan ujian komprehensif yang dimulai
dari bulan Januari 2006 sampai Desember 2007.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
3.3. Populasi dan sampel.
3.3.1.Populasi
Populasi adalah remaja yang berstatus pelajar siswa SMU Kota Medan yang
berjumlah 116.038 orang dari 18 SMU Negeri dan 138 SMU Swasta yang ada di Kota
Medan berdasarkan data pada Dinas Pendidikan Sumatera Utara tahun 2006. Alasan
dipilihnya anak SMU untuk mewakili remaja adalah karena usia anak SMU yang berkisar
antara 15 sampai 18 tahun merupakan remaja tahap akhir yang mulai mengembangkan
pemikiran bagaimana pandangan orang terhadap penampilan dan bersosialisasi dengan
teman sebaya. Mereka menghabiskan waktu sekitar tujuh jam sehari bahkan lebih di
sekolah. Ini berarti bahwa hampir separuh waktunya setiap hari dilewatkan di sekolah.
3.3.2. Sampel.
3.3.2.1. Besar sampel. Karena terbatasnya biaya, tenaga dan waktu maka dilakukan
pengambilan sampel. Besar sampel ditentukan dengan rumus beda proporsi pada populasi
(Lameshow, 2001 ) :
n = [ Z1 – α / 2 √ 2.P (1-P) + Z1 – β/ 2 √ P1 (1 -P1) + P2 (1-P2) ]2
(P1 - P2) 2
n = Jumlah sampel yang dibutuhkan Z
1 – α / 2 = nilai baku normal berdasarkan error type I (α=0,05) yang ditentukan =1, 96 .
Z 1 – β / 2 = nilai baku normal berdasarkan error type II (β=0,2) yang ditentukan
=0,84 Power of Study = 80% P1 = Proporsi tertinggi pada keluhan terhadap kualitas hidup yaitu makanan
sangkut = 66% (Situmorang, 2004 ) P2 = Proporsi yang diharapkan tidak lebih dari 15% dari P1 = 81% P = Proporsi rata – rata p1 dan p2. Berdasarkan penghitungan (lampiran 1) dengan menggunakan rumus di atas maka
diperoleh besar sampel minimal 134 sampel. Oleh karena metode sampel pada penelitian
ini adalah Stratified Cluster 2 tingkat respondennya dikelompokan atas 2 kelompok maka
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
jumlah sampel minimal dikalikan 2 menjadi 268. Karena yang diklaster adalah kelas
maka semua murid yang hadir pada kelas terpilih pada hari penelitian di jadikan sebagai
sampel sehingga besar sampel pada penelitian ini menjadi 413 orang.
3.3.2.2. Metode sampling menggunakan stratifikasi–kluster 2 tingkat. Satuan klaster
pada penelitian ini adalah kelas X, XI, dan XII pada tiap sekolah dan strata adalah
klasifikasi SMU negeri/swasta berdasarkan pembagian kecamatan Kota Medan. Secara
administratif Kota Medan terbagi atas 21 kecamatan yang digolongkan menjadi 2
kategori yaitu lingkar dalam dan lingkar luar. Lingkar dalam terdiri dari 10 kecamatan
yaitu Kecamatan Medan Baru, Medan Petisah, Medan Barat, Helvetia, Polonia, Medan
Area, Medan Kota, Medan Maimun, Medan Timur dan Medan Deli. Lingkar luar terdiri
dari 11 kecamatan yaitu Kecamatan Medan Tuntungan, Selayang, Sunggal, Johor,
Denai, Perjuangan, Amplas, Tembung, Marelan, Labuhan dan Belawan.
Kota Medan terdiri dari 156 SMU negeri / swasta yang dapat dikelompokkan atas
104 SMU negeri/swasta yang berada dilingkar dalam dan 52 SMU negeri/swasta yang
berada di lingkar luar (Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, 2006).
Pengelompokan ini berdasarkan perbedaan jenis informasi dan status sosial remaja SMU
Kota Medan yang nantinya akan berpengaruh terhadap pengukuran kualitas hidup.
Pengambilan sampel dilakukan dengan 2 tahap. Tahap pertama, dari semua SMU
negeri dan swasta dipilih 2 SMU negeri/swasta dari lingkar luar dan 2 SMU
negeri/swasta dari lingkar dalam secara acak. SMU yang terpilih untuk lingkar dalam
adalah SMUN 4 di Kecamatan Medan Petisah, SMU swasta Harapan di Kecamatan
Medan baru. Untuk lingkar luar SMU yang terpilih adalah SMUN 3 di Kecamatan Medan
labuhan dan SMU swasta Panca Budi di Kecamatan Sunggal.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tahap kedua adalah memilih kelas pada SMU terpilih secara acak (kelas X, XI dan
XII), karena tiap tingkatan kelas terdiri dari kelas paralel maka dilakukan pemilihan kelas
yaitu untuk SMU yang berada di lingkar dalam yaitu SMUN 4 terpilih kelas X7, XIIPA3
dan XIIIPS2 serta SMU Swasta Harapan yaitu kelas X3, XIIPS3 dan XIIIPA3 . Untuk SMU
yang berada dilingkar luar terpilih SMUN 3 Medan dengan kelas X1, XIIPS1 dan XIIIPS1
serta SMU Swasta Panca Budi Medan dengan kelas X2, XIIPA1 dan XIIIPA3. Agar diperoleh
data yang akurat tentang keluhan yang dirasakan oleh karena adanya maloklusi, maka
siswa yang terpilih sebagai sampel adalah siswa yang sehat secara fisik dengan arti tidak
menderita cacat jasmani.
3.4. Metode dan Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di sekolah responden dengan metode wawancara dan
pemeriksaan status maloklusi. Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur berisi
pertanyaan mengenai status sosiodemografi, karakteristik perilaku kesehatan gigi dan
penilaian responden tentang kualitas hidup. Pengumpulan data dilapangan dilakukan
oleh peneliti dibantu enam orang mahasiswa Kedokteran Gigi USU yang sedang
menjalani kepaniteraan klinik dibagian Kesehatan Gigi Masyarakat. Agar tidak terjadinya
kesalahan pengukuran maka kepada pengumpul data dilakukan pelatihan dan kalibrasi
sehingga diperoleh persepsi dan interpretasi yang sama dan konsisten. Setelah data
dikumpul maka dilakukan editing, dibuat struktur data, file data, data entry dan dianalisis
dengan bantuan perangkat lunak pogram komputer.
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan variabel penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa defenisi
operasional penelitian sebagai berikut :
a. Jenis kelamin adalah pria atau wanita yang dapat mempengaruhi persepsi pada
remaja SMU terhadap keadaan maloklusi yang berdampak pada perbedaan tingkatan
kualitas hidupnya.
b. Pendidikan ibu adalah pendidikan terakhir ibu yang diambil melalui jalur sekolah
secara formal terdiri atas: tidak sekolah/tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat
SMU, tamat perguruan tinggi/akademi.
c. Pekerjaan orang tua, terutama pekerjaan ayah, jika ayahnya sudah tidak ada maka
diambil pekerjaan ibu, dan apabila ayah dan ibu juga sudah tidak ada maka diambil
pekerjaan wali yang menanggung hidup responden. Terdiri atas lima klasifikasi
berdasarkan tingkat pendidikan yaitu :
1). Kelas 1 : pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tingkat tinggi seperti dokter,
jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan,
notaris, manager perusahaan dan pekerjaan yang setara.
2). Kelas 2 : pekerjaan keahlian yang membutuhkan pendidikan menengah seperti
guru, perawat, bidan, apoteker, pemilik toko, pemilik salon, PNS, pegawai swasta,
teknisi, polisi, tentara, pramugari dan pekerjaan yang setara.
3). Kelas 3 : pekerjaan yang mempunyai pendidikan dasar seperti supir, tukang jahit,
pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko, pelayan restoran, pelayan hotel,
penjaga kasir, penjual sayur, satpam, tukang parkir dan pekerjaan setara.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
4). Kelas 4 : pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dasar seperti buruh,
pembersih jalan, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh, buruh tani dan
pekerjaan yang setara.
5). Kelas 5 : tidak bekerja.
d. Pengetahuan adalah segala informasi yang diketahui remaja tentang maloklusi
yaitu berupa : macam kelainan gigi, arti kelainan susunan gigi, ciri ciri maloklusi, dan
adanya perawatan maloklusi.
e. Sikap adalah keyakinan responden terhadap masalah, akibat dan keinginan untuk
merawat maloklusinya.
f. Perilaku perawatan adalah tindakan responden untuk melakukan perawatan
maloklusi ke dokter gigi selama satu tahun terakhir.
g. Maloklusi adalah kelainan susunan gigi dari bentuk oklusi yang dianggap
menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi pada
penelitian ini adalah maloklusi yang membutuhkan perawatan berdasarkan kriteria HMA
indeks.
h. Kualitas hidup adalah respons terhadap gejala yang dialami remaja SMU akibat
maloklusi dalam kehidupan sehari–harinya selama satu tahun terakhir terhadap
keterbatasan fungsi fisik, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik,
ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial dan hambatan
3.5. Metode Pengukuran
3.5.1. Status maloklusi
Status maloklusi diukur dengan menggunakan indeks HMA, yaitu menggunakan
suatu lembar isian dan digunakan untuk melengkapi cara menentukan prioritas perawatan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
ortodonti menurut keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang
tercatat pada lembar isian tersebut. Metode ini dipilih karena mempunyai taraf
kepercayaan yang tinggi dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi serta tidak
memerlukan alat khusus penilaian maloklusi.
Cara penilaian :
a. Penyimpangan gigi dalam satu rahang ( Intra arch deviation )
1). Segmen Anterior
Setiap gigi anterior rahang atas yang terlibat diberi skor 2, dan setiap gigi anterior
rahang bawah diberi skor 1.
a). Gigi absen (missing)
Gigi yang tidak terdapat dalam mulut, termasuk jika tinggal akar (radix).
b). Gigi berjejal (crowdeed )
Gigi yang berjejal karena kurang tempat sehingga untuk mengatur perlu
menggeser gigi lain yang ada dalam rahang. Gigi yang sudah dinilai rotasi
maka tidak boleh dinilai berjejal.
c). Gigi rotasi (rotation)
Gigi yang letaknya berputar tetapi cukup tempat untuk mengaturnya dalam
lengkung rahang. Gigi yang sudah diberi skor rotasi tidak boleh diberi skor
berjejal atau renggang
d). Gigi renggang (spacing), yaitu :
(1). Renggang terbuka (open spacing), yaitu celah yang terdapat diantara gigi
sehingga terlihat papil interdental. Pemberian skor adalah jumlah papila yang
nampak, bukan giginya.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
(2). Renggang tertutup ( closed spacing ), yaitu penutupan ruang sebagian
sehingga tidak memungkinkan gigi untuk erupsi penuh tanpa menggeser gigi
lainnya dalam lengkung rahang yang sama, yang diberi skor adalah giginya.
2). Segmen posterior
Setiap gigi yang terlibat diberi skor 1.
a). Absen: cara penilaian seperti segmen anterior. Dicatat jumlah gigi yang
tidak ada dalam rongga mulut, termasuk radiks.
b). Berjejal: penilaian seperti pada segmen anterior.
c). Rotasi: penilaian seperti pada segmen anterior.
d). Renggang yaitu :
(1). Renggang terbuka, yaitu celah interproksimal yang menampakan papila
disebelah mesial dan distal sebuah gigi.
(2). Renggang tertutup: penilaian seperti pada segmen anterior.
b. Kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi (inter
arch deviation).
Penilaian dilakukan dengan cara menengadahkan kepala kebelakang sejauh
mungkin dan mulut terbuka lebar untuk mendapat oklusi terminal. Lidah digerakkan
keatas dan ke belakang mengenai palatum dan dengan cepat gigi-gigi dioklusikan
sebelum kepala tertunduk kembali. Untuk melihat dengan jelas oklusi gigi dalam mulut
digunakan kaca mulut.
1). Segmen Anterior
Untuk setiap gigi rahang atas yang terlibat diberi skor 2
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
a). Jarak gigit, penilaian jarak gigit ialah bila gigi insisivus atas labioversi sehingga
gigi insisivus bawah pada waktu oklusi mengenai mukosa palatum. Apabila gigi
insisivus atas tidal labioversi maka kelainan itu hanya diskor sebagai kelainan
tumpang gigit.
b). Tumpang gigit, penilaian tumpang gigit ialah apabila pada waktu oklusi, gigi
insisivus atas mengenai mukosa gingiva gigi insisivus bawah, sedang gigi bawah
tersebut mengenai mukosa palatum. Jika insisivus atas labioversi maka kelainan
tumpang gigit juga jarak gigit.
c). Gigitan silang, yaitu apabila gigi insisivus atas pada waktu oklusi disebelah
lingual gigi insisivus bawah.
d). Gigitan terbuka, yaitu apabila waktu oklusi gigi depan atas dan bawah tidak
berkontak.
2). Segmen posterior
Untuk setiap gigi yang terlibat diberi skor 1.
a). Kelainan anteroposterior, yaitu kelainan oklusi dimana pada waktu oklusi gigi
kaninus, premolar pertama dan premolar kedua serta gigi molar pertama bawah
berada disebelah distal atau mesial gigi antagonisnya. Kelainan tersebut diskor
bila terdapat satu tonjol atau lebih dari gigi molar, premolar dan kaninus beroklusi
di daerah interproksimal lebih ke mesial atau ke distal dari posisi normal.
b). Gigitan silang, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat gigi pada segmen bukal yang
posisinya lebih ke lingual atau bukal diluar kontak oklusi terhadap gigi
antagonisnya.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
c). Gigitan terbuka, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat celah antara gigi posterior
atas dan bawah. Hubungan tonjol lawan tonjol tidak termasuk gigitan terbuka.
Setiap ciri maloklusi yang berupa kelainan dentofasial diberi skor 8. Ciri-ciri
tersebut yaitu: celah bibir dan celah mulut, bibir bawah terletak dipalatal gigi insisivus
atas,gangguan oklusal (oklusal interference), gangguan fungsi rahang (functional jaw
limitation), asimetri muka/wajah, gangguan bicara (speech impairment).
Indikator kebutuhan perawatan berdasarkan kriteria tingkat keparahan maloklusi
menunjukan keparaham maloklusi berkisar antara :
a. Skor 0 – 4 : variasi oklusi normal
b. Skor 5 – 9 : maloklusi ringan, tidak perlu perawatan
c. Skor 10-14 : maloklusi ringan, kasus tertentu memerlukan perawatan
d. Skor 15 – 19 : maloklusi berat, memerlukan perawatan
e. Skor ≥ 20 : maloklusi berat, sangat memerlukan perawatan.
3.6.2. Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan responden, dilakukan dengan pemberian nilai (skoring)
pada tiap-tiap soal pengetahuan. Soal nomor 6 dan 7 tidak dimasukan dalam perhitungan
karena merupakan pertanyaan pembuka.Diberikan nilai 1 untuk jawaban yang benar dan
nilai 0 untuk jawaban yang salah. Setelah diperoleh nilai semua responden, kemudian
dicari nilai rata-rata (mean) dan simpangan deviasi. Kategori tinggi ditentukan untuk
nilai-nilai yang berada atau diatas hasil penjumlahan mean dengan simpangan deviasi.
3.6.3. Sikap
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Soal untuk mengetahui sikap responden terdiri atas 5 pertanyaan, jawaban ya diberi
nilai 2 dan jawaban tidak diberi nilai 1. Cutt of point adalah 7,5 sehingga diatas nilai
tersebut termasuk kategori baik.
3.6.4. Kualitas Hidup
Pengukuran kualitas hidup menggunakan skala indeks Oral health Impact Profile
(OHIP-49) dari Slade GD, dengan lima skala likert. Pada analisis data bivariat dan
multivariat dilakukan pengkategorian yaitu terbagi atas 2 kategori: sering dan tidak
sering. OHIP-49 terdiri dari tujuh dimensi: dimensi keterbatasan fungsi (cutt of point =
24), rasa sakit (cutt of point = 15), ketidaknyamanan psikis (cutt of point = 12),
ketidakmampuan fisik (cutt of point = 15), ketidakmampuan psikis (cutt of point = 18),
ketidakmampuan sosial (cutt of point = 15) dan handikap (cutt of point = 15). Jika angka
skor berada lebih dari cutt of point maka dimasukkan dalam kategori sering mengalami
gangguan dan jika skor sama atau rendah dari nilai cutt of point maka dimasukkan dalam
kategori tidak sering mengalami gangguan pada masing-masing dimensi kualitas hidup.
Penggunaan alat ukur ini telah diuji dilakukan uji coba terhadap 50 orang remaja SMU.
Ternyata terbukti validitasnya dan reabilitasnya. Uji reabilitas menghasilkan nilai Alfa
Cronbach, s sebagai berikut:
a. Keterbatasan fungsi mempunyai nilai 0,96.
b. Rasa sakit fisik mempunyai nilai 0,89.
c. Ketidaknyamanan psikis mempunyai nilai 0,94.
d. Ketidakmampuan fisik mempunyai nilai 0,93.
e. Ketidakmampuan psikis mempunyai nilai 0,75.
f. Ketidakmampuan sosial mempunyai nilai 0,96.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
g. Hambatan mempunyai nilai 0,96.
3.7. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara bertahap yaitu :
a.Analisis data univariat
Analisis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dari data
variabel bebas terhadap maloklusi. Diperoleh prevalensi maloklusi, persentase maloklusi
berdasarkan kebutuhan perawatannya, tingkat keparahannya, jenis kelamin, pendidikan
ibu, pekerjaan orang tua dan persentase karakteristik perilaku kesehatan remaja
(pengetahuan, sikap dan tindakan melakukan perawatan) serta persentase keluhan–
keluhan kualitas hidup pada remaja SMU Kota Medan.
b. Analisis bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel. Uji statistik yang
dipakai adalah uji korelasi pearson Chi-Square dengan hipotesis nol adalah tidak ada
hubungan antara dua variabel dengan α ditentukan 0,05. Apabila nilai probabilitas yang
diperoleh lebih kecil daripada α = 0,05 maka kemungkinan hipotesis nol ditolak , artinya
ada hubungan antara dua variabel. Dari analisis ini dapat diperoleh hubungan antara
status sosiodemografi, perilaku kesehatan remaja dan maloklusi dengan kualitas hidup.
Dari hasil analisis bivariat ini dipilih variabel yang masuk ke dalam analisis multivariat
c. Analisis multivariat
Analis ini dilakukan untuk melihat besarnya hubungan antara variabel maloklusi
terhadap kualitas hidup. Penghitungan ini dilakukan dengan regresi logistik ganda,
sehingga didapat hubungan yang murni antara variabel bebas dan variabel terikat tanpa
adanya variabel konfonder, serta seberapa besar hubungan antara variabel tersebut.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tahapan analisis multivariat yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1). Melakukan analisis pada model univariat pada setiap variabel dengan tujuan untuk
melakukan estimasi masing-masing variabel bebas dalam hubungannya dengan
maloklusi.
2). Melakukan pemilihan variabel yang bisa dimasukkan dalam model. Variabel yang
signifikan adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,25.
3). Pembuatan model hubungan variabel bebas dengan maloklusi yang akan dimasukkan
dalam model adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,05.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Bab 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Medan yang secara administratif terbagi atas 2
wilayah yaitu wilayah lingkar luar yang terdiri dari 10 kecamatan dan lingkar dalam
yang terdiri dari 11 kecamatan. Pada masing-masing wilayah diambil 2 (dua) sekolah
yang dipilih secara simple random sampling dengan jumlah sampel keseluruhan 413
responden. Sekolah yang terpilih sebagai sampel yaitu:
a. Lingkar Dalam, yang terdiri atas:
1). SMUN no 4 Medan di Kecamatan Medan Petisah, terdiri atas 3 kelas yaitu kelas
X,XI dan XII. Karena tiap tingkatan kelas terdiri dari kelas paralel maka yang
terpilih sebagai sampel adalah kelas X7 sebanyak 41 orang, kelas XIIPA 3 sebanyak
34 orang dan kelas XIIIPS 2 sebanyak 27 orang.
2). SMU Swasta Harapan di Kecamatan Medan Baru
Kelas yang terpilih sebagai sampel adalah kelas X3 sebanyak 29 orang, kelas
XIIPS 3 sebanyak 34 orang dan kelas XIIIPA 3 sebanyak 39 orang.
b. Lingkar Luar yang terdiri atas:
1). SMUN no 3 Medan yang terletak di Kecamatan Medan Labuhan
Kelas yang terpilih sebagai sampel adalah kelas X1 sebanyak 40 orang, kelas
XIIPA 7 sebanyak 39 orang dan kelas XIIIPS 1 sebanyak 40 orang.
2). SMUN Swasta Panca Budi Medan yang terletak di Kecamatan Medan Sunggal.
Kelas yang terpilih sebagai sampel adalah kelas X2 sebanyak 36 orang, kelas
XIIPA 1 sebanyak 17 orang dan kelas XIIIPS 1 sebanyak 36 orang.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Pengumpulan data dilakukan selama 1 bulan pada sekolah-sekolah yang terpilih
menjadi sampel.
4.2. Gambaran responden
4.2.1. Karakteristik responden
Dari 413 responden yang dijadikan subjek penelitian, dapat di gambarkan keadaan
sosiodemografinya sebagai berikut :
Tabel 4.1. Karakteristik Responden
Tabel 4.1. menunjukkan persentase remaja laki-laki dan perempuan hampir sama.
Persentase tingkat pendidikan ibu responden yang paling tinggi adalah tamat SMU
sebanyak 200 orang (48,4%) dan yang terendah adalah tidak tamat SD sebanyak 6 orang
(1,5%). Pekerjaan orang tua responden dibagi dalam lima klasifikasi. Persentase tertinggi
adalah responden yang pekerjaan orang tuanya dalam klasifikasi 2 (pekerjaan yang
Karakteristik n Persentase
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
214 199 413
51,8 48,2 100
Pendidikan Ibu Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Perguruan Tinggi Total
6 8 49 200 150 413
1,5 1,9 11,9 48,4 36,3 100
Pekerjaan Orang Tua Klasifikasi 1 Klasifikasi 2 Klasifikasi 3 Klasifikasi 4 Klasifikasi 5 Total
162 230 14 7 0 413
39,0 56,0 3,4 1,6
0 100
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
membutuhkan pendidikan menengah) sebanyak 230 orang (56%), dan yang terendah
adalah responden yang pekerjaan orang tuanya dalam klasifikasi 4 (pekerjaan yang tidak
memerlukan pendidikan dasar) sebanyak 7 orang (1,7%) serta tidak ada responden yang
mempunyai orang tua yang tidak bekerja.
4.2.2. Gambaran perilaku kesehatan responden
Perilaku kesehatan responden dinilai dari 3 hal yaitu pengetahuan, sikap tentang
keyakinan akan keadaan susunan geliginya dan tindakan responden untuk melakukan
perawatan maloklusi.
Pada Tabel 4.2. terlihat gambaran pengetahuan responden bahwa remaja SMU lebih
banyak mengetahui arti dari kelainan susunan gigi/maloklusi (60,3%) dan dapat
mengetahui ciri–ciri maloklusi (59,3%) sedangkan pengetahuan tentang setiap orang
dapat mengalami maloklusi dan perawatan maloklusi hanya sepertiga responden yang
mengetahuinya yaitu sebanyak 37,5% dan 31,2%.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.2. Persentase Remaja SMU menurut Pengetahuan Kesehatan Gigi di Kota Medan Tahun 2007 (N=413)
Pengetahuan n %
Arti pentingnya gigi 389 94,1 Macam-macam penyakit gigi 312 75,5 Arti kelainan susunan gigi dalam rongga mulut 249 60,3 Ciri-ciri maloklusi 245 59,3 Penyebab maloklusi 225 54,4 Maloklusi dapat dirawat 222 53,7 Gangguan akibat maloklusi 219 53,0 Tempat perawatan maloklusi 182 44,1 Siapa yang dapat mengalami maloklusi 155 37,5 Jenis perawatan maloklusi 129 31,2
Berdasarkan defenisi operasional, pengetahuan dibagi atas 2 kategori yaitu tinggi
dan rendah. Pada tabel 4.3 dapat dilihat responden yang mempunyai pengetahuan tentang
maloklusi yang tinggi adalah 84,3%.
Tabel 4.3. Persentase Remaja SMU berdasarkan Tingkat Pengetahuan tentang Maloklusi
Pengetahuan
n Persentase
Baik Kurang Total
348 65 413
84,3 15,7 100
Pada Tabel 4.4. terlihat gambaran sikap yang merupakan keyakinan responden
terhadap keadaan susunan gigi geliginya dan keinginan untuk melakukan pe-rawatannya.
Tabel 4.4. Persentase Distribusi Sikap Remaja SMU terhadap Susunan Gigi Geliginya di Kota Medan Tahun 2007 (N=413)
Sikap mengenai susunan gigi geligi n %
Yakin kelainan susunan gigi dapat dicegah dan diatasi dengan 320 77,5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
melakukan perawatan Yakin keinginan merawat susunan gigi dari diri sendiri 284 68,8 Yakin kelainan susunan gigi dapat mengganggu pergaulan 281 68,0 Yakin kelainan susunan gigi ingin dirawat 265 64,2 Yakin ada yang salah dengan susunan gigi 260 63,0
Berdasarkan defenisi operasional, sikap dibagi atas 2 kategori yaitu baik dan
kurang. Pada Tabel 4.5 dapat dilihat responden yang mempunyai keyakinan mengenai
susunan gigi geliginya yang termasuk kategori baik adalah 82,6%
Tabel 4.5. Persentase Remaja SMU berdasarkan Tingkat Keyakinan terhadap Maloklusi
Keyakinan
n Persentase
Baik Kurang Total
341 72 413
82,6 17,4 100
Pada Tabel 4.6 terlihat gambaran pernah atau tidaknya menerima pelayanan
kesehatan gigi, ternyata sebanyak 243 orang (58,8%) responden menyatakan pernah
mendapatkan perawatan kesehatan gigi selain perawatan kelainan susunan gigi
(ortodonsi) dalam 1 tahun terakhir, sedangkan dari 250 responden yang mengalami
maloklusi, yang sudah pernah mendapatkan perawatan ortodonsi hanya sebanyak 37
orang (14,8%).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.6. Persentase Remaja SMU yang Menerima Pelayanan Kesehatan Gigi di Kota Medan Tahun 2007
Tindakan dalam 1 tahun terakhir
N %
Melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan gigi dalam 1 thn terakhir
243
58,8
Melakukan perawatan kelainan susunan gigi 37
14,8
4.2.3. Gambaran maloklusi pada responden
Pada Tabel 4.7 dapat dilihat persentase maloklusi sebanyak 60,5%, tapi berdasarkan
yang membutuhkan perawatan adalah 23%. Selanjutnya untuk analisis hubungan variabel
maloklusi dengan seluruh variabel bebas lainnya peneliti menggunakan persentase
maloklusi yang membutuhkan perawatan sebanyak 23%.
Tabel 4.7. Distribusi Maloklusi pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Maloklusi n %
Normal 163 39,5 Ringan, tidak perlu perawatan 155 37,5 Ringan , perlu perawatan kasus tertentu 51 12,3 Berat memerlukan perawatan 35 8,5 Sangat berat, sangat memerlukan perawatan Total
9 413
2,2 100
Pada Tabel 4.8. dapat dilihat persentase ciri-ciri maloklusi yang terbanyak adalah
gigi berjejal untuk segmen anterior rahang bawah (41,89%) dan rahang atas (30,75%)
serta kehilangan gigi untuk segmen posterior rahang bawah (22,52%) dan rahang atas
(7,99%). Maloklusi terbanyak pada hubungan anteroposterior adalah kelainan jarak
gigit/overjet (35,59%) pada bagian anterior serta gigitan terbuka gigi caninus
(22,27).Kelainan dentofasial persentasenya tidak mencapai 1%.
4.2.4. Gambaran kualitas hidup responden
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas hidup remaja SMU di Kota
Medan yang di nilai dari 7 dimensi. Pada Tabel 4.9 dapat dilihat dari 413 responden,
dimensi keterbatasan fungsi keluhan terbanyak adalah makanan sangkut sebanyak 145
orang (35,1%), dimensi rasa sakit fisik keluhan terbanyak adalah sakit gigi sebanyak 266
orang (64,41%), dimensi ketidaknyamanan psikis keluhan terbanyak adalah sadar ada
masalah pada gigi sebanyak 171 orang (41,4%), dimensi ketidakmampuan fisik keluhan
terbanyak adalah takut tersenyum sebanyak 174 orang (42,13%), dimensi
ketidakmampuan psikis keluhan terbanyak adalah merasa malu sebanyak 180 orang
(43,58%), dimensi ketidakmampuan sosial keluhan terbanyak adalah mudah tersinggung
sebanyak 195 orang (47,22%), dan dimensi hambatan keluhan terbanyak adalah tidak
dapat belajar dengan baik sebanyak 86 orang (20,82%).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.8. Persentase Ciri–Ciri Maloklusi pada Remaja SMU di Kota Medan
Ciri–ciri maloklusi n % I. Kelainan gigi dalam satu rahang a. Rahang Atas Anterior
Gigi berjejal 127 30,75 Renggang terbuka 56 13,56 Gigi rotasi 20 4,84 Gigi dicabut 10 2,42 Renggang tertutup 2 0,48
b. Rahang Atas Posterior Gigi dicabut 33 7,99 Renggang terbuka 18 4,36 Gigi berjejal 15 3,63 Renggang tertutup 4 0,97 Gigi rotasi 3 0,72
c. Rahang Bawah anterior Gigi berjejal 173 41,89 Renggang terbuka 38 9,20 Gigi rotasi 8 5,59 Gigi dicabut 2 0,48 Renggang tertutup 1 0,24
d. Rahang Bawah Posterior Gigi dicabut 93 22,52 Gigi berjejal 88 21,31 Renggang tertutup 23 5,57 Renggang terbuka 13 3,14 Gigi rotasi 11
2,66
II. Kelainan Hubungan Gigi Dalam Keadaan Oklusi Segmen Anterior
Jarak gigit (overjet) 147 35,59 Gigitan terbuka (openbite) 53 12,83 Gigitan silang (crossbite) 52 12,59 Tumpang gigit (overbite) 30
7,26
II. Kelainan Hubungan Gigi Dalam Keadaan Oklusi Segmen Posterior
Gigitan terbuka gigi caninus 92 22,27 Gigitan terbuka gigi premolar 1 56 13,56 Gigitan terbuka gigi premolar 2 36 8,72 Gigitan silang gigi caninus 14 3,39 Gigitan silang gigi premolar 2 10 2,42 Gigitan terbuka gigi molar 1 10 2,42 Gigitan silang premolar 1 8 1,94 Gigitan silang gigi molar 1 0
0
III. Kelainan Dentofacial Gangguan fungsi rahang 3 0,72 Celah bibir dan celah mulut 1 0,24 Gangguan Oklusi 1 0,24 Bibir bawah terletak di palatal gigi insisivus bawah 0 0
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.9. Persentase Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Kualitas hidup
n %
I. Keterbatasan fungsi Makanan sangkut 145 35,1 Melihat ada yang salah pada gigi 123 29,8 Merasa wajah kurang menarik 110 26,6 Merasa nafas bau 74 17,9 Tidak mampu mngecap dengan baik 71 17,2 Sulit mengucapkan kata-kata 55 13,3 Pencernaan terganggu 52 12,6 Sulit menguyah 49 11,8 II. Rasa sakit fisik Sakit gigi 266 64,41 Sakit kepala 228 55,21 Tidak enak mengunyah 183 44,31 Sakit pada gusi 134 32,45 Sakit pada sendi rahang 84 20,34 III. Ketidaknyaman psikis Sadar ada masalah pada gigi 171 41,40 Merasa kuatir 168 40,68 Rendah diri 146 35,35 Ketegangan 118 28,57 IV. Ketidakmampuan fisik Takut tersenyum 174 42,13 Sulit menyikat gigi 168 40,68 Sulit berbicara 61 14,77 Kata-kata salah di mengerti orang lain 30 7,26 Tidak dapat merasakan enaknya makanan 28 6,78 V. Ketidakmampuan psikis Merasa malu 180 43,58 Merasa kesal 151 36,56 Merasa susah berkonsentrasi 102 24,70 Terganggu tidur 82 19,85 Merasa tidak santai 62 15,01 Merasa tertekan dan putus asa 19 4,60 VI. Ketidakmampuan sosial Mudah tersinggung 195 47,22 Cepat marah 203 49,15 Sulit melakukan pekerjaan sehari-hari 176 42,62 Sulit bergaul 173 41,89 Malas keluar rumah 69 16,71 VII. Hambatan Tidak dapat belajar dengan baik 86 20,82 Hidup terasa tidak enak 80 19,37 Tidak mampu beramah tamah 71 17,19 Orang tua membayar mahal 60 14,53 Kesehatan secara umum memburuk 18 4,36
4.3. Hubungan antara Variabel–Variabel Bebas dan Variabel Terikat
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam analisis bivariat di lakukan uji hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat dan hubungan variabel konfonder dengan variabel bebas dan variabel
terikat dengan uji Chi-Square. Suatu variabel di katakan mempunyai hubungan yang
bermakna jika nilai p yang di peroleh < 0,05.
4.3.1. Hubungan jenis kelamin dengan maloklusi
Pada tabel 4.10. dapat dilihat hasil analisis hubungan variabel jenis kelamin dengan
maloklusi menunjukkan bahwa dari 95 orang yang mengalami maloklusi persentase laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu sebanyak 26,6%. Namun secara statistik tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin responden dengan status
maloklusi pada responden (p = 0,079).
Tabel. 4.10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Status Maloklusi pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Maloklusi Tidak
Malokusi
Sosiodemografi
n % n %
Nilai p Rasio Preva lens
Selang Kepercayaan
95%
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
57 38 95
26,6 19,1 23
157 161 318
73,4 80,1 77,0
0,079
0,650
0,0408 – 1,036
4.3.2. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan kualitas hidup.
a. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan kualiatas hidup dimensi keterbatasan fungsi Pada Tabel 4.11. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi keterbatasan fungsi adalah pendidikan ibu (p=0,042), pekerjaan orang tua
(p = 0,015), keyakinan (p=0,001) dan status maloklusi (p=0,001).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.11. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Keterbatasan Fungsi pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun
2007
Dimensi Keterbatasan Fungsi
Sering mengalami
keterbatasan fungsi
Tidak sering mengalami
keterbatasan fungsi
Variabel
n % n %
Nilai p
Rasio Pre
valens
Selang Kepercaya
an 95%
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
26 30
13,1 14
173 184
86,9 86
0,886
0,992
0,524-1,621
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
14 42
22,6 12
48 309
77,4 88
0,042*
2,139
1,087-4,209
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
7 49
33,3 12,5
14 343
66,7 87,5
0,015*
3,5
1,346 - 9,09
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
12 44
18,5 12,6
53 304
81,5 87,4
0,235
1,564
0,775-3,156
Keyakinan Rendah Tinggi
20 36
27,8 10,6
52 305
72,2 89,4
0,001*
3,529
1,752-6,062
Tindakan Tidak pernah
perawatan Pernah perawatan
53 3
14,1 8,1
323 34
85,9 91,9
0,45
1,86
0,551-6,272
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
24 32
25,3 10,1
71 286
74,7 89,9
0,001*
3,021
1,675-5,448
b. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi rasa sakit fisik. Pada Tabel 4.12. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi rasa sakit fisik adalah keyakinan terhadap susunan gigi geliginya (p =
0,021) dan status maloklusi (p=0,017).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.12. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Rasa Sakit Fisik pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Dimensi Rasa Sakit Fisik
Sering mengalami rasa sakit
Tidak sering
mengalami rasa sakit
Variabel
n % n %
Nilai p
Rasio Preva lens
Selang Keperca-
yaan 95%
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
49 43
24,6 20,1
150 171
75,4 79,9
0,288
1,299
0,816-2,067
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
18 74
29 21,1
44 277
71 78,9
0,186
1,526
0,833-2,795
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
7 85
33,3 21,7
14 307
66,7 87,5
0,278
1,806
0,706-4,616
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
10 82
15,4 23,6
55 266
84,6 76,4
0,193
0,59
0,288-1,209
Keyakinan Rendah Tinggi
36 56
50 16,4
36 285
50 83,6
0,021*
2,528
1,204-5,307
Tindakan Tidak pernah
perawatan Pernah perawatan
87 5
23,1 13,5
289 32
76,9 86,5
0,217
1,927
0,729-5,095
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
30 62
31,6 19,5
65 256
68,4 80,5
0,017*
1,906
1,140-3,186
c. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidaknyamanan psikis. Pada Tabel 4.13. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi ketidaknyamanan psikis adalah jenis kelamin (p=0,039), pendidikan ibu
(p=0,015), pekerjaan orang tua (p=0,031), keyakinan terhadap susunan gigi geliginya (p
= 0,021 ) dan status maloklusi (p=0,013).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.13. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Ketidaknyamanan Psikis pada Remaja SMU di Kota Medan
Tahun 2007
Dimensi Ketidaknyamanan Psikis
Sering mengalami
ketidaknyamanan psikis
Tidak Sering mengalami
ketidaknyamanan psikis
Variabel
n % n %
Nilai p
Rasio Pre
valens
Selang Keperca-
yaan 95%
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
24 13
12,1 6,1
175 201
87,9 93,9
0,039*
2,120
1,048-4,29
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
11 26
17,7 7,4
51 324
82,3 92,6
0,015*
2,688
1,252-5,772
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
5
32
23,8 8,2
16 360
76,2 91,8
0,031*
3,516
1,209-10,22
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
11 26
16,9 7,5
54 322
83,1 92,5
0,129
2,253
1,178-5,403
Keyakinan Rendah Tinggi
12 25
16,7 7,3
60 316
83,3 92,7
0,021*
2,526
1,204-5,307
Tindakan Tidak pernah
perawatan Pernah perawatan
35 2
9,3 5,4
341 35
90,7 94,6
0,559
1,796
0,414-7,789
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
15 22
15,8 6,9
80 296
84,2 93,1
0,013*
2,523
1,252-5,086
d. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan fisik. Pada Tabel 4.14. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi rasa sakit fisik adalah pekerjaan orang tua (p=0,023), pengetahuan
(p=0,005), keyakinan terhadap susunan gigi geliginya (p = 0,001) dan status maloklusi
(nilai p=0,001).
Tabel 4.14. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Ketidakmampuan Fisik pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun
2007
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dimensi Ketidakmampuan Fisik
Sering mengalami
ketidakmampuan fisik
Tidak Sering mengalami
ketidakmampuan fisik
Variabel
n % n %
Nilai p
Rasio Pre
valens
Selang Keperca
yaan 95%
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
14 9
7 4,2
185 205
93 95,8
0,883
1,724
0,729-4,076
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
5
18
8,1 5,1
57 333
91,9 94,9
0,366
1,618
0,578-4,531
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
4
19
19 4,8
17 373
81
95,2
0,023*
4,619
1,416-15,07
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
9 14
13,8 4
56 334
86,2 96
0,005*
3,839
1,584-9,280
Keyakinan Rendah Tinggi
13 10
18,1 2,9
59 331
81,9 97,1
0,001*
7,293
3,056-17,40
Tindakan Tidak pernah
perawatan Pernah perawatan
22 1
5,9 2,7
354 36
94,1 97,3
0,709
2,237
0,293-17,09
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
13 10
13,7 3,1
82 308
86,3 96,9
0,001*
4,883
2,067-11,53
e. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan psikis Pada Tabel 4.15. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi ketidakmampuan psikis adalah jenis kelamin (p=0,027), pendidikan ibu
(p=0,001), pekerjaan orang tua (p=0,008), pengetahuan (p=0,004), keyakinan terhadap
susunan gigi geliginya (p= 0,001) dan status maloklusi (p=0,015).
Tabel 4.15. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Ketidakmampuan Psikis pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun
2007
Dimensi Ketidakmampuan Psikis
Variabel Sering mengalami
ketidakmampuan
Tidak Sering mengalami
ketidakmampuan
Nilai p
Rasio Pre
valens
Selang Keperca
yaan 95%
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
psikis psikis n % n %
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
25 13
12,6 6,1
174 201
87,4 93,9
0,027*
2,221
1,103-4,475
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
19 19
30,6 5,4
43 332
69,4 94,6
0,001*
7,698
3,781-15,67
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
6
32
28,6 8,2
15 360
71,4 91,8
0,008*
4,5
1,633-12,39
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
13 25
20 7,2
52 323
80 92,8
0,004*
3,23
1,554-6,712
Keyakinan Rendah Tinggi
16 22
22,2 6,5
56 319
77,8 93,5
0,001*
4,143
2,049-8,375
Tindakan Tidak pernah
perawatan Pernah perawatan
35 3
9,3 8,1
341 34
90,7 91,9
1,00
1,163
0,340-3,982
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
15 23
15,8 7,2
80 295
84,2 92,8
0,015*
2,405
2,067-11,53
f. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan sosial Pada Tabel 4.16. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi ketidakmampuan sosial adalah adalah jenis kelamin (p=0,039),
pendidikan ibu (p=0,007), dan status maloklusi (p=0,023).
Tabel 4.16. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Ketidakmampuan Sosial pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun
2007
Dimensi Ketidakmampuan Sosial
Sering mengalami
ketidakmampuan sosial
Tidak Sering mengalami
ketidakmampuan sosial
Variabel
n % n %
Nilai p Rasio Pre
valens
Selang kepercayaan
95%
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan
33
16,6
166
83,4
0,039*
1,928
1,066-3,488
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Laki-laki 20 9,3 194 90,7
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
15 38
24,2 10,8
47 312
75,8 89,2
0,007*
2,26
1,339-5,130
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
5 48
23,8 12,2
16 344
76,2 87,8
0,169
2,24
0,785-6,39
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
13 40
20 11,5
52 308
80 88,5
0,069
1,925
0,964-3,843
Keyakinan Rendah Tinggi
13 40
18,1 11,7
59 301
81,9 88,3
0,173
1,658
0,836-3,29
Tindakan Tidak pernah perawatan Pernah perawatan
48 5
12,8 13,5
328 32
87,2 86,5
0,801
0,937
0,348-2,521
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
19 34
20 10,7
76 284
80 89,3
0,023*
2,088
1,128-3,866
g. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi hambatan. Pada Tabel 4.17. dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan dengan kualitas
hidup dimensi hambatan adalah pendidikan ibu (p=0,099), pekerjaan orang tua
(p=0,014), pengetahuan responden (p=0,001) dan status maloklusi (p=0,001).
Tabel 4.17. Hubungan Sosiodemografi, Perilaku Kesehatan dan Status Maloklusi dengan Dimensi Hambatan pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Dimensi Hambatan Sering
mengalami hambatan
Tidak Sering mengalami hambatan
Variabel
n % n %
Nilai p
Rasio Pre
valens
Selang Keperca
yaan 95%
SosioDemografi Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
12 8
6 3,7
187 206
94 96,3
0,36
1,652
0,661-4,131
Pendidikan Ibu Rendah Tinggi
6
14
9,7 4
56 336
90,3 96
0,099*
2,571
0,949-6,971
Pekerjaan Orang Tua Rendah Tinggi
4
16
19 4,1
17 376
81
95,9
0,014*
5,529
1,668-18,333
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Perilaku Kesehatan Pengetahuan Rendah Tinggi
12 8
18,5 2,3
53 340
81,5 97,7
0,001*
9,623
3,758-24,64
Keyakinan Rendah Tinggi
5
15
6,9 4,4
67 336
17 83
0,365
1,622
0,57-4,615
Tindakan Tidak pernah perawatan Pernah perawatan
18 2
4,8 5,4
358 35
95,2 94,6
0,697
0,880
0,196-3,949
Status Maloklusi Maloklusi Tidak maloklusi
11 9
11,6 2,8
84 309
88,4 97,2
0,001*
4,496
1,804-11,20
4.4. Uji Dimensi Kualitas Hidup.
Uji dimensi kualitas hidup dilakukan analisis multivariat yang menggunakan regresi
logistik ganda. Variabel yang mempunyai nilai p< 0,25 dalam analisis bivariat dapat di
jadikan model pada analisis multivariat. Analisis dilakukan antara variabel bebas dan
variabel konfonder terhadap dimensi kualitas hidup. Selanjutnya di lakukan uji interaksi
antara variabel bebas dengan variabel konfonder dalam mempengaruhi variabel terikat.
Langkah berikutnya adalah dengan memeriksa indeks konfonder dalam persamaan akhir.
Tabel 4.18. Nilai p dan Rasio Prevalens Variabel Maloklusi, Sosiodemografi dan Perilaku Kesehatan Gigi terhadap Dimensi Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan
Tahun 2007
Variabel
Keter batasan Fungsi
Rasa Sakit
Ketidak Nyamanan
Keter batasan Fisik
Keter batasan Psikis
Keter batasan Sosial
Hambatan
Jenis Kelamin
p =0.777* RP=0.992
p =0.269* RP=1.299
p =0.032 RP=2.12
p =0.269 RP=1.724
p =0.028 RP=2.22
p =0.022 RP=1.928
p =0.277* RP=1.652
Pendidikan
p=0.090
RP=0.186
p=0.203 RP=0.015
p=0.052 RP=2.688
p=0.396* RP=1.618
p=0.003 RP=7.698
p=0.009 RP=2.260
p=0.087 RP=2.571
Pekerjaan
p=0.015 RP=3.500
p =0.232 RP=1.806
p =0.036 RP=3.516
p =0.025 RP=4.619
p =0.009 RP=4.500
p =0.158 RP=2.240
p =0.014 RP=2.571
Pengetahuan
p =0.235 RP=1.564
p =0.132 RP=0.590
p =0.024 RP=0.029
p =0.005 RP=3.839
p =0.003 RP=3.230
p =0.074 RP=1.925
p =0.001 RP=9.623
Keyakinan
p =0.001
RP=3.2593
p =0.001 RP=5.009
p =0.019 RP=7.293
p =0.001 RP=1.658
p=0.001 RP=4.143
p =0.161 RP=1.658
p =0.383* RP=1.6221
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tindakan
p =0.317 RP = 1,860
p =0.187 RP=1.925
p=0.434* RP=1.794
p =0.438 RP=2.237
p =0.810* RP=1.163
p =0.897 RP=0.937
p =0.867* RP=0.880
Maloklusi
p=0.001 RP=3.021
p =0.016 RP=1.906
p =0.012 RP=2.523
p =0.001 RP=4.883
p =0.017 RP=2.405
p =0.023 RP=2.088
p=0.001 RP=4.496
* variabel tidak masuk dalam model multivariat
4.4.1. Uji dimensi keterbatasan fungsi
Pada Tabel 4.19 variabel yang masuk kedalam model multivariat adalah
pendidikan, pekerjaan , pengetahuan, keyakinan dan maloklusi.
Tabel 4.19. Persamaan Regresi Logistik Ganda Variabel Sosiodemografi, Perilaku, Kejadian Maloklusi terhadap Dimensi Keterbatasan Fungsi pada Remaja SMU di
Kota Medan Tahun 2007
No Variabel
Rasio prevalens
Selang kepercayaan 95%
Nilai p
1 Pendidikan ibu 1,770 0,864 -3,624 0,118 2 Pekerjaan orang tua 2,251 0,811 – 6,247 0,119 3 Pengetahuan 1,357 0,633 -2,912 0,433 4 Keyakinan 2,841 1,487 -5,427 0,002 5 Maloklusi 2,267 1,202 -4,276 0,011
Pemeriksaan adanya interaksi antara variabel diatas dilakukan uji interaksi pada
variabel-variabel yang diduga mempunyai interaksi yaitu maloklusi dengan pengetahuan
dan maloklusi dengan keyakinan. Selanjutnya variabel interaksi dengan nilai p yang
paling tinggi secara berturut dikeluarkan dari persamaan regresi logistik ganda uji
interaksi.
Tabel 4.20. Uji Interaksi Maloklusi terhadap Dimensi Keterbatasan Fungsi pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Hasil uji interaksi, hanya dengan variabel keyakinan yang mempunyai efek
interaksi pada p<0,05. Pada persamaan akhir regresi logistik ganda, variabel yang masuk
dalam persamaan regresi logistik ganda adalah variabel maloklusi dan keyakinan. Setelah
dilakukan pemeriksaan indeks konfonder ternyata perbedaan rasio prevalens maloklusi
tanpa variabel keyakinan dan rasio prevalens maloklusi dengan variabel keyakinan adalah
24,41% . Berarti keyakinan merupakan konfonder dalam hubungan maloklusi dengan
keterbatasan fungsi.
Dari persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi
keterbatasan fungsi dapat dibuktikan bahwa kelompok yang mengalami maloklusi
mempunyai resiko lebih sering mengalami keterbatasan fungsi sebanyak 2,3 kali
dibandingkan dengan yang tidak maloklusi setelah dikontrol variabel keyakinan (Tabel
4.21).
Tabel 4.21. Persamaan Akhir Regresi Logistik Ganda Maloklusi terhadap Dimensi Keterbatasan Fungsi pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No. Variabel
Rasio
Prevalens Selang
kepercayaan 95%
Nilai p
1. Keyakinan 2,743 1,438 – 5,229 0,002 2. Maloklusi 2,337 1,257 – 4,346 0,007
4.4.2. Uji multivariat dimensi rasa sakit fisik
Pada Tabel 4.18 di atas terlihat variabel yang masuk dalam model multivariat
adalah, keyakinan, tindakan dan maloklusi.
No Interaksi
Nilai p
1 Maloklusi dengan Pengetahuan 0,995 2 Maloklusi dengan Keyakinan 0,033
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.22. Nilai p dan Rasio Prevalens Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Variabel Sosiodemografi, Perilaku, Kejadian Maloklusi terhadap Rasa Sakit Fisik
pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Pemeriksaan adanya interaksi antara variabel-variabel diatas dilakukan uji interaksi
pada variabel-variabel yang diduga mempunyai interaksi yaitu maloklusi dengan
pengetahuan dan maloklusi dengan keyakinan. Selanjutnya variabel interaksi dengan nilai
p yang paling tinggi secara berturut dikeluarkan dari persamaan regresi logistik ganda uji
interaksi.
Tabel 4.23 Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Perilaku terhadap Dimensi Rasa Sakit Fisik pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No Interaksi
Nilai p
1 Maloklusi dengan pengetahuan 0,007 2 Maloklusi dengan keyakinan 0,001 3 Maloklusi dengan tindakan 0,168
Pada uji interaksi variabel pengetahuan dan keyakinan yang mempunyai efek
interaksi pada p<0,05. Pada persamaan akhir regresi logistik ganda, variabel yang masuk
dalam persamaan regresi logistik ganda adalah variabel maloklusi dan keyakinan.
Setelah dilakukan pemeriksaan indeks konfonder, ternyata tidak ada yang menjadi
konfonder bagi hubungan maloklusi dengan rasa sakit fisik.
No Variabel
Rasio Prevalens
Selang kepercayaan 95%
Nilai p
1 Pendidikan ibu 1,341 0,704 – 2,553 0,372 2 Pekerjaan orang tua 1,591 0,561 – 4,509 0,383 3 Pengetahuan 0,518 0,238 – 1,128 0,098 4 Keyakinan 4,693 2,688 – 8,191 0,001 5 Tindakan 1,947 0,696 – 5,446 0,204 6 Maloklusi 1.444 0,818 – 2,548 0,205
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dari persamaan akhir regresi logistik ganda maloklusi terhadap dimensi rasa sakit
fisik dapat dibuktikan terdapat hubungan yang bermakna (p=0,014 pada selang
kepercayaan 95% berkisar 1,140-3,186) dan kelompok yang mengalami maloklusi
mempunyai resiko lebih sering mengalami rasa sakit fisik sebanyak 1,9 kali dibandingkan
dengan yang tidak maloklusi.
4.4.3. Uji multivariat dimensi ketidaknyamanan psikis
Pada Tabel 4.18 di atas terlihat variabel yang masuk dalam model multivariat
adalah jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, keyakinan, dan maloklusi.
Tabel 4.24. Nilai p dan Rasio Prevalens Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Variabel Sosiodemografi, Perilaku, kejadian maloklusi terhadap Ketidaknyamanan
Psikis pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No
Variabel Rasio Prevalens
Selang kepercayaan 95 %
Nilai p
1 Jenis kelamin 2,139 1,024 – 4,468 0,043 2 Pendidikan 2,240 0,996 – 5,036 0,051 3 Pekerjaan 1,950 0,610 – 6,233 0,260 4 Pengetahuan 2,184 0,963 – 4,954 0,062 5 Keyakinan 2,067 0,926 – 4,616 0,076 6 Maloklusi 1,895 0,871 – 4,122 0,107
Dari lima variabel konfonder yang masuk menjadi model multivariat ternyata tidak
satupun yang berinteraksi dengan kejadian maloklusi dalam hubungannya dengan
dimensi ketidaknyaman psikis.
Setelah di lakukan pemeriksaan indeks konfonder ternyata perbedaan rasio
prevalens maloklusi tanpa variabel keyakinan dan rasio prevalens maloklusi dengan
variabel keyakinan adalah 13,9%. Berarti keyakinan merupakan konfonder dalam
hubungan maloklusi dengan ketidaknyamanan psikis.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Pada persamaan akhir regresi logistik ganda menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kejadian maloklusi dengan ketidaknyamanan psikis. Remaja dengan maloklusi
berpeluang 2,195 kali mengalami ketidaknyamanan di bandingkan dengan remaja tanpa
maloklusi setelah dikontrol variabel keyakinan (Tabel 4.25).
Tabel 4.25. Persamaan Akhir Regresi Logistik Ganda Maloklusi Terhadap Dimensi Ketidaknyamanan Psikis pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No. Variabel Rasio
Prevalens Selang
kepercayaan 95%
Nilai p
1. Keyakinan 2,134 0,994 – 4,584 0,052 2. Maloklusi 2,195 1,067 – 4,516 0,033
4.4.4. Uji multivariat dimensi ketidakmampuan fisik
Pada Tabel 4.18 terlihat variabel yang masuk dalm model multivariat adalah
pekerjaan, pengetahuan, keyakinan, dan maloklusi.
Tabel 4.26. Nilai p dan Rasio Prevalens Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Variabel Sosiodemografi, Perilaku, Maloklusi terhadap Ketidakmampuan
Fisik pada Remaja SMU di Kota Medan tahun 2007
No Variabel Rasio prevalens Selang kepercayaan 95% Nilai p 1 Pekerjaan 2,644 0,673 – 10,392 0,164 2 Pengetahuan 3,415 1,222 – 9,547 0,019 3 Keyakinan 6,762 2,561 – 17,857 0,001 4 Maloklusi 2,278 0,859 – 6,043 0,089
Dari variabel konfonder yang masuk menjadi model multivariat ternyata variabel
keyakinan (p=0,001) yang berinteraksi dengan kejadian maloklusi dalam hubungannya
dengan dimensi ketidakmampuan fisik
Tabel 4.27. Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Sosiodemografi dan Perilaku terhadap Dimensi Ketidakmampuan Fisik pada Remaja SMU di Kota
Medan tahun 2007
No Interaksi Nilai p
1 Maloklusi dengan Pekerjaan 0,237
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
2 Maloklusi dengan Pengetahuan 0,306 3 Maloklusi dengan Keyakinan 0,001
Setelah di lakukan pemeriksaan indeks konfonder ternyata nilai perbedaan rasio
prevalen maloklusi tanpa variabel keyakinan dan rasio prevalen maloklusi dengan
variabel keyakinan tidak melebihi 10%. Berarti tidak ada yang menjadi konfonder dalam
hubungan maloklusi dengan ketidakmampuan fisik.
Pada persamaan akhir regresi logistik ganda menunjukkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara kejadian maloklusi dengan ketidakmampuan fisik (p=0,001 pada
selang kepercayaan 95% berkisar 1,852-10,526). Remaja dengan maloklusi berpeluang
4,4 kali mengalami ketidakmampuan fisik dibandingan dengan remaja tanpa maloklusi.
4.4.5. Uji multivariat dimensi ketidakmampuan psikis
Pada tabel 4.18 terlihat variabel yang masuk dalam model multivariat adalah jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan , pengetahuan, keyakinan dan maloklusi.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.28. Nilai p dan Rasio Prevalens Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Variabel Sosiodemografi, Perilaku, Kejadian Maloklusi terhadap Ketidakmampuan
Psikis pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No Variabel
Rasio prevalens
Selang kepercayaan 95 %
Nilai p
1 Jenis Kelamin 2,173 0,996 _ 4,742 0,051 2 Pendidikan ibu 7,788 3,537 –17,146 0,001 3 Pekerjaan orang tua 2,150 0,682 – 6,783 0,191 4 Pengetahuan 3,590 1,503 – 8,576 0,004 5 Keyakinan 4,285 1,879 – 9,770 0,001 6 Maloklusi 1,443 0,632 – 3,296 0,001
Dari variabel konfonder yang masuk menjadi model multivariat ternyata variabel-
variabel yang berinteraksi dengan kejadian maloklusi yaitu pendidikan ibu, pekerjaan
orang tua dan keyakinan dalam hubungannya dengan dimensi ketidakmampuan psikis
(Tabel 4.29).
Tabel 4.29. Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Sosidemografi dan Perilaku terhadap Dimensi Ketidakmampuan Psikis pada Remaja SMU di Kota
Medan tahun 2007
No Variabel
Rasio pre
Valens
Selang kepercayaan 95%
Nilai p
1 Maloklusi dengan Jenis kelamin 1,477 0,933 – 2,338 0,096 2 Maloklusi dengan Pendidikan ibu 2,825 1,788 – 4,464 0,001 3 Maloklusi dengan Pekerjaan orang tua 0,292 0,131 – 0,650 0,003 4 Maloklusi dengan Pengetahuan 1,324 0,763 – 2,296 0,318 5 Maloklusi dengan Keyakinan 1,610 1,000 – 2,592 0,050
Setelah di lakukan pemeriksaan indeks konfonder ternyata pengetahuan dan
keyakinan yang menjadi konfonder dalam hubungan maloklusi dengan ketidakmampuan
psikis. Pada persamaan akhir regresi logistik ganda menunjukkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara kejadian maloklusi dengan keterbatasan fisik. (Tabel 4.30).
Tabel 4.30. Persamaan Akhir Regresi Logistik Ganda Maloklusi terhadap Dimensi Ketidakmampuan Psikis pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
No. Variabel
Rasio prevalens
Selang kepercayaan 95%
Nilai p
1. Pengetahuan 3.505 1.592 – 7.715 0.002 2. Keyakinan 4.249 1.989 – 9.079 0.001 3. Maloklusi 1.515 0.706 – 3.251 0.286
4.4.6. Uji multivariat dimensi ketidakmampuan sosial
Pada tabel 4.18 terlihat variabel yang masuk dalam model multivariat adalah jenis
kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan orang tua, pengetahuan, keyakinan, tindakan dan
maloklusi.
Tabel 4.31. Nilai p dan Rasio Prevalens Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda antara Variabel Sosiodemografi, Perilaku, Kejadian Maloklusi terhadap Ketidakmampuan Sosial pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No Variabel Rasio
prevalens
Selang kepercayaan 95%
Nilai p
1 Jenis kelamin 2.059 1110 – 3.819 0.022 2 Pendidikan ibu 2.305 1.140 – 4.661 0.020 3 Pekerjaan orang tua 1.245 0.399 - 3.885 0.706 4 Pengetahuan 1.684 0.810 – 3.502 0.163 5 Keyakinan 1.315 0.630 – 2.744 0.466 6 Maloklusi 1.790 0.911 – 3.518 0.091
Dari variabel konfonder yang masuk menjadi model multivariat ternyata variabel-
variabel yang berinteraksi dengan kejadian maloklusi yaitu jenis kelamin (p=0,031) dan
pendidikan ibu (p=0,029) dalam hubungannya dengan dimensi ketidakmampuan sosial
(Tabel 4.32).
Tabel 4.32. Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Sosidemografi dan Perilaku terhadap Dimensi Ketidakmampuan Sosial pada Remaja SMU di Kota
Medan Tahun 2007
No Interaksi
Nilai p
1 Maloklusi dengan jenis kelamin 0.031 2 Maloklusi dengan pendidikan 0.029
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
3 Maloklusi dengan pekerjaan 0.181 4 Maloklusi dengan pengetahuan 0.877 5 Maloklusi dengan keyakinan 0.666
Setelah di lakukan pemeriksaan indeks konfonder ternyata tidak satupun variabel
yang masuk menjadi model memenuhi syarat di sebut sebagai konfonder, dalam
hubungan antara maloklusi dengan ketidakmampuan sosial.
Pada persamaan akhir regresi logistik ganda menunjukkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antar variabel maloklusi dengan keterbatasan sosial(p = 0,019 pada
selang kepercayaan 95% berkisar 1,128-3,866). Pada remaja dengan maloklusi
berpeluang mengalami keterbatasan sosial 2,088 kali dibandingkan dengan remaja tanpa
maloklusi.
4.4.7. Uji multivariat dimensi hambatan
Pada tabel 4.18 terlihat variabel yang masuk dalam model multivariat adalah
pendidikan, pekerjaan , pengetahuan dan maloklusi.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.33. Nilai p dan Rasio Prevalens Analisis Multivariat Regresi Logistic Ganda antara Variabel Sosiodemografi, Perilaku, Kejadian Maloklusi terhadap Hambatan
pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No Variabel Rasio prevalens
Selang kepercayaan 95%
Nilai p
1 Pendidikan ibu 2,068 0,683 – 6,262 0,199 2 Pekerjaan orang tua 2,203 0,560 – 8,668 0,258 3 Pengetahuan 7,952 2,991 – 21,140 0,001 4 Maloklusi 3,025 1,129 – 8,104 0,028
Dari variabel konfonder yang masuk menjadi model multivariat ternyata tidak ada
variabel yang berinteraksi dengan maloklusi karena semua p value di atas 0,05. (Tabel
4.34).
Tabel 4.34. Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Sosidemografi dan Perilaku terhadap Dimensi Hambatan pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun
2007 No Interaksi p value
1 Maloklusi dengan Pendidikan 0,560 2 Maloklusi dengan Pekerjaan 0,627 3 Maloklusi dengan Pengetahuan 0,684
Setelah dilakukan pemeriksaan indeks konfonder ternyata variabel pengetahuan
digolongkan sebagai variabel konfonder dalam hubungan antara maloklusi dengan
dimensi hambatan.
Pada persamaan akhir menunjukkan bahwa kejadian maloklusi berhubungan
dengan dimensi hambatan setelah di kontrol variabel pengetahuan. Remaja dengan
maloklusi berpeluang mengalami hambatan sebesar 1,27 kali dibandingan dengan remaja
tanpa maloklusi (Tabel 4.35).
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.35. Persamaan Akhir Regresi Logistik Ganda Maloklusi terhadap Dimensi Hambatan pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No. Variabel Rasio
prevalen Selang
kepercayaan 95% Nilai p
1. Pengetahuan 8,264 3,167 – 21,565 0,001
2. Maloklusi 3,585 1,371 – 9,271 0,009 4.5. Uji Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan gabungan dari ketujuh dimensi kualitas hidup.
Penggabungan ini berdasarkan uji statistik bivariat bahwa ketujuh dimensi kualitas hidup
berhubungan dengan maloklusi.
Tabel 4.36. Nilai p dan Rasio Prevalens Variabel Maloklusi terhadap Ketujuh Dimensi Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
Ketujuh dimensi tersebut di gabung menjadi satu yaitu kualitas hidup. Untuk
mengetahui variabel mana yang masuk ke dalam persamaan regresi logistik ganda
dilakukan pemilihan model. Variabel yang nilai p<0,25 dapat di jadikan model. Setelah
dilakukan pemilihan model dengan mengeluarkan variabel yang tidak layak menjadi
model satu persatu mulai dari yang terbesar, diketahui bahwa variabel jenis kelamin,
pekerjaan orang tua, tindakan responden, dan pendidikan tidak dapat masuk menjadi
model karena nilai p >0,25.
Variabel
Keterba tasan fungsi
Rasa sakit fisik
Ketidak nyamanan
psikis
Ketidak mampuan
fisik
Ketidak mampua
psikis
Ketidak mampuan
sosial
Hambatan
Maloklusi
p =0,001 RP=3,021
p=0,017 RP=1,906
p=0,013 RP=2,533
p=0,001 RP=4,883
p=0,015 RP=2,405
p=0,023 RP=2,088
p=0,001 RP=4,496
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.37. Uji Interaksi Variabel Maloklusi dengan Variabel Kualitas Hidup yang Masuk kedalam Model
No Variabel Rasio
prevalensSelang
kepercayaan 95%
Nilai p
1. Pengetahuan dengan keyakinan 1,034 0,466 – 2,285 0,933 2. Pengetahuan dengan maloklusi 4,205 0,834 – 5,563 0,002 3. Keyakinan dengan maloklusi 2,154 0,834 – 5,563 0,113
Uji interaksi di lakukan secara bertahap. Variabel yang mempunyai nilai p>0,05 di
keluarkan dari model interaksi. Pada hasil akhir interaksi diketahui variabel pengetahuan
berinteraksi dengan maloklusi dalam hubungannya dengan kualitas hidup
Tabel 4.38. Pemeriksaan Variabel Konfonder Hubungan Maloklusi dengan Dimensi Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No Variabel Perbandingan rasio
prevalens (%) 1 Keyakinan 28,10 2 Pengetahuan 18,30
Dari seluruh variabel hanya keyakinan dan pengetahuan yang layak digolongkan
sebagai variabel konfonder dalam hubungan antara maloklusi dengan dimensi kualitas
hidup, karena mempunyai perbandingan rasio prevalens > 10%.
Tabel 4.39. Persamaan Akhir Regresi Logistik Ganda Maloklusi terhadap Dimensi Kualitas
Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007
No. Variabel Rasio Prevalen
CI 95% P Value
Maloklusi 3,227 3,061 – 20,425 0,003 Pada persamaan akhir terbukti bahwa kejadian maloklusi berhubungan dengan
dimensi kualitas hidup pada nilai p = 0,003 dan rasio prevalens 3,227 (CI 95% = 3,061–
20,425). Responden dengan malokusi berpeluang sering mengalami gangguan kualitas
hidup sebesar 3,2 kali dibandingkan dengan responden tanpa maloklusi.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Bab 5
PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Sosiodemografi
Gambaran sosiodemografi remaja SMU dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin,
pendidikan terakhir ibu dan pekerjaan orang tua. Berdasarkan jenis kelamin lebih banyak
laki-laki dari pada perempuan, tapi persentasenya tidak terlalu berbeda yaitu 51,8% dan
48,2%. Berdasarkan pendidikan terakhir ibu, hampir separuh pendidikan ibu yang tamat
SMU yang mendominasi pada penelitian ini yaitu 48,4% dan seiring dengan pekerjaan
orang tua juga didominasi oleh pekerjaan berdasarkan klasifikasi tingkat dua yaitu
pekerjaan yang membutuhkan pendidikan menengah seperti guru, perawat, pegawai
negeri golongan 2, polisi dan lain sejenisnya.
5.2. Gambaran Maloklusi
Gambaran maloklusi pada remaja dapat dilihat dari prevalensi maloklusi remaja
SMU di Kota Medan yaitu 60,5%. Dibandingkan dengan data United States Public
Health Service (USPHS) yaitu 89% (Dewanto,1993), prevalensi maloklusi pada remaja
di Kota Medan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena berbedanya indeks
maloklusi yang dipakai, tetapi berdasarkan tingkat keparahan dan kebutuhan akan
perawatan, hasilnya hampir sama. Dari data USPHS maloklusi berat yang butuh
perawatan adalah 29% dan menurut hasil penelitian Mon-Mon Tin (2006) adalah 23,1%
sedangkan pada remaja Kota Medan kebutuhan akan perawatan adalah 23%,.
Berdasarkan kebutuhan akan perawatan inilah peneliti menganalisis hubungan maloklusi
dengan kualitas hidup.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, terdapat perbedaan angka
prevalensi maloklusi, hal ini disebabkan karena metode penentuan maloklusi yang
berbeda, perbedaan penentuan kriteria sampel dan perbedaan daerah penelitian. Metode
penentuan maloklusi yang berbeda misalnya seperti penelitian prevalensi orang Israil
berumur 13-15 tahun di Nazareth oleh Steigman (1983) menyatakan bahwa prevalensi
maloklusi didaerah tersebut sebesar 90% dan menurut klasifikasi Angle 96,5% pada
waktu dan sampel yang sama. Jadi ini berarti bahwa hasil penelitian prevalensi dengan
memakai indeks HMA lebih kecil daripada indeks Angle, karena batasan normal bagi
indeks HMA berkisar antara skor 0-4. Perbedaan daerah penelitian juga memberikan
hasil yang berbeda seperti penelitian yang dilakukan Hamilah (1991) di daerah Condet,
Jakarta Timur yaitu suatu penelitian di daerah cagar budaya khas Betawi tentu akan
berbeda dengan hasil penelitian dilakukan disuatu daerah yang banyak terjadi
pencampuran antar suku bangsa misalnya daerah perkotaan. Namun jika dibandingkan
dengan beberapa hasil penelitian lainnya yang menggunakan indeks pengukuran yang
sama, maka hasil penelitian ini menunjukan persamaan yaitu prevalensi maloklusi masih
tetap tinggi yaitu lebih dari 60%. Hal ini akan dapat dilihat pada Tabel 5.1. dibawah ini.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 5.1. Prevalensi Maloklusi dari Beberapa Peneliti
No
Nama peneliti Jml sampel
Lokasi Umur % normal
% maloklusi
1. Steigman (1983) 783 Nazareth,Israel 13-15 10 90 2. Hamilah (1991) 269 Condet,Jakarta 11-12 10,41 89,59 3. Dewanto (1986) 639 Lombok 10-15 29,73 70,27 4. Gan-Gan (1997) 380 Bandung 12-15 9,21 90,79 Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa selama 14 tahun prevalensi maloklusi masih
saja tetap tinggi. Hasil prevalensi maloklusi pada penelitian sebelumnya lebih tinggi dari
hasil penelitian ini karena usia sampel yang diteliti berkisar dari 10 sampai 15 tahun,
pada masa itu adalah masa gigi bercampur dimana gigi susu dan gigi tetap bersamaan
berada dirongga mulut sehingga kasus berjejal (crowdeed) pada gigi anterior sangat
banyak terjadi yaitu lebih dari 50% (Dewanto,1993). Pada penelitian yang dilakukan
pada remaja usia 15 sampai 18 tahun yang keadaan rongga mulutnya sudah tumbuh
semua gigi tetap kecuali molar 3, kemungkinan crowdeednya sudah berkurang, walaupun
diantara semua ciri-ciri maloklusi kasus gigi berjejal masih tetap yang terbanyak. Hal ini
dapat dilihat pada persentase ciri-ciri maloklusi (Tabel 4.8). Kasus gigi bejejal anterior
rahang atas 30,75% dan anterior rahang bawah 41,89%. Untuk kelainan hubungan gigi
dalam keadaan oklusi, jarak gigit (overjet) mempunyai persentase tertinggi yaitu 35,59,
sesuai dengan hasil penelitian Hong (2001) yang menyatakan selama 25 tahun perubahan
terhadap keadaan maloklusi terjadi penambahan kasus gigi berjejal pada gigi anterior dan
jarak gigit pada saat gigi berkontak.
5.3. Gambaran Perilaku Kesehatan
Gambaran perilaku kesehatan remaja SMU Kota Medan dapat dilihat berdasarkan
pengetahuan tentang maloklusi, sikap, dan tindakan ke pelayanan kesehatan gigi.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan pengetahuan tentang maloklusi, lebih dari separuh remaja SMU sudah
mengetahui apa itu kelainan susunan gigi-geligi (maloklusi), tetapi hanya sepertiga yang
mengetahui tentang perawatan maloklusi. Namun berdasarkan tingkat pengetahuan
secara keseluruhan pengetahuan remaja SMU Kota Medan tentang maloklusi
dikategorikan baik sebanyak 84,3%. Terdapat perbedaan dengan penelitian Gan-Gan
(1997) yang mempunyai pengetahuan baik sebesar 56%. Hal ini mungkin disebabkan
bahwa remaja yang diteliti oleh peneliti sebelumnya adalah remaja SMP yang
mempunyai pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan remaja SMU dan karena
makin maraknya informasi yang berasal dari media, orang tua dan percakapan dengan
teman–teman sebaya.
Berdasarkan sikap remaja SMU Kota Medan, dari pertanyaan-pertanyaan sikap
tentang keyakinan lebih dari 60% remaja mempunyai keyakinan bahwa maloklusi dapat
dicegah, dirawat bahkan dapat juga mengganggu pergaulan sehari-hari. Dan secara
keseluruhan 82,6% remaja mempunyai sikap yang positif terhadap pencegahan dan
perawatan maloklusi. Tetapi sikap yang baik tidak didukung oleh tindakan, remaja SMU
Kota Medan yang melakukan perawatan maloklusi sebanyak 14,8%. Hal ini berbeda
dengan teori ”reason action” (Fisbern 1967 cit Rosdewati 2004) bahwa perilaku
ditentukan oleh niat, dimana niat dipengaruhi oleh keyakinan seseorang yang merupakan
motivasi untuk melakukan suatu tindakan. Secara umum gambaran masyarakat terhadap
kesehatan gigi dan mulut kurang menjadi prioritas, karena masalah gigi dan mulut
dianggap bukanlah penyakit yang menimbulkan kematian. Alasan diatas mungkin
menjadi alasan pada remaja SMU Kota Medan , walaupun pengetahuan dan sikap tentang
maloklusi sudah baik tapi tidak memicu untuk melakukan perawatan terhadap maloklusi,
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
hal ini sesuai dengan penelitian Rosdewati (2004) yang menyatakan motivasi siswa
terhadap tindakan perawatan kesehatan gigi dan mulut masih rendah , diketahui dari hasil
Performance Treatment Index (PTI) cukup rendah yaitu 13,3% disebabkan karena sikap
dan tindakan petugas kesehatan gigi di puskesmas yang cenderung hanya melakukan
pencabutan dari pada memberikan usaha preventiv maupun promotiv dengan alasan
bahwa pelayanannya tidak dapat dilakukan karena belum ada prosedur tetapnya,
minimnya sarana dan sumber daya yang kurang memadai.
5.4. Gambaran Kualitas Hidup
Laporan SKRT 2004 menyatakan secara umum diantara penyakit yang
dikeluhkan/tidak dikeluhkan penduduk di Indonesia, prevalensi penyakit gigi dan mulut
adalah yang tertinggi, meliputi 60% penduduk dan maloklusi berada pada urutan kedua
setelah karies. Keadaan ini diikuti dengan adanya keluhan–keluhan sehubungan dengan
kesehatan gigi. Pada penelitian ini dijumpai keluhan tertinggi dari tujuh dimensi kualitas
hidup yang sering dirasakan oleh responden yaitu rasa sakit pada gigi (64,41%), mudah
tersinggung (47,22%), merasa malu (43,58%), takut tersenyum (42,13%), sadar ada
masalah pada gigi (41,40%), tidak mampu mengecap dengan baik (35,1%) dan tidak
dapat belajar dengan baik (20,82%). Dilihat dari persentase keluhan-keluhan yang sering
dirasakan, sebagian besar yang dikeluhkan adalah masalah estetis, hal ini didukung oleh
penelitian Mandall dkk (1999) pada remaja umur 14–15 tahun yang malu untuk
tersenyum dan selalu berusaha untuk menutup mulutnya karena masalah maloklusi.
5.5. Hubungan sosiodemografi dengan dimensi kualitas hidup.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Hubungan sosiodemografi dengan kualitas hidup dapat dilihat dari jenis kelamin,
pendidikan ibu dan pekerjaan orang tua dengan dimensi kualitas hidup. Berdasarkan
hubungan jenis kelamin dengan dimensi kualitas hidup ternyata ada hubungan bermakna
antara jenis kelamin pada α<0,05 dengan ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan
psikis dan ketidak mampuan sosial. Remaja perempuan akan lebih sering mengeluh
dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan ini mungkin disebabkan remaja perempuan
lebih sensitif terhadap perubahan dalam hidupnya dan lebih mempunyai perhatian
terhadap masalah yang menyangkut estetis. Hal ini didukung oleh penelitian Onyeaso,
dkk (2005) yang melaporkan bahwa wanita lebih banyak melakukan perawatan keadaan
maloklusinya dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman dengan bentuk
wajahnya.
Berdasarkan hubungan pendidikan ibu dengan kualitas hidup ternyata hanya dengan
keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidak
mampuan sosial yang menunjukan ada hubungan. Hal ini mungkin disebabkan karena
semakin rendah pendidikan ibu maka anak remajanya akan lebih merasakan gangguan
dari segi psikis dan sosial, sebaliknya mereka lebih toleran terhadap adanya rasa sakit
yang dialaminya.
Berdasarkan hubungan pekerjaan orang tua dengan kualitas hidup, ternyata
menunjukan hubungan dengan keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ke
tidakmampuan psikis dan hambatan. Hal ini mungkin disebabkan karena
pengklasifikasian pekerjaan orang tua berdasarkan tingkat pendidikan dan seiring dengan
pendapatan, ternyata semakin tinggi tingkat pekerjaan orang tua maka keluhan terhadap
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
dimensi kualitas hidup semakin berkurang karena secara tidak langsung tingkat sosialnya
akan semakin tinggi.
5.6. Hubungan Perilaku Kesehatan dengan Kualitas Hidup
Berdasarkan hubungan pengetahuan dengan kualitas hidup, ternyata terdapat
hubungan dengan ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis dan hambatan. Hal ini
mungkin disebabkan karena pengetahuan yang rendah akan mengalami keluhan kualitas
hidup lebih sering dibandingkan dengan pengetahuan yang tinggi. Hal ini didukung oleh
pernyataan Gilbert (1996) bahwa pada kelompok yang mempunyai pengetahuan yang
lebih rendah lebih banyak mengeluh mengenai masalah gigi dan mulut dibandingkan
dengan kelompok pengetahuan lebih tinggi.
Berdasarkan hubungan sikap yaitu berupa keyakinan remaja SMU dengan kualitas
hidup menunjukan ada hubungan antara sikap dengan dimensi keterbatasan fungsi, rasa
sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik dan ketidakmampuan psikis.
Hal ini mungkin disebabkan karena remaja yang mempunyai keyakinan yang rendah
terhadap perawatan maloklusinya akan lebih sering mengalami keluhan kualitas hidup.
Hasil ini didukung oleh hasil prevalensi keluhan terbanyak pada tiap-tiap dimensi,
dimana remaja yang tidak mempunyai keyakinan yang baik terhadap pencegahan dan
perawatan maloklusinya akan mengeluh ada sesuatu yang salah pada giginya, sakit
kepala, merasa kuatir, takut tersenyum dan merasa malu terhadap keadaan dirinya.
Berdasarkan hubungan tindakan remaja SMU melakukan perawatan ke tempat
pelayanan kesehatan gigi dengan kualitas hidup menunjukan tidak ada hubungan antara
tindakan dengan gangguan kualitas hidup. Hal ini terbukti bahwa remaja yang sudah
melakukan perawatan maloklusi tidak akan mengeluh adanya gangguan kualitas hidup
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
karena keadaan kelainan susunan giginya sudah teratasi dan menimbulkan kepercayaan
diri.
5.7. Hubungan maloklusi dengan dimensi kualitas hidup
Uji dimensi hubungan maloklusi dengan dimensi keterbatasan fungsi menunjukan
adanya hubungan bermakna pada α<0,05 dengan adanya konfonder keyakinan. Ini berarti
bahwa kelompok remaja SMU Kota Medan yang mengalami maloklusi mempunyai
resiko 2,337 kali lebih sering mengalami gangguan keterbatasan fungsi dibandingkan
dengan kelompok tanpa maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup
pada penelitian ini. Dari delapan jenis keterbatasan fungsi yang paling banyak dikeluhkan
adalah makanan sangkut, merasa ada yang salah pada gigi dan merasa wajah kurang
menarik
Pada uji dimensi rasa sakit, menunjukan hubungan bermakna pada α<0,05 antara
maloklusi dengan dimensi rasa sakit tanpa adanya konfonder. Pada uji statistik regresi
logistik ganda dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mem-punyai resiko
1,9 kali lebih sering mengalami gangguan rasa sakit dibandingkan dengan kelompok
yang tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup pada
penelitian ini. Dari lima jenis keterbatasan fungsi yang paling banyak dikeluhkan adalah
sakit gigi, tidak enak mengunyah dan sakit kepala.
Pada uji dimensi ketidaknyamanan psikis menunjukan hubungan antara maloklusi
dan keyakinan yang merupakan sikap sebagai konfonder dengan dimensi
ketidaknyamanan psikis. Pada uji statistik regresi logistik ganda dapat dilihat kelompok
remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 2,195 kali lebih sering mengalami
gangguan ketidaknyamanan psikis dibandingkan dengan kelompok yang tidak maloklusi
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
setelah dikontrol variabel keyakinannya. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas
hidup pada penelitian ini. Dari empat keluhan ketidaknyamanan psikis yang paling
banyak dikeluhkan adalah sadar ada masalah pada gigi dan merasa kuatir.
Pada uji dimensi ketidakmampuan fisik menunjukan ada hubungan antara maloklusi
dengan dimensi ketidakmampuan fisik. Pada analisis regresi logistik ganda, variabel yang
pada kerangka konsep diduga mempunyai efek konfonder ternyata tidak mempunyai efek
pada dimensi ini. Ini berarti kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko
4,4 kali lebih sering mengalami gangguan keterbatasan fungsi dibandingkan dengan
kelompok yang tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup
pada penelitian ini. Dari lima keluhan ketidakmampuan fisik yang paling banyak
dikeluhkan takut tersenyum dan sulit menyikat gigi. Hal ini mungkin karena keadaan gigi
yang berjejal sehingga remaja menjadi enggan untuk tersenyum dan proses penyikatan
gigi menjadi tidak sempurna.
Pada uji dimensi ketidakmampuan psikis menunjukan tidak ada hubungan antara
maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan psikis,walaupun sudah dikontrol
pengetahuan dan sikap. Berarti akibat maloklusi hanya mengganggu segi psikis sampai
pada hirarki kualitas hidup taraf ketidaknyamanan, untuk hirarki yang lebih tinggi yaitu
ketidakmampuan/disabilitas ternyata tidak ada hubungan dengan mal-oklusi. Namun dari
hasil gambaran kualitas hidup dimensi ketidakmampuan psikis yang paling banyak
dikeluhkan adalah merasa malu, kesal dan susah berkonsentrasi akibat keadaan maloklusi
yang dialami remaja SMU.
Uji dimensi ketidakmampuan sosial menunjukan ada hubungan bermakna antara
maloklusi dengan dimensi ketidakmampuan sosial. Pada uji statistik regresi logistik
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
ganda dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 2,088 kali
lebih sering mengalami gangguan ketidakmampuan sosial dibandingkan dengan
kelompok yang tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas hidup
pada penelitian ini. Dari lima keluhan dimensi ke-tidakmampuan sosial yang paling
banyak dikeluhkan adalah cepat marah dan mudah tersinggung.
Uji dimensi hambatan menunjukan hubungan antara maloklusi dengan dimensi
hambatan, dan pengetahuan sebagai konfonder. Pada uji statistik regresi logistik ganda
dapat dilihat kelompok remaja SMU yang maloklusi mempunyai resiko 1,27 kali lebih
sering mengalami gangguan hambatan dibandingkan dengan kelompok yang tidak
maloklusi setelah dikontrol pengetahuan. Hasil ini didukung oleh data gambaran kualitas
hidup pada penelitian ini. Dari lima jenis hambatan yang paling banyak dikeluhkan
adalah tidak dapat belajar dengan baik dan hidup merasa tidak enak.
5.8. Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup
Hipotesis penelitian, yaitu maloklusi berhubungan dengan kualitas hidup dapat
dibuktikan pada penelitian ini. Pada persamaan regresi logistik ganda dapat disimpulkan
kelompok yang menderita maloklusi mempunyai risiko 3,227 kali mengalami gangguan
kualitas hidup dibandingkan dengan kelompok tidak maloklusi. Hasil ini didukung oleh
penelitian Mon-Mon Tin (2006) terhadap siswa SMP Kota Bharu Malaysia yang
menyatakan bahwa 66,8% siswa terganggu kualitas hidupnya akibat buruknya kesehatan
gigi dan mulut, gangguan ini dapat berupa gangguan berbicara, tidak merasa nyaman,
gangguan belajar dan gangguan hubungan sosial dengan orang lain. Menurut Dibiase
(2001), remaja yang mempunyai bentuk wajah yang tidak menarik akibat adanya
maloklusi akan menyebabkan pengalaman psikis yang tidak baik. Dalam perjalanan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
hidupnya sebagian dari anak-anak sampai masa remaja yang mengalami maloklusi, akan
menerima penindasan (bullying) berupa ejekan/hinaan yang menyakitkan hati. Akibat
pengalaman yang tidak menyenangkan dapat mengakibatkan remaja mempunyai masalah
dalam interaksi sosial meliputi kehilangan kepercayaan diri, mempunyai rasa prasangka
yang buruk dalam konsep berpikir dan gangguan dalam kemajuan belajar/karir. Dalam
jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri
bahwa dirinya tidak berharga. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial,
keputusan pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah, dan kalaupun masih berada di
sekolah, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak
masuk sekolah.
5.9. Keterbatasan Penelitian
Disain penelitian adalah penelitian analitik dengan teknik potong lintang.
Responden pada waktu bersamaan dikelompokkan menurut status maloklusi dan kualitas
hidup, oleh karena itu tidak dapat diketahui dengan pasti apakah maloklusi mendahului
gangguan kualitas hidup. Kesimpulan penelitian ini hanya menunjukkan sejauh mana
variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
6.1.1. Prevalensi status maloklusi
Prevalensi status maloklusi pada remaja SMU di Kota Medan masih tergolong
tinggi yaitu 60,5%. Berdasarkan tingkat keparahan dan kebutuhan perawatan pre-valensi
maloklusi adalah 23%.
6.1.2. Perilaku kesehatan gigi
Perilaku kesehatan gigi terdiri atas pengetahuan, sikap yang merupakan keyakinan
dan tindakan remaja SMU Kota Medan tentang maloklusi. Berdasarkan pengetahuan
tentang maloklusi, lebih dari separuh remaja mengetahui tentang ciri– ciri dan akibat
maloklusi tapi hanya sepertiga yang mengetahui jenis dan tempat perawatan maloklusi.
Berdasarkan sikap, lebih dari separuh remaja yakin ada masalah terhadap susunan gigi
dan berkeinginan untuk merawat maloklusinya. Tetapi berdasarkan tindakan hanya
14,8% remaja yang mengalami maloklusi yang melakukan perawatan giginya.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
6.1.3. Hubungan sosiodemografi, perilaku kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi kualitas hidup
Pada analisis bivariat dapat disimpulkan hubungan sosiodemografi, perilaku
kesehatan dan status maloklusi dengan dimensi kualitas hidup sebagai berikut :
a. Ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas hidup dimensi
ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidakmampuan sosial.
b. Ada hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan kualitas hidup dimensi
keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis, ke-
tidakmampuan sosial dan hambatan.
c. Ada hubungan bermakna antara pekerjaan orang tua dengan kualitas hidup
dimensi keterbatasan fungsi, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik,
ketidakmampuan psikis, dan hambatan.
d. Ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kualitas hidup dimensi
ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis dan hambatan.
e. Ada hubungan bermakna antara sikap dengan kualitas hidup dimensi keterbatasan
fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidak-mampuan fisik,
ketidakmampuan psikis.
f. Tidak ada hubungan antara tindakan dengan tujuh dimensi gangguan kualitas
hidup.
g. Ada hubungan bermakna antara status maloklusi dengan semua dimensi kualitas
hidup.
6.1.4. Hubungan maloklusi dengan kualitas hidup
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Pada uji multivariat dapat dilihat bahwa ada hubungan antara maloklusi dengan
enam dimensi kualitas hidup, tetapi hanya dengan dimensi ketidakmampuan fisik saja
maloklusi tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna.Secara keseluruhan
dimana ketujuh dimensi kualitas hidup digabung menjadi satu maka dapat dibuktikan ada
hubungan bermakna antara maloklusi dengan kualitas hidup, yaitu pada kelompok yang
mengalami maloklusi terdapat resiko gangguan kualitas hidup 3,227 kali lebih sering dari
pada kelompok yang tidak maloklusi.
6.2. Saran
Mengingat maloklusi dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup, terutama
menyebabkan gangguan fungsi, ketidaknyamanan dan ketidakmampuan dari segi fisik,
psikis dan sosial maka hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi berbagai kalangan
untuk meningkatkan kualitas hidup untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, disarankan sebagai berikut:
a. Kepada Departemen Kesehatan sebaiknya membuat kebijakan yang lebih
memperhatikan kesehatan gigi dan mulut masyarakat dengan adanya target-target
kesehatan gigi yang tidak hanya bebas dari karies dan penyakit periodontal saja tapi
juga dapat menurunkan prevalensi maloklusi pada masyarakat Indonesia khususnya
remaja.
b. Kepada pemerintah Kota Medan melalui:
1). Dinas Pendidikan Nasional propinsi dan daerah memberikan laporan kepada
pemerintah daerah berdasarkan masukan dan temuan-temuan dari institusi
pendidikan, komite sekolah dan LSM serta masyarakat untuk membuat kebijakan
tentang adanya penindasan di sekolah, salah satunya penindasan verbal berupa ejekan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
dan hinaan akibat maloklusi . Kebijakan ini dapat berupa peraturan daerah dengan
memberikan sanksi pada pelaku penindasan dan membentuk semacam konferensi
komunitas dan pelatihan guru untuk dapat memberikan konseling dan menjadi sosial
support bagi murid–murid.
2). Dinas Kesehatan tingkat II menetapkan prosedur tetap untuk menso-sialisasikan
upaya penanggulangan masalah maloklusi di puskesmas dan rumah sakit pemerintah.
c. Kepada puskesmas dan rumah sakit pemerintah lebih menitik beratkan upaya
penanggulangan maloklusi dengan upaya promosi kesehatan seperti memberikan
penyuluhan pada orangtua dan anak usia sekolah tentang penyebab dan akibat
terjadinya maloklusi. Selain itu juga memprioritaskan upaya pencegahan maloklusi
dengan cara melakukan tindakan seri ekstraksi, pemasangan alat ortodontik seperti
space maintener dan removable orthodontic.
d. Kepada organisasi dokter gigi ( Persatuan Dokter Gigi Indonesia/PDGI ) untuk lebih
aktif mensosialisasikan kepada sesama dokter gigi untuk melakukan kegiatan-
kegiatan meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat melalui tindakan
promotiv dan preventif sedini mungkin terhadap terjadinya maloklusi.
e. Kepada rekan sejawat hendaknya menyadari bahwa maloklusi mempunyai dampak
terhadap kualitas hidup terutama pada anak usia remaja. Oleh karena itu disarankan
kepada para praktisi dapat memberikan edukasi dan motivasi kepada orang tua pasien
dan pasiennya untuk melakukan tindakan pemeliharaan diri untuk kesehatan gigi (self
care).
f. Kepada para peneliti lainnya, perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan
skala yang lebih besar dan metode penelitian longitudinal.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Agusni, T., 1998. Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) untuk Mengukur Kebutuhan Perawatan Ortodonti pada Anak Indonesia di Surabaya. Dent J. 31 (4) : 119 -123. Arikunto, S., 2005. Manajemen Penelitian. Revisi edisi : Rineka Cipta : 134 – 149. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,2004. Sudut
Pandang Masyarakat mengenai Status, Cakupan, Ketanggapan dan Sistim Pelayanan Kesehatan. SKRT. 2004 (3).
Barker, JP., 1978. Practical Epidemiology. 2nd ed. England : The English Language Book Society and Churchill Livingstone : 67 – 70. Bhalajh, SI., 1997. Orthodontic, The Art and Sciene 1st ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House : 115 – 122. Bowling, A., 2001. Measuring Health (A Review of Quality of Life, Measurement Scales) : 1 – 11. Daniel, C., Richmond, S., 2000. The Development of The Index of Complexity Outcome and Need (ICON). British Journal of Orthodontic Society. 27 (2) : 149 – 162. Dewanto, H., 2004. Aspek – Aspek Epidemiologi Maloklusi, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Dibiase, AT., Sendler B., 2001. Malocclusion, Orthodontic and Bullying. Dent Update.28 (9) : 464-6 Emilia, O., 2000. Petunjuk Praktis Promosi Kesehatan. 2nd
ed. Yogjakarta : Gajah Mada University Press : 106 – 108. Gan Gan , P., Soemantri, ES., Sowondo, S., 1997. Penelitian Survei maloklusi Murid- Murid Sekolah lanjutan Pertama di Wilayah Kotamadya Bandung. J. Of Dentistry UNPAD, 9 (2) : 14 – 20. Gilbert, GH., 1998. Determinant of dental Care Use in dentate Adults : Six Monthly Use During A 24 Month Period in The Florida Dental Care Study. Social Scientific Medicine Journal. 47 (6) : 727 – 737. Hong, S., Freer, TJ., Wood, EB., 2001. An Evaluation of The Changes in Malocclusion Index Scores Over a 25 Year Period. Australian Dental Journal, 46 (3) : 183 – 185.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Mon Mon, T.,Lin, N., Norkhafizah, S., 2006. Impact of Oral Health On Daily
Performances of Year 13 Old Schoolchildren in Kota Bharu, Malaysia. J. Dentika FKG USU, 12 (1): 145-159.
Notoadmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat ( Prinsip – Prinsip dasar ), Jakarta : Rineka Cipta : 121 – 133. Onyeaso., Utomi., Ibekwe., 2005. Emotional Effect of Malocclution in Nigerian Orthodontic. Journal of Contemporary Dental Practice, 6 (1) : 63-67. Profit, WR., 2001. Contemporary Ortodontic. 2nd ed. Toronto : Mosby year Book : 2 – 16. Rivany, R., 2004. Pengembangan Model Indonesia Health Related Quality of Live (INA- HRQoL) pada Cost Utlity Analisis : Studi Kasus Pengobatan Penyakit Infeksi (TBC) dan non infeksi (Hipertensi). Disertasi Program Pasca Sarjana Program studi IKM UI : 1 – 28. Rochadi, K., 2004. Hubungan konformitas dengan Perilaku Merokok Pada Remaja Sekolah SMU Negeri di 5 Wilayah DKI Jakarta. Disertasi Program Pascasarjana Program Studi IKM UI. Sarwono, SW., 2005. Psikologi Remaja, Jakarta : Rajawali Pers. Situmorang, N., 2004. Dampak Karies dan Penyakit Periodontal Terhadap Kualitas Hidup, Laporan Disertasi. ____________, 1994. Persepsi Ibu-Ibu Rumah Tangga Mengenai Penyakit Karies Gigi dan Hubungannya dengan Perilaku Pencarian Pengobatan Profesional di Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Tahun 1994. Tesis Program Pascasarjana Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, UI : 1 – 32. Slade, GD., 1994. Development and Evaluation of The Oral Health Impact Profile : Comunity Dental Health. 11 : 3 – 11. __________, 1996. Variations in The Social Impact of Oral Conditions Among Older
Adults in South Australia, Ontario and North Carolina. J. Dent Res, 75 (7) : 1439 1450.
Sugiyono., 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta : 267 – 278.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Lampiran 1
N = [ Z1 – α / 2 √ 2.P (1-P) + Z1 – β/ 2 √ P1 (1 -P1) + P2 (1-P2) ]2
(P1 - P2) 2
Dimana n = Jumlah sampel yang dibutuhkan
Z 1 – α / 2 = nilai baku normal berdasarkan error type I (α=0,05) yang
ditentukan =1, 96 .
Z 1 – β / 2 = nilai baku normal berdasarkan error type II (β=0,2) yang
ditentukan =0,84
Power of Study = 80%
P1 = Proporsi tertinggi pada keluhan terhadap kualitas hidup yaitu
makanan sangkut = 66% ( disertasi Nurmala S, 2003 )
P2 = Proporsi yang diharapkan tidak lebih dari 15% dari P1 = 81%
P = Proporsi rata – rata. = P1 + P2 / 2 = 0,73
Jadi :
n = [ 1,96 √ 2 x 0,73 (1-0,73) + 0,84 √ 0,66 (1-0,66) + 0,81 (1-0,81) ] 2
(0,66 – 0,81) 2
n = [ 1,224 + 0,511 ] 2
0,0225
n = 133,78 = 134.
Jadi jumlah sampel minimal adalah 134 responden dikalikan 2 adalah 268 responden.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Lampiran 2.
Sekolah yang berada di lingkar dalam terdiri atas 104 SMA negeri dan SMA swasta, dengan rincian
sebagai berikut:
1. SMUN 1 Medan 2. SMUN 2 Medan 3. SMUN 4 Medan 4. SMUN 5 Medan 5. SMUN 6 Medan 6. SMUN 7 Medan 7. SMU Sw Methodist 8. SMU Sw Kristen Imanuel 9. SMU Sw Alawiyah Al Itidiyah 10.SMU Sw Raksana 11.SMU Sw St Thomas 12.SMU Sw Kristen 1 13.SMU Sw Cahaya 14.SMU Sw GKPI Padang Bulan 15.SMU Sw Bhayangkari 16.SMU Sw Dharma Pancasila 17.SMU Sw Taman Siswa 18.SMU Sw Pelita 19.SMU Sw Yaspena 45 20.SMU SW Bina Bersaudara 21.SMU Sw Angkasa Lanud 22.SMU Sw Laksamana Martadinata 23.SMU Sw Bina Karya 24.SMU Sw Sutomo 2 25.SMU Sw Kartika 1 26.SMU Sw Kalam Kudus 27.SMU Sw Amir Hamzah 28.SMU Sw Darussalam 29.SMU Sw PGRI 1 30.SMU Sw Petro 31.SMU Sw Teladan Cinta Damai 32.SMU Sw Karya Bakti 33.SMU Sw UISU 34.SMU Sw Timbul Jaya 35.SMU Sw Advent Air Bersih 36.SMU Sw Eria 37.SMU Sw Setia Budi Medan 38.SMU Sw St Antonius 39.SMU Sw YPK Medan 40.SMU Sw Al Itihadiyah 41.SMU Sw Ksatria 42.SMU Sw Dwinama 43.SMU Sw Padamu Negeri 44.SMU Sw Sutomo 1 45.SMU Sw Indonesia Membangun 46.SMU Sw Eklesia Medan 47.SMU Sw WR Supratman 1 48.SMU Sw WR Supratman 2 49.SMU Sw Muhammadiyah 1 50.SMU Sw-Al Ulum 51.SMU Sw Parulian 52.SMU Sw Nurul Islam Indonesia
53.SMU Sw Budi Murni 54.SMU Sw Gajah Mada 55.SMU SwAmal Bakti 56.SMUN 10 Medan 57.SMU Sw Taman Siswa 58.SMU Sw Wiyata Dharma 59.SMU Widia Sana 60.SMU Sw Hang Kesturi 61.SMU Sw Tunas Gajah Mada 62.SMUN 11 Medan 63.SMU Sw YP Utama Medan 64.SMU Sw Al Hidayah 65.SMU Sw Budi Satria 66.SMU Sw Teladan Medan 67.SMU Sw Islam Azizi 68. SMU Sw Katolik Mariana 69.SMU Sw Markus 70.SMU Sw Dharma Jaya 71.SMU Sw Eka Prasetya 72.SMU Sw Sutan Oloan 73.SMU Sw Nahlatul Ulama 74.SMU Sw St Thomas 3 75.SMU Sw Marisi Medan 76. SMU Sw Free Methodist 77.SMUN 14 Medan 78.SMU Sw Darma Sakti 79.SMU Sw Mulia Menteng 80.SMU Sw Karya Kesuma 81.SMU Sw Katolik Trisakti 82.SMU Sw Harapan 83.SMUN 15 Medan 84.SMU Sw Muhammadiyah 3 Medan 85.SMU Sw Sultan Iskandar Muda 86.SMUN 17 Medan 87.SMU Sw Katolik Budi Murni 88.SMU Sw Pencawan 89. SMU Sw YP Budi Medan 90.SMU Sw Timbul Jaya 2 Medean 91.SMU Sw Dharma Bakti 92. SMU Sw Mulia dan Pencawan 93.SMUN 18 Medan 94.SMU Sw Pembangunan Nasional 95.SMU Sw Parulian 2 Medan 96.SMU Sw Advent 1 Medan 97.SMU Sw Sutini 98.SMU Sw Methodis 2 Medan 99.SMU Sw Prof HM Yamin 100.SMU Sw Husni Thamrin 101SMU Sw Santa Maria 102.SMU Metodist 7 Medan 103.SMU Sw Letjen S Parman 104.SMU Sw Josua
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Sekolah yang berada di lingkar luar terdiri atas 52 SMA negeri dan swasta, dengan
rincian sebagai berikut :
1. SMU Sw Plus Muhammadiyah 2. SMU Sw Al Azhar 3. SMU Sw Riama 4. SMUN 3 Medan 5. SMU Sw Pulau Berayan Darat 6. SMU Sw Yos Sudarso 7. SMU Sw Dharmawangsa 8. SMU Sw Methodist 9. SMU Sw Suci Murni 10 SMU Sw Krakatau 11.SMU Sw AL Fatah 12.SMU Sw DR Sudirohusodo 13.SMU Sw Kristen 14. SMUN 13 Medan 15. SMU Sw Apipsu 16.SMU Sw Nasional Gultom 17.SMU Sw Budaya 18.SMU Sw Yapsi 19.SMU Sw AL Hilal 20.SMUN 8 Medan 21.SMU Sw Budi Utomo 22.SMU Sw HKBP Sidorame 23.SMU Sw Samuel Indonesia 24.SMUN 9 Medan 25.SMU Sw William Booth 26.SMU Sw Nurani Belawan
27.SMU Sw Katolik Budi Murni 3 28.SMUN 12 Medan 29.SMU Sw Kartika 1-2 Medan 30.SMU Sw Budi Luhur 31.SMU Sw Panca Budi 32.SMU Sw AL Wasliyah 1 33.SMU Sw Al Wasliyah 3 34.SMU Sw Kertanegara 35.SMU Sw Sriwijaya 36.SMU Sw Nurhasanah 37.SMU Sw Kebangsaan 38.SMU Sw Muhammadiyah 39.SMU Sw Sunggal 40. SMU Sw Mulia 41.SMU Sw Budi Sunggal 42.SMU Sw Brigjen Katamso 43.SMU Sw Supriyadi 44.SMU Sw Letjen Haryono 45.SMU Sw Mayjen Sutoyo 46.SMUN 16 Medan 47.SMU Sw Budi Agung 48.SMU Sw PGRI 12 49.SMU Sw Bina Taruna 50.SMU Sw Hangtuah Belawan 51.SMU Sw Katolik St Yoseph 52.SMU Sw Palapa Medan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Lampiran 3
Nomor Kartu : .........................
PENGARUH MALOKLUSI TERHADAP KUALITAS HIDUP PADA
REMAJA SMU KOTA MEDAN
Nama : ............................ Alamat :................................ Kelas : .............................. Sekolah : .............................. 1. Umur : .... ....................... 1 2. Jenis Kelamin: a. Laki laki b. Perempuan 2 3. Pendidikan terakhir ibu anda : a. tidak sekolah atau tidak tamat SD b. tamat SD c. tamat SMP c. Tamat SMU / D1 atau D2 d. Tamat perguruan tinggi / akademi ( D3, S1/ S2 / S3 ) 3 4. Pekerjaan ayah / ibu anda adalah:( coret yang tidak perlu ) a. dokter, jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan,
notaris, manager perusahaan, direktur PTP, kepala kantor,kepala sekolah b. guru, perawat, bidan,apoteker, pemilik toko,PNS golongan 3 dan 2, pegawai swasta,
teknisi, polisi, tentara, pramugari. c. supir, tukang jahit, pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko,pelayan restoran,
pelayan hotel, penjaga kasir, penjual sayur, satpam, d. tukang parkir, pembersih jalan, buruh kasar, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh,
buruh tani. e. tidak bekerja f. dan lain lain .........................................................( tuliskan ) 4
PENGUKURAN MALOKLUSI
A. Pengukuran menggunakan HMA Index
Kelainan gigi dalam satu rahang ( Intra Arch Deviation )
Renggang Jml gigi yg terlibat
Absen
Berjejal
Rotasi Terbuka Tertutup Jml
gigi Point Value
Skor
RA Anterior x 2 Posterior x 1 RB Anterior x 1 Posterior X 1 Skor Total ( a )
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Kelainan oklusi gigi kedua rahang ( Inter-Arch deviation )
1. Segmen Anterior ( hanya 4 gigi insisivus )
Jml gigi yg terlibat Jarak gigi
Tumpang gigit
Gigitan silang
Gigitan terbuka Jml gigi
Point Value
Skor
x 2 Skor Total (b)
2. Segmen Posterior
Hubungan gigi RB terhadap gigi RA
Hanya gigi RA yang terlibat
Distal Mesial Gigitan silang
Gigitan terbuka
Jml gigi
yang terlibat
Normal
Ka Ki Ka Ki Ka Ki Ka Ki
Jml gigi
Pint
Value
Skor
Kaninus Premolar 1 Premolar 2 Molar 1 Skor
Total(c)
Kelainan dentofasial diberi skor 8 a. Celah bibir dan celah mulut b Bibir bawah terletak di palatal gigi insisivus bawah c. Gangguan Oklusi d. gangguan fungsi rahang e. Asimetri muka/wajah f. Gangguan bicara Skor (d)
Jumlah skor (a+b+c+d)
5. Kebutuhan Perawatan Berdasarkan kriteria tingkat keparahan maloklusi Hasil ini menunjukan keparahan maloklusi berkisar antara :
a. Skor 0 – 4 : variasi oklusi normal 5 b. Skor 5 – 9 : maloklusi ringan, tidak perlu perawatan c. Skor 10 – 14 : maloklusi ringan, kasus tertentu memerlukan perawatan d. Skor 15 – 19 : maloklusi berat memerlukan perawatan e. Skor ≥20 : sangat memerlukan perawatan
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
PERTANYAAN PENGETAHUAN
Silangilah jawaban pilihan anda, jawaban boleh lebih dari satu. 6. Sebutkan macam-macam penyakit gigi yang anda ketahui ) ? a. ............................. b ........................... c. tidak tahu 7. Apakah anda menganggap gigi itu mempunyai peranan penting ? a. ya, alasan ................................ b. Tidak, alasan .......................... 8. Menurut anda apa yang dimaksud dengan kelainan susunan gigi dalam rongga mulut
(maloklusi)? a. Susunan gigi yang tidak teratur / tidak rapi b. Susunan gigi yang rata c. Keadaan gigi yang berlubang d. Barisan gigi dalam mulut yang
rapi dan tidak teratur e. dll(tuliskan) ...................... f. Tidak tahu 9. Menurut anda apa saja yang termasuk kelainan susunan gigi (maloklusi) ? a. gigi terlalu ke depan ( tongos ) b. Susunan gigi yang berdempet / berlapis c. Jarak antara satu gigi dengan lainnya tidak rapat (gigi jarang) d. gusi berdarah e. gigi berwarna kuning f. gigi berlobang g. dll ( tuliskan )...............................
h. tidak tahu
10. Menurut anda apa sajakah yang merupakan penyebab dari kelainan susunan gigi? a. Suka menggigit – gigit kuku b. Suka mengisap jari waktu kecil c. Ukuran gigi yang besar sedangkan rahangnya kecil d. Ukuran rahang yang besar sedangkan ukuran giginya kecil e. Turunan dari orang tua f. dll(tuliskan)............................... 11. Menurut anda apakah kelainan susunan gigi dapat dialami oleh semua orang? a. Ya
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Tidak c. Tidak Tahu 12. Menurut anda gangguan apa saja yang diakibatkan karena kelainan susunan gigi (maloklusi) tersebut ? a. Malu untuk tertawa / gangguan penampilan b. Susah untuk membersihkan gigi c. Susah untuk mengunyah makanan karena sakit pada rahang waktu mengunyah d. makanan sering sangkut digigi karena gigi yang berdempet susunannya e. Bicara menjadi tidak jelas f. gusi berdarah g. dll(sebutkan) ...................... h. Tidak tahu 12
13. Apakah menurut anda kelainan susunan gigi ( maloklusi ) dapat dirawat ? a. Ya, dapat dirawat b. Tidak dapat dirawat (tuliskan alasannya).................................... .................................................... 14. Jika anda berpendapat kelainan susunan gigi dapat dirawat, perawatan apa saja yang anda ketahui ? a. Pemakaian kawat gigi, untuk menggeser gigi yang tidak teratur b. Menambal gigi berlubang c. Sikat gigi secara teratur d. dll(tuliskan) ................................ e. Tidak tahu 15. Menurut anda dimanakah keadaan kelainan susunan gigi dapat dirawat? a. Puskesmas b. RSU / RS swasta c. Praktek dokter gigi d. Bidan e. Dukun PERTANYAAN SIKAP Berikanlah Jawabab sejujurnya pada pernyataan dibawah ini
16. Saya merasa mengalami kelainan / ada yang ya tidak salah dengan susunan gigi saya.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
17. Saya mempunyai keinginan untuk merawat ya tidak kelainan susunan gigi saya. 18. Keinginan untuk merawat kelainan susunan ya tidak gigi berasal dari diri saya sendiri. 19. Saya merasa kelainan susunan gigi yang ya tidak saya alami dapat mengganggu pergaulan saya. 20. Saya merasa kelainan susunan gigi dapat ya tidak dicegah dan diatasi dengan melakukan perawatan. PERTANYAAN PERILAKU KESEHATAN 21. Apakah anda pernah melakukan kunjungan ke tempat pelayanan kesehatan gigi dalam kurun
waktu 1 tahun terakhir ini ? a. Pernah b. Tidak pernah 22. Apakah anda pernah menjalani perawatan maloklusi ? a. Pernah, sudah selesai perawatan b. Pernah, sedang perawatan c. Tidak pernah
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
PERTANYAAN ORAL HEALTH IMPACT PROFILE ( OHIP )
Seberapa seringkah anda mengalami masalah dibawah ini selama satu tahun terakhir ( lingkari nomor jawaban anda )
A. Pertanyaan Keterbatasan fungsi
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang-kadang
Lebih dari 2Xsetahun
Hampir tak pernah 1 – 2 X setahun
Keterbatasan fungsi
1 2 3 4
Tidak pernah
5 23
Pernahkah sulit mengunyah makanan karena ada masalah pada gigi mulut atau rahang anda ? 1 2 3 4 5
24 Pernahkah sulit mengucapkan kata-kata karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda? 1 2 3 4 5
25 Pernahkah melihat ada yang salah pada gigi anda? 1 2 3 4 5
26 Pernahkah anda merasa wajah anda kurang menarik karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
27 Pernahkah anda merasa nafas anda bau karena ada masalah pada gigi dan mulut anda 1 2 3 4 5
28 Pernahkah anda merasa tidak mampu mengecap makanan dengan baik, karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda 1 2 3 4 5
29 Pernahkah makanan sangkut digigi anda ? 1 2 3 4 5
30 Pernahkah anda merasa pencernaan terganggu karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5
B. Physical Pain
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2Xsetahun
Hampir tak pernah 1 – 2 X setahun
Sakit fisik
1 2 3 4
Tidak pernah
5
31
Pernahkah anda merasakan sakit yang hebat pada sendi rahang karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5
32. Pernahkah anda sakit kepala karena masalah gigi atau rahang anda ? 1 2 3 4 5
33 Pernahkah anda sakit gigi ? 1 2 3 4 5
34 Pernahkah anda sakit pada gusi anda? 1 2 3 4 5
35 Pernahkah anda merasa tidak enak mengunyah makanan karena masalah dengan gigi anda ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
C. Psychological discomfort
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X
setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
Ketidaknyamanan psikis
1 2 3 4
Tidak pernah
5 36
Pernahkah anda merasakan kuatir karena masalah gigi anda ? 1 2 3 4 5
37 Pernahkah anda sadar sendiri bahwa ada masalah dengan gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
38 Pernahkah anda merasa rendah diri dengan bentuk gigi, rahang dan muka anda ? 1 2 3 4 5
39 Pernahkah anda mengalami ketegangan karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5
D. Physical disability
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X
setahun
Hampir tak
pernah 1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5 40
Pernahkah anda sulit berbicara karena ada masalah dengan gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
41 Pernahkah orang salah mengerti kata-kata yang anda ucapkan karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
42 Pernahkah anda merasa tidak dapat merasakan enaknya makanan karena ada masalah pada gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
43 Pernahkah anda mengalami kesulitan menyikat gigi karena masalah susunan gigi anda ? 1 2 3 4 5
44 Pernahkah anda takut tersenyum karena ada masalah pada gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
E. Psychological disability
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5 45
Apakah tidur anda terganggu karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
46 Pernahkah anda kesal karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
47 Pernahkah anda merasa tidak santai karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
48 Pernahkah anda merasa tertekan atau putus asa karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5
49 Pernahkah anda merasa susah berkonsentrasi karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
50 Pernahkah anda merasa malu karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5
F. Sosial disability
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X
setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5 51 Apakah menjadi malas keluar rumah karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ?
1 2 3 4 5
52 Pernahkah anda cepat marah karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
53 Pernahkah anda merasa sulit bergaul karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
54 Pernahkah anda merasa mudah tersinggung karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
55 Pernahkah anda merasa sulit melakukan pekerjaan sehari – hari karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
G. Handicap Pernah
Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5
56 Pernahkah anda merasa kesehatan anda secara umum memburuk karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
57 Pernahkah anda atau orang tua anda harus membayar mahal karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
68 Pernahkah anda merasa tidak mampu beramah tamah dengan orang lain karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
59 Pernahkah anda merasa secara umum hidup terasa menjadi tidak enak karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
60 Pernahkah anda merasa tidak dapat belajar dengan baik karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Lampiran 3
Nomor Kartu : .........................
PENGARUH MALOKLUSI TERHADAP KUALITAS HIDUP PADA
REMAJA SMU KOTA MEDAN
Nama : ............................ Alamat :................................ Kelas : .............................. Sekolah : .............................. 1. Umur : .... ....................... 1 2. Jenis Kelamin: a. Laki laki b. Perempuan 2 3. Pendidikan terakhir ibu anda : a. tidak sekolah atau tidak tamat SD b. tamat SD c. tamat SMP c. Tamat SMU / D1 atau D2 d. Tamat perguruan tinggi / akademi ( D3, S1/ S2 / S3 ) 3 4. Pekerjaan ayah / ibu anda adalah:( coret yang tidak perlu ) a. dokter, jaksa, hakim, direktur bank, arsitektur, pengacara, direktur perusahaan, akuntan,
notaris, manager perusahaan, direktur PTP, kepala kantor,kepala sekolah b. guru, perawat, bidan,apoteker, pemilik toko,PNS golongan 3 dan 2, pegawai swasta,
teknisi, polisi, tentara, pramugari. c. supir, tukang jahit, pengrajin, montir, pelukis, penulis, pelayan toko,pelayan restoran,
pelayan hotel, penjaga kasir, penjual sayur, satpam, d. tukang parkir, pembersih jalan, buruh kasar, pembantu rumah tangga, tukang cuci, pesuruh,
buruh tani. e. tidak bekerja f. dan lain lain .........................................................( tuliskan ) 4
PENGUKURAN MALOKLUSI
A. Pengukuran menggunakan HMA Index
Kelainan gigi dalam satu rahang ( Intra Arch Deviation )
Renggang Jml gigi yg terlibat
Absen
Berjejal
Rotasi Terbuka Tertutup Jml
gigi Point Value
Skor
RA Anterior x 2 Posterior x 1 RB Anterior x 1 Posterior X 1 Skor Total ( a )
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Kelainan oklusi gigi kedua rahang ( Inter-Arch deviation )
1. Segmen Anterior ( hanya 4 gigi insisivus )
Jml gigi yg terlibat Jarak gigi
Tumpang gigit
Gigitan silang
Gigitan terbuka Jml gigi
Point Value
Skor
x 2 Skor Total (b)
2. Segmen Posterior
Hubungan gigi RB terhadap gigi RA
Hanya gigi RA yang terlibat
Distal Mesial Gigitan silang
Gigitan terbuka
Jml gigi
yang terlibat
Normal
Ka Ki Ka Ki Ka Ki Ka Ki
Jml gigi
Pint
Value
Skor
Kaninus Premolar 1 Premolar 2 Molar 1 Skor
Total(c)
Kelainan dentofasial diberi skor 8 a. Celah bibir dan celah mulut b Bibir bawah terletak di palatal gigi insisivus bawah c. Gangguan Oklusi d. gangguan fungsi rahang e. Asimetri muka/wajah f. Gangguan bicara Skor (d)
Jumlah skor (a+b+c+d)
5. Kebutuhan Perawatan Berdasarkan kriteria tingkat keparahan maloklusi Hasil ini menunjukan keparahan maloklusi berkisar antara :
a. Skor 0 – 4 : variasi oklusi normal 5 b. Skor 5 – 9 : maloklusi ringan, tidak perlu perawatan c. Skor 10 – 14 : maloklusi ringan, kasus tertentu memerlukan perawatan d. Skor 15 – 19 : maloklusi berat memerlukan perawatan e. Skor ≥20 : sangat memerlukan perawatan PERTANYAAN PENGETAHUAN
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Silangilah jawaban pilihan anda, jawaban boleh lebih dari satu. 6. Sebutkan macam-macam penyakit gigi yang anda ketahui ) ? a. ............................. b ........................... c. tidak tahu 7. Apakah anda menganggap gigi itu mempunyai peranan penting ? a. ya, alasan ................................ b. Tidak, alasan .......................... 8. Menurut anda apa yang dimaksud dengan kelainan susunan gigi dalam rongga mulut
(maloklusi)? a. Susunan gigi yang tidak teratur / tidak rapi b. Susunan gigi yang rata c. Keadaan gigi yang berlubang d. Barisan gigi dalam mulut yang
rapi dan tidak teratur e. dll(tuliskan) ...................... f. Tidak tahu 9. Menurut anda apa saja yang termasuk kelainan susunan gigi (maloklusi) ? a. gigi terlalu ke depan ( tongos ) b. Susunan gigi yang berdempet / berlapis c. Jarak antara satu gigi dengan lainnya tidak rapat (gigi jarang) d. gusi berdarah e. gigi berwarna kuning f. gigi berlobang g. dll ( tuliskan )...............................
h. tidak tahu
10. Menurut anda apa sajakah yang merupakan penyebab dari kelainan susunan gigi? a. Suka menggigit – gigit kuku b. Suka mengisap jari waktu kecil c. Ukuran gigi yang besar sedangkan rahangnya kecil d. Ukuran rahang yang besar sedangkan ukuran giginya kecil e. Turunan dari orang tua f. dll(tuliskan)............................... 11. Menurut anda apakah kelainan susunan gigi dapat dialami oleh semua orang? a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
12. Menurut anda gangguan apa saja yang diakibatkan karena kelainan susunan gigi (maloklusi) tersebut ? a. Malu untuk tertawa / gangguan penampilan b. Susah untuk membersihkan gigi c. Susah untuk mengunyah makanan karena sakit pada rahang waktu mengunyah d. makanan sering sangkut digigi karena gigi yang berdempet susunannya e. Bicara menjadi tidak jelas f. gusi berdarah g. dll(sebutkan) ...................... h. Tidak tahu 12
13. Apakah menurut anda kelainan susunan gigi ( maloklusi ) dapat dirawat ? a. Ya, dapat dirawat b. Tidak dapat dirawat (tuliskan alasannya).................................... .................................................... 14. Jika anda berpendapat kelainan susunan gigi dapat dirawat, perawatan apa saja yang anda ketahui ? a. Pemakaian kawat gigi, untuk menggeser gigi yang tidak teratur b. Menambal gigi berlubang c. Sikat gigi secara teratur d. dll(tuliskan) ................................ e. Tidak tahu 15. Menurut anda dimanakah keadaan kelainan susunan gigi dapat dirawat? a. Puskesmas b. RSU / RS swasta c. Praktek dokter gigi d. Bidan e. Dukun PERTANYAAN SIKAP Berikanlah Jawabab sejujurnya pada pernyataan dibawah ini
16. Saya merasa mengalami kelainan / ada yang ya tidak salah dengan susunan gigi saya. 17. Saya mempunyai keinginan untuk merawat ya tidak kelainan susunan gigi saya.
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
18. Keinginan untuk merawat kelainan susunan ya tidak gigi berasal dari diri saya sendiri. 19. Saya merasa kelainan susunan gigi yang ya tidak saya alami dapat mengganggu pergaulan saya. 20. Saya merasa kelainan susunan gigi dapat ya tidak dicegah dan diatasi dengan melakukan perawatan. PERTANYAAN PERILAKU KESEHATAN 21. Apakah anda pernah melakukan kunjungan ke tempat pelayanan kesehatan gigi dalam kurun
waktu 1 tahun terakhir ini ? a. Pernah b. Tidak pernah 22. Apakah anda pernah menjalani perawatan maloklusi ? a. Pernah, sudah selesai perawatan b. Pernah, sedang perawatan c. Tidak pernah
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
PERTANYAAN ORAL HEALTH IMPACT PROFILE ( OHIP ) Seberapa seringkah anda mengalami masalah dibawah ini selama satu tahun terakhir
( lingkari nomor jawaban anda ) A. Pertanyaan Keterbatasan fungsi
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang-kadang
Lebih dari 2Xsetahun
Hampir tak pernah 1 – 2 X setahun
Keterbatasan fungsi
1 2 3 4
Tidak pernah
5 23
Pernahkah sulit mengunyah makanan karena ada masalah pada gigi mulut atau rahang anda ? 1 2 3 4 5
24 Pernahkah sulit mengucapkan kata-kata karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda? 1 2 3 4 5
25 Pernahkah melihat ada yang salah pada gigi anda? 1 2 3 4 5
26 Pernahkah anda merasa wajah anda kurang menarik karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
27 Pernahkah anda merasa nafas anda bau karena ada masalah pada gigi dan mulut anda 1 2 3 4 5
28 Pernahkah anda merasa tidak mampu mengecap makanan dengan baik, karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda 1 2 3 4 5
29 Pernahkah makanan sangkut digigi anda ? 1 2 3 4 5
30 Pernahkah anda merasa pencernaan terganggu karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5
B. Physical Pain
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2Xsetahun
Hampir tak pernah 1 – 2 X setahun
Sakit fisik
1 2 3 4
Tidak pernah
5
31
Pernahkah anda merasakan sakit yang hebat pada sendi rahang karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5
32. Pernahkah anda sakit kepala karena masalah gigi atau rahang anda ? 1 2 3 4 5
33 Pernahkah anda sakit gigi ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
34 Pernahkah anda sakit pada gusi anda? 1 2 3 4 5
35 Pernahkah anda merasa tidak enak mengunyah makanan karena masalah dengan gigi anda ? 1 2 3 4 5
C. Psychological discomfort
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X
setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
Ketidaknyamanan psikis
1 2 3 4
Tidak pernah
5 36
Pernahkah anda merasakan kuatir karena masalah gigi anda ? 1 2 3 4 5
37 Pernahkah anda sadar sendiri bahwa ada masalah dengan gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
38 Pernahkah anda merasa rendah diri dengan bentuk gigi, rahang dan muka anda ? 1 2 3 4 5
39 Pernahkah anda mengalami ketegangan karena ada masalah pada gigi anda ? 1 2 3 4 5
D. Physical disability
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X
setahun
Hampir tak
pernah 1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5 40
Pernahkah anda sulit berbicara karena ada masalah dengan gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
41 Pernahkah orang salah mengerti kata-kata yang anda ucapkan karena ada masalah pada gigi, mulut dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
42 Pernahkah anda merasa tidak dapat merasakan enaknya makanan karena ada masalah pada gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
43 Pernahkah anda mengalami kesulitan menyikat gigi karena masalah susunan gigi anda ? 1 2 3 4 5
44 Pernahkah anda takut tersenyum karena ada masalah pada gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5
E. Psychological disability
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5 45
Apakah tidur anda terganggu karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
46 Pernahkah anda kesal karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
47 Pernahkah anda merasa tidak santai karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
48 Pernahkah anda merasa tertekan atau putus asa karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5
49 Pernahkah anda merasa susah berkonsentrasi karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
50 Pernahkah anda merasa malu karena ada masalah dengan gigi dan mulut anda ? 1 2 3 4 5
F. Sosial disability
Pernah Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X
setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5 51 Apakah menjadi malas keluar rumah karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ?
1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008
52 Pernahkah anda cepat marah karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
53 Pernahkah anda merasa sulit bergaul karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
54 Pernahkah anda merasa mudah tersinggung karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
55 Pernahkah anda merasa sulit melakukan pekerjaan sehari – hari karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
G. Handicap Pernah
Sangat sering Hampir
tiap minggu
Sering
Hampir tiapbulan
Kadang kadang
Lebih dari 2 X setahun
Hampir tak pernah
1 – 2 X setahun
1 2 3 4
Tidak pernah
5
56 Pernahkah anda merasa kesehatan anda secara umum memburuk karena ada masalah pada gigi dan rahang anda ? 1 2 3 4 5
57 Pernahkah anda atau orang tua anda harus membayar mahal karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
68 Pernahkah anda merasa tidak mampu beramah tamah dengan orang lain karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
59 Pernahkah anda merasa secara umum hidup terasa menjadi tidak enak karena ada masalah pada gigi, atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
60 Pernahkah anda merasa tidak dapat belajar dengan baik karena ada masalah dengan gigi atau mulut anda ? 1 2 3 4 5
Oktavia Dewi: Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup Pada Remaja SMU Kota Medan Tahun 2007, 2008. USU e-Repository © 2008