Akalasia Esofagus

48
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Akalasia ialah ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk relaksasi dan peristaltik esofagus berkurang, karena diduga terjadi inkoordinasi neuromuskuler. Akibatnya bagian proksimal dari tempat penyempitan akan melebar dan disebut megaesofagus. Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Para ahli menganggap bahwa penyakit ini merupakan disfungsi neuromuskuler dengan lesi primer, mungkin terletak di dinding esofagus, nervus vagus atau batang otak. 1,2 Beberapa penelitian telah mencatat sejumlah ganglion mienterik pada spesimen-spesimen penyakit esofagus dan menemukan adanya infiltrat limfositik dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan penemuan ini, agen-agen yang dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan beberapa mediator radang 1

description

yy

Transcript of Akalasia Esofagus

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar belakangAkalasia ialah ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk relaksasi dan peristaltik esofagus berkurang, karena diduga terjadi inkoordinasi neuromuskuler. Akibatnya bagian proksimal dari tempat penyempitan akan melebar dan disebut megaesofagus. Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Para ahli menganggap bahwa penyakit ini merupakan disfungsi neuromuskuler dengan lesi primer, mungkin terletak di dinding esofagus, nervus vagus atau batang otak.1,2Beberapa penelitian telah mencatat sejumlah ganglion mienterik pada spesimen-spesimen penyakit esofagus dan menemukan adanya infiltrat limfositik dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan penemuan ini, agen-agen yang dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan beberapa mediator radang akibat respon imunnya, diduga sebagai penyebab dari kehilangan ganglion, tetapi etiologi pastinya belum diketahui. Penelitian mengenai neurotransmisi dan penghantaran sinyal yang terjadi pada esofagus distal dan spinchter esofagus bawah pada achalasia esofagus telah berkembang pesat. Nitrit oksida diduga telah menjadi neurotransmitter inhibitori yang terbesar, yang mengontrol proses relaksasi dari otot polos esofagus. Hipotesis yang timbul, bahwa pada proses akalasia esofagus, terjadi kehilangan yang lebih besar pada neuron inhibitori nitrogenik daripada neuron kolinergik.1,2Insiden akalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang per tahun, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Akalasia esofagus lebih sering terjadi pada orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anak-anak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan hubungan. Kurang dari 5% dari kasus terjadi pada anak-anak, di mana mengenai anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dengan rasio 6:1.2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi esofagusEsofagus (oesophagus) merupakan tabung muscular, panjangnya sekitar 10 inci (25 cm), terbentang dari pharynx sampai ke gaster. Oesophagus mulai dari leher setinggi cartilago cricoidea dan berjalan turun di garis tengah di belakang trachea. Di dalam thorax, oeshophagus berjalan ke bawah melalui mediastinum dan masuk rongga abdomen dengan menembus diaphragma setinggi vertebra thoracica X. Oesophagus berjalan sekitar inci (1,25 cm) sebelum masuk ke gaster sisi kanan.3,4a. Oesophagus di LeherPada daerah ini, oesophagus memiliki batas-batas yaitu pada anterior berbatasan dengan trachea, N.Laryngeus recurrens. Di bagian posterior berbatasan dengan musculi prevertebrales dan columna vertebralis. Ke lateral berbatasan dengan glandula thyroidea, A.Carotis communis, V.Jugularis interna, N.Vagus, dan pada sisi kiri ductus thoracicus. Oesophagus di leher mendapat vaskularisasi dari arteriae thyroideae inferiores dan venae thyroideae inferiores. Aliran limfenya melalui nodi cervicales profundi. Mendapat inervasi dari nervus laryngeus recurrens dan rami dari truncus sympathicus.3,4b. Oesophagus di Thorax Berbatasan dengan trachea, N.Laryngeus recurrens sinister; bronchus principalis sinister, dan atrium sinistrum cordis pada bagian anterior. Pada posterior berbatasan dengan columna vertebralis, ductus thoracicus, V.Azygos, A.Intercostalis posteriores dextrae, aorta thoracica descendens. Pada sisi kanan ke arah lateral berbatasan dengan pars mediastinalis pleura parietalis, V.Azygos. Sisi kiri berbatasan dengan arcus aorta, A.Subclavia sinistra, ductus thoracicus, pars mediastinalis pleura parietalis. Mendapat vaskularisasi bagian atas dari aorta thoracica descendens, sepertiga bagian bawah darah dari A.Gastrica sinistra.3,4c. Oesophagus pada AbdomenOesophagus masuk ke abdomen melalui lubang yang terdapat pada crus dextrum diaphragmaticum. Setelah berjalan sekitar inci (1,25 cm), oesophagus masuk ke lambung di sisi kanannya. Batas ke arah anterior, oesophagus terletak posterior terhadap lobus hepatis sinister dan di depan crus sinistrum diaphragmaticum. Nervus yagus sinister dan dexter masing-masing terletak pada permukaan anterior dan posterior oesophagus. Mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang dari arteri gastrica sinistra serta vena gastrica sinistra yang mengalirkan darah ke vena porta. Aliran limfe berasal dari pembuluh-pembuluh limfe yang berjalan mengikuti arteriae menuju nervi gastrici sinistri. Persarafan dari nervus gastrica anterior dan posterior (nervus vagus) dan cabang-cabang simpatik dari pars thoracica trunci sympathici.3,4 Gambar 1. Anatomi esofagus tampak anterior, lateral, dan posterior.5Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Dalam perjalanannya dari faring menuju gaster, esofagus melalui tiga kompartemen, yaitu leher, thoraks, dan abdomen. Esofagus yang berada di leher adalah sepanjang lima sentimeter dan berjalan di antara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks setinggi manubrium sterni.3,4,6Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti ditemukan pada saluran cerna lainnya.3,4,6Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat spinchter, terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara faring dan esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat spinchter.3,4,6

Gambar 2. Vaskularisasi pada esofagus.

Gambar 3. Aliran limfe esofagus2. Histologi esofagusDinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis dan serosa.4,6a. Lapisan mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di ujung atas. Epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan esofagus dengan lambung (Z-line) dan menjadi epitel toraks selapis. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam.b. Lapisan submukosa mengandung sel-sel sekretori yang memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. c. Lapisan otot, lapisan luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian atas esofagus adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot polos. Bagian diantaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan bagian saluran cerna lainnya, tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium, melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.

Gambar 4. Lapisan-lapisan esofagus.6

Gambar 5. Lapisan-lapisan esophageal-stomach juntion.

3. Fisiologi esofagusFungsi utama esofagus adalah menyalurkan makanan dan minuman dari mulut ke lambung. Proses ini mulai dengan pendorongan makanan oleh lidah ke belakang, penutupan glotis dan nasofaring, serta relaksasi sfingter faring esofagus. Didalam esofagus, makanan oleh peristaltis primer, peristaltis ringan, dan gaya berat, terutama untuk makanan padat dan setengah padat. Makanan dari esofagus dapat masuk ke dalam lambung karena adanya relaksasi sfingter esofagokardia. Setelah makanan masuk ke lambung, tonus sfingter ini kembali ke keadaan semula sehingga mencegah makanan masuk ke dalam esofagus.2,7Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan dimulai ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang mulut menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di faring yang kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat menelan kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat dalam proses menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang terprogram secara sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu rangkaian waktu spesifik; jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi dipicu dalam pola teratur selama periode waktu tertentu untuk melaksanakan tindakan menelan. Menelan dimulai secara volunter, tetapi setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan.2,6,7Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus. Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan, bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain, makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan masuk ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi berikut ini:2,6,7 Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah menekan langit-langit Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung. Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-otot laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga pintu masuk glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran kecil jaringan ikat, epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang menambah proteksi untuk mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan. Karena saluran pernapasan tertutup sementara saat menelan, pernapasan terhambat secara singkat sehingga individu tidak mencoba melakukan usaha yang sia-sia untuk bernapas. Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk mendorong bolus ke dalam esofagus.Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh spinchter. Spinchter adalah struktur esofagus ke lambung, berotot berbentuk cincin yang jika tertutup mencegah lewatnya benda melalui saluran yang dijaganya. Spinchter esofagus atas adalah spinchter faringoesofagus, dan spinchter bawah adalah spinchter gastroesofagus.2,6,7Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya melewati esofagus ke lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan, mendorong bolus di depan kontraksi. Apabila bolus berukuran besar atau lengket tertelan, dan tidak dapat terdorong ke lambung oleh gelombang peristaltik primer, bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus dan memicu reseptor tekanan di dalam dinding esofagus, menimbulkan gelombang peristaltik kedua yang lebih kuat yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik di tempat peregangan. Spinchter esofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik mencapai bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah bolus masuk ke lambung, spinchter gastroesofagus kembali berkontraksi.

4. DefinisiAkalasia adalah gangguan mortilitas berupa hilangnya peristaltis esofagus dan gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus. Akibatnya, terjadi hambatan masuknya makanan ke dalam lambung sehingga esofagus berdilatasi membentuk megaesofagus. Akalasia ialah ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk relaksasi dan peristaltik esofagus berkurang, karena diduga terjadi inkoordinasi neuromuskular.1,2

Gambar 6. Akalasia Esofagus.8

5. EtiologiPenyebab akalasia esofagus belum dapat diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian diduga dapat terjadi secara primer (idiopatik) dan secara sekunder. Akalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau sebagian sel ganglion inhibitor pada pleksus Mienterikus (Auerbachs) pada esofagus. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara neuron eksitatorik dan neuron inhibitorik yang menyebabkan spinchter esofagus bawah tidak dapat berelaksasi. Beberapa penelitian telah mencatat sejumlah ganglion mienterik pada spesimen-spesimen penyakit esofagus dan menemukan adanya infiltrat limfositik dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan penemuan ini, agen-agen yang dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan beberapa mediator radang akibat respon imunnya, diduga sebagai penyebab dari kehilangan ganglion, tetapi etiologi pastinya belum diketahui. Penelitian mengenai neurotransmisi dan penghantaran sinyal yang terjadi pada esofagus distal dan spinchter esofagus bawah pada achalasia esofagus telah berkembang pesat. Nitrit oksida diduga telah menjadi neurotransmitter inhibitori yang terbesar, yang mengontrol proses relaksasi dari otot polos esofagus. Hipotesis yang timbul, bahwa pada proses akalasia esofagus, terjadi kehilangan yang lebih besar pada neuron inhibitori nitrogenik daripada neuron kolinergik.4,6Penyebab sekunder akalasia esofagus yang paling sering adalah penyakit Chagas, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies protozoa, yaitu Trypanosoma cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor serangga, menginfeksi neuron intramural, dan menyebabkan disfungsi otonom. Penyakit Chagas paling sering terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi penyebab sekunder terbanyak dari achalasia esofagus. Selain itu, penyebab sekunder dari akalasia esofagus dapat berupa malignansi (karsinoma lambung, esofagus), postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe neuropatik, amiloidosis, sarkoidosis, dan penyakit Anderson-Fabrey.4,6

6. EpidemiologiInsiden akalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang per tahun, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Akalasia esofagus lebih sering terjadi pada orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anak-anak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan hubungan. Kurang dari 5% dari kasus terjadi pada anak-anak, di mana mengenai anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dengan rasio 6:1.2

7. PatofisiologiTeori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:1,2,6,10 Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari ganglion sel Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan infeksi virus.Abnormalitas motorik pada akalasia esofagus merupakan hasil dari penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita achalasia esofagus kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.

8. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis akalasia esofagus, seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang bermakna.1,2,4,68. 1. Gejala klinisPasien-pasien yang terdiagnosis dengan akalasia esofagus, biasanya memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan makanan padat maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional atau cara makan yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair merupakan manifestasi klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat terjadi karena terdapat retensi sejumlah besar makanan pada esofagus yang berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien yang telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat tertinggal pada esofagus (sebelum bagian yang menyempit) dan biasanya pasien mengatasi hal ini dengan minum air dalam jumlah yang besar agar meningkatkan tekanan pada esofagus dan memaksa makanan untuk melaluinya dan masuk ke lambung.1,2,4,6Nyeri dada retrosternal yang berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esofagus, dan para dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri yang berasal dari jantung. Gejala heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita akalasia esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada penderita akalasia esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena pasien berusaha mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan cepat, dapat dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab achalasia esofagus.6,108. 2. Pemeriksaan radiologiSecara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang dicurigai menderita akalasia esofagus. Pada akalasia esofagus, foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum yang berasal dari esofagus yang berdilatasi dan tidak adanya gelembung udara yang normal pada lambung, karena kontraksi spinchter esofagus bawah mencegah udara untuk masuk ke dalam lambung.

Gambar 7. Gambaran foto toraks pada achalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan esofagus yang berdilatasi hebat.Pemeriksaan esofagografi dengan menggunakan barium, memiliki akurasi sekitar 95% dalam mendiagnosis achalasia esofagus, dan secara khas menunjukkan bagian esofagus yang berdilatasi dan terdapat juga bagian yang menyempit yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau menyerupai ekor tikus (mouse tail appereance) akibat kontraksi spinchter esofagus bawah secara persisten. 10,12,11,13,14

Gambar 8. Pemeriksaan esofagografi pada penderita achalasia esofagus, menunjukkan esofagus bagian distal yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor tikus (mouse tail appereance).14

8. 3. Manometrik esofagusManometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik esofagus, antara lain: 10,12,11,13,14 Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan. Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung saat istirahat (relaksasi)

Gambar 9. Teknik pemeriksaan esophagus (manometrik).118. 4. Pemeriksaan endoskopiPemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita akalasia esofagus, untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada akalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara spontan. Jika akalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.10,12,11,13,14

Gambar 10. Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi, C. Esofagografi.

9. Diagnosis bandingAda beberapa penyakit yang dapat menyebabkan manifestasi klinis yang serupa dengan achalasia esofagus. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan gejala dan tanda antara penyakit-penyakit yang memberikan gejala klinis disfagia dengan achalasia esofagus idiopatik.119. 1. Karsinoma esophagusPerbedaan gejala dan tanda: Disfagia pada makanan-makanan padat terjadi lebih awal, meskipun kesulitan untuk menelan makanan cair dapat terjadi jika progresifitas penyakit sudah lanjut. Kehilangan berat badan dengan cepat.Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Pemeriksaan esofagografi dan endoskopi menunjukkan adanya obtruksi pada esofagus akibat adanya tumor.9. 2. Esofagitis refluksPerbedaan gejala dan tanda: Disfagia dapat terjadi akibat adanya pembengkakan ataupun striktur fibrosis peptikum, dengan atau tanpa kelainan pada endoskopi Pasien biasanya mengeluhkan heartburn dan/atau regurgitasi sebagai gejala tambahan dari disfagiaPemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Pemeriksaan endoskopi menunjukkan esofagitis refluks, dengan atau tanpa striktur peptikum. Mungkin terdapat hernia hiatus yang terletak di bawah striktur. Pemeriksaan esofagografi memiliki sensitivitas yang rendah Terdapat perbedaan pH pada esofagus distal jika terjadi refluks

9. 3. Penyakit jaringan konektif (misalnya: sklerosis sistemik)Perbedaan gejala dan tanda: Terdapat nyeri pada otot dan sendi, Raynauds phenomenon, dan perubahan pada kulit (rash, pembengkakan kulit)Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Pemeriksaan antibodi antinuklear, faktor rheumatoid, dan kreatin kinase dapat menjadi skrining dalam mendiagnosis penyakit-penyakit jaringan konektif.9. 4. Spasme esofagusPerbedaan gejala dan tanda: Gejala nyeri dada lebih menonjol daripada gejala disfagiaPemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Pemeriksaan manometri esofagus menunjukkan kontraksi esofagus dengan amplitudo yang tinggi, dibandingkan dengan gambaran aperistaltik yang ditunjukkan pada achalasia esofagus.9. 5. Esofagitis eosinofilikPerbedaan gejala dan tanda: Gejala klinis berupa disfagia intermitten, lebih sering terjadi pada laki-laki muda dengan riwayat atopiPemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Biopsi pada esofagus menunjukkan infiltrasi eosinofil (>15 eosinofil per lapangan pandang)9. 6. PseudoachalasiaPerbedaan gejala dan tanda: Gejala klinis serupa dengan achalasia esofagus idiopatik (tidak dapat dibedakan secara klinis) Penyakit ini disebabkan oleh suatu malignansi Penderita biasanya berusia tua, dan kehilangan berat badan terjadi lebih besar dan cepatPemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Biopsi gastroskopik pada gastroesophageal junction dan kardia menunjukkan suatu malignansi Hasil pemeriksaan endoskopi, esofagografi, dan manometri esofagus mungkin tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan achalasia esofagus idiopatik9. 7. Penyakit ChagasPerbedaan gejala dan tanda: Merupakan penyakit endemik di Amerika Tengah dan Selatan, terdapat manifestasi klinis pada berbagai organ berupa atonia kolon, miokarditis, dan pembengkakan kelopak mata pada fase akut (Romana sign)Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis: Pemeriksaan mikroskopik pada darah segar menunjukkan adanya Trypanosoma cruzi Pewarnaan Giemsa pada sediaan apusan darah tepi menunjukkan adanya parasit

10. PenatalaksanaanSifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller). 10,12,11,13,1410. 1. Terapi Non-Bedaha. MedikamentosaPemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine, dapat membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat mengurangi tekanan pada spinchter esofagus bawah. Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.b. Injeksi Botulinum ToksinSuatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, di mana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian yang terbatas, di mana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin telah berhasil digunakan pada pasien dengan akalasia. Aman dan efektif pada kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah mendapatkan tempat dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak sesuai untuk dilakukan terapi dilatasi atau miotomi. Prosedur ini melibatkan suntikan pada spinchter esofagus bagian bawah yang menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh sampai dua puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari sfingter esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan teknik endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia, injeksi toksin botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung rata-rata satu tahun. Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga efek relaksasi pada spinchter esophagus bagian bawah. Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada ringan dan terdapat ruam kulit setelah perawatan.

Gambar 11. Teknik injeksi intrasphincteric pada akalasia.c. Pneumatic DilationPneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari refluks gastroesophageal yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller.2

Gambar 12. Teknik pneumatic dilation pada achalasia.

10. 2. Terapi BedahSuatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (esofagektomi). Gambar 13. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication.

11. PrognosisPrognosis achalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin sedikit gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat baik. Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil yang lebih baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilation dan laparoskopik miotomi Heller.

BAB IIIKESIMPULAN

Akalasia esofagus adalah gangguan mortilitas berupa hilangnya peristaltis esofagus dan gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus. Penyebab akalasia esofagus belum dapat diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian diduga dapat terjadi secara primer (idiopatik) dan secara sekunder. Akalasia esofagus lebih sering terjadi pada orang dewasa (usia 25-60 tahun). Pada anak-anak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan hubungan.Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan akalasia esofagus, biasanya memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, selain itu dapat terjadi regurgitasi makanan. sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien yang telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia aspirasi. Nyeri dada retrosternal yang berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esophagus. Gejala heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita akalasia esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Sifat terapi pada akalasia hanyalah bersifat paliatif. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller).Daftar Pustaka

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et all. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi enam. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2010. 2. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.3. Snell RS. Anatomi klinis untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2008.4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (konsep klinis proses-proses penyakit). Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC; 20055. Putz R, Pabst R. Sobotta atlas of human anatomy. Munchen: Urban & Fischer; 2006.6. Townsend C, Beauchamp RD, Evers BM, et all. Sabiston textbook of surgery: the biological basic of modern surgical practice. 19th ed. Phildadelphia: Elsevier Saunders; 2012.7. Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2006. 8. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. 9. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al, editors. Harrisons principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill, Health Professions Division; 2008.10. Conroy M, Davis K, Embree J, et all. Atlas of Pathophysiology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 201011. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm [online]. 2012 [cited 2012 April 12]. Available from: URL: http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html12. BMJ Publishing Group Limited. Achalasia: differential diagnosis [online]. 2011 [cited 2012 April 12]. Available from: URL: http://bestpractice.bmj.com/ 13. Vaezi MF, Pandolfino JE, Vela M. ACG clinical guidline: Diagnosis and management of achalasia [texbook]. 201314. Cushchieri A, Grace P, Darzi A, et all. Clinical surgery. 2nd ed. Oxford: Blackwell Science; 2006

Alogaritma Alur Diagnostik Akalasia Esofagus

Akalasia Esofagus

EtiologiBelum diketahuiDiagnosis

AnamnesisDisfagiaRegurgitasiHeart burnNyeri Pemeriksaan penunjangRadiologiManometrikEndoskopik

Penatalaksanaan

Resiko operasi rendahResiko operasi tinggi

GagalPDInjeksi Botulinum toxinMyotomy

Laki-laki < 45 tahun

GagalGagal3,0 cm3,5 cm4,0 cm3,5 cm4,0 cm

NitratCa++ Channel Blocker

Ulangi myotomy atau PD esophagectomy

* PD: Pneumatic Dilation32