Akalasia Esofagus

25
LAPORAN PENDAHULUAN ACHALASIA ESOFHAGUS I. KONSEP DASAR A. Pengertian Achalasia adalah penyakit yang jarang dari otot esophagus (tabung yang menelan). Istilah achalasia berarti "gagal untuk mengendur" dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Sebagai akibatnya, pasien-pasien dengan achalasia mempunyai kesulitan menelan makanan. (www.totalkesehatananda.com, 2010) Achalasia adalah tidak adanya atau tidak efektifnya peristaltic esophagus distal di sertai dengan kegagalan sfingter esophagus untuk rileks dalam respon terhadap menelan (Brunner & suddarth (2002). Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan dan Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi (Siegel, 1998 dan Ritcher, 1999) 1

Transcript of Akalasia Esofagus

Page 1: Akalasia Esofagus

LAPORAN PENDAHULUAN

ACHALASIA ESOFHAGUS

I. KONSEP DASAR

A. Pengertian

Achalasia adalah penyakit yang jarang dari otot esophagus

(tabung yang menelan). Istilah achalasia berarti "gagal

untuk mengendur" dan merujuk pada ketidakmampuan

dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara

esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka

dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.

Sebagai akibatnya, pasien-pasien dengan achalasia

mempunyai kesulitan menelan makanan.

(www.totalkesehatananda.com, 2010)

Achalasia adalah tidak adanya atau tidak efektifnya

peristaltic esophagus distal di sertai dengan kegagalan

sfingter esophagus untuk rileks dalam respon terhadap

menelan (Brunner & suddarth (2002). Kegagalan relaksasi

batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan

dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak

peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong

atau memaksa turunnya makanan dengan air atau

minuman guna menyempurnakan proses menelan dan

Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan

umumnya terjadi regurgitasi (Siegel, 1998 dan Ritcher,

1999)

B. Anatomi Fisiologi

Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang

menghubungkan hipofaring dengan lambung. Ukuran

panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada

keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus

dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira

1

Page 2: Akalasia Esofagus

setinggi vertebra servikal VI (Ballenger, 1997). Dari batas

tadi, osefagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars

cervical, pars thoracal

dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di

orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI. Terdapat

empat penyempitan fisiologis pada esofagus yaitu, penyempitan

sfingter krikofaringeal, penyempitan pada persilangan aorta

(arkus aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri, dan

penyempitan diafragma (hiatus esofagus)( Ballengger, 1997)

Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu : mukosa yang

merupakan epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari

jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat dari

dinding esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari otot

sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3

bagian atas dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian

bawahnya merupakan otot polos. Pada bagian leher, esofagus

menerima darah dari a. karotis interaa dan trunkus tiroservikal.

Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus

dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus

esofagus, esofagus menerima darah dari a. phrenicus inferior,

dan bagian yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a.

gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan

berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v.

gastric (Emslie, 1988., Ritcher, 1999., Soepardi, 2001)

Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis

(nervus vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut

pleksus mienterik Auerbach yang terletak di antara otot

longitudinal dan otot sirkular sepanjang esophagus (Soepardi,

2001).

Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas

adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas),

suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan

2

Page 3: Akalasia Esofagus

memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu

menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus

masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus

disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang

panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari

esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus

bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara

esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter

bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam

lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan

esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses

menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian

atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian

atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan

makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi

yang disebut gerakan peristaltik mi akan membawa makanan

dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang

peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka

dan makanan masuk ke dalam lambung (Soepardi, 2001).

Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari

faring ke gaster melalui suatu proses menelan, dimana akan

terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan

konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase

yaitu:

1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses

mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju orofaring,

palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring

terangkat.

2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring

dan taring bergerak ke atas oleh karena kontraksi m.

3

Page 4: Akalasia Esofagus

Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan m.

Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter

laring. 3. fase oesophageal, fase menelan (involuntary)

perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena relaksasi m.

Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan

tertutup kembali saat makanan sudah lewat (Soepardi, 2001).

C. Epidemiologi

Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi.

Namun hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup

stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per

100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama

antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian,

distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara

umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2

dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada

anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah

25-60 tahun. (Bakry 2007 dan wikipedi.org, 2007)

D. Etiologi

Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi,

terdapat bukti bahwa degenerasi plexus Auerbach

menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis. Beberapa

teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan

autoimun, penyakit infeksi atau kedua-duanya (Bakry 2006

dan wikipedi.org, 2007)

Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian,

yaitu :

1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab

yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus

neurotropik dan faktor keturunan.

2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat

disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor

kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti

pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat

4

Page 5: Akalasia Esofagus

disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi

(Bakry 2006)

Berdasarkan tori etiologi :

1. TeoriGenetik

Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu

keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan

dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar

antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita

akalasia(Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)

2. Teori Infeksi

Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria

pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus

(herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat

toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik

esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra

uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi

neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada

esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian

saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel

sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi.

(Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)

Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada

akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus yang

berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang

otak dan ganglia mienterikus pada esophagus (Bakry,

2006). Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan

hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien

akalasia. (Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)

3. Teori Autoimun

Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari

beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam

pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T

yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,

5

Page 6: Akalasia Esofagus

prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui

berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang

terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi

dari pleksus mienterikus (Sjamsuhidajat, 1997 dan

Soepardi 2001)

4. Teori Degeneratif

Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia

berhubungan dengan proses penuaan dengan status

neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson

dan depresi. (Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)

E. Patofisiologi

Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur

oleh neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan

substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit

oxyde dan, vasoactive intestinal peptide (VIP). (Sawyer, 2007)

Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :

1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat

peningkatan sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh

di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi

sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya

hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas

terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5

cm sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20

mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua

kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.

Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan

sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun sampai

100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak

dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat

tertahannya makanan dan minuman di esofagus.

Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan

adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai

6

Page 7: Akalasia Esofagus

dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual,

makanan dapat masuk ke dalam lambung.

2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena

aperistaltik dan dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus.

Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltik

sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan

melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah

motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas

esofagus secara manometrik pada keadaan normal dan

akalasia (Bakry 2006 dan wikipedi.org, 2007)

F. Gambaran Klinik

Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada

juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia

lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah :

1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita

Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah

menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat

berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya

cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.

2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat

berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada

saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan

pneumonia aspirasi dan abses paru

3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada

stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa

nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat

menyerupai serangan angina pektoris.

4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha

mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya

regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal.

5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa

penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi

makanan (Irwan, 2009)

7

Page 8: Akalasia Esofagus

G. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala

klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan

manometrik.

1. Pemeriksaan Radiologik

Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya

gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster,

dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada

sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram

barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi

pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran

peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di

bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang

menyerupai seperti bird-beak like appearanc.( Siegel, 1998

dan Goyal, 1994)

2. Pemeriksaan Esofagoskopi

Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan

untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan

yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan

derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi,

dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan.

Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus

dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa

makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah

penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema

dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat

retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka

dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan

esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah

(Siegel, 1998 dan Goyal, 1994)

8

Page 9: Akalasia Esofagus

3. Pemeriksaan Manometrik

Gunanya untuk mem'lai fungsi motorik esofagus dengan

melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter

esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan

motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan

dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan

manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang

dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter

esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan

istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus

bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan

mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang

khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat,

tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus

sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus

bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi

relaksasi sfingter pada waktu menelan (Siegel, 1998 dan

Bakry 2006).

H. Diagnosis Banding

1. Striktur esophagus

2. Keganasan pada esophagus

I. Penatalaksanaan

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi

peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi

dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,

medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi

esofagokardiotomi (operasi Heller) (Siegel, 1998)

1. Terapi NonBedah

a. Terapi Medikasi

9

Page 10: Akalasia Esofagus

Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti

nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga

methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah

relaksasi dan membantu membedakan antara suatu

striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter

esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan

calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL)

dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter

esofagus bawah.

Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang

berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya

digunakan untuk pasien lansia yang mempunyai

kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau

pembedahan.

b. Injeksi Botulinum Toksin

Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat

digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin

pada bagian sfingter esofagus

bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan

antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan

menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai

jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding

esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum

dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas

squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini

terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin

tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis

efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi

dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran

dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan

kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun

demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana

60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan

disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya

10

Page 11: Akalasia Esofagus

turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali

penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai

tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi

pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya

dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini

sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa

menjalani dilatasi atau pembedahan. (Finley, 2002 dalam

Irwan, 2009)

c. Pneumatic Dilatation

Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama

selama bertahun-tahun. Suatu baton dikembangkan pada

bagian gastroesophageal junction yang bertujuan luituk

merupturkan serat otot, dan membuat mukosa menjadi intak.

Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%,

namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian,

walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya

perfbrasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera

dibawa ke ruang operasi untuk penurupan perforasi dan

miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.

Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah

sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan

pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi

Heller (Finley, 2002 dalam Irwan, 2009)

2. Terapi Bedah

Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial

fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk

akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan

serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5

cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti

oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien

dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali

beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara

efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala

11

Page 12: Akalasia Esofagus

sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks

postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena

keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit

yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka

terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam

penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam

menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi,

operasi kedua, atau pengangkatan esofagus mis:

esofagektomi (Marks, 2005 dalam Irwan, 2009)

J. Komplikasi

Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi

makanan pada esofagus adalah sebagai berikut :

1. Obstruksi saluran pethapasan

2. Bronkhitis

3. Pneumonia aspirasi

4. Abses para

5. Divertikulum

6. Perforasi esophagus

7. Small cell carcinoma

Sudden death (Ritcher, 1999 dalam Irwan, 2009)

K. Prognosis

Suatu laparascopic Heller myotomy memberikan basil

yang sangat baik dalam menghilangkan gejala pada

sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik

dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli

bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum

sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat

menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller

myotomy. Follow-up secara periodik dengan menggunakan

esofagoskopi diperiukan untuk melihat perkembangan

tejadinya kanker esophagus (Finley, 2002 dalam Irwan,

2009)

12

Page 13: Akalasia Esofagus

II. KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Riwayat kesehatan yang lengkap dapat menunjukkan

kemungkinan gangguan eosefagus. Tanyakan tentang

nafsu makan pasien. Apakah sama, meningkat, atau

menurun. Adakah ketidak nyamanan saat menelan.

Apakah berhubungan dengan nyeri. Apakah perubahan

posisi mempengaruhi ketidak nyamanan. Tanyakan klien

adakan gambaran pengalaman nyeri , yang memperberat

nyeri, gejalanya yang menyertai yang terjadi secara

regular seperti : regurditasi, regurditasi noktunal, eruktasi

(kembung), nyeri uluhati, tekanan substernal, sesansasi

makan yang menyangkut di kerongkongan, perasaan

penuh setelah makan daam jumlah sedikit, mual, muntah,

atau penurunan berat badan. Adakah gejalan yang

menigkat dengan emosi. Bila pasien melaporkan keadaan

ini tanyakan waktu kejadian ; hubungannya dengan

makanan; factor penghilang atau pemberat seperti ;

perubahan posisi, kembung, antasida, atau muntah

(Brunner & suddarth, 2002)

Riwayat ini juga mencakup pertanyaan adanya factor

penyebab masa lalu atau sekarang, seperti infeksi dan

iritan kimia, mekanik, atau fisik; derajat pengguanaan

alcohol dan tembakau dan jumlah asupan makanan setiap

hari. Temukan apakah panien Nampak kurus dan aukultasi

dada pasien untuk menentukan adanya komplikasi

pulmonal.

B. Penyimpangan KDM

13

Kerja otot menurun

Degenerasi syaraf

Kerusakan kerja syaraf neksus mientrikus pada 2/3 bag. bawah

esofagus

Faktor usia Infeksi virus

neurotropik

lesi nukleus dorsalis vagus dan

ganglia mienterikus

AutoimunGenetik

respon inflamasipleksus mienterikus

esofagus

Page 14: Akalasia Esofagus

C. Diangosa Keperawatan

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan kesulitan menelan

2. Resiko bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan

dengan makanan masuk kesaluran nafas.

3. Nyeri berhubungan dengan kesulitan menelan, mencerna

agen abrasi, atau episode refleksus lambung yang sering.

4. Kurang pengetahuan tentang gangguan esophagus

dignostik, penatalaksanaan medis, intervensi bedah, dan

rehabilitasi berhubungan dengan kurang terpajan atau

salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan

kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

14

aperistalti

Tekanan esofagus atas meningkat

Sfingter esophagus bawah gagal relaksasi

Sulit menelan

AKALASIA

Makanan tertahan di esofagus

Intek nurisi kurang/tidak ada

Nutrisi kurangmuntah dari kebutuhan

Makanan masukke saluran nafas

Aliran balik makanan keluar

Episode refleksus lambung meningkat

Resiko bersihan jalannafas tak efektif

MuntahMakan minum

muntah

Perubahan status kesehatan

Kurang Kurang pengetahuan

Salah interpretasi informasi

Tidak mengenal sumber informasi

Nyeri

Respon batukdan bersin

Page 15: Akalasia Esofagus

D. Rencana Keperawatan

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan kesulitan menelan

Tujuan : Setelah 1 minggu perawatan,kebutuhan

nutrisi klien seimbang /terpenuhi dengan

criteria hasil : Berat badan naik ½ kg. Mencapai Body

Max Index yang normal. Nafsu makan

menigkat

Intervensi Rasional1.Berikan makanan sesuai

dengan kebutuhan

2.Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering Berikan makanan jangan terlalu padat dan terlalu cair

3.Beritahu pada klien untuk selalu menghabiskan makanannya

4.Berikan obat – obatan golongan nitrates dan calcium channel blokers

1.Pemberian yang sesuai indikasi dan tidak memberatkan klien apabila berlebihan

2.Mencegah terjadinya penumpukan makanan pada Esophageal

3.Makanan yang tidak terlalu padat dan tidak terlalu cair dapat dengan mudah dicerna oleh tubuh

4.Membantu melancarkan dan memudahkan pencapaian tujuan Obat golongan nitrates membantu mengendurkan spincter esophagus bagian bawah sedangkan calcium channel bloker dapat membantu esophagus untuk relaks dan tidak konstriksi.

2. Resiko bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan

dengan makanan masuk kesaluran nafas

Tujuan : Klien mengerti dan mampu menerapkan batuk efektif. bersihan jalan nafas efektif

Intervensi Rasional1. Anjarkan klien untuk

batuk efektif.1.Batuk efektif dapat

dilakukan pada posisi

15

Page 16: Akalasia Esofagus

2. Berikan posisi kepala tempat tidur lebih tinggi Berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk

3. Dorong/ bantu latihan nafas abdomen atau bibir

4. Kaji kondisi pernafasan (frekuensi , kedalaman, gerakan dada, penggunaan otot bantu nafas

duduk tegak, dan meningkatkan kenyamanan sewaktu inspirasi posisi semi fowler akan mempermudah pasien untuk bernafas, dan meningkatkan ekspansi dada sehingga udara mudah masuk

2.Meningkatkan kenyamanan klien selama mengalami perawatan

3.Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dipsnea dan menurunkan jebakan udara

4.Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit

3. Nyeri berhubungan dengan kesulitan menelan, mencerna

agen abrasi, atau episode refleksus lambung yang sering

Tujuan : Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui

aktivitas. Melaporkan nyeri yang dialaminya.

Mengikuti program pengobatan.

Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan

pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang

mungkin

Intervensi Rasional1. Tentukan riwayat nyeri,

lokasi, durasi dan intensitas

2. Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya

3. Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV

1. Memberikan informasi yang diperlukan untuk merencanakan asuhan.

2. Untuk mengetahui terapi yang dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.

3. Untuk meningkatkan kenyamanan dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.

4. Meningkatkan kontrol diri atas efek samping dengan

16

Page 17: Akalasia Esofagus

4. Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.

5. Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.

Kolaboratif:6. Disusikan penanganan

nyeri dengan dokter dan juga dengan klien.

7. Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narcotik dll

menurunkan stress dan ansietas.

5. Untuk mengetahui efektifitas penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.

6. Agar terapi yang diberikan tepat sasaran.

7. Untuk mengatasi nyeri.

4. Kurang pengetahuan tentang gangguan esophagus

dignostik, penatalaksanaan medis, intervensi bedah, dan

rehabilitasi berhubungan dengan kurang terpajan atau

salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan

kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

Tujuan : Klien dapat mengatakan secara akurat

tentang diagnosis dan pengobatan pada ting-

katan siap.Mengikuti prosedur dengan baik

dan menjelaskan tentang alasan mengikuti

prosedur tersebut. Mempunyai inisiatif dalam

perubahan gaya hidup dan berpartisipasi

dalam pengobatan. Bekerjasama dengan

pemberi informasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL1. Berikan informasi tentang

gangguan proses menelan dan anemia sepesifik. Diskusikan kenyataan terapi tergantung pada beratnya kesukaran menelan serta tipe anemia

2. Berikan HE tentang pentingnya aktivitas/ mobilisasi disertai dengan periode istirahat yang sering dan meningkatkan aktivitas sesuai kemampuan

3. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan

1. Memberikan dasar pengatahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan menigkatkan kerja sama dalam program perapi.

2. Mencegah kelelahan berlebihan; mengubah energi untuk penyembuhan

3. Memfasilitasi penyembuhan/regenerasi jaringan dan membantu

17

Page 18: Akalasia Esofagus

tinggi protein dan tambahan besi.

4. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi obat yang diresepkan secara rutin dan berikan obat yang diresepkan sesuai jadwal.

5. Catat/identifikasi adanya tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik seperti demam/ menggigil dan perdarah

memperbaiki anemia bila ada.4. Mengurangi gejala-gejala

klinis yang ada dan mencegah terjadinya efek samping tindakan yang diberikan.

5. Pengenalan dini dan pengobatan terjadinya komplikasi seperti infeksi/ perdarahan dapat mencegah situasi yang mengancam hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Bakry F. 2006. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Ballenger J. Jacob. 1997. Esofagologi. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta

Brunner & suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 2. EGC. Jakarta.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. EGC. Jakarta

18

Page 19: Akalasia Esofagus

Ekayuda I. 2005. Radiology anak. Radiologi diagnostic. Edisi 2. Jakarta

Emslie D, Smith, et all. 1988. Textbook of Physiology, 11th edition. Churchill Livingstone, English Language Book Society. London

Goyal,Ray K. 2000. Disease of the Esofagus. Principles of the Internal Medicine vol 2. 16th ed. Mac Graw-Hill Book Company. New York.

Irwan. 2009. Akalasia Esofagus. http://www.irwanashari.com/2009/03/akalasia-esofagus.html. Di akses Juli 2010

Manan, Chudahman. 1990. Akalasia. Gastroenterologi Hepatologi. CV Infomedika. Jakarta.

Price SA, Wilson LM. 1995. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Vol 1. EGC. Jakarta.

Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In : Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus. 4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.

Sawyer MAJ. 2006. Achalasia. http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm. Di akses Juli 2010

Siegel, Leighton G. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan Mediastinum : Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies, Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Afar Penyakit THT, edisi 6. EGC Jakarta.

Sjamsuhidajat R., Wim de long. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

Soepardi, Efiaty A., Iskandar, Nurbaiti. 2001. Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

wikipedi.org. 2007. Achalasia. http://en.wikipedi.org/wiki/achalasia. Di Akeses Juli 2010.

19

Page 20: Akalasia Esofagus

20