Akalasia Esofagus
-
Upload
miranti-lois-saudah -
Category
Documents
-
view
402 -
download
41
Transcript of Akalasia Esofagus
LAPORAN PENDAHULUAN
ACHALASIA ESOFHAGUS
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Achalasia adalah penyakit yang jarang dari otot esophagus
(tabung yang menelan). Istilah achalasia berarti "gagal
untuk mengendur" dan merujuk pada ketidakmampuan
dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara
esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka
dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.
Sebagai akibatnya, pasien-pasien dengan achalasia
mempunyai kesulitan menelan makanan.
(www.totalkesehatananda.com, 2010)
Achalasia adalah tidak adanya atau tidak efektifnya
peristaltic esophagus distal di sertai dengan kegagalan
sfingter esophagus untuk rileks dalam respon terhadap
menelan (Brunner & suddarth (2002). Kegagalan relaksasi
batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan
dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak
peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong
atau memaksa turunnya makanan dengan air atau
minuman guna menyempurnakan proses menelan dan
Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan
umumnya terjadi regurgitasi (Siegel, 1998 dan Ritcher,
1999)
B. Anatomi Fisiologi
Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang
menghubungkan hipofaring dengan lambung. Ukuran
panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada
keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus
dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira
1
setinggi vertebra servikal VI (Ballenger, 1997). Dari batas
tadi, osefagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars
cervical, pars thoracal
dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di
orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI. Terdapat
empat penyempitan fisiologis pada esofagus yaitu, penyempitan
sfingter krikofaringeal, penyempitan pada persilangan aorta
(arkus aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri, dan
penyempitan diafragma (hiatus esofagus)( Ballengger, 1997)
Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu : mukosa yang
merupakan epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari
jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat dari
dinding esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari otot
sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3
bagian atas dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian
bawahnya merupakan otot polos. Pada bagian leher, esofagus
menerima darah dari a. karotis interaa dan trunkus tiroservikal.
Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus
dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus
esofagus, esofagus menerima darah dari a. phrenicus inferior,
dan bagian yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a.
gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan
berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v.
gastric (Emslie, 1988., Ritcher, 1999., Soepardi, 2001)
Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut
pleksus mienterik Auerbach yang terletak di antara otot
longitudinal dan otot sirkular sepanjang esophagus (Soepardi,
2001).
Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas
adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas),
suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan
2
memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu
menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus
masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus
disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang
panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari
esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus
bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara
esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter
bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam
lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan
esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses
menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian
atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian
atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan
makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi
yang disebut gerakan peristaltik mi akan membawa makanan
dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang
peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka
dan makanan masuk ke dalam lambung (Soepardi, 2001).
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari
faring ke gaster melalui suatu proses menelan, dimana akan
terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan
konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase
yaitu:
1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses
mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju orofaring,
palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring
terangkat.
2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring
dan taring bergerak ke atas oleh karena kontraksi m.
3
Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan m.
Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter
laring. 3. fase oesophageal, fase menelan (involuntary)
perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena relaksasi m.
Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan
tertutup kembali saat makanan sudah lewat (Soepardi, 2001).
C. Epidemiologi
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi.
Namun hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup
stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per
100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama
antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian,
distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara
umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2
dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada
anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah
25-60 tahun. (Bakry 2007 dan wikipedi.org, 2007)
D. Etiologi
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi,
terdapat bukti bahwa degenerasi plexus Auerbach
menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis. Beberapa
teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan
autoimun, penyakit infeksi atau kedua-duanya (Bakry 2006
dan wikipedi.org, 2007)
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian,
yaitu :
1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab
yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus
neurotropik dan faktor keturunan.
2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat
disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor
kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti
pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat
4
disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi
(Bakry 2006)
Berdasarkan tori etiologi :
1. TeoriGenetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu
keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan
dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar
antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita
akalasia(Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria
pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus
(herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat
toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik
esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra
uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi
neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada
esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian
saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel
sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi.
(Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada
akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus yang
berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang
otak dan ganglia mienterikus pada esophagus (Bakry,
2006). Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan
hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien
akalasia. (Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari
beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam
pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T
yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,
5
prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui
berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang
terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi
dari pleksus mienterikus (Sjamsuhidajat, 1997 dan
Soepardi 2001)
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia
berhubungan dengan proses penuaan dengan status
neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson
dan depresi. (Sjamsuhidajat, 1997 dan Soepardi 2001)
E. Patofisiologi
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur
oleh neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan
substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit
oxyde dan, vasoactive intestinal peptide (VIP). (Sawyer, 2007)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat
peningkatan sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh
di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi
sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas
terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5
cm sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20
mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua
kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan
sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun sampai
100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak
dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat
tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan
adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai
6
dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual,
makanan dapat masuk ke dalam lambung.
2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena
aperistaltik dan dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus.
Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltik
sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan
melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah
motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas
esofagus secara manometrik pada keadaan normal dan
akalasia (Bakry 2006 dan wikipedi.org, 2007)
F. Gambaran Klinik
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada
juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia
lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah :
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita
Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah
menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat
berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya
cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat
berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada
saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan
pneumonia aspirasi dan abses paru
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada
stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa
nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat
menyerupai serangan angina pektoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha
mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya
regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal.
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa
penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi
makanan (Irwan, 2009)
7
G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan
manometrik.
1. Pemeriksaan Radiologik
Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya
gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster,
dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada
sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram
barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi
pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran
peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di
bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang
menyerupai seperti bird-beak like appearanc.( Siegel, 1998
dan Goyal, 1994)
2. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan
untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan
yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan
derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi,
dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan.
Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus
dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa
makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah
penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema
dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat
retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka
dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan
esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah
(Siegel, 1998 dan Goyal, 1994)
8
3. Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk mem'lai fungsi motorik esofagus dengan
melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter
esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan
motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan
dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan
manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang
dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter
esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan
istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus
bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan
mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang
khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat,
tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus
sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus
bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi
relaksasi sfingter pada waktu menelan (Siegel, 1998 dan
Bakry 2006).
H. Diagnosis Banding
1. Striktur esophagus
2. Keganasan pada esophagus
I. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi
peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi
dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,
medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller) (Siegel, 1998)
1. Terapi NonBedah
a. Terapi Medikasi
9
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti
nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga
methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah
relaksasi dan membantu membedakan antara suatu
striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter
esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan
calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL)
dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter
esofagus bawah.
Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang
berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya
digunakan untuk pasien lansia yang mempunyai
kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau
pembedahan.
b. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat
digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin
pada bagian sfingter esofagus
bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan
antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan
menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai
jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding
esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum
dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas
squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini
terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin
tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis
efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi
dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran
dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan
kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun
demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana
60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan
disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya
10
turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali
penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai
tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi
pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya
dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini
sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa
menjalani dilatasi atau pembedahan. (Finley, 2002 dalam
Irwan, 2009)
c. Pneumatic Dilatation
Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama
selama bertahun-tahun. Suatu baton dikembangkan pada
bagian gastroesophageal junction yang bertujuan luituk
merupturkan serat otot, dan membuat mukosa menjadi intak.
Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%,
namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian,
walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya
perfbrasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera
dibawa ke ruang operasi untuk penurupan perforasi dan
miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.
Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah
sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan
pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi
Heller (Finley, 2002 dalam Irwan, 2009)
2. Terapi Bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial
fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk
akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan
serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5
cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti
oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien
dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali
beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara
efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala
11
sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks
postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena
keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit
yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam
penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam
menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi,
operasi kedua, atau pengangkatan esofagus mis:
esofagektomi (Marks, 2005 dalam Irwan, 2009)
J. Komplikasi
Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi
makanan pada esofagus adalah sebagai berikut :
1. Obstruksi saluran pethapasan
2. Bronkhitis
3. Pneumonia aspirasi
4. Abses para
5. Divertikulum
6. Perforasi esophagus
7. Small cell carcinoma
Sudden death (Ritcher, 1999 dalam Irwan, 2009)
K. Prognosis
Suatu laparascopic Heller myotomy memberikan basil
yang sangat baik dalam menghilangkan gejala pada
sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik
dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli
bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum
sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat
menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller
myotomy. Follow-up secara periodik dengan menggunakan
esofagoskopi diperiukan untuk melihat perkembangan
tejadinya kanker esophagus (Finley, 2002 dalam Irwan,
2009)
12
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Riwayat kesehatan yang lengkap dapat menunjukkan
kemungkinan gangguan eosefagus. Tanyakan tentang
nafsu makan pasien. Apakah sama, meningkat, atau
menurun. Adakah ketidak nyamanan saat menelan.
Apakah berhubungan dengan nyeri. Apakah perubahan
posisi mempengaruhi ketidak nyamanan. Tanyakan klien
adakan gambaran pengalaman nyeri , yang memperberat
nyeri, gejalanya yang menyertai yang terjadi secara
regular seperti : regurditasi, regurditasi noktunal, eruktasi
(kembung), nyeri uluhati, tekanan substernal, sesansasi
makan yang menyangkut di kerongkongan, perasaan
penuh setelah makan daam jumlah sedikit, mual, muntah,
atau penurunan berat badan. Adakah gejalan yang
menigkat dengan emosi. Bila pasien melaporkan keadaan
ini tanyakan waktu kejadian ; hubungannya dengan
makanan; factor penghilang atau pemberat seperti ;
perubahan posisi, kembung, antasida, atau muntah
(Brunner & suddarth, 2002)
Riwayat ini juga mencakup pertanyaan adanya factor
penyebab masa lalu atau sekarang, seperti infeksi dan
iritan kimia, mekanik, atau fisik; derajat pengguanaan
alcohol dan tembakau dan jumlah asupan makanan setiap
hari. Temukan apakah panien Nampak kurus dan aukultasi
dada pasien untuk menentukan adanya komplikasi
pulmonal.
B. Penyimpangan KDM
13
Kerja otot menurun
Degenerasi syaraf
Kerusakan kerja syaraf neksus mientrikus pada 2/3 bag. bawah
esofagus
Faktor usia Infeksi virus
neurotropik
lesi nukleus dorsalis vagus dan
ganglia mienterikus
AutoimunGenetik
respon inflamasipleksus mienterikus
esofagus
C. Diangosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kesulitan menelan
2. Resiko bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan
dengan makanan masuk kesaluran nafas.
3. Nyeri berhubungan dengan kesulitan menelan, mencerna
agen abrasi, atau episode refleksus lambung yang sering.
4. Kurang pengetahuan tentang gangguan esophagus
dignostik, penatalaksanaan medis, intervensi bedah, dan
rehabilitasi berhubungan dengan kurang terpajan atau
salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
14
aperistalti
Tekanan esofagus atas meningkat
Sfingter esophagus bawah gagal relaksasi
Sulit menelan
AKALASIA
Makanan tertahan di esofagus
Intek nurisi kurang/tidak ada
Nutrisi kurangmuntah dari kebutuhan
Makanan masukke saluran nafas
Aliran balik makanan keluar
Episode refleksus lambung meningkat
Resiko bersihan jalannafas tak efektif
MuntahMakan minum
muntah
Perubahan status kesehatan
Kurang Kurang pengetahuan
Salah interpretasi informasi
Tidak mengenal sumber informasi
Nyeri
Respon batukdan bersin
D. Rencana Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kesulitan menelan
Tujuan : Setelah 1 minggu perawatan,kebutuhan
nutrisi klien seimbang /terpenuhi dengan
criteria hasil : Berat badan naik ½ kg. Mencapai Body
Max Index yang normal. Nafsu makan
menigkat
Intervensi Rasional1.Berikan makanan sesuai
dengan kebutuhan
2.Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering Berikan makanan jangan terlalu padat dan terlalu cair
3.Beritahu pada klien untuk selalu menghabiskan makanannya
4.Berikan obat – obatan golongan nitrates dan calcium channel blokers
1.Pemberian yang sesuai indikasi dan tidak memberatkan klien apabila berlebihan
2.Mencegah terjadinya penumpukan makanan pada Esophageal
3.Makanan yang tidak terlalu padat dan tidak terlalu cair dapat dengan mudah dicerna oleh tubuh
4.Membantu melancarkan dan memudahkan pencapaian tujuan Obat golongan nitrates membantu mengendurkan spincter esophagus bagian bawah sedangkan calcium channel bloker dapat membantu esophagus untuk relaks dan tidak konstriksi.
2. Resiko bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan
dengan makanan masuk kesaluran nafas
Tujuan : Klien mengerti dan mampu menerapkan batuk efektif. bersihan jalan nafas efektif
Intervensi Rasional1. Anjarkan klien untuk
batuk efektif.1.Batuk efektif dapat
dilakukan pada posisi
15
2. Berikan posisi kepala tempat tidur lebih tinggi Berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk
3. Dorong/ bantu latihan nafas abdomen atau bibir
4. Kaji kondisi pernafasan (frekuensi , kedalaman, gerakan dada, penggunaan otot bantu nafas
duduk tegak, dan meningkatkan kenyamanan sewaktu inspirasi posisi semi fowler akan mempermudah pasien untuk bernafas, dan meningkatkan ekspansi dada sehingga udara mudah masuk
2.Meningkatkan kenyamanan klien selama mengalami perawatan
3.Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dipsnea dan menurunkan jebakan udara
4.Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit
3. Nyeri berhubungan dengan kesulitan menelan, mencerna
agen abrasi, atau episode refleksus lambung yang sering
Tujuan : Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui
aktivitas. Melaporkan nyeri yang dialaminya.
Mengikuti program pengobatan.
Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan
pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang
mungkin
Intervensi Rasional1. Tentukan riwayat nyeri,
lokasi, durasi dan intensitas
2. Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya
3. Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV
1. Memberikan informasi yang diperlukan untuk merencanakan asuhan.
2. Untuk mengetahui terapi yang dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.
3. Untuk meningkatkan kenyamanan dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.
4. Meningkatkan kontrol diri atas efek samping dengan
16
4. Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.
5. Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.
Kolaboratif:6. Disusikan penanganan
nyeri dengan dokter dan juga dengan klien.
7. Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narcotik dll
menurunkan stress dan ansietas.
5. Untuk mengetahui efektifitas penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.
6. Agar terapi yang diberikan tepat sasaran.
7. Untuk mengatasi nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang gangguan esophagus
dignostik, penatalaksanaan medis, intervensi bedah, dan
rehabilitasi berhubungan dengan kurang terpajan atau
salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
Tujuan : Klien dapat mengatakan secara akurat
tentang diagnosis dan pengobatan pada ting-
katan siap.Mengikuti prosedur dengan baik
dan menjelaskan tentang alasan mengikuti
prosedur tersebut. Mempunyai inisiatif dalam
perubahan gaya hidup dan berpartisipasi
dalam pengobatan. Bekerjasama dengan
pemberi informasi.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL1. Berikan informasi tentang
gangguan proses menelan dan anemia sepesifik. Diskusikan kenyataan terapi tergantung pada beratnya kesukaran menelan serta tipe anemia
2. Berikan HE tentang pentingnya aktivitas/ mobilisasi disertai dengan periode istirahat yang sering dan meningkatkan aktivitas sesuai kemampuan
3. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan
1. Memberikan dasar pengatahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan menigkatkan kerja sama dalam program perapi.
2. Mencegah kelelahan berlebihan; mengubah energi untuk penyembuhan
3. Memfasilitasi penyembuhan/regenerasi jaringan dan membantu
17
tinggi protein dan tambahan besi.
4. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi obat yang diresepkan secara rutin dan berikan obat yang diresepkan sesuai jadwal.
5. Catat/identifikasi adanya tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik seperti demam/ menggigil dan perdarah
memperbaiki anemia bila ada.4. Mengurangi gejala-gejala
klinis yang ada dan mencegah terjadinya efek samping tindakan yang diberikan.
5. Pengenalan dini dan pengobatan terjadinya komplikasi seperti infeksi/ perdarahan dapat mencegah situasi yang mengancam hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry F. 2006. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Ballenger J. Jacob. 1997. Esofagologi. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta
Brunner & suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 2. EGC. Jakarta.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. EGC. Jakarta
18
Ekayuda I. 2005. Radiology anak. Radiologi diagnostic. Edisi 2. Jakarta
Emslie D, Smith, et all. 1988. Textbook of Physiology, 11th edition. Churchill Livingstone, English Language Book Society. London
Goyal,Ray K. 2000. Disease of the Esofagus. Principles of the Internal Medicine vol 2. 16th ed. Mac Graw-Hill Book Company. New York.
Irwan. 2009. Akalasia Esofagus. http://www.irwanashari.com/2009/03/akalasia-esofagus.html. Di akses Juli 2010
Manan, Chudahman. 1990. Akalasia. Gastroenterologi Hepatologi. CV Infomedika. Jakarta.
Price SA, Wilson LM. 1995. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Vol 1. EGC. Jakarta.
Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In : Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus. 4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.
Sawyer MAJ. 2006. Achalasia. http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm. Di akses Juli 2010
Siegel, Leighton G. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan Mediastinum : Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies, Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Afar Penyakit THT, edisi 6. EGC Jakarta.
Sjamsuhidajat R., Wim de long. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Soepardi, Efiaty A., Iskandar, Nurbaiti. 2001. Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
wikipedi.org. 2007. Achalasia. http://en.wikipedi.org/wiki/achalasia. Di Akeses Juli 2010.
19
20