REFERAT AKALASIA ESOFAGUS

30
1 Referat AKALASIA ESOFAGUS Penyaji : Roi Holan Ambarita, S.Ked (0718011080) Pembimbing : dr. Adrian T. Ginting , Sp.B(K)BD KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

description

REFERAT

Transcript of REFERAT AKALASIA ESOFAGUS

1

Referat

AKALASIA ESOFAGUS

Penyaji :

Roi Holan Ambarita, S.Ked

(0718011080)

Pembimbing :

dr. Adrian T. Ginting , Sp.B(K)BD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

SMF BEDAH

RSUD Dr. Hj. ABDUL MOELOEK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

NOVEMBER 2013

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih

dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul AKALASIA

ESOFAGUS, yang merupakan salah satu tugas di dalam kepaniteraan klinik Ilmu

Bedah RSUD Dr. Hj. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. dr. Adrian T. Ginting , Sp.B(K)BD selaku pembimbing penulis di dalam

kepaniteraan klinik Ilmu Bedah RSUD Dr. Hj. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung

2. Kedua orang tua penulis

3. Kepada teman-teman yang turut membantu dalam penyelesaian referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

memperbaiki penulisan berikutnya. Semoga penulisan referat ini bermanfaat bagi

semua yang membacanya.

Bandar Lampung, 20 November 2013

Penulis

3

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ..................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................ ii

BAB I . PENDAHULUAN................................................................... 1

BAB II . ANATOMI ESOFAGUS....................................................... 2

BAB III. FISIOLOGI ESOFAGUS..................................................... 4

BAB IV. AKALASIA ESOFAGUS...................................................... 6

4.1 Definisi.............................................................................. 6

4.2 Etiologi ............................................................................. 7

4.3 Patogenesis ...................................................................... 7

4.4 Gambaran Klinis .............................................................. 8

4.5 Diagnosis........................................................................... 9

4.6 Penatalaksanaan................................................................ 12

BAB V. KESIMPULAN........................................................................ 16

Daftar Pustaka......................................................................................... 17

4

BAB I

PENDAHULUAN

Secara klinis, akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-

mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal sehingga dia

melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke

lambung. Pada tahun 1908, Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter

balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan dengan cara

kardiomiotomi, cara yang terus dianut sampai sekarang (Sjamsuhidajat dkk,

2007).

Arti dari istilah achalasia adalah “kegagalan untuk relaksasi,” yang mana

dikatakan beberapa sphincter yang tersisa dalam tonus yang konstan dengan

periode relaksasi. Sangat baik dimengerti sebagai gangguan motilitas esofagus.

Insiden 6/100.000 orang/tahun dan terlihat pada wanita muda dan pria paruh baya

dan begitu juga wanita. Patogenesisnya diduga idiopatik atau degenerasi

neurogenik yang infeksius. Beberapa stres emosional, trauma, penurunan berat

badan yang drastis, dan penyakit Chagas (infeksi parasit dengan Trypanosoma

cruzi) telah terjadi. Tanpa memandang penyebab, otot dari esofagus dan LES

terkena. Teori yang paling mendukung bahwa destruksi saraf terhadap LES adalah

patologi primer dan bahwa degenerasi sekunder dari fungsi neuromuskular dari

corpus esofagus. Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari LES dan

kegagalan LES untuk relaksasi pada penelanan faring, sebaik tekanan dari

esofagus, pelebaran esofagus, dan kehilangan resultan dari peristalsis yang

progresif (Townsend et al, 2012).

Semua terapi akalasia bersifat paliatif karena proses peristalsis tidak dapat

kembali. Tujuan utama penatalaksanaannya adalah menurunkan tahanan sfingter

esofagus bagian bawah, sehingga bolus makanan dapat turun ke dalam lambung

karena gravitasi. Penurunan tahanan sfingter dapat dicapai dengan dilatasi balon

dan bedah esofagotomi (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

5

BAB II

ANATOMI ESOFAGUS

Esofagus merupakan tabung muskular, kurang lebih 25 cm panjangnya dengan

rata-rata diameter 2 cm, yang memanjang dari faring sampai lambung. Esofagus:

Mengikuti kecembungan dari kolumna vertebra sebagaimana esofagus

turun melalui leher dan mediastinum.

Melewati hiatus esofagus eliptikal dalam otot krus kanan diafragma, hanya

ke sebelah kiri dari bidang median pada tingkat vertebra thorakalis T10.

Terminasi pada esophagogastric junction, dimana benda-benda yang

tercerna memasuki orificium kardia dari lambung terletak pada sebelah

kiri dari garis tengah pada tingkaty kartilago kosta kiri yang ke-7 dan

vertebra thorakalis T11; esofagus adalah retroperitoneal selama gambaran

abdominalnya yang pendek.

Esofagus sirkular dan lapisan longitudinal ekterna otot. Pada superior ke-

3, lapisan eksternal terdiri atas otot striata volunter, inferior ke-3 tersusun

atas otot halus, dan sepertiga tengah terbentuk dari kedua tipe otot (Moore

et al, 2007).

Esophagogastric junction ditandai secara internal oleh peralihan tiba-tiba dari

esofagus ke mukosa gaster, yang disebut sebagai Z-line secara klinis. Superior

terhadap hubungan ini, otot diafragma yang membentuk hiatus esofagus berfungsi

sebagai sphincter esofagus inferior fisiologis yang berkontraksi dan berelaksasi.

Studi radiologis menunjukkan bahwa makanan atau cairan mungkin dihentikan

disini pada saat tertentu dan bahwa mekanisme sphincter secara normal efisien

dalam mencegah refluks dari isi gaster ke dalam esofagus (Moore et al, 2007).

Bagian abdomen dari esofagus memiliki:

Suplai arteri dari arteri gastrica sinistra, cabang dari trunkus celiaca, dan

arteri frenikus inferior sinistra.

6

Drainase vena secara primer pada sistem vena portal melalui vena gastrica

sinistra, sementra bagian thoracic proximal dari esofagus mendrainase

utamanya kepada sistem vena sistemik melalui vena esofagus yang

melewati vena azygos. Meskipun demikian, vena dari dua bagian esofagus

berhubungan dan memberikan sebuah anastomosis sistemik portal yang

penting secara klinis.

Drainase limfatik ke dalam nodul limfatikus gastrica sinistra, yang mana

berbalik mendrainase utamanya ke nodus limfatikus celiacus.

Inervasi dari trunkus vagal (menjadi anterior dan nervus gastricus

posterior), trunkus simpatikus thoracica via nervus splanchnicus mayor

(abdominopelvis), dan plexus periarterial disekitar arteri gastrica sinistra

dan arteri frenikus inferior sinistra (Moore et al, 2007).

7

Gambar 1 : Anatomi Esofagus

BAB III

FISIOLOGI ESOFAGUS

Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat dari faring

ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut.

Normalnya, esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik: peristaltik

primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan

dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus

selama tahap faringeal dari proses menelan. Gelombang ini berjalan dari faring ke

lambung dalam waktu sekitar 8 sampai 10 detik. Makanan yang ditelan seseorang

pada posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih

cepat daripada gelombang persitaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat

adanya efek gravitasi tambahan yang menarik makanan ke bawah (Guyton, 2008).

Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah

masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang

dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini

terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke dalam lambung.

Gelombang peristaltik sekunder ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf intrinsik

dalam sistem saraf mienterikus dan sebagian oleh refleks-refleks yang dimulai

pada faring lalu dihantarkan ke atas melalui serabut-serabut aferen vagus ke

medula dan kembali lagi ke esofagus melalui serabut-serabut saraf eferen

glosofaringeal dan vagus (Guyton, 2008).

Susunan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot lurik.

Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal saraf rangka dari

saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua pertiga bagian bawah esofagus,

susunan ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini juga secara

kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui perhubungan dengan sistem

saraf mienterikus esofageal. Sewaktu saraf vagus yang menuju esofagus dipotong,

setelah beberapa hari pleksus saraf mienterikus esofagus menjadi cukup

8

terangsang untuk menimbulkan gelombang peristaltik sekunder yang kuat bahkan

tanpa bantuan dari refleks vagal. Karena itu, bahkan sesudah paralisis refleks

penelanan batang otak, makanan yang dimasukkan melalui selang atau dengan

cara lain ke dalam esofagus tetap siap memasuki lambung (Guyton, 2008).

Bila gelombang peristaltik esofagus mendekat ke arah lambung, timbul suatu

gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus,

mendahului persitaltik. Selanjutnya, seluruh lambung dan, dalam jumlah yan

glebih sedikit, bahkan duodenum menjadi terelaksasi sewaktu gelombang ini

mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal

untuk menerima makanan yang didorong ke esofagus selama proses menelan

(Guyton, 2008).

Pada ujung bawah esofagus, meluas ke atas sekitar tiga sentimeter di atas

perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter

esofagus bawah yang lebar, atau disebut juga sfingter gastroesofageal.

Normalnya, sfingter ini tetap berkonstriksi secara tonik dengan tekanan

intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg, berbeda dengan bagian

tengah esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik

penelanan melewati esofagus, terdapat relaksasi reseptif dari sfingter esofagus

bagian bawah yang mendahului gelombang peristaltik, yang mempermudah

pendorongan makanan yang ditelan ke dalam lambung. Kadang sfingter tidak

berelaksasi dengan baik, sehingga mengakibatkan keadaan yang disebut akalasia

(Guyton, 2008).

Sekresi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim proteolitik.

Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah esofagus, tidak

mampu berlama-lama menahan kerja percernaan dari sekresi lambung.

Untungnya, konstriksi tonik dari sfingter esofagus bagian bawah akan membantu

untuk mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus

kecuali pada keadaan sangat abnormal (Guyton, 2008).

9

BAB IV

AKALASIA ESOFAGUS

4.1 Definisi

Akalasia adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristalis esofagus dan

gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di

esofagus. Akibatnya, terjadi hambatan masuknya makanan ke dalam

lambung sehingga esofagus berdilatasi membentuk megaesofagus

(Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Akalasia yang kuat (vigorous achalasia) terlihat pada pasien yang

memperlihatkan disfagia. Pada pasien ini, LES adalah hipertensif dan gagal

untuk relax,sebagaimana terlihat dalam achalasia. Terlebih lagi, kontraksi

corpus esofagus berlanjut untuk menjadi simultan dan non-peristaltik.

Meskipun demikian, amplitudo dari kontraksi dalam respon menelan adalah

normal atau tinggi, yang mana inkonsisten dengan achalasia klasik. Hal

tersebut dinyatakan bahawa pasien pada perkembangan awal achalasia

mungkin tidak memiliki kelainan dalan corpus esofagus yang terlihat pada

tahap selanjutnya dari penyakit. Pasien yang memperlihatkan vigorous

achalasia dapat berada pada fase awal dan akan berlanjut untuk

mengembangkan kontraksi corpus esofagus (Townsend et al, 2012).

Achalasia juga diketahui menjadi kondisi yang premalignant dari esofagus.

Lebih dari priode 20 tahun, seorang pasien akan memiliki sampai 8%

peluang untuk berkembangnya carcinoma. Squamous cell carcinoma adalah

tipe yang umum teridentifikasi paling banyak dan dipikirkan menjadi akibat

dari long-standing air fluid levels dalam corpus esofagus, yang

menyebabkan iritasi mukosa dan menginduksi metaplasia.

Acdenocarcinoma cenderung untuk muncul dalam sepertiga tengah dari

esofagus, dibawah air-fluid level dimana iritasi mukosa adalah yang paling

10

besar. Tidak ada program pengawasan yang spesifik telah dimulai pada

pasien dengan achalasia yang terobati (Townsend et al, 2012).

4.2 Etiologi

Dasar penyebab akalasia adalah tidak efektifnya peristalsis esofagus bagian

distal serta gagalnya relaksasi sfingter bawah. Penelitian menunjukkan

adanya kelainan persarafan parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di

dalam plexus Auerbach, yang disebut juga pleksus mienterikus, yang diduga

terjadi akibat proses autoimun atau infeksi kronis (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

4.3 Patogenesis

Segmen esofagus bagian bawah yang panjangnya berkisar antara 2–8 cm

menyempit dantidak mampu berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari

penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan pemanjangan sehingga

akhirnya menjadi megaesofagusyang berkelok-kelok. Bentuk esofagus ini

sangat bergantung pada lamanya proses, dapat berbentuk botol, fusiform,

sampai berbentuk sigmoid dengan hipertrofi jaringan otot sirkuler dan

longitudinal. Mukosa mungkin mengalami peradangan akibat rangsangan

retensi makanan (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Akalasia adalah salah satu faktor risiko terjadinya karsinoma epidermoid.

Karsinoma dapat terjadi pada 5% pasien yang tidak mendapat terapi, rata-

rata 20 tahun dari saat terdiagnosis. Jika sudah terjadi karsinoma,

prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma esofagus yang

bukan berasal dari akalasia. Hal ini diduga karena gejalanya sangat mirip

dengan akalasia sehingga menimbulkan keterlambatan diagnosis

(Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Patogenesis dari akalasia diduga terjadi degenerasi neurogenik, yang mana

idiopatik atau karena infeksi. Pada binatang eksperimen, penyakit ini telah

direproduksi oleh destruksi nucleus ambiguus dan nucleus motor dorsalis

dari nervus vagus. Pada pasien dengan penyakit ini, perubahan degeneratif

11

telah ditunjukkan oleh nervus vagus dan pada ganglia dalam pleksus

mienterikus dari esofagus itu sendiri. Degenerasi ini mengakibatkan

hipertensi dari LES (lower esophageal sphincter), sebuah kegagalan sfingter

untuk merelaksasikan penelanan, peningkatan dari tekanan esofagus

intraluminal, dilatasi esofagus, dan kehilangan berikutnya dari peristalsis

yang progresif pada corpus esofagus. Dilatasi esofagus mengakibatkan

kombinasi dari sfingter yang tidak berelaksasi, yang mana menyebabkan

perubahan anatomis yang terlihat pada studi radiografis, seperti sebagai

sebuah esofagus yang terdilatasi dengan bentukan lonjong/lancip,

penyempitan seperti “bird’s beak” pada akhir distal. Ada tingkat air fluid

level pada esofagus dari makanan dan saliva yang terentensi, ketinggian

yang mana merefleksikan derajat resistensi yang dipaksakan oleh sfingter

yang tidak relaksasi. Sebagai progres dari penyakit, esofagus menjadi

terdilatasi dan berkelok-kelok secara masif (Brunicardi et al, 2010).

4.4 Gambaran Klinis

Akalasia biasanya dimulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang

ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Gejala utama

akalasia adalah disfagia, regurgitasi, rasa nyeri atau tidak enak di belakang

sternum dan berat badan menurun. Lama timbulnya gejala sangat bervariasi,

dari beberapa hari sampai bertahun-tahun, dan gejala lambat laun semakin

berat (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Trias klasik dari gejala-gejala yang tampak terdiri atas disfagia, regurgitasi,

dan penurunan berat badan. Meskipun demikian, heartburn, tersedak setelah

makan (postprandial choking), dan batuk nokturnal adalah umum terlihat.

Disfagia yang pasien alami mulai dengan cairan dan berlanjut ke padat.

Kebanyakan pasien menggambarkan makan sebagai sebuah proses yang

membutuhkan banyak tenaga. Mereka makan secara perlahan dan

menggunakan volume air yang besar untuk membantu menghempaskan

makanan ke bawah dalam lambung. Saat air memperkuat tekanan, nyeri

dada retrosternal dialami dan dapat memberat sampai LES terbuka, yang

12

mana memberika rasa lega yang cepat. Regurgutasi makanan-makanan yang

tak tercerna, dan berbau busuk adalah umum dan dengan progresifnya

penyakit, aspirasi dapat menjadi mengancam jiwa. Pneumonia, abscess paru,

dan bronchiectasis sering merupakan hasil dari long standing achalasia.

Disfagia berlanjut secara perlahan bertahun-tahun dan pasien beradaptasi

pada pola hidupnya untuk mengakomodasi ketidaknyamanan yang

menyertai penyakit ini. Pasien sering tidak mencari perhatian medis sampai

gejala-gejala mereka berlanjut dan akan hadir dengan peregangan yang

nyata dari esofagus. (Townsend et al, 2012).

Disfagia adalah gejala utama yang mula-mula dirasakan sebagai rasa penuh

atau rasa mengganjal di daerah esofagus distal, hilang timbul, dan semakin

lama semakin berat. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu

disertai minum yang banyak. Regurgitasi terjadi bila penyakit sudah lanjut

dan sudah terjadi dilatasi esofagus bagian proksimal. Regurgitasi biasanya

dirasakan pada waktu malam sehingga pasien terbangun dari tidurnya.

Makanan yang mengalir balik belum dicerna, tidak asam,l dan baunya manis

karena pengaruh ludah. Keadaan ini berbahaya karena dapat menimbulkan

pneumonia aspirasi. Keluhan nyeri umumnya tidak dominan. Mula-mula

keadaan gizi baik dan baru menurun pada tahap lanjut (Sjamsuhidajat dkk,

2007).

4.5 Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti. Dengan

anamnesis sebetulnya sudah dapat diduga adanya akalasia, walaupun

demikian tetap harus dipikirkan diagnosis banding penyakit keganasan,

stenosis, atau benda asing esofagus (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Pada esofagografi terdapat penyempitan daerah batas esofagogaster dan

dilatasi bagian proksimalnya. Jika proses akalasia sudah lama, bentuk

esofagus berubah menjadi berkelok dan akhirnya berbentuk huruf S. Dengan

pemeriksaan esofagoskopi dapat disingkirkan kelainan penyempitan karena

13

striktur atau keganasan. Pada akalasia, terdapat gangguan kontraksi dinding

esofagus sehingga pengukuran tekanan di dalam lumen esofagus dengan

manometri sangat menentukan diagnosis. Tekanan di dalam sfingter

esofagogaster meninggi dan tekanan di dalam lumen esofagus lebih tinggi

daripada tekanan di dalam lambung (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Diagnosis dari achalasia biasanya dibuat dari esofagogram dan studi

motilitas. Penemuan tersebut dapat beraneka ragam, tergantung pada sifat

alami yang berkelanjutan dari penyakit. Esofagogram akan menunjukkan

esofagus yang berdilatasi dengan penyempitan distal yang disebut sebagai

gambaran “paruh burung klasik” (classic bird’s beak) dari esofagus yang

terisi barium (Townsend et al, 2012). Pemeriksaan esofagografi

menggunakan kontras pada kurang lebih 90% pasien yang dicurigai

menderita akalasia menunjukkan adanya pelebaran esofagus dan bentuk

klasik gambaran paruh burung. Tetapi pada pasien yang menjalani

pemeriksaan ini, hanya 50-58% pasien menunjukkan adanya gambaran

radiologis yang mendukung diagnosis akalasia, sementara sisanya perlu

menjalani pemeriksaan manometri untuk menegakkan diagnosis. Jadi,

esofagografi dengan kontras kurang sensitif sebagai pemeriksaan penunjang

tunggal untuk kasus akalasia (Sjamsuhidajat dkk, 2007). Spasme sfingter

dan pengosongan yang tertunda melalui LES, sebaik dilatasi dari corpus

esofagus diobservasi. Kurangnya gelombang peristaltik pada corpus dan

kegagalan relaksasi dari LES harus diperhatikan. Kurangnya gelembung

udara lambung merupakan penemuan yang umum bagian yang tegak lurus

dari esofagogram dan merupakan hasil dari LES yang erat yang tidak

mengijinkan udara untuk melewati dengan mudah ke dalam lambung. Pada

tahap yang lebih lanjut dari penyakit, dilatasi esofagus yang masif, kelokan,

dan esofagus sigmoidal (megaesophagus) terlihat (Townsend et al, 2012).

14

Gambar 2 : Penelanan Barium yang Menunjukkan Gambaran Khusus

(Bird’s Beak) pada Akalasia Esofagus

Foto Roentgen dada memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam

menegakkan diagnosis akalasia, sehingga perlu dilakukan konfirmasi tes

radiografik lainnya seperti fluoroskopi kontras barium, endoskopi, dan

manometri. Beberapa penyakit dapat memberikan gambaran menyerupai

akalasia pada foto Roentgen dada maupun barium kontras, seperti

15

adenokarsinoma, keganasan esofagus, keganasan lambung, keganasan paru

non-sel kecil, skleroderma, amiloidosis, penyakit kolagen vaskular, dan

limfoma (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Endoskopi konvensional, manometri, dan foto kontras esofagus dapat

membedakan akalasia dari pseudoakalasia. Penggunaan ultrasonografi

memiliki kehandalan yang baik, yakni sekitar 82-100% dalam membedakan

antara akalasia murni dan psudoakalasia (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Manometri merupakan uji baku emas (gold standard) untuk diagnosis dan

akan membantu mengeliminasi gangguan motilitas esofagus yang potensial

lainnya. Dalam akalasia tipikal, penelusuran manometri menunjukkan lima

penemuan klasik, dua kelainan dari LES, dan tiga dari corpus esofagus. LES

akan menjadi hipertensif, dengan tekanan yang biasanya lebih tinggi dari 35

mmHg tetapi, lebih penting lagi, akan gagal untuk relaksasi dengan deglutisi

(menelan). Corpus esofagus akan memiliki tekanan diatas dasar (penekanan

pada esofagus) dari evakuasi undara yang tidak sempurna, simultaneous

mirrored contraction dengan tidak ada bukti dari peristalsis yang progresif,

dan bentuk gelombang beramplitudo rendah mengindikasikan kurangnya

tonus otot. Lima penemuan ini memberikan diagnosis akalasia. Endoskopi

dilakukan untuk mengevaluasi mukosa sebagai bukti dari esofagus atau

kanker. Jika tidak endoskopi akan berkontribusi kecil pada diagnosis

akalasia (Townsend et al, 2012).

4.6 Penatalaksanaan

Ada pilihan pengobatan bedah dan non bedah untuk pasien dengan akalasia;

semua diarahkan pada penurunan obstruksi yang disebabkan oleh LES.

Karena tidak dari mereka menyatakan hasil dari penurunan motilitas pada

corpus esofagus, mereka seluruhnya merupakan pengobatan paliatif

(Townsend et al, 2012).

16

Diet dan obat-obatan untuk menghilangkan atau mengurangi kontraksi

sfingter esofagus dan otot polos dinding esofagus dianjurkan pada tahap

awal penyakit. Tindakan ini biasanya disertai dengan dilatasi yang bertujuan

membuat sfingter esofagus bagian bawah terbuka sehingga otot-ototnya

rusak (Sjamsuhidajat dkk, 2007). Pilihan pengobatan nonbedah meliputi

obat-obatan dan intervensi endoskopi tetapi biasanya hanya merupakan

solusi jangka pendek untuk sebuah masalah yang abadi. Pada tahap awal

dari penyakit, pengobatan medis dengan nitrogliserin sublingual, nitrat, atau

calcium channel blockers (CCB) dapat menawarkan berjam-jam

pengurangan tekanan dada sebelum atau setelah makan. Bougie dilation

sampai 54 Fr dapat menawarkan beberapa bulan sebagai pereda tetapi

memerlukan dilatasi berulang untuk dapat bertahan (Townsend et al, 2012).

Injeksi botulinum toxin (Botox) secara langsung ke dalam LES mengeblok

pelepasan asetilkolin, mencegah kontraksi otot halus, dan secara efektif

merelaksasikan LES. Dengan pengobatan berulang, Botox dapat

menawarkan pereda gejala selama bertahun-tahun, tetapi gejala-gejala

timbul lagi lebih dari 50% dalam waktu enam bulan (Townsend et al, 2012).

Toksin botulinum yang disuntikkan dengan bantuan endoskop adalah toksin

yang bekerja menghambat pengeluaran asetilkolin di prasinaps pada serabut

syaraf sehingga dapat menurunkan tonus sfingter esofagus. Meskipun

demikian, terapi ini hanya berhasil pada dua pertiga pasien. Selain itu pula,

boyulinum hanya efektif untuk jangka pendek sehingga harus dilakukan

penyuntikan ulang (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Dilatasi dengan Gruntzig-type balloon (volume terbatas, kontrol tekanan)

adalah efektif pada 60% pasien dan memiliki sebuah risiko perforasi kurang

dari 4%; meskipun demikian, perforasi mengancam jiwa dan harus

dititikberatkan secara hati-hati pada pasien yang tidak sehat (Townsend et

al, 2012). Dilatasi yang dilakukan dengan dilator yang terdiri atas sonde

dengan balon yang dapat diisi dengan udara atau air bertekanan tinggi

sehingga otot sirkuler teregang dan robek. Dilatasi ini harus diulang sewaktu

timbul gejala kembali. Angka keberhasilan cara dilatasi 70% dengan

17

komplikasi perforasi 1.4% dan kematian 0.3%. massalah yang sering timbul

adalah refluks, yang terjadi pada 22% kasus (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Bedah esofagotomi terdiri atas memotong otot esofagus pada arah sumbu

esofagus sepanjang sfingter bawah, di luar mukosa. Tindakan ini dapat

dikerjakan secara terbuka (torakotomi atau laparotomi), torakoskopik, atau

laparoskopik. Hasil operasi ini cukup memuaskan. Tingkat keberhasilannya

dikatakan mencapai 80-90%, bergantung pada keterampilan operator. Bukti

penelitian yang kuat menyimpulkan bahwa indikasi esofagomiotomi adalah

pasien yang (1) masih berusia muda, (2) mengalami kegagalan terapi

farmakologis atau dilatasi balon, (3) berisiko tinggi mengalami perforasi

pada teknik dilatasi, yaitu pasien dengan esofagus yang berkelok-kelok atau

divertikula, atau telah menjalani pembedahan untuk kelainan lain

sebelumnya, dan (4) ingin menghindari prosedur terapi berulang.

Esofagomiotomi memberikan hasil yang memuaskan pada 95% kasus,

dengan lama perawatan rumah sakit hanya tiga hari bila dikerjakan secara

laparoskopik (Sjamsuhidajat dkk, 2007).

Bedah esofagotomi menawarkan hasil yang superior dan kurang membuat

trauma daripada dilatasi balon. Teknik saat ini merupakan modifikasi dari

Heller myotomy yang digambarkan secara original oleh sebuah laparotomi

pada 1913. Perubahan yang bervariasi telah dibuat untuk prosedur tersebut

tetapi modified laparoscopic Heller myotomy merupakan pilihan operasi saat

ini. Hal tersebut dikerjakan atau dengan video atau bantuan robot.

Keputusan untuk melakukan sebuah prosedur antirefluks menyisakan

kontroversi. Kebanyakan pasien yang telah menjalani sebuah myotomi akan

mengalami beberapa gejala-gejala refluks. Tambahan prosedur antirefluks

parsial, seperti Toupet atau Dor fundoplication, akan mengembalikan

perlindungan terhadap refluks dan menurunkan gejala-gejala postoperatif.

Ini khususnya nyata pada pasien yang bersihan esofagusnya (esophageal

clearance) dirusak dengan hebat (Townsend et al, 2012).

18

Esofagotomi dipertimbangkan dalam beberapa pasien simptomatis dengan

esofagus yang berkelok-kelok (megaesofagus), esofagus sigmoid, kegagalan

lebih dari satu myotomi, atau sebuah striktur refluks yang tidak dapat

berdilatasi. Lebih sedikit dari 60% pasien yang menjalani keunggulan

myotomi berulang dari operasi, dan fundoplikasi untuk pengobatan striktur

refluks bahkan memiliki hasil yang lebih buruk. Terlebih lagi untuk

mengobati secara tepat akalasia tahap akhir, reseksi esofagus juga

mengeliminasi risiko untuk karsinoma. Sebuah transhiatal esophagotomy

dengan atau tanpa pemeliharaan nervus vagus menawarkan hasil jangka

panjang yang baik (Townsend et al, 2012).

19

BAB V

KESIMPULAN

1. Akalasia adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristaltik esofagus dan

gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di

esofagus.

2. Menurut penelitian penyebab akalasia disebabkan karena adanya kelainan

persarafan parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam plexus

Auerbach, yang disebut juga pleksus mienterikus, yang diduga terjadi akibat

proses autoimun atau infeksi kronis.

3. Patogenesis dari akalasia diduga terjadi degenerasi neurogenik, yang mana

idiopatik atau karena infeksi. Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari

LES (lower esophageal sphincter), sebuah kegagalan sfingter untuk

merelaksasikan penelanan, peningkatan dari tekanan esofagus intraluminal,

dilatasi esofagus, dan kehilangan berikutnya dari peristalsis yang progresif

pada corpus esofagus.

4. Dilatasi esofagus mengakibatkan kombinasi dari sfingter yang tidak

berelaksasi, yang mana menyebabkan perubahan anatomis yang terlihat pada

studi radiografis, seperti sebagai sebuah esofagus yang terdilatasi dengan

bentukan lonjong/lancip, penyempitan seperti “bird’s beak” pada akhir distal.

5. Trias klasik dari gejala-gejala akalasia terdiri atas disfagia, regurgitasi, dan

penurunan berat badan.

6. Manometri merupakan uji baku emas (gold standard) untuk diagnosis akalasia

dan akan membantu mengeliminasi gangguan motilitas esofagus yang

potensial lainnya.

7. Tujuan utama penatalaksanaan akalasia adalah menurunkan tahanan sfingter

esofagus bagian bawah, sehingga bolus makanan dapat turun ke dalam

lambung karena gravitasi. Penurunan tahanan sfingter dapat dicapai dengan

dilatasi balon dan bedah esofagotomi.

20

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews

JB, Pollock RE. Schwartz’s principles of surgery, 9th ed. USA: The

McGraw-Hill Companies, Inc. 2010.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology, 11th ed. Singapore:

Elsevier. 2008.

Moore KL, Agur AMR. Essential clinical anatomy, 3rd ed. Ontario: Lippincott

Williams & Wilkins. 2007.

Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku

ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat – De Jong, Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2007.

Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of

surgery: the biological basis of modern surgical practice 19th ed.

Philadelphia: Elsevier Saunders. 2012.