Adhd

download Adhd

If you can't read please download the document

Transcript of Adhd

I.

PENDAHULUAN

Sejak dua puluh tahun terakhir gangguan pemusatan perhatian atau ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders) menjadi masalah bagi kalangan medis dan orang tua yang memiliki anak penyandang ADHD. Gangguan ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia. Bisaanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi. Gangguan hiperaktif sering dijumpai pada gangguan perilaku pada anak. Deteksi dini gangguan ini sangat penting dilakukan untuk meminimalkan gejala dan akibat yang ditimbulkannya dikemudian hari. Hal ini harus melibatkan beberapa lapisan masyarakat. Baik dikalangan medis maupun nonmedis. Dokter umum, dokter spesialis anak dan klinisi lainnya yang berkaitan dengan kesehatn anak harus bisa mendeteksi sejak dini faktor resiko dan gejala yang terjadi. Manifestasi klinis yang terjadi dapat timbul pada usia dini namun gejalanya akan tampak nyata pada saat mulai sekolah melakukan anamnesa terhadap orang tua dan guru, guna mengevaluasi perkembangan dan mengarahkan pola pendidikan dan pengasuhan anak dengan hiperaktif bila dapat dilakukan deteksi dini dan penatalaksanaan pada tahap awal. Adapun tujuan untuk penulisan ini antara lain untuk memenuhi tugas mata kuliah seminar klinis, mengetahui definisi ADHD, karakteristik ADHD, faktorfaktor yang mempengaruhi ADHD dan mengetahui intervensi terhadap anak ADHD.

1

II. A. Definisi

ISI

ADHD berawal dari hasil penelitian Prof. George F. Still, seorang dokter Inggris pada tahun 1902. Penelitian terhadap sekelompok anak yang menunjukkan suatu ketidakmampuan abnormal untuk memusatkan perhatian yang disertai dengan rasa gelisah dan resah. Anak-anak itu mengalami kekurangan yang serius dalam hal kemauan yang berasal dari bawaan biologis. Gangguan tersebut diakibatkan oleh sesuatu di dalam diri si anak dan bukan karena faktor-faktor lingkungan. Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu gangguan yang sebagian besar sering terjadi pada masa kanak-kanak. Menurut DSM-IV, ciri-ciri dari gangguan ini adalah sebuah pola hiperaktivitas-impulsivitas dan/ atau inatensi yang tidak sesuai dengan perkembangan anak (Parker dkk, 2004). Secara umum ada tiga bentuk perilaku yang bisa dihubungkan dengan gangguan ADHD, yaitu: 1. Inatentif (tidak memperhatikan) atau distraktif (mudah terusik) 2. Impulsif (semaunya sendiri) 3. Hiperaktif (Fanu, 2006) Asosiasi Psikiater Amerika (APA, 2000) mengidentifikasi tiga jenis ADHD dan kategori ketiganya digunakan secara meluas di banyak negara. Ketiga jenis ADHD tersebut adalah: 1. ADHD dengan ketiga cirri-ciri, yaitu inatentif, impulsive dan hiperaktif 2. ADHD dengan ciri-ciri paling dominan adalah inatentif 3. ADHD dengan ciri-ciri paling dominan adalah impulsif dan hiperaktif Pada seorang individu, gangguan-gangguan tersebut bisa terjadi secara terpisah misalnya seseorang menderita inatensif atau impulsif saja tanpa mengalami gangguan lainnya. Akan tetapi, seorang individu dapat mengalami secara bersamaan ketiga gangguan tersebut yaitu mengalami

inatensif, impulsif dan hiperaktif. ADHD di Indonesia diartikan sebagai gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. ADHD adalah suatu kondisi di mana seseorang memiliki masalah perhatian dan pemusatan terhadap kegiatan. Berawal dari masa kanak-kanak dan dapat berlanjut ke masa dewasa. Tanpa perawatan, ADHD dapat menyebabkan permasalahan serius di rumah, sekolah, pekerjaan, dan interaksi sosial di masyarakat. Anak laki-laki dengan ADHD menunjukkan tingkat yang besar pada aktivitas motorik, agresif dan perilaku antisosial, sedangkan anak perempuan dengan ADHD menunjukkan pelemahan kognitif dan disfungsi bahasa. Perempuan dengan ADHD juga menunjukkan abnormalitas metabolisme otak dibandingkan laki-laki (Young, 2002). Anak-anak dengan ADHD juga berisiko dan sering didiagnosis dengan gangguan kejiwaan komorbid seperti gangguan perilaku, gangguan oposisi menentang, depresi dan gangguan belajar (Parker dkk, 2004). Anak-anak perempuan dengan ADHD tipe kombinasi lebih mungkin mendapatkan diagnosis komorbid, yaitu gangguan tingkah laku atau gangguan sikap menentang daripada anak-anak yang tidak mengalami ADHD (Davison, 2006). Anak perempuan dengan ADHD lebih mungkin mengalami gangguan perhatian, perasan dan kecemasan, sedangkan anak laki-laki dengan ADHD lebih mungkin mengalami gangguan menentang (Waschbusch & King, 2006). Penelitian Ostrander dan Herman (2006) menghasilkan: 1. Pada subjek yang lebih tua (10 tahun ke atas), variabel kogntif, locus of control, sebagian menengahi hubungan antara ADHD, manajemen orang tua, dan depresi. Manajemen orang tua juga sebagian menengahi hubungan ADHD dengan locus of control dan depresi. 2. Pada subjek yang lebih muda (di bawah 8 tahun), locus of control tidak menengahi pengaruh manajemen orang tua dan ADHD pada depresi. Sesuai dengan teori perkembangan, hanya variabel lingkungan, manajemen orang tua yang menjelaskan hubungan antara

3

ADHD dan depresi pada subjek yang lebih muda. 3. Pada subjek usia 8-9 tahun, antara locus of control dan manajemen orang tua sebagian menengahi antara ADHD dengan depresi. Akan tetapi, sama halnya dengan subjek yang lebih muda, locus of control tidak menengahi hubungan antara manajemen orang tua dengan depresi. Informasi mengenai perempuan dengan ADHD dalam penelitian yang ada kurang cukup, artinya bahwa sedikit yang mengetahui tentang bagaimanan perempuan dengan ADHD menunjukkan simptomatologi yang berkelanjutan dan melemah sepanjang kehidupan (Hinshaw dkk, 2006). B. Sebab-sebab 1. Dimensi Biologi a. Faktor Genetik Penelitian menunjukkan bahwa predisposisi genetic terhadap ADHD kemungkinan berperan. Menurut Biederman dkk (1995, dalam Davison dkk, 2006), bila orang tua mengalami ADHD, sebagian anak mereka memiliki kemungkinan mengalami gangguan tersebut. Berbagai studi adopsi dan sejumlah studi orang kembar berskala besar mengindikasikan adanya komponen genetik dalam ADHD, dengan tingkat kesesuaian kembar MZ sebesar .70 hingga .80 (Davison dkk, 2006). b. Kerusakan Otak Kerusakan otak bisa mengakibatkan gejala hiperaktivitas, ketiadaan perhatian, dan impulsivitas. Hanya 5-10% anak-anak ADHD yang diakibatkan karena kerusakan otak (Martin, 2008). Beberapa studi mendokumentasikan bahwa frontal lobe pada anakanak dengan ADHD kurang responsif terhadap stimulasi (Rubia dkk, 1999; Tannock, 1998; dalam Davison dkk, 2006), dan aliran darah serebal berkurang (Sieg dkk, 1995, dalam Davison, 2006).

Pada anak ADHD, ukuran frontal lobe, nukleus kaudat, globus pallidus lebih kecil dibandingkan ukuran normal (Davison dkk, 2006). c. Merokok Riset menunjukkan bahwa risiko ADHD lebih tinggi pada bayi yang ibunya merokok selama masa kehamilan. Asap rokok mempunyai hubungan erat dengan ADHD, beberapa penelitian menunjukkan anak yang mengidap ADHD berhubungan erat dengan ibu yang merokok selama masa kehamilan, diduga nikotin dapat mengakibatkan hypoxia (kekurangan oksigen) pada janin yang pada akhirnya dapat membuat bayi kekurangan suplai oksigen ke otak dan menimbulkan kerusakan. Penelitian ini berlanjut pada lingkungan sekitarnya yang dipenuhi dengan asap rokok atau ibu yang merokok pada masa sesudah melahirkan mempunyai hubungan erat dengan kemunculan ADHD pada anaknya. Penelitian (2006) yang dilakukan oleh Environmental Health Perspectives menemukan bahwa 4.704 anak-anak (usia 4-45 tahun) atau sekitar 4,2% penderita ADHD memiliki ibu yang merokok selama kehamilan mempunyai potensi berkembangnya ADHD yang lebih parah 2,5 kalinya dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok semasa kehamilan (Martin, 2008). d. Keracunan Timah Hitam (Timbal) Timah hitam adalah racun saraf yang kuat yang terkandung pada cat-cat rumah yang terkelupas, bensin, dan lain-lain. Beberapa penelitian telah mengukur jumlah timah hitam di dalam darah, rambut, atau gigi anak-anak. Dan ketika para guru diminta untuk mengukur tingkat hiperaktivitas dan ketiadaan perhatian pada anakanak tersebut. Hasil penelitiannya ada hubungan antara timah hitam dan ketiadaan perhatian. Namun, penelitian yang mengatakan bahwa hampir tidak ada hubungan antara tingkat timah hitam pada darah dan hiperaktivitas. Timah hitam bukan penyebab utama

5

ADHD (Martin, 2008). 2. Dimensi Sosial The World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa diagnosis ADHD dapat mewakili disfungsi keluarga atau kekurangan dalam sistem pendidikan bukannya psikopatologi individu itu sendiri. Russell Barkley namun tidak sependapat dan tidak menemukan bukti kuat bahwa faktor-faktor sosial sendiri dapat menyebabkan ADHD. Para peneliti lain percaya bahwa hubungan dengan pengasuh mempunyai efek yang besar pada diri attentional dan kemampuan regulator. Lebih jauh lagi, Complex Post Traumatic Stress gangguan perhatian dapat mengakibatkan masalah yang dapat terlihat seperti ADHD. ADHD juga dianggap berkaitan dengan disfungsi integrasi sensorik (Baihaqi & Sugiarman, 2008). C. Pendekatan Psikoanalisis anak, Bruno Bettelheim (1973, dalam Davison dkk, 2006) mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD, yang menyatakan bahwa hiperaktivitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan tersebut dipasangkan dengan pola asuh yang otoritarian. Jika seorang anak yang mengalami disposisi aktivitas yang berlebihan dan mudah berubah moodnya mengalami stress karena orang tua yang mudah menjadi tidak sabar dan marah, si anak dapat menjadi tidak mampu manghadapi tuntutan orang tuanya untuk selalu patuh. Dengan terbentuknya pola perilaku mengganggu dan tidak patuh, si anak tidak dapat mengatasi berbagai tuntutan di sekolah, dan perilakunya sering kali bertentangan dengan berbagai aturan di kelas. Dengan demikian, karakteristik dan pola keluarga dapat sangat berkorelasi dengan bertahannya atau konsekuensi ADHD. Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa keluarga menyebabkan terjadinya ADHD (Johnson & Marsh, 2001, dalam Davison dkk, 2006). D. Gejala

Menurut DSM IV, gejala-gejala ADHD yaitu: 1. Kurang perhatian a. Sering gagal untuk member perhatian pada detail atau membuat kekeliruan yang tidak hati-hati dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan atau aktivitas lain. b. Sering mengalami kesulitan mempertahankan perhatian pada aktivitas tugas atau permainan. c. Sering terlihat tidak mendengarkan ketika diajak berbicara langsung. d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, tugas atau kewajiban di tempat kerja (tidak disebabkan perilaku menentang atau tidak mengerti instruksi) e. Sering mengalami kesulitan mengatur tugas dan aktivitas. f. Sering menghindari, tidak menyukai, atau enggan terlibat tugas yang membutuhkan upaya mental yang terus menerus (seperti pekerjaan sekolah atau pekerjaan rumah) g. Sering kehilangan barang-barang yang dibutuhkan untuk tugas atau aktivitas (misalnya mainan, tugas sekolah, pensil, buku, atau peralatan) h. Sering dengan mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulus ekternal. i. Sering lupa pada aktivitas sehari-hari. 2. Hiperaktivitas a. Sering gelisah dengan tangan atau kaki atau menggeliat di tempat duduk. b. Sering meninggalkan tempat duduk di ruang kelas atau pada situasi laon di mana diharapkan untuk tetap duduk.

7

c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan pada situasi yang tidak tepat (pada remaja atau orang dewasa, subyektif) d. Sering mengalami kesulitan bermain atau meikmati aktivitas di waktu luang dengan tenang. e. Sering sibuk atau sering bertindak seakan-akan dikendalikan oleh sebuah mesin. f. Sering bicara secara berlebihan. 3. Impulsivitas a. Sering menjawab tanpa berpikir sebelum pertanyaan selesai. b. Sering kesulitan menunggu giliran. c. Sering menyela atau menggangu orang lain (misalnya, memotong pembicaraan atau permainan. E. Onset Ada beberapa kasus ADHD yag dimulai di masa kanak-kanak, tetapi hal ini sulit untuk dibentuk. Sanson dkk (1993, dalam Baihaqi & Sugiarman, 2008) melaporkan bahwa sekelompok anak-anak yang hiperaktif dan agresif pada usia 8 tahun telah menunjukkan temperamen yang sulit, kurang kooperatif dan lebih aktif pada usia 3-4 tahun. Hal ini diasumsikan bahwa reaksi emosional yang tidak stabil dan pengaturan diri yang rendah dapat memicu terbentuknya gangguan ADHD (Nigg dkk, 2004, dalam Baihaqi & Sugiarman, 2008). Terdapat beberapa kriteria dalam DSM-IV yang membantu kita melakukan deteksi terhadap anak-anak dengan gangguan ADHD. Seorang anak harus menampakkan beberapa karakteristik untuk dapat didignosa secara klinis mengalami ADHD. A. Keparahan Perilaku tersebut harus lebih sering muncul pada anak tersebut jika dapat terbatas pada perasaan gelisah

dibandingkan dengan anak-anak lain dalam tahap perkembangan yang sama. B. Waktu muncul Paling tidak beberapa gejala muncul sebelum usia 7 tahun. C. Durasi Perilaku harus sudah muncul paling tidak 6 bulan sebelum evaluasi. D. Dampak Gejala harus menimbulkan dampak negatif pada kehidupan akademik dan sosial anak. E. Setting Gejala harus muncul pada beberapa seting dalam kehidupan anak. Kriteria yang diberikan oleh DSM-IV dalam menegakkan diagnosa ADHD, sebagai berikut: A. Memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan atau memenuhi 6 atau lebih paling gejala tidak tingkat hiperaktivitas-impulsivitas dan tidak sesuai

selama 6 bulan pada tingkat menganggu dengan perkembangan. B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun. C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan). D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.

9

E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian). F. Prevalensi ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi akhir-akhir ini (Bradley & Golden, 2001, dalam Nevid, 2003). Gangguan ini diperkirakan mempengaruhi 3% sampai 7% anak-anak usia sekolah, atau sekitar 2 juta anak Amerika (Shute, Locy, & Pasternak, 2000 ; Wingert, 2000; APA, 2000, dalam Nevid, 2003). ADHD didiagnosis 2 sampai 9 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (APA, 2000, dalam Nevid, 2003). Persentase ADHD Di Indonesia pada anak-anak usia sekolah secara pasti masih belum diketahui karena peningkatan jumlah kasusnya sangat bervariasi. Ekowarni (2003) menyebutkan data dari unit Psikiatri Anak (daycare) RSUD Dr.Soetomo Surabaya menunjukkan adanya peningkatan (sebesar 3.33%) jumlah pasien anak ADHD dengan berbagai karakteristik dari tahun 2000 ke tahun 2001, yakni dari 60 anak menjadi 86 anak. Data jumlah anak ADHD dengan berbagai karakteristik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2001 adalah 30 anak dengan ADHD yang tanpa disertai gangguan lain (32,96%), 15 anak dengan ADHD dan gangguan tingkah laku (16.48%), 8 anak dengan spektrum autis (8.79%), 12 anak dengan ADHD dan epilepsi (13.19%), 13 anak dengan ADHD dan gangguan berbahasa (14.28%), 6 anak dengan ADHD dan kecerdasan batas ambang (6.59%) dan 2 anak dengan ADHD dan antisosial (2.20%). Dari 30 anak ADHD pada tahun 2001 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terdapat 21 anak laki-laki (70%) dan 9 anak perempuan (30%). Mereka terdiri atas berbagai golongan usia, yaitu : 9 anak dengan usia 3-5 tahun (30%), 18 anak

XX : Jumlah kasus Y : Tahun

0-5

dengan golongan usia 6-8 tahun (60%), 2 anak dengan golongan usia 9-126-10 11-15 16-20

Y

tahun (6.67%), dan 1 anak dengan golongan usia di atas 12 tahun (3.33%). Perjalanan gangguan ADHD sangat bervariasi dengan gejala yang kurang dapat menetap sampai remaja atau dewasa. Kurang lebih 15-20% anak ADHD tetap akan memiliki gejala ADHD atau beberapa gejala sisa sampai dewasa (Sadrock BJ; Sadock VA. Attention-Deficit Disorder, Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry, volume II, 9th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2003, pp: 1223-1231). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Limoa, dkk (2005) didapatkan hasil bahwa penderita yang mengalami ADHD paling banyak pada golongan umur 0-5 tahun sebanyak 37 pasien (56,06%), kemudian yang berumur 6-10 tahun sebanyak 26 pasien (39,39%), yang berumur 1115 tahun sebanyak 2 pasien (3,03%), dan hanya 1 pasien (1,52%) yang berumur 16-20 tahun.

40 30 20 10 0 0-5ta hun 11-15ta hun 0

Berdasarkan 66 pasien ADHD, 57 pasien (86,36%) adalah anak lakilaki dan 9 pasien (13,64%) adalah perempuan. Disini tampak bahwa persentase pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 6 : 1. Berdasarkan urutan anak dalam keluarga, penderita ADHD sebanyak 24 pasien (36,36%) anak bungsu, 11 pasien (16,67%) anak tunggal, dan pasien selain anak sulung, bungsu dan tunggal sebanyak 15 pasien (22,73%).

11

Berdasarkan keluhan utama pasien dibawa kepsikiater didapatkan persentase bahwa anak hiperaktif sebanyak 41 pasien (62,12%), disusul 13 pasien (3,03%) tidak dapat berkomunikasi, dan 3 pasien (4,55%) datang dengan keluhan lain, yaitu tidak mendengar bila dipanggil dan tidak bisa dilarang. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa perbandingan penderita ADHD antara laki-laki dan perempuan adalah 4:1 dalam jenis dan tipe hiperaktif impulsif. Terlebih lagi orang tua dan orang dewasa lainnya member respon terhadap gejala mereka secara berlainan. Penelitian epidemiologis mengatakan bahwa ADHD umum dialami laki-laki dibandingkan perempuan (Waschbusch, 2006). Hal ini diperkuat dengan keterangan metodologi yang sesuai dengan pola di atas. G. Terapi A. Medikasi Jenis stimulan berupa Ritalin (methylphenidate) atau Adderall, Dexedrine (sejenis amphetamine), jenis stimulan ini dianggap lebih baik dan memberi pengaruh positif pada anak dengan gangguan atensi, disamping itu efek dari obat tidak begitu buruk pada anak-anak. Penggunaan obat-obatan berbagai medikasi resiko, untuk ADHD setiap harus mempertimbangkan ingatlah obat-obat

mempunyai pengaruh terhadap fungsi organ tubuh lainnya. Kebanyakan pengunaan obat-obatan tanpa pengawasan dokter secara ketat ditemukan pada remaja yang teradiktif dengan obat-obatan selama terapi, efek ini merupakan penggunaan obat untuk jangka panjang. Obat yang digunakan untuk gangguan ADHD pada anak-anak, antara lain: Nama Obat Adderall Adderall XR Concerta Cylert Nama Generik Amphetamine Methylphenidate Pemoline Usia 3 > Tahun 6 > tahun 6 > tahun

Daytrana Dexedrine Dextrostat Focalin Metadate ER

Methylphenidate Dextroamphetamine Dexmethylphenidate

6 > tahun 3 > Tahun 6 > tahun

Methylphenidate 6 > tahun Metadate CD Ritalin Methylphenidate 6 > tahun Strattera Atomextine 6 > tahun Vyvanse Lisdexamfetamine 6 > tahun Beberapa dampak dari penggunaan obat-obatan ADHD : 1. Kehilangan gairah dan semangat2. Insomnia

3. Meningkatkan kegelisahan dan kecemasan 4. Sakit kepala ringan (Nevid, 2003) B. Terapi Okupasi Anak ADHD mempunyai perkembangan motorik kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibandingkan anak normal seusianya. Pada anak ADHD, terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan kemampuan ototnya. Otot jari tangan misalnya, sangt penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangan. Seperti juga menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano dan lain-lain (Monika & Waruwu, 2006). C. Token Economy Token economy adalah sebuah program dimana sekelompok individu bisa mendapatkan token untuk beberapa perilaku yang diharapkan muncul, dan token yang dihasilkan bisa ditukar dengan back up reinforcer. Token ekonomi dibuat berdasarkan prinsip conditioning reinforcement. Conditioning reinforcement adalah stimulus yang tidak secara langsung menguatkan perilaku, namun stimulus tersebut bisa menjadi penguat jika dipasangkan dengan reinforcer lain. Tujuan dari token ekonomi adalah untuk menguatkan

13

perilaku yang diinginkan terhadap klien. Hal itu digunakan sebagai program untuk mengurangi perilaku mereka yang tidak menyenangkan melalui sebuah struktur lingkungan treatment pada setting yang mendidik. Setiap poin diterima oleh klien untuk perilaku yang diinginkan dengan token. Token diberikan segera setelah perilaku yang diinginkan dan kemudian dipertukarkan dengan reinforcer cadangan. Karena token dipasangkan dengan reinforcer lainnya, ini akan menjadi sebuah pengkondisian reinforcer yang dapat memperkuat perilaku yang diinginkan. Reinforcer cadangan dapat diperoleh hanya dengan membayar dengan token. Dan token hanya dapat diperoleh melalui kemunculan perilaku yang diinginkan. Reinforcer cadangan dipilih karena mereka mengetahui kekuatan reinforcer untuk klien dalam lingkungan treatment. Oleh karena itu, klien dimotivasi untuk memunculkan perilaku yang diinginkan dan menghindari perilaku yang tidak diinginkan (Jenson dkk, 1988). D. Remedial Teaching Setelah anak lebih bisa memusatkan perhatian, maka diharapkan adanya remedial teaching. Program ini melibatkan pihak sekolah untuk mengejar ketertinggalan anak pada pelajaran yang diberikan.(http://kerriemearns.blogspot.com/2010/03/tipe-tipe-adhd. html. diakses

tanggal 24 Mei 2010) E. Reward dan Punishment Terapi perilaku dengan pemberian reward dan punishment pada anak ADHD bertujuan untuk meningkatkan kemampuannya untuk memusatkan perhatian dan perilaku kooperatif. Terapi ini membutuhkan waktu relatif lama dan membutuhkan perencanaan, kesabaran, dan ketelatenan sebelum mendapatkan perubahan perilaku pada anak dengan ADHD. F. Cognitive-Behavioral Therapy Penanganan cognitive-behavioral terhadap ADHD yag menggabungkan modifikasi perilaku, umumnya didasarkan pada

penggunaan reinforcement (contohnya, seorang guru memuji anak penderita ADHD yang duduk tenang) dan modifikasi kognitif (contohnya, melatih anak untuk berbicara dalam hati melalui tahapan pemecahan masalah akademik) (Braswell & Kendall, 2001 ; Hinshaw, Klein & Abikoff, 1998, dalam Nevid, 2003). G. Talk therapy Talk therapy akan membuat anak ADHD merasa menjadi lebih baik, mereka belajar mengungkapkan pikiran-pikiran yang mengganggu dan belajar mengendalikan emosi. Terapis akan berusaha membantu mengorganisir perubahan dan jadwal pekerjaan yang harus dilakukan oleh anak melalui pembicaraan kedua belah pihak. H. Social skills training Dalam pelatihan ini anak belajar cara-cara menghargai dan menempatkan dirinya bersama dengan kelompok bermainnya. Pelatihan ini juga anak diajarkan kecakapan bahasa nonverbal melalui insyarat wajah, ekspresi roman, intonasi suara sehingga anak cepat tanggap dalam pelbagai situasi sosial. I. Family support groups Anggota keluarga memainkan peran dalam pengobatan dan pengelolaan anak ADHD. Perkembangan ADHD pada tahun pertama dapat dipengaruhi peran pengasuhan (Jones, et al. 2006). Terapi yang digunakan memfokuskan pada pengurangan ketegangan dalam keluarga melalui penetapan tujuan, pemecahan masalah dan manajemen stress serta peningkatan komunikasi antar anggota keluarga (Ford et al. 2007). Merupakan kelompok orangtua yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan ADHD untuk berbagi pengalaman. Kelompok ini juga saling menyediakan informasi bagi sesama anggotanya, mengundang pembicara profesional untuk berbagi pengetahuan dalam menghadapi dan membesarkan anak-anak mereka. Peranan pengasuhan (keluarga) lebih memfokuskan pada bagaimana anak dapat mengendalikan emosi dan perilakunya. Peranan pengasuhan adalah

15

mengarahkan perilaku dan perasaan marah, ketakutan, rasa bersalah dan kesedihan pada hal-hal yang lebih positif (Concannon & Tang, 2005 ; Bull & Whelan, 2006). J. Terapi Modifikasi Perilaku Menurut Ross & Ross (1982) terapi modivikasi perilaku dapat membantu mengatasi problem ADHD pada anak. Beberapa hasil penting dalam fungsi sehari-hari pada anak-anak ADHD yang dapat dicapai dalam modivikasi perilaku adalah : kepatuhan mengikuti perintah, pengendalian perilaku hiperkatifitas, peningkatan disiplin, kemandirian dan tanggung jawab, perbaikan prestasi akademik, perbaikan hubungan dengan anggota keluarga dan relasi sosial. Salah satu bentuk modivikasi perilaku yang umumnya dilakukan oleh terapis anak ADHD adalah time out. Time out merupakan suatu cara menghilangkan situasi negatif pada anak dengan memberikan waktu kepadanya agar bisa berfikir lebih tenang mengenai apa yang telah dilakukannya. Pendekatan ini merupakan alat yang tepat untuk anak-anak berusia 18 bulan sampai 10 tahun. Cara ini bisa digunakan untuk mengendalikan perilaku-perilaku seperti marah yang meledak-ledak, menggigit, memukul atau melempar barang-barang (Martin, 2008). Suatu penelitian time out telah dilakukan oleh Fabiano (2003) untuk menangani kebiasaan menggigit pada anak. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa time out yang diterapkan di tempat penitipan anak menunjukkan penurunan frekuensi menggigit yaitu menjadi 6 kali minggu pertama, 4 kali minggu kedua, dan 0 kali pada minggu ketujuh. Selanjutnya saat time out diberlakukan di rumah, frekuensi menggigit mengalami penurunan secara drastis didukung dengan terlibatnya ibu dalam pelaksanaan metode tersebut. Setelah di follow up, kebiasaan menggigit hilang pada minggu ke 9 dan 10. H. Prevensi

1. Menjaga kesehatan diri, hal ini sangat penting karena anda membutuhkan energi yang cukup untuk menangani anak ADHD. 2. Banyaklah belajar tentang ADHD, karena anda akan lebih mampu untuk membantu anak ADHD jika telah memahaminya. 3. Belajarlah ketrampilan tentang perilaku anak-anak. Mereka memerlukan bantuan bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang lain secara normal. 4. Bantulah anak ADHD agar mampu menjaga diri mereka sendiri. 5. Bantulah anak ADHD supaya dapat bersekolah dengan baik. Hal ini karena ADHD menghambat kemampuan anak untuk bisa berhasil dalam sekolahnya. Dampingi mereka agar akademis, sosial, dan psikisnya tetap terkontrol. 6. Berikan dan bantu anak ADHD untuk melakukan tugas di rumah. Dibanding dengan anak-anak yang lain, mereka mengalami kesulitan berkomunikasi. Seringnya menghiraukan instruksi menyebabkan kekacauan dalam melakukan tugasnya sehingga menyebabkan ketidakselesaian tugas tersebut. 7. Sangat diperlukan, kepekaan, kesabaran, keikhlasan, ketekunan, dan ide kreatif agar dapat membantu anak ADHD dalam belajar, berketrampilan, dan memenuhi tugas di rumah dan sekolah. 8. Aktifkan diri anda. Banyak media yang tersedia, seperti: majalah, koran, CD interaktif, perpustakaan, internet, dan sebagainya. I. Kualitas Hidup

17

Taraf kecerdasan anak dengan ADHD pada umumnya bervariasi dari di bawah rata-rata maupun lebih tinggi. Anak dengan ADHD cenderung memiliki skor rendah pada subtes WISC dari peringkat terendah, yaitu object assembly, picture arrangement, information, comprehension, digit span, dan block design. Subtes-subtes tersebut mencerminkan berbagai keterbatasan yang dialami dalam hal visual motor coordination, visual perception, organization, visual-spatial relationship and field dependence, sequence ability, planning ability, effects of uncertainty, dan social sensitivity. Dengan berbagai keterbatasan tersebut anak dengan ADHD mengalami masalah perilaku, sosial, kognitif, akademik, dan emosional, serta mengalami hambatan dalam mengaktualisasikan potensi kecerdasannya (Nanik, 2007). Aktivitas dan kegelisahan anak penyandang ADHD mengalami hambatan dalam kemampuan mereka untuk berfungsi di sekolah. Hal ini membuat orang tua dan guru merasa tidak berdaya dalam menghadapi anak ADHD (Nevid, 2003). Pernyataan tersebut juga didukung dengan hasil wawancara dengan pimpinan cabang yayasan sayap ibu (panti cacat ganda), Bapak Sunaryo kualitas hidup anak penyandang ADHD adalah anak ADHD memiliki keberhasilan yang lebih sedikit karena lebih banyak mendengar lebih banyak larangan, dan menghadapi lebih banyak penolakan. Anak-anak ADHD mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosial mereka. Keterlambatan sosial mereka disebabkan karena mereka tidak mampu menangkap instruksi-instruksi yang diberikan lingkungan sekitar dan pembendaharaan kata yang kurang. Anak dengan ADHD apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, masa depan mereka akan suram dengan kemungkinan besar terjadinya berbagai risiko yang tidak diharapkan. Dibandingkan sengan teman-teman sebaya, anak dengan ADHD lebih beresiko mengalami kecelakaankecelakaan serius, kegagalan sekolah dan putus sekolah, keterbatasan dalam penyesuaian sosial, masalah-masalah pelanggaran perilaku (kenakalan anak) sampai pada pelanggaran hukum (tindakan kriminal), dan penyalahgunaan

obat-obatan lebih dini (Parker, 1992; Reif, 2003, dalam Nanik 2006). J. Prognosis ADHD muncul pada usia 3 tahun dan berkembang sebelum usia 5 tahun ditunjukkan dengan tingkat aktivitas tinggi, impulsivitas, toleransi terbatas pada keputusasaan, dan atensi singkat. Diagnosis sering tertunda sampai sekolah dasar (Wiener, 2003). ADHD semakin kuat jika ibu-anak terjebak dalam pola anak yang melakukan perilaku negativism dan ibu selalu memerintah anak untuk berbuat baik secara langsung. Pada masa kanakkanak tengah, permasalahan yang sangat nampak pada masa ini adalah inattention, sedang hiperactivity-impulsivity menurun. Pada masa remaja, inattention dan hiperactivity-impulsivity menurun, perasaan gelisah, sering mengalami kecelakaan motor, dan muncul masalah dalam perilaku remaja dengan ADHD. Pada masa dewasa, penyandang ADHD mengalami substance abuse dan perilaku kriminal (Biederman et al. 1997, dalam Wiener, 2003). Ketidakhadiran masalah perilaku menentang, perilaku agresif dan gangguan kepribadian antisosial saat dewasa menunjukkan prognosis yang lebih baik untuk ADHD (Wiener, 2003) K. Alquran A. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Kalau seseorang diantara kamu bersetubuh dengan istrinya, lalu berdoa: Bismillah, Allahumma jannibnasysyaithaana wajannibisy syaithaana maa razaqtanaa, maka sesungguhnya jika ditaqdirkan seorang anak diantara keduanya di dalam persetubuhan itu, tidak akan dirusak oleh syaithan se-lama2nya (Muttafaq alaih).

B. Rasulullah bersabda : Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan pasti menurunkan obatnya

19

C. Ibnu Abbas, ia berkata: Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan. (Tafsir Ibnu Jarir).

D. QS. Al-Baqarah : 286 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." L. Contoh kasus: 1. Kasus I Bona adalah anak laki-laki berusia 5 tahun dan bersekolah di sebuah TK ternama di Yogya. Penampilan fisiknya gemuk dan tinggi, jauh lebih besar dibandingkan teman-teman seusianya. Ayah ibunya bekerja sebagai karyawan swasta yang bekerja sepanjang hari sehingga Bona lebih banyak diasuh pembantunya. Bona dibawa ke sebuah biro konsultasi psikologi oleh ibunya karena adanya keluhan yang disampaikan pembantu, para tetangga, dan terutama guru-guru di sekolahnya. Pembantu rumah tangga di keluarga tersebut sering sekali berganti karena kebanyakan dari mereka tidak tahan dengan perilaku Bona yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau

memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi. Orang tua Bona sering merasa tidak nyaman dan serba salah dengan tetangga karena hampir setiap hari ada saja tetangga yang mengadu tentang perilaku Bona kepada anak-anak mereka. Perilaku Bona yang merebut mainan temannya hingga rusak, Bona yang memukul temannya hingga benjol, Bona yang melempar-lempar batu mengenai kaca tetangga, sampai Bona yang memanjat pagar tetangga dan merusakkan tanaman hias mereka, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu guru di sekolah juga sering sekali menyampaikan keluhan tentang perilaku Bona di sekolah, bahkan Bona beberapa kali diantarkan pulang guru sebelum waktunya. Di sekolah, Bona terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Ketika temantemannya belajar mewarnai atau menggambar maka Bona akan meninggalkan kertas gambarnya dalam keadaan kosong atau dengan sedikit coretan yang terlihat asal-asalan. Bona juga sulit sekali diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, Bona tidak tahan mendengarkannya sampai selesai. Juga ketika guru mengajukan pertanyaan, terkadang Bona berteriak menjawab meski pertanyaan belum selesai, dan akhirnya jawabannya pun tidak tepat. Beberapa waktu terakhir bahkan gurunya secara implisit menyatakan bahwa Bona sebaiknya di pindah ke sekolah lain yang dapat menanganinya dengan lebih baik karena guru-guru di sekolahnya yang sekarang sudah kewalahan. (http://uyokuyo.ngeblogs.com/2010/02/28/

21

contoh-kasus-anak-adhd/, diakses tanggal 08 Maret 2010). 2. Kasus II Rida berusia 7 tahun. Saat ini dia duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Orang tuanya seringkali mendapatkan masukan dan laporan dari gurunya bahwa dia seringkali jalan-jalan di kelas. Rida lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada pekerjaan sekolahnya. Orang tuanya pun mengakui bahwa di rumah pun Rida seperti itu. Seringkali Rida berganti-ganti aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain bongkar pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih pada permainan Dia sering mengabaikan yang apa lain. Kondisi seperti ini bisa yang Mamanya perintahkan. mempengaruhi prestasinya di sekolah. Rida seringkali sulit dikontrol. (http://www.kabarindonesia.com/berita.php? pil=13&jd=Mengapa+Anakku+Tak+Bisa+Konsentrasi %3F&dn=20080717231207,diakses tanggal 08 Maret 2010).

III.

KESIMPULAN

ADHD merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada anak. ADHD dapat berlanjut sampai masa remaja, bahkan dewasa. Pada anak usia sekolah, ADHD berupa gangguan akademik dan interaksi sosial dengan teman. Sementara pada anak dan remaja dan dewasa juga menimbulkan masalah yang serius. Faktor keturunan adalah faktor tunggal yang dipercaya sebagai dominator umum pada anak-anak ADHD. Terapi yang umum digunakan adalah terapi medikasi atau obat-obatan. Penulisan ini menggunakan referensi yang terbatas sehingga untuk penulis selanjutnya disarankan mencari refrensi yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi & Sugiarman. (2008). Memahami dan membantu anak ADHD. Bandung: PT. Refika Aditama. Davison, G.C, dkk. (2006). Psikologi Abnormal (terjemahan). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 677-689 Ekowarni, Endang. Teori Modifikasi Perilaku, Diet, dan Obat untuk Penangan Perilaku Hiperaktivitas pada Anak Dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Jurnal ANIMA, Vol. 18. Nomor 2, pp. 137-156, 2003 Fabiano, G.A. & Pelham, W.E. (2003). Improving the Effectiveness of Behavioral Classroom Interventions for Attention-Deficit/Hyperactivity

23

Disorder: a case study. Journal of Emotional and Behavioral Disorder, 2, 122-128 Fanu, J.L. (2006). Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologi Anak. Yogyakarta: Think. Hal 189-349. Hinshaw, S.P., dkk. (2006). Prospective Follow-Up of Girl With AttentionDeficit/Hiperactivity Disorder Into Adolescence: Evidence for Continuing Cross-Domain Impaorment. Journal of Counseling and Clinical Psychology. Hal 489-499 Limoa, Erlyn., dkk. 2005. Profil Pasien Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktifitas DI Rumah Sakit Dadi Dan Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2003-2004. Jurnal Media Nusantara Vol. 26 No. 3 Juli-September 2005 Martin, L.M. (2008). Terapi untuk anak ADHD. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. Monika & Waruwu, F.E. (2006). Anak Berkebutuhan Khusus Bagaimana Mengenal dan Menanganinya. Jurnal Provitae. Hal 7-20. Nanik. (2007). Penelusuran Karakteristik Hasil Tes Intelegensi WISC Pada Anak Dengan Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas. Jurnal Psikologi. Hal 18-39. Nevid, J.F., dkk. (2003). Psikologi abnormal. Jakarta: Erlangga. Ostrander, R. & Herman, K.C. (2006). Potential Cognitive, Parenting, and Developmental Mediators of the Relationship Between ADHD and Depression. Journal of Consulting and Clinical Assessment. Hal 89-98. Parker, J.D.A, dkk. (2003). ADHD Symptoms and Personality: Relationship with the Five-Factor Model. Personality and Individual Differences. Hal 977-987 Ross, D.M. & Ross, S.A. (1982). Hyperactivity: Current issues, research and theory (2nd Ed. New York: Wiley & Sons Waschbusch, D.A & King, S. (2006). Shoul Sex-Specifix Norms Be Used to Assess Attention-Deficit/Hiperactivity Disorder or Oppositional Defiant Disorder. Journal of Consulting and Clinical Assessment. Hal 179-185. Wiener, J.M. (2003). Child and Adolescence Psychiatry. Washington, DC: American Psychiatric Association. Young, 2002)

(http://kerriemearns.blogspot.com/2010/03/tipe-tipe-adhd. html. diakses tanggal

24 Mei 2010) (http://www.kabarindonesia.com/berita.php? pil=13&jd=Mengapa+Anakku+Tak+Bisa+Konsentrasi %3F&dn=20080717231207,diakses tanggal 08 Maret 2010). (http://uyokuyo.ngeblogs.com/2010/02/28/ tanggal 08 Maret 2010). contoh-kasus-anak-adhd/, diakses

25