ABSTRAK Wake Up Test (2)

30
Laporan Kasus GENERAL ANESTESI-ENDOTRACEAL TUBE RESPIRASI TERKONTROL PADA PASIEN IDIOPATIC SCOLIOSIS TH V -L III TRIPLE MAYOR CURVE YANG AKAN DILAKUKAN WAKE UP TEST Oleh: dr. Maya Sapti

description

sdfadsf

Transcript of ABSTRAK Wake Up Test (2)

Laporan KasusGENERAL ANESTESI-ENDOTRACEAL TUBE RESPIRASI TERKONTROL PADA PASIEN IDIOPATIC SCOLIOSIS THV-LIIITRIPLE MAYOR CURVE YANG AKAN DILAKUKAN WAKE UP TEST

Oleh:dr. Maya Sapti

KASUS PASIEN

Pasien merupakan seorang perempuan Nn. D usia 21 tahun dengan diagnosa idiopatik scoliosis ThV-LIII triple mayor curve yang akan dilakukan koreksi dan stabilisasi posterior TII-LIII double curve dengan wake up test. Pasien datang dengan keluhan punggung bengkok sejak 10 tahun yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan nyeri punggung yang kambuh-kambuhan. Tidak ada sesak, riwayat trauma sebelumnya disangkal, BAK dan BAB tidak ada keluhan.Pada pemeriksaan pratindakan didapatkan kondisi umum pasien sakit sedang dengan skor VAS 0, tekanan darah 120/70; laju nadi 84 x/menit, regular, isian cukup; laju pernapasan 20 x/menit; suhu 36,5oC; berat badan 55 kg. Pada pemeriksaan punggung didapatkan deviasi punggung. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan ?? (bacaan radiologi? Maaf dok blm pnh dapet pasien scoliosis pas radio, blum bisa baca radiologinya.. hehe)Diagnosis: idiopatic scoliosis ThV-LIII triple mayor curveKesimpulan Anestesi: setuju penatalaksanaan anestesi pada pasien Nn. D usia 21 tahun dengan diagnosa idiopatic scoliosis ThV-LIIItriple mayor curve yang akan dilakukan koreksi dan stabilisasi posterior TII-LIII double curve dengan wake up test dengan teknik pembiusan GA-ET respirasi terkontrol. Status fisik ASA II.

Gambar 1. Foto thorax pasien atas nama Nn. D (21 tahun)

PenatalaksanaanI. Persiapan:Persiapan sebelum dilakukan anestesi GA-ET respirasi terkontrol. Cek ulang identitas pasien dan informed consent, persiapan pasien, ketersediaan darah, persiapan alat dan obat anestesi, serta monitor dan mesin anestesi termasuk obat-obat emergensi.Kondisi umum menjelang tindakan: KU sedang, Kesadaran Compos mentis, VAS : 0Vital sign: TD 126/66 mmHgHR 80 x/menit, sinus ritmisRR 20x/menitSpO2 100%

II. Teknik tatalaksanaDilakukan persiapan di meja operasi untuk GA-ET respirasi terkontrol. Pasien diposisikan terlentang kemudian dilakukan pengecekan kelancaran infus. Kemudian pukul 09.00 mulai dilakukan premedikasi dengan midazolam 3mg, preemtif analgetik menggunakan fentanyl 150mcg, induksi propofol 80mg, dan fasilitas intubasi menggunakan atracurium 40mg.Kemudian dipasang laringoskop pipa posisi in line manual stabilization, intubasi dengan ETT non kinking no. 7.0. Kemudian pasien diposisikan dalam posisi prone. Dilakukan pemeliharaan anestesi menggunakan isofluran 1.2 vol%, O2:N2O=2:2.

Kondisipasien saat tindakan:

Gambar 2. Hemodinamik pasien durante tindakan dan observasi

Penggantian cairan durante operasi:Koloid: 2 HES 130/6%Kristaloid: - Darah: -

Wake up testOperasi berjalan kurang lebih selama 5 jam untuk pemasangan instrumen spinal lengkap. 35 menit sebelum wake up test intraoperative, anestestik volatile dan pelumpuh otot di hentikan, infuse RL dengan drip fentanyl 200mcg tetesan 20 tpm dan pasien di biarkan bangun perlahan. Kemudian pasien diminta untuk mengerakkan kedua kakinya. Bila pasien sudah memberikan respon positif, anestesi volatile isoflurane dibuka dan di berikan propofol 30mg, pelumpuh otot atracurium 10mg. Kemudian nafas spontan dari pasien di tabrak untuk memperdalam anestesi.

Kondisi pasien paskatindakan :Selesai operasi, dilakukan ektubasi sadar di Recovery Room. Kemudian diobservasi selama satu jam. Setelah hemodinamik stabil, pasien dikirim ke ruang intensive care unit. Pasien post operasi dirawat di ICU dengan diberikan analgetik syringe pump Fentanyl 3mcg/jam. Pada 24 jam pertama pasien menunjukkan kondisi yang stabil.KU baik, Kesadaran Compos mentis, VAS : 0Vital sign: TD 120/60 mmHgHR : 80x/menitRR 16x/menitSpO2 100% nasalLaboratorium: Hb: 10.3 g/dl Hct: 31 % AL : 17.00 rb/ul AT : 217.000 rb/ul GDS : 110

TINJAUAN PUSTAKA

A. SKOLIOSISSkoliosis merupakan sebuah deformitas tiga dimensi dari tulang belakang dan tulang rusuk. Hal tersebut dapat membentuk sebuah lengkungan primer (membentuk huruf C) atau membentuk dua lengkungan (sebuah lengkungan rimer disertai lengkungan sekunder yang membentuk bentuk huruf S).1Skoliosis ditandai dengan adanya deformitas lateral dan adanya rotasi pada tulang belakang (Gambar 1).2Skoliosis dapat muncul hanya pada area thoraks atau area lumbal, namun sebagian besar muncul pada area antara thoraks dan lumlal (area thorakolumbal). Dokter mencoba menganalisis skoliosis dari bentuk lengkungnya, lokasinya, arah dan besarnya, dan jika memungkinkan dari penyebabnya. Keparahan dari skoliosis dibedakan melalui besarnya lengkungan tulang belakan dan angle of the trunk rotation (ATR).1Verterbra dan prosesus spinosus berotasi pada daerah lengkungan ke arah sisi konkaf dari lengkungan. Insidensi dari skoliosis di Amerika Utara adalah sebanyak 4 per 1000 orang dengan perbandingan pria banding wanita sebesar 1:4. Wanita memiliki presentase skoliosis pada remaja sebanyak 85% dan biasanya memiliki lengkung di sisi kanan.Deformitas skoliosis signifikan memengaruhi mekanisme pernapasan, pertukaran gas, vaskularisasi paru, dan regulasi kimia dari ventilasi. Keparahan dari keterlibatan sistem pernafasan dan kardiovaskular meningkat seiring dengan bertambahnya derajat kelengkungan sehingga dapat menyebabkan gagal nafas, hipertensi pulmoner, dan cor pulmonale.1

Gambar 3. Gambaran tulang belakang skoliosis

Menentukan skoliosis dari bentuk dari lengkungan.Skoliosis sering dikategorikan berdasarkan bentuk dari lengkungan, baik secara struktur maupun tidak.Pada struktur skoliosis, tulang belakang tidak hanya melengkung dari sisi ke sisi, tetapi tulang belakang juga mengalami perputaran. Satu sisi tulang rusuk didorong keluar sehingga ruang antara iga rusuk melebar dan tonjolan bahu (membentuk deformitas rusuk, atau penonjolan); setengah bagian rusuk lainnya melingkar ke dalam, menekan bagian dalam rusuk.1Kelainan lain dari tulang belakang dapat muncul secara tunggal atau kombinasi dengan skoliosis termasuk hiperkifosis (sebuah abnormalitas berlebihan pada lingkar belakang tulang belakang) dan hiperlordosis (sebuah lengkungan berlebihan ke depan dari tulang belakang bagian bawah, juga disebut dengan swayback). Skoliosis juga dibedakan berdasarkan lokasinya.Lokasi dari bentuk lengkungan dibedakan berdasarkan lokasi vertebra apikal, tulang pada apeks (titik tertinggi) pada spinal hump. Bagian vertebra ini juga akan mengalami rotasi yang paling parah.1Keparahan skoliosis dan kebutuhan terapi ditentukan oleh lengkung tulang belakang, dan oleh angle of the trunk rotation (ATR).Keduanya dihitung dalam derajat.Dua faktor tersebut biasanya berkaitan, maka dari itu, contohnya, seorang pasien dengan lengkung tulang belakang sebesar 20 derajat biasanya memiliki ATR sebesar 5 derajat. Sebagai sebuah perhitungan yang digunakan sebagai criteria rekomendasi terapi, meskipun hal ini diketahui bahwa 80% lengkungan 20 derajat tidak bertambah buruk. Skoliosis didiagnosis ketika lengkungan dengan 11 derajat atau lebih, tetapi terapinya biasanya tidak dibutuhkan hingga lengkungan mencapai 30 derajat dan ATR sebesar 7 derajat.1Observasi pada skoliosis dilakukan apabila lengkungannya kurang dari 20 derajat dan dipertimbangkan untuk diterapi apabila lengkungannya lebih besar dari 25 derajat atau yang memiliki progresifitas sebesar 10 derajat pada saat dilakukan observasi. Namun, keputusan untuk menentukan bahwa skoliosis perlu diterapi secepatnya atau diobservasi bukan merupakan hal yang mudah. Persentase dari kasus yang berkembang sebanyak lebih dari 5 derajat dapat sebesar 5% pada kasus tertentu dan sebesar 50 hingga 90% tergantung pada keparahan lengkungan atau faktor-faktor predisposisi lainnya seperti usia, jenis kelamin, lokasi lengkungan, keparahan lengkungan, adanya masalah kesehatan lain.1Meskipun penyangga direkomendasikan untuk lengkungan dengan keparahan sedang, pembedahan untuk skoliosis yang parah, pilihan terapinya bisa bervariasi tergantung kasusnya. Penyangga cenderung digunakan pada anak dengan lengkungan antara 25 dan 40 derajat yang masih akan bertumbuh secara signifikan. Pembedahan disarankan untuk pasien dengan lengkungan di atas 50 derajat, pada pasien yang tidak ditangani atau ketika adanya ketidakberhasilan setelah ditangani dengan penyangga. Pada orang dewasa, skoliosis jarang berkembang menjadi di atas 40 derajat, tetapi pembedahan dapat dibutuhkan apabila pasien merasa sangat kesakitan atau apabila terdapat permasalahan neurologis.1Target dari pembedahan skoliosis adalah meluruskan tulang belakang semaksimal namun seaman mungkin, untuk menyeimbangkan area torso dan pelvis, dan untuk mempertahankan koreksinya.Target-target ini dicapai dengan menyatukan tulang belakang sepanjang lengkungan dan mendukung tulang yang telah disatukan tadi dengan instrumen (batang, sekrup, pengait dan alat-alat lainnya) sehingga melekat pada tulang belakang.Banyak terdapat variasi.Seluruh operasi membutuhkan keterampilan teliti.Sejumlah variasi dari pembedahan skoliosis menggunakan instrumen dan prosedur yang berbeda. Teknik pencitraan tiga dimensi yang sudah maju memperhitungkan rancangan dari instrumen dan teknik invasif yang minimal yang dapat menunjukkan masalah dari lengkungan dalam cara yang komprehensif dengan efek yang tidak lebih parah. Pada sebagian besar pembedahan skoliosis, kesuksesannya kurang bergantung pada tipe operasinya jika dibandingkan dengan pengalaman dan kemampuan dokter bedah.Orang tua dari pasien atau pasien dewasa seharusnya tidak malu untuk menanyakan dokter bedah dan rumah sakit mengenai pengalaman mereka dengan prosedur spesik sebagai pertimbangan. Rumah sakit yang berpengalaman memiliki tingkat komplikasi yang rendah dan pasien-pasiennya memiliki durasi rawat inap yang lebih singkat di rumah sakit.1Komplikasi dari pembedahan dapat bermacam-macam, yaitu: perdarahan, nyeri pasca operasi, infeksi, kerusakan nervus, pseudoarthrosis, degenerasi diskus, dan nyeri pinggang bawah. Kerusakan neurologis dapat muncul pada 0.6% pasien.Risiko terjadinya tinggi pada orang dewasa.Kerusakan neurologis dapat menyebabkan kelemahan motorik dan, pada kasus yang sangat jarang, terjadi paralisis komplit ireversibel.Komplikasi yang sangat serius ini dicegah dengan menggunakan teknik pengamatan selama operasi. Beberapa dokter bedah menggunakan sebuah pemeriksaan yang dinamakan wake up test, dimana pasien dikeluarkan dari efek anestesi pada tengah-tengah operasi dan diminta untuk menggerakan jempolnya. Kami menggunakan potensial bangkitan motorik dan sensorik, metode yang lebih canggih yang menghitung aktivitas elektrik dari medulla spinalis; jika monitor mengindikasikan ketiadaan respon elektrik dan kemungkinan cidera, dokter bedah harus menyesuaikan tekniknya untuk menghindari kerusakan lebih lanjut terhadap medulla spinalis.1

B. STAGNARA WAKE UP TESTKarena adanya resiko iskemia korda spinalis selama pembedahan skoliosis, metode untuk deteksi cedera korda spinalis telah dikembangkan. Metode paling tua dari penilaiaan fungsi korda spinalis adalah wake up testintraoperatif yang diperkenalkan oleh ahli bedah spinal terkenal, Pierre Stagnara, pada tahun 1973 dengan bantuan ahli anestesinya, Mme Vauzelle. Walaupun pada beberapa hal penggunaannya masih konroversial, wake up testintraoperatif masih menjadi standar emas untuk penilaian fungsi motorik selama operasi skoliosis. Tes ini dilakukan dengan membangunkan pasien setelah distraksi spinal untuk melihat apakah fungsi motorik masih terjaga. Selama wake up test, pasien dibangunkan sampai pada titik dimana mereka dapat mengikuti perintah untuk menggerakkan kaki mereka dan menggenggam tangan ahli anestesi. Anestesi kemudian diperdalam untuk menyelesaikan pembedahan.9Akan tetapi, metode penilaian ini dikritisi karena tes ini hanya memberikan penilaian singkat terhadap fungsi motorik pasien. Beberapa pasien mungkin tidak dapat bekerja sama atau mengikuti perintah.Selain itu, dengan adanya penyakit neurologis yang ada sebelum operasi, dapat membuat wake up test menjadi negative.Disamping penggunaannya yang luas, teknik ini memiliki beberapa keterbatasan.Penilaian intraoperatif dari fungsi motorik secara sukarela hanya memberikan penilaian singkat dari kondisi pasien, dan metode dapat gagal untuk mendeteksi onset cedera, iskemia, atau cedera syaraf. Pelosi et al menulis bahwa Stagnara wake up test mungkin lebih akurat dari SSEP (Somato Sensory Evoked Potential) , tetapi tidak lebih baik dari MEP (Motor Evoked Potentials) dalam memprediksi hasil fungsi motorik, sehingga metode ini tidak memberikan informasi deficit sensorik yang dapat diantisipasi dengan benar oleh SSEP pada sebagian besar kasus, dan wake up test tampaknya tidak memberikan informasi tambahan untuk dikombinasikan dengan monitoring MEP dan SSEP. 9Wake up test, pertama kali dideskripsikan oleh Vauzelle et al, yaitu membangunkan pasien intraoperatif setelah instrumentasi spinal lengkap. Anestesi bedah biasanya menggunakan teknik yang seimbang antara nitrit oksida, agen volatile, dan opioid, walaupun penggunaan opioid dan anestetik volatile kerja pendek (contohnya sevofularan) tunggal mungkin dilakukan. Opioid penting untuk memberikan analgesi ketika pasien bangun dan membuat pasien dapat memberikan toleransi pada endotracheal tube.Selama 30-45 menit sebelum wake up test intraoperatif, anestetik volatile dan pelemas otot dihentikan dan pasien dibiarkan untuk bangun perlahan.Pasien ditanya namanya dan diminta untuk menggerakkan kedua tangan, dan setelah mendapat respon positif, diminta untuk menggerakkan kedua kaki.Pasien biasanya memberikan respon dalam 5 menit.Jika terdapat pergerakan yang memuaskan dari tangan, tetapi tidak pada kaki, distraksi pada punggung dikendorkan 1 derajat, dan wake up test diulang. 8Walaupun recallterhadap peristiwa tersebut hanya terjadi pada 0-20% pasien dan jarang terlihat sebagai kejadian yang tidak menyenangkan, penting untuk mendeskripsikan apa yang akan dilakukan kepada pasien sebelum pembedahan sehingga kecemasan pasien dapat diminimalisir. Sangat jarang bagi pasien yang intak secara neurologis ketika bangun selama pembedahan memiliki deficit neurologis setelah menjalani prosedur lengkap. Akan tetapi, terdapat beberapa risiko dari wake up test, diantaranya adalah recall, nyeri, emboli udara, dislokasi instrumentasi spinal, dan ekstubasi endotrachea yang tidak disengaja atau lepasnya akses intravena dan arteri. 8Dalam penelitian yang dilakukan oleh Grottke et al. (2004), untuk membandingkan wake up test menggunakan agen anestesi inhalasi dan intravena, metode yang digunakan untuk wake up test adalah sebagai berikut7 :Pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0,1mg/kg dan clonidine 2 g/kg per oral 90 menit sebelum induksi anestesi umum. Setelah pemberian oksigen 100%, anestesi diinduksi dengan bolus propofol (konsentrasi plasma terkontrol 4 g/mL) dan remifentanil (konsentrasi plasma 0,5g/kg) atau sufentanil (bolus 0,5-1 g/kg). Bolus cisatracurium 0,1 mg/kg diberikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. Paru-paru diventilasi dengan FiO2 0.35 untuk mempertahankan konsentrasi CO2 end-tidal 35-40 mmHg7.Setelah induksi anestesi, akses arteri dimasukkan ke dalam arteri radialis untuk pengukuran tekanan darah arteri invasive.Selama operasi, MAP dipertahankan antara 60-70 untuk mencegah peningkatan perdarahan dari luka operasi dan untuk memperkuat kedalaman anestesi.Jika nilai MAP