61591497 Latest Lapkas GGK 1
-
Upload
aprilio-feldie -
Category
Documents
-
view
227 -
download
2
Transcript of 61591497 Latest Lapkas GGK 1
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron
yang masih berfungsi. Gagal ginjal kronik adalah apabila laju filtrasi glomerulus sudah mula
berkurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi
ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan hiperparatiroidisme sekunder telah tampak
nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus
berlanjut.
Terapi pengganti ginjal (TPG) baik dialisis maupun transplantasi tidak serta merta
diperlukan sampai laju filtrasi glomerulus turun dibawah 10 ml/menit/1.73m2. Dengan
dimulainya TPG berarti dimulailah onset dari gagal ginjal terminal (GGT). Gagal ginjal pra-
terminal adalah stadium yang belum memerlukan TPG.
Perawatan anak dengan gagal ginjal haruslah merupakan perawatan yang
berkesinambungan sejak dari stadium gagal ginjal pra-trermial, dimana mereka membutuhkan
perawatan konservatif untuk mencegah gangguan metabolik, mengoptimalkan pertumbuhannya,
dan mempertahankan fungsi ginjalnya selama mungkin, yang bahkan beberapa diantara mereka
sampai memasuki masa dewasa.
Anak-anak dengan GGT memerlukan perawatan yang lebih kompleks, sebaiknya
ditangani dengan pendekatan secara tim. Tim tersebut selain terdiri dari penderita, orang tua
penderita dan keluarganya, sebaiknya mengikutsertakan dokter spesialis ginjal anak, perawat
yang telah mendapat latihan khusus dalam hal penyakit ginjal anak, ahli gizi yang
berpengalaman dalam diet anak dengan penyakit ginjal, guru, pekerja sosial, psikologi anak dan
atau psikiater anak.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron
yang masih berfungsi. Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama
karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain.8
2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian GGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada
penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2% dari
2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita GGK. Di RSCM
Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan GGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit
ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan. GGK
pada anak umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal
kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5
tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak
dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17%.4
2.1.3 Etiologi
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
3
Dua penyebab utama GGK pada anak adalah kelainan kongenital dan glomerulonefritis
kronik. Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di bawah 6 tahun adalah kelainan
kongenital, kelainan perkembangan saluran kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia dan
displasia ginjal, dan ginjal polikistik. Menurut laporan EDTA, glomerulonefritis dan pielonefritis
merupakan penyebab tersering timbulnya GGK (24%), diikuti oleh penyakit herediter (15%),
penyakit sistemik (10,5%), hipoplasia ginjal (7,5%), penyakit vaskular (3%), penyakit lainnya
(9%) serta yang tidak diketahui etiologinya 7%. Dari kelompok pielonefritis dan nefritis
interstitial yang tersering adalah uropati obstruktif kongenital dan nefropati refluks (>60%),
diikuti oleh displasia ginjal. 4,10
Gagal Ginjal Terminal disebabkan oleh berbagai hal, terutama kelainan kongenital,
glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Kelainan kongenital, yang lebih banyak
dijumpai pada anak laki-laki pada usia lebih muda, menempati porsi terbanyak dari seluruh
kelainan kongenital, berkisar antara 13.3-35%. Oleh karena itu 50% penyebab GGT telah dapat
ditentukan antenatal.8
Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, kelainan
didapat, dan kelainan herediter:
1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa,
kelainan metabolit (oksalosis, sistinosis)
Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat timbul GGK. Gagal
ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun sering ada hubungannya dengan
kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal.
Sedangkan GGK yang timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit
glomerular (glomerulonefritis, sindrom hemolitik ureumik) dan kelainan herediter (sindrom
Alport, kelainan ginjal kistik) 4
2.1.4 Klasifikasi
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
4
Dalam arti luas GGK menunjukkan bahwa pada anak tersebut telah terjadi penurunan
fungsi ginjal, tetapi beratnya gangguan fungsi ini bervariasi dari ringan sampai berat.
Kebanyakan penulis membuat klasifikasi berdasarkan presentase laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang tersisa. GGK dibagi atas 4 tingkatan yaitu :
1. Gagal ginjal dini
Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar
50-80% dari normal. Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk
mengkompensasi penurunan faal ginjal maka tidak tampak gangguan klinis.
2. Insufisiensi ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala mulai dengan
adanya gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan
fosfor. Pada tingkat ini LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73m2.
3. Gagal ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah menimbulkan
berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi ginjal, anemia, hipertensi, dan
sebagainya. LFG pada tingkat ini telah berkurang menjadi di bawah 30 ml/menit/1,73m2.
4. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal 12% dari normal, LFG menurun sampai < 10
ml/menit/1,73m2 dan pasien telah memerlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.8
Klasifikasi lain GGK berdasarkan LFG, yaitu:
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
5
1. Gangguan fungsi ginjal (Impaired renal functions):
LFG = 50-80 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini biasanya pasien masih asimptomatik.
2. Insufisiensi ginjal kronik
LFG = 30-50 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini sudah bisa ditemukan gejala:
- Gangguan metabolik a.l. Hiperparatiroid sekunder, asidosis metabolik ringan
- Hambatan pertumbuhan dan
- Fungsi ginjal akan progresif menurun.
3. Gagal ginjal kronik
LFG = 10-30 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini penurunan fungsi ginjal akan terus
berlanjut.
4. Gagal ginjal terminal
LFG = < 10 ml/menit/1,73m2; pada tingkat ini perlu dilakukan terapi pengganti yaitu
dialisis peritoneal/hemodialisis atau transplantasi. Tingkat ini juga disebut gagal ginjal
tahap akhir (End Stage Renal Failure).4
Fase sebelum GGT disebut pra GGT (Pre terminal renal failure). Pada fase ini perlu
dilakukan pengobatan konservatif secara berhati-hati untuk menjaga pertumbuhan anak secara
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
6
optimal dan memperlambat penurunan fungsi ginjal selama mungkin. Banyak diantaranya bisa
mencapai umur dewasa. Sebaiknya penanggulangan dilakukan oleh atau bersama dengan
konsultan nefrologi anak.4
Stadium Gagal Ginjal :
Tabel 1 : Stadium Gagal Ginjal
Residual functional renal mass (%) GFR(ml/min/ 1.73m2)
Mild renal insufficiency
50-25 50-80 Asymptomatic
Moderaterenal insufficiency
25-15 30-50 Metabolic abnormalities, Impaired growth, Progressive renal failuire
Severe renal insufficiency 15-5 10-30
End-stage renal failure
< 5 <10 RRT required
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)
2.1.5 Patogenesis
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
7
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran fungsi ginjal
mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme
yang tepat, yang mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-
faktor yang dapat memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-menerus;
hiperfiltrasi yang ditengahi secara hemodinamik dalam mempertahankan kehidupan glomerulus;
masukan diet protein dan fosfor; proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik.
Endapan kompleks imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-
menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan
jaringan parut.
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi
glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang
karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami hipertroti struktural dan fungsional yang
ditengahi, setidak-tidaknya sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan
aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat-
angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang bertahan hidup.
“Hiperfiltrasi” yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini, yang berperan
memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum dipahami.
Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung
peningkatan tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan
keluarnya protein melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan
perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika
sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan
lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim
pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat produksi angiotensin
II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat memperlambat penjelekan gagal
ginjal.
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet tinggi-protein
mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara dilatasi arteriola aferen dan
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
8
cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi.
Penelitian manusia memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG)
berkorelasi secara langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet
protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi ginjal kronis.
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding
kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cedera
hiperfiltrasi.Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang pada
nefron sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang normal. Namun, ketika LFG turun
di bawah 20% normal, kumpulan kompleks kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang
sehingga secara bersamasaan membentuk keadaan uremia.2,8
Gambar 2. Gambar menunjukkan kelainan anatomis pada ginjal
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
Penyakit Primer Ginjal
9
Gambar 2. Siklus terjadinya gagal ginjal progresif.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
Tekanan dan aliran kapiler meningkat
Diabetes
Hipertensi
Protein flux meningkat
Jumlah nefron berkurang
Kerusakan sel Glomerulus
Hiperfiltrasi Glomerulus
Glomerulosklerosis
10
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25
dihidroksivitamin D3).
4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).
Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala
klinis dari penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan gejala GGK-nya sendiri tersembunyi
dan hanya menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu
makan, muntah, polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan anak tampak pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
bertahun-tahun, sehingga pasien telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan
pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi
ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, gangguan neurologi.4
1. Gangguan keseimbangan elektrolit
Natrium :
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK, ginjal akan
mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron
yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan
membahayakan tubuh. Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya
rejeksi tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FeNa). Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan FeNa pada pasien GGK belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam
penelitiannya pada pasien GGK (LFG antara 11-66 ml/menit/1,73m2 melaporkan kemungkinan
peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor natriuretik atrial. Tetapi penderita GGK ini
tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini dengan cepat, yaitu pada pasien GGK dengan LFG
subnormal (LFG rata-rata 34ml/menit/1,73m2) hanya mampu mengekskresi setengah dari jumlah
natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl, dibanding orang normal. Hal ini
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
11
menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan masukan natrium yang tiba-tiba adalah
buruk dan dapat menimbulkan perubahan volume ekstraseluler dengan segala akibatnya.
Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan
diet dengan restriksi natrium. Konsentrasi minimum natrium urin pada pasien GGK ringan
sampai sedang adalah 25-50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan nefron distal
meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba pada pasien
GGK akan menimbulkan penurunan volume cairan ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien
Ggk karena penyakit ginjal interstitial, displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang
paling sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena nefropati
obstruktif ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron endogen (pseudohipoaldosteronisme).
Kalium :
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas 10 ml/menit/1,73m2.
Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan
ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional (oleh proses sekresi
tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama
melalui feses yaitu sebanyak 75% (pada orang normal 20%). Walaupun demikian keadaan
hiperkalemia tetap merupakan ancaman bagi pasien GGK, karena mungkin saja mereka
mendapat kalium dalam jumlah besar tiba-tiba misalnya dari makanan, transfusi darah, keadaan
sepsis, ataupun asidosis.
Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia. Keadaan hipokalemia
biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti hidroklortiazid, furosemid atau bisa juga
akibat pemberian diet rendah kalium. Gejalanya adalah penurunan atau hilangnya refleks otot
yang akan sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat menyebabkan henti
napas (respiratory arrest).
Asidosis Metabolik :
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
12
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan LFG <25% dari
normal, ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat plasma (tCO2 12-15 mEq/L) dan
peningkatan senjang anion. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion
hidrogen atau asam endogen yang dibentuk karena insufisiensi sintesis amonium pada segmen
nefron distal. Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat, urat,
dan hipurat dalam plasma (pada ginjal normal anion ini diekskresi oleh filtrasi glomerulus). Juga
ada bukti yang menunjukkan bahwa kebocoran bikarbonat ginjal berperan dalam menimbulkan
asidosis ini, seperti pada sindrom Fanconi, asidosis tubular ginjal tipe IV, dan
hiperparatiroidisme sekunder.
Asidosis pada GGK dini (LFG 30-50% normal) lebih sering berupa tipe dengan senjang
anion normal (hiperkloremik) dan sebaliknya pada GGK yang berat (LFG <20ml/menit/1,73m2)
biasanya berupa senjang anion yang besar. Selain terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan
pertumbuhan dan memperburuk hiperkalemia yang telah ada, asidosis juga menimbulkan
keadaan katabolik pada pasien GGK. Manifestasi klinis asidosis adalah takipneu, hiperpneu, dan
perburukan hiperkalemia dan mungkin gangguan pertumbuhan.
2. Gangguan keseimbangan cairan
GGK dihubungkan dengan gangguan dalam pemeketan urin. Pada keadaan restriksi
cairan, orang normal mampu memekatkan urin sampai 1.500 mosmol/L, sedangkan pasien GGK
biasanya tidak mampu memekatkan urin di atas 300 mosmol/L. Berat jenis dan osmolalitas urin
seringkali mirip dengan plasma. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya nefron yang
rusak, beban osmotik ekskresi yang ditanggung oleh nefron yang tersisa semakin bertambah.
Dengan demikian mengakibatkan reabsorbsi air oleh tubulus berkurang dan menyebabkan berat
jenis urin mirip dengan plasma (300 mosmol/L dan berat jenis 1,010, disebut isostenuria).
Isostenuria yang resisten terhadap pemberian pitresin dari luar pada GGK, menunjukkan adanya
gangguan terhadap respons tubulus terhadap ADH yang juga berperan dalam terjadinya
isostenuria. Hal di atas sering terjadi pada GGK yang disebabkan oleh uropati obstruktif,
displasia ginjal, penyakit ginjal kistik dan interstitial. Pasien ini sering mengalami dehidrasi bila
masukan cairan tidak mencukupi atau dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
13
memperburuk LFG. Anak yang demikian dianjurkan untuk tidak dibatasi masukan cairannya dan
segera mencari pertolongan bila terserang gastroentritis. Pasien juga tidak dapat mengencerkan
urin secara maksimal dan tidak dapat membuang kelebihan cairan tubuh secara tepat dan efektif
sehingga dapat timbul masalah kelebihan cairan.
3. Gangguan metabolisme
Metabolisme karbohidrat :
Pasien GGK dapat disertai timbulnya intoleransi glukosa akan menunjukkan adanya
hiperglikemia. Keadaaan ini sebagai akibat terjadinya resistensi terhadap insulin yang
menghambat masuknya glukosa ke dalam sel. Pada anak yang menderita GGK kadar insulin
plasma meningkat hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa, karena dalam keadaan
akut pasien GGK memerlukan pemberian glukosa parenteral. Karena dialisis dapat memperbaiki
intoleransi glukosa pada pasien GGK, maka diduga toksin uremik yang menyebabkan terjadinya
resistensi insulin ini. Faktor lainnya seperti peninggian kadar glukagon dan hormon pertumbuhan
juga berperan.
Metabolisme lemak :
Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, kadar
kolesterol darah normal, peninggian VLDL (very low density lipoprotein) dan penurunan LDL
(low density lipoprotein). Hal ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar
akibat hiperinsulinemia dan menurunnya fungsi ginjal serta karena menurunnya katabolisme
trigliserida. Keadaan ini biasanya terjadi bila LFG <40ml/menit/1,73m2 dan meningkatnya lemak
ini sesuai dengan bertambahnya progresivitas GGK. Lebih dari 2/3 anak akan mengalami
hiperlipidemia pada saat gagal ginjal terminal. Walaupun demikian penyebab peningkatan
produksi trigliserida dan VLDL ini belum diketahui.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
14
4. Anemia
Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK yang biasa ditemukan
dan berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab utama anemia pada GGK adalah berkurangnya
produksi eritropoietin, suatu hormon glikoprotein yang diproduksi ginjal (90%) dan sisanya
diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar eritropoietin serum nyata menurun pada
pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak jelas pada LFG >20ml/menit/1,73m2. Anemia pada
pasien dapat dikoreksi dengan pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung
dari dosis yang diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi
kognitif dan kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya anemia pada GGK adalah
pemendekan umur eritrosit menjadi 2/3 umur normal, toksisitas aluminium karena pemakaian
obat-obat pengikat fosfat yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah
sewaktu dialisis dan pengambilan contoh darah, serta terjadinya defisiensi asam folat pada pasien
yang sedang menjalani dialisis. Anemia yang terjadi karena toksisitas aluminium mempunyai
gambaran mikrositik, hipokromik yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan
mengikat besi dan kadar feritin serumnya normal.5
Gambar 3. Gambar menunjukkan perbedaan produksi EPO pada ginjal normal dan ginjal
rusak.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
15
5. Gangguan perdarahan
GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya gangguan perdarahan yang
menyertai. Walaupun jumlah trombosit normal, tetapi waktu perdarahan sering memanjang. Hal
ini diduga disebabkan oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan berkurangnya respons
terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin. Jumlah platelet factor 3 dan
retraksi bekuan juga menurun pada GGK yang tidak menjalani dialisis, diduga karena adanya
peranan “dialyzable factor” sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga berperan dalam
menyebabkan gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII (dapat diperbaiki dengan
kriopresipitat dan desmopresin), gangguan metabolisme (prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan
aspirin.
6. Gangguan fungsi kardiovaskular
Hipertensi :
Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena tingginya kadar renin akibat
ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun dan jumlah urin berkurang, hipertensi terjadi akibat
kelebihan cairan. Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal
jantung bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin terjadi akibat berkurangnya
LFG. Pada pasien hipertensi persisten yang tanpa keluhan harus dievaluasi secara terus menerus
untuk mencari adanya kerusakan organ target. Pemeriksaan oftamologi perlu selalu dilakukan
pada pasien hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan EKG perlu dilakukan untuk mencari
adanya hipertrofi jantung kiri.
Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat merupakan akibat
langsung dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan hipertensi, kita harus meneliti semua
faktor yang dapat menimbulkan peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular,
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan faktor
renovaskular.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
16
7. Gangguan jantung
Perikarditis :
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK, terutama timbul pada
pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan dialisis. Eksudat pada perikarditis uremik
biasanya sedikit dan bersifat fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang mendapat
dialisis yang adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien yang mendapat
terapi dialisis peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita perikarditis. Patogenesis perikarditis
ini masih belum diketahui dengan pasti. Walaupun toksin uremik yang tinggi pada keadaan
dialisis sering dijadikan kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa kelebihan cairan berperan
dalam menimbulkan perikarditis. Walaupun pasien perikarditis uremik sering mengalami infeksi
terutama oleh virus, tetapi pada cairan perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan
cairan perikardial yang hemoragis sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada
dialisis.
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada, demam, dan efusi
perikardial. Setelah penumpukan cairan perikardial cukup banyak, pericardial rub akan
menghilang, dan bunyi jantung menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung, terutama
pada efusi perikardial yang hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik yang lama.
Fungsi miokard dan respons terhadap latihan :
Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas kerja aerobik pada pasien
GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis kronik dilaporkan menurun sesuai dengan
penurunan konsentrasi Hb. Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila anemia yang
terjadi dikoreksi dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik sering menimbulkan
gangguan fungsi jantung berupa gagal jantung kongestif yang biasanya ditemukan pada GGK
yang berat dan GGT. Kardiomiopati uremik ini disebabkan oleh kelebihan cairan, anemia,
hipertensi, dan mungkin toksin uremik.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
17
Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan cairan ini dapat diatasi
dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi pada
beberapa pasien; diduga penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat ditemukan
hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular.
8. Gangguan neurologis
Neuropati perifer :
Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai segmen distal
(neuropati perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian terdahulu mendapatkan adanya
penurunan elektrofisiologis saraf perifer pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat
berupa parestesia telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian distal
dan refleks tendon merupakan manifestasi neuropati perifer uremik. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan menurunnya kecepatan konduksi saraf perifer. Pemeriksaan konduksi saraf pada
pasien GGK sebaiknya dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan saraf sedini
mungkin. Kedaaan ini sering terjadi pada keadaan uremia berat dan dengan tindakan dialisis
memberikan hasil yang bervariasi, sedangkan transplantasi ginjal memberikan hasil yang baik.
Ensefalopati hipertensif :
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis arteri
intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang.
Krisis hipertensi sering terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang dilakukan
segera tidak akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah terjadi perdarahan
intraserebral dan intraventrikular dapat menimbulkan gejala sisa yang berat dan bahkan
kematian.
Retardasi mental :
Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan meningkatnya
gangguan fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang menderita GGK pada tahun pertama
kehidupan. Hal ini diduga akibat pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
18
alumunium dalam makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai akibat keracunan
aluminium, karena suatu penelitian menunjukkan kejadian retardasi mental dan disfungsi otak
menurun pada bayi yang mendapat calcium binding agents yaitu kalsium karbonat sebagai
pengganti aluminium containing, fosfat binding agent.
9. Osteodistrofi ginjal
Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia dan menyebabkan kadar
ion kalsium serum menurun. Keadaaan ini merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan
hormon lebih banyak agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Jadi
osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat gangguan absorpsi kalsium,
hiperfungsi paratiroid, dan gangguan pembentukan vitamin D aktif.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk
tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul
hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi ditemukan
gambaran tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti osteomalasia dan osteofibrosis.
Pemeriksaan yang paling sederhana untuk melihat gambaran osteodistrofi ginjal adalah ujung-
ujung tulang panjang yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.
Gambar 4. Gambar menunjukkan gambaran osteodistrofi ginjal pada anak.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
19
10. Gangguan pertumbuhan
Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Kemungkinan faktor yang paling penting adalah umur waktu timbulnya GGK, karena
yang paling sering mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal yang
diduga ada hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini, asidosis, osteodistrofi ginjal,
dan gangguan hormonal.
Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien GGK. Terjadinya
osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada pasien GGK akan menyebabkan masukan
makanan dan energi tidak adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya gangguan
sekresi hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan mempengaruhi
pertumbuhan anak karena pemberian hormon tumbuh rekombinan dapat mempercepat
pertumbuhan anak tapi mekanismenya sendiri belum diketahui.
11. Perkembangan seksual
Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien GGK. Keadaan ini
merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis
dan gangguan pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran gonadotropin akan
mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini mungkin disebabkan uremia berat.2,4,8
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
20
2.1.7 Diagnosis
Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang reversible, atau
GGK. Oleh karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi kapan seorang anak harus segera
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis.
Tabel 2 : Indications for transfer to a specialist pediatric nephrology centre.Symptomatic electrolyte abnormalities Hyperkalemia: K+ > 6 mmol/l Hypernatremia, hyponatremia Metabolic acidosis Hypocalcemia, hyperphosphatemia Severe hypertension Pulmonary edema Anuria/oligouria (Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3 rd
edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)
Tabel 3: Specific investigations to elucidate the underlying cause of chronic renal failure.Renal tract ultrasound Micturating cystourethrogram Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA Antegrade pressure flow studies Intravenous urogram Urinalysis Urine microscopy and culture C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA Renal biopsy White cell cystine level Oxalate excretion Purine excretion (Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
21
Tabel 4: Features suggestive of acute and chronic renal failure.Acute renal failure Chronic renal failure
Previously healthy
Normal or slightly enlarged kidneys on ultrasound
Family history of renal disease Small/asymmetric kidneys, cystic kidneys, abnormal collecting systems, ureters, and bladder on ultrasound
Microangiopathic hemolytic anemia, thrombocytopenia
Normochromic, normocytic anemia End-organ effects of hypertension, e.g.
retinopathy Poor growth Radiological evidence of rickets or secondary
hyperparathyroidism(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)
Tabel 5: Investigations to assess the severity and duration of CRFFull blood count Biochemistry B blood electrolyte, urea, creatinine, calcium,
phosphate, alkaline phosphatase, total protein, albumin, urate
GFR Of less value in severe chronic renal failure Left hand and wrist X-ray For bone age and evidence of renal
osteodystrophy Chest X-ray ECG or echocardiogram To asses left ventricular hypertrophy (Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
22
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan
konservatif dan pengobatan pengganti. Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin
dilakukan bila klirens kreatinin > 10 ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10 ml/menit pasien
tersebut harus diberikan pengobatan pengganti.3
1. Pengobatan konservatif
Tujuan pengobatan konservatif adalah memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal
ginjal. Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia,
seperti misalnya mual, muntah.
Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai
pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
23
Nutrisi :
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis
terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet
protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein
otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang meningkat,
resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien yang mendapat terapi
dialisis, terjadi pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui dialisis, dan proses
katabolisme pada hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.3,8
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi,
dan anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat
kecepatan penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta
pertumbuhan.
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan
hal-hal berikut:
Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari
berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan
intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata
energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended
Daily Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk
anak sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi
kurang dari 80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni
1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Untuk
mencapai EAR yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK
membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana
pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
24
Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, batasi diet fosfat dan
gunkan kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat. Sumber fosfat terbanyak adalah susu,
keju dan yoghurt.
Anak-anak dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR
untuk usia. Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan
restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumnya menurun.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
25
Tabel 6 : Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan
Gagal Ginjal Kronik.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
Umur Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Protein (g)
Kalsium (g) Fosfor (g)
0-2 bulan
2-6 bulan
6-12 bulan
1-2 tahun
2-4 tahun
4-6 tahun
6-8 tahun
8-10 tahun
10-12 tahun
12-14 tahun L
P
14-18 tahun L
P
18-20 tahun L
P
55
63
72
81
96
110
121
131
141
151
154
170
159
175
163
120/kg
110/kg
100/kg
1000
1300
1600
2000
2200
2450
2700
2300
3000
2350
2800
2300
2,2/kg
2,0/kg
1,8/kg
18
22
29
29
31
36
40
34
45
35
42
33
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,8
0,8
0,2
0,4
0,5
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,8
0,8L= Laki-laki P=Perempuan
26
Keseimbangan air dan elektrolit :
Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor
kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus
selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal
umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu
pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut
dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia.
Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar. Anak-anak dengan penyakit
ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila terjadi
hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE inhibitors,
katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium
atau memberikan kalium exchange resin.
Keseimbangan asam – basa :
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan
menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan
asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari,
dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.
Osteodistrofi Renal :
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun,
sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar
fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Diet rendah
fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas
harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan
bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
27
dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-
aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap
tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi
renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-
dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20
kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar
kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-
dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol
secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan
adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek
antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan.
Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang
lebih jarang, dan terapi disesuaikan. 2,4,8
Hipertensi :
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit
ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan
air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan
fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam
pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi
untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
28
circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan
furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam.
Infeksi :
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila
menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis.
Anemia :
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi
eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas
untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat
mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi
sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi
dan folat.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin
tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik,
suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai
pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan
eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat
dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. 5
Pertumbuhan :
Pertumbuhan merupakan indikator yang paling sensitif untuk terapi GGK yang adekuat.
Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar
lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara
dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan
GGK dipengaruhi oleh umur anak, umur saat onset GGK dan terapi yang diberikan. 9
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
29
Mempertahankan fungsi ginjal :
Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara
progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan
dengan kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan
sklerosis vaskuler atau arterioler.
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat
dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.4,7,8
Edukasi dan persiapan :
Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program
edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi
sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.
Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal
ginjal terminal. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:
1. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi, setidak-
tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
2. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli neurogenik,
atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum transplantasi dilakukan.
2. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai untuk dialisis
peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses hemodialisis.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
30
2. Pengobatan pengganti
Tujuan pengobatan pengganti pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang hidup
anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan utama
adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi,anak dan remaja sangat bervariasi dan tergantung dari status
klinis pasien. Dengan penatalaksanaan yang optimal, pasien GGK pada anak dapat terhindar dari
berbagai komplikasi. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus dilakukan
sebelum LFG mencapai 10 ml/mnt/1,73m2 dan hasilnya akan lebih baik daripada LFG < 5
ml/mnt/1,73m2 yang disertai manifestasi klinis yang berat. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis
peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan mesin
dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari
dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Indikasi absolut untuk tindakan awal dialisis pada anak dengan gagal ginjal:
Hipertensi Tidak Terkendali
Gagal Jantung Bendungan : Kardiomiopati
Perikarditis : Tamponade
Neuropati Perifer : Parestesia, Disfungsi Motorik
Osteodistrofi Ginjal : Kalsifikasi Tersebar, Deformitas Tulang
Depresi SST : Anemia Berat, Leukopenia
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
31
Trombositopenia
Gambar 5. Gambar menunjukkan seorang yang menjalani hemodialisa.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
32
Gambar 6. Gambar menunjukkan proses hemodialisa.
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginjal tahap akhir
( End Stage Renal Failure ). Indikasi transplantasi ginjal adalah pasien gagal ginjal tahap akhir
dengan gagal tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan
yang optimal. Secara teknis transplantasi ginjal telah mengalami kemajuan, bahkan telah
dilaporkan keberhasilan transplantasi ginjal pada bayi < 1 tahun, namun mencegah terjadinya
reaksi penolakan alograf yang merupakan kunci keberhasilan transplantasi ginjal masih
memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Pemeriksaan imunologi yang penting untuk
kelangsungan keberhasilan transplantasi ginjal adalah golongan darah ABO dan antigen HLA.
Organ ginjal yang akan ditransplantasikan dapat berasal dari cadaver ( jenazah ) atau donor
hidup-keluarga.
Sejak 1960 sampai sekarang terutama akibat berbagai kemajuan yang dicapai dalam
bidang imunologi (pemilihan donor dan resipien sesuai), persiapan yang lebih baik, diagnosis
dini komplikasi, pengelolaan preservasi serta keberhasilan dalam pencegahan serta mengatasi
reaksi penolakan dengan imunosupresi, maka TG merupakan salah satu alternatif terbaik
pengelolaan penderita gagal ginjal kronik (GGK) stadium akhir.1,4,6,8
2.1.9 Prognosis
Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini semakin baik.
Dari 1070 anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat menerima ginjal donor jenazah di
Inggeris dan Irandia dalam periode 10 tahun (1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan penyebab
kematian: 19% oleh karena infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia karena graft
failure.13 Sedangkan data dari Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan hidup 5 tahun
setelah transplantasi donor hidup berkisar antara 80.8% pada anak-anak yang berusia kurang dari
1 tahun saat ditransplantasi, sampai 97.4% pada anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
33
BAB III
LAPORAN KASUS
OBJEKTIF
Tujuan dari kasus ini adalah untuk melaporkan sebuah kasus Gagal Ginjal Kronik pada
seorang anak lelaki berumur 14 tahun yang dirawat di Bagian Non-Infeksi Ruang Rawat Inap
Anak dan Perinatologi RSUP H. Adam Malik Medan.
KASUS
Nama : Abdul Chalik
Umur : 14 tahun 7 bulan
Tanggal Masuk : 8 Juni 2011
Tempat Tinggal : Kota Binjai
NO MR : 44.82.46
A, anak lelaki berumur 14 tahun, dengan berat badan 25 kg dan panjang badan 134 cm,
diterima dan dirawat di Bagian Non-Infeksi Ruang Rawat Inap Anak dan Perinatologi RSUP H.
Adam Malik pada tanggal 8 Juni 2011 pukul 10.45 WIB dengan keluhan utama demam dan Post
HD.
Os merupakan pasien poli Nefrologi yang telah menjalani HD selama ± 1 tahun ini. Os
tidak HD dalam ± 2 minggu terakhir. Demam (+) dialami Os ± 2 jam yang lalu, setelah selesai
HD. Batuk (-), Mual (-). Muntah (+) dialami os ± 1 minggu ini. Kejang (-). Pucat (+) disadari
orang tua dalam 1 minggu ini. Riwayat pendarahan (-). Badan lemas (+) dirasakan os dalam 5
hari ini. BAB (+) N.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
34
RPT: Os merupakan pasien lama poli nefrologi dalam menjalani HD 3x dalam 1 minggu.
RPO: EAS primer, Biknat.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata:
Berat Badan (BB) : 25 kg Panjang Badan (PB): 134 cm
Sensorium : Compos Mentis(CM) Suhu Tubuh : 40,0°C
Pasien tidak mengalami ikterik, sianotik, oedem, ataupun dyspnea tetapi anemia (+).
Status Lokalisata:
Kepala : Pada pemeriksaan mata ditemukan Refleks Cahaya (+) pada kedua mata, Pupil
Isokor pada kedua mata, dijumpai kepucatan pada konjungtiva palpebra inferior.
Pemeriksaan pada telinga, mata, dan hidung dijumpai kesan normal.
Leher : Pembesaran pada kelenjar getah bening (KGB) tidak dijumpai
Thoraks : Bentuk dada simetris fusiformis dan retraksi tidak dijumpai.
Denyut Jantung (HR) 100 kali per menit, reguler, desah tidak dijumpai.
Pernafasan (RR) 28 kali per menit, reguler, tidak dijumpai ronkhi.
Abdomen : Soepel, peristaltik dalam batas normal, H/L/R : ttb
Ekstremitas : Pulsasi pembuluh darah 100 kali per menit, reguler, t/v cukup dan akral hangat.
Cappilary Refill Time (CRT) dijumpai < 3 detik. Tekanan darah didapat 130/60
mmHg.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
35
Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 08 Juni 2011
No. Lab/MR: 1106080304 / 448246
Darah Lengkap (CBC)
- Hemoglobin 3,69 g%
- Eritrosit 1,49 x 106/mm3
- Leukosit 11,30 x 103/mm3
- Hematokrit 11,40 %
- Trombosit 379 x 103/mm3
- MCV 76,40 fL
- MCH 24,70 pg
- MCHC 32,40 g%
- RDW 17,10 %
- MPV 7,22 fL
- PCT 0,274 %
- PDW 016,6 fL
Hitung Jenis
- Neutrofil 84,30 %
- Limfosit 10,70 %
- Monosit 4,90 %
- Eosinofil 0,06 %
- Basofil 0,033 %
- Neutrofil Absolut 09,55 x 103/µL
- Limfosit Absolut 01,21 x 103/µL
- Monosit Absolut 0,555 x 103/µL
- Eosinofil Absolut 0,006 x 103/µL
- Basofil Absolut 0,004 x 103/µL
Hati
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
36
- Bilirubin Total 0,29 mg/dL
- Bilirubin Direk 0,12 mg/dL
- Fosfatase alkali (ALP) 75 U/L
- AST/SGOT 20 U/L
- ALT/SGPT 12 U/L
Ginjal
- Ureum 45,20 mg/dL
- Kreatinin 3,23 mg/dL
- Asam Urat 4,5 mg/dL
Berdasarkan hasil lab :
GFR = 0,7 x PB = 29 (CHRONIC KIDNEY FAILURE)
CR
Kadar Hb rendah = 3,69 g%
Leukositosis = 11.03 103/mm3
Berdasarkan CDC : BB/TB (IBW) menunjukkan hasil 86,2% yaitu mild malnutrition.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
37
Diagnosis Kerja : Gagal Ginjal Kronik
Tatalaksana :
• IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
•IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
•Parasetamol 300mg (k/p)
•Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
•Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Rencana Pemeriksaan :
•Darah Rutin
•Balance Cairan per 6 jam
•Dipstick Urin
•Kultur urin dan ST
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
38
FOLLOW UP Tanggal 8 Juni 2011
S : Post HD, Demam (+)
O : Sensorium : Compos Mentis (CM), Suhu : 38,7°C, BB : 25 kg, PB : 134 cm
Kepala : Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor pada kedua mata, konjungtiva palpebra inferior
pucat(+/+). T/H : kesan normal, M : Mukosa bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-), HR : 120 x/i, reguler, desah (-), RR : 28 x/i, reguler,
ronkhi (-).
Abdomen : Soepel, peristaltic (+)N, H/L/R : ttb
Ekstremitas : P : 120 x/i, reguler, t/v cukup. Akral Hangat. CRT <3 detik.
Tekanan darah didapat 130/60 mmHg. Oedem pretibial minimum (+)
A : GGK
P : IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
Parasetamol 300mg (k/p)
Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Pemeriksaan : Balance Cairan per 6 jam
Dipstick Urin
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
39
FOLLOW UP Tanggal 9 Juni 2011
S : Post HD, Demam (+), Badan Lemas (+) berkurang dan Pucat (+)
O : Sensorium : Compos Mentis (CM), Suhu : 37,8°C, BB : 25 kg, PB : 134 cm
Kepala : Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor pada kedua mata, konjungtiva palpebra
inferior pucat(+/+). T/H : kesan normal, M : Mukosa bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-), HR : 116 x/i, reguler, desah (-), RR : 24 x/i, reguler,
ronkhi (-).
Abdomen : Soepel, peristaltic (+)N, H/L/R : ttb
Ekstremitas : P : 116 x/i, reguler, t/v cukup. Akral Hangat. CRT <3 detik.
Tekanan darah didapat 110/50 mmHg.
A : GGK
P : IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
Inj Ceftriaxone 250mg/12jam ( Hr I )
Parasetamol 300mg (k/p)
Apialis 1 x cth 1
Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
Asam Folat 1x 1mg
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
40
Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Susu VitaPlus
Pemeriksaan : Balance Cairan per 6 jam
Dipstick Urin
Transfusi PRC
FOLLOW UP Tanggal 10 Juni 2011
S : Demam (+), Pucat (+)
O : Sensorium : Compos Mentis (CM), Suhu : 37,8°C, BB : 25 kg, PB : 134 cm
Kepala : Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor pada kedua mata, konjungtiva palpebra inferior
pucat(+/+). T/H : kesan normal, M : Mukosa bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-), HR : 124 x/i, reguler, desah (-), RR : 24 x/i, reguler,
ronkhi (-).
Abdomen : Soepel, peristaltic (+)N, H/L/R : ttb
Ekstremitas : P : 124 x/i, reguler, t/v cukup. Akral Hangat. CRT <3 detik.
Tekanan darah didapat 100/50 mmHg.
A : GGK
P : IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
Inj Ceftriaxone 250mg/12jam ( Hr I )
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
41
Parasetamol 300mg (k/p)
Apialis 1 x ct
Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
Asam Folat 1x 1mg
Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Susu VitaPlus
Pemeriksaan : Balance Cairan per 6 jam
Dipstick Urin
Transfusi saat HD – hari Sabtu 11 Juni 2011
Menunggu hasil kultur urin
FOLLOW UP Tanggal 11 Juni 2011
S : Demam (+), Pucat (+)
O : Sensorium : Compos Mentis (CM), Suhu : 38°C, BB : 25 kg, PB : 134 cm
Kepala : Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor pada kedua mata, konjungtiva palpebra inferior
pucat(+/+). T/H : kesan normal, M : Mukosa bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks: Simetris Fusiformis, retraksi (-), HR : 120 x/i, reguler, desah (-), RR : 22 x/i, reguler,
ronkhi (-).
Abdomen : Soepel, peristaltic (+)N, H/L/R : ttb
Ekstremitas : P : 120 x/i, reguler, t/v cukup. Akral Hangat. CRT <3 detik.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
42
Tekanan darah didapat 110/50 mmHg.
A : GGK
P : IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
Inj Ceftriaxone 250mg/12jam ( Hr I )
Parasetamol 300mg (k/p)
Apialis 1 x cth 1
Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
Asam Folat 1x 1mg
Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Susu VitaPlus
Pemeriksaan : Balance Cairan per 6 jam
Dipstick Urin
Transfusi saat HD – hari Sabtu 11 Juni 2011
Menunggu hasil kultur urin
Keterangan : Os HD selama 4 jam, os transfusi 2 bag PRC ( gol darah A )
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
43
FOLLOW UP Tanggal 12 Juni 2011
S : Demam (+) berkurang
O : Sensorium : Compos Mentis (CM), Suhu : 37,8°C, BB : 25 kg, PB : 134 cm
Kepala : Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor pada kedua mata, konjungtiva palpebra
inferior pucat(+/+). T/H : kesan normal, M : Mukosa bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-), HR : 80 x/i, reguler, desah (-), RR : 24 x/i, reguler,
ronkhi (-).
Abdomen : Soepel, peristaltic (+)N, H/L/R : ttb
Ekstremitas : P : 80 x/i, reguler, t/v cukup. Akral Hangat. CRT <3 detik.
Tekanan darah didapat 130/90 mmHg.
A : GGK
P : IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
Inj Ceftriaxone 250mg/12jam ( Hr I )
Parasetamol 300mg (k/p)
Apialis 1 x cth 1
Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
Asam Folat 1x 1mg
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
44
Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Susu VitaPlus
Pemeriksaan : Balance Cairan per 6 jam
Dipstick Urin
FOLLOW UP Tanggal 13 Juni 2011
S : Badan Lemas (+), Pucat (+),Demam (-)
O : Sensorium : Compos Mentis (CM), Suhu : 36,5°C, BB : 29 kg, PB : 134 cm
Kepala :Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor pada kedua mata, konjungtiva palpebra inferior
pucat(+/+). T/H : kesan normal, M : Mukosa bibir pucat (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris Fusiformis, retraksi (-), HR : 80 x/i, reguler, desah (-), RR : 20 x/i, reguler,
ronkhi (-).
Abdomen : Soepel, peristaltic (+)N, H/L/R : ttb
Ekstremitas : P : 80 x/i, reguler, t/v cukup. Akral Hangat. CRT <3 detik.
Tekanan darah didapat 130/100 mmHg.
A : GGK
P : IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro)
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro
Inj Ceftriaxone 250mg/12jam ( Hr I )
Parasetamol 300mg (k/p)
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
45
Apialis 1 x cth 1
Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
Asam Folat 1x 1mg
Diet MBRG 1620 kkal dengan 52 kkal protein
Susu VitaPlus
Pemeriksaan : Balance Cairan per 6 jam
Dipstick Urin
Keterangan : Os HD ulang pada hari Rabu – 15 Juni 2011
Transfusi 2 bag saat HD
PASIEN PAPS
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
46
BAB IV
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
PEMBAHASAN
R, anak lelaki berumur 14 tahun, dengan berat badan 25 kg dan panjang badan 134 cm,
diterima dan dirawat di Bagian Non-Infeksi Ruang Rawat Inap Anak dan Perinatologi RSUP H.
Adam Malik pada tanggal 8 Juni 2011 pukul 10.45 WIB dengan keluhan utama demam dan Post
HD. Tidak dijumpai adanya riwayat kejang maupun menggigil.
Os merupakan pasien poli Nefrologi yang telah menjalani HD selama ± 1 tahun ini. Os
tidak HD dalam ± 2 minggu terakhir. Demam dialami Os ± 2 jam yang lalu, setelah selesai HD.
Batuk tidak dijumpai, mual tidak dijumpai. Muntah dialami os ± 1 minggu ini. Pucat disadari
orang tua dalam 1 minggu ini. Riwayat pendarahan tidak dijumpai. Badan lemas (+) dirasakan os
dalam 5 hari ini. Buang air kecil dan buang air besar dijumpai normal.
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron
yang masih berfungsi. Gagal ginjal kronik adalah apabila laju filtrasi glomerulus sudah mula
berkurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi
ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan hiperparatiroidisme sekunder telah tampak
nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus
berlanjut.
Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dijumpai laju flitrasi
glomerulus (LFG) menurun yaitu mencapai 29 ml/min/ 1.73m2. Ini termasuk dalam tahap Gagal
Ginjal Kronik. Kadar Hb pada os sangat rendah yaitu 3,69 g% menunjukkan os anemis dan juga
dijumpai jumlah leukosit tinggi. Pada seorang pasien GGK, dijumpai keluhan non spesifiknya
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
47
yaitu sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, pucat dan menderita hipertensi.
Os mengeluhkan demam, muntah, badannya lemas, pucat dan juga menderita hipertensi.
Daripada sumber yang dibaca, diketahui bahwa, keluhan seperti demam, mual dan muntah bisa
juga karena komplikasi dari hemodialisa. Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan
jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan os dalam kategori mild malnutrition.
Berdasarkan gejala yang telah dijumpai di atas, maka untuk penatalaksanaan os adalah
tirah baring dengan memberikan terapi cairan IVFD D5% NaCl 0,225% (6gtt/mnt mikro) dan
IVFD EAS Primer 10gtt/mnt mikro sebagai terapi cairan. Terapi cairan diberi sesuai dengan
balance cairan yang dilakukan setiap 6jam menyesuaikan kebutuhan air yang masuk dengan
jumlah urin yang keluar. Ini adalah supaya dapat mengatasi gangguan keseimbangan air dan
elektrolit.
Pasien diberi Inj Ceftriaxone 250mg/12jam karena dari hasil pemeriksaan laboratorium
dijumpai kadar leukosit yang agak meninggi yang mungkin menunjukkan indikasi suatu infeksi.
Parasetamol diberikan untuk mengatasi demamnya. Asam Folat diberikan untuk mengatasi
gejala klinis anemia. Apialis adalah vitamin yang diberi dan ini biasanya perlu diberikan untuk
gantikan zat gizi yang hilang pada proses dialisa. Tujuan pemberian Bicnat tab 3-2-2 ( 1meq/kg)
adalah untuk mengontrol tingkat keasaman darah. Asam folatnya pula bertujuan untuk
mencukupi nutrisi yang baik dengan mengatasi gejala anemia pada os. Diet MBRG 1620 kkal
dengan 52 kkal protein diberi karena pada anak untuk mengatasi malnutrisi dan yang paling
diutamakan adalah pembatasan asupan garam untuk mengatasi hipertensinya. Susu VitaPlus
diberi untuk nutrisinya.
Hal lain yang dilakukan adalah pemantauan vital sign dan tanda-tanda anemia
dikarenakan os sering kelihatan pucat dan kadar Hb os rendah. Transfusi PRC dilakukan setelah
menghitung kebutuhan dan kemampuan os. Balance cairan per 6 jam dan Dipstick Urin
dilakukan secara rutin untuk memantau fungsi ginjal. Pada pasien dengan GGK angka
kelangsungan hidup saat ini semakin baik. Pada kasus ini os telah diberikan terapi cairan,
transfusi darah, hemodialisis dan nutrisi yang adekuat supaya prognosis yang dihasilkan cukup
baik. OS PAPS setelah 6 hari dirawat di ruangan.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
48
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus tentang seorang anak lelaki berumur 14 tahun, dengan
berat badan 25 kg dan panjang badan 134 cm, diterima dan dirawat di Bagian Non-Infeksi Ruang
Rawat Inap Anak dan Perinatologi RSUP H. Adam Malik pada tanggal 8 Juni 2011 dengan
diagnosa GGK yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis, dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Penatalaksanaan untuk pasien tersebut adalah pengobatan konservatif
dan pengobatan pengganti. Setelah 6 hari dirawat di ruangan, os PAPS.
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
49
DAFTAR PUSTAKA
1) Barbara F. et al, 2006. Overview of Kidney Diseases in Children. The National Kidney and
Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC). Available from :
file:///F:/daftar%20pustaka%20for%20ggk/NKUDIC.htm [ Accesed 18 Juni 2011]
2) Dilys A.W. et al, 2008. Chronic Kidney Disease in Children. American Academy of
Pediatrics. Available from :
file:///F:/daftar%20pustaka%20for%20ggk/pediatrics%20in%20review.htm [ Accesed 16 Juni
2011]
3) Husein A. et al, 2010. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi Kedua FKUI, Jakarta.509-530
4) Ilmu Bedah, 2011. Gagal Ginjal Kronik Pada Anak. Available from :
http://ilmubedah.info/gagal-ginjal-kronik-chronic-kidney-disease-pada-anak-20110319.html
[ Accesed 1 Juni 2011]
5) Larry A.G. 2005. Anemia in Children with Chronic Kidney Disease. Department of
Pediatrics, Medical College of Wisconsin, Milwaukee. Available from :
file:///F:/daftar%20pustaka%20for%20ggk/ackd.htm [ Accesed 11 Juni 2011]
6) Nurdin B. et al, 1988. Transplantasi Ginjal Pada Anak, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSU Ujung Pandang,Ujung Pandang. 45-49
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe
50
7) Sanjeev G. 2010. Chronic Kidney Disease Treatment & Management. WebMD Professional.
Available from : file:///F:/daftar%20pustaka%20for%20ggk/medscape.htm [ Accesed
11 Juni 2011]
8) Sjaifullah N.M, . Gagal Ginjal Kronik Pada Anak. Available from :
[ Accesed 10 Juni 2011]
9) Valerie L.J. 2010. Growth Failure in Children with Chronic Kidney Disease.American
Association of Kidney Patients. Available from :
file:///F:/daftar%20pustaka%20for%20ggk/AAKP.htm. [ Accesed 11 Juni 2011]
10) Wong S.N. 2004. Can We Prevent Chronic Renal Failure in Children? Hong Kong Journal
of Paediatrics. Available from : http://www.fmshk.org/journal/hkjp/v09n01-010.htm
[Accesed 14 Juni 2011]
KKS FK Univ.Malahayati– RSUD Kaban Jahe