21753320-skenario-1-bioetika
Transcript of 21753320-skenario-1-bioetika
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK II BIOETIKA DAN HUMANIORA
SKENARIO 1
TINJAUAN ASPEK ETIK KEDOKTERAN, HUKUM, AGAMA,
DAN DISIPLIN DALAM MENGHADAPI KASUS ABORTUS
Oleh
Kelompok 12:
Fiqih Faruz Romadhon (G0009084)
David Kurniawan S. (G0009050)
Ichsanul Amy Himawan (G0009104)
Ahmad Afiyyudin (G0009008)
Ariesta Permatasari (G0009028)
Dhiandra Dwi (G0009058)
Hanifah Astrid (G0009100)
Fika Khulma S. (G0009082)
Qonita S. Janani (G0009176)
Muvida (G0009144)
Gia Noor Pratami (G0009092)
Tutor: Fitriyah, Dra.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
1
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aborsi merupakan pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari
uterus sebelum fetus dimungkinkan untuk hidup, yaitu fetus dengan berat
kurang dari 500 gram dan usia kurang dari 20 minggu (Dorland, 2006: 5-6).
Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu hangat diperbincangkan
di berbagai kalangan masyarakat. Masih banyak tanggapan yang berbeda-
beda tentang aborsi. Para ahli agama, ahli kesehatan, ahli hukum, dan ahli
sosio-ekonomi memberikan pernyataan masing-masing, ada yang
mendukung, abstain, dan menolak.
Profesi dokter sering dihadapkan dengan masalah aborsi. Pengetahuan
dan ketrampilan menerapkan aspek etika, hukum, dan disiplin kedokteran
dalam perilaku seorang dokter menunjukkan kemampuan profesionalnya.
Dokter tidak hanya harus mampu dalam hal disiplin ilmu kedokteran saja,
tetapi juga harus mampu dengan tepat mempertimbangkan aspek etika dan
hukum di dalam menghadapi setiap kasus, termasuk ketika menghadapi kasus
aborsi.
Dalam skenario kali ini, kasus yang dihadapi adalah seorang anak
perempuan berumur 13 tahun yang duduk di kelas 1 SMP hamil hampir 1
bulan karena diperkosa. Korban mengalami depresi dan orangtua
menginginkan kehamilan digugurkan. Setelah berkonsultasi ke dokter, dokter
menyanggupi untuk melaksanakan praktik aborsi setelah mempertimbangkan
aspek profesionalisme. Namun, orangtua masih bingung karena menurut
mereka, agama dan hukum melarang aborsi.
Oleh karena itu, dalam laporan ini akan dibahas bagaimana aborsi
ditinjau dari sudut pandang kode etik kedokteran, sumpah dokter, segi
disiplin, hukum dan agama. Pemahaman tentang kasus aborsi sangat penting
2
bagi mahasiswa calon dokter agar dalam menghadapi profesinya sebagai
dokter nanti dapat bertindak secara profesional dalam menghadapi kasus-
kasus sulit.
B. Rumusan Masalah
1) Apa saja macam-macam aborsi?
2) Bagaimana aborsi dilihat dari sudut pandang sumpah dokter, kode etik
kedokteran, segi disiplin, agama dan hukum?
3) Bagaimanakah pengambilan keputusan yang tepat dalam menghadapi
kasus aborsi?
C. Tujuan
1) Mengetahui macam-macam aborsi.
2) Mengetahui aborsi dilihat dari aspek sumpah dokter, kode etik
kedokteran, segi disiplin, agama, dan hukum.
3) Mengetahui keputusan yang harus diambil dalam menghadapi kasus
aborsi.
D. Manfaat
1) Mampu menerapkan perilaku profesional dalam praktek kedokteran serta
mendukung kebijakan kesehatan khususnya dalam tindakan abortus.
2) Mampu mengenal alternatif dalam menghadapi pilihan etik yang sulit.
3) Mampu menunjukkan sikap yang sesuai dengan kode etik kedokteran.
4) Mampu memahami dan menerima tanggung jawab hukum, kode etik, dan
disiplin.
3
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Pengertian Aborsi
Definisi dari aborsi adalah adanya perdarahan dari dalam rahim
perempuan hamil di mana karena sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur
& keluar dari dalam rahim bersama dengan darah, atau berakhirnya suatu
kehamilan sebelum anak berusia 22 minggu atau belum dapat hidup di dunia luar.
Biasanya disertai dengan rasa sakit di perut bawah seperti diremas-remas & perih.
(Billy N. ,2008)
Aborsi bisa juga diartikan dengan berakhirnya suatu kehamilan (oleh
akibat-akibat tertentu ) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di
luar kandungan, dimana beratnya masih dibawah 500 gram atau sebelum usia
kehamilan 20 minggu. (BKKBN)
B. Macam-macam Aborsi
Aborsi dibagi menjadi aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan
adalah aborsi yang terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya-upaya dari luar
untuk mengakhiri kehamilan misalnya akibat keadaan kondisi fisik yang turun,
ketidakseimbangan hormon didalam tubuh, kecelakaan, maupun sebab lainnya.
Terminologi yang paling sering digunakan untuk abortus spontan adalah
keguguran. Aborsi buatan adalah aborsi yang terjadi akibat adanya upaya-upaya
tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan. Aborsi buatan dibagi lagi menjadi
aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis
(buatan ilegal). Aborsi provokatus terapetikus adalah pengguguran kandungan
yang dilakukan menurut syarat-syarat medis & cara yang dibenarkan oleh
peraturan perundangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan
4
nyawa/mengobati ibu. Aborsi provokatus kriminalis adalah pengguguran
kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan/mengobati ibu,
dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak kompeten, serta tidak
memenuhi syarat & cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan.
Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. (Billy N.,
2008)
C. Aborsi dari Aspek Hukum di Indonesia
Dalam hukum di Indonesia, ketentuan yang mengatur masalah aborsi
terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan. Ketentuan di dalam KUHP yang mengatur masalah tindak pindana
aborsi terdapat di dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349.
Pasal 299 KUHP : Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang
perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau
ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 346 KUHP : Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 KUHP : (1)Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun. (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama limabelas tahun.
Pasal 348 KUHP :(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam
dengan pidana penjara tujuh tahun.
5
Pasal 349 KUHP : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan
salah satu kejahatan dalam pasal 347 & 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah untuk dengan sepertiga & dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pada UU no.23 tahun1992 pasal 15 : (1) Dalam keadaan darurat sebagai
upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan
medis tertentu.(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan : a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan
diambilnya tindakan tertentu, b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
& kewenangan untuk itu & dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim ahli, c. Dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan atau suami atau keluarganya, d. Pada sarana kesehatan tertentu
(hukumkes, 2008).
D. Aborsi dari Aspek Agama
1. M enurut F atwa MUI
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005, tentang Aborsi
menetapkan ketentuan hukum Aborsi sebagai berikut :
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding
rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun
hajat. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak
melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.
Sedangkan Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak
melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan
besar.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan
aborsi adalah:
6
i. Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium
lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat
lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
ii. Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat
membolehkan aborsi adalah:
i. Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau
lahir kelak sulit disembuhkan.
ii. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang
berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga
korban, dokter, dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan
sebelum janin berusia 40 hari.
3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat
zina.
Dalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat tentang aborsi
sebelum ditiupkannya ruh. Dalam madzhab hanafi, misalnya ibn Abidin
membolehkan aborsi dengan alasan pembenar sampai habisnya bulan
keempat, demikian juga di kalangan madzhab Syafi’i, Muhammad Ramli
membolehkan dengan alas an belum adanya makhluk yang bernyawa. Sedang
pendapat yang melarang walaupun sebelum ditiupkannya ruh di antaranya
Imam Al Ghazali dan Imam Malik. (Ahmad Syafiuddin, 2002)
2. Menurut Alkitab
Alkitab tidak pernah secara khusus berbicara mengenai soal aborsi.
Namun demikian, ada banyak ajaran Alkitab yang membuat jelas apa
pandangan Allah mengenai aborsi. Yeremia 1:5 memberitahu kita bahwa
Allah mengenal kita sebelum Dia membentuk kita dalam kandungan.
Mazmur 139:13-16 berbicara mengenai peran aktif Allah dalam menciptakan
dan membentuk kita dalam rahim. Keluaran 21:22-25 memberikan hukuman
yang sama kepada orang yang mengakibatkan kematian seorang bayi yang
7
masih dalam kandungan dengan orang yang membunuh. Hal ini dengan jelas
mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi dalam kandungan sebagai
manusia sama seperti orang dewasa. Bagi orang Kristen aborsi bukan hanya
sekedar soal hak perempuan untuk memilih. Aborsi juga berkenaan dengan
hidup matinya manusia yang diciptakan dalam rupa Allah (Kejadian 1:26-27;
9:6).
Argumen pertama yang selalu diangkat untuk menentang posisi orang
Kristen dalam hal aborsi adalah, “Bagaimana dengan kasus pemerkosaan
dan/atau hubungan seks antar saudara. Betapapun mengerikannya hamil
sebagai akibat pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara, apakah
membunuh sang bayi adalah jawabannya? Dua kesalahan tidak menghasilkan
kebenaran. Anak yang lahir sebagai hasil pemerkosaan atau hubungan seks
antar saudara dapat saja diberikan untik diadopsi oleh keluarga yang tidak
mampu memperoleh anak – atau anak tsb dapat dibesarkan oleh ibunya.
Sekali lagi sang bayi tidak seharusnya dihukum karena perbuatan jahat
ayahnya.
Gereja Katholik memfatwa bahwa aborsi adalah tindakan pembunuhan.
Tak urung dua orang Paus melarang tindakan aborsi tersebut, yaitu Paus Pius
IX dan Paus Paulus Johanes yang secara tersurat melarang tindakan aborsi.
(Marike Helena Blofied, 2006)
3. Menurut agama Hindhu
Aborsi dengan alasan apapun tidak direstui karena pelakunya akan
terkena dosa pembunuhan. Hal ini ditegaskan dalam Lontar Yama Purana
Tattwa, bahwa mereka yang membunuh janin dalam kandungan dikutuk oleh
Bhatara Yama. Dalam ephos Mahabharata, Aswatama dikutuk oleh Bhatara
Kresna karena membunuh janin-janin keturunan Pendawa yang masih dalam
kandungan. Jadi dalam kasus Aborsi yang terkena dosa adalah : Ayah-Ibu
bayi, Dokter atau Balian yang membantu aborsi.
4. Menurut Agama Katholik
8
Gereja katholik, tak henti-hentinya mengutuk aborsi yang secara
langsung dan terencana mencabut nyawa bayi yang belum dilahirkan. Pada
prinsipnya, umat kristen katholik percaya bahwa semua kehidupan adalah
kudus sejak dari masa pembuahan hingga kematian yag wajar, dan karenanya
mengakhiri kehidupan manusia yang tidak bersalah, baik sesudah maupun
sebelum ia dilahirkan, merupakan kejahatan moral. Gereja mengajarkan, “
kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal ia membutuhkan
kekuasaan Allah pencipata dan untuk selama-lamanya tinggal dalam
hubungan khusus dengan penciptanya, tujuan satu-satunya. Hanya Allah
sajalah tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir : tidak ada ada seorangpun
boeh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan manapun, untuk mengakhiri
secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah. (Donum vitae,
2005).
5. Menurut agama Buddha
Dalam agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran
kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim
seorang ibu. Agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya
tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila
pertama yaitu panatipata.
E. Aborsi dari Aspek Kode Etik Kedokteran
Dalam pasal 7d : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”
Penjelasan :
Kadang-kadang dokter terpaksa harus melakukan operasi atau cara
pengobatan tertentu yang membahayakan. Hal ini dapat dilakukan asal tindakan
ini diambil setelah mempertimbangkan masak-masak bahwa tidak ada jalan/cara
lain untuk menyelamatkan jiwa selain pembedahan. Sebelum operasi dimulai,
perlu dibuat persetujuan tertulis lebih dahulu atau dari keluarga (informed
9
consent). Sesuai peraturan Menteri Kesehatan tentang Informed consent, batas
umur yang dapat memberi Informad consent adalah 18 tahun.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seseorang yang pada suatu waktu
akan menemui ajalnya. Tidak seorang dokterpun, betapapun pintarnya akan dapat
mencegahnya.
Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa, termasuk manusia
ialah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan
berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan
ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua
usaha tersebut merupaka tugas seorang dokter. Ia harus berusaha memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa baik menurut agama,
Undang-Undang Negara, maupun etik Kedokteran, seorang dokter tidak
diperbolehkan :
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
b. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut Ilmu pengetahuan
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Keputusan untuk melakukan abortus therapeuticus harus dibuat oleh
sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dan wanita hamil yang
bersangkutan, suaminya dan atau keluarganaya yang terdekat. Hendaknya
dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk
melakukannya.
F. Aborsi Dipandang dari Bunyi Sumpah Dokter
Pasal I : Sumpah/janji seorang dokter sebagai termaksud pada pasal 36
ayat (1) "Reglement op den Dienst van de Volksgezonheid" (Staatsblad 1882 No.
97), sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang No.
10 tahun 1951 (Lembaran-Negara tahun 1951 No.46) berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikekemanusiaan;
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bersusila,
sesuai dengan martabat pekerjaan saya;
10
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran;
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter;
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita" saya akan berikhtiar
dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan
Keagamaan,
Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial; Saya akan
memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima
kasih yang selayaknya;
Teman-sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung;
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan
Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum
perikemanusiaan;
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkan kehormatan diri saya".
11
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam membahas kasus skenario dua, terdapat dua pendapat mengenai
boleh tidaknya dilakukan aborsi. Setiap pendapat memiliki alasan dan dasar yang
kuat mengenai pendapatnya.
Pendapat yang kontra (tidak setuju) terhadap dilakukannya aborsi adalah
berdasarkan pada:
1. Menurut sudut pandang Etika kedokteran.
Dalam pasal 7d disebutkan, ‘Setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi makhluk hidup insani’. Maka, dalam
praktiknya, dokter hendaknya melindungi setiap insan mulai dari dalam
kandungan. Seperti yang disebutkan dalam kajian pustaka sebelumnya,
aborsi hanya dapat dilakukan jika terdapat resiko kesehatan yang nantinya
akan membahayakan hidup ibunya. Sedangkan dalam kasus skenario satu,
alasan dilakukannya aborsi hanya berdasarkan atas depresi si anak dan
karena anak tersebut merupakan korban perkosaan.
Dalam penjelasan kode etik kedokteran pun , dokter harus berusaha
memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
baik menurut agama, Undang-undang Negara, maupun kode etika
kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan
(abortus provocatus). Keputusan untuk melakukan abotus provocatus pun
harus dibuat oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan
tertulis dari wanita hamil yang bersangkutan, suaminya, dan atau
keluarganya yang terdekat. Sedangkan dalam kasus skenario satu,
keinginan aborsi merupakan keinginan orang tua, belum ada persetujuan
12
dari wanita yang bersangkutan, terlebih lagi dari sagi orangtua pun,
mereka masih ragu apakah ingin melakukan aborsi atau tidak
2. Menurut sudut pandang sumpah dokter.
Bunyi dari sumpah dokter salah satunya iyalah “Saya bersumpah/ berjanji
bahwa saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan”. Dari kalimat tersebut dengan jelas dapat disimpulkan bahwa
sebagai dokter berkewajiban menghormati insan sejak awal pembuahan
dalam rahim, dan tidak memiliki hak untuk menjadikannya gugur secara
sengaja baik sebelum 40 hari maupun sesudah 40 hari. Hal tersebut sama
saja tidak mencerminkan perikemanusiaan, karena dalam sumpah dokter
dikatakan bahwa seorang dokter bersumpah akan membaktikan hidupnya
guna kepentingan perikemanusiaan.
3. Menurut sudut pandang hukum
Dalam undang-undang KUHP, hukum di Indonesia tidak ada yang
melegalkan kasus aborsi. Hukum tentang aborsi tercantum pada pasal 299,
341 hingga pasal 349. Pada pasal 346 KUHP menegaskan bahwa seorang
wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam penjara paling lama tujuh tahun.
Dalam pasal 347 dan 348, aborsi yang dilakukan baik dengan persetujuan
maupun tidak persetujuan tidak diizinkan, dan mendapat sanksi pidana
yang berat hingga tujuh tahun. Berdasarkan aturan dalam KUHP terlihat
jelas bahwa tindak aborsi merupakan tindak melanggar hukum, dengan
alasan apapun.
Dalam undang-undang yang lain, misalnya pada pasal 15 ayat 1
Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan
bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan
alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, agama,
13
kesusilaan dan norma kesopanan. Namun keadaan darurat dalam upaya
untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu. Sedangkan apa yang dimaksud ‘tindakan medis
tertentu’ tidak dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Sehingga
menimbulkan multiinterpretasi. Dalam penjelasan UU ayat 2 butir a,
indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan
diambil tindakan medis tertentu. Sebab, tanpa tindakan medis tertentu itu,
ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut. Sedangkan dalam skenario
ini, tidak disebutkan suatu gejala atau indikasi medis tertentu yang
membahayakan dalam diri korban perkosaan, dan hanya berupa masalah
psikologis. Sehingga sebenarnya masih ada cara lain untuk menyeleaikan
masalah ini tanpa melakukan aborsi. Selain itu, jika melakukan tindakan
medis tertentu, hal tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.
(Jusuf Hanafiah, 1999). Sedangkan dalam skenario pun belum ada
koordinasi yang jelas antara ibu hamil dan orangtua yang masih bimbang
dengan tim dokter.
Di sisi lain, kebimbangan orangtua tersebut merupakan hal yang
wajar. Sebab, belum ada payung hukum yang jelas untuk melegalkan
tindak aborsi dengan dasar perkosaan. Mereka khawatir akan ikut terjerat
kasus hukum karena apabila aborsi dalam kasus ini tidak bisa dibenarkan,
maka sesuai KUHP, yang akan terkena hukuman tidak hanya tim dokter,
tetapi juga korban dan atau orang tuanya yang menyuruh untuk dilakukan
aborsi.
4. Menurut sudut pandang agama.
Dari aspek agama, sebagian besar agama melarang aborsi. Kristen,
Katolik, Hindu Buddha, dan Konghuchu melarang aborsi dengan alasan
apa pun. Dalam agama Islam bila alasannya karena indikasi medis yang
kuat di mana aborsi hanya satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa
14
ibu, sebagian besar ulama membolehkan karena dharurat, itupun masih
dibatasi waktu dan syarat lain. Sedangkan bila aborsi akibat perkosaan,
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian membolehkan
dengan syarat-syarat sangat ketat dan sebagian tidak memperbolehkan.
"Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun
keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan
kehidupan janin." Pada usia empat puluh hari pertama tingkat
keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang boleh digugurkan
karena udzur yang muktabar (akurat); dan setelah kandungan berusia
diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin
kuat, karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih
kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih. Keharaman itu
bertambah kuat dan berlipat ganda setelah kehamilan berusia seratus
dua puluh hari, yang oleh hadits diistilahkan telah memasuki tahap
"peniupan ruh." Dalam hal ini tidak diperbolehkan
menggugurkannya kecuali dalam keadaan benar-benar sangat
darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti, bukan sekadar
persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena
darurat itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya. Maka bagi
wanita muslimah yang mendapatkan cobaan dengan musibah
seperti ini (perkosaan) hendaklah memelihara janin tersebut --
sebab menurut syara' ia tidak menanggung dosa-- dan ia tidak dipaksa
untuk menggugurkannya. (Qardhawi, 2006)
Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari
berkata "Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan
obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum
ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini
terlarang, maka itulah yang lebih layak; dan orang yang
memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl. Tetapi
kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah
itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan sebelum terjadinya sebab
15
(kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan setelah
terjadinya sebab kehidupan (anak)." (Qardhawi, 2006)
Akan tetapi, bila kita telusuri lebih lanjut pendapat-pendapat asli
dari kitab-kitab yang ditulis ulama tersebut --bukan hanya dari situs-situs
di internet yang sebagian besar hanya kalimat redaksi, tidak
mencantumkan kalimat-kalimat asli dan ulasan-ulasan yang mendalam
dari ulama tersebut-- ulama-ulama yang memperbolehkan pun selain
memperbolehkannya dengan syarat-syarat sangat ketat, mereka juga lebih
menyukai bila tidak dilakukan aborsi kecuali bila benar-benar terpaksa
untuk menyelamatkan ibu, dan alasan yang diberikan oleh medis harus
benar-benar akurat, tidak sekedar prediksi dokter atau tim medis yang lain
karena hukum asal aborsi adalah haram (Qardhawi, ). Selain itu, Islam
juga mengenal istilah syubhat, yakni sesuatu yang diragukan status hukum
halal atau haramnya. Bila menjumpai hal yang syubhat, maka bagi umat
Islam, lebih baik menjauhinya (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Dalam skenario ini, alasan utama akan dilaksanakannya aborsi
adalah alasan psikologis yang dimungkinkan bisa berdampak buruk pada
kesehatan ibu, bukan karena suatu kondisi kesehatan yang sangat gawat,
sehingga hal ini sangat meragukan untuk dikatakan sebagai keadaan yang
darurat. Ditambah lagi hal tersebut barulah sebatas prediksi dari tim
dokter. Meskipun dalam tim sudah ada ahli agama, di mana tim setuju
untuk dilakukan aborsi (berarti ahli agama yang ada di skenario
membolehkan aborsi pada kasus tersebut) tidak bisa ditarik
kesimpulan sebagai pembolehan aborsi dari sisi agama. Apalagi orang
tua masih bingung untuk melakukan aborsi, di mana salah satu
ganjalannya adalah karena menurutnya agama tidak memperbolehkan.
Maka bisa jadi orang tua tersebut memiliki pendapat atau mengikuti
pemikiran ahli agama yang pendapatnya berbeda dari pendapat ahli agama
dalam tim. Hal ini sah-sah saja dan sangat biasa terjadi di dalam
masyarakat.
16
Lebih dari itu, kami melihat masih banyak cara-cara lain tanpa
harus mengorbankan keyakinan pasien (bahwa menurutnya agama
melarang aborsi) yang dapat digunakan untuk menyelamatkan nyawa ibu
dan mengembalikan kesehatan fisik serta mentalnya di samping juga bisa
menyelamatkan janin.
Kasus aborsi dalam skenario kali ini bisa juga diperbolehkan dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
1. Gadis masih berusia 13 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dari BKKBN,
apabila kehamilan di bawah 20 tahun bisa menimbulkan berbagai resiko
kehamilan. Ibu muda pada waktu hamil kurang memperhatikan kehamilannya
termasuk kontrol kehamilan. Selain itu, ibu muda pada waktu hamil sering
mengalami ketidakteraturan tekanan darah yang dapat berdampak pada
keracunan kehamilan serta kekejangan yang berakibat pada kematian yang
menyebabkan tingginya angka kematian ibu. Penelitian juga memperlihatkan
bahwa kehamilan usia muda (di bawah 20 tahun) sering kali berkaitan dengan
munculnya kanker rahim. Sebagaimana kita ketahui kanker rahim dapat
mengancam jiwa sehingga menimbulkan kematian. Semua resiko tersebut
mengindikasikan bahwa bila kehamilan tersebut dilanjutkan justru akan
mengancam jiwa ibu (adanya indikasi medis). Sebagaimana disebutkan dalam
UU no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dalam pasal 15 dijelaskan bahwa
tenaga kesehatan dapat melakukan tindakan medis dalam keadaan darurat
untuk menyelamatkan ibu atau janin atas pertimbangan tim ahli medis dan
dengan persetujuan ibu hamil dan keluarganya. Maka dalam kasus ini aborsi
diperbolehkan.
2. Dari segi agama Islam, fatwa MUI no. 4 tahun 2005 menyatakan bahwa
perempuan yang hamil akibat diperkosa boleh melakukan aborsi. Hal ini
dilandasi pemikiran munculnya kekhawatiran terhadap masa depan anak hasil
perkosaan. Di antaranya, kekhawatiran munculnya penderitaan yang akan
ditanggung anak tersebut. MUI juga menetapkan syarat bahwa aborsi hanya
diijinkan bila usia janin dalam kandungan masih belum mencapai 40 hari
17
karena dalam kurun waktu tersebut diyakini bahwa janin belum mempunyai
ruh. Karena dalam kasus ini umur kehamilan gadis belum mencapai 40 hari,
maka aborsi diperbolehkan, namun setelah ada keputusan dari sebuah tim
yang melibatkan pihak keluarga, dokter, dan ahli agama.
3. Korban dalam keadaan depresi. Apabila kehamilan dilanjutkan justru bisa
memperparah keadaan psikologi korban. Korban merasa belum siap
mempunyai anak dan tidak kuat menanggung malu akibat kehamilannya itu.
Korban juga akan sulit dalam memberikan kasih sayang yang tulus kepada
anak yang akan dilahirkannya nanti karena merupakan hasil kehamilan yang
tidak diinginkan, sehingga dapat menyebabkan masa depan anak
kemungkinan besar bisa terlantar. Selain itu, masa depan sang Ibu bisa saja
terputus karena belum tercapainya suatu kematangan mental dan sosial dalam
menanggung permasalahan yang sebenarnya belum dapat ditanggung oleh
gadis dalam usia 13 tahun. Sehingga, jalan keluar untuk mengurangi depresi
korban adalah dengan tindakan aborsi. Adapun sebelum dan setelah aborsi
korban akan didampingi oleh psikiater sehingga kondisi psikologis korban
tetap stabil dan tidak mengalami goncangan sehingga korban tidak terbebani
oleh aborsi tersebut.
4. Dokter telah berkerja dalam tim yang di mana di dalam tim tersebut terdiri
atas dokter, ahli agama, dan psikiater. Mereka memutuskan untuk melakukan
aborsi setelah mempertimbangkan aspek profesionalisme. Apabila tim sudah
mempertimbangkan seperti itu, maka keputusan yang diambil tim pasti sudah
memperhatikan dan menimbang dari aspek etika, hukum, dan disiplin
kedokteran dengan sebaik-baiknya. Sehingga, keputusan tim dokter untuk
melakukan aborsi dapat dipertimbangkan oleh keluarga sebagai jalan yang
terbaik bagi sang korban.
5. Dari segi Kode Etik Kedokteran Indonesia, menurut pasal 7c bahwa “Seorang
dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien”. Dalam hal
ini perlu digarisbawahi mengenai menghormati hak-hak pasien yang mana
meskipun orangtualah yang meminta adanya aborsi, tetapi perlu diingat
18
bahwa korban merupakan gadis SMP kelas 1 berusia 13 tahun dan belum
dapat menentukan keputusan yang tepat karena berdasarkan WHO usia 15-24
tahun merupakan dewasa muda (youth) dan penduduk muda (young people)
bagi mereka yang berusia 10-24 tahun. Oleh karena itu, keputusan berada di
tangan orangtua sepenuhnya dalam menentukan tindakan yang akan
dilakukan bagi sang korban dan anaknya. Dokter dalam hal ini berkewajiban
memberikan keterangan selengkapnya dan sebenarnya bagi orangtua bahwa
aborsi yang akan dilakukan telah dipertimbangkan secara matang bersama
ahli agama dan psikiater serta dengan mempertimbangkan aspek
profesionalisme bahwa aborsi merupakan keputusan yang terbaik bagi sang
korban.
6. Dalam skenario ini, menurut segi disiplin tidak ada masalah. Mengingat dari
segi disiplin, hal yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana tindakan medis
yang diambil dilaksanakan sesuai dengan SOP nya atau tidak. Sehingga jika
akhirnya dilakukan tindak aborsi, selama hal itu dilakukan sesuai standar
operasional, maka hal tersebut tidak ada masalah.
Dalam melakukan aborsi perlu diperhatikan aspek-aspek berikut ini:
1. Adanya indikasi medis yang mana merupakan suatu kondisi yang benar-
benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu sebab tanpa adanya
tindakan medis tersebut Ibu hamil dan janinnya dapat terancam bahaya
maut.
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukannya, yaitu seorang dokter terutama dalam hal ini dokter
ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
3. Adanya persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya.
4. Dilakukan dengan sarana dan prasarana lengkap yang mana sesuai dengan
prosedur sehingga dapat menjaga keselamatan sang Ibu.
Terlepas dari pro ataupun kontra dalam pelaksaan tindak aborsi ini, saat ini
belum dapat diputuskan secara pasti mengingat bahwa dalam menentukan suatu
19
keputusan, harus ditinjau pula keadaan pasiennya, serta mempertimbangkan hasil
inform consent (kontrak persetujuan) dari pihak keluarga untuk menyatakan
persetujuan atas tindakan medis tertentu.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adanya pro dan kontra dalam pengambilan keputusan tindakan aborsi di
skenario ini dikarenakan perbedaan pandangan dalam melihat berbagai
aspek, baik hukum, agama dan kode etik kedokteran.
2. Hasil keputusan tim dokter seharusnya menunggu kepastian dari orang
tua yang bersangkutan, karena dalam kasus aborsi, dikatakan bahwa
tanpa persetujuan orang tua, aborsi tidak dapat dilakukan apapun
alasannya. Sehingga dalam hal ini belum dapat diputuskan akan
dilakukan aborsi atau tidak, mengingat belum ada keputusan pasti dari
orangtua.
B. Saran
1. Sebagai seorang dokter, dalam memutuskan suatu kasus, hendaknya
mempertimbangkan tidak hanya dari segi disiplin ilmu saja, tetapi juga
dari segi kode etik, hukum, agama dan sumpah dokter, Sehingga
keputusan yang diambil merupakan integrasi antar aspek-aspek tersebut.
2. Dalam memutuskan suatu kasus pun, dokter tidak hanya melihat dari
keadaan fisik dan medis pasien, tetapi juga mempertimbangkan keadaan
psikologis, serta meminta persetujuan (inform consent) dari pasien dalam
setiap menetukan suatu tindakan., dan melakukan koordinasi yang baik
antar tim medis sendiri (dokter, perawat, psikiater, ahli agama, dan lan-
lain).
20
3. Dalam kasus ini, tidak ada undang-undang dan dasar hukum yang jelas
yang mengatur tentang hukum aborsi pada anak dibawah umur yang
diperkosa sehingga perlu dirancang undang-undang mengenai aborsi
akibat perkosaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Hukum dan Aborsi. http: // www.a borsi.org . (13 Oktober 2009)
Billy N. 2008. Aborsi Menurut Hukum di Indonesia.http://www.hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aborsi-menurut-hukum-di-indonesia/ (13 Oktober 2009).
BKKBN. 2005. Tanya Jawab Kesehatan Reproduksi Remaja.http://www.bkkbn.go.id. (14 Oktober 2009).
Blofied, Marike Helena. 2006. The politics of Moral Sin. Kansas: Rodledge.
Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir. 1999. Reproduksi Manusia. Dalam: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, p.94-96.
______. 1999. Lafal Sumpah Dokter. Dalam: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, p.8-10.
Hanafiah, M. Jusuf. 1999. Seminar etika Profesi dalam Kesehatan Reproduksi, Semarang : Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (PIT-POGI XI)
Idris, Fahmi. 2009. Kontroversi Aborsi.http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/03/04/brk,20090304-163103,id.html. (11 Oktober 2009)
MKEK IDI. 2004. Kode Etik Kedokteran dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.http://library.usu.ac.id. (11 Oktober 2009).
Moeljatno. 2003. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi Aksara. p.94-98
PPI India. 2005. MUI Izinkan Aborsi Akibat Perkosaan.http://www.republika.co.id/detail.asp?katakunci=aborsi&id=215416. (14 Oktober 2009).
21
Qardhawi, Yusuf. 2006. Resiko bila memilih aborsi. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press. Diambil dari: http://dokteriwanmenjawab.blogspot.com/2007/08/resiko-bila-memilih-aborsi.html . (14 Oktober 2009)
Shalih, Syaikh. 2009. Panduan Fiqih Praktis bagi Wanita. Jakarta: Pustaka Sumayyah.
22