216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3
description
Transcript of 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3
TETANUS
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan
kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan
sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuromuscular junction) dan saraf
otonom.
Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan
sifat.
Basil gram positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul gendering
Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat
bergerak dengan menggunakan flagella
Menghasilkan eksotoksin yang kuat
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan, dan desinfeksi.
Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara
fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative
yang akan menghasilkan endotoksin.
Patogenesis
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anaerobic, berubah menjadi
bentuk vegetative dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan
akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau akibat adanya benda asing, seperti bamboo, pecahan
kaca, dan sebagainya.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan
aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh susunan
saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh darah dan limfe. Pengangkutan toksin
ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion
menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstraksional dan menimbulkan perubahan
potensial membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga
kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blockade
pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang terutama pada otot
yang besar.
Dampak toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena eksotoksin
memblok jalur antagonis, mengubah keseimbagan dan koordinasi impuls sehingga tonus
otot meningkat dan otot menjadi kaku
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada serebral ganglionsides
diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala
keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau
takikardia.
Diagnosis
Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita
hadapi juga mempunyai arti diagnostic dan prognostic. Anamnesis yang dapat membantu
diagnosis antara lain:
Apakah dijumpai luka tusuk, lukan kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah
atau gigitan binatang
Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah menderita gigi berlobang
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local) dengan
kejang yang pertama (period of onset).
Manifestasi klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa
inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala
klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.
Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas; yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.
Tetanus mungkin terlokalisasi atau menyeluruh, yang terakhir ini lebih lazim. Periode inkubasi
khas 2-14 hari, tetapi dapat selama berbulan-bulan sesudah jejas. Pada tetanus menyeluruh,
trismus (spasme muskulus maseter, atau rahang terkunci) merupakan gejala yang ada pada
sekitar 50% kasus. Nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas merupakan gejala awal, sering disertai
oleh kekakuan, sukar mengunyah, disfagia, dan spasme otot leher. Risus sardonikus pada
tetanus akibat akibat dari spasme otot-otot muka dan mulut yang tidak henti-henti. Bila paralisis
meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat berpostur lengkung,
opistotonus, dimana hanya punggung, kepala, dan tumit yang menyentuh dasar. Spasme otot-otot
laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi saluran napas dan asfiksia. Karena toksin
tetanus tiak mengenai saraf sensori dan fungsi korteks, maka penderita tetap sadar. Kejang-
kejang ini ditandai dengan kontraksi otot tonik berat, mendadak, dengan tinju menggenggam,
lengan fleksi dan adduksi serta hiperekstensi kaki. Tanpa poengobatan, kisaran kejang dari
beberapa detik sampai beberapa menit lamanya dengan masa berhenti diantaranya, tetapi ketika
penyakit memburuk spasme menjadi bertahan dan melelahkan. Gangguan seperti pandangan,
suara atau sentuhan dapat memicu spasme tetani. Disuria dan retensi urin akibat dari sapsme
sfingter kandung kemih. Pengaruh autonom yang utama adalah takikardia, aritmia, hipertensi
labil, diaphoresis, dan vasokontriksi pembuluh darah kulit. Paralisis tetanus biasanya menjadi
lebih berat pada minggu pada minggu pertama, stabil pada minggu kedua dan sedikit demi
sedikit pada menjadi lebih baik selama masa 1-4 minggu.
Pemeriksaan fisik
Trismus adalah kekakuan otot mengunya (otot maseter) sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut seperti mulut ikan sehingga bayi tak
dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur
setiap hari.
Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimic, sehingga tampak dahi
mengkerut,mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher,
otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dan menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan
Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi setelah
dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat
laun “masa istirahat” kejang makin pendeksehingga anak jatuh dalam status konvulsivus
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat kejang yang terus
menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan
kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan
irama jantung dan kelainan pembuluh darah), dapat pula menybabkan suhu badan yang tinggi
atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lainnya sehingga terjaddi
retentio alvi, retention uri, atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang
belakang.
Secara praktis tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi tetanus berat, sedang dan ringan.
Tetanus berat bila, anak kaku dan sering kejang spontan yaitu kejang terjadi tanpa rangsangan.
Tetanus sedang, bila anak kaku tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai kejang rangsang
yaitu kejang yang terjadi bila dirangsang. Sedangkan tetanus ringan bila kekakuan yang tampak
jelas hanya trismus, tanpa disertai kejang rangsang.
Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuorserebrospinal normal, jumlah leukosit normal
atau sedikit meningkat. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti.
Diagnosis banding
Pada kasus yang samar perlu dipikirkan diagnosis banding
Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai
trismus, risus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal
Tetani: tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya
spasme karpopedal
Keracunan strihnin: minum tonikum terlalu banyak (pada anak-anak)
Rabies: pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis diketahui gigitan binatang pada waktu epidemik
Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar, biasanya
asimetris.
Gambaran tetanus merupakan salah satu gambaran yang paling dramatis dalam kedokteran
dan diagnosisdibuat secara klinis. Kelompok khas adalah penderita yang tidak terimunisasi
(dan/atau ibu) yang terjejas atau dilahirkan dalam 2 minggu sebelumnya dan yang datang
dengan trismus, otot-otot kaku yang lain, dan sensorium yang tidak terganggu. Tetanus
generalisata yang berkembang sepenuhnya, tidak dapat dikelirukan dengan penyakit lain.
Namun, trismus, dapat terjadi akibat abses para faring, retrofaring atau abses gigi. Baik
rabies ataupun tetanus dapat menyertai gigitan binatang, dan rabies dapat datang sebagai
trismus dan kejang-kejang. Namun rabies dapat dibedakan dengan tetanus dengan hidrofobia,
dan disfagia yang mencolok, kejang-kejang klonik yang dominan, serta pleositosis CSS.
Walaupun keracunan striknin dapat berakibat spasme otot, dan aktivitas kejang menyeluruh,
keracunan ini jarang menimbulkan trismus, dan tidak seperti tetanus relaksasi umum
biasanya terjadi antara spasmus. Hipokalsemia dapat menghasilkan tetani, ditandai oleh
spasme laring dan karpopedal, tetapi trismus tidak akan ada
Pengobatan
Pengobatan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan
nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau port d
entrée yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan pengobatan khusus terdiri dari
pemberian antibiotic dan anti tetanus.
Perawatan umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
2. Menjaga saluran napas tetap bebas pada kasus yang berat perlu trakeotomi
3. Member tambahan O2 dengan sungkup (masker)
4. Mengurangi spasme dan hipertonisistas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam
yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala
klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk anak usia <2tahun adalah 8 mg/kgBB/hari
diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap jam. Kejang harus segera dihentikan dengan
pemberian diazepam 5 mg per rectal untuk BB <10 kg dan 10 mg per rectal untuk anak
dengan BB ≥ 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
kejang berhenti pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan
keadaan klinis pasien. Alternative lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2
mg/kgBB IV untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40
mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan
dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Tanda klinis membaik bila sudah tidak ditemui
kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai
gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih
kejang atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di
ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberi respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya
pengurangan dosis dilakukan bertahap 9berkisar antara 20% dari dosis setiap 2 hari.
Fenobarbital dan morfin diberikan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di
intensive care unit karena risiko terjadi depresi pernapasan.
5. Jika kries dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d entrée, maka diperlukan konsultasi
dengan dokter gigi/ THT.
Pengobatan khusus
1. Antibiotic
a. Lini pertama adalah metronidazol IV/oral dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C.tetani bentuk vegetative.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari
(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun)
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotic yang sesuai.
2. Anti toksin
Penggunaan antitoksin pada kasus tetanus telah dimulai di tahun 1890, oleh Behring dan
Kitasato dengan dosis yang bervariasi. Beberapa studi yang pernah dilakukan bahkan
menyebutkan tidak adanya perbedaaan mortalitas pada pemberian ATS dosis 10.000 IU
hingga 500.000 IU, karena kadar yang adekuat dalam darah telah dicapai pada pemberian
dengan dosis 10.000 IU. Dalam literatur yang ada saat ini disebutkan, meskipun efektif,
penggunaan ATS yang berasal dari serum kuda mengalami kendala tingginya insiden
efek samping serum sickness, yaitu hingga 10% (6-14%), dan reaksi anafilaksis yang
fatal pada 0,001% (1 per 100.000). Tersedianya antitoksin yang berasal dari manusia,
sejak tahun 1960-an para ahli merekomendasikan sedapat mungkin menggunakan HTIG,
dan hanya menggunakan ATS apabila tidak ada persediaan HTIG. Dosis HTIG yang
direkomendasikan untuk terapi tetanus 3.000 IU hingga 6.000 IU yang diberikan secara
intramuskular, meskipun disebutkan pula pemberian 500 IU memiliki efektivitas yang
sama.
Prognosis
Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan keadaan status
imunitas pasien. Makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis, makin pendek period of
onset makin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang
peran dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus neonatorum
harus dianggap tetanus berat, oleh karena prognosis buruk.
Pencegahan
Pencegahan sangat penting mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk
pencegahan perlu dilakukan:
1. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Gterutama perawatan luka guna mencegah
timbulnya jaringan anaerob
2. Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam)dan
harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif
3. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenis imunisasi
tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai
imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5
tahun dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus ini diberikan pada setiap
wanita usia subur, oerempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah
pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena
tetanus tidak memberikan kekebalan yang berlangsung lama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008
2. Buku TID
3. Bleck TP, Braunar JS. Tetanus. In: Scheld WM, whitley RJ, Durack DT. Infections of The Central Nervous System. 2nd Ed. Philadelphia, TA: Lippincot/Reven Publisher; 1997:629-53.
4. buku Mikrobiologi Jawet
5. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak: Laporan Kasus. Sari Pediatri. 2010; 12(4):283-8.
6. CDC. Tetanus: Make Sure You and Your Child Are Fully Immunized. USA: Center for Disease Control and Prevention. 2013.
7. Kurtoglu S, Caksen H, Ozturk A, Cetin N, Poyrazoglu H. A Review of 207 Newborn with Tetanus. J Pak Med Assoc. 1998; 48(4):93-8.
8. Chun Pan, Huang Ying Zi, Yang Yi, Hai Bo Qui. Titration of High Dose Sedation is Effective in Severe Tetanus: A Case Report. Case Journal. 2009; 6865(2).
9. Ahmadsyah I, Salim A. Treatment Of Tetanus: An Open Study To Compare The Efficacy Of Procaine Penicillin And Metronidazole. BMJ. 1985; 291: 648-650.
10. Cawson RA, Odell E.W. Cawson’s Essential of Oral Pathology and Oral Medicine. 7th edition. Churcill living stone. 2002; 82-83.
11. Anonym. Ceftriaxone Official FDA Information, Side Effects and Uses . 2013. Diunggah tanggal 16 Juli 2013 dari: http://www.drugs.com/pro/ceftriaxone.html
12. Mycek MJ. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika. 2000
13. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.
14. Simon EE, Batuman V. Hyponatremia: Practice Essentials. 2013. Diunggah tanggal 16 Juli 2013 dari:http://emedicine.medscape.com
15. Sukhotinsky I. Zalkind V. Lu J. Hopkins DA. Saper CB. Devor M. Neural Pathways Associated With Loss Of Consciousness Caused By Intracerebral Microinjection Of GABA A-Active Anesthetics. Eur J Neurosci. 2007;25(5):1417-36.
16. IKA NELSON