216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

15
TETANUS Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuromuscular junction) dan saraf otonom. Etiologi Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat. Basil gram positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul gendering Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella Menghasilkan eksotoksin yang kuat Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan, dan desinfeksi. Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat

description

semoga bermanfaat

Transcript of 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Page 1: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

TETANUS

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan

kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak

eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan

sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuromuscular junction) dan saraf

otonom.

Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan

sifat.

Basil gram positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul gendering

Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat

bergerak dengan menggunakan flagella

Menghasilkan eksotoksin yang kuat

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,

kekeringan, dan desinfeksi.

Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah

pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara

fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama

bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative

yang akan menghasilkan endotoksin.

Patogenesis

Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anaerobic, berubah menjadi

bentuk vegetative dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang anaerobic

ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan

akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau akibat adanya benda asing, seperti bamboo, pecahan

kaca, dan sebagainya.

Page 2: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan

aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh susunan

saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh darah dan limfe. Pengangkutan toksin

ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion

menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan

dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstraksional dan menimbulkan perubahan

potensial membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga

kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blockade

pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan

menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang terutama pada otot

yang besar.

Dampak toksin

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena eksotoksin

memblok jalur antagonis, mengubah keseimbagan dan koordinasi impuls sehingga tonus

otot meningkat dan otot menjadi kaku

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada serebral ganglionsides

diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala

keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau

takikardia.

Diagnosis

Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita

hadapi juga mempunyai arti diagnostic dan prognostic. Anamnesis yang dapat membantu

diagnosis antara lain:

Apakah dijumpai luka tusuk, lukan kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah

atau gigitan binatang

Apakah pernah keluar nanah dari telinga

Apakah menderita gigi berlobang

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir

Page 3: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local) dengan

kejang yang pertama (period of onset).

Manifestasi klinis

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa

inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala

klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.

Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa

disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas; yaitu fleksi kedua lengan dan

ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.

Tetanus mungkin terlokalisasi atau menyeluruh, yang terakhir ini lebih lazim. Periode inkubasi

khas 2-14 hari, tetapi dapat selama berbulan-bulan sesudah jejas. Pada tetanus menyeluruh,

trismus (spasme muskulus maseter, atau rahang terkunci) merupakan gejala yang ada pada

sekitar 50% kasus. Nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas merupakan gejala awal, sering disertai

oleh kekakuan, sukar mengunyah, disfagia, dan spasme otot leher. Risus sardonikus pada

tetanus akibat akibat dari spasme otot-otot muka dan mulut yang tidak henti-henti. Bila paralisis

meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat berpostur lengkung,

opistotonus, dimana hanya punggung, kepala, dan tumit yang menyentuh dasar. Spasme otot-otot

laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi saluran napas dan asfiksia. Karena toksin

tetanus tiak mengenai saraf sensori dan fungsi korteks, maka penderita tetap sadar. Kejang-

kejang ini ditandai dengan kontraksi otot tonik berat, mendadak, dengan tinju menggenggam,

lengan fleksi dan adduksi serta hiperekstensi kaki. Tanpa poengobatan, kisaran kejang dari

beberapa detik sampai beberapa menit lamanya dengan masa berhenti diantaranya, tetapi ketika

penyakit memburuk spasme menjadi bertahan dan melelahkan. Gangguan seperti pandangan,

suara atau sentuhan dapat memicu spasme tetani. Disuria dan retensi urin akibat dari sapsme

sfingter kandung kemih. Pengaruh autonom yang utama adalah takikardia, aritmia, hipertensi

labil, diaphoresis, dan vasokontriksi pembuluh darah kulit. Paralisis tetanus biasanya menjadi

lebih berat pada minggu pada minggu pertama, stabil pada minggu kedua dan sedikit demi

sedikit pada menjadi lebih baik selama masa 1-4 minggu.

Pemeriksaan fisik

Page 4: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Trismus adalah kekakuan otot mengunya (otot maseter) sehingga sukar membuka mulut. Pada

neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut seperti mulut ikan sehingga bayi tak

dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur

setiap hari.

Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimic, sehingga tampak dahi

mengkerut,mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah

Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher,

otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dan menyebabkan tubuh

melengkung seperti busur

Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan

Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi setelah

dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat

laun “masa istirahat” kejang makin pendeksehingga anak jatuh dalam status konvulsivus

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat kejang yang terus

menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan

kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan

irama jantung dan kelainan pembuluh darah), dapat pula menybabkan suhu badan yang tinggi

atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lainnya sehingga terjaddi

retentio alvi, retention uri, atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang

belakang.

Secara praktis tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi tetanus berat, sedang dan ringan.

Tetanus berat bila, anak kaku dan sering kejang spontan yaitu kejang terjadi tanpa rangsangan.

Tetanus sedang, bila anak kaku tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai kejang rangsang

yaitu kejang yang terjadi bila dirangsang. Sedangkan tetanus ringan bila kekakuan yang tampak

jelas hanya trismus, tanpa disertai kejang rangsang.

Pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuorserebrospinal normal, jumlah leukosit normal

atau sedikit meningkat. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak

mempunyai arti.

Page 5: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Diagnosis banding

Pada kasus yang samar perlu dipikirkan diagnosis banding

Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai

trismus, risus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal

Tetani: tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya

spasme karpopedal

Keracunan strihnin: minum tonikum terlalu banyak (pada anak-anak)

Rabies: pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada

anamnesis diketahui gigitan binatang pada waktu epidemik

Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar, biasanya

asimetris.

Gambaran tetanus merupakan salah satu gambaran yang paling dramatis dalam kedokteran

dan diagnosisdibuat secara klinis. Kelompok khas adalah penderita yang tidak terimunisasi

(dan/atau ibu) yang terjejas atau dilahirkan dalam 2 minggu sebelumnya dan yang datang

dengan trismus, otot-otot kaku yang lain, dan sensorium yang tidak terganggu. Tetanus

generalisata yang berkembang sepenuhnya, tidak dapat dikelirukan dengan penyakit lain.

Namun, trismus, dapat terjadi akibat abses para faring, retrofaring atau abses gigi. Baik

rabies ataupun tetanus dapat menyertai gigitan binatang, dan rabies dapat datang sebagai

trismus dan kejang-kejang. Namun rabies dapat dibedakan dengan tetanus dengan hidrofobia,

dan disfagia yang mencolok, kejang-kejang klonik yang dominan, serta pleositosis CSS.

Walaupun keracunan striknin dapat berakibat spasme otot, dan aktivitas kejang menyeluruh,

keracunan ini jarang menimbulkan trismus, dan tidak seperti tetanus relaksasi umum

biasanya terjadi antara spasmus. Hipokalsemia dapat menghasilkan tetani, ditandai oleh

spasme laring dan karpopedal, tetapi trismus tidak akan ada

Pengobatan

Pengobatan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan

nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau port d

entrée yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan pengobatan khusus terdiri dari

pemberian antibiotic dan anti tetanus.

Page 6: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Perawatan umum

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

2. Menjaga saluran napas tetap bebas pada kasus yang berat perlu trakeotomi

3. Member tambahan O2 dengan sungkup (masker)

4. Mengurangi spasme dan hipertonisistas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam

yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala

klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk anak usia <2tahun adalah 8 mg/kgBB/hari

diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap jam. Kejang harus segera dihentikan dengan

pemberian diazepam 5 mg per rectal untuk BB <10 kg dan 10 mg per rectal untuk anak

dengan BB ≥ 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah

kejang berhenti pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan

keadaan klinis pasien. Alternative lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2

mg/kgBB IV untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40

mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan

dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Tanda klinis membaik bila sudah tidak ditemui

kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai

gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih

kejang atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di

ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan

pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah

memberi respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya

pengurangan dosis dilakukan bertahap 9berkisar antara 20% dari dosis setiap 2 hari.

Fenobarbital dan morfin diberikan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di

intensive care unit karena risiko terjadi depresi pernapasan.

5. Jika kries dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d entrée, maka diperlukan konsultasi

dengan dokter gigi/ THT.

Page 7: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Pengobatan khusus

1. Antibiotic

a. Lini pertama adalah metronidazol IV/oral dengan dosis inisial 15 mg/kgBB

dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.

Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C.tetani bentuk vegetative.

Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari

(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun)

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotic yang sesuai.

2. Anti toksin

Penggunaan antitoksin pada kasus tetanus telah dimulai di tahun 1890, oleh Behring dan

Kitasato dengan dosis yang bervariasi. Beberapa studi yang pernah dilakukan bahkan

menyebutkan tidak adanya perbedaaan mortalitas pada pemberian ATS dosis 10.000 IU

hingga 500.000 IU, karena kadar yang adekuat dalam darah telah dicapai pada pemberian

dengan dosis 10.000 IU. Dalam literatur yang ada saat ini disebutkan, meskipun efektif,

penggunaan ATS yang berasal dari serum kuda mengalami kendala tingginya insiden

efek samping serum sickness, yaitu hingga 10% (6-14%), dan reaksi anafilaksis yang

fatal pada 0,001% (1 per 100.000). Tersedianya antitoksin yang berasal dari manusia,

sejak tahun 1960-an para ahli merekomendasikan sedapat mungkin menggunakan HTIG,

dan hanya menggunakan ATS apabila tidak ada persediaan HTIG. Dosis HTIG yang

direkomendasikan untuk terapi tetanus 3.000 IU hingga 6.000 IU yang diberikan secara

intramuskular, meskipun disebutkan pula pemberian 500 IU memiliki efektivitas yang

sama.

Prognosis

Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan keadaan status

imunitas pasien. Makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis, makin pendek period of

onset makin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang

peran dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus neonatorum

harus dianggap tetanus berat, oleh karena prognosis buruk.

Pencegahan

Page 8: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

Pencegahan sangat penting mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk

pencegahan perlu dilakukan:

1. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka

yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Gterutama perawatan luka guna mencegah

timbulnya jaringan anaerob

2. Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam)dan

harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif

3. Imunisasi aktif

Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenis imunisasi

tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai

imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5

tahun dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus ini diberikan pada setiap

wanita usia subur, oerempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah

pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena

tetanus tidak memberikan kekebalan yang berlangsung lama.

Page 9: 216604979 Tinjauan Pustaka Tetanus 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008

2. Buku TID

3. Bleck TP, Braunar JS. Tetanus. In: Scheld WM, whitley RJ, Durack DT. Infections of The Central Nervous System. 2nd Ed. Philadelphia, TA: Lippincot/Reven Publisher; 1997:629-53.

4. buku Mikrobiologi Jawet

5. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak: Laporan Kasus. Sari Pediatri. 2010; 12(4):283-8.

6. CDC. Tetanus: Make Sure You and Your Child Are Fully Immunized. USA: Center for Disease Control and Prevention. 2013.

7. Kurtoglu S, Caksen H, Ozturk A, Cetin N, Poyrazoglu H. A Review of 207 Newborn with Tetanus. J Pak Med Assoc. 1998; 48(4):93-8.

8. Chun Pan, Huang Ying Zi, Yang Yi, Hai Bo Qui. Titration of High Dose Sedation is Effective in Severe Tetanus: A Case Report. Case Journal. 2009; 6865(2).

9. Ahmadsyah I, Salim A. Treatment Of Tetanus: An Open Study To Compare The Efficacy Of Procaine Penicillin And Metronidazole. BMJ. 1985; 291: 648-650.

10. Cawson RA, Odell E.W. Cawson’s Essential of Oral Pathology and Oral Medicine. 7th edition. Churcill living stone. 2002; 82-83.

11. Anonym. Ceftriaxone   Official FDA Information, Side Effects and Uses . 2013. Diunggah tanggal 16 Juli 2013 dari: http://www.drugs.com/pro/ceftriaxone.html

12. Mycek MJ. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika. 2000

13. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.

14. Simon EE, Batuman V. Hyponatremia: Practice Essentials. 2013. Diunggah tanggal 16 Juli 2013 dari:http://emedicine.medscape.com

15. Sukhotinsky I. Zalkind V. Lu J. Hopkins DA. Saper CB. Devor M. Neural Pathways Associated With Loss Of Consciousness Caused By Intracerebral Microinjection Of GABA A-Active Anesthetics. Eur J Neurosci.  2007;25(5):1417-36.

16. IKA NELSON