193811420 Referat Forensik Malpraktek
-
Upload
pradinta-bayu -
Category
Documents
-
view
420 -
download
11
Transcript of 193811420 Referat Forensik Malpraktek
REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
PENERAPAN MEDIKOLEGAL
DALAM MENGHADAPI MALPRAKTEK
Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian kepanitraan di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro
Disusun oleh:
Alif Adlan Zulizar 22010113210140 FK UNDIP
Sukma Melati Mahalia 22010112210127 FK UNDIP
Raras Rachmandiar 22010113210123 FK UNDIP
Ratna Ayu Cahaya Kusuma Dewi 22010112210136 FK UNDIP
Nailaa Mabruroh 22010113210142 FK UNDIP
Priscila Tarigan 0961050084 FK UKI
Dosen Penguji dr. Gatot Suharto, SH, M.Si.Med, , Sp.F.
Residen Pembimbing dr.Suryo Wijoyo
KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONOGORO
RSUP DR.KARIADI PERIODE 18 NOVEMBER 2013-14 DESEMBER 2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui olehpembimbing, referat dari:
Nama NIM Universitas
Alif Adlan Zulizar 22010113210140 FK UNDIP
Sukma Melati Mahalia 22010112210127 FK UNDIP
Raras Rachmandiar 22010113210123 FK UNDIP
Ratna Ayu Cahaya Kusuma Dewi 22010112210136 FK UNDIP
Nailaa Mabruroh 22010113210142 FK UNDIP
Priscila Tarigan 0961050084 FK UKI
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : UNDIP dan UKI
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Penguji : dr. Gatot Suharto, SH, M.Si.Med, , Sp.F.
Pembimbing : dr.SuryoWijoyo
Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Semarang, 6 Desember 2013
Penguji,
dr. Gatot Suharto, SH, M.Si.Med, , Sp.F.
NIP.19520220 198603 1 001
Pembimbing,
dr.SuryoWijoyo
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Penerapan Medikolegal dalam Menghadapi Malpraktek”. Penulisan referat ini
adalah sebagai syarat guna memenuhi tugas kepaniteraan dokter muda forensik. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan
bimbingan dalam menyelesaikan referat ini, yaitu:
1. dr. Gatot Suharto, SH, M.Si.Med, , Sp.F selaku dosen penguji
2. dr. Suryo Wijoyo selaku residen pembimbing, atas bimbingannya dalam pembuatan
referat ini
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan dukungan moral
maupun material
4. Teman-teman yang telah mendukung dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada referat ini. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat menambah kesempurnaan referat
ini. Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
almamater pada khususnya.
Semarang, 6 Desember 2013
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 LatarBelakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 2
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 4
2.1 Definisi Medikolegal dan malpraktek ............................................................. 4
2.2 Jenis - Malpraktek ........................................................................................ 9
2.3 Usaha – Usaha Menghindari Malpraktek ..................................................... 9
2.4 Sengketa Medik .......................................................................................... 19
2.4.1 Ketidakpastian Pasien atau Keluarganya terhadap Pelayanan Dokter . 19
2.4.2 Penyelesaian Ketidakpuasan Pasien terhadap Pelayanan Dokter ........ 21
2.5 Pemahaman Masyarakat tentang Malpraktek ............................................... 22
2.6 Unsur Malpraktek ......................................................................................... 22
2.7 Sanksi Malpraktek ........................................................................................ 30
2.8 Sanksi Pelanggaran Disiplin ......................................................................... 31
2.9 Standar Profesi Dokter .................................................................................. 35
2.10 Contoh Kasus .............................................................................................. 37
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 42
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 42
3.2 Saran ............................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 43
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan merupakan salah satu hal yang penting dalam hidup seseorang. Ketika
kesehatan seseorang terganggu, mereka akan berusaha bagaimana caranya untuk
menyehatkan tubuhnya kembali. Salah satu upaya mengembalikan kesehatannya adalah
datang pada sarana pelayanan kesehatan. Upaya mengembalikan kesehatan tidak akan
terwujud secara maksimal apabila tidak didukung dengan pelayanan yang baik dari sarana
pelayanan kesehatan tersebut.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan kemudahan dalam mengakses informasi,
masyarakat menjadi semakin kritis. Masyarakat semakin peka dalam menyikapi persoalan,
termasuk memberikan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan petugas
kesehatan.Sorotan masyarakatyang tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan mengenai tuntutan hukum terhadap dokter semakin meningkat. Hal itu dapat
terjadi akibat kesadaran hukum pasien yang semakin meningkat selain itu kesadaran atau
semakin mengertinya pasien mengenai hak-haknya ketika dirawat oleh seorang dokter.
Interpretasi yang salah di masyarakat luas bahwa kegagalan dokter dalam mengobati pasien
dianggap sebuah tindakan malpraktek, padahal seorang dokter tidak bisa disalahkan bila
tindakan yang dilakukaan dirinya dalam upaya penyembuhan pasien sudah sesuai dengan
Standard Operational Procedure (SOP).
Menurut Valentinv. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California,
malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan
tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
digunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan
yang sama, dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah
terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Namun menurut World
Medical Association, tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis. Suatu
1
2
peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi saat dilakukan tindakan
medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk dalam
pengertian malpraktik atau kelalaian medik.
Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 182 kasus malpraktek yang terbukti dilakukan
dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang
yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari
malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang ijin prakteknya dicabut
sementara.
Oleh karena itu pengetahuan mengenai malpraktek penting untuk dipahami bagi
tenaga kesehatan dalam melaksanakan praktiknya, khususnya penyedia pelayanan kesehatan
primer seperti dokter umum.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana penerapan medikolegal dalam menghadapi malpraktek?
2. Apa definisi dan jenis – jenis malpraktek?
3. Bagaimana upaya-upaya menghindari malpraktek?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui penerapan medikolegal dalam menghadapi malpraktek.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dan jenis – jenis malpraktek.
2. Mengetahui unsur-unsur malpraktek.
3. Mengetahui batasan malpraktek.
4. Mengetahui upaya-upaya menghindari malpraktek.
5. Mengetahui upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Medikolegal dan Malpraktek
Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian
medik di Indonesia, ditambah “keberanian” pasien yang menjadi korban untuk menuntut
hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam
menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat
pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Selain sudah mempunyai Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Pengadilan Negeri, ada yang mengusulkan
pembentukan Majelis Kehormatan Profesi Dokter (MKPD) dan peradilan ad hoc. Dalam
hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin
profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis
profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004,
akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib
simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga
kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang
dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik
yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi
disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli
3
4
hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap
sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar
profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran
standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran
hukum.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain
Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral
kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan
bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau
tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya
kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para
tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman
dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan, banyak yang
memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata laksana standar kedokteran ada
di luar pengetahuan juri. Jika terdapat tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang
mengajukan tuduhan tersebut disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan
tersebut. Bukti tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan
subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak didapatkan dokter enggan
bersaksi melawan teman sejawatnya. Alasan keengganannya tersebut bervariasi mulai dari
stigma tuduhan malpraktik, nama buruk yang didapat setelah bersaksi, ancaman
pengeluaran dari komunitas tempat dia bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter
tersebut, ancaman pengadilan profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut. Pembelaan
yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk :
(1) Asumsi pasien mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat, (2)
5
Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien, (3) Kelalaian terletak pada pihak ke
tiga.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” memiliki arti “salah”, “praktek” memiliki arti
“pelaksanaan” atau “tindakan” sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Dari segi hukum, malpraktek dapat
terjadi karena suatu tinndakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence) ataupun suatu
kekurangmahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan.Professional misconduct yang
merupakan kesengajan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi,
jukum administratif serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang
merugikan pasien, fraud, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal,
euthanasia, penyerangan seksual, misreprentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya.
Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang
pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang
mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai
perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup
dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim
memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut
diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan
kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti
– bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan kepadanya. Sanggahan yang
dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat
sanggahan – sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya lepas dari tanggung
jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan telah diketahui
oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (rIsiko diketahui dengan
informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada
terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau
melanggar pantangan – pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan
6
oleh pihak ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter.
Penegakkan diagnosis tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa
kesalahan. Hal ini dianggap sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang
mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya
menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting
dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan
memberikan pengertian terhadap hal tersebut.
Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada
kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak,
penggunaan standar dan uji diagnostik yang berlebihan pada masa mendatang harus
diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki
tagihan–tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain
dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan terhadap prosedur–prosedur yang
tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan secara hati–hati baik sehingga
dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan tanggung jawab
medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan dan
persetujuan dokter – pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya
peraturan – peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik
kedokteran yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang
menarik serta dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.
2.2 Jenis – jenis malpraktek
1. Ethical malpractice
Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal
yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi
perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait
dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut
mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi
tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum
tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal
ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal
7
tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik
kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang
ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang
ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman
yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus
yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.
2. Legal malpractice, teridiri dari :
a. Administrative malpractice
Administrative malpracticeterjadi apabila dokter atau tenaga kerja kesehatan
lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau iinnya, menjalanka praktek dengan izin
yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
b. Civil malpractice
Civil malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena
pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu
yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut
secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata
untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak
berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya
seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal akibat pemakaian
metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit
dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat
perdata.
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau
korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa
tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.
8
c. Criminal malpractice
Criminal malpracticeterjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah
kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai
tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini
dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini
termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat –
obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan
pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat
di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi.
Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki batasan
antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata
laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab,
tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai
nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan
jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut
dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud
yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter
dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh
mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh
membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan
dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak
bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien.
Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan
pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja
melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi,
histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-
mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi
materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas,
malpraktek diatas dapat meluas.
9
2.3 Usaha – usahamenghindari malpraktek :
1. Semua tindakan sesuai indikasi medis
Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi memiliki surat ijin tugas mengingat informed consent dan rekam medik serta
rahasia jabatan atau rahasia kesehatan dari hasil pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan
berdasarkan indikasi medis, standar pelayanan, protap pelayanan dengan memperhatikan
dan menjelaskan berbagai resiko penyakit, keadaan pasien, dan tindakan kesehatan
selanjutnya tenaga kesehatan harus menerapkan etika umum dan profesi dan bila tidak
mungkin bisa ditangani yang bukan kompetensinya harus di rujuk atau diserahkan kepada
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi.Prinsip-prinsip tersebut jika dijabarkan satu
persatu antara lain :
1. Tenaga kesehatan yang telah lulus pendidikan dengan memperoleh ijasah termasuk
dalam PP No. 32 Tahun 1996.
2. Tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi hasil ujian
3. Tenaga Kesehatan memiliki surat ijin praktek (SIP) dan Surat Tugas dari Direktur
Rumah Sakit, Dinas Tenaga Kesehatan, Dekan (Pimpinan Pendidik), dan dari
Pemerintah yang lainnya.
4. Tiap menangani pasien harus ada ijin atau persetujuan tertulis atau lisan dari pihak
pasien dan keluarganya.
5. Dalam pelayanan kesehatan harus menerapkan standar pelayanan dan protap
pelayanan kesehatan profesi yang dibuat oleh tenaga profesi. Ini biasanya dibuat SK
oleh Direktur Rumah Sakit atau pimpinan Rumah Sakit setempat.
6. Hasil pemeriksaan / pelayanan atau tindakan ditulis dicatat secara khusus oleh dokter
yang melakukan tindakan atau pemeriksaan atau singkatnya ditulis yang disebut
sebagai rekam medis / rekam rumah sakit. Untuk bidan dan perawat tertuang dalam
Asuhan Keperawatan atau kebidanan.
7. Point 4,5, dan 6 di atas harus dirahasiakan sesuai dengan peraturan PP No.10 tahun
1966 dan Undang-undang kesehatan yang lain.
8. Dalam menangani pasien atau tindakan harus berdasarkan indikasi medis dan kontra
indikasi medis.
10
9. Dalam menangani pasien harus menerangkan mengenai resiko, antara lain resiko
keadaan pasien, resiko penyakitnya, dan resiko tindakan.
10. Dalam komunikasi dengan pasien dan keluarga serta masyarakat harus menerapkan
etika umum dan etika profesi dimana tenaga kesehatan tersebut bekerja.
11. Kemungkinan dalam menangani pasien memperoleh kesulitan karena tidak
kompetensinya sehingga harus dirujuk/dikirim/ dikonsultasikan kepada tenaga
kesehatan yang kompeten atau dirujuk/dikirim ke rumah sakit sesuai dengan tingkat
pelayanan yang lebih prima.
12. Dalam pelayanan atau upaya kesehatan terjadi sesuatu yang menimbulkan sengketa
atau tuntutan pasien dan keluarganya harus diselesaikan secara komunikasi yang
sehat, secara kemanusiaan dan berdasarkan rambu-rambu aturan hukum kesehatan.
Jangan menerapkan Undang-Undang diluar Undang-Undang Hukum Kesehatan.
Dengan menerapkan rambu-rambu tersebut (no.1-12) tenaga kesehatan berusaha atau
dapat terhindar dari unsur-unsur malpraktek atau secara khusus disebut malpraktek.
2. Bekerja sesuai standar profesi
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, “Seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”. yang dimaksud
dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan
ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama. ilmu kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan
dan keterampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan dipupuk, sesuai
dengn fitrah dan kemampuan dokter tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus
diamalkan dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap
sesama manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai sifat lain yang
terpuji, seimbang dengan martabat jabatan dokter.
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) yaitu :
1. Standar keterampilan
a. Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh seorang
dokter dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai dengan
11
standar ditempat prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak
berhasil, penderitan perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b. Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit
yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia.
2. Standar sarana; meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi
dokter dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :
a. Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b. Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan
oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
3. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman Kode Etik
Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan penderita
dan hubungannya dengan dokter lainnya, yaitu :
a. Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.
b. Semua pasien diperlakukan sama.
c. Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara menyeluruh.
d. Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara menyeluruh.
e. Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.
f. Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak memberatkan pasien.
g. Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.
h. Untuk pemeriksaan pasien wanita sebaiknya agar keluarganya disuruh masuk
kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh perawat, kecuali bila dokternya
wanita.
i. Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek, melakukan
abortus, kecanduan dan alkoholisme.
4. Standar catatan medik
Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan
identitas penderita, alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.
12
3. Membuat informed consent
Secara harfiah consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi, ”izin”. Jadi
informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak
kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan
suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan
tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata Informed terkait
dengan informasi atau penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa informed consent adalah
persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk
melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan
diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat
penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang
sehingga dengan kata lain informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan
Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik
yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus
mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan.
Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut
hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan
harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
Suatu informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
5. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
13
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat
menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan
pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan
segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan
keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik
terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat
invasif dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara
tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
Hakikat informed consent mengandung 2 (dua) unsur penting yaitu :
1. Informasi yang diberikan oleh dokter.
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan
sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan
yang mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur atau terapi atau tindakan
berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya
prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter
dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter
terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan
lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir informed
14
consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah
disepakati sebelumnya.
Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah
tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun informed consent tidak
boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab
dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup
waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan
kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak
waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah
hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of
necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam
PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik,
bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang
umum diberbagai negaramenyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara
dengan kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed
consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter
pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara
dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi
dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan
akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
15
4. Mencatat semua tindakan yang dilakukan
Penyedia layanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu pelayanan medik di
rumah sakit yang diberikan kepada pasien. Rekam Medis sangat penting dalam
mengemban mutu pelayanan medik yang diberikan oleh rumah sakit beserta staf
mediknya. Rekam Medis merupakan milik rumah sakit yang harus dipelihara karena
bermanfaat bagi pasien, dokter maupun bagi rumah sakit.
Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis terletak pada dokter yang
merawat. Tahap memperdulikan ada tidaknya bantuan yang diberikan kepadanya dalam
melengkapi rekam medis oleh staf lain di rumah sakit. Dokter mengemban tanggung
jawab terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam medis. Data harus dipelajari
kembali, dikoreksi dan ditanda tangani juga oleh dokter yang merawat. Pada saat ini
banyak rumah sakit menyediakan staf bagi dokter untuk melengkapi rekam medis.
Namun demikian tanggung jawab utama dari isi rekam medis tetap berada pada dokter
yang bertanggung jawab. Nilai ilmiah dari sebuah rekam medis adalah sesuai dengan
taraf pengobatan dan perawatan yang tercatat. Oleh karena itu ditinjau dari beberapa segi
rekam medis sangat bernilai penting karena :
1. Pertama bagi pasien, untuk kepentingan penyakitnya dimasa sekarang maupun
dimasa yang akan datang.
2. Kedua dapat melindungi rumah sakit maupun dokter dalam segi hukum
(medikolegal). Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak benar maka
kemungkinan akan merugikan bagi pasien, rumah sakit maupun dokter sendiri.
3. Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medik maupun administratif. Personil
rekam medis hanya dapat mempergunakan data yang diberikan kepadanya. Bilamana
diagnosanya tidak benar dan tidak lengkap maka kode penyakitnyapun tidak tepat,
sehingga indeks penyakit mencerminkan kekurangan. Hal ini berakibat riset akan
mengalami kesulitan. Oleh karena itu data statistik dan laporan hanya dapat secermat
informasi dasar yang benar.
Rekam medis harus memuat isi sebagai berikut :
1. Semua diagnosis ditulis dengan benar pada lembaran masuk dan keluar, sesuai
dengan istilah terminologi yang dipergunakan, semua diagnosa serta tindakan
16
pembedahan yang dilakukan harus dicatat Simbol dan singkatan jangan
dipergunakan.
2. Dokter yang merawat menulis tanggal dan tanda tangannya pada sebuah catatan, serta
telah menandatangani juga catatan yang ditulis oleh dokter lain Pada rumah Sakit
Pendidikan, yaitu : Riwayat Penyakit, Pemeriksaan fisik dan resume Lembaran
lingkaran masuk dan keluar tidak cukup apabila hanya ditanda tangani oleh seorang
dokter.
3. Bahwa laporan riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik dalam keadaan lengkap dan
berisi semua data penemuan baik yang positif maupun negative.
4. Catatan perkembangan, memberikan gambaran kronologis dan analisa klinis keadaan
pasien Frekwensi catatan ditentukan oleh keadaan pasien.
5. Hasil Laboratorium dan X-Ray dicatat dicantumkan tanggalnya serta ditanda tangani
oleh pemeriksa.
6. Semua tindakan pengobatan medik ataupun tindakan pembedahan harus itulis
dicantumkan tanggal, serta ditanda tangani oleh dokter.
7. Semua konsultasi yang dilaksanakan harus sesuai dengan peraturan staf medik harus
dicatat secara lengkap serta ditanda tangani Hasil konsultasi, mencakup penemuan
konsulen pada pemeriksaan fisik terhadap pasien termasuk juga pendapat dan
rekomendasinya.
8. Pada kasus observasi, catatan prenatal dan persalinan dicatat secara lengkap,
mencakup hasil tes dan semua pemeriksaaan pada saat prenatal sampai masuk rumah
sakit Jalannya persalinan dan kelahirannya sejak pasien masuk rumah sakit, juga
harus dicatat secara lengkap.
9. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakityang lain tentang Observasi &
Pengobatan yang diberikan harus lengkap catatan ini harus diberi cap dan tanda
tangan.
10. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang Resume harus berisi ringkasan tentang
penemuan, dan kejadian penting selama pasien dirawat, keadaan waktu pulang saran
dan rencana pengobatan selanjutnya.
17
11. Bila otopsi dilakukan, diagnosa sementara / diagnosa anatomi, dicatat segera ( dalam
waktu kurang dari 72 jam ) : keterangan yang lengkap harus dibuat dan digabungkan
dengan rekam medis
12. Analisa kualitatif oleh personel medis untuk mengevaluasi kualitas pencatatan yang
dilakukan oleh dokter untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik Pertanggung
jawaban untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik terletak pada dokter yang
bertanggung jawab.
Berikut pasal yang mengatur mengenai rekam medis :
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
5. Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen
Apabila saat akan melakukan tindakan terhadap pasien, dokter yang melaksanakan
tindakan dapat berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Pada saat
emergency, dokter berhak melakukan upaya penyelamatan nyawa pasien terlebih dahulu.
Rekam Medis harus diberi data yang cukup terperinci, sehingga dokter lain dapat
mengetahui bagaimana pengobatan dan perawatan kepada pasien dan konsulen dapat
18
memberikan pendapat yang tepat setelah dia memeriksanya ataupun dokter yang
bersangkutan dapat memperkirakan kembali keadaan pasien yang akan datang dari
prosedur yang telah dilaksanakan.
6. Memperlakukan pasien secara manusiawi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kriteria paling utama bagi dokter yang
baik bukanlah dokter yang pintar dengan keterampilan klnis yang baik, tetapi dokter yang
memiliki sense atau rasa kemanusiaan ketika berhadapan dengan pasien. Secara detail,
studi itu menunjukkan bahwa ada empat aspek utama yang harus dimiliki seorang dokter,
salah satunya adalah memiliki sense kemanusiaan (humanness). Dokter yang baik adah
dokter yang menghargai dan merawat pasiennya secara manusia dan tidak menganggap
mereka sebagai objek mencari keuntungan pribadi. Saat bertemu dengan pasien, dokter
yang baik memiliki niat dan komitmen untuk menolong pasien agar pasien dapat pulang
ke rumahnya dengan rasa puas dan terbebas dari rasa sakit.
Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi dan profesional.
Mereka mendegarkan keluhan pasien dengan cermat, tidak menginterupsi keluhan
mereka, seta memiliki rasa empati dengan penyakit yang diderita oleh mereka. Dokter
yang baik tidak memeriksa pasien secara tergesa-gesa sekedar karena ingin cepat-cepat
menyelesaikan konsultasi dan memanggil pasienberikutnya. Dengan memiliki sense
kemanusiaan yang tinggi, dokter yang baik selalu menjaga kerahasiaan pasien dan tidak
membiarkan orang lain mengetahui keluhan dan kondsi pasiennya. Dokter seperti ini
melihat pasiennya sebagai manusia dan karena itu memperlakukan mereka secara
manusiawi.
7. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar
Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat
terjadi karena 2 hal, yaitu:
1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)
Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie
berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi "wanprestasi",
yakni pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak,
19
terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan
menurut perjanjian itu.
2. Berdasarkan hukum (ius delicto)
Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Rumusan perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan atau
perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua orang atau lebih, yang
bersepakat untuk memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam hubungan antara
dokter dengan pasien, timbul perikatan usaha (inspanningsverbintenis) dimana sang
dokter berjanji memberikan "prestasi" berupa usaha penyembuhan yang sebaik-
baiknya dan pasien selain melakukan pembayaran, ia juga wajib memberikan
informasi secara benar atau mematuhi nasihat dokter sebagai "kontra-prestasi".
Disebut perikatan usaha karena didasarkan atas kewajiban untuk berusaha. Dokter
harus berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat menyembuhkan penyakit
pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil atau
resultaat pada perikatan hasil (resultaatverbintenis), dimana prestasi yang diberikan
dokter tidak diukur dengan apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus
mengerahkan segala kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai
standar profesi medis. Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbullah
hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter.
2.4 Sengketa Medik
2.4.1 Ketidakpuasan pasien atau keluarganya terhadap pelayanan dokter
Tenaga kesehatan, sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di
mata masyarakat. Bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi karena jiwa
kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan
nyawa orang. Tetapi, sepertinya kesan baik itu sudah mulai luntur dengan banyaknya
tingkah laku tenaga kesehatan yang mulai menimbulkan rasa was-was kepada pasien.
Faktanya, tidak jarang, tenaga kesehatan melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak
lazim dalam menjalankan tugasnya yang ironisnya tak jarang menyebabkan kerugian
yang amat besar kepada pasien. Kesalahan-kesalahan yang terjadi saat proses pelayanan
seorang tenaga kesehatan tak jarang karena disebabkan oleh kelailaian si tenaga
20
kesehatannya sendiri, padahal bisa jadi, kekurang telitian tersebut sebenarnya bisa
dihindari. Ketidakpuasan pasien dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Gagal Berkomunikasi
Salah satu penyumbang faktor yang terbesar terjadinya ketidakpuasan pasien adalah
masalah komunikasi yang dibangun sewaktu tenaga kesehatan menggali informasi dari
pasien. dalam praktik medis disebut dengan anamnesis. Beberapa fakta empiric yang
sering diresahkan masyarakat adalah sikap tenaga kesehatan yang kurang ramah, kurang
empati dan kurang mengayomi pasien-pasiennya. Pasien hanya didibaratkan sebagai
sebuah mesin yang tunduk pada perintah tenaga kesehatan tanpa memperhatikan
feedback langsung dari lawan bicaranya.
Ketidaksempurnaan tenaga kesehatan dalam membangun komunikasi terhadap
pasien akan berakibat buruk terhadap proses terapeutik yang dikelolanya nanti. Karena
tak jarang, tenaga kesehatan terlalu intervensif dalam melakukan anamnesis. Seorang
tenaga kesehatan menurut sebuah penelitian di Amerika, umumnya menyela keluhan
yang disampaikan pasiennya setelah 22 detik. Artinya, tenaga kesehatan sering tidak
sabar menunggu Anda menyelesaikan semua keluhan, dan lebih suka menghentikannya
di tengah-tengah pembicaraan. Padahal, jika tenaga kesehatan mau bersikap lebih sabar
sedikit saja terhadap pasiennya, dan mendengarkan semua penjelasan yang disampaikan,
hal itu tidak memakan waktu lama. Penelitian yang dilakukan di Swiss, menyimpulkan
bahwa pasien rata-rata hanya butuh waktu dua menit untuk menyelesaikan semua
keluhan yang dirasakan.
2. Krisis waktu
Kurangnya perhatian dalam hal komunikasi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh
alokasi waktu yang diberikan tenaga kesehatan kepada pasiennya. Tenaga kesehatan,
terutama di negeri ini, cenderung bersikap kurang bijak antara kemampuan dan output
pemeriksaan yang mereka lakukan. Para tenaga kesehatan lebih mengutamakan kuantitas
pasien yang mereka periksa daripada kualitas hasil pemeriksaannya. Tak jarang, mereka
memaksakan jam periksanya di luar batas endurance fisiknya. Tuntutan kejar tayang
menyebabkan kurangnya fokus tenaga kesehatan sewaktu memeriksa pasien. Otomatis,
alokasi waktu anamnesis pasien sangat sedikit. Padahal, kunci keberhasilan pasien adalah
21
pada anamnesis. Tanpa anamnesis yang baik, diagnosis pasien bisa meleset dan berakibat
terjadinya ketidakpuasan pasien.
2.4.2 Penyelesaian ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan dokter
Hubungan pasien dan SPK (Sarana Pelayanan Kesehatan) adalah suatu hubungan
sederajat berupa perikatan ikhtiar dengan masing-masing memiliki hak dan
kewajibannya. Karena pengobatan merupakan suatu ikhtiar, SPK tidak bisa menjanjikan
kesembuhan, melainkan memberikan usaha maksimal sesuai dengan standar pelayanan
untuk kesembuhan pasien.Pasien sebaiknya mengerti bahwa haknya adalah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping,
risiko, komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak
pemeriksaan atau pengobatan dan meminta pendapat dokter lain. Selain itu, isi rekam
medik atau catatan kesehatan adalah milik pasien sehingga berhak untuk meminta
salinannya. Pasien memiliki kewajiban untuk memberikan informasi selengkap-
lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di
SPK, dan membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
Di pihak lain, SPK wajib memberikan pelayanan sesuai dengan standar dan
kebutuhan medis pasien, merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup
menangani pasien, dan merahasiakan rekam medik. SPK pun berhak menerima
pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien. Selain
mengerti hak dan kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi yang
baik dan rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Berbagai konflik antara
pasien dan SPK hampir selalu diawali oleh komunikasi yang buruk dan kurangnya rasa
percaya di antara keduanya. Baik pasien maupun SPK harus saling terbuka dan mau
menerima masukan agar pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik.Ada berbagai cara
lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan
penengah/mediator yang dipercayai dan dihormati oleh kedua pihak.
Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran (MKEK) jika pasien merasa dokter berlaku tidak sesuai etika. Untuk
masalah yang berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat
22
mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang
anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, sarjana hukum, dan dokter.
Pasien bisa mengadu ke kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan
kantor cabang organisasi profesi dokter atau dinas kesehatan setempat.
Hubungan pasien dan SPK memang dinamis sehingga masalah pun akan selalu timbul.
Dengan cara penyelesaian masalah yang tepat, diharapkan hubungan di antara keduanya
dapat terus terjalin dengan baik sehingga dunia pelayanan kesehatan di Indonesia dapat
lebih berkualitas.
2.5 Pemahaman masyarakat tentang malpraktek
Asumsi masyarakat tentang kesehatan menyimpang.Anggapan bahwa layanan di
rumah sakit harus selalu sempurna, seolah olah stigma di masyarakat adalah layanan
rumah sakit yang baik, pasien pasti sembuh. Dokter dianggap serba bisa, kalau tidak
sembuh, berarti malpraktek. Pelayanan kedokteran itu kompleks dan berjenjang,
pekerjaan yang harus dilakukan dengan penuh hati-hati, berhubungan dengan manusia
(Hak Asasi Manusia). Sedangkan permasalahan yang dihadapi saat ini adalah pasien
sering dibawa terlambat, dokter multifungsi, dimana sebagai dokter memiliki banyak
kesibukan dan jabatan sehingga kadang kadang terjadi overwork.
Masyarakat mempercayai bahwa usaha medis dokter berhubungan dengan takdir
dari Tuhan. Mitos bahwa segala upaya manusia hanya usaha, namun Tuhan yang
menentukan masih menghinggapi sebagian besar masyarakat. Hal ini semakin membuat
para dokter terlena dan sewenang-wenang mengobati pasien. Padahal tindakan medis
apapun sebenarnya sudah terukur. Proses penanganan medis ada prosedunya dan hasil
dari tindakan dokter jelas terukur dan dapat diperkirakan, dengan adanya pemahaman
masyarakat seperti itu maka jika ada malpraktek, dokter dianggap masyarakat Indonesia
dapat lepas tangan dan tak tersentuh oleh hukum. Masyarakat pun tak menuntut para
dokter yang tak profesional karena adanya pemahaman masyarakat mengenai hal
tersebut.
23
2.6 Unsur malpraktek
1. Unsur kesengajaan (intensional)
Unsur kesengajaan (intensional) menyebabkan professional misconducts (melakukan
tindakan yang tidak benar)
Menahan-nahan pasien
Tindak pidana ini menurut pasal 333 KUHP, yaitu “barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan (menahan) orang atau
meneruskan tahanan itu dengan melawan hak”.
Istilah dari kata “menahan” dan “meneruskan penahanan” dari pasal di atas,
adalah:
a. Menahan; menunjukkan aflopende-delicten (delik yang sekilas atau sekejap).
b. Meneruskan penahanan; menunjukkan voor tdurende delicten (delik yang
selalu/ terus-menerus diperbuat).
Unsur-unsur dari pasal 333, yaitu:
a. Perbuatan “menahan/ merampas kemerdekaan”.
b. Yang ditahan “orang”.
c. Penahanan terhadap orang itu untuk melawan hak.
d. Adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum.
Pasal 333 KUHP ini hanya melindungi kemerdekaan badan seseorang,
bukan kemerdekaan jiwa. Jadi, harus adanya perbuatan yang menyentuh badan
seseorang yang ditahan, misalnya diikat tangannya sehingga sulit bergerak.
Membuka rahasia kedokteran tanpa hak
Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana
karena seringkali menggambarkan nilai–nilai sosial budaya bangsa. Artinya,
pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa
yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Disamping
keberadaannya telah menjadi kecenderungan internasional, sistem pemidanaan
yang bertolak dari ide individualisasi pidana ini merupakan hal yang harus
diperhatikan sehubungan dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan
sanksi pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat (social defence). Ide
menyangkut konsepsi social defence tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum
24
pidana di Indonesia, terbukti dalam pasal 322 KUHP menyebutkan bahwa
barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan ribu rupiah. Jika kejahatan itu
dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut
atas pergaulan orang itu. Menurut R. Soesilo dokter yang membuka rahasia dapat
dihukum menurut pasal ini, maka elemen–elemen di bawah ini harus
dibuktikan :
a. Yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia.
b. Bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia
harus betul–betul mengetahui, bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu.
c. Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah akibat dari suatu
jabatan atau pekerjaan yang sekarang, maupun yang dahulu pernah
jabatan.
d. Membukanya rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Yang diartikan dengan
rahasia yaitu barang sesuatu yang hanya diketahui oleh orang yang
berkepentingan, sedang orang lain belum mengetahuinya. Siapakah yang
diwajibkan menyimpan rahasia itu, tiap–tiap peristiwa harus ditinjau
sendiri–sendiri oleh hakim yang masuk disitu misalnya seorang dokter
harus menyimpan rahasia penyakit pasiennya.
Proses hukum ini perlu dilakukan, agar para dokter lainnya atau para
profesional dalam bidang lainnya, tidak seenaknya saja membuka dan
membeberkan rahasia jabatan di muka umum. Seringkali didengar para
dokter yang dengan enteng membeberkan penyakit dari pasiennya yang
sebenarnya termasuk ke dalam rahasia jabatan. Para profesional ini tahu,
tentang adanya rahasia kedokteran, tetapi karena tidak pernah terjadi adanya
pengaduan dari mereka yang dilanggar haknya atas rahasia kedokteran, maka
pelanggaran terhadap hak pasien yang satu ini seringkali terjadi. Tidak dapat
dihindarkan bahwa wajib penyimpan rahasia membandingkan berat ringannya
kepentingan–kepentingan yang harus diperhatikan dan yang saling
bertentangan. Titik tolaknya adalah menyimpan rahasianya. Hanya kalau
25
dikehendaki oleh kepentingan–kepentingan yang dianggap lebih berat dari pada
kepentingan “Pemilik Rahasia” ditambah dengan kepentingan–kepentingan
tersebut dan akhirnya pemutusan apakah wajib menyimpan rahasia
menggunakan hak tolaknya atau tidak, dilakukan sendiri oleh wajib
penyimpan rahasia, kalau dirasa perlu setelah berunding dengan satu orang
atau lebih yang ia pilih, rekan atau bukan rekan.
Seorang saksi sebelum memberi kesaksian harus sumpah bahwa ia
akan memberi keterangan tentang segala sesuatu yang benar dan tidak lain dari
pada yang benar. Ia tidak dapat mengungkapkan hanya sebagian dari kebenaran
dan menyembuhkan bagian yang lain, ini akan mendapatkan kedustaan dan
demikian sumpah palsu. Jadi seorang dokter atau wajib penyimpan rahasia
lain dihadapkan sebagai saksi menggunakan hak tolaknya, walaupun diminta
dengan sangat oleh pasiennya untuk memberi kesaksian, ada kemungkinan
bahwa dokter tersebut berbuat demikian untuk kepentingan pasiennya.
Menurut undang-undang RI NO. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 4 berbunyi demikian :
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Sanksi yang diberikan dapat sebagai berikut :
1. Sanksi terhadap pelanggaran dari hukum diterapkan oleh penguasa (orang
atau lembaga yang memegang kekuasaan).
2. Sanksi terhadap pelanggaran dari etika diterapkan oleh masyarakat.
26
Aborsi ilegal
Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa termasuk manusia adalah
mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir
dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan
ilmupengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua
usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. Ia harus berusaha memelihara
dan mempertahankan hidup makhluk insani.
Banyak pendapat mengenai abortus provocatus yang disampaikan oleh
berbagai ahli dalam berbagai macam bidang seperti agama, kedokteran, sosial,
hukum, eugenetika, dan sebagainya. Pada umumnya setiap Negara mempunyai
undang-undang yang melarang abortus provocatus (pengguguran kandungan).
Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan, apabila merupakan
satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus
therapeuticus). Dalam undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
diperjelas mengenai hal ini. Indikasi medic ini dapat berubah-ubah sesuai
perkembangan ilmu kedokteran. Beberapa penyakit seperti hipertensi,
tuberkulosis dan sebagainya.Sebaliknya ada pula negara yang membenarkann
indikasi sosial, humaniter, dan eugenetik, seperti misalnya di Swedia dan Swiss
yaitu bukan semata-mata untuk menolong ibu, melainkan juga
mempertimbangkan demi keselamatan anak, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus therapeuticus harus dibuat
oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil
yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarhanya yang terdekat. Hendaknya
dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk
melakukannya.
Menurut penyelidikan, abortus provocatus paling sering terjadi pada wanita
bersuami, yang telah sering melahirkan, keadaan sosial dan keadaan ekonomi
rendah. Ada harapan abortus provocatus di kalangan wanita bersuami ini akan
berkurang apabila keluarga berencana sudah dipraktekkan dengan tertib. Setiap
dokter perlu berperan serta untuk membantu suksesnya program keluarga
27
berencana ini.Seperti yang telah diatur pada pasal 349 KUHP, “Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.” dimana dokter dapat dikenakan
sanksi 4 tahun penjara.
Euthanasia
Euthanasia memiliki tiga arti, yaitu :
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) oenderitaan pasien diperingan
dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak
tertahankan, misalnya karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus
kering bagaikan tulang dibungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit
dan sebagainya. orang yang berpendirianpro euthanasia dalam butir c, akan
mengajukan supaya pasien diberi saja morphindalam dosis lethal, supaya ia bebas
dari penderitaan yang berat itu. di beberapa Negara Eropa dan Amerika sudah
banya terdengar suara yang pro-euthanasia. mereka mengadakan gerakan yang
mengukuhkannya dalam undang-undang. Sebaliknya, bagi mereka yang kotra-
euthanasia berpendirian bahwa tindakan demikian sama dengan pembunuhan.
Kita di Indonesia sebagai umat yang beragama dan berfalsafah atau berazazkan
Pancasila percaya pada kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. segala
sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada
makhlukNya mengandung makna dan maksud terentu. dokter harus mengerahkan
segala kepandaianannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
28
Memberikan keterangan palsu
Pada pasal 267 KUHP dinyatakan bahwa :
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Melakukan praktek tanpa ijin
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, “Seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”.
Ijazah yang dimiliki seseorang, merupakan persyartan untuk memperoleh ijin
kerja sesuai profesinya (SID (surat ijin dokter) atau SP (Surat Penugasan)). Untuk
melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib dituruti peraturan perundang-
undangan yang berlaku (SP, yaitu : Surat Ijin Penugasan).
1. Unsur Pelanggaran
Negligence (kelalaian)
Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian pada pasien.
Kelalaian medik merupakan salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seorang dengan tidak sengaja melakukan sesuatu (komisi)
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang
seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Pengertian istilah kelalaian medis menurut World Medical Association (1992)
yaitu : Medical malpractice involves the physicians’s failure to conform to the
standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or
29
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to
the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah
akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan
cedera pada pasien tidak termasuk dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik.
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini :
Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada suatu kondisi
medis tertentu
Dereliction of the duty / penyimpangan kewajiban tersebut
Damage/kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat layanan dari kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi
layanan
Indirect causal relationship / hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidak-tidaknya merupakan “proximate cause”.
Malfeasance (pelanggaran jabatan)
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan yang tidak tepat dan layak
(unlawful/improper). Seperti melakukan tindakan pengobatan tanpa indikasi yang
memadai dan mengobati pasien denga coba-coba tanpa dasar yang jelas.
Misfeasance (ketidak hati-hatian)
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance). Seperti melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur.
Lack of skill (kurang keahlian)
Melakukan tindakan diluar kemampuan atau kompetensi seorang dokter, kecuali pada
situasi kondisi sangat darurat, seperti melakukan pembedahan oleh bukan dokter, dan
mengobati pasien diluar spesialisasinya.
30
2.7 Sanksi malpraktek
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Pasal 359
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
b. Pasal 360
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang luka berat dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya 1 tahun.”
c. Pasal 361
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang menjadi sakit atau tidak dapat
menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan selama-
lamanya sembilan bulan atau hukuman selama-lamanya enam bulan atau
hukumkan denda setinggi-tingginya Rp 4.500.000,00.
2. Undang-Undang Praktik Kedokteran
a. Pasal 75 ayat 1
“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00.
b. Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa meliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00
c. Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda oaling banyak
Rp 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi yang :
1) Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
pasal 41 ayat 1.
31
2) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
pasal 46 ayat 1.
3) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
pasal 51 huruf a,b,c,d atau e.
2.8 Sanksi Pelanggaran Disiplin
Pelanggaran disiplin dokter adalah pelanggaran aturan-aturan dan/atau ketentuan-
ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan praktik kedokteran yang harus diikuti
oleh dokter. Pelanggaran disiplin di bidang kedokteran diatur dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia (Perkonsil) Nomor 16 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan
Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia. Sesuai dengan pasal 27 ayat (2), dokter yang terbukti
bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran diberikan sanksi disiplin. Sanksi
disiplin ini diputuskan pada sidang Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD), yang merupakan
keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau keputusan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di tingkat Provinsi(MKDKI-P) yang
mengikatnya.Sanksi disiplin tersebut dijelaskan lebih lanjut pada pasal 28 ayat (1).
Sanksi disiplin yang diberikan dapat berupa:
a. Pemberian peringatan tertulis;
b. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;
dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik dapat
berupa rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara
selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau
Surat Izin Praktik tetap atau selamanya (Pasal 28 ayat (2)). Adapun kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi sesuai
dengan pasal 28 ayat (3)
32
a. Pendidikan formal
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau keterampilan, magang di institusi
pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana
pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.
Wewenang MKDKI dalam melaksanakan tugasnya pada kasus pelanggaran disiplin
kedokteran telah diatur dalam Perkonsil No.15 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi pasal 5 ayat (1).
a. Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
b. Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika
atau bukan keduanya
c. Memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
d. Memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
e. Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
f. Melaksanakan keputusan MKDKI
g. Menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
doktergigi
h. Menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P
i. Membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P
j. Membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-
Pkepada Konsil Kedokteran Indonesia
k. Mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan
dan MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses
pemeriksaan, dan keputusan MKDKI.
Ringkasnya, MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran
disiplin kedokteran serta menetapkan sanksi disiplinnya. Akan tetapi, MKDKI tidak
menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya. Pada Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia No.2 tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan
Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi disebutkan bahwa dalam penanganan
33
pelanggaran disiplin kedokteran terdapat tahap pemeriksaan awal dan tahap pemeriksaan
disiplin. Tahap pemeriksaan awal adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang atau kepentingan yang dirugikan melakukan pengaduan tertulis kepada
MKDKI, dengan memenuhi persyaratan pengaduan yang telah ditentukan dalam
perkonsil
2. Ketua MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa Awal, yang terdiri atas anggota
MKDKI, untuk menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran tersebut.
3. Majelis Pemeriksa Awal melakukan investigasi dan membuat satu di antara 3
keputusan, yaitu:
a. Kasus yang diadukan bukan merupakan kasus diluar disiplin. Kasus diserahkan
kembali kepada pengadu.
b. Kasus yang diadukan merupakan kasus pelanggaran etik. Kasus seperti ini
diserahkan oleh secretariat MKDKI kepada organisasi profesi, dalam hal ini
IDI.
c. Kasus tersebut benar merupakan kasus pelanggaran disiplin. Selanjutnya, ketua
MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa Disiplin untuk melakukan tahap
pemeriksaan disiplin.
Langkah-langkah tersebut dapat disederhanakan dalam bagan berikut:
Bagan 1. Tahap pemeriksaan awal penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin
(Sumber: Hartono dkk, Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi Dokter, 2008, hlm.42)
Setiap orang atau
kepentingan yang
dirugikan
Pengaduan tertulis
verifikasi
Penetapan Majelis
Pemeriksa Awal
oleh ketua MKDKI
Pemeriksa awal
Investigasi
Keputusan MPA
Ditolak diluar disiplin Pelanggaran etik Pelanggaran disiplin
PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAJELIS PEMERIKSA AWAL
Kepada Pengadu Sekretariat MKDKI Penetapan Majelis
Pemeriksa Disiplin oleh
Ketua MKDKI Organisasi Profesi
34
Adapun tahap pemeriksaan disiplin adalah sebagai berikut:
1. Majelis Pemeriksa Disiplin melakukan proses pembuktian terhadap kasus.
2. Majelis Pemeriksa Disiplin membuat satu di antara 4 keputusan, yaitu:
a. Dokter dinyatakan bebas/ tidak bersalah. Oleh sekretariat MKDKI, dokter tidak
dikenai sanksi apapun.
b. Dokter diberikan peringatan tertulis oleh MKDKI.
c. Dilakukan rekomendasi pencabutan STR/SIP. Sekretariat MKDKI menghubungi KKI
untuk pencabutan STR dan Dinkes Kab/Kota untuk pencabutan SIP.
d. Dokter diwajibkan mengikuti pendidikan/ pelatihan kembali. Sekretariat MKDKI
menyerahkan kepada KKI, untuk menangani pendidikan/ pelatian
tersebut.Pendidikan/ pelatihan dilaksanakan di instansi penidikan dan kolegium yang
akan mengeluarkan bukti bahwa telah dilaksanakan.
Langkah-langkah tersebut dapat disederhanakan dalam bagan berikut:
Bagan 2. Tahap pemeriksaan disiplin penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin.
(Sumber: Hartono dkk, Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi Dokter, 2008, hlm.43)
Bebas/ tidak
bersalah
Peringatan tertulis Rekomendasi
pencabutanSTR/ SIP
PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAJELIS PEMERIKSA DISIPLIN
Sekretariat
MKDKI
Sekretariat
MKDKI
Mengikuti
pendidikan/ pelatihan
Pemeriksaan awal
pelanggaran
disiplin
Penetapan Majelis
Pemeriksa oleh
ketua MKDKI
Pemeriksaan
proses
pembuktian
Keputusan
Sekretariat
MKDKI
Sekretariat
MKDKI
KKI
STR
Dinkes
Kab/ Kota
SIP
KKI
35
2.9 Standar Profesi Dokter
Semua profesional dalam melaksanakan pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang
disebut standar (ukuran) profesi.Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan
standar profesi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang
digunakan adalah standar pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pad proses
tindakan medik. Menurut Leenen, salah seorang pakar Hukum Kesehatan dan Negeri
Belanda, Standar Profesi Medis dapat diformulasikan sebagai berikut:
a. Terapi (yang berupa tindakan medik tertentu) harus teliti
b. Harus sesuai dengan ukuran medis (kriteria yang ditentukan dalam kasus konkret
yang dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan medik), yang berupa cara
tindakan medis tertentu. Dan tindakan medis yang dilakukan haruslah berdasarkan
ilmu pengetahuan medik dan pengalaman.
c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki oleh seorang dokter dengan
kategori keahlian medis yang sama.
d. Dalam kondisi yang sama
e. Dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan konkrit tindakan medis
tertentu tersebut.
2.9.1 Rumusan Leenen tentang Standar Profesi Kedokteran tersebut lebih dijelaskan secara detail
oleh Hariyani sebagai berikut :
a. berbuat secara teliti atau seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan culpa/
kelalaian. Bila dokter bertindak tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi
unsur kelalaian, dan bila tindakannya sangat tidak berhati-hati atau ceroboh maka
ia memenuhi “culpa lata”.
b. Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standard).
c. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama
(gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).
d. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
e. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/ proporsional (= asas proportionalitas)
sebagai terjemahan dari met middelen die in redeljke verhouding staan dengan
tujuan konkrit tindakan perbuatan tersebut (tot het concreet handelingsdoel).
36
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
pengertian standar profesi disebutkan di dalam penjelasan pasal 50. Standar profesi
adalah kemampuan (pengetahuan/knowledge, keterampilan teknis/skill dan sikap
perilaku/professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh individu untuk dapat
melakukan kegiatan profesinya di masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi. Standar profesi kedokteran adalah batasan kemampuan minimal dokter, sebagai
syarat untuk melakukan kegiatan profesionalnya. Standar profesi ini dibuat oleh suatu
organisasi profesi, dalam hal ini adalah Ikadan Dokter Indonesia (IDI).Dokter yang
melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar operasional
prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum.
Pada pasal 2 KODEKI disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Melakukan profesi kedokteran adalah
sesuai dengan ukuran ilmu kedokteran mutakhir, etika umum, etika kedokteran, hukum
dan agama sesuai tingkat atau jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi
setempat.
Standar profesi dokter merupakan pedoman bagi para dokter dalam menjalankan
profesinya untuk menjaga mutu pelayanan. Acuan yang dipakai dalam menyusun standar
profesi adalah katalog pendidikan dokter. Menurut SK Mendiknas No. 45/U/2002
kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki
seseorang sebagai syarat untuk dianggapmampu oleh masyarakat dalam menjalankan
tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Standar kompetensi dokter di indonesia dibuat
dengan tujuan agar kemampuan profesi dapat diukur dengan jelas.
Standar kompetensi dokter Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) area kompetensi yang
diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi dokter layanan primer :
1. Profesionalitas yang luhur
2. Mawas diri dan pengembangan diri
3. Komunikasi efektif
4. Pengelolaan informasi
5. Landasan ilmiah ilmu kedokteran
6. Keterampilan klinis
37
7. Pengelolaan masalah kesehatan
Standar pelayanan medis disusun oleh ikatan dokter indonesia sebagai salah satu
upaya penertiban dan peningkatan manajemen rumah sakit dengan memanfaatkan
pendayagunaan segala sumber daya yang ada di rumah sakit. Pelayanan medis sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
yang meliputi jenis penyakit, penegakan diagnosis, lama rawat inap, pemeriksaan
penunjang yg diperlukan, dan terapi yg diberikan.
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan Indonesia dilakukan dengan
meningkatkan mutu dan kuantitas sumber daya, tenaga, peralatan, pelengkapan dan
mateial yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain
meningkatkan input dan struktur, serta memperbaiki metode atau penerapan teknologi
yang dipergunkan dala kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki pelayanan
kesehatan.Pelayanan medis di rumah sakit wajib mempunyai standar pelayanan medis
yang merupakan standar operasional prosedur(SOP).
2.10 Contoh kasus
Kasus 1. Sindrom Steven Johnson (SSJ)
Tubuh RN melepuh setelah menjalani pengobatan di Puskesmas Ciracas. Kadinkes DKI
Dien Emawati menyebut penyakit Ratna adalah Sindrom Steven Johnson (SSJ). Keluarga
mencurigai kasus ini adalah malpraktek.
Analisa kasus:
SSJ merupakan suatu kumpulan gejala klinis berupa kulit melepuh kemerahan pada
seluruh bagian kulit, selaput lendir seperti bibir serta mata. Penyakit SSJ sebenarnya
bukan sekedar penyakit alergi obat biasa. Banyak faktor dan kondisi yang
mempengaruhinya. Penyebab atau faktor yang mempengaruhi SSJ sangat rumit dan sukar
ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ biasanya diawali adanya infeksi virus, jamur, bakteri, parasit
yang ditambah adanya alergi obat, makanan tertentu, penyakit kolagen, keganasan,
kehamilan. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,
38
sulfa, penisilin, antikonvulsan, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif dan
obat antiinflamasi non-steroid. Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun
dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap
obat-obatan penyebab.
Kasus SSJ bukan merupakan malpraktek, karena tidak ada seorang dokterpun yang dapat
menghindarinya. Tes alergi obatpun jika dilakukan dan hasilnya negatif belum tentu
dapat mencegah kasus SSJ karena penyebabnya multifaktorial. Dokter hanya bisa berhati-
hati dan waspada saat penderita terdapat riwayat alergi obat. Namun, tidak setiap alergi
obat dapat terjadi seperti kasus SSJ. Bahkan seorang yang tidak pernah mengalami alergi
obat dapat terkena SSJ juga.
Kasus 2. Kejang
Jam 02.00 dinihari , sepasang suami istri itu membawa anaknya berobat ke klinik terdekat
karena anaknya yang berusia 3 tahun panas tinggi dengan suhu 41,7 derajat celsius. Anak
itu kemudian diberikan obat yang dimasukkan melalui anus (pantatnya) berharap agar
suhunya segera dan cepat turun. Namun begitu dokter hendak membalikkan badan, anak
itu pun kejang, dan si ibu menuding gara-gara obat yang barusan dimasukkan itulah yang
menyebabkan anaknya kejang.
Analisa Kasus:
Kejang pada kasus ini dapat terjadi akibat demam tinggi. Pada kasus ini, ibu tidak segera
membawa anaknya ke dokter, padahal anaknya sudah seharian demam. Anak baru
dibawa saat larut malam setelah panasnya tinggi sampai terjadi kejang demam. Kebetulan
kejang terjadi sesaat setelah dokter memasukkan obat demamnya. Sangat kecil
kemungkinan kejang disebabkan oleh obat yang diberikan dokter, karena obat itu baru
saja diberikan dan belum sempat diserap tubuh anak itu. Setelah dijelaskan oleh dokter,
orang tua pasien kemudian bisa mengerti bahwa kejang itu karena demam tinggi yang
dialami anaknya bukan karena over dosis obat seperti yang disangkakan.
Kasus 3. Penyuntikan Kalium Chlorida
39
Seorang pasien berinisial DC yang berusia 3 tahun pada 28 April 2011 datang ke RS
Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. DC datang diantar orang tuanya karena mengalami diare
dan kembung. Kemudian dr. W langsung memberikan tindakan medis berupa
pemasangan infus, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap. Keesokan
harinya, dr W mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat untuk
melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr. W berada di lantai 1 dan tidak
melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan DC kejang-kejang. Akibat hal
ini, DC pun meninggal dunia.
Analisa kasus:
Penyuntikan KCL seharusnya dapat dilakukan dengan cara mencampurkan ke dalam
infus sehingga cairan KCL dapat masuk ke dalam tubuh penderita dengan cara masuk
secara pelan-pelan.
Kasus 4. Kasus dr. Ayu
Tanggal 10 April 2010
Ny. JF (25) yang sedang hamil anak kedua masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan
Puskesmas atas indikasi ketuban pecah dini. Pada waktu itu, ia didiagnosis oleh
Puskesmas dalam tahap persalinan pembukaan dua.
Selanjutnya di RS Dr Kandau Manado, Ny.F dilakukan observasi inpartu. Namun setelah
delapan jam, tidak ada kemajuan dalam persalinan dan muncul tanda-tanda gawat janin,
sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan pengambilan tindakan yaitu operasi
caesar.
Pada saat sayatan pertama operasi caesar dimulai, pasien mengeluarkan darah yang
berwarna kehitaman. Dokter menyatakan hal tersebut adalah tanda bahwa pasien kurang
oksigen. Setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien
semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, pasien dinyatakan meninggal dunia
40
Tanggal 15 September 2011
Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry
Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena
laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado
menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Hal tersebut dikarenakan
dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli
udara pada bilik jantung kanan, sehingga mengganggu peredaran darah. Emboli udara
merupakan hal yang tidak dapat diprediksi oleh dokter sebelumnya. Kasus ini masih
bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian
dikabulkan.
18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy
Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).
11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung
dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dalam surat keberatan
tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado menyebutkan ketiga terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau ketiga dokter tidak bersalah melakukan
tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK)
menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam
melakukan operasi pada pasien.
8 November 2013
Dr Ayu diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan penjara.
Pada kasus ini terdapat beberapa tuntutan yang ditujukan oleh dokter, yaitu:
1. Menurut ibu kandung Ny.F, anaknya ditelantarkan dan tidak segera ditangani oleh RS
Dr Kandau Manado.
41
2. Adanya emboli udara dari bilik kanan jantung Ny. F yang didapatkan dari hasil otopsi
dianggap keluarga ny. F merupakan kesalahan tim dr.Ayu.
3. Menurut ibu Ny.F tidak diberikan penjelasan yang jelas mengenai tindakan operasi
saecar dan resiko tindakan, dan hanya diminta untuk segera tanda tangan
4. Dr. Ayu dituduh tidak melakukan pemeriksaan penunjang pre operasi.
Analisa kasus:
1. Di RS Dr Kandau Manado, Ny.F tidak ditelantarkan oleh dokter namun dilakukan
observasi inpartu dan telah diberikan antibiotik profilaksis untuk penatalaksanaan
ketuban pecah dini.
2. Emboli udara yang terjadi merupakan hal yang tidak dapat diprediksi oleh dokter
sebelumnya.
3. Dokter tidak menyampaikan informed consent ke pasien atau keluarganya dengan
baik sehingga keluarga merasa tidak diberikan penjelasan mengenai tindakan operasi
caesar yang akan dilakukan terhadap Ny.F
4. Pada operasi cito sectio saecaria tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan
penunjang (jantung)
42
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar
profesi atau standar prosedur operasional. Kelalaian dalam praktek medik jika memenuhi
beberapa unsur (1) duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan
atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi
dan kondisi yang sama, (2) dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut,
(3) damage atau kerugian yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari pelayanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi
layanan, (4) direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata.
Sedangkan unsur pelanggaran displin yaitu pelanggaran meliputi negligence,
malfeasance, misfeasance, lack of skill.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya menghindari malpraktek seperti
semua tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti, bekerja sesuai
standar profesi, membuat informed consent, mencatat semua tindakan yang dilakukan
(rekam medik), apabila ragu-ragu konsultasikan dengan senior, memperlakukan pasien
secara manusiawi, menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan
masyarakat sekitar. Selain itu juga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan kualitas sumber daya, tenaga, peralatan,
pelengkapan dan mateial yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau
dengan kata lain meningkatkan input dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan
teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki
pelayanan kesehatan.
3.2 Saran
Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah dalam memahami tentang
penjelasan mengenai malpraktek, unsur-unsur malpraktek, aspek hukum malpraktek,
serta contoh kasus yang membedakan antara malpraktek atau bukan, dan pemahaman
standar profesi secara keseluruhan sehingga angka kejadian malpraktek yang dilakukan
dokter dapat ditekan.
42
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta :Rineka Cipta.
2. Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang: ABH Associates.
3. Rahim, Dian H. 2007. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Dan
Perlindungan Hukum Bagi Dokter Informed Consent And Legal Protection For Doctor
Penelitian Hukum Normatif terhadap UUPK No.29/2004 dan PERMENKES R.I. No.
585/ Men.Kes /Per/ IX /1989. Masters thesis, Unika Soegija pranata.
4. Dinamika etika dan hokum kedokteran dalam tantangan zaman. Chrisdiono M.
Achadiat.EGC.
5. Hariyani, Safitri, 2005, SengketaMedik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara
Dokter Dengan Pasien, Jakarta: PT. Diadit Media.
6. Hartono HS dkk. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi Dokter.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
7. World Medical Association. World medical association statement on medical
malpractice. http://www.wma.net/en/30publications/10policies/20archives/m2/index.html
, 2 Desember 2013.
8. M Kottow. 2004. The battering of informed consent. J Med Ethics. Cited from :
http://jme.bmj.com/content/30/6/565.full
9. Perkonsil No.2 tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Konsil Kedokteran Indonesia.
10. Perkonsil No.16 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.
11. Perkonsil No.15 tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat
Provinsi. Konsil Kedokteran Indonesia.
12. UU No.29 tentang Praktek Kedokteran.
13. STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA 2012 available at
http://bemfkur.org/wp-content/uploads/2013/11/SKDI-2012.pdf
14. STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA 2013 available at
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf.
15. http://www.tempo.co/read/news/2013/03/25/058469172/Terjadi-182-Kasus-Malpraktek-
di-Balikpapan.
16. http://elearning.unlam.ac.id/course/info.php?id=43
17. http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
18. http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_artikel/67
19. Kode etik kedokteran Indonesia.http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-
Kedokteran.pdf
43
44
20. Solichin S. Persetujuan tindakan medik (informed consent). Departemen/instalasi ilmu
kedokteran forensik dan medikolegal. Cited from :
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/PERSETUJUAN%20TINDAKA
N%20KEDOKTERAN.pdf
21. Apriani D. Malpraktik. Mei 2013. Cited from :
http://deniaprianichan.wordpress.com/type/quote/
22. Informasi rekam medis dan bidang kesehatan. Gatot kaca. Februari 2009. Cited from :
http://rekamkesehatan.wordpress.com/2009/02/25/definisi-dan-isi-rekam-medis-sesuai-
permenkes-no-269menkesperiii2008/
23. Dasar Hukum Penyelenggaraan Rekam Medis. Cited from :
http://permatakakilangit.files.wordpress.com/2010/12/dasar-hukum-penyelenggaraan-
rm.pdf
24. http://books.google.co.id/books?id=azM_UllflUYC&pg=PA193&lpg=PA193&dq=mem
perlakukan+pasien+secara+manusiawi&source=bl&ots=-
1q685GMtt&sig=AViv_yRMq45bLIcgERqxi5zXXp4&hl=en&sa=X&ei=l96eUq2LKo
WNrQe7kYDwDg&redir_esc=y#v=onepage&q=memperlakukan%20pasien%20secara%
20manusiawi&f=false
25. Ali MM, Sidi IPS, Hadad T. Komunikasi efektif dokter pasien. November 2006. Cited
from : http://inamc.or.id/download/Manual%20Komunikasi%20Efektif.pdf
26. Nasser M. Sengketa Medis dalam Pelayanan Kesehatan. Maret 2011. Cited from :
http://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/file/2011/M%20Nasser.pdf
27. Ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan RS. Oktober 2011. Cited from :
http://chantiqueen-home.blogspot.com/2011/10/ketidakpuasan-pasien-terhadap-
pelayanan.html
28. Kompasiana. Malpraktek Dewa Ayu, Mitos Dokter dan Momentum Penyadaran Publik.
http://hukum.kompasiana.com/2013/11/23/malpraktek-dewa-ayu-mitos-dokter-dan-
momentum-penyadaran-publik-613370.html
29. Sukmana BI. Malpraktek (MP). http://elearning.unlam.ac.id/course/info.php?id=43
30. http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/Rhs%20Kedokteran.pdf
31. http://ocw.usu.ac.id/course/download/6110000036-ilmu-kesehatan-gigi-masyarakat-
i/gm_131_slide_rahasia_kedokteran_wajib_simpan.pdf