Referat Forensik Medikolegal

65
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang, meninggal dunia pasca pemberian anestesi Buvanest Spinal. Obat produksi PT. Kalbe Farma tersebut bukan berisi bupivacaine, melainkan berisi asam traneksamat yang berfungsi untuk mengurangi pendarahan. Sejauh ini, belum pernah sebelumnya dilaporkan adanya kasus seperti ini di Indonesia. Menurut keterangan Menteri Kesehatan RI, sejauh ini hanya dua laporan kasus serupa yang dilaporkan pada pihaknya. Dirjen Bina Upaya Kesehatan juga mengutarakan hal serupa, dan meminta apabila kasus serupa terjadi untuk sesegera mungkin dilaporkan. Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan makanan telah membekukan izin beredarnya obat Buvanes tersebut, dan PT Kalbe Farma sendiri 1

description

referat

Transcript of Referat Forensik Medikolegal

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang, meninggal dunia pasca pemberian anestesi Buvanest Spinal. Obat produksi PT. Kalbe Farma tersebut bukan berisi bupivacaine, melainkan berisi asam traneksamat yang berfungsi untuk mengurangi pendarahan. Sejauh ini, belum pernah sebelumnya dilaporkan adanya kasus seperti ini di Indonesia. Menurut keterangan Menteri Kesehatan RI, sejauh ini hanya dua laporan kasus serupa yang dilaporkan pada pihaknya. Dirjen Bina Upaya Kesehatan juga mengutarakan hal serupa, dan meminta apabila kasus serupa terjadi untuk sesegera mungkin dilaporkan. Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan makanan telah membekukan izin beredarnya obat Buvanes tersebut, dan PT Kalbe Farma sendiri menghentikan fasilitas produksinya. Seluruh Batch Buvanest spinal dan dua batch asam traneksamat turut ditarik dari peredaran di seluruh Indonesia.1 Kunjungan dari anggota Komisi IX DPR ke RS Siloam mendapatkan adanya dua pak obat buvanest yang masing-masing terdiri atas 150 ampul. Pada pak pertama didapatkan 4 ampul yang berlabel buvanest, tetapi berisikan asam traneksamat. Ampul ampul tersebut berlabelkan 4 ml, walau sebenarnya berisi 5 ml.2 Namun, Komite Farmasi Nasional mempertanyakan kemungkinan hal tersebut, sebab pembuatan obat tersebut dilakukan dalam jumlah banyak, menurutnya kemungkinan kesalahan produksi sangatlah amat kecil. Tidak mungkin pula dijumpai produksi masal yang dihasilkan sebagian obat dengan isi yang berbeda. Kualitas dan kondisi obat pun selalu dipantau, pencatatan obat keluar juga dipantai apoteker.3 Pelaporan mengenai kasus serupa di dunia sudah pernah terjadi hingga lebih dari lima kali di beberapa negara. Negara negara tersebut antara lain seperti India, Iran, dan Arab Saudi.4-7 Kasus yang umumnya mengakui adanya kesalahan pemberian baik akibat kesamaan bentuk ampul dari bupivakain dan asam traneksamat serta penempatan kedua ampul pada lokasi yang berdekatan. Kondisi kondisi tersebut meningkatkan risiko kejadian tertukarnya obat selama proses terapeutik. Sebuah kasus di Hong Kong juga melaporkan adanya kejang mioklonik pasca injeksi intratekal asam traneksamat, disinyalir obat memasuki sistem saraf pusat sehingga merangsang aktivasi neuron dan mengeblok reseptor inhibitorik.8Bupivacaine merupakan obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa kerja panjang dan onset kerja yang pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivacaine akan menyebabkan blokade yang bersifat reversibel pada perambatan impuls sepanjang serabut saraf, dengan cara mencegah pergerakan ion-ion natrium melalui membran sel ke dalam sel.9 Asam traneksamat merupakan penghambat dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri memiliki fungsi sebagai penghancur fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah lain. Oleh karena itu, obat ini dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan.10Aspek etik dibahas dalam kode etik kedokteran Indonesia dan aspek medikolegal dibahas dalam Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menkes No 10 Pasal 4 Tahun 2008 tentang perlindungan konsumen dari obat-obatan medis, dan UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.11-13Dari beberapa laporan kasus yang telah ada, sering terjadi salah pemberian obat bupivacaine dan asam traneksamat intratekal, maka perlu pembahasan lebih lanjut mengenai kasus yang telah ada.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana pembahasan kasus tersebut dari sudut pandang Etik dan Medikolegal?2. Bagaimana farmakologi dan toksikologi dari bupivakain dan asam traneksamat? 3. Bagaimana pengenalan, diagnosis, langkah-langkah pencegahan dan penatalaksanaan kasus tersebut?

1.3 Tujuan 1 Mengetahui pembahasan kasus tersebut dari sudut pandang Etik dan Medikolegal.2 Mengetahui farmakologi dan toksikologi dari bupivakain dan asam traneksamat.3 Mengetahui pengenalan, diagnosis, langkah-langkah pencegahan dan penatalaksanaan kasus tersebut.

1.4 ManfaatDengan adanya penulisan referat ini, diharapkan memberikan manfaat, antara lain:1. Ilmu pengetahuan bagi mahasiswa kedokteran. Sebagai salah satu referensi yang dapat digunakan untuk memahami lebih baik mengenai penggunaan bupivacaine dan asam traneksamat secara tepat.2. Ilmu pengetahuan bagi masyarakat awam . Sebagai referensi masyarakat agar dapat mengetahui penilaian hukum terhadap kasus-kasus kesalahan dalam penggunaan obat anestesi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakologi dan Toksikologi Bupivakain2.1.1. Farmakologi BupivakainAnestesi lokal merupakan suatu obat yang menghambat pengahantaran impuls saat disuntikkan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. 9Struktur kimia serta sifat fisikokimia sangat memberikan pengaruh besar pada kerja anestesi lokal. Sifat hidrofobik yang dimilikinya akan menaikkan potensi serta lama kerja dari obat dikarenakan dalam suasana hidrofobik sendiri akan meningkatkan jumlah partikel ditempat kerja dan menurunkan kecepatan metabolisme dari obat tersebut.10Kebanyakan anestesi lokal mempunyai rumus dasar yang terdiri dari gugus amin hidrofil yang dihubungkan pada gugus residu aromatik lipofil melalui gugus perantar. Gugus antara dan gugus aromatik dihubungkan dengan ikatan amid atau ester.Ikatan ester lebih lemah pada proses hidrolisis daripada amide maka obat pada grup ester mempunyai durasi kerja yang lebih pendek dikarenakan sifatnya yang kurang stabil.Anestesi lokal merupakan basa lemah dan hampir semuanya mempunyai pKa alkalis. pKa adalah niali pH tubuh yang menyebabkan obat anestesi ada dalam jumlah seimbang ditubuh dalam bentuk non ionisasi dan ionisasi. Bentuk nonionisasi akan menentukan proses difusi obat ke tubuh sehingga pada suasana tubuh asam pada keadaan infeksi di tempat oenyuntikan akan menaikkan bentuk ionisasi dari obat sehingga menurunkan kualitas obat.14 Pada bentuknya berupa basa bebas, anestesi lokal akan sedikit larut dalam larutan sehingga menyebabkan obat tidak stabil dalam bentuk larutan, sehingga obat anestesi dibuat dalam bentuk garamnya untuk meningkatkan solubilitas dan stabilitasnya, biasanya dalam bentuk hidroklorid. Anestesi lokal adalah basa lemah tetapi larutan garamnya akan bersifat agak asam sehingga hal ini juga menambah stabilitasnya.Dalam bentuk garam yang agak asam tersebut, pada tubuh harus dinetralkan terlebih dahulu sehingga melepaskan suatu basa bebas sebelum obat menembus jaringan dan menimbulkan efek anestesik.Anestesik lokal yang digunakan umumnya mengandung atom N tersier atau sekunder, sehingga obat anestesi akan bergantung pada pKa dan pH larutan untuk mennetukan dia akan membentuk amin tersier yang bermuatan listrik atau amin sekunder yang tidak, atau terbentuk kation amonium.Proses ionisasinya digambarkan sebagai berikut :R : N + HOH R : NH+ + OH-

Anestesi lokal yang paling banyak dilakukan memiliki pka 8 9 sehingga pada pH jaringan hanya terdapat 5 20 % obat anestesi berada dalam bentuk basa bebas. Meskipun sedikit akan tetapi merupakan bagian penting dikarenakan untuk mencapai tempat kerjanya obat anestesi lokal harus berdifusi melalui jaringan penyambung serta membran sel lain dan hal ini tidak mungkin dalam bentuk obat anestesi yang tidak bermuatan listrik.Tabel 1. Farmakologi BupivakainGolonganOnsetDurasiPotensiMetabolismeDosis MaxToksisitaspKa

BupivacaineAmide - CNH15 menit2 4 jamPanjang16Hepar2 mg / Kg BB (200 mg)108,1

FarmakokinetikAbsorbsiAbsorbsi sistemik dari obat anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu dosis, tempat penyuntikan, ikatan obat-reseptor, aliran darah lokal didaerah tersebut, penggunaan obat vasokonstriktor dan hal fisika-kimia dari obat itu sendiri. Penyuntikan anestesi lokal pada daerah dengan banyak aliran darah seperti area mukosa trakea atau daerah sekitar nervus intercosta menyebabkan cepatnya absorbsi dari obat tersebut dibandingkan dengan penyuntikan obat pada daerah dengan sedikit aliran darah seperti tendo, dermis atau daerah lemak. Daerah daerah dengan penyerapan yang cepat diurutkan dari daerah tercepat absorbsi hingga daerah terlambat absorbsi diurutkan dari intercosta ( tertinggi ) > caudal > epidural > plexus brachialis > nervus sciatic ( terendah )Pemakaian obat vasokonstriktor seperti epinepherine akan mengurangi absorbsi sistemik anestesi lokal dengan cara mengurangi aliran darah menuju

Gambar 1. Struktur molekuler agen anestesi lokal14tempat yang diberi obat vasokonstriktor. Akan tetapi pemberian obat vasokonstriktor akan menaikkan absorbsi obat anestesi lokal pada saraf lokal didaerah tersebut sehingga efek toksik sistemik dapat terhindarkan. Dalam hal lebih lanjut, pada pemberian anestesi melalui spinal maka epinepherine akan berfungsi sebagai zat yang memperlama efek anestesi samapi 50% dan mempertinggi efek obat anestesi dengan berikatan pada alfa -2 adrenoreceptors sehingga hal ini menghambat pengeluaran substance-P (neurokinin-1) serta mengurangi sensory neuron firing. Akan tetapi pemakaian vasokonstriktor akan berefek kurang pada obat anestesi yang lebih larut air serta yang berefek lama.14

DistribusiAnestesi obat lokal anestesi akan terdistribusi secara luas setelah administrasi bolus secara intravena. Setelah distribusi initial yang berlangsung secara cepat terutama pada daerah dengan aliran darah tinggi seperti otak, hati, ginjal dan jantung, akan dilanjutkan dengan distribusi secara lambat pada daerah dengan aliran darah sedang seperti otot dan organ gastrointestinal.

Metabolisme dan ekskresiObat anestesi lokal kelompok amide akan dimetabolisme dalam hepar menjadi bentuk yang lebih larut air sehingga dapat dikeluarkan melalui urin. Ikatan amide pada obat anestesi golongan amide dihidrolisasi oleh sitokrom P450 isoenzim yang dapat berlangsung secara cepat dan lambat dalam urutan prilocaine (tercepat) > lidocaine > mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine dan levobupivacaine ( terlambat ) sehingga efek toksik akan muncul pada individu yang menderita penyakit hepar atau pada individu dengan aliran darah menurun pada aliran darah hepatic.Tabel 2. Farmakokinetik agen anestesi lokalFarmakodinamikMekanisme aksiObat anestesi lokal mencegah pembentukan serta konduksi impuls dari syaraf dan obat anestesi lokal mempunyai tempat kerja utama yaitu di membran sel, sedangkan pada aksoplasma hanya berefek sedikit.Potensial aksi saraf terjadi dikarenakan adanya peningkatan sekilas dari permeabilitas membran terhadap ion Na+ akibat adanya depolarisasi ringan pada membran dan proses inilah yang dihambat anestesi lokal dengan cara berinteraksinya langsung antara obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang sensitif pada perubahan voltase muatan listrik sehingga ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman konduksi saraf menurun yang menagkibatkan menurunnya penjalaran potensial aksi saraf dan berakhir dengan kegagalan konduksi saraf. Obat anestesi lokal juga mengurangi permeabilitas membrann ion K+ dan Na+ dalam keadaan istirahat sehingga hambatan hantaran tidak disertai dengan banyaknya perubahan pada potensial aksi istirahat.

Gambar 2. Mekanisme Aksi Agen Anestesi Lokal

Potensial obat anestesi lokal sejajar dengan kemampuannya menigkatkan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler sehingga dapat meninggikan tegangan eprmukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf sehingga menutup pori dalam membran dan berakhir dengan penurunan permeabilitas membran dalam keadaan istirahat yang akan membatasi peningkatan permeabilitas Na+. Sehingga kesimpulannya, cara kerja utamanya adalah bergabung dengan reseptor spesifik yang ada pada kanal Na sehingga terjadi blokade yang berakhir dengan terhambatnya gerakan ion melalui membran.

Aksi Terhadap SarafKarena anestesi local mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya tidak saja terbatas pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan. Perbedaan tipe serabut saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya terhadap penghambatan anestesi local atas dasar ukuran dan mielinasi. Aplikasi suatu anestesi local terhadap suatu akar serabut saraf, serabut paling kecil B dan C dihambat lebih dulu. Serabut delta tipe A akan dihambat kemudian. Oleh karena itu, serabut nyeri dihambat permulaan; kemudian sensasi lainnya menghilang; dan fungsi motor dihambat terakhir.Adapun efek serabut saraf antara lain: Efek diameter serabutAnestesi local lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil karena jarak di mana propagasi suatu impuls listrik merambat secara pasif pada serabut tadi (berhubungan dengan constant ruang) jadi lebih singkat. Selama mula kerja anestesi local, bila bagian pendek serabut dihambat, maka serabut berdiameter kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls.Terhadap serabut yang bermielin, setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi local untuk menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh nodus tadi yang menerangkan sebagian, tahanan yang lebih besar untuk menghambat serabut besar tadi. Saraf bermielin cenderung dihambat serabut saraf yang tidak bermielin pada ukuran yang sama. Dengan demikian, serabut saraf preganglionik B dapat dihambat sebelum serabut C kecil yang tidak bermielin. Efek frekuensi letupanAlasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut sensoris mengikuti langsung dari mekanisme kerja yang bergantung pada keadaan anestesi local. Serabut sensoris, terutama serabut nyeri ternyata berkecukupan letupan tinggi dan lama potensial aksi yang relative lama (mendekati 5 milidetik). Serabut motor meletup pada kecepatan yang lebih lambat dengan potensial aksi yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter kecil yang terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut ini dihambat lebih dulu dengan anestesi local kadar rendah dari pada serabut A alfa. Efek posisi saraf dalam bundle sarafPada sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya terletak melingkari bundle dan oleh karena itu saraf ini akan terpapar lebih dulu bila anestesi local diberikan secara suntikan ke dalam jaringan sekitar saraf. Akibatnya bukan tidak mungkin saraf motor terhambat sebelum penghambatan sensoris dalam bundle besar. Jadi, selama infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi muncul lebih dulu di bagian proksimal dan kemudian menyebar ke distal sesuai dengan penetrasi obat ke dalam tengah bagian bundle saraf.

Efek Terhadap Membran yang Mudah Terangsang LainnyaAnestesi local mempunyai efek menghambat otot saraf yang lemah dan tidak begitu penting dalam klinik. Namun, efeknya terhadap membran sel otot jantung mempunyai makna klinik yang penting

Teknik / Cara Pemberian10 Secara umum teknik atau cara pemberian anestesi lokal antara lain :a. Topikal : anestesi lokal disemprotkan pada mukosa / kulitb. Infiltrasi : anestesi lokal diinfiltrasi di bawah kulitc. Blok Syaraf : anestesi lokal disuntikan sekitar syaraf periferd. Blok Epidural : anestesi lokal disuntikan pada ruang epidurale. Blok subdural/spinal : anestesi lokal disuntikan pada ruang subduralTeknik/ cara pemberian bupivacaine dyang digunakan berupa anestesi blok dengan blok spinal, epidural atau kaudal. Dosis maksimal pemberian bupivacain 0,5% dengan teknik infiltrasi dan blok syaraf yaitu 200 mg dengan durasi 5-6 jam.10

Indikasi dan kontraindikasi10Secara umum ntindakan anestesi lokal tidak terkecuali bupivacaine memiliki keadaan-keadaan tertentu indikasi dan kontraindikasi, antara lain sebagai berikut :a. Indikasi1. Setiap prosedur dimana anestesi lokal akan menghasilkan kondisi operasi yang nyaman/memuaskan. 2. Penyakit paru, dimana posisi operasi masih dapat ditolerir oleh pasien. Misal operasi tumor paha depan pada pasien dengan penyakit paru yang sikap terpaksanya tidur setengah duduk.3. Riwayat reaksi yang tidak baik dengan anestesi umum. Kadang-kadang pasien setelah anestesi umum, muntah-muntah cukup lama, pulih sadar terlamabat dan lain-lain.4. Antisipasi masalah-masalah dengan rumatan jalan nafas atau intubasi. Misal pasien dengan adhesi leher-dada akibat sikatriks pasca luka bakar. 5. Operasi darurat tanpa puasa yang adekuat. Hal ini untuk menghindari aspirasi lambung (bila terjadi muntah, pasien dalam keadaan sadar sehingga dapat melakukan proteksi).

b. Kontraindikasi10 Kontraindikasi Absolut/Mutlaka. Pasien menolak anestesi lokalb. Riwayat alergi terhadap anestesi lokalc. Infeksi di tempat suntikand. Pasien dengan terapi antikoagulane. Pasien dengan gangguan perdarahanf. Pemakaian adrenalin dengan anestesi lokal untuk pasien-pasien dengan tricyclic anti depressant Kontraindikasi Relatifa. Pasien kurang atau tidak kooperatifb. Pasien dengan kelainan neurologisKhusus untuk penggunaan anestesi spinal dan epidural, kontraindikasi :1. Kontraindikasi Mutlaka. Infeksi di dekat atau pada tempat suntikan.b. Terapi anti koagulanc. Gangguan perdarahand. Hipovolemi dan syoke. Terapi beta blockerf. Septikaemiag. Curah jantung yang terbatash. Tekanan intrakranial yang meningkat.2. Kontraindikasi relatifa. Penyakit jantung sistemikb. Penyakit neurologi aktifc. Skoliosisd. Riwayat operasi laminektomi

2.1.2. Toksikologi Bupivacaine Penggunaan bupivacaine yang tidak tepat bersifat toxic terhadap sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Manifestasi alergi pada obat ini sangat minim terjadi. Adverse drug recation pada obat ini disebabkan karena peningkatan konsentrasi plasma darah yang dapat dapat terjadi pada pemberian injeksi bupivacaine intravaskuler yang tidak sengaja, dosis berlebih atau kecepatan injeksi yang meningkat, daya absorpsi meningkat pada daerah lokasi suntikan atau degradasi metabolik yang lambat. Selain itu faktor-faktor yang berasal dari keadaan-keadaan tertentu pasien dapat berpengaruh terjadinya toksisitas bupivacaine seperti kehamilan, usia lansia, asidosis metabolik atau respiratorik dan kondisi fisiologis jantung.9 Onset kerja anestesi lokal sangat cepat yaitu 5 menit dengan durasi kerja 2-3 jam.9 Efek samping berupa keracunan akut muncul 1-5 menit setelah injeksi.9 Manifestasi awal pada sistem saraf pusat berupa terhambatnya jalur inhibisi kortikal sehingga terjadinya eksitasi saraf yang berlebih. Klinis yang kemudian muncul yang timbul perlahan yaitu mettalic taste pada indra pengecap, pusing dan gangguan pendengaran yang disusul dengan tremor, kejang tonik klonik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat dan berpotensi penurunan kesadaran.10,14Dengan jumlah dosis efektif yang sebanding, bupivacaine lebih kardiotoksik dibandingkan lidocaine maupun levobupivacain. Toksisitas agen anestesi ini terhadap myocardium yaitu dengan memblok cardiac Natrium channel selama sistolik sehingga aktifitas kelistrikan jantung menurun. Myocard menjadi lebih colapse, konduksi listrik jantung terhambat dan akhirnya terjadi aritmia ventricular yang berat. Hal ini dapat terjadi pada pembeian bupivacain dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan bupivacaine sulit diatasi dan bertambah berat dengan adanya hipoksmia, hiperkarbia dan asidosis.10Larutan bupivakain hidklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk anestesi infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk anestesi infiltrasi adalah 2 mg/kgBB.10

2.2. Farmakologi dan Toksikologi Asam Traneksamat 2.2.1. Farmakologi Asam TraneksamatAsam traneksamat merupakan analog asam aminokaproat, mempunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama tetapi 10 kali lebih potent dan dengan efek samping yang lebih ringan.9Asam traneksamat merukapan penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri memiliki fungsi sebagai penghancur fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah lain. Oleh karena itu, obat ini dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan. Fibrinolisis yang berlebihan dapat diperiksan dengan pemeriksaan darah yaitu PT dan TT yang memanjang, hipofibrinogen atau kadar plasminogen yang menurun.9 Asam traneksamat diabsorbsi dengan baik per oral sampai 40% dan juga dapat diberikan secara IV sampai 90%. Obat ini dieksresi secara cepat melalui urin. Kadar puncak obat ini dapat dicapai kurang lebih 2 jam setelah pemberian dosis tunggal. Hanya sebagian kecil dari obat dimetabolisme (kurang dari 5%).Indikasi obat ini digunakan untuk mengatasi hematuria yang berasal dari kandung kemih, prostat, atau uretra. Pasien yang menjalani protatektomi transuurethral atau suprapubik, obat ini dapat mengurangi hematuri pasca bedah secara bermakna. Akan tetapi penggunaan obat ini harus di batasi pada pasien yang mengalami perdarahan hebat dan yang penyebab dari perdarahn tersebut tidak dapat di perbaik. Obat ini juga dapat digunakan sebai antidotum untuk melawan efek trombolitik streptokinase dan urokinaseyang merupakan aktivator plasminogen. Asam traneksamat dan asam aminokaproat dilaporkan bermanfaat untuk pasien hemofilia sebelum dan sesudah ekstraksi gigi dan dan perdarahan lain karena trauma dalam mulut. Hal ini juga dapat digunakan untuk perdarahan yang berlebihan dalam kasus menstruasi, operasi, atau trauma.9Telah dilakukan penelitian teratogenisitas pada obat ini. Pada penelitian yang dilakukan kepada hewan memberikan hasil yang bervariasi. Sedangkan pada manusia tidak didapatkan kelainan yang bermakna, meskipun demikian obat ini tidak diberikan pada ibu yang sedang hamil trimester pertama dan kedua, kecuali bilang sangat diperlukan. Dosis yang dianjurkan 0,5 1 gr diberikan 2 3 kali sehari secara IV lambat sekurang kurangnya dalam waktu 5 menit. Cara pemberian peroral diberikan dengan dosis 15mg/kgBB diikuti dengan 30 mg/kgBB tiap 6 jam. Dosis oral : 1-1.5 gram (atau 15-25 mg/kg) 2 sampai 4 kali sehari. Dosis injeksi intravena perlahan : 0.5 -1 g (atau 10 mg/kg) 3 kali sehari. Dosis infus kontinyu : 25-50 mg/kg setiap hari. Dosis anak : 25 kg/mg melalui oral atau 10 mg/kg melalui intra vena setiap 2 atau 3 kali sehari.

KONTRAINDIKASIPasien tromboembolik. Perlu di perhatikan mengenai dosis pada gangguan ginjal dengan pengobatan jangka panjang secara teratur lakukan pemeriksaan mata regular dan uji fungsi hati.

LD50 Oral pada tikus adalah > 10 gr / kg.Intravena pada tikus 1,3 gr / kg.Subcutaneus pada tikus 4,62 gr / kg. Gejala overdosis mungkin mual, muntah, gejala ortostatik dan / atau hipotensi.

EFEK SAMPING UMUM ASAM TRANEKSAMAT Mual, muntah, diare, pusing dan rash.

2.2.2. Toksikologi Asam TraneksamatAsam Traneksamat merupakan suatu agen antifibrinolitik yang umumnya digunakan pada operasi jantung, ginekologik dan obstetrik.1 Asam traneksamat merupakan analog sintetis dari asam amino lisin yang memiliki kemampuan untuk mengeblok lokasi ikatan plasminogen dan mencegahnya berinteraksi dengan fibrin. Plasminogen yang berikatan dengan fibrin akan menyusun plasmin yang mendegradasi fibrin menjadi derivat fibrin menyebabkan fibrinolosis atau penguraian dari trombus. Injeksi intratekal (subdural) asam traneksamat secara insidental dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya seperti mioklonik, kejang dan fibrilasi vertrikel. Sejauh ini, kandungan asam traneksamat dan mekanisme aksinya masih sedikit sekali yang diketahui. Kesalahan yang terjadi umumnya karena kesamaan ampul dengan obat anestesi spinal seperti bupivakain, penempatan ampul bersama, dan kesalahan dalam pemberian label spuit injeksi selama persiapan preoperatif.1

Efek samping asam traneksamat yang bersifat toksika. Kejang

Gambar 3. Struktur Molekuler Glisin dan Asam Traneksamat

Struktur molekul asam traneksamat menyerupai struktur dari glisin yaitu suatu neurotransmiter yang bersifat inhibitor. Sehingga dalam suatu penelitian dengan binatang coba mencit, asam traneksamat merupakan antagonis kompetitif dri reseptor glisin. Asam traneksamat bersifat antagonis kompetitif, menempati lokasi ikatan glisin, mencegah glisin berikatan dengan reseptor tersebut sehingga terjadi aktivasi reseptor. Reseptor glisin umumnya diekspresikan di medulla spinalis dan batang otak, juga di korteks prefrontal, hipokampus dan amigdala.1 Reseptor ini merupakan reseptoe kanal ion klorida pentamer yang terdiri atas subunit alfa 1-4 dan beta.15 Komponen subunit setiap reseptor menentukan efek farmakologisnya, selain itu juga pola ekspresi/kemunculan reseptor di sistem saraf pusat dan sel-sel saraf. 16Reseptor glisin di SSP menjadi menengahi dua bentuk inhibisi, yaitu posinaptik dan tonik. Inhibisi postsinaps dimediasi oleh reseptor glisin yang diaktivasi bersamaan pelepasan glisin dalam jumlah yang tinggi. Arus glisin tonik dimediasi secara parakrin akibat aktivasi resptor glisin ekstrasinaptik. Obat-obatan yang menginhibisi aktivasi reseptor glisin menyebabkan kejang karena aktivitas neuronal sistem saraf pusat yang tidak dikendalikan.Ditemukan pula bahwa penggunaan isofluran dan menyebabkan menggagalkan inhibisi asam traneksamat terhadap sinyal elektrik yang distimulasi oleh glisin, sehingga kasus kejang akibat asam traneksamat dimungkinkan diterapi dengan agen ini. Peningkatan kadar asam traneksamat dalam cairan serebrospinal juga berkorelasi dengan kejadian kejang pada pasien.15

b. MioklonikMioklonik ditandai dengan pergerakan involunter yang terjadi singkat secara mendadak. Beberapa obat-obatan yang mengakibatkan drug-induced myoclonus adalah antibiotik, agen anestetik, obat penyekat kalsium, antidepresan, obat antiepilepsi, dan asam traneksamat. Percobaan pada kucing membuktikan bahwa pemberian asam traneksamat pada korteks serebral menyebabkan aktivitas epileptik pada EEG dalam bentuk gelombang spike-wave brusts yang secara klinis menyerupai kejang umum pada kasus epilepsi (generalized seizure).15

c. HipertensiPenelitian yang dilakukan pada kucing, selain epilepsi, penelitian tersebut juga menunjukkan korelasi antara peningkatan tekanan darah sistemik (hipertensi sistemik) dengan pemberian asam traneksamat.17 Mekanisme pasti peningkatan tekanan darah merupakan respons pada aktivasi sistem simpatis secara masif.5

d. Fibrilasi ventrikelDosis yang cukup tinggi dari asam traneksamat mampu menyebabkan pelepasan/aktivasi berat sistem simpatis yang diawali dengan respon hipertensi, dan berlanjutmenjadi aritmia ventrikuler. Kondisi ini bisa memicu terjadinya fibrilasi ventrikel dan berakibat pada henti jantung yang menjadi penyebab utama kematian. 5,18

2.3. Mengetahui pengenalan, diagnosis dan penatalaksanaan kasus tersebut.Laporan berbagai kejadian kecelakaan injeksi asam traneksamat ke dalam ruang epidural dan subarachnoid menyebutkan setelah obat diinjeksikan pasien mengeluhkan nyeri pada daerah punggung dan gluteal dan tidak didapatkan efek anestesi.19-23 Keluhan ini kemudian disusul dengan berbagai gejala lain, yaitu takikardi, hipertensi, hipotensi, kejang myoklonik, takikardi ventrikuler, dan fibrilasi ventrikel. Dosis asam traneksamat mempengaruhi progresifitas dan berat-ringannya gejala. Pasien yang mendapatkan dosis yang lebih kecil dapat bertahan hidup, sedangkan pasien yang mendapat dosis lebih besar mengalami kejang, fibrilasi ventrikel dan kemudian meninggal.19 Menurut laporan kasus yang terjadi di seluruh dunia, asam traneksamat intratekal mempunyai efek neurotoksik yang mengakibatkan terjadinya kejang, dan ventricular tachyarrythmia.20-24 Raghu dkk dalam laporan kasusnya pada tahun 2013 menyebutkan bahwa obat-obat antikonvulsan, pengawasan ketat hemodinamik serta CSF lavage merupakan manajemen pada kasus ini.22Studi kasus melaporkan kejang yang dialami pasien membaik setelah pemberian diazepam intravena.6, 7 Hal ini dikarenakan diazepam dapat meningkatkan aktivitas pada reseptor GABA yang telah diinhibisi oleh asam traneksamat.9 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irene Lecker et. al. terhadap tikus menyebutkan bahwa isoflurane dan propofol dapat mencegah atau memulihkan kejang akibat asam traneksamat.9Efek asam traneksamat intratekal pada jantung, seperti yang dilaporkan pada beberapa kasus, yaitu memicu terjadinya ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi dan aritmia.2-8 Penanganan yang dilakukan yaitu dengan pemberian resusitasi dan adrenalin.2, 4, 7, 8Pasien yang mengalami kejadian ini membutuhkan ventilator serta pengawasan ketat, untuk itu pasien harus dirawat di ICU.

2.4 Aspek Etik dan Medikolegal kasus kesalahan dalam penggunaan obat anestesi2.4.1 EtikKewajiban seorang dokter dalam melakukan pertolongan darurat diatur pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pada mengenai kewajiban dokter terhadap pasien pada Pasal 17 yaitu Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.Pertolongan darurat yang dimaksud pada pasal diatas adalah pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera dilakukan untuk mencegah kematian, kecacatan, atau penderitaan yang berat pada seseorang. Seorang dokter wajib memberikan pertolongan keadaan gawat darurat atas dasar kemanusiaan ketika keadaan memungkinkan. Walau tidak saat bertugas, seorang dokter wajib memberikan pertolongan darurat kepada siapa pun yang sakit mendadak, kecelakaan atau keadaan bencana. Rasa yakin dokter akan ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu melakukan pertolongan darurat seyogyanya dilakukan secara cermat sesuai dengan keutamaan profesi, yakni untuk menjunjung sikap dan rasa ingin berkorban profesi untuk kepentingan pertolongan darurat yang dimaksud. Pertolongan darurat dapat dilakukan ketika berpraktik atau di luar praktik kedokteran, karena dapat terjadi setiap saat pada seseorang klien/pasien atau anggota komunitas/masyarakat dalam segala ruang dan waktu kehidupan. Bagi dokter, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, tindakan pertolongan ini wujud dari budaya menolong sesuai sila ke dua Pancasila. Pertolongan darurat ditujukan untuk mengobati penyakit mendadaknya, meringankan gejala, rasa sakit atau penderitaannya, membuat tidak panik penderita/keluarganya karena dokter menunjukkan empati atau kepedulian kemanusiaan. Berbeda dari kewajiban pertolongan gawat, yang ditujukan untuk menyelamatkan nyawa dan kecacatan, merupakan keluhuran profesi dokter karena menjaga dan melindungi hidup mahluk insani sebagaimana dimaksud Pasal 11. Kemampuan dokter melakukan pertolongan darurat sangat kontekstual, tergantung antara lain pada situasi, kondisi (tim, alat, sarana prasarana) dan toleransi budaya setempat.Sedangkan kewajiban rumah sakit terhadap pasien diatur pada Kode Etik Rumas Sakit Indonesia seperti pada pasal berikut :Pasal 2Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit.Yangdimaksud dengantanggungjawabrumahsakit disiniialah:a. Tanggung jawab umum. Tanggung jawab umum rumah sakit merupakan kewajiban pimpinan rumah sakit menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit.b. Tanggung jawab khusus yang meliputi tanggung jawab hukum, etik dan tata tertib atau disiplin. Tanggungjawabkhususmunculjika ada anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau disiplin.Pasal 4 Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip baik medik maupun non medik secara baik. Rumah sakit wajib menjaga dan melindungi kerahasiaan catatan dan rekaman medik serta keterangan-keterangan non medik pasien lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan hak menengok dan hak milik data medikpasien.

Pasal 9Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.Hak-hak asasi pasien adalah hak-hak yang sangat fundamental yang dimiliki pasien sebagai seorang mahluk tuhan, terutama yang dimaksud dalam pasal ini, menyangkut hak-hak yang berkaitan dengan pelayanan rumah sakit, yang dalam halini ada dua hak dasar pasien, yaitu :2. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan danasuhan keperawatan yang bermutu, sesuai dengan standar profesi kedokteran dan standar profesi keprawatan.3. Hakuntukmenentukannasibnyasendiri.Dari kedua hak dasar ini dapat diturunkan hak-hak pasien lainnya seperti hak untuk memperoleh informasi mengenai kesehatan/penyakitnya, hak untuk memilih rumahsakit, hak untuk memilih dokter, hak untuk meminta pendapat dokter lain (sebagai secondopinion),hak atasprivacy dan atas kerahasiaan pribadinya, hak untuk menyetujui atau menolak tindakan atau pengobatan yang akan dilakukanoleh dokter, dan lain-lain, kecuali yang dianggap bertentangan dengan undang-undang, dengannilai-nilai agama,moral dan dengan nilai-nilai Pancasila, sepertitindakaneutanasia, aborsi tanpa indikasi medik dan lain sebagainya tidak bisa dibenarkan.

Pasal 10Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien, dan tindakanapa yang hendak dilakukan.

2.4.2 Medikolegal2.4.2.1. Permenkes Nomor 1010 pasal 4 tahun 2008Pada Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Pasal 1 tentang kesehatan yang dimaksud dengan obat yaitu bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,untuk manusia. Namun obat merupakan produk dari produsen yang dijual kepada konsumen, sebelum obat dapat dijual bebas harus memiliki ijin edar yang diatur dalam Permenkes nomor 1010 pasal 4 tahun 2008 yang berbunyi :Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih

2.4.2.2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999Terdapat juga undang undang yang memayungi para konsumen obat yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen terdapat beberapa pasal yang berhubungan dengan kasus ini yaitu :Undang-undang Nomor 8 Pasal 4 Tahun 1999Hak konsumen adalah :a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

Undang-undang Nomor 8 Pasal 8 Tahun 1999 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebute. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangana. yang berlaku.(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarangmemperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dariperedaran.

Undang-undang Nomor 8 Pasal 9 Tahun 1999 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uangatau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Undang-undang Nomor 8 Pasal 22 Tahun 1999Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Undang-undang Nomor 8 Pasal 62 Tahun 1999 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Undang-undang Nomor 8 Pasal 63 Tahun 1999Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:a. perampasan barang tertentu;b. pengumuman keputusan hakim;c. pembayaran ganti rugi;d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atauf. pencabutan izin usaha.

2.4.2.3. Pasal 359 KUHPPada kasus ini didapat kelalaian atau kealpaan yaitu salahnya menaruh isi obat kedalam kemasan yang seharusnya dan mengakibatkan orang lain meninggal dunia hal ini telah diatur pada Pasal 359 KUHP yang berbunyi :Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahunDalam pasal tersebut diatas menjelaskan bahwa sang terdakwa tidak bermaksud membunuh orang, tetapi akibat dari kelalaianya/kealpaanya mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1. PENYAJIAN KASUSDUA PASIEN RS SILOAM MENINGGAL SETELAH DISUNTIK OBAT BIUSJAKARTA, KOMPAS.com Dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, meninggal dunia setelah pemberian obat anastesi Buvanest Spinal.Obat produksi PT Kalbe Farma ini diduga bukan berisi bupivacaine atau untuk pembiusan, melainkan asam traneksamat yang bekerja untuk mengurangi pendarahan."Ini kebetulan saja etiketnya atau bungkusannya itu yang tertukar. Jadi, sangat menyedihkan ini terjadi," ujar Kepala Hubungan Masyarakat RS Siloam Heppi Nurfianto, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (17/2/2015).Heppi menjelaskan, kasus ini terjadi terhadap pasien yang melakukan operasi caesar dan urologi. Kedua pasien meninggal dalam waktu berdekatan pada tanggal 12 Februari 2015. Sementara itu, pasien lainnya tidak mengalami masalah."Pasien kontradiksi, gatal-gatal, sampai kejang, kemudian meninggal. Pasien obgyn, bayinya selamat," kata Heppi.Menurut Heppi, RS Siloam akan memberikan keterangan lebih lanjut dalam waktu dekat bersama pihak Kementerian Kesehatan, Kalbe, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).Sementara itu, pihak Kalbe juga telah melakukan penarikan semua produk Buvanest dari pasaran. Investigasi lebih lanjut tengah dilakukan bersama BPOM.

3.2. PEMBAHASANPada ilustrasi kasus di atas didapatkan kedua pasien meninggal akibat adanya kesalahan pemberian obat yang digunakan dalam anestesi spinal. Secara praktik, dokter yang melakukan tindakan anestesi spinal sudah melaksanakan sesuai Standar Operasional Pelaksanaan (SOP). Dalam kasus ini kesalahan terletak pada perusahaan pembuat obat dalam proses produksinya. PT. Kalbe Farma sendiri mengakui adanya kesalahan selama produksi, sehingga menarik semua produk Buvanest yang telah beredar di pasaran.

a. Farmakologi dan ToksikologiKeterangan Kepala Hubungan Masyarakat RS Siloam menyatakan bahwa kedua pasien yang menjalani prosedur anestesi spinal diperuntukkan program operasi seksio sesaria dan urologi. Menurut keterangan yang disampaikan, pasien mengalami reaksi yang berupa gatal-gatal, kejang-kejang kemudian meninggal. Melihat pernyataan tersebut, disinyalir terdapat reaksi adverse tipe 2 dan efek toksisitas farmakodinamik karena kesalahan lokasi injeksi.Bupivacaine yang bekerja memblok Na channel akan menghambat depolarisasi sehingga mengakibatkan hilangnya sensasi sakit dan nyeri. Akan tetapi dengan cara pemberian dan dosis yang tepat tidak akan menyebabkan kejang dan arrytmia ventrikel. Lain halnya asam traneksamat yaitu suatu agen antifibrinolitik yang umumnya digunakan pada operasi jantung, ginekologik dan obstetrik. Asam traneksamat merupakan analog sintetis dari asam amino lisin yang memiliki kemampuan untuk mengeblok lokasi ikatan plasminogen dan mencegahnya berinteraksi dengan fibrin. Plasminogen yang berikatan dengan fibrin akan menyusun plasmin yang mendegradasi fibrin menjadi derivat fibrin menyebabkan fibrinolosis atau penguraian dari trombus. Kerja bupivacaine yang sangat berlainan dengan asam traneksamat menyebabkan kekeliuran ini berakibat fatal pada kedua pasien. Efek samping toksisitas akibat pemberian asam traneksamat secara subarachnoid menyebabkan kejang, diikuti kejang mioklonik dan hipertensi disertai ventricular takikardi yang berujung pada fibrilasi ventrikel sehingga menyebabkan kematian.

b. Diagnosis, Monitoring dan KonsultasiDalam kasus yang terjadi di Jakarta ini tidak diuraikan secara lengkap gejala apa saja yang dialami oleh pasien dan penanganan apa saja yang telah diberikan sampai akhirnya kedua pasien meninggal. Namun, penanganan yang seharusnya dilakukan, seperti pada beberapa kasus yang telah terjadi sebelumnya di beberapa Negara, adalah pemberian anti kejang misalnya diazepam untuk mengatasi kejang yang dialami oleh pasien, pemberian lidokain ketika pasien mengalami takikardi ventrikuler untuk mengembalikan irama jantung normal, sehingga tidak berkembang menjadi fibrilasi ventrikel dan henti jantung. Jika pasien telah mengalami henti jantung, maka harus dilakukan resusitasi jantung paru serta pemberian lidokain. Setelah pasien membaik, maka pasien harus segera diintubasi dan diberikan bantuan pernafasan mekanik karena, menurut laporan kasus di Negara lain, pasien mengalami penurunan kesadaran. Pasien tidak mungkin dikembalikan ke bangsal karena membutuhkan perawatan intensif, sehingga langkah berikutnya adalah melakukan konsultasi ke ICU dan dilakukan monitoring kesadaran dan tanda-tanda vital pasien.

c. Etik dan MedikolegalDari segi etik tidak didapatkan adanya pelanggaran etika oleh dokter maupun rumah sakit. Dokter yang bertugas telah melakukan penanganan gawat darurat seperti yang diatur pada Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 17 yaitu :Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.Pada segi Rumah Sakit juga tidak didapatkan adanya pelanggaran etika seperti yang diatur pada Kode Etik Rumah sakit Indonesia yaitu :Pasal 2Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit.Pasal 4Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip baik medik maupun non medik secara baik.Pasal 9Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.Pasal 10Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien, dan tindakanapa yang hendak dilakukan. Dari segi medikolegal terdapat beberapa pasal perundangan yang dilanggar oleh PT. Kalbe Farma seperti : Permenkes nomor 10 pasal 4 tahun 2008 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen Pasal 4 mengenai Hak konsumen Pasal 8 mengenai produksi dan perdagangan barang/jasa Pasal 19 mengenai Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pasal 62 yaitu pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pasal 63 Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan1. Injeksi asam traneksamat intratekal bersifat letal dan dapat menimbulkan kejang, hipertensi tak terkendali, takikardi ventrikuler dan fibrilasi ventrikel.2. Pengemasan obat pada kemasan yang mirip dapat membahayakan nyawa pasien.3. Dalam kasus ini perlunya tenaga kesehatan agar menjalankan tindakan medis sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tetap mawas bila akan memberikan obat kepada pasien agar dapat meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan.

4.2 Saran1. Perlunya adanya Satuan Tugas yang mengatur dan melakukan audit mengenai kasus-kasus kesalahan pemberian obat maupun suatu guideline penatalaksanaan dalam berbagai variasi.2. Perlu adanya regulasi yang mengatur bahwa kemasan obat sebaiknya diberikan pembeda agar kesalahan ini tidak terulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kompas.com. Kasus tertukarnya obat buvanest hanya di RS Siloam. Cited Feb 27 2015; Available from: http://health.kompas.com/read/2015/02/19/100000823/Kasus.Tertukarnya.Obat.Buvanest.Hanya.di.RS.Siloam2. The Jakarta Post. Kalbe targeted by House investigation. Cited Feb 27 2015; Available from: http://www.thejakartapost.com/news/2015/02/21/kalbe-targeted-house-investigation.html3. Tempo.com. Komite Farmasi: Obat tertukar di bagian produksi jelas aneh. Cited Feb 27 2015; Available from: http://www.tempo.co/read/news/2015/02/27/173645794/Komite-Farmasi-Obat-Tertukar-di-Bagian-Produksi-Jelas-Aneh4. Garcha PS, Mohan CVR, Sharma RM. Death after an inadvertent intrathecal injection of tranexamic acid. 2007;104(1)241-25. Sabzi F, Teimouri H, Zokai A. Myoclonus, seizure, and ventricular fibrillation after intrathecal injection of tranexamic acid. J Tehran Univ Heart Center 2009;4:253-56. Butala BP, Shah VR, Bhosale GP, Shah RB. Medication error: subarachnoid injection of tranexamic acid. Indian Journal of Anesthesia 2012;56(2):168-707. Kaabachi O, Eddhif M, Rais K, Zaabar MA. Inadvertent intrathecal injection of tranexamic acid. Saudi Journal of Anaesthesia. 201;5(1):90-28. Hui A, Wong T, Chow K, C Szeto C. Multifocal myoclonus secondary to tranexamic acid. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2003 Apr; 74(4): 547.9. Farmakologi dan Terapi UI Edisi ke lima .Jakarta. 2007. Balai penerbit FK UI Jakarta. 818-1910. Marwoto, Aria Dian Pramatika. Anestesi Lokal/Regional. Buku Ajar anestesiologi. Fakultas kedokteran Undip. Semarang. 2010. 11. Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan12. Peraturan Menkes No 10 Pasal 4 Tahun 2008 tentang perlindungan konsumen dari obat-obatan medis13. UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.14. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology 12th Edition. 2012. Lange: San Francisco15. Betz H, B Laube. Glycine receptors: recent insights into their structura; organization and functional diversity. J Neurochem. 2006;97(6):1600-1016. Colquhoun D, Sivilotti LG. Function and structure in glycine receptors and some of their relatives. Trends Neurosci. 2004;27(6):337344.17. Pellegrini A, Giaretta D, Chemello R, Zanotto L, Testa G. Feline generalized epilepsy induced by tranexamic acid ( AMCA). Epilepsia 1982;23:35-45.

18. Yeh HM, Lau HP, Lin PL, Sun WZ, Mok MS. Convulsions and refractory ventricular fibrillation after intrathecal injection of a massive dose of tranexamic acid. Anesthesiology. 2003;98(1):270272.19. Veisi F, Salimi B, Mohseni G, Golfam P, Kolyaei A. Accidental Intrathecal Injection of Tranexamic Acid in Caesarean Section: A Fatal Medication Error. Anesthesia Patient Safety Foundation 2010.20. Furtmuller R, Schlag M, Berger M, et al. Tranexamic Acid, a Widely Used Antifibrinolytic Agent, Causes Convulsions by a -Aminobutyric AcidA Receptor Antagonistic Effect JPET 2002;301:168-173.21. Mahmoud K, Ammar A. Accidental Intrathecal Injection of Tranexamic Acid. Case Reports in Anesthesiology 2012;2012.22. Raghu K, Shrevanni P, Haneef M, Ramyakumar, Rao M. Accidental Intrathecal Injection of Tranexamic Acid in a Term Gestation. Internationla Journal of Neuro & Spinal Sciences 2013;1.23. Srivasta U, Joshi K, Gupta V, et al. Accidental Injection Of Tranexamic Acid Into Subarachnoid Space Leading To Fatal Outcome: Case Report And Review. The Internet Journal of Anesthesiology 2012;30.24. Antwi-Kusi A, Awortwi W, Hemeng A. Unusual Complication Following Spinal Anesthesia for Caesarean Section. Open Journal of Anesthesiology 2013;3.25. Lecker I, Wang D, Romaschin AD, Peterson M, Mazer CD, Orser BA. Tranexamic acid concentrations associated with human seizures inhibit glycine receptors. J Clin Invest 2012;122:4654-4666.

7