180631821 SOL Intrakranial BAB II Docx
-
Upload
perawatnanggroe -
Category
Documents
-
view
163 -
download
19
Transcript of 180631821 SOL Intrakranial BAB II Docx
1
BAB I
PENDAHULUAN
II.1 Latar Belakang
Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya
lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya
meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005).
Proses desak ruang tidak saja memenuhi rongga tengkorak yang
merupakan ruang tertutup, akan tetapi proses neoplasmatik sendiri dapat
menimbulkan pendarahan setempat. Peningkatan tekanan intrakranial
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang
intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur
utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu
contoh konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying
lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun,
sedang menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10%
dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum
(Iskandar, 2002).
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,
periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space
occupying lesion intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada
wanita. Selain itu, 18 kasus ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus
terjadi pada rentan usia 20-29 tahun, 13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus
pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.
Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa
pada usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).
2
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah
Tujuan Umum
Untuk mengetahui prinsip hukum Monroe-Kelly tentang tekanan
intrakranial.
Untuk mengetahui macam keluhan dan gejala yang disebabkan
oleh space occupying lesion intrakranial.
Untuk mengetahui mekanisme patofisiologi dan mcam-macam
space occupying lesion intrakranial.
Untuk mengetahui penegakan diagnosis space occupying lesion
intrakranial.
Untk mengetahui penatalaksanaan keluhan dan gejala space
occupying lesion intrakranial.
Tujuan Khusus
Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai space occupying
lesion (SOL) intrakranial.
I.3 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah mampu
memberikan pengetahuan dan wawasan tentang space occupying lesion
(SOL) intrakranial bagi mahasiswa dan pembaca.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie
Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200
mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra
kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat
sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang
intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume
pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang
yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial
(Lombardo,2006 ).
Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume
dari ruang tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang
intra kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie
(Sumardjono,2004).
Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling
besar, kurang lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler,
venula, dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi
kapasitas variasi yang cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada
keadaan tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS
dapat dikeluarkan.
4
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie (Sumardjono,2004)
Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari
20 mmHg dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
kenaikan TIK berat (Sumardjono,2004).
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra
kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya
tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra
kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan
penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48
jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan
Perfusi Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK
5
harus diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka
dapat terjadi kematian (Sumardjono,2004).
Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya
(Sumardjono,2004)
II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial
II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau
sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati
ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi
tumor, hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).
II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen
yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai
sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki
tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
6
Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan
menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini
berasal dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua
ventrikel lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus
koroideus dan kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan
yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam
ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,
cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke
dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat
melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu
foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu
rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum
(Guyton, 2007).
Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang
mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam
vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton, 2007).
7
Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal
(Guyton, 2007)
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg.
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005).
Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu
dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15
mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas
40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab
peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma
kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai
8
tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan
intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan
meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini
mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang
makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah
perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).
Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan
Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.
(Satyanegara, 2010)
II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion
1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau
proses desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam
rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial (Satyanegara, 2010)
9
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada
prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi
klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat
keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi
makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan atas
kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang
jelas, tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ
sekitar. Selain itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul
serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi setelah
dilakukan pengangkatan total. Secara histologis,
menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a
tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi
struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur
tanpa adanya formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi
destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta
cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca
pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik
progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya
disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan
kenaikan intrakranial (Price, 2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak
dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat
tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.
Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai
hilangnya fungsi secara akut dan gangguan serebrovaskular primer.
10
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron
dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah
ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga
menekan parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan
neurologis fokal (Price, 2005).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya
massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada
ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema akibat
kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan volume
intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan
serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid
menimbulkan hidrosefalus (Price, 2005).
Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan
Intrakranial
Dikutip dari: Buka Ilmu Bedah Saraf Satyanegara,
2010
Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa
apabila terjadi cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme
kompensasi antara lain bekerja menurunkan volume darah
intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel,
11
dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak
diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum. Herniasi
unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior
melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi
menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil
serebelum bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu
massa posterior (Price, 2005).
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow
berdasarkan tampilan sitologinya dan dalam perkembangan
selanjutnya dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-
peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi universal awal
dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926) berdasarkan histogenesis
sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya
pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti
lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang
dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari
oleh sistem gradasi keganasan di atas dan menghubungkannya
dengan prognosis.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan
Cushing Kernohan
Astrositoma
Oligodendroglioma
Ependioma
Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme
Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma
Meduloblastoma
Astrositoma grade III dan IV
12
Pinealoma (teratoma)
Ganglioneuroma (glioma)
Neuroblastoma
Papiloma pleksus khoroid
Tumor “unclassified”
Pinealoma
Neuroastrositoma grade I
Neuroastrositoma grade II−III
Tumor campur
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010
Astrositoma
Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer
yang tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen
yang berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti
astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas
seperti glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik
biasanya adalah lesi infiltratif berbatas samar yang menyebabkan
parenkim membesar dan batas substansia grisea/substansia alba
kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambar 2.4 Astrositoma
13
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 2.6 MRI Anaplastik Astrositoma
(Buku Ilmu Bedah Saraf Sastranegara, 2010)
Oligodendroglioma
Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa
dan biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan
sitogenik yang sering terjadi pada oligodendroglioma adalah
hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom 19 dan
lengan pendek kromosom 1. Secara makroskopis, oligodendroglioma
biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas yang lebih
tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan
dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam (Vinay
Kumar dkk, 2007).
14
Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit
diperkirakan. Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan
kontras dalam pemeriksaan radiografik, aktivitas proliferatif, dan
karakteristik sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis
(Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma
Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar
muncul di dalam salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis
di korda spinalis. Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada
dua dekade pertama kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama
pada orang dewasa. Ependioma intrakranial paling sering timbul di
ventrikel keempat, tempat tumor ini mungkin menyumbat CSS dan
menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial
(Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari
dinding ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam
rongga ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang dengan
papilar yang jelas (Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi
neoplasma. Tumor intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan
tanda peningkatan tekanan intrakranial. Karena lokasinya di dalam
sistem ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang
subarakhnoid (Vinay Kumar dkk, 2007).
15
Gambar 2.7 Ependimoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Glioblastoma
Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas
atau neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat
berupa masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah
nekrosis dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai
dengan suatu daerah bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan
(Vinay Kumar dkk, 2007).
16
Gambar 2.8 Glioblastoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 2.9 MRI Glioblastoma
(Buku Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010)
17
Meduloblastoma
Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan
bertumbuh sangat cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak.
Sekitar 20% neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma
(Arthur, 2012).
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di
infratentorial, di bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel
ke empat. Pada analisis kromosom ditemukan hilangnya informasi
genetik di bagian distal kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari
regio yang mengkode protein p53 pada sebagian besar pasien. Ini
diduga bertanggung jawab terhadap perubahan neoplastik dari sel-sel
punca serebelum menjadi neoplasma (Arthur, 2012).
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata
ditegakkan 1 – 5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis
yang ada timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi
intrakranial. Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan
mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan
terlihat anak berjalan seperti tersandung, sering jatuh, melihat dobel,
dan mata menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan
pemeriksaan neurologis yang secara khas akan memperlihatkan
papiledema atau paresis nervus abdusens (n. VI) (Arthur, 2012).
18
Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma
(Netter’s Neurology, 2012)
Tumor Pleksus Khoroid
Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa
massa dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk
mirip dengan kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk sesuai
dengan kontur ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi melalui
foramen-foramen ke dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke
dalam rongga subarakhnoid. Tumor ini mendesak jaringan otak
namun tidak menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal.
Tumor intraventrikel IV dapat menimbulkan gejala nistagmus dan
ataksia (Vinay Kumar dkk, 2007).
2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui
19
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian
dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price,
2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau
tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang teroenting adalah pupil mata
anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
20
Gambar 2.11 Hematom Epidural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang
menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran
hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh
karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika
dibandingkan dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala
timbul pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul
antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul
sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera.
Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki
mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien
21
yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya
mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan
dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang
selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua
minggu setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita
hematom subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam
beberapa jam. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan
hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak
merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan
tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat timbunan darah
akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral dan
timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak (Price,
2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya
tertunda beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah
cidera awal. Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan
gejala awal demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke
dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan,
darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma.
Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan
22
lebih lanjut akibat robekan membran atau pembuluh darah di
sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan
hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-
unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-
perubahan yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala
dan tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda
perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif dalam
tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian
dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan
kognitif yang lebih tinggi (Price, 2005).
Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural
Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005
Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan
hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang
(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang
dianggap sebagai neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat,
2004).
23
Gambar 2.13 Hematom Subdural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan
selaput arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke
ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan
tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat,
2004).
24
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space
Occupying Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum
dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.
Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang
memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya
umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala (Syaiful Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Sakit kepala merupakan gejala umum yang dapat sirasakan
pada tahap tumor intrakranial. Sifat sakit kepala tersebut berupa
nyeri berdenyut-denyuatau rasa penuh dikepala seolah-olah
kepala mau meledak. Kebanyakan struktur di kepala tidak
sensitif nyeri, ahli bedah saraf dapat melakukan kraniotomi
major dalam anestesia lokal karena tulang tengkorak dan otak
sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri
didalam kranium adalah arteria meningeal media beserta
cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging
veins, serta dura didasar fossa kranial. Peninggian tekanan
intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi membendung
dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus venosus
serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal. Nyeri
yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori
kranial kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga
disebabkan oleh spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini
mungkin berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks
bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful Saanin, 2012).
25
Nyeri kepala paling hebat dirasakan pada pagi hari, karena
selama tidur malam PCO2 serebral ,meningkat, sehingga
mengakibatkan peningkatan cerebral blood flow (CBF) dan
dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Lonjakan
tekanan intrakranial sejenak karena batuk, mengejan atau
berbangkis memperberat nyeri kepala (Mahar Mardjono, 1989).
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel
keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi
hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah sering
timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini disebabkan
oleh tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur
malam sehingga PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah
penderita dengan tekanan intrakranial yang meninggi adalah
khas, yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual (Mahar
Mardjono, 1989).
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih
dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan
dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi
drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan
menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina
26
serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus
(Syaiful Saanin, 2012).
II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah
sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat,
papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan
gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor
pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit
neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin,
2004, Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium
dapat berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi
dapat menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan
dapat pula menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan
otak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang
berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan
neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada
vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya tumor di
fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini
mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang
berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga
tekanan dapat meninggi dengan cepat.
27
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari
fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke kolong tepi
bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon
yang pertama kali mengalami gangguan, melainkan bagian
ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan
kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi
tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium.
Pupil yang melebar merupakan cerminan dari terjepitnya
nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap
berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan
menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang
supratentorial dan secara berangsur-angsur akan menimbulkan
kompresi ke bagian rostral batang otak. Tanda bahwa suatu
tumor supratentorial mulai menggangu diansefalon biasanya
berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah
keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang
otak akan menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri
dan kanan
28
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk
melonjak terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan
tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula
oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler
dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan gangguan
pada medula oblongata, pons, ataupun mesensefalon akan
terjadi.
2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial
atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering
adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala
hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas)
menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna
(jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat
berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya
memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior
atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan
gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor
otak yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya
29
tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering
diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan
aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada
50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor
supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian
frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke
oksiput dan leher. Sakit kepala merupakan gejala umum yang
dirasakan pada tumor intrakranium. Sifat dari sakit kepala itu
adalah nyeri berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala
seolaholah mau meledak. Nyerinya paling hebat di pagi hari,
karena selama tidur malam PCO2 arteri serebral meningkat
sehingga mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan
demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium. Lokalisasai
nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas,
mungkin saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma
pada tahap dini dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan
gejala apapun. Sebaliknya, astrositoma derajat 1 sekalipun
dapat berefek buruk jika menduduki daerah yang penting,
misalnya daerah bicara motorik Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS.
Karena itu, sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk
waktu yang lama tidak menunjukkan gejala defisit neurologik.
Tumor infratentorial yang berlokasi di samping (unilateral)
cepat menimbulkan gejala defisit neurologik akibat pergeseran
atau atau desakan terhadap batang otak. Maka dari itu, tuli
sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus, oftalmoplegia
(paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan) perifer
fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan
dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh
30
oftalmoplegia (yang menimbulkan diplopia). Kombinasi
pusing kepala ataupun sakit kepala dan diplopia harus
menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya tumor serebri,
terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan
efek dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya
pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari,
dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual
menambah kecurigaan adanya massa intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur.
Hal ini disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi
selama tidur malam, di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat
muntah dari penderita dengan tekanan intrakranium meninggi
adalah khas, yaitu proyektil atau muncrat yang tanpa didahului
mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan
intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama sebagai
gejala dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya
timbul pada tumor di fosa kranium posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-
gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau
temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani
dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.
(4,9,10) Tumor di sebagian besar otak dapat mengakibatkan
gangguan mental, misalnya demensia, apatia, gangguan watak
31
dan serta gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi
juga akan terjadi terutama jika tumor tersebut mendesak sistem
limbik (khususnya amigdala dan girus cinguli) karena sistem
limbik merupakan pusat pengatur emosi.
e. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor
otak, sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera
dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan
gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil
yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta,
penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan
penglihatan kabur yang tidak menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya
lambat seperti astrositoma, oligodendroglioma dan
meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal
baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.
II.3.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion
Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi
fokal yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan
muntah dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan.
Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di
bagian otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di
bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran
32
intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan
disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain
dari tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah
premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan
refleks memegang dan anosmia (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum
yang diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau
parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang.
Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan
kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi.
Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
2. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah
motorik sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral
sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah
menimbulkan destruksi strukturil, maka gejalanya berupa
hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk
serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior
akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
3. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis
kurang menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan
timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan
terjadi gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi
auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan
dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus
33
temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan
kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
4. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah
sensorik. Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil,
maka segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral
yang bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini
akan menimbulkan astereognosia dan ataksia sensorik. Bila
bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul gejala
yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat
terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic radiation
sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari lobus
parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan
lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan
fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk
mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta
apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang
bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik).
Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala
utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain
diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral
dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
34
5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala
yang muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput.
Kemudian dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia
homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering
ditandai dengan persepsi kontralateral episodik terhadap
cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri (Saanin, 2004,
Bradley, 2000)
.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala
yang baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering
timbul dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor
yang menduduki korpus kalosum (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan
hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan
ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal
dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga
menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea,
galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
8. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek
lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan
ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan
35
hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput
merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor
serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.
II.3.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil
dari lokasi tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur
intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan
kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor pada
korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia) (Bradley,
2000).
Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada
tumor intrakranium (Bradley, 2000):
1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat
tekanan intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan
pada nervus optikus secara langsung. Papil akan terlihat berwarna
merah tua dan ada perdarahan di sekitarnya. Untuk melihat
papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau oftalmoskopi.
Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula
spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan
tercermin pada ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada
kedaan demikian, fungsi lumbal tidak boleh dilakukan dapat
menyebabkan herniasi serebelum di foramen magnus yang dapat
mengkahiri kehidupan.
36
2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat
menyebabkan ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.
3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan
gangguan pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga
menimbulkan bradikardi (melambatnya denyut jantung) atau
tekanan darah sistemik meningkat secara progresif
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang
otak dari luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi
sentral rostro-kaudal terhadap batang otak menyebabkan
pernafasan yang lambat namun dalam.
5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi.
Penipisan tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat,
sedangkan penebalan tulang sebagai akibat rangsang dari
meningioma yang gepeng.
II.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial
Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):
a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi
yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini
dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di
medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan
menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan
pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
37
Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat
berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus
atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema
otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata
38
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil
nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil
odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi (EEG) adalah tehnik untuk merekan aktivitas
elektrik otak melalui tengkorak utuh. Tindakan pemeriksaan ini aman
dan sama sekali tidak menyakiti orang yang diperiksa.
Elektroensefalografi dapat mengungkapkan tanda-tanda gangguan
fungsi otak fokal atau global, seperti disfungsi otak pada penderita
epilepsi, tumor serebri, infark, hemoragi, kontusia serebri, ensefalitis
dan berbagai keadaan psikiatrik (Mahar Mardjono, 1989).
Garis-garis besar tehnik perekaman adalah dengan elektroda yang
ditempelkan pada berbagai daerah tengkorak potensial permukaan
otak direkam. Perekaman ini berlalu terus menerus untuk episoda
beberapa menit. Hasilnya dicatat pada kertas yang berjalan. Kecepatan
jalannya kertas dapat diatur, sehingga kertas dapat berjalan 1,5 cm, 3
cm dan 6 cm perdetik. Viltasi yang direkam oleh galvanometer
dilakukan oleh alat pencatat, sehingga potensial tercatat dengan tinta
pada kertas yang berjalan berupa gelombang-gelombang. Ini
dilakukan melalui alat amplifikasi supaya potensial otak sebesar 50
mikrovolt dapat diperbesar sehingga dapat menggerakkan pena
pencatat. Dengan memasang 16 elektroda pada tempat-tempat di
tengkorak, aktivitas seluruh otak dapat diselidiki (Mahar Mardjono,
1989).
Seluruh korteks serebri merupakan medan listrik yang diproduksi
pada ujung-ujung dendrit. Potensial neuron pada setiap waktu
berbeda, sehingga potensial dendritik pada korteks selalu berubah
39
juga. Fluktuasi potensi inilah yang tercatat pada kertas
elektroensefalografi dan dikelompokkan 4 jenis gelombang menurut
frekuensinya, yaitu (Mahar Mardjono, 1989):
1. Gelombang alfa, bersiklus 8-13 perdetik.
2. Gelombang beta, bersiklus lebih dari 13 perdetik.
3. Gelombang teta, bersiklus 4-7 perdetik.
4. Gelombang delta, bersiklus kurang dari 4 perdetik.
Gambar 2.14 Gambaran Gelombang Alfa, Beta, Teta, dan Delta
(Neurologi Klinis Dasar, 1989)
Proses desak ruang intrakranial mencakup tumor serebri, abses
serebri dan perdarahan di dalam ruang tengkorak. Sebuah lesi
struktural di otak yang agak akut pada salah satu hemisferium
biasanya menimbulkan gelombang delta pada tempat lesinya atau di
daerah sekitarnya. Abses serebri biasanya membangkitkan aktivitas
delta dengan amplitudo yang tinggi (Mahar Mardjono, 1989).
Jenis proses desak ruang intrakranial lain yang dapat diungkapkan
oleh elektroensefalografi adalah hematoma subdural. Elektroda yang
merekan aktivitas korteks yang tertindih oleh hematoma subdural
memperlihatkan supresi dari gelombang alfa dan timbulnya
gelombang lambat yang tidak teratur (Mahar Mardjono, 1989).
40
Tumor serebri yang berada di fossa kranii posterior atau di jaringan
otak pada garis tengah yang terletak jauh dari permukaan otak,
biasanya tidak menimbulkan gambaran yang khas, yang diperlihatkan
elektriensefalografi dalam keadaan tersebut adalah letupan gelombang
teta atau delta secara paroksimal pada seluruh permukaan (Mahar
Mardjono, 1989).
Foto polos kepala
Pada Anak:
1. Sutura melebar
Pada umur 7 tahun sutura mulai mendekati dimana hal
ini mungkin terlihat setelah umur 14 atau 15 tahun. Keadaan ini
tidak terlihat setelah umur 25 atau 30 tahun.
Satura yang melebar ini terutama jelas terlihat pada
sutura koronaria dan sutura sagitalis serta jarang terlihat pada
sutura lambdoidea (Iskandar,2002).
2. Ukuran kepala yang membesar
Ukuran kepala yang membesar dijumpai pada:
• Ventrikel yang membesar
Pada hidrosefalus ditemukan ventrikel yang
membesar, misalnya disebabkan oleh suatu stenosis
aquaduktus Sylvii, Arnold Chiari Malfornation atau Dendy
Walker Cyst (Iskandar,2002).
• Ventrikel yang normal
Dijumpai pada edem serebri, space ocuping lesion
dan megalencephaly (Iskandar,2002).
3. Craniolacunia
Craniolacunia adalah suatu gambaran menyerupai alur
yang berbentuk oval atau seperti jari pada tabula interns dengan
diantaranya terdapat bony ridge. Tanda ini terlihat pada
neonatus sampai bayi berumur 6 bulan. Keadaan ini
berhubungan dengan myelomeningocele, ecephalecele, stenosis
41
aquaductus sylvii dan arnold chiari malformation
(Iskandar,2002).
4. Erosi dorsum sellae
Pada anak-anak erosi dorsum sellae merupakan tanda
lanjut dari tekanan tinggi intrakranial. Untuk terjadinya erosi
dorsum sellae membutuhkan waktu beberapa minggu. Keadaan
ini hanya terlihat pada 30% kasus dengan tekanan tinggi
intrakranial. Jika erosi dorsum sellae tidak disertai dengan
sutura yang melebar, umumnya hal ini disebabkan oleh lesi
fokal pada daerah sella (Iskandar,2002).
5. Bertambahnya convolutional marking
Untuk suatu tekanan tinggi intrakranial bertambahnya
convolutional marking tidak dapat dipercaya. Dalam keadaan
normal keadaan ini bervariasi antara umur 4-10 tahun
(Iskandar,2002).
Pada dewasa
1. Erosi dorsum sellae
Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae
dan merupakan gambaran yang khas. Pada tekanan tinggi
intrakranial yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak
jelas terlihat. Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum
sellae disebabkan oleh tekanan dari dilatasi ventrikel III dan
pada umumnya ditemukan pada penderita dengan tumor pada
fossa posterior dan hidrosefalus. Erosi sellae oleh karena
tekanan tinggi intrakranial harus dibedakan dari lesi destruksi
lokal. Selain daripada adenoma pituitaria yang terdiri atas
meningioma, chordoma, craniopharyngioma dan aneurisma
(Iskandar,2002).
2. Pergeseran kelenjar pineal
Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik,
kelenjar pineal terlihat terletak di garis tengah. Jika terjadi
42
pergeseran dari kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada
satu sisi garis tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial.
Pada umumnya sebagai penyebabnya adalah tumor
intrakranial, tetapi lesi seperti subdural hematom dan massa
non neoplastik dapat menyebabkan hal yang sama
(Iskandar,2002).
3. Kalsifikasi Patologi
Pada space occupying lession dapat terlihat adanya
kalsifikasi yang patologik. Keadaan ini terlihat dengan
gambaran radiologik kira-kira pada 5%-10% kasus
(Iskandar,2002).
Arteriografi
Arteriografi karotis dan vertebralis merupakan metode radiologik
dengan jalan pembuatan foto rontgen pembuluh-pembuluh darah
intrakranial setelah arteri karotis atau arteri vertebralis diisi dengan
substansi radio-opak. Yang umum digunakan adalah hypaque 50%.
Sebanyak 30 sampai 40 mL, hypaque disuntikkan dengan tekanan
yang cukup besar untuk dapat disemprotkan di dalam arteri karotis
interna atau arteri vertebralis. Dengan demikian, bentuk dan
perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna atau arteri basilaris
dapat divisualisasika pada doto-rontgen. Oleh karena susunan
pembuluh darah yang divisualisasikan oleh arteriografi (angiogram)
karotis dan vertebral, maka pemeriksaan ini dikerjakan dengan
maksud untuk mendapatkan informasi yang mengungkapkan kelainan
pada susunan vaskular. Kelainan tersebut dapat bersifat gangguan
intraluminal (obstruksi, dilatasi patologik seperti aneurisma,
malformasi vaskular0 atau gangguan ekstravaskular yang menggeser,
menarik dan menekan suatu pembuluh darah setempat (Mahar
Mardjono, 1989).
Letak, bentuk dan perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna
pada orang yang sehat menunjukkan variasi yang berarti. Pada arteri
43
karotis interna lateral tampak arteri oftalmika sebagai cabang kecil
pertama dari arteri karotis interna pada sifon bagian tengahnya.
Setinggi itu arteri serebri posterior meninggalkan karotis interna dari
belakang. Pada ujung arteri karotis terlihat cabang-cabang yang
menuju ke depan yaitu arteri serebri anterior yang kemudian
memberikan cabang yang dinamakan arteri kalosomarginalis dan
arteri perikalosa. Ke dorsal dan sentral ujung arteri karotis interna
memberikan cabang-cabang yang dinamakan arteri kelompok Sylvius
dimana yang terbesar dikenal sebagai arteri serebri media dan yang
berukuran sedang dikenal dengan arteri temporalis media dan arteri
tempralis posterior. Di bawah pangkal arteri kelompok Sylvius terlihat
arteri koroidea yang berinduk pada dinding belakang arteri karotis
interna (Mahar Mardjono, 1989).
Gambar 2.15 Arteriografi Karotis Lateral yang Normal
(Mahar Mardjono, 1989)
Pada arteriogram karotis dengan proyeksi pemotretan
anterioposterior dapan dipelajari cabang-cabang besar arteri karotis
44
interna. Arteri serebri anterior berjalan tepat di garis tengah dan sifon
karotis berada dipangkalnya. Kelompok sifon karotis ke arah tempral
terdiri dari cabang-cabang kelompok Sylvius. Arteriogram vertebralis
lebih sukar untuk dipelajari. Namun, cabang arteri masih dapat
dikenali (Mahar Mardjono, 1989).
Gambar 2.16 Arteriografi karotis Anterior yang Normal
(Mahar Mardjono, 1989)
45
Gambar 2.17 Arteriogram Vertebralis
(Mahar Mardjono, 1989)
Perjalanan arteri yang patologik diberi julukan yang
menggambarkan polanya. Tanda memegang (grasping sign) adalah
pola cabang-cabang arteri yang seolah-olah memegang tumor. Tanda
yang dulukis sebagai draping sign atau tanda menudungi adalah
perjalan cabang arteri yang seolah-olah menuduni tumor (Mahar
Mardjono, 1989).
Bila terdapat tumor yang mendesak pangkal cabang-cabang arteri
tertentu, maka sudut yang terbentuk oleh cabang-cabang arteri
emnjadi runcing seolah-oleh cabang tersebut hendak memasuki
terowongan. Tanda yang terlukis dinamakan telescoping of the blood
46
vessels atau penguncupan cabang-cabang pembuluh darah. Tumor
serebri dapat menyisihkan pembuluh darah ke samping, sehingga
cabang-cabang pembuluh darah yang bersangkutan terbentang. Tanda
ini dikenal dengan spread-out blood vessels (Mahar Mardjono, 1989).
Gambar 2.18 Arteriogram karotis Normal dengan Contoh-Contoh
Arteriogram Berpola Abnormal
(Mahar Mardjono, 1989)
Computerized Tomografi (CT Scan)
CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta
mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan
pada tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis,
sedang pada parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan
juga dapat menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa
daerah hipodensiti. Setelah pemberian kontrast, akan terlihat kontrast
47
enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah
hiperdensiti (Iskandar,2002).
Kelemahan CT Scan menurut Davuis (1976) kurang mengetahui
adanya tumor yang berpenampang kurang dri 1,5 cm dan yang terletak
pada basis kranii (Iskandar,2002).
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan
antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi. (Iskandar,2002)
II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying
Lesion
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan tekanan intrakranial
adalah pengangkatan dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan
hematoma. Peningkatan tekanan intrakranial pasca operasi jarang terjadi
hari-hari ini dengan meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik
khusus untuk menghindari pengangkatan otak. Peningkatan tekanan
intrakranial adalah sebuah fenomena sementara yang berlangsung untuk
waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder segar karena hipoksia,
bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan untuk mencegah
peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan membantu. Berikut
merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Widjoseno, 2004, Eccher,2004).
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan tekanan intrakranial adalah
untuk mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial memerlukan intubasi.
Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk
melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan
48
intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan
positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang
kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan
meningkatkan tekanan intrakranial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung
kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa
pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian
analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam
kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan tekanan intrakranial pada komdisi normal dan pada
pasien dengan cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan
hidrostatis cairan serebrospinal yang akan menghasilkan aliran balik
vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi
pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala
menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke
salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada leher akan
meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan
memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat
membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian
menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan
cedera kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan
kondisi yang lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada
pasein dengan tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk
terjadinya kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
49
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga
cerebral blood flow akan turun dan volume darah otak
berkurang dan dengan demikian mengurangi tekanan
intrakranial. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus
dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-
140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi
pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai tekanan intrakranial
turun. Hyper barik O2, hipotermia masih dalam tahap
percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada dasarnya
menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi volume
darah otak dan tekanan intrakranial (Kaye, 2005, Eccher,2004).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi tekanan intrakranial, tetapi hanya jika
digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang
paling umum digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai
scavenger radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak
berbahaya. Gliserol dan urea merupak golongan yang jarang
digunakan hari ini. Beberapa teori telah dikemukakan mengenai
mekanisme yang mengurangi tekanan intrakranial (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
50
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang
menurunkan viskositas darah dan menyebabkan
vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan
menurunkan tekanan intrakranial dan dapat mengurangi
produksi cairan serebrospinal oleh pleksus choroideus.
Dalam dosis kecil dapat melindungi otak dari iskemik
karena fleksibilitas eritrosit meningkat (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas
sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang
signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih
baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan
oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24
jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih
umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.
Efek Manitol pada tekanan intrakranial maksimal adalah 1 /
2 jam setelah infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam
sebagai sebuah aturan. Dosis yang benar adalah dosis
terkecil yang akan berpengaruh cukup terhadap tekanan
intrakranial. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan
garis dasar osmolalitas serum meningkat secara bertahap
dan saat ini melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus
dihentikan. Penggunaan lebih lanjut tidak efektif dan
cenderung menimbulkan gagal ginjal. Diuretik seperti
furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan
manitol untuk mempercepat ekskresi dan mengurangi
osmolalitas serum awal sebelum dosis berikutnya. Beberapa
mengklaim, bahwa furosemid manitol dapat meningkatkan
output. Beberapa memberikan furosemid sebelum manitol,
sehingga mengurangi overload sirkulasi. Fenomena
51
rebound adalah karena pembalikan gradien osmo tekanan
intrakranial sebagai akibat kebocoran progresif dari agen
osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau karena
tekanan intrakranial yang meningkat kembali (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial ketika tindakan-
tindakan lain gagal, tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka
menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan menekan
metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan dengan
demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan
penurunan tekanan intrakranial. Fenobarbital yang paling banyak
digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30 menit dan 1-
3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk memantau
dekat tekanan intrakranial dan ketidakstabilan hemodinamik harus
menemani setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan
masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas
dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema.
Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi tekanan cerebral blood
flow dan arteri sehingga mengurangi tekanan intrakranial. Selain itu
mengurangi metabolisme otak dan permintaan energi yang
memfasilitasi penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi
yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari
temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini
dapat mungkin menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan
metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau
kurang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi
ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada
52
peningkatan tekanan intrakranial.. Penggunaan metode ini hanya
direkomendasikan pada ahli yang berpengalaman yang benar-benar
mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan dengan hipotermia
dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut. Komplikasi
dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di
bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi
seperti pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan
diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis
didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari
nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan
penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan
memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150
mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada
pasien dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu
perdarahan memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur
secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter
dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk
mengeluarkan cairan serebrospinal dengan tujuan untuk mengurangi
tekanan intrakranial. Drain tipe ini dikenal dengan EVD
(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf
dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi tekanan
intrakranial, Drainase tekanan intrakranial melalui punksi lumbal dapat
digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
53
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan
tekanan intrakranial tersebut telah disingkirkan. Material sintetik
digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang
diangkat. Tindakan pemasangan material sintetik ini dkenal dengan
cranioplasty (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat
tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma
otak, abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi
tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk, 2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan
lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.
Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,
2010):
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
54
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID
memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi
pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum
operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang
khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum
6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat
sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka
tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau
insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang
melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran
tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi
dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan
suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti
pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang
telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan
akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di
dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit
dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri
yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin
bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena,
kelainannya dipotong kemudian disambung kembali dengan pembuluh
darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
55
Hidrosefalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak
beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat
shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang
tersumbat ke tempat lain dengan menggunakan alat sejenis kateter
berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus berkembang, seperti Matson
(1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke saluran kencing
(ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter
(1952), Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan
pintasan ke arah ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut
(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah dengan menggunakan katup
pengaman.Teknologi pintasan terus berkembang dengan ditemukan bahan-
bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya menggunakan bahan
polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu ditanam di jaringan
otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan seumur hidup
penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan
kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan
selaput otak yang selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul
kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu
ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung selang tersebut
dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang ditanam di bawah kulit
sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).
56
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,
serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak. Penyebabnya
meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak. Ruang intrakranial ditempati
oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan
tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial. Gejala umum timbul
karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari
tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status
mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. (Price,
2005).
III.2 Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam referat ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul ini. Penulis berharap para
pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi sempurnanya referat ini dan penulisan referat di kesempatan
berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya juga
para pembaca pada umumnya.
57
DAFTAR PUSTAKA
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Anfis.html Dr. Syaiful Saanin,
Neurosurgeon.
Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.