176577289 LAPTUT Emergency

15
LAPORAN TUTORIAL BLOK XXIV KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 1 SYOK ANAFILAKTIK SEBAGAI REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I AKIBAT INJEKSI PENICILLIN OLEH : KELOMPOK 2 Okky Dita Rachmadian G0008035 Yoni Frista Vendarani G0008039 Deliza Ardela Pravintasari G0008077 Devika Yuldharia G0008079 Dian Kartika Sari G0008081 Hanindyo Baskoro G0008103 Ike Pramastuti G0008107 Ria Rahma Agustia G0008155 Trisna Adhy Wijaya G0008177 Dian Atika Rahayu G0008207 Yusuf Allan Pascana G0008245 NAMA TUTOR : Marwoto, dr., SpMK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Transcript of 176577289 LAPTUT Emergency

  • LAPORAN TUTORIAL

    BLOK XXIV KEDARURATAN MEDIK

    SKENARIO 1

    SYOK ANAFILAKTIK SEBAGAI REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I

    AKIBAT INJEKSI PENICILLIN

    OLEH :

    KELOMPOK 2

    Okky Dita Rachmadian G0008035

    Yoni Frista Vendarani G0008039

    Deliza Ardela Pravintasari G0008077

    Devika Yuldharia G0008079

    Dian Kartika Sari G0008081

    Hanindyo Baskoro G0008103

    Ike Pramastuti G0008107

    Ria Rahma Agustia G0008155

    Trisna Adhy Wijaya G0008177

    Dian Atika Rahayu G0008207

    Yusuf Allan Pascana G0008245

    NAMA TUTOR : Marwoto, dr., SpMK

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

    2011

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG MASALAH

    Anafilaksis merupakan reaksi tipe hipersensitivitas tipe I dalam

    bentuk sistemik yang ekstrem. Pada reaksi hipersensitivitas tipe ini akan

    terjadi pelepasan mediator oleh mastosit dan basofil. Salah satu akibatnya

    adalah vasodilatasi sistemik. Vasodilatasi sistemik menghasilkan penurunan

    tekanan darah kemudian dapat berujung pada keadaan syok. Pada kasus

    anafilaksis, syok ini dinamakan syok anafilatik yang merupakan keadaan

    kedaruratan medik dan memerlukan penanganan segera.

    Data yang menjelaskan angka kejadian syok dan reaksi anafilaksis di

    Indonesia saat ini sangat terbatas. Kasus ini memang jarang terjadi, namun

    bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Penyebab dari syok anafiaktik

    bermacam-macam, misalnya makanan, obat, latex, dan reaksi imunoterapi.

    Penanganan yang lambat atau penanganan yang salah akan menyebabkan

    komplikasi serius bahkan dapat berujung pada kematian. Pada kematian

    akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada 15 hingga 20

    menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi anafilaktik

    yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps sirkulasi.

    oleh karena itu penting sekali memahami dan mengetahui tentang syok

    anafilaksis.

    Dalam laporan ini akan dipaparkan tentang syok anafilaksis, baik

    pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, maupun penanganan, serta pembahasan

    skenario.

    B. RUMUSAN MASALAH

    1. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan radang tenggorokan?

    2. Bagaimana metode yang benar dalam pemberian terapi antibiotik?

    3. Bagaimana gejala klinik pasien dengan alergi penicillin?

    4. Bagaimana epidemiologi, pathogenesis, dan gejala klinis syok anafilaktik?

  • 5. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan syok anafilaktik?

    6. Bilamana dan bagaimana pemberian terapi adrenalin dan dilakukannya

    Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO)?

    C. TUJUAN

    1. Mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan radang tenggorokan.

    2. Mengetahui metode yang benar dalam pemilihan terapi antibiotik.

    3. Mengetahui tentang syok anafilaktik yang disebabkan penicillin, meliputi

    epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, dan penatalaksanaan.

    4. Mengetahui cara pemberian adrenalin dan RJPO.

    D. MANFAAT

    1. Sebagai bahan pembelajaran mahasiswa untuk mencapai sasaran

    pembelajaran yang sudah ditetapkan.

    2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar.

    3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang syok anafilaktik sebagai

    salah satu kasus kegawatdaruratan.

    4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang indikasi pemberian

    antibiotik.

    E. HIPOTESIS

    Penicillin menyebabkan rekasi syok anafilaktik pada pasien dalam

    skenario yang harus diberikan tatalaksana dengan cepat dan cepat

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RADANG TENGGOROKAN

    (FARINGITIS)

    Faringitis merupakan radang pada dinding faring yang disebabkan oleh

    bakteri, virus, trauma, toksin, dan lain-lain. Faringitis dibagi menjadi faringitis

    akut dan kronik. Faringitis akut dapat diklasifikasikan menjadi faringitis viral,

    faringitis bakterial, faringitis fungal, dan faringitis gonorea. Sedangkan

    faringitis kronis dapat dibagi menjadi faringitis kronik hiperplastik, faringitis

    kronik atrofi, dan faringitis spesifik (Rusmarjono, 2007).

    Pada faringitis bacterial, bakteri yang sering menjadi penyebab adalah

    grup A Streptokokus hemolitikus. Gejala dan tanda yang ditimbulkan karena

    infeksi bakteri tersebut adalah nyeri kepala, muntah, demam, dan jarang

    disertai batuk. Pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang membesar, hiperemis,

    dan terdapat eksudat pada permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul

    bercak peteki pada palatum dan faring. Kelenjar limfe anterior membesar,

    kenyal, dan nyeri.

    Terapi pada faringitis adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotik

    yang diberikan adalah penicillin G banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal,

    atau amoxicillin oral 50mg/kgBB, 3 kali sehari selama 10 hari. Selain

    antibiotik, diberikan juga kortikosteroid dexametason 8-16 mg IM, satu kali.

    Untuk mengurangi sakit diberikan analgetika (Rusmarjono, 2007).

    B. TERAPI DENGAN ANTIBIOTIK

    Antibiotic memiliki sifat toksisitas selektif, yaitu hanya bekerja pada sel

    yang terinfeksi, tanpa merusak sel sekitar yang masih sehat. Berdasarkan sifat

    toksisitas selektif, antibiotic dapt bersifat bakterisid dan dapat pula

    bakteriostatik.

  • Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibagi menjadi lima kelompok,

    yaitu:

    1. Penghambat metabolisme sel mikroba

    Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamide,

    trimetoprim, asam p-aminosalisilat, dan sulfon. Antibiotik golongan ini

    mensintesis analog dari Para Amino Benzoat (PABA) sebagai pembentuk

    asam folat bakteri. Sehingga PABA menjadi abnormal atau nonfungsional.

    2. Penghambat sintesis dinding sel mikroba

    Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah penicillin, sefalosporin,

    vankomisin, basitrasin, dan sikloserin.

    3. Penggangu keutuhan membran sel mikroba

    Obat yang termasuk golongan ini adalah polimiksin, dan beberapa

    antimikroba kemoterapeutik. Golongan ini akan merusak membran sel

    setelah bereaksi pada fosfat dalam fosfolipid membran sel bakteri.

    4. Penghambat sintesis protein sel mikroba

    Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah aminoglikosid, makrolid,

    linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Penghambat sintesis protein sel

    mikroba terjadi dalam beberapa cara. Diantaranya pembentukan protein

    nonfungsional, menghambat translokasi t-RNA peptida dari lokasi asam

    amino ke lokasi peptide, dan berikatan dengan ribosom 50S, sehingga

    protein tidak terbentuk.

    5. Penghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

    Obat yang termasuk golongan ini adalah rifampisin dan golongan kuinolon.

    Obat ini berikatan dengan enzim polymerase RNA sehingga menghambat

    sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut (Setiabudy, 2007).

    Untuk memutuskan perlu tidaknya diberikan terapi antibiotik, perlu

    dilihat gejala klinisnya. Penyakit infeksi dengan gejala ringan tidak perlu

    diberikan antibiotik. Karena antibiotik hanya mempercapat penyembuhan

    penyakit infeksi, maka antibiotik hanya diperlukan bila infeksi berlangsung

    beberapa hari dan menimbulkan gejala yang berat.

  • Sebelum diberikan antibiotik, perlu dilakukan kultur biakan kuman

    untuk mengetahui kepekaan terhadap antibiotik tersebut. Memilih antibiotik

    dengan mempertimbangkan luas spektrum tidak dibenarkan karena hasil terapi

    tidak lebih unggul daripada dengan spektrum sempit. Selain itu superinfeksi

    juga sering terjadi dengan antibiotik berspektrum luas (Nelwan, 2006).

    C. SYOK

    Syok merupakan keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila

    pasokan oksigen ke mitokondria sel di seluruh sel tubuh tidak mampu

    memenuhi kebutuhan konsumsi oksigen. Sebagai akibat dari kurangnya

    oksigen di mitokondria, maka terjadilah metabolisme anaerob, yang bila

    berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan irreversibel jaringan. Syok

    dapat dibagi menjadi :

    1. Syok neurogenik : terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan

    2. Syok hipovolemik : terjadi karena hilangnya cairan intravaskuler

    3. Syok Kardiogenik : terjadi karena kegagalan fungsi pompa jantung

    4. Syok septik : terjadi karena infeksi sistemik berat

    5. Syok anafilaktik : terjadi karena reaksi imun yang berlebihan

  • Gejala dan tanda dari masing-masing jenis syok dapat dilihat pada tabel

    berikut :

    Gejala

    dan Tanda

    Septik Hipovolemik Anafilaksis Kardiogenik Neurogenik

    Tekanan darah N/-/-- -/-- -/-- -/-- N

    Tekanan nadi N/+/++ -/-- -/-- -/-- N

    Denyut nadi +/++ +/++ +/++ + Lambat

    Isi nadi Besar Kecil N/kecil N/kecil N

    Vasokonstriksi

    perifer

    Tidak ada + + +(-) N/+

    Suhu kulit Hangat Dingin Dingin Dingin N

    Warna Merah Pucat N/pucat N/pucat N/ pucat

    Tekanan vena

    sentral

    N/rendah N/rendah N/rendah Tinggi N

    Diuresis -/-- -- - -/-- N

    EKG N N N Abnormal N

    Foto Paru Udem

    infiltrate

    N N Udem N

    Tatalaksana syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan

    perfusi jaringan dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak bergantung pada jenis

    syok. Untuk memenuhi perfusi jaringan dan kebutukan metabolit dapat

    dipenuhi, maka dibutuhkan tekanan darah sebesar 70-80 mmHg. Tekanan darah

    ini dapat dicapai dengan prinsip resusitasi ABC (Airway, Breathing,

    Circulation). Selain itu diberikan pula cairan plasma atau pengganti plasma

    untuk meningkatkan tekanan osmotik intravaskuler. Pemantauan terhadap

    pasien syok perlu terus-menerus dilakukan, yaitu meliputi suhu badan, denyut

    nadi, tekanan darah, pernapasan, dan kesadaran (Sjamsuhidajat, 2005).

  • D. SYOK ANAFILAKTIK

    Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek beberapa organ,

    terutama kardiovaskuler, respirasi, dan gastrointestinal. Anafilaktik merupakan

    reaksi imunologi (hipersensitivitas tipe I) yang didahului dengan terpaparnya

    alergi yang sebelumnya telah tersensitasi. Syok anafilaktik adalah reaksi

    anafilaksis yang disertai dengan hipotensi dengan atau tanpa penurunan

    kesadaran.

    Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase, yaitu :

    1. Fase sensitasi

    Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentuan IgE sampai

    diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel basofil. Allergen yang

    masuk dipresentasikan kepada Limfosit T oleh makrofag. Kemudian

    limfosit T akan mngeluarkan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi sel B

    berploriferasi menjadi sel plasma. Kemudian akan diproduksi IgE yang

    berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan sel basofil.

    2. Fase aktivasi

    Merupakan waktu selama terjadinya paparam ulang oleh antigen

    yang sama. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan isinya berupa granula

    yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Alergen yang sama akan

    diikat oleh IgE spesifik yang berakibat keluarnya mediator vasoaktif seperti

    histamin, serotonin, bradikinin, dan vasoaktif lain.

    3. Fase efektor

    Merupakan waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek

    mediator yang dilepas basofil. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

    meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan udem,

    sekresi mukus, dan vasodilatasi. Serotonin berakibat meningkatnya

    permeabilitas vaskuler dan bradikinin berakibat kontraksi otot polos

    (Tomaszewski, 2001).

    Gejala permulaan dari anafilaktik adalah pusing, sakit kepala, gatal, dan

    perasaan panas pada organ. Gejala kulit yang timbul antara lain urtikaria dan

    eritem, kadang sianosis. Gejala yang timbul pada sistem respirasi adalah

  • bronkospasme, stridor, rhinitis, edem paru, batuk, napas cepat dan pendek,

    edem epiglottis, wheezing, dan obstruksi komplit. Gejala kardiovaskuler

    adalah hipotensi, sinkop, aritmi, dan diaphoresis. Sedangkan gejala sistem GIT

    adalah mual, muntah, disfagi, diare, dan inkontinensia urin.

    Diagnosis anafilaktik dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,

    dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis ditujukan untuk mendapatkan

    informasi zat penyebab anafilaksis, yaitu injeksi obat, disengat hewan, bahan

    makanan tertentu, atau setelah test kulit. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan

    umum, kesadaran, tanda vital. Pemeriksaan penunjang diantaranya EKG dan

    pemeriksaan darah hitung sel.

    Penatalaksanaan syok anafilaktik adalah sebagai berikut :

    1. Hentikan obat atau allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis

    2. Pasang tourniquet di proksimal daerah masuknya obat

    3. Posisikan penderita dengan posisi tenderlenberg, yaitu kaki lebih tinggi

    daripada kepala

    4. Bebaskan airway dan berikan oksigen 5-10 liter/menit

    5. Pasang infus dengan cairan elektrolit 0,5-1 liter dalam 30 menit

    6. Pertahankan tekanan darah sistol

    7. Injeksi adrenalin SC/IM 1:1000, 0,3-0,5 ml. dapat diulang2-3 kali dengan

    selang waktu 15-30 menit

    8. Injeksi diphenhidramin IV pelan, dengan dosis untuk anak 1-2 mg/kgBB

    9. Pemberian aminophilin bila ada spasme bronkus dengan dosis 4-6

    mg/kgBB dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit

    10. Observasi selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai membaik

    E. TERAPI ADRENALIN

    Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok

    anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,

    menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan

    aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan

    histamin dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin

    meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat

  • terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain

    itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung,

    tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan

    dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut

    dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan

    berakhir dalam waktu pendek (Hermawan, 2003).

    Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:

    1. Adrenalin subcutan

    Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada jaringan

    sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.

    2. Adrenalin Intramuscular

    Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari cara

    pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin

    memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan pada pasien

    dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih baik

    dari pada pemberian subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk

    pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin

    1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok anafilaksis.

    3. Adrenalin Intravena

    Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan

    kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin

    mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg

    (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan

    kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.

    Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari

    pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat

    selama beberapa menit.

  • BAB III

    PEMBAHASAN

    Pemberian obat kepada pasien akan menimbulkan berbagai macam reaksi

    akibat interaksi antara obat dan tubuh pasien itu sendiri. Faktor pasien yang

    mempengaruhi reaksi tersebut antara lain umur, genetik ,kehamilan, dan keadaan

    patologik tubuh pasien.

    Pada kasus dalam skenario, pasien mengalami radang tenggorokan, dapat

    dilihat dengan adanya nyeri tenggorok. Kemungkinan pasien mengalami faringitis

    bakteri, oleh sebab itu, dikter memberikan injeksi penicillin. Namun, penicillin

    tersebut menimbulkan suatu reaksi anafilaktik berupa sesak nafas, takipneu, suara

    nafas ngorok, keringat dingin, hipotensi, takikardi, nadi kecil, mual, muntah,

    pingsan, serta kesadaran sopor. Dari gejala tersebut, dapat didiagnosis bahwa pasien

    mengalami syok anafilaktik dengan manifestasi pada sistem respirasi,

    kardiovaskuler, gastrointestinal, dan SSP.

    Pengobatan yang dipilih dokter pada skenario adalah penicillin, yang

    merupakan salah satu terapi kausatif dari radang tenggorokan. Pemilihan cara

    pemberian bisa dengan intramuskular. Dosis pemberian penicillin injeksi yang benar

    pada terapi radang tenggorokan adalah 50.000 U/kgBB. Untuk dosis oral amoxicillin

    50mg/kgBB, 3 kali sehari selama 10 hari. Kesalahan dalam teknik penyuntikan dan

    dosis dapat menimbulkan efek berupa reaksi anafilaksis, misalnya penicillin yang

    seharusnya diberikan secara intramuskuler, tetapi diberikan secara intravena.

    Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan

    intravena seperti antibiotik atau media kontras. Obat suntik yang paling sering

    menimbulkan syok anafilaksis antara lain penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali

    dan kombinasi vitamin neurotropik. Reaksi anafilaktik pada pasien ini termasuk

    reaksi cepat yang berlangsung kurang dari 1 jam.

    Reaksi ini terjadi dalam tiga fase, yaitu fase sensitasi IgE yang kemudian

    menempel pada sel mast dan basofil, fase aktivasi dimana sel mast berubah dan

    membentuk granula, kemudian sel mast lisis dan mengeluarkan zat kimia atau

    berbagai mediator, dan yang terakhir adalah fase efektor, yaitu terjadinya efek yang

    kompleks pada beberapa organ. Zat-zat atau substansi tersebut, missal histamin, akan

  • menimbulkan mekanisme peningkatan permeabilitas kapiler hingga ekstravasasi dan

    penurunan volume sirkulasi, serta vasodilatasi pembuluh darah. Vasodilatasi yang

    terjadi pada syok anafilaktik mengakibatkan hipovolemik relatif dan berakibat

    tekanan darah yang turun. karena adanya keadaan hipovolemi sehingga pasokan

    darah ke otak menurun, dan sebagai kompensasinya adalah peningkatan respirasi

    rate, yang nantinya timbul takikardi.

    Selain itu, vasodilatasi juga mengakibatkan udem laring, sehingga pasien

    sesak napas. Sebagai mekanisme kompensasi karena ventilasi yang kurang,

    pernapasan meningkat, dangkal cepat, dan disertai suara ngorok.

    Penanganan dan penatalaksanaan untuk kegawatdaruratan secara spesifik

    tidak ada, namun bila dilihat secara umum, penanganan yang dilakukan dapat berupa

    penanganan yang serupa dengan keadaan trauma, yaitu primary survey.

    Penanganan awal pasien di skenario ini yaitu dengan posisi syok di mana

    kaki diletakkan lebih tinggi dari kepala sehingga menambah cairan darah yang

    mengalir ke otak kira-kira 400 cc dan mencukupi kebutuhan oksigen pada otak.

    Pembebasan jalan nafas dengan chin lift. Bila memungkinkan seharusnya segera

    dipasang infuse elektrolit untuk memberikan cairan intraseluler.

    Selanjutnya diberikan adrenalin sebagai agonis alfa reseptor yang

    mengatasi vasodilatasi perifer dan mengurangi oedem. Selain itu adrenalin juga

    sebagai agonis beta reseptor dengan efek bronkodilator, meningkatkan kontraksi

    miokardium, serta menekan pelepasan histamin dan leukotrien. Injeksi adrenalin

    dapat dimulai secara subkutan, jika tidak berhasil dapat secara IM, lalu IV ataupun

    transtrakheal, dan intrakardial yang jarang digunakan dan hanya dilakukan oleh

    dokter yang ahli. Pemberian secara IM merupakan cara yang sangat aman, sedangkan

    cara IV apabila tidak hati-hati dan perlahan dapat menyebabkan takikardia dan

    aritmia. Dosis dimulai dari yang kecil dan dapat dinaikkan. Obat alternatif lain yang

    dapat digunakan adalah aminofilin, kortikosteroid, dan antihistamin.

    Tujuan tata laksanan penanganan syok yaitu: (1) mempertahankan tekanan

    arterial rata2 di atas 60 mmHg untuk menjamin perfusi pada organ-organ vital; (2)

    mempertahankan aliran darah pada organ2 yang paling sering mengalami kerusakan

    akibat syok; dan (3) mempertahankan kadar laktat darah arterial dibawah 22mol/L.

  • Setelah penanganan awal pasien tetap tampak diam , tidak ada reaksi

    dengan tepukan dan rangsang nyeri diindikasikan mengalami henti jantung dan henti

    napas. Henti napas dan henti jantung merupakan tanda syok anafilaktik derajat berat.

    Pemberian adrenalin belum mampu mengatasi keparahan syok sehingga perlu RJPO

    dan dibawa ke UGD untuk mendapatkan penanganan segera.

    Resusitasi jantung paru meliputi :

    1. Airway penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada

    sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher

    diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan

    melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.

    2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada

    tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada

    syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya

    obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan

    napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan

    napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera

    ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau

    trakeotomi.

    3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau

    a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

    Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan

    hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru

    otak. Pencegahan syok anafilaktik akibat obat dapat dengan edukasi pada pasien agar

    mencatat obat apa saja yang menyebabkan alergi. Sedangkan tes kulit atau skin prick

    test tidak terlalu membantu, karena tes yang negatif tidak berarti penderita tidak akan

    mengalami reaksi anafilaksis.

  • BAB IV

    PENUTUP

    A. SIMPULAN

    1. Reaksi anafilaktik merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat paparan

    ulang dari alergen.

    2. Syok anafilaktik adalah reksi anafilaktik disertai hipotensi dengan atau tanpa

    penurunan kesadaran, yang merupakan salah satu kedaruratan medik yang

    perlu penanganan cepat dan tepat.

    B. SARAN

    1. Sebaiknya perlu pertimbangan ulang dalam pemilihan terapi antibiotik, yang

    disesuaikan dengan gejala klinik dan uji sensitifitasnya.

    2. Sebelum pemberian obat, terutama antibiotik, perlu dilakukan anamnesis

    lengkap tentang alergi obat.

    3. Sebaikya selalu disediakan fasilitas yang dibutuhkan dalam penanganan

    segera tehadap syok, misalnya adrenalin atau epinephrine.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Hermawan, H.A.G. 2003. Anafilaktik Syok. Dalam: Buku Pelatihan

    Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Bagi Dokter. Surakarta: UNS

    Press. pp 155-60.

    Nelwan, R.H.H. 2006. Pemakaian antimikroba secara rasional di klinik. Dalam :

    Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

    Rusmarjono dan Soepardi E.A. 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.

    Dalam : Buku Ajar Ilu Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta

    : FKUI

    Setiabudy, R. 2007. Pengantar Antimikroba. Dalam : Ganiswara S. G. (edt).

    Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Gaya Baru, p: 585

    Sjamsuhidajat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

    Tomaszewski, C.A. 2001. Anaphylaxis and Acute Allergic Reaction. Dalam : Cline,

    D.M. et al. Emergency Medicine : A comprehensive Study Guide, Companion

    handbook. Europe : McGraw-hill education.