Laptut SKEN 4 Blok 17

62
BAB II PEMBAHASAN 2.1. PERBEDAAN PSIKOSIS DAN NEUROSIS Faktor Neurosis Psikosis Perilaku umum Gangguan terjadi pada sebagian kepribadian, kontak dengan realitas masih ada. Gangguan terjadi pada seluruh aspek kepribadian, tidak ada kontak dengan realitas. Gejala-gejala Gejala psikologis dan somatikbisa bervariasi, tetapi bersifat temporer dan ringan. Gejala-gejala bervariasi luas dengan waham, halusinasi, kedangkalan emosi dan gangguan perilaku yang hebat yang terjadi secara terus menerus. Orientasi Penderita tidak atau jarang mengalami disorientasi. Penderita sering mengalami disorientasi (waktu, tempat, dan orang-orang) Pemahaman (insight) Penderita memahami bahwadirinya mengalami gangguan jiwa. Penderita tidak memahami bahwa dirinya sakit. Resiko sosial Perilaku penderita jarang atau tidak membahayakan oranglain dan diri sendiri. Perilaku penderita dapat membahayakan orang lain dan diri sendiri. Pengobatan Tidak begitu memerlukan pe-rawatan di rumah sakit. Ke-sembuhan seperti semula dan permanen sangat mungkin untuk dicapai.. Penderita memerlukan perawatan di rumah sakit. Kesembuhan seperti keadaan semula dan permanen sulit dicapai 1

description

Laporan tutorial Skizofrenia

Transcript of Laptut SKEN 4 Blok 17

Page 1: Laptut SKEN 4 Blok 17

BAB II

PEMBAHASAN

1.1. PERBEDAAN PSIKOSIS DAN NEUROSIS

Faktor Neurosis Psikosis

Perilaku umum Gangguan terjadi pada sebagian

kepribadian, kontak dengan realitas

masih ada.

Gangguan terjadi pada seluruh aspek

kepribadian, tidak ada kontak dengan

realitas.

Gejala-gejala Gejala psikologis dan somatikbisa

bervariasi, tetapi bersifat

temporer dan ringan.

Gejala-gejala bervariasi luas dengan

waham, halusinasi, kedangkalan emosi

dan gangguan perilaku yang hebat yang

terjadi secara terus menerus.

Orientasi Penderita tidak atau jarang mengalami

disorientasi.

Penderita sering mengalami disorientasi

(waktu, tempat, dan orang-orang)

Pemahaman

(insight)

Penderita memahami bahwadirinya

mengalami gangguan jiwa.

Penderita tidak memahami bahwa dirinya

sakit.

Resiko sosial Perilaku penderita jarang atau tidak

membahayakan oranglain dan diri sendiri.

Perilaku penderita dapat membahayakan

orang lain dan diri sendiri.

Pengobatan Tidak begitu memerlukan pe-rawatan

di rumah sakit. Ke-sembuhan seperti

semula dan permanen sangat mungkin

untuk dicapai..

Penderita memerlukan perawatan di

rumah sakit. Kesembuhan seperti

keadaan semula dan permanen sulit

dicapai

1.2. PSIKOSIS

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai

kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau/aneh.

Gangguan Psikotik Akut

Manifestasi Klinis

Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya

Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal

Kebingungan atau disorientasi

Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri, kecurigaan

berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara dan tertawa serta marah-

marah atau memukul tanpa alasan.

Penegakan diagnosi s

1

Page 2: Laptut SKEN 4 Blok 17

Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan : misalnya, mendengar suara

yang tak ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak ada bendanya).

Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat diterima oleh kelompok

sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan

dari televisi, atau merasa diamati/diawasi oleh orang lain).

Agitasi atau perilaku aneh (bizar)

Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)

Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel)

Tatalaksana

Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga

Beberapa informasi yang perlu disampaikan pada pasien dan keluarga antara lain tentang :

a. Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi lama perjalanan penyakit sukar

diramalkan hanya dengan melihat dari satu episode akut saja.

b. Agitasi yang membahayakan pasien, keluarga atau masyarakat, memerlukan hospitalisasi

atau pengawasan ketat di suatu tempat yang aman. Jika pasien menolak pengobatan,

mungkin diperlukan tindakan dengan bantuan perawat kesehatan jiwa masyarakat dan

perangkat desa serta keamanan setempat.

c. Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya:

– Keluarga atau teman harus mendampingi pasien

– Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan

kebersihan)

– Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera

Konseling pasien dan keluarga

1. Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan psikiatrik antara

lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam pengobatan pasien.

2. Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stres dan kontak dengan stressor.

3. Motivasi pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala membaik.

Farmakoterapi

Obat Antipsikosis

a. Tipikal

– Phenothiazine : CPZ, levopromazine, fluphenazine, thioridazine, dll

– Butyrophenone : haloperidol

– Diphenyl-butylpiperidine : pimozide

b. Atipikal

– Benzamide : sulpride

2

Page 3: Laptut SKEN 4 Blok 17

– Dibenzodiazepine : clozapine, olanzapine

– Benzisoxazole : risperidon

Mekanisme kerja

a) Obat antipsikosis tipikal : Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron di

otak khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (efektif untuk gejala positif).

b) Obat antipsikosis atipikal : Disamping berafinitas terhadap reseptor dopamine D2 juga

terhadap reseptor serotonin 5 HT2 (efektif untuk gejala negatif).

Efek samping

Sedasi dan inhibisi psikomotor

Gangguan otonomik

Gangguan ekstrapiramidal

Gangguan endokrin

Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika untuk mengendalikan

agitasi akut (misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari).

Gangguan Psikotik kronik

Manifestasi Klinis

Penarikan diri secara sosial

Minat atau motivasi rendah, pengabaian diri

Gangguan berpikir (tampak dari pembicaraan yang tidak nyambung atau aneh).

Perilaku aneh seperti apatis, menarik diri, tidak memperhatikan kebersihan yang dilaporkan

keluarga.

Perilaku lain yang dapat menyertai adalah :

Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi

Melaporkan bahwa individu mendengar suara-suara

Keyakinan yang aneh dan tidak masuk akal sepert : memiliki kekuatan supranatural, merasa

dikejar-kejar, merasa menjadi orang hebat/terkenal.

Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh seperti : merasa ada hewan atau objek yang tak lazim di

dalam tubuhnya.

Bermasalah dalam melaksanakan pekerjaan atau pelajaran

Tatalaksana

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga

1. Gejala penyakit jiwa (perilaku aneh dan agitasi)

2. Antisipasi kekambuhan

3

Page 4: Laptut SKEN 4 Blok 17

3. Penanganan psikosis akut

4. Pengobatan yang akan mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan

5. Perlunya dukungan keluarga terhadap pengobatan dan rehabililtasi pasien

6. Perlunya organisasi kemasyarakatan sebagai dukungan yang berarti bagi pasien dan

keluarga.

Konseling pasien dan keluarga

1. Pengobatan dan dukungan keluarga terhadap pasien

2. Membantu pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan dan kegiatan

sehari-hari.

3. Kurangi stres dan kontak dengan stress

Farmakoterapi

1. Antipsikotik

Obat antipsikotik diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah episode pertama

penyakitnya dan lebih lama sesudah episode berikutnya.

Obat antipsikotik mempunyai efek jangka panjang yang disuntikkan jika pasien gagal untuk

minum obat oral.

Berikan terapi untuk mengatasi efek samping yang mungkin timbul :

Kekakuan otot (distonis dan spasme akut), yang dapat diatasi dengan obat anti

parkinson atau benzodiazepine yang disuntikkan .

Kegelisahan motorik yang berat (Akatisia) yang dapat diatasi dengan pengurangan dosis

terapi atau pemberian beta-bloker.

Obat anti parkinson yang dapat mengatasi gejala parkinson (antara lain trihexyphenidil 2 mg

sampai 3 kali sehari, ekstrak belladonna 10-20 mg 3x sehari, diphenhydramine 50 mg 3 x

sehari).

1.3. SKIZOFRENIA

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan

“phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi,

kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu

simptom positif, simptom negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan

perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat

yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran

dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang

4

Page 5: Laptut SKEN 4 Blok 17

jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun

kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

Epidemiologi

Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam

hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai empat

juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang

terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap

skizofrenia.

Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25

tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30

tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.

Etiologi

1. Model Diatesis-stres

Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini

mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis) yang jika

dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan

skizofrenia.

Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (misal kematian

orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh

epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stres psikososial, dan trauma.

Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa orang

tersebut dapat menjadi skizofrenia. Semakin besar kerentanan seseorang maka stresor kecilpun dapat

menyebabkan menjadi skizofrenia. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk

membuatnya menjadi penderita skizofrenia. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diatesis tidak

akan berkembang menjadi skizofrenia, walau sebesar apapun stresornya.

2. Faktor Neurobiologi

Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada

bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada

bagian otak tertentu dengan munculnya simptom skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang menjadi

patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, serebelum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut

saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer

pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan

neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stresor lingkungan

dan sosial.

5

Page 6: Laptut SKEN 4 Blok 17

Hipotesa Dopamin

Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter

dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine,

terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine,

atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :

a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya

bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.

b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat menimbulkan gejala

psikotik pada siapapun.

3. Faktor Genetika

Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan merupakan salah satu

penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofrenia. Resiko seseorang menderita skizofrenia

akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya yang juga menderita skizofrenia,

apalagi jika hubungan keluarga dekat. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan

pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar satu telur

memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia.

Gejala Klinis

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu primer

dan sekunder.

Gejala-gejala primer :

1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran)

Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang terganggu

terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah timbul ide lain. Atau

terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya “tani” tetapi dikatakan “sawah”.

Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila dimaksudkan

“berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran sering tidak mempunyai tujuan

tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu waktu hari, jah memang matahari, lalu saya lari…”.

Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti.

Hal ini dinamakan inkoherensi. Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah

inkoherensinya.

Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal, umpamanya

seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang ada disampingnya juga dimarahi

dan dipukuli.

Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini dinamakan

“blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari.

6

Page 7: Laptut SKEN 4 Blok 17

Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya yang

berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau “pressure of thoughts”. Bila

suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan preseverasi atau stereotipi pikiran.

Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi sering tidak ada

hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi biasanya

jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi

masih dapat diikuti, masih bertujuan.

2. Gangguan afek dan emosi

Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :

Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi acuh tak

acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa

depannya. Perasaan halus sudah hilang.

Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita

timbul rasa sedih atau marah.

Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan

paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris dinamakan “incongruity of affect” dalam

bahasa Belanda hal ini dinamakan “inadequat”.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, umpamanya

sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Semua

ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek dan

emosi lain adalah :

- Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita yang

sedang bermain sandiwara.

- Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk melakukan

hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”). Karena itu sering kita tidak dapat

merasakan perasaan penderita.

- Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin terdapat

bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama ; atau

menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi pada afek.

3. Gangguan kemauan

Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat

mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memberikan alasan,

meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat, umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju dengan

pekerjaan atau mengapa tiduran terus. Atau mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu

diterangkan.

7

Page 8: Laptut SKEN 4 Blok 17

Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-bulan. Perilaku

demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik.

Negativisme : sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan.

Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang sama,

umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk berjabat tangan, tetapi

belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak masuk kedalam ruangan, tetapi sewaktu

melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan

yang berlawanan.

Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga dari luar,

sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.

4. Gejala psikomotor

Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok gejala ini oleh

Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga pada

penyakit lain.

Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya

ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau yang agak kaku. Penderita

dalma keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung

berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-kadang bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang

menahun. Mungkin penderita mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang

melarang ia bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena hubungan

penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali hingga ia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan hiperkinesa, ia terus

bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadang-kadang penderita menggunakan atau

membuat kata-kata yang baru: neologisme.

Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi; umpamanya menarik-

narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok piring dulu beberapa kali. Keadaan ini

dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan

verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada

skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya.

Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang lama.

Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin.

Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa yang disuruh.

Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya merupakan lawan dari negativisme :

semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini adalah

echolalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru

perbuatan atau pergerakan orang lain).

8

Page 9: Laptut SKEN 4 Blok 17

Gejala-gejala sekunder :

1. Waham

Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi penderita

tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.

Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya penderita berwaham bahwa ia

raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer

gross membagi waham dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder, waham

sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).

Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar.

Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang

berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita

berkata “dunia akan kiamat sebab ia melihgat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohon

untuk kencing”.

Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan cara bagi

penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan menurut isinya :

waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan

sebagainya.

2. Halusinasi

Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan gejala

yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan skizofrenia ialah

halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Kadang-

kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi

singgungan (taktil). Umpamanya penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang

yang menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merasa ada racun dalam makanannya. Halusinasi

penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan dengan

sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya penderita

melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.

Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak menurun

pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas pengalamannya dan perasaannya.

Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double personality”, misalnya penderita

mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau

pada double personality seakan-akan terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau

yang menguasai dan menyuruh penderita melakukan sesuatu.

Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar ia

seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.

9

Page 10: Laptut SKEN 4 Blok 17

Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala

primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya afek dan

kemauan.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis skizofrenia adalah:

Tidak ada simptom atau gejala klinis yang patognomonik untuk skizofrenia. Artinya tidak ada

simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom skizofrenia mungkin

ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf lainnya. Karena itu diagnosis

skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan status mental saat ini. Riwayat penyakit

pasien merupakan hal yang esensial untuk menegakkan diagnosis skizofrenia.

Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena

itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari perawatan sebelumnya (yang

lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis subtipe mungkin berubah.

Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang sosial budaya

pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya tertentu mungkin

dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain. Contohnya memakai koteka di Papua

merupakan hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta. Selain itu hal

yang tampaknya merupakan gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan

pendidikan pasien.

Diagnosis

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala atau lebih

bila gejala-gejala itu kurang jelas :

(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak

keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau

- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya

(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan

- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum

mengetahuinya;

(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dati luar;

atau

- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari

luar; atau

- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan

dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke

pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);

- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi

dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

10

Page 11: Laptut SKEN 4 Blok 17

(c) Halusinasi auditorik :

‐ Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau

‐ Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara),

atau

‐ Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan

sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan

kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi

dengan makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang

mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun

disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari

selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation), yang berakibat

inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh tertentu (posturing),

atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional

yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan

sosial dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan

oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan

atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall

quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya

minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude),

dan penarikan diri secara sosial.

Klasifikasi

Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ

III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing,

yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Skizofrenia Paranoid

Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia

11

Page 12: Laptut SKEN 4 Blok 17

Sebagai tambahan :

Halusinasi dan atau waham harus menonjol :

a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi

auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.

b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan

tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),

dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan

keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.

Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif

tidak nyata/menonjol.

Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik

terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang

sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu

mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien

katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari

kemampuanmentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.

Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.

Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat

menempatkan diri mereka secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak

terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.

2. Skizofrenia Hebefrenik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa

muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri (solitary),

namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.

Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu

selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini

memang benar bertahan :

‐ Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada

kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa

tujuan dan hampa perasaan;

‐ Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh

cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-

absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai

12

Page 13: Laptut SKEN 4 Blok 17

(grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial,

dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);

‐ Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta

inkoheren.

Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.

Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary

delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination)

hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu

perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu

preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak

lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.

Menurut DSM-IV skizofrenia ini disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.

3. Skizofrenia Katatonik

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.

Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :

a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan

serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);

b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi

oleh stimuli eksternal);

c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan

posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);

d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau

upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);

e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan

dirinya);

f. Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam

posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan

g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap

perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik,

diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang

adanya gejala-gejala lain.

Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk

skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau

alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

13

Page 14: Laptut SKEN 4 Blok 17

Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang

ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin

ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh

dirinya sendiri.

4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).

Seringkali. pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam

salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria

diagnostik menurut PPDGJ III yaitu:

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.

Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

5. Depresi Pasca-Skizofrenia

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :

a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum skizofrenia)

selama 12 bulan terakhir ini;

b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran

klinisnya); dan

c. Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk

episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif.

Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu

dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6. Skizofrenia Residual

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :

a. Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik,

aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam

kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi

muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang

buruk;

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi

kriteria untuk diagnosis skizofenia;

c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala

yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul

sindrom “negative” dari skizofrenia;

14

Page 15: Laptut SKEN 4 Blok 17

d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau

institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya

gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk

memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pikiran

yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika

waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.

7. Skizofrenia Simpleks

Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada

pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :

‐ Gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi,

waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan

‐ Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai

kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan

diri secara sosial.

Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis

simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya

sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan

sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai

menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan

akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan

menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.

8. Skizofrenia lainnya

9. Skizofrenia YTT

Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang tidak

berdasarkan DSM IV TR), antara lain :

Bouffe delirante (psikosis delusional akut).

Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar lama gejala yang

kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis gangguan skizofreniform didalam

DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat puluh persen diagnosis delirante

berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.

15

Page 16: Laptut SKEN 4 Blok 17

Skizofrenia laten.

Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat konseptualisasi

diagnostik skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit mental untuk

mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi diagnostik skizofrenia yang

luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat dapat mendapatkan diagnosis

skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering merupakan diagnosis yang digunakan

gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal. Pasien tersebut mungkin kadang-kadang

menunjukkan perilaku aneh atau gangguan pikiran tetapi tidak terus menerus

memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga dinamakan skizofrenia ambang (borderline

schizophrenia) di masa lalu.

Oneiroid.

Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin pasien

sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat. Istilah

“skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagi pasien skizofrenik yang khususnya terlibat

didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan di dalam dunia nyata.

Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa pasien untuk

adanya suatu penyebab medis atau neurologis dari gejala tersebut.

Parafrenia.

Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”. Dalam

pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk secara progresif

atau adanya sistem waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini menyebabkannya

tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.

Pseudoneurotik.

Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti kecemasan,

fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan pikiran dan psikosis.

Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia, panambivalensi dan kadang-kadang

seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang menderita gangguan kecemasan, mereka

mengalami kecemasan yang mengalir bebas (free-floating) dan yang sering sulit menghilang.

Didalam penjelasan klinis pasien, mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.

Skizofrenia Tipe I.

Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif yaitu

asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya pembicaraan. Disertai

dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang relatif baik terhadap pengobatan.

16

Page 17: Laptut SKEN 4 Blok 17

Skizofrenia tipe II.

Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom negatif yaitu

pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan,

penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia, penarikan

sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan kelainan otak struktural pada

pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.

Perjalanan Penyakit

Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid. Biasanya simtom

ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan berkembangnya simtom prodormal dalam

kurun waktu beberapa hari sampai beberapa bulan. Adanya perubahan sosial/lingkungan dapat

memicu munculnya simtom gangguan. Masa prodormal ini bisa langsung sampai bertahun-tahun

sebelum akhirnya muncul simtom psikotik yang terlihat.

Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi. Setelah sakit yang

pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal untuk waktu lama (remisi), keadaan ini

diusahakan dapat terus dipertahankan. Namun yang terjadi biasanya adalah pasien mengalami

kekambuhan. Tiap kekambuhan yang terjadi membuat pasien mengalami deteriorasi sehingga ia tidak

dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh. Kadang, setelah episode psikotik lewat, pasien menjadi

depresi, dan ini bisa berlangsung seumur hidup.

Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang, atau tetap ada,

sedangkan simtom negatif relatif sulit hilang bahkan bertambah parah.

Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah mempunyai anggota

keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah satu orang tuanya/saudara kembar

monozigotnya menderita skizofrenia, kesulitan pada waktu persalinan yang mungkin menyebabkan

trauma pada otak, terdapat penyimpangan dalam perkembangan kepribadian, yang terlihat sebagai

anak yang sangat pemalu, menarik diri, tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat

penurut, proses berpikir idiosinkratik, sensitif dengan perpisahan, mempunyai orang tua denga sikap

paranoid dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan bola mata yang abnormal,

menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain, mempunyai riwayat epilepsi,

memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola tidur, kontrol suhu tubuh yang jelek dan tonus otot

yang jelek.

Penatalaksanaan

Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat

mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :

1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat

individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.

17

Page 18: Laptut SKEN 4 Blok 17

2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar monozigotik adalah 50

persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk menyarankan bahwa faktor lingkungan

dan psikologis yang tidak diketahui tetapi kemungkinan spesifik telah berperan dalam

perkembangan gangguan.

3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapuetik tunggal

jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.

Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah

menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikkan klinis.

Perawatan di Rumah Sakit

Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :

1. Untuk tujuan diagnostik.

2. Menstabilkan medikasi.

3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.

4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.

5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem

pendukung masyarakat.

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun

aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit

pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis kearah masalah

kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan hubungan sosial. Perawatan di rumah

sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya,

keluarga angkat, board and care homes, dan half way house. Pusat perawatan di siang hari (day care

center) dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk

periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.

Terapi Somatik

a) Antipsikotik

Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:

1. Antagonis reseptor dopamine

2. Risperidone ( risperdal )

3. Clozapine ( clozaril )

18

Page 19: Laptut SKEN 4 Blok 17

Pemilihan Obat

1. Antagonis Reseptor Dopamin

Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia. Obat ini

memiliki dua kekurangan utama, yaitu:

Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi

mental yang cukup normal.

Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek mengganggu yang

paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Efek

serius yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindroma neuroleptik malignan.

“Remoxipride“ adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda dari pada

antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia. Awalnya obat ini disertai efek samping

neurologis yang bermakna, tetapi akhirnya remoxipride disertai dengan anemia aplastik, jadi

membatasi nilai klinisnya.

2. Risperidone

Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor

serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( D2 ). Risperidone menjadi obat

lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif

dan lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.

3. Clozapine

Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara

pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2 tetapi merupakan

antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai aktivitas antagonis pada reseptor

serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek samping yang mengharuskan monitoring

setiap minggu pada indeks-indeks darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada

pasien dengan tardive dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak

disertai dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.

Prinsip-Prinsip Terapuetik

1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati

2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus digunakan

lagi.

3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis yang

adekuat.

4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang

diindikasikan.

5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan untuk

mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.

19

Page 20: Laptut SKEN 4 Blok 17

Pemeriksaan Awal

Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup singkat.

Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan

fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah

lengkap dengan indekss sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang

berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.

Kontraindikasi Utama Antipsikotik:

1. Riwayat respon alergi yang serius

2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik

sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.

3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organik atau audiopatik.

4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antupsikotik dengan aktivitas

antikolinergik yang bermakna.

Kegagalan Pengobatan

1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alas an utama untuk terjadinya relaps dan

kegagalan percobaan obat.

2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.

Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik, dapat

dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang pertama. Strategi

tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti

carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine. Pemakaian terapi

antipsikotik dosis besar jarang diindikasikan, karena hampir tidak ada data yang mendukung

praktek tersebut.

b) Obat Lain

Lithium

Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen pasien dengan

skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba pada pasien yang tidak mampu

menggunakan medikasi antipsikotik.

Antikonvulsan

Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi dengan

lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti efektif dalam menurunkan gejala psikotik

pada skizofrenia, namun jika digunakan sendiri-sendiri mungkin efektif dalam menurunkan

episode kekerasan pada beberapa pasien skizofrenia.

20

Page 21: Laptut SKEN 4 Blok 17

Benzodiazepin

Pemakaian bersama-sama alprazolam (xanax) dan antipsikotik bagi pasien yang tidak

berespon terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang berespon terhadap

dosis tinggi diazepam (valium) saja. Tetapi keparahan psikosis dapat dieksaserbasi setelah putus

dari benzodiazepine.

c) Terapi Somatik Lainnya

Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi pasien yang

karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik (kurang efektif). Pasien yang telah sakit

selama kurang dari satu tahun adalah yang paling mungkin berespon.

Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin (insulin-induced

coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-induced coma).

d) Terapi Psikososial

Terapi Perilaku

Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk

meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan

komunikasi interpersonal.

Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk

hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang

dapat diturunkan.

Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )

Sering dinamakan terapi keterampilan sosial (social skills therapy). Terapi ini dapat

secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi

terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan kaset video orang lain

dan pasien permainan simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang

keterampilan yang telah dilakukan.

Terapi Berorientasi Keluarga

Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan

menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul

pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.

Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi keluarga

adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.

Di dalam keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus mengendalikan

intensitas emosional keluarga.

21

Page 22: Laptut SKEN 4 Blok 17

Prognosis

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah

perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia, hanya kira-kira 10-20 % pasien

dapat digambarkan memliki hasil yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil

yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan

mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut, skizofrenia

memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan

dengan prognosis yang baik.

Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60% dan

perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia mampu untuk menjalani

kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang,dan

40-60% dari pasien terus terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:

1. Usia pertama kali timbul (onset) : makin muda makin buruk

2. Mula timbulnya akut atau kronik : bila akut lebih baik

3. Tipe skizofrenia : episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik

4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat

5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya : jika ada lebih baik

6. Ada atau tidaknya faktor keturunan : jika ada lebih jelek

7. Kepribadian prepsikotik : jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek

8. Keadaan sosial ekonomi : bila rendah lebih jelek

1.4. POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah

peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana

terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam. Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah

sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda

atau membuat anda merasa tidak berdaya.

Patofisiologi

Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD,

ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan

rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman

traumatik tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak

dan nukleus, mengaktifkan neurotransmitter, dan endokrin untuk menghasilkan hormon-hormon yang

berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk

22

Page 23: Laptut SKEN 4 Blok 17

menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang

mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi sistem amigdala.

Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon

emosional termasuk fight, flight, or freezing dan perubahan dalam hormon stres dan katekolamin.

Hipokampus dan korteks prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon

ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight

or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan

darah, denyut jantung, glikogenolisis, dll. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makat ubuh akan

memulai proses inaktivasi respon stres dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika

tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stres maka kemungkinan kita

masih akan merasakan efek stres dari adrenalin.

Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi

(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus

berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres

meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan

konsentrasi kortisol rendah orang dengan PTSD dan berlawanan menanggapi penindasan tes

deksametason daripada yang terlihat dengan depresi berat.

Fase-fase

Fase keadaan mental pasca bencana:

a. Fase kritis

Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yang mana terjadi selama

kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang

akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam,

susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.

b. Fase setelah kritis

Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan

kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah

tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut

(PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan

cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.

c. Fase stressor

Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung

seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”.

23

Page 24: Laptut SKEN 4 Blok 17

Gejala

Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah :

1. Mengalami kembali kejadian traumatik (reexperience). Seseorang kerap teringat akan

kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa

seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-

kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu

oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

2. Penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa

dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang

trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat

terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada

orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi

positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan,

atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap

semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.

3. Gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya,

sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk

meningkatnya reaktivitas fisiologis.

Kriteria Diagnosis

Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala harus bertahan setidaknya satu bulan,

signifikan, dan harus mengganggu aktivitas normal. Pada orang yang telah selamat dari peristiwa

traumatis, sindrom kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut gangguan stres

akut. Kondisi ini membutuhkan tiga atau lebih gejala disosiatif selain gejala persisten terkait dengan

PTSD. Gejala PTSD yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis gangguan stress akut berdasarkan

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV-Revisi atau DSM IV-R:

1. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua ciri berikut ini dapat

ditemukan, yaitu:

a. Orang yan mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa

ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau

ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.

b. Respon berupa rasa takut yan kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan

takut yang berlebihan.

2. Perstiwa traumatik secara terus-menerus muncul kembali (reexperiance) melalui satu atau

lebih dari cara berikut:

24

Page 25: Laptut SKEN 4 Blok 17

a. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialami dan bersifat

mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi).

b. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (mencemaskan).

c. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi

kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi atau halusinasi).

d. Kecemasan pskologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan terhadap

kejadian trauma (kenangan atau peristiwa trauma).

3. Menghindari (avoidance) secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan

mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon).

Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawh ini:

a. Kemampuan untuk enghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan

kejadian trauma.

b. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali

kenangan akan trauma yang dialaminya.

c. Ketidakmampuan mengingat aspsek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya.

d. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang.

e. Merasa terasing dari orang disekitarnya

f. Terbatasnya rentang emosi (seperti tidak dapat merasakan cinta)

g. Perassan bahwa masa depan suram

4. Gejala hyperarousal atau sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di

bawah ini:

a. Sulit untuk memulai tidur atau sulit mempertahankannya

b. Sulit berkonsentrasi

c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya

d. Hypervigilance (kewaspadaan berlebihan)

e. Reaksi kaget yang berlebihan

Durasi kriteria 2, 3, dan 4 terjadi lebih dari sebulan. Gangguan atau gejala di atas

menyebabkann kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi

penting lainnya. Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat dibagi menjadi: 1) akut, bila

gejala berlangsung satu sampai tiga bulan 2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga bulan 3)

awal gejala atau onset yang tertunda bila gejala dimulai sedikitnya enam bulan setelah kejadian

traumatik/stressor.

Menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-X), kriteria diagnosis PTSD sebagai

berikut:

25

Page 26: Laptut SKEN 4 Blok 17

1. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang menimbulkan strss

(sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga mungkin akan

menyebabkan stres pada hampir semua orang.

2. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stres dalam bentuk kilas balik yang

mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau mengalami

kecemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres.

3. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang mirip atau

berhubungan dengan penyebab stres yang tidak ada sebelumnya.

4. Salah satu dari hal berikut ini harus terjadi:

a. Tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa aspek penting selama

masa terpapar pada penyebab stres.

b. Gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan psikologis dan sensasi

(tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini:

(1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya, (2) mudah marah atau amarah

yang meledak-ledak, (3) sulit berkonsentrasi, (4) kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5)

reaksi kaget yag berlebihan.

Kriteria 2, 3, dan 4 semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah peristiwa traumatik

terjadi.

Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut:

1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan

setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai

beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat

ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu

enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori

gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi

dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks)

3. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai

diagnosis tetapi tidak khas

4. Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja

beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan

kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa)

Kriteria Pasien PTSD dan harus dihospitalisasi

- Gejala PTSD sudah mengganggu aktivitas sehari-hari

- Penghayatan berulang dari trauma

- Kurang sosialisasi

26

Page 27: Laptut SKEN 4 Blok 17

Penatalaksanaan

Non Farmakologi

1. Terapi perilaku kognitif atau CBT

a. Exposure Therapy

Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan mereka. Karena

menghadapkan mereka pada trauma yang mereka alami dengan cara yang aman.

Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu

terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi

perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara:

- Exposure in the imagination. Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-

ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak

mengalami hambatan untuk menceritakannya.

- Exposure in reality. Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman,

tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.

Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu

kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita

dapat mengatasinya

b. Kognitif restrukturisasi

Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat

kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau

malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD

melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis.

c. Stress inoculation training

Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana

untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu

orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat.

2. Cognitive Therapy

Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi

dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin

menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi

pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional

untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk

membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.

27

Page 28: Laptut SKEN 4 Blok 17

3. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)

Sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam

otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan

mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita.

Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori.

4. Anxiety management

a. Relaxation training

Belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan

kelompok otot-otot utama

b. Breathing retraining

Belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai, dan menghindari bernafas

dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang

tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala

c. Positive thinking dan self-talk

Belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika

menghadapi hal-hal yang membuat stres (stresor)

d. Assertiveness training

Belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau

menyakiti orang lain

e. Thought stopping

Belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang

membuat kita stress

5. Terapi bermain (play therapy)

6. Debriefing therapy

7. Support group therapy dan terapi bicara

8. Terapi psikodinamik

9. Terapi keluarga

Farmakologi

1. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)

Obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug

Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan

pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat ini secara primer

mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas,

appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara

menginhibisi reuptake serotonin diotak. First line medikasi yang direkomendasikan FDA

untuk PTSD adalah sertraline dan paroxetine masing-masing 20-60 mg/hari.

28

Page 29: Laptut SKEN 4 Blok 17

2. Mood stabilizer

Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala impulsif

3. Beta adrenergic blocking agents

4. Antidepresan

5. Atipikal antipsikotik

1.5. OBSESIF KOMPULSIF DISORDER

Gangguan obsesif-kompulsif adalah suatu contoh dari efek positif dimana penelitian moderen

telah menemukan gangguan di dalam waktu singkat. Pada awal tahun 1980-an gangguan obsesif-

kompulsif dianggap sebagai gangguan yang jarang dan berespon buruk terhadap terapi. Sekarang

diketahui bahwa gangguan obsesif-kompulsif adalah sering ditemukan dan sangat responsif terhadap

terapi.

Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu (intrusif). Suatu

kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan dan rekuren, seperti menghitung,

memeriksa atau menghindari. Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang sedangkan melakukan

kompulsi menurunkan kecemasan seseorang tetapi jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu

kompulsi, kecemasan adalah meningkat. Seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya

menyadari irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik.

Gangguan obsesif-kompulsif dapat merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan karena

obsesi dapat menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal

seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan dengan teman dan anggota

keluarga.

Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum diperkirakan

adalah 2 sampai 3 persen dimana pria dan wanita memiliki resiko sama. Beberapa peneliti telah

memperkirakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat

jalan di klinik psikiatrik. Angka tersebut menyebabkan gangguan obsesif-kompulsif sebagai diagnosis

psikiatrik tersering yang keempat setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresif

berat. Penelitian epidemiologis di Eropa, Asia, dan Afrika telah menegakkan angka tersebut melewati

ikatan kultural.

Untuk orang dewasa, laki-laki dan wanita sama mungkin terkena; tetapi untuk remaja, laki-

laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan perempuan. Usia onset rata-rata

adalah kira-kira 20 tahun walaupun laki-laki memiliki onset usia yang agak lebih awal (rata-rata

sekitar usia 19 tahun) dibandingkan wanita (rata-rata sekitar 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira

duapertiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15 persen pasien

memiliki onset gejala setelah usia 35 tahun. Gangguan obsesif-kompulsif dapat memiliki onset pada

remaja atau masa anak-anak pada beberapa kasus dapat pada usia 2 tahun. Orang yang hidup sendirian

29

Page 30: Laptut SKEN 4 Blok 17

lebih banyak terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan orang yang menikah, walaupun

temuan tersebut kemungkinan mencerminkan kesulitan yang dimiliki pasien dengan gangguan obsesif-

kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan. Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan lebih

jarang diantara golongan kulit hitam dibandingkan kulit putih walaupun tersedianya jalur ke pelayanan

kesehatan dapat menjelaskan sebagian besar variasi tersebut ketimbang perbedaan prevalensi antara

ras-ras.

Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi oleh gangguan mental lain.

Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat pada pasien dengan gangguan obsesif-

kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan untuk fobia sosial adalah 25 persen. Diagnosis psikiatrik

komorbid lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah gangguan pengaruh

alkohol, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan.

Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya merupakan orang-orang yang sukses,

pemalu, keras kepala, perfeksionis, suka menghakimi, sangat berhati-hati, kaku, dan pencemas yang

kronis yang menghindari keintiman dan hanya menikmati sedikit kesenangan dalam hidupnya. Mereka

suka bimbang dan banyak permintaannya dan sering kali dianggap sebagai orang yang dingin,

pendiam, dan tidak ramah.

Etiologi

1. Faktor Biologis

a. Neurotransmiter

Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan terhadap berbagai obat mendukung hipotesis

bahwa suatu disregulasi serotonin adalah terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan

kompulsi dari gangguan. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan

obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lain. Tetapi apakah serotonin terlibat di dalam

penyebab gangguan obsesif-kompulsif adalah tidak jelas pada saat ini. Penelitian klinis telah

mengukur konsentrasi metabolit serotonin sebagai contohnya, 5-hydroxyndoleacetic acid (5-

HIAA) di dalam cairan serebrospinal dan afinitas sertai jumlah tempat ikatan trombosit pada

pemberian imipramine (yang berikatan dengan tempat ambilan kembali serotonin) dan telah

melaporkan berbagai temuan pengukuran tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif-

kompulsif. Beberapa penelitian telah mengatakan bahwa sistem neurotransmiter kolinergik dan

dopaminergik pada pasien gangguan obsesif-kompulsif adalah dua bidang penelitian riset untuk di

masa depan.

b. Penelitian pencitraan otak

Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai contoh PET (positron emission

tomography), telah menemukan peningkatan aktifitas (sebagai contoh, metabolisme dan aliran

darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan singulum pada pasien dengan

gangguan obsesif kompulsif. Baik tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi

30

Page 31: Laptut SKEN 4 Blok 17

magnetik (MRI) telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara biateral pada pasien

dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik penelitian pencitraan otak fungsional maupun struktural

konsisten dengan pengamatan bahwa prosedur neurologis yang melibatkan singulum kadang-

kadang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu penelitian

MRI baru-baru ini melaporkan peningkatan waktu relaksasi T1 di korteks frontalis.

c. Genetika

Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan obsesif-kompulsif telah secara

konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar

monozigotik dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif

kompulsif telah menemukan bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien gangguan

obsesif-kompulsif juga menderita gangguan.

d. Data biologis lainnya

Penelitian elektrofisiologis, penelitian elektroensefalogram (EEG) tidur, dan penelitian

neuroendokrin telah menyumbang data yang menyatakan adanya kesamaan antara gangguan

depresif dan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu insidensi kelainan EEG nonspesifik yang lebih

tinggi dari biasanya telah ditemukan pada pasien gangguan obsesif-kompulsif. Penelitian EEG

tidur telah menemukan kelainan yang mirip dengan yang terlihat pada gangguan depresif, seperti

penurunan latensi REM (rapid eye movement). Penelitian neuroendokrin juga telah menemukan

beberapa kemiripan dengan gangguan depresif, seperti nonsupresi pada dexamethasone-

suppression test pada kira-kira sepertiga pasien dan penurunan sekresi hormon pertumbuhan pada

infus clonidine (catapres).

2. Faktor Perilaku

Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan. Stimulus yang relatif

netral menjadi disertai dengan ketakutan atau kecemasan melalui proses pembiasaan responden

dengan memasangkannya dengan peristiwa yang secara alami adalah berbahaya atau

menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan pikiran yang sebelumnya netral menjadi stimuli yang

terbiasakan yang mampu menimbulkan kecemasan atau gangguan.

Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan bahwa tindakan

tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran obsesional. Jadi, strategi

menghindar yang aktif dalam bentuk perilaku kompulsif atau ritualistik dikembangkan untuk

mengendalikan kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat perilaku tersebut dalam menurunkan

dorongan sekunder yang menyakitkan (kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi

sebagai pola perilaku kompulsif yang dipelajari.

3. Faktor Psikososial

a. Faktor kepribadian

Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan kepribadian obsesif-

kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif 31

Page 32: Laptut SKEN 4 Blok 17

pramorbid. Dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk

perkembangan gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien

gangguan obsesif-kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.

b. Faktor psikodinamika

Sigmund Freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan psikologis utama yang

menentukanbentuk dan kualitas gejala dan sifat karakter obsesif-kompulsif; isolasi, meruntuhkan

(undoing), dan pembentukan reaksi.

1) Isolasi

Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang dari afek dan impuls

yang mencetuskan kecemasan. Jika terjadi isolasi, afek dan impuls yang didapatkan darinya

adalah dipisahkan dari komponen idesional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi

berhasil sepenuhnya, impuls dan afek yang terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara

sadar hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan dengannya.

2) Undoing

Karena adanya ancaman terus-menerus bahwa impuls mungkin dapat lolos dari

mekanisme primer isolasi dan menjadi bebas, operasi pertahanan sekunder diperlukan untuk

melawan impuls dan menenangkan kecemasan yang mengancam keluar ke kesadaran.

Tindakan kompulsif menyumbangkan manifestasi permukaan operasi defensif yang ditujukan

untuk menurunkan kecemasan dan mengendalikan impuls dasar yang belum diatasi secara

memadai oleh isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting adalah mekanisme

meruntuhkan (undoing). Seperti yang disebutkan sebelumnya, meruntuhkan adalah suatu

tindakan kompulsif yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan akibat

yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impuls obsesional yang

menakutkan.

3) Pembentukan reaksi

Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang bermanifestasi dan sikap yang

secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan impuls dasar. Seringkali, pola yang terlihat

oleh pengamat adalah sangat dilebih-lebihkan dan tidak sesuai.

4) Faktor psikodinamik lainnya

Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-kompulsif dinamakan neurosis

obsesif-kompulsif dan merupakan suatu regresi dari fase perkembangan oedipal ke fase

psikoseksual anal. Jika pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam oleh

kecemasan tentang pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang penting, mereka

mundur dari fase oedipal dan beregresi ke stadium emosional yang sangat ambivalen yang

berhubungan dengan fase anal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama kepada orang

yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Suatu

ciri yang melekat pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah derajat dimana

32

Page 33: Laptut SKEN 4 Blok 17

mereka terpaku dengan agresi atau kebersihan, baik secara jelas dalam isi gejala mereka atau

dalam hubungan yang terletak di belakangnya. Dengan demikian, psikogenesis gangguan

obsesif-kompulsif, mungkin terletak pada gangguan dan perkembangan pertumbuhan normal

yang berhubungan dengan fase perkembangan anal-sadistik.

5) Ambivalensi

Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan dalam karakteristik kehidupan

impuls. Hal ini adalah ciri yang penting pada anak normal selama fase perkembangan anal-

sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian kepada suatu objek. Konflik emosi yang

berlawanan tersebut mungkin ditemukan pada pola perilaku melakukan-tidak melakukan pada

seorang pasien dan keragu-raguan yang melumpuhkan dalam berhadapan dengan pilihan.

c. Pikiran magis

Pikiran magis adalah regresi yang mengungkapkan cara pikiran awal, ketimbang

impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada

pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan. Orang merasa bahwa mereka dapat

menyebabkan peristiwa di dunia luar terjadi tanpa tindakan fisik yang menyebabkannya,

semata-mata hanya dengan berpikir tentang peristiwa tersebut. Perasaan tersebut

menyebabkan memiliki suatu pikiran agresif akan menakutkan bagi pasien gangguan obsesif-

kompulsif.

Gejala Klinis

Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum:

1. Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara bertubi-tubi dan terus-menerus ke

dalam kesadaran seseorang.

2. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi sentral dan

seringkali menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan melawan gagasan atau impuls

awal.

3. Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien), yaitu dialami sebagai suatu yang asing

bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk psikologis.

4. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau kompulsi tersebut, orang biasanya

menyadarinya sebagai mustahil dan tidak masuk akal.

5. Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya merasakan suatu dorongan yang

kuat untuk menahannya.

Gambaran obsesi dan kompulsi adalah heterogen pada dewasa, pada anak-anak dan remaja.

Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih dan berubah dengan berjalannya waktu, tetapi

gangguan obsesif-kompulsif memiliki empat pola gejala yang utama. Pola yang paling sering

ditemukan adalah suatu obsesi tentang kontaminasi, diikuti oleh mencuci disertai penghindaran obsesif

terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi. Objek yang ditakuti seringkali sukar untuk

33

Page 34: Laptut SKEN 4 Blok 17

dihindari, sebagai contoh feses, urin, debu atau kuman. Pasien mungkin secara terus-menerus

menggosok kulit tangannya dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin tidak mampu

pergi keluar rumah karena takut akan kuman. Walaupun kecemasan adaloah respon emosional yang

paling sering terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan rasa jijik yang obsesif juga sering

ditemukan. Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya percaya bahwa kontaminasi ditularkan dari

objek ke objek atau orang ke orang oleh kontak ringan.

Pola kedua yang sering adalah obsesi keragu-raguan, diikuti oleh pengecekan yang kompulsi.

Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan, seperti lupa mematikan kompor atau tidak

mengunci pintu. Pengecekan tersebut mungkin menyebabkan pasien pulang beberapa kali ke rumah

untuk memeiksa kompor. Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri sendiri yang obsesional, saat

mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan sesuatu.

Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan pikiran semata-mata pikiran obsesional yang

mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut biasanya berupa pikiran berulang akan suatu

tindakan seksual atau agresi yang dicela oleh pasien.

Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas atau ketepatan, yang dapat

menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara harfiah menghabiskan waktu berjam-jam untuk

makan atau mencukur wajahnya. Penumpukan obsesi dan kompulsi religius adalah sering pada pasien

obsesif-kompulsif. Trichotillomania (menarik rambut kompulsif) dan menggigit kuku mungkin

merupakan kompulsi yang berhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif.

Terdapat juga beberapa gangguan yang biasa merupakan bagian merupakan bagian dari atau

dengan kuat dihubungkan dengan spectrum GOK (gangguan gangguan obsesif-kompulsif) :

1. Gangguan dismorfik tubuh (body Dysmorphic Disorder)

Pada gangguan ini orang terobsesi dengan keyakinan bahwa mereka buruk rupa atau bagian

tubuh mereka berbentuk tidak normal.

2. Trikhotilomania

Orang dengan trikhotilomania terus menerus mencabuti rambut mereka sehingga timbul

daerah-daerah botak.

3. Sindrom Tourettes

Gejala sindrom Tourettes meliputi gerakan yang pendek dan cepat, tik dan ucapan kata-kata

kotor yang tak terkontrol.

Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV:

1. Salah satu obsesi atau kompulsi

Obsesi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:

a. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten yang dialami, pada

suatu saat dimana selama gangguan, sebagai intrusif dan tidak sesuai, dan menyebabkan

kecemasan dan penderitaan yang jelas.

34

Page 35: Laptut SKEN 4 Blok 17

b. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tidak semata-mata kekhawatiran yang

berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.

c. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayangan-

bayangan tersebut untuk mentralkannya dengan pikiran atau tindakan lain.

d. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan obsesional adalah

keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran).

Kompulsi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:

a. Perilaku (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental

(misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang berulang yang

dirasakannya mendorong untuk melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi, atau

menurut dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku.

b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan penderitaan

atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan

mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka

dianggap untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan.

2. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau

kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak

a. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas, menghabiskan waktu

(menghabiskan lebih dari satu jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas

normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik) atau aktivitas atau hubungan sosial yang

biasanya.

b. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya

(misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan, menarik rambut

jika terdapat trikotilomania, permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan

dismorfik tubuh, preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat,

preokupasi dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis,

preokupasi dengan dorongan atau fanatasi seksual jika terdapat parafilia, atau perenungan

bersalah jika terdapat gangguan depresif berat).

c. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan,

medikasi) atau kondisi medis umum. Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk: jika selama

sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan

kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.

Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III:

1. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-

duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.

35

Page 36: Laptut SKEN 4 Blok 17

2. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita.

3. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:

a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri

b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan meskipun ada

lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.

c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal yang memberi

kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak

dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas).

d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang

tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).

4. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi. penderita

gangguan obsesif kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya

penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama

episode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau

menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala

obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari

gejala-gejala yang timbul lebih dahulu. Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan

hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.

Bila dari keduanya tidak adayang menonjol, maka baik menganggap depresi sebagai diagnosis

yang primer. Pada gangguan menahun maka prioritas diberikan pada gejala yang paling

bertahan saat gejala yang lain menghilang.

5. Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau

gangguan mental organk, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.

F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan

Pedoman Diagnostik

1. Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan perbuatan), yang

sifatnya mengganggu (ego alien).

2. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu menyebabkan

penderitaan (distress).

F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif (obsesional ritual)

Pedoman Diagnostik

1. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan (khususnya mencuci tangan),

memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi bahaya

terjadi, atau masalah kerapian dan keteraturan. Hal tersebut dilatarbelakangi perasaan takut

terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual

tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut.

36

Page 37: Laptut SKEN 4 Blok 17

2. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam dalam sehari

dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidakmampuan mengambil keputusan dan

kelambanan.

F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif

Pedoman Diagnostik

1. Kebanyakan dari penderita obsesif kompulsif memperlihatkan pikiran obsesif serta tindakan

kompulsif. Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut sama-sama menonjol, yang

umumnya memang demikian.

2. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,sebaiknya dinyatakan dalam diagnosis F42.0

atau F42.1. hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan

kompulsif lebih respondif terhadap terapi perilaku.

F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya

F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT

Terapi

Farmakoterapi

a) Penggolongan

1. Obat Anti-obsesif kompulsif trisiklik

Contoh: Clomipramine.

2. Obat Anti-obsesif kompulsif SSRI (Serotonin Reuptake Inhibitors)

Contoh: Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram

b) Indikasi Penggunaan

Gejala sasaran (target syndrome) : Sindrom Obsesif Kompulsif

Butir-butir diagnostik Sindrom Obsesif Kompulsif:

1. Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami gejala-gejala obsesif

kompulsif yang memiliki ciri-ciri berikut:

a. Diketahui/disadari sebagai pikiran, bayangan atau impuls dari diri individu sendiri;

b. Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak

menyenangkan (ego-distonik);

c. Melaksanakan tindakan sesuai dengan pikiran, bayangan atau impuls tersebut diatas

bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan

lega dari ketegangan atau ansietas);

d. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil

dilawan/dielakkan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan/dielakkan oleh

penderita;

2. Gejala-gejala tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menggangu aktivitas

sehari-hari (disability)

37

Page 38: Laptut SKEN 4 Blok 17

Respon penderita gangguan obsesif kompulsif terhadap farmakoterapi seringkali hanya

mencapai pengurangan gejala sekitar 30%-60% dan kebanyakan masih menunjukkan gejala secara

menahun. Namun demikian, umumnya penderita sudah merasa sangat tertolong. Untuk mendapatkan

hasil pengobatan yang lebih baik, perlu disertai dengan terapi perilaku (behavior therapy).

Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25 sampai 50 mg sebelum

tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg sehari setiap dua sampai tiga hari, sampai

dosis maksimum 250 mg sehari atau tampak efek samping yang membatasi dosis. Karena Clopramine

adalah suatu obat trisiklik, obat ini disertai dengan efek samping berupa sedasi, hipotensi, disfungsi

seksual dan efek samping antikolinergik, seperti mulut kering.

SSRI. Penelitian tentang fluoxetine dalam gangguan obsesif-kompulsif menggunakan dosis

sampai 80 mg setiap hari untuk mencapai manfaat terapeutik. Walaupun SSRI mempunyai efek seperti

overstimulasi, kegelisahan, nyeri kepala, insomnia, mual, dan efek samping gastrointestinal, SSRI

dapat ditoleransi dengan lebih baik daripada obat trisiklik. Dengan demikian, kadang-kadang SSRI

digunakan sebagai obat lini pertama dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif.

Obat lain. Jika pengobatan dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak ahli terapi

menambahkan lithium (Eskalith). Obat lain yang dapat digunakan dalam pengobatan gangguan obsesif

kompulsif adalah inhibitor monoamin oksidase (MAOI = monoamine oxidase inhibitor), khususnya

phenelzine (Nardil).

Terapi perilaku

Walaupun beberapa perbandingan telah dilakukan, terapi perilaku sama efektifnya dengan

farmakoterapi pada gangguan obsesif-kompulsif. Dengan demikian, banyak klinisi

mempertimbangkan terapi perilaku sebagai terapi terpilih untuk gangguan obsesif-kompulsif. Terapi

perilaku dapat dilakukan pada situasi rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan perilaku utama pada

gangguan obsesif-kompulsif adalah pemaparan dan pencegahan respon. Desensitisasi, menghentikan

pikiran, pembanjiran, terapi implosi, dan pembiasaan tegas juga telah digunakan pada pasien

gangguan obsesif kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus benar-benar menjalankannya untuk

mendapatkan perbaikan.

Psikoterapi

Psikoterapi suportif jelas memiliki bagiannya, khususnya untuk pasien gangguan obsesif-

kompulsif, walaupun gejalanya memiliki berbagai derajat keparahan, adalah mampu untuk bekerja dan

membuat penyesuaian sosial. Dengan kontak yang kontinu dan teratur dengan tenaga yang

profesional, simpatik, dan mendorong, pasien mungkin mampu untuk berfungsi berdasarkan bantuan

tersebut, tanpa hal tersebut gejalanya akan menyebabkna gangguan. Kadang-kadang jika ritual dan

38

Page 39: Laptut SKEN 4 Blok 17

kecemasan obsesional mencapai intensitas yang tidak dapat ditoleraansi, perlu untuk merawat pasien

di rumah sakit sampai tempat penampungan institusi dan menghilangkan stres lingkungan eksternal

menurunkan gejala sampai tingkat yang dapat ditoleransi.

Anggota keluarga pasien seringkali menjadi putus asa karena perilaku pasien. Tiap usaha

psikoterapik harus termasuk perhatian pada anggota keluarga melalui dukungan emosional,

penentraman, penjelasan dan nasihat tentang bagaimana menangani dan berespons terhadap pasien.

Terapi lain

Terapi keluarga seringkali berguna dalam mendukung keluarga, membantu menurunkan

percekcokan perkawinan yang disebabkan gangguan, dan membangun ikatan terapi dengan anggota

keluarga untuk kebaikan pasien. Terapi kelompok berguna sebagai sistem pendukung bagi beberapa

pasien.

Cognitive Behavior Therapy

Cognitive Behavior Therapy untuk mengatasi gangguan Obsesif-Kompulsif. Mendasarkan

pada perspektif kognitif dan perilaku, teknik yang umumnya diterapkan untuk mengatasi gangguan

obsesif-kompulsif adalah exposure with response prevention. Pasien dihadapkan pada situasi dimana

ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang biasa dilakukannya namun

mereka cegah untuk tidak melakukan ritual itu. Jika klien dapat mencegah untuk tidak melakukan

ritual tersebut dan ternyata sesuatu yang mengerikannya tidak terjadi. Hal ini dapat membantu dalam

mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual. Teknik lain berupa terapi kognitif dimana

mengajarkan jalan terbaik dan efektif untuk merespon pikiran obsesif tanpa perlu sampai ke

kompulsif.

Prognosis

Gangguan obsesif-kompulsif merupakan penyakit yang kronik dengan perode dari gejala-

gejala yang seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami peningkatan. Penderita gangguan ini

tidak biasanya sembuh sempurna atau bebas dari gejala. Walaupun demikian dengan pengobatan,

banyak orang yang mengalami perbaikan. Perbaikan tersebut berupa gejala yang berbeda seperti cara

merealisasikan suatu obsesif yang berbeda. Diagnosis awal dan terapi yang dilakukan secepatnya akan

memberikan hasil yang lebih baik di mana penekanan onset usia dini adalah hal yang patut untuk

segera didiagnosis. Selain itu, mereka yang bergerak di bidang kesehatan mesti memahami perbedaan

antara gangguan obsesif-kompulsif dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang mana untuk

jenis gangguan kepribadian biasanya dimulai pada saat dewasa muda, yaitu umur di atas 20 tahun

sedangkan untuk gangguan obsesif kompulsif biasanya dimulai pada usia anak-anak.

BAB III

39

Page 40: Laptut SKEN 4 Blok 17

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan skenario kali ini, kelompok kami membahas mengenai gangguan dengan

keluhan kejiwaan. Dari anamnesis yang dilakukan, kelompok kami mendiagnosis banding

dengan gangguan neurosis (PTSD dan obsesif-kompulsif) dan gangguan psikosis

(skizofrenia). Untuk memastikan diagnosis dari skenario ini, masih diperlukan anamnesis

lebih lanjut serta pemeriksaan status mental dan penunjang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

APA. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th ed. Arlington:

American Psychiatric Assocations.

Maramis, W.F., Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:

Airlangga University Press.

Maslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Ilmu Kedokteran Jiwa

Unika Atmajaya.

Sadock, B.J., Kaplan, H.I. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara.

40