Post on 24-Mar-2023
i
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG LABU JEPANG (KABOCHA)
(Cucurbita maxima L.) (KAJIAN PENGARUH SUHU BLANCHING, DAN
KONSENTRASI PERENDAMAN NATRIUM METABISULFIT)
SKRIPSI
Oleh:
Enike Risty Sukma Permana
NIM. 125100101111045
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Magetan, Jawa Timur pada tanggal 4
Februari 1994 dari ayah bernama Suwandi dan ibu yang
bernama Lilik Suharni. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di SDN Selosari 2 Magetan pada tahun 2006,
kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Kota Magetan dengan
tahun kelulusan 2009, dan menyelesaikan Sekolah menengah
Atas di SMAN 2 Kota Magetan pada tahun 2012.
Pada tahun 2018 penulis telah berhasil menyelesaikan studinya di
Universitas Brawijaya Malang di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian. Pada masa pendidikannya penulis ikut sebagai anggota
panitia Orientasi Siswa Pengenalan Kampus tingkat Jurusan di fakultas teknologi
pertanian. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 2018
dengan menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Karakterisasi Sifat
Fisikokimia Tepung Labu Jepang (Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian
Pengaruh Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit)”
Malang, September 2018
Penulis
v
Lembar Peruntukkan
Sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, Karya
ilmiah ini saya persembahkan kepada bapak saya
tercinta Suwandi, ibu saya Lilik Suharni, dan
keempat kakak saya Gigih, Puput, Eka dan
Ambar yang membantu dan mensupport saya
selama ini. Terimakasih pula untuk Andi yang
selalu mencintai saya selama ini dan juga
sahabat-sahabat saya.
vi
Pernyataan Keasian TA
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Enike Risty Sukma Permana
NIM : 125100101111045
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul TA : Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Labu Jepang
(Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian Pengaruh Suhu
Blanching dan Konsentasi Perendaman Natrium
Metabisulfit)
Menyatakan bahwa,
Ta dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar saya bersedia dituntut sesuai
hukum yang berlaku.
Malang, 25 September 2018
Pembuat Pernyataan
Enike Risty Sukma Permana
NIM. 125100101111045
vii
Enike Risty Sukma Permana. 125100101111045. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Labu Jepang (Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian Pengaruh Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit).Skripsi. Pembimbing: Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP
RINGKASAN
Labu jepang (kabocha) (Cucurbita maxima L.) merupakan labu yang mempunyai karakteristik mudah rusak dengan kandungan betakaroten yang tinggi. Salah satu upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan labu jepang (kabocha) yang tinggi betakaroten adalah dengan mengolah menjadi tepung. Pengolahan tepung labu jepang (kabocha) yang kurang tepat menjadikan karakteristik tepung yang kurang sesuai seperti menggumpal, menurunnya kemampuan mengikat air dan warna yang kurang menarik sebagai indikasi banyaknya kerusakan pada betakaroten. Proses pretreatment blanching dan perendaman merupakan salah satu upaya untuk meminimalisir kemungkinan kerusakan yang dapat memperbaiki karakteristik tepung. Blanching mampu menginaktivasi enzim penyebab browning, dan suhu yang tepat akan meminimalisir kerusakan pada betakaroten. Sedangkan perendaman Natrium metabisulfit mampu mencegah terjadinya browning akibat enzim fenolase penyebab pencoklatan yang inaktif. Proses blanching dan perendaman Natrium metabisulfit juga berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia dikarenakan proses blanching mampu membuka pori-pori sedangkan perendaman Natrium metabisulfit mempu marusak dinding sel dan berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia tepung.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial menggunakan 2 faktor, dimana faktor I adalah suhu blanching terdiri dari 3 level yaitu suhu 600C, 800C dan tanpa blanching dan faktor II adalah konsentrasi perendaman Natrium metabisulfit dengan 3 level yaitu 0%, 0,1% dan 0,3%. Terdapat 9 kombinasi perlakuan dengan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 27 percobaan. Data kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisa ragam (ANOVA). Apabila tidak terjadi interaksi antara kedua perlakuan maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf 5%. Jika terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) 5%. Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan metode Zeleny
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit berpengaruh nyata (α=5%) terhadap nilai kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar abu, daya serap air, viskositas panas, viskositas holding, viskositas dingin, swelling power, kelarutan, tingkat kemerahan dan tingkat kekuningan. Perlakuan terbaik tepung labu jepang (kabocha) dengan metode Zeleny pada tepung perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisufit 0% dengan nilai masing-masing parameter sebagai berikut: kadar air 9,59%; kadar abu 6,27%; kadar serat kasar 28,11%; kadar lemak 4,49%; kadar pati 27,73; kadar protein 16,68%; total karoten 140,93 mg/100g; daya serap air 6,07 ml/g; viskositas panas 1553,33 cp; viskositas holding 2206,67 cp; viskositas dingin 3386,67 cp; swelling power 27,23 g/g; kelarutan 2,11%; warna kecerahan L 71,52; warna kemerahan a 11,98; warna kekuningan b 40,84.
Kata Kunci : Labu Jepang, Tepung Labu Jepang, Blanching, Natrium Metabisulfit
viii
Enike Risty Sukma Permana. 125100101111045. Characterization of Physicochemical Properties of Japanese Pumpkin Flour (Kabocha) (Cucurbita maxima L.) (Study of the Effect of Blanching Temperature and Soaking Sodium Metabisulfite Concentration). Minithesis. Supervisor: Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP
SUMMARY
Japanese pumpkin (kabocha) (Cucurbita maxima L.) is a pumpkin that has characteristics of perishability with high beta-carotene content. One effort to maximize the use of Japanese pumpkin (kabocha) which is high in beta-carotene is to process it into flour. The improper processing of Japanese pumpkin flour (kabocha) makes the characteristics of flour less suitable such as clumping, decreased ability to bind water and less attractive colors as an indication of the amount of damage to beta-carotene. The process of pretreatment blanching and soaking is an effort to minimize the possibility of damage that can improve the characteristics of flour. Blanching is able to inactivate enzymes that cause browning, and the right temperature will minimize damage to beta-carotene. While soaking natrium metabisulfite is able to prevent browning due to phenolase enzymes that cause inactive browning. The process of blanching and soaking Natrium metabisulfite also affects the physical and chemical characteristics because the blanching process is able to open the pores while soaking Natrium metabisulfite can damage the cell wall and affect the physical and chemical characteristics of flour.
The experimental design used was factorial randomized block design using 2 factors, in which factor I was the blanching temperature consisting of 3 levels, namely temperature 600C, 800C and without blanching and factor II was the concentration of soaking natrium metabisulfite with 3 levels of 0%, 0 , 1% and 0.3%. There were 9 combinations of treatments with 3 replications so that 27 trials were obtained. The data was then analyzed statistically using Analysis of Variance (ANOVA). If there is no interaction between the two treatments then the Smallest Significant Difference Test is carried out with a level of 5%. If there are significant differences, then a further DMRT (Duncan Multiple Range Test) test is 5%. Selection of the best treatment using the Zeleny method.
The results showed that the blanching temperature treatment and soaking concentration natrium metabisulfite significantly (α = 5%) on the value of water content, protein content, starch content, ash content, water absorption, heat viscosity, holding viscosity, cold viscosity, swelling power, solubility, redness and yellowness level. The best treatment of Japanese pumpkin flour (kabocha) by Zeleny method, namely the treatment of flour blanching temperature of 800C and soaking Na-metabisufit 0% with the value of each parameter as follows: water content of 9.59%; ash content 6.27%; crude fiber content 28.11%; 4.49% fat content; starch content 27.73; protein content of 16.68%; total carotene 140.93 mg / 100g; water absorption of 6.07 ml / g; heat viscosity 1553.33 cp; holding viscosity is 2206.67 cp; cold viscosity 3386.67 cp; swelling power 27.23 g / g; solubility of 2.11%; brightness color L 71.52; redness color a 11.98; yellowness color b 40.84.
Keywords: Japanese Pumpkin, Japanese Pumpkin Flour, Blanching, Natrium
Metabisulfite
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang berkat Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Karakterisasi Sifat
Fisikokimia Tepung Labu Jepang (Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian
Pengaruh Suhu Blanching dan Konsentasi Perendaman Natrium Metabisulfit)”
ini dapat terseleikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana (TP)
Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan serta
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Dr. Widya Dwi R.P, STP, MP. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan selama penulisan laporan skripsi ini
sehingga penulisan laporan skripsi ini berjalan lancar.
2. Dosen penguji Dr. Agustin Krisna Wardani, STP., M.Si dan Erni Sofia
Murtini, STP., MP., Ph.D yang telah banyak membimbing saya.
3. Ayah saya Suwandi dan Ibu saya Lilik Suharni atas pengorbanan, doa
dan kesabaran selama ini, juga kakak saya Gigih, Puput, Eka dan Ambar
yang ikut membantu dan mensupport saya.
4. Untuk Andi yang selalu mendukung sampai sekarang serta teman dan
sahabat saya nurul, yesy, seli, melani terimakasih atas bantuan dan
kebersamaan yang sangat berarti.
Semoga Allah SWT memberikan yang berlipat ganda kepada
semuanya. Terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua.
Malang, 28 Agustus 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………...........………………………………………….…….... i
LEMBAR PENGESAHAN …………………….…………………………………... ii
LEMBAR PERSETUJUAN…………........………………………………..……..... iii
RIWAYAT HIDUP ………..………………………………………...………............. iv
LEMBAR PERUNTUKKAN ………………………………………...………........... v
PERNYATAAN KEASLIAN ……………..…………………………...……............ vi
RINGKASAN………………………………………………………..…….....…....... vii
SUMMARY……………………………………………………...……..…....…........ viii
KATA PENGANTAR…………………….…………………………...……............. ix
DAFTAR ISI……………………………….……...…………………………...…....... x
DAFTAR TABEL…………….…………...…..…………………...….….…........... xiii
DAFTAR GAMBAR...………………......………………………………...….…..... xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...……....... xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................................... 4
1.5 Hipotesa ........................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Labu Jepang (Kabocha) ……………………………………………………..…. 5
2.2 Kandungan Kimia Labu Jepang (Kabocha) …………………………………... 5
2.3 Jenis Varietas Labu Kuning Impor……………………….…………………...... 6
2.4 Blanching....................................................................................................... 7
2.5 Natrium Metabisulfit….................................................................................... 8
2.6 Perendaman Natrium Metabisulfi................................................................... 8
xi
2.7 Tepung Labung Kuning.................................................................................. 9
2.8 Karotenoid.................................................................................................... 10
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan waktu Penelitian....................................................................... 14
3.2 Alat dan Bahan Penelitian............................................................................ 14
3.2.1 Alat.....................................................................................................14
3.2.2 Bahan................................................................................................14
3.3 Rancangan Percobaan.................................................................................15
3.4 Prosedur Penelitian...................................................................................... 16
3.4.1 Pembuatan Tepung Labu Kabocha...................................................16
3.4.2 Diagram Alir Penelitian........................................... ..........................17
3.5 Pengamatan..................................................................................................18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku ..............................................................................19
4.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Tepung Labu Kabocha ....................................20
4.2.1 Kadar Air..............................................................................................20
4.2.2 Kadar Pati ...........................................................................................23
4.2.3 Kadar Lemak...................................................................................... 26
4.2.4 Kadar Protein.......................................................................................28
4.2.5 Total Karotenoid.................................................................................. 31
4.2.6 Kadar Serat Kasar............................................................................... 34
4.2.7 Kadar Abu............................................................................................37
4.2.8 Daya Serap Air.....................................................................................40
4.2.9 Viskositas.............................................................................................43
4.2.10 Swelling power.................................................................................. 52
4.2.11 Solubility............................................................................................ 55
4.2.12 Warna................................................................................................ 58
4.3 Perlakuan Terbaik......................................................................................... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………….…………….69
5.2 Saran …………………………………………………………………….………...69
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………70
xii
DAFTAR TABEL
Teks Halaman
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Buah Labu Cucurbita maxima L. Dalam 100
bahan................................................................................................. 6
Tabel 2.2 Jenis Varietas Labu Kuning Impor….................................................. 6
Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Tepung Labu Jepang (Kabocha)................... 15
Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku…............................................................. 19
Tabel 4.2 Rerata Nilai Kadar Air Tepung Labu Kabocha Perlakuan Suhu
Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit.........22
Tabel 4.3 Rerata Nilai Kadar Pati Tepung Labu Kabocha Perlakuan Suhu
Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit..........25
Tabel 4.4 Rerata Nilai Kadar Protein Tepung Labu Kabocha Perlakuan Suhu
Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit..........30
Tabel 4.5 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching............................................................... 33
Tabel 4.6 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit................ 34
Tabel 4.7 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching................................................................36
Tabel 4.8 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit................ 36
Tabel 4.9 Rerata Nilai Kadar Abu Tepung Labu Kabocha Pengaruh Perlakuan
Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit 39
Tabel 4.10 Rerata Nilai Daya Serap Air Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulit..........................................................................................42
Tabel 4.11 Rerata Nilai Viskositas Panas Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulit......................................................................................... 45
Tabel 4.12 Rerata Nilai Viskositas Holding Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulit..........................................................................................48
xiii
Tabel 4.13 Rerata Nilai Viskositas Dingin Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulit..........................................................................................51
Tabel 4.14 Rerata Nilai Sweiiling Power Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulit..........................................................................................53
Tabel 4.15 Rerata Nilai Kelarutan Tepung Labu Kabocha Pengaruh Perlakuan
Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit.57
Tabel 4.16 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching............................................... 60
Tabel 4.17 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit..................................60
Tabel 4.18 Rerata Tingkat Kemerahan Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulit......................................................63
Tabel 4.19 Rerata Tingkat Kekuningan Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulit..........................................................................................65
Tabel 4.20 Perlakuan Terbaik Parameter Fisik dan Kimia Tepung Labu
Kabocha …………………………………………………………………..67
xiv
DAFTAR GAMBAR
Teks Halaman
Gambar 2.1 Labu Jepang (kabocha)............................................................... 5
Gambar 2.2 Struktur Betakaroten.................................................................... 11
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Labu Kabocha….................... 17
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Air Tepung
Labu Kabocha............................................................................. 21
Gambar 4.2 Grafik Rerata Kadar Pati (%) Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit................................................................................... 24
Gambar 4.3 Grafik Rerata Kadar Lemak (%) Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit....................................................................................27
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar ProteinTepung
Labu Kabocha............................................................................. 29
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Total KarotenTepung
Labu Kabocha............................................................................. 32
Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Serat Kasar Tepung
Labu Kabocha............................................................................. 35
Gambar 4.7 Grafik Rerata Kadar Abu (%) Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit................................................................................... 38
Gambar 4.8 Grafik Rerata Daya Serap Air (ml/g) Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman
Natrium Metabisulfit..................................................................... 41
Gambar 4.9 Grafik Rerata Viskositas Panas Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit................................................................................... 44
Gambar 4.10 Grafik Rerata Viskositas Holding Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
xv
Perendaman Natrium Metabisulfit............................................... 47
Gambar 4.11 Grafik Rerata Viskositas Dingin Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman
Natrium Metabisulfit..................................................................... 50
Gambar 4.12 Grafik Rerata Swelling power Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit................................................52
Gambar 4.13 Grafik Rerata Kelarutan Tepung Labu Kabocha Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit................................................................................... 56
Gambar 4.14 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman
Natrium Metabisulfit..................................................................... 59
Gambar 4.15 Grafik Rerata Tingkat Kemerahan Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit................................................62
Gambar 4.16 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha
Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit................................................64
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Teks Halaman
Lampiran 1 Prosedur Analisa.......................................................................... 75
Lampiran 2 Data Analisa Kadar Air................................................................. 81
Lampiran 3 Data Analisa Kadar Abu…........................................................... 82
Lampiran 4 Data Analisa Kadar Pati............................................................... 83
Lampiran 5 Data Analisa Kadar Serat Kasar….............................................. 84
Lampiran 6 Data Analisa Kadar Lemak...........................................................85
Lampiran 7 Data Analisa Kadar Protein...........................................................86
Lampiran 8 Data Analisa Daya Serap Air....................................................... 87
Lampiran 9 Data Analisa Kelarutan................................................................ 88
Lampiran 10 Data Analisa Swelling........…..…………...………...………........... 89
Lampiran 11 Data Analisa Karoten........…..……………….………...…............. 90
Lampiran 12 Data Analisa Warna L........…..…………………...………….......... 91
Lampiran 13 Data Analisa Warna a........…..……………………..………........... 92
Lampiran 14 Data Analisa Warna b........…..……………….………….…........... 93
Lampiran 15 Data Analisa Viskositas Panas........…..…………...………....…... 94
Lampiran 16 Data Analisa Viskositas Holding........…..………..….………...….. 95
Lampiran 17 Data Analisa Viskositas Dingin........…..………………… …...….. 96
Lampiran 18 Perlakuan Terbaik Metode Zeleny........…..……………………..... 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Labu jepang (kabocha) yaitu labu kuning jepang (Cucurbita maxima L.)
yang merupakan salah satu komoditas hasil pertanian yang saat ini melimpah
terutama di wilayah dataran tinggi. Labu jepang (kabocha) termasuk kedalam
jenis tanaman sayuran mejalar dengan famili Cucurbitaceae yang tumbuh
semusim dan mati setelah selesai masa panen. Ketinggian tempat yang cocok
untuk pertumbuhan adalah 1000 meter diatas permukaan laut dengan tingkat
curah hujan yang rendah. Jumlah produksi labu jepang (kabocha) dapat
mencapai sekitar 369.846 ton pada tahun 2010. Jumlah tersebut terus meningkat
mengingat semakin potensial pembudidayaannya. Keunggulan dari labu jepang
(kabocha) terutama pada kandungan serat yang tinggi, lemak yang relatif rendah
dengan karotenoid yang tinggi. Labu jepang (kabocha) dengan warna kuning-
oranye menunjukkan bahwa labu jepang (kabocha) mengandung karotenoid
salah satunya betakaroten yang tinggi dimana betakaroten tersebut merupakan
prekursor vitamin A yang akan tercerna tubuh menjadi vitamin A yang mampu
bertindak sebagai antioksidan bagi tubuh.
Labu yang merupakan komoditas segar mempunyai sifat yang mudah
rusak salah satunya akibat kesalahan penanganan pasca panen. Menurut
Budiman et al.,(1984), kandungan yang penting pada labu seperti kadar air,
nutrisi dan komponen seperti karbohidrat, vitamin dan protein perlu dimanfaatkan
sebagai sumber gizi bagi kita. Dalam kondisi tanpa cacat dan tua saat dipanen,
labu dapat disimpan sampai enam bulan tanpa mengalami perubahan yang
berarti.
Pengolahan labu di Indonesia sangat terbatas dan juga sederhana seperti
hanya dibuat menjadi olahan kue basah dan kolak labu. Sedangkan di beberapa
negara lain, labu telah dimanfaatkan pada skala industri besar pada industri
makanan menjadi produk jam jelly, dan beberapa kue. Sedangkan di beberapa
negara maju, labu dibuat menjadi tepung labu dan diperdagangkan dengan
kemasan kantung kecil untuk memudahkan distribusi.
2
Saat ini pemanfaatan labu yang diolah menjadi tepung labu masih
terbatas pada daging labunya saja. Kulit labu jepang (kabocha) yang juga tinggi
kandungan β-karoten sangat potensial apabila juga dimanfaatkan dan diolah
bersama daging labu menjadi tepung labu sehingga diperoleh tepung labu
dengan kandungan gizi tinggi. Menurut Supriyadi (2015), pada kulit labu kuning
mengandung banyak senyawa kimia penting yang baik bagi tubuh antara lain
magnesium, kalium, seng selain juga karotenoid yang tinggi dilihat dari warna
kulit. Daging labu jepang (kabocha) tinggi akan kandungan β-karoten pada saat
masih segar. Kandungan β-karoten juga tinggi pada bagian kulit. β-karoten tinggi
dapat dilihat dari kenampakan kulit labu jepang (kabocha) yang berwarna
oranye. Kandungan β-karoten pada labu jepang (kabocha) sebesar 767μg/g lebih
tinggi dibandingkan pada labu kuning biasa yang hanya 180 μg/g (Gardjito,
2005).
Pegolahan labu jepang (kabocha) menjadi tepung dilakukan melalui
beberapa proses seperti pencucian, penghilangan bagian yang tidak diinginkan,
pengecilan ukuran, pengeringan penepungan dan pengayakan. Dalam proses
penepungan, sering kali terjadi browning yang menyebabkan tepung menjadi
kecoklatan sehingga dapat menurunkan daya terima pada masyarakat. Browning
terjadi akibat adanya reaksi antara asam amino dan gula pereduksi dengan
adanya proses pemanasan sehingga membentuk warna coklat yang disebut
melanoidin. Untuk meminimalisir terjadinya browning pada labu maka perlu
dilakukan proses pretreatment seperti blanching dan perendaman dengan
natrium metabisulfit. Blanching menurut Winarno (1980), adalah proses
pemanasan pendahuluan dalam pengolahan pangan. Tujuannya adalah
inaktivasi enzim sehingga akan menghambat proses pencoklatan. Sedangkan
natrium metabisulfit berperan menghambat pencoklatan dengan cara berinteraksi
dengan gugus karbonil, hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin
sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Proses blanching mampu
melunakkan tekstur dikarenakan terjadinya hidrolisis pektin tidak larut air pada
komoditas menjadi pektin larut air (Muchtadi, 1992). Selain itu menurut
Kumalaningsih, dkk (2004), blanching mampu mempengaruhi warna karena
enzim PPO (pholyphenoloksidase) inaktif oleh blanching dengan suhu diatas
700C sehingga dapat mencegah perubahan warna. Proses blanching juga akan
membuka pori-pori sehingga akan mempermudah proses pengeringan.
3
Proses dan suhu blanching sangat penting diperhatikan untuk
mempertahankan kandungan β-karoten pada labu jepang (kabocha).
Berdasarkan penelitian pendahuluan melakukan perendaman natrium
metabisulfit 0,1%, 0,2% dan 0,3% selama 10 menit dan 20 menit. Menurut
chrisandy (2013), semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit akan
berdampak baik terhadap daya serap air pada perendaman 20 menit. Namun
perendaman selama 10 menit sudah memberikan efek baik terhadap sifat fisik.
Untuk blanching menggunakan suhu 700C, 800C dan 900C selama 5 menit
dikarenakan menurut Sleagun (2007), pada suhu 700C sudah mampu
mempertahankan karotenoid. Sedangkan suhu 900C akan berdampak pada
penurunan enzim peroksidase penyebab oksidasi. Sehingga kombinasi
pretreatment blanching dan perendaman natrium metabisulfit diharapkan mampu
memberikan efek baik dibandingkan dengan kontrol sehingga akan
menghasilkan tepung labu dengan kualitas baik dengan karakteristik fisik dan
kimia yang sesuai salah satunya dengan dilihat dari kandungan karotenoid tinggi
dengan kenampakan warna yang cerah.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh penggunaan variasi suhu blanching dan
konsentrasi perendamanan Natrium metabisulfit terhadap karakteristik fisikokimia
meliputi kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar serat kasar, kadar lemak,
kadar abu, total karoten, viskositas panas, viskositas holding, viskositas dingin,
daya serap air, warna, kelarutan tepung dan swelling power pada tepung labu
jepang (kabocha) yang dihasilkan?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisikokimia
tepung labu jepang (kabocha) yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar pati,
kadar serat kasar, kadar lemak, kadar abu, total karoten, viskositas panas,
viskositas holding, viskositas dingin, daya serap air, warna, kelarutan tepung dan
swelling power agar dihasilkan produk tepung yang kualitasnya baik.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat memperkaya pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi yang
terkandung dalam tepung labu jepang (kabocha), dan
2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara umum bagaimana
mengolah buah labu jepang (kabocha) agar tidak mudah mengalami
kerusakan, yaitu dengan mengolahnya menjadi tepung dan cara
meminimalisir kerusakan yang terjadi selama proses.
1.5 Hipotesis
Pemberian variasi perlakuan blanching dan konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit yang tepat pada labu jepang (kabocha) akan meningkatkan
kualitas karakteristik fisikokimia tepung labu jepang (kabocha) yang dihasilkan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Labu Jepang (Kabocha)
Labu jepang (kabocha) merupakan labu kuning jepang (Cucurbita
maxima L.) yang temasuk dalam famili cucurbitaceae. Labu jepang (kabocha)
awal mulanya berasal dari Jepang yang kemudian disebarkan dan mulai banyak
dibudidayakan di wilayah Indonesia khususnya di wilayah dataran tinggi.
Ketinggian yang cocok untuk penanaman labu jepang (kabocha) adalah 1000
meter diatas permukaan laut. Tanaman labu jepang (kabocha) termasuk jenis
tanaman menjalar yang hanya hidup semusim sehingga akan mati setelah
selesai masa pemanenan buah labu (Hendrasty, 2003).
Tanaman labu jepang (kabocha) yang berasal dari Jepang memiliki sifat
penanaman yang tidak sulit, baik pada pembibitan, perawatan dan penanganan
produknya sehingga tak jarang di daerah tropis di indonesia mulai banyak
budidaya labu jepang (kabocha) (Hidayah, 2010).
Gambar 2.1 Labu Jepang (kabocha) (Kurnia, 2015).
2.2 Kandungan kimia labu jepang (kabocha)
Labu jepang (kabocha) memiliki beberapa bagian pada buahnya seperti
bagian kulit 12,5%, daging buah 8,2%, jaring-jaring biji dan biji 4,8% (Budiman
dkk, 1984). Labu jepang (kabocha) saat masih muda akan berwarna kuning
cerah sedangka saat telah tua dan siap panen akan berwarna oranye dan keras.
Buah yang tua dapat disimpan sampai enam bulan tanpa perlakuan tertentu
mengingan karakteristik buah yang memiliki daging dan kulit luar yang sangat
keras.
6
Labu jepang (kabocha) memiliki banyak kandungan gizi. Berikut
merupakan komposisi kimia buah labu Cucurbita maxima L. Dalam 100 g bahan:
Tabel 2.1. Komposisi kimia buah labu Cucurbita maxima L. Dalam 100 g bahan
Komposisi (%b/b) Satuan Jumlah (kadar dalam padat)
Kadar air Gram 85-91,2
Kadar protein Gram 0,8-2,0
Kadar lemak Gram 0,1- 0,5
Kadar karbohidrat Gram 3,3-11
Vitamin A IU 340-7800
Vitamin B Miligram 0,014
Vitamin C Miligram 6-21
Kalori kJ 85-170
(Direktori Gizi, Depkes RI (2000)
2.3 Jenis Varietas Labu Kuning Impor
Tanaman labu kuning impor memiliki beberapa varietas seperti pada
Tabel 2.2
Tabel 2.2. Jenis Varietas Labu Kuning Impor
Jenis/ varietas Ciri- ciri
Labu kuning taiwan(early price, first taste, mukua, pride phoenix, mixta pangalo)
Buah berukuran kecil Berat berkisar 1-2 kg/buah Rasabuah enak,padat,manis,kadar air rendah Warna buah kuning tajam,menarik Umur panen 90 hari
labu kuning Hai Je Pi (vegetable spaggety squash)
Bentuk bulat oval Warna kulit putih susu Warna daging buah muda kuning muda, daging buah tua kuning tua
Labu kuning Amerika Tahan terhadap hama penyakit Bersulur pendek
Labu kuning Australia dan Jepang Daging buah muda terurai Berat buah 1-2 kg Ukuran buah besar
Labu kuning Zapella dari Denmark Termasuk jenis labu kuning bokor Bentuk buah bulat Warna kulit kuning Ukuran biji kecil
Labu kuning Kabocha dari Jepang (Melanoformis makino, Tetsukabuto, Oligatatersumabuko, Miyako)
Bentuk buah mungil, berat 2 kg/buah Kulit hijau berbecak kuning/cklat muda Daging buah kuning keemasan, halus,gempi Rasanya manis
Sumber: (Sudartoyudo,2000)
7
2.4 Blanching
Blanching merupakan salah satu proses pre-treatment yang merupakan
proses pendahuluan yang biasa digunakan pada proses pengolahan produk.
Menurut (Rahman, 2007), blanching mampu merusak permeabilitas membran
sel, merusak sel turgor dan menghilangkan udara pada bahan. Blanching sendiri
dapat memberikan efek pada tekstur, warna, rasa dan nutrisi oleh inaktivasi
enzim. Blanching pada suhu 700C selama 10 – 30 menit mampu menjaga
kestabilan betakaroten. Sedangkan blanching pada suhu 700C - 1050C dapat
menyebabkan kerusakan aktivitas enzim.
Menurut Muchtadi (1992), proses blanching berpengaruh pada tekstur
dikarenakan blanching mampu memberikan efek pelunakan pada tekstur karena
terjadinya hidrolisis pektin tidak larut air pada komoditas menjadi pektin larut air.
Selain itu menurut Kumalaningsih, dkk (2004), blanching mampu mempengaruhi
warna karena enzim PPO (pholyphenoloksidase) inaktif oleh blanching dengan
suhu diatas 700C yang berdampak pada pencegahan perubahan warna. Proses
blanching juga akan membuka pori-pori sehingga akan mempermudah proses
pengeringan sehingga pengeringan dapat berlangsung lebih cepat.
Proses blanching dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain
yaitu:
1. Water Blanching
Water blanching adalah proses blanching yang melibatkan air panas pada
treatment dengan mengkontakkan bahan langsung dengan air. Kehilangan
komponen bahan cukup tinggi dikarenakan banyak komponen larut air yang
larut dalam air namun membutuhkan waktu yang lebih singkat karena bahan
kontak langsung dengan air.
2. Steam Blanching
Steam blanching adalah metode blanching dengan melibatkan uap
panas. Bahan yang diberikan treatment steam blanching hanya kontak dengan
uap sehingga akan meminimalisir kehilangan komponen larut air. Metode ini
membutuhkan waktu lebih lama.
3. Blanching dengan Microwave
Blanching dengan microwave dilakukan denga cara membungkus bahan
dengan wadah tipis/ film bag. Namun metode ini tidak cocok digunakan pada
skala industri karena membutukan biaya yang besar. Microwave blanching
8
mampu menurunkan kontaminasi mikroba dengan kehilangan nutrisi yang sedikit
(Lamikanra, 2005).
2.5 Natrium Metabisulfit
Natrium metabisulfit merupakan senyawa kimia yang berbentuk kristal
putih dengan bau merangsang. Natrium metabisulfit mempunyai kemampuan
ganda yaitu bertindak sebagai bahan pemucat/pencegah terjadinya reaksi
browning juga sebagai bahan pengawet. Dosis penggunaan Natrium Metabisulfit
adalah sebear 0,01% - 0,06% atau 0,1 – 0,6 g/kg produk ( Suprapti, 2003).
Menurut winarno (1980), natrium metabisulfit dapat menghambat proses
pencoklatan yang terjadi akibat browning dengan cara berinteraksi dengan gugus
karbonil sehingga hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin dan berefek
penghambatan pembentukan warna coklat.
2.6 Perendaman Natrium Metabisulfit
Menurut Astawan (2008), proses perendaman dengan menggunakan
sulfur dioksida seperti sodium sulfat, sodium bisulfit dan sodium metabisulfit
dapat memberikan efek mencegah browning. Perendaman menggunakan sulfur
oksida dapat menyebabkan enzim fenolase pada bahan inaktif sehingga
browning dapat dicegah. Adanya sulfit pada mampu memblokir reaksi
pembentukan senyawa 5 hidroksil metal furfural dari D-glukosa sehingga mampu
menghambat proses pencoklatan akibat enzim fenolase sehingga pembentukan
warna coklat tidak terjadi (Fenema, 1996). Natrium metabisulfit mampu
meningkatkan absorbsi air oleh bahan dikarenakan natrium metabisulfit bertindak
merusak dinding sel jaringan pada bahan (Rahman (1999) dalam Chrisandy,
2013).
Proses perendaman menggunakan Natrium metabisulfit berdampak pada
tingkat keputihan karena sifat sulfit yang mampu mencegah terjadinya
pencoklatan. Menurut Rizal (2013), bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit yang digunakan akan berdampak pada peningkatan derajat
keputihan. Natrium metabisulfit juga mampu mempengaruhi karakteristik kimia
dari suatu bahan. Kadar abu dapat dipengaruhi oleh adanya perlakuan
menggunakan Natrium metabisulfit karena natrium metabisulfit mampu berperan
dalam pengikatan mineral pada bahan sehingga dapat meningkatkan kadar abu
(Rizal, 2013). Menurut Desti (2012), peningkatan kadar abu dipengaruhi oleh
9
peningkatan konsentrasi natrium metabisulfit karena adanya mineral S dan Na
sehingga akan mengikat komponen mineral yang ada pada bahan. Selain itu
menurut Chrisandy (2013), natrium metabsulfit mampu mencegah terjadinya
oksidasi sehingga mampu mempertahankan warna, cita rasa dan karoten pada
bahan.
2.7 Tepung Labu Kuning
Proses pembuatan tepung labu kuning adalah dengan cara:
1. Pensortiran buah
Proses sortir dilakukan dengan cara memilih buah yang masih mengkal,
berkulit berwarna oranye-kuning, tidak cacat atau luka dan tidak terserang
penyakit. Buah mengkal ditandai dengan buah yang belum matang maksimal
yang dipanen 5 – 10 hari sebelum masa panen seharusnya. Buah labu yang
matang akan memiliki kandungan pati rendah, kadar air tinggi dengan daging
buah lembek sehingga tidak cocok dibuat mejadi tepung (Adelina, 2015).
2. Pencucian
Pencucian merupakan upaya untuk mengurangi mikroba dan kotoran
yang menempel pada labu sehingga tidak mengganggu proses dan hasil tepung
labu.
3. Pemotongan
Pemotongan menggunakan pisau berfungsi untuk memperkecil ukuran
labu sehingga memudahkan proses Slice rmenjadi chip dan juga memudahkan
proses penghilangan jonjot dan biji labu.
4. Pembentukan chip labu mengunakan slicer
Labu dibuat menjadi chip untuk memudahkan proses pengolahan menjadi
tepung. Proses slicer berfungsi untuk pengecilan ukuran labu sehingga nantinya
proses treatment akan maksimal baik pada saat blanching dan perendaman.hal
ini dikarenakan slicer akan memperluas luas permukaan labu (Adelina, 2015).
5. Proses blanching
Blanching berfungsi untuk menurunkan resiko browning karena inaktivasi
enzim pada suhu 70 – 1050C dan mampu menjaga kestabilan karoten pada suhu
700C (Rahman, 2007). Blanching menggunakan metode water blanching dengan
cara melibatkan air panas pada treatment dengan mengkontakkan bahan
10
langsung dengan air. Hal ini dimaksudkan agar proses blanching lebih efisien,
ekonomis dan maksimal.
6. Perendaman natrium metabisulfit
Perendaman natrium metabisulfit berfungsi untuk menghambat proses
pencoklatan yang terjadi akibat reaksi browning (winarna, 1980).
7. Penirisan
Penirisan bertujuan untuk mengurangi kadar air awal bahan setelah
diberikan treatment yang nantinya akan membantu proses pengeringan. Hal ini
karena kadar air yang semakin tinggi akan mempersulit proses pengeringan dan
memperlama (Adelina, 2015).
8. Pengeringan
Pengeringan menggunakan cabinet drying dengan suhu 600C. Suhu yang
tinggi akan mempercepat proses pengeringan namun akan menyebabkan
kerusakan betakaroten semakin banyak. Sedangkan suhu rendah akan
mencegah kerusakan karoten dan mencegah gosong namun membutuhkan
waktu yang lama. Pada umumnya kadar air bahan yang dikeringkan yaitu
mencapai 1% - 20% (Santoso, 1995).
9. Penggilingan / penepungan dan pengayakan
Penggilingan berfungsi untuk menghaluskan chip labu yang telah kering.
Proses penggilingan akan menjadikan tekstur chip menjadi haus dan hancur
sehingga menjadi tepung. Hasil penggilingan kemudian dilakukan pengayakan
menggunakan ayakan 60 mesh (Adelina, 2015).
2.8 Karotenoid
Menurut Khomsan (2008), karotenoid merupakan suatu pigmen alami
berupa zat warna kuning sampai merah yang terbagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama yaitu karotenoid pro-vitamin A meliputi karoten, alfa karoten,
dan gamma karoten. Sedangkan golongan kedua yaitu karotenoid non-pro-
vitamin A yang terdiri dari fucoxanthin, neokanthin dan violaxanthin. Karotenoid
pro-vitamin A berfungsi sebagai nutrisi aktif dalam tubuh sedangkan karotenoid
non-pro-vitamin A termasuk senyawa non nutrisi aktif dalam tubuh.
Menurut Mayer (1973) dalam jurnal Mumpuni (2006), karotenoid dapat
dikelompokkan mejadi 4 golongan, antara lain:
11
1. Xantofil dan derivat karoten
Xantofil dan derivat karoten mengandung oksigen dan hidroksil. Meliputi
lutein dan kriptoxantin
2. Karoten yang merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56
Meliputi alfa karoten, betakaroten, gamma karoten dan likopen.
3. Asam karotenoid
Asam karotenoid merupakan derivat karoten yang mengandung gugus
karboksil
4. Ester xantofil
Ester xantofil merupakan ester asam lemak. Meliputi Zeaxantin.
Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A banyak dijumpai di
makanan nabati. Dalam tubuh, karotenoid akan disintesis menjadi vitamin A.
Karotenoid yang terdapat pada produk nabati adalah betakaroten, alfa karoten,
cryptoxanthin, lutein, zeaxhantin dan likopen. Aktifitas vitamin A (retinol) yang
besar yaitu pada betakaroten (Mumpuni, 2006).
Betakaroten merupakan pigmen berwarna dominan merah jingga yang
dtemukan secara alami pada tumbuhan dan buah-buahan.Betakaroten
merupakan senyawa organik. Adanya ikatan ganda menyebabkan betakaroten
mudah mengalami oksidasi. Betakaroten merupakan penangkap oksigen dan
sebagai antioksidan sehingga mampu menangkal radikal bebas. Karoten
kemudian dapat disimpan dalam hati dan diubah menjadi vitamin A sesuai
dengan kebutuhan.
Gambar 2.2.Struktur betakaroten (Adelina, 2015).
Karoten mempunyai karakteristik titik leleh berkisar antara 1780C – 1840C,
tidak larut dalam air, methanol, etanol, larut dalam minyak (Bauernfein & Klaul
(1981) dalam Mumpuni (2006). Betakaroten sebagian besar berupa ikatan
hidrokarbon yang mana ikatan rangkapnya menyebabkan betakaroten mudah
mengalami oksidasi saat terpapar oksigen. Pada betakaroten mengandung 11
ikatan rangkap pada setiap 1 molekul betakaroten (Mumpuni, 2006).
12
Menurut Mumpuni (2006), betakaroten mengalami oksidasi secara acak
pada rantai karbon dengan ikatan ganda. Oksidasi tersebut akan berlangsung
lebih cepat dengan adanya sinar, besi, mangaan, tembaga yang termasuk katalis
logam. Suhu dapat mempengaruhi percepatan kerusakan betakaroten. Namun
pemanasan pada suhu 600C belum dapat merusak karotenoid (Muchtadi, 1992).
Kerusakan karotenoid dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Oksidasi
Menurut mumpuni (2006), karotenoid dapat rusak akibat adanya reaksi
oksidasi.Oksidasi tersebut dapat berupa oksidasi enzimatis dan oksidasi non
enzimatis. Dimana oksidasi enzimatis dikarenakan adanya katalis oleh enzim
lipoksigenase yang menghasilkan hidroksi betakaroten, semi karoten,
betakaroten, aldehid, dan hidroksi beta neokaroten.
2. Suhu tinggi
Suhu yang tinggi menyebabkan kerusakan pada karotenoid. Menurut
mumpuni (2006), suhu tinggi akan mendegradasi karotenoid sehingga terjadi
dekomposisi dan menyebabkan penurunan intensitas warna.
3. Isomerisasi
Menurut O’Sullivan (2010), betakaroten alami umumnya berbentuk
geometris trans. Namun dengan adanya proses pemanasan dan suhu tinggi
dapat menyebabkan betakaroten yang awalnya berbentuk geometris trans
menjadi bentuk cis yang tidak stabil. Sehingga bentuk all trans pada karoten
akan berdampak pada semakin kuatnya warna dan ikatan cis menunjukkan
semakin terangnya warna.
14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboraturium Teknologi Pengolahan Pangan pada
bulan Oktober 2015–Januari 2016. Analisa dilakukan di Laboraturium Biokimia
pangan jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya dan Laboraturium Sentral Ilmu Hayati Universitas
Brawijaya.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada pembuatan tepung labu jepang (kabocha)
adalah cabinat dryin, slicer, baskom,labu ukur, ayakan 60 mesh, termometer,
kompor, panci steam. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisa yaitu
timbagan analitik, blender, sendok,krus porselen, oven, stopwatch, vortex,
penjepit, gelas ukur, erlenmeyer, tabung reaksi, spektrofotometer, pipet ukur,
kertas saring, pipet tetes, corong, rak tabung reaksi, viscometer
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah labu jepang (kabocha) ( cucurbita maxima
L.) yang diperoleh dari Sarangan Magetan dengan karakteristik buah yang masih
mengkal. Sedangkan bahan kimia diperoleh dari toko Makmur Sejati, Malang.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisa meliputi tablen kjeldahl,
H2SO4
indikator phenolptalin, H2BO3, indikator metil merah, NaOH, HCl, PE, eter,
alkohol, K2SO4, aseton, dan Na2SO4.
15
3.3 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok dengan 2
perlakuan yaitu suhu blanching dan konsentrasi natrium metabisulfit. Untuk
variasi suhu blanching yang digunakan adalah blanching suhu 600C, 800C dan
tanpa blancing dengan konsentrasi perendaman dengan natrium metabisulfit 0%,
0,1% dan 0,3%. Untuk volume larutan yang digunakan sebanyak 200 ml pada
masing-masing perlakuan dengan sampel sebanyak 250 gram. Pada setiap
perlakuan dilakukan ulangan sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 27 sampel
percobaan. Kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Tepung Labu jepang (kabocha)
Suhu Blanching (0C) Konsentrasi Perendaman natrium metabisulfit (%)
0%(P1) 0,1%(P2) 0,3%(P3)
Tanpa Blanching (B1) B1P1 B1P2 B1P3
60 (B2) B2PI B2P2 B2P3
80 (B3) B3P1 B3P1 B3P3
Keterangan :
B1, B2, B3= variasi suhu blanching (0C)
P1, P2, P3= variasi konsentrasi perendaman dengan natrium metabisulfit (%)
B1P1 = Perlakuan tanpa blanching dan perendaman Na-metabisulfit 0%
B1P2 = Perlakuan tanpa blanching dan perendaman Na-metabisulfit 0,1%
B1P3 = Perlakuan tanpa blanching dan perendaman Na-metabisulfit 0,3%
B2P1 = Perlakuan blanching suhu 600C dan perendaman Na-metabisulfit 0%
B2P2 = Perlakuan blanching suhu 600C dan perendaman Na-metabisulfit
0,1%
B2P3 = Perlakuan blanching suhu 600C dan perendaman Na-metabisulfit
0,3%
B3P1 = Perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisulfit 0%
B3P2 = Perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisulfit
0,1%
B3P3 = Perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisulfit
0,3%
Untuk menghitung hasil yang didapat menggunakan persamaan
additive model sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij ± ∑ ijk
16
Dimana:
i = perlakuan 1 (variasi suhu blanching)
j = perlakuan 2 (variasi konsentrasi perendaman)
k = 3 kali ulangan
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan tepung labu jepang (kabocha)
Pembuatan tepung labu jepang (kabocha) dilakukan melalui beberapa
tahapan.
a. Persiapan alat dengan cara membersihkan semua alat yang akan digunakan
b. Selanjutnya persiapan wadah yang telah dibersihkan dan pemberian label
c. Persiapan labu jepang (kabocha) yang digunakan dengan pencucian,
penirisan dan penghilangan jonjot serta biji dan pengecilan menjadi 4 bagian.
d. Selanjutnya pemotongan dengan menggunakan slicer.
e. Selanjutnya dilakukan blanching pada beberapa variasi yaitu tanpa
blanching, blanching suhu 600C dan blanching suhu 800C selama 5menit
f. Perendaman dengan natrium metabisulfit dengan variasi konsentrasi yaitu
0%, 0,1% dan 0,3% selama 10 menit.
g. Selanjutnya pengeringan dengan cabinet drying 600C selama 6-7 jam
h. Penghancuran menggunakan blender/ mesing penggiling
i. Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
17
3.4.2 Diagram Alir Penelitian
Pembuatan tepung labu jepang (kabocha)
Pencucian dan penirisan
Penghilangan jonjot dan biji
Pengecilan ukuran (pembelahan menjadi 4 bagian)
Pemotongan dengan slicer ± 2mm
Blanching ± 5 menit pada suhu 600C (+- 50C) , 800C (+- 50C) dan tanpa blanching
metode water blanching
Perendaman natrium metabisulfit 0%, 0,1%, dan 0,3% selama ± 10 menit
Penirisan
Pengeringan cabiner drying suhu 600C (+- 50C), 6-7 jam
Penggilingan chip dengan blender
Pengayakan 60 mesh
Gambar 3.1 Diagram alir pembuatan tepung labu kabocha (Modifikasi
Chrisandy, 2013)
Labu jepang (kabocha)
Tepung Labu jepang (kabocha)
Analisa:
Kadar protein
Kadar pati
Kadar seratkasar
Kadar lemak
Kadar air
Kadar abu
Analisa kimia:
Kadar protein
Kadar pati
Kadar serat kasar
Kadar lemak
Kadar air
Kadar abu
Total karoten
Analisa fisik:
Warna
Viskositas panas,
viskositas holding,
viskositas dingin
Kelarutan
Daya serap air
Swelling Power
18
3.5 Pengamatan
Pengamatan terhadap komposisi kimia tepung labu jepang (kabocha)
meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar pati, serat kasar
(AOAC,1970 dalam Sudarmadji dkk, 1997) dan penentuan total karoten (AOAC,
1995). Pengamatan terhadap karakteristik fisik meliputi warna, viskositas, daya
serap air, kelarutan tepung, daya dispersi,rendemen
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah Labu jepang
(kabocha) (Cucurbita maxima L) segar yang dipanen saat dalam kondisi
mengkal. Labu segar kemudian dilakukan analisa dengan beberapa parameter
yaitu kadar air, lemak, abu, total gula, serat kasar dan protein. Hasil analisa
ditampilkan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku
Parameter Labu jepang (kabocha)
Hasil Analisa Literatur
Kadar Air (%) 93,12 87,601
Kadar Abu (%) 0,86 0,593
Serat Kasar (%) 2,05 -
Kadar Pati (%) 2,10 -
Kadar Protein (%) 0,85 0,93
Kaadar Lemak (%) 1,01 0,79
Total Gula (%) 1,45 -
Total Karoten (mg/100g) 30,14 17,442
Keterangan : 1 Kim Sung-Ran(2005) , 2Arina Manasika (2015),3 Anis
Puspitaningtyas (2004)
Tabel 4.1 menunjukkan hasil perbandingan analisa bahan baku labu
jepang (kabocha) segar dengan literatur. Labu yang digunakan adalah labu
kabocha dengan nama latin Cucurbita maxima L. Labu yang digunakan memiliki
ciri-ciri berat ±2 kg, diameter ±15-20 cm dengan tingkat kematangan sedang.
Buah diperoleh dari petani yang sama yang berasal dari petani di Sarangan
Magetan yang dipanen sekitar 5 – 10 hari sebelum waktu panen. Menurut uji
diperoleh nilai kadar air labu jepang (kabocha) segar sebesar 93,12%, kadar abu
sebesar 0,86%, kadar serat kasar sebesar 2,05%, kadar pati sebesar 2,1%,
kadar protein sebesar 0,85%, kadar lemak 1,01%, total gula sebesar 1,45% dan
total karoten sebesar 30,14 mg/100g.
Hasil uji buah labu jepang (kabocha) segar menunjukkan bahwa terdapat
perbedan dengan nilai uji labu jepang (kabocha) segar menurut literatur. Data
20
tersebut menunjukkan komponen terbesar pada labu jepang (kabocha) segar
adalah air yaitu sebesar 93,12% sedangkan menurut lliteratur sebesar 87,60%.
Kadar abu labu jepang (kabocha) segar sebesar 0,86% sedangkan menurut
literatur memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 0,59%. Hasil uji
Kadar protein labu jepang (kabocha) segar yaitu sebesar 0,85% yang tidak
berbeda jauh dengan literatur yaitu sebesar 0,93%. Kadar lemak labu jepang
(kabocha) segar hasil uji memiliki nilai yang tidak berbeda jauh dengan literatur.
Total karoten labu jepang (kabocha) segar menurut uji yaitu sebesar
30,14 mg/100g, sedangkan menurut literatur yaitu sebesar 17,44mg/100g
(Manasika (2015). Perbedaan nilai total karoten labu jepang (kabocha) segar
hasil uji dengan literatur dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah yang
digunakan. Labu jepang (kabocha) yang semakin matang akan memiliki nilai
karoten yang lebih tinggi dibandingkan ketika masih muda. Faktor lain yang juga
mempengaruhi kandungan karoten yaitu kondisi lahan tempat penanaman labu
jepang (kabocha) seperti ketersediaan unsur hara, perbedaan suhu, tanah,
intensitas paparan cahaya matahari, dan perlakuan pasca panen.(Cazzonelli dan
Pogson, 2010).
4.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Tepung Labu jepang (kabocha)
4.2.1 Kadar Air
Air merupakan salah satu komponen penting yang menentukan
karakteristik suatu bahan. Kadar air produk tepung perlu diketahui karena
berhubungan dengan daya simpan tepung. Tepung dengan kadar air yang tinggi
cenderung mudah mengalami kerusakan akibat bakteri, kapang dan khamir yang
mudah berkembang biak. Sebaliknya kadar air yang rendah akan menyulitkan
mikroorganisme tumbuh sehingga daya simpan tepung akan lebih lama. Kadar
air berpengaruh terhadap kenampakan, umur simpan, tekstur, dan cita rasa pada
suatu bahan karena pertumbuhan mikroorganisme (Prabowo, 2010). Semakin
tinggi kadar air maka maka pertumbuhan mikroorganisme akan semakin cepat
sehingga proses perusakan tepung akan semakin cepat dan umur simpan
produk semakin singkat (Winarno, 2002).
Rerata kadar air tepung labu jepang (kabocha) pretreatment blanching
dan perendaman Natrium Metabisulfit berkisar antara 9,015 % - 11,866 %. Grafik
21
rerata kadar air tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan
perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu
blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Air Tepung
Labu jepang (kabocha)
Gambar 4.1 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai kadar
air tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu blanching pada
ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata kadar air tertinggi terdapat
pada perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi perendaman 0,3% yaitu
sebesar 11,866 %. Rerata kadar air terendah terdapat pada perlakuan blanching
suhu 800C dengan konsentrasi perendaman 0,3% yaitu sebesar 9,015 %.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai
kadar air sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman tidak berpengaruh
nyata terhadap nilai kadar air. Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching
dan konsentrasi perendaman terhadap kadar air tepung labu jepang (kabocha).
Hasil uji lanjut nilai kadar air terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat
pada tabel 4.2.
0
2
4
6
8
10
12
14
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Kad
ar A
ir (
%)
Variasi Suhu Blanching
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
22
Tabel 4.2 Rerata Nilai Kadar Air Tepung Labu jepang (kabocha) Perlakuan Suhu
Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Natrium
Metabisulfit (%) Kadar Air (%) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 11,32±0,71 bc 0,877 - 1,005 %
0,1 10,90±0,70 bc
0,3 11,86±0,62 c
60
0 9,66±0,64 a
0,1 9,70±0,39 a
0,3 10,85±0,31 b
80
0 9,59±0,53 a
0,1 9,98±0,39 ab
0,3 9,01±0,24 a
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Suhu blanching memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air tepung
labu jepang (kabocha) diduga dikarenakan suhu berperan dalam proses
kerusakan struktur granula pati. Suhu yang tinggi menyebabkan granula pati
terbuka sehingga menyebabkan terjadinya penetrasi air yang tinggi. Penetrasi air
yang tinggi terjadi karena peningkatan suhu menyebabkan ikatan antar molekul
pati lemah. Menurut Rosdanelli (2005) mengemukakan bahwa apabila ikatan
molekul air yang terdiri dari hidrogen dan oksigen terpecah, maka molekul akan
keluar dari bahan tersebut. Molekul yang keluar menyebabkan kehilangan air
pada bahan sehingga dapat memperbesar penguapan air pada proses
pengeringan yang berdampak pada kadar air yang rendah. Metode water
blanching adalah proses blanching yang melibatkan air sebagai media yang
langsung kontak dengan chips labu jepang (kabocha) yang menyebabkan ikatan
hidrogen penyusun amilosa dan amilopektin terputus sehingga pada saat proses
pengeringan, air yang terdapat pada bahan mudah menguap. Mudahnya proses
penguapan diakibatkan karena semakin meningkatnya sifat permeabilitas dinding
sel sehingga proses pengeringan semakin cepat (puspasari, 2012).
Konsentrasi perendaman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
kadar air tepung labu jepang (kabocha) diduga dikarenakan konsentrasi
perendaman Natrium Metabisulfit yang diberikan belum optimum terserap pada
23
bahan. Suhu blanching berpengaruh pada besar kecilnya granula pati yang
terbuka. Semakin besar granula pati yang terbuka maka memudahkan natrium
metabisulfit masuk dan merusak sel-sel jaringan bahan sehingga bahan menjadi
semakin berlubang.
4.2.2 Kadar Pati
Pati merupakan polisakarida yang dihasilkan oleh tanaman yang
mengandung unit-unit D-glukosa dengan ikatan glikosidik α-(1,4). Pati terdiri dari
dua fraksi yaitu fraksi terlarut yang merupakan komponen amilosa dan fraksi
tidak terlarut yang merupakan komponen amiloperktin. Menurut Sajilata (2006)
bahwa amilosa merupakan fraksi lurus sedangkan amilopertin merupakan fraksi
bercabang dengan percabangan merupakan ikatan α-(1,6). Sifat pada pati yaitu
tegantung pada panjang rantai karbonnya dan lurus atau bercabang rantai
molekulnya. Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada buah adalah
pati, gula, pektin dan selulosa. Komponen pati pada buah akan mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya proses pematangan(Puspitaningtyas,
2004).
24
Tepung labu jepang (kabocha) memiliki rerata kadar pati antara 16,59% -
29,55%. Grafik rerata kadar pati tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat pada
Gambar 4.2
Gambar 4.2 Grafik Rerata Kadar Pati (%) Tepung Labu jepang
(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kadar pati tepung labu jepang
(kabocha) cenderung meningkat seiiring dengan meningkatnya suhu blanching.
Perlakuan tanpa blanching dengan perendaman 0,1% Natrium Metabisulfit
memiliki kadar pati paling tinggi yaitu sebesar 29,55%. Kadar pati paling rendah
terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan perendaman 0,3% Natrium
Metabisulfit yaitu sebesar 16,59%. Menurut Puspitaningtyas(2004), kadar pati
tepung labu jepang yang tidak diberikan perlakuan blanching sebesar
42,33%(bk) dan 35,04%(bk) yang diberikan perlakuan blanching. Perbedaan
tersebut diduga dikarenakan perbedaan karakteristik buah labu jepang yang
digunakan. Buah labu jepang dengan karakteristik tingkat kematangan dan lokasi
geografis lingkungan tempat menanaman labu jepang yang berbeda
menyebabkan karakteristik buah labu yang berbeda(Wahyuni, 2015).
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar pati
sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh nyata terhadap
0
5
10
15
20
25
30
35
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Kad
ar P
ati (
%)
Suhu Blanching ( )C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
25
nilai kadar pati. Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching dan
konsentrasi perendaman terhadap kadar pati tepung labu jepang (kabocha).
Hasil uji lanjut nilai kadar pati terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Rerata Nilai Kadar Pati Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%) Kadar Pati (%) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 24,28±0,2 c 2,895 - 3,319
0,1 29,55±1,0 d
0,3 16,59±1,6 a
60
0 26,33±2,3 cd
0,1 19,74±1,7 b
0,3 23,81±1,7 c
80
0 27,73±1,8 d
0,1 21,57±1,1 bc
0,3 24,46±2,4 c
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan tabel 4.2 terdapat interaksi perlakuan suhu blanching
dengan perendaman narium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda
terhadap kadar pati tepung labu jepang (kabocha). Kadar pati tepung labu jepang
(kabocha) diduga pada granula patinya tidak mengalami pecah granula namun
hanya mengalami pembengkakan. Pembengkakan yang terjadi tidak sampai
menyebabkan gugus amilosa dan amilopektin putus namun hanya mengalami
peregangan sehingga proses penetrasi air pada granula pati tidak maksimal.
Suhu 60 0 C dan 80 0C yang digunakan pada proses blanching diduga proses
penetrasi air yang terjadi pada granula pati tidak terlalu besar. Penetrasi air yang
tidak besar disebabkan oleh penggunaan suhu rendah pada proses perendaman
pada saat blanching. Menurut Rincon et al (2004) menyatakan bahwa suhu yang
rendah tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap penetrasi air pada granula
sehingga gugus amilosa dan amilopektin hanya mengalami peregangan.
26
Konsentrasi perendaman natrium metabisufit diduga menyebabkan
terjadinya ikatan silang (cross linked) sehingga kemampuan amilosa mengikat
amilosa yang lain akan turun dan pati menjadi tidak mudah mengalami
retrogradasi. Menurut Marsono (1993) dalam Haryadi (2006) menyatakan bahwa
proses retrogradasi pati dapat merubah struktur
pati yang menjadi tidak mudah larut akibat pembentukan struktur kristalin.
Pati yang tidak mudah mengalami retrogradasi akan lebih mudah untuk larut
yang berdampak pada penurunan kadar pati. Proses perendaman Natrium
Metabisulfit cenderung menurunkan kadar pati tepung labu jepang (kabocha)
yang dihasilkan. Hal ini diduga semakin tingginya konsentrasi natrium
metabisulfit maka akan berdampak pada penurunan kadar pati. Menurut Andika
(2010) menyatakan bahwa dengan adanya penambahan natrium metabisulfit
sebesar 0,1 – 0,2 % akan menurunkan kandungan pati sekitar 2-4%.
4.2.3 Kadar Lemak
Lemak merupakan suatu polimer yang tersusun atas unsur- unsur C, H
dan O. Analisa lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet yang
melibatkan senyaa petroleum eter sebagai pelarut. Petroleum eter merupakan
pelarut non polar sehingga akan melarutkan senyawa- senyawa yang bersifat
non polar. Kadar lemak dapat diperoleh dengan cara memisahkan lemak dengan
pelarutnya dengan menguapkan melalui pemanasan. Kadar lemak tepung labu
jepang perlakuan blanching dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar
antara 4,4 – 4,76%. Kadar lemak tepung labu jepang perlakuan blanching
menurut Puspitaningtyas (2004), yaitu sebesar 3,17% (bk) sedangkan menurut
Aanggrahini (2006) kadar lemak tepung labu jepang tanpa perlakuan
pendahuluan yaitu sebesar 0,78%.
27
Grafik rerata kadar lemak tepung labu kuning kabocha pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi
perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Grafik Rerata Kadar Lemak (%) Tepung Labu jepang
(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit
Gambar 4.3 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai kadar
lemak tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu blanching
pada ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata kadar lemak tertinggi
terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi perendaman 0 %
yaitu sebesar 4,76 %. Rerata kadar lemak terendah terdapat pada perlakuan
blanching suhu 800C dengan konsentrasi perendaman 0,3% yaitu sebesar 4,4 %.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar lemak. Selain itu, tidak
terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap
kadar lemak tepung labu jepang (kabocha).
Perbedaan perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap
hasil kadar lemak tepung labu jepang. Perlakuan tanpa blanching memberikan
hasil kadar lemak paling rendah dibandingkan perlakuan blanching suhu 600C
dan 800C yaitu sebesar 4,43%. Lebih rendahnya kadar lemak tepung labu jepang
tanpa blanching dibandingkan dengan tepung labu jepang perlakuan balnsing
diduga dikarenakan tepung labu jepang perlakuan tanpa blanching belum
mengalami perubahan komposisi kimia. Proses blanching akan menyebabkan
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Kad
ar L
em
ak (
%)
Suhu (ºC)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
28
terjadinya perubahan komposisi kimia pada bahan termasuk pada buah labu.
Menurut Muharam (1992) dalam Puspitaningtyas (2004) Tepung singkong
dengan perlakuan pengukusan (blanching) memiliki nilai kadar lemak lebih tinggi
dibandingkan tepung yang tidak mengalami pengukusan (blanching). Proses
pemanasan dengan suhu tinggi akan menyebabkan kehilangan air yang lebih
tinggi pada bahan sehingga akan meningkatkan jumlah lemak, protein dan
karbohidrat (Ranken, 2000).
Perlakuan blanching suhu 80 0C memberikan hasil nilai kadar lemak
paling tinggi yaitu sebesar 4,67%. Sedangkan perlakuan blanching suhu 600C
menghasilkan nilai kadar lemak sebesar 4,59%. Perlakuan konsentrasi
perendaman natrimum metabisulfit menghasilkan hasil tidak berpengaruh nyata
(α=0,05) terhadap kadar lemak tepung labu jepang yang dihasilkan.
Perbedaan perlakuan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung labu jepang. Perendaman
konsentrasi natrium metabisulfit 0,3% memiliki nilai kadar lemak tertinggi yaitu
sebesar 4,63% sedangkan kadar lemak terendah pada perendaman natrium
metabisulfit 0%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung labu
jepang. Menurut Suprapto (2006) bahwa perendaman menggunakan natrium
metabisulit tidak memberikan perbedaan nyata terhadap kadar lemak tepung
pisang. Hal ini diduga dikarenakan peran natrium metabisulfit pada proses
perendaman lebih pada penghambatan proses pencoklatan dengan menginaktif
enzim penyebab pencolatan sehingga tidak sampai berdampak pada perubahan
kadar lemak tepung labu jepang.
4.2.4 Kadar Protein
Kadar protein tepung labu jepang diperoleh menggunakan metode mikro
kjeldahl dimana protein yang terhitung merupakan kadar protein kasar
berdasarkan nirogen yang terdapat pada bahan. Rerata kadar protein tepung
labu jepang (kabocha) pretreatment blanching dan perendaman Natrium
Metabisulfit berkisar antara 13,35 % - 17,59 %. Grafik rerata kadar protein
tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan perendaman Natrium
Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama
perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.4.
29
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Protein Tepung
Labu jepang (kabocha)
Gambar 4.4 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai kadar
protein tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu blanching
pada ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata kadar protein tertinggi
terdapat pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit 0% yaitu sebesar 17,59 %. Rerata kadar air terendah
terdapat pada perlakuan blanching suhu 600C dengan konsentrasi perendaman
0,1% yaitu sebesar 13,35 %. Menurut Puspitaningtyas (2004) kadar protein
tepung labu jepang yang diberikan perlakuan balnsing memiliki kadar protein
sebesar 6,80%(bk), sedangkan tepung labu jepang yang tidak di blanching
memiliki kadar protein sebesar 6,52%(bk). Kandungan protein yang tinggi dari
tepung labu jepang perlakuan blanching dan perenaman natrium metabisulfit
diduga dikarenakan total nitrogen yang terhitung pada analisa protein tidak
hanya berasal dari nitrogen protein namun juga berasal dari asam nukleat dari
senyawa lain.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching memberikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai
kadar protein tepung labu jepang sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai kadar protein. Selain itu,
terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit terhadap kadar protein tepung labu jepang (kabocha). Hasil uji lanjut
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Kad
ar P
rote
in )
%)
Suhu (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
30
nilai kadar protein terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat pada
tabel 4.4.
Tabel 4.4 Rerata Nilai Kadar Protein Tepung Labu jepang (kabocha) Perlakuan
Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Kadar Protein
(%) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 13,99±0,69 a 1,669 - 1,914
0,1 13,56±1,09 a
0,3 16,15±1,04 b
60
0 17,59±1,56 b
0,1 13,35±0,23 a
0,3 16,19±0,12 b
80
0 16,68±0,38 b
0,1 13,97±1,24 a
0,3 14,99±0,95 ab
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan tabel bahwa terdapat interaksi perlakuan blanching dan
perendaman natrium metabisufit terhadap kadar protein tepng labu jepang
(kabocha). Suhu blanching yang semakin tinggi dan konsenrasi narium
metabisulfit yang meningkat disuga berpengaruh terhadap kadar protein tepung
labu jepang. Pada perlakuan tanpa blanching, konsenrasi natrium metabisulfit
yang meningkat menghasilkan kadar protein yag cenderung meningkat. Hal ini
diduga penggunaan suhu yang rendah belum sampai merusak dinding sel dan
tidak banyak terjadi leaching sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan
protein pada bahan yang berampak pada penurunan kadar protein.
Perlakuan suhu blanching 600C dan 800C menyebabkan kadar protein
mengalami penurunan pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,1%
dan mengalami peningkatan pada perendaman natrium metabisulfit 0,3%.
Semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit cenderung meningkatkan kadar
protein tepung labu jepang karena pada proses pemanasan dan perendaman
terjadi pemecahan senyawa lain yang kemdian terhitung sebagai kadar N.
31
Menurut Sriwahyuni (1986) dalam Widiyowati (2007), menyatakan bahwa
semakin tinggi
kadar natrium metabisulfit dalam larutan perendaman akan dapat
meningkatkan jumlah natrium metabisulfit yang masuk kedalam jaringan bahan.
Natrium metabisulfit dengan konsentasi tinggi akan menekan terjadinya reaksi
pencoklatan nonenzimatis yang dapat merusak protein karena asam amino
sekundernya berikatan dengan gula reduksi. Menurut Chrisandy (2013), semakin
tinggi kadar natrium metabisulfit akan mneningkatkan nilai kadar protein tepung
labu jepang. Pada konsentrasi natrium metabisulfit 0,25% kadar protein tepung
labu jepang sebesar 1,37% dan meningkat menjadi 1,35% pada konsentrasi
natrium metabisulfit 0,3%.
4.2.5 Total Karotenoid
Menurut Khomsan (2008),karotenoid merupakan suatu pigmen alami
berupa zat warna kuning sampai merah yang terbagi menjadi dua golongan yaitu
karotenoid pro-vitamin A dan karotenoid non-pro-vitamin A. Menurut Mappiratu
(1990) dalam Puspitaningtyas (2004), Senyawa karotenoid merupakan golongan
pigmen tidak larut dalam air, larut dalam lemak, larut dalam hidrokarbon alifatik
dan aromatik seperti heksan dan benzen.
Total karoten diperoleh dengan pengukuran menggunakan metode
spektrofotometri. Karoten diperoleh dengan cara mengekstrak karoten yang
terdapat pada sampel dengan menggunakan petroleum eter : aseton
perbandingan 1:1 sebagai pelarutnya. Proses ekstraksi dilakukan menggunakan
bantuan alat centrifuge. Ekstrak karoten hasil pemisahan dicampur dengan 15 ml
aquades sebanyak tiga kali. Selanjutnya dilakukan pemisahan menggunakan
corong pemisah sebelum kemudian diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometri pada panjang gelombang 450nm (Rodriguez dan Kimura, 2004).
Rerata kadar total karoten tepung labu jepang (kabocha) pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit berkisar antara 113,6 mg/g -
164,47 mg/g. Grafik rerata kadar total karoten tepung labu kuning kabocha
pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai
kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
32
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Total Karoten
Tepung Labu jepang (kabocha)
Gambar 4.5 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan nilai kadar
total karoten tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu
blanching pada ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata total karoten
tertinggi terdapat pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan konsentrasi
perendaman natrium metabisulfit 0,3% yaitu sebesar 164,47 mg/g .Rerata total
karoten terendah terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi
perendaman 0 % yaitu sebesar 113,6 mg/g.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap nilai total karoten
tepung labu jepang sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai total karoten. Selain itu, tidak
terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit terhadap total karoten tepung labu jepang (kabocha). Hasil uji lanjut
nilai total karoten terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat pada tabel
4.5.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Tota
l Kar
ote
n
Suhu (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
33
Tabel 4.5 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu jepang (kabocha)
Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching
Suhu Blanching (°C) Total Karoten (mg/g) BNT 5%
Tanpa Blanching 129,04±13,39 a 6,821
60 154,71±13,32 b
80 157,24±14,92 b
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji BNT 5% diketahui bahwa nilai total
karoten tepung labu jepang perlakuan suhu blanching memberikan pengaruh
yang nyata terhadap total karoten tepung labu jepang. Total karoten pada tepung
labu jepang (kabocha) dengan variasi suhu blanching yang semakin meningkat
menyebabkan total karoten yang semakin tinggi. Tingginya nilai total karoten
seiring dengan peningkatan suhu blanching diduga dikarenakan karoten pada
labu tanpa perlakuan blanching lebih banyak mengalami kerusakan akibat
oksidasi enzimatis. Labu dengan perlakuan blanching cenderung memiliki nilai
total karoten yang lebih tinggi dibandingkan labu tanpa blanching. Nilai yang
lebih tinggi pada labu perlakuan blanching suhu 60ºC dan suhu 80ºC terjadi
karena dengan perlakuan blanching menyebabkan karoten pada bahan lebih
banyak bisa dipertahankan karena proses kerusakan dapat diminimalisir.
Menurut Kumalaningsih, dkk (2004), blanching mampu mempengaruhi warna
dan menghambat kerusakan karoten karena enzim PPO (pholyphenoloksidase)
inaktif oleh proses blanching. Enzim yang berperan pada proses oksidasi karoten
yang telah inaktif karena proses blanching menyebabkan tidak banyaknya
karoten pada bahan yang teroksidasi kembali. Menurut Haile (2015), enzim
peroksidase dan lipoksigenase merupakan enzim yang berperan pada proses
oksidasi betakaroten. Rerata total karoten tepung labu jepang (kabocha)
terhadap konsentrasi perendaman Natrium metabiulfit dapat dilihat pada Tabel
4.6
34
Tabel 4.6 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu jepang (kabocha)
Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Konsentasi Na-
Metabisulfit(%)
Total Karoten(mg/g) BNT 5%
0 131,36±15,39 a 6,821
0,1 152,27±14,03 b
0,3 157,38±17,48 b
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Tabel 4.6 hasil uji BNT 5% diketahui bahwa perlakuan konsentrasi
perendaman natrium metabisulfit memberikan pengaruh nyata terhadap total
karoten tepung labu jepang. Peningkatan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit cenderung lebih mempertahankan karotenoid tepung labu jepang.
Pada konsentrasi 0,3% menghasilkan nilai total karoten tertinggi sedangkan
pada konsentrasi 0% menghasilkan nilai total karoten terendah. Konsentrasi
perendaman natrium metabisulfit 0% total karoten tepung labu jepang cenderung
lebih rendah karena tidak ada peran natrium metabisulfit sebagai pencegah
kerusakan betakaroten sehingga pada konsentrasi perendaman 0,1% dan 0,3%
nilai total karoten lebih tinggi yang artinya karoten pada bahan lebih bisa
dipertahankan dan diminimalisir kerusakannya dengan adanya natrium
metabisulfit. Natrium metabisulfit sendiri berperan dalam hal mencegah
terjadinya oksidasi. Menurut muchtadi (1987) dalam Chrisandy (2013), perlakuan
menggunakan sulfur/ sulfit berfungsi untuk mempertahankan karoten dan asam
askorbat, warna dan cita rasa juga stabilitas kualitas produk.
4.2.6 Kadar Serat Kasar
Serat kasar adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat
dihidrolisis oleh bahan kimia(asam sulfat dan natrium hidroksida). Menurut Bich,
1985 dalam Sukardi (2012) yang dimaksud dengan serat pangan adalah
polisakarida pada bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim sekresi
endogen. Serat pangan meliputi serat larut air (solueble fiber) seperti pektin dan
gum, sedangkan serat tidak larut air (insolueble fiber) seperti selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Grafik rerata nilai serat kasar tepung labu jepang
35
(kabocha) pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada
berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat
dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Serat Kasar Tepung
Labu jepang (kabocha)
Gambar 4.6 menunjukkan adanya penurunan nilai serat kasar seiring
dengan menurunnya suhu blanching dan meningkatnya konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit. Perlakuan tanpa blanching dan perendaman 0% natrium
metabisulfit memberikan nilai serat kasar paling tinggi yaitu 30,99%, sedangkan
nilai serat kasar terendah berada pada perlakuan suhu blanching 800C dengan
perendaman 0,3% natrium metabisulfit yaitu sebesar 19,27%.
Hasil analisa ragam kadar serat kasar (%) pada tepung labu jepang
(kabocha) menunjukkan bahwa variasi suhu blanching memberikan pengaruh
nyata dengan (α=5%). Rerata kadar serat kasar (%) tepung labu jepang
(kabocha) terhadap perlakuan suhu blanching ditunjukkan pada Tabel4.7
0
5
10
15
20
25
30
35
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Sera
t K
asar
(%
)
Suhu Blanching (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
36
Tabel 4.7 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu jepang (kabocha)
Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching
Suhu Blanching (°C) Kadar Serat Kasar (%) BNT 5%
Tanpa Blanching 27,37±3,43 b 2,07
60 25,87±2,78 ab
80 24,173±4,49 a
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa kadar serat kasar (%) pada tepung labu
jepang (kabocha) dengan variasi suhu blanching semakin mengalami penurunan.
Peningkatan suhu blanching menyebabkan menurunan kadar serat kasar tepung
labu jepang (kabocha). Penurunan ini disebabkan karena serat kasar dalam labu
jepang (kabocha) lebih banyak termasuk dalam serat larut air seperti pektin.
Serat larut air akan mudah larut dan leaching dengan adanya proses
perendaman. Menurut Aini, dkk (2009), serat larut air akan leaching karena
proses perendaman. Hemiselulosa dan substansi pektin yang termasuk serat
larut air akan leaching dan mengikat air sehingga mengembang.
Rerata kadar serat kasar (%) tepung labu jepang (kabocha) terhadap
konsentrasi perendaman Natrium metabiulfit dapat dilihat pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu jepang (kabocha)
Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Konsentasi Na-
Metabisulfit(%)
Kadar Serat Kasar (%) BNT 5%
0 29,19±1,57 c 2,07
0,1 26,11±0,91 b
0,3 22,12±1,59 a
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Tabel 4.8 Perbedaan konsentrasi perendaman Natrium
metabisulfit memberikan pengaruh nyata terhadap hasil kadar serat kasar tepung
labu jepang (kabocha). Perendaman 0,3% Natrium metabisulfit memberikan nilai
serat kasar lebih rendah, sedangkan perendaman 0% Natrium metabisulfit
37
memberikan nilai kadar serat kasar lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 4.8 terlihat
bahwa semakin tinggi konsentrasi Natrium metabisulfit yang digunakan pada
proses perendaman mengakibatkan penurunan kadar serat kasar. Hal ini
dikarenakan konsentrasi Natrium metabisulfit yang tinggi menyebabkan
perusakan didinding sel tinggi sehingga leaching yang diakibatkanpun tinggi.
Menurut Chrisandy (2013), bahwa semakin tinggi konsentrasi Natrium
metabisulfit mampu merusak dinding sel jaringan sehingga sebagian serat yang
larut akan keluar pada proses perendaman yang berdampak pada penurunan
kadar serat kasar.
4.2.7 Kadar Abu
Menurut Soebito (1988) dalam Puspitaningtyas (2004) kadar abu
merupakan suatu komponen yang sulit menguap dan tertinggal dalam
pembakaran serta pemijaran senyawa-senyawa organik. Kadar abu merupakan
unsur mineral sisa hasil pembakaran yang bebas karbon (C). Menurut Chrisandy
(2013) kadar abu tepung labu jepang yang diberikan perlakuan blanching
sebesar 6,85% dan kadar abu tepung labu jepang perlakuan perendaman
natrium metabisulfit 0,3% sebesar 10,15% (bk).
Berdasarkan hasil uji diperoleh kadar abu tepung labu jepang perlakuan
blanching dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 6,27% –
10,12%. Kadar abu tepung labu jepang menurut Chrisandy (2013) yaitu sebesar
10,15% - 11,95%(bk) sedangkan menurut Pupitaningtyas (2004) kadar abu
tepung labu jepang tanpa blanching sebesar 4,03%(bk) sedangkan tepung labu
jepang yang diblanching sebesar 3,72%(bk). Perbedaan hasil dengan literatur
diduga dikarenakan perbedaan tingkat kematangan buah labu jepang yang
digunakan.
Grafik rerata kadar abu tepung labu kuning kabocha pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi
perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.7.
38
Gambar 4.7 Grafik Rerata Kadar Abu (%) Tepung Labu jepang
(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit
Gambar 4.7 menunjukkan bahwa kadar abu tepung labu jepang
(kabocha) cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya suhu blanching.
Perlakuan tanpa blanching dengan perendaman 0,1% Natrium Metabisulfit
memiliki kadar abu paling tinggi yaitu sebesar 10,12%. Kadar abu paling rendah
terdapat pada perlakuan blanching suhu 80ºC dengan perendaman 0% Natrium
Metabisulfit yaitu sebesar 6,27%.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu tepung
labu jepang sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman tidak berpengaruh
nyata terhadap nilai kadar abu. Selain itu, terdapat interaksi antara suhu
blanching dan konsentrasi perendaman terhadap kadar abu tepung labu jepang.
Hasil uji lanjut nilai kadar abu terhadap tepung labu jepangdapat dilihat pada
tabel 4.9.
0
2
4
6
8
10
12
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Kad
ar A
bu
(%
)
Suhu (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
39
Tabel 4.9 Rerata Nilai Kadar Abu Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%) Kadar Abu(%) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 8,28±0,37 b 0,942 - 1,08
0,1 10,12±0,89 c
0,3 7,89±0,66 b
60
0 8,71±0.44 b
0,1 6,88±0,55 a
0,3 8,94±0,47 b
80
0 6,27±0,11 a
0,1 6,97±0,57 ab
0,3 8,31±0,15 b
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan
perendaman natrium metabisulfit terhadap kadar abu tepung labu jepang
(kabocha). Suhu blanching yang digunakan adalah 60ºC,80ºC dan tanpa
blanching. Suhu yang rendah kemungkinan belum menyebabkan pengaruh
perubahan komponen pada tepung labu jepang. Pada perlakuan tanpa blanching
nilai kadar abu sebesar 8,28% sedangkan dengan pelakuan blanching suhu
60ºC kadar abu meningkat menjadi 8,71%. Peningkatan kadar abu kemungkinan
dikarenakan adanya penetrasi komponen mineral yang berasal dari air sebagai
media blanching. Menurut Apriliyanti (2010) kadar abu mengalami peningkatan
pada tepung ubi ungu yang diberikan perlakuan blanching akibat adanya mineral
pada air blanching yang masuk dalam jaringan sel. Peningkatan suhu blanching
dari 60 ºC menjadi 80 ºC terjadi penurunan kadar abu yang awalnya 8,71%
menjadi 6,27%. Hal ini diduga dikarenakan suhu yang digunakan pada proses
blanching menyebabkan sel jaringan pada bahan terbuka. Sel jaringan yang
terbuka memungkinkan terjadinya leaching komponen termasuk abu sehingga
kadar abu yang terhitung menurun.
Menurut Chrisandy (2013) lama waktu perendaman natrium metabisulfit
berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Konsentrasi natrium metabisulfit 0%,
0,25%, 0,3% berpengaruh nyata terhadap kadar abu tepung labu jepang dan
40
konsentrasi 0,3% memberikan nilai kadar abu lebih baik yaitu sebesar 4,49%.
Menurut Isnaharani (2009) proses perendaman menggunakan air mampu
melarutkan mineral sehingga akan menurunkan kadar abu akibat mineral yang
terlarut dalam air perendaman.
4.2.8 Daya Serap Air
Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air oleh bahan. Granula
pati pada tepung akan menyerap air sehingga terdispersi dalam air. Daya serap
air diukur dengan melakukan pemisahan menggunakan sentrifugasi pada tepung
labu jepang yang telah dicampurkan dengan air. Pemisahan menghasilkan 2
fase yaitu fase air dibagian atas dan endapan dibagian bawah yang berdasarkan
berat molekul. Fase air kemudian dipisahkan dan diukur sebagai daya serap air.
Menurut Munarso (1989) beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap air
pada suatu bahan yaitu porositas, komposisi bahan dan polaritas. Daya serap air
tepung labu jepang perlakuan blanching dan perendaman natrium metabisulfit
yaitu berkisar antara 6,07 – 9,53ml/g. Menurut Puspitaningtyas (2004), tepung
labu jepang perlakuan steam blanching memiliki nilai daya serap air sebesar
5,72ml/g lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tanpa perlakuan blanching.
Sedangkan menurut Chrisandy (2013), daya serap air pada tepung labu jepang
perlakuan perendaman natrium metabisulfit berkisar antara 7,39- 8,32ml/g.
Grafik rerata daya serap air tepung labu kuning kabocha pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi
perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.8.
41
Gambar 4.8 Grafik Rerata Daya Serap Air (ml/g) Tepung Labu jepang
(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa daya serap air tepung labu jepang
(kabocha) cenderung menurun seiring dengan meningkatnya suhu blanching
sedangkan dengan meningkatnya konsentrasi perendaman nilai daya serap air
cenderung meningkat. Perlakuan blanching suhu 60ºC dengan perendaman
0,1% Natrium Metabisulfit memiliki nilai daya serap air paling rendah yaitu
sebesar 6,07ml/g. Nilai daya serap air paling tinggi terdapat pada perlakuan
blanching suhu 60ºC dengan perendaman 0% Natrium Metabisulfit dan
perlakuan blanching suhu 80ºC dengan perendaman 0,3% Natrium Metabisulfit
yaitu sebesar 9,53ml/g.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh
nyata terhadap nilai daya serap air tepung labu jepang. Selain itu, terdapat
interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap daya
serap air tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai daya serap air terhadap tepung
labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.10.
0
2
4
6
8
10
12
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Day
a se
rap
air
(ml/
g)
Suhu ºC
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
42
Tabel 4.10 Rerata Nilai Daya Serap Air Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Daya Serap
Air (ml/g) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 8,60±0,20 c 0,262-0,3008
0,1 8,20±0,20 b
0,3 8,60±0,20 c
60
0 9,53±0,12 e
0,1 6,07±0,12 a
0,3 9,13±0,12 d
80
0 6,07±0,12 a
0,1 8,27±0,12 b
0,3 9,53±0,12 e
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat interaksi perlakuan suhu blanching
dan perendaman natrium metabisulfit terhadap daya serap air tepung labu
jepang (kabocha). Tepung labu jepang dengan perlakuan tanpa blanching
memiliki nilai daya serap air yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung
perlakuan blanching suhu 60ºC dan 80ºC. Menurut Puspitaningtyas (2004)
tepung labu jepang dengan perlakuan blanching memiliki nilai daya serap air
sebesar 5,72 ml/g yang lebih tinggi diandingkan dengan tepung tanpa blanching
yaitu sebesar 5,55 ml/g. Proses blanching menyebabkan pori-pori bahan terbuka
dan porositasnya berubah sehingga meningkatkan nilai daya serap air. Menurut
Puspitaningtyas (2004) bahwa proses blanching pada tepung labu jepang
menyebabkan tepung labu jepang memiliki porositas yang lebih besar. Daya
serap air tepung labu jepang perlakuan blanching suhu 80ºC cenderung lebih
besar dibandingkan blanching suhu 60ºC karena diduga proses blanching
dengan metode water blanching merubah struktur granula pati akibat terjadinya
proses gelatinisasi secara parsial sehingga daya serap airnya meningkat
sedangkan pada suhu 60 ºC tepung hanya tergelatinisasi sebagian
(Noviarso,2003). Metode water blanching akan menyebabkan kontak air panas
dengan bahan semakin tinggi sehingga perubahan struktur pati menjadi terbuka
43
akan semakin tinggi. Menurut Agiang (2010) apabila struktur pati terbuka maka
amilosa akan leaching sehingga amilosa keluar dan mudah berikatan dengan air.
Proses gelatinisasi akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen intermolekuler
bahan yang berperan dalam mempertahankan stuktur integritas granula pati.
Rusaknya struktur hidrogen menyebabkan struktur hidrogen menjadi bebas
menyerap air yang berdampak pada pembengkakan granula pati (Richana,
2004).
Peningkatan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit cenderung
meningkatkan nilai daya serapa air tepung labu jepang (kabocha). Tepung
dengan perlakuan 0% natrium metabisulfit memiliki nilai daya serap air yang
lebih rendah yaitu sebesar 6,07 ml/g sedangkan pada perendaman 0,3 natrium
metabisulfit nilai daya serap air tepung labu jepang sebesar 9,53 ml/g. Daya
serap air dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya pembengkakan serat
kasar, denaturasi protein dan gelatinisasi pati (Gujska, 1991). Menurut Chrisandy
(2013) natrium metabisulfit dapat menyebabkan kerusakan pada dinding sel
bahan yang berdampak pada pembengkakan akibat pori-pori yang terbuka.
Pembengkakan serat kasar menyebabkan air dengan mudah masuk sehingga
daya serap bahan menjadi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit
maka kemampuan bahan menyerap air semakin tinggi. Menurut Rahman (1999)
bahwa natrium metabisulfit dapat merusak dinding sel jaringan pada bahan
sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan menyerap air karena
meningkatkan kemampuan absorbsi. Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi
antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit
terhadap daya serap air tepung labu jepang.
4.2.9 Viskositas
Viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu fluida
atau cairan. Pengukuran viskoitas dilakukan menggunkan alat viskometer.
Pengukuran viksositas terdiri dari viskositas panas, holding dan dingin. Tepung
labu jepang perlakuan suhu blanching dan perendaman natrium metabisulfit
menghasilkan nilai viskositas berkisar antara 195,33 – 5766,67 cp. Berikut
penjelasan viskositas panas, holding dan dingin tepung labu jepang:
44
a. Viskositas Panas
Analisa viskositas panas dilakukan dengan cara memanaskan campuran
tepung dan air sampai suhu 95ºC kemudian diukur viskositas pasta dengan
menggunakan alat viskometer. Pengukuran vikositas panas dilakukan untuk
mengetahui bagaimana kemampuan pati dalam membentuk pasta selama
proses pemanasan (Arie, 2014). Viskositas panas tepung labu jepang perlakuan
blanching dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 195,33 cp
– 4593,33 cp. Grafik rerata viskositas panas tepung labu kuning kabocha
pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai
kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada
Gambar 4.9
Gambar 4.9 Grafik Rerata Viskositas Panas Tepung Labu jepang
(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi
Perendaman Natrium Metabisulfit
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa viskositas panas tepung labu jepang
(kabocha) pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0% dan 0,1%
cenderung menurun seiring meningkatnya suhu blanching, sedangkan pada
konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,3% cenderung meningkat seiring
meningkatnya suhu blanching.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh
nyata terhadap nilai viskositas panas tepung labu jepang. Selain itu, terdapat
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Vis
kosi
tas
Pan
as (
Cp
)
Suhu Blansing (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
45
interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap viskositas
panas tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai viskositas panas terhadap tepung
labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Rerata Nilai Viskositas Panas Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Viskositas Panas
(cp) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 1003,33±90.18 c 276.059 – 316,482
0,1 3866,67±265,77 e
0,3 195,33±17,62 a
60
0 337,67±29,26 ab
0,1 470±36,06 ab
0,3 1046,67±73,71 c
80
0 1553,33±70,24 d
0,1 543,33±58,59 b
0,3 4593,33±425,48 f
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan
perendaman natrium metabisulfit terhadap viskositas panas tepung labu jepang
(kabocha). Tepung labu jepang perlakuan tanpa blanching nilai viskositas panas
meningkat pada konsentrasi perendaman natrium metabisulit 0% dan 0,1%
namun turun pada konsentrasi perendaman 0,3%. Hal ini diduga karena
penggunaan natrium metabisulfit pada perendaman menyebabkan terjadinya
ikatan silang. Ikatan silang tersebut akan mereksikan pati dengan senyawa
polifungsional atau bi- dengan gugus hidroksil –OH pada amilosa atau
amilopektin pati yang akan membentuk ikatan silang penghubung molekul pati
dengan pati lainnya. Adanya ikatan silang tersebut menyebabkan kemampuan
daya ikat air semakin lemah karena adanya natrium metabisulfit yang tinggi.
Daya ikat air yang lemah menyebabkan kemampuan menyerap air lemah
sehingga nilai viskositas cenderung rendah. Tepung labu jepang dengan
perlakuan blanching suhu 60°C memiliki nilai viskositas panas yang lebih rendah
dibandingkan dengan tepung labu jepang perlakuan tanpa blanching, namun
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi perendaman
46
natrium metabisulfit. Menurut Puspitaningtyas (2004) proses blanching pada
tepung labu jepang menyebabkan tepung labu jepang memiliki porositas yang
lebih besar dan leaching komponen yang besar. Suhu yang rendah pada proses
blanching menyebabkan granula pati masih utuh sehingga amilosa dan
amilopektin tidak bebas berikatan dengan air. Amilosa dan amilopektin yang sulit
berikatan dengan air menyebabkan viskositas cenderung rendah(Estiasih,2009).
Hasil uji menunjukkan bahwa perlakuan tanpa blanching cenderung
menghasilkan nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
blanching suhu 80º C. Suhu yang tinggi juga menyebabkan terjadinya proses
gelatinisasi pati yang berampak pada peningkatan viskositas. Menurut Richana
(2004) bahwa pati pada ubi jalar mengalami gelatinisasi ketika diberikan
perlakuan pemanasan yang kemudian menyebabkan terjadinya peningkatan
viskositas. Peningkatan viskositas akibat rusaknya struktur hidrogen
intermolekuler sehingga bebas menyerap air.
b. Viskositas Holding
Analisa viskositas holding dilakukan dengan cara memanaskan kembali
campuran tepung dan air sampai suhu 95ºC dan dipertahankan selama 10 menit
kemudian diukur viskositas pasta dengan menggunakan alat viskometer.
Pengukuran vikositas holding dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
ketahanan pati apabila diberikan perlakuan panas dan gaya mekanis
(Romadhoni, 2015). Viskositas holding tepung labu jepang perlakuan blanching
dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 354,67 cp – 4846,67
cp.
Grafik rerata viskositas holding tepung labu kuning kabocha pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi
perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.10
47
4.10 Grafik Rerata Viskositas Holding Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Gambar 4.10 menunjukkan bahwa viskositas holding tepung labu jepang
(kabocha) pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0% dan 0,1%
cenderung menurun seiring meningkatnya suhu blanching, sedangkan pada
konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,3% cenderung meningkat seiring
meningkatnya suhu blanching. Suhu pada proses blanching akan berpengaruh
pada karakteristik bahan. Suhu yang semakin tinggi akan menyebabkan
porositas bahan membesar yang memungkinkan leaching komponen pada
bahan semakin tinggi sehingga pektin larut air sebagai salah satu komponen
pada bahan akan banyak hilang. Pektin sendiri mampu berikatan dengan air.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh
nyata terhadap nilai viskositas holding tepung labu jepang. Selain itu, terdapat
interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap viskositas
holding tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai viskositas holding terhadap
tepung labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.12.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Vis
kosi
tas
Ho
ldin
g (c
p)
Suhu (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
48
Tabel 4.12 Rerata Nilai Viskositas Holding Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Viskositas
Holding (cp) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 1120±81,85 ab 370,839 – 425,141
0,1 4390±415,81 e
0,3 354,67±33,25 ab
60
0 1431,67±101,04 b
0,1 1436,67±80,83 b
0,3 2300±86,60 c
80
0 2206,67±63,51 c
0,1 3603,33±340,64 d
0,3 4846,67±456,11 f
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan
perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap
viskositas holding tepung labu jepang (kabocha). Nilai viskositas holding tepung
perlakuan tanpa blanching cenderung lebih rendah dibandingkan tepung dengan
perlakuan blanching. Nilai viskositas holding akan mengalami penurunan karena
pada pemanasan yang meningkat yang disertai dengan pengadukan yang terus
dilakukan akan menyebabkan pecahnya granula pati. Granula yang pecah
menyebabkan amilosa keluar sehingga viskositas menurun. Viskositas holding
tepung labu jepang cenderung meningkat dari viskositas panasnya diduga
dikarenakan adanya komponen lain yang mempengaruhi. Menurut Atarlina
(1992) bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi viskositas antara lain
yaitu kadar air bahan, lemak, amilosa dan komponen lain. Kadar air yang rendah
akan cenderung menyebabkan viskositas tinggi dan kadar air tinggi maka
viskositas cenderung rendah. Adanya serat yang tinggi diduga berpengaruh
terhadap iskositas tepung labu jepang yang dihasilkan. Serat mempunyai
kemampuan menyerap air dalam jumlah banyak secara cepat sehingga diduga
mampu meningkatkan viskositas tepung. Serat larut air cenderung dapat
meningkatkan kekentalan (viskositas) karena kemampuan menyerap air yang
49
tinggi. Serat labu jepang menurut Boram (2015) yaitu sebesar 2,02%. Viskositas
holding yang cenderung tinggi menandakan bahwa tepung labu jepang memiliki
kestabilan terhadap panas yang tinggi.
Penggunaan natrium metabisulfit pada perendaman memberikan
pengaruh nyata terhadap viskositas holding tepung labu jepang. Semakin tinggi
konsentrasi natrium metabisulfit pada perendaman cenderung meningkatkan nilai
viskositas tepung labu jepang. Hal ini diduga karena molekul Na+ dari natrium
metabisulfit yang terikat dalam gugus hidroksil pati bahan semakin tinggi yang
kemudian terserap dalam jaringan dan memperkuat dinding sel. Dinding sel yang
kuat akan berdampak pada viskositas yang dihasilkan(Ryan, 2014). Menurut
Ryan (2014) bahwa viskositas tepung jagung cenderung meningkat dengan
semakin meningkatnya perendaman natrium metabisulfit. Semakin lama
perendaman menggunakan natrium metabisulfit maka konsentrasi natrium
metabisulfit yang masuk ke bahan akan semakin tinggi.
c. Viskositas Dingin
Pengukuran viskositas dingin dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah
kemampuan pati atau tepung untuk membentuk gel setelah mengalami proses
pemasakan. Viskositas dingin digunakan untuk mengetahui kecenderungan
retrogradasi pati dapat terjadi pada tepung atau pati (Romadhoni, 2015). Analisa
viskositas dingin dilakukan dengan cara mengukur pasta setelah dibiarkan dingin
sampai suhu 50 ºC yang sebelumnya telah dilakukan pengukuran viskositas
holding. Viskositas dingin tepung labu jepang perlakuan blanching dan
perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 460,67 cp – 5766,67 cp.
Grafik rerata viskositas dingin tepung labu kuning kabocha pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi
perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.11
50
4.11 Grafik Rerata Viskositas Dingin Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Gambar 4.11 menunjukkan bahwa viskositas dingin tepung labu jepang
(kabocha) pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0% dan 0,1%
cenderung menurun pada suhu 60 ºC dan naik pada suhu 80 ºC, sedangkan
pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,3% cenderung meningkat
seiring meningkatnya suhu blanching. Suhu yang semakin tinggi yang digunakan
pada proses blanching akan menyebabkan pori-pori semakin terbuka sehingga
kemungkinan leaching komponen semakin tinggi. Larutnya komponen larut air
yang yang dapat menyerap air akan berdampak pada viskositas akibat
pengembangan. Sedangkan natrium metabisulfit pada proses perendaman akan
berdampak pada perubahan viskositas. Molekul Na+ natrium metabisulfit akan
berikatan dengan gugus hidroksil pati yang dapat memperkuat dinding sel.
Dinding sel yang kuat menyebabkan gaya gesek partikel semakin kuat.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh
nyata terhadap nilai viskositas dingin tepung labu jepang. Selain itu, terdapat
interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap viskositas
dingin tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai viskositas dingin terhadap tepung
labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.13.
01000200030004000500060007000
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80Vis
kosi
tas
Din
gin
(cp
)
Suhu (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
51
Tabel 4.13 Rerata Nilai Viskositas Dingin Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Viskositas Dingin
(cp) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 2323,33±110,60 c 456,087 – 524,019
0,1 5766,67±547,21 g
0,3 460,67±44,96 a
60
0 1666,67±77,67 b
0,1 1700±101,49 b
0,3 3700±134,54 d
80
0 3386,67±398,79 d
0,1 4683,33±412,59 f
0,3 5580±552,18 g
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan
perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap
viskositas dingin tepung labu jepang (kabocha). Viskositas dingin tepung labu
jepang perlakuan blanching suhu 80°C cenderung memiliki nilai viskositas dingin
yang tinggi seiring meningkatnya konsentrasi perendaman natrium metabisulfit
dibandingkan dengan tepung perlakuan blanching suhu 60°C dan perlakuan
tanpa blanching. Hal ini diduga karena adanya kandungan pati yang tinggi pada
bahan. Hasil uji kadar pati menunjukkan bahwa tepung labu jepang perlakuan
blanching suhu 80°C cenderung memiiki kadar pati yang tinggi. Menurut
Anggraeni dan Yuwono (2013) bahwa kadar pati yang tinggi akan mempengaruhi
tingginya viskositas. Viskositas dingin memiliki nilai yang cenderung lebih tinggi
dari nilai viskositas holding karena pada viskositas dingin pasta tepung akan
mengalami retrogradasi karena mengalami pendinginan. Menurut Romadhoni
(2015), pasta pati akan mengalami kenaikan viskositas karena retrogradasi
akibat pendinginan. Semakin tinggi pati pada suatu bahan maka nilai viskositas
dingin akan cenderung tinggi. Retrogradasi akan menyebabkan tarik menariknya
amilosa dan amilopektin kembali pada saat didinginkan. Suhu blanching yang
tinggi akan menyebabkan pori-pori bahan terbuka dan porositas meningkat
52
sehingga komponen yang leaching semakin tinggi (Puspitaningtyas, 2004). Pati
merupakan salah satu komponen bahan yang leaching akibat blanching.
Leaching komponen yang tinggi menyebabkan kemungkinan retrogradasi tinggi
sehingga diduga viskositas dingin cenderung tinggi pada blanching suhu 80°C.
4.2.10 Swelling Power
Swelling power merupakan kekuatan tepung untuk mengembang.
Swelling power menyebabkan pertambahan volume dan juga berat pati
maksimum dalam air. Terjadinya swelling power dikarenakan adanya ikatan non-
kovalen antara molekul-molekul pati. Ketika pati bertemu dengan air dingin maka
pati akan mengembang karena granula pati menyerap air dan menghasilkan fase
kontinyu dari amilosa dan amilopektin (An, 2005). Menurut Li dan Yen (2001)
bahwa amilopektin merupakan sifat yang mempengaruhi swelling power.
Swelling power diukur dengan cara menggelatinisasi tepung selama 30
menit pada suhu 95°C yang selanjutnya dihitung dengan membandingkan berat
pati awal dengan berat endapan granula pati hasil gelatinisasi. Tepung labu
jepang memiliki rata-rata nilai swelling power berkisar antara 15,46 – 9,77 g/g.
Grafik rerata nilai swelling power tepung labu kuning kabocha pretreatment
blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi
perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.12
4.12 Grafik Rerata Swelling Power Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
0
5
10
15
20
25
30
35
Tanpa Blansing Suhu 60 Suhu 80
Swe
llin
g P
ow
er
(g/g
)
Suhu Blansing (°C)
0% Na-Sulfit
0,1% Na-Sulfit
0,3% Na-Sulfit
53
Berdasarkan Gambar 4.12 Menunjukkan bahwa nilai swelling power
tepung labu jepang cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu blanching
dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Nilai swelling power tepung
labu jepang paling tinggi terdapat pada perlakuan blanching suhu 80°C dengan
0,1% konsentrasi perendaman natrium metabisulfit, sedangkan nilai swelling
power paling rendah terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan 0%
konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Semakin tinggi konsentrasi
natrium metabisulfit maka akan semakin tinggi nilai pengembangan / swelling
power karena natrium metabisulfit mampu merusak dinding sel sehingga pori-
pori terbuka.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai swelling power tepung labu jepang.
Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit terhadap nilai swelling power tepung labu jepang. Hasil uji
lanjut nilai swelling power terhadap tepung labu jepang dapat dilihat pada tabel
4.14.
Tabel 4.14 Rerata nilai Swelling Power Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Swelling
Power(g/g) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 15,46±0,07 a 0,2538 – 0,2909
0,1 21,04±0,29 c
0,3 20,49±0,08 b
60
0 23,38±0,11 e
0,1 21,69±0,28 d
0,3 26,38±0,10 f
80
0 27,23±0,23 g
0,1 29,77±0,22 h
0,3 27,04±0,10 g
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
54
Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan
perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap
swelling power tepung labu jepang (kabocha). Nilai swelling power tepung labu
jepang paling tinggi terdapat pada perlakuan blanching suhu 80°C dengan 0,1%
konsentrasi perendaman natrium metabisulfit yaitu sebesar 29,77 g/g,
sedangkan nilai swelling power paling rendah terdapat pada perlakuan tanpa
blanching dengan 0% konsentrasi perendaman natrium metabisulfit yaitu
sebesar 15,46 g/g
Nilai swelling power cenderung meningkat dengan semakin
meningkatnya suhu blanching dan konsentrasi natrium metabisulfit pada
perendaman. Proses blanching dapat berpengaruh pada nilai swelling power
karena diduga blanching dapat membuka struktur pati karena porositas
meningkat. Suhu yang semakin tinggi pada proses blanching diduga
mempengaruhi nilai swelling power karena suhu yang semakin tinggi akan
semakin menjadikan porositas bahan meningkat sehingga struktur hidrogen
intermolekuler pati semakin banyak yang rusak. Struktur pati yang terbuka akan
memudahkan granula pati kontak dengan panas yang menyebabkan struktur
hidrogen rusak dan meningkatnya gugus hidroksil bebas sehingga molekul air
yang berikatan akan semakin tinggi dan pembengkakan akan semakin tinggi.
Menurut Richana (2004), menyatakan bahwa rusaknya struktur hidrogen
menyebabkan struktur hidrogen menjadi bebas menyerap air yang berdampak
pada pembengkakan granula pati karena struktur hidrogen sudah tidak bisa
mempertahankan stuktur integritas granula pati. Ketika pati diberikan perlakuan
panas dalam jumlah air berlebih, maka akan mengganggu struktur kristalin
sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen. Molekul hidrogen
kemudian akan keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin yang akan
meningkatkan nilai swelling. Adanya ikatan hidrogen akan mempertahankan
struktur integritas granula (Ratnayake, 2002).
Konsentrasi natrium metabisulit berpengaruh nyata terhadap nilai swelling
power tepung labu jepang. Konsentrasi natrium meyabisulfit yang digunakan
adalah 0%, 0,1% dan 0,3%. Berdasarkan hasil uji terlihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan, nilai swelling power tepung
labu jepang cenderung semakin meningkat. Hal ini diduga natrium metabisulfit
yang mempunyai kemampuan merusak dinding sel bahan. Dinding sel yang
rusak akan menyebabkan pori-pori bahan semakin besar dan terbuka sehingga
55
air dengan mudah masuk dan terserap. Semakin tinggi kosentrasi natrium
metabisulfit maka akan semakin banyak dinding sel yang rusak sehingga
absorbsi air semakin tinggi dan nilai swelling power semakin tinggi. Menurut
Chrisandy (2013) natrium metabisulfit dapat menyebabkan kerusakan pada
dinding sel bahan yang berdampak pada pembengkakan akibat pori-pori yang
terbuka. Natrium metabisulfit dapat merusak dinding sel jaringan pada bahan
sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan menyerap air karena
meningkatkan kemampuan absorbsi (Rahman, 1999).
4.2.11 Solubility
Solubility atau kelarutan adalah jumlah maksimum suatu senyawa yang
dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut atau larutan pada suhu tertentu.
Pengujian kelarutan pati dilakukan dengan pemanasan pada suhu ±85oC selama
30 menit yang dihitung dengan membandingkan nilai hasil berat pati dan
supernatan kering dengan berat sampel awal. Menurut Purnamasari dkk (2010),
bahwa kelarutan berkaitan dengan kemudahan air berinteraksi dengan molekul
yang terdapat dalam granula pati sehingga menggantikan interaksi hidrogen
antar molekul sehingga menyebabkan granula mengalami pengembangan
karena mudah menyerap air. Pengembangan akan menyebabkan granula pati
tertekan sehingga pecah dan menyebabkan komponen dalam pati leaching atau
keluar.Tepung labu jepang memiliki rata-rata nilai kelarutan berkisar antara
30,64% - 93,48%. Grafik rerata nilai kelarutan tepung labu kuning kabocha
pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai
kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada
Gambar 4.13
56
4.13 Grafik Rerata Kelarutan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh Variasi
Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Berdasarkan gambar 4.13 Menunjukkan bahwa nilai kelarutan tepung
labu jepang pengaruh perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit menghasilkan nilai kelarutan paling tinggi pada perlakuan
blanching suhu 60°C dengan 0% perendaman natrium metabisulfit dengan nilai
kelarutan 93,48%. Nilai kelarutan paling rendah yaitu pada perlakuan blanching
suhu 60°C dengan 0,1% perendaman natrium metabisulfit dengan nilai kelarutan
30,64%. Nilai kelarutan tepung labu jepang cenderung menurun dengan semakin
meningkatnya konsentrasi natrium metabisulfit, namun suhu blanching yang
semakin meningkat menyebabkan nilai kelarutan yang juga meningkat.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman natrium
metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai kelarutan tepung labu jepang.
Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman
natrium metabisulfit terhadap nilai kelarutan tepung labu jepang. Hasil uji lanjut
nilai kelarutan terhadap tepung labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.15.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
TANPABLANCHING
SUHU 60 SUHU 80
Ke
laru
tan
(%
)
Suhu Blansing (°C)
0% SULIT
0,1% SULFIT
0,3% SULFIT
57
Tabel 4.15 Rerata Nilai Kelarutan Tepung Labu jepang (kabocha) Perlakuan
Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%) Kelarutan (%) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 55,41±2,26 c 5,67 – 6,501
0,1 45,99±2,64 b
0,3 40,27±2,83 b
60
0 93,48±0,89 e
0,1 30,64±3,03 a
0,3 40,53±1,50 b
80
0 43,17±3,78 b
0,1 82,72±5,25 d
0,3 93,35±3,81 e
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan bahwaterdapat interaksi perlakuan suhu blanching
dan perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap
nilai kelarutan tepung labu jepang (kabocha). Nilai kelarutan tepung labu jepang
paling tinggi yaitu pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan 0% konsentrasi
perendaman natrium metabisulfit, sedangkan nilai kelarutan paling rendah yaitu
pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan 0,1% perendaman natrium
metabisulfit. Perlakuan suhu blanching berpengaruh nyata terhadap nilai
kelarutan tepung labu jepang. Dimana pada saat proses blanching akan
meningkatkan porositas bahan sehingga menyebabkan bahan memiliki kadar air
yang rendah ketika dilakukan pengeringan karena air yang diuapkan tinggi.
Menurut Rosdanelli (2005) mengemukakan bahwa apabila ikatan molekul air
yang terdiri dari hidrogen dan oksigen terpecah akibat suhu tinggi, maka molekul
akan keluar dari bahan tersebut. Molekul yang keluar menyebabkan kehilangan
air pada bahan sehingga dapat memperbesar penguapan air pada proses
pengeringan yang berdampak pada kadar air yang rendah. Kadar air yang
rendah akibat suhu tinggi pada proses blanching akan dapat berdampak pada
nilai kelarutan tepung. Berdasarkan hasil uji, nilai kelarutan tepung labu jepang
cenderung tinggi dengan semakin rendahnya kadar air. Pada perlakuan
blanching suhu 60°C dengan 0% konsentrasi perendaman natrium metabisulfit
58
nilai kelarutan tinggi. Nilai kelarutan yang tinggi dikarenakan nilai kadar air
cenderung rendah. Semakin rendah kadar air bahan maka nilai kelarutan
cenderung tinggi. Menurut Prabasini (2013), bahwa kadar air yang tinggi
menyebabkan bahan sulit untuk menyebar dalam air karena bahan cenderung
lekat sehingga tidak terbentuk pori-pori dan sulit menyerap air. Bahan dengan
kadar air tinggi akan memiliki permukaan yang sempit untuk dibasahi karena
butiran yang besar yang akan saling lengket dengan butiran yang lain (Gardjito
dkk, 2006).
4.2.12 Warna
Warna merupakan salah satu karakteristik fisik penting yang sering
menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan pada suatu
bahan ataupun suatu produk pangan. Pengukuran warna pada tepung labu
jepang dilakukan menggunakan alat color reader. Parameter yang terukur ada 3
yaitu Lightness (L*), Redness (a*), dan Yellowness (b*).
a. Nilai Kecerahan (Lightness)
Tingkat kecerahan (L*) menunjukkan nilai kecerahan pada suatu produk
yang menyatakan tingkat terang gelap dengan kisaran 0-100. Nilai 0
menyatakan kecenderungan warna gelap atau hitam, sedangkan nilai 100
menyatakan kecenderungan warna terang atau putih (Pomeranz, 1984). Rerata
nilai kecerahan tepung labu jepang berkisar antara 70,6 – 74,06. Grafik rerata
tingkat kecerahan (L*) tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan
perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu
blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.14
59
4.14 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Berdasarkan gambar 4.14 Menunjukkan bahwa tingkat kecerahan warna
tepung labu jepang cenderung menurun seiring meningkatnya suhu blanching
dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Tingkat kecerahan paling
tinggi terdapat pada perlakuan tanpa blanching perendaman 0% natrium
metabisulfit yaitu sebesar 74,06, sedangkan tingkat kecerahan paling rendah
terdapat pada perlakuan tanpa blanching perendaman 0,3% natrium metabisulfit
yaitu sebesar 70,6.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan
tepung labu jepang, sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh
nyata terhadap tingkat kecerahan tepung labu jepang. Selain itu, tidak terdapat
interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap tingkat
kecerahan tepung labu jepang. Rerata tingkat kecerahan tepung labu jepang
(kabocha) terhadap perlakuan suhu blanching ditunjukkan pada Tabel4.16
68
69
70
71
72
73
74
75
Tanpa Blansing Suhu 60 Suhu 80
Nila
i Ke
cera
han
(L*
)
Suhu Blansing
0% Na-Sulfit
0,1% Na-Sulfit
0,3% Na-Sulfit
60
Tabel 4.16 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)
Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching
Suhu Blanching (°C) Tingkat Kecerahan (L*) BNT 5%
Tanpa Blanching 71,26±0,23 a 1,774928
60 72,07±1,44 ab
80 72,44±1,74 b
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 4.15 Menunjukkan bahwa tingkat kecerahan warna tepung labu
jepang perlakuan suhu blanching tidak berbeda nyata. Perlakuan perbedaan
suhu blanching menghasilkan nilai tingkat kecerahan paling tinggi yaitu pada
tepung perlakuan blanching suhu 80°C, sedangkan tingkat kecerahan paling
rendah yaitu pada tepung perlakuan tanpa blanching. Blanching memiliki peran
inaktivasi enzim penyebab pencoklatan enzimatis yang ditunjukkan dengan
penurunan tingkat kecerahan. Menurut Fellows (1992) menyatakan bahwa
proses blanching selain berfungsi sebagai inaktivasi enzim juga dapat
mempertegas warna suatu bahan pangan. Hasil uji menunjukkan bahwa
perlakuan blanching tidak berbeda nyata pada tingkat kecerahan tepung labu
jepang diduga dikarenakan suhu yang digunakan pada proses blanching belum
maksimal dan waktu blanching. Rerata tingkat kecerahan tepung labu jepang
(kabocha) terhadap konsentrasi perendaman natrium metabisulffit ditunjukkan
pada Tabel4.17
Tabel 4.17 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)
Pengaruh Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit
Konsentrasi Na-
Metabiulfit
Tingkat Kecerahan (L*) BNT 5%
0% 70,96±0,31 a 1,77492814
0,1% 71,70±0,83 b
0,3% 73,10±1,38 b
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
61
Berdasarkan Tabel 4.17 menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tepung
labu jepang cenderung meningkat dilihat dari meningkatnya nilai (L*) yang
diperoleh. Semakin tinggi nilai (L*) berarti bahwa produk cenderung berwarna
putih atau terang. Hasil uji BNT 5% menunjukkan bahwa konsentrasi natrium
metabisulfit berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan tepung labu jepang
(kabocha). Berdasarkan tabel terlihat bahwa tingkat kecerahan tepung perlakuan
perendaman 0% natrium metabisulfit berbeda nyata dengan tepung perlakuan
perendaman natrium metabisulfit 0,1%, namum tingkat kecerahan tepung
perlakuan perendaman natrium metabisulfit 0,1% tidak berbeda nyata dengan
tepung perlakuan perendaman natrium metabisulfit 0,3%. Penggunaan natrium
metabisulfit pada proses perendaman berfungsi mencegah terjadinya proses
pencoklatan non enzimatis. Berdasarkan hasil uji semakin tinggi konsentrasi
natrium metabisulfit yang digunakan pada proses perendaman menghasilkan
nilai kecerahan yang semakin tinggi. Tingkat kecerahan paling tinggi yaitu pada
tepung perlakuan perendaman 0,3% natrium metabisulfit. Hal ini didukung
dengan pendapat Slamet (2010) bahwa Natrium Metabisufit mencegah terjadinya
reaksi pencoklatan dengan cara memblokir pembentukan senyawa 5 hidroksil
metal furfural dari D-glukosa penyebab terjadinya warna coklat. Gugus sulfit
pada natrium metabisulfit akan menghambat terjadinya reaksi browning non
enzimatis yang dikatalis oleh fenolase.
b. Nilai Kemerahan (Redness)
Tingkat kemerahan (a*) menyatakan tingkat warna hijau – merah dengan
kisaran nilai -100 sampai +100. Niai negative (-) menunjukkan kecenderungan
berwarna hijau, sedangkan nilai positive (-) menunjukkan kecenderungan
berwarna merah (De Man, 1997). Tepung labu jepang perlakuan blanching dan
perendaman natrium metabisulfit memiliki rerata tingkat kemerahan berkisar
antara 9,37 – 15,38. Grafik rerata tingkat kemerahan (a*) tepung labu kuning
kabocha pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada
berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat
dilihat pada Gambar 4.15
62
4.15 Grafik Rerata Tingkat Kemerahan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Berdasarkan gambar 4.15 Menunjukkan bahwa tingkat kemerahan warna
tepung labu jepang cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi
perendaman natrium metabisulfit, namun cenderung menurun dengan semakin
meningkatnya suhu blanching. Tingkat kemerahan paling tinggi terdapat pada
perlakuan tanpa blanching perendaman 0,3% natrium metabisulfit yaitu sebesar
15,41, sedangkan tingkat kemerahan paling rendah terdapat pada perlakuan
blanching suhu 80°C perendaman 0,1% natrium metabisulfit yaitu sebesar 9,37.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit
berpengaruh nyata terhadap tingkat kemerahan tepung labu jepang. Selain itu,
terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap
tingkat kemerahan tepung labu jepang. Hasil uji lanjut tingkat kemerahan tepung
labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.18.
02468
1012141618
TanpaBlansing
Suhu 60°C Suhu 80°C
Tin
gkat
Ke
me
rah
an (
a*)
Suhu Blansing (°C)
0% Na-metabisulfit
0,1% Na-metabisulfit
63
Tabel 4.18 Rerata Nilai Tingkat Kemerahan Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Tingkat
Kemerahan
(a*) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 11,85±0,33 c 0,525 – 0,602
0,1 10,92±0,22 b
0,3 15,41±0,23 e
60
0 12,08±0,42 c
0,1 14,24±0,34 d
0,3 15,38±0,19 e
80
0 11,98±0,34 c
0,1 9,37±0,34 a
0,3 14,12±0,27 d
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat interaksi perlakuan suhu blanching
dan perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap
nilai kemerahan tepung labu jepang (kabocha). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai tingkat kemerahan dari tepung labu jepang berada pada kisaran
warna merah. Produk tepung labu jepang cenderung berwarna jingga karena
nilai kemerahan tepung tidak mendekati +100 yang menunjukkan warna merah.
Labu jepang memiliki karakteristik warna orange/jingga sehingga diduga tinggi
kandungan karotenoid yang merupakan pigmen yang memberikan warna jingga.
Nilai tingkat kemerahan tepung labu jepang pada suhu 60°C cenderung lebih
tinggi dibandingkan perlakuan blanching suhu 80°C dan tanpa blanching. Hal ini
diduga pada suhu blanching 60°C merupakan suhu optimal blanching sehingga
warna semakin tajam/jelas. Perlakuan tanpa blanching cenderung menghasilkan
tingkat kemerahan yang rendah kecuali pada perendaman 0,3% natrium
metabisulfit yang justru menghasilkan kemerahan paling tinggi. Menurut
Chrisandy (2013) fungsi blanching yaitu dapat mempertajam warna pada bahan
pangan sehingga warna semakin tajam. Semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit yang digunakan pada perendaman cenderung menghasilkan nilai
64
kemerahan warna yang tinggi. Hal ini diduga karena adanya natrium metabisulfit
yang mampu menegah terjadinya warna coklat akibat sulfit berinteraksi dengan
gugus karbonil yang mengikat melaniodin (Rahman, 2007). Tingginya nilai
kemerahan tapung labu jepang diduga karena peran natrium metabisulfit yang
selain mencegah terjadinya browning juga mampu meminimalisir kerusakan
karoten yang merupakan pigmen warna kuning sampai merah sehingga nilai
kemerahan cenderung tinggi dengan semakin meningkatnya konsentrasi natrium
metabisulfit. Menurut Latapi (2006) bahwa natrium metabisulfit mampu menekan
degradasi warna dan juga memperpanjang masa simpan bahan.
c. Nilai Kekuningan (Yellowness)
Tingkat kekuningan (b*) menyatakan tingkat warna biru sampai kuning
dengan kisaran nilai -100 sampai 100. Nilai positive (+) menyatakan
kecenerungan berwarna kuning, sedangkan nilai negative (-) menyatakan
kecenderungan berwarna biru (De Man, 1997). Tepung labu jepang perlakuan
blanching dan perendaman natrium metabisulfit memiliki rerata tingkat
kekuningan berkisar antara 40,84 – 48,75. Grafik rerata tingkat kekuningan (b*)
tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan perendaman Natrium
Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama
perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.16
4.16 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh
Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
36
38
40
42
44
46
48
50
Tanpa Blansing Suhu 60 Suhu 80
Tin
gkat
Ke
kun
inga
n (
b*)
Suhu Blansing (°C)
0% Na-Sulfit
0,1% Na-Sulfit
0,3% Na-Sulfit
65
Berdasarkan grafik 4.16 Menunjukkan bahwa tingkat kekuningan tepung
labu jepang cenderung meningkat seiiring dengan semakin meningkatnya suhu
blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Tingkat kekuningan
paling tinggi terdapat pada perlakuan tanpa blanching perendaman 0,3% natrium
metabisulfit yaitu sebesar 48,75, sedangkan tingkat kekuningan paling rendah
terdapat pada perlakuan blanching suhu 80°C perendaman 0% natrium
metabisulfit yaitu sebesar 40,84.
Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa
perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit
berpengaruh nyata terhadap tingkat kekuningan tepung labu jepang. Selain itu,
terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap
tingkat kekuningan tepung labu jepang. Hasil uji lanjut tingkat kekuningan tepung
labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.19.
Tabel 4.19 Rerata Nilai Tingkat Kekuningan Tepung Labu jepang (kabocha)
Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium
Metabisulfit
Suhu (°C)
Konsentrasi Na-sulfit
(%)
Tingkat
Kekuningan
(b*) DMRT 5%
Tanpa blanching
0 45,02±0,48 bc 1,962 – 2,249
0,1 45,68±1,21 c
0,3 48,75±1,70 e
60
0 46,72±0,97 cd
0,1 48,09±0,80 d
0,3 47,42±0,20 cd
80
0 40,84±0,99 a
0,1 43,16±1,77 b
0,3 45,76±1,40 c
Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan
2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat interaksi perlakuan suhu blanching
dan perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap
nilai kekuningan tepung labu jepang (kabocha). Tepung dengan perlakuan tanpa
blanching dan perendaman 0,3% natrium metabisulfit menghasilkan tingkat
66
kekuningan paling tinggi. Hal ini diduga konsentrasi natrium metabisulfit yang
tinggi mampu menekan kerusakan warna. Suhu blanching yang semakin tinggi
cenderung menurunkan nilai tingkat kekuningan, sedangkan semakin tinggi
konsentrasi natrium metabisulfit cenderung meningkatnya nilai tingkat
kekuningan. Hal ini diduga peran natrium metabisulfit pada proses perendaman
lebih efektif dalam hal mencegah reaksi pencoklatan dibandingkan dengan
blanching. Menurut Latapi (2006) bahwa natrium metabisulfit mampu menekan
degradasi warna sehingga meminimalisir perubahan warna. Natrium metabisulfit
mencegah terjadinya reaksi pencoklatan dengan cara memblokir pembentukan
senyawa 5 hidroksil metal furfural dari D-glukosa penyebab terjadinya warna
coklat dimana gugus sulfit pada natrium metabisulfit akan menghambat
terjadinya reaksi browning non enzimatis yang dikatalis oleh fenolase (Slamet,
2010). Nilai tingkat kekuningan terendah yaitu pada perlakuan blanching suhu
80°C perendaman 0% natrium metabisulfit. Rendahnya nilai tingkat kekuningan
pada perlakuan blanching suhu 80°C perendaman 0% natrium metabisulfit
diduga karena tidak adanya natrium metabisulfit yang berperan tinggi mencegah
reaksi pencoklatan pada bahan, sehingga proses blanching saja belum efektif
menekan terjadinya browning yang berdampak pada penurunan tingkat
kekuningan.
4.3 Perlakuan Terbaik
Pemilihan perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan karakteristik terbaik
tepung labu dengan prosedur pembobotan yang sesuai nilai ideal pada masing-
masing parameter. Metode yang digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik
yaitu menggunakan multiple attribute menurutZeleny (1982). Pengujian
perlakuan terbaik dilakukan pada parameter kimia yang meliputi kadar air, kadar
lemak, kadar protein, kadar abu, kadar serat kasar, kadar pati, total karoten.
Pengujian perlakuan terbaik pada parameter fisik yaitu daya serap air, viskositas
panas, visksitas holding, viskositas dingin, swelling power, kelarutan, tingkat
kecerahan (L), tingkat kemerahan (a), dan tingkat kekuningan (b).
Hasil pengujian nilai terbaik dengan menggunakan metode zeleny pada 9
perlakuan yaitu kombinasi perlakuan B3P1 pada perlakuan blanching suhu 800C
dan perendaman Na-metabisufit 0%. Berikut tabel perlakuan terbaik tepung labu
jepang (kabocha) dengan parameter fisik dan kimia:
67
Tabel 4.20 Perlakuan Terbaik Parameter Fisik dan Kimia Tepung Labu
jepang (kabocha)
Parameter
Tepung Perlakuan blanching suhu
800C dan perendaman Na-
metabisufit 0%
Kadar air (%) 9.59
Kadar abu (%) 6.27
Kadar Serat kasar (%) 28.11
Kadar Lemak (%) 4.49
Kadar Pati (%) 27.73
Kadar Protein (%) 16.68
Total Karoten (mg/100g) 140.93
Daya serap air (ml/g) 6.07
Viskositas panas (cp) 1553.33
Viskositas dingin (cp) 3386.67
Viskositas holding (cp) 2206.67
Swelling Power (g/g) 27.23
Kelarutan (%) 2.11
Warna L (Kecerahan) 71.52
Warna a (redness) 11.98
Warna b (yellowness) 40.84
Keterangan: Setiap data merupakan rata-rata dari 3 ulangan
Tabel 4.20 menunjukkan sifat fisikokimia tepung labu jepang (kabocha)
perlakuan terbaik menggunaka metode zeleny. Perlakuan terbaik dipilih
berdasarkan tingkat kepentingan dan pengharapan dari masing-masing
parameter yang meliputi sifat fisik dan kimia tepug labu jepang (kabocha). Nilai
viskosias dingin yang tinggi menunjukkan tepung mengalami retrogradasi yang
lebih cepat dibadingkan dengan tepung dengan viskositas dingin yang rendah.
Hal ini akan berpengaruh pada pengaplikasian tepung. Tepung dengan nilai
viskositas tinggi tidak cocok diaplikasikan pada pembuatan produk rerotian
karena akan menyebabkan produk menjadi keras saat dingin yang disebabkan
adanya retrogradasi. Menurut Romadhoni (2015), pasta pati akan naik karena
retrogradasiakibat pendinginan. Tepung dengan viskositas dingin tinggi
kemungkinan cocok digunakan sebagai bahan pengisi ataupun pengental.
Viskositas dingin yang tinggi lebih cocok diaplikasikan sebagai bahan pengisi
68
ataupun penstabil karena akan menghasilkan produk yang lebih stabil (Richana,
2004).
Standar kadar air tepung menurut data BSN yaitu SNI 01-3751-2009,
kaar air tepung terigu berada pada kisaran 14-15%. Nilai kadar air tepung labu
jepang (kabocha) pada perlakuan terbaik tidak melampaui batas standar kadar
air tepung terigu menurut SNI 01-3751-2009 dan cenderung rendah. Kadar air
yang rendah dipilih berdasarkan pertimbangan umur simpan produk dan
karakteristik fisik tepung labu jepang (kabocha). Tepung dengan kadar air rendah
memiliki daya simpan yang panjang dan tidak mudah rusak.
Kadar serat kasar tepung labu jepang (kabocha) perlakuan terbaik yaitu
28,11%. Menurut Ranakusuma (1990) dalam Kusharto (2006), bahwa serat pada
makanan berguna untuk mengurngi asupan kalori sehingga bisa digunakan
sebagai strategi dalam menghadapi obesitas.
69
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan
suhu berpengaruh nyata terhadap parameter total karoten dan serat kasar. Perlakuan
konsentrasi natrium metabisulfit memberikan pengaruh nyata terhadap perameter total
karoten, kadar serat kasar dan tingkat kecerahan. Interaksi antara perlakuan suhu
blanching dan konsentrasi natrium metabisulfit memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap parameter kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar abu, daya serap air,
viskositas panas, viskositasholding, viskositas dingin, swelling power, kelarutan, tingkat
kemerahan dan tingkat kekuningan. Tidak terjadi interaksi kedua faktor dan tidak
berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap parameter kadar serat kasar, kadar lemak, total
karoten dan tingkat kecerahan.
Tepung labu kabocha dengan perlakuan terbaik ditentukan dengan menggunkan
metode Zeleny. Perlakuan terbaik tepung labu kabocha adalah tepung dengan perlakuan
blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisufit 0%.
5.2 Saran
Perlunya dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut pada berbagai parameter
dengan menggunakan steam blanching untuk kemudian bisa dibandingkan dengan
metode water blanching. Perlunya dilakukan pengaplikasian pembuatan produk tepung
labu kabocha yang kaya serat dan analisis pada produk tersebut sehingga produk dapat
diterima dan diaplikasikan di masyarakat.
70
DAFTAR PUSTAKA
Adelina. D, Rahmawati. L.R.N. 2015. Pembuatan Tepung Labu Kuning.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Agiang, MA., Umoh, I. B., Essien. A.I, and Eteng, M.U.2010. Nutrient Changes
and Antinutrient Content of Beniseed and Beniseed Soup During
Cooking Using a Nigeria Traditional Method. Pakistan Journal of
Biological Sciences 13:1011-1015
Aini, Nur. Hariyadi Purwiyanto dkk. 2009. Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi
Tepung Jagung Putih dengan Fermentasi Spontan Butiran
Jagung. Institut Pertanian Bogor. Bogor
An, Hee-Young. 2005. Effect of Ozonition and Addiction of Amino acid on
Properties of Rice
Antarlina,S.S dan E. Ginting .1992. Pembuatan Kue Basah Dari Tepung
Komposit. Penelitian Palawija . Vol 7. No. 1 dan 2: 34-45
Apriliyanti, Tina. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi Jalar
Ungu (Ipomoea batatas blackle) dengan Variasi Proses
Pengeringan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Arie. Dian Susanti., Harijono. 2014. Pengaruh Karagenan Terhadap
Karakteristik Pasta Tepung Garut dan Kecambah Kacang Gude
Sebagai Bahan Baku Bihun. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2.
No 4. 50-57
Astawan, M. Dkk. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. PT Gramedia. Jakarta
Bich 1985 dalam Sukardi (2012).
Boram, Park. Na Jung, Kim., dkk. 2005. Quality Characteristic of Sweet
Pumpkin Latte With Various Gum. Department of Agrofood
Resource. Vol .31. No. 3. 304-317.
Budiman et al.,(1984), Karakteristik Buah Waluh (Cucurbita pepe L.). Ilmu dan
Teknologi Pangan Vol.3 ; 116-133
Cazzonelli, C. I. and Pogson, B. C. 2010. Source to Sink : Regulation of
Carotenoid Biosynthesis in Plant. Trends in Plant Science 15 :
266-274
Chrisandy, Chatrine P. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tepung Labu
Kuning dengan Perlakuan Blanching dan Perendaman Natrium
Metabisulfit. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan. ITB. Bandung
Desti, D.K., Amanto, B, dkk. 2012. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan
Suhu Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Sensori
71
Tepung Biji Nangka(Artocarpus heterophllus). Universitas
Sebelas Maret. Surakarta
Direktorat Gizi Departemen RI. 2000. Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Bhatara. Jakarta
Fellows, P. J. 1992. Food Prcessing Technology: Principle and Practice. Ellis
Howard Limited , Sussex, England.
Fenema, O.R. 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc.
Gardjito, Murdijati dan Theresia Fitria Kartika Sari. 2005. Pengaruh
Penambahan Asam Sitrat dalam Pembuatan Manisan Kering
Labu Kuning (Cucurbita maxima) terhadap Sifat-sifat Produknya.
Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi
Pertanian UGM.
Gardjito, Murdjiati. 2006. Labu Kuning Sumber Karbohidrat Kaya Vitamin A.
Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT). Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta
Gujska, E., dan Khan. 1991. Feed Moisture Effect on Function of Properties,
Trypsin Inhibitor and Hemoglutinating Activaties of Extruded
Bean High Starch Fraction. Journal of Food Science 56 (2).
Haile, F., Admassu,S. Fisseha. A. 2015. Effect of Pre-treatments and Drying
Methods on Chemical Composition, Microbial and Sensory
Quality of Orange-Fleshed Sweet Potato Flour and Porridge.
American Journal of Food Science and Technology. Vol 3. No. 3. 82-
88. 2015
Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. UGM Press. Yogyakarta
Isnaharani, Yulan. 2009. Pemanfaatan Tepung Jerami Nangka (Artocarpus
heterophyllus link)dalam Pembuatan Cookies Tinggi Serat.
IPB.Bogor
Khomsan, Ali dan Anwar, Faisal. 2008. Sehat Itu Mudah Wujudkan Hidup
Sehat dengan Makanan Tepat. PT Mizan Publika. Jakarta
Kumalaningsih, S,dkk. 2004. Pencegahan Pencoklatan Umbu Ubi Jalar
(Ipomea batatas L.) Untuk Pembuatan Tepung : Pengaruh
Kombinasi Asam Askorbat Dan Sodium Acid Phyrophosphate.
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 5 No 1;11-19
Kusharto M, Clara. 2006. Serat Makanan dan Peranan Bagi Kesehatan. Institut
Petanian Bogor. Bogor
Lamikanra, O, dkk. 2005. Produce Degradation: Pathways and Prevention.
Taylor & Francis Group. United State of America
Latapi G, Barret DM (2006). Influence of Pre-drying Treatment on Quality and
Safety of Sun-dried Tomatoes. Part II Effect of Storage on
Nutritional and Sensory Quality of Sun-dried tomatoes preteated
with sulfur, sodium metabisulfit, or salt. J Food Sci 71(1) : 32-37
72
Li, J. Y.,& Yen, A. I. 2001. Relationship between thermal, rheological
characteristic and swelling power for varions starches. J. Food
Engineering Vol.50 : 141-148
Muchtadi TR. 1992. Karakteristik Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit
(Elaeis guineensis, Jacq) dalam Rangka Optimalisasi Proses
Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A[disertasi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Muchtadi, 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. PAU.
Pangan dan Gizi. IPB. Bogor
Mumpuni, Christina E. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses
Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Noviarso, Cahyo. 2003. Pengaruh Umur Panen dan Masa Simpan Buah
Sukun (Artocarpus altilis) terhadap Kualitas Tepung Sukun yang
Dihasilkan. Skripsi. Faleta. IPB. Bogor
O’Sullivan L, Karen gs, Aisling A dan Nora MO.2010. Effect Of Cooking On The
Profile And Micellarization Oof 9-Cis-, 13-Cis And All-Trans-B-
Caroten In Green Vegetables. Journal Food Research International.
43(2010) 1130-1135
Pomeranz, S.Y dan C.E. Meloand. 1995. Food Analysis Theory amd Practice.
The AVI Publishing Company Inc. Wesport Conneticut
Prabasini, Hermaning. 2013. Kajian Sifat Kimia dan Fisik Tepung Labu
Kuning (Curcubita Moschata) Dengan Perlakuan Blanching dan
Perendaman dalam Natrium Metabisulfit (Na2S2O5). Universitas
Sebelas Maret. Surakarta
Prabowo, B. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Millet Kuning dan
Tepung Millet Merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian,
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Prabowo, Bimo. 2010. Kajian Sifat Fisika Kimia Tepung Milet Kuning dan
Tepung Milet Merah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Rahman, Farida. 2007. Pengaruh Knsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)
dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Biji Alpukat (Persea
americana mill). Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara.
Rahman, Shafiur M. 2007. Handbook of Food Preservation,Second Edition.
Taylor & Francis Group. United State of America
Ranakusuma B. 1990. Obesitas dan Mafaat Serat. Gizi Indonesia, 15 (1), 76-
80.
Ratnayake, W.S., R.Hoover and W.Tom. 2002. Pea Starch : Composition
Structure and Properties-Review. Starch. 54 : 217-234
73
Richana, Nue. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan
Tepung Pati dari Umbi Ganyong Suweg Ubi kelapa dan Gembili.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Richana, Nur., Titi C. S. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi
dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan
Gembili. ITB. Bogor
Rincon A. M And Padilla, F.C. 2004. Physichochemical Properties of
Breadfruit (Artocarpus Altilis) Starch from Margarita Island.
Venezuela Arch Latinoam 54 (4) : 449- 456.
Rizal, Saifur. 2013. Pengaruh Konsentrasi Natrium Bisulfit dan Suhu
Pengeringan Terhadap Sifat Fisik-Kimia Tepung Biji Nangka
(Artocarpus heterophllus). Universitas Brawijaya. Malang
Rodriguez, D.B dan Kimura, M. 2004. Harvest Plus Handbook for Carotenoid
Analysis. Harvest Plus Technical Monograph 2. Washington, DC and
Cali ; International Food Policy Research Institute and International
Center for Tropical Agriculture.
Romadhoni, Mashita., Harijono. 2015. Karakteristik Pasta Tepung Gembili,
Pati Sagu dan Karagenan Serta Potensinya Sebagai Bihun.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3. No 1. 53-60.
Ryan , Mukhamad Akbar, Yunianta. Pengaruh Lama Perendaman Na2SO4 dan
Fermentasi Ragi Tape Terhadap Sifat Fisk Kimia Tepung Jagung.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 2 91-102.
Sleagun G.,Cernisev s., Popa M., Fiodorov S. 2007. Kinetics of Pumpkin
Dehydration. Republic of Moldova
Soebito, S. 1998. Analisa Farmasi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sukardi. M. Hindun P., Hidayat. 2012. Optimasi Penurunan Kandungan
Oligosakarida pada Pembuatan Tepung Ubi Jalar dengan cara
Fermentasi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya Malang.
Suprapti, Lies M. 2003. Teknologi Pengolahan Pangan:Aneka Awetan Jahe.
Kanisius. Yogyakarta
Supriyadi, 2015. Manfaat Labu Kandungan Gizi Labu.
http://www.tipscaramanfaat.com/manfaat-labu-kandungan-gizi-labu-
57.html . Diakses pada 12 Desember 2015.
Surapto, Hadi. 2006. Pengaruh Perendaman Pisang Kepok (Musa acuminac
balbisiana calla) dalam Larutan Garam Terhadap Mutu Tepung
yang Dihasilkan : Jurnal Teknologi Pertanian 1(2) : 74-80.
Wahyuni D.T., Widjanarn, B.W.2005. Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama
Ekstraksi Terhadap Ekstrak Karotenoid Labu Kuning dengan
Metode Gelombang Ultrasonik. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol
2, No. 4, D 58-67
74
Widiyawati, Iis Intan. 2007. Pengaruh Lama Perendaman dan Kadar Natrium
Metabisulfit dalam Larutan Perendaman pada Potongan Ubi
Jalar Kuning (Ipomoen batatas (L.) lamb) Terhadap Kualitas
Tepung yang Dihasilkan. Pendidikan Kimia FKIP-Unmul, Jl. Muara
Pahu Kampus Unmul Gunung Kelua Samarinda.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jalarta
Winarno. 1980. Pengantar Teknologi Pengolahan. PT Gramedia. Jakarta