SKRIPSI Oleh: Enike Risty Sukma Permana

89
i KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG LABU JEPANG (KABOCHA) (Cucurbita maxima L.) (KAJIAN PENGARUH SUHU BLANCHING, DAN KONSENTRASI PERENDAMAN NATRIUM METABISULFIT) SKRIPSI Oleh: Enike Risty Sukma Permana NIM. 125100101111045 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of SKRIPSI Oleh: Enike Risty Sukma Permana

i

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG LABU JEPANG (KABOCHA)

(Cucurbita maxima L.) (KAJIAN PENGARUH SUHU BLANCHING, DAN

KONSENTRASI PERENDAMAN NATRIUM METABISULFIT)

SKRIPSI

Oleh:

Enike Risty Sukma Permana

NIM. 125100101111045

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

ii

iii

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Magetan, Jawa Timur pada tanggal 4

Februari 1994 dari ayah bernama Suwandi dan ibu yang

bernama Lilik Suharni. Penulis menyelesaikan pendidikan

Sekolah Dasar di SDN Selosari 2 Magetan pada tahun 2006,

kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Kota Magetan dengan

tahun kelulusan 2009, dan menyelesaikan Sekolah menengah

Atas di SMAN 2 Kota Magetan pada tahun 2012.

Pada tahun 2018 penulis telah berhasil menyelesaikan studinya di

Universitas Brawijaya Malang di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas

Teknologi Pertanian. Pada masa pendidikannya penulis ikut sebagai anggota

panitia Orientasi Siswa Pengenalan Kampus tingkat Jurusan di fakultas teknologi

pertanian. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 2018

dengan menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Karakterisasi Sifat

Fisikokimia Tepung Labu Jepang (Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian

Pengaruh Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit)”

Malang, September 2018

Penulis

v

Lembar Peruntukkan

Sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, Karya

ilmiah ini saya persembahkan kepada bapak saya

tercinta Suwandi, ibu saya Lilik Suharni, dan

keempat kakak saya Gigih, Puput, Eka dan

Ambar yang membantu dan mensupport saya

selama ini. Terimakasih pula untuk Andi yang

selalu mencintai saya selama ini dan juga

sahabat-sahabat saya.

vi

Pernyataan Keasian TA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Enike Risty Sukma Permana

NIM : 125100101111045

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Judul TA : Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Labu Jepang

(Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian Pengaruh Suhu

Blanching dan Konsentasi Perendaman Natrium

Metabisulfit)

Menyatakan bahwa,

Ta dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas. Apabila di

kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar saya bersedia dituntut sesuai

hukum yang berlaku.

Malang, 25 September 2018

Pembuat Pernyataan

Enike Risty Sukma Permana

NIM. 125100101111045

vii

Enike Risty Sukma Permana. 125100101111045. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Labu Jepang (Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian Pengaruh Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit).Skripsi. Pembimbing: Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP

RINGKASAN

Labu jepang (kabocha) (Cucurbita maxima L.) merupakan labu yang mempunyai karakteristik mudah rusak dengan kandungan betakaroten yang tinggi. Salah satu upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan labu jepang (kabocha) yang tinggi betakaroten adalah dengan mengolah menjadi tepung. Pengolahan tepung labu jepang (kabocha) yang kurang tepat menjadikan karakteristik tepung yang kurang sesuai seperti menggumpal, menurunnya kemampuan mengikat air dan warna yang kurang menarik sebagai indikasi banyaknya kerusakan pada betakaroten. Proses pretreatment blanching dan perendaman merupakan salah satu upaya untuk meminimalisir kemungkinan kerusakan yang dapat memperbaiki karakteristik tepung. Blanching mampu menginaktivasi enzim penyebab browning, dan suhu yang tepat akan meminimalisir kerusakan pada betakaroten. Sedangkan perendaman Natrium metabisulfit mampu mencegah terjadinya browning akibat enzim fenolase penyebab pencoklatan yang inaktif. Proses blanching dan perendaman Natrium metabisulfit juga berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia dikarenakan proses blanching mampu membuka pori-pori sedangkan perendaman Natrium metabisulfit mempu marusak dinding sel dan berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia tepung.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial menggunakan 2 faktor, dimana faktor I adalah suhu blanching terdiri dari 3 level yaitu suhu 600C, 800C dan tanpa blanching dan faktor II adalah konsentrasi perendaman Natrium metabisulfit dengan 3 level yaitu 0%, 0,1% dan 0,3%. Terdapat 9 kombinasi perlakuan dengan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 27 percobaan. Data kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisa ragam (ANOVA). Apabila tidak terjadi interaksi antara kedua perlakuan maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf 5%. Jika terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) 5%. Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan metode Zeleny

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit berpengaruh nyata (α=5%) terhadap nilai kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar abu, daya serap air, viskositas panas, viskositas holding, viskositas dingin, swelling power, kelarutan, tingkat kemerahan dan tingkat kekuningan. Perlakuan terbaik tepung labu jepang (kabocha) dengan metode Zeleny pada tepung perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisufit 0% dengan nilai masing-masing parameter sebagai berikut: kadar air 9,59%; kadar abu 6,27%; kadar serat kasar 28,11%; kadar lemak 4,49%; kadar pati 27,73; kadar protein 16,68%; total karoten 140,93 mg/100g; daya serap air 6,07 ml/g; viskositas panas 1553,33 cp; viskositas holding 2206,67 cp; viskositas dingin 3386,67 cp; swelling power 27,23 g/g; kelarutan 2,11%; warna kecerahan L 71,52; warna kemerahan a 11,98; warna kekuningan b 40,84.

Kata Kunci : Labu Jepang, Tepung Labu Jepang, Blanching, Natrium Metabisulfit

viii

Enike Risty Sukma Permana. 125100101111045. Characterization of Physicochemical Properties of Japanese Pumpkin Flour (Kabocha) (Cucurbita maxima L.) (Study of the Effect of Blanching Temperature and Soaking Sodium Metabisulfite Concentration). Minithesis. Supervisor: Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP

SUMMARY

Japanese pumpkin (kabocha) (Cucurbita maxima L.) is a pumpkin that has characteristics of perishability with high beta-carotene content. One effort to maximize the use of Japanese pumpkin (kabocha) which is high in beta-carotene is to process it into flour. The improper processing of Japanese pumpkin flour (kabocha) makes the characteristics of flour less suitable such as clumping, decreased ability to bind water and less attractive colors as an indication of the amount of damage to beta-carotene. The process of pretreatment blanching and soaking is an effort to minimize the possibility of damage that can improve the characteristics of flour. Blanching is able to inactivate enzymes that cause browning, and the right temperature will minimize damage to beta-carotene. While soaking natrium metabisulfite is able to prevent browning due to phenolase enzymes that cause inactive browning. The process of blanching and soaking Natrium metabisulfite also affects the physical and chemical characteristics because the blanching process is able to open the pores while soaking Natrium metabisulfite can damage the cell wall and affect the physical and chemical characteristics of flour.

The experimental design used was factorial randomized block design using 2 factors, in which factor I was the blanching temperature consisting of 3 levels, namely temperature 600C, 800C and without blanching and factor II was the concentration of soaking natrium metabisulfite with 3 levels of 0%, 0 , 1% and 0.3%. There were 9 combinations of treatments with 3 replications so that 27 trials were obtained. The data was then analyzed statistically using Analysis of Variance (ANOVA). If there is no interaction between the two treatments then the Smallest Significant Difference Test is carried out with a level of 5%. If there are significant differences, then a further DMRT (Duncan Multiple Range Test) test is 5%. Selection of the best treatment using the Zeleny method.

The results showed that the blanching temperature treatment and soaking concentration natrium metabisulfite significantly (α = 5%) on the value of water content, protein content, starch content, ash content, water absorption, heat viscosity, holding viscosity, cold viscosity, swelling power, solubility, redness and yellowness level. The best treatment of Japanese pumpkin flour (kabocha) by Zeleny method, namely the treatment of flour blanching temperature of 800C and soaking Na-metabisufit 0% with the value of each parameter as follows: water content of 9.59%; ash content 6.27%; crude fiber content 28.11%; 4.49% fat content; starch content 27.73; protein content of 16.68%; total carotene 140.93 mg / 100g; water absorption of 6.07 ml / g; heat viscosity 1553.33 cp; holding viscosity is 2206.67 cp; cold viscosity 3386.67 cp; swelling power 27.23 g / g; solubility of 2.11%; brightness color L 71.52; redness color a 11.98; yellowness color b 40.84.

Keywords: Japanese Pumpkin, Japanese Pumpkin Flour, Blanching, Natrium

Metabisulfite

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih

dan Maha Penyayang berkat Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Karakterisasi Sifat

Fisikokimia Tepung Labu Jepang (Kabocha) (Cucurbita maxima L.)(Kajian

Pengaruh Suhu Blanching dan Konsentasi Perendaman Natrium Metabisulfit)”

ini dapat terseleikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana (TP)

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan serta

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Dr. Widya Dwi R.P, STP, MP. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

telah memberikan bimbingan selama penulisan laporan skripsi ini

sehingga penulisan laporan skripsi ini berjalan lancar.

2. Dosen penguji Dr. Agustin Krisna Wardani, STP., M.Si dan Erni Sofia

Murtini, STP., MP., Ph.D yang telah banyak membimbing saya.

3. Ayah saya Suwandi dan Ibu saya Lilik Suharni atas pengorbanan, doa

dan kesabaran selama ini, juga kakak saya Gigih, Puput, Eka dan Ambar

yang ikut membantu dan mensupport saya.

4. Untuk Andi yang selalu mendukung sampai sekarang serta teman dan

sahabat saya nurul, yesy, seli, melani terimakasih atas bantuan dan

kebersamaan yang sangat berarti.

Semoga Allah SWT memberikan yang berlipat ganda kepada

semuanya. Terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, kritik

dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.

Semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua.

Malang, 28 Agustus 2018

Penulis

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...........………………………………………….…….... i

LEMBAR PENGESAHAN …………………….…………………………………... ii

LEMBAR PERSETUJUAN…………........………………………………..……..... iii

RIWAYAT HIDUP ………..………………………………………...………............. iv

LEMBAR PERUNTUKKAN ………………………………………...………........... v

PERNYATAAN KEASLIAN ……………..…………………………...……............ vi

RINGKASAN………………………………………………………..…….....…....... vii

SUMMARY……………………………………………………...……..…....…........ viii

KATA PENGANTAR…………………….…………………………...……............. ix

DAFTAR ISI……………………………….……...…………………………...…....... x

DAFTAR TABEL…………….…………...…..…………………...….….…........... xiii

DAFTAR GAMBAR...………………......………………………………...….…..... xiv

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...……....... xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................... 3

1.4 Manfaat Penelitian......................................................................................... 4

1.5 Hipotesa ........................................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Labu Jepang (Kabocha) ……………………………………………………..…. 5

2.2 Kandungan Kimia Labu Jepang (Kabocha) …………………………………... 5

2.3 Jenis Varietas Labu Kuning Impor……………………….…………………...... 6

2.4 Blanching....................................................................................................... 7

2.5 Natrium Metabisulfit….................................................................................... 8

2.6 Perendaman Natrium Metabisulfi................................................................... 8

xi

2.7 Tepung Labung Kuning.................................................................................. 9

2.8 Karotenoid.................................................................................................... 10

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu Penelitian....................................................................... 14

3.2 Alat dan Bahan Penelitian............................................................................ 14

3.2.1 Alat.....................................................................................................14

3.2.2 Bahan................................................................................................14

3.3 Rancangan Percobaan.................................................................................15

3.4 Prosedur Penelitian...................................................................................... 16

3.4.1 Pembuatan Tepung Labu Kabocha...................................................16

3.4.2 Diagram Alir Penelitian........................................... ..........................17

3.5 Pengamatan..................................................................................................18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku ..............................................................................19

4.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Tepung Labu Kabocha ....................................20

4.2.1 Kadar Air..............................................................................................20

4.2.2 Kadar Pati ...........................................................................................23

4.2.3 Kadar Lemak...................................................................................... 26

4.2.4 Kadar Protein.......................................................................................28

4.2.5 Total Karotenoid.................................................................................. 31

4.2.6 Kadar Serat Kasar............................................................................... 34

4.2.7 Kadar Abu............................................................................................37

4.2.8 Daya Serap Air.....................................................................................40

4.2.9 Viskositas.............................................................................................43

4.2.10 Swelling power.................................................................................. 52

4.2.11 Solubility............................................................................................ 55

4.2.12 Warna................................................................................................ 58

4.3 Perlakuan Terbaik......................................................................................... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ………………………………………………………….…………….69

5.2 Saran …………………………………………………………………….………...69

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………70

xii

DAFTAR TABEL

Teks Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Buah Labu Cucurbita maxima L. Dalam 100

bahan................................................................................................. 6

Tabel 2.2 Jenis Varietas Labu Kuning Impor….................................................. 6

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Tepung Labu Jepang (Kabocha)................... 15

Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku…............................................................. 19

Tabel 4.2 Rerata Nilai Kadar Air Tepung Labu Kabocha Perlakuan Suhu

Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit.........22

Tabel 4.3 Rerata Nilai Kadar Pati Tepung Labu Kabocha Perlakuan Suhu

Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit..........25

Tabel 4.4 Rerata Nilai Kadar Protein Tepung Labu Kabocha Perlakuan Suhu

Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit..........30

Tabel 4.5 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching............................................................... 33

Tabel 4.6 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit................ 34

Tabel 4.7 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching................................................................36

Tabel 4.8 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit................ 36

Tabel 4.9 Rerata Nilai Kadar Abu Tepung Labu Kabocha Pengaruh Perlakuan

Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit 39

Tabel 4.10 Rerata Nilai Daya Serap Air Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulit..........................................................................................42

Tabel 4.11 Rerata Nilai Viskositas Panas Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulit......................................................................................... 45

Tabel 4.12 Rerata Nilai Viskositas Holding Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulit..........................................................................................48

xiii

Tabel 4.13 Rerata Nilai Viskositas Dingin Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulit..........................................................................................51

Tabel 4.14 Rerata Nilai Sweiiling Power Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulit..........................................................................................53

Tabel 4.15 Rerata Nilai Kelarutan Tepung Labu Kabocha Pengaruh Perlakuan

Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit.57

Tabel 4.16 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching............................................... 60

Tabel 4.17 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulit..................................60

Tabel 4.18 Rerata Tingkat Kemerahan Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulit......................................................63

Tabel 4.19 Rerata Tingkat Kekuningan Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulit..........................................................................................65

Tabel 4.20 Perlakuan Terbaik Parameter Fisik dan Kimia Tepung Labu

Kabocha …………………………………………………………………..67

xiv

DAFTAR GAMBAR

Teks Halaman

Gambar 2.1 Labu Jepang (kabocha)............................................................... 5

Gambar 2.2 Struktur Betakaroten.................................................................... 11

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Labu Kabocha….................... 17

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Air Tepung

Labu Kabocha............................................................................. 21

Gambar 4.2 Grafik Rerata Kadar Pati (%) Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit................................................................................... 24

Gambar 4.3 Grafik Rerata Kadar Lemak (%) Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit....................................................................................27

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar ProteinTepung

Labu Kabocha............................................................................. 29

Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Total KarotenTepung

Labu Kabocha............................................................................. 32

Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Serat Kasar Tepung

Labu Kabocha............................................................................. 35

Gambar 4.7 Grafik Rerata Kadar Abu (%) Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit................................................................................... 38

Gambar 4.8 Grafik Rerata Daya Serap Air (ml/g) Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman

Natrium Metabisulfit..................................................................... 41

Gambar 4.9 Grafik Rerata Viskositas Panas Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit................................................................................... 44

Gambar 4.10 Grafik Rerata Viskositas Holding Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

xv

Perendaman Natrium Metabisulfit............................................... 47

Gambar 4.11 Grafik Rerata Viskositas Dingin Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman

Natrium Metabisulfit..................................................................... 50

Gambar 4.12 Grafik Rerata Swelling power Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit................................................52

Gambar 4.13 Grafik Rerata Kelarutan Tepung Labu Kabocha Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit................................................................................... 56

Gambar 4.14 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman

Natrium Metabisulfit..................................................................... 59

Gambar 4.15 Grafik Rerata Tingkat Kemerahan Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit................................................62

Gambar 4.16 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu Kabocha

Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit................................................64

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Teks Halaman

Lampiran 1 Prosedur Analisa.......................................................................... 75

Lampiran 2 Data Analisa Kadar Air................................................................. 81

Lampiran 3 Data Analisa Kadar Abu…........................................................... 82

Lampiran 4 Data Analisa Kadar Pati............................................................... 83

Lampiran 5 Data Analisa Kadar Serat Kasar….............................................. 84

Lampiran 6 Data Analisa Kadar Lemak...........................................................85

Lampiran 7 Data Analisa Kadar Protein...........................................................86

Lampiran 8 Data Analisa Daya Serap Air....................................................... 87

Lampiran 9 Data Analisa Kelarutan................................................................ 88

Lampiran 10 Data Analisa Swelling........…..…………...………...………........... 89

Lampiran 11 Data Analisa Karoten........…..……………….………...…............. 90

Lampiran 12 Data Analisa Warna L........…..…………………...………….......... 91

Lampiran 13 Data Analisa Warna a........…..……………………..………........... 92

Lampiran 14 Data Analisa Warna b........…..……………….………….…........... 93

Lampiran 15 Data Analisa Viskositas Panas........…..…………...………....…... 94

Lampiran 16 Data Analisa Viskositas Holding........…..………..….………...….. 95

Lampiran 17 Data Analisa Viskositas Dingin........…..………………… …...….. 96

Lampiran 18 Perlakuan Terbaik Metode Zeleny........…..……………………..... 97

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Labu jepang (kabocha) yaitu labu kuning jepang (Cucurbita maxima L.)

yang merupakan salah satu komoditas hasil pertanian yang saat ini melimpah

terutama di wilayah dataran tinggi. Labu jepang (kabocha) termasuk kedalam

jenis tanaman sayuran mejalar dengan famili Cucurbitaceae yang tumbuh

semusim dan mati setelah selesai masa panen. Ketinggian tempat yang cocok

untuk pertumbuhan adalah 1000 meter diatas permukaan laut dengan tingkat

curah hujan yang rendah. Jumlah produksi labu jepang (kabocha) dapat

mencapai sekitar 369.846 ton pada tahun 2010. Jumlah tersebut terus meningkat

mengingat semakin potensial pembudidayaannya. Keunggulan dari labu jepang

(kabocha) terutama pada kandungan serat yang tinggi, lemak yang relatif rendah

dengan karotenoid yang tinggi. Labu jepang (kabocha) dengan warna kuning-

oranye menunjukkan bahwa labu jepang (kabocha) mengandung karotenoid

salah satunya betakaroten yang tinggi dimana betakaroten tersebut merupakan

prekursor vitamin A yang akan tercerna tubuh menjadi vitamin A yang mampu

bertindak sebagai antioksidan bagi tubuh.

Labu yang merupakan komoditas segar mempunyai sifat yang mudah

rusak salah satunya akibat kesalahan penanganan pasca panen. Menurut

Budiman et al.,(1984), kandungan yang penting pada labu seperti kadar air,

nutrisi dan komponen seperti karbohidrat, vitamin dan protein perlu dimanfaatkan

sebagai sumber gizi bagi kita. Dalam kondisi tanpa cacat dan tua saat dipanen,

labu dapat disimpan sampai enam bulan tanpa mengalami perubahan yang

berarti.

Pengolahan labu di Indonesia sangat terbatas dan juga sederhana seperti

hanya dibuat menjadi olahan kue basah dan kolak labu. Sedangkan di beberapa

negara lain, labu telah dimanfaatkan pada skala industri besar pada industri

makanan menjadi produk jam jelly, dan beberapa kue. Sedangkan di beberapa

negara maju, labu dibuat menjadi tepung labu dan diperdagangkan dengan

kemasan kantung kecil untuk memudahkan distribusi.

2

Saat ini pemanfaatan labu yang diolah menjadi tepung labu masih

terbatas pada daging labunya saja. Kulit labu jepang (kabocha) yang juga tinggi

kandungan β-karoten sangat potensial apabila juga dimanfaatkan dan diolah

bersama daging labu menjadi tepung labu sehingga diperoleh tepung labu

dengan kandungan gizi tinggi. Menurut Supriyadi (2015), pada kulit labu kuning

mengandung banyak senyawa kimia penting yang baik bagi tubuh antara lain

magnesium, kalium, seng selain juga karotenoid yang tinggi dilihat dari warna

kulit. Daging labu jepang (kabocha) tinggi akan kandungan β-karoten pada saat

masih segar. Kandungan β-karoten juga tinggi pada bagian kulit. β-karoten tinggi

dapat dilihat dari kenampakan kulit labu jepang (kabocha) yang berwarna

oranye. Kandungan β-karoten pada labu jepang (kabocha) sebesar 767μg/g lebih

tinggi dibandingkan pada labu kuning biasa yang hanya 180 μg/g (Gardjito,

2005).

Pegolahan labu jepang (kabocha) menjadi tepung dilakukan melalui

beberapa proses seperti pencucian, penghilangan bagian yang tidak diinginkan,

pengecilan ukuran, pengeringan penepungan dan pengayakan. Dalam proses

penepungan, sering kali terjadi browning yang menyebabkan tepung menjadi

kecoklatan sehingga dapat menurunkan daya terima pada masyarakat. Browning

terjadi akibat adanya reaksi antara asam amino dan gula pereduksi dengan

adanya proses pemanasan sehingga membentuk warna coklat yang disebut

melanoidin. Untuk meminimalisir terjadinya browning pada labu maka perlu

dilakukan proses pretreatment seperti blanching dan perendaman dengan

natrium metabisulfit. Blanching menurut Winarno (1980), adalah proses

pemanasan pendahuluan dalam pengolahan pangan. Tujuannya adalah

inaktivasi enzim sehingga akan menghambat proses pencoklatan. Sedangkan

natrium metabisulfit berperan menghambat pencoklatan dengan cara berinteraksi

dengan gugus karbonil, hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin

sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Proses blanching mampu

melunakkan tekstur dikarenakan terjadinya hidrolisis pektin tidak larut air pada

komoditas menjadi pektin larut air (Muchtadi, 1992). Selain itu menurut

Kumalaningsih, dkk (2004), blanching mampu mempengaruhi warna karena

enzim PPO (pholyphenoloksidase) inaktif oleh blanching dengan suhu diatas

700C sehingga dapat mencegah perubahan warna. Proses blanching juga akan

membuka pori-pori sehingga akan mempermudah proses pengeringan.

3

Proses dan suhu blanching sangat penting diperhatikan untuk

mempertahankan kandungan β-karoten pada labu jepang (kabocha).

Berdasarkan penelitian pendahuluan melakukan perendaman natrium

metabisulfit 0,1%, 0,2% dan 0,3% selama 10 menit dan 20 menit. Menurut

chrisandy (2013), semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit akan

berdampak baik terhadap daya serap air pada perendaman 20 menit. Namun

perendaman selama 10 menit sudah memberikan efek baik terhadap sifat fisik.

Untuk blanching menggunakan suhu 700C, 800C dan 900C selama 5 menit

dikarenakan menurut Sleagun (2007), pada suhu 700C sudah mampu

mempertahankan karotenoid. Sedangkan suhu 900C akan berdampak pada

penurunan enzim peroksidase penyebab oksidasi. Sehingga kombinasi

pretreatment blanching dan perendaman natrium metabisulfit diharapkan mampu

memberikan efek baik dibandingkan dengan kontrol sehingga akan

menghasilkan tepung labu dengan kualitas baik dengan karakteristik fisik dan

kimia yang sesuai salah satunya dengan dilihat dari kandungan karotenoid tinggi

dengan kenampakan warna yang cerah.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah pengaruh penggunaan variasi suhu blanching dan

konsentrasi perendamanan Natrium metabisulfit terhadap karakteristik fisikokimia

meliputi kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar serat kasar, kadar lemak,

kadar abu, total karoten, viskositas panas, viskositas holding, viskositas dingin,

daya serap air, warna, kelarutan tepung dan swelling power pada tepung labu

jepang (kabocha) yang dihasilkan?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisikokimia

tepung labu jepang (kabocha) yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar pati,

kadar serat kasar, kadar lemak, kadar abu, total karoten, viskositas panas,

viskositas holding, viskositas dingin, daya serap air, warna, kelarutan tepung dan

swelling power agar dihasilkan produk tepung yang kualitasnya baik.

4

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat memperkaya pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi yang

terkandung dalam tepung labu jepang (kabocha), dan

2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara umum bagaimana

mengolah buah labu jepang (kabocha) agar tidak mudah mengalami

kerusakan, yaitu dengan mengolahnya menjadi tepung dan cara

meminimalisir kerusakan yang terjadi selama proses.

1.5 Hipotesis

Pemberian variasi perlakuan blanching dan konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit yang tepat pada labu jepang (kabocha) akan meningkatkan

kualitas karakteristik fisikokimia tepung labu jepang (kabocha) yang dihasilkan.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Labu Jepang (Kabocha)

Labu jepang (kabocha) merupakan labu kuning jepang (Cucurbita

maxima L.) yang temasuk dalam famili cucurbitaceae. Labu jepang (kabocha)

awal mulanya berasal dari Jepang yang kemudian disebarkan dan mulai banyak

dibudidayakan di wilayah Indonesia khususnya di wilayah dataran tinggi.

Ketinggian yang cocok untuk penanaman labu jepang (kabocha) adalah 1000

meter diatas permukaan laut. Tanaman labu jepang (kabocha) termasuk jenis

tanaman menjalar yang hanya hidup semusim sehingga akan mati setelah

selesai masa pemanenan buah labu (Hendrasty, 2003).

Tanaman labu jepang (kabocha) yang berasal dari Jepang memiliki sifat

penanaman yang tidak sulit, baik pada pembibitan, perawatan dan penanganan

produknya sehingga tak jarang di daerah tropis di indonesia mulai banyak

budidaya labu jepang (kabocha) (Hidayah, 2010).

Gambar 2.1 Labu Jepang (kabocha) (Kurnia, 2015).

2.2 Kandungan kimia labu jepang (kabocha)

Labu jepang (kabocha) memiliki beberapa bagian pada buahnya seperti

bagian kulit 12,5%, daging buah 8,2%, jaring-jaring biji dan biji 4,8% (Budiman

dkk, 1984). Labu jepang (kabocha) saat masih muda akan berwarna kuning

cerah sedangka saat telah tua dan siap panen akan berwarna oranye dan keras.

Buah yang tua dapat disimpan sampai enam bulan tanpa perlakuan tertentu

mengingan karakteristik buah yang memiliki daging dan kulit luar yang sangat

keras.

6

Labu jepang (kabocha) memiliki banyak kandungan gizi. Berikut

merupakan komposisi kimia buah labu Cucurbita maxima L. Dalam 100 g bahan:

Tabel 2.1. Komposisi kimia buah labu Cucurbita maxima L. Dalam 100 g bahan

Komposisi (%b/b) Satuan Jumlah (kadar dalam padat)

Kadar air Gram 85-91,2

Kadar protein Gram 0,8-2,0

Kadar lemak Gram 0,1- 0,5

Kadar karbohidrat Gram 3,3-11

Vitamin A IU 340-7800

Vitamin B Miligram 0,014

Vitamin C Miligram 6-21

Kalori kJ 85-170

(Direktori Gizi, Depkes RI (2000)

2.3 Jenis Varietas Labu Kuning Impor

Tanaman labu kuning impor memiliki beberapa varietas seperti pada

Tabel 2.2

Tabel 2.2. Jenis Varietas Labu Kuning Impor

Jenis/ varietas Ciri- ciri

Labu kuning taiwan(early price, first taste, mukua, pride phoenix, mixta pangalo)

Buah berukuran kecil Berat berkisar 1-2 kg/buah Rasabuah enak,padat,manis,kadar air rendah Warna buah kuning tajam,menarik Umur panen 90 hari

labu kuning Hai Je Pi (vegetable spaggety squash)

Bentuk bulat oval Warna kulit putih susu Warna daging buah muda kuning muda, daging buah tua kuning tua

Labu kuning Amerika Tahan terhadap hama penyakit Bersulur pendek

Labu kuning Australia dan Jepang Daging buah muda terurai Berat buah 1-2 kg Ukuran buah besar

Labu kuning Zapella dari Denmark Termasuk jenis labu kuning bokor Bentuk buah bulat Warna kulit kuning Ukuran biji kecil

Labu kuning Kabocha dari Jepang (Melanoformis makino, Tetsukabuto, Oligatatersumabuko, Miyako)

Bentuk buah mungil, berat 2 kg/buah Kulit hijau berbecak kuning/cklat muda Daging buah kuning keemasan, halus,gempi Rasanya manis

Sumber: (Sudartoyudo,2000)

7

2.4 Blanching

Blanching merupakan salah satu proses pre-treatment yang merupakan

proses pendahuluan yang biasa digunakan pada proses pengolahan produk.

Menurut (Rahman, 2007), blanching mampu merusak permeabilitas membran

sel, merusak sel turgor dan menghilangkan udara pada bahan. Blanching sendiri

dapat memberikan efek pada tekstur, warna, rasa dan nutrisi oleh inaktivasi

enzim. Blanching pada suhu 700C selama 10 – 30 menit mampu menjaga

kestabilan betakaroten. Sedangkan blanching pada suhu 700C - 1050C dapat

menyebabkan kerusakan aktivitas enzim.

Menurut Muchtadi (1992), proses blanching berpengaruh pada tekstur

dikarenakan blanching mampu memberikan efek pelunakan pada tekstur karena

terjadinya hidrolisis pektin tidak larut air pada komoditas menjadi pektin larut air.

Selain itu menurut Kumalaningsih, dkk (2004), blanching mampu mempengaruhi

warna karena enzim PPO (pholyphenoloksidase) inaktif oleh blanching dengan

suhu diatas 700C yang berdampak pada pencegahan perubahan warna. Proses

blanching juga akan membuka pori-pori sehingga akan mempermudah proses

pengeringan sehingga pengeringan dapat berlangsung lebih cepat.

Proses blanching dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain

yaitu:

1. Water Blanching

Water blanching adalah proses blanching yang melibatkan air panas pada

treatment dengan mengkontakkan bahan langsung dengan air. Kehilangan

komponen bahan cukup tinggi dikarenakan banyak komponen larut air yang

larut dalam air namun membutuhkan waktu yang lebih singkat karena bahan

kontak langsung dengan air.

2. Steam Blanching

Steam blanching adalah metode blanching dengan melibatkan uap

panas. Bahan yang diberikan treatment steam blanching hanya kontak dengan

uap sehingga akan meminimalisir kehilangan komponen larut air. Metode ini

membutuhkan waktu lebih lama.

3. Blanching dengan Microwave

Blanching dengan microwave dilakukan denga cara membungkus bahan

dengan wadah tipis/ film bag. Namun metode ini tidak cocok digunakan pada

skala industri karena membutukan biaya yang besar. Microwave blanching

8

mampu menurunkan kontaminasi mikroba dengan kehilangan nutrisi yang sedikit

(Lamikanra, 2005).

2.5 Natrium Metabisulfit

Natrium metabisulfit merupakan senyawa kimia yang berbentuk kristal

putih dengan bau merangsang. Natrium metabisulfit mempunyai kemampuan

ganda yaitu bertindak sebagai bahan pemucat/pencegah terjadinya reaksi

browning juga sebagai bahan pengawet. Dosis penggunaan Natrium Metabisulfit

adalah sebear 0,01% - 0,06% atau 0,1 – 0,6 g/kg produk ( Suprapti, 2003).

Menurut winarno (1980), natrium metabisulfit dapat menghambat proses

pencoklatan yang terjadi akibat browning dengan cara berinteraksi dengan gugus

karbonil sehingga hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin dan berefek

penghambatan pembentukan warna coklat.

2.6 Perendaman Natrium Metabisulfit

Menurut Astawan (2008), proses perendaman dengan menggunakan

sulfur dioksida seperti sodium sulfat, sodium bisulfit dan sodium metabisulfit

dapat memberikan efek mencegah browning. Perendaman menggunakan sulfur

oksida dapat menyebabkan enzim fenolase pada bahan inaktif sehingga

browning dapat dicegah. Adanya sulfit pada mampu memblokir reaksi

pembentukan senyawa 5 hidroksil metal furfural dari D-glukosa sehingga mampu

menghambat proses pencoklatan akibat enzim fenolase sehingga pembentukan

warna coklat tidak terjadi (Fenema, 1996). Natrium metabisulfit mampu

meningkatkan absorbsi air oleh bahan dikarenakan natrium metabisulfit bertindak

merusak dinding sel jaringan pada bahan (Rahman (1999) dalam Chrisandy,

2013).

Proses perendaman menggunakan Natrium metabisulfit berdampak pada

tingkat keputihan karena sifat sulfit yang mampu mencegah terjadinya

pencoklatan. Menurut Rizal (2013), bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang digunakan akan berdampak pada peningkatan derajat

keputihan. Natrium metabisulfit juga mampu mempengaruhi karakteristik kimia

dari suatu bahan. Kadar abu dapat dipengaruhi oleh adanya perlakuan

menggunakan Natrium metabisulfit karena natrium metabisulfit mampu berperan

dalam pengikatan mineral pada bahan sehingga dapat meningkatkan kadar abu

(Rizal, 2013). Menurut Desti (2012), peningkatan kadar abu dipengaruhi oleh

9

peningkatan konsentrasi natrium metabisulfit karena adanya mineral S dan Na

sehingga akan mengikat komponen mineral yang ada pada bahan. Selain itu

menurut Chrisandy (2013), natrium metabsulfit mampu mencegah terjadinya

oksidasi sehingga mampu mempertahankan warna, cita rasa dan karoten pada

bahan.

2.7 Tepung Labu Kuning

Proses pembuatan tepung labu kuning adalah dengan cara:

1. Pensortiran buah

Proses sortir dilakukan dengan cara memilih buah yang masih mengkal,

berkulit berwarna oranye-kuning, tidak cacat atau luka dan tidak terserang

penyakit. Buah mengkal ditandai dengan buah yang belum matang maksimal

yang dipanen 5 – 10 hari sebelum masa panen seharusnya. Buah labu yang

matang akan memiliki kandungan pati rendah, kadar air tinggi dengan daging

buah lembek sehingga tidak cocok dibuat mejadi tepung (Adelina, 2015).

2. Pencucian

Pencucian merupakan upaya untuk mengurangi mikroba dan kotoran

yang menempel pada labu sehingga tidak mengganggu proses dan hasil tepung

labu.

3. Pemotongan

Pemotongan menggunakan pisau berfungsi untuk memperkecil ukuran

labu sehingga memudahkan proses Slice rmenjadi chip dan juga memudahkan

proses penghilangan jonjot dan biji labu.

4. Pembentukan chip labu mengunakan slicer

Labu dibuat menjadi chip untuk memudahkan proses pengolahan menjadi

tepung. Proses slicer berfungsi untuk pengecilan ukuran labu sehingga nantinya

proses treatment akan maksimal baik pada saat blanching dan perendaman.hal

ini dikarenakan slicer akan memperluas luas permukaan labu (Adelina, 2015).

5. Proses blanching

Blanching berfungsi untuk menurunkan resiko browning karena inaktivasi

enzim pada suhu 70 – 1050C dan mampu menjaga kestabilan karoten pada suhu

700C (Rahman, 2007). Blanching menggunakan metode water blanching dengan

cara melibatkan air panas pada treatment dengan mengkontakkan bahan

10

langsung dengan air. Hal ini dimaksudkan agar proses blanching lebih efisien,

ekonomis dan maksimal.

6. Perendaman natrium metabisulfit

Perendaman natrium metabisulfit berfungsi untuk menghambat proses

pencoklatan yang terjadi akibat reaksi browning (winarna, 1980).

7. Penirisan

Penirisan bertujuan untuk mengurangi kadar air awal bahan setelah

diberikan treatment yang nantinya akan membantu proses pengeringan. Hal ini

karena kadar air yang semakin tinggi akan mempersulit proses pengeringan dan

memperlama (Adelina, 2015).

8. Pengeringan

Pengeringan menggunakan cabinet drying dengan suhu 600C. Suhu yang

tinggi akan mempercepat proses pengeringan namun akan menyebabkan

kerusakan betakaroten semakin banyak. Sedangkan suhu rendah akan

mencegah kerusakan karoten dan mencegah gosong namun membutuhkan

waktu yang lama. Pada umumnya kadar air bahan yang dikeringkan yaitu

mencapai 1% - 20% (Santoso, 1995).

9. Penggilingan / penepungan dan pengayakan

Penggilingan berfungsi untuk menghaluskan chip labu yang telah kering.

Proses penggilingan akan menjadikan tekstur chip menjadi haus dan hancur

sehingga menjadi tepung. Hasil penggilingan kemudian dilakukan pengayakan

menggunakan ayakan 60 mesh (Adelina, 2015).

2.8 Karotenoid

Menurut Khomsan (2008), karotenoid merupakan suatu pigmen alami

berupa zat warna kuning sampai merah yang terbagi menjadi dua golongan.

Golongan pertama yaitu karotenoid pro-vitamin A meliputi karoten, alfa karoten,

dan gamma karoten. Sedangkan golongan kedua yaitu karotenoid non-pro-

vitamin A yang terdiri dari fucoxanthin, neokanthin dan violaxanthin. Karotenoid

pro-vitamin A berfungsi sebagai nutrisi aktif dalam tubuh sedangkan karotenoid

non-pro-vitamin A termasuk senyawa non nutrisi aktif dalam tubuh.

Menurut Mayer (1973) dalam jurnal Mumpuni (2006), karotenoid dapat

dikelompokkan mejadi 4 golongan, antara lain:

11

1. Xantofil dan derivat karoten

Xantofil dan derivat karoten mengandung oksigen dan hidroksil. Meliputi

lutein dan kriptoxantin

2. Karoten yang merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56

Meliputi alfa karoten, betakaroten, gamma karoten dan likopen.

3. Asam karotenoid

Asam karotenoid merupakan derivat karoten yang mengandung gugus

karboksil

4. Ester xantofil

Ester xantofil merupakan ester asam lemak. Meliputi Zeaxantin.

Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A banyak dijumpai di

makanan nabati. Dalam tubuh, karotenoid akan disintesis menjadi vitamin A.

Karotenoid yang terdapat pada produk nabati adalah betakaroten, alfa karoten,

cryptoxanthin, lutein, zeaxhantin dan likopen. Aktifitas vitamin A (retinol) yang

besar yaitu pada betakaroten (Mumpuni, 2006).

Betakaroten merupakan pigmen berwarna dominan merah jingga yang

dtemukan secara alami pada tumbuhan dan buah-buahan.Betakaroten

merupakan senyawa organik. Adanya ikatan ganda menyebabkan betakaroten

mudah mengalami oksidasi. Betakaroten merupakan penangkap oksigen dan

sebagai antioksidan sehingga mampu menangkal radikal bebas. Karoten

kemudian dapat disimpan dalam hati dan diubah menjadi vitamin A sesuai

dengan kebutuhan.

Gambar 2.2.Struktur betakaroten (Adelina, 2015).

Karoten mempunyai karakteristik titik leleh berkisar antara 1780C – 1840C,

tidak larut dalam air, methanol, etanol, larut dalam minyak (Bauernfein & Klaul

(1981) dalam Mumpuni (2006). Betakaroten sebagian besar berupa ikatan

hidrokarbon yang mana ikatan rangkapnya menyebabkan betakaroten mudah

mengalami oksidasi saat terpapar oksigen. Pada betakaroten mengandung 11

ikatan rangkap pada setiap 1 molekul betakaroten (Mumpuni, 2006).

12

Menurut Mumpuni (2006), betakaroten mengalami oksidasi secara acak

pada rantai karbon dengan ikatan ganda. Oksidasi tersebut akan berlangsung

lebih cepat dengan adanya sinar, besi, mangaan, tembaga yang termasuk katalis

logam. Suhu dapat mempengaruhi percepatan kerusakan betakaroten. Namun

pemanasan pada suhu 600C belum dapat merusak karotenoid (Muchtadi, 1992).

Kerusakan karotenoid dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Oksidasi

Menurut mumpuni (2006), karotenoid dapat rusak akibat adanya reaksi

oksidasi.Oksidasi tersebut dapat berupa oksidasi enzimatis dan oksidasi non

enzimatis. Dimana oksidasi enzimatis dikarenakan adanya katalis oleh enzim

lipoksigenase yang menghasilkan hidroksi betakaroten, semi karoten,

betakaroten, aldehid, dan hidroksi beta neokaroten.

2. Suhu tinggi

Suhu yang tinggi menyebabkan kerusakan pada karotenoid. Menurut

mumpuni (2006), suhu tinggi akan mendegradasi karotenoid sehingga terjadi

dekomposisi dan menyebabkan penurunan intensitas warna.

3. Isomerisasi

Menurut O’Sullivan (2010), betakaroten alami umumnya berbentuk

geometris trans. Namun dengan adanya proses pemanasan dan suhu tinggi

dapat menyebabkan betakaroten yang awalnya berbentuk geometris trans

menjadi bentuk cis yang tidak stabil. Sehingga bentuk all trans pada karoten

akan berdampak pada semakin kuatnya warna dan ikatan cis menunjukkan

semakin terangnya warna.

14

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboraturium Teknologi Pengolahan Pangan pada

bulan Oktober 2015–Januari 2016. Analisa dilakukan di Laboraturium Biokimia

pangan jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya dan Laboraturium Sentral Ilmu Hayati Universitas

Brawijaya.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada pembuatan tepung labu jepang (kabocha)

adalah cabinat dryin, slicer, baskom,labu ukur, ayakan 60 mesh, termometer,

kompor, panci steam. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisa yaitu

timbagan analitik, blender, sendok,krus porselen, oven, stopwatch, vortex,

penjepit, gelas ukur, erlenmeyer, tabung reaksi, spektrofotometer, pipet ukur,

kertas saring, pipet tetes, corong, rak tabung reaksi, viscometer

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah labu jepang (kabocha) ( cucurbita maxima

L.) yang diperoleh dari Sarangan Magetan dengan karakteristik buah yang masih

mengkal. Sedangkan bahan kimia diperoleh dari toko Makmur Sejati, Malang.

Bahan kimia yang digunakan untuk analisa meliputi tablen kjeldahl,

H2SO4

indikator phenolptalin, H2BO3, indikator metil merah, NaOH, HCl, PE, eter,

alkohol, K2SO4, aseton, dan Na2SO4.

15

3.3 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok dengan 2

perlakuan yaitu suhu blanching dan konsentrasi natrium metabisulfit. Untuk

variasi suhu blanching yang digunakan adalah blanching suhu 600C, 800C dan

tanpa blancing dengan konsentrasi perendaman dengan natrium metabisulfit 0%,

0,1% dan 0,3%. Untuk volume larutan yang digunakan sebanyak 200 ml pada

masing-masing perlakuan dengan sampel sebanyak 250 gram. Pada setiap

perlakuan dilakukan ulangan sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 27 sampel

percobaan. Kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Tepung Labu jepang (kabocha)

Suhu Blanching (0C) Konsentrasi Perendaman natrium metabisulfit (%)

0%(P1) 0,1%(P2) 0,3%(P3)

Tanpa Blanching (B1) B1P1 B1P2 B1P3

60 (B2) B2PI B2P2 B2P3

80 (B3) B3P1 B3P1 B3P3

Keterangan :

B1, B2, B3= variasi suhu blanching (0C)

P1, P2, P3= variasi konsentrasi perendaman dengan natrium metabisulfit (%)

B1P1 = Perlakuan tanpa blanching dan perendaman Na-metabisulfit 0%

B1P2 = Perlakuan tanpa blanching dan perendaman Na-metabisulfit 0,1%

B1P3 = Perlakuan tanpa blanching dan perendaman Na-metabisulfit 0,3%

B2P1 = Perlakuan blanching suhu 600C dan perendaman Na-metabisulfit 0%

B2P2 = Perlakuan blanching suhu 600C dan perendaman Na-metabisulfit

0,1%

B2P3 = Perlakuan blanching suhu 600C dan perendaman Na-metabisulfit

0,3%

B3P1 = Perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisulfit 0%

B3P2 = Perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisulfit

0,1%

B3P3 = Perlakuan blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisulfit

0,3%

Untuk menghitung hasil yang didapat menggunakan persamaan

additive model sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij ± ∑ ijk

16

Dimana:

i = perlakuan 1 (variasi suhu blanching)

j = perlakuan 2 (variasi konsentrasi perendaman)

k = 3 kali ulangan

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan tepung labu jepang (kabocha)

Pembuatan tepung labu jepang (kabocha) dilakukan melalui beberapa

tahapan.

a. Persiapan alat dengan cara membersihkan semua alat yang akan digunakan

b. Selanjutnya persiapan wadah yang telah dibersihkan dan pemberian label

c. Persiapan labu jepang (kabocha) yang digunakan dengan pencucian,

penirisan dan penghilangan jonjot serta biji dan pengecilan menjadi 4 bagian.

d. Selanjutnya pemotongan dengan menggunakan slicer.

e. Selanjutnya dilakukan blanching pada beberapa variasi yaitu tanpa

blanching, blanching suhu 600C dan blanching suhu 800C selama 5menit

f. Perendaman dengan natrium metabisulfit dengan variasi konsentrasi yaitu

0%, 0,1% dan 0,3% selama 10 menit.

g. Selanjutnya pengeringan dengan cabinet drying 600C selama 6-7 jam

h. Penghancuran menggunakan blender/ mesing penggiling

i. Pengayakan dengan ayakan 60 mesh

17

3.4.2 Diagram Alir Penelitian

Pembuatan tepung labu jepang (kabocha)

Pencucian dan penirisan

Penghilangan jonjot dan biji

Pengecilan ukuran (pembelahan menjadi 4 bagian)

Pemotongan dengan slicer ± 2mm

Blanching ± 5 menit pada suhu 600C (+- 50C) , 800C (+- 50C) dan tanpa blanching

metode water blanching

Perendaman natrium metabisulfit 0%, 0,1%, dan 0,3% selama ± 10 menit

Penirisan

Pengeringan cabiner drying suhu 600C (+- 50C), 6-7 jam

Penggilingan chip dengan blender

Pengayakan 60 mesh

Gambar 3.1 Diagram alir pembuatan tepung labu kabocha (Modifikasi

Chrisandy, 2013)

Labu jepang (kabocha)

Tepung Labu jepang (kabocha)

Analisa:

Kadar protein

Kadar pati

Kadar seratkasar

Kadar lemak

Kadar air

Kadar abu

Analisa kimia:

Kadar protein

Kadar pati

Kadar serat kasar

Kadar lemak

Kadar air

Kadar abu

Total karoten

Analisa fisik:

Warna

Viskositas panas,

viskositas holding,

viskositas dingin

Kelarutan

Daya serap air

Swelling Power

18

3.5 Pengamatan

Pengamatan terhadap komposisi kimia tepung labu jepang (kabocha)

meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar pati, serat kasar

(AOAC,1970 dalam Sudarmadji dkk, 1997) dan penentuan total karoten (AOAC,

1995). Pengamatan terhadap karakteristik fisik meliputi warna, viskositas, daya

serap air, kelarutan tepung, daya dispersi,rendemen

19

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah Labu jepang

(kabocha) (Cucurbita maxima L) segar yang dipanen saat dalam kondisi

mengkal. Labu segar kemudian dilakukan analisa dengan beberapa parameter

yaitu kadar air, lemak, abu, total gula, serat kasar dan protein. Hasil analisa

ditampilkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku

Parameter Labu jepang (kabocha)

Hasil Analisa Literatur

Kadar Air (%) 93,12 87,601

Kadar Abu (%) 0,86 0,593

Serat Kasar (%) 2,05 -

Kadar Pati (%) 2,10 -

Kadar Protein (%) 0,85 0,93

Kaadar Lemak (%) 1,01 0,79

Total Gula (%) 1,45 -

Total Karoten (mg/100g) 30,14 17,442

Keterangan : 1 Kim Sung-Ran(2005) , 2Arina Manasika (2015),3 Anis

Puspitaningtyas (2004)

Tabel 4.1 menunjukkan hasil perbandingan analisa bahan baku labu

jepang (kabocha) segar dengan literatur. Labu yang digunakan adalah labu

kabocha dengan nama latin Cucurbita maxima L. Labu yang digunakan memiliki

ciri-ciri berat ±2 kg, diameter ±15-20 cm dengan tingkat kematangan sedang.

Buah diperoleh dari petani yang sama yang berasal dari petani di Sarangan

Magetan yang dipanen sekitar 5 – 10 hari sebelum waktu panen. Menurut uji

diperoleh nilai kadar air labu jepang (kabocha) segar sebesar 93,12%, kadar abu

sebesar 0,86%, kadar serat kasar sebesar 2,05%, kadar pati sebesar 2,1%,

kadar protein sebesar 0,85%, kadar lemak 1,01%, total gula sebesar 1,45% dan

total karoten sebesar 30,14 mg/100g.

Hasil uji buah labu jepang (kabocha) segar menunjukkan bahwa terdapat

perbedan dengan nilai uji labu jepang (kabocha) segar menurut literatur. Data

20

tersebut menunjukkan komponen terbesar pada labu jepang (kabocha) segar

adalah air yaitu sebesar 93,12% sedangkan menurut lliteratur sebesar 87,60%.

Kadar abu labu jepang (kabocha) segar sebesar 0,86% sedangkan menurut

literatur memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 0,59%. Hasil uji

Kadar protein labu jepang (kabocha) segar yaitu sebesar 0,85% yang tidak

berbeda jauh dengan literatur yaitu sebesar 0,93%. Kadar lemak labu jepang

(kabocha) segar hasil uji memiliki nilai yang tidak berbeda jauh dengan literatur.

Total karoten labu jepang (kabocha) segar menurut uji yaitu sebesar

30,14 mg/100g, sedangkan menurut literatur yaitu sebesar 17,44mg/100g

(Manasika (2015). Perbedaan nilai total karoten labu jepang (kabocha) segar

hasil uji dengan literatur dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah yang

digunakan. Labu jepang (kabocha) yang semakin matang akan memiliki nilai

karoten yang lebih tinggi dibandingkan ketika masih muda. Faktor lain yang juga

mempengaruhi kandungan karoten yaitu kondisi lahan tempat penanaman labu

jepang (kabocha) seperti ketersediaan unsur hara, perbedaan suhu, tanah,

intensitas paparan cahaya matahari, dan perlakuan pasca panen.(Cazzonelli dan

Pogson, 2010).

4.2 Karakteristik Fisik dan Kimia Tepung Labu jepang (kabocha)

4.2.1 Kadar Air

Air merupakan salah satu komponen penting yang menentukan

karakteristik suatu bahan. Kadar air produk tepung perlu diketahui karena

berhubungan dengan daya simpan tepung. Tepung dengan kadar air yang tinggi

cenderung mudah mengalami kerusakan akibat bakteri, kapang dan khamir yang

mudah berkembang biak. Sebaliknya kadar air yang rendah akan menyulitkan

mikroorganisme tumbuh sehingga daya simpan tepung akan lebih lama. Kadar

air berpengaruh terhadap kenampakan, umur simpan, tekstur, dan cita rasa pada

suatu bahan karena pertumbuhan mikroorganisme (Prabowo, 2010). Semakin

tinggi kadar air maka maka pertumbuhan mikroorganisme akan semakin cepat

sehingga proses perusakan tepung akan semakin cepat dan umur simpan

produk semakin singkat (Winarno, 2002).

Rerata kadar air tepung labu jepang (kabocha) pretreatment blanching

dan perendaman Natrium Metabisulfit berkisar antara 9,015 % - 11,866 %. Grafik

21

rerata kadar air tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan

perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu

blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Air Tepung

Labu jepang (kabocha)

Gambar 4.1 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai kadar

air tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu blanching pada

ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata kadar air tertinggi terdapat

pada perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi perendaman 0,3% yaitu

sebesar 11,866 %. Rerata kadar air terendah terdapat pada perlakuan blanching

suhu 800C dengan konsentrasi perendaman 0,3% yaitu sebesar 9,015 %.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai

kadar air sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman tidak berpengaruh

nyata terhadap nilai kadar air. Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching

dan konsentrasi perendaman terhadap kadar air tepung labu jepang (kabocha).

Hasil uji lanjut nilai kadar air terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat

pada tabel 4.2.

0

2

4

6

8

10

12

14

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Kad

ar A

ir (

%)

Variasi Suhu Blanching

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

22

Tabel 4.2 Rerata Nilai Kadar Air Tepung Labu jepang (kabocha) Perlakuan Suhu

Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Natrium

Metabisulfit (%) Kadar Air (%) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 11,32±0,71 bc 0,877 - 1,005 %

0,1 10,90±0,70 bc

0,3 11,86±0,62 c

60

0 9,66±0,64 a

0,1 9,70±0,39 a

0,3 10,85±0,31 b

80

0 9,59±0,53 a

0,1 9,98±0,39 ab

0,3 9,01±0,24 a

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Suhu blanching memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air tepung

labu jepang (kabocha) diduga dikarenakan suhu berperan dalam proses

kerusakan struktur granula pati. Suhu yang tinggi menyebabkan granula pati

terbuka sehingga menyebabkan terjadinya penetrasi air yang tinggi. Penetrasi air

yang tinggi terjadi karena peningkatan suhu menyebabkan ikatan antar molekul

pati lemah. Menurut Rosdanelli (2005) mengemukakan bahwa apabila ikatan

molekul air yang terdiri dari hidrogen dan oksigen terpecah, maka molekul akan

keluar dari bahan tersebut. Molekul yang keluar menyebabkan kehilangan air

pada bahan sehingga dapat memperbesar penguapan air pada proses

pengeringan yang berdampak pada kadar air yang rendah. Metode water

blanching adalah proses blanching yang melibatkan air sebagai media yang

langsung kontak dengan chips labu jepang (kabocha) yang menyebabkan ikatan

hidrogen penyusun amilosa dan amilopektin terputus sehingga pada saat proses

pengeringan, air yang terdapat pada bahan mudah menguap. Mudahnya proses

penguapan diakibatkan karena semakin meningkatnya sifat permeabilitas dinding

sel sehingga proses pengeringan semakin cepat (puspasari, 2012).

Konsentrasi perendaman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

kadar air tepung labu jepang (kabocha) diduga dikarenakan konsentrasi

perendaman Natrium Metabisulfit yang diberikan belum optimum terserap pada

23

bahan. Suhu blanching berpengaruh pada besar kecilnya granula pati yang

terbuka. Semakin besar granula pati yang terbuka maka memudahkan natrium

metabisulfit masuk dan merusak sel-sel jaringan bahan sehingga bahan menjadi

semakin berlubang.

4.2.2 Kadar Pati

Pati merupakan polisakarida yang dihasilkan oleh tanaman yang

mengandung unit-unit D-glukosa dengan ikatan glikosidik α-(1,4). Pati terdiri dari

dua fraksi yaitu fraksi terlarut yang merupakan komponen amilosa dan fraksi

tidak terlarut yang merupakan komponen amiloperktin. Menurut Sajilata (2006)

bahwa amilosa merupakan fraksi lurus sedangkan amilopertin merupakan fraksi

bercabang dengan percabangan merupakan ikatan α-(1,6). Sifat pada pati yaitu

tegantung pada panjang rantai karbonnya dan lurus atau bercabang rantai

molekulnya. Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada buah adalah

pati, gula, pektin dan selulosa. Komponen pati pada buah akan mengalami

penurunan seiring dengan meningkatnya proses pematangan(Puspitaningtyas,

2004).

24

Tepung labu jepang (kabocha) memiliki rerata kadar pati antara 16,59% -

29,55%. Grafik rerata kadar pati tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat pada

Gambar 4.2

Gambar 4.2 Grafik Rerata Kadar Pati (%) Tepung Labu jepang

(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kadar pati tepung labu jepang

(kabocha) cenderung meningkat seiiring dengan meningkatnya suhu blanching.

Perlakuan tanpa blanching dengan perendaman 0,1% Natrium Metabisulfit

memiliki kadar pati paling tinggi yaitu sebesar 29,55%. Kadar pati paling rendah

terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan perendaman 0,3% Natrium

Metabisulfit yaitu sebesar 16,59%. Menurut Puspitaningtyas(2004), kadar pati

tepung labu jepang yang tidak diberikan perlakuan blanching sebesar

42,33%(bk) dan 35,04%(bk) yang diberikan perlakuan blanching. Perbedaan

tersebut diduga dikarenakan perbedaan karakteristik buah labu jepang yang

digunakan. Buah labu jepang dengan karakteristik tingkat kematangan dan lokasi

geografis lingkungan tempat menanaman labu jepang yang berbeda

menyebabkan karakteristik buah labu yang berbeda(Wahyuni, 2015).

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar pati

sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh nyata terhadap

0

5

10

15

20

25

30

35

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Kad

ar P

ati (

%)

Suhu Blanching ( )C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

25

nilai kadar pati. Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching dan

konsentrasi perendaman terhadap kadar pati tepung labu jepang (kabocha).

Hasil uji lanjut nilai kadar pati terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Rerata Nilai Kadar Pati Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%) Kadar Pati (%) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 24,28±0,2 c 2,895 - 3,319

0,1 29,55±1,0 d

0,3 16,59±1,6 a

60

0 26,33±2,3 cd

0,1 19,74±1,7 b

0,3 23,81±1,7 c

80

0 27,73±1,8 d

0,1 21,57±1,1 bc

0,3 24,46±2,4 c

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan tabel 4.2 terdapat interaksi perlakuan suhu blanching

dengan perendaman narium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda

terhadap kadar pati tepung labu jepang (kabocha). Kadar pati tepung labu jepang

(kabocha) diduga pada granula patinya tidak mengalami pecah granula namun

hanya mengalami pembengkakan. Pembengkakan yang terjadi tidak sampai

menyebabkan gugus amilosa dan amilopektin putus namun hanya mengalami

peregangan sehingga proses penetrasi air pada granula pati tidak maksimal.

Suhu 60 0 C dan 80 0C yang digunakan pada proses blanching diduga proses

penetrasi air yang terjadi pada granula pati tidak terlalu besar. Penetrasi air yang

tidak besar disebabkan oleh penggunaan suhu rendah pada proses perendaman

pada saat blanching. Menurut Rincon et al (2004) menyatakan bahwa suhu yang

rendah tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap penetrasi air pada granula

sehingga gugus amilosa dan amilopektin hanya mengalami peregangan.

26

Konsentrasi perendaman natrium metabisufit diduga menyebabkan

terjadinya ikatan silang (cross linked) sehingga kemampuan amilosa mengikat

amilosa yang lain akan turun dan pati menjadi tidak mudah mengalami

retrogradasi. Menurut Marsono (1993) dalam Haryadi (2006) menyatakan bahwa

proses retrogradasi pati dapat merubah struktur

pati yang menjadi tidak mudah larut akibat pembentukan struktur kristalin.

Pati yang tidak mudah mengalami retrogradasi akan lebih mudah untuk larut

yang berdampak pada penurunan kadar pati. Proses perendaman Natrium

Metabisulfit cenderung menurunkan kadar pati tepung labu jepang (kabocha)

yang dihasilkan. Hal ini diduga semakin tingginya konsentrasi natrium

metabisulfit maka akan berdampak pada penurunan kadar pati. Menurut Andika

(2010) menyatakan bahwa dengan adanya penambahan natrium metabisulfit

sebesar 0,1 – 0,2 % akan menurunkan kandungan pati sekitar 2-4%.

4.2.3 Kadar Lemak

Lemak merupakan suatu polimer yang tersusun atas unsur- unsur C, H

dan O. Analisa lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet yang

melibatkan senyaa petroleum eter sebagai pelarut. Petroleum eter merupakan

pelarut non polar sehingga akan melarutkan senyawa- senyawa yang bersifat

non polar. Kadar lemak dapat diperoleh dengan cara memisahkan lemak dengan

pelarutnya dengan menguapkan melalui pemanasan. Kadar lemak tepung labu

jepang perlakuan blanching dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar

antara 4,4 – 4,76%. Kadar lemak tepung labu jepang perlakuan blanching

menurut Puspitaningtyas (2004), yaitu sebesar 3,17% (bk) sedangkan menurut

Aanggrahini (2006) kadar lemak tepung labu jepang tanpa perlakuan

pendahuluan yaitu sebesar 0,78%.

27

Grafik rerata kadar lemak tepung labu kuning kabocha pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi

perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Grafik Rerata Kadar Lemak (%) Tepung Labu jepang

(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit

Gambar 4.3 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai kadar

lemak tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu blanching

pada ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata kadar lemak tertinggi

terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi perendaman 0 %

yaitu sebesar 4,76 %. Rerata kadar lemak terendah terdapat pada perlakuan

blanching suhu 800C dengan konsentrasi perendaman 0,3% yaitu sebesar 4,4 %.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar lemak. Selain itu, tidak

terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap

kadar lemak tepung labu jepang (kabocha).

Perbedaan perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap

hasil kadar lemak tepung labu jepang. Perlakuan tanpa blanching memberikan

hasil kadar lemak paling rendah dibandingkan perlakuan blanching suhu 600C

dan 800C yaitu sebesar 4,43%. Lebih rendahnya kadar lemak tepung labu jepang

tanpa blanching dibandingkan dengan tepung labu jepang perlakuan balnsing

diduga dikarenakan tepung labu jepang perlakuan tanpa blanching belum

mengalami perubahan komposisi kimia. Proses blanching akan menyebabkan

4.2

4.3

4.4

4.5

4.6

4.7

4.8

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Kad

ar L

em

ak (

%)

Suhu (ºC)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

28

terjadinya perubahan komposisi kimia pada bahan termasuk pada buah labu.

Menurut Muharam (1992) dalam Puspitaningtyas (2004) Tepung singkong

dengan perlakuan pengukusan (blanching) memiliki nilai kadar lemak lebih tinggi

dibandingkan tepung yang tidak mengalami pengukusan (blanching). Proses

pemanasan dengan suhu tinggi akan menyebabkan kehilangan air yang lebih

tinggi pada bahan sehingga akan meningkatkan jumlah lemak, protein dan

karbohidrat (Ranken, 2000).

Perlakuan blanching suhu 80 0C memberikan hasil nilai kadar lemak

paling tinggi yaitu sebesar 4,67%. Sedangkan perlakuan blanching suhu 600C

menghasilkan nilai kadar lemak sebesar 4,59%. Perlakuan konsentrasi

perendaman natrimum metabisulfit menghasilkan hasil tidak berpengaruh nyata

(α=0,05) terhadap kadar lemak tepung labu jepang yang dihasilkan.

Perbedaan perlakuan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit tidak

berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung labu jepang. Perendaman

konsentrasi natrium metabisulfit 0,3% memiliki nilai kadar lemak tertinggi yaitu

sebesar 4,63% sedangkan kadar lemak terendah pada perendaman natrium

metabisulfit 0%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung labu

jepang. Menurut Suprapto (2006) bahwa perendaman menggunakan natrium

metabisulit tidak memberikan perbedaan nyata terhadap kadar lemak tepung

pisang. Hal ini diduga dikarenakan peran natrium metabisulfit pada proses

perendaman lebih pada penghambatan proses pencoklatan dengan menginaktif

enzim penyebab pencolatan sehingga tidak sampai berdampak pada perubahan

kadar lemak tepung labu jepang.

4.2.4 Kadar Protein

Kadar protein tepung labu jepang diperoleh menggunakan metode mikro

kjeldahl dimana protein yang terhitung merupakan kadar protein kasar

berdasarkan nirogen yang terdapat pada bahan. Rerata kadar protein tepung

labu jepang (kabocha) pretreatment blanching dan perendaman Natrium

Metabisulfit berkisar antara 13,35 % - 17,59 %. Grafik rerata kadar protein

tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan perendaman Natrium

Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama

perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.4.

29

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Protein Tepung

Labu jepang (kabocha)

Gambar 4.4 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai kadar

protein tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu blanching

pada ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata kadar protein tertinggi

terdapat pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit 0% yaitu sebesar 17,59 %. Rerata kadar air terendah

terdapat pada perlakuan blanching suhu 600C dengan konsentrasi perendaman

0,1% yaitu sebesar 13,35 %. Menurut Puspitaningtyas (2004) kadar protein

tepung labu jepang yang diberikan perlakuan balnsing memiliki kadar protein

sebesar 6,80%(bk), sedangkan tepung labu jepang yang tidak di blanching

memiliki kadar protein sebesar 6,52%(bk). Kandungan protein yang tinggi dari

tepung labu jepang perlakuan blanching dan perenaman natrium metabisulfit

diduga dikarenakan total nitrogen yang terhitung pada analisa protein tidak

hanya berasal dari nitrogen protein namun juga berasal dari asam nukleat dari

senyawa lain.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching memberikan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai

kadar protein tepung labu jepang sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai kadar protein. Selain itu,

terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit terhadap kadar protein tepung labu jepang (kabocha). Hasil uji lanjut

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Kad

ar P

rote

in )

%)

Suhu (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

30

nilai kadar protein terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat pada

tabel 4.4.

Tabel 4.4 Rerata Nilai Kadar Protein Tepung Labu jepang (kabocha) Perlakuan

Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Kadar Protein

(%) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 13,99±0,69 a 1,669 - 1,914

0,1 13,56±1,09 a

0,3 16,15±1,04 b

60

0 17,59±1,56 b

0,1 13,35±0,23 a

0,3 16,19±0,12 b

80

0 16,68±0,38 b

0,1 13,97±1,24 a

0,3 14,99±0,95 ab

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan tabel bahwa terdapat interaksi perlakuan blanching dan

perendaman natrium metabisufit terhadap kadar protein tepng labu jepang

(kabocha). Suhu blanching yang semakin tinggi dan konsenrasi narium

metabisulfit yang meningkat disuga berpengaruh terhadap kadar protein tepung

labu jepang. Pada perlakuan tanpa blanching, konsenrasi natrium metabisulfit

yang meningkat menghasilkan kadar protein yag cenderung meningkat. Hal ini

diduga penggunaan suhu yang rendah belum sampai merusak dinding sel dan

tidak banyak terjadi leaching sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan

protein pada bahan yang berampak pada penurunan kadar protein.

Perlakuan suhu blanching 600C dan 800C menyebabkan kadar protein

mengalami penurunan pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,1%

dan mengalami peningkatan pada perendaman natrium metabisulfit 0,3%.

Semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit cenderung meningkatkan kadar

protein tepung labu jepang karena pada proses pemanasan dan perendaman

terjadi pemecahan senyawa lain yang kemdian terhitung sebagai kadar N.

31

Menurut Sriwahyuni (1986) dalam Widiyowati (2007), menyatakan bahwa

semakin tinggi

kadar natrium metabisulfit dalam larutan perendaman akan dapat

meningkatkan jumlah natrium metabisulfit yang masuk kedalam jaringan bahan.

Natrium metabisulfit dengan konsentasi tinggi akan menekan terjadinya reaksi

pencoklatan nonenzimatis yang dapat merusak protein karena asam amino

sekundernya berikatan dengan gula reduksi. Menurut Chrisandy (2013), semakin

tinggi kadar natrium metabisulfit akan mneningkatkan nilai kadar protein tepung

labu jepang. Pada konsentrasi natrium metabisulfit 0,25% kadar protein tepung

labu jepang sebesar 1,37% dan meningkat menjadi 1,35% pada konsentrasi

natrium metabisulfit 0,3%.

4.2.5 Total Karotenoid

Menurut Khomsan (2008),karotenoid merupakan suatu pigmen alami

berupa zat warna kuning sampai merah yang terbagi menjadi dua golongan yaitu

karotenoid pro-vitamin A dan karotenoid non-pro-vitamin A. Menurut Mappiratu

(1990) dalam Puspitaningtyas (2004), Senyawa karotenoid merupakan golongan

pigmen tidak larut dalam air, larut dalam lemak, larut dalam hidrokarbon alifatik

dan aromatik seperti heksan dan benzen.

Total karoten diperoleh dengan pengukuran menggunakan metode

spektrofotometri. Karoten diperoleh dengan cara mengekstrak karoten yang

terdapat pada sampel dengan menggunakan petroleum eter : aseton

perbandingan 1:1 sebagai pelarutnya. Proses ekstraksi dilakukan menggunakan

bantuan alat centrifuge. Ekstrak karoten hasil pemisahan dicampur dengan 15 ml

aquades sebanyak tiga kali. Selanjutnya dilakukan pemisahan menggunakan

corong pemisah sebelum kemudian diukur absorbansinya menggunakan

spektrofotometri pada panjang gelombang 450nm (Rodriguez dan Kimura, 2004).

Rerata kadar total karoten tepung labu jepang (kabocha) pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit berkisar antara 113,6 mg/g -

164,47 mg/g. Grafik rerata kadar total karoten tepung labu kuning kabocha

pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai

kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada

Gambar 4.5.

32

Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Kadar Total Karoten

Tepung Labu jepang (kabocha)

Gambar 4.5 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan nilai kadar

total karoten tepung labu jepang (kabocha) seiring dengan perubahan suhu

blanching pada ketiga level konsentrasi natrium metabisulfit. Rerata total karoten

tertinggi terdapat pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan konsentrasi

perendaman natrium metabisulfit 0,3% yaitu sebesar 164,47 mg/g .Rerata total

karoten terendah terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan konsentrasi

perendaman 0 % yaitu sebesar 113,6 mg/g.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap nilai total karoten

tepung labu jepang sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai total karoten. Selain itu, tidak

terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit terhadap total karoten tepung labu jepang (kabocha). Hasil uji lanjut

nilai total karoten terhadap tepung labu jepang (kabocha) dapat dilihat pada tabel

4.5.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Tota

l Kar

ote

n

Suhu (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

33

Tabel 4.5 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu jepang (kabocha)

Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching

Suhu Blanching (°C) Total Karoten (mg/g) BNT 5%

Tanpa Blanching 129,04±13,39 a 6,821

60 154,71±13,32 b

80 157,24±14,92 b

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji BNT 5% diketahui bahwa nilai total

karoten tepung labu jepang perlakuan suhu blanching memberikan pengaruh

yang nyata terhadap total karoten tepung labu jepang. Total karoten pada tepung

labu jepang (kabocha) dengan variasi suhu blanching yang semakin meningkat

menyebabkan total karoten yang semakin tinggi. Tingginya nilai total karoten

seiring dengan peningkatan suhu blanching diduga dikarenakan karoten pada

labu tanpa perlakuan blanching lebih banyak mengalami kerusakan akibat

oksidasi enzimatis. Labu dengan perlakuan blanching cenderung memiliki nilai

total karoten yang lebih tinggi dibandingkan labu tanpa blanching. Nilai yang

lebih tinggi pada labu perlakuan blanching suhu 60ºC dan suhu 80ºC terjadi

karena dengan perlakuan blanching menyebabkan karoten pada bahan lebih

banyak bisa dipertahankan karena proses kerusakan dapat diminimalisir.

Menurut Kumalaningsih, dkk (2004), blanching mampu mempengaruhi warna

dan menghambat kerusakan karoten karena enzim PPO (pholyphenoloksidase)

inaktif oleh proses blanching. Enzim yang berperan pada proses oksidasi karoten

yang telah inaktif karena proses blanching menyebabkan tidak banyaknya

karoten pada bahan yang teroksidasi kembali. Menurut Haile (2015), enzim

peroksidase dan lipoksigenase merupakan enzim yang berperan pada proses

oksidasi betakaroten. Rerata total karoten tepung labu jepang (kabocha)

terhadap konsentrasi perendaman Natrium metabiulfit dapat dilihat pada Tabel

4.6

34

Tabel 4.6 Rerata Nilai Total Karoten Tepung Labu jepang (kabocha)

Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Konsentasi Na-

Metabisulfit(%)

Total Karoten(mg/g) BNT 5%

0 131,36±15,39 a 6,821

0,1 152,27±14,03 b

0,3 157,38±17,48 b

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan Tabel 4.6 hasil uji BNT 5% diketahui bahwa perlakuan konsentrasi

perendaman natrium metabisulfit memberikan pengaruh nyata terhadap total

karoten tepung labu jepang. Peningkatan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit cenderung lebih mempertahankan karotenoid tepung labu jepang.

Pada konsentrasi 0,3% menghasilkan nilai total karoten tertinggi sedangkan

pada konsentrasi 0% menghasilkan nilai total karoten terendah. Konsentrasi

perendaman natrium metabisulfit 0% total karoten tepung labu jepang cenderung

lebih rendah karena tidak ada peran natrium metabisulfit sebagai pencegah

kerusakan betakaroten sehingga pada konsentrasi perendaman 0,1% dan 0,3%

nilai total karoten lebih tinggi yang artinya karoten pada bahan lebih bisa

dipertahankan dan diminimalisir kerusakannya dengan adanya natrium

metabisulfit. Natrium metabisulfit sendiri berperan dalam hal mencegah

terjadinya oksidasi. Menurut muchtadi (1987) dalam Chrisandy (2013), perlakuan

menggunakan sulfur/ sulfit berfungsi untuk mempertahankan karoten dan asam

askorbat, warna dan cita rasa juga stabilitas kualitas produk.

4.2.6 Kadar Serat Kasar

Serat kasar adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat

dihidrolisis oleh bahan kimia(asam sulfat dan natrium hidroksida). Menurut Bich,

1985 dalam Sukardi (2012) yang dimaksud dengan serat pangan adalah

polisakarida pada bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim sekresi

endogen. Serat pangan meliputi serat larut air (solueble fiber) seperti pektin dan

gum, sedangkan serat tidak larut air (insolueble fiber) seperti selulosa,

hemiselulosa dan lignin. Grafik rerata nilai serat kasar tepung labu jepang

35

(kabocha) pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada

berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat

dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit terhadap Serat Kasar Tepung

Labu jepang (kabocha)

Gambar 4.6 menunjukkan adanya penurunan nilai serat kasar seiring

dengan menurunnya suhu blanching dan meningkatnya konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit. Perlakuan tanpa blanching dan perendaman 0% natrium

metabisulfit memberikan nilai serat kasar paling tinggi yaitu 30,99%, sedangkan

nilai serat kasar terendah berada pada perlakuan suhu blanching 800C dengan

perendaman 0,3% natrium metabisulfit yaitu sebesar 19,27%.

Hasil analisa ragam kadar serat kasar (%) pada tepung labu jepang

(kabocha) menunjukkan bahwa variasi suhu blanching memberikan pengaruh

nyata dengan (α=5%). Rerata kadar serat kasar (%) tepung labu jepang

(kabocha) terhadap perlakuan suhu blanching ditunjukkan pada Tabel4.7

0

5

10

15

20

25

30

35

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Sera

t K

asar

(%

)

Suhu Blanching (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

36

Tabel 4.7 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu jepang (kabocha)

Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching

Suhu Blanching (°C) Kadar Serat Kasar (%) BNT 5%

Tanpa Blanching 27,37±3,43 b 2,07

60 25,87±2,78 ab

80 24,173±4,49 a

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa kadar serat kasar (%) pada tepung labu

jepang (kabocha) dengan variasi suhu blanching semakin mengalami penurunan.

Peningkatan suhu blanching menyebabkan menurunan kadar serat kasar tepung

labu jepang (kabocha). Penurunan ini disebabkan karena serat kasar dalam labu

jepang (kabocha) lebih banyak termasuk dalam serat larut air seperti pektin.

Serat larut air akan mudah larut dan leaching dengan adanya proses

perendaman. Menurut Aini, dkk (2009), serat larut air akan leaching karena

proses perendaman. Hemiselulosa dan substansi pektin yang termasuk serat

larut air akan leaching dan mengikat air sehingga mengembang.

Rerata kadar serat kasar (%) tepung labu jepang (kabocha) terhadap

konsentrasi perendaman Natrium metabiulfit dapat dilihat pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Rerata Nilai Kadar Serat Kasar Tepung Labu jepang (kabocha)

Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Konsentasi Na-

Metabisulfit(%)

Kadar Serat Kasar (%) BNT 5%

0 29,19±1,57 c 2,07

0,1 26,11±0,91 b

0,3 22,12±1,59 a

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan Tabel 4.8 Perbedaan konsentrasi perendaman Natrium

metabisulfit memberikan pengaruh nyata terhadap hasil kadar serat kasar tepung

labu jepang (kabocha). Perendaman 0,3% Natrium metabisulfit memberikan nilai

serat kasar lebih rendah, sedangkan perendaman 0% Natrium metabisulfit

37

memberikan nilai kadar serat kasar lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 4.8 terlihat

bahwa semakin tinggi konsentrasi Natrium metabisulfit yang digunakan pada

proses perendaman mengakibatkan penurunan kadar serat kasar. Hal ini

dikarenakan konsentrasi Natrium metabisulfit yang tinggi menyebabkan

perusakan didinding sel tinggi sehingga leaching yang diakibatkanpun tinggi.

Menurut Chrisandy (2013), bahwa semakin tinggi konsentrasi Natrium

metabisulfit mampu merusak dinding sel jaringan sehingga sebagian serat yang

larut akan keluar pada proses perendaman yang berdampak pada penurunan

kadar serat kasar.

4.2.7 Kadar Abu

Menurut Soebito (1988) dalam Puspitaningtyas (2004) kadar abu

merupakan suatu komponen yang sulit menguap dan tertinggal dalam

pembakaran serta pemijaran senyawa-senyawa organik. Kadar abu merupakan

unsur mineral sisa hasil pembakaran yang bebas karbon (C). Menurut Chrisandy

(2013) kadar abu tepung labu jepang yang diberikan perlakuan blanching

sebesar 6,85% dan kadar abu tepung labu jepang perlakuan perendaman

natrium metabisulfit 0,3% sebesar 10,15% (bk).

Berdasarkan hasil uji diperoleh kadar abu tepung labu jepang perlakuan

blanching dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 6,27% –

10,12%. Kadar abu tepung labu jepang menurut Chrisandy (2013) yaitu sebesar

10,15% - 11,95%(bk) sedangkan menurut Pupitaningtyas (2004) kadar abu

tepung labu jepang tanpa blanching sebesar 4,03%(bk) sedangkan tepung labu

jepang yang diblanching sebesar 3,72%(bk). Perbedaan hasil dengan literatur

diduga dikarenakan perbedaan tingkat kematangan buah labu jepang yang

digunakan.

Grafik rerata kadar abu tepung labu kuning kabocha pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi

perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.7.

38

Gambar 4.7 Grafik Rerata Kadar Abu (%) Tepung Labu jepang

(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa kadar abu tepung labu jepang

(kabocha) cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya suhu blanching.

Perlakuan tanpa blanching dengan perendaman 0,1% Natrium Metabisulfit

memiliki kadar abu paling tinggi yaitu sebesar 10,12%. Kadar abu paling rendah

terdapat pada perlakuan blanching suhu 80ºC dengan perendaman 0% Natrium

Metabisulfit yaitu sebesar 6,27%.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu tepung

labu jepang sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman tidak berpengaruh

nyata terhadap nilai kadar abu. Selain itu, terdapat interaksi antara suhu

blanching dan konsentrasi perendaman terhadap kadar abu tepung labu jepang.

Hasil uji lanjut nilai kadar abu terhadap tepung labu jepangdapat dilihat pada

tabel 4.9.

0

2

4

6

8

10

12

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Kad

ar A

bu

(%

)

Suhu (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

39

Tabel 4.9 Rerata Nilai Kadar Abu Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%) Kadar Abu(%) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 8,28±0,37 b 0,942 - 1,08

0,1 10,12±0,89 c

0,3 7,89±0,66 b

60

0 8,71±0.44 b

0,1 6,88±0,55 a

0,3 8,94±0,47 b

80

0 6,27±0,11 a

0,1 6,97±0,57 ab

0,3 8,31±0,15 b

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan

perendaman natrium metabisulfit terhadap kadar abu tepung labu jepang

(kabocha). Suhu blanching yang digunakan adalah 60ºC,80ºC dan tanpa

blanching. Suhu yang rendah kemungkinan belum menyebabkan pengaruh

perubahan komponen pada tepung labu jepang. Pada perlakuan tanpa blanching

nilai kadar abu sebesar 8,28% sedangkan dengan pelakuan blanching suhu

60ºC kadar abu meningkat menjadi 8,71%. Peningkatan kadar abu kemungkinan

dikarenakan adanya penetrasi komponen mineral yang berasal dari air sebagai

media blanching. Menurut Apriliyanti (2010) kadar abu mengalami peningkatan

pada tepung ubi ungu yang diberikan perlakuan blanching akibat adanya mineral

pada air blanching yang masuk dalam jaringan sel. Peningkatan suhu blanching

dari 60 ºC menjadi 80 ºC terjadi penurunan kadar abu yang awalnya 8,71%

menjadi 6,27%. Hal ini diduga dikarenakan suhu yang digunakan pada proses

blanching menyebabkan sel jaringan pada bahan terbuka. Sel jaringan yang

terbuka memungkinkan terjadinya leaching komponen termasuk abu sehingga

kadar abu yang terhitung menurun.

Menurut Chrisandy (2013) lama waktu perendaman natrium metabisulfit

berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Konsentrasi natrium metabisulfit 0%,

0,25%, 0,3% berpengaruh nyata terhadap kadar abu tepung labu jepang dan

40

konsentrasi 0,3% memberikan nilai kadar abu lebih baik yaitu sebesar 4,49%.

Menurut Isnaharani (2009) proses perendaman menggunakan air mampu

melarutkan mineral sehingga akan menurunkan kadar abu akibat mineral yang

terlarut dalam air perendaman.

4.2.8 Daya Serap Air

Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air oleh bahan. Granula

pati pada tepung akan menyerap air sehingga terdispersi dalam air. Daya serap

air diukur dengan melakukan pemisahan menggunakan sentrifugasi pada tepung

labu jepang yang telah dicampurkan dengan air. Pemisahan menghasilkan 2

fase yaitu fase air dibagian atas dan endapan dibagian bawah yang berdasarkan

berat molekul. Fase air kemudian dipisahkan dan diukur sebagai daya serap air.

Menurut Munarso (1989) beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap air

pada suatu bahan yaitu porositas, komposisi bahan dan polaritas. Daya serap air

tepung labu jepang perlakuan blanching dan perendaman natrium metabisulfit

yaitu berkisar antara 6,07 – 9,53ml/g. Menurut Puspitaningtyas (2004), tepung

labu jepang perlakuan steam blanching memiliki nilai daya serap air sebesar

5,72ml/g lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tanpa perlakuan blanching.

Sedangkan menurut Chrisandy (2013), daya serap air pada tepung labu jepang

perlakuan perendaman natrium metabisulfit berkisar antara 7,39- 8,32ml/g.

Grafik rerata daya serap air tepung labu kuning kabocha pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi

perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.8.

41

Gambar 4.8 Grafik Rerata Daya Serap Air (ml/g) Tepung Labu jepang

(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa daya serap air tepung labu jepang

(kabocha) cenderung menurun seiring dengan meningkatnya suhu blanching

sedangkan dengan meningkatnya konsentrasi perendaman nilai daya serap air

cenderung meningkat. Perlakuan blanching suhu 60ºC dengan perendaman

0,1% Natrium Metabisulfit memiliki nilai daya serap air paling rendah yaitu

sebesar 6,07ml/g. Nilai daya serap air paling tinggi terdapat pada perlakuan

blanching suhu 60ºC dengan perendaman 0% Natrium Metabisulfit dan

perlakuan blanching suhu 80ºC dengan perendaman 0,3% Natrium Metabisulfit

yaitu sebesar 9,53ml/g.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh

nyata terhadap nilai daya serap air tepung labu jepang. Selain itu, terdapat

interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap daya

serap air tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai daya serap air terhadap tepung

labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.10.

0

2

4

6

8

10

12

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Day

a se

rap

air

(ml/

g)

Suhu ºC

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

42

Tabel 4.10 Rerata Nilai Daya Serap Air Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Daya Serap

Air (ml/g) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 8,60±0,20 c 0,262-0,3008

0,1 8,20±0,20 b

0,3 8,60±0,20 c

60

0 9,53±0,12 e

0,1 6,07±0,12 a

0,3 9,13±0,12 d

80

0 6,07±0,12 a

0,1 8,27±0,12 b

0,3 9,53±0,12 e

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat interaksi perlakuan suhu blanching

dan perendaman natrium metabisulfit terhadap daya serap air tepung labu

jepang (kabocha). Tepung labu jepang dengan perlakuan tanpa blanching

memiliki nilai daya serap air yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung

perlakuan blanching suhu 60ºC dan 80ºC. Menurut Puspitaningtyas (2004)

tepung labu jepang dengan perlakuan blanching memiliki nilai daya serap air

sebesar 5,72 ml/g yang lebih tinggi diandingkan dengan tepung tanpa blanching

yaitu sebesar 5,55 ml/g. Proses blanching menyebabkan pori-pori bahan terbuka

dan porositasnya berubah sehingga meningkatkan nilai daya serap air. Menurut

Puspitaningtyas (2004) bahwa proses blanching pada tepung labu jepang

menyebabkan tepung labu jepang memiliki porositas yang lebih besar. Daya

serap air tepung labu jepang perlakuan blanching suhu 80ºC cenderung lebih

besar dibandingkan blanching suhu 60ºC karena diduga proses blanching

dengan metode water blanching merubah struktur granula pati akibat terjadinya

proses gelatinisasi secara parsial sehingga daya serap airnya meningkat

sedangkan pada suhu 60 ºC tepung hanya tergelatinisasi sebagian

(Noviarso,2003). Metode water blanching akan menyebabkan kontak air panas

dengan bahan semakin tinggi sehingga perubahan struktur pati menjadi terbuka

43

akan semakin tinggi. Menurut Agiang (2010) apabila struktur pati terbuka maka

amilosa akan leaching sehingga amilosa keluar dan mudah berikatan dengan air.

Proses gelatinisasi akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen intermolekuler

bahan yang berperan dalam mempertahankan stuktur integritas granula pati.

Rusaknya struktur hidrogen menyebabkan struktur hidrogen menjadi bebas

menyerap air yang berdampak pada pembengkakan granula pati (Richana,

2004).

Peningkatan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit cenderung

meningkatkan nilai daya serapa air tepung labu jepang (kabocha). Tepung

dengan perlakuan 0% natrium metabisulfit memiliki nilai daya serap air yang

lebih rendah yaitu sebesar 6,07 ml/g sedangkan pada perendaman 0,3 natrium

metabisulfit nilai daya serap air tepung labu jepang sebesar 9,53 ml/g. Daya

serap air dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya pembengkakan serat

kasar, denaturasi protein dan gelatinisasi pati (Gujska, 1991). Menurut Chrisandy

(2013) natrium metabisulfit dapat menyebabkan kerusakan pada dinding sel

bahan yang berdampak pada pembengkakan akibat pori-pori yang terbuka.

Pembengkakan serat kasar menyebabkan air dengan mudah masuk sehingga

daya serap bahan menjadi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit

maka kemampuan bahan menyerap air semakin tinggi. Menurut Rahman (1999)

bahwa natrium metabisulfit dapat merusak dinding sel jaringan pada bahan

sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan menyerap air karena

meningkatkan kemampuan absorbsi. Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi

antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit

terhadap daya serap air tepung labu jepang.

4.2.9 Viskositas

Viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu fluida

atau cairan. Pengukuran viskoitas dilakukan menggunkan alat viskometer.

Pengukuran viksositas terdiri dari viskositas panas, holding dan dingin. Tepung

labu jepang perlakuan suhu blanching dan perendaman natrium metabisulfit

menghasilkan nilai viskositas berkisar antara 195,33 – 5766,67 cp. Berikut

penjelasan viskositas panas, holding dan dingin tepung labu jepang:

44

a. Viskositas Panas

Analisa viskositas panas dilakukan dengan cara memanaskan campuran

tepung dan air sampai suhu 95ºC kemudian diukur viskositas pasta dengan

menggunakan alat viskometer. Pengukuran vikositas panas dilakukan untuk

mengetahui bagaimana kemampuan pati dalam membentuk pasta selama

proses pemanasan (Arie, 2014). Viskositas panas tepung labu jepang perlakuan

blanching dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 195,33 cp

– 4593,33 cp. Grafik rerata viskositas panas tepung labu kuning kabocha

pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai

kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada

Gambar 4.9

Gambar 4.9 Grafik Rerata Viskositas Panas Tepung Labu jepang

(kabocha)Pengaruh Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi

Perendaman Natrium Metabisulfit

Gambar 4.9 menunjukkan bahwa viskositas panas tepung labu jepang

(kabocha) pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0% dan 0,1%

cenderung menurun seiring meningkatnya suhu blanching, sedangkan pada

konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,3% cenderung meningkat seiring

meningkatnya suhu blanching.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh

nyata terhadap nilai viskositas panas tepung labu jepang. Selain itu, terdapat

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Vis

kosi

tas

Pan

as (

Cp

)

Suhu Blansing (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

45

interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap viskositas

panas tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai viskositas panas terhadap tepung

labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.11 Rerata Nilai Viskositas Panas Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Viskositas Panas

(cp) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 1003,33±90.18 c 276.059 – 316,482

0,1 3866,67±265,77 e

0,3 195,33±17,62 a

60

0 337,67±29,26 ab

0,1 470±36,06 ab

0,3 1046,67±73,71 c

80

0 1553,33±70,24 d

0,1 543,33±58,59 b

0,3 4593,33±425,48 f

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan

perendaman natrium metabisulfit terhadap viskositas panas tepung labu jepang

(kabocha). Tepung labu jepang perlakuan tanpa blanching nilai viskositas panas

meningkat pada konsentrasi perendaman natrium metabisulit 0% dan 0,1%

namun turun pada konsentrasi perendaman 0,3%. Hal ini diduga karena

penggunaan natrium metabisulfit pada perendaman menyebabkan terjadinya

ikatan silang. Ikatan silang tersebut akan mereksikan pati dengan senyawa

polifungsional atau bi- dengan gugus hidroksil –OH pada amilosa atau

amilopektin pati yang akan membentuk ikatan silang penghubung molekul pati

dengan pati lainnya. Adanya ikatan silang tersebut menyebabkan kemampuan

daya ikat air semakin lemah karena adanya natrium metabisulfit yang tinggi.

Daya ikat air yang lemah menyebabkan kemampuan menyerap air lemah

sehingga nilai viskositas cenderung rendah. Tepung labu jepang dengan

perlakuan blanching suhu 60°C memiliki nilai viskositas panas yang lebih rendah

dibandingkan dengan tepung labu jepang perlakuan tanpa blanching, namun

cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi perendaman

46

natrium metabisulfit. Menurut Puspitaningtyas (2004) proses blanching pada

tepung labu jepang menyebabkan tepung labu jepang memiliki porositas yang

lebih besar dan leaching komponen yang besar. Suhu yang rendah pada proses

blanching menyebabkan granula pati masih utuh sehingga amilosa dan

amilopektin tidak bebas berikatan dengan air. Amilosa dan amilopektin yang sulit

berikatan dengan air menyebabkan viskositas cenderung rendah(Estiasih,2009).

Hasil uji menunjukkan bahwa perlakuan tanpa blanching cenderung

menghasilkan nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan

blanching suhu 80º C. Suhu yang tinggi juga menyebabkan terjadinya proses

gelatinisasi pati yang berampak pada peningkatan viskositas. Menurut Richana

(2004) bahwa pati pada ubi jalar mengalami gelatinisasi ketika diberikan

perlakuan pemanasan yang kemudian menyebabkan terjadinya peningkatan

viskositas. Peningkatan viskositas akibat rusaknya struktur hidrogen

intermolekuler sehingga bebas menyerap air.

b. Viskositas Holding

Analisa viskositas holding dilakukan dengan cara memanaskan kembali

campuran tepung dan air sampai suhu 95ºC dan dipertahankan selama 10 menit

kemudian diukur viskositas pasta dengan menggunakan alat viskometer.

Pengukuran vikositas holding dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

ketahanan pati apabila diberikan perlakuan panas dan gaya mekanis

(Romadhoni, 2015). Viskositas holding tepung labu jepang perlakuan blanching

dan perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 354,67 cp – 4846,67

cp.

Grafik rerata viskositas holding tepung labu kuning kabocha pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi

perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.10

47

4.10 Grafik Rerata Viskositas Holding Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Gambar 4.10 menunjukkan bahwa viskositas holding tepung labu jepang

(kabocha) pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0% dan 0,1%

cenderung menurun seiring meningkatnya suhu blanching, sedangkan pada

konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,3% cenderung meningkat seiring

meningkatnya suhu blanching. Suhu pada proses blanching akan berpengaruh

pada karakteristik bahan. Suhu yang semakin tinggi akan menyebabkan

porositas bahan membesar yang memungkinkan leaching komponen pada

bahan semakin tinggi sehingga pektin larut air sebagai salah satu komponen

pada bahan akan banyak hilang. Pektin sendiri mampu berikatan dengan air.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh

nyata terhadap nilai viskositas holding tepung labu jepang. Selain itu, terdapat

interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap viskositas

holding tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai viskositas holding terhadap

tepung labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.12.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Vis

kosi

tas

Ho

ldin

g (c

p)

Suhu (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

48

Tabel 4.12 Rerata Nilai Viskositas Holding Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Viskositas

Holding (cp) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 1120±81,85 ab 370,839 – 425,141

0,1 4390±415,81 e

0,3 354,67±33,25 ab

60

0 1431,67±101,04 b

0,1 1436,67±80,83 b

0,3 2300±86,60 c

80

0 2206,67±63,51 c

0,1 3603,33±340,64 d

0,3 4846,67±456,11 f

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan

perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap

viskositas holding tepung labu jepang (kabocha). Nilai viskositas holding tepung

perlakuan tanpa blanching cenderung lebih rendah dibandingkan tepung dengan

perlakuan blanching. Nilai viskositas holding akan mengalami penurunan karena

pada pemanasan yang meningkat yang disertai dengan pengadukan yang terus

dilakukan akan menyebabkan pecahnya granula pati. Granula yang pecah

menyebabkan amilosa keluar sehingga viskositas menurun. Viskositas holding

tepung labu jepang cenderung meningkat dari viskositas panasnya diduga

dikarenakan adanya komponen lain yang mempengaruhi. Menurut Atarlina

(1992) bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi viskositas antara lain

yaitu kadar air bahan, lemak, amilosa dan komponen lain. Kadar air yang rendah

akan cenderung menyebabkan viskositas tinggi dan kadar air tinggi maka

viskositas cenderung rendah. Adanya serat yang tinggi diduga berpengaruh

terhadap iskositas tepung labu jepang yang dihasilkan. Serat mempunyai

kemampuan menyerap air dalam jumlah banyak secara cepat sehingga diduga

mampu meningkatkan viskositas tepung. Serat larut air cenderung dapat

meningkatkan kekentalan (viskositas) karena kemampuan menyerap air yang

49

tinggi. Serat labu jepang menurut Boram (2015) yaitu sebesar 2,02%. Viskositas

holding yang cenderung tinggi menandakan bahwa tepung labu jepang memiliki

kestabilan terhadap panas yang tinggi.

Penggunaan natrium metabisulfit pada perendaman memberikan

pengaruh nyata terhadap viskositas holding tepung labu jepang. Semakin tinggi

konsentrasi natrium metabisulfit pada perendaman cenderung meningkatkan nilai

viskositas tepung labu jepang. Hal ini diduga karena molekul Na+ dari natrium

metabisulfit yang terikat dalam gugus hidroksil pati bahan semakin tinggi yang

kemudian terserap dalam jaringan dan memperkuat dinding sel. Dinding sel yang

kuat akan berdampak pada viskositas yang dihasilkan(Ryan, 2014). Menurut

Ryan (2014) bahwa viskositas tepung jagung cenderung meningkat dengan

semakin meningkatnya perendaman natrium metabisulfit. Semakin lama

perendaman menggunakan natrium metabisulfit maka konsentrasi natrium

metabisulfit yang masuk ke bahan akan semakin tinggi.

c. Viskositas Dingin

Pengukuran viskositas dingin dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah

kemampuan pati atau tepung untuk membentuk gel setelah mengalami proses

pemasakan. Viskositas dingin digunakan untuk mengetahui kecenderungan

retrogradasi pati dapat terjadi pada tepung atau pati (Romadhoni, 2015). Analisa

viskositas dingin dilakukan dengan cara mengukur pasta setelah dibiarkan dingin

sampai suhu 50 ºC yang sebelumnya telah dilakukan pengukuran viskositas

holding. Viskositas dingin tepung labu jepang perlakuan blanching dan

perendaman natrium metabisulfit yaitu berkisar antara 460,67 cp – 5766,67 cp.

Grafik rerata viskositas dingin tepung labu kuning kabocha pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi

perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.11

50

4.11 Grafik Rerata Viskositas Dingin Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa viskositas dingin tepung labu jepang

(kabocha) pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0% dan 0,1%

cenderung menurun pada suhu 60 ºC dan naik pada suhu 80 ºC, sedangkan

pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 0,3% cenderung meningkat

seiring meningkatnya suhu blanching. Suhu yang semakin tinggi yang digunakan

pada proses blanching akan menyebabkan pori-pori semakin terbuka sehingga

kemungkinan leaching komponen semakin tinggi. Larutnya komponen larut air

yang yang dapat menyerap air akan berdampak pada viskositas akibat

pengembangan. Sedangkan natrium metabisulfit pada proses perendaman akan

berdampak pada perubahan viskositas. Molekul Na+ natrium metabisulfit akan

berikatan dengan gugus hidroksil pati yang dapat memperkuat dinding sel.

Dinding sel yang kuat menyebabkan gaya gesek partikel semakin kuat.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh

nyata terhadap nilai viskositas dingin tepung labu jepang. Selain itu, terdapat

interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap viskositas

dingin tepung labu jepang. Hasil uji lanjut nilai viskositas dingin terhadap tepung

labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.13.

01000200030004000500060007000

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80Vis

kosi

tas

Din

gin

(cp

)

Suhu (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

51

Tabel 4.13 Rerata Nilai Viskositas Dingin Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Viskositas Dingin

(cp) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 2323,33±110,60 c 456,087 – 524,019

0,1 5766,67±547,21 g

0,3 460,67±44,96 a

60

0 1666,67±77,67 b

0,1 1700±101,49 b

0,3 3700±134,54 d

80

0 3386,67±398,79 d

0,1 4683,33±412,59 f

0,3 5580±552,18 g

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan

perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap

viskositas dingin tepung labu jepang (kabocha). Viskositas dingin tepung labu

jepang perlakuan blanching suhu 80°C cenderung memiliki nilai viskositas dingin

yang tinggi seiring meningkatnya konsentrasi perendaman natrium metabisulfit

dibandingkan dengan tepung perlakuan blanching suhu 60°C dan perlakuan

tanpa blanching. Hal ini diduga karena adanya kandungan pati yang tinggi pada

bahan. Hasil uji kadar pati menunjukkan bahwa tepung labu jepang perlakuan

blanching suhu 80°C cenderung memiiki kadar pati yang tinggi. Menurut

Anggraeni dan Yuwono (2013) bahwa kadar pati yang tinggi akan mempengaruhi

tingginya viskositas. Viskositas dingin memiliki nilai yang cenderung lebih tinggi

dari nilai viskositas holding karena pada viskositas dingin pasta tepung akan

mengalami retrogradasi karena mengalami pendinginan. Menurut Romadhoni

(2015), pasta pati akan mengalami kenaikan viskositas karena retrogradasi

akibat pendinginan. Semakin tinggi pati pada suatu bahan maka nilai viskositas

dingin akan cenderung tinggi. Retrogradasi akan menyebabkan tarik menariknya

amilosa dan amilopektin kembali pada saat didinginkan. Suhu blanching yang

tinggi akan menyebabkan pori-pori bahan terbuka dan porositas meningkat

52

sehingga komponen yang leaching semakin tinggi (Puspitaningtyas, 2004). Pati

merupakan salah satu komponen bahan yang leaching akibat blanching.

Leaching komponen yang tinggi menyebabkan kemungkinan retrogradasi tinggi

sehingga diduga viskositas dingin cenderung tinggi pada blanching suhu 80°C.

4.2.10 Swelling Power

Swelling power merupakan kekuatan tepung untuk mengembang.

Swelling power menyebabkan pertambahan volume dan juga berat pati

maksimum dalam air. Terjadinya swelling power dikarenakan adanya ikatan non-

kovalen antara molekul-molekul pati. Ketika pati bertemu dengan air dingin maka

pati akan mengembang karena granula pati menyerap air dan menghasilkan fase

kontinyu dari amilosa dan amilopektin (An, 2005). Menurut Li dan Yen (2001)

bahwa amilopektin merupakan sifat yang mempengaruhi swelling power.

Swelling power diukur dengan cara menggelatinisasi tepung selama 30

menit pada suhu 95°C yang selanjutnya dihitung dengan membandingkan berat

pati awal dengan berat endapan granula pati hasil gelatinisasi. Tepung labu

jepang memiliki rata-rata nilai swelling power berkisar antara 15,46 – 9,77 g/g.

Grafik rerata nilai swelling power tepung labu kuning kabocha pretreatment

blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi

perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.12

4.12 Grafik Rerata Swelling Power Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

0

5

10

15

20

25

30

35

Tanpa Blansing Suhu 60 Suhu 80

Swe

llin

g P

ow

er

(g/g

)

Suhu Blansing (°C)

0% Na-Sulfit

0,1% Na-Sulfit

0,3% Na-Sulfit

53

Berdasarkan Gambar 4.12 Menunjukkan bahwa nilai swelling power

tepung labu jepang cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu blanching

dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Nilai swelling power tepung

labu jepang paling tinggi terdapat pada perlakuan blanching suhu 80°C dengan

0,1% konsentrasi perendaman natrium metabisulfit, sedangkan nilai swelling

power paling rendah terdapat pada perlakuan tanpa blanching dengan 0%

konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Semakin tinggi konsentrasi

natrium metabisulfit maka akan semakin tinggi nilai pengembangan / swelling

power karena natrium metabisulfit mampu merusak dinding sel sehingga pori-

pori terbuka.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai swelling power tepung labu jepang.

Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit terhadap nilai swelling power tepung labu jepang. Hasil uji

lanjut nilai swelling power terhadap tepung labu jepang dapat dilihat pada tabel

4.14.

Tabel 4.14 Rerata nilai Swelling Power Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Swelling

Power(g/g) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 15,46±0,07 a 0,2538 – 0,2909

0,1 21,04±0,29 c

0,3 20,49±0,08 b

60

0 23,38±0,11 e

0,1 21,69±0,28 d

0,3 26,38±0,10 f

80

0 27,23±0,23 g

0,1 29,77±0,22 h

0,3 27,04±0,10 g

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

54

Hasil uji menunjukkan terdapat interaksi perlakuan suhu blanching dan

perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap

swelling power tepung labu jepang (kabocha). Nilai swelling power tepung labu

jepang paling tinggi terdapat pada perlakuan blanching suhu 80°C dengan 0,1%

konsentrasi perendaman natrium metabisulfit yaitu sebesar 29,77 g/g,

sedangkan nilai swelling power paling rendah terdapat pada perlakuan tanpa

blanching dengan 0% konsentrasi perendaman natrium metabisulfit yaitu

sebesar 15,46 g/g

Nilai swelling power cenderung meningkat dengan semakin

meningkatnya suhu blanching dan konsentrasi natrium metabisulfit pada

perendaman. Proses blanching dapat berpengaruh pada nilai swelling power

karena diduga blanching dapat membuka struktur pati karena porositas

meningkat. Suhu yang semakin tinggi pada proses blanching diduga

mempengaruhi nilai swelling power karena suhu yang semakin tinggi akan

semakin menjadikan porositas bahan meningkat sehingga struktur hidrogen

intermolekuler pati semakin banyak yang rusak. Struktur pati yang terbuka akan

memudahkan granula pati kontak dengan panas yang menyebabkan struktur

hidrogen rusak dan meningkatnya gugus hidroksil bebas sehingga molekul air

yang berikatan akan semakin tinggi dan pembengkakan akan semakin tinggi.

Menurut Richana (2004), menyatakan bahwa rusaknya struktur hidrogen

menyebabkan struktur hidrogen menjadi bebas menyerap air yang berdampak

pada pembengkakan granula pati karena struktur hidrogen sudah tidak bisa

mempertahankan stuktur integritas granula pati. Ketika pati diberikan perlakuan

panas dalam jumlah air berlebih, maka akan mengganggu struktur kristalin

sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen. Molekul hidrogen

kemudian akan keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin yang akan

meningkatkan nilai swelling. Adanya ikatan hidrogen akan mempertahankan

struktur integritas granula (Ratnayake, 2002).

Konsentrasi natrium metabisulit berpengaruh nyata terhadap nilai swelling

power tepung labu jepang. Konsentrasi natrium meyabisulfit yang digunakan

adalah 0%, 0,1% dan 0,3%. Berdasarkan hasil uji terlihat bahwa semakin tinggi

konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan, nilai swelling power tepung

labu jepang cenderung semakin meningkat. Hal ini diduga natrium metabisulfit

yang mempunyai kemampuan merusak dinding sel bahan. Dinding sel yang

rusak akan menyebabkan pori-pori bahan semakin besar dan terbuka sehingga

55

air dengan mudah masuk dan terserap. Semakin tinggi kosentrasi natrium

metabisulfit maka akan semakin banyak dinding sel yang rusak sehingga

absorbsi air semakin tinggi dan nilai swelling power semakin tinggi. Menurut

Chrisandy (2013) natrium metabisulfit dapat menyebabkan kerusakan pada

dinding sel bahan yang berdampak pada pembengkakan akibat pori-pori yang

terbuka. Natrium metabisulfit dapat merusak dinding sel jaringan pada bahan

sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan menyerap air karena

meningkatkan kemampuan absorbsi (Rahman, 1999).

4.2.11 Solubility

Solubility atau kelarutan adalah jumlah maksimum suatu senyawa yang

dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut atau larutan pada suhu tertentu.

Pengujian kelarutan pati dilakukan dengan pemanasan pada suhu ±85oC selama

30 menit yang dihitung dengan membandingkan nilai hasil berat pati dan

supernatan kering dengan berat sampel awal. Menurut Purnamasari dkk (2010),

bahwa kelarutan berkaitan dengan kemudahan air berinteraksi dengan molekul

yang terdapat dalam granula pati sehingga menggantikan interaksi hidrogen

antar molekul sehingga menyebabkan granula mengalami pengembangan

karena mudah menyerap air. Pengembangan akan menyebabkan granula pati

tertekan sehingga pecah dan menyebabkan komponen dalam pati leaching atau

keluar.Tepung labu jepang memiliki rata-rata nilai kelarutan berkisar antara

30,64% - 93,48%. Grafik rerata nilai kelarutan tepung labu kuning kabocha

pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai

kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada

Gambar 4.13

56

4.13 Grafik Rerata Kelarutan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh Variasi

Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Berdasarkan gambar 4.13 Menunjukkan bahwa nilai kelarutan tepung

labu jepang pengaruh perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit menghasilkan nilai kelarutan paling tinggi pada perlakuan

blanching suhu 60°C dengan 0% perendaman natrium metabisulfit dengan nilai

kelarutan 93,48%. Nilai kelarutan paling rendah yaitu pada perlakuan blanching

suhu 60°C dengan 0,1% perendaman natrium metabisulfit dengan nilai kelarutan

30,64%. Nilai kelarutan tepung labu jepang cenderung menurun dengan semakin

meningkatnya konsentrasi natrium metabisulfit, namun suhu blanching yang

semakin meningkat menyebabkan nilai kelarutan yang juga meningkat.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan perlakuan konsentrasi perendaman natrium

metabisulfit berpengaruh nyata terhadap nilai kelarutan tepung labu jepang.

Selain itu, terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman

natrium metabisulfit terhadap nilai kelarutan tepung labu jepang. Hasil uji lanjut

nilai kelarutan terhadap tepung labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.15.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

TANPABLANCHING

SUHU 60 SUHU 80

Ke

laru

tan

(%

)

Suhu Blansing (°C)

0% SULIT

0,1% SULFIT

0,3% SULFIT

57

Tabel 4.15 Rerata Nilai Kelarutan Tepung Labu jepang (kabocha) Perlakuan

Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%) Kelarutan (%) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 55,41±2,26 c 5,67 – 6,501

0,1 45,99±2,64 b

0,3 40,27±2,83 b

60

0 93,48±0,89 e

0,1 30,64±3,03 a

0,3 40,53±1,50 b

80

0 43,17±3,78 b

0,1 82,72±5,25 d

0,3 93,35±3,81 e

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan bahwaterdapat interaksi perlakuan suhu blanching

dan perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap

nilai kelarutan tepung labu jepang (kabocha). Nilai kelarutan tepung labu jepang

paling tinggi yaitu pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan 0% konsentrasi

perendaman natrium metabisulfit, sedangkan nilai kelarutan paling rendah yaitu

pada perlakuan blanching suhu 60°C dengan 0,1% perendaman natrium

metabisulfit. Perlakuan suhu blanching berpengaruh nyata terhadap nilai

kelarutan tepung labu jepang. Dimana pada saat proses blanching akan

meningkatkan porositas bahan sehingga menyebabkan bahan memiliki kadar air

yang rendah ketika dilakukan pengeringan karena air yang diuapkan tinggi.

Menurut Rosdanelli (2005) mengemukakan bahwa apabila ikatan molekul air

yang terdiri dari hidrogen dan oksigen terpecah akibat suhu tinggi, maka molekul

akan keluar dari bahan tersebut. Molekul yang keluar menyebabkan kehilangan

air pada bahan sehingga dapat memperbesar penguapan air pada proses

pengeringan yang berdampak pada kadar air yang rendah. Kadar air yang

rendah akibat suhu tinggi pada proses blanching akan dapat berdampak pada

nilai kelarutan tepung. Berdasarkan hasil uji, nilai kelarutan tepung labu jepang

cenderung tinggi dengan semakin rendahnya kadar air. Pada perlakuan

blanching suhu 60°C dengan 0% konsentrasi perendaman natrium metabisulfit

58

nilai kelarutan tinggi. Nilai kelarutan yang tinggi dikarenakan nilai kadar air

cenderung rendah. Semakin rendah kadar air bahan maka nilai kelarutan

cenderung tinggi. Menurut Prabasini (2013), bahwa kadar air yang tinggi

menyebabkan bahan sulit untuk menyebar dalam air karena bahan cenderung

lekat sehingga tidak terbentuk pori-pori dan sulit menyerap air. Bahan dengan

kadar air tinggi akan memiliki permukaan yang sempit untuk dibasahi karena

butiran yang besar yang akan saling lengket dengan butiran yang lain (Gardjito

dkk, 2006).

4.2.12 Warna

Warna merupakan salah satu karakteristik fisik penting yang sering

menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan pada suatu

bahan ataupun suatu produk pangan. Pengukuran warna pada tepung labu

jepang dilakukan menggunakan alat color reader. Parameter yang terukur ada 3

yaitu Lightness (L*), Redness (a*), dan Yellowness (b*).

a. Nilai Kecerahan (Lightness)

Tingkat kecerahan (L*) menunjukkan nilai kecerahan pada suatu produk

yang menyatakan tingkat terang gelap dengan kisaran 0-100. Nilai 0

menyatakan kecenderungan warna gelap atau hitam, sedangkan nilai 100

menyatakan kecenderungan warna terang atau putih (Pomeranz, 1984). Rerata

nilai kecerahan tepung labu jepang berkisar antara 70,6 – 74,06. Grafik rerata

tingkat kecerahan (L*) tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan

perendaman Natrium Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu

blanching dan lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.14

59

4.14 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Berdasarkan gambar 4.14 Menunjukkan bahwa tingkat kecerahan warna

tepung labu jepang cenderung menurun seiring meningkatnya suhu blanching

dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Tingkat kecerahan paling

tinggi terdapat pada perlakuan tanpa blanching perendaman 0% natrium

metabisulfit yaitu sebesar 74,06, sedangkan tingkat kecerahan paling rendah

terdapat pada perlakuan tanpa blanching perendaman 0,3% natrium metabisulfit

yaitu sebesar 70,6.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan

tepung labu jepang, sedangkan perlakuan konsentrasi perendaman berpengaruh

nyata terhadap tingkat kecerahan tepung labu jepang. Selain itu, tidak terdapat

interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap tingkat

kecerahan tepung labu jepang. Rerata tingkat kecerahan tepung labu jepang

(kabocha) terhadap perlakuan suhu blanching ditunjukkan pada Tabel4.16

68

69

70

71

72

73

74

75

Tanpa Blansing Suhu 60 Suhu 80

Nila

i Ke

cera

han

(L*

)

Suhu Blansing

0% Na-Sulfit

0,1% Na-Sulfit

0,3% Na-Sulfit

60

Tabel 4.16 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)

Pengaruh Perlakuan Suhu Blanching

Suhu Blanching (°C) Tingkat Kecerahan (L*) BNT 5%

Tanpa Blanching 71,26±0,23 a 1,774928

60 72,07±1,44 ab

80 72,44±1,74 b

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Tabel 4.15 Menunjukkan bahwa tingkat kecerahan warna tepung labu

jepang perlakuan suhu blanching tidak berbeda nyata. Perlakuan perbedaan

suhu blanching menghasilkan nilai tingkat kecerahan paling tinggi yaitu pada

tepung perlakuan blanching suhu 80°C, sedangkan tingkat kecerahan paling

rendah yaitu pada tepung perlakuan tanpa blanching. Blanching memiliki peran

inaktivasi enzim penyebab pencoklatan enzimatis yang ditunjukkan dengan

penurunan tingkat kecerahan. Menurut Fellows (1992) menyatakan bahwa

proses blanching selain berfungsi sebagai inaktivasi enzim juga dapat

mempertegas warna suatu bahan pangan. Hasil uji menunjukkan bahwa

perlakuan blanching tidak berbeda nyata pada tingkat kecerahan tepung labu

jepang diduga dikarenakan suhu yang digunakan pada proses blanching belum

maksimal dan waktu blanching. Rerata tingkat kecerahan tepung labu jepang

(kabocha) terhadap konsentrasi perendaman natrium metabisulffit ditunjukkan

pada Tabel4.17

Tabel 4.17 Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)

Pengaruh Konsentrasi Perendaman Natrium Metabisulfit

Konsentrasi Na-

Metabiulfit

Tingkat Kecerahan (L*) BNT 5%

0% 70,96±0,31 a 1,77492814

0,1% 71,70±0,83 b

0,3% 73,10±1,38 b

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

61

Berdasarkan Tabel 4.17 menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tepung

labu jepang cenderung meningkat dilihat dari meningkatnya nilai (L*) yang

diperoleh. Semakin tinggi nilai (L*) berarti bahwa produk cenderung berwarna

putih atau terang. Hasil uji BNT 5% menunjukkan bahwa konsentrasi natrium

metabisulfit berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan tepung labu jepang

(kabocha). Berdasarkan tabel terlihat bahwa tingkat kecerahan tepung perlakuan

perendaman 0% natrium metabisulfit berbeda nyata dengan tepung perlakuan

perendaman natrium metabisulfit 0,1%, namum tingkat kecerahan tepung

perlakuan perendaman natrium metabisulfit 0,1% tidak berbeda nyata dengan

tepung perlakuan perendaman natrium metabisulfit 0,3%. Penggunaan natrium

metabisulfit pada proses perendaman berfungsi mencegah terjadinya proses

pencoklatan non enzimatis. Berdasarkan hasil uji semakin tinggi konsentrasi

natrium metabisulfit yang digunakan pada proses perendaman menghasilkan

nilai kecerahan yang semakin tinggi. Tingkat kecerahan paling tinggi yaitu pada

tepung perlakuan perendaman 0,3% natrium metabisulfit. Hal ini didukung

dengan pendapat Slamet (2010) bahwa Natrium Metabisufit mencegah terjadinya

reaksi pencoklatan dengan cara memblokir pembentukan senyawa 5 hidroksil

metal furfural dari D-glukosa penyebab terjadinya warna coklat. Gugus sulfit

pada natrium metabisulfit akan menghambat terjadinya reaksi browning non

enzimatis yang dikatalis oleh fenolase.

b. Nilai Kemerahan (Redness)

Tingkat kemerahan (a*) menyatakan tingkat warna hijau – merah dengan

kisaran nilai -100 sampai +100. Niai negative (-) menunjukkan kecenderungan

berwarna hijau, sedangkan nilai positive (-) menunjukkan kecenderungan

berwarna merah (De Man, 1997). Tepung labu jepang perlakuan blanching dan

perendaman natrium metabisulfit memiliki rerata tingkat kemerahan berkisar

antara 9,37 – 15,38. Grafik rerata tingkat kemerahan (a*) tepung labu kuning

kabocha pretreatment blanching dan perendaman Natrium Metabisulfit pada

berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama perendaman dapat

dilihat pada Gambar 4.15

62

4.15 Grafik Rerata Tingkat Kemerahan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Berdasarkan gambar 4.15 Menunjukkan bahwa tingkat kemerahan warna

tepung labu jepang cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi

perendaman natrium metabisulfit, namun cenderung menurun dengan semakin

meningkatnya suhu blanching. Tingkat kemerahan paling tinggi terdapat pada

perlakuan tanpa blanching perendaman 0,3% natrium metabisulfit yaitu sebesar

15,41, sedangkan tingkat kemerahan paling rendah terdapat pada perlakuan

blanching suhu 80°C perendaman 0,1% natrium metabisulfit yaitu sebesar 9,37.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit

berpengaruh nyata terhadap tingkat kemerahan tepung labu jepang. Selain itu,

terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap

tingkat kemerahan tepung labu jepang. Hasil uji lanjut tingkat kemerahan tepung

labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.18.

02468

1012141618

TanpaBlansing

Suhu 60°C Suhu 80°C

Tin

gkat

Ke

me

rah

an (

a*)

Suhu Blansing (°C)

0% Na-metabisulfit

0,1% Na-metabisulfit

63

Tabel 4.18 Rerata Nilai Tingkat Kemerahan Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Tingkat

Kemerahan

(a*) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 11,85±0,33 c 0,525 – 0,602

0,1 10,92±0,22 b

0,3 15,41±0,23 e

60

0 12,08±0,42 c

0,1 14,24±0,34 d

0,3 15,38±0,19 e

80

0 11,98±0,34 c

0,1 9,37±0,34 a

0,3 14,12±0,27 d

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat interaksi perlakuan suhu blanching

dan perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap

nilai kemerahan tepung labu jepang (kabocha). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa nilai tingkat kemerahan dari tepung labu jepang berada pada kisaran

warna merah. Produk tepung labu jepang cenderung berwarna jingga karena

nilai kemerahan tepung tidak mendekati +100 yang menunjukkan warna merah.

Labu jepang memiliki karakteristik warna orange/jingga sehingga diduga tinggi

kandungan karotenoid yang merupakan pigmen yang memberikan warna jingga.

Nilai tingkat kemerahan tepung labu jepang pada suhu 60°C cenderung lebih

tinggi dibandingkan perlakuan blanching suhu 80°C dan tanpa blanching. Hal ini

diduga pada suhu blanching 60°C merupakan suhu optimal blanching sehingga

warna semakin tajam/jelas. Perlakuan tanpa blanching cenderung menghasilkan

tingkat kemerahan yang rendah kecuali pada perendaman 0,3% natrium

metabisulfit yang justru menghasilkan kemerahan paling tinggi. Menurut

Chrisandy (2013) fungsi blanching yaitu dapat mempertajam warna pada bahan

pangan sehingga warna semakin tajam. Semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang digunakan pada perendaman cenderung menghasilkan nilai

64

kemerahan warna yang tinggi. Hal ini diduga karena adanya natrium metabisulfit

yang mampu menegah terjadinya warna coklat akibat sulfit berinteraksi dengan

gugus karbonil yang mengikat melaniodin (Rahman, 2007). Tingginya nilai

kemerahan tapung labu jepang diduga karena peran natrium metabisulfit yang

selain mencegah terjadinya browning juga mampu meminimalisir kerusakan

karoten yang merupakan pigmen warna kuning sampai merah sehingga nilai

kemerahan cenderung tinggi dengan semakin meningkatnya konsentrasi natrium

metabisulfit. Menurut Latapi (2006) bahwa natrium metabisulfit mampu menekan

degradasi warna dan juga memperpanjang masa simpan bahan.

c. Nilai Kekuningan (Yellowness)

Tingkat kekuningan (b*) menyatakan tingkat warna biru sampai kuning

dengan kisaran nilai -100 sampai 100. Nilai positive (+) menyatakan

kecenerungan berwarna kuning, sedangkan nilai negative (-) menyatakan

kecenderungan berwarna biru (De Man, 1997). Tepung labu jepang perlakuan

blanching dan perendaman natrium metabisulfit memiliki rerata tingkat

kekuningan berkisar antara 40,84 – 48,75. Grafik rerata tingkat kekuningan (b*)

tepung labu kuning kabocha pretreatment blanching dan perendaman Natrium

Metabisulfit pada berbagai kombinasi perlakuan suhu blanching dan lama

perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.16

4.16 Grafik Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Labu jepang (kabocha)Pengaruh

Variasi Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

36

38

40

42

44

46

48

50

Tanpa Blansing Suhu 60 Suhu 80

Tin

gkat

Ke

kun

inga

n (

b*)

Suhu Blansing (°C)

0% Na-Sulfit

0,1% Na-Sulfit

0,3% Na-Sulfit

65

Berdasarkan grafik 4.16 Menunjukkan bahwa tingkat kekuningan tepung

labu jepang cenderung meningkat seiiring dengan semakin meningkatnya suhu

blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit. Tingkat kekuningan

paling tinggi terdapat pada perlakuan tanpa blanching perendaman 0,3% natrium

metabisulfit yaitu sebesar 48,75, sedangkan tingkat kekuningan paling rendah

terdapat pada perlakuan blanching suhu 80°C perendaman 0% natrium

metabisulfit yaitu sebesar 40,84.

Hasil analisa ragam pada selang kepercayaan 5% menunjukkan bahwa

perlakuan suhu blanching dan konsentrasi perendaman natrium metabisulfit

berpengaruh nyata terhadap tingkat kekuningan tepung labu jepang. Selain itu,

terdapat interaksi antara suhu blanching dan konsentrasi perendaman terhadap

tingkat kekuningan tepung labu jepang. Hasil uji lanjut tingkat kekuningan tepung

labu jepang dapat dilihat pada tabel 4.19.

Tabel 4.19 Rerata Nilai Tingkat Kekuningan Tepung Labu jepang (kabocha)

Perlakuan Suhu Blanching dan Konsentrasi Perendaman Natrium

Metabisulfit

Suhu (°C)

Konsentrasi Na-sulfit

(%)

Tingkat

Kekuningan

(b*) DMRT 5%

Tanpa blanching

0 45,02±0,48 bc 1,962 – 2,249

0,1 45,68±1,21 c

0,3 48,75±1,70 e

60

0 46,72±0,97 cd

0,1 48,09±0,80 d

0,3 47,42±0,20 cd

80

0 40,84±0,99 a

0,1 43,16±1,77 b

0,3 45,76±1,40 c

Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan

2. Angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat interaksi perlakuan suhu blanching

dan perendaman natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda terhadap

nilai kekuningan tepung labu jepang (kabocha). Tepung dengan perlakuan tanpa

blanching dan perendaman 0,3% natrium metabisulfit menghasilkan tingkat

66

kekuningan paling tinggi. Hal ini diduga konsentrasi natrium metabisulfit yang

tinggi mampu menekan kerusakan warna. Suhu blanching yang semakin tinggi

cenderung menurunkan nilai tingkat kekuningan, sedangkan semakin tinggi

konsentrasi natrium metabisulfit cenderung meningkatnya nilai tingkat

kekuningan. Hal ini diduga peran natrium metabisulfit pada proses perendaman

lebih efektif dalam hal mencegah reaksi pencoklatan dibandingkan dengan

blanching. Menurut Latapi (2006) bahwa natrium metabisulfit mampu menekan

degradasi warna sehingga meminimalisir perubahan warna. Natrium metabisulfit

mencegah terjadinya reaksi pencoklatan dengan cara memblokir pembentukan

senyawa 5 hidroksil metal furfural dari D-glukosa penyebab terjadinya warna

coklat dimana gugus sulfit pada natrium metabisulfit akan menghambat

terjadinya reaksi browning non enzimatis yang dikatalis oleh fenolase (Slamet,

2010). Nilai tingkat kekuningan terendah yaitu pada perlakuan blanching suhu

80°C perendaman 0% natrium metabisulfit. Rendahnya nilai tingkat kekuningan

pada perlakuan blanching suhu 80°C perendaman 0% natrium metabisulfit

diduga karena tidak adanya natrium metabisulfit yang berperan tinggi mencegah

reaksi pencoklatan pada bahan, sehingga proses blanching saja belum efektif

menekan terjadinya browning yang berdampak pada penurunan tingkat

kekuningan.

4.3 Perlakuan Terbaik

Pemilihan perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan karakteristik terbaik

tepung labu dengan prosedur pembobotan yang sesuai nilai ideal pada masing-

masing parameter. Metode yang digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik

yaitu menggunakan multiple attribute menurutZeleny (1982). Pengujian

perlakuan terbaik dilakukan pada parameter kimia yang meliputi kadar air, kadar

lemak, kadar protein, kadar abu, kadar serat kasar, kadar pati, total karoten.

Pengujian perlakuan terbaik pada parameter fisik yaitu daya serap air, viskositas

panas, visksitas holding, viskositas dingin, swelling power, kelarutan, tingkat

kecerahan (L), tingkat kemerahan (a), dan tingkat kekuningan (b).

Hasil pengujian nilai terbaik dengan menggunakan metode zeleny pada 9

perlakuan yaitu kombinasi perlakuan B3P1 pada perlakuan blanching suhu 800C

dan perendaman Na-metabisufit 0%. Berikut tabel perlakuan terbaik tepung labu

jepang (kabocha) dengan parameter fisik dan kimia:

67

Tabel 4.20 Perlakuan Terbaik Parameter Fisik dan Kimia Tepung Labu

jepang (kabocha)

Parameter

Tepung Perlakuan blanching suhu

800C dan perendaman Na-

metabisufit 0%

Kadar air (%) 9.59

Kadar abu (%) 6.27

Kadar Serat kasar (%) 28.11

Kadar Lemak (%) 4.49

Kadar Pati (%) 27.73

Kadar Protein (%) 16.68

Total Karoten (mg/100g) 140.93

Daya serap air (ml/g) 6.07

Viskositas panas (cp) 1553.33

Viskositas dingin (cp) 3386.67

Viskositas holding (cp) 2206.67

Swelling Power (g/g) 27.23

Kelarutan (%) 2.11

Warna L (Kecerahan) 71.52

Warna a (redness) 11.98

Warna b (yellowness) 40.84

Keterangan: Setiap data merupakan rata-rata dari 3 ulangan

Tabel 4.20 menunjukkan sifat fisikokimia tepung labu jepang (kabocha)

perlakuan terbaik menggunaka metode zeleny. Perlakuan terbaik dipilih

berdasarkan tingkat kepentingan dan pengharapan dari masing-masing

parameter yang meliputi sifat fisik dan kimia tepug labu jepang (kabocha). Nilai

viskosias dingin yang tinggi menunjukkan tepung mengalami retrogradasi yang

lebih cepat dibadingkan dengan tepung dengan viskositas dingin yang rendah.

Hal ini akan berpengaruh pada pengaplikasian tepung. Tepung dengan nilai

viskositas tinggi tidak cocok diaplikasikan pada pembuatan produk rerotian

karena akan menyebabkan produk menjadi keras saat dingin yang disebabkan

adanya retrogradasi. Menurut Romadhoni (2015), pasta pati akan naik karena

retrogradasiakibat pendinginan. Tepung dengan viskositas dingin tinggi

kemungkinan cocok digunakan sebagai bahan pengisi ataupun pengental.

Viskositas dingin yang tinggi lebih cocok diaplikasikan sebagai bahan pengisi

68

ataupun penstabil karena akan menghasilkan produk yang lebih stabil (Richana,

2004).

Standar kadar air tepung menurut data BSN yaitu SNI 01-3751-2009,

kaar air tepung terigu berada pada kisaran 14-15%. Nilai kadar air tepung labu

jepang (kabocha) pada perlakuan terbaik tidak melampaui batas standar kadar

air tepung terigu menurut SNI 01-3751-2009 dan cenderung rendah. Kadar air

yang rendah dipilih berdasarkan pertimbangan umur simpan produk dan

karakteristik fisik tepung labu jepang (kabocha). Tepung dengan kadar air rendah

memiliki daya simpan yang panjang dan tidak mudah rusak.

Kadar serat kasar tepung labu jepang (kabocha) perlakuan terbaik yaitu

28,11%. Menurut Ranakusuma (1990) dalam Kusharto (2006), bahwa serat pada

makanan berguna untuk mengurngi asupan kalori sehingga bisa digunakan

sebagai strategi dalam menghadapi obesitas.

69

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan

suhu berpengaruh nyata terhadap parameter total karoten dan serat kasar. Perlakuan

konsentrasi natrium metabisulfit memberikan pengaruh nyata terhadap perameter total

karoten, kadar serat kasar dan tingkat kecerahan. Interaksi antara perlakuan suhu

blanching dan konsentrasi natrium metabisulfit memberikan pengaruh nyata (α=0,05)

terhadap parameter kadar air, kadar protein, kadar pati, kadar abu, daya serap air,

viskositas panas, viskositasholding, viskositas dingin, swelling power, kelarutan, tingkat

kemerahan dan tingkat kekuningan. Tidak terjadi interaksi kedua faktor dan tidak

berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap parameter kadar serat kasar, kadar lemak, total

karoten dan tingkat kecerahan.

Tepung labu kabocha dengan perlakuan terbaik ditentukan dengan menggunkan

metode Zeleny. Perlakuan terbaik tepung labu kabocha adalah tepung dengan perlakuan

blanching suhu 800C dan perendaman Na-metabisufit 0%.

5.2 Saran

Perlunya dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut pada berbagai parameter

dengan menggunakan steam blanching untuk kemudian bisa dibandingkan dengan

metode water blanching. Perlunya dilakukan pengaplikasian pembuatan produk tepung

labu kabocha yang kaya serat dan analisis pada produk tersebut sehingga produk dapat

diterima dan diaplikasikan di masyarakat.

70

DAFTAR PUSTAKA

Adelina. D, Rahmawati. L.R.N. 2015. Pembuatan Tepung Labu Kuning.

Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Agiang, MA., Umoh, I. B., Essien. A.I, and Eteng, M.U.2010. Nutrient Changes

and Antinutrient Content of Beniseed and Beniseed Soup During

Cooking Using a Nigeria Traditional Method. Pakistan Journal of

Biological Sciences 13:1011-1015

Aini, Nur. Hariyadi Purwiyanto dkk. 2009. Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi

Tepung Jagung Putih dengan Fermentasi Spontan Butiran

Jagung. Institut Pertanian Bogor. Bogor

An, Hee-Young. 2005. Effect of Ozonition and Addiction of Amino acid on

Properties of Rice

Antarlina,S.S dan E. Ginting .1992. Pembuatan Kue Basah Dari Tepung

Komposit. Penelitian Palawija . Vol 7. No. 1 dan 2: 34-45

Apriliyanti, Tina. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi Jalar

Ungu (Ipomoea batatas blackle) dengan Variasi Proses

Pengeringan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Arie. Dian Susanti., Harijono. 2014. Pengaruh Karagenan Terhadap

Karakteristik Pasta Tepung Garut dan Kecambah Kacang Gude

Sebagai Bahan Baku Bihun. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2.

No 4. 50-57

Astawan, M. Dkk. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. PT Gramedia. Jakarta

Bich 1985 dalam Sukardi (2012).

Boram, Park. Na Jung, Kim., dkk. 2005. Quality Characteristic of Sweet

Pumpkin Latte With Various Gum. Department of Agrofood

Resource. Vol .31. No. 3. 304-317.

Budiman et al.,(1984), Karakteristik Buah Waluh (Cucurbita pepe L.). Ilmu dan

Teknologi Pangan Vol.3 ; 116-133

Cazzonelli, C. I. and Pogson, B. C. 2010. Source to Sink : Regulation of

Carotenoid Biosynthesis in Plant. Trends in Plant Science 15 :

266-274

Chrisandy, Chatrine P. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tepung Labu

Kuning dengan Perlakuan Blanching dan Perendaman Natrium

Metabisulfit. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan. ITB. Bandung

Desti, D.K., Amanto, B, dkk. 2012. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan

Suhu Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Sensori

71

Tepung Biji Nangka(Artocarpus heterophllus). Universitas

Sebelas Maret. Surakarta

Direktorat Gizi Departemen RI. 2000. Daftar Komposisi Bahan Makanan.

Bhatara. Jakarta

Fellows, P. J. 1992. Food Prcessing Technology: Principle and Practice. Ellis

Howard Limited , Sussex, England.

Fenema, O.R. 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc.

Gardjito, Murdijati dan Theresia Fitria Kartika Sari. 2005. Pengaruh

Penambahan Asam Sitrat dalam Pembuatan Manisan Kering

Labu Kuning (Cucurbita maxima) terhadap Sifat-sifat Produknya.

Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi

Pertanian UGM.

Gardjito, Murdjiati. 2006. Labu Kuning Sumber Karbohidrat Kaya Vitamin A.

Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT). Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta

Gujska, E., dan Khan. 1991. Feed Moisture Effect on Function of Properties,

Trypsin Inhibitor and Hemoglutinating Activaties of Extruded

Bean High Starch Fraction. Journal of Food Science 56 (2).

Haile, F., Admassu,S. Fisseha. A. 2015. Effect of Pre-treatments and Drying

Methods on Chemical Composition, Microbial and Sensory

Quality of Orange-Fleshed Sweet Potato Flour and Porridge.

American Journal of Food Science and Technology. Vol 3. No. 3. 82-

88. 2015

Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. UGM Press. Yogyakarta

Isnaharani, Yulan. 2009. Pemanfaatan Tepung Jerami Nangka (Artocarpus

heterophyllus link)dalam Pembuatan Cookies Tinggi Serat.

IPB.Bogor

Khomsan, Ali dan Anwar, Faisal. 2008. Sehat Itu Mudah Wujudkan Hidup

Sehat dengan Makanan Tepat. PT Mizan Publika. Jakarta

Kumalaningsih, S,dkk. 2004. Pencegahan Pencoklatan Umbu Ubi Jalar

(Ipomea batatas L.) Untuk Pembuatan Tepung : Pengaruh

Kombinasi Asam Askorbat Dan Sodium Acid Phyrophosphate.

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 5 No 1;11-19

Kusharto M, Clara. 2006. Serat Makanan dan Peranan Bagi Kesehatan. Institut

Petanian Bogor. Bogor

Lamikanra, O, dkk. 2005. Produce Degradation: Pathways and Prevention.

Taylor & Francis Group. United State of America

Latapi G, Barret DM (2006). Influence of Pre-drying Treatment on Quality and

Safety of Sun-dried Tomatoes. Part II Effect of Storage on

Nutritional and Sensory Quality of Sun-dried tomatoes preteated

with sulfur, sodium metabisulfit, or salt. J Food Sci 71(1) : 32-37

72

Li, J. Y.,& Yen, A. I. 2001. Relationship between thermal, rheological

characteristic and swelling power for varions starches. J. Food

Engineering Vol.50 : 141-148

Muchtadi TR. 1992. Karakteristik Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit

(Elaeis guineensis, Jacq) dalam Rangka Optimalisasi Proses

Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A[disertasi].

Institut Pertanian Bogor. Bogor

Muchtadi, 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. PAU.

Pangan dan Gizi. IPB. Bogor

Mumpuni, Christina E. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses

Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Institut Pertanian

Bogor. Bogor

Noviarso, Cahyo. 2003. Pengaruh Umur Panen dan Masa Simpan Buah

Sukun (Artocarpus altilis) terhadap Kualitas Tepung Sukun yang

Dihasilkan. Skripsi. Faleta. IPB. Bogor

O’Sullivan L, Karen gs, Aisling A dan Nora MO.2010. Effect Of Cooking On The

Profile And Micellarization Oof 9-Cis-, 13-Cis And All-Trans-B-

Caroten In Green Vegetables. Journal Food Research International.

43(2010) 1130-1135

Pomeranz, S.Y dan C.E. Meloand. 1995. Food Analysis Theory amd Practice.

The AVI Publishing Company Inc. Wesport Conneticut

Prabasini, Hermaning. 2013. Kajian Sifat Kimia dan Fisik Tepung Labu

Kuning (Curcubita Moschata) Dengan Perlakuan Blanching dan

Perendaman dalam Natrium Metabisulfit (Na2S2O5). Universitas

Sebelas Maret. Surakarta

Prabowo, B. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Millet Kuning dan

Tepung Millet Merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian,

Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Prabowo, Bimo. 2010. Kajian Sifat Fisika Kimia Tepung Milet Kuning dan

Tepung Milet Merah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Rahman, Farida. 2007. Pengaruh Knsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)

dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Biji Alpukat (Persea

americana mill). Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara.

Rahman, Shafiur M. 2007. Handbook of Food Preservation,Second Edition.

Taylor & Francis Group. United State of America

Ranakusuma B. 1990. Obesitas dan Mafaat Serat. Gizi Indonesia, 15 (1), 76-

80.

Ratnayake, W.S., R.Hoover and W.Tom. 2002. Pea Starch : Composition

Structure and Properties-Review. Starch. 54 : 217-234

73

Richana, Nue. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan

Tepung Pati dari Umbi Ganyong Suweg Ubi kelapa dan Gembili.

Institut Pertanian Bogor. Bogor

Richana, Nur., Titi C. S. 2004. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi

dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan

Gembili. ITB. Bogor

Rincon A. M And Padilla, F.C. 2004. Physichochemical Properties of

Breadfruit (Artocarpus Altilis) Starch from Margarita Island.

Venezuela Arch Latinoam 54 (4) : 449- 456.

Rizal, Saifur. 2013. Pengaruh Konsentrasi Natrium Bisulfit dan Suhu

Pengeringan Terhadap Sifat Fisik-Kimia Tepung Biji Nangka

(Artocarpus heterophllus). Universitas Brawijaya. Malang

Rodriguez, D.B dan Kimura, M. 2004. Harvest Plus Handbook for Carotenoid

Analysis. Harvest Plus Technical Monograph 2. Washington, DC and

Cali ; International Food Policy Research Institute and International

Center for Tropical Agriculture.

Romadhoni, Mashita., Harijono. 2015. Karakteristik Pasta Tepung Gembili,

Pati Sagu dan Karagenan Serta Potensinya Sebagai Bihun.

Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3. No 1. 53-60.

Ryan , Mukhamad Akbar, Yunianta. Pengaruh Lama Perendaman Na2SO4 dan

Fermentasi Ragi Tape Terhadap Sifat Fisk Kimia Tepung Jagung.

Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 2 91-102.

Sleagun G.,Cernisev s., Popa M., Fiodorov S. 2007. Kinetics of Pumpkin

Dehydration. Republic of Moldova

Soebito, S. 1998. Analisa Farmasi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sukardi. M. Hindun P., Hidayat. 2012. Optimasi Penurunan Kandungan

Oligosakarida pada Pembuatan Tepung Ubi Jalar dengan cara

Fermentasi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi

Pertanian. Universitas Brawijaya Malang.

Suprapti, Lies M. 2003. Teknologi Pengolahan Pangan:Aneka Awetan Jahe.

Kanisius. Yogyakarta

Supriyadi, 2015. Manfaat Labu Kandungan Gizi Labu.

http://www.tipscaramanfaat.com/manfaat-labu-kandungan-gizi-labu-

57.html . Diakses pada 12 Desember 2015.

Surapto, Hadi. 2006. Pengaruh Perendaman Pisang Kepok (Musa acuminac

balbisiana calla) dalam Larutan Garam Terhadap Mutu Tepung

yang Dihasilkan : Jurnal Teknologi Pertanian 1(2) : 74-80.

Wahyuni D.T., Widjanarn, B.W.2005. Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama

Ekstraksi Terhadap Ekstrak Karotenoid Labu Kuning dengan

Metode Gelombang Ultrasonik. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol

2, No. 4, D 58-67

74

Widiyawati, Iis Intan. 2007. Pengaruh Lama Perendaman dan Kadar Natrium

Metabisulfit dalam Larutan Perendaman pada Potongan Ubi

Jalar Kuning (Ipomoen batatas (L.) lamb) Terhadap Kualitas

Tepung yang Dihasilkan. Pendidikan Kimia FKIP-Unmul, Jl. Muara

Pahu Kampus Unmul Gunung Kelua Samarinda.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jalarta

Winarno. 1980. Pengantar Teknologi Pengolahan. PT Gramedia. Jakarta