Post on 04-Apr-2023
SEJARAH DESA SINDANGHAJI
Suatu tempat atau daerah mempunyai kronologis
yang berbeda dalam awal berdirinya dan perkembangan
selanjutnya, ini biasanya disebut sejarah. Dalam
sejarah setidaknya ada empat unsur pendukung,
diantaranya: pelaku, kejadian, waktu dan tempat
kejadian. Biasanya sebelum menjadi catatan dan
menjadi dokumen sejarah seperti ceritera rakyat lainnya
dapat lestari dan terpelihara karena menjadi ceritera
turun temurun dari generasi ke generasi lainnya
saecara terus menerus dan berkelanjutan sehingga
menjadi catatan sejarah yang kekal, tidak berubah dan
terinventarisir dalam hati setiap generasi dan ketu-
runan para pelaku sejarah.
Nama suatu tempat seringkali dikaitkan dengan
peristiwa penting atau nama pelaku sejarah di awal
berdirinya suatu tempat, saya ambil contoh “Cirebon,”
sebagian kalangan mayarakat mengasumsikan yang akhirnya
menjadi cerita turun temurun, bahwa di salah satu
perairan di wilayah yang sekarang disebut Cirebon
ditemukan sekumpulan udang-udang kecil (rebon). Ci
berarti air dan rebon artinya udang kecil. Sejak itu
wilayah tersebut dinamakan daerah Cirebon. Kita juga
mengenal Leuwimunding yang terdiri dari dua
kata : leuwi (bhs.sunda) artinya bagian sungai yang
dalam, munding (bhs. Sunda) artinya kerbau, Jatiwangi
teridiri dari dua kata: jati yaitu sejenis tanaman
keras, wangi artinya harum, dan banyak lagi nama-nama
desa atau daerah lainnya yang di dalamnya mempunyai
latar belakang peristiwa penting pada waktu itu.
Pemberian nama selain sebagai upaya pengidentitasan
desa atau wilayah tersebut bertujuan untuk mengingat
peristiwa penting dan bersejarah, makanya pemberian
nama seantiasa menggunakan kata baku dan mudah
diingat.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa bangsa kita
mengalami fase kebudayaan, kepercayaan dan agama.
Sebelum berkembangnya islam di tanah jawa ini, dari
mulai animisme dan dinamisme, sejalan dengan
perkembangan peradaban dan kebudayaan juga
perekonomian, setelah hindu- budha masuklah Agama Islam
ke nusantara yang dibawa oleh Pedagang Gujarat melalui
Kerajaan Samudera Pasei di tatar yang sekarang disebut
Sumatera. Dari sana Agama Islam masuk ke Tanah Jawa
melalui Cirebon dan Banten. Seperti juga di kalangan
Kristen yang punya zending dan misionaris, para pemuka
Agama Islam menugaskan beberapa inohongnya untuk
menyebarkan ajaran Agama Islam di Wilayah Kerajaan
Cirebon dan sekitarnya.
Dikisahkan perkiraan pada abad XVII, dimasa
perkembangan Agama Islam di Tatar Jawa Dwipa terutama
di Kerajaan Cirebon, berangkatlah para pembawa dan
penyebar ajaran Agama Islam menuju tatar kulon Cirebon
(Wilayah Barat Cirebon). Rombongan pengembara itu
terdiri dari lima belas orang, dan dalam perkembangan
selanjutnya merekalah yang mewarnai tata kehidupan
sosial, agama, budaya, dan adat istiadat masyarakat
Desa Sindanghaji dan sekitarnya pada masa itu. Adapun
para pengembara itu adalah :
1. Buyut Pernata kusuma
2. Buyut Sura Menggala
3. Buyut Sangkin
4. Buyut Simah
5. Buyut Kimbar
6. Buyut Kinayu
7. Buyut Samidin
8. Buyut Jati
9. Buyut Amal
10. Buyut Natasari
11. Buyut Girang panganten
12. Buyut Matang haji
13. Buyut Rangga Kamasan
14. Buyut Kedut
15. Buyut Babut
Para pengembara memasuki wilayah barat Cirebon yang
pada waktu itu sebagian besar daerahnya masih berupa
hutan belantara, masih jarang pendu- duknya.
Mereka beristirahat, membabat hutan untuk dijadikan
tempat tinggal yang pada perkembangan selanjutnya
menjadi pemukiman dan lahan bercocok tanam. Para
pengembara itu diperkirakan bermukim di tempat
(desa) yang berbeda tapi tidak terlalu jauh (tetangga
desa). Asumsi ini berdasarkan bukti-bukti, bahwa
makam para pengembara di atas terletak di tempat
(desa) yang berbeda.
Dalam perjalanan pengembaraan mereka, sampailah
pada sebuah hutan. Salah seorang pengembara yang
bernama Buyut Matanghaji memprakarsai pembabatan dan
pembukaan hutan itu, karena beliau merasa tempat
itu layak untuk dijadikan tempat istirahat bahkan
pemukiman yang nyaman. Tanahnya subur, dekat sungai
dan terdapat mata air. Maka pada perkembangan
mayarakat selanjutnya tempat tersebut dinamakan
“Sindanghaji”, berasal dari dua kata “sindang”
(bhs.sunda) artinya mampir atau istirahat, dan “haji”
nama pendek dari Buyut Matanghaji. Demikian ceritera
dari beberapa sumber, se-kilas kronologis kenapa
tempat tersebut dinamai Sindanghaji.
Sindanghaji sebuah tempat peristirahatan para
pengembara, terutama pengembara yang bernama Buyut
Matanghaji selanjutnya menjadi pemukiman penduduk.
Dari waktu ke waktu yang bermukim di Sindanghaji
semakin lama semakin bertambah, selain putra-putri yang
dilahirkan di Sindanghaji sendiri, ada juga pendatang
dari luar Sindanghaji. Sindanghaji melahirkan putra-
putri terbaik pada jamannya. Dalam catatan yang
merupakan arsip berharga yang disimpan di kantor Desa
Sindanghaji Wilayah Sindanghaji dalam kepemimpinan
Demang Eon mengalami kemajuan yang pesat. Pusat
Pemerintahan diberi nama (istilah) Dayeuh (bhs.sunda)
yang berarti pusat pemerintahan, lokasinya antara Dukuh
Bak dan Dusun Tegalmerak sekarang. Hal ini diperkuat
dengan adanya tempat yang dinamai Sawah Alun. “Alun”
(bhs.sunda) artinya suatu lapangan atau lahan yang
berada di sekitar pusat pemerintahan. Lokasinya
berada sekitar limaratus meter arah utara dari
Pusat Pemerintahan Desa Sindanghaji saat ini. Bukti
lainnya adanya suatu tempat yang dinamai Telar
Dayeuh. Telar dari kata “tetelar” (bhs.Sunda) artinya
tegalan, “dayeuh” (bhs.sunda) artinya pusat
pemerintahan. Lokasinya sekitar satu kilometer ke arah
utara dari sawah alun. Masa kepemimpinannya berakhir
pada tahun 1814, sedangkan tidak ada catatan yang
menyatakan kapan awal Pemerintahan Demang Eon, dan
tidak ada bukti juga keterangan kalau Demang Eon
dimakamkan di Desa Sindanghaji.
Seorang tokoh Islam yang bernama Buyut Matanghaji
yang memprakarsai pembabatan hutan di wilayah yang
sekarang disebut Sindanghaji, yang awalnya hanya untuk
tempat beristirahat beliau dan rombongan, sangat
diyakini bahwa beliau hanya mampir (sindang) karena di
wilayah Sindanghaji dan desa sekitarnya tidak ditemukan
makam Buyut Matanghaji, sedangkan makam-makam buyut
lainnya ditemukan di Sindanghaji dan sekitar
Sindanghaji.
Lokasi makam para pengembara dari Cirebon itu
diantaranya: Buyut Pernata Kusuma dimakamkan di bagian
timur – selatan Desa Patuanan, yaitu tetangga Desa
Sindanghaji sebelah timur. Buyut Suramenggala,
dimakamkan di perbatasan Desa Patuanan dan Desa
Nanggerang. Menurut letak geografisnya separoh Wilayah
Desa Patuanan Bagian Selatan dan Bagian Timur
berbatasan dengan Desa Nanggerang. Buyut Sangkin,
dimakamkan di Kampung Cikawah,ujung timur dan selatan
Desa Sindanghaji yang berbatasan dengan Desa Parakan.
Buyut Simah dimakamkan di lokasi yang sama dengan Buyut
Pernata Kusuma. Buyut Winayu dimakamkan di Dukuh Duwur,
wilayah Desa Patuanan bagian tengah perbatasan
Sindanghaji. Buyut Jati dimakamkan di Dukuh Luhur Desa
Patuanan, sekitar limaratus meter ke arah utara dari
letak makam Buyut Winayu. Buyut Girang Panganten, Buyut
Rangga Kamasan terletak di Pemakaman Kabuyutan yang
terletak di Desa Sindanghaji tapi agak terpisah dari
komplek pemakaman umum. Buyut Rangga Kamasan terletak
di Pemakaman (astana) Hulu Dayeuh yang sekarang menjadi
wilayah Desa Tarikolot. Dalam keterangan selanjutnya
dijelaskan, bahwa Desa Tarikolot merupakan pemekaran
dari Desa Sindanghaji pada tahun 1901 dimasa
kepemimpinan Haji Mansur (1880-1919).
Melihat letak pemakaman para pengembara penyebar
ajaran Agama Islam yang berasal dari Kerajaan Cirebon,
ternyata berada di Wilayah Sindanghaji dan Wilayah
Patuanan, diyakini bahwa pada jaman itu Desa
Sindanghaji dan Desa Patuanan merupakan sentral
penyebaran ajaran Islam. Ada satu keyakinan di kalangan
dan generasi masyarakat tertentu, bahwa beberapa bukti
makam yang ada di wilayah ini seperti Buyut Jati dan
beberapa tokoh lainnya, itu hanya merupakan petilasan
(bekas tinggal dan istirahat), sedangkan makam aslinya
ada di tempat lain. Ada juga keyakinan di beberapa
kalangan yang mewarisi pemahaman itu dari generasi
sebelumnya, bahwa orang yang sudah mencapai tingkat
ma’rifat dalam keyakinan dan dibuktikan dengan akhlak
dan perilakunya seperti yang dimiliki oleh hamba Allah
para Buyut penyebar ajaran Islam di jaman itu, mereka
akan meninggal di satu tempat dan akan muncul seperti
reinkarnasi di tempat lain untuk selanjutnya melakukan
kebaikan, lantas beliau akan meninggal dan seterusnya
hingga dua atau tiga kali. Keyakinan mereka seperti ini
salah satunya disebabkan karena satu orang tokoh
terkadang makamnya ada di lebih dari satu tempat yang
berbeda, dan masyakat sekitarnya meyakini dan mengklaim
tokoh yang sama. Dari kedua kelompok tersebut mana yang
benar Wallahualam.
Dalam perkembangan selanjutnya sindanghaji dijadikan
nama desa dengan Kepala Desanya Kuwu Boja (1814-1844).
Kuwu Boja memimpin Desa Sindanghaji kurang lebih selama
tigapuluh tahun. Diantara sekian banyak kebijakkan dan
pengabdian beliau di Desa Sindanghaji yang tercatat
dalam sejarah adalah memindahkan Pusat Pemerintahan
yang notabene Kantor Pemerintahan dari Tegalmerak ke
lokasi yang posisinya ada di tengah-tengah Wilayah
Sindanghaji, yaitu tanah milik beliau (sekarang Balai
Desa/Kantor Kuwu/Kantor Kepala Desa) Sindanghaji. Hal
ini beliau lakukan karena Lembur Tegalmerak lokasinya
ada di ujung utara Desa Sindanghaji, sedangkan Pusat
Pemerintahan seharusnya di tengah-tengah wilayah untuk
mempermudah masyarakat pelaku roda pemerintahan di
jaman itu. Tidak ada keterangan beliau kapan wafat,
tapi beberapa narasumber dan penulis menyimpulkan akhir
kepemimpinan Kuwu Boja itulah akhir hayatnya, karena
pada jaman itu rakyat begitu hormat pada pemimpinnya.
Kuwu Boja yang biasa disebut Embah Boja wafat tahun
1844 dimakamkan di Pemakaman Kabuyutan.
Tampuk pimpinan pemerintahan Desa Sindanghaji
selanjutnya dipegang oleh H. Kodir (1844-1879),beliau
wafat pada tahun 1879 dan dimakamkan di Pemakaman
Kabuyutan. Asripudin (1879-1880), beliau menjabat Kuwu
Sindanghaji selama satu tahun. Haji Mansur (1880-1919),
selama kurang lebih tigapuluh Sembilan tahun beliau
memegang tampuk pimpinan. Pada tahun 1901, dimasa
kepemimpinan Haji Mansur karena jumlah warga Desa
Sindanghaji melebihi batas dalam aturan kependudukan
pada jaman itu, juga wilayahnya terlalu luas, maka Desa
Sindanghaji dimekarkan (dipecah) menjadi dua desa. Desa
yang baru diberi nama Tarikolot (Desa Tarikolot).
Pemecahan wilayah diambil melintang dari ujung selatan
sampai ujung utara Desa Sindanghaji. Wilayah Tarikolot
dipecah dari Sindanghaji bagian barat. Haji Mansur
diperkirakan wafat tahun 1919 dan dimakamkan di
Belakang Mesjid Jami Sindanghaji.
Kuwu Warsita yang biasa dipanggil Kuwu Repas,
memegang tampuk kepemimpinan sebagai Kuwu Sindanghaji,
dari tahun 1919-1923. Beliau mengakhiri jabatannya
karena meninggal dunia pada tahun 1923. Dari tahun 1923
– 1925 Kuwu Sindanghaji dijabat oleh Bapak Sayi. Dimasa
kepemimpinannya Kuwu Warsita/Kuwu Repas merintis dan
memprakarsai upaya pembangunan Jembatan Cikamangi.
Cikamangi sebuah sungai yang membelah sekaligus batas
Desa Sindanghaji dan Desa Patuanan dari wilayah tengah
sampai ujung utara, dan menurut keterangan beberapa
sumber Jembatan Cikamangi ini baru mengalami satu kali
pemugaran, yaitu di era pemerintahan orde baru.
Jembatan Cikamangi ini menghubungkan langsung Desa
Sindanghaji dan Desa Patuanan, juga sebagai sarana
pendistribusian hasil pertanian ke Pasar Leuwimunding
bukan saja dari Desa Sindanghaji, tetapi juga dari Desa
Tarikolot, Waringin dan Weragati.
Dari tahun 1925-1947, selama duapuluh dua tahun
tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji dipegang oleh Kuwu
Ali, yang kadang masyarakat memanggilnya dengan sebutan
Kuwu Gorobag. Dipanggil Kuwu Gorobag karena beliau
punya gerobag atau padati dalam bahasa sunda, yaitu
alat transportasi terutama untuk mengangkut barang,
ukurannya kira-kira sebesar truk ditarik oleh dua ekor
kerbau. Ada ceritera yang bersumber dari ceritera
generasi jaman itu, dan diceritakan pada generasi
berikutnya dan sampai sekarang menjadi ceritera yang
tidak tertulis/tercatat, Kuwu Ali/Kuwu Gorobag seorang
kuwu yang mempunyai ilmu kanuragan dan kekuatan fisik.
Suatu ketika dalam perjalanan, gerobagnya terjerembab
ke sebuah sungai. Secara akal dan logika tidak mungkin
beliau bisa mengangkat gerobag/pedati itu sendirian.
Namun apa yang terjadi? Beliau masuk ke kolong pedati
itu, dan atas ijin Allah diangkatlah pedati itu dengan
pundak dan tangannya sendiri pedati itu dipindahkan ke
pinggir jalan. Cerita lainnya yang mungkin terdengar
lebih ekstrim, Kuwu Ali/Kuwu Gorobag kalau tubuhnya
pegel-pegel bukannya datang ke tukang urut untuk
dipijit, tapi beliau menyuruh seorang kemit (sebutan
untuk seseorang yang bertugas piket dibalai desa),
memukulinya dengan alu, yaitu sebatang kayu bulat
panjang juga keras, besarnya sekepalan tangan orang
dewasa yang pada waktu itu biasa digunakan untuk
menumbuk padi menjadi beras, karena pijitan tangan
sekeras apapun tidak terasa dan dan tidak bisa
menghilangkan rasa pegel dan kaku tubuh dan otot-
ototnya.
Masa kepemimpinan beliau bisa dikatakan salah
satu jaman keemasan Desa Sindanghaji, karena pada masa
kepemimpinan beliau dapat dibangun Mesjid Jami yang
sekarang diberi nama Mesjid Jami AL-ISHLAH. Sejalan
dengan perkembangan Agama Islam dan sumber daya
masyarakat, Kuwu Ali mulai memperhatikan sarana ibadah.
Pembangunan mesjid merupakan skala prioritas. Semangat
gotong-royong, kebersamaan, rasa saling memiliki di
hati dan jiwa masyarakat pada jaman itu sangat besar
dan tidak akan ditemukan lagi di jaman sekarang.
Swadaya murni merupakan jantungnya pembangunan.Selain
memperhatikan sarana ibadah, beliau mulai memperhatikan
pula peningkatan produksi pertanian. Efisiensi
penggunaan air, kecepatan, ketepatan, dan pemerataan
aliran air di area pertanian menjadi salah satu
programnya. Beliau membangun senderan saluran air
skunder Ciwayang. Beliau wafat diperkirakan tahun 1947,
dan dimakamkan di Dukuh Balong yang pada perkembangan
selanjutnya komplek itu menjadi pemakaman umum.
Dari tahun 1947-1965, sekitar delapan belas
tahun Kuwu Sapdari memegang tampuk kepemimpinan Desa
Sindanghaji. Pembawaannya tegas, dalam usianya yang
semakin tua semakin mengalir semangat dalam dirinya
untuk memajukan Desa Sindanghaji, dalam bidang
pendidikan dan pertanian. Cita-cita mulia ini
direalisasikan dengan membangun Gedung Sekolah SD
Sindanghaji I yang dahulu dinamai Bangunan Gotong
Royong Desa Sindanghaji. Selain membangun sarana
pendidikan sebagai salah satu wadah untuk mencerdaskan
bangsa, Kuwu Sapdari juga membangun saluran irigasi
sebagai upaya mempermudah penyaluran air untuk lahan
yang letaknya jauh dari saluran sekunder. Beliau
berharap para petani lebih mudah memenuhi kebutuhan air
di lahan pertanian, sehingga produksi pertanian
terutama padi bisa meningkat.
Kuwu Sapdari salah seorang narasumber dalam
penyusunan Sejarah Desa Sindanghaji ini, dan beliaulah
satu-satunya mantan kuwu di Sindanghaji yang sempat
menyaksikan, memantau, dan merasakan masa kepemimpinan
empat orang Kuwu/Kepala Desa di masa berikutnya. Beliau
kerap diminta saran dan nasihat oleh kuwu-kuwu/kepala
desa berikutnya hingga dia tutup usia pada tahun 2007.
Beliau dimakamkan di Makam Pagambuhan.
Penggganti pemegang jabatan kuwu dari tahun
1965-1967 adalah Kertiker Ucin, pada waktu itu
pembangunan mengalami hambatan karena gejolak politik
hingga terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI yang berpengaruh
besar pada kondisi keamanan, ketentraman dan kestabilan
psikis masyarakat pedesaan pada waktu itu
Kuwu Atori memimpin Desa Sindanghaji dari tahun
1967-1980. Seorang TNI bekas pejuang di masa
kemerdekaan. Pribadinya tegas, kata-katanya lugas
seperti karakter tentara kebanyakan pada waktu itu.
Beliau terkadang bercanda di tengah masyarakatnya untuk
mencairkan keseganan terhadap dirinya. Di masa
pemerintahannya, dibangun SD Ciputri yang selanjutnya
berubah nama menjadi SD Sindanghaji III. Dengan
dibangunnya SD Ciputri, putra-putri Desa Sindanghaji
bagian tengah sampai ujung selatan yang meliputi Dukuh
Balong, Reumagabug, Cikawah Kidul, Cikawah Wetan, Dkh.
Deog, Mindana, Karangbikas, bahkan Dukuh Dawuan yang
termasuk wilayah Desa Tarikolot yang posisinya dekat
dengan SD Ciputri bisa sekolah di sana karena jarak
tempuhnya lebih dekat. SD Ciputri yang dibangun di era
orde baru akrab ditelinga masyarakat pada masa itu
dengan sebutan SD Inpres. Kenyamanan belajar semakin
terasa dengan bertambahnya Sekolah Dasar di
Sindanghaji, karena jarak tempuh yang semakin dekat
bagi murid-murid yang tinggalnya jauh dari Sekolah
Dasar Gotong Royong (SD Sindanghaji I), belajar lebih
nyaman karena warga kelas jadi terlalu penuh. Beliau
mengakhiri tampuk kepemimpinan sesuai dengan Undang-
Undang no.5 tahun 1979, yang menegaskan bahwa masa
jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. Kuwu Atori
dimakamkan di Makam Kebon Buah Lebak Cidongke yang
merupakan Makam Keluarga.
Berdasarkan hasil Pemilihan Kepala Desa yang
demokratis, Sutrisno mendapat amanah dari masyarakat
untuk memegang tampuk pimpinan Pemerintahan Desa
Sindanghaji sejak tahun 1980. Beliau respek terhadap
perkembangan sumberdaya alam dan sumberdaya
masyarakatnya pada waktu itu. Sedikit demi sedikit dan
secara bertahap pemikiran ilmiah mulai disisipkan dan
dikembangkan dalam segala aspek kebijakkan pemerintahan
yang dituangkan dalam program jangka panjang dan jangka
pendek. Beliau begitu mahir dalam membaca dan
mengembangkan sumberdaya alam, potensi dan keinginan
masyakatnya. Beliau membangun desa dan masyarakat ke
arah yang lebih modern dengan tetap melestarikan adat
dan budaya yang selama ini menjadi pilar semangat
gotong royong di Desa Sindangjaji. Dengan sumber daya,
semangat gotong royong dan semangat untuk maju yang
yang semakin tumbuh subur di masyarakat Desa
Sindanghaji waktu itu, dibarengi dengan perjuangan yang
tidak kenal lelah beliau bersama masyarakatnya berhasil
membangun sarana Pendidikan Agama Islam Madrasah
Diniyah di alun-alun Bale Desa Sindanghaji dan di Dusun
masyarakatnya merehab balai desa, mengaspal jalan desa,
memperbaiki irigasi dan membangun Pesantren Darul
Falah.
Pertumbuhan penduduk, wawasan dan sumberdaya
masyarakat yang semakin berkembang, mempengaruhi
kebijakkan dan program-program pembangunan di masa
pemerintahannya. Beliau berusaha untuk selalu tanggap
terhadap seluruh permasalahan dan keinginan
masyarakatnya. Wilayah Sindanghaji bagian selatan
telah memiliki SD Ciputri (sekarang SD Sindanghaji III)
dengan lapangan olah raganya, Wilayah Sindanghaji
bagian tengah telah memiliki SD Sindanghaji/ SD Gotong
Royong (sekarang SD Sindanghaji I) sepaket dengan
lapangan olah raganya. Dimasa pemerintahannya dia
membangun SD Sindanghaji di wilayah Sindanghaji bagian
utara sepaket juga dengan lapangan olah raganya, yang
dalam perkembangan selanjutnya dinamai SD Sindanghaji
II di daerah Telar Dayeuh.
Sutrisno secara bertahap mulai merubah tatanan
pemerintahan ke arah yang lebih baik. Beliau membagi-
bagi wilayah Desa Sindanghaji menuju modernisasi
administratif. Desa Sindanghaji dibagi menjadi enam
Rukun Warga (RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT). Dengan
upaya seperti ini peran serta masyarakat dalam
pembangunan desa lebih aktif dan efisien. Sebagai polo
up dari kebijakan pemerintahan, yaitu pembagian wilayah
Desa Sindanghaji menjadi beberapa Rukun Warga, Sutrisno
merintis pembangunan Kantor RW (Balai Pertemuan),
bersama masyarakatnya beliau membangun tiga Balai
Pertemuan (Kantor RW) yang terletak di Dukuh Deog
(RW.02), di Dukuh Balong (RW.03), di Dukuh Bak (RW.04).
Pembangunan kantor pertemuan disesuaikan dengan
kebutuhan, makanya di wilayah RW.05 dan RW.06 tidak
dibangun kantor pertemuan, karena
Masjid Jami yang dibangun di masa kepemimpinan
Kuwu Ali/Kuwu Gorobag yang di sana sini sudah banyak
kerusakan meski seringkali dilakukan perbaikan dan
rehab ringan mulai dilirik oleh Sutrisno. Beliau
menyadari sumberdaya masyarakat Desa Sindanghaji saat
itu sangat mustahil mampu membangun masjid megah dan
semi modern di jaman itu dengan swadaya murni
masyarakatnya. Dengan satu keyakinan “man jadda wa
jadda” (barang siapa bersungguh-sungguh maka dapatlah
ia), beliau berkordinasi dengan berbagai fihak untuk
dibangunkan masjid dari Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila. Alhamdulillah dengan kerja keras tak
mengenal lelah, dukungan dari Putra-Putra Sindanghaji
yang penuh semangat membangun, dan dukungan dari
seluruh masyarakat yang sangat mendambakan tempat
ibadah yang resik dan nyaman maka Desa Sindanghaji
akhirnya mendapat bantuan masjid dari Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila (YAMP).
Pemikiran modern yang berkesinambungan
memunculkan satu ide kebijakkan yang kelak akan
dituangkan dalam Peraturan Desa. Beliau sangat
menyadari roda pemerintahan mesti stabil, baik itu segi
administrasi dan bidang lainnya. Aset, sarana
pendidikan yaitu bangunan SD dan madrasah, sarana
transportasi dan perekonomian diantaranya jalan-jalan
desa dan jalan jalan kampung, sarana pendukung
pertanian dan perekonomian diantaranya saluran irigasi
dan selokan, masjid yang merupakan sarana peribadahan,
bangunan kantor bale desa perlu pemeliharaan secara
rutin dan continu. Pelayanan administrasi kepada
masyarakat harus nyaman dan memuaskan, diperlukan
sarana kantor yang memadai diikuti dengan pemeliharaan
inventaris secara rutin. Salah satu cara tentunya
dengan memperkokoh Pendapatan Asli Desa sehingga
merupakan pendapatan rutin tahunan, yang penggunaannya
diperuntukkan insentif Ketua RT, Ketua RW, Kemit Desa,
Petugas Kebersihan Masjid dan Kaum masjid di wilayah.
Rencana pengeluaran lainnya adalah biaya pemeliharaan
jalan desa, pemeliharaan inventaris kantor, dan
pemeliharaan sarana lainya. Beliau atas persetujuan
LKMD membuat Peraturan Desa tentang iuran desa yang
disebut Padi Adat Desa. Sutrisno menjadi kuwu selama
dua periode, dan dua tahun sebagai Pejabat Kepala Desa.
Kepemimpinan beliau berakhir tahun 1998. Kuwu Sutrisno
meninggal pada tahun 2011 dan dimakamkan di pemakaman
yang sama dengan pamannya Kuwu Atori..
Kosma memimpin Desa Sindanghaji dari tahun
1998 – 2008, selama sepuluh tahun. Beliau mewarisi
semangat membangun yang tinggi untuk memajukan Desa
Sindanghaji pada tatanan yang lebih tinggi, seiring
dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap
sarana dan prasarana yang menunjang pertanian dan
perekonomian. Beliau berupaya membawa masyarakatnya ke
titik madani sesuai tuntutan reformasi dan modernisasi.
Perubahan kebijakkan Pemerintah Pusat di era reformasi
yang menitik beratkan pembangunan daerah pedesaan, yang
direalisasikan dengan bertambahnya nominal
bantuan/subsidi dari pusat dan bajeting berbagai
bantuan dari pusat untuk digelontorkan di daerah
pedesaan merupakan peluang beliau untuk membangun Desa
Sindanghaji secara maksimal. Diawali dengan
menyelesaikan rehab Bale Desa beliau menunjukkan
kesungguhan misi-visinya. Perkembangan jumlah penduduk
yang diikuti dengan semakin padatnya perumahan hingga
melebar ke lahan yang tidak terjangkau jalan permanen
menjadi perhatiannya.Sebagai jawabannya beliau
membangun Jalan Lingkar Wilayah antar RW sekaligus
pengaspalannya. Beliau juga membuka jalan alternative
Dk.Bak-Cikareo sekaligus pengaspalannya sebagai upaya
memperingan transfortasi hasil pertanian para petani
dan juga sebagai efisiensi jalur transfortasi, sehingga
lebih cepat dan lebih mudah. Tidak berhenti sampai di
sana beliaupun merehab ketiga Gedung Sekolah Dasar dan
dua Gedung Madrasah Diniyyah yang ada di Desa
Sindanghaji. Di era reformasi masyarakat benar-benar
dimanjakan, karena masyarakat bisa menikmati hasil
pembangunan dengan tidak disibukkan iuran dana swadaya.
Di era reformasi ini jaman sudah berubah yang segalanya
terasa begitu mudah. Kosma terus menata pembangunan di
berbagai sektor menjawab tuntutan masyarakatnya.
Pada tahun 2008, di akhir masa jabatannya
beliau bergandengan tangan dengan bersama putra-putra
Sindanghaji lainnya merehab atap,plapoun, dan genting
masjid yang dananya 80% hasil sumbangan masyarakat,
infak dan sumbangun donator.
Terhitung mulai tanggal 24 Desember 2008
tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji dipegang oleh Neni
Karnaeni. Srikandi Sindanghaji, kaum Hawwa pertama
dalam sejarah Sindanghaji yang berani tampil paling
depan menentukan Sindanghaji ke depan. Sejalan dengan
tuntutan waktu dan tuntutan Peraturan Pemerintah upaya
regenerasasi personil Lembaga Pemerintahan mulai beliau
lakukan. Beliau sangat yakin, bahwa diperlukan
kelugasan dan ketegasan dalam pengambilan kebijakkan
perrogatif, dan itu dibuktikan dengan langkah-
langkahnya dalam penataan administrasi dan personil
Lembaga Pemerintahan Desa. Ketelitian beliau dalam
pengelolaan administrasi desa, belajar dari almarhum
ayahnya yaitu Bapak Asum yang dimasa pemerintahan Bapak
Sutrisno menduduki jabatan Sekretaris Desa (juru
tulis).
Kuwu Neni Karnaeni mereaktifkan lagi peran
serta para Ketua RT dengan langkah nyata yang
dituangkan dalam Peraturan Desa, sehingga para Ketua RT
lebih terposisikan lagi dalam Struktur Lembaga
Pemerintahan Desa dan kontribusi untuk para Ketua RT
dianggarkan dari pendapatan insidentil desa.Jadi para
Ketua RT mendapat konstribusi dari PAD dan PID. Beliau
sangat sadar meski seorang perempuan bertengger dalam
jabatan dan profesi apapun, agama dan undang-undang
menuntut perempuan untuk tetap eksis sebagai jantungnya
kesejahteraan sebuah keluarga. Disamping itu perempuan
harus tetap perperan aktip dalam pembangunan di segala
bidang, maka beliau mereaktifkan lagi kegiatan PKK Desa
dan Kegiatan Majelis Taklim Mukminin.
Dalam memegang tampuk kepemimpinannya beliau
membangun Gedung TK Tresnasari II, sebagai jawaban
kerinduan masyarakat Ciputri dan sekitarnya untuk
memiliki gedung Taman Kanak-Kanak. Beliau juga
melakukan rehab ringan terhadap kedua Gedung MD,
memfasilitasi rehabilitas ketiga bangunan Sekolah
Dasar, dan memfasilitasi pembangunan mushola di RW 02
Dukuh Mindana atau yang biasa disebut Lembur Cikawah
Wetan.
Selain sarana pendidikan dan sarana
peribadahan, beliau juga mulai menjawab kesulitan
tranfortasi hasil pertanian masyarakat, maka beliau
melakukan penyenderan, pengerasan dan dan pengaspalan
Jalan Lintas Bubulak-Kepuh-Jaha-Cikareo, sehingga para
petani bisa mengefisienkan biaya transfortasi dilalui
kendaraan roda empat. Beliau juga melakukan penyenderan
Jalan Karang Bikas – Deog, Deog – Cikawah Wetan, Jalan
Pintas Dukuh Bak-Lapangan Bola SD Sindanghaji I, dan
Jalan Pinggir Timur Bejun. Semua proyek penyenderan
tersebut dilaksanakan berikut pengaspalannya.
Sebagai realisasi program pemeliharaan sarana
infrastruktur, beliau merehab pengaspalan jalan lingkar
wilayah RW di Wilayah Tegalmerak, Dukuh Calung,
Bubulak, Bejun, Dukuh Balong, Cikawah, Mindana, dan
Dukuh Deog. Penunjang Kesehatan yang salah satunya
kebutuhan akan air bersih mulai mendapat perhatian Sri
Kandi Sindanghaji yang satu ini. Kenyataan bahwa di
musim kemarau sebagian masyarakat kesulitan dalam
pengadaan air bersih meskipun tidak separah daerah
lain, maka beliau mulai membangun dengan permanen
sumur-sumur kuno (kolam/bebelik) yang airnya tak pernah
kering walaupun musim kemarau.Beliau membangun MCK di
Sumur Bandung Tegalmerak, wilayah utara Sindanghaji,dan
MC di Sumur Manggu, wilayah bagian tengah Sindanghaji.
Ekonomi Pedesaan yang bertumpu pada Bidang
Pertanian sesuatu yang harus dijaga, dan ditingkatkan.
Ketahanan pangan tak boleh luput dari perhatian. Salah
satu unsur yang paling penting dalam pertanian adalah
pengairan yang cukup, maka selain pembinaan Kelompok
Tani dan Kelompok P3A (Mitra Cai) yang sudah terbentuk
di masa kepemimpinan para pendahulunya, beliau
melakukan pengeboran (sumur pantek) titik-titik lahan
yang seringkali kekurangan air di masa tanam padi
kemarau dan ngapat (masa tanam ke-dua dan ke-tiga dalam
satu taun).
Sri Kandi Sindanghaji, Ibu Kuwu Neni Karnaeni
hingga tulisan ini dirampungkan pada Hari Ahad, tanggal
01 Juni 2013, beliau masih terus berjuang bahu membahu
dengan masyarakat untuk membangun masyarakatnya, karena
Amanat yang beliau diterima yang terdokumenkan dalam
Surat Keputusan Bupati Majalengka sejak tanggal 24
Desember 2008 belum saatnya beliau tanggalkan.
Nara Sumber 1 : Awit Saefudin (eks.Ang.LMD/LKMD, BPD
Sindanghaji)
Nara Sumber 2 : M. E. Sudarsa (Salah satu perangkat
Desa Sindanghaji)
TUGAS UAS
SEJARAH DESA SINDANGHAJI
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Dosen Pengampu:
Anwar Sanusi, M.Ag