Sejarah Desa Sindanghaji Kec. Palasah Kab. Majalengka

24
SEJARAH DESA SINDANGHAJI Suatu tempat atau daerah mempunyai kronologis yang berbeda dalam awal berdirinya dan perkembangan selanjutnya, ini biasanya disebut sejarah. Dalam sejarah setidaknya ada empat unsur pendukung, diantaranya: pelaku, kejadian, waktu dan tempat kejadian. Biasanya sebelum menjadi catatan dan menjadi dokumen sejarah seperti ceritera rakyat lainnya dapat lestari dan terpelihara karena menjadi ceritera turun temurun dari generasi ke generasi lainnya saecara terus menerus dan berkelanjutan sehingga menjadi catatan sejarah yang kekal, tidak berubah dan terinventarisir dalam hati setiap generasi dan ketu- runan para pelaku sejarah. Nama suatu tempat seringkali dikaitkan dengan peristiwa penting atau nama pelaku sejarah di awal berdirinya suatu tempat, saya ambil contoh “Cirebon,” sebagian kalangan mayarakat mengasumsikan yang akhirnya menjadi cerita turun temurun, bahwa di salah satu perairan di wilayah yang sekarang disebut Cirebon ditemukan sekumpulan udang-udang kecil (rebon). Ci berarti air dan rebon artinya udang kecil. Sejak itu wilayah tersebut dinamakan daerah Cirebon. Kita juga mengenal Leuwimunding yang terdiri dari dua kata : leuwi (bhs.sunda) artinya bagian sungai yang dalam, munding (bhs. Sunda) artinya kerbau, Jatiwangi

Transcript of Sejarah Desa Sindanghaji Kec. Palasah Kab. Majalengka

SEJARAH DESA SINDANGHAJI

Suatu tempat atau daerah mempunyai kronologis

yang berbeda dalam awal berdirinya dan perkembangan

selanjutnya, ini biasanya disebut sejarah. Dalam

sejarah setidaknya ada empat unsur pendukung,

diantaranya: pelaku, kejadian, waktu dan tempat

kejadian. Biasanya sebelum menjadi catatan dan

menjadi dokumen sejarah seperti ceritera rakyat lainnya

dapat lestari dan terpelihara karena menjadi ceritera

turun temurun dari generasi ke generasi lainnya

saecara terus menerus dan berkelanjutan sehingga

menjadi catatan sejarah yang kekal, tidak berubah dan

terinventarisir dalam hati setiap generasi dan ketu-

runan para pelaku sejarah.

Nama suatu tempat seringkali dikaitkan dengan

peristiwa penting atau nama pelaku sejarah di awal

berdirinya suatu tempat, saya ambil contoh “Cirebon,”

sebagian kalangan mayarakat mengasumsikan yang akhirnya

menjadi cerita turun temurun, bahwa di salah satu

perairan di wilayah yang sekarang disebut Cirebon

ditemukan sekumpulan udang-udang kecil (rebon). Ci

berarti air dan rebon artinya udang kecil. Sejak itu

wilayah tersebut dinamakan daerah Cirebon. Kita juga

mengenal Leuwimunding yang terdiri dari dua

kata : leuwi (bhs.sunda) artinya bagian sungai yang

dalam, munding (bhs. Sunda) artinya kerbau, Jatiwangi

teridiri dari dua kata: jati yaitu sejenis tanaman

keras, wangi artinya harum, dan banyak lagi nama-nama

desa atau daerah lainnya yang di dalamnya mempunyai

latar belakang peristiwa penting pada waktu itu.

Pemberian nama selain sebagai upaya pengidentitasan

desa atau wilayah tersebut bertujuan untuk mengingat

peristiwa penting dan bersejarah, makanya pemberian

nama seantiasa menggunakan kata baku dan mudah

diingat.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa bangsa kita

mengalami fase kebudayaan, kepercayaan dan agama.

Sebelum berkembangnya islam di tanah jawa ini, dari

mulai animisme dan dinamisme, sejalan dengan

perkembangan peradaban dan kebudayaan juga

perekonomian, setelah hindu- budha masuklah Agama Islam

ke nusantara yang dibawa oleh Pedagang Gujarat melalui

Kerajaan Samudera Pasei di tatar yang sekarang disebut

Sumatera. Dari sana Agama Islam masuk ke Tanah Jawa

melalui Cirebon dan Banten. Seperti juga di kalangan

Kristen yang punya zending dan misionaris, para pemuka

Agama Islam menugaskan beberapa inohongnya untuk

menyebarkan ajaran Agama Islam di Wilayah Kerajaan

Cirebon dan sekitarnya.

Dikisahkan perkiraan pada abad XVII, dimasa

perkembangan Agama Islam di Tatar Jawa Dwipa terutama

di Kerajaan Cirebon, berangkatlah para pembawa dan

penyebar ajaran Agama Islam menuju tatar kulon Cirebon

(Wilayah Barat Cirebon). Rombongan pengembara itu

terdiri dari lima belas orang, dan dalam perkembangan

selanjutnya merekalah yang mewarnai tata kehidupan

sosial, agama, budaya, dan adat istiadat masyarakat

Desa Sindanghaji dan sekitarnya pada masa itu. Adapun

para pengembara itu adalah :

1. Buyut Pernata kusuma

2. Buyut Sura Menggala

3. Buyut Sangkin

4. Buyut Simah

5. Buyut Kimbar

6. Buyut Kinayu

7. Buyut Samidin

8. Buyut Jati

9. Buyut Amal

10. Buyut Natasari

11. Buyut Girang panganten

12. Buyut Matang haji

13. Buyut Rangga Kamasan

14. Buyut Kedut

15. Buyut Babut

Para pengembara memasuki wilayah barat Cirebon yang

pada waktu itu sebagian besar daerahnya masih berupa

hutan belantara, masih jarang pendu- duknya.

Mereka beristirahat, membabat hutan untuk dijadikan

tempat tinggal yang pada perkembangan selanjutnya

menjadi pemukiman dan lahan bercocok tanam. Para

pengembara itu diperkirakan bermukim di tempat

(desa) yang berbeda tapi tidak terlalu jauh (tetangga

desa). Asumsi ini berdasarkan bukti-bukti, bahwa

makam para pengembara di atas terletak di tempat

(desa) yang berbeda.

Dalam perjalanan pengembaraan mereka, sampailah

pada sebuah hutan. Salah seorang pengembara yang

bernama Buyut Matanghaji memprakarsai pembabatan dan

pembukaan hutan itu, karena beliau merasa tempat

itu layak untuk dijadikan tempat istirahat bahkan

pemukiman yang nyaman. Tanahnya subur, dekat sungai

dan terdapat mata air. Maka pada perkembangan

mayarakat selanjutnya tempat tersebut dinamakan

“Sindanghaji”, berasal dari dua kata “sindang”

(bhs.sunda) artinya mampir atau istirahat, dan “haji”

nama pendek dari Buyut Matanghaji. Demikian ceritera

dari beberapa sumber, se-kilas kronologis kenapa

tempat tersebut dinamai Sindanghaji.

Sindanghaji sebuah tempat peristirahatan para

pengembara, terutama pengembara yang bernama Buyut

Matanghaji selanjutnya menjadi pemukiman penduduk.

Dari waktu ke waktu yang bermukim di Sindanghaji

semakin lama semakin bertambah, selain putra-putri yang

dilahirkan di Sindanghaji sendiri, ada juga pendatang

dari luar Sindanghaji. Sindanghaji melahirkan putra-

putri terbaik pada jamannya. Dalam catatan yang

merupakan arsip berharga yang disimpan di kantor Desa

Sindanghaji Wilayah Sindanghaji dalam kepemimpinan

Demang Eon mengalami kemajuan yang pesat. Pusat

Pemerintahan diberi nama (istilah) Dayeuh (bhs.sunda)

yang berarti pusat pemerintahan, lokasinya antara Dukuh

Bak dan Dusun Tegalmerak sekarang. Hal ini diperkuat

dengan adanya tempat yang dinamai Sawah Alun. “Alun”

(bhs.sunda) artinya suatu lapangan atau lahan yang

berada di sekitar pusat pemerintahan. Lokasinya

berada sekitar limaratus meter arah utara dari

Pusat Pemerintahan Desa Sindanghaji saat ini. Bukti

lainnya adanya suatu tempat yang dinamai Telar

Dayeuh. Telar dari kata “tetelar” (bhs.Sunda) artinya

tegalan, “dayeuh” (bhs.sunda) artinya pusat

pemerintahan. Lokasinya sekitar satu kilometer ke arah

utara dari sawah alun. Masa kepemimpinannya berakhir

pada tahun 1814, sedangkan tidak ada catatan yang

menyatakan kapan awal Pemerintahan Demang Eon, dan

tidak ada bukti juga keterangan kalau Demang Eon

dimakamkan di Desa Sindanghaji.

Seorang tokoh Islam yang bernama Buyut Matanghaji

yang memprakarsai pembabatan hutan di wilayah yang

sekarang disebut Sindanghaji, yang awalnya hanya untuk

tempat beristirahat beliau dan rombongan, sangat

diyakini bahwa beliau hanya mampir (sindang) karena di

wilayah Sindanghaji dan desa sekitarnya tidak ditemukan

makam Buyut Matanghaji, sedangkan makam-makam buyut

lainnya ditemukan di Sindanghaji dan sekitar

Sindanghaji.

Lokasi makam para pengembara dari Cirebon itu

diantaranya: Buyut Pernata Kusuma dimakamkan di bagian

timur – selatan Desa Patuanan, yaitu tetangga Desa

Sindanghaji sebelah timur. Buyut Suramenggala,

dimakamkan di perbatasan Desa Patuanan dan Desa

Nanggerang. Menurut letak geografisnya separoh Wilayah

Desa Patuanan Bagian Selatan dan Bagian Timur

berbatasan dengan Desa Nanggerang. Buyut Sangkin,

dimakamkan di Kampung Cikawah,ujung timur dan selatan

Desa Sindanghaji yang berbatasan dengan Desa Parakan.

Buyut Simah dimakamkan di lokasi yang sama dengan Buyut

Pernata Kusuma. Buyut Winayu dimakamkan di Dukuh Duwur,

wilayah Desa Patuanan bagian tengah perbatasan

Sindanghaji. Buyut Jati dimakamkan di Dukuh Luhur Desa

Patuanan, sekitar limaratus meter ke arah utara dari

letak makam Buyut Winayu. Buyut Girang Panganten, Buyut

Rangga Kamasan terletak di Pemakaman Kabuyutan yang

terletak di Desa Sindanghaji tapi agak terpisah dari

komplek pemakaman umum. Buyut Rangga Kamasan terletak

di Pemakaman (astana) Hulu Dayeuh yang sekarang menjadi

wilayah Desa Tarikolot. Dalam keterangan selanjutnya

dijelaskan, bahwa Desa Tarikolot merupakan pemekaran

dari Desa Sindanghaji pada tahun 1901 dimasa

kepemimpinan Haji Mansur (1880-1919).

Melihat letak pemakaman para pengembara penyebar

ajaran Agama Islam yang berasal dari Kerajaan Cirebon,

ternyata berada di Wilayah Sindanghaji dan Wilayah

Patuanan, diyakini bahwa pada jaman itu Desa

Sindanghaji dan Desa Patuanan merupakan sentral

penyebaran ajaran Islam. Ada satu keyakinan di kalangan

dan generasi masyarakat tertentu, bahwa beberapa bukti

makam yang ada di wilayah ini seperti Buyut Jati dan

beberapa tokoh lainnya, itu hanya merupakan petilasan

(bekas tinggal dan istirahat), sedangkan makam aslinya

ada di tempat lain. Ada juga keyakinan di beberapa

kalangan yang mewarisi pemahaman itu dari generasi

sebelumnya, bahwa orang yang sudah mencapai tingkat

ma’rifat dalam keyakinan dan dibuktikan dengan akhlak

dan perilakunya seperti yang dimiliki oleh hamba Allah

para Buyut penyebar ajaran Islam di jaman itu, mereka

akan meninggal di satu tempat dan akan muncul seperti

reinkarnasi di tempat lain untuk selanjutnya melakukan

kebaikan, lantas beliau akan meninggal dan seterusnya

hingga dua atau tiga kali. Keyakinan mereka seperti ini

salah satunya disebabkan karena satu orang tokoh

terkadang makamnya ada di lebih dari satu tempat yang

berbeda, dan masyakat sekitarnya meyakini dan mengklaim

tokoh yang sama. Dari kedua kelompok tersebut mana yang

benar Wallahualam.

Dalam perkembangan selanjutnya sindanghaji dijadikan

nama desa dengan Kepala Desanya Kuwu Boja (1814-1844).

Kuwu Boja memimpin Desa Sindanghaji kurang lebih selama

tigapuluh tahun. Diantara sekian banyak kebijakkan dan

pengabdian beliau di Desa Sindanghaji yang tercatat

dalam sejarah adalah memindahkan Pusat Pemerintahan

yang notabene Kantor Pemerintahan dari Tegalmerak ke

lokasi yang posisinya ada di tengah-tengah Wilayah

Sindanghaji, yaitu tanah milik beliau (sekarang Balai

Desa/Kantor Kuwu/Kantor Kepala Desa) Sindanghaji. Hal

ini beliau lakukan karena Lembur Tegalmerak lokasinya

ada di ujung utara Desa Sindanghaji, sedangkan Pusat

Pemerintahan seharusnya di tengah-tengah wilayah untuk

mempermudah masyarakat pelaku roda pemerintahan di

jaman itu. Tidak ada keterangan beliau kapan wafat,

tapi beberapa narasumber dan penulis menyimpulkan akhir

kepemimpinan Kuwu Boja itulah akhir hayatnya, karena

pada jaman itu rakyat begitu hormat pada pemimpinnya.

Kuwu Boja yang biasa disebut Embah Boja wafat tahun

1844 dimakamkan di Pemakaman Kabuyutan.

Tampuk pimpinan pemerintahan Desa Sindanghaji

selanjutnya dipegang oleh H. Kodir (1844-1879),beliau

wafat pada tahun 1879 dan dimakamkan di Pemakaman

Kabuyutan. Asripudin (1879-1880), beliau menjabat Kuwu

Sindanghaji selama satu tahun. Haji Mansur (1880-1919),

selama kurang lebih tigapuluh Sembilan tahun beliau

memegang tampuk pimpinan. Pada tahun 1901, dimasa

kepemimpinan Haji Mansur karena jumlah warga Desa

Sindanghaji melebihi batas dalam aturan kependudukan

pada jaman itu, juga wilayahnya terlalu luas, maka Desa

Sindanghaji dimekarkan (dipecah) menjadi dua desa. Desa

yang baru diberi nama Tarikolot (Desa Tarikolot).

Pemecahan wilayah diambil melintang dari ujung selatan

sampai ujung utara Desa Sindanghaji. Wilayah Tarikolot

dipecah dari Sindanghaji bagian barat. Haji Mansur

diperkirakan wafat tahun 1919 dan dimakamkan di

Belakang Mesjid Jami Sindanghaji.

Kuwu Warsita yang biasa dipanggil Kuwu Repas,

memegang tampuk kepemimpinan sebagai Kuwu Sindanghaji,

dari tahun 1919-1923. Beliau mengakhiri jabatannya

karena meninggal dunia pada tahun 1923. Dari tahun 1923

– 1925 Kuwu Sindanghaji dijabat oleh Bapak Sayi. Dimasa

kepemimpinannya Kuwu Warsita/Kuwu Repas merintis dan

memprakarsai upaya pembangunan Jembatan Cikamangi.

Cikamangi sebuah sungai yang membelah sekaligus batas

Desa Sindanghaji dan Desa Patuanan dari wilayah tengah

sampai ujung utara, dan menurut keterangan beberapa

sumber Jembatan Cikamangi ini baru mengalami satu kali

pemugaran, yaitu di era pemerintahan orde baru.

Jembatan Cikamangi ini menghubungkan langsung Desa

Sindanghaji dan Desa Patuanan, juga sebagai sarana

pendistribusian hasil pertanian ke Pasar Leuwimunding

bukan saja dari Desa Sindanghaji, tetapi juga dari Desa

Tarikolot, Waringin dan Weragati.

Dari tahun 1925-1947, selama duapuluh dua tahun

tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji dipegang oleh Kuwu

Ali, yang kadang masyarakat memanggilnya dengan sebutan

Kuwu Gorobag. Dipanggil Kuwu Gorobag karena beliau

punya gerobag atau padati dalam bahasa sunda, yaitu

alat transportasi terutama untuk mengangkut barang,

ukurannya kira-kira sebesar truk ditarik oleh dua ekor

kerbau. Ada ceritera yang bersumber dari ceritera

generasi jaman itu, dan diceritakan pada generasi

berikutnya dan sampai sekarang menjadi ceritera yang

tidak tertulis/tercatat, Kuwu Ali/Kuwu Gorobag seorang

kuwu yang mempunyai ilmu kanuragan dan kekuatan fisik.

Suatu ketika dalam perjalanan, gerobagnya terjerembab

ke sebuah sungai. Secara akal dan logika tidak mungkin

beliau bisa mengangkat gerobag/pedati itu sendirian.

Namun apa yang terjadi? Beliau masuk ke kolong pedati

itu, dan atas ijin Allah diangkatlah pedati itu dengan

pundak dan tangannya sendiri pedati itu dipindahkan ke

pinggir jalan. Cerita lainnya yang mungkin terdengar

lebih ekstrim, Kuwu Ali/Kuwu Gorobag kalau tubuhnya

pegel-pegel bukannya datang ke tukang urut untuk

dipijit, tapi beliau menyuruh seorang kemit (sebutan

untuk seseorang yang bertugas piket dibalai desa),

memukulinya dengan alu, yaitu sebatang kayu bulat

panjang juga keras, besarnya sekepalan tangan orang

dewasa yang pada waktu itu biasa digunakan untuk

menumbuk padi menjadi beras, karena pijitan tangan

sekeras apapun tidak terasa dan dan tidak bisa

menghilangkan rasa pegel dan kaku tubuh dan otot-

ototnya.

Masa kepemimpinan beliau bisa dikatakan salah

satu jaman keemasan Desa Sindanghaji, karena pada masa

kepemimpinan beliau dapat dibangun Mesjid Jami yang

sekarang diberi nama Mesjid Jami AL-ISHLAH. Sejalan

dengan perkembangan Agama Islam dan sumber daya

masyarakat, Kuwu Ali mulai memperhatikan sarana ibadah.

Pembangunan mesjid merupakan skala prioritas. Semangat

gotong-royong, kebersamaan, rasa saling memiliki di

hati dan jiwa masyarakat pada jaman itu sangat besar

dan tidak akan ditemukan lagi di jaman sekarang.

Swadaya murni merupakan jantungnya pembangunan.Selain

memperhatikan sarana ibadah, beliau mulai memperhatikan

pula peningkatan produksi pertanian. Efisiensi

penggunaan air, kecepatan, ketepatan, dan pemerataan

aliran air di area pertanian menjadi salah satu

programnya. Beliau membangun senderan saluran air

skunder Ciwayang. Beliau wafat diperkirakan tahun 1947,

dan dimakamkan di Dukuh Balong yang pada perkembangan

selanjutnya komplek itu menjadi pemakaman umum.

Dari tahun 1947-1965, sekitar delapan belas

tahun Kuwu Sapdari memegang tampuk kepemimpinan Desa

Sindanghaji. Pembawaannya tegas, dalam usianya yang

semakin tua semakin mengalir semangat dalam dirinya

untuk memajukan Desa Sindanghaji, dalam bidang

pendidikan dan pertanian. Cita-cita mulia ini

direalisasikan dengan membangun Gedung Sekolah SD

Sindanghaji I yang dahulu dinamai Bangunan Gotong

Royong Desa Sindanghaji. Selain membangun sarana

pendidikan sebagai salah satu wadah untuk mencerdaskan

bangsa, Kuwu Sapdari juga membangun saluran irigasi

sebagai upaya mempermudah penyaluran air untuk lahan

yang letaknya jauh dari saluran sekunder. Beliau

berharap para petani lebih mudah memenuhi kebutuhan air

di lahan pertanian, sehingga produksi pertanian

terutama padi bisa meningkat.

Kuwu Sapdari salah seorang narasumber dalam

penyusunan Sejarah Desa Sindanghaji ini, dan beliaulah

satu-satunya mantan kuwu di Sindanghaji yang sempat

menyaksikan, memantau, dan merasakan masa kepemimpinan

empat orang Kuwu/Kepala Desa di masa berikutnya. Beliau

kerap diminta saran dan nasihat oleh kuwu-kuwu/kepala

desa berikutnya hingga dia tutup usia pada tahun 2007.

Beliau dimakamkan di Makam Pagambuhan.

Penggganti pemegang jabatan kuwu dari tahun

1965-1967 adalah Kertiker Ucin, pada waktu itu

pembangunan mengalami hambatan karena gejolak politik

hingga terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI yang berpengaruh

besar pada kondisi keamanan, ketentraman dan kestabilan

psikis masyarakat pedesaan pada waktu itu

Kuwu Atori memimpin Desa Sindanghaji dari tahun

1967-1980. Seorang TNI bekas pejuang di masa

kemerdekaan. Pribadinya tegas, kata-katanya lugas

seperti karakter tentara kebanyakan pada waktu itu.

Beliau terkadang bercanda di tengah masyarakatnya untuk

mencairkan keseganan terhadap dirinya. Di masa

pemerintahannya, dibangun SD Ciputri yang selanjutnya

berubah nama menjadi SD Sindanghaji III. Dengan

dibangunnya SD Ciputri, putra-putri Desa Sindanghaji

bagian tengah sampai ujung selatan yang meliputi Dukuh

Balong, Reumagabug, Cikawah Kidul, Cikawah Wetan, Dkh.

Deog, Mindana, Karangbikas, bahkan Dukuh Dawuan yang

termasuk wilayah Desa Tarikolot yang posisinya dekat

dengan SD Ciputri bisa sekolah di sana karena jarak

tempuhnya lebih dekat. SD Ciputri yang dibangun di era

orde baru akrab ditelinga masyarakat pada masa itu

dengan sebutan SD Inpres. Kenyamanan belajar semakin

terasa dengan bertambahnya Sekolah Dasar di

Sindanghaji, karena jarak tempuh yang semakin dekat

bagi murid-murid yang tinggalnya jauh dari Sekolah

Dasar Gotong Royong (SD Sindanghaji I), belajar lebih

nyaman karena warga kelas jadi terlalu penuh. Beliau

mengakhiri tampuk kepemimpinan sesuai dengan Undang-

Undang no.5 tahun 1979, yang menegaskan bahwa masa

jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. Kuwu Atori

dimakamkan di Makam Kebon Buah Lebak Cidongke yang

merupakan Makam Keluarga.

Berdasarkan hasil Pemilihan Kepala Desa yang

demokratis, Sutrisno mendapat amanah dari masyarakat

untuk memegang tampuk pimpinan Pemerintahan Desa

Sindanghaji sejak tahun 1980. Beliau respek terhadap

perkembangan sumberdaya alam dan sumberdaya

masyarakatnya pada waktu itu. Sedikit demi sedikit dan

secara bertahap pemikiran ilmiah mulai disisipkan dan

dikembangkan dalam segala aspek kebijakkan pemerintahan

yang dituangkan dalam program jangka panjang dan jangka

pendek. Beliau begitu mahir dalam membaca dan

mengembangkan sumberdaya alam, potensi dan keinginan

masyakatnya. Beliau membangun desa dan masyarakat ke

arah yang lebih modern dengan tetap melestarikan adat

dan budaya yang selama ini menjadi pilar semangat

gotong royong di Desa Sindangjaji. Dengan sumber daya,

semangat gotong royong dan semangat untuk maju yang

yang semakin tumbuh subur di masyarakat Desa

Sindanghaji waktu itu, dibarengi dengan perjuangan yang

tidak kenal lelah beliau bersama masyarakatnya berhasil

membangun sarana Pendidikan Agama Islam Madrasah

Diniyah di alun-alun Bale Desa Sindanghaji dan di Dusun

masyarakatnya merehab balai desa, mengaspal jalan desa,

memperbaiki irigasi dan membangun Pesantren Darul

Falah.

Pertumbuhan penduduk, wawasan dan sumberdaya

masyarakat yang semakin berkembang, mempengaruhi

kebijakkan dan program-program pembangunan di masa

pemerintahannya. Beliau berusaha untuk selalu tanggap

terhadap seluruh permasalahan dan keinginan

masyarakatnya. Wilayah Sindanghaji bagian selatan

telah memiliki SD Ciputri (sekarang SD Sindanghaji III)

dengan lapangan olah raganya, Wilayah Sindanghaji

bagian tengah telah memiliki SD Sindanghaji/ SD Gotong

Royong (sekarang SD Sindanghaji I) sepaket dengan

lapangan olah raganya. Dimasa pemerintahannya dia

membangun SD Sindanghaji di wilayah Sindanghaji bagian

utara sepaket juga dengan lapangan olah raganya, yang

dalam perkembangan selanjutnya dinamai SD Sindanghaji

II di daerah Telar Dayeuh.

Sutrisno secara bertahap mulai merubah tatanan

pemerintahan ke arah yang lebih baik. Beliau membagi-

bagi wilayah Desa Sindanghaji menuju modernisasi

administratif. Desa Sindanghaji dibagi menjadi enam

Rukun Warga (RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT). Dengan

upaya seperti ini peran serta masyarakat dalam

pembangunan desa lebih aktif dan efisien. Sebagai polo

up dari kebijakan pemerintahan, yaitu pembagian wilayah

Desa Sindanghaji menjadi beberapa Rukun Warga, Sutrisno

merintis pembangunan Kantor RW (Balai Pertemuan),

bersama masyarakatnya beliau membangun tiga Balai

Pertemuan (Kantor RW) yang terletak di Dukuh Deog

(RW.02), di Dukuh Balong (RW.03), di Dukuh Bak (RW.04).

Pembangunan kantor pertemuan disesuaikan dengan

kebutuhan, makanya di wilayah RW.05 dan RW.06 tidak

dibangun kantor pertemuan, karena

Masjid Jami yang dibangun di masa kepemimpinan

Kuwu Ali/Kuwu Gorobag yang di sana sini sudah banyak

kerusakan meski seringkali dilakukan perbaikan dan

rehab ringan mulai dilirik oleh Sutrisno. Beliau

menyadari sumberdaya masyarakat Desa Sindanghaji saat

itu sangat mustahil mampu membangun masjid megah dan

semi modern di jaman itu dengan swadaya murni

masyarakatnya. Dengan satu keyakinan “man jadda wa

jadda” (barang siapa bersungguh-sungguh maka dapatlah

ia), beliau berkordinasi dengan berbagai fihak untuk

dibangunkan masjid dari Yayasan Amal Bakti Muslim

Pancasila. Alhamdulillah dengan kerja keras tak

mengenal lelah, dukungan dari Putra-Putra Sindanghaji

yang penuh semangat membangun, dan dukungan dari

seluruh masyarakat yang sangat mendambakan tempat

ibadah yang resik dan nyaman maka Desa Sindanghaji

akhirnya mendapat bantuan masjid dari Yayasan Amal

Bakti Muslim Pancasila (YAMP).

Pemikiran modern yang berkesinambungan

memunculkan satu ide kebijakkan yang kelak akan

dituangkan dalam Peraturan Desa. Beliau sangat

menyadari roda pemerintahan mesti stabil, baik itu segi

administrasi dan bidang lainnya. Aset, sarana

pendidikan yaitu bangunan SD dan madrasah, sarana

transportasi dan perekonomian diantaranya jalan-jalan

desa dan jalan jalan kampung, sarana pendukung

pertanian dan perekonomian diantaranya saluran irigasi

dan selokan, masjid yang merupakan sarana peribadahan,

bangunan kantor bale desa perlu pemeliharaan secara

rutin dan continu. Pelayanan administrasi kepada

masyarakat harus nyaman dan memuaskan, diperlukan

sarana kantor yang memadai diikuti dengan pemeliharaan

inventaris secara rutin. Salah satu cara tentunya

dengan memperkokoh Pendapatan Asli Desa sehingga

merupakan pendapatan rutin tahunan, yang penggunaannya

diperuntukkan insentif Ketua RT, Ketua RW, Kemit Desa,

Petugas Kebersihan Masjid dan Kaum masjid di wilayah.

Rencana pengeluaran lainnya adalah biaya pemeliharaan

jalan desa, pemeliharaan inventaris kantor, dan

pemeliharaan sarana lainya. Beliau atas persetujuan

LKMD membuat Peraturan Desa tentang iuran desa yang

disebut Padi Adat Desa. Sutrisno menjadi kuwu selama

dua periode, dan dua tahun sebagai Pejabat Kepala Desa.

Kepemimpinan beliau berakhir tahun 1998. Kuwu Sutrisno

meninggal pada tahun 2011 dan dimakamkan di pemakaman

yang sama dengan pamannya Kuwu Atori..

Kosma memimpin Desa Sindanghaji dari tahun

1998 – 2008, selama sepuluh tahun. Beliau mewarisi

semangat membangun yang tinggi untuk memajukan Desa

Sindanghaji pada tatanan yang lebih tinggi, seiring

dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap

sarana dan prasarana yang menunjang pertanian dan

perekonomian. Beliau berupaya membawa masyarakatnya ke

titik madani sesuai tuntutan reformasi dan modernisasi.

Perubahan kebijakkan Pemerintah Pusat di era reformasi

yang menitik beratkan pembangunan daerah pedesaan, yang

direalisasikan dengan bertambahnya nominal

bantuan/subsidi dari pusat dan bajeting berbagai

bantuan dari pusat untuk digelontorkan di daerah

pedesaan merupakan peluang beliau untuk membangun Desa

Sindanghaji secara maksimal. Diawali dengan

menyelesaikan rehab Bale Desa beliau menunjukkan

kesungguhan misi-visinya. Perkembangan jumlah penduduk

yang diikuti dengan semakin padatnya perumahan hingga

melebar ke lahan yang tidak terjangkau jalan permanen

menjadi perhatiannya.Sebagai jawabannya beliau

membangun Jalan Lingkar Wilayah antar RW sekaligus

pengaspalannya. Beliau juga membuka jalan alternative

Dk.Bak-Cikareo sekaligus pengaspalannya sebagai upaya

memperingan transfortasi hasil pertanian para petani

dan juga sebagai efisiensi jalur transfortasi, sehingga

lebih cepat dan lebih mudah. Tidak berhenti sampai di

sana beliaupun merehab ketiga Gedung Sekolah Dasar dan

dua Gedung Madrasah Diniyyah yang ada di Desa

Sindanghaji. Di era reformasi masyarakat benar-benar

dimanjakan, karena masyarakat bisa menikmati hasil

pembangunan dengan tidak disibukkan iuran dana swadaya.

Di era reformasi ini jaman sudah berubah yang segalanya

terasa begitu mudah. Kosma terus menata pembangunan di

berbagai sektor menjawab tuntutan masyarakatnya.

Pada tahun 2008, di akhir masa jabatannya

beliau bergandengan tangan dengan bersama putra-putra

Sindanghaji lainnya merehab atap,plapoun, dan genting

masjid yang dananya 80% hasil sumbangan masyarakat,

infak dan sumbangun donator.

Terhitung mulai tanggal 24 Desember 2008

tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji dipegang oleh Neni

Karnaeni. Srikandi Sindanghaji, kaum Hawwa pertama

dalam sejarah Sindanghaji yang berani tampil paling

depan menentukan Sindanghaji ke depan. Sejalan dengan

tuntutan waktu dan tuntutan Peraturan Pemerintah upaya

regenerasasi personil Lembaga Pemerintahan mulai beliau

lakukan. Beliau sangat yakin, bahwa diperlukan

kelugasan dan ketegasan dalam pengambilan kebijakkan

perrogatif, dan itu dibuktikan dengan langkah-

langkahnya dalam penataan administrasi dan personil

Lembaga Pemerintahan Desa. Ketelitian beliau dalam

pengelolaan administrasi desa, belajar dari almarhum

ayahnya yaitu Bapak Asum yang dimasa pemerintahan Bapak

Sutrisno menduduki jabatan Sekretaris Desa (juru

tulis).

Kuwu Neni Karnaeni mereaktifkan lagi peran

serta para Ketua RT dengan langkah nyata yang

dituangkan dalam Peraturan Desa, sehingga para Ketua RT

lebih terposisikan lagi dalam Struktur Lembaga

Pemerintahan Desa dan kontribusi untuk para Ketua RT

dianggarkan dari pendapatan insidentil desa.Jadi para

Ketua RT mendapat konstribusi dari PAD dan PID. Beliau

sangat sadar meski seorang perempuan bertengger dalam

jabatan dan profesi apapun, agama dan undang-undang

menuntut perempuan untuk tetap eksis sebagai jantungnya

kesejahteraan sebuah keluarga. Disamping itu perempuan

harus tetap perperan aktip dalam pembangunan di segala

bidang, maka beliau mereaktifkan lagi kegiatan PKK Desa

dan Kegiatan Majelis Taklim Mukminin.

Dalam memegang tampuk kepemimpinannya beliau

membangun Gedung TK Tresnasari II, sebagai jawaban

kerinduan masyarakat Ciputri dan sekitarnya untuk

memiliki gedung Taman Kanak-Kanak. Beliau juga

melakukan rehab ringan terhadap kedua Gedung MD,

memfasilitasi rehabilitas ketiga bangunan Sekolah

Dasar, dan memfasilitasi pembangunan mushola di RW 02

Dukuh Mindana atau yang biasa disebut Lembur Cikawah

Wetan.

Selain sarana pendidikan dan sarana

peribadahan, beliau juga mulai menjawab kesulitan

tranfortasi hasil pertanian masyarakat, maka beliau

melakukan penyenderan, pengerasan dan dan pengaspalan

Jalan Lintas Bubulak-Kepuh-Jaha-Cikareo, sehingga para

petani bisa mengefisienkan biaya transfortasi dilalui

kendaraan roda empat. Beliau juga melakukan penyenderan

Jalan Karang Bikas – Deog, Deog – Cikawah Wetan, Jalan

Pintas Dukuh Bak-Lapangan Bola SD Sindanghaji I, dan

Jalan Pinggir Timur Bejun. Semua proyek penyenderan

tersebut dilaksanakan berikut pengaspalannya.

Sebagai realisasi program pemeliharaan sarana

infrastruktur, beliau merehab pengaspalan jalan lingkar

wilayah RW di Wilayah Tegalmerak, Dukuh Calung,

Bubulak, Bejun, Dukuh Balong, Cikawah, Mindana, dan

Dukuh Deog. Penunjang Kesehatan yang salah satunya

kebutuhan akan air bersih mulai mendapat perhatian Sri

Kandi Sindanghaji yang satu ini. Kenyataan bahwa di

musim kemarau sebagian masyarakat kesulitan dalam

pengadaan air bersih meskipun tidak separah daerah

lain, maka beliau mulai membangun dengan permanen

sumur-sumur kuno (kolam/bebelik) yang airnya tak pernah

kering walaupun musim kemarau.Beliau membangun MCK di

Sumur Bandung Tegalmerak, wilayah utara Sindanghaji,dan

MC di Sumur Manggu, wilayah bagian tengah Sindanghaji.

Ekonomi Pedesaan yang bertumpu pada Bidang

Pertanian sesuatu yang harus dijaga, dan ditingkatkan.

Ketahanan pangan tak boleh luput dari perhatian. Salah

satu unsur yang paling penting dalam pertanian adalah

pengairan yang cukup, maka selain pembinaan Kelompok

Tani dan Kelompok P3A (Mitra Cai) yang sudah terbentuk

di masa kepemimpinan para pendahulunya, beliau

melakukan pengeboran (sumur pantek) titik-titik lahan

yang seringkali kekurangan air di masa tanam padi

kemarau dan ngapat (masa tanam ke-dua dan ke-tiga dalam

satu taun).

Sri Kandi Sindanghaji, Ibu Kuwu Neni Karnaeni

hingga tulisan ini dirampungkan pada Hari Ahad, tanggal

01 Juni 2013, beliau masih terus berjuang bahu membahu

dengan masyarakat untuk membangun masyarakatnya, karena

Amanat yang beliau diterima yang terdokumenkan dalam

Surat Keputusan Bupati Majalengka sejak tanggal 24

Desember 2008 belum saatnya beliau tanggalkan.

Nara Sumber 1 : Awit Saefudin (eks.Ang.LMD/LKMD, BPD

Sindanghaji)

Nara Sumber 2 : M. E. Sudarsa (Salah satu perangkat

Desa Sindanghaji)

TUGAS UAS

SEJARAH DESA SINDANGHAJI

Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Dosen Pengampu:

Anwar Sanusi, M.Ag

Disusun Oleh :

Amy Retno Galih

(14121620634)

TARBIYAH IPA-BIOLOGI C/II

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

TAHUN PELAJARAN 2012/2013