Post on 19-Jan-2023
LAPORAN MAHASISWA
PRAKTEK KETERAMPILAN DAN KEMAHIRAN HUKUM
(PKKH)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
PERIODE XXVII / 2013
JUDUL :
MEKANISME PENAHANAN TERDAKWA OLEH JAKSA
PENUNTUT UMUM DI KEJAKSAAN TINGGI BALI
OLEH :
NAMA : KOMANG HERRY TRISANTIKA S
NIM : 1016051090
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan
Yang Maha Esa), atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan
laporan akhir Praktek Kemahiran dan Ketrampilan Hukum dengan judul
”MEKANISME PENAHANAN TERDAKWA OLEH JAKSA PENUNTUT
UMUM DI KEJAKSAAN TINGGI BALI”. Dalam kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan laporan ini, antara lain:
1. Bapak Prof. Dr.I.G.N. Wairocana, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. I Dewa Made Suartha,S.H,,M.H. Selaku Ketua Panitia
PKKH Periode XXVII Tahun 2013
3. Bapak Erbindo Saragih, S.H. Selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Bali.
4. Bapak Agustinus Djahamat, SH. selaku pembimbing Institusi Kejaksaan
Tinggi Bali.
5. Bapak I Gde Putra Ariana, S.H.,M.Kn. selaku pembimbing Fakultas
sekaligus pembimbing teknis yang dengan sabar membimbing dalam
penyusunan Laporan ini.
6. Kepala Bagian Tata Usaha, Jaksa beserta seluruh staf dan pegawai
Kejaksaan Tinggi Bali yang telah dengan sukarela membantu dalam
pelaksanaan PKKH.
7. Kedua orang tua dan keluarga besar yang selalu memberi semangat dan
doa restunya untuk melancarkan studi penulis guna kesuksesan dalam
studi ini.
8. Teman-teman peserta PKKH di Kejaksaan Tinggi Bali. Terima kasih
atas kebersamaan, kekeluargaan, kerjasama, motivasi serta segala
perhatiannya, sehingga laporan ini selesai tepat pada waktunya.
9. Semua rekan-rekan PKKH periode XXVII Tahun 2013 serta semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang sudah ikut
membantu baik secara formal maupun materiil.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itulah penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pembaca, Semoga laporan ini bisa bermanfaat
bagi semua pihak.
Denpasar, Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………... v
DISKRIPSI KELEMBAGAAN TEMPAT PKKH …………………. viii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………… 3
1.3. Tinjauan Pustaka ………………………………………….. 4
1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………….. 5
1.4.1. Tujuan Umum ……………………………………… 5
1.4.2. Tujuan Khusus ……………………………………... 5
1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………... 6
1.6. Metode Penelitian ………………………………………… 7
I. Jenis Penelitian …………………………………………. 7
II. Jenis Pendekatan …………………………………………... 7
III. Sumber Data ………...……………………………………. 8
IV. Data Penunjang …………………………………………… 9
V. Teknik Pengumpulan Data ………...……………………… 9
VI. Teknik Pengolahan dan Analisis ………………………….. 9
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………. 10
2.1. Analisis ………………………………………………….. 10
2.1.1. Mekanisme Penahanan Terdakwa oleh Penuntut
Umum …………………………………………….. 10
a. Pengertian Penahanan ………………………… 10
b. Yang Berwenang Menahan …………………… 12
c. Mekanisme Penahanan Terdakwa oleh Penuntut
Umum …………………………………………. 15
2.1.2. Permasalahan yang Terjadi dari Kewenangan
Penahanan yang dimiliki Penuntut Umum ……….. 20
2.2. Solusi ………………………………………………….... 24
BAB III PENUTUP .............................................................................. 25
3.1. Simpulan ............................................................................ 25
3.2. Saran .................................................................................. 27
DAFTAR BACAAN
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum
Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya
sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting keberadaannya dalam
menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas
negara dan (bahkan) merupakan lembaga moral yang berperan merehabilitasi
para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang seiring dengan
berkembangnya tindak pidana dari masa ke masa.
Hukum Pidana merupakan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi
siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut dan memenuhi unsur-
unsur yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Seperti perbuatan yang
dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain sebagainya.
Hukum pidana dikualifikasikan menjadi dua, yaitu hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisikan tingkah
laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai
macam pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan kata lain hukum pidana materiil
berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-ketentuan umum
yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut.1
Sedangkan hukum pidana formil atau juga disebut hukum acara pidana adalah
seluruh garis hukum, yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum
dan keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil.2
Wujud dari hukum pidana materiil tertuang dalam suatu bentuk
peraturan tertulis berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sedangkan hukum pidana formil tertuang dalam bentuk Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum pidana formil (KUHAP) bertujuan
untuk menegakan hukum pidana materiil (KUHP) dan mengatur tentang
bagaimana caranya Negara dengan perantara badan-badan penegak hukumnya
dapat menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana.
Para penegak hukum baik polisi (penyidik), jaksa (penuntut umum), dan
hakim dalam melaksanakan proses penegakan hukum materiil dalam peradilan
pidana harus dilaksanakan berdasarkan apa yang telah tertuang dalam KUHAP
yang merupakan hukum formil. Dalam proses peradilan pidana ada beberapa
tahapan yang harus dilalui sebelum memutus suatu perbuatan apakah termasuk
perbuatan yang dapat dipidana atau bukan, yaitu proses penyidikan, penuntutan,
dan sidang pengadilan mulai pengadilan tahap pertama, banding, dan kasasi.
1. S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,
Alumni Ahaem, Jakarta, hlm. 20.
2. Ibid.
Dari sederet tahapan tersebut terkandung didalamnya kewenangan
penegak hukum yang dalam hal ini adalah penyidik, penuntut umum, dan
hakim untuk melakukan “penahanan” terhadap tersangka atau terdakwa yang
diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Penahanan tersebut menjadi hal
yang dilaksanakan guna kelancaran proses penegakan hukum. Namun perlu
diperhatikan pula bahwa penahanan termasuk pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, khususnya hak kebebasan individu. Maka perlu kiranya untuk
diketahui dalam hal apa penahanan tersebut dibolehkan atau diizinkan dan
bagaimana proses yang harus dilalui agar penahanan tersebut tidak di anggap
sebagai tindakan yang melanggar hak kebebasan individu tadi.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam laporan ini penulis mengangkat 2 permasalahan yang akan
dibahas, yaitu :
1) Bagaimana mekanisme penahanan terdakwa oleh penuntut
umum ?
2) Permasalahan apa yang kerap terjadi dari kewenangan penuntut
umum dalam melakukan penahanan ?
1.3. Tinjauan Pustaka
Mekanisme secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses
pelaksanaan suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh seseorang atau beberapa
orang dengan menggunakan tatanan dan aturan serta adanya alur komunikasi
dan pembagian tugas sesuai dengan profesionalitas.3 Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa mekanisme merupakan kegiatan yang dilakukan
seseorang dalam menjalankan sesuatu dengan menggunakan cara dan aturan.
Penahanan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata “arrest”
yang dalam The Lexicon Webster’s Dictionary volume I mencakup arti antara
lain : to remain, to rest, to stop. Dalam bahasa Indonesia, yakni dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan tercakup arti penahanan yaitu : proses, perbuatan, cara menahan,
penghambatan. Hakikat daripada penahanan adalah penghambatan atas
kebebasan seseorang.4
Matiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Penangkapan dan
Penahanan menguraikan pengertian penahanan yaitu : “Penahanan adalah
tindakan untuk menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan
menempatkan ditempat tertentu, biasanya ditempatkan di rumah tahanan
3 http://pdipm-lamongan.blogspot.com/2011/07/mekanisme-kerja-ipm.html. dikutip
pada tanggal 26 Desember 2013 pukul 00.03 Wita.
4 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 1, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 117.
Negara yang dahulu disebut Lembaga Pemasyarakatan”.5 KUHAP dalam pasal
1 butir 21 memberikan definisi penahanan yaitu : penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Dari bunyi pasal tersebut dapat diuraikan bahwa penahanan
merupakan :
1) Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu,
2) Dilakukan oleh penyidik, penuntu umum, dan hakim dengan penetapan,
3) Dijalankan dengan cara yang diatur KUHAP.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
1. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis.
2. Sebagai laporan yang diperuntukkan untuk memenuhi kewajiban
yang bersifat akademik dalam rangka PKKH periode XXVII di
Kejaksaan Tinggi Bali.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk memahami dan mengetahui dalam hal apa saja penahanan
terhadap terdakwa itu diperlukan.
5 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan. Ghalia
2. Untuk memahami dan mengetahui bagaimana mekanisme
penahanan pada tahap penuntutan di instansi Kejaksaan.
1.5. Manfaat Penelitian
Salah satu aspek penting dari kegiatan penelitian adalah menyangkut
kegunaan hasil dari penelitian di lapangan. Penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1. Untuk memperluas khasanah berpikir tentang mekanisme
penahanan pada tahap penuntutan di instansi Kejaksaan.
2. Memberikan tambahan referensi khususnya bagi pihak institusi
pendidikan dalam penelitian terhadap mekanisme penahanan
pada tahap penuntutan di instansi Kejaksaan RI.
b. Manfaat Praktis
Sebagai wawasan dan informasi agar masyarakat luas semakin
menyadari bahwa penahanan merupakan tindakan yang melanggar hak
asasi seseorang namun dapat dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan
dengan penegakan hukum.
1.6. Metode Penelitian
I. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum dibedakan menjadi dua, yaitu normatif dan
empiris. Dalam penulisan laporan ini digunakan penelitian hukum empiris,
yaitu pendekatan yang didasarkan pada aturan-aturan hukum dalam
mengkaji permasalahan yang ada dan dikaitkan dengan pelaksanaannya
dalam masyarakat. Dengan kata lain terhadap permasalahan yang terdapat
dalam laporan ini akan dikaji dari ketentuan-ketentuan hukum yang terkait
dan mengaturnya kemudian mengaitkannya dengan kenyataan yang
sebenarnya terjadi dilapangan.
II. Jenis Pendekatan
Jenis penelitian yang penulis terapkan dalam laporan PKKH ini,
mengacu pada beberapa pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), yaitu
pendekatan masalah yang berdasarkan pada teori-teori hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang ada
kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Pendekatan Fakta (The Fact Approach), yaitu pendekatan
masalah yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di
lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan
dibahas.
III. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan laporan ini berupa
data primer dan data skunder, sebagai berikut :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan, berupa data
dari hasil observasi secara langsung dan interview dengan
beberapa Jaksa Tinggi Pidana Umum dan Jaksa Tinggi Pidana
Khusus di Kejaksaan Tinggi Bali.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara
membaca literatur dan perundang-undangan yang ada
relevansinya dengan permasalahan yang akan dibahas, yang
terdiri dari :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c. Undang-undang No 16 Tahun 2003 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia
d. International Covenat on Civil and Political Right
e. Undang - Undang No 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights
IV. DATA PENUNJANG
Data penunjang, yaitu data yang diperoleh dengan membaca buku -
buku atau literatur, hasil-hasil karya dari kalangan hukum serta artikel-
artikel yang diperoleh dari media cetak dan elektronik yang berkaitan
dengan permasalahan yang diangkat.
V. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan teknik interview,
yaitu sebagai suatu proses tanya jawab lisan dengan informan terkait untuk
memperoleh data. Sedangkan pengumpulan data yang diperoleh dalam
penelitian kepustakaan dilakukan dengan pencatatan, yaitu pencatatan teori-
teori, isi ketentuan perundang-undangan yang relevan, serta dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
VI. Teknik Pengolahan dan Analisis
Adapun teknik pengolahan data yaitu setelah data terkumpul
kemudian mengadakan sistematisasi terhadap data-data tersebut.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap data-data tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis, kemudian setelah mengadakan
sestematisasi data dianalisis lalu melakukan interpretasi atau penafsiran
terhadap data tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Analisis
2.1.1. Mekanisme Penahanan Terdakwa oleh Penuntut Umum
Sebelum membahas tentang mekanisme penahanan terdakwa, perlu
kiranya sedikit untuk membahasa tentang pengertian penahanan dan siapa
saja yang berwenang untuk melakukan penahanan.
a. Pengertian penahanan
Penahanan, sebagaimana telah dikutip sebelumnya dari pengertian
Matiman Prodjohamidjojo adalah tindakan untuk menghentikan
kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan menempatkan ditempat tertentu,
biasanya ditempatkan di Rumah Tahanan Negara yang dahulu disebut
Lembaga Pemasyarakatan.
Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan
bergerak seseorang.6 Jadi, disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu
hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus
dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang
6. Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Cet. Ketujuh,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 129.
harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan
jahat tersangka.7
Oleh karena ada hak asasi manusia yang dilanggar, maka perlu dibuat
pengecualian atas hal tersebut. Sebagaimana article 9. 1. ICCPR
menyatakan : “Everyone has the right to liberty and security of person. No
one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be
deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such
procedure as are establish by law”. Yang diterjemahakan ke bahasa
Indonesia menjadi : “Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan
pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-
wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali
berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan oleh hukum”.
Kalimat terakhir dari article 9. 1. ICCPR memberi ruang
pengecualian untuk penahanan terhadap seseorang, yakni berdasarkan
alasan dan sesuai prosedur yang diatur Undang-undang. ICCPR yang
singkatan dari International Covenant on Civil and Political Right
merupakan instrument internasional tentang hak asasi manusia yang telah
diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui UU No 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights. Namun bila dilihat kebelakang jauh sebelum ratifikasi
7. Ibid.
tersebut dilakukan, ternyata Indonesia telah memiliki aturan hukum yang
sejalan dengan article 9. 1. ICCPR mengenai penahanan. Pengaturan
tersebut tertuang dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau lazim disebut KUHAP.
Dalam pasal 1 butir 21, KUHAP telah memberikan definisi yuridis
tentang penahanan, yaitu “penempatan tersangka atau terdakwa ditempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang
ini”. Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa yang boleh ditahan hanyalah
“tersangka” atau “terdakwa”. Pengertian yuridis mengenai tersangka dan
terdakwa terdapat pada pasal 1 butir 14 dan butir 15 KUHAP. Tersangka
sebagaimana pasal 1 butir 14 adalah seorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana. Sedangkan terdakwa menurut pasal 1 butir 15 adalah
seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
b. Yang berwenang melakukan penahanan
KUHAP dalam pasal 1 butir 21 menyebutkan : “…oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya …”. Jadi yang dapat
melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim.
Kewenangan itu dipertegas pula pada pasal 20 ayat (1), (2), dan (3)
KUHAP. Penyidik dalam pasal 1 butir 1 KUHAP adalah pejabat polisi
Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Penuntut umum dalam pasal 1 butir 6 b adalah jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. Sedangkan hakim pada pasal 1 butir 8 adalah pejabat
peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili.
Merujuk pada pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP, penyidik diberi
kewenangan untuk melakukan penahanan hanya untuk kepentingan
penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, serta hakim
untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Yang dimaksud
dengan penyidikan dan penuntutan dapat dilihat pada pasal 1 butir 2
KUHAP yang menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dan
pada pasal 1 butir 7 yang menyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
Para penegak hukum diatas yaitu penyidik, penuntut umum, dan
hakim memiliki batas waktu untuk melakukan penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa yang ditentutan pula di dalam KUHAP. Untuk
penyidik sebagaimana pasal 24 ayat (1) KUHAP memberi batas waktu
penahanan selama 20 hari. Apabila pemeriksaan di tingkat penyidikan
belum selesai selama 20 hari itu, maka dapat diperpanjang selama 40 hari
oleh izin penuntut umum (vide pasal 24 ayat (2) ). Sedangkan penuntut
umum sebagaimana pasal 25 ayat (1) memiliki batas waktu penahanan
selama 20 hari, dan dapat diperpanjang 30 hari atas izin ketua pengadilan
negeri apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai (vide pasal 25 ayat (2) ). Kemudian hakim pengadilan negeri guna
pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama dan hakim pengadilan
tinggi guna kepentingan pemeriksaan banding memiliki batas waktu masing
selama 30 hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri untuk
tingkat pertama dan ketua pengadilan tinggi untuk tingkat banding selama
60 hari. Dan yang terakhir hakim Mahakamah Agung memiliki kewenangan
menahan selama 50 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua
mahkamah agung.
Jadi, seseorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan
dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling
lama 400 hari. Namun dikecualikan apabila tersangka atau terdakwa
menderita gangguan fisik atau mental yang berat dan dibuktikan dengan
surat keterangan dokter atau tindak pidana yang diduga dilakukan diancam
pidana penjara selama 9 tahun atau lebih, perpanjangan penahanannya dapat
dilakukan sebanyak 2 kali yang masing-masing selama 30 hari.
Perpanjangan penahanan tersebut diberikan oleh ketua pengadilan negeri
apabila pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, oleh ketua
pengadilan tinggi apabila pemeriksaan disidang pengadilan negeri. Dalam
tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung dan oleh
ketua Mahkamah Agung pada tingkat pemeriksaan kasasi. Hal tersebut
merujuk pada aturan pasal 29 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP.
c. Mekanisme penahanan terdakwa oleh penuntut umum
Sebagaimana yang telah dijelaskan, wewenang melakukan penahanan
yang diberikan undang-undang adalah kepada penyidik, penuntut umum,
dan hakim. Khusus untuk penuntut umum kewenangan itu tertuang dalam
pasal 20 ayat (2) KUHAP.
Tahap penuntutan adalah tahap dimana tanggung jawab yuridis
terhadap perkara yang ditangani penyidik berpindah menjadi tanggung
jawab penuntut umum. Berpindahnya tanggung jawab itu termasuk pula
berpindahnya berkas perkara dan barang bukti, serta tersangka dan juga
saksi. Dari sinilah dimulai kewenangan penuntut umum untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka. Adapun mekanisme penahanan pada tahap
ini yang pertama merujuk dari bunyi pasal 20 ayat (2) yang menyatakan
bahwa penuntut umum berwenang melakukan penahanan guna
“kepentingan penuntutan”. Hal tersebut menandakan bahwa penahanan
yang dilakukan harus bertujuan untuk “kepentingan penuntutan”. Yang
dimaksud “kepentingan penuntutan” sebagaimana dikutip dari buku Yahya
Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP meliputi persiapan pembuatan surat dakwaan serta untuk
memudahkan menghadirkan terdakwa ke persidangan.
Kedua, dalam melakukan penahanan baik demi kepentingan
penyidikan maupun penuntutan harus bertitik tolak dari syarat-syarat
penahanan yang ditentukan KUHAP, yakni memenuhi ketentuan yang
diatur dalam pasal 21, yaitu :
- Syarat subjektif (ayat (1)):
Adanya dugaan keras tersangka sebagai pelaku tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup,
Adanya kekhawatiran :
a. tersangka/terdakwa melarikan diri
b. akan merusak atau menghilangkan barang bukti, atau
c. akan mengulangi perbuatannya
- syarat objektif, yaitu penahanan hanya dapat dilakukan terhadap
pelaku tindak pidana yang diancam dengan ancaman hukuman 5
tahun ke atas atau terhadap pasal-pasal tindak pidana yang disebut
satu per satu dalam pasal 21 ayat (4) huruf b.
Tidak ada aturan di internal lembaga Kejaksaan (khususnya
Kejaksaan Tinggi Bali) yang mengatur tentang bagaimana penuntut umum
menggunakan syarat subjektif yang terdapat pada pasal 21 ayat (1) KUHAP
mengenai kekhawatira penuntut umum terhadap terdakwa melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya.
Menurut Jaksa Lie Putra Setiawan, penuntut umum dalam
menggunakan pasal 21 ayat (1) diatas untuk menahan terdakwa harus
menilai dari subjektifitas terdakwa sejak saat dilakukannya tahap
penyidikan dan kemudian mengambil sikap secara objektif. Contoh yang
dapat dikemukakan yaitu ketika seorang yang bermasalah dengan hukum
dan dalam tahap menjalani proses hukum apakah dia kooperatif dengan
penegak hukum atau tidak, kemudian ketika akan diperiksa atau dimintai
keterangan apakah ada upaya melarikan diri atau tidak. Upaya melarikan
diri disini dapat dilihat ketika di beri surat pemanggilan oleh penyidik
apakah si tersangka berupaya segera untuk datang atau perlu untuk dijemput
secara paksa, atau ketika akan diperiksa tersangka ditemukan di tempat
yang jauh dari kediaman tempat tinggalnya, atau yang kedua
tersangka/terdakwa tidak memiliki tempat tinggal yang tetap diwilayah
hukum temapat dilakukannya penuntutan atau tidak ada yang dapat
bertanggung jawab terhadap dirinya apabila melarikan diri. Jadi
berdasarkan penilaian tersebut maka penuntut umum dapat menahan
seseorang sesuai pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Ketiga, selain dari pada 2 hal diatas, penahanan juga dilakukan
dengan merujuk pula pada ketentuan pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP.
Ketetuan pasal tersebut menyatakan bahwa penahanan oleh penyidik,
penuntut umum, atau hakim harus menyertakan Surat Perintah Penahanan
atau Surat Penetapan. Surat Perintah Penahanan merujuk kepada penyidik
dan penuntut umum, sedangkan Surat Penetapan merujuk kepada hakim.
Kedua surat tersebut baik Surat Perintah Penahanan maupun Surat
Penetapan harus memuat hal-hal :
identitas tersangka/terdakwa, nama, umur, pekerjaan, jenis
kelamin, dan tempat tinggal,
menyebut alasan penahanan,
uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang
didakwakan. Maksudnya agar yang bersangkutan tahu
mempersiapkan diri melakukan pembelaan dan juga untuk
kepastian hukum,
menyebutkan dengan jelas ditempat mana ia ditahan, untuk
memberi kepastian hukum bagi yang ditahan dan keluarganya.
Surat Perintah Penahanan tersebut wajib ditembuskan kepada pihak
keluarga dari terdakwa yang ditahan. Hal ini dimaksudkan, disamping
memberi kepastian kepada keluarga, juga sebagai usaha kontrol dari pihak
keluarga untuk menilai apakah tindakan penahanan sah atau tidak.8
Ke-empat, KUHAP pada bab V bagian kedua khususnya pasal 21
ayat (2) dan (3) hanya menyatakan bahwa penahanan harus dengan surat
perintah penahanan atau surat penetapan. Dalam prakteknya yang juga
merujuk pada ketentuan pasal 75 ayat (1) KUHAP, selain dari pada surat
perintah penahanan, penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga
melampirkan berita acara penahanan.
Berita Acara adalah catatan laporan yang dibuat oleh seseorang yang
berwenang mengenai waktu terjadinya, tempat, keterangan, dan petunjuk
lain tentang suatu perkara atau peristiwa.9
Jadi berita acara penahanan tersebut merupakan suatu laporan yang
dibuat penuntut umum mengenai tindakannya yang menahan seorang
terdakwa.
Adapun tempat penahanan terdakwa oleh penuntut umum di
Kejaksaan Tinggi Bali pada umumnya ditempatkan di Lembaga
8 Yahya Harahap, 2010. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi 2,
Cet.13, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 169
9 Asmu’I Syarkowi, 2006, Berita Acara Sebagai Akta Autentik di Pengadilan Agama.
Makalah disampaikan pada : Diklat di tempat kerja Pengadilan Agama, Waingapu, tanpa
tanggal.
Pemasyarakatan Kelas II a Denpasar atau di Rumah Tahanan Negara Kelas
II b Gianyar.
Penulis selama melakukan penelitian di Kejaksaan Tinggi Bali
sempat melihat ruang tahanan yang ada di Kejaksaan Tinggi Bali, namun
ketika penulis bertanya kepada Jaksa Lie Putra Setiawan, mengapa
terdakwa yang ditangani oleh penuntut umum di Kejaksaan Tinggi Bali
tidak ditahan di Ruang Tahanan yang ada di Kejaksaan Tinggi Bali. Adapun
jawaban yang dikemukakan oleh Jaksa Lie Putra Septiawan adalah karena
ruang tahanan tersebut tidak memiliki dasar hukum sebagai tempat
menahan seseorang sebagaimana yang dimiliki oleh LP atau RUTAN atau
kantor Polisi (Polsek, Polres, atau Polda). Ketiga lembaga tersebut memiliki
dasar hukum sebagai tempat menahanan seseorang, yang mana hal tersebut
dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Adapun kegunaan dari ruang
tahanan yang ada di Kejaksaan Tinggi Bali tersebut saat ini hanya untuk
menahan terdakwa selama kurang dari 1 x 24 jam. Hal tersebut bertujuan
untuk mempermudah proses pemeriksaan yang dilakukan Penuntut umum.
2.1.2.
Ada (beberapa) permasalahan terkait penyalahgunaan kewenangan
penuntut umum dalam melakukan penahanan sebagaimana pernah
Permasalahan yang Kerap Terjadi dari Kewenangan
Penahanan yang dimiliki Penuntut Umum
dikemukakan Jaksa Ida Bagus Candra secara tidak langsung kepada penulis.
Salah satunya adalah permasalahan penahanan terdakwa oleh penuntut yang
perkaranya ketika di tahap penyidikan belum lengkap.
Sebagaimana yang diketahui dalam proses peradilan pidana di
Indonesia, penuntut umum mempunyai tugas atau kewenangan memberi
petunjuk kepada penyidik yang menangangi suatu perkara pidana. Ketika
penyidik menangani perkara pidana yang berkasnya dirasa sudah lengkap
oleh penyidik, kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan agar di P21 (berkas
dinyatakan lengkap dan proses dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan).
Berkas limpahan dari penyidik tersebut sebelum dinyatakan lengkap,
penuntut umum yang ditunjuk untuk menangani berkewajiban untuk
meneliti terlebih dahulu berkas perkara tersebut. Ketika berkas perkara
setelah diteliti dirasa belum lengkap (belum cukup bukti) kemudian dalam
waktu maksimal 14 hari setelah diterimanya berkas oleh penuntut umum,
penuntut umum tersebut dapat mengembalikan berkas perkara yang dirasa
kurang itu kepada penyidik dengan disertai petunjuk, dan penyidik
berkewajiban untuk melengkapi berkas tersebut sesuai petunjuk yang di
berikan penuntut umum. Permasalahan yang kerap atau pernah terjadi di
Kejaksaan Tinggi Bali (dalam hubungan penyidik dengan penuntut umum)
menurut Jaksa Ida Bagus Candra, yaitu ketika berkas perkara yang
dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi
tersebut, penyidik beranggapan bahwa upaya yang dilakukan telah
maksimal sehingga tidak dapat memenuhi petunjuk dari penuntut umum.
Kemudian penyidik meminta agar berkas perkara tersebut di P21 atau telah
dinyatakan lengkap. Pada tahap ini beberapa kali sempat terjadi
permakluman oleh penuntut umum atas kemampuan penyidik dalam
melengkapi alat bukti, sehingga konsekuensinya adalah penuntut umum
yang melakukan pemeriksaan tambahan guna mencari atau melengkapi alat
bukti yang kurang tadi.
Yang fatal disini adalah ketika alat bukti yang kurang tersebut
berkaitan dengan penetapan status tersangka kepada seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana dan diangkat statusnya menjadi terdakwa.
Merujuk pada pasal 1 butir 14 KUHAP, dimana yang dimaksud tersangka
adalah seseorang yang karena perbuatannya, berdasarkan “bukti permulaan”
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dan terdakwa adalah tersangka
yang dituntut, diperiksa dan diadili di siding pengadilan. Ketika tidak
adanya bukti permulaan maka seharusnya seseorang tidak dapat ditetapkan
sebagai tersangka dan tentu juga secara otomatis tidak dapat ditahan dan
ditingkatkan statusnya sebagai terdakwa, karena sebagai mana yang pernah
dijelaskan diatas bahwa yang dapat ditahan menurut pasal 1 butir 21
KUHAP adalah hanya seseorang yang berstatus tersangka atau terdakwa.
Pengertian “bukti permulaan” yang cukup dapat merujuk pada Pasal 44 UU
KPK, diamana yang dimaksud adalah sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang
terdapat pada pasal 184 KUHAP.
Menyambung permasalahan diatas, dimana ketika penuntut umum
melakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi alat bukti yang kurang,
terhadap terdakwanya dilakukan penahanan. Disinilah letak salah satu
bentuk dari kesewenang-wenagan penuntut umum dalam menggunakan
kewenangannya untuk menahan seseorang.
Kasus diatas sama dengan kasus dugaan korupsi bioremediasi
karyawan PT. Chevron yang ditangani Kejaksaan Agung, dimana Bachtiar
Abdul Fatah selaku tersangka dalam kasus ini mem-praperadilkan status
tersangka dan penahanannya kepada Pengadilan Negeri Jakrta Selatan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui putusan No:
38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tertanggal 27 November 2012, memutus
bahwa status tersangka yang ditetapkan oleh penyidik kepada Bachtiar
Abdul Fatah dicabut dan penahanannya dinyatakan tidak sah. Hal ini di
dasari bahwa alat bukti yang dikemukakan penyidik dalam sidang
Praperadilan untuk menetapkan Bachtiar sebagai tersangka tidak cukup
(tidak berdasarkan 2 alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal
184 KUHAP), karena hanya ada surat panggilan saksi dan undangan ekspos
atau gelar perkara tanpa adanya berita acara pemeriksaan (BAP).
Ketika status tersangka dan penahanan telah dianggap tidak sah oleh
Pengadilan maka seseorang tersebut harus dibebaskan, namun pada
kenyataannya pada kasus Bachtiar tersebut tetap berlanjut, bahkan
prosesnya telah dilimpahkan ke tahap penuntutan dan Bachtiar Abdul Fatah
ditetapkan menjadi terdakwa dan ditahan. Dari hal tersebut muncul
pertanyaan, atas dasar apa penetapan terdakwa kepada Bachtiar Abdul Fatah
yang berujung dilakukannya penahanan? Bukankah sebelumnya telah ada
putusan praperadilan yang menyatakan status tersangkanya tidak sah dan
dengan begitu seharunya tidak ada terdakwa. Mengutip pendapat dari
Edward Omar Syarif Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Universitas
Gadjah Mada inilah yang disebut unfair prejudice.
2.2. Solusi
Dalam hal terjadi kesalahan atau kesewenangan yang dilakukan oleh
penuntut umum atau pun penegak hukum yang lain ketika melakukan
penahanan terhadap terdakwa, ia dapat melakukan upaya keberatan dengan
melalui praperadilan ke pengadilan negeri. Hal tersebut diatur pada pasal 77
KUHAP yang menyatakan : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa
dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini
tentang : a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan; b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan. Selain itu terdakwa atau ahli warisnya dapat pula meminta ganti
kerugian sebagaimana yang diatur pada pasal 95 dan 96 KUHAP, dalam hal
kesalahan atau kesewenangan penahanan yang dilakukan penuntut umum telah
dibuktikan dan diputus melalui sidang praperadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Mekanisme penahanan terdakwa oleh penuntut umum meliputi : yang
pertama merujuk pada pasal 20 ayat (2) KUHAP, yaitu untuk “kepentingan
penuntutan”. Jadi terdakwa dapat ditahan dalam hal yang berkaitan dengan
kepentingan penuntutan. Kedua, merujuk pada pasal 21 ayat (1) KUHAP,
ada kekhawatiran terdakwa melarikan diri, merusak/menghilangkan barang
bukti, atau mengulangi perbuatannya (syarat subjektif). Jaksa Lie Putra
Setiawan mengemukakan salah satu indicator kekhawatiran penuntut umum
itu timbul dengan melihat ketika perkara masih ditahap penyidikan, apakah
terdakwa kooperatif, apakah terdakwa perlu dijemput paksa ketika
dipanggil, apakah ketika ditangkap terdakwa berada jauh dari tempat
tinggalnya, dan terakhir dikarenakan terdakwa tidak memiliki tempat
tinggal tetap diwilayah hukum tempat perkara tersebut diperiksa dan tidak
seorangpun dapat menjamin bahwa terdakwa tidak melarikan diri. Masih
berkaitan dengan pasal 21 KUHAP, yatu pada ayat (4) (syarat objektif).
Dimana terdakwa dapat ditahan ketika perbuatannya diancam dengan
pidana diatas 5 tahun atau terhadap pasal-pasal tindak pidana yang disebut
satu per satu dalam pasal 21 ayat (4) huruf b. Ketiga, bahwa penahanan
yang dilakukan penuntut umum harus berdasar Surat Perintah Penahanan
1..
(vide pasal 21 ayat (2) KUHAP) yang mana dalam hal di Kejaksaan Tinggi
Bali dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Bali dan ditujukan kepada
penuntut umum yang menangani perkara bersangkutan. Ke-empat,
penahanan dilaksanakan dengan melampirkan Berita Acara Penahanan
(vide pasal 75 ayat (1) KUHAP). Dimana dalam Berita Acara Penahanan
ditanda tangani oleh Jaksa Penuntut Umum bersangkutan dan Terdakwa
yang ditahan.
Permasalahan yang timbul dari kewenangan penuntut umum dalam
mlakukan penahanan salah satunya yang dikemukakan oleh Jaksa Tinggi
Ida Bagus Argita Candra adalah kesewenang – wenangan. Kesewenangan
ini muncul ketika menangai perkara pidana yang status
tersangka/terdakwanya masih belum didasari dengan bukti permulaan untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka pada tahap penyidikan. Dalam hal
ini menurut Jaksa Tinggi tersebut, penyidik beberapa kali mengemukakan
bahwa upaya yang dilakukan telah maksimal sehingga bukti yang kurang
yang diminta penuntut umum dalam petunjuknya ketika melakukan
pemeriksaan terhadap berkas yang diajukan penyidik (sebelum tahap P21
atau berkas perkara dinyatakan lengkap ) tidak dapat dipenuhi.
Kesewenagan yang terjadi ketika hal tersebut dimaklumi oleh penuntut
umum (berkas di P21), dan pemeriksaan tambahan dilakukan sendiri oleh
penuntut umum yang tentunya dengan menahan si tersangka yang naik
statusnya menjadi terdakwa. Disinilah letak kesewenangannya ketika
2.
menahan seseorang yang disangka sebagai pelaku tindak pidana dengan
tanpa didasari bukti permulaan yang cukup sebelumnya. Bukti permulaan
tersebut di cari ketika status tersangka telah ditetapkan dan penahanan telah
dilakukan. Hal ini tidak sejalan dengan pasal 1 butir 21 KUHAP yang
menyatakan bahwa yang dapat ditahan adalah tersangka/terdakwa. Dan
sebagaimana pasal 1 butir 14, tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya berdasarkan “bukti permulaan” patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana. Dan terdakwa adalah tersangka yang dituntut, diperiksa dan
diadili di siding pengadilan (vide pasal 1 butir 15).
3.2. Saran
Oleh karena undang-undang memberi kewenangan kepada penuntut
umum untuk dapat menahan seseorang guna kepentingan penuntutan, perlu
kiranya penuntut umum tahu sebatas mana kewenangan yang diberikan dan
menggunakan kewenangan itu dengan bijak. Hal ini guna untuk menjaga
wibawa penuntut umum sebagai salah satu penegak hukum yang menjalankan
tugas dengan berdasar aturan hukum serta guna menghormati hak asasi manusia
yang tersangkut kasus hukum agar tidak dilanggar oleh kesewenang-wenangan
aparat penegak hukum (penuntut umum) itu sendiri.