LAPORAN MAHASISWA PRAKTEK KETERAMPILAN DAN KEMAHIRAN HUKUM (PKKH) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA...

33
LAPORAN MAHASISWA PRAKTEK KETERAMPILAN DAN KEMAHIRAN HUKUM (PKKH) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA PERIODE XXVII / 2013 JUDUL : MEKANISME PENAHANAN TERDAKWA OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DI KEJAKSAAN TINGGI BALI OLEH : NAMA : KOMANG HERRY TRISANTIKA S NIM : 1016051090 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

Transcript of LAPORAN MAHASISWA PRAKTEK KETERAMPILAN DAN KEMAHIRAN HUKUM (PKKH) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA...

LAPORAN MAHASISWA

PRAKTEK KETERAMPILAN DAN KEMAHIRAN HUKUM

(PKKH)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

PERIODE XXVII / 2013

JUDUL :

MEKANISME PENAHANAN TERDAKWA OLEH JAKSA

PENUNTUT UMUM DI KEJAKSAAN TINGGI BALI

OLEH :

NAMA : KOMANG HERRY TRISANTIKA S

NIM : 1016051090

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan

Yang Maha Esa), atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan

laporan akhir Praktek Kemahiran dan Ketrampilan Hukum dengan judul

”MEKANISME PENAHANAN TERDAKWA OLEH JAKSA PENUNTUT

UMUM DI KEJAKSAAN TINGGI BALI”. Dalam kesempatan ini, penulis

ingin mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan laporan ini, antara lain:

1. Bapak Prof. Dr.I.G.N. Wairocana, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. I Dewa Made Suartha,S.H,,M.H. Selaku Ketua Panitia

PKKH Periode XXVII Tahun 2013

3. Bapak Erbindo Saragih, S.H. Selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Bali.

4. Bapak Agustinus Djahamat, SH. selaku pembimbing Institusi Kejaksaan

Tinggi Bali.

5. Bapak I Gde Putra Ariana, S.H.,M.Kn. selaku pembimbing Fakultas

sekaligus pembimbing teknis yang dengan sabar membimbing dalam

penyusunan Laporan ini.

6. Kepala Bagian Tata Usaha, Jaksa beserta seluruh staf dan pegawai

Kejaksaan Tinggi Bali yang telah dengan sukarela membantu dalam

pelaksanaan PKKH.

7. Kedua orang tua dan keluarga besar yang selalu memberi semangat dan

doa restunya untuk melancarkan studi penulis guna kesuksesan dalam

studi ini.

8. Teman-teman peserta PKKH di Kejaksaan Tinggi Bali. Terima kasih

atas kebersamaan, kekeluargaan, kerjasama, motivasi serta segala

perhatiannya, sehingga laporan ini selesai tepat pada waktunya.

9. Semua rekan-rekan PKKH periode XXVII Tahun 2013 serta semua

pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang sudah ikut

membantu baik secara formal maupun materiil.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itulah penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang

bersifat membangun dari semua pembaca, Semoga laporan ini bisa bermanfaat

bagi semua pihak.

Denpasar, Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………….. i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ii

KATA PENGANTAR ………………………………………………… iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………... v

DISKRIPSI KELEMBAGAAN TEMPAT PKKH …………………. viii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1

1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………… 3

1.3. Tinjauan Pustaka ………………………………………….. 4

1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………….. 5

1.4.1. Tujuan Umum ……………………………………… 5

1.4.2. Tujuan Khusus ……………………………………... 5

1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………... 6

1.6. Metode Penelitian ………………………………………… 7

I. Jenis Penelitian …………………………………………. 7

II. Jenis Pendekatan …………………………………………... 7

III. Sumber Data ………...……………………………………. 8

IV. Data Penunjang …………………………………………… 9

V. Teknik Pengumpulan Data ………...……………………… 9

VI. Teknik Pengolahan dan Analisis ………………………….. 9

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………. 10

2.1. Analisis ………………………………………………….. 10

2.1.1. Mekanisme Penahanan Terdakwa oleh Penuntut

Umum …………………………………………….. 10

a. Pengertian Penahanan ………………………… 10

b. Yang Berwenang Menahan …………………… 12

c. Mekanisme Penahanan Terdakwa oleh Penuntut

Umum …………………………………………. 15

2.1.2. Permasalahan yang Terjadi dari Kewenangan

Penahanan yang dimiliki Penuntut Umum ……….. 20

2.2. Solusi ………………………………………………….... 24

BAB III PENUTUP .............................................................................. 25

3.1. Simpulan ............................................................................ 25

3.2. Saran .................................................................................. 27

DAFTAR BACAAN

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum

Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya

sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting keberadaannya dalam

menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas

negara dan (bahkan) merupakan lembaga moral yang berperan merehabilitasi

para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang seiring dengan

berkembangnya tindak pidana dari masa ke masa.

Hukum Pidana merupakan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi

siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut dan memenuhi unsur-

unsur yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Seperti perbuatan yang

dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain sebagainya.

Hukum pidana dikualifikasikan menjadi dua, yaitu hukum pidana

materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisikan tingkah

laku yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai

macam pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan kata lain hukum pidana materiil

berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan-ketentuan umum

yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut.1

Sedangkan hukum pidana formil atau juga disebut hukum acara pidana adalah

seluruh garis hukum, yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum

dan keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil.2

Wujud dari hukum pidana materiil tertuang dalam suatu bentuk

peraturan tertulis berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

sedangkan hukum pidana formil tertuang dalam bentuk Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum pidana formil (KUHAP) bertujuan

untuk menegakan hukum pidana materiil (KUHP) dan mengatur tentang

bagaimana caranya Negara dengan perantara badan-badan penegak hukumnya

dapat menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan

melaksanakan pidana.

Para penegak hukum baik polisi (penyidik), jaksa (penuntut umum), dan

hakim dalam melaksanakan proses penegakan hukum materiil dalam peradilan

pidana harus dilaksanakan berdasarkan apa yang telah tertuang dalam KUHAP

yang merupakan hukum formil. Dalam proses peradilan pidana ada beberapa

tahapan yang harus dilalui sebelum memutus suatu perbuatan apakah termasuk

perbuatan yang dapat dipidana atau bukan, yaitu proses penyidikan, penuntutan,

dan sidang pengadilan mulai pengadilan tahap pertama, banding, dan kasasi.

1. S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,

Alumni Ahaem, Jakarta, hlm. 20.

2. Ibid.

Dari sederet tahapan tersebut terkandung didalamnya kewenangan

penegak hukum yang dalam hal ini adalah penyidik, penuntut umum, dan

hakim untuk melakukan “penahanan” terhadap tersangka atau terdakwa yang

diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Penahanan tersebut menjadi hal

yang dilaksanakan guna kelancaran proses penegakan hukum. Namun perlu

diperhatikan pula bahwa penahanan termasuk pelanggaran terhadap hak asasi

manusia, khususnya hak kebebasan individu. Maka perlu kiranya untuk

diketahui dalam hal apa penahanan tersebut dibolehkan atau diizinkan dan

bagaimana proses yang harus dilalui agar penahanan tersebut tidak di anggap

sebagai tindakan yang melanggar hak kebebasan individu tadi.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam laporan ini penulis mengangkat 2 permasalahan yang akan

dibahas, yaitu :

1) Bagaimana mekanisme penahanan terdakwa oleh penuntut

umum ?

2) Permasalahan apa yang kerap terjadi dari kewenangan penuntut

umum dalam melakukan penahanan ?

1.3. Tinjauan Pustaka

Mekanisme secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses

pelaksanaan suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh seseorang atau beberapa

orang dengan menggunakan tatanan dan aturan serta adanya alur komunikasi

dan pembagian tugas sesuai dengan profesionalitas.3 Dari pengertian tersebut

dapat disimpulkan bahwa mekanisme merupakan kegiatan yang dilakukan

seseorang dalam menjalankan sesuatu dengan menggunakan cara dan aturan.

Penahanan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata “arrest”

yang dalam The Lexicon Webster’s Dictionary volume I mencakup arti antara

lain : to remain, to rest, to stop. Dalam bahasa Indonesia, yakni dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan tercakup arti penahanan yaitu : proses, perbuatan, cara menahan,

penghambatan. Hakikat daripada penahanan adalah penghambatan atas

kebebasan seseorang.4

Matiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Penangkapan dan

Penahanan menguraikan pengertian penahanan yaitu : “Penahanan adalah

tindakan untuk menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan

menempatkan ditempat tertentu, biasanya ditempatkan di rumah tahanan

3 http://pdipm-lamongan.blogspot.com/2011/07/mekanisme-kerja-ipm.html. dikutip

pada tanggal 26 Desember 2013 pukul 00.03 Wita.

4 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 1, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm. 117.

Negara yang dahulu disebut Lembaga Pemasyarakatan”.5 KUHAP dalam pasal

1 butir 21 memberikan definisi penahanan yaitu : penempatan tersangka atau

terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim

dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini. Dari bunyi pasal tersebut dapat diuraikan bahwa penahanan

merupakan :

1) Penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu,

2) Dilakukan oleh penyidik, penuntu umum, dan hakim dengan penetapan,

3) Dijalankan dengan cara yang diatur KUHAP.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

1. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis.

2. Sebagai laporan yang diperuntukkan untuk memenuhi kewajiban

yang bersifat akademik dalam rangka PKKH periode XXVII di

Kejaksaan Tinggi Bali.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk memahami dan mengetahui dalam hal apa saja penahanan

terhadap terdakwa itu diperlukan.

5 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan. Ghalia

2. Untuk memahami dan mengetahui bagaimana mekanisme

penahanan pada tahap penuntutan di instansi Kejaksaan.

1.5. Manfaat Penelitian

Salah satu aspek penting dari kegiatan penelitian adalah menyangkut

kegunaan hasil dari penelitian di lapangan. Penelitian ini diharapkan dapat

memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

1. Untuk memperluas khasanah berpikir tentang mekanisme

penahanan pada tahap penuntutan di instansi Kejaksaan.

2. Memberikan tambahan referensi khususnya bagi pihak institusi

pendidikan dalam penelitian terhadap mekanisme penahanan

pada tahap penuntutan di instansi Kejaksaan RI.

b. Manfaat Praktis

Sebagai wawasan dan informasi agar masyarakat luas semakin

menyadari bahwa penahanan merupakan tindakan yang melanggar hak

asasi seseorang namun dapat dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan

dengan penegakan hukum.

1.6. Metode Penelitian

I. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum dibedakan menjadi dua, yaitu normatif dan

empiris. Dalam penulisan laporan ini digunakan penelitian hukum empiris,

yaitu pendekatan yang didasarkan pada aturan-aturan hukum dalam

mengkaji permasalahan yang ada dan dikaitkan dengan pelaksanaannya

dalam masyarakat. Dengan kata lain terhadap permasalahan yang terdapat

dalam laporan ini akan dikaji dari ketentuan-ketentuan hukum yang terkait

dan mengaturnya kemudian mengaitkannya dengan kenyataan yang

sebenarnya terjadi dilapangan.

II. Jenis Pendekatan

Jenis penelitian yang penulis terapkan dalam laporan PKKH ini,

mengacu pada beberapa pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), yaitu

pendekatan masalah yang berdasarkan pada teori-teori hukum

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang ada

kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Pendekatan Fakta (The Fact Approach), yaitu pendekatan

masalah yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di

lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan

dibahas.

III. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan laporan ini berupa

data primer dan data skunder, sebagai berikut :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan, berupa data

dari hasil observasi secara langsung dan interview dengan

beberapa Jaksa Tinggi Pidana Umum dan Jaksa Tinggi Pidana

Khusus di Kejaksaan Tinggi Bali.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara

membaca literatur dan perundang-undangan yang ada

relevansinya dengan permasalahan yang akan dibahas, yang

terdiri dari :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Undang-undang No 16 Tahun 2003 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

d. International Covenat on Civil and Political Right

e. Undang - Undang No 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant on Civil and

Political Rights

IV. DATA PENUNJANG

Data penunjang, yaitu data yang diperoleh dengan membaca buku -

buku atau literatur, hasil-hasil karya dari kalangan hukum serta artikel-

artikel yang diperoleh dari media cetak dan elektronik yang berkaitan

dengan permasalahan yang diangkat.

V. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan teknik interview,

yaitu sebagai suatu proses tanya jawab lisan dengan informan terkait untuk

memperoleh data. Sedangkan pengumpulan data yang diperoleh dalam

penelitian kepustakaan dilakukan dengan pencatatan, yaitu pencatatan teori-

teori, isi ketentuan perundang-undangan yang relevan, serta dokumen-

dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

VI. Teknik Pengolahan dan Analisis

Adapun teknik pengolahan data yaitu setelah data terkumpul

kemudian mengadakan sistematisasi terhadap data-data tersebut.

Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap data-data tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis, kemudian setelah mengadakan

sestematisasi data dianalisis lalu melakukan interpretasi atau penafsiran

terhadap data tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Analisis

2.1.1. Mekanisme Penahanan Terdakwa oleh Penuntut Umum

Sebelum membahas tentang mekanisme penahanan terdakwa, perlu

kiranya sedikit untuk membahasa tentang pengertian penahanan dan siapa

saja yang berwenang untuk melakukan penahanan.

a. Pengertian penahanan

Penahanan, sebagaimana telah dikutip sebelumnya dari pengertian

Matiman Prodjohamidjojo adalah tindakan untuk menghentikan

kemerdekaan tersangka atau terdakwa dan menempatkan ditempat tertentu,

biasanya ditempatkan di Rumah Tahanan Negara yang dahulu disebut

Lembaga Pemasyarakatan.

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan

bergerak seseorang.6 Jadi, disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu

hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus

dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang

6. Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Cet. Ketujuh,

Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 129.

harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan

jahat tersangka.7

Oleh karena ada hak asasi manusia yang dilanggar, maka perlu dibuat

pengecualian atas hal tersebut. Sebagaimana article 9. 1. ICCPR

menyatakan : “Everyone has the right to liberty and security of person. No

one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be

deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such

procedure as are establish by law”. Yang diterjemahakan ke bahasa

Indonesia menjadi : “Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan

pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-

wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali

berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan oleh hukum”.

Kalimat terakhir dari article 9. 1. ICCPR memberi ruang

pengecualian untuk penahanan terhadap seseorang, yakni berdasarkan

alasan dan sesuai prosedur yang diatur Undang-undang. ICCPR yang

singkatan dari International Covenant on Civil and Political Right

merupakan instrument internasional tentang hak asasi manusia yang telah

diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui UU No 12

Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and

Political Rights. Namun bila dilihat kebelakang jauh sebelum ratifikasi

7. Ibid.

tersebut dilakukan, ternyata Indonesia telah memiliki aturan hukum yang

sejalan dengan article 9. 1. ICCPR mengenai penahanan. Pengaturan

tersebut tertuang dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

atau lazim disebut KUHAP.

Dalam pasal 1 butir 21, KUHAP telah memberikan definisi yuridis

tentang penahanan, yaitu “penempatan tersangka atau terdakwa ditempat

tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan

penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang

ini”. Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa yang boleh ditahan hanyalah

“tersangka” atau “terdakwa”. Pengertian yuridis mengenai tersangka dan

terdakwa terdapat pada pasal 1 butir 14 dan butir 15 KUHAP. Tersangka

sebagaimana pasal 1 butir 14 adalah seorang yang karena perbuatannya

atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

pelaku tindak pidana. Sedangkan terdakwa menurut pasal 1 butir 15 adalah

seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang

pengadilan.

b. Yang berwenang melakukan penahanan

KUHAP dalam pasal 1 butir 21 menyebutkan : “…oleh penyidik atau

penuntut umum atau hakim dengan penetapannya …”. Jadi yang dapat

melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim.

Kewenangan itu dipertegas pula pada pasal 20 ayat (1), (2), dan (3)

KUHAP. Penyidik dalam pasal 1 butir 1 KUHAP adalah pejabat polisi

Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Penuntut umum dalam pasal 1 butir 6 b adalah jaksa yang diberi wewenang

oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim. Sedangkan hakim pada pasal 1 butir 8 adalah pejabat

peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

mengadili.

Merujuk pada pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP, penyidik diberi

kewenangan untuk melakukan penahanan hanya untuk kepentingan

penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, serta hakim

untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Yang dimaksud

dengan penyidikan dan penuntutan dapat dilihat pada pasal 1 butir 2

KUHAP yang menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dan

pada pasal 1 butir 7 yang menyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan

penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri

yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di

sidang pengadilan.

Para penegak hukum diatas yaitu penyidik, penuntut umum, dan

hakim memiliki batas waktu untuk melakukan penahanan terhadap

tersangka atau terdakwa yang ditentutan pula di dalam KUHAP. Untuk

penyidik sebagaimana pasal 24 ayat (1) KUHAP memberi batas waktu

penahanan selama 20 hari. Apabila pemeriksaan di tingkat penyidikan

belum selesai selama 20 hari itu, maka dapat diperpanjang selama 40 hari

oleh izin penuntut umum (vide pasal 24 ayat (2) ). Sedangkan penuntut

umum sebagaimana pasal 25 ayat (1) memiliki batas waktu penahanan

selama 20 hari, dan dapat diperpanjang 30 hari atas izin ketua pengadilan

negeri apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum

selesai (vide pasal 25 ayat (2) ). Kemudian hakim pengadilan negeri guna

pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama dan hakim pengadilan

tinggi guna kepentingan pemeriksaan banding memiliki batas waktu masing

selama 30 hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri untuk

tingkat pertama dan ketua pengadilan tinggi untuk tingkat banding selama

60 hari. Dan yang terakhir hakim Mahakamah Agung memiliki kewenangan

menahan selama 50 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua

mahkamah agung.

Jadi, seseorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan

dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling

lama 400 hari. Namun dikecualikan apabila tersangka atau terdakwa

menderita gangguan fisik atau mental yang berat dan dibuktikan dengan

surat keterangan dokter atau tindak pidana yang diduga dilakukan diancam

pidana penjara selama 9 tahun atau lebih, perpanjangan penahanannya dapat

dilakukan sebanyak 2 kali yang masing-masing selama 30 hari.

Perpanjangan penahanan tersebut diberikan oleh ketua pengadilan negeri

apabila pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, oleh ketua

pengadilan tinggi apabila pemeriksaan disidang pengadilan negeri. Dalam

tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung dan oleh

ketua Mahkamah Agung pada tingkat pemeriksaan kasasi. Hal tersebut

merujuk pada aturan pasal 29 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP.

c. Mekanisme penahanan terdakwa oleh penuntut umum

Sebagaimana yang telah dijelaskan, wewenang melakukan penahanan

yang diberikan undang-undang adalah kepada penyidik, penuntut umum,

dan hakim. Khusus untuk penuntut umum kewenangan itu tertuang dalam

pasal 20 ayat (2) KUHAP.

Tahap penuntutan adalah tahap dimana tanggung jawab yuridis

terhadap perkara yang ditangani penyidik berpindah menjadi tanggung

jawab penuntut umum. Berpindahnya tanggung jawab itu termasuk pula

berpindahnya berkas perkara dan barang bukti, serta tersangka dan juga

saksi. Dari sinilah dimulai kewenangan penuntut umum untuk melakukan

penahanan terhadap tersangka. Adapun mekanisme penahanan pada tahap

ini yang pertama merujuk dari bunyi pasal 20 ayat (2) yang menyatakan

bahwa penuntut umum berwenang melakukan penahanan guna

“kepentingan penuntutan”. Hal tersebut menandakan bahwa penahanan

yang dilakukan harus bertujuan untuk “kepentingan penuntutan”. Yang

dimaksud “kepentingan penuntutan” sebagaimana dikutip dari buku Yahya

Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP meliputi persiapan pembuatan surat dakwaan serta untuk

memudahkan menghadirkan terdakwa ke persidangan.

Kedua, dalam melakukan penahanan baik demi kepentingan

penyidikan maupun penuntutan harus bertitik tolak dari syarat-syarat

penahanan yang ditentukan KUHAP, yakni memenuhi ketentuan yang

diatur dalam pasal 21, yaitu :

- Syarat subjektif (ayat (1)):

Adanya dugaan keras tersangka sebagai pelaku tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup,

Adanya kekhawatiran :

a. tersangka/terdakwa melarikan diri

b. akan merusak atau menghilangkan barang bukti, atau

c. akan mengulangi perbuatannya

- syarat objektif, yaitu penahanan hanya dapat dilakukan terhadap

pelaku tindak pidana yang diancam dengan ancaman hukuman 5

tahun ke atas atau terhadap pasal-pasal tindak pidana yang disebut

satu per satu dalam pasal 21 ayat (4) huruf b.

Tidak ada aturan di internal lembaga Kejaksaan (khususnya

Kejaksaan Tinggi Bali) yang mengatur tentang bagaimana penuntut umum

menggunakan syarat subjektif yang terdapat pada pasal 21 ayat (1) KUHAP

mengenai kekhawatira penuntut umum terhadap terdakwa melarikan diri,

merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya.

Menurut Jaksa Lie Putra Setiawan, penuntut umum dalam

menggunakan pasal 21 ayat (1) diatas untuk menahan terdakwa harus

menilai dari subjektifitas terdakwa sejak saat dilakukannya tahap

penyidikan dan kemudian mengambil sikap secara objektif. Contoh yang

dapat dikemukakan yaitu ketika seorang yang bermasalah dengan hukum

dan dalam tahap menjalani proses hukum apakah dia kooperatif dengan

penegak hukum atau tidak, kemudian ketika akan diperiksa atau dimintai

keterangan apakah ada upaya melarikan diri atau tidak. Upaya melarikan

diri disini dapat dilihat ketika di beri surat pemanggilan oleh penyidik

apakah si tersangka berupaya segera untuk datang atau perlu untuk dijemput

secara paksa, atau ketika akan diperiksa tersangka ditemukan di tempat

yang jauh dari kediaman tempat tinggalnya, atau yang kedua

tersangka/terdakwa tidak memiliki tempat tinggal yang tetap diwilayah

hukum temapat dilakukannya penuntutan atau tidak ada yang dapat

bertanggung jawab terhadap dirinya apabila melarikan diri. Jadi

berdasarkan penilaian tersebut maka penuntut umum dapat menahan

seseorang sesuai pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Ketiga, selain dari pada 2 hal diatas, penahanan juga dilakukan

dengan merujuk pula pada ketentuan pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP.

Ketetuan pasal tersebut menyatakan bahwa penahanan oleh penyidik,

penuntut umum, atau hakim harus menyertakan Surat Perintah Penahanan

atau Surat Penetapan. Surat Perintah Penahanan merujuk kepada penyidik

dan penuntut umum, sedangkan Surat Penetapan merujuk kepada hakim.

Kedua surat tersebut baik Surat Perintah Penahanan maupun Surat

Penetapan harus memuat hal-hal :

identitas tersangka/terdakwa, nama, umur, pekerjaan, jenis

kelamin, dan tempat tinggal,

menyebut alasan penahanan,

uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang

didakwakan. Maksudnya agar yang bersangkutan tahu

mempersiapkan diri melakukan pembelaan dan juga untuk

kepastian hukum,

menyebutkan dengan jelas ditempat mana ia ditahan, untuk

memberi kepastian hukum bagi yang ditahan dan keluarganya.

Surat Perintah Penahanan tersebut wajib ditembuskan kepada pihak

keluarga dari terdakwa yang ditahan. Hal ini dimaksudkan, disamping

memberi kepastian kepada keluarga, juga sebagai usaha kontrol dari pihak

keluarga untuk menilai apakah tindakan penahanan sah atau tidak.8

Ke-empat, KUHAP pada bab V bagian kedua khususnya pasal 21

ayat (2) dan (3) hanya menyatakan bahwa penahanan harus dengan surat

perintah penahanan atau surat penetapan. Dalam prakteknya yang juga

merujuk pada ketentuan pasal 75 ayat (1) KUHAP, selain dari pada surat

perintah penahanan, penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga

melampirkan berita acara penahanan.

Berita Acara adalah catatan laporan yang dibuat oleh seseorang yang

berwenang mengenai waktu terjadinya, tempat, keterangan, dan petunjuk

lain tentang suatu perkara atau peristiwa.9

Jadi berita acara penahanan tersebut merupakan suatu laporan yang

dibuat penuntut umum mengenai tindakannya yang menahan seorang

terdakwa.

Adapun tempat penahanan terdakwa oleh penuntut umum di

Kejaksaan Tinggi Bali pada umumnya ditempatkan di Lembaga

8 Yahya Harahap, 2010. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi 2,

Cet.13, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 169

9 Asmu’I Syarkowi, 2006, Berita Acara Sebagai Akta Autentik di Pengadilan Agama.

Makalah disampaikan pada : Diklat di tempat kerja Pengadilan Agama, Waingapu, tanpa

tanggal.

Pemasyarakatan Kelas II a Denpasar atau di Rumah Tahanan Negara Kelas

II b Gianyar.

Penulis selama melakukan penelitian di Kejaksaan Tinggi Bali

sempat melihat ruang tahanan yang ada di Kejaksaan Tinggi Bali, namun

ketika penulis bertanya kepada Jaksa Lie Putra Setiawan, mengapa

terdakwa yang ditangani oleh penuntut umum di Kejaksaan Tinggi Bali

tidak ditahan di Ruang Tahanan yang ada di Kejaksaan Tinggi Bali. Adapun

jawaban yang dikemukakan oleh Jaksa Lie Putra Septiawan adalah karena

ruang tahanan tersebut tidak memiliki dasar hukum sebagai tempat

menahan seseorang sebagaimana yang dimiliki oleh LP atau RUTAN atau

kantor Polisi (Polsek, Polres, atau Polda). Ketiga lembaga tersebut memiliki

dasar hukum sebagai tempat menahanan seseorang, yang mana hal tersebut

dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Adapun kegunaan dari ruang

tahanan yang ada di Kejaksaan Tinggi Bali tersebut saat ini hanya untuk

menahan terdakwa selama kurang dari 1 x 24 jam. Hal tersebut bertujuan

untuk mempermudah proses pemeriksaan yang dilakukan Penuntut umum.

2.1.2.

Ada (beberapa) permasalahan terkait penyalahgunaan kewenangan

penuntut umum dalam melakukan penahanan sebagaimana pernah

Permasalahan yang Kerap Terjadi dari Kewenangan

Penahanan yang dimiliki Penuntut Umum

dikemukakan Jaksa Ida Bagus Candra secara tidak langsung kepada penulis.

Salah satunya adalah permasalahan penahanan terdakwa oleh penuntut yang

perkaranya ketika di tahap penyidikan belum lengkap.

Sebagaimana yang diketahui dalam proses peradilan pidana di

Indonesia, penuntut umum mempunyai tugas atau kewenangan memberi

petunjuk kepada penyidik yang menangangi suatu perkara pidana. Ketika

penyidik menangani perkara pidana yang berkasnya dirasa sudah lengkap

oleh penyidik, kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan agar di P21 (berkas

dinyatakan lengkap dan proses dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan).

Berkas limpahan dari penyidik tersebut sebelum dinyatakan lengkap,

penuntut umum yang ditunjuk untuk menangani berkewajiban untuk

meneliti terlebih dahulu berkas perkara tersebut. Ketika berkas perkara

setelah diteliti dirasa belum lengkap (belum cukup bukti) kemudian dalam

waktu maksimal 14 hari setelah diterimanya berkas oleh penuntut umum,

penuntut umum tersebut dapat mengembalikan berkas perkara yang dirasa

kurang itu kepada penyidik dengan disertai petunjuk, dan penyidik

berkewajiban untuk melengkapi berkas tersebut sesuai petunjuk yang di

berikan penuntut umum. Permasalahan yang kerap atau pernah terjadi di

Kejaksaan Tinggi Bali (dalam hubungan penyidik dengan penuntut umum)

menurut Jaksa Ida Bagus Candra, yaitu ketika berkas perkara yang

dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi

tersebut, penyidik beranggapan bahwa upaya yang dilakukan telah

maksimal sehingga tidak dapat memenuhi petunjuk dari penuntut umum.

Kemudian penyidik meminta agar berkas perkara tersebut di P21 atau telah

dinyatakan lengkap. Pada tahap ini beberapa kali sempat terjadi

permakluman oleh penuntut umum atas kemampuan penyidik dalam

melengkapi alat bukti, sehingga konsekuensinya adalah penuntut umum

yang melakukan pemeriksaan tambahan guna mencari atau melengkapi alat

bukti yang kurang tadi.

Yang fatal disini adalah ketika alat bukti yang kurang tersebut

berkaitan dengan penetapan status tersangka kepada seseorang yang diduga

melakukan tindak pidana dan diangkat statusnya menjadi terdakwa.

Merujuk pada pasal 1 butir 14 KUHAP, dimana yang dimaksud tersangka

adalah seseorang yang karena perbuatannya, berdasarkan “bukti permulaan”

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dan terdakwa adalah tersangka

yang dituntut, diperiksa dan diadili di siding pengadilan. Ketika tidak

adanya bukti permulaan maka seharusnya seseorang tidak dapat ditetapkan

sebagai tersangka dan tentu juga secara otomatis tidak dapat ditahan dan

ditingkatkan statusnya sebagai terdakwa, karena sebagai mana yang pernah

dijelaskan diatas bahwa yang dapat ditahan menurut pasal 1 butir 21

KUHAP adalah hanya seseorang yang berstatus tersangka atau terdakwa.

Pengertian “bukti permulaan” yang cukup dapat merujuk pada Pasal 44 UU

KPK, diamana yang dimaksud adalah sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang

terdapat pada pasal 184 KUHAP.

Menyambung permasalahan diatas, dimana ketika penuntut umum

melakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi alat bukti yang kurang,

terhadap terdakwanya dilakukan penahanan. Disinilah letak salah satu

bentuk dari kesewenang-wenagan penuntut umum dalam menggunakan

kewenangannya untuk menahan seseorang.

Kasus diatas sama dengan kasus dugaan korupsi bioremediasi

karyawan PT. Chevron yang ditangani Kejaksaan Agung, dimana Bachtiar

Abdul Fatah selaku tersangka dalam kasus ini mem-praperadilkan status

tersangka dan penahanannya kepada Pengadilan Negeri Jakrta Selatan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui putusan No:

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tertanggal 27 November 2012, memutus

bahwa status tersangka yang ditetapkan oleh penyidik kepada Bachtiar

Abdul Fatah dicabut dan penahanannya dinyatakan tidak sah. Hal ini di

dasari bahwa alat bukti yang dikemukakan penyidik dalam sidang

Praperadilan untuk menetapkan Bachtiar sebagai tersangka tidak cukup

(tidak berdasarkan 2 alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal

184 KUHAP), karena hanya ada surat panggilan saksi dan undangan ekspos

atau gelar perkara tanpa adanya berita acara pemeriksaan (BAP).

Ketika status tersangka dan penahanan telah dianggap tidak sah oleh

Pengadilan maka seseorang tersebut harus dibebaskan, namun pada

kenyataannya pada kasus Bachtiar tersebut tetap berlanjut, bahkan

prosesnya telah dilimpahkan ke tahap penuntutan dan Bachtiar Abdul Fatah

ditetapkan menjadi terdakwa dan ditahan. Dari hal tersebut muncul

pertanyaan, atas dasar apa penetapan terdakwa kepada Bachtiar Abdul Fatah

yang berujung dilakukannya penahanan? Bukankah sebelumnya telah ada

putusan praperadilan yang menyatakan status tersangkanya tidak sah dan

dengan begitu seharunya tidak ada terdakwa. Mengutip pendapat dari

Edward Omar Syarif Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Universitas

Gadjah Mada inilah yang disebut unfair prejudice.

2.2. Solusi

Dalam hal terjadi kesalahan atau kesewenangan yang dilakukan oleh

penuntut umum atau pun penegak hukum yang lain ketika melakukan

penahanan terhadap terdakwa, ia dapat melakukan upaya keberatan dengan

melalui praperadilan ke pengadilan negeri. Hal tersebut diatur pada pasal 77

KUHAP yang menyatakan : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa

dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini

tentang : a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan; b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi

seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau

penuntutan. Selain itu terdakwa atau ahli warisnya dapat pula meminta ganti

kerugian sebagaimana yang diatur pada pasal 95 dan 96 KUHAP, dalam hal

kesalahan atau kesewenangan penahanan yang dilakukan penuntut umum telah

dibuktikan dan diputus melalui sidang praperadilan.

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Mekanisme penahanan terdakwa oleh penuntut umum meliputi : yang

pertama merujuk pada pasal 20 ayat (2) KUHAP, yaitu untuk “kepentingan

penuntutan”. Jadi terdakwa dapat ditahan dalam hal yang berkaitan dengan

kepentingan penuntutan. Kedua, merujuk pada pasal 21 ayat (1) KUHAP,

ada kekhawatiran terdakwa melarikan diri, merusak/menghilangkan barang

bukti, atau mengulangi perbuatannya (syarat subjektif). Jaksa Lie Putra

Setiawan mengemukakan salah satu indicator kekhawatiran penuntut umum

itu timbul dengan melihat ketika perkara masih ditahap penyidikan, apakah

terdakwa kooperatif, apakah terdakwa perlu dijemput paksa ketika

dipanggil, apakah ketika ditangkap terdakwa berada jauh dari tempat

tinggalnya, dan terakhir dikarenakan terdakwa tidak memiliki tempat

tinggal tetap diwilayah hukum tempat perkara tersebut diperiksa dan tidak

seorangpun dapat menjamin bahwa terdakwa tidak melarikan diri. Masih

berkaitan dengan pasal 21 KUHAP, yatu pada ayat (4) (syarat objektif).

Dimana terdakwa dapat ditahan ketika perbuatannya diancam dengan

pidana diatas 5 tahun atau terhadap pasal-pasal tindak pidana yang disebut

satu per satu dalam pasal 21 ayat (4) huruf b. Ketiga, bahwa penahanan

yang dilakukan penuntut umum harus berdasar Surat Perintah Penahanan

1..

(vide pasal 21 ayat (2) KUHAP) yang mana dalam hal di Kejaksaan Tinggi

Bali dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Bali dan ditujukan kepada

penuntut umum yang menangani perkara bersangkutan. Ke-empat,

penahanan dilaksanakan dengan melampirkan Berita Acara Penahanan

(vide pasal 75 ayat (1) KUHAP). Dimana dalam Berita Acara Penahanan

ditanda tangani oleh Jaksa Penuntut Umum bersangkutan dan Terdakwa

yang ditahan.

Permasalahan yang timbul dari kewenangan penuntut umum dalam

mlakukan penahanan salah satunya yang dikemukakan oleh Jaksa Tinggi

Ida Bagus Argita Candra adalah kesewenang – wenangan. Kesewenangan

ini muncul ketika menangai perkara pidana yang status

tersangka/terdakwanya masih belum didasari dengan bukti permulaan untuk

menetapkan seseorang sebagai tersangka pada tahap penyidikan. Dalam hal

ini menurut Jaksa Tinggi tersebut, penyidik beberapa kali mengemukakan

bahwa upaya yang dilakukan telah maksimal sehingga bukti yang kurang

yang diminta penuntut umum dalam petunjuknya ketika melakukan

pemeriksaan terhadap berkas yang diajukan penyidik (sebelum tahap P21

atau berkas perkara dinyatakan lengkap ) tidak dapat dipenuhi.

Kesewenagan yang terjadi ketika hal tersebut dimaklumi oleh penuntut

umum (berkas di P21), dan pemeriksaan tambahan dilakukan sendiri oleh

penuntut umum yang tentunya dengan menahan si tersangka yang naik

statusnya menjadi terdakwa. Disinilah letak kesewenangannya ketika

2.

menahan seseorang yang disangka sebagai pelaku tindak pidana dengan

tanpa didasari bukti permulaan yang cukup sebelumnya. Bukti permulaan

tersebut di cari ketika status tersangka telah ditetapkan dan penahanan telah

dilakukan. Hal ini tidak sejalan dengan pasal 1 butir 21 KUHAP yang

menyatakan bahwa yang dapat ditahan adalah tersangka/terdakwa. Dan

sebagaimana pasal 1 butir 14, tersangka adalah seorang yang karena

perbuatannya berdasarkan “bukti permulaan” patut diduga sebagai pelaku

tindak pidana. Dan terdakwa adalah tersangka yang dituntut, diperiksa dan

diadili di siding pengadilan (vide pasal 1 butir 15).

3.2. Saran

Oleh karena undang-undang memberi kewenangan kepada penuntut

umum untuk dapat menahan seseorang guna kepentingan penuntutan, perlu

kiranya penuntut umum tahu sebatas mana kewenangan yang diberikan dan

menggunakan kewenangan itu dengan bijak. Hal ini guna untuk menjaga

wibawa penuntut umum sebagai salah satu penegak hukum yang menjalankan

tugas dengan berdasar aturan hukum serta guna menghormati hak asasi manusia

yang tersangkut kasus hukum agar tidak dilanggar oleh kesewenang-wenangan

aparat penegak hukum (penuntut umum) itu sendiri.