Post on 22-Feb-2023
PAPER PEREKONOMIAN INDONESIA
KEEFEKTIFAN KEBIJAKAN MONETER INFLATION
TARGETING FRAMEWORK DALAM MEMELIHARA
KESTABILAN NILAI RUPIAH
OLEH: LUH CINTHIA FATMA DEWI
1106009116
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2014
STATEMENT OF AUTHORSHIP
“Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa
makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan Saya
sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang Saya gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah
disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata
ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami
menyatakan dengan jelas menggunakannya. Kami memahami bahwa tugas
yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Mata Ajaran : Perekonomian Indonesia
Judul Makalah/Tugas : KEEFEKTIFAN KEBIJAKAN MONETER INFLATION
TARGETING FRAMEWORK DALAM MEMELIHARA KESTABILAN
NILAI RUPIAH
Tanggal : 14 Juni 2014
Dosen : Maddaremmeng A. Panennungi (MAP)
Asisten : Diaz Erlangga
Nama Mahasiswa : Luh Cinthia Fatma Dewi
NPM : 1106009116
Tanda Tangan :
ABSTRAKBank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memeliharakestabilan nilai rupiah. Dalam melaksanakan kebijakan moneter,Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakanInflation Targeting Framework (ITF) dengan menganut sistem nilai tukaryang mengambang (free floating). Kerangka kerja ini diterapkansecara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakankebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagaisasaran kebijakan moneter. Dibawah kerangka Inflation Targeting,jajaran dewan Gubernur Bank Indonesia menetapkan BI Rate sebagaiinstrument kebijakan untuk merefleksikan stance kebijakan moneter.Dilihat dari trend inflasi aktual dari tahun 2005-2013 BankIndonesia Hanya berhasil Mencapai target inflasi sebanyak duakali. Selain itu volatilitas inflasi juga sangat tinggi. Melihathasil tersebut, keefektifan dari kebijakan ITF dipertanyakan.Namun demikian, hal tersebut bukan disebabkan oleh tidakefektifnya ITF. Sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanyaberasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh BankIndonesia. Karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderungbergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi Volatile inflationberkenaan dengan gangguan produksi, distribusi dan shock hargakomoditas utama. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapatberasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditasstrategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered
prices). Untuk mencapai target inflasi yang rendah dan stabil,diperlukan pengendalian inflasi melalui kerjasama dan koordinasilintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah.Pada akhirnya, dengan stabilnya nilai rupiah hal ini juga dapatmendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraanmasyarakat.
Keyword: Inflation Targeting Framework, Bank Indonesia, Volatile Inflation,Administered price, BI Rate.
1.PendahuluanBank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam
UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Sehubungan dengan itu, yang dimaksud dengan kestabilan nilai
rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang
dan jasa yang tercermin pada inflasi. Peran kestabilan nilai
tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem
keuangan.
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia
menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting
Framework (ITF) dengan menganut sistem nilai tukar yang
mengambang (free floating). Kerangka kerja ini diterapkan secara
formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan
moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran
kebijakan moneter.
Melalui kerangka kebijakan ini, Bank Indonesia akan
mengumumkan secara eksplisit mengenai sasaran inflasi yang akan
dicapai kepada publik. Selanjutnya kebijakan moneter akan
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi tersebut. Kerangka
kebijakan ini juga nantinya akan memberikan transparansi dan
akuntabilitas kebijakan publik. Bank Indonesia menyebutkan bahwa
untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter yang
harus dilakukan bersifat forward looking artinya perubahan stance
kebijakan moneter akan dilakukan dengan evaluasi terhadap
pergerakan inflasi kedepannya masih sesuai dengan sasaran inflasi
yang telah ditargetkan atau tidak. Secara operasional, stance
kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga
kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga
pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit
perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan
memengaruhi output dan inflasi.
Tingkat inflasi yang digunakan dalam mengukur sasaran
inflasi merupakan Headline inflation atau inflasi IHK. Proyeksi akan
tingkat inflasi ini merupakan salah satu ukuran inflasi yang di
dalamnya terdapat variabel inflasi inti (core inflation), Inflasi
komponen harga yang diatur pemerintah (administered inflation) dan
inflasi komponen bergejolak (volatile inflation). Karena tingkat
inflasi tidak sepenuhnya berada dalam kebijakan BI, maka Bank
Indonesia akan melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang
dimiliki apabila proyeksi inflasi yang sudah tidak kompatibel
dengan sasaran. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui
sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan
moneter, sebaliknya, apabila proyeksi inflasi dibawah sasaran
maka Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneter ekspansif.
Mengapa kestabilan harga yang tercermin dari tingkat inflasi
penting, hal ini dikarenakan apabila tingkat inflasi tinggi, maka
pendapatan riil masyarakat akan terus sehingga standar hidup
masyarakat akan semakin rendah dan tingkat kesejahteraan
masyarakat menurun, atau dengan kata lain masyarakat bertambah
miskin. Selain itu, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi
dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan
tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga
dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Sebaliknya apabila
inflasi terlalu rendah, hal ini berdampak pada rendahnya
pertumbuhan ekonomi dan tingginya angka pengangguran, seperti
yang disebutkan dalam kurva Phillips. Di sisi lain, apabila
inflasi terlalu volatile, hal ini akan menyebabkan adanya
ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan
untuk konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Melihat begitu pentingnya inflasi bagi perekonomian, hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk melihat keefektifan
kebijakan Inflation Targeting Framework dalam upaya menjaga kestabilan
nilai rupiah. Nantinya di dalam analisis akan dilihat bagaimana
ketercapaian sasaran inflasi sejak tahun diberlakukannya kerangka
kebijakan ini dengan angka inflasi aktual yang terjadi. Dengan
demikian dapat dikaji apakah kebijakan Inflation Targeting Framework
telah sesuai untuk dijalankan di Indonesia atau tidak.
2.AnalisisBanyak alasan yang telah didokumentasikan dengan baik
sebagai faktor dibalik perubahan kerangka base money targeting
kearah Inflation Targeting yang sekarang. Keefektifan kebijakan base
money targeting telah secara signifikan gagal sejak pertengahan
tahun 1990. Terutama setelah krisis finansial Asia Timur pada
tahun 1997, (Siregar, et.al.(2009). Boediono (1998) menggaris
bawahi dua alas an dibalik hal itu. Yang pertama terkait koneksi
dengan instrument pasar terbuka, pasar untuk sekuritas dari Bank
Sentral dan pasar uang relatif kecil dan tersegmentasi. Yang
kedua, ada periode pro-cyclicality dari base money. Selama periode
peningkatan ekonomi, kenaikan permintaan agregat telah diikuti
dengan kenaikan peminjaman asing dan juga likuidasi SBI, yang
mengakibatkan adanya kenaikan jumlah money supply yang sangat
banyak. Selain itu, melihat perkembangan kesuksesan dari Negara-
negara yang telah sebelumnya menganut kebijakan IT, yang mampu
mempertahankan inflasi tanpa meningkatkan gejolak output juga
memperngaruhi keputusan untuk mengadopsi kebijakan IT di
Indonesia (Alamsyah, et.al. (2001)
Dibawah kerangka Inflation Targeting, jajaran dewan Gubernur Bank
Indonesia menetapkan BI Rate sebagai instrument kebijakan untuk
merefleksikan stance kebijakan moneter. Scatterplot diagram di
bawah ini menunjukkan bagaimana pencapaian target inflasi yang
direncanakan oleh BI selama periode 2005 sampai 2013.
Figure 1
(Sumber http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/bi-dan-inflasi/Contents/Penetapan.aspx yang
divisualisasi penulis)
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa target inflasi
hanya tercapai sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2007 dan tahun
2011(data lengkap pada lampiran 1 dan 2). Dilihat dari trend
inflasi aktual dari tahun 2005-2013, dapat dikatakan bahwa
inflasi Indonesia sangat bergejolak. Hal ini tentu berdampak
tidak baik bagi perekonomian Indonesia. Sebab, adanya volatilitas
yang tinggi pada tingkat inflasi menyebabkan adanya
ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dan dapat menyebabkan
terganggunya pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian perlu dilakukan
analisa lebih lanjut mengenai hal apa sajakah yang menyebabkan
tingginya volatilitas tingkat inflasi yang tentu saja mengganggu
stabilitas nilai rupiah.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, tujuan
kebijakan moneter yang dijalankan Bank Indonesia adalah menjaga
dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang mana salah satu
cerminannya berupa tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Namun
demikian, melihat pada bukti statistik yang ada, kebijakan
moneter melalui Inflation Targeting Framework belum memenuhi tujuan
tersebut. Hal ditandai dengan adanya volatilitas yang tinggi pada
tingkat inflasi. Apakah hal ini menandakan ketidakefektifan
kebijakan Inflation Targeting Framework?
2.1 Analisis Kebijakan Moneter dalam Mencapai Target Inflasi
Untuk mencapai suatu target inflasi, Bank Indonesia
menggunakan salah satu instrument utama melalui penetapan suku
bunga atau kebijakan (BI Rate) untuk mempengaruhi aktivitas
kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian
inflasi. Untuk mencapai satu tingkat inflasi tertentu, instrumen
kebijakan suku bunga harus melalui jalur transmisi yang cukup
panjang dengan periode tertentu (time lag). Apabila digambarkan,
proses transmisi kebijakan suku bunga BI sampai mencapai sasaran
inflasi adalah sebagai berikut.
Figure 2
(Sumber:http://
www.bi.go.id/id/moneter/transmisi-kebijakan/Contents/Default.aspx)
Proses kebijakan BI Rate dalam mempengaruhi inflasi dimulai
dengan adanya mekanisme penetapan suku bunga BI yang melibatkan
interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan,
serta sektor riil. Perubahan BI rate ini pertama-tama akan
mempengaruhi keadaan pada pasar uang antar bank (PUAB). Adanya
kebijakan kontraktif atau ekspansif pada suku bunga nantinya akan
mempengaruhi suku bunga deposito, dan suku bunga kredit. Dalam
keadaan perekonomian yang lesu, Bank Indonesia akan berupaya
menstimulus perekonomian melalui kebijakan moneter ekspansif.
Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga sehingga suku bunga
kredit menurun dan biaya modal juga menurun. Dengan demikian
penurunan suku bunga ini akan menyebabkan aktifitas konsumsi
meningkat dan keinginan orang untuk memegang uang lebih tinggi.
Hal ini juga disertai dengan meningkatnya investasi, sehingga
menaikkan laju inflasi. Dengan demikian, harga saham, dan
obligasi juga terpengaruh karena adanya perubahan tingkat
investasi. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami
kenaikan, Bank Indonesia merespon melalui kebijakan moneter
kontraktif dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk menekan
aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi
laju inflasi. Berikut adalah gambaran kebijakan moneter
ekspansif dan kontraktif yang mempengaruhi harga dan output,
digambarkan melalui kurva IS-LM dan agregat Supply dan Demand.
Figure 3
a. Kebijakan moneter ekspansif b. kebijakan moneter kontraktif
Selain mempengaruhi suku bunga deposito, kredit dan harga
saham, perubahan BI Rate juga mempengaruhi nilai tukar. Kenaikan BI
Rate akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di
Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan semakin besarnya
selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk
menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di
Indonesia seperti SBI. Aliran modal masuk asing ini pada
gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah karena
permintaan rupiah meningkat seiring dengan investasi dari luar
negeri meningkat. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang
impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi
relatif lebih mahal. Akibatnya produk ekspor kurang kompetitif
dan nilai ekspor menurun. Hal ini dapat berdampak pada turunnya
net ekspor yang menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Untuk
mengatasi hal tersebut Bank Sentral akan berupaya untuk
menurunkan kembali suku bunga sehingga rupiah terdepresiasi dan
berdampak pada meningkatnya ekspor dan mengurangi impor, sehingga
net ekspor meningkat dan kondisi perekonomian kembali bertumbuh.
Kebijakan moneter BI terkait suku bunga ini pada dasarnya akan
membentuk sebuah siklus yang berupaya untuk menjaga kestabilan
perekonomian.
Dampak perubahan suku bunga pada aktivitas ekonomi juga
berpengaruh terhadap ekspektasi publik akan inflasi (jalur
ekspektasi). Adanya penurunan suku bunga akan menjadi stimulus
yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibatnya, maka
hal ini akan menyebabkan kenaikan inflasi. Masyarakat umumnya
akan merespon adanya ekspektasi terhadap inflasi ini melalui
permintaan kenaikan upah, yang pada akhirnya menyebabkan
perusahaan membebankan kenaikan upah ini terhadap produk sehingga
terjadi kenaikan harga.
Dalam upaya memenuhi target inflasi, mekanisme transmisi
kebijakan moneter memerlukan periode waktu tertentu (time lag)
agar kebijakan moneter dapat benar-benar bekerja mempengaruhi
inflasi. Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang
lain. Perubahan suku bunga pada jalur nilai tukar biasanya
menghabiskan waktu tercepat. Kondisi sektor keuangan dan
perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan transmisi
kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian
cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga
biasanya sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh salah satu
komponen yang berada di dalam suku bunga kredit adalah tingkat
risiko disamping biaya operasional perbankan. Begitu pula,
apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki
permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya
permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan
penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga
kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya
permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian
sedang lesu. Pada akhirnya, kondisi sektor keuangan, sektor
perbankan dan sektor riil sangat mempengaruhi cepat lambatnya
transmisi kebijakan moneter dalam upaya mencapai stabilitas
ekonomi melalui pencapain sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
2.2 Pengaruh Disagregasi Inflasi IHK dalam mencapai Inflation
Targeting Framework
Secara sederhana, inflasi diartikan sebagai kenaikan harga-
harga secara umum dan terus menerus. Seperti yang telah
disebutkan pada bagian awal, yang menjadi target inflasi dalam
Inflation Targeting Framework adalah Inflasi IHK atau Headline Inflation.
Selanjutnya pada bagian ini akan dijelaskan komponen apa saja
yang menyusun headline inflation tersebut.
Pada dasarnya Bank Indonesia sebagai Bank Sentral mampu
memepengaruhi inflasi dengan transmisi kebijakan-kebijakan
moneter seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Akan tetapi kebijakan moneter BI tersebut hanya terbatas pada
lingkup untuk mengatur keadaan inflasi inti (core inflation) melalui
campur tangan terhadap suku bunga. Namun, untuk mencapai target
inflasi sesuai dengan Inflation Targeting Framework, diperlukan
pencapaian target Headline Inflasi yang mana komponennya tersususn
atas Core Inflation, administered inflation dan volatile inflation. Hal inilah
yang menyebabkan seringkali target inflasi aktual berada diluar
yang ditargetkan, sebab BI sendiri tidak mampu mengatur dua
komponen lainnya dalam headline inflation. Dengan demikian sering
disebutkan bahwa Inflation Targeting Framework tidak efektif untuk
mencapai sasarannya.
Di Indonesia sendiri, disagegasi inflasi IHK atau headline
Inflation tersebut dikelompokan menjadi:
1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap
atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi
dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
Interaksi permintaan-penawaran
Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi
internasional, inflasi mitra dagang
Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
Komponen inilah yang pada dasarnya dapat dipengaruhi oleh campur
tangan Bank Indonesia melalui kebijakan-kebijakan moneter oleh
bank sentral. Dengan demikian, melalui sinyal ekonomi yang
dikirimkan melalui interaksi permintaan ataupun penawaran,
begitu pula akibat adanya perubahan nilai tukar, ataupun
perdagangan internasional, BI dapat mempengaruhi ekonomi melalui
kebijakan ekspansif atau kontraktifnya.
2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi
volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor
fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :
Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food):
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan)
dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam,
atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik
maupun perkembangan harga komoditas pangan
internasional.
Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered
Prices):
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan)
berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM
bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
Komponen Inflasi ini pada dasarnya tidak dapat dipengaruhi oleh
kebijakan BI. Oleh karenanya tercapai atau tidaknya Inflation
Targeting Framework juga sangat dipengaruhi oleh komponen ini yang
berada di luar kekuasaan Bank Indonesia.
KesimpulanInflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk
mewujudkan stabilnya nilai rupiah guna meningkatkan perekonomian.
Salah Satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk
mencapai kestabilan nilai rupiah yang tercermin melalui inflasi
adalah dengan menerapkan kebijakan Inflation Targeting Framework. Namun
demikian, sejak kebijakan ini pertama kali diterapkan di tahun
2005 sampai dengan tahun 2013, hasil yang dicapai belum
memuaskan. Bank Indonesia hanya berhasil mencapai target inflasi
sebanyak dua kali dalam delapan tahun diterapkannya kebijakan
ini. Melihat hasil tersebut, keefektifan dari kebijakan ITF
dipertanyakan sebab selama delapan tahun berjalan, inflasi aktual
menunjukkan volatilitas yang sangat tinggi. Hal tersebut
disebabkan oleh sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya
berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank
Indonesia. Karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung
bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi Volatile inflation
berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi dan shock harga
komoditas utama. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat
berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas
strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered
prices).
RekomendasiMelihat fakta bahwa sasaran inflasi yang ditagetkan Bank
Indonesia melalui Inflation Targeting Framework masih rentan terhadap
shocks akibat adanya faktor-faktor lain di luar kewenangan Bank
Indonesia, untuk mencapai target inflasi yang rendah dan stabil,
diperlukan pengendalian inflasi melalui kerjasama dan koordinasi
lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah.
Kebijakan-kebijakan moneter BI harus dapat didukung melalui
kebijakan pemerintah dan sebaliknya. Dengan adanya harmonisasi
dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan
stabil dapat tercapai sehingga tujuan utama Bank Indonesia untuk
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat tercapai. Pada akhirnya,
dengan stabilnya nilai rupiah hal ini juga dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
APENDIKS
Lampiran 1: Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi
Tahun Target InflasiInflasi Aktual
(%, yoy)
2001 4% - 6% 12,55
2002 9% - 10% 10,03
2003 9 +1% 5,06
2004 5,5 +1% 6,40
2005 6 +1% 17,11
2006 8 +1% 6,60
2007 6 +1% 6,59
2008 5 +1% 11,06
2009 4,5 +1% 2,78
2010 5+1% 6,96
2011 5+1% 3,79
2012 4.5+1% 4,30
2013 4.5+1% 8,38
2014* 4.5+1% -
2015* 4+1% *) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012.
Sumber:
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/bi-dan-inflasi/Contents/Penetapan.aspx
Lampiran 2: LAPORAN INFLASI (Indeks Harga Konsumen)
Berdasarkan perhitungan inflasi tahunan
Bulan Tahun Tingkat Inflasi
Mei 2014 7.32 % April 2014 7.25 % Maret 2014 7.32 % Februari 2014 7.75 % Januari 2014 8.22 % Desember 2013 8.38 % Nopember 2013 8.37 % Oktober 2013 8.32 % September 2013 8.40 % Agustus 2013 8.79 % Juli 2013 8.61 % Juni 2013 5.90 %
Mei 2013 5.47 % April 2013 5.57 % Maret 2013 5.90 % Februari 2013 5.31 % Januari 2013 4.57 % Desember 2012 4.30 % Nopember 2012 4.32 % Oktober 2012 4.61 % September 2012 4.31 % Agustus 2012 4.58 % Juli 2012 4.56 % Juni 2012 4.53 % Mei 2012 4.45 % April 2012 4.50 % Maret 2012 3.97 % Februari 2012 3.56 % Januari 2012 3.65 % Desember 2011 3.79 % Nopember 2011 4.15 % Oktober 2011 4.42 % September 2011 4.61 % Agustus 2011 4.79 % Juli 2011 4.61 % Juni 2011 5.54 % Mei 2011 5.98 % April 2011 6.16 % Maret 2011 6.65 % Februari 2011 6.84 %
Januari 2011 7.02 % Desember 2010 6.96 % Nopember 2010 6.33 % Oktober 2010 5.67 % September 2010 5.80 % Agustus 2010 6.44 % Juli 2010 6.22 % Juni 2010 5.05 % Mei 2010 4.16 % April 2010 3.91 % Maret 2010 3.43 % Februari 2010 3.81 % Januari 2010 3.72 % Desember 2009 2.78 % Nopember 2009 2.41 % Oktober 2009 2.57 % September 2009 2.83 % Agustus 2009 2.75 % Juli 2009 2.71 % Juni 2009 3.65 % Mei 2009 6.04 % April 2009 7.31 % Maret 2009 7.92 % Februari 2009 8.60 % Januari 2009 9.17 % Desember 2008 11.06 % Nopember 2008 11.68 %
Oktober 2008 11.77 % September 2008 12.14 % Agustus 2008 11.85 % Juli 2008 11.90 % Juni 2008 11.03 % Mei 2008 10.38 % April 2008 8.96 % Maret 2008 8.17 % Februari 2008 7.40 % Januari 2008 7.36 % Desember 2007 6.59 % Nopember 2007 6.71 % Oktober 2007 6.88 % September 2007 6.95 % Agustus 2007 6.51 % Juli 2007 6.06 % Juni 2007 5.77 % Mei 2007 6.01 % April 2007 6.29 % Maret 2007 6.52 % Februari 2007 6.30 % Januari 2007 6.26 % Desember 2006 6.60 % Nopember 2006 5.27 % Oktober 2006 6.29 % September 2006 14.55 % Agustus 2006 14.90 %
Juli 2006 15.15 % Juni 2006 15.53 % Mei 2006 15.60 % April 2006 15.40 % Maret 2006 15.74 % Februari 2006 17.92 % Januari 2006 17.03 % Desember 2005 17.11 % Nopember 2005 18.38 % Oktober 2005 17.89 % September 2005 9.06 % Agustus 2005 8.33 % Juli 2005 7.84 % Juni 2005 7.42 % Mei 2005 7.40 % April 2005 8.12 % Maret 2005 8.81 % Februari 2005 7.15 % Januari 2005 7.32 %
Sumber: http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/Default.aspx
Lampiran 3: Skema Kordinasi antara Bank Indonesia Dengan
pemerintah
Sumber: http://www.bi.go.id/id/moneter/koordinasi-pengendalian-inflasi/Contents/
Default.aspx
REFERENSI
Alamsyah, H., Joseph, C., Agung, J and Zulverdy, D., (2001), “Towards Implementation of Inflation Targeting in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37,No.3, pp. 309-324.
Inoue, Takeshi, Yuki Toyoshima, and Shigeyuki, Hamori, 2012, Inflation Targeting in Korea Indonesia, Thailand and the Philipines: The impact on Business cycle synchronization between each country and the world. Institute of developing Economies Discussion Paper No. 328
Mankiw, N.G., Macroeconomics 7th Ed.
Siregar, Reza Yamora, Goo, Siwei, 2009, Effectiveness and commitment to inflation targeting policy: evidence from Indonesia and Thailand. The South East Asian Central Banks Research and Training Centre.
http://www.bi.go.id/id/moneter/kerangka-kebijakan/Contents/
Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/kerangka-kebijakan/Contents/
Mengapa.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/bi-dan-inflasi/Contents/
Penetapan.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/
Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/
Disagregasi.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/
Pentingnya.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/koordinasi-pengendalian-inflasi/
Contents/Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/transmisi-kebijakan/Contents/
Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/kerangka-kebijakan/Contents/
Bagaimana.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/kerangka-kebijakan/Contents/
Mengapa.aspx