Kestabilan dan Kematangan Emosional

33
Kestabilan dan Kematangan Emosional Istilah kematangan emosional dapat didefinisikan secara luas yang menyangkut berbagai motif, ciri dan nilai yang saling berhubungan. Seseorang yang matang secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak menderita kekacauan psikologis yang berat. Orang yang matang secara emosional memiliki kesadaran yang lebih tepat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka dan mereka berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya menolak adanya kelemahan dan memfantasikan keberhasilan. Orang yang memiliki kematangan emosional yang tinggi tidak terlalu egosentris (mereka lebih memperhatikan orang lain), mereka lebih banyak memiliki kendali terhadap diri sendiri (tidak impulsif, lebih stabil untuk melawan godaan hedonistis), memiliki lebih banyak emosi yang stabil (tidak mudah berpindah dari keadaan jiwa yang ekstrem atau sentakan kemarahan), dan mereka tidak terlalu bersikap defensif (mereka lebih dapat menerima kritik, lebih bersedia belajar dari pengalaman). Besar kemungkinannya bahwa orang demikian juga berada pada tingkat perkembangan moral kognitif yang tinggi. Hasilnya, para pemimpin yang memiliki kematangan emosional yang memiliki lebih banyak

Transcript of Kestabilan dan Kematangan Emosional

Kestabilan dan Kematangan Emosional

Istilah kematangan emosional dapat didefinisikan

secara luas yang menyangkut berbagai motif, ciri dan

nilai yang saling berhubungan. Seseorang yang matang

secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan baik

dan tidak menderita kekacauan psikologis yang berat.

Orang yang matang secara emosional memiliki kesadaran

yang lebih tepat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka

dan mereka berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya

menolak adanya kelemahan dan memfantasikan

keberhasilan. Orang yang memiliki kematangan emosional

yang tinggi tidak terlalu egosentris (mereka lebih

memperhatikan orang lain), mereka lebih banyak memiliki

kendali terhadap diri sendiri (tidak impulsif, lebih

stabil untuk melawan godaan hedonistis), memiliki lebih

banyak emosi yang stabil (tidak mudah berpindah dari

keadaan jiwa yang ekstrem atau sentakan kemarahan), dan

mereka tidak terlalu bersikap defensif (mereka lebih

dapat menerima kritik, lebih bersedia belajar dari

pengalaman). Besar kemungkinannya bahwa orang demikian

juga berada pada tingkat perkembangan moral kognitif

yang tinggi. Hasilnya, para pemimpin yang memiliki

kematangan emosional yang memiliki lebih banyak

hubungan kerja sama dengan para bawahan, rekan sejawat,

dan atasan.

Kebanyakan penelitian empiris tentang ciri

menunjukkan bahwa komponen utama kematangan emosional

berhubungan dengan efektifitas manajerial dan kemajuan

(Bass, 1990). Studi yang dilakukan oleh McClaudey dan

Lombardo (1990) dengan sebuah ukuran yang disebut

“Benchmarks” (tolok ukur) menemukan bahwa para manajer

yang sadar akan dirinya dan memiliki keinginan untuk

memperbaiki diri akan mencapai kemajuan yang lebih.

Objektivitas mengenai dirinya dan penyesuaian umum

telah memprediksikan adanya promosi 20 tahun kemudian

dalam studi atas AT&T oleh Howard dan Bray (1998).

Penelitian yang lain telah menemukan bahwa para

eksekutif yang efektif memiliki pengertian yang baik

mengenai kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan mereka

berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya hanya

sekedar bertahan (Bennis&Nanus, 1985; Tichy&Devanna,

1986). Penelitian mengenai orientasi kekuasaan personal

dan sosial memberikan bukti tambahan tentang pentingnya

kematangan emosional bagi kepemimpinan yang efektif.

Penelitian mengenai kecintaan pada diri sendiri

(narcissism) memberikan wawasan tambahan mengenai

kesulitan yang ditemui oleh para pemimpin yang

kekurangan kematangan emosional. Kecintaan ppada diri

sendiri menunjuk kepada suatu sindrom kepribadian yang

menyangkut keburuhan luar biasa akan rasa dihormati

(misalnya, prestise, status, perhatian, kekaguman,

pujian yang berlebihan) suatu kebutuhan yang kuat akan

kekuasaan, pengendalian diri yang lemah, dan

ketidakacuhan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan

orang lain. Sindrom kepribadian tersebut dapat diukur

dengan sebuah skala laporan sendiri yang disebut

Narcisssistic Personality Inventory/Inventris

Kepribadian Narsissistik (Raskin & Hall, 1981).

Kecintaan pada diri sendiri termasuk banyak aspek dari

orientasi kekuasaan personal (House & Howell, 1992).

Para peneliti yang memiliki latar belakang

psikologi klinik dan psikoanalisis telah menjelaskan

asal dari kecintaan pada diri sendiri dan perilaku yang

berkaitan dengannya (Kets de Vries & Miller, 1984,

1985; Raskin, Novacek & Hogan, 1991). Orang-orang yang

orang tuanya tidak responsif dan menolak secara

emosional bisa percaya bahwa mereka tidak dapat

bergantung pada cinta atau kesetiaan seseorang. Dalam

usahanya untuk menanggulangi rasa kehilangan dan rasa

kesepian dalam diri mereka, para narcissist yang ekstrem

ini menyibukkan diri dengan meneguhkan kekuasaan

status, dan prestise mereka. Mereka memiliki fantasi

tentang sukses dan kekuasaan. Mereka memiliki perasaan

yang membeesar-besarkan dan berlebihan mengenai

pentingnya diri mereka dan bakat unik yang mereka

miliki. Untuk mendukung penipuan diri tersebut, mereka

mencari perhatian dan kekaguman yang terus-menerus dari

orang lain. Karena mereka demikian sibuknya dengan

kebutuhan ego mereka sendiri, para narcissist ini hanya

memiliki sedikit empati atau perhatian terhadap

perasaan dan kebutuhan orang lain. Mereka

mengeksploitasi dan memanipulasi orang lain untuk

mengikuti keinginan hati mereka akan kehendak

membesarkan dirinya tanpa merasa menyesal sama sekali.

Mereka mengharapkan kebaikan yang istimewa dari orang

lain tanpa merasakan kebutuhan untuk membalasnya. Para

narssist cenderung untuk menyederhanakan hubungan dan

motivasi manusia secara berlebihan dan melihat antara

para pendukung yang setia dan musuh. Mereka amat

bersifat defensif, dan kritik apa pun dari orang lain

akan diartikan sebagai tanda menolak atau tidak setia.

Meskipun terkadang mampu menarik hati dan membantu,

mereka memiliki kecenderungan untuk bertindak agresif

dan kejam terhadap orang yang menentang mereka atau

yang menghalangi mereka.

Para narcissist yang berada dalam posisi

kepemimpinan memiliki sejumlah kekurangan karakteristik

(Kets de Vries & Miller, 1984, 1985). Mereka

mengelilingi diri mereka dengan para bawahan yang setia

dan tidak kritis. Mereka membuat keputusan tanpa

mengumpulkan informasi yang cukup mengenai lingkungan.

Dalam kepercayaan bahwa hanya mereka yang memiliki

informasi yang cukup dan memiliki bakat untuk mengambil

proyek yang ambisius dan besar sekali untuk

mengharumkan nama mereka, namun karena tidak semua

analisis yang cukup mengenai situasi, maka proyek

tersebut dapat berisiko dan tidak realistis. Bila

sebuah proyek tidak berjalan dengan baik, mereka

cenderung mengabaikan atau menolak informasi yang

negatif, dan dengan demikian mereka melepaskan peluang

untuk mengoreksi masalah pada waktu yang tepat untuk

mengindari kehancuran. Bilamana kegagalan itu nyata,

pemimpin yang narcissist menolak mengakui tanggung jawab

apapun, namun sebaliknya mencari kambing hitam untuk

dipersalahkan. Akhirnya, karena mereka mnegekploitasi

organisasi tersebut untuk mengkompensasikan perasaan

ketidakmampuan mereka, para narcissist yyang ekstrem tidak

mampu merencanakan suksesi yang teratur dari

kepemimpinan. Mereka melihat diri mereka sebagai orang

yang sangat dibutuhkan dan berkeras berpegang pada

kekuasaan, sebagai kebalikan dari para eksekutif yang

matang yang mampu mengundurkan diri secara anggun bila

tugas mereka telah selesai dan sudah waktunya bagi

suatu kepemimpinan yang baru.

Integritas Pribadi

Integritas berarti bahwa perilaku seseorang

konsisten dengan nilai yang menyertainya, dan orang

tersebut bersifat jujur, etis, dan dapat dipercaya.

Integritas merupakan penentu utama mengenai apakah

orang akan merasakan bahwa seorang pemimpin dapat

dipercaya atau tidak. Kecuali dirasakan bahwa orang

tersebut sebagai orang yang dapat dipercaya, maka sukar

sekali untuk mempertahankan kesetiaan dari para bawahan

atau untuk mendapatkan kerjasama dan dukungan dari para

rekan sejawat dan atasan. Selain itu, sebuah penentu

yang penting dari kekuasaan berdasarkan keahlian dan

berdasarkan referensi adalah persepsi dari orang lain

bahwa seseorang itu dapat dipercaya.

Berbagai jenis perilaku berhubungan dengan

integritas, sebuah petunjuk penting tentang integritas

adalah sejauh mana orang itu jujur dan dapat dipercaya

daripada memperdayanya. Para pemimpin akan kehilangan

kredibilitas bila orang menemukan bahwa mereka telah

berbohon atau membuat pernyataan yang menyimpang secara

berlebihan dari yang sebenarnya. Indikator lain

mengenai integritas adalah menepati janji. Orang akan

segan membuat persetujuan dengan seorang pemimpin yang

tidak dapat dipercaya akan menepati janji. Indikator

ketiga mengenai integritas adalah sejauh mana seorang

pemimpin memenuhi tanggung jawabnya terhadap

pengikutnya akan hilang bila mereka mengetahui bahwa

pemimpin tersebut telah mengeksploitasi atau

memanupulasi mereka untuk mengejar kepentingan sendiri.

Indikator keempat mengenai integritas adalah sejauh

mana seorang pemimpin dapat dipercaya untuk tidak

mengulangi secara sembarangan apa yang disampaikan

secara amat rahasia. Orang tidak akan meneruskan

informasi yang penting serta sensitif kepada seorang

pemimpin yang tidak dapat dipercaya untuk menyimpan

rahasia. Penentu utama dari integritas yang dirasakan

adalah sejauh mana perilaku seorang pemimpin itu

konsisten dengan nilai-nilai yang berulang kali

disampaikan kepada para pengikutnya. Seorang pemimpin

yang mengharapkan dapat mengilhami orang lain untuk

mendukung ideologi atau visi harus menjadi contoh dalam

perilakunya sendiri. Akhirnya, integritas juga berarti

mengambil tanggung jawab terhadap tindakan dan

keputusannya. Para pemimpin akan kelihatan lemah dan

tidak dapat dipercaya bila mereka membuat keputusan

atau mengambil posisi atas sebuah masalah, kemudian

mencoba untuk menolak tanggung jawab bila keputusan

tersebut gagal atau posisi tersebut menjadi

kontroversial.

Integritas sebagaimana telah disebut sebagai

sebuah nilai yang penting oleh sebagian besar dari 45

chief executives Inggris dalam sebuah studi yang dilakukan

oleh Cox dan Cooper (1989). Studi CCL yang dijelaskan

sebelumnya pada bab ini menemukan bahwa kurangnya

integritas adalah hal yang umum di antara para manajer

yang kariernya menyimpang, sedangkan para manajer yang

berhasil dianggap sebagai orang yang memiliki

integritas tinggi. Para manajer yang sukses bersifat

jujur dan dapat dipercaya, seperti yang tercermin pada

ajaran berikut (McCall & Lombardo, 1983b, hlm.

30) :”Saya akan melakukan tepat seperti apa yang saya

katakan akan saya lakukan saat saya mengatakan akan

melakukannya. Jika saya mengubah pikiran saya, saya

akan memberitahu Anda sedini mungkin sehingga Anda

tidak akan dirugikan oleh tindakan saya.”

Motivasi Kekuasaan

Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi akan

kekuasaan senang mempengaruhi orang lain maupun

peristiwa, dan besar kemungkinan berusaha untuk

mendapatkan posisi otoritas. Kebanyakan studi menemukan

hubungan yang kuat antara keutuhan akan kekuasaan

dengan kemajuan ke tingkat manajemen yang lebih tinggi

dalam organisasi yang besar (misalnya, Howard & Bray,

1988; McClelland & Boyatzis, 1982; Stahl, 1983). Orang

yang memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan

mencari posisi otoritas dan kekuasaan, dan lebih besar

kemungkinannya bagi mereka untuk membiasakan diri

dengan politik kekuasaan organisasi.

Sebuah kebutuhan akan kekuasaan relevan dengan

persyaratan peran manajerial yang melibatkan penggunaan

kekuasaan dan pengaruh. Para manajer di organisasi yang

besar harus menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi

para bawahan, rekan sejawat, dan atasan. Orang yang

memiliki kebutuhan yang rendah akan kekuasaan biasanya

tidak memiliki keinginan dan ketegasan yang dibutuhkan

untuk mengorganisasi dan memimpin kegiatan kelompok,

untuk mengosiasikan persetujuan yang menguntungkan,

untuk melakukan lobby agar mendapatkan sumber daya yang

dibutuhkan untuk menganjurkan dan mempromosikan

perubahan yang diinginkan dan untuk menegakkan disiplin

yang diperlukan. Seseorang yang merasa bahwa perilaku

demikian adalah sulit dan menganggu secara emosional

atau yang percaya bahwa menggunakan kekuasaan kepada

orang lain sebagai hal yang salah tidak mungkin

memenuhi persyaratan peran dari manajerial (Miner,

1985).

Suatu kebutuhan akan kekuasaan memang diperlukan,

namun efektivitas seorang manajer juga tergantung pada

bagaimana kebutuhan tersebut dapat diwujudkan.

Penelitian empiris menunjukan bahwa suatu orientasi

kepada kekuasaan yang disosialisasikan akan lebih besar

kemungkinannya akan menghasilkan kepemimpinan yang

efektif daripada orientasi kepada kekuasaan yang

dijadikan secara personal (Boyatzis, 1982; House,

Spangler & Woycke, 1991; McClelland & Buurnham, 1976).

Hingga kini hanya beberapa studi yang telah menguji

perilaku yang berhubungan dengan masing-masing

orientasi kekuasaan, namun hasilnya menyatakan bahwa

para manajer yang memiliki kekuasaan secara personal

memiliki perilaku dengan cara berbeda daripada manajer

yang memiliki kekuasaan sosialisasi (McClelland, 1975,

1985).

Para manajer yang memiliki orientasi kepada suatu

kekuasaan yang personal menggunakan kekuasaan untuk

membesarkan diri mereka sendiri dan memuaskan kebutuhan

untuk dihormati dan memiliki status yang kuat. Mereka

tidak memiliki rasa malu atau kendali terhadap dirinya

sendiri, dan mereka menggunakan kekuasaan secara

impulsif. Menurut McClelland dan Burnham (1976, hlm.

103). “Mereka lebih kasar terhadap orang lain, minum

terlalu banyak, mencoba untuk mengeksploitasi orang

lain secara seksual, dan mengumpulkan simbol-simbol

mengenai prestise pribadi seperti mobil mewah atau

kantor yang besar.” Para pemimpin yang memiliki

kekuasaan personal mencoba mendominasi bawahan dengan

membuat mereka selalu lemah dan tergantung. Kewenangan

untuk membuat keputusan penting dipusatkan pada

pemimpin tersebut, informasi dibatasi, dan imbalan

serta hukuman digunakan untuk memanipulasi dan

mengendalikan para bawahan. Pemimpin tersebut mencoba

untuk mengadu berbagai individu atau kelompok satu sama

lainnya agar membuat mereka selalu lemah. Bantuan dan

nasihat kepada seorang bawahan dilakukan dengan cara

yang memperlihatkan superioritas pribadi dan kekurangan

dan ketergantungan bawahan. Terkadang para pemimpin

yang memiliki kekuasaan personal mampu mengilhami

kesetiaan dari para bawahan dan semangat tim, namun

peran organisatoris jelas menderita. Bila masalah

timbul dalam pekerjaan, para bawahan segan mengambil

inisiatif untuk memecahkannya. Bukannya bertindak cepat

untuk menangani sebuah masalah, mereka mengabaikannya

atau menunggu suatu pengarahan yang jelas dari pemimpin

tersebut. Kesetiaan bawahan yang mungkin terjadi adalah

kepada atasan akan terjadi kekacauan dan perpecahan

dalam semangat tim.

Para manajer yang memiliki orientasi kepada

kekuasaan sosialisasi, secara emosional lebih matang.

Mereka menggunakan kekuasaan lebih banyak bagi orang

lain, ragu menggunakan kekuasaan secara manipulatif,

tidak terlalu egoistis dan defensif, mengumpulkan lebih

sedikit kepemilikan materi, memiliki jangkauan

pandangan yang lebih jauh, dan lebih bersedia menerima

nasihat dari orang lain yang memiliki keahlian yang

relevan. Kebutuhan mereka yang kuat akan kekuasaan

diekspresikan dengan menggunakan pengaruh untuk

membangun organisasi dan membuatnya berhasil. Karena

orientasi mereka adalah penegakkan komitmen organisasi,

maka pemimpin demikian akan lebih besar kemungkinannya

untuk menggunakan gaya perilaku manajerial partisipatif

dan pelatihan dan lebih sedikit kemungkinannya

bertindak secara memaksa dan otokratis. Pemimpin

demikian membantu agar para bawahan merasa lebih kuat

dan bertanggung jawab, tidak terlalu mengikat mereka

dengan peraturan yang picik, membantu sebuah struktur

yang jelas dan menciptakan rasa bangga karena berada

dalam unit tersebut (McClelland , 1975, hl. 302).

Orientasi Kepada Keberhasilan

Orientasi kepada keberhasilan termasuk sejumlah

sikap, nilai dan kebutuhan yang saling berhubungan :

kebutuhan akan keberhasilan, keinginan untuk unggul,

dorongan untuk berhasil, kesediaan untuk memikul

tanggung jawab, dan perhatian terhadap sasaran tugas.

Banyak studi telah dilakukan mengenai hubungan dari

orientasi kepada keberhasilan terhadap kemajuan dan

efektivitas manajerial (lihat Bass, 1990). Meski

demikian, hasilnya tidak konsisten bagi berbagai

kriteria (misalnya, para manajer wirausahawan, corporate

general manager, manajer teknis).

Hubungan motivasi kemajuan dengan efektivitas

manajerial kelihatannya amat kompleks. Beberapa studi

menemukan hubungan positif antara motivasi untuk

berhasil dengan efektivitas (misalnya, Stahl, 1983;

Wainer & Rubin, 1969), namun studi lainnya telah

menemukan hubungan yang kuat dan signifikan (Miller &

Toulouse, 1986). Salah satu penjelasan yang mungkin

bagi hasil-hasil yang tidak konsisten tersebut adalah

bahwa hubungan dari motivasi akan keberhasilan terhadap

efektivitas manajerial adalah berbentuk kurva

(curvilinear) bukannya linear. Dengan kata lain, para

manajer yang memiliki sejumlah motivasi yang cukup

tinggi akan keberhasilan lebih efektif daripada para

manajer yang memiliki motivasi yang amat tinggi akan

keberhasilan. Jika penjelasan ini benar, kita dapat

mengharapkan untuk menemukan korelasi yang negatif

dalam studi mengenai para manajer tingkat tinggi dimana

semua pemimpin kemungkinan paling tidak memiliki

kebutuhan yang cukup tinggi akan keberhasilan, seperti

dalam studi mengenai presiden Amerika Serikat yang

dilakukan oleh House et al (1991).

Penelitian mengenai hubungan perilaku yang

berorientasi pada keberhasilan masih amat terbatas,

namun kelihatannya terdapat beberapa hubungan.

Dibandingkan dengan para manajer yang memiliki

orientasi yang rendah terhadap keberhasilan, maka para

manajer yang memiliki orientasi yang tinggi atas

keberhasilan kemungkinan akan memiliki perhatian yang

tinggi terhadap sasaran tugas, lebih bersedia menerima

tanggung jawab untuk memecahkan masalah yang

berhubungan dengan tugas, lebih besar kemungkinannya

akan mengambil inisiatif dalam menemukan masaalah

tersebut dan bertindak tegas untuk memecahkannya, dan

lebih menyukai pemecahan yang melihatkan risiko sedang

daripada solusi yang terlalu berisiko atau terlalu

konservatif. Para manajer ini lebih besar

kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku tugas

seperti menetapkan sasaran dan tenggat waktu yang

menantang tetapi realistis, mengembangkan rencana

tindakan khusus, menentukan cara-cara untuk mengatasi

halangan, mengelola pekerjaan secara efisien, dan

menekankan kinerja saat berbicara dengan orang lain

(Boyatzis, 1982). Sebaliknya, seorang manajer yang

memiliki orientasi yang lemah akan keberhasilan tidak

termotivasi untuk mencari kesempatan yang melibatkan

sasaran yang menantang dan risiko sedang dan tidak

terlalu bersedia untuk mengambil inisiatif untuk

mengenali masalah dan mengambil tanggung jawab untuk

memecahkannya.

Orientasi keberhasilan yang kuat juga dapat

menghasilkan perilaku yang merendahkan efektivitas

manajerial. Jika kebutuhan akan keberhasilan merupakan

motif domain bagi seorang manajer, besar kemungkinan

bahwa upaya manajer itu akan diarahkan menuju

keberhasilan dan kemajuan dirinya sendiri daripada

menuju keberhasilan dari tim atau unit kerjanya.

Manajer itu berusaha untuk menyelesaikan semuanya

sendiri, segan mendelegasikan tugasnya, dan gagal

mengembangkan rasa bertanggung jawab dan komitmen tugas

yang kuat diantara pada bawahan (McClelland & Burnham,

1976; Miller & Toulouse, 1986). Bagi jenis orang

seperti ini akan amat sulit berfungsi secara efektif

dalam sebuah tim manajemen dimana tanggung jawab

kepemimpinan ditanggung bersama-sama.

Bagaimana cara orientasi akan keberhasilan itu

diekspresikan dalam perilaku seorang manajer tergantung

pada pola motif keseluruhan dari manajer tersebut.

Motivasi akan keberhasilan hanya akan meningkatkan

efektivitas kepemimpinan bila ditempatkan lebih rendah

daripada suatu kebutuhan yang kuat akan kekuasaan

sosialisasi, sehingga usaha-usaha manajer tersebut

diarahkan kepada membangun sebuah tim yang berhasil.

Bila dikombinasikan dengan kebutuhan akan kekuasaan

personal, motivasi yang kuat akan keberhasilan dapat

difokuskan pada kemajuan karier dengan cara apapun.

Jenis manajer seperti ini akan mengabaikan sasaran

tugas dan pengembangan para bawahan dalam upaya untuk

membangun reputasi pribadi sebagai seorang bintang yang

melejit dengan cepat. Keputusan mengenai tugas akan

diarahkan oleh keinginan untuk membuat unit kerja

manajer tersebut terlihat baik dalam waktu dekat,

meskipun kinerja akan menderita dalam jangka panjang.

Manajer tersebut kemungkinan akan melakukan kendali

pribadi terhadap proyek-proyek yang menjanjikan dan

amat mencolok dan akan mengambil sendiri sebagian besar

penghargaan atas keberhasilannya. Manajer tersebut

dapat menjadi begitu bersaingnya sehingga menolak

bekerja sama dengan rekan sejawat yang dipandang

sebagai saingan yang potensial. Seperti yang ditemukan

pada studi CCL, kemungkinan hasilnya akan menjadi

kemajuan awal tetapi penyimpangan pada akhirnya saat

seorang manajer yang memiliki ambisi pribadi yang ada

dan sifat kompetitif yanng berlebihan itu menyebabkan

terlalu banyak musuh yang kuat.

Wawasan tambahan diberikan oleh penelitian

mengenai kepribadian Tipe A, yang kelihatannya

mengombinasikan orientasi keberhasilan yang kuat dengan

kebutuhan yang kuat akan kendali atas peristiwa-

peristiwa (Baron, 1989; Nahavandi, Mizzi & Malekzadeh,

1992; Strube, Turner, Cerro, stevens & Hinxhey, 1984).

Para manajer memiliki sindrom kepribadian ini memiliki

harapan yang tinggi atas dirinya sendiri dan amat

kompetitif. Mereka menetapkan sasaran kinerja yang

tinggi, membandingkan diri mereka dengan orang lain,

dan ingin lebih maju dibandingkan orang lain. Para

manajer Tipe A juga amat khawatir dengan waktu; mereka

sering merasa tergesa-gesa dengan waktu, berusaha

melakukan lebih dari satu hal pada satu waktu, dan

tidak sabar atas keterlambatan. Mereka lebih suka

memelihara kendali atas semua aspek pekerjaan mereka,

yang membuat mereka menjadi pendelegasi yang buruk dan

segan bekerja sebagai bagian dari sebuah tim (Miller,

Lack & Asroff, 1985). Akhirnya, para manajer Tipe A

cenderung lebih marah dan cenderung memperlihatkan rasa

bermusuhan mereka saat tidak mampu mengendalikan

peristiwa. Mereka adalah orang yang suka menuntut,

tidak toleran terhadap kesalahan, dan kritis terhadap

orang yang tidak memiliki dedikasi yang sama dengannya.

Pola perilaku ini makin menyulitkan mereka untuk

mempertahankan hubungan yang kooperatif.

Kebutuhan akan Afiliasi

Seperti telah dicatat sebelumnya dalam bab ini,

orang yang memiliki kebutuhan yang kuat akan afiliasi

akan mendapatkan kepuasan yang besar karena disukai dan

diterima oleh orang lain, dan mereka senang bekerja

dengan orang lain yang ramah dan mau bekerja sama.

Kebanyakan studi menemukan korelasi yang negatif antara

kebutuhan akan afilitasi dengan efektivitas manajerial.

Tidak efektifnya para manajer yang memiliki kebutuhan

yang tinggi akan afiliasi dapat dipahami dengan

meneliti pola perilaku umum bagi manajer demikian. Para

manajer tersebut pertama-tama memperhatikan hubungan

daripada tugas, dan mereka tidak bersedia mengizinkan

pekerjaan tersebut mencampuri hubungan yang harmonis

(Litwin & Stringer, 1966; Mcclelland, 1975). Mereka

mencoba menghindari konflik atau lebih suka

menghaluskannya daripada menghadapi perbedaan yang

benar-benar ada. Mereka menghindari membuat keputusan

yang perlu tetapi tidak populer. Mereka memberi

penghargaan bagi kinerja yang efektif. Mereka

memperlihatkan sikap favoritisme kepada kawan

pribadinya dalam memberi panugasan dan mengizinkan

pengecualian terhadap peraturan. Pola perilaku yang

demikian sering membuat para bawahan merasa “lemah,

tidak bertanggung jawab, dan tanpa perasaan mengenai

apa yang akan terjadi kemudian, atau dimana mereka

sebetulnya berada dalam kaitannya dengan manajer

mereka, atau bahkan apa yang sebenarnya harus mereka

lakukan” (McClelland & Burnham, 1976; hlm. 104).

Jelas tidak diinginkan bila seorang manajer

mempunyai kebutuhan yang kuat akan afiliasi, tetapi ada

kemungkinan bahwa terdapat juga beberapa konsekuensi

yang tidak diinginkan bagi para manajer yang berada

pada eksrem lainnya. Seseorang yang mempunyai kebutuhan

akan afiliasi yang rendah cenderung menjadi seorang

“penyendiri”, tidak suka bersosialisasi dengan orang

lain, kecuali mungkin dengan keluarga dekat atau dengan

beberapa teman dekat. Jenis orang demikian mungkin

tidak memiliki motivasi untuk berhubungan dengan banyak

kegiatan sosial dan antar pribadi dengan para bawahan,

atasan, dan rekan sejawat. Akibatnya, jenis orang

demikian bisa gagal mengembangkan keterampilan antar

pribadi yang efektif dan bisa kekurangan kepercayaan

diri dalam mempengaruhi orang lain. Jadi, ada

kemungkinan bahwa tingkat motivasi afiliasi yang

optimal sebaiknya agak rendah dan bukannya tinggi atau

amat sedih.

Lima Besar Ciri Kepribadian

Menjelaskan tentang para pemimpin dalam hal

profit individual mereka akan menjadi lebih mudah jika

terdapat kerangka kerja konseptual yang integratif

dengan sejumlah kecil metaconstructs yang meliputi semua

ciri yang relevan. Pengembangbiakan ciri kepribadian

yang telah diidentifikasikan selama abad lalu telah

menghasilkan upaya untuk menemukan sejumlah kecil

kategori yang terdefinisi luas yang akan

menyederhanakan perkembangan teori-teori ciri. Salah

satu upaya yang kelihatan menjanjikan disebut sebagai

model kepribadian “Lima Besar” (misalnya, Digman, 1990;

Hough, 1992). Lima ciri kepribadian yang terdefinisi

luas dalam taksonomi adalah surgency, dapat diandalkan,

menyenangkan, penyesuaian dan intelektansi.

Pada beberapa tahun terakhir, para sarjana

kepemimpinann telah memperlihatkan minat yang makin

tinggi dalam menggunakan taksonomi ini untuk memudahkan

interpretasi hasil dalam literatur yang padat dan

membingungkan mengenai ciri kepemimpinan (misalnya,

Goodstein & Lanyon, 1999; Hogan, Curphy & Hogan, 1994).

Tabel 7-4 memperlihatkan bagimana kelima kategori luas

tentang ciri tersebut sesuai dengan banyak ciri khusus

yang ditemukan relevan untuk kemunculan, kemajuan, atau

efektivitas kepemimpinan dalam studi-studi atas ciri

yang ditinjau sebelumnya dalam bab ini.

Tabel 7-4 Hubungan antara Lima Besar Ciri dengan Ciri

Khusus

Hubungan antara Lima Besar

Ciri

Ciri Khusus

Surgency Ekstroverso (ramah)

Tingkat Energi dan

AktivitasKebutuhan akan Kekuasaan

(asertif)Kehati-hatian Dapat Diandalkan

Integritas PribadiKebutuhan akan

KeberhasilanRamah tamah Ceria dan Optimis

Mengasuh (simpatik,

membantu)Kebutuhan akan Afiliasi

Penyesuaian Kestabilan EmosionalHarga DiriPengendalian Diri

Intelektansi Rasa Ingin TahuBerpikiran TerbukaBerorientasi Belajar

Berdasarkan Hogan, Curphy & Hogan (1994).

Tidak semua sarjana setuju bahwa model

kepribadian “Lima Besar” lebih baik daripada taksonomi

yang memiliki lebih banyak ciri khusus (Block, 1995;

Hough, 1992). Jika salah satu dari lima faktor itu

meliputi ciri yang relevan dan tidak relevan, akurasi

dari prediksi akan lebih rendah. Selanjutnya, bahkan

saat ciri komponennya semuanya relevan, mereka mungkin

tidak memiliki hubungan yang sama dengan perilaku

kepemimpinan, yang dikira menengahi hubungan antara

ciri dengan efektivitas kepemimpinan. Dibutuhkan lebih

banyak penelitian untuk menentukan apakah lima besar

ciri tersebut memprediksikan dan menjelaskan

efektivitas kepemimpinan dengan lebih baik daripada

ciri komponen khusus.

KETERAMPILAN DAN EFEKTIVITAS MANAJERIAL

Studi awal mengenai ciri dan penelitian lainnya

yang dijelaskan dalam bab ini mengidentifikasikan

sejumlah keterampilan manajerial yang relevan dengan

efektivitas manajerial.

Keterampilan Teknis

Keterampilan teknis meliputi pengetahuan tentang

metode, proses, dan perlengkapan untuk melakukan

aktivitas khusus dari unit organisatoris manajer itu.

Keterampilan teknis juga meliputi pengetahuan faktual

tentang organisasi (peraturan, struktur, sistem

manajemen, karakteristik karyawan), dan pengetahuan

tentang produk dan jasa organisasi (spesifikasi teknis,

kekuatan dan keterbatasan). Jenis pengetahuan ini

diperoleh dengan kombinasi antara pendidikan formal,

pelatihan, dan pengalaman kerja.

Perolehan dari pengetahuan teknis dipermudah oleh

ingatan yang baik mengenai rincian, serta kemampuan

untuk belajar materi teknis secara cepat. Para manajer

yang efektif juga mampu memperoleh informasi dan ide

dari banyak sumber dan menyimpannya dalam ingatan

mereka untuk digunakan saat mereka membutuhkannya.

Banyak bukti bahwa keterampilan teknis berhubungan

dengan efektivitas dan kemajuan pada tingkat manajemen

yang lebih tinggi (McCall & Lombardo, 1983).

Para manajer yang mengawasi pekerjaan dari orang

lain membutuhkan pengetahuan yang amat luas mengenai

teknis dan peralatan yang digunakan para bawahan untuk

melaksanakan pekerjaan tersebut. Pengetahuan teknis

mengenai produk dan proses diperlukan untuk

merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan kerja,

untuk memimpin dan melatih para bawahan dalam kegiatan

yang istimewa, dan menangani gangguan dalam pekerjaan

yang disebabkan oleh kerusakan peralatan, kerusakan

kualitas, kecelakaan, bahan yang tidak cukup, dan

masalah kordinasi.

Pengetahuan teknis khususnya relevan bagi manajer

yang bersifat wirausahawan. Visi yang inspirasional

dari sebuah produk atau jasa terlihat dapat timbul dari

mana saja, namun sebenarnya merupakan hasil dari

belajar serta pengalaman yang bertahun-tahun lamanya.

Penelitian tentang para wirausahawan yang telah

membangun perusahaan yang berhasil atau yang telah

memperkenalkan produk penting yang baru dalam

perusahaan yang sudah mapan menyatakan bahwa

pengetahuan teknis mereka merupakan ladang yang subur

yang di dalamnya berakar bibit inspirasi untuk

menghasilkan produk yang inovatif (Westley & Mintzberg,

1989). Beberapa contoh termasuk Edwin Land, penemu

karena instan dan pendiri Polaroid Corporation, dan

Steve Jobs, pendiri Apple Computer.

Memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai

produk dan proses saja tidaklah cukup bagi seorang

manajer yang bertanggung jawab. Para manajer juga

membutuhkan pengetahuan luas tentang produk serta jasa

yang ditawarkan oleh para pesaing. Perencanaan yang

strategis kemungkinan tidak akan efektif kecuali bila

seorang manajer memahami kekuatan dan kelemahan relatif

dari produk (atau jasa)-nya sendiri dibandingkan dengan

yang diberikan oleh para pesaing (Peters & Austin,

1985).

Keterampilan konseptual

Keterampilan konseptual (atau “kognitif”)

meliputi kemampuan analitis, berfikir logis, membentuk

konsep, pemikiran yang induktif, dan pemikiran yang

deduktif. Dalam arti umumnya, keterampilan konseptual

termasuk penilaian yang baik, dapat melihat ke depan,

intuisi kreativitas, dan kemampuan untuk menemukan arti

dan keteraturan dalam peristiwa yang tidak pasti dan

ambigu. Keterampilan konseptual telah diukur dengan

sejumlah metode yang berbeda, termasuk tes kecerdasan,

tes situasi, wawancara dan peristiwa kritis.

Penelitian tentang ciri yang mengukur

keterampilan konseptual dengan pensil dan kertas

menemukan bukti yang kuat bahwa jenis kemampuan yang

demikian berhubungan dengan efektivitas manajerial,

khususnya pada posisi manajerial tingkat tinggi (Bass,

1990). Keterampilan konseptual yang diukur dengan

wawancara peristiwa berbeda antara para manajer yang

efektif dengan yang tidak efektif dalam studi yang

dilakukan oleh Boyatzis (1982). Keterampilan konseptual

yang diukur dalam sebuah pusat penilaian memprediksikan

kemajuan ke dalam tingkat manajemen yang lebih tinggi

20 tahun kemudian dalam studi pada AT&T (Howard & Bray,

1988). Dalam studi CCL sebelumnya, keterampilan

koonseptual yang lemah merupakan salah satu alasan bagi

adanya para manajer yang menyimpang (McCall & Lombardo,

1983, hlm. 26): “Bagi orang yang menarik hati namun

tidak terlalu cerdas akan menemukan bahwa pekerjaan

yersebut menjadi terlalu besar dan masalahnya menjadi

terlalu kompleks untuk dapat dilewatinya atas dasar

keterampilan antarpribadi.”

Salah satu jenis keteampilan konseptual, disebut

kompleksitas kognitif, termasuk kemampuan untuk

menggunakan isyarat untuk membuat perbedaan dan

mengembangkan kategori untuk menggolongkan sesuatu,

demikian juga kemampuan untuk mengidentifikasikan

hubungan yang kompleks dan mengembangkan solusi kreatif

terhadap masalah. Orang yang memiliki kompleksitas

kognitif yang rendah melihat hal-hal dalam hubungan

secara hitam putih sederhana dan memiliki kesulitan

untuk melihat banyaknya elemen yang berbeda itu saling

mencocokkan sehingga membentuk kesatuan yang berarti.

Seseorang yang memiliki kompleksitas kognitif yang

tinggi mampu melihat berbagai bayangan semu dan mampu

mengidentifikasikan pola-pola hubungan yang kompleks

dan memprediksi peristiwa di masa depan berdasarkan

kecenderungan yang ada sekarang. Dalam sebuah studi

jangka panjang atas para manajer di empat buah

perusahaan, kompleksitas kognitif yang diukur dengan

wawancara penilaian individu telah memprediksi kemajuan

manajerial secara mencolok untuk empat hingga delapan

tahun kemudian (Stamp, 1988).

Keterampilan konseptual penting bagi perencanaan

yang efektif, mengorganisasi dari bagian-bagian khusus

dari sebuah organisasi. Untuk mencapai koordinasi yang

efektif, seorang manajer perlu memahami bagaimana

berbagai bagian organisasi itu saling berhubungan satu

sama lain dan bagaimana perubahan pada satu bagian dari

sistem itu berdampak pada bagian yang lain. Seorang

manajer yang memiliki komlpeksitas kognitif yang tinggi

akan mampu mengembangkan model yang implisit dari

organisasi tersebut untuk membantu pemahaman dari

kebanyakan faktor kritis dan hubungan di antara mereka.

Sebuah model berfungsi sebagai peta jalan yang

menggambarkan keadaan dari sebuah daerah,

memperlihatkan dimana sesuatu itu ditempatkan dalam

hubungannya dengan yang lain, dan membantu Anda untuk

menentukan bagaimana pergi dari satu tempat ke tempat

lainnya. Para manajer yang memiliki ketermapilan

kognitif yang lemah cenderung untuk mengembangkan model

mental yang simplistik yang tidak terlalu berguna

karena tidak mampu melukiskan proses yang rumit dan

arus peristiwa yang dinamis dalam organisasi tersebut.

Seorang manajer harus mampu memahami bagaimana

perubahan dalam lingkungan eksternal akan membawa

dampak terhadap organisasi. Perencanaan strategis oleh

para eksekutif meminta kemampuan yang cukup untuk dapat

menganalisis peristiwa dan kecenderungan yang

dirasakan, mengantisipasi perubahan, dan telah

dijelaskan oleh Katz dan Kahn (1978, hlm. 541).

Keputusan untuk bergabung atau menolakpenggabungan, untuk membuat perubahan pentingdalam lokasi atau untuk mempertahankan posisiyang sekarang untuk meluncurkan lini produk yangsama sekali baru atau tetap dengan jenis barangtradisional agar menjadi nomor satu dalam prosesproduksi yang baru atau untuk menunggu hinggaorang lain mencobanya – semua ini merupakanmasalah yang meminta pengertian paling besarmeengenai lingkungan manajemen. Disamping itu,juga merupakan persoalan yang membuat perbedaanantara persaingan yang berhasil dan tidakberhasil, antara petumbuhan dan stagnasi,kelangsungan hidup dan kegagalan.

Para manajer eksekutif menggunakan campuran

intuisi dan pemikiran sadar yang cocok bagi jenis

situasi keputusan yang mereka hadapi (Agor, 1986; Lord

& Maher, 1991). Intuisi adalah suatu pengertian atau

firasat yang kelihatannya timbul secara tiba-tiba tanpa

pemikiran yang sadar. Menurut Simon (1987), intuisi

bukanlah suatu proses mistik namun merupakan hasil dari

pengalaman sebelumnya yang ekstensif dengan masalah

yang sama. Pengetahuan yang relevan diperoleh dari

pengalamam tersebut dapat diambil bilamana diperlukan

tanpa banyak kesadaran, seperti juga seorang juara

catur yang dengan cepat mengerti gerakan apa yang harus

dibuat selanjutnya tanpa harus membuat analisis yang

cermat dan berhati-hati dari bidak-bidak catur yang

terletak di papan. Intuisi khususnya berguna bila

membuat keputusan dalam situasi yang tidak jelas dimana

dalam situasi tersebut informasinya terbatas dan banyak

ketidakpastian. Namun demikian, untuk membuat keputusan

yang benar berdasarkan intuisi, dibutuhkan pengetahuan

awal yang amat luas mengenai organisasi, produk serta

jasanya, dan lingkungannya.

Kecerdasan Antar Pribadi

Kecerdasan antarpribadi juga disebut “kecerdasan

sosial” meliputi pengetahuan mengenai perilaku manusia

dan proses kelompok, kemampuan untuk mengerti perasaan,

sikap, serta motivasi dari orang lain; dan kemampuan

untuk mengkomunikasikan dengan jelas dan persuasif.

Penelitian tentang ciri memperhatikan secara konsisten

bahwa kecerdasan hubungan antara manusia tersebut

penting bagi efektivitas manajerial serta kemajuan

(Bass, 1990). Dalam studi AT&T, kecerdasan antarpribadi

memprediksikan kemajuan. Dalam studi CCL, kekurangan

dalam kecerdasan antar pribadi merupakan alasan utama

bagi para manajer yang pada akhirnya menyimpang dalam

karier manajemen mereka. Dalam studi tentang kompetensi

kepemimpinan oleh Biyatzis (1982), kecerdasan

antarpribadi dibedakan antara para manajer yang efektif

dengan yang tidak efektif, bagaimanapun situasinya.

Kecerdasan antarpribadi seperti empati, wawasan

sosial, daya tarik, kebijaksanaan dan diplomasi, sifat

persuasif, dan kemampuan komunikasi lisan penting untuk

mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja sama

dengan para bawahan, atasan, dan rekan sejawat, dan

orang luar. Seorang manajer yang memahami orang lain

dan ia sangat menarik, taktis, dan diplomatis akan

memiliki lebih banyak hubungan kerja sama daripada yang

tidak berperasaan dan menyerang. mcCall dan Lombardo

(1983, hl. 28) mengingat kembali kejadian berikut ini

yang menyangkut seorang manajer yang kasar yang

akhirnya menyimpang:

Manajer tersebut memasuki kantor bawahannya,menginterupsi pertemuan, dan mengatakan, “Sayaperlu bertemu denganmu.” Ketika bawahan tersebutmencoba untuk menjelaskan bahwa ia sedang sibuk,atasannya membentak, “Saya tidak peduli. Sayamengatakan bahwa saya ingin bertemu denganmusekarang.”

Kecerdasan antarpribadi juga penting untuk

mempengaruhi orang. Empati dan pemahaman sosial berarti

kemampuan untuk mengerti motivasi, nilai, dan emosi

seseorang. Memahami apa yang diinginkan orang dan

bagaimana mereka merasakan sesuatu penting untuk

memilih strategi mempengaruhi yang tepat untuk

digunakan. Sifat persuasif dan keterampilan komunikasi

lisan membuat manajer mampu menjalankan strategi

mempengaruhi secara lebih efektif. Pengawasan diri

merupakan sebuah kecerdasan antarpribadi yang telah

mendapatkan perhatian yang makin banyak di tahun-tahun

belakangan ini dari para peneliti kepemimpinan.

Pengawasan diri berarti derajat dimana seseorang adalah

mampu untuk menggunakan isyarat dari orang lain untuk

memahami perilakunya sendiri dan pengaruhnya pada orang

lain (Snyder, 1974). Pengawasan diri adalah mampu

belajar dari umpan balik dan menyesuaikan perilaku

mereka agar cocok dengan persyaratan situasi yang ada.

Orang yang memiliki pengawasan diri yang tinggi akan

lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai seorang

pemimpin dalam sebuah kelompok kecil, dan mereka

mnyelesaikan konflik dengan orang lain secara lebih

efektif (Baron, 1989; Dobbins, Lonh, Dedrick &

Clemonts, 1990).

Kecerdasan antarpribadi juga memperkuat

efektivitas dari perilaku yang berorientasi hubungan.

Kecerdasan antarpribadi yang kuat membantu seorang

manajer untuk mendengarkan dengan cara yang perhatian,

simpatik, dan tidak memberikan penilaian kepada

persoalan seseorang, keluhan, atau kecaman. Empati dan

wawasan sosial penting untuk memahami perasaan dan

persepsi dari orang lain, dan untuk menyelesaikan

konflik dalam cara yang konstruktif. Bahkan perilaku

manajerial yang terutama berorientasi tugas (misalnya,

membuat penugasan dan memberikan instruksi) membutuhkan

kecerdasan antarpribadi yang cukup besar untuk

diperankan dalam cara yang mencerminkan sebuah

perhatian kepada orang dan juga kepada sasaran tugas.

Beberapa orang memiliki konsep yang sewaktu-waktu

“dinyalakan” pada situasi yang istimewa. Katz (1995,

hlm 34) memiliki titik pandang yang berbeda:

Keterampilan yang sebenarnya dalam bekerja denganorang lain harus menjadi kegiatan yang alami danberkelanjutan, karena hal ini mellibatkansensitivitas bukan saja pada saat membuatkeputusan, tetapi juga dalam perilaku sehari-haridari individu tersebut. . . Karena semua yangdikatakan dan dilakukan oleh pemimpin tersebut(atau tidak dikatakan atau tidak dilakukan)memiliki dampak terhadap rekan sekerjanya,sehingga keinginan diri sendiri pada waktunyaakan terlihat. Jadi, agar efektif, keterampilantersebut harus secara alami dikembangkan dansecara tidak sadar serta secara konsisten,diperlihatkan dalam tindakan dari individutersebut.

KOMPETENSI LAINNYA YANG RELEVAN

Pada beberapa tahun terakhir ini telah

diidentifikasikan tambahan kompetensi kepemimpinan,

termsuk kecerdasam emosional. Kecerdasan sosial, dan

metacognition. Walaupun kompetensi ini dapat dianggap

sebagai keterampilan, masing-masing melibatkan

sekelompok keterampilan dan ciri yang berhubungan, yang

membuatnya sulit untuk mencocokkan kompetensi itu ke

dalamsalah satu dari tiga ketegori keterampilan umum

yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kecerdasan Emosional

Pada beberapa tahun terakhir ini, para peneliti

telah mengidentifikasikan kecerdasan emosional sebagi

atribut lain yang penting untuk kepemimpinan yang