Kestabilan dan Kematangan Emosional
Transcript of Kestabilan dan Kematangan Emosional
Kestabilan dan Kematangan Emosional
Istilah kematangan emosional dapat didefinisikan
secara luas yang menyangkut berbagai motif, ciri dan
nilai yang saling berhubungan. Seseorang yang matang
secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan baik
dan tidak menderita kekacauan psikologis yang berat.
Orang yang matang secara emosional memiliki kesadaran
yang lebih tepat mengenai kekuatan dan kelemahan mereka
dan mereka berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya
menolak adanya kelemahan dan memfantasikan
keberhasilan. Orang yang memiliki kematangan emosional
yang tinggi tidak terlalu egosentris (mereka lebih
memperhatikan orang lain), mereka lebih banyak memiliki
kendali terhadap diri sendiri (tidak impulsif, lebih
stabil untuk melawan godaan hedonistis), memiliki lebih
banyak emosi yang stabil (tidak mudah berpindah dari
keadaan jiwa yang ekstrem atau sentakan kemarahan), dan
mereka tidak terlalu bersikap defensif (mereka lebih
dapat menerima kritik, lebih bersedia belajar dari
pengalaman). Besar kemungkinannya bahwa orang demikian
juga berada pada tingkat perkembangan moral kognitif
yang tinggi. Hasilnya, para pemimpin yang memiliki
kematangan emosional yang memiliki lebih banyak
hubungan kerja sama dengan para bawahan, rekan sejawat,
dan atasan.
Kebanyakan penelitian empiris tentang ciri
menunjukkan bahwa komponen utama kematangan emosional
berhubungan dengan efektifitas manajerial dan kemajuan
(Bass, 1990). Studi yang dilakukan oleh McClaudey dan
Lombardo (1990) dengan sebuah ukuran yang disebut
“Benchmarks” (tolok ukur) menemukan bahwa para manajer
yang sadar akan dirinya dan memiliki keinginan untuk
memperbaiki diri akan mencapai kemajuan yang lebih.
Objektivitas mengenai dirinya dan penyesuaian umum
telah memprediksikan adanya promosi 20 tahun kemudian
dalam studi atas AT&T oleh Howard dan Bray (1998).
Penelitian yang lain telah menemukan bahwa para
eksekutif yang efektif memiliki pengertian yang baik
mengenai kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan mereka
berorientasi ke arah perbaikan diri bukannya hanya
sekedar bertahan (Bennis&Nanus, 1985; Tichy&Devanna,
1986). Penelitian mengenai orientasi kekuasaan personal
dan sosial memberikan bukti tambahan tentang pentingnya
kematangan emosional bagi kepemimpinan yang efektif.
Penelitian mengenai kecintaan pada diri sendiri
(narcissism) memberikan wawasan tambahan mengenai
kesulitan yang ditemui oleh para pemimpin yang
kekurangan kematangan emosional. Kecintaan ppada diri
sendiri menunjuk kepada suatu sindrom kepribadian yang
menyangkut keburuhan luar biasa akan rasa dihormati
(misalnya, prestise, status, perhatian, kekaguman,
pujian yang berlebihan) suatu kebutuhan yang kuat akan
kekuasaan, pengendalian diri yang lemah, dan
ketidakacuhan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan
orang lain. Sindrom kepribadian tersebut dapat diukur
dengan sebuah skala laporan sendiri yang disebut
Narcisssistic Personality Inventory/Inventris
Kepribadian Narsissistik (Raskin & Hall, 1981).
Kecintaan pada diri sendiri termasuk banyak aspek dari
orientasi kekuasaan personal (House & Howell, 1992).
Para peneliti yang memiliki latar belakang
psikologi klinik dan psikoanalisis telah menjelaskan
asal dari kecintaan pada diri sendiri dan perilaku yang
berkaitan dengannya (Kets de Vries & Miller, 1984,
1985; Raskin, Novacek & Hogan, 1991). Orang-orang yang
orang tuanya tidak responsif dan menolak secara
emosional bisa percaya bahwa mereka tidak dapat
bergantung pada cinta atau kesetiaan seseorang. Dalam
usahanya untuk menanggulangi rasa kehilangan dan rasa
kesepian dalam diri mereka, para narcissist yang ekstrem
ini menyibukkan diri dengan meneguhkan kekuasaan
status, dan prestise mereka. Mereka memiliki fantasi
tentang sukses dan kekuasaan. Mereka memiliki perasaan
yang membeesar-besarkan dan berlebihan mengenai
pentingnya diri mereka dan bakat unik yang mereka
miliki. Untuk mendukung penipuan diri tersebut, mereka
mencari perhatian dan kekaguman yang terus-menerus dari
orang lain. Karena mereka demikian sibuknya dengan
kebutuhan ego mereka sendiri, para narcissist ini hanya
memiliki sedikit empati atau perhatian terhadap
perasaan dan kebutuhan orang lain. Mereka
mengeksploitasi dan memanipulasi orang lain untuk
mengikuti keinginan hati mereka akan kehendak
membesarkan dirinya tanpa merasa menyesal sama sekali.
Mereka mengharapkan kebaikan yang istimewa dari orang
lain tanpa merasakan kebutuhan untuk membalasnya. Para
narssist cenderung untuk menyederhanakan hubungan dan
motivasi manusia secara berlebihan dan melihat antara
para pendukung yang setia dan musuh. Mereka amat
bersifat defensif, dan kritik apa pun dari orang lain
akan diartikan sebagai tanda menolak atau tidak setia.
Meskipun terkadang mampu menarik hati dan membantu,
mereka memiliki kecenderungan untuk bertindak agresif
dan kejam terhadap orang yang menentang mereka atau
yang menghalangi mereka.
Para narcissist yang berada dalam posisi
kepemimpinan memiliki sejumlah kekurangan karakteristik
(Kets de Vries & Miller, 1984, 1985). Mereka
mengelilingi diri mereka dengan para bawahan yang setia
dan tidak kritis. Mereka membuat keputusan tanpa
mengumpulkan informasi yang cukup mengenai lingkungan.
Dalam kepercayaan bahwa hanya mereka yang memiliki
informasi yang cukup dan memiliki bakat untuk mengambil
proyek yang ambisius dan besar sekali untuk
mengharumkan nama mereka, namun karena tidak semua
analisis yang cukup mengenai situasi, maka proyek
tersebut dapat berisiko dan tidak realistis. Bila
sebuah proyek tidak berjalan dengan baik, mereka
cenderung mengabaikan atau menolak informasi yang
negatif, dan dengan demikian mereka melepaskan peluang
untuk mengoreksi masalah pada waktu yang tepat untuk
mengindari kehancuran. Bilamana kegagalan itu nyata,
pemimpin yang narcissist menolak mengakui tanggung jawab
apapun, namun sebaliknya mencari kambing hitam untuk
dipersalahkan. Akhirnya, karena mereka mnegekploitasi
organisasi tersebut untuk mengkompensasikan perasaan
ketidakmampuan mereka, para narcissist yyang ekstrem tidak
mampu merencanakan suksesi yang teratur dari
kepemimpinan. Mereka melihat diri mereka sebagai orang
yang sangat dibutuhkan dan berkeras berpegang pada
kekuasaan, sebagai kebalikan dari para eksekutif yang
matang yang mampu mengundurkan diri secara anggun bila
tugas mereka telah selesai dan sudah waktunya bagi
suatu kepemimpinan yang baru.
Integritas Pribadi
Integritas berarti bahwa perilaku seseorang
konsisten dengan nilai yang menyertainya, dan orang
tersebut bersifat jujur, etis, dan dapat dipercaya.
Integritas merupakan penentu utama mengenai apakah
orang akan merasakan bahwa seorang pemimpin dapat
dipercaya atau tidak. Kecuali dirasakan bahwa orang
tersebut sebagai orang yang dapat dipercaya, maka sukar
sekali untuk mempertahankan kesetiaan dari para bawahan
atau untuk mendapatkan kerjasama dan dukungan dari para
rekan sejawat dan atasan. Selain itu, sebuah penentu
yang penting dari kekuasaan berdasarkan keahlian dan
berdasarkan referensi adalah persepsi dari orang lain
bahwa seseorang itu dapat dipercaya.
Berbagai jenis perilaku berhubungan dengan
integritas, sebuah petunjuk penting tentang integritas
adalah sejauh mana orang itu jujur dan dapat dipercaya
daripada memperdayanya. Para pemimpin akan kehilangan
kredibilitas bila orang menemukan bahwa mereka telah
berbohon atau membuat pernyataan yang menyimpang secara
berlebihan dari yang sebenarnya. Indikator lain
mengenai integritas adalah menepati janji. Orang akan
segan membuat persetujuan dengan seorang pemimpin yang
tidak dapat dipercaya akan menepati janji. Indikator
ketiga mengenai integritas adalah sejauh mana seorang
pemimpin memenuhi tanggung jawabnya terhadap
pengikutnya akan hilang bila mereka mengetahui bahwa
pemimpin tersebut telah mengeksploitasi atau
memanupulasi mereka untuk mengejar kepentingan sendiri.
Indikator keempat mengenai integritas adalah sejauh
mana seorang pemimpin dapat dipercaya untuk tidak
mengulangi secara sembarangan apa yang disampaikan
secara amat rahasia. Orang tidak akan meneruskan
informasi yang penting serta sensitif kepada seorang
pemimpin yang tidak dapat dipercaya untuk menyimpan
rahasia. Penentu utama dari integritas yang dirasakan
adalah sejauh mana perilaku seorang pemimpin itu
konsisten dengan nilai-nilai yang berulang kali
disampaikan kepada para pengikutnya. Seorang pemimpin
yang mengharapkan dapat mengilhami orang lain untuk
mendukung ideologi atau visi harus menjadi contoh dalam
perilakunya sendiri. Akhirnya, integritas juga berarti
mengambil tanggung jawab terhadap tindakan dan
keputusannya. Para pemimpin akan kelihatan lemah dan
tidak dapat dipercaya bila mereka membuat keputusan
atau mengambil posisi atas sebuah masalah, kemudian
mencoba untuk menolak tanggung jawab bila keputusan
tersebut gagal atau posisi tersebut menjadi
kontroversial.
Integritas sebagaimana telah disebut sebagai
sebuah nilai yang penting oleh sebagian besar dari 45
chief executives Inggris dalam sebuah studi yang dilakukan
oleh Cox dan Cooper (1989). Studi CCL yang dijelaskan
sebelumnya pada bab ini menemukan bahwa kurangnya
integritas adalah hal yang umum di antara para manajer
yang kariernya menyimpang, sedangkan para manajer yang
berhasil dianggap sebagai orang yang memiliki
integritas tinggi. Para manajer yang sukses bersifat
jujur dan dapat dipercaya, seperti yang tercermin pada
ajaran berikut (McCall & Lombardo, 1983b, hlm.
30) :”Saya akan melakukan tepat seperti apa yang saya
katakan akan saya lakukan saat saya mengatakan akan
melakukannya. Jika saya mengubah pikiran saya, saya
akan memberitahu Anda sedini mungkin sehingga Anda
tidak akan dirugikan oleh tindakan saya.”
Motivasi Kekuasaan
Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi akan
kekuasaan senang mempengaruhi orang lain maupun
peristiwa, dan besar kemungkinan berusaha untuk
mendapatkan posisi otoritas. Kebanyakan studi menemukan
hubungan yang kuat antara keutuhan akan kekuasaan
dengan kemajuan ke tingkat manajemen yang lebih tinggi
dalam organisasi yang besar (misalnya, Howard & Bray,
1988; McClelland & Boyatzis, 1982; Stahl, 1983). Orang
yang memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan
mencari posisi otoritas dan kekuasaan, dan lebih besar
kemungkinannya bagi mereka untuk membiasakan diri
dengan politik kekuasaan organisasi.
Sebuah kebutuhan akan kekuasaan relevan dengan
persyaratan peran manajerial yang melibatkan penggunaan
kekuasaan dan pengaruh. Para manajer di organisasi yang
besar harus menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi
para bawahan, rekan sejawat, dan atasan. Orang yang
memiliki kebutuhan yang rendah akan kekuasaan biasanya
tidak memiliki keinginan dan ketegasan yang dibutuhkan
untuk mengorganisasi dan memimpin kegiatan kelompok,
untuk mengosiasikan persetujuan yang menguntungkan,
untuk melakukan lobby agar mendapatkan sumber daya yang
dibutuhkan untuk menganjurkan dan mempromosikan
perubahan yang diinginkan dan untuk menegakkan disiplin
yang diperlukan. Seseorang yang merasa bahwa perilaku
demikian adalah sulit dan menganggu secara emosional
atau yang percaya bahwa menggunakan kekuasaan kepada
orang lain sebagai hal yang salah tidak mungkin
memenuhi persyaratan peran dari manajerial (Miner,
1985).
Suatu kebutuhan akan kekuasaan memang diperlukan,
namun efektivitas seorang manajer juga tergantung pada
bagaimana kebutuhan tersebut dapat diwujudkan.
Penelitian empiris menunjukan bahwa suatu orientasi
kepada kekuasaan yang disosialisasikan akan lebih besar
kemungkinannya akan menghasilkan kepemimpinan yang
efektif daripada orientasi kepada kekuasaan yang
dijadikan secara personal (Boyatzis, 1982; House,
Spangler & Woycke, 1991; McClelland & Buurnham, 1976).
Hingga kini hanya beberapa studi yang telah menguji
perilaku yang berhubungan dengan masing-masing
orientasi kekuasaan, namun hasilnya menyatakan bahwa
para manajer yang memiliki kekuasaan secara personal
memiliki perilaku dengan cara berbeda daripada manajer
yang memiliki kekuasaan sosialisasi (McClelland, 1975,
1985).
Para manajer yang memiliki orientasi kepada suatu
kekuasaan yang personal menggunakan kekuasaan untuk
membesarkan diri mereka sendiri dan memuaskan kebutuhan
untuk dihormati dan memiliki status yang kuat. Mereka
tidak memiliki rasa malu atau kendali terhadap dirinya
sendiri, dan mereka menggunakan kekuasaan secara
impulsif. Menurut McClelland dan Burnham (1976, hlm.
103). “Mereka lebih kasar terhadap orang lain, minum
terlalu banyak, mencoba untuk mengeksploitasi orang
lain secara seksual, dan mengumpulkan simbol-simbol
mengenai prestise pribadi seperti mobil mewah atau
kantor yang besar.” Para pemimpin yang memiliki
kekuasaan personal mencoba mendominasi bawahan dengan
membuat mereka selalu lemah dan tergantung. Kewenangan
untuk membuat keputusan penting dipusatkan pada
pemimpin tersebut, informasi dibatasi, dan imbalan
serta hukuman digunakan untuk memanipulasi dan
mengendalikan para bawahan. Pemimpin tersebut mencoba
untuk mengadu berbagai individu atau kelompok satu sama
lainnya agar membuat mereka selalu lemah. Bantuan dan
nasihat kepada seorang bawahan dilakukan dengan cara
yang memperlihatkan superioritas pribadi dan kekurangan
dan ketergantungan bawahan. Terkadang para pemimpin
yang memiliki kekuasaan personal mampu mengilhami
kesetiaan dari para bawahan dan semangat tim, namun
peran organisatoris jelas menderita. Bila masalah
timbul dalam pekerjaan, para bawahan segan mengambil
inisiatif untuk memecahkannya. Bukannya bertindak cepat
untuk menangani sebuah masalah, mereka mengabaikannya
atau menunggu suatu pengarahan yang jelas dari pemimpin
tersebut. Kesetiaan bawahan yang mungkin terjadi adalah
kepada atasan akan terjadi kekacauan dan perpecahan
dalam semangat tim.
Para manajer yang memiliki orientasi kepada
kekuasaan sosialisasi, secara emosional lebih matang.
Mereka menggunakan kekuasaan lebih banyak bagi orang
lain, ragu menggunakan kekuasaan secara manipulatif,
tidak terlalu egoistis dan defensif, mengumpulkan lebih
sedikit kepemilikan materi, memiliki jangkauan
pandangan yang lebih jauh, dan lebih bersedia menerima
nasihat dari orang lain yang memiliki keahlian yang
relevan. Kebutuhan mereka yang kuat akan kekuasaan
diekspresikan dengan menggunakan pengaruh untuk
membangun organisasi dan membuatnya berhasil. Karena
orientasi mereka adalah penegakkan komitmen organisasi,
maka pemimpin demikian akan lebih besar kemungkinannya
untuk menggunakan gaya perilaku manajerial partisipatif
dan pelatihan dan lebih sedikit kemungkinannya
bertindak secara memaksa dan otokratis. Pemimpin
demikian membantu agar para bawahan merasa lebih kuat
dan bertanggung jawab, tidak terlalu mengikat mereka
dengan peraturan yang picik, membantu sebuah struktur
yang jelas dan menciptakan rasa bangga karena berada
dalam unit tersebut (McClelland , 1975, hl. 302).
Orientasi Kepada Keberhasilan
Orientasi kepada keberhasilan termasuk sejumlah
sikap, nilai dan kebutuhan yang saling berhubungan :
kebutuhan akan keberhasilan, keinginan untuk unggul,
dorongan untuk berhasil, kesediaan untuk memikul
tanggung jawab, dan perhatian terhadap sasaran tugas.
Banyak studi telah dilakukan mengenai hubungan dari
orientasi kepada keberhasilan terhadap kemajuan dan
efektivitas manajerial (lihat Bass, 1990). Meski
demikian, hasilnya tidak konsisten bagi berbagai
kriteria (misalnya, para manajer wirausahawan, corporate
general manager, manajer teknis).
Hubungan motivasi kemajuan dengan efektivitas
manajerial kelihatannya amat kompleks. Beberapa studi
menemukan hubungan positif antara motivasi untuk
berhasil dengan efektivitas (misalnya, Stahl, 1983;
Wainer & Rubin, 1969), namun studi lainnya telah
menemukan hubungan yang kuat dan signifikan (Miller &
Toulouse, 1986). Salah satu penjelasan yang mungkin
bagi hasil-hasil yang tidak konsisten tersebut adalah
bahwa hubungan dari motivasi akan keberhasilan terhadap
efektivitas manajerial adalah berbentuk kurva
(curvilinear) bukannya linear. Dengan kata lain, para
manajer yang memiliki sejumlah motivasi yang cukup
tinggi akan keberhasilan lebih efektif daripada para
manajer yang memiliki motivasi yang amat tinggi akan
keberhasilan. Jika penjelasan ini benar, kita dapat
mengharapkan untuk menemukan korelasi yang negatif
dalam studi mengenai para manajer tingkat tinggi dimana
semua pemimpin kemungkinan paling tidak memiliki
kebutuhan yang cukup tinggi akan keberhasilan, seperti
dalam studi mengenai presiden Amerika Serikat yang
dilakukan oleh House et al (1991).
Penelitian mengenai hubungan perilaku yang
berorientasi pada keberhasilan masih amat terbatas,
namun kelihatannya terdapat beberapa hubungan.
Dibandingkan dengan para manajer yang memiliki
orientasi yang rendah terhadap keberhasilan, maka para
manajer yang memiliki orientasi yang tinggi atas
keberhasilan kemungkinan akan memiliki perhatian yang
tinggi terhadap sasaran tugas, lebih bersedia menerima
tanggung jawab untuk memecahkan masalah yang
berhubungan dengan tugas, lebih besar kemungkinannya
akan mengambil inisiatif dalam menemukan masaalah
tersebut dan bertindak tegas untuk memecahkannya, dan
lebih menyukai pemecahan yang melihatkan risiko sedang
daripada solusi yang terlalu berisiko atau terlalu
konservatif. Para manajer ini lebih besar
kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku tugas
seperti menetapkan sasaran dan tenggat waktu yang
menantang tetapi realistis, mengembangkan rencana
tindakan khusus, menentukan cara-cara untuk mengatasi
halangan, mengelola pekerjaan secara efisien, dan
menekankan kinerja saat berbicara dengan orang lain
(Boyatzis, 1982). Sebaliknya, seorang manajer yang
memiliki orientasi yang lemah akan keberhasilan tidak
termotivasi untuk mencari kesempatan yang melibatkan
sasaran yang menantang dan risiko sedang dan tidak
terlalu bersedia untuk mengambil inisiatif untuk
mengenali masalah dan mengambil tanggung jawab untuk
memecahkannya.
Orientasi keberhasilan yang kuat juga dapat
menghasilkan perilaku yang merendahkan efektivitas
manajerial. Jika kebutuhan akan keberhasilan merupakan
motif domain bagi seorang manajer, besar kemungkinan
bahwa upaya manajer itu akan diarahkan menuju
keberhasilan dan kemajuan dirinya sendiri daripada
menuju keberhasilan dari tim atau unit kerjanya.
Manajer itu berusaha untuk menyelesaikan semuanya
sendiri, segan mendelegasikan tugasnya, dan gagal
mengembangkan rasa bertanggung jawab dan komitmen tugas
yang kuat diantara pada bawahan (McClelland & Burnham,
1976; Miller & Toulouse, 1986). Bagi jenis orang
seperti ini akan amat sulit berfungsi secara efektif
dalam sebuah tim manajemen dimana tanggung jawab
kepemimpinan ditanggung bersama-sama.
Bagaimana cara orientasi akan keberhasilan itu
diekspresikan dalam perilaku seorang manajer tergantung
pada pola motif keseluruhan dari manajer tersebut.
Motivasi akan keberhasilan hanya akan meningkatkan
efektivitas kepemimpinan bila ditempatkan lebih rendah
daripada suatu kebutuhan yang kuat akan kekuasaan
sosialisasi, sehingga usaha-usaha manajer tersebut
diarahkan kepada membangun sebuah tim yang berhasil.
Bila dikombinasikan dengan kebutuhan akan kekuasaan
personal, motivasi yang kuat akan keberhasilan dapat
difokuskan pada kemajuan karier dengan cara apapun.
Jenis manajer seperti ini akan mengabaikan sasaran
tugas dan pengembangan para bawahan dalam upaya untuk
membangun reputasi pribadi sebagai seorang bintang yang
melejit dengan cepat. Keputusan mengenai tugas akan
diarahkan oleh keinginan untuk membuat unit kerja
manajer tersebut terlihat baik dalam waktu dekat,
meskipun kinerja akan menderita dalam jangka panjang.
Manajer tersebut kemungkinan akan melakukan kendali
pribadi terhadap proyek-proyek yang menjanjikan dan
amat mencolok dan akan mengambil sendiri sebagian besar
penghargaan atas keberhasilannya. Manajer tersebut
dapat menjadi begitu bersaingnya sehingga menolak
bekerja sama dengan rekan sejawat yang dipandang
sebagai saingan yang potensial. Seperti yang ditemukan
pada studi CCL, kemungkinan hasilnya akan menjadi
kemajuan awal tetapi penyimpangan pada akhirnya saat
seorang manajer yang memiliki ambisi pribadi yang ada
dan sifat kompetitif yanng berlebihan itu menyebabkan
terlalu banyak musuh yang kuat.
Wawasan tambahan diberikan oleh penelitian
mengenai kepribadian Tipe A, yang kelihatannya
mengombinasikan orientasi keberhasilan yang kuat dengan
kebutuhan yang kuat akan kendali atas peristiwa-
peristiwa (Baron, 1989; Nahavandi, Mizzi & Malekzadeh,
1992; Strube, Turner, Cerro, stevens & Hinxhey, 1984).
Para manajer memiliki sindrom kepribadian ini memiliki
harapan yang tinggi atas dirinya sendiri dan amat
kompetitif. Mereka menetapkan sasaran kinerja yang
tinggi, membandingkan diri mereka dengan orang lain,
dan ingin lebih maju dibandingkan orang lain. Para
manajer Tipe A juga amat khawatir dengan waktu; mereka
sering merasa tergesa-gesa dengan waktu, berusaha
melakukan lebih dari satu hal pada satu waktu, dan
tidak sabar atas keterlambatan. Mereka lebih suka
memelihara kendali atas semua aspek pekerjaan mereka,
yang membuat mereka menjadi pendelegasi yang buruk dan
segan bekerja sebagai bagian dari sebuah tim (Miller,
Lack & Asroff, 1985). Akhirnya, para manajer Tipe A
cenderung lebih marah dan cenderung memperlihatkan rasa
bermusuhan mereka saat tidak mampu mengendalikan
peristiwa. Mereka adalah orang yang suka menuntut,
tidak toleran terhadap kesalahan, dan kritis terhadap
orang yang tidak memiliki dedikasi yang sama dengannya.
Pola perilaku ini makin menyulitkan mereka untuk
mempertahankan hubungan yang kooperatif.
Kebutuhan akan Afiliasi
Seperti telah dicatat sebelumnya dalam bab ini,
orang yang memiliki kebutuhan yang kuat akan afiliasi
akan mendapatkan kepuasan yang besar karena disukai dan
diterima oleh orang lain, dan mereka senang bekerja
dengan orang lain yang ramah dan mau bekerja sama.
Kebanyakan studi menemukan korelasi yang negatif antara
kebutuhan akan afilitasi dengan efektivitas manajerial.
Tidak efektifnya para manajer yang memiliki kebutuhan
yang tinggi akan afiliasi dapat dipahami dengan
meneliti pola perilaku umum bagi manajer demikian. Para
manajer tersebut pertama-tama memperhatikan hubungan
daripada tugas, dan mereka tidak bersedia mengizinkan
pekerjaan tersebut mencampuri hubungan yang harmonis
(Litwin & Stringer, 1966; Mcclelland, 1975). Mereka
mencoba menghindari konflik atau lebih suka
menghaluskannya daripada menghadapi perbedaan yang
benar-benar ada. Mereka menghindari membuat keputusan
yang perlu tetapi tidak populer. Mereka memberi
penghargaan bagi kinerja yang efektif. Mereka
memperlihatkan sikap favoritisme kepada kawan
pribadinya dalam memberi panugasan dan mengizinkan
pengecualian terhadap peraturan. Pola perilaku yang
demikian sering membuat para bawahan merasa “lemah,
tidak bertanggung jawab, dan tanpa perasaan mengenai
apa yang akan terjadi kemudian, atau dimana mereka
sebetulnya berada dalam kaitannya dengan manajer
mereka, atau bahkan apa yang sebenarnya harus mereka
lakukan” (McClelland & Burnham, 1976; hlm. 104).
Jelas tidak diinginkan bila seorang manajer
mempunyai kebutuhan yang kuat akan afiliasi, tetapi ada
kemungkinan bahwa terdapat juga beberapa konsekuensi
yang tidak diinginkan bagi para manajer yang berada
pada eksrem lainnya. Seseorang yang mempunyai kebutuhan
akan afiliasi yang rendah cenderung menjadi seorang
“penyendiri”, tidak suka bersosialisasi dengan orang
lain, kecuali mungkin dengan keluarga dekat atau dengan
beberapa teman dekat. Jenis orang demikian mungkin
tidak memiliki motivasi untuk berhubungan dengan banyak
kegiatan sosial dan antar pribadi dengan para bawahan,
atasan, dan rekan sejawat. Akibatnya, jenis orang
demikian bisa gagal mengembangkan keterampilan antar
pribadi yang efektif dan bisa kekurangan kepercayaan
diri dalam mempengaruhi orang lain. Jadi, ada
kemungkinan bahwa tingkat motivasi afiliasi yang
optimal sebaiknya agak rendah dan bukannya tinggi atau
amat sedih.
Lima Besar Ciri Kepribadian
Menjelaskan tentang para pemimpin dalam hal
profit individual mereka akan menjadi lebih mudah jika
terdapat kerangka kerja konseptual yang integratif
dengan sejumlah kecil metaconstructs yang meliputi semua
ciri yang relevan. Pengembangbiakan ciri kepribadian
yang telah diidentifikasikan selama abad lalu telah
menghasilkan upaya untuk menemukan sejumlah kecil
kategori yang terdefinisi luas yang akan
menyederhanakan perkembangan teori-teori ciri. Salah
satu upaya yang kelihatan menjanjikan disebut sebagai
model kepribadian “Lima Besar” (misalnya, Digman, 1990;
Hough, 1992). Lima ciri kepribadian yang terdefinisi
luas dalam taksonomi adalah surgency, dapat diandalkan,
menyenangkan, penyesuaian dan intelektansi.
Pada beberapa tahun terakhir, para sarjana
kepemimpinann telah memperlihatkan minat yang makin
tinggi dalam menggunakan taksonomi ini untuk memudahkan
interpretasi hasil dalam literatur yang padat dan
membingungkan mengenai ciri kepemimpinan (misalnya,
Goodstein & Lanyon, 1999; Hogan, Curphy & Hogan, 1994).
Tabel 7-4 memperlihatkan bagimana kelima kategori luas
tentang ciri tersebut sesuai dengan banyak ciri khusus
yang ditemukan relevan untuk kemunculan, kemajuan, atau
efektivitas kepemimpinan dalam studi-studi atas ciri
yang ditinjau sebelumnya dalam bab ini.
Tabel 7-4 Hubungan antara Lima Besar Ciri dengan Ciri
Khusus
Hubungan antara Lima Besar
Ciri
Ciri Khusus
Surgency Ekstroverso (ramah)
Tingkat Energi dan
AktivitasKebutuhan akan Kekuasaan
(asertif)Kehati-hatian Dapat Diandalkan
Integritas PribadiKebutuhan akan
KeberhasilanRamah tamah Ceria dan Optimis
Mengasuh (simpatik,
membantu)Kebutuhan akan Afiliasi
Penyesuaian Kestabilan EmosionalHarga DiriPengendalian Diri
Intelektansi Rasa Ingin TahuBerpikiran TerbukaBerorientasi Belajar
Berdasarkan Hogan, Curphy & Hogan (1994).
Tidak semua sarjana setuju bahwa model
kepribadian “Lima Besar” lebih baik daripada taksonomi
yang memiliki lebih banyak ciri khusus (Block, 1995;
Hough, 1992). Jika salah satu dari lima faktor itu
meliputi ciri yang relevan dan tidak relevan, akurasi
dari prediksi akan lebih rendah. Selanjutnya, bahkan
saat ciri komponennya semuanya relevan, mereka mungkin
tidak memiliki hubungan yang sama dengan perilaku
kepemimpinan, yang dikira menengahi hubungan antara
ciri dengan efektivitas kepemimpinan. Dibutuhkan lebih
banyak penelitian untuk menentukan apakah lima besar
ciri tersebut memprediksikan dan menjelaskan
efektivitas kepemimpinan dengan lebih baik daripada
ciri komponen khusus.
KETERAMPILAN DAN EFEKTIVITAS MANAJERIAL
Studi awal mengenai ciri dan penelitian lainnya
yang dijelaskan dalam bab ini mengidentifikasikan
sejumlah keterampilan manajerial yang relevan dengan
efektivitas manajerial.
Keterampilan Teknis
Keterampilan teknis meliputi pengetahuan tentang
metode, proses, dan perlengkapan untuk melakukan
aktivitas khusus dari unit organisatoris manajer itu.
Keterampilan teknis juga meliputi pengetahuan faktual
tentang organisasi (peraturan, struktur, sistem
manajemen, karakteristik karyawan), dan pengetahuan
tentang produk dan jasa organisasi (spesifikasi teknis,
kekuatan dan keterbatasan). Jenis pengetahuan ini
diperoleh dengan kombinasi antara pendidikan formal,
pelatihan, dan pengalaman kerja.
Perolehan dari pengetahuan teknis dipermudah oleh
ingatan yang baik mengenai rincian, serta kemampuan
untuk belajar materi teknis secara cepat. Para manajer
yang efektif juga mampu memperoleh informasi dan ide
dari banyak sumber dan menyimpannya dalam ingatan
mereka untuk digunakan saat mereka membutuhkannya.
Banyak bukti bahwa keterampilan teknis berhubungan
dengan efektivitas dan kemajuan pada tingkat manajemen
yang lebih tinggi (McCall & Lombardo, 1983).
Para manajer yang mengawasi pekerjaan dari orang
lain membutuhkan pengetahuan yang amat luas mengenai
teknis dan peralatan yang digunakan para bawahan untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut. Pengetahuan teknis
mengenai produk dan proses diperlukan untuk
merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan kerja,
untuk memimpin dan melatih para bawahan dalam kegiatan
yang istimewa, dan menangani gangguan dalam pekerjaan
yang disebabkan oleh kerusakan peralatan, kerusakan
kualitas, kecelakaan, bahan yang tidak cukup, dan
masalah kordinasi.
Pengetahuan teknis khususnya relevan bagi manajer
yang bersifat wirausahawan. Visi yang inspirasional
dari sebuah produk atau jasa terlihat dapat timbul dari
mana saja, namun sebenarnya merupakan hasil dari
belajar serta pengalaman yang bertahun-tahun lamanya.
Penelitian tentang para wirausahawan yang telah
membangun perusahaan yang berhasil atau yang telah
memperkenalkan produk penting yang baru dalam
perusahaan yang sudah mapan menyatakan bahwa
pengetahuan teknis mereka merupakan ladang yang subur
yang di dalamnya berakar bibit inspirasi untuk
menghasilkan produk yang inovatif (Westley & Mintzberg,
1989). Beberapa contoh termasuk Edwin Land, penemu
karena instan dan pendiri Polaroid Corporation, dan
Steve Jobs, pendiri Apple Computer.
Memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai
produk dan proses saja tidaklah cukup bagi seorang
manajer yang bertanggung jawab. Para manajer juga
membutuhkan pengetahuan luas tentang produk serta jasa
yang ditawarkan oleh para pesaing. Perencanaan yang
strategis kemungkinan tidak akan efektif kecuali bila
seorang manajer memahami kekuatan dan kelemahan relatif
dari produk (atau jasa)-nya sendiri dibandingkan dengan
yang diberikan oleh para pesaing (Peters & Austin,
1985).
Keterampilan konseptual
Keterampilan konseptual (atau “kognitif”)
meliputi kemampuan analitis, berfikir logis, membentuk
konsep, pemikiran yang induktif, dan pemikiran yang
deduktif. Dalam arti umumnya, keterampilan konseptual
termasuk penilaian yang baik, dapat melihat ke depan,
intuisi kreativitas, dan kemampuan untuk menemukan arti
dan keteraturan dalam peristiwa yang tidak pasti dan
ambigu. Keterampilan konseptual telah diukur dengan
sejumlah metode yang berbeda, termasuk tes kecerdasan,
tes situasi, wawancara dan peristiwa kritis.
Penelitian tentang ciri yang mengukur
keterampilan konseptual dengan pensil dan kertas
menemukan bukti yang kuat bahwa jenis kemampuan yang
demikian berhubungan dengan efektivitas manajerial,
khususnya pada posisi manajerial tingkat tinggi (Bass,
1990). Keterampilan konseptual yang diukur dengan
wawancara peristiwa berbeda antara para manajer yang
efektif dengan yang tidak efektif dalam studi yang
dilakukan oleh Boyatzis (1982). Keterampilan konseptual
yang diukur dalam sebuah pusat penilaian memprediksikan
kemajuan ke dalam tingkat manajemen yang lebih tinggi
20 tahun kemudian dalam studi pada AT&T (Howard & Bray,
1988). Dalam studi CCL sebelumnya, keterampilan
koonseptual yang lemah merupakan salah satu alasan bagi
adanya para manajer yang menyimpang (McCall & Lombardo,
1983, hlm. 26): “Bagi orang yang menarik hati namun
tidak terlalu cerdas akan menemukan bahwa pekerjaan
yersebut menjadi terlalu besar dan masalahnya menjadi
terlalu kompleks untuk dapat dilewatinya atas dasar
keterampilan antarpribadi.”
Salah satu jenis keteampilan konseptual, disebut
kompleksitas kognitif, termasuk kemampuan untuk
menggunakan isyarat untuk membuat perbedaan dan
mengembangkan kategori untuk menggolongkan sesuatu,
demikian juga kemampuan untuk mengidentifikasikan
hubungan yang kompleks dan mengembangkan solusi kreatif
terhadap masalah. Orang yang memiliki kompleksitas
kognitif yang rendah melihat hal-hal dalam hubungan
secara hitam putih sederhana dan memiliki kesulitan
untuk melihat banyaknya elemen yang berbeda itu saling
mencocokkan sehingga membentuk kesatuan yang berarti.
Seseorang yang memiliki kompleksitas kognitif yang
tinggi mampu melihat berbagai bayangan semu dan mampu
mengidentifikasikan pola-pola hubungan yang kompleks
dan memprediksi peristiwa di masa depan berdasarkan
kecenderungan yang ada sekarang. Dalam sebuah studi
jangka panjang atas para manajer di empat buah
perusahaan, kompleksitas kognitif yang diukur dengan
wawancara penilaian individu telah memprediksi kemajuan
manajerial secara mencolok untuk empat hingga delapan
tahun kemudian (Stamp, 1988).
Keterampilan konseptual penting bagi perencanaan
yang efektif, mengorganisasi dari bagian-bagian khusus
dari sebuah organisasi. Untuk mencapai koordinasi yang
efektif, seorang manajer perlu memahami bagaimana
berbagai bagian organisasi itu saling berhubungan satu
sama lain dan bagaimana perubahan pada satu bagian dari
sistem itu berdampak pada bagian yang lain. Seorang
manajer yang memiliki komlpeksitas kognitif yang tinggi
akan mampu mengembangkan model yang implisit dari
organisasi tersebut untuk membantu pemahaman dari
kebanyakan faktor kritis dan hubungan di antara mereka.
Sebuah model berfungsi sebagai peta jalan yang
menggambarkan keadaan dari sebuah daerah,
memperlihatkan dimana sesuatu itu ditempatkan dalam
hubungannya dengan yang lain, dan membantu Anda untuk
menentukan bagaimana pergi dari satu tempat ke tempat
lainnya. Para manajer yang memiliki ketermapilan
kognitif yang lemah cenderung untuk mengembangkan model
mental yang simplistik yang tidak terlalu berguna
karena tidak mampu melukiskan proses yang rumit dan
arus peristiwa yang dinamis dalam organisasi tersebut.
Seorang manajer harus mampu memahami bagaimana
perubahan dalam lingkungan eksternal akan membawa
dampak terhadap organisasi. Perencanaan strategis oleh
para eksekutif meminta kemampuan yang cukup untuk dapat
menganalisis peristiwa dan kecenderungan yang
dirasakan, mengantisipasi perubahan, dan telah
dijelaskan oleh Katz dan Kahn (1978, hlm. 541).
Keputusan untuk bergabung atau menolakpenggabungan, untuk membuat perubahan pentingdalam lokasi atau untuk mempertahankan posisiyang sekarang untuk meluncurkan lini produk yangsama sekali baru atau tetap dengan jenis barangtradisional agar menjadi nomor satu dalam prosesproduksi yang baru atau untuk menunggu hinggaorang lain mencobanya – semua ini merupakanmasalah yang meminta pengertian paling besarmeengenai lingkungan manajemen. Disamping itu,juga merupakan persoalan yang membuat perbedaanantara persaingan yang berhasil dan tidakberhasil, antara petumbuhan dan stagnasi,kelangsungan hidup dan kegagalan.
Para manajer eksekutif menggunakan campuran
intuisi dan pemikiran sadar yang cocok bagi jenis
situasi keputusan yang mereka hadapi (Agor, 1986; Lord
& Maher, 1991). Intuisi adalah suatu pengertian atau
firasat yang kelihatannya timbul secara tiba-tiba tanpa
pemikiran yang sadar. Menurut Simon (1987), intuisi
bukanlah suatu proses mistik namun merupakan hasil dari
pengalaman sebelumnya yang ekstensif dengan masalah
yang sama. Pengetahuan yang relevan diperoleh dari
pengalamam tersebut dapat diambil bilamana diperlukan
tanpa banyak kesadaran, seperti juga seorang juara
catur yang dengan cepat mengerti gerakan apa yang harus
dibuat selanjutnya tanpa harus membuat analisis yang
cermat dan berhati-hati dari bidak-bidak catur yang
terletak di papan. Intuisi khususnya berguna bila
membuat keputusan dalam situasi yang tidak jelas dimana
dalam situasi tersebut informasinya terbatas dan banyak
ketidakpastian. Namun demikian, untuk membuat keputusan
yang benar berdasarkan intuisi, dibutuhkan pengetahuan
awal yang amat luas mengenai organisasi, produk serta
jasanya, dan lingkungannya.
Kecerdasan Antar Pribadi
Kecerdasan antarpribadi juga disebut “kecerdasan
sosial” meliputi pengetahuan mengenai perilaku manusia
dan proses kelompok, kemampuan untuk mengerti perasaan,
sikap, serta motivasi dari orang lain; dan kemampuan
untuk mengkomunikasikan dengan jelas dan persuasif.
Penelitian tentang ciri memperhatikan secara konsisten
bahwa kecerdasan hubungan antara manusia tersebut
penting bagi efektivitas manajerial serta kemajuan
(Bass, 1990). Dalam studi AT&T, kecerdasan antarpribadi
memprediksikan kemajuan. Dalam studi CCL, kekurangan
dalam kecerdasan antar pribadi merupakan alasan utama
bagi para manajer yang pada akhirnya menyimpang dalam
karier manajemen mereka. Dalam studi tentang kompetensi
kepemimpinan oleh Biyatzis (1982), kecerdasan
antarpribadi dibedakan antara para manajer yang efektif
dengan yang tidak efektif, bagaimanapun situasinya.
Kecerdasan antarpribadi seperti empati, wawasan
sosial, daya tarik, kebijaksanaan dan diplomasi, sifat
persuasif, dan kemampuan komunikasi lisan penting untuk
mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja sama
dengan para bawahan, atasan, dan rekan sejawat, dan
orang luar. Seorang manajer yang memahami orang lain
dan ia sangat menarik, taktis, dan diplomatis akan
memiliki lebih banyak hubungan kerja sama daripada yang
tidak berperasaan dan menyerang. mcCall dan Lombardo
(1983, hl. 28) mengingat kembali kejadian berikut ini
yang menyangkut seorang manajer yang kasar yang
akhirnya menyimpang:
Manajer tersebut memasuki kantor bawahannya,menginterupsi pertemuan, dan mengatakan, “Sayaperlu bertemu denganmu.” Ketika bawahan tersebutmencoba untuk menjelaskan bahwa ia sedang sibuk,atasannya membentak, “Saya tidak peduli. Sayamengatakan bahwa saya ingin bertemu denganmusekarang.”
Kecerdasan antarpribadi juga penting untuk
mempengaruhi orang. Empati dan pemahaman sosial berarti
kemampuan untuk mengerti motivasi, nilai, dan emosi
seseorang. Memahami apa yang diinginkan orang dan
bagaimana mereka merasakan sesuatu penting untuk
memilih strategi mempengaruhi yang tepat untuk
digunakan. Sifat persuasif dan keterampilan komunikasi
lisan membuat manajer mampu menjalankan strategi
mempengaruhi secara lebih efektif. Pengawasan diri
merupakan sebuah kecerdasan antarpribadi yang telah
mendapatkan perhatian yang makin banyak di tahun-tahun
belakangan ini dari para peneliti kepemimpinan.
Pengawasan diri berarti derajat dimana seseorang adalah
mampu untuk menggunakan isyarat dari orang lain untuk
memahami perilakunya sendiri dan pengaruhnya pada orang
lain (Snyder, 1974). Pengawasan diri adalah mampu
belajar dari umpan balik dan menyesuaikan perilaku
mereka agar cocok dengan persyaratan situasi yang ada.
Orang yang memiliki pengawasan diri yang tinggi akan
lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai seorang
pemimpin dalam sebuah kelompok kecil, dan mereka
mnyelesaikan konflik dengan orang lain secara lebih
efektif (Baron, 1989; Dobbins, Lonh, Dedrick &
Clemonts, 1990).
Kecerdasan antarpribadi juga memperkuat
efektivitas dari perilaku yang berorientasi hubungan.
Kecerdasan antarpribadi yang kuat membantu seorang
manajer untuk mendengarkan dengan cara yang perhatian,
simpatik, dan tidak memberikan penilaian kepada
persoalan seseorang, keluhan, atau kecaman. Empati dan
wawasan sosial penting untuk memahami perasaan dan
persepsi dari orang lain, dan untuk menyelesaikan
konflik dalam cara yang konstruktif. Bahkan perilaku
manajerial yang terutama berorientasi tugas (misalnya,
membuat penugasan dan memberikan instruksi) membutuhkan
kecerdasan antarpribadi yang cukup besar untuk
diperankan dalam cara yang mencerminkan sebuah
perhatian kepada orang dan juga kepada sasaran tugas.
Beberapa orang memiliki konsep yang sewaktu-waktu
“dinyalakan” pada situasi yang istimewa. Katz (1995,
hlm 34) memiliki titik pandang yang berbeda:
Keterampilan yang sebenarnya dalam bekerja denganorang lain harus menjadi kegiatan yang alami danberkelanjutan, karena hal ini mellibatkansensitivitas bukan saja pada saat membuatkeputusan, tetapi juga dalam perilaku sehari-haridari individu tersebut. . . Karena semua yangdikatakan dan dilakukan oleh pemimpin tersebut(atau tidak dikatakan atau tidak dilakukan)memiliki dampak terhadap rekan sekerjanya,sehingga keinginan diri sendiri pada waktunyaakan terlihat. Jadi, agar efektif, keterampilantersebut harus secara alami dikembangkan dansecara tidak sadar serta secara konsisten,diperlihatkan dalam tindakan dari individutersebut.
KOMPETENSI LAINNYA YANG RELEVAN
Pada beberapa tahun terakhir ini telah
diidentifikasikan tambahan kompetensi kepemimpinan,
termsuk kecerdasam emosional. Kecerdasan sosial, dan
metacognition. Walaupun kompetensi ini dapat dianggap
sebagai keterampilan, masing-masing melibatkan
sekelompok keterampilan dan ciri yang berhubungan, yang
membuatnya sulit untuk mencocokkan kompetensi itu ke
dalamsalah satu dari tiga ketegori keterampilan umum
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kecerdasan Emosional
Pada beberapa tahun terakhir ini, para peneliti
telah mengidentifikasikan kecerdasan emosional sebagi
atribut lain yang penting untuk kepemimpinan yang