Metode Melatih Kecerdasan Emosional Pada Anak

184
METODE MELATIH KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK (Studi Pada Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional Siswa SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta) SKRIPSI Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Tugas Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam Disusun Oleh : Nur Alimah NIM. : 99222701

Transcript of Metode Melatih Kecerdasan Emosional Pada Anak

METODE MELATIH KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK

(Studi Pada Ketrampilan Guru Melatih KecerdasanEmosional Siswa

SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta)

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas DakwahUIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Tugas SebagaiSyarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam

Disusun Oleh :

Nur AlimahNIM. : 99222701

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAMFAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA2004 BAB. I

PENDAHULUAN

A. PENEGASAN ISTILAH

Untuk memperoleh gambaran dan pengertian yangjelas serta untuk menghindari salah tafsir tentang

judul ini, maka dianggap perlu untuk memeberipenegasan istilah berkaitan dengan judul ini.

1. Metode

Metode berasal dari bahasa Greek yang

terdiri dari kata meta yang berarti melalui dan

hodos yang berarti jalan. Jadi metode adalah jalan

yang dilalaui.1Metode juga berarti cara kerja yang

sistematis untuk mempermudah suatu kegiatan dalam

mencapai maksudnya.2

1 Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999), hlm. 72

2 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia danKontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 973

Penggunaan istilah metode dalam penelitian

ini dengan maksud menyelidiki tentang berbagai

cara yang digunakan sesuai dengan obyek yang

diteliti.

2. Melatih Kecerdasan Emosional pada Anak

Melatih dapat diartikan dengan membiasakan

diri atau belajar.3Menurut Daniel Goleman dalam

bukunya “Emotional Intellegence”, Kecerdasan emosional

adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri

dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri

sendiri dan kemampuan mengelola emosi yang baik

pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang

lain.4

Jadi Emotional Intellegence merupakan suatu

kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memanage

emosinya supaya dapat terarah, sehingga emosi

dapat digunakan secara proposional pada saat

3 Ibid, hlm. 8384 Daniel Goleman,Emotional Intellegence, terj. T. Hermaya

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 512

melakukan suatu tindakan serta dapat mengenali

efek positif dan efek negatif dari emosi itu.

Anak adalah seseorang yang pada suatu masa

dan perkembangan tertentu dan mempunyai potensi

untuk menjadi cerdas.5Sedangkan anak menurut

Zakiah Daradjat adalah manusia kecil yang berkisar

antara umur 0-12 tahun.6Dengan demikian, yang

dimaksud dengan melatih kecerdasan emosional pada

anak dalam penelitian ini ialah memberikan

pembelajaran atau pembiasaan diri pada anak,

khususnya anak pada umur sekitar 6–9 tahun tentang

kemampuan memahami perasaannya sendiri, orang

lain, memotivasi diri dan juga mampu memanage

emosinya secara proposional.

3. StudiStudi berasal dari bahasa Inggris Study,

diIndonesiakan melalui proses peminjaman kata dari

5 Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja PimpinanPendidikan, (Jakarta: Rinieka cipta. 1990), hlm. 166

6 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,1970) ,hlm.109

bahasa asing dengan mengagantikan huruf y memjadi

I, kemudian studi mempunyai arti penyelidikan.7

Agar lebih operasional, maka studi padapenelitian ini diartikan sebagai suatu

penyelidikan tentang metode yang digunakan gurudalam melatih kecerdasan emosional siswa.

4. Praktek Menurut Peter Salim dan Yenny Salim, praktek

adalah cara pelaksnaan teori secara nyata.8

Praktek yang dimaksud dalam skripsi ini adalah

praktek guru dalam mengenali emosi siswa,

mengendalikan perilaku–perilaku negatif siswa,

menjalin komunikasi secara empatik, dan menanamkan

nilai–nilai emosional dan sosial, seperti;

kedisiplinan, kemandirian, motivasi diri,

ketekunan, ketrampilan berkomunikasi dan tata

krama sosial. Siswa di sini dikhususkan pada siswa

kelas rendah yaitu kelas I, II, dan III sekolah

dasar.

5. SD Muhammadiyah Suronatan Adalah merupakan salah satu instansi sekolah

yyang dirintis oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang7 WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1970), hlm.878 Ibid, hlm. 1186

didirikan pada tahun 1918. Sekolah ini beradadibawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka maksuddari judul skripsi “METODE MELATIH KECERDASANEMOSIONAL PADA ANAK (Studi Pada Praktek guruMelatih Kecerdasan Emosional Siswa di SDMuhammadiyah Suronatan Yogyakarta), adalah

penelitian lapangan yang berusaha menggambarkanmengemukakan dan menguraikan data atau informasisebagaimana adanya tanpa memberikan perlakuan

terhadap subyek penelitian.

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap anak yang lahir normal, baik fisik

maupun mentalnya berpotensi menjadi cerdas. Hal

yang demikian terjadi, karena secara fitrah

manusia dibekali potensi kecerdasan oleh Allah

SWT. Dalam rangka mengaktualisasikan dirinya

sebagai hamba (`abid ) dan wakil Allah (khalifah)

dimuka bumi.9Sebagaimana dalam firman Allah dalam

surat al–Baqarah ayat 30:

9 Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, cet. I, (Jakarta: InisiasiPress, 2002), hlm.13

ال واذ� �ك� ق ة� رب��ّك ئ�� �ّى للملآ� اعل ان� ى ج� ة� الآرض� ف� �ف لي' لى ج� الوا� ق� �عل ق ج� من0 ات�ها ي' سد ف� ف� ها ي' ي' ك� ف� ف�دماء وي'س حن0 ال ح وت� ب�س دك� ي�حم ّدس ت� �ف ك� وي� لى ل ال ق� �ق�ّى ق�رة� مالآ علم ان� .)الي� علمون0 (30: ي�

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada paramalaikat:” Sesungguhnya Aku hendak menjadikanseorang khalifah dimuka bumi”, mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah dimuka bumi itu orang yang akan membuat kerusakanpadanya dan menumpahkan darah, padahal kamisenantiasa bertasbih dengan memuji Engkau danmensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “SesunguhnyaAku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.10

Demikian pula dengan pendapat Al-Ghazali

bahwa:

“Anak dilahirkan dengan membawa fitrah yangseimbang dan sehat. Kedua orang tuanyalah

yang memberikan agama kepada mereka. Demikianpula anak dapat terpengaruhi sifat–sifat yangburuk. Ia mempelajari sifat–sifat yang burukitu dari lingkungan yang dihadapinya. Dari

corak hidup yang memberikan peranan kepadanyadan dari kebiasaan–kebiasaan yang

dilakukanya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuhanak belum sempurna, kekurangan ini

diatasinya dengan latihan dan pendidikan yangditunjang dengan makanan. Demikian pula

halnya dengan tabiat yang difitrahkan. kepada

10 Deperetmen Agama RI, Al – Qur`an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Kathoda, 1993), hlm.13

anak yang merupakan kebajikan yang diberikanal- Khalik kepadanya”.11

Pada masa sekarang ini, peran keluarga mulaimelemah dikarenakan perubahan sosial, politik danbudaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil

yang besar terhadap terbebasnya anak darikekuasaan orang tua, keluarga telah kehilangan

fungsinya dalam perkembangan emosi anak.Kehidupan anak-anak yang sudah memasuki usia

sekolah sebagian waktunya dihabiskan di sekolahmulai pagi hingga siang hari. Hal ini tidakmenutup kemungkinan bahwasanya mereka pun

berinteraksi dengan gurunya dan teman-temannya,hasil interaksi inipun akan mempengaruhi pola

perilaku mereka. Oleh karena itu sekolah merupakanrumah kedua setelah kehidupan mereka bersama orangtua dan saudaranya di rumah, di mana mereka dapat

bermain dan belajar.Pengaruh dari adanya perubahan sistem

politik, sosial dan budaya yang menyebabkan

melemahnya fungsi keluarga terhadap perkembangan

emosi anak, maka peran sekolah di sini sangat

penting dalam pembentukan pola perilaku anak-anak.

Pelaksanan pendidikan tidak mungkin lepas

dari faktor-faktor psikologis manusia di samping

faktor lingkungan sekitar, maka dalam proses

pengajaran perlu bahkan wajib berpegang pada

11 Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya `Ulumuddin, terjemah: KH. MochtarRosyadi & Mochtar Yahya, (Yogyakarta: Al-Falah, 1968), hlm. 15

petunjuk-petunjuk dari para ahli psikologi

terutama psikologi pendidikan dan psikologi

perkembangan, termasuk psikologi agama. Menurut

Al-Farabi dalam buku “Risalah Fissiyasah”, bahwasanya

perlu untuk memperhatikan faktor pembawaan dan

tabiat anak-anak. Anak-anak berbeda pembawaanya

satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan

harus sesuai dengan perbedaan pembawaan dan

kemampuan itu.12

Namun selama ini hanya sedikit orang tua yang

memperhatikan perkembangan kejiwaan anak secara

universal. Orang tua biasanya hanya memperhatikan

pada aspek jiwa yang langsung dapat teramati saat

itu juga. Seperti pada perkembangan aspek kognisi,

orang tua akan merasa sangat bahagia bila anaknya

yang masih balita sudah dapat menghafal abjad

ataupun mengenal bahasa asing. Mereka tidak sadar

bahwa anak akan mempunyai masalah-masalah di masa

depan yang penyelesainya tidak hanya ditentukan12 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim,

(Yogyakarta: Al-Amin Press, 1991), hlm.18

oleh keberhasilan orang tua dalam mengembangkan

aspek kognisinya atau IQ (Intelellegence Qoutien)-nya,

namun tak kalah penting adalah keberhasilan

pengembangan aspek emosi anak juga merupakan salah

satu faktor penting yang mementukan keberhasilan

anak di masa depan.

Dalam kaitannya dengan hubungan tersebut makaupaya untuk membangun dan mengembangkan kecerdasanemosional anak patut diperhatikan karena secarapsikologis bukan pikiran rasional saja yang dapat

membantu anak mengalami perkembangan, tetapipikiran emosional juga memberi dampak efektif. Halini melihat bahwa masa anak merupakan saat yangtepat untuk menerima dan menyerap informasi-

informasi baru.Jadi agar kecerdasan emosional anak dapat

berjalan dan berkembang dengan baik, makaseyogyanya diberikan pendidikan dan bimbingan yang

dilakukan oleh orang tua, dalam hal ini yangpaling berkompeten adalah guru kepada siswa dalammasa pertumbuhannya agar ia memiliki kepribadiandan kecerdasan yang cemerlang baik kecerdasan

logika maupun kecerdasan emosi.Demikian uraian-uraian yang menjelaskan

tentang betapa pentingnya arti kecerdasan

emosional bagi kehidupan modern dewasa ini, yang

dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

Maka kecerdasan emosional ini semakin perlu

dipahami, dimiliki dan diperhatikan dalam

pengembanganya karena mengingat kondisi kehidupan

dewasa ini yang semakin kompleks. Kehidupan yang

semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat

buruk terhadap konstelasi kehidupan emosional

individu. Dalam hal ini, Daniel Goleman

mengemukakan hasil survey terhadap para orang tua

dan guru yang hasilnya menunjukkan bahwa ada

kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu

generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan

emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka

lebih kesepian dan pemurung, lebih beringasan dan

kurang menghargai sopan-santun, lebih gugup dan

mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.13

Dengan melihat hasil penemuan dari DanielGoleman yang mengarah pada arti penting kecerdasanemosional (EQ) bagi kehidupan manusia dewasa ini.Khusus bagi anak-anak, ketrampilan kecerdasanemosional (EQ) perlu disuguhkan sedini mungkinagar nantinya anak-anak (siswa) ini dapat tumbuhdan berkembang dengan baik dan sehat secara moral,

emosional, dan sosial.Merupakan tugas yang berat bagi orang tua

dalam memilih sekolah yang berkualitas bagi13 Syamsu Yusyf LN, op.cit, hlm.113

pendidikan anak-anaknya. Sekolah pada umumnyajarang ditemukan adanya pendidikan yang

berorientasi tidak hanya pada aspek kognitif danpsikomotirik saja melainkan aspek emosional

siswanya pun mendapatkan posisi yang cukup pentingdiperhatikan. Seperti keberadaan SD MuhammadiyahSuronatan Yogyakarta menempati posisi yang cukupdiperhitungkan sebagai instansi yang patut dipilihbagi pendidikan anak-anak sekarang. Karena sekolah

tersebut mempunyai iklim yang bagus bagiperkembangan emosional siswa.

Iklim yang mendukung terciptanya kecerdasanemosional anak ini nampak pada aktivitas belajar-mengajar baik di dalam maupun di luar kelas. Pola-pola kecerdasan emosional yang dikembangkan guru

di dalam kelas dengan jalan mengintegrasikandengan tiap-tiap mata pelajaran yang diajarkan

guru. Hal ini dikarenakan banyaknya bebankurikulum yang harus diajarkan guru dan tidaktersedianya waktu yang memungkinkan bagi merekauntuk memberikan pelatihan kecerdasan emosinal

secara khusus. Dengan mempertimbangkan keterbatasan

kemampuan penulis dalam memahami persoalaankecerdasan emosional, khususnya tentang

perkembangan kecerdasan emosional anak. Maka dalampenelitian ini penulis berusaha untuk menuangkanberbagai masalah emosional siswa yang dihadapi

guru beserta cara-cara guru dalam melatihkecerdasan emosional siswa di SD Muhammadiyah

Suronatan Yogyakarta.

C. RUMUSAN MASALAH

Bertolak dari latar belakang masalah makaselanjutnya dapat dirumuskan permasalahan yang

menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu:

1. Apa saja masalah-masalah emosional siswa yang

dihadapi guru SD Muhmmadiyah Suronatan

Yogyakarta?

2. Bagaimana perspektif kecerdasan emosional bagi

anak menurut SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta?

3. Bagaimana cara guru melatih kecerdasan

emosional siswa di SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta?

D. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru SD Muhammdiayh Surontan Yogykarta.

2. Untuk mengetahui perspektif kecerdasan

emosional (EQ) menurut guru SD Muhammadiyah

Suronatan Yogyakarta.

3.Untuk mengetahui cara-cara guru melatih

kecerdasan emosional (EQ) siswa di SD

Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.

E. MANFAAT PENELITIAN.

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi guru, penelitian ini menjadi umpan balik

(feed back) dalam rangka meningkatkan kemampuan

mengajarnya agar tidak semata mementingkan aspek

kogntif, tapi juga memperhatikan aspek emosi

peserta didik.

2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini memberikan

informasi tentang kecakapan guru dalam melatih

kecerdasan emosional (EQ) kepada anak, khususnya

siswa kelas I, II, dan III SD.

3. Menambah referensi bahan kajian ilmu, khususnya dalam wilayah ilmu Bimbingan dan Penyuluhan Islam tentang melatihS kecerdasan emosional anak.

F. KERANGKA TEORI.

1. Tinjauan Tentang kecerdasan Emosional (EQ).

a. Definisi Kecerdasan Emosional (EQ).

Untuk memahami kecerdasan emosional secara komprehensif, peneliti akan memaparkan terlebih dahulu makna dari emosi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar pijakan awal dalam membahas kecerdasan emosional tidak mengambang. Namun sebelummemaparkan definisi emosi, akan peneliti kemukakan

mengenai kondisi-kondisi yang mendasari emosi. Kondisi-kondisi tersebut adalah:

a. Perasaan, misalnya perasaan takut

b. Impulsif dan dorongan, misalnya dorongan

untuk melarikan diri

c. Persepsi atau pengamatan, tentang apa-apa

yang membangkitkan emosi.14

Demikian pula dalam bukunya Syamsu Yusuf LN, tertuang di dalamnya tentang pendapatnya Sarlito Wirawan mengenai emosi, bahwa menurutnya emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah atau dangkal maupun pada tingkat yang luas atau mendalam.Yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi ( menghayati ) suatu situasi tertentu. Contohya; gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang dan sebagainya.15

Berangkat dari kerangka dasar tentang emosi, sebuah teori yang komprehensif tentang emosi kaitannya dengan kecerdasan emosional yang dikemukakan pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan John Mayer, merekamula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi yang baik pada diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi iniuntuk membimbing pikiran dan tindakan.16Selanjutnya Goleman juga mengemukakan tentang kecerdasan

14 Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja “Dimensi-Dimensi Perkembangan”,(Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.51

15 Syamsu Yusuf LN, op. cit, 2002, hlm. 11516 Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 8

emosional, yaitu kemampuan seperti kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stress, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.17

Sebenarnya teori Goleman tersebut dapat disimpulkan dalam perubahan-perubahan Bahasa Arab, “Man Shobaro Dzofaro”, artinya “Barang siapa yang bersabar, ia akan sukses” peribahasa ini bisa disimpulkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang yang sabar. Keadaan ini menunjukan bahwa ada hubungan antara sukses dan kecerdasan. Kecedasan bias dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar, seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar, itulahmengembangkan kecerdasan emosional.18 Demikianlah definisi kecerdasan emosional menurut beberapa pakar. Kecerdasan emosional (EQ) ini memangmerupakan istilah baru. Namun isi dari EQ ini adalahistilah-istilah, seperti; kesadaran diri, control diri, ketekunan, semangat, motivasi diri, empati, dan kecakapan social. Sebagai dasar-dasar dari kecerdasan emosional ini merupakan istilah lama yangpada substansinya adalah bagaimana seseoarang bisa mengenal, menguasai dan mengendalikan emosi yang adadalam dirinya merupakan ekses dari sikap ini, seseorang dapat dewasa dalam emosi (kecerdasan emosi).

b. Perkembangan Kecerdasan Emosional.

17 Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj: T. Hermaya,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlml.45

18 Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2001), hlm.240

Mengingat pentingnya peran emosi dalam kehidupan anak, tidaklah mengherankan kalau sebagian keyakinantradisional tentang emosi yang telah berkembang selama ini bertahan kukuh tanpa informasi yang tepatuntuk menunjang ataupun menentangnya–sebagai contoh ada keyakinan yang telah diterima secara luas bahwa sebagian orang dilahirkan dengan sifat yang lebih emosional dibanding yang lainnya. Konsekuensinya, sudah menjadi kenyataan yang diterima masyarakat bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah karakteristik ini. Pada zaman dulu perbedaan emosionalitas ini dinyatakan sebagai hasil dari perbedaan keadaan jasmani, dan pendapat mutakhir mengatakan bahwa perbedaan emosionalitas merupakan akibat dari perbedaan dalam kelenjar endokrin.19

Dari kedua pandangan awam tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan emosionalitas ini bersifat genetik atau (diturunkan). Nampaknya keyakinan awam tersebuttidak bisa diubah sebelum bukti ilmiah diperoleh, bahkan keyakinan telah bertahan kuat hingga mempergauli cara orang tua dan guru (para pendidik) yang mempunyai peran pengganti dalam bereaksi terhadap emosi anak.Namun berkat penelitian para pakar dalam berbagai bidang, khususnya para psikologi menunjukan bahwa sebenarnya faktor genetik bukanlah satu-satunya yangmempengaruhi emosionalitas anak, terdapat faktor lainnya yang sangat dominan, bahkan menentukan emosionalitas anak, yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini meliputi berbagai hal lainnya sepertilingkungan keluarga sebagai lingkungan yang pertama kali dapat mempengaruhi perkembangan emosionalitas anak; lingkungan sekolah; serta lingkungan masyarakat.Berbagai faktor lingkungan tersebut akhirnya dapat menyebabkan adanya keberagaman emosi anak (ciri khas

19 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta:Erlangga, 1997), hlm.210

emosi anak), yang berbeda dengan emosi orang dewasa.Orang dewasa yang belum memahami akan ciri khas emosi anak ini cenderung menganggap anak kecil sebagai “tidak matang”. Padahal sebetulnya tidak logis jika orang dewasa menuntut agar semua anak pada usia tertentu mempunyai pola emosi yang sama. Perbedaan individu tidak dapat dielakkan karena adanya perbedaan dalam berbagai hal, diantaranya adalah pematangan dan kesempatan belajar.Dari kedua faktor tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif. Maksudnya adalah bahwaapabila reaksi emosional yang tidak diinginkan dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.Sebagai akibat dari kedua faktor tersebut, maka dapat dipahami bahwa emosi anak seringkali sangat berbeda dari orang dewasa.. Namun terlepas dari adanya perbedaan individu dan faktor-faktornya, cirikhas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa diantaranya yang menjadi ciri khas (pola umum) emosi anak adalah emosi takut dan marah. Inilah yang menjadi faktor fundamental dari emosi.Sebagai faktor lain dari kecerdasan emosi adalah peran orang tua. Apabila seseoarng menjadi orang tua, maka terjadilah suatu keganjilan yang patut disesali, dimana mereka akan mulai memainkan suatu peran tertentu, dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi manusia. Kini sebagai orang tua mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia. Beban tanggung jawab yang berat ini merupakan tantangan bagi orang tua di mana mereka merasa bahwa mereka harus selalu bersikap konsisten dalam perasaan-

perasaan mereka, harus selalu menyanyangi anak-anak,harus menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.Selain peran orang tua, guru sebagai pihak lain yangikut terlibat dalam memupuk kecerdasan emosi anak memiliki peranan penting. Bahkan sering kali didapatkan, anak lebih manurut pada perintah gurunyadari pada perintah orang tuanya. Hal tersebut sah-sah saja, karena memang guru memiliki banyak peranannya tidak sebagai pengajar, tapi juga sebagaipendidik dan pembimbing.20Dalam perananya ini guru perlu mengusahakan diri agar dapat melaksanakan semuanya. Ketika perannya sebagai guru ia perlu yangharus dilakukannya, meskipun ketiga bidang ini dapattumpang tindih sifatnya, tetapi masing-masing mempunyaitekanan perhatian dan pendekatan yang berbeda-beda.

Quantum teaching, memberikan enam kunci bagi para guru untuk membangun suasana yang menyenangkan:21

1) Kekuatan terpendam niat, maksudnya adalah

seseorang guru harus mempunyai niat yang kuat

atau kepercayaan akan kemampuan dan motivasi

siswa.

20 Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya,(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.17

21 Bobby Deporter, Quantum Teaching, Mempraktekan Quantum Learningdi Ruang-Ruang Kelas, terjemah; Ary Nilandari, (Bandung: Kaifa,2000), hlm. 17-39

Dari teorinya Deporter ini dapat dijadikan sebagai metode dalam melatih kecerdasan emosional siswa adalah dengan melakukan empati. Sebagaimana juga yang terdapat dalam metode mendidik anak dalam ajaran Islam, seperti dalam firman Allah SWT:

س ح� ن0 ولي' 'Zي د� وا ال رك هم من0 لوت� لف� ة� ج� 'ري ا ذ� عف� �وا ض اف� �هم ج علي'

واللة ق� ي� لي' ولو ق� ق� ولآ والي' ساء: ف� دا.)الن� (9سدئ�'

“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orangyang seandainya meninggalkan dibelakang merekaanak-anak yang lemah, yang mereka khawatirterhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebabitu hendaklah mereka mengucapkan perkatanyang` benar”.(QS. An-Nisa:9)22

Ayat tersebut di atas dapat dijadikan pegangan oleh pendidik, bahwa sebelum mereka mendidik tentu saja harus bertakwa kepada Allah SWT dan berkata dengan perkataan yang benar dan diharapkan menjurus pada hukum yang benar. Dengan jalan menempatkan diri (berempati) pada orang lain sembari menghayatikelemahan mereka, niscaya ia akan benar-benar memperhatikan perkataan yang benar dan berdasarkan kepada takwa semata-mata karena

22 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 116

Allah SWT, sehingga mereka tidak menghiraukananak yang lemah.23

Sedemikian pentingnya niat kuat ini

sehingga akhirnya dapat berdampak pada peran

psikologis siswa dalam belajar, dan dengan

memperhatikan emosi siswa, maka guru dapat

mempercepat pembelajaran siswa. Demikian

dengan memahami emosi siswa, guru dapat

membuat pembelajaran lebih berarti dan

permanen.

2) Jalinan rasa simpati dan saling pengertian.

Dengan adanya dua sifat ini maka keterlibatan

antara siswa dan guru akan semakin erat,

karena dengan hubungan, akan membangun

jembatan menuju kehidupan bergairah siswa.

Dalam ajaran Islam, bersikap lemah

lembut dan penuh kasih saying merupakan dasar

dalam bermuamalah dengan anak. Sebagaimana

yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam

23 Aabdul Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terjemah: HenryNoer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 178

bergaul dengan anak-anak, beliau memperlakukan

mereka dengan penuh kelembutan baik didalam

sikap atau perkataan beliau. Apabila ada

kesalahan yang dilakukan anak, beliau tidak

segan-segan untuk menegur dengan lembut dan

memberi penjelasan tentang letak kesalahnnya

dengan memakai argumentasi yang logis dan

mudah dipahami oleh mereka. Sehingga mereka

tidak mengalami kesalahan untuk yang kedua

kalinya.

Telah diriwayatkan oleh Aisyah ra.

Rasulullah SAW bersabda:

ق� اللة ِان0 ي' حب� رف� ق� ت' ى' الرف� مر ف� اري' كلة.)رواة الآ� خ� ومسلم( ت�“Sesungguhnya Allah adalah zat yang lembut,dan setiap perkara senang pada kelembutan”.(HR. Bukhori dan Muislim)24

Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-

Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW mengutusnya

24 Muhyidin Abdul Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar TangisAnak, (Yogyaarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 187-196

bersama Mu’adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah

SAW berkata pada mereka berdua:

عسر ي'سر ق�را.)رواة ولآ وعلما ولآي� ي� مسلم( ت}

“ Permudahlah dan janganlah kalian persukar,ajarkanlah ilmu dan janganlah kalianberlaku tidak simpati” 25

3) Keriangan dan ketakjuban. Dengan keriangan

kegiatan belajar-mengajar akan lebih

menyenangkan. Kegembiraan membuat siswa siap

belajar dengan lebih mudah dan bahkan dapat

mengubah sifat negatif. Untuk menambah

kegembiraan dapat digunakan afirmasi, yaitu

suara-suara untuk mengaktifkan dialog

internal, sebagai cerminan nilai-nilai dan

keyakinan guru serta berpengaruh kuat pada

pengalaman guru setiap saat; memberi (dan

menerima) pengakuan, di mana pada dasarnya,

setiap siswa senang diakui atau diterima.

25 Muhammad Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam,(Semarang: asy-Syifa, 1981), hlm. 155

Jadi, akuilah setiap usaha siswa, tidak hanya

usaha yang tepat; merayakan kerja keras, hal

ini akan mendorong siswa memperkuat rasa

tanggung jawab dan mengawali proses belajar

mereka sendiri. Selanjutnya dengan ketakjuban

sebagai alat belajar asli dapat menambahkan

arti lebih pada belajar, jika belajar diawali

dan dicari melalui ketakjuban.

Selanjutnya menurut Utsman Najati, bahwa

afirmasi juga berarti bahwa guru menyediakan

situasi yang baik bagi perkembangan emosi

anak, dan mendukung melalaui cara yang jelas

yang dikenali anak seperti memberikan ganjaran

pada siswa.26

Rasulullah SAW, menggunakan ganjaran

dalam membangkitkan dan memperkuat semangat

serta gairah untuk berlomba lari. Beliau

bersabda:

26 Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, Pengantar:Ary Ginanjar Agustian, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 166

“ “Siapa menang, ia akan mendapatkansesuatu dariku”. Lalu mereka merekaberlomba lari dan menubruk dada beliau,segera beliau memeluk dan menciummereka”27

4) Pengambilan resiko. Setiap belajar mengandung

resiko setiap kali seseorang bertualang untuk

belajar sesuatu yang baru ia mengambil resiko

besar diluar zona nyamannya. Dengan resiko ini

akan membawa siswa melampaui batas mereka

sebelumnya dan menambah dampak pengalamannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam

Bukhari; Rasulullah SAW bersabda:

“ Ilmu itu hanya dapat dikuasaidengan belajar; kecerdikan juga begitu.Barang siapa mengerjakan kebaikan iamendapatkannya. Sedangkan barang siapayang menghindari kejelekan ia akanterjaga darinya”.( HR. Thabrani dan al-Doruquthny)28

Maksud hadits di atas, menurut Utsman

Najati adalah bahwa belajar hanya dapat

ditempuh dengan mengerahkan segenap upaya

27 Ibid28 Ibid, hlm. 170

serta berpartisipasi aktif dan efektif dalam

proses belajar.29

5) Rasa saling memiliki. Dengan adanya saling

memiliki akan mempercepat proses pengajaran

dan meningkatkan rasa tanggung jawab siswa

Mendidik siswa dengan adanya rasa saling

memiliki, menurut Nashih Ulwan juga berarti

mendidik dengan penuh pehatian. Yang dimaksud

mendidik dengan perhatian adalah mencurahkan,

memperhatikan dan senantiasa mengikuti

perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan

moral, persiapan, spiritual dan sosial,

disamping selalu bertanya tentang situasi

pendidikan jasmani dan daya hasil ilmiahnya.

30

Di bawah ini ayat tentang keharusan

memperhatikan dan mengkontrol dalam mendidik

siswa. ها ي�' ا� ن0 ئ' 'Zي وا الد� �وا امي �كم فس ف� كم اي� اس واهلي' �وذهاالي اراوف� ئ�29 Ibid30 Muhammad Nashih Ulwan, Op.Cit, hlm.123

ارة� �ها والحخ ة� علي'ك لآظ� ملي� ون0 ع�عص داذلآي' مرهم اللة س� اا� ون0 معل ق� وي'

م: حري' .)الي} مرون0 و� (6ماي' “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalahkeluargamu dan dirimu daripada neraka, yangbahan bakarnya manusia dan batu, sedangpenjaganya malaikat-malaikat yang kasar dankeras, mereka tidak mendurhakai Allah tentangapa-apa yang disuruhnya dan mereka memperbuatapa-apa yang diperintahkan kepadanya”. (QS.At-Tahrim: 6)31

6) Keteladanan. Bertolak dari pepatah “Tindakan

berbicara lebih keras daripada kata-kata”, ini

mengandung arti bahwa diri seorang guru lebih

penting daripada pengetahuannya. Karena dengan

keteladanan dapat membangun hubungan,

memperbaiki kredibilitas dan meningkatkan

pengaruh.

Dalam Islam, Allah SWT telah menjadikan

nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan,

31 Mahmud Junus, Tarjamah al-Quran al-Karim, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 505-506

yang baik bagi manusia. Dalam al-Quran Allah

SWT berfirman:

د ان0 لف� ى' لكم ك ول ف� وة� للة رس س ة� ا� ن�ان0 لمن0 حس وااللة ك ت'رج�

وم ر والي' خ� كراللة الآ� : وذ� ب� خر� را.)الآ� ي' (21كث�“ Sesungguhnya pada rasul Allah (Muhammad)ada ikutan yang baik bagimu, yaitu bagiorang yang mengharapkan (pahala) Allahdanhari yang kemudian, serta ia banyak mengingatAllah”. (QS. al-Ahzab: 21)32

Telah diakui bahwa kepribadian rasul

sesungguhnya bukan hanya teladan buat satu

masa, satu generasi, satu bangsa atau satu

golongan. Tetapi merupakan teladan univeral,

untuk seluruh manusia dan seluruh generasi.

Teladan yang abadi dan tidak akan habis adalah

kepribadian rasul yang didalamnya terdapat

segala norma,nilai, dan ajaran Islam. 33

32 Ibid, hlm. 37933 Sri Harini dan Aba firdaus al-Hajwani, Mendidik Anak Sejak

Dini, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm.

Menurut an-Nahlawi, sebagaimana dikutip

Sri Harini dan Aba Firdaus al-Hajwani,

pendidikan melalui keteladanan ini dapat

diterapkan baik secara sengaja maupun tidak

sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah

keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan,

sifat ikhlas dan lain-lain. Sedangkan

keteladanan yang disengaja, misalnya memberi

contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat

yang benar dan lain- lain. Dalam pendidikan

Islam kedua macam keteladanan tersebut sama

pentingnya.34

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa

sementara guru mengajak siswa dalam proses

belajar seumur hidup yang dinamis dan tak

terlupakan, guru menciptakan suasana prima yang

unik bagi para siswa, yang membuat siswa aman

tapi tertantang, dimengerti dan dirayakan.

Dengan menciptakan suasana yang prima tersebut,

34 Ibid

guru secara tidak langsung telah mendidik siswa

memiliki kecerdasan emosi.

Demikian juga, dengan lingkungan

masyarakat turut berperan dalam kecerdasan emosi

siswa. Adapun lingkungan masyarakat yang

berpengaruh adalah terutama teman-teman

sebayanya yang bersangkutan, dimana dalam masa

ini terjadi interaksi yang secara tidak langsung

dapat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosi.

2. Tinjauan Tentang Perkembangan Emosi Pada Anak.

Setelah menguraikan konsep kecerdasan

emosional sebagaimana yang dipopulerkan oleh

Daniel Goleman, dalam bukunya “Emotional Intellegence”

(1995), adalah juga perlu memperhatikan penjelasan

teoritis tentang bagaimana perkembangan emosi yang

terjadi pada anak-anak. Hal ini penting karena

akan menjadi kerangka rujukan (Frame of Reference)

dalam membicarakan cara-cara guru melatih

kecerdasan emosional pada anak didiknya yang

merupakan pusat perhatian dalam penelitian ini.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, kemampuan

anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada

semenjak bayi baru dilahirkan. Gejala pertama

perilaku emosional ini adalah berupa

keterangsangan umum. Dengan meningkatnya usia

anak, reaksi emosional mereka kurang menyebar,

kurang sembarangan, lebih dapat dibedakan, dan

lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi

orang lain terhadap luapan emosi yang

berlebihan.35

Adapun ciri-ciri penampilan emosi pada anak

menurut Hurlock ditandai oleh intensitas yang

tinggi, sering kali ditampilkan, bersifat

sementara, cenderung mencerminkan; individualitas,

bervariasi seiring meningkatnya usia, dan dapat

diketahui melalui gejala perilaku.36

35 Elizabeth B. Hurloock, op,cit, hlm.210-21236 Ibid, hal.216

Berikut ini ada beberapa pola emosi yang

dijelaskan Hurlock, yang secara umum terdapat pada

diri anak, yaitu:

a).Rasa Takut.

Dikalangan anak yang lebih besar atau usia

sekolah, rasa takut berpusat pada bahaya yang

bersifat fantastik, adikodrati, dan samar-samar.

Mereka takut pada gelap dan makhluk imajinatif

yang diasosiasikan dengan gelap, pada kematian

atau luka, pada kilat guntur, serta pada

karakter yang menyeramkan yang terdapat pada

dongeng, film, televisi, atau komik

Terlepas dari usia anak, ciri khas yang

penting pada semua rangsangan takut ialah hal

tersebut terjadi secara mendadak dan tidak di

duga, dan anak-anak hanya mempunyai kesempatan

yang sedikit untuk menyesuaikan diri dengan

situasi tersebut. Namun seiring dengan

perkembangan intelektual dan meningkatnya usia

anak, mereka dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungannya.

Selanjutnya reaksi rasa, seperti;

intelegensia, jenis kelamin, status sosial

ekonomi, kondisi fisik, hubungan sosial, urutan

kelahiran, dan faktor kepribadian.

b) Rasa Marah

Pada umumnya, kemarahan disebabkan oleh

berbagai rintangan, misalnya rintangan terhadap

gerak yang diinginkan anak baik rintangan itu

berasal dari orang lain atau berasal dari

ketidakmampuannya sendiri, rintangan tehadap

aktivitas yang sudah berjalan dan sejumlah

kejengkelan yang menumpuk. Pada anak-anak usia

sekolah, rintangan berpusat pada gangguan

terhadap keinginan, gangguan tehadap aktivitas

yang dilaksanakan, selalu di persalahkan, digoda

dan dibandingkan secara tidak menyenangkan

dengan orang lain atau anak lain.

Reaksi kemarahan anak-anak secara garis

besar dikategorisasikan menjadi dua jenis yaitu

reaksi impulsif dan reaksi yang ditekan. Reaksi

impulsif sebagian besar bersifat menghukum

keluar (extra punitive), dalam arti reaksi

tersebut diarahkan kepada orang lain, misalnya

dengan memukul, menggigit, meludahi, meninju,

dan sebagainya. Sebagian kecil lainnya bersifat

kedalam (intra punitive), dalam arti anak-anak

mengarahkan reaksi pada dirinya sendiri.

c) Rasa cemburu

Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap

kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan,

atau ancaman kehilangan kasih sayang. Cemburu

disebabkan kemarahan yang menimbulkan sikap

jengkel dan ditujukan kepada orang lain. Pola

rasa cemburu seringkali berasal dari takut yang

berkombinasi dengan rasa marah. Orang yang

cemburu sering kali merasa tidak tentram dalam

hubungannya dengan orang yang dicintai dan takut

kehilangan status dalam hubungannya itu.

Ada tiga sumber utama yang menimbulkan rasa

cmburu; pertama merasa diabaikan atau diduakan.

Rasa cemburu pada anak-anak umumnya tumbuh

dirumah. Sebagai contoh, seorang bayi yang baru

lahir yang pasti meminta banyak waktu dan

perhatian orang tuanya. Sementara itu kakaknya

yang lebih tua merasa diabaikan. Ia merasa sakit

hati terhadap adiknya itu. Kedua, situasi

sekolah, sumber ini biasanya menimpa anak-anak

usia sekolah. Kecemburuan yang berasal dari

rumah sering di bawa ke sekolah yang

mengakibatkan anak-anak memandang setiap orang,

baik guru atau teman-teman kelasnya sebagai

ancaman bagi keamanan mereka. Untuk melindungi

keamanan mereka, anak-anak kemudian

mengembangkan kepemilikan pada salah satu guru

atau teman sekelasnya. Kecemburuan juga bisa

disulut oleh guru yang suka membandingkan anak

satu dengan anak lain. Ketiga, kepemilikan

terhadap barang-barang yang dimiliki orang lain

membuat mereka merasa cemburu. Jenis kecemburuan

ini berasal dari rasa iri yaitu keadaan marah

dan kekesalan hati yang di tujukan kepada orang

yang memiliki barang yang diinginkannya itu.

d) Duka Cita atau Kesedihan.

Bagi anak-anak, duka cita bukan merupakan

keadaan yang umum. Hal ini dikarenakan tiga

alasan; Pertama, para orang tua, guru, dan orang

dewasa lainnya berusaha mengamankan anak

tersebut dari berbagai duka cita yang

menyakitkan. Karena hal itu dapat merusak

kebahagiaan masa kanak-kanak dan dapat menjadi

dasar bagi masa dewasa yang tidak bahagia.

Kedua, anak-anak terutama apabila mereka masih

kecil, mempunyai ingatan yang tidak bertahan

terlalu lama, sehingga mereka dapat dibantu

melupakan duka cita tersebut, bila ia dialihkan

kepada sesuatu yang menyenangkan. Ketiga

tersedianya pengganti untuk sesuatu yang telah

hilang, mungkin berupa mainan yang disukai, ayah

atau ibu yang dicintai, sehingga dapat

memalingkan mereka dari kesedihan kepada

kebahagiaan. Namun, seiring dengan meningkatnya

usia anak, kesediaan anak semakin bertambah dan

untuk mengalihkan kesedihan dari anak-anak tidak

efektif lagi.

e) Keingintahuan

Anak-anak menunujukan keingintahuan melalui

berbagai perilaku, misalnya dengan bereaksi

secara positif terhadap unsur-unsur yang baru,

aneh, tidak layak atau misterius dalam

lingkunganya dengan bergerak kearah benda

tersebut, memperlihatkan kebutuhan atau

keinginan untuk lebih banyak mengetahui tentang

dirinya sendiri atau lingkunganya untuk mencari

pengalaman baru dan memeriksa rangsangan dengan

maksud untuk lebih banyak mengetahui seluk-beluk

unsur-unsur tersebut.

f) Kegembiraan

Gembira adalah emosi yang menyenangkan yang

dikenal juga dengan kesenangan atau kebahagiaan.

Seperti bentuk emosi-emosi sebelumnya.

Kegembiraan pada masing anak berbeda-beda, baik

mencakup intensitas dan cara mengekspresikannya.

Pada anak-anak usia sekolah awal, sebagian

kegembiraan disebabkan oleh keadaan fisik yang

sehat, situasi yang ganjil, permainan kata-kata,

malapetaka ringan, atau suara yang tiba-tiba

sehingga membuat mereka tersenyum. Sebagian

lainnya, disebabkan karena mereka berhasil

mencapai tujuan yang mereka inginkan.

g) Kasih Sayang

Kasih sayang adalah reaksi emosional

terhadap seseorang atau binatang atau benda. Hal

ini menunjukan perhatian yang hangat, dan

memungkinkan terwujud dalam bentuk fisik atau

kata-kata verbal.

Anak-anak cenderung paling suka kepada

orang yang menyukai mereka dan bersikap ramah

terhadap orang itu. Kasih sayang mereka terutama

ditujukan kepada manusia atau objek lain yang

merupakan pengganti manusia, yaitu berupa;

binatang atau benda-benda. Agar menjadi emosi

yang menyenangkan dan dapat menunjang yang baik,

kasih sayang dari anak-anak harus berbalas.

Artinya harus ada tali penyambung yang

menghubungkan dengan orang yang disayanginya.37

Demikinlah uraian-uraian mengenai

penampilan-penampilan emosi yang sering tampak

menurut teorinya Hurlock, yang patut dan bahkan

menjadi sebuah kewajiban bagi orang tua dan para

pendidik. Dalam hai ini yang paling berkompeten

adalah guru. Sebab dengan mengetahui dan

memahami pola-pola emosi pada anak, guru akan

37 Ibid, hlm. 228

lebih untuk memberikan latihan-latihan emosi

secara baik.

a. Implementasi Pengembangan Kecerdasan Emosional

dalam Perkembangan Anak

Seorang psikolog Harvard, Jerome Kagan,

mengemukakan bahwa temperamen seorang anak

mencerminkan suatu rangkaian emosi bawaan

tertentu dalam otaknya. Sebuah cetak biru untuk

ekspresi emosi-sekaligus perilakunya sekarang

dan di masa mendatang. Menurut Kagan, seorang

anak yang pemalu lahir dengan amigdala yang

mudah terangsang, barang kali karena

kecenderungan turunan untuk mempunyai

norepinofrin atau senyawa kimia otak lain

berkadar tinggi yang merangsang pusat pengendali

emosi pada otak secara berlebihan. Melalui

penelitian bertahun-tahun, ia telah menemukan

bahwa 2/3 anak yang lahir pemalu tumbuh menjadi

anak yang kikuk, penyendiri dan mudah lebih

cemas, penakut, dan mengalami hambatan dalam

bergaul ketika dewasa. Anak-anak ini tampaknya

tidak mengembangkan saluran-saluran saraf antara

amigdala dan korteks yang akan memungkinkan

bagian otak untuk berpikir membantu bagian otak

emosi menenangkan diri.38

Jika manusia telah mengetahui besarnya

pengaruh kecerdasan emosi dalam menunjang

kesuksesan hidup seseorang, sudah sewajarnya

pula orang tua perlu menyiapkan anak-anak untuk

mencapai kecerdasan emosi pada kadar yang

tinggi. Karena EQ tidak berkembang secara

alamiah, artinya seseorang dengan tidak

sendirinya memiliki kematangan EQ semata-mata

didasarkan pada perkembangan usia biologisnya.

Sebaliknya kecerdasan emosi sangat bergantung

pada proses pelatihan dan bimbingan yang

kontinue.39

Dengan contoh hasil penelitian tersebut,

maka mekanisme pengembangan kecerdasan emosi38 Lawrence E. Saphiro, op.cit, hlm. 18 - 1939 Suharsono, op.cit, hal.64

pada anak dapat dimulai sejak anak masih bayi,

karena bayi juga mempunyai kecenderungan-

kecenderungan yang apabila tidak diperhatikan

secara seksama dapat berdampak pada perkembangan

emosinya tatkala ia besar nanti.

Anak-anak (dan orang tua yang kurang

dewasa) cenderung memandang dunia sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan mereka. Ketika anak

bertambah umur tujuh hingga delapan tahun,

mereka menjadi lebih mudah berunding,

berkompromi dan toleran. Tepat, seperti apa yang

diketahui orang tua, proses ini mengalami pasang

surut pada masa remaja. Banyak yang dapat

dilakukan orang tua setiap hari untuk

mengajarkan anak cara mengambil perspektif

berbeda.40Untuk dapat memahami kehidupan bayi dan

anak-anak yang masih sangat muda, maka kita

harus banyak menyadarkan diri pada observasi

tingkah laku anak-anak tersebut, sebab anak-anak40 Maurice J. Elias dkk, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,

(Bandung: Kaifa, 2001), hlm.43

itu tidak dapat bercerita tentang keadaan diri

sendiri, dan tidak mampu mengungkapkan kehidupan

psikisnya.41

Adapun pembentukan kecerdasan emosi pada

anak dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan

EQ, menurut pandangan Goleman isi pelatihan

emosional adalah sebagai berikut :

1) Kesadaran diri

2) Pengelolaan emosi

3) Ketekunan

4) Memotivasi diri

5) Empati

b. Fungsi Kecerdasan Emosi Bagi Guru dan Anak.

Sebenarnya berbicara tentang fungsi

kecerdasan emosi apabila ditinjau secara umum

sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,

yaitu agar seseorang dapat meraih kesuksesan

dalam hidupnya. Walaupun kesuksesan itu sendiri

masih dianggap sebagai sesuatu yang belum jelas,41 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan),

(Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.7

apakah kesuksesan dari segi materi atau non

materi. Terlepas dari sukses dari segi materi

atau non materi tersebut, disini peneliti akan

mencoba menggagas tentang fungsi kecerdasan

emosi bagi guru dan siswa dalam berbagai aspek,

agar pendidikan memperoleh hasil yang maksimal.

Bertolak dari pemikiran seperti di atas,

kesuksesan bagi seorang siswa di sekolah

seringkali diasumsikan sebagai yang berhasil

dalam prestasi akademiknya. Sehingga sangatlah

wajar apabila dari siswa yang memiliki

intelegensi yang tinggi diharapkan dapat

diperoleh prestasi belajar yang tinggi pula.

Untuk membahas kesuksesan siswa dengan

menekankan kecerdasan emosi ini, peneliti akan

melihat dulu pada apa yang dikatakan Gardner

mengenai berbagi kecerdasan yang sebenarnya

dimiliki anak.

Howard Gardner, dalam bukunya yang

berjudul “Multiple Intelegence” menegaskan bahwa

skala kecerdasan yang selama ini dipakai

ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga

kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses

untuk masa depan seseorang. Gambaran mengenai

spectrum kecerdasan yang luas telah membuka mata

para orang tua, maupun guru tentang adanya

wilayah-wilayah yang secara spontan akan

diminati oleh anak-anak dengan semangat yang

tinggi. Wilayah-wilayah tersebut adalah:

1) Kecerdasan Bahasa

Kecerdasan ini umumnya ditandai dengan

ini kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan

dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca.

2) Kecerdasan Musikal

Adalah kecerdasan yang memuat kemampuan

seseorang untuk peka terhadap suara-suara

nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk

dalam hal ini adalah nada dan irama.

3) Kecerdasan Visual Spasial

Kecerdasan ini memuat kemampuan seseorang

untuk mendiami secara mendalam hubungan antara

objek dan ruang.

4) Kecerdasan Kinestik

Kecerdasan yang memuat kemampuan

seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-

bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi

dan memecahkan berbagai masalah.

5) Kecerdasan Interpersonal

Menunujukan kemampuan seseorang untuk

peka terhadap perasaan orang lain. Mereka

cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan

orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi

dengan lingkungan sekelilingnya.

6) Kecerdasan Intra-personal

Menunujukan kemampuan seseorang untuk

peka terhadap perasaannya sendiri. Anak-anak

semacam ini selalu melakukan intropeksi diri,

mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya,

kemudian mencooba untuk memperbaiki diri,

sehingga anak ini cenderung menyukai kesendirian

dan kesunyaian, merenung dan berdialog dengan

dirinya sendiri.

7) Kecerdasan Naturalis

Yaitu kemampuan seseoarng untuk peka

terhadap lingkungan, misalnya senang berada di

lingkungan alam terbuka seperti pantai.42

Dari ketujuh spectrum kecerdasan yang

dikemukakan oleh Gardner di atas, Goleman

mencoba memberi penekanan pada aspek kecerdasan

intrapersonal atau pribadi. Inti dari kecerdasan

ini adalah mencakup kemampuan untuk membedakan

atau menanggapi dengan tepat suasana hati,

temperamen, motivasi, dan hasrat keinginan orang

lain. Namun, menurut Gardner kecerdasan antar

pribadi ini lebih menekankan pada aspek kognisi

atau pemahaman. Sementara factor emosi atau

perasaan kurang diperhatikan. Padahal, menurut

Goleman, faktor emosi ini sangat penting dan

42 Bobbi Deporter, op.cit, hlm.97-98

memberikan suatu warna yang kaya dalam

kecerdasan antar pribadi ini.

Di sini dapat disimpulkan bahwa betapa

pentingnya kecerdasan emosi dikembangkan pada

diri siswa. Karena betapa banyak dijumpai siswa,

di mana mereka begitu cerdas di sekolah, begitu

cemerlang prestasi akademiknya, bila tidak dapat

mengelola emosinya; seperti mudah marah, mudah

putus asa, atau angkuh dan sombong, maka

prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat

untuk dirinya. Ternyata, kecerdasan emosi perlu

dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia

dini. Karena hal ini yang mendasari ketrampilan

seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga

akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang

secara lebih optimal.

Dengan demikian, jelaslah bahwa

kecerdasan emosi dipentingkan bagi siswa dalam

rangka mengembangkan potensi-potensi yang

dimiliki oleh siswa yang bersangkutan, tanpa

harus memaksakan apa yang dikehendaki oleh orang

tuanya.

3. Melatih Kecerdasan Emosional Anak

Sampai sejauh ini belum ada literatur yang

secara spesifik yang membicarakan tentang

bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosi anak

didiknya. Kebanyakan litelatur yang beredar lebih

menyoroti tentang bagaimana cara orang tua membina

EQ anak-anaknya. Seperti bukunya Maurice J. Elias

dkk dengan bukunya “Cara efektif Mengasuh Anak dengan

EQ” dan bukunya Joan Gottman dan Jean De Claire

dalam bukunya “Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki

EQ” (1992).

Sebagai Joan Gottman dan Jean De Claire,

mengidentifikasikan empat tipologi orang tua dalam

menyikapi ungkapan emosi-emosi anak mereka beserta

dampaknya yaitu:

a. Orang tua yang mengabaikan

Mereka tidak menghiraukan dan menganggap

sepi atau meremehkan emosi-emosi negatif anak.

Akibatnya anak menganggap bahwa perasaan-

perasaan itu keliru, tidak tepat atau tidak sah.

Mereka mungkin merasakan ada yang salah dari

perasaannya dan mungkin juga menghadapi

kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri

b. Orang tua yang tidak menyetujui

Mereka bersikap kritis terhadap ungkapan

perasaan-perasaan negatif anak mereka. Akibatnya

bagi anak adalah sama denga tipologi pertama.

c. Orang tua yang Laizees

Mereka menerima emosi anak-anak mereka

dan berempati tetapi tidak memberikan bimbingan

atau menentukan batas-batas tingkah laku anak

mereka. Akibatnya, anak tidak belajar mengatur

emosi mereka, menghadapi kesulitan untuk

berkonsentrasi, dan sulit menjalin persahabatan

atau bergaul dengan orang lain.

d. Orang tua yang berperan sebagai pelatih emosi

Mereka menghargai emosi-emsi negatif anak

sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab,

berempati dengan emosi yang dialami anak, namun

mereka membimbing dan menentukan batas-batas

tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, anak

belajar mempercayai perasaan perasaanya,

mengatur emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan

masalahnya. Mereka juga mempunyai harga diri

yang tinggi dan bergaul dengan orang lain secara

baik43

Di bagian lain, pada buku yang sama

Gottman dan De Claire juga menjelaskan lima

prinsip dasar bagi orang tua dalam melatih

kecerdasan emosional anak, yaitu:

a. Menyadari emosi anak

Langkah pertama melatih anak merasakan

emosi yang ada dalam diri orang tua itu sendiri

ketika anak mengalami masalah emosional.

Menyadari emosi diri sendiri sebelum merasakan

emosi anak bukan berarti merubah secara frontal43 Joan Goottman & Jean De Claire, Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang

Memiliki Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.4-5

karakter pribadi orang tua atau mengungkapkan

secara membabi buta apa yang mereka rasakan

kepada anak, melainkan mengenali kapan orang tua

merasakan suatu emosi, mengidentifikasikan

perasaan-perasaannya, dan peka terhadap hadirnya

emosi pada orang lain.

b. Mengakui emosi anak dan memanfaatkannya sebagai

peluang untuk membangun kedekatan dan mengajar

kecerdasan emosional pada anak.

Adalah penting bagi orang tua

memanfaatkan saat-saat kritis yang terjadi pada

anak seperti nilai lapor yang buruk, pergaulan

yang terganggu, atau pengalaman-pengalaman

negatif lainnya, untuk berempati dan membangun

kedekatan serta mengajari cara-cara mengatasi

perasaan tersebut kepada anak. Kemampuan selain

banyak menolong anak menangani perasaan-

perasaannya juga merupakan wujud konkrit dari

tanggung jawab orang tua terhadap anak.

c. Mendengarkan dan empati dan meneguhkan

perasaan anak

Langkah ketiga ini merupakan langkah

terpenting dalam melatih kecerdasan emosi anak.

Mendengarkan dengan emosi berbeda dengan sekedar

mengumpulkan data-data lewat telinga.

Mendengarkan dengan empati berarti mengunakan

mata untuk mengamati petunjuk fisik anak,

menggunakan imajinasi untuk melihat situasi dari

titik pandang anak, menggunakan kata-kata untuk

merumuskan kembali, menenangkan dan tidak

mengancam, memberi pertolongan kepada anak untuk

menamai (naming or labiling), dan akhirnya

menggunakan hati untuk merasakan apa yang

dirasakan anak.

d. Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-

kata

Langkah ini mudah dan sekaligus sangat

penting. Dalam melatih emosi anak, orang tua

perlu menolong anak memberi nama emosi-emosi

mereka sewaktu emosi-emosi tersebut timbul,

misalnya; tegang, cemas, sakit hati, marah dan

sebagainya. Dengan cara ini pula, anak-anak

ditolong untuk mengubah suatu perasaan yang

tidak jelas, menakutkan dan tidak nyaman menjadi

sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai batas-

batas, serta merupakan hal yang wajar dalam

kehidupan sehari-hari.

e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak

memecahkan masalahnya.

Langkah-langkah ini meliputi lima tahap,

yaitu:

1) Menetukan batas-batas

Anak-anak perlu memahami bahwa perasaan mereka bukanlah masalah, tapi yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku mereka yang keliru. Semua parasaandan hasrat itu dapat diterima tidak semua tingkah laku mereka dapat diterima. Oleh karenanya, tugas orang tua adalah menentukan batas-batas terhadap tindakan-tindakan anak bukan terhadap hasrat-hasratnya.

2) Menentukan sasaran

Untuk mengidentifikasi suatu sasaran disekitar penyelesaian masalah yang dihadapi anak, orang tua

perlu bertanya kepada anak mengenai apa yang diinginkannya berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Seringkali timbulnya perilaku-perilaku negatif pada anak disebabkan masalah yang sepele, namun mereka tidak dapat menjelaskannya. Oleh karenanya, dengan menuntun anak-anak menemukan sasaran disekitar masalah akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut.

3) Memikirkan pemecahan masalah yang mungkin

Setelah menetapkan sasaran yang tepat, orang tua dapat bekerja sama dengan angka memikirkan pemecahanmasalah yang mereka hadapi. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi anak karena memungkinkanya menemukan pemecahan alternatif. Tetapi penting sekali bagi orang tua menahan diri agar tidak mengambil alih masalah anak dan tetap mendorong anak mengemukakan gagasan-gagasan mereka.Anak-anak yang masih kecil orang tua dapat menyampaikan pemecahan masalah melalui permainan-permainan yang akrab dengan anak. Sedangkan anak yang lebih besar, orang tua dapat menggunakan prosessumbang saran. Mereka membiarkan anaknya menyampaikan ide-idenya tanpa dibatasi.

4) Mengevaluasi pemecahan masalah yang diusulkan

berdasarkan nilai-nilai keluarga

Setelah orang tua terlibat bersama anak mengemukakangagasan-gagasannya. Mereka juga harus mendorong anakmerenungkan setiap pemecahan secara terpisah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini; apakahpemecahan itu berhasil?, apakah pemecahan itu aman?,apa akibat dari pemecahan itu?, dan berbagai pertnayaan lainya. Hal ini membantu anak menjajaki pemecahan masalah yang akan dipilihnya.

5) Membantu anak memilih pemecahan masalah

Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong anak-anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut.Demikian kelima prinsip dalam melatih kecerdasan emosional anak yang dikemukakan oleh oleh Gottman dan Claire. Dimana prinsip-prinsip tersebut juga dapat diterapkan guru dalam melatih EQ murid-muridnya di sekolah. Tetapi ada perbedaan-perbedaan yang fundamental antara kondisi yang dihadapi guru di sekolah. Orang tua hanya menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka ketahui bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak mereka. Sebaliknya para guru menghadapi anak-anak yang berbeda dalam berbagai hal dan mereka tidak memiliki pengalaman yang spesifik tentang perkembangan emosi masing-masing muridnya. Selanjutnaya, materi yang diajarkan orang tua kepadaanak-anaknya lebih berorientasi kepada nilai-nilai moralitas dan sosial, sedangkan para guru selain menanamkan moralitas kepada murid-muridnya, mereka juga berkewajiban mengajarkan pengetahuan kognitif dan ketrampilan psikomotorik. Dengan kata lain, kondisi yang dihadapi guru di kelas adalah lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi orang tua di rumah.Dari sini dapat disimpulkan bahwa guru tidak mungkinmenyediakan waktu khusus untuk melatih EQ murid-muridnya. Mereka dapat mengembangkan EQ murid-muridnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa emosi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan belajar siswa.

G. METODE PENELITIAN.

Metode dalam skripsi yang digunakan adalah

sebagai berikut:

1. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian adalah keseluruhan dari

sumber informasi yang dapat memberikan data sesuai

dengan masalah yang di teliti.44 Subyek yang masuk

dalam penelitian ini adalah guru kelas pemegang

kelas rendah, yaitu kelas I, kelas II, dan kelas

III. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah

proses pelaksanaan ketrampilan melatih kecerdasan

emosional siswa SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa subyek

ini harus dipandang sebagai informan yang di pilih

secara purposive atau sistem “Gethok Tular” atau

disebut juga dengan sistem “Snow Ball Sampling”.

Subyek ini dianggap penting peneliti sebagai

sumber informan (Key Information), karena mereka

dapat mengenal dengan baik dunia pengalaman mereka44Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,

(Jakarta: Rineka cipta, 1992), hlm 115

dan dapat mengungkapkan pengalaman tersebut kepada

peneliti.

.2. Penentuan Tehnik Pengumpulan Data.

Untuk mengumpulkan data penelitian, maka

peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data

sebagai berikut:

a. Observasi

Dalam konteks penelitian ini, observasi

dilakukan dilingkungan yang alamiah, yaitu ruang

kelas, dimana ditempat inilah berlangsungnya

interaksi yang intensif antara guru dan siswa.

Melalui observasi, peneliti dapat menemukan

data-data yang tidak terungkap dalam wawancara

dan sekaligus dapat membandingkan data wawancara

tersebut dengan data observasi.

Selain itu dari segi penyelenggaraannya,

penelitian ini menerapkan observasi sistematik.

Artinya observasi dilakukan berdasarkan pedoman

yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini

bermanfaat karena dapat mengarahkan peneliti

pada fokus penelitian. Di samping dapat

menangkap peristiwa-peristiwa yang diperlukan

secara lengkap dan utuh.

Metode ini digunakan untuk memperoleh

data tentang perilaku emosi-emosi siswa dan

proses pelatihan EQ siswa yang dilakukan guru

terhadap siswanya.

b. Wawancara

Wawancara adalah dialog oleh pewawancara

(interviewer) untuk memperoleh data atau

informasi dari terwawancara.45Adapun jenis

wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara

bebas terpimpin, artinya dengan pertanyaan bebas

namun sesuai dengan data yang ingin diketahui,

dengan menyiapkan daftar pertanyaan secara garis

besarnya. Sehingga memberikan kebebasan kepada

informan untuk mengemukakan pendapatnya, namun

tetap dalam konteks permasalahan penelitian.

45 Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm. 144

Dalam tehnik wawancara ini, peneliti

mengajukan pertanyaan yang mendalam (probing)

seputar praktek guru melatih EQ siswa kepada

informan.

c. Dokumentasi

Adalah cara mencari data mengenai hal

atau variabel yang berupa catatan-catatan atau

benda-benda tertulis, seperti; buku, majalah,

dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,

catatan harian, dan sebagainya.46

Dalam pelaksanaanya, peneliti mempelajari

dan mencatat dokumen yang relevan dengan

penelitian. Metode ini digunakan untuk

melengkapi informasi atas data yang telah

diperoleh dari observasi maupun wawancara yang

berhubungan dengan pelaksanaan melatih EQ siswa.

3. Penentuan Keabsahan Data.

46 Ibid, hlm. 131

Untuk menguji keabsahan data digunakan

triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar

data itu untuk keperluan pengecekan atau

pembanding terhadap data tersebut.

Dalam penelitian ini digunakan tehnik

pemeriksaan data yang memanfaatkan penggunaan

sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik

derajat kepercayaan suatu informasi yang telah

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal

ini dapat dicapai dengan jalan sebagai berikut:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan

data hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di

depan dengan apa yang dikatakannya secara

pribadi

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang

tentang situasi penelitian dengan apa yang

dikatakan pada waktu itu

d. Membandingkan keadaan dan perspektif

seseorang dengan berbagai pendapat dan

pandangan orang

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi

suatu dokumen47

4. Analisis Data

Analisa data adalah proses penyederhanaan

data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

interpretasikan.48Dalam menganalisa data yang

penulis kumpulkan dari lapangan, penulis

menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu

menginterpretasikan data-data yang diperoleh dalam

bentuk kalimat-kalimat.49

Kemudian secara sistematis

diinterpretsaikan kedalam laporan sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya. Data yang dapat diambil

dari hasil observasi, wawancara, studi dokumenter

47 Moleong, op.cit, hlm. 17848 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi (ed), Metodologi

Penelitian Survei, (Jakarta:LP3S, 1995), hlm. 2649 Winarno Surahmad, Penganatr Penelitian Ilmiah, (Bandung:

Tarsito, 1985), hlm. 162

dipelajari dan dipahami dengan seksama, kemudian

diambil kesimpulan.

PANDUAN WAWANCARA

A. Wawancara Pada Informan

1. Data pribadi informan

2. Pengalaman mengajar selama menjadi guru kelas

3. Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang

berkaitan dengan emosionalitas siswa yang berkesan

bagi guru.

4. Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru

didepan kelas.

5. Gejala-gejala yang dirasakan guru terjadi pada

siswa yang mempunyai masalah emosional.

6. Cara guru menangkap dan menilai masalah-masalah

emosional yang dialami siswa.

7. Cara guru menghadapi masalah-masalah emosonal

siswa.

8. Sumber emosional siswa yang dirasakan oleh guru.

9. Hambatan yang dihadapi guru dalam melatih

kecerdasan emosional siswa.

10. Nilai-nilai EQ yang dilatihkan guru kepada

siswa.

11. Cara guru melatih nilai-nilai EQ pada siswa.

12. Wawasan guru terhadap konsep EQ.

PANDUAN OBSERVASI

A. Umum

1. Letak geografis lokasi SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta

2. Situasi dan kondisi sekitar SD Muhammadiyah

Suronatan Yogyakarta

3. Pengaturan lingkungan SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta

B. Kegiatan belajar mengajar di SD Muhammadiyah

Suronatan Yogyakarta

1. Masalah-masalah emosional siswa yang muncul

didalam kelas

2. Gejala-gejala yang ditunjukkan siswa yang

memiliki masalah emosional, baik berupa gerak

tubuh, sikap, dan perkataan.

3. Kata-kata atau istilah-istilah asli yang

dikemukakan guru yang berhubungan dengan masalah-

masalah emosional siswa dan kejadian-kejadiannya.

4. Reaksi guru dalam menghadapi siswa yang mempunyai

masalah emosional.

5. Nilai-nilai EQ yang dilatihkan guru kepada siswa.

6. Cara-cara atau tindakan-tindakan guru dalam

melatih EQ siswa.

BAB II

GAMBARAN UMUM

A. GAMBARAN UMUM SD MUHAMMADIYAH SURONATAN YOGYAKARTA

Sekolah dasar muhammadiyah Soronatan

Yogyakarta adalah sebuah lembaga pendidikan formal

yang bernaung dibawah persyarikatan Muhammadiyah

dengan pendirinya KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918.

Pada awal berdirinya SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta diberi nama "Standart School" dan

keberadaanya hanya dipeuntukkan bagi kaum lelaki

saja, sedangkan untuk kaum perempuan ditempatkan di

SD Muhammadiyah Kauman.

Seiring dengan adanya perkembangan zaman yang

ditandai dengan persaingan prestasi pendidikan yang

semakin ketat. Sekolah ini mengalami kemunduran, baik

itu dalam hal prestasi yang diraih oleh SD tersebut

ataupun animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya

juga semakin menurun. Untuk membangun kembali sistem

pendidikan yang unggul dalam prestasi, iman dan

takwa, kemudoian di tahun 1974 sekolah tersebut

digabung dengan SD Muhammadiyah yang berada di

wilayah Kauman. Dengan penggabungan ini, muncl

kembali kejayaan yang pernah diraihnya, dan

peningkatan prestasipun semakin kuat dalam persaingan

kancah dunia pendidikan di Indonesia khususnya di

Yogyakarta. Mengingat SD Muhammadiyah Suronatan

adalah SD Muhammadiyah yang pertama kali didirikan di

Indinesia dan kualitas pendidikannya yang bermutu dan

bernafaskan islami, maka animo masyarakat semakin

berminat untuk menyekolahkan anaknya di Sd trsebut

sampai sekarang50.

50 Wawancara dengan Bp. Kismadi, S.Pd, selaku Kepala SekolahSD Muhammadiyah Soronatan Yogyakarta, pada tanggal 17 Maret 2004

1. Dasar, Visi dan Misi SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta

a. Dasar

Sekolah Dasar Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta beazaskan pancasila dan UUD 1945 serta

berpedoman pada Al-Quran dan L-Hadits dan

keberadaanya di bawah naungan Persyarikatan

Muhammadiyah Daerah Yogyakarta.

b. Visi dan Misi SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta

Sesuai dengan motto yang dipegang oleh SD

Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta yaitu "Creatif

School With Islamic Insight" atau sekolah kreatif yang

berwawasan Islam, maka visi yang akan dibentuk

oleh SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta adalah

siswa unggul berdasarkan IMTAK (Iman dan Takwa)

dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi),

sedangkan misi yang dicanangkan oleh SD

Muhammadiyah Suronatan adalah sebgai berikut:

1) Menumbuh kembangkan hidup Islami dalam

kehidupan sehari-hari

2) Melaksnakan pross kegiatan belajar-mengajar

secara intensif sehingga potensi siswa dapat

berkembang secara optimal.

3) Mengembnagkan seluruh potensi warga sekolah

untuk mencapai tingkat keunggulan

4) Meningkatkan IMTAK ( Iman dan Takwa) dan

pengusaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi)

dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan

pihak terkait

5) Meningkatkan kedisiplinan dalam dalam berbagai

aspek sehingga menjadi manusia unggul yang ber-

akhlakul karimah.51

2. Struktur SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta

51 Dokumntasi profil SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.

PCMNgampilan

Dinas P&PKota YK

KepalaSekolah

KomiteSekolah

TataUsaha

Bendahara

WakaII

WakaI

WakaIII

Sumber data: Dokumentasi SD Muhammadiyah SuronatanYogyakarta,dikutip pada tanggal 28 April 2004

Keterangan:

1) PCM Ngampilan : Sunari SH

2) Dinas P&P DIY : Drs. Darno

3) Kepala Sekolah : Kismadi S.Pd

4) Komite Sekolah : Ahmad Husein SE

5) Tata Usaha : Sumardjiono S.Pd

6) Bendahara : Dwi Budi Ningsih S.Pdi

7) Wakil Kepala I : Supiyana Ama.Pd

Guru Guru

Murid

8) Wakil Kepala II : Martini S.Pd

9) Wakil Kepala III : Refi Sardiyah S.Ag

10) Guru

11) Karyawan

12) Satpam

B. KEBIJAKANSD MUHAMMADIYAH SURONATAN YOGYAKARTA

DALAM MENERAPKAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

1. Kebijakan Secara Umum

Penerapan kecerdasan emosional siswa SD

Muhammadiyah Suronatan secara formalitas bukan

termasuk dalam kurikulum dan kegiatan belajar-

mengajar (KBM) di sekolah yang dikemas kusus dan

terstruktur oleh birokrasi tertentu serta ditangani

oleh ahli profsinal. Namun penerapan kecerdasan

emosional siswa di sini merupakan perpaduan yang

sinergis antara proses pembelajaran di kelas dan

pembentukan emosi anak yang dituangkan secara

sderhana dan tidak memakan banyak waktu.

Adapun kebijakan-kebijakan umum yang

berhubungan dengan pengembangan kecerdasan

emosional siswa SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta adalah melalui:52

a. Pertemuan orang tua atau wali murid dengan

guru

Komunikasi orang tua siswa dengan guru adalah

sangat penting bagi perkembangan siswa. Hal ini

mengingat anak adalah manusia kecil yang tidak

berdaya yang perlu sntuhan pembinaan, didikan dan

perlindunagn dari orang dewasa sedini mungkin. Oleh

karena itu, SD Muhammadiyah Suronatan berusaha

memfasilitasi ruang dan waktu bagi guru dan orng

tua siswa untuk saling bahu-membahu dalam mendidik

anak.

Pertemuan orang tua murid dengan guru

diadakan dalam putaran satu bulan sekali, agar

kondisi anak semakin terkontrol dibawah pantauan

52 Wawancara dengan Bp. Kismadi S.Pd, selaku Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Suronatan, tanggal 17 Maret 2004, pkl. 11.00 WIB, di ruang tamu

guru dan orang tua siswa. Salah satu upaya dalam

mengkontrol anak disediakan buku pantaun siswa

dalam format yang sederhana yang berisi jadwal

shalat lima waktu, jadwal tadarus, dan mata

pelajran yang dipelajari setiap harinya dengan

paraf orang tua dan guru.

b. Budaya Kedisiplinan Bagi Guru dan Siswa

Guna menghasilkan lulusan SD Muhammadiyah

Suronatan yang berkualitas secara intelektual,

moral dan spiritualitas, diperlukan adanya budaya

disiplin dalam ranah kehidupan belajar-mengajar di

sekolah. Pendisiplinan ini tidak hanya

diperuntukkan bagi siswa-siswinya, melainkan para

guru dan pihak yang terkait didalamnya harus mampu

memberi teladan kedisiplinan bgi anak-anak

didiknya.

c. Kegiatan Non Akademik

Upaya dalam menuangkan tujuan yang akan

dicapai, sekolah menggunakan media untuk mencapai

tujaun tersebut dalam wadah aktivits-aktivitas.

Salah satu aktivitas tambahan yang menjadi wadah

pembentuk bakat besrta alat yang menjadikan suatu

komunitas yang utuh dan bersatu-padu, sebgi contoh

kegiatan drum-band. Dimaan dalam kegiatan ini secar

tidak langsung dapat membntuk perilaku siswa dan

melatih siswa bersosialisasi dan berinteraksi

dengan siswa lainnya. Hal ini dapat dibuktiakn

dengan faktanya, bhwa pernah ada siswa yng

merupakan salah satu anggota drum-band yang msih

baru, sebelumnya anak ini berperilaku cenderung

individualistik dan egosentris. Namun setelah

diadakannya Training Centre tingkat nasional di

Kaliurang, ia melihat adanya kekompakkan dari

peserta drum-band dari sekolah lain, kemudian ia

tergerak untuk menjadi sepeti kelompok lainnya.53

d. Pertemaun Para Guru SD Muhammadiyah Suronatan

Yogyakarta

Pertemuan para guru dan pihak yang terkait di

SD Muhmmadiyah Suronatan, selain membahas mengenai

53 ? Ibid

perkembangan sekolah selanjutnya juga membahas

perkembangan peserta didiknya baik itu prestasi

belajar maupun perilaku siswa. Para guru di SD

Muahmmadiyah Suronatan baik dalam mengajar dan

mendidik siswa maupun dalam bergaul dengan siswa

setiap harinya di sekolah harus menciptakan

kedekatan dan keakraban dengan siswa di samping

selalu memotivasi siswa untuk belajar dan

berperilaku dengan baik dan sopan-santun. Dan yang

sangat penting diharapkan adalah adanya

keterjalinan komunikasi antara guru dan siswa di

luar kelas.

Keterjalian komunikasi yang erat dengan guru,

merupakan adalah satu cara penting untuk mengetahui

apakah si anak mendapatkan kemajuan; apakah

perilakunya makin positif atau negatif; apakah ia

bersungguh-sungguh atau tidak. Hal itu akan

membantu baik itu guru atau orang tua siswa untuk

menentukan kapan harus memberikan imbalan dan kapan

memberikan sangsi.

Sebaliknya, ketika guru dan orang tua

bertindak secara sendiri-sendiri dengan tujuan yang

berlawanan, anak akan menderita. Namun, kalau

mereka bekerja sama untuk mengubah perilaku anak,

hasil yang dramatis bisa dicapai.

2. Kebijakan Secara khusus

Penerapan kecerdasan emosional siswa dalam

konteks kebijakan secara khusus, artinya kebijakan-

kebiajakan yang dituangkan oleh personil SD

Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Dalam hal ini

khususnya para guru pemegang kelas atau yang

dinamakan guru kelas pada kelas rendah, yaitu kelas

I. II dan III. Adapun yang menjadi kebijakan guru

dalam menerapkan kecerdasan emosional siswa adalah

sebagai berikut:

a. Pengenalan Lingkungan Sekolah

Siswa sekolah dasar yang baru pertama kali

masuk ke lingkungan sekolah merupakan sesuatu yang

asing dan menakutkan bagi siswa ayng bersangkutan.

Aapalagi nuansa kehidupannya berbeda dengan yang

ada di taman kanak-kanak (TK). Biasanya anak yang

memasuki lingkungan baru pastinya akan penasaran

dengan apa yang mereka lihat dan mereka ingin tahu

dari berbagai sudut ruangan yang ada di sekolah.

Untuk itulah, di hari pertama sampai hari ketiga

diawal anak masuk sekolah, guru akan memperkenalkan

lingkungan sekolah dengan berjalan bersama dan

berbaris secara teratur mengelilingi ruangan-

ruangan yang ada di sekolah dimulai dari kantor

kepala sekolah, ruang guru, ruang kelas kelas satu

sampai kelas enam, kantin makan, tempat bermain dan

berolah-raga dan bahkan sampai pada kamar kecil

(toilet). Tujuan daripada diadakannya pengenalan

lingkungan lingkungan sekolah adalah agar siswa

tidak merasa asing dan takut54.

b. Memberikan Permainan-Permainan

Selain memperkenalkan lingkungan sekolah,

guru juag memperkenalkan permainan-permainan pada 54 ? Wawancara dengan Ibu Martini, selaku guru kelas IA, selasatanggal 27 April 2004

siswa kelas satu pertama kali masuk. Dengan

pertimbangan karena siswa kelas satu suasananya

masih terbawa di taman kanak-kanak yang masih suka

bermain-main, bercanda, ngobrol, berlari-lari dan

sebagainya.

Pemberian rangsangan seperti permainan ini

diharapkan nantinya siswa dapat belajar tanpa rasa

takut, cemas dan gelisah memasuki dunia barunya.

Permainan ini diberikan pada hari ke-empat siswa

masuk sekolah. Pemberian permaian ini tidak

selamanya diberikan, tetapi hanya sekali atau dua

kali dalam tiap bulannya sebagai selingan dalam

belajar55.

c. Siswa Boleh Ditunggu Oleh Orang Tuanya

Siswa yang berada di kelas satu mengalami

masa transisi dari taman kanak-kanak ke sekolah

dasar, sehingga tidak mudah bagi anak untuk

menerima lingkungan barunya. Ketergantungan pada

orang tua masih dibawanya sampai ke jenjang

55 ?Ibid

berikutnya. Hal yang demikian bisa dikarenakan usia

anak yang masih terlalu dini. Gejala-gejala yang

muncul dari sifat ketergantungan ini salah satunya

adalah minta ditunggu orang tuanya di sekolah, anak

mersa cemas dan khawatir bila ditinggal orang

tuanya.

Untuk menyikapi masalah siswa yang minta

ditunggui oleh orang tuanya, guru memberikan tiga

langkah kebijakan yaitu: Pertama, orang tua menunggu

siswa di dalam kelas dengan syarat tidak membantu

pekerjaan siswa. Kedua, bial kondisi anak sudah

menunjukkan gejala yang tidak kronis lagi, orang

tua menunggu di laur kelas dan si anak bisa melihat

orang tuanya dari dalam kelas. Ketiga, orang tua

menunggu siswa di luar kelas yang tidak terlihat

oleh siswa dan bila siswa tidak mempercayainya

siswa boleh keluar untuk membuktikan orang tuanya

masih berada di sekolah56.

56 ?Wawancara dengan Ibu Wiwik, selaku Guru Kelas I B, Senin tanggal 26 April 2004

Kebijakan pertama sampai kebijakan yang

ketiga merupakan kebijakan yang diterapkan guru

dalam melatih kecerdasan emosional siswa khusus

bagi kelas satu. Sedangkan kebijakan yang lainnya

berlaku secara umum baik itu kelas satu, kelas dua

atau kelas tiga. Adapun kebijakan-kebijakan

tersebut adalah:

d. Membuat ikatan perjanjian dengan siswa tenatng

konsekuensi tau hukuman bila ada siswa yang

melanggar tata tertib kelas

Keberadaan dan aspirasi siswa di kelas sangat

diperhatikan dan didengar oleh para guru dalam

segala hal, samapi pada hukuman pun demikian. Guru

tidak mengambil keputusan secara sepihak, melainkan

dimusyawarahkan bersama siswa, seperti hukuman bagi

siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR),

sebelumnya telah disepakati bagi siswa yang tidak

mengerjakan pekerjaan rumah konsekuensinya siswa

diberi tugas empat kali lipatnya tergantung pada

kondisi kejiwaan siswa. Demikian pula dalam masalah

keterlambatan siswa, disepakati konsekuensinya

berupa menghafalkan ayat-ayat pendek (Juz'ama) dan

doa-doa, serta menjalankan shalat dhuha pada waktu

jam istirahat57.

e. Siswa-siswi diwajibkan menabung

Menabung merupakan salah satu upaya guru

dalam melatih siswa untuk hidup hemat dan bersikap

dermawan terhadap yang membutuhkan. Adapun nantinya

uang tabungan tersebut dapat digunakan untuk dana

sosial bagi siswa yang orang tuanya kurang mampu,

dana khitan, dan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya

di dalam kelas seperti untuk membesuk anak yang

sakit dan sebagainya58.

f. Mewajibkan siswa untuk piket kelas atau bersih-

bersih kelas dan merapikan meja dan bangku belajar

setelah jam belajar berakhir

Kondisi dan kenyamanan kelas harus terjaga,

untuk itulah supaya kelas tetap bersih dan nyaman,

57 ?Wawancara denagn Ibu Martini, ibu Wiwik, ibu Tri, ibu Nurul dan bapak Budiono , di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta58 ?Ibid

perlu untuk membentuk tim kecil dan secara bergilir

membersihkan kelas setelah jam belajar selesai59.

Tugas piket kelas ini hukumnya wajib dan semua

siswa harus mematuhinya bila ada siswa yang

melanggar, maka pelanggaran siswa tersebut

dimasukkan dalam buku pelanggaran sekolah dan

ditandatangani oleh orang tua siswa.

Adapun bentuk pembagian tugas piket ini,

selain agar kelas tetap terjaga kebersihannya juga

untuk melatih siswa mandiri dan tanggung jawab,

sehingga pada gilirannya siswa akan terbiasa dalam

mengerjakan pekerjan rumah tangga dan mereka tidag

sungkan untuk mengerjakannya di rumah. Ataupun

sebaliknya, bila di rumah si anak biasa

terlibatsecara fisik, mental dan emosional dalam

mengatur dan memelihara rumah tangga, maka

kemampuan berbuat yang sama pun akan diperbuatnya

di sekolah dan aktivitas yang lain akan meningkat.

g. Memberiakn buku pantauan59 ?Hasil observasi di kelas I, II dan III SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.

Buku pantauan paad dasarnya kebiajkan dari

sekolah, namun kewenangannya pada akhirnya

diserahkan pada guru kelas masing-masing kelas yang

mampu memantau setiap harinya di kelas dan paad

akhir tutup bulan dilaporkan pada kepala sekolah.

Pemberian buku pantauan ini untuk melihat

sejauhmana siswa melakukan aktivitasnya sehari-hari

baik itu belajarnya atau aktivitas keagamaan

seperti shalat dan tadarus yang ditanda tangani

langsung oleh orang tua siswa dan dilaporkan pada

guru kelas setiap hari. Sehingga dari buku pantauan

ini dapat terlihat jelas mana siswa yang benar-

benar melakukan aktivitas belajar, shalat atau

tadarusnya60. Selain mendorong siswa untuk belajar

lebih tekun dan giat juag denagn buku pantauan ini

diharapkan siswa untuk berlaku jujur terhadap guru

dan orang tuanya.

h. Memberikan fasilitas-fasilitas yang menunjang

kegiatan belajar-mengajar60 ?Dokumentasi kelas SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta, dikutip tanggal 27 April 2004

Fasilitas-fasilitas yang dimaksud adalah bisa

berupa media elektronika, seperti alat mikrofon

atau Wireless61, denagn media tersebut siswa dapat

mengaktualisasikan dirinya dengan menyanyi atau

berpuisi, dan dengan alat ini pula siswa merasa

terhibur dan senang. Melalui media ini terkadang

digunakan guru untuk melatih percaya diri siswa

yang pemalu untuk berbicara dengan alat bantuan

seperti mikrofon dan nanatinya didenagrkan sendiri

oleh siswa yang bersangkutan dan pada gilirannya

siswa akan mengetahui suaranya sendiri itu bagus

dan membuat siswa tersebut dapat percaya diri62.

i. Merubah komposisi duduk

Perubahan komposisi duduk sangatlah

diperlukan disamping untuk kesehatan mata juag

untuk merubah suasana belajar. Penempatan komposisi

duduk siswa yang harus berbeda setiap minggunya

juga akan mempengaruhi bagaimana siswa tersebut

61 ?Observasi di kelas III A, di SD Muhammadiayh Suronatan Yogyakarta, tanggal 8 Mei 2004 62 ?Wawancara dengan Ibu Wiwik, tanggal 8 Mei 2004

termotivasi untuk belajar dan mau tidak mau siswa

harus menemui teman sebangku yang berbeda-beda

pula63. Dengan demikian siswa dapat bersosialisasai

secara luas.

j. Mencatat pelanggaran siswa ke dalam buku

pelanggaran sekolah

Semua jenis pelanggaran yang dilakukan siswa

akan dimasukkan dalam buku pelanggaran dan setiap

bulannya dilaporkan pada orang tua siswa serta

dilaporkan dan ditandatangani oleh kepala sekolah64.

Dengan buku pelanggaran tersebut siswa akan lebih

berhati-hati untuk tidak melakukan pelanggaran

lagi, sehingga disinilah perlunya ketekunan siswa

untuk tidak berbuat yang melanggar peraturan

sekolah serta melalui buku pelanggaran ini siswa

dilatih untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang

diperbuatnya.

63 ?Wawancara denagn seluruh informan, di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. 64 ?Dokumentasi kelas SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta

BAB III

METODE MELATIH KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK

A. PENYAJIAN DATA

Setelah melakukan penelitian di lapangan, padaakhirnya diperoleh data-data yang berkaitan denganketrampilan guru melatih kecerdasan emosional siswa.Data ini diperoleh berdasarkan hasil pengamatan secaralangsung dan hasil wawancara dengan informan, dalambab ini akan dibahas tentang permasalahan emosionalyang dihadapi guru beserta nilai-nilai dan cara-caraguru dalam melatih kecerdasan emosional. Ketrampilandalam hal ini adalah pemahaman guru tentang melatihkecerdasan emosional yang diterapkan secara bersamadengan kegiatan belajar-mengajar di kelas setiapharinya.

Lebih jelasnya berikut ini akan dibahas tentangketrampilan guru dalam melatih kecerdasan emosionalpada setiap jenjang pendidikan secara terperinci, halini di karenakan permasalahan emosional siswa yangdihadapi guru dalam setiap kelas berbeda dan gejala-gejala yang tampak pada siswa kelas 1, 2 dan 3 jugaberbeda. Begitu pula dalam melatih kecerdasanemosional ini diklasifikasikan berdasarkan tingkatintelektualitas dan perkembangan pribadi siswa.

Adapun bentuk-bentuk ketrampilan guru dalammelatih kecerdasan emosional siswa adalah sebagaiberikut:

1. Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional

Siswa Kelas I

a. Masalah Emosional Siswa di Kelas I

1) Ketidakdisiplinan

Ketidakdisiplinan, terutama ketidakdisiplinandalam belajar merupakan masalah yang dominandihadapi guru. Hal ini disebabkan karena siswamasih terbawa kebiasaan di taman kanak-kanak, yangditandai kesenangan untuk bermain-bermain dantingginya ketergantungan kepada orang tua. Adapunbentuk-bentuk ketidakdisiplinan siswa tersebutadalah:a) Membuat keramaian di dalam kelas.

Siswa pada umumnya suka mengobrol dengan

teman sebangkunya, suka bermain-main, dan

bersenda gurau. Padahal perilaku-perilaku ini

menciptakan suasana gaduh di dalam kelas dan

membuat siswa lainnya tidak berkonsentrasi pada

tugas-tugas mereka.65

b) Terlambat datang ke sekolah

Sebagian besar siswa diantar jemput oleh

orang tua mereka ke sekolah. Hanya saja, karena

siswa biasanya belum mampu mempersiapkan dirinya

sendiri dan jarak rumah mereka dengan sekolah

yang cukup jauh, maka biasanya mereka terlambat65 Hasil observasi tanggal 4 Mei 2004, di kelas IA dan IB

sekolah. Hal ini diakui oleh guru kelas 1B,

sebagai berikut:

“ Saya kira wajar ya… apabila anak yang baru masuk kelas satu dan terlambat, sebabnya banyak anak-anak yang rumahnya jauh dan apalagi mereka’kan masih kecil, jadi belum bisa menyiapkan perlengkapan sekolahnya dan masih perlu bantuan orang tuanya. Pertama masuk ke kelas dan terlambat anak ini takut dan malah nggak mau masuk ke kelas. Kalau kejadiannya seperti saya anjurkan pada orang tua supayatidak terlambat lagi mengantarkan anaknya”66

c) Tidak mengerjakan pekerjaan rumah.

Pekerjaan rumah adalah sesuatu yang masih

asing bagi siswa kelas satu, karena di jenjang

sebelumnya mereka tidak pernah mendapatkan tugas

semacam itu. Oleh karenanya, bagi sebagian siswa

pekerjaan rumah dirasakan sebagai beban dan

dianggap mengurangi waktu bermain mereka.

Akibatnya siswa sering melalaikan tugas tersebut

dan menganggapnya tidak membawa konsekuensi

apapun.67

2) Ketergantungan

Tingginya tingkat ketergantungan siswa kepadaorang tuanya selama di taman kanak-kanak ternyatamasih dibawa kejenjang berikutnya. Pada umumnyasiswa masih dibangunkan oleh orang tuanya,

66 Wawancara dengan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004 67 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004 dan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004

dimandikan, dan perlengkapan belajarnya juga masihdipersiapkan oleh orang tuanya.. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang biasanya memicuketerlambatan mereka datang ke sekolah.68

3) Cemas bila ditinggalkan orang tua di sekolah

Rasa cemas juga merupakan masalah emosionalsiswa yang sering dihadapi guru. Sumber kecemasanini adalah rasa takut yang ditimbulkan olehlingkungan yang masih asing, kehadiran guru yangbelum dikenal, dan khawatir kalau ditinggalsendirian oleh orang tuanya di sekolah. Terkaitdengan hal yamg terakhir yang disebutkan, gejala-gejala kekhawatiran siswa ditandai beberapaperilaku berikut ini:a) Menengok orang tuanya yang berada di luar kelas.

Walaupun siswa sudah berada di dalam kelas

dan mereka telah duduk di tempatnya masing-

masing, namun isyarat mata mereka dengan jelas

menunjukan perhatian mereka sebenarnya masih

tertuju kepada oreang tua mereka yang berada di

luar kelas

b) Sesekali menemui orang tua mereka di luar kelas.

Memperhatikan orang tua mereka dari dalam

kelas ternyata belum mencukupi. Untuk itu

sesekali mereka langsung menemui orang tua di

luar kelas, guna memastikan bahwa orang tua68 Ibid

mereka setia menunggu. Perilaku diatas hanya

berlangsung sebelum guru kelas memulai proses

belajar mengajar. Apabila guru sudah memasuki

kelas dan proses belajar mengajar telah di mulai;

maka perhatian siswa kepada orang tua mereka

sedikit demi sedikit berkurang.

c) Memperhatikan orang tua lewat jendela kelas.

Walaupun siswa sudah mulai berkonsentrasi

pada pengajaran guru di muka kelas, bukan berarti

rasa cemas siswa pudar secara keseluruhan.

Kadangkala mereka masih memperhatikan orang tua

melalui jendela kelas.69

4) Perilaku Asosial

a) Pemalak atau pengompas

Fenomena pemalakan, hampir ada di setiap

sekolah. Perilaku meminta uang atau barang milik

orang lain secara paksa yang dilakukan oleh anak

yang bermasalah itu jelas membuat lingkungan

sekitar tidak aman.

69 Ibid

Istilah pemalak yang di kenal di sekitar

sekolah disebut dengan ngompasi. Anak yang berbuat

perilaku seperti pemalak biasanya beroperasi

setiap jam istirahat, dimana ia merasa tidak puas

bila tidak meminta secara paksa dari

sasarannya.Adapun yang menjadikan anak

berperilaku menjadi pemalak kecil adalah

kurangnya perhatian dari orang tua atau bisa juga

dari mereka yang memiliki orang tua yang tidak

lengkap (single parent) dan ada yang disebabkan

karena mereka tidak di beri uang jajan oleh orang

tua mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh guru

kelas 1A:

“ Yang menggangu hubungan sosial siswa khususnya di kelas yang saya pegang angkatan tahun kemarin sekarang sudah kelas dua ada anak yangsukanya minta jajanan atau uang jajan sama temannya secara paksa atau kalau di sini namanya ngompasi, kalau temannya itu tidak mau memberi kadang di tendang atau dijambak rambutnya sampai anak itu menangis”70

b) Perkelahian

Perilaku asosial yang sering ditampakkan

oleh anak-anak biasanya dalam bentuk perkelahian.

70 Hasil wawancara denagn Ibu Martini tanggal 27 April 2004

Pemicu dari pertengkaran atau perkelahian

biasanya dari rasa jengkel dan dongkol anak

terhadap anak lainnya yang dianggapnya telah

mengganggu dan mengejeknya71.

c) Berbohong

Anak yang berbohong biasanya dalam masalah

nilai yang jelek. Ketika anak mendapatkan nilai

yang jelek, ada yang diantara orang tua mereka

yang tidak mau menerima nilai yang jelek dari

anaknya.

Untuk menghindari perlakuan dari orang tua

yang keras, anak berusaha menutupi kejelekannya

seperti nilai jelek tersebut digantikannya dengan

nilai yang bagus. Berbohong disini maksudnya

lebih mengarahkan pada rasa ketakutan anak

terhadap orang tuanya, tapi sebenarnya mereka

adalah anak-anak yang jujur bila berada di

71 Hasil Observasi tanggal 25 April 2004, di kelas IA

sekolah. Apabila mereka berhadapan di gurunya

mereka selalu jujur karena mereka merasa lebih

dekat dan menuruti gurunya daripada orang tuanya.

“ Anak berbohong biasanya dalam masalah nilai yang mereka peroleh itutidak memuaskan. Pernah ada siswa yang kalau dapat nilai jelek itu dipukul oleh bapaknya, sehingga kalau dia setiap mendapatkan nilai jelek digantikannya dengan nilai yang lebih bagus dengan cara menggantikan angka yang lebih tinggi yang tidak diperolehnya. Anak berbohong dibawah umur sepuluh tahun, karean tidak tahu baik-buruk suatu perbuatan karena mereka melihat sesuai dengan apa adanya, melainkan ia berusaha untuk menjauhi dan melindungi diri dari perbuatan orang yang lebih dewasa dalam hal ini orang tua, sehinga untuk menjelaskan tentang berbohong ini beserta dampaknya bukan dengan cara nasihat tentang dosa atau tidaknya suatu perbutan, tapi dengan cara menjelaskan pada mereka tentang surga dan neraka.” 72

d) Bertutur kata yang kurang sopan dan santun

Bertutur kata bagi anak-anak seusia yang

masih dini ini lebih menirukan gaya orang yang

lebih besar disekitarnya. Peniruan ini mereka

dapatkan lebih banyak dilingkungan rumahnya, dan

dibawa ke sekolah yang kemudian ditirukan oleh

anak-anak lainnya yang sebelumnya tidak tahu. Di

dalam kelas mereka berseloteh dengan kata-kata

yang kurang sopan seperti “monyet” atau “orang

edan” dan sebagainya.73

72 Hasil wawancara dengan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004 73 Hasil observasi tanggal 4 Mei 2004, di kelas IA

b. Nilai-Nilai dan Cara-Cara Guru Melatih

Kecerdasan Emosional Siswa di Kelas I

Pelbagai masalah emosional di atas adalahalasan utama yang menyebabkan para guru di SDMuhammadiyah Suronatan Yogyakarta merasa engganmenjadi guru kelas satu. Mereka pada umumnyamemilih untuk menjadi guru kelas di jenjanglainnya, karena masalah-masalah yang dihadapi dijenjang tersebut tidak sekompleks di kelas satu,yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan ekstradari guru. Oleh karenanya, walaupun menghadapitingkat kesulitan yang lebih tinggi, guru yangbertindak sebagai guru kelas satu merasa engganketika dipercayai menjadi guru kelas tersebut.

Selanjutnya, untuk mengatasi masalah-masalahemosional tersebut guru berusaha menanamkan nilai-nilai dengan cara-cara berikut ini:

1) Kedisiplinan

Untuk mengatasi keramaian, kelalaian siswadalam mengerjakan pekerjaan rumah, dan menghindariketerlambatan siswa datang ke sekolah. Gurumenekankan pentingnya kedisiplinan kepada siswa.Nilai ini dilakukan dengan cara-cara berikut ini:a) Menghukum siswa

Hukuman yang diberikan guru kepada siswa-

siswinya merupakan salah satu langkah yang cukup

efektif dalam menghadapi masalah-masalah

pembelajaran yang bersumber dari emosi siswa.

Namun hukuman ini tidak layaknya hukuman klasikal

seperti yang dipakai oleh sekolah-sekolah dulu

yang monoton.Hukuman yang diberikan ini lebih

mempertimbangkan pada kondisi kejiwaan siswa yang

ditakutkan akan melemahkan mental anak-anak. Guru

lebih memilih dengan memakai hukuman yang cukup

sederhana seperti siswa yang datang terlambat;

pertama mengisi buku pelanggaran tata tertib

sekolah, mengulang kembali cara-cara memasuki

ruang kelas dengan sopan dan santun dan yang

terakhir bila siswa tersebut terlalu sering

terlambat maka disuruh membaca doa-doa dan

menghafalinya (seperti doa ketika dan sesudah

makan) atau di suruh melaksanakan shalat Dluha.74

Adapun dalam mnghadapi siswa yang ramai di

dalam kelas, guru biasanya memberikan pengayaan

yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian siswa

dengan memberikan tugas pada siswa yang

bersangkutan untuk mengerjakan soal-soal latihan

dan bisa dikerjakan di dalam atau di luar kelas.75

b) Menegur dan mengancam 74 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004 75 Wawancara dengan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004

Teguran kepada siswa dilakukan guru apabila

siswa tidak memperhatikan pengajaran guru, tidak

berkonsentrasi pada tugas yang diberikan, siswa

yang suka jalan-jalan di dalam kelas (keliling

kelas) dan tidak duduk pada tempat duduknya

masing-masing. Biasanya guru menegur siswa dengan

menyebutkan nama siswa yang bersangkutan;

“Faizir… bisa diam tidak ?, kalau tidak bisa diam nanti kamu baca doa sendiri”76

c) Nasihat dengan cerita

Dalam menangani masalah emosional siswa

guru lebih seringnya menggunakan cara dengan

memberikan nasihat-nasihat.Nasihat-nasihat ini

berupa cerita atau kisah nabi, dongeng-dongeng

tentang binatang (fabel), atau kisah kocaknya si

Abu Nawas. Nasihat ini juga bisa berupa ungkapan-

ungkapan yang diambil dari hadist nabi, seperti

dalam menangani anak yang suka meminta-minta

dengan secara paksa (pemalak), guru biasanya

76 Hasil observasi tanggal 4 nei 2004

memberikan wejangan-wejangan dan memberikan

nasihat bahwa:

“Tangan yang di atas lebih baik dengan tangan yang ada di bawahnya”77

Atau dengan mengatakan kepada siswa

tersebut bahwa:

“Meminta secara paksa pada teman sama saja dengan mencuri, merampok dan menodong dan itu dosa, kalau dosa berarti kamu nanti masuk neraka yang ada apinya”.78

2) Kemandirian.

Kemandirian merupakan salah satu bentukkecerdasan emosional yang secara mencolok seringdiberikan guru, teruatama pada masa awal siswamemasuki sekolah dasar. Adapun cara guru melatihkemandirian siswa adalah:a) Mengecek tingkat kemandirian siswa

Hal ini dilakukan dengan bertanya

kepada siswa seputar kegiatan pribadi yang

dilakukan siswa secara mandiri. Sebagai contoh

pada satu waktu guru bertanya kepada siswa:

“Siapa yang tadi pagi dibangunkan ibunya masih rewel?, Tasya… kamu tadi pagi bangunnya jam berapa dan shalat shubuh tidak?”79

77 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004 78 Ibid79 Hasil obserbvasi tanggal 4 Mei 2004, di kelas IA

Menanggapi pertanyaan guru, siswa pada

umumnya langsung mengangkat tangannya.

b) Memberi petunjuk tentang aktivitas-aktivitas

mandiri yang dapat dilaksanakan siswa.

Selain mengecek tingkat kemandirian siswa,

guru juga menyebutkan urutan langkah-langkah yang

harus dilakukan siswa sebelum berangkat ke

sekolah. Pada saat itu guru mengatakan:

“ Baik anak-anak mulai besok pagi harus bangun lebih awal kemudian shalat shubuh, mandi, sarapan dan baru berangkat sekolah, kalau anak-anak bangunnya adzan shubuh jadinya tidak terlambat masuk sekolah”80

Kedua pendekatan ini menurut guru cukup

efektif karena siswa-siswinya ternyata mengikuti

saran-sarannya. Bila ditanya perihal apakah

mereka benar-benar telah mempersiapkan dirinya

sendiri sebelum berangkat ke sekolah, siswa

dengan antusias menunjukan jarinya dan hal ini

membuktikan bahwa mereka benar-benar mengikuti

saran guru.

3) Keberanian

80 Ibid

Seiring dengan nilai kemandirian, keberanianjuga merupakan salah satu nilai kecerdasanemosional yang secara intensif di lakukan gurukepada siswa-siswanya. Hal ini dilatihkan guruagar siswa dapat mengatasi ketakutan mereka dalammenghadapi situasi yang baru. Adapun cara gurumelatih siswa adalah sebagai berikut:a) Meminta siswa untuk maju ke muka kelas

Meminta siswa tampil ke muka kelas pada

awal pertemuan untuk memperkenalkan dirinya

adalah salah satu langkah yang di tempuh guru

untuk mengembangkan keberanian siswa. Walaupun

setiap siswa telah mengenakan tanda pengenal di

dada bagian kanan masing-masing, mereka tetap

diminta guru untuk maju ke depan dan menyebutkan

identitas dirinya. Kendati sebagian besar siswa

tampak masih malu-malu, pendekatan ini sedikit

banyak telah melatih keberanian siswa. Mereka

belajar untuk mengatasi ketakutan, rasa canggung

dan bersedia di nilai orang lain.81

b) Mengelilingi lingkungan sekolah

Lingkungan sekolah adalah rumah kedua

setelah kehidupan mereka di keluarganya masing-81 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004

masing. Untuk itulah, betapa pentingnya

mengenalkan lingkungan sekolah kepada siswa kelas

satu. Langkah ini merupakan langkah yang cukup

ampuh dalam memupuk keberanian kepada siswa dalam

lingkungan barunya yaitu sekolah dasar.

Pengenalan terhadap lingkungan sekolah ini

diadakan tiga hari setelah siswa masuk ke

sekolah. Adapun pengenalan sekolah dilakukan

dengan cara mengelilingi lingkungan sekolah yang

dipandu langsung oleh guru kelas,langkah pertama

siswa berbaris rapi kemudian berjalan bersama

mengelilingi berbagai sudut ruangan di sekolah,

seperti ruang kantor kepala sekolah dan guru,

ruang-ruang kelas, kantin makan serta kamar kecil

(toilet).82

c) Meminta siswa mengerjakan soal-soal di muka

kelas

Mengerjakan soal-soal di muka kelas,

disamping befungsi untuk mengetahui sejauh mana

82 Ibid

tingkat pemahaman siswa terhadap pelajaran yang

sudah diajarkan guru, ternyata juga melatih

keberanian siswa. Tampil ke muka kelas dan

mengerjakan soal-soal latihan bukan pekerjaan

yang mudah bagi siswa. Tapi sebaliknya tugas ini

membutuhkan persiapan mental yang memadai. Jika

siswa tidak memiliki keberanian dan masih

diliputi rasa malu, ia tidak akan bersedia

melakukan hal tersebut. Sebaliknya jika siswa

memiliki keberanian, ia tidak akan menghindari

permintaan guru, bahkan mampu mengaktualisasikan

dirinya tanpa diminta oleh guru.83

d) Membantu guru membagikan buku latihan

Hal ini sepertinya sangat sepele, namun

kenyataannya mempunyai dampak psikologis yang

cukup besar bagi siswa. Ketika guru meminta siswa

membagikan buku latihan yang sudah dikoreksi,

ternyata mereka yang mendapatkan tugas merasa

dipercayai oleh guru, sehinga siswa sangat

83 Hasil obsevasi tanggal 4 & 8 Mei 2004, di kelas IA & IB

antusias dan seringkali berkompetisi untuk

mendapatkan kesempatan melaksanakan tugas

tersebut84.

4) Membina Persahabatan

Perilaku asosial siswa, seperti meminta uangjajanan pada temannya, dipandang guru dapatmenghambat hubungan sosial antar siswa. Untukitulah guru juga memperhatikan terjalinnyapersahabatan antar siswa adalah sebagai berikut:a) Menganalogikan hubungan antar siswa sebagai

sebuah keluarga.

Sebagai contoh dalam sebuah pertemuan guru

mengatakan kepada siswa:

“Kita ini satu keluarga, kalau di rumah yang menjadi orang tua kalianadalah bapak dan ibu kalian, tapi di sekolah, ibulah yang bertindak sebagai ayah dan ibu kalian. Makanya jangan rebut dan jangan berantem dalam satu keluarga”85

Dari sini terlihat jelas, bahwa guru

memandang persahabatan sebagai nilai yang sangat

penting. Ia menganalogikan hubungan antara guru

dan siswa denagn siswa lainnya adalah seperti84

? Ibid85 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004

sebuah keluarga, di mana guru bertindak sebagai

orang tua yang menggantikan peran ayah dan ibu

mereka di rumah dan setiap siswa terikat dalam

hubungan persaudaraan.

b) Memanggil siswa yang berperilaku asosial

Selain memberikan nasihat kepada siswa

tentang pentingnya persahabatan, guru juga

memberikan perhatian pada penanganan kasus-kasus

yang dapat merusak persahabatan antar sesama

siswa. Misalnya ketika guru mendapat laporan

tentang kenakalan siswa yang suka meminta jajan

kepada temannya dan memaksanya jika tuntutannya

tidak dipenuhi. Begitu menerima laporan guru

langsung memanggil siswa yang bersangkutan. Guru

bertanya;

“kenapa minta uang sama temannya?”, “tidak dikasih uang jajan Bu…”, jawab siswa. “kalau begitu, besok bawa makanan dari rumah”. Ujar guru selanjutnya. Kemudian guru menasihati siswa tersebut dengan mengatakan, “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang dibawah, tahu kan apa artinya itu?, artinya kamu itu lebih baik memberi bukannya meminta apalagi dengan memaksa, kalau meminta jajanpada temanmu dengan cara paksa berarti kamu sama saja denga pencuri,perampok dan yang sejenisnya, kamu mau dikatakan pencuri?, nggak mau’kan?, ya udah sekarang kamu minta maaf Risa”86

86

? Ibid

2. Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional

Siswa Kelas II

a. Masalah-masalah emosional siswa yang

dihadapai guru

1) Ketidakdisiplinan

Ketidakdisiplinan tidak hanya terjadi dikelas I, masalah ini bisa terjadi di kelas II.Hanya saja tingkat kesulitannya lebih rendah untukmengatasi hal tersebut, guru biasanya menegursiswa agar mengubah perilakunya tersebut. Adapunbentuk-bentuk ketidakdisiplinan tersebut adalah:a) Keramaian di dalam kelas

Keramaian ini biasanya dipicu oleh

kebiasaan siswa yang suka berbincang-bincang

selama mengerjakan tugas atau bersenda gurau

waktu menyerahkan tugas kepada guru.87

b) Tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR)

Seperti halnya di kelas I, kecenderungan

siswa untuk melalaikan PR juga masih terjadi di

kelas II. Untuk menutupi keteledorannya ini,

siswa biasanya beralasan bahwa PR tersebut

tertinggal di rumah atau lupa dikerjakan.87 Hasil observasi tanggal 12 Mei 2004, di kelas IIA

“Anak yang manja dan pemalas yang lebih sering melalaikan tugas dan beralasan bukunya tertinggal di rumah, sebenarnya belum mengerjakan karena kebiasaannya kalau ada PR di kerjakan saudara atau pembantunya”88

c) Melanggar peraturan sekolah

Melanggar peraturan yang biasanya dilakukan

oleh siswa itu tidak memakai seragam sekolah

sacara lengkap; seperti tidak memakai tanda

pengenal atau tidak memakai sabuk.89

2) Motivasi belajar yang rendah

Rendahnya motivasi diri, terutama motivasibelajar siswa, disamping guru merasa kesulitandalam mengelola pembelajaran, juga berdampak padarendahnya prestasi belajar siswa. Siswa yangmempunyai motivasi belajar yang rendah di tandaiperilaku berikut ini:a) Tidak terkonsentrasi dan tidak mau mengerjakan

tugas

Biasanya siswa yang tidak terkonsentrasi

maupun tidak mau mengerjakan tugas dikarenakan

oleh keadaan siswa dari rumah di bawa ke sekolah;

seperti anak yang biasa dimanja di rumah, siswa

tersebut akan kesulitan ketika di kelas di beri

88 Hasil wawancara dengan Ibu Tri tanggal 27 April 2004, selaku guru kelas IIB SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta 89 Wawancara dengan ibu Watiah tanggal 3 Mei 2004, selaku guru kelas IIA SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta

tugas latihan oleh guru atau siswa yang mempunyai

permasalahan di rumah; seperti siswa yang di

hadapi masalah percekcokan atau pertengkaran yang

terjadi pada kedua orang tuanya. Siswa-siswa yang

demikian akan sulit untuk berkonsentrasi dalam

pelajarannya, perilaku ini biasanya ditandai

dengan melamun atau bermalas-malasan di dalam

kelas.90

b) Lambat dalam mengerjakan tugas

Masalah siswa yang lambat dalam mengerjakan

tugas juga dipicu oleh keadaan ataupun kebiasaan

siswa di rumah dan di bawanya di sekolah. Siswa

yang manja biasanya lambat dalam mengerjakan

tugas di dalam kelas, hal ini biasanya disebabkan

kebiasaan siswa kalau ada PR dikerjakan oleh

orang lain ataupun tanpa bimbingan orang tua.91

3) Perilaku asosial

Perilaku asosial siswa yang pada umunyamerupakan kebiasaan yang dibawa dari rumah;seperti siswa yang suka atau cepat marah, maka

90 Ibid91 Wawancara dengan ibu Tri tanggal 27 april 2004

apabila di dalam kelas ada temannya yangmengejeknya langsung marah dan tidak ragu-raguuntuk membalasnya dengan pukulan atau tendangan.Ada pula siswa yang manja diejek sedikit samatemannya langsung menangis. Kurangnya sopan santunsiswa juga yang terjadi di dalam kelas, sepertimenerima barang dengan tangan kiri atau berkatayang tidak sopan di dalam kelas, walaupun hanyacelotehan siswa, adalah kebiasaan-kebiasaan siswayang sering dilakukan siswa, yang tidak sesuaidengan norma sosial. Oleh karena itu, tata kramasosial siswa juga diperhatikan guru di dalamkelas.92

b. Nilai-Nilai dan Cara-Cara Guru Melatih

Kecerdasan Emosional Siswa.

1) Kedisiplinan

Nilai ini mendapat prioritas utama karenamasalah kedisiplinan masih dominan terjadi. Untukmelatih nilai ini kepada siswa, guru melakukanlangkah-langkah berikut ini:a) Menegur dan mengancam siswa

Menghadapi siswa yang ramai di dalam kelas,

tindakan pertama yang dilakukan oleh guru

biasanya menegur secara langsung pada siswa yang

bersangkutan. Teguran ini biasanya dilakukan guru

ketika ada siswa yang tidak memperhatikan

penjelasan dari guru atau ketika siswa ramai di

92 Hasil obsarvasi tanggal tanggal 12 Mei 2004, di kelas IIA

dalam kelas; seperti jalan-jalan di dalam kelas.

Sebagaimana ada kejadian ketika kondisi kelas

ramai, maka guru mengatakan:

“Anak-anak tahu tidak kalian?, yang boleh jalan di dalam kelas hanya yang diberikan tugas untuk mengumpulkan buku latihan dan yang lainnya yang tidak berkepentingan duduk di bangkunya masing-masing!”93

Terkadang guru juga menggunakan ancaman

dalam menghadapi kelalaian siswa, sebagaimana

kejadian ada siswa yang tidak mengumpulkan tugas

latihan ataupun buku evaluasi nilai (Raport), oleh

guru dikatakan demikian:

“Yesa, kalau kamu besok tidak mengumpulkan buku raport, ibu tidak maumenaikkan kamu kelas tiga!”94

b) Memberi hukuman dengan meminta siswa

mengerjakan tugas

Keaadan kelas satu dengan kelas dua jelas

berbeda, di mana kenakalan di kelas satu bisa

ditolerir karena sudah dianggap wajar, tapi di

kelas dua guru sedikit keras dalam menanganinya.

Seperti halnya ketika ada siswa yang melanggar

93 Observasi tanggal 12 mei 2004, di kelas IIB94 Ibid

peraturan sekolah dengan tidak memakai seragam

secara lengkap, maka langkah pertama yang diambil

guru adalah dengan memasukkan pelanggaran siswa

tersebut kedalam buku pelanggaran sekolah.

Selain memasukkan pelanggaran siswa

kedalam buku pelanggaran, siswa pun diberikan

nasihat tantang penting dan manfaatnya berpakaain

rapih dan bersih, yang mana guru memberikan

nasihat-nasihat tentang kisah teladan atau dengan

memberikan nasihat bahwa “kebersihan merupakan

sebagian dari iman”, dan langkah yang terakhir, bila

siswa tersebut melakukan kesalahan secara

berulang-ulang, maka guru memberikannya hukuman

dengan meminta siswa untuk berdiri di muka kelas

atau menyapu di dalam dan di luar kelas.95

Adapun bagi siswa yang tidak mengerjakan

PR, maka guru menawarkan kepada siswa agar

mengerjakan PR-nya sebanyak lima kali lipatnya.

Tapi dengan melihat ekspresi wajah siswa yang

95Hasil wawancara denagn Ibu Watiah, pada tanggal 3 Mei 2004

menunjukan keberatan dengan hukuman tersebut,

membuat guru memberikan keringanan hukuman.

Akhirnya siswa diminta mengerjakan PR-nya

sebanyak dua kali lipat dan dikerjkan di teras

kelas.96

2) Tanggung jawab

Bertanggung jawab atas aktivitas belajaradalah salah satu kecerdasan emosional yangdilatihkan guru kepada siswa. Hal ini dilakukanterutama untuk mengatasi siswa yang tidak maumengerjakan tugasnya dan siswa yang selaluterlambat dalam mengerjakan tugas. Adapun caraguru dalam melatih nilai tersebut adalah sebagaiberikut:a) Mewajibkan siswa menyelesaiakan tugasnya

sesudah jam belajar di sekolah

Menghadapi siswa yang tidak berkonsentrasi

dan tidak mau mengerjakan tugasnya sera siswa

yang selalu terlambat dalam mengerjakan tugasnya,

guru mewajibkan mereka setelah jam belajar di

sekolah . Mereka dilarang pulang apabila tugas

96 Wawancara dengan Ibu Tri Ari Ruwantini, pada tanggal 27 April 2004

tersebut belum tuntas dan baru diperkenankan

pulang kalau sudah menyelesaikannya97.

Cara ini selain melatih tanggung jawab

siswa terhadap aktivitas belajarnya juga melatih

ketekunan dan kesabaran siswa.

b) Mewajibkan siswa melaksanakan piket kebersihan

kelas

Pada saat yang sama, guru juga melatih siswa agar bertanggung jawab terhadap kebersihan kelasnya. Untuk itu guru membuat jadwal piket siswa, di mana setiap siswa yang termasuk dalam jadwal piket pada hari tertentu harus membersihkan kelas selesai jam belajar di sekolah.98

3) Ketekunan dan kesabaran

Ketekunan dan kesabaran adalah modal utamadalam meraih prestasi belajar. Dalam konteks ini,guru melatih ketekunan dan kesabaran dengan caramemperhatikan setiap siswa yang sedang mengerjakantugas-tugas latihan dengan mengelilingi ruangankelas. Di samping itu juga melatih ketekunan dankesabaran siswa ketika siswa mengalami kesulitanmengerjakan tugas, maka siswa yang bersangkutanmaju ke meja guru dan kemudian diberikanpengarahan dan penjelasan dari guru.99

4) Motivasi berprestasi

Untuk memotivasi semangat siswa dalam meraihprestasi belajar yang tinggi, guru selalaumemberikan pujian pada siswa yang terlibat aktif

97 Observasi tanggal 12 mei 2004, di kelas IIB98 Ibid99 Hasil Observasi tanggal 11 & 12 Mei 2004, di kelaas IIA & IIB

dalam proses pembelajaran dan mampu menjawabpertanyaan guru dengan benar.100

5) Kejujuran

Untuk melatih kejujuran pada siswa, gurubiasanya meminta siswa menyebutkan nilai yangdiperoleh dengan mengangkat tangan setiap kaliguru menyebutkan nilai yang mungkin mereka perolehyang kemudian diteliti guru secara bergilir.101

Di samping itu juga guru memberikan nasihatdengan cerita-cerita untuk membiasakan anakberlaku jujur. Dalam melatih kejujuran, gurubiasanya menggunakan cerita tentang orang-orangyang berlaku tidak jujur beserta akibatnya.102

6) Membina persahabatan

Untuk melatih kesetiakawanan sosial siswa dankemampuan beradaptasi dengan lingkungannya, gurumelakukan langkah-langkah berikut:a) Memindahkan tempat duduk siswa secara berkala

Kecenderungan siswa pada usia sekolah dasar yang suka membentukkelompok sepermainan, pada gilirannya membuat mereka sering tidak toleran dengan kehadiran orang lain. Bahkan mereka tidak mau berhubungan dengan orang lain di luar kelompoknya. Oleh karena itu, dengan memindahkan tempatduduk siswa setiap minggu sekali, mereka harus belajar menerima kehadiran orang lain dan bersedia bekerjasama dengannya.

Di samping melatih ketrampilan sosial siswa, menrut guru cara ini juga bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan membagi komposisi duduk siswa secara seimbang, guru berharap bahwa siswa yang kemampuan belajarnya rendah termotivasi untuk meraih prestasi belajaryang lebih baik.sebaliknya siswa yang kemampunnya lebih dapat membantu siswa yang kemampunnya kurang. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut,guru mempertimbangkan tiga hal, yaitu prestasi belajar siswa, daya konsentrasi, dan kesehatan mata siswa.103

b) Meminta siswa untuk meminjamkan alat tulis

Kehidupan di dalam kelas antara satu siswa dengan siswa lainnyatentunya saling membutuhkan satu sama lain; Seperti dalam meminjamkan alat

100 Hasil observasi tanggal 12 Mei 2004, di kelas IIB101 Ibid 102 Hasil Observasi tanggal 11 Mei 2004, di kelas IIA103 Wawancara dengan Ibu Tri tanggal 27 April 2004 dan Ibu Watiah tanggal 3 Mei 2004

tulis-menulis, hal yang demikian perlu ditekankan pada siswa untuk saling tolong-menolong. Seperti halnya apabila ada siswa yang tidak membawa pensil berwarna, guru biasanya meminta kepada siswa yang mempunya pensil berwarna untuk meminjamkannya pada temannya yang membutuhkan.104

7) Memiliki tata krama sosial

Tata krama sosial merupakan ketrampilamsosial yang diperhatikan guru. Apalagi munculperilaku-perilaku siswa yang tidak sesuai dengannorma-norma sosial, guru langsung menegur danmemperingatkan siswa yang bersangkutan agar tidakmengulangi perbuatannya lagi. Sebagai contohketika guru menjumpai ada siswa yang menyerahkanbuku tulis kepada gurunya tersebut dengan tangankirinya. Secara spontan guru biasanya menegurseketika itu, dengan tindakan guru tidak maumenerima buku tulis itu. Menanggapi teguran guru,siswa tersebut langsung menarik tangan kirinya danmemajukan tangan kananya. Ia mengerti bahwamenerima segala sesuatu dengan tangan kiri yangdipandang tidak sopan secara sosial.105

Pada situasi yang lain, guru menjumpai siswayang terlambat dan langsung masuk ke kelas tanpamengucapka salam terlebih dahulu, maka gurumenegurnya dengan mengatakan:

“Nazam…ayo keluar!, coba kamu ulangi lagi bagaimana cara masuk ke kelas dengan baik”106

Setelah mendapatkan intruksi dari guru, siswatersebut menuruti perintah gurunya dan langsungmengulangi tata cara masuk ke kelas dengan sopan-santun.

Dua peristiwa di atas secara eksplisitmenunjukkan bahwa tata krama sosial adalah nilaiyang sangat yang diperhatikan guru kepadasiswanya.

104 Hasil observasi tanggal 15 Mei 2004, di kelaas IIA105 Hasil observasi 12 Mei 2004, di kelaas IIA106 Hasil observasi tanggal 14 Mei 2004

3. Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional di

Kelas III

a. Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi

guru

1) Pengelompokan sosial dan kecemburuan terhadap

lawan jenis

Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapiguru pada masing-masing jenjang pendidikanberbeda-beda sesuai dengan pertambahan usia,kematangan dan perkembangan intelektual siswa.Selain itu ada kecenderunagn terjadinya dominasisalah satu emosi atas emosi lainnya pada jenjangtertentu. Tetapi selanjutnya dominasi emositersebut digantikan dominasi emosi lainnya.

Demikian halnya di kelas III, masalahemosional yang menonjol adalah meningkatnyasolidaritas siswa terhadap kelompoknya yangdidasarkan pada kesamaan jenis kelamin. Gejala inidapat dilihat dari keengganan mereka untukberpisah tempat duduk dari teman akrabnya.

“Ada anak yang tidak cocok dengan kehadiran teman lainya, tapi mereka harus menerima berbagi bersama dan mau tidak mau dia tidakboleh memilih teman sebangkunya semaunya sendiri, dalam hal ini harus ada persamaan antar teman satu dengan teman lainnya. Kalau ada yang merasa tiak cocok saya tekankan pada mereka untuk menepisnya dan tidak boleh memilih salah satu”107

Pada saat yang sama, kecenderungan tersebutjuga diikuti dengan munculnya rasa cemburuterhadap lawan jenis karena di pandang mendapatkanperlakuan istimewa dari guru. Sebagai contohnya;

107 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah, selaku guru kelas IIIA SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta, tanggal 4 Mei 2004

ketika guru menyajikan mata pelajaran bahasaIndonesia yang kemudian diisi dengan latihanmenyanyi maju ke muka kelas dengan menggunakanwireless. Ada sekelompok siswa yang berantusias untukunjuk kebolehannya dalam menyanyi, mereka menyanyisecara berkelompok dan ada yang sendiri. Tetapidari semua rangkaian acara tersebut yang mencobauji kebolehan dalam menyanyi hanya siswa puterasaja dan siswa puteri hanya diam dan menyaksikanteman puteranya bernyanyi, mereka enggan menyanyimeskipun guru sudah membujuknya. Melihat situasiseperti ini guru tidak mengambil tindakan yanginisiatif untuk membujuk siswa puteri agar maubernyanyi.108

Dari contoh tersebut di atas siswa puterimerasa kelompoknya sesama puterinya dikalahkanoleh kelompok putera, sehingga kelompok puterilebih menerima kekalahannya dengan diam danmemgambil tindakan untuk tidak menyanyi di depankelas.

2) Ketidakdisiplinan

Beberapa bentuk perilaku indisipliner yangdilakukan siswa antara lain:a) Melanggar tata-tertib dan perintah guru

Hal ini diwujudkan dengan cara berjalan-jalan di dalam kelas dalam prosese belajar-mengajar berlangsung, bersiul-siul dan memukul-mukulmeja, menggangu suasana kelas, secara tidak langsung perbautan tersebut juga menyerang otoritas dan kewibawaan guru109.

b) Melalaikan tugas

Siswa sering terlambat mengerjakan tugas, tidak bersedia maju ke depan apabila diminta guru, tidak konsentrasi dalm pelajaran: sering melamun dan tidak mengerjakan tugas, biasanya dipicu oleh keadaan yang dibawa dari rumah. Berikut ini kutipan wawancara dengan guru kelas IIIA:

“Di kelas yang saya pegang ini, dulu pertama awal masuk kelas tiga ada ada tiga siswa yang bermasalah; yang pertama bernama Jenny, Jenny ini orang tuanya tidak rukun, di kelas ia sering melamun dan susah memahami pelajaran. Gejala ini seringkali muncul setiap ada

108Hasil observasi tanggal 15 Mei 2004, di kelas IIIA109 Hasil observasi tanggal 14 Mei 2004, di kelas IIIA

permasalahan dari rumahnya, maka untuk membantunya kembali bersemangat dalam pelajaran saya berikan dia tugas tambahan disamping itu juga saya beritahukan pada orang tuanya dalam pertemuan bulanan dengan orang tua siswa dan setiap gejala tersebut muncul seperti bermalas-malasan di meja belajar saya dekati dia dan saya beri nasihat. Kemudian si Hanum, kalauHanum permasalahnnya samaseperti Jenny dan cara melakukan pendekatannya pun sama seperti Jenny. Kedua siswa ini saya perhatikan pemahaman tentang ajaran agama masih sangat kurang, seperti tidak bisa mengaji karena keadaankelurga yang kurng begitu menpehatikan masalah agama. Sehingga dalam hal ini saya berikan mereka dengan pendekatan agama; sepertidengan nasihat bahwa “kalau kamu tidak bia mengaji, maka apabila sudah menjadi mayat dan kubur di liang lahatnya gelap nggak ada cahayanya makanya ngaji ya!” Sedangkan untuk Sanny masalahnya adalah ia punya ibu tiri yang tidak memperhatikannya, sehingga ia menjadi anak pemalas dan kurang berkonsentrasi dalam belajar, maka untuk menyelesaikannya pun sama dengan kedua siswa tadi. Selanjutnya untuk ketiga siswa ini saya letakkan meja belajarnya paling depan dengan pertimbangan pusat perhatian mereka terfokuskan pada pelajaran yang saya sampaikan di samping itu juga agar perhatian pada mreka lebih terkontrol. Demikian juga untuk memotivasi mereka saya menempatkan siswa yang pintar untuk menemani mereka belajar dan bisa meniru siswa yang pintar tersebut. Kalau saya temptkan mereka di belakang cenderung ramai dan tidak terkonsentrasi. Alhamdulillah sekarang mereka bertiga ada perubahanyang menonjol pada kenaikkan nilai yang mereka peroleh.”110

Penyebab lainnya dari siswa yang suka melalaikan tugas adalah dari adanya rasa tidak berminat maupun tertarik dari mata pelajaran tertentu, seperti pelajaran bahasa Indonesia dan PPKN. Mereka beranggapan bahwa kedua mata pelajaran tersebut membosankan dan tidak menantang, sehingga yang membuatnya sering melalaikan tugasnya, sedangkan mata pelajaran yang mereka meresa tertantang dan tertarik adalah mata pelajaranyang bersifat eksak; seperti pelajaran matematika dan IPA. Hal ini diakui oleh guru kelas IIIB:

“ Mereka juga terkadang malas mengerjakan PR, biasanya mereka tidak suka pada mata pelajaran yang sifatnya hafalan seperti PPKN dan bahasa Indonesia, mereka kurang meresponi dan kurang semngat dan nilainya pun jelek”111

Terkait dengan masalah ini, menurut guru; kebiasaan siswa yang melalaikan tugasnya merupakan indikator yang digunakan untuk mengidentifikasikan apakah siswa memiliki masalah emosional atau tidak. Selain indikator tersebut guru juga memperhatikan gejala-gejala yang tampak dalam perilaku siswa.

3) Perilaku asosial

Perilaku asosial siswa biasanya ditandaidengan adanya pertengkaran antar siswa, di mana

110 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004 111 Hasi wawancara dengan Bp. Budiono, selaku guru kelas IIIB SD Muhammadiyah Suronatan Yogyaakarta, tanggal 3 Mei 2004

pertengkaran ini dipicu oleh kebiasaan siswa yangsuka menggoda temannya satu sama lain; sepertiberkelahi dan kejahilan siswa putera yang sukamenggoda siswa puteri dengan membuka jilbabnya.

“Dalam hubungan dengan temannya, terkadang yang suka jahil dan yang berbuat nakal itu siswa putera, pernah ada yang iseng membuka jilbabnya siswa puteri dan si siswa puteri tidak mau meneriamaperlakuan temannya itu dan jadi marah”.112

b. Nilai-Nilai dan Cara-Cara Guru Melatih

Kecerdasan Emosional Siswa

Dalam menghadapi pelbagai masalah emosional siswa tersebut di atas,ada beberapa nilai keceradasan emosional dan langkah-langkah yang ditempuh guru yaitu:

1) Kedisiplinan

Perilaku-perilaku indisipliner siswa, sepertimelanggar tata tertib kelas, melalaikan tugas dansebagainya dihadapi guru dengan melatih nilai-nilai kedisiplinan denagn cara-cara sebagaiberikut:a) Menegur siswa

Cara tercepat yang selalu digunakan guru dalam menangani kedisiplinan atau kenakalan siswa adalah dengan memberikan teguran Di dalam kondisi kelas ramai, guru mengatakan:

“Anak-anak ayo…duduk di tempat duduk kalian masing-masing!”113

Walaupun dapat mengatasi situasi dengan segera, namun teguran tidak membawa perubahan yang dapat lama. Menurut situasi yang demikian tidak dapat berlangsung lama dan selang beberapa menit kemudian siswa ramai kembali. Keadaan seperti ini dianggapnya wajar oleh guru dengan mempertimbangkan tingkat usia dan perkemabangan emosional siswa yang belummatang.

112 Hasi wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004113 Hasil observasi tanggal 13 Mei 2004, di kelas IIIA

b) Mengancam siswa

Guru dalam menghadapi siswa yang tidak mengerjakan PR atau tugas latihan terkadang dengan menggunakan ancaman. Ancaman ini diberikan dengan maksud hanya untuk menakuti siswa dan memotivasii siswa untuk belajar dan tidak mengulangi perbuatannya lagi114.

2) Kejujuran

Memperoleh prestasi belajar yang tinggidengan cara yang jujur dan disamping perbuatanjujur yang lainnya seperti dalam hubungannyadengan guru-gurunya, orang tuanya atau teman-temandi sekitar siswa adalah nilai yang sangatditekankan oleh guru kepada siswa-siswinya. Nilai-nilai yang dilatihkan guru kepada siswa dengancara:a) Memperingatkan siswa

Apabila guru memdapatkan siswa yang berbuat tidak jujur biasanya siswa yang bersangkutan langsung diperingatkan dengan memberikan nasihat-nasihat dan cerita. Pemberian nasihat dan cerita tidak hanya diberikan ketika siswa bermasalah, tapi juga sebagai pengantar sehari-harisebelum mata pelajaran di mulai. Adapun tujuan guru memberikan nasihat dancerita ini agar siswa nantinya dapat belajar dengan semangat, menambah suasana kelas agar lebih segar dan ceria serta yang lebih penting adalah menanamkan nilai keagamaan pada siswa.

“Terkadang saya menggunakan nasihat dan cerita untuk membimbing anak untuk menjauhi perilaku yang tidak jujur, baik itu dilakukan seketika menghadapi anak yang ketahaun tidak berbuat jujur atau pun secara klasikal sebelum jam pelajaran pertama dimulai, biasanya sayaberikan pada mereka nasihat dan cerita-cerita tentang kisah nabi, kematian atau atau cerita tentang kiamat dan konsep surga-neraka.tapi anak-anak kalau sudah di ceritakan, mereka melah tertarik pada cerita dan enggan melanjutkan pada mata pelajaran”115

b) Meminta siswa saling memeriksa tugas dengan

teman sebangkunya

Dalam memberikan tugas latihan atau PR pada siswa, biasanya guru apabila tugasnya sudah di kerjakan oleh siswanya, guru dalam memberikan nilai dengan cara meminta pada siswa supaya hasil kerjanya ditukarkan dengan teman sebangkunya, setelah itu baru dikoreksi secara

114 Hasil observasi tanggal 8 mei 2004, di kelas IIIB115 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004

bersama. Cara yang demikain digunakan guru untuk menghindari perilaku tidak jujur pada siswa.116

3) Motivasi berprestasi

Siswa mempunyai karakter dan cara yangberbeda dalam meraih prestasi, selain tergantungpada dirinya sendiri juga pada orang-orang yangada di sekitarnya. Pendampingan dengan carapendekatan secara individu merupakan salah satuusaha guru dalam memotivasi siswa agarberprestasi. Adapun cara guru dalam pendampinganini biasanya guru langsung mendekati siswa yangyang di nilai kurang prestasinya denganmemberikannya arahan-arahan, pengertian, dannasihat.

“Biasanya kalau saya melihat siswa yang bermalas-malasan, seperti tidur-tiduran di meja dan siswa itu biasanya ramai dan ceria menjadidiam, langsung saya dekati ke mejanya dan langsung menanyakan masalahnya apa dan ada apa di rumah, apakah siswa itu sakit dan sebagainya. Karena saya sudah terbiasa dekat dengan anak-anak, maka si anak biasanya kalau ada masalah langsung cerita sama saya. Setelah anak bercerita tentang masalahnya, saya langsung beri dia nasihat dengan cerita. Biasanya saya memberikan cerita-cerita yang diambil dari kisah 30 kisah teladan atau juga terkadang tentang kisah 25 Rasul dan sebagainya yang penting ada nilai-niali Islamnya.”117

Disamping itu juga guru memberikan pelajarantambahan yang dikerjakan sesudah jam belajar.Pemberian jam pelajaran tambahan ini khususnyadiberikan pada siswa yang kurang terkonsentrasidalam belajar atau terlambat mengerjakan tugas.

“Siswa yang kurang paham terhadap pelajaran yang baru saja diberikan dan siswa yang tidak mau mengerjakan tugas, biasanya saya berikan mereka pelajaran tambahan dan dikerjakan sesudah jam belajar di sekolah sekitar jam sebelas dan mereka di perbolehkan pulang setelahdzuhur”118

4) Membina persahabatan

116 Hasil observasi tanggal 9 Mei 2004, di kelas IIIA 117 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004118 Hasil wawancara dengan Bp. Budiono tangagl 4 Mei 2004

Untuk melatih persahabatan antar siswa, gurumenasihati agar siswa memelihara etika pergaulan.Misalnya ketika menghadapi siswa yang berbuatkurang sopan terhadap siswa puteri dengan membukajilbabnya, guru langsung mengambil tindakan denganmenegurnya yang kemudian diberikan peringatandengan nasihat seperti di bawah ini:

“Anak putera dengan anak puteri yang bukan muhrimnya atau sauadranya itu tidak boleh memperlihatkan auratnya termasuk juga rambut.”119

Seperti halnya juga ketika guru menghadapipertengkaran antar siswa, guru berusaha untuktidak membela salah satunya.

“Kalau ada anak yang bertengkar, saya sengaja untuk diam, saya biarkan saja mereka berkelahi. Biasanya kalau saya diamkan mereka malah berhenti sendiri, setelah itu baru saya panggil anak yang bertengkar tadi untuk menjelaskan kejadiannya seperti apa dan bagaimana sampai bisa terjadi dan kemudian saya meminta mereka untuksaling memaafkan dan tentu saja siswa yang bertengkar ini saya masukkan ke buku pelanggaran”120

Disamping tindakan-tindakan yang bersifatinsidental dari guru dalam menanamkan nilai-nilaipersahabatan pada siswa, ada satu cara lagi yangyang dilakukan guru dalam hal ini sepertimemberikan nasihat dan cerita-cerita secaraklasikal di dalam kelas sebelum jam pelajarandimulai. Adapun nasihat yang diberikan gurubiasanya tentang nilai dan ajaran agama Islamseperti tentang konsep persaudaraan yang isinyademikian :

“Umat Islam yang satu dengan umat Islam yang lainnya itu bersaudara, apabila yang satu sakit, maka yang lainnya pun merasakan sakit, untuk itu kalian tidak perlu berantem untuk menyelesaikan suatu masalah kalian”121

119 Haasil wawancara dengan Ibu Nurul tanggal 4 Mei 2004 120 Hasil wawancara dengan Bp. Budiono tanggal 4 Mei 2004121 Wawancara Ibu Nurul, tanggal 4 Mei 2004

B. ANALISIS

Sebagaimana telah disinggung dalam bab pertama

yang dimaksud melatih kecerdasan emosional siswa di

SD Muhammadiyah Suronatan tidak dilakukan secara dan

terencana serta terprogram, melainkan melatih

kecerdasan emosioanl di sini dilakukan secara

terintegrasi sejalan dengan proses pembelajaran di

dalam kelas. Hal ini dikarenakan SD Muhammadiyah

Suronatan adalah salah satu institusi pendidikan yang

Islami, maka secara tidak langsung di dalam proses

pembelajaran akan terciptanya nilai-nilai Islam yang

di tanamkan oleh institusi kepada anak-anak didiknya.

Dengan demikian, dalam proses belajar-mengajar

tentunya akan tersirat adanya upaya guru dalam

melatih kecerdasan emosioanl siswa dengan berpijak

pada nilai-nilai, ajaran dan norma-norma Islam.

Dimana dalam salah satu ajaran tentang pergaulan

antar manusia untuk tidak saling menyakiti.

Rasulullah Saw bersabda:

ى عن0 ن�� رة� ا� 'Zت ى هر ة اللة رض� ال عن� �ال:ق �ول ق لم اللة رسلمس لعم:ا� و ص ج� لم ا�ة المس وي� ج� ة ولآ لآت' ي� كد� ولآ ئ'ة.كلل د� خ� لم ت'لم على المسرام المس ة خ وي ومالة عرض� �ق لي� ة.ا�ا وذم ب� ههي�حس .من0 ت� ري�ر ام ق�ر ان0 الس� حي� ت'

اة ج� ي( المسلم.)رواة ا� رمد� ت�"Seorang muslim adalah saudara muslim yang

lain tidak boleh menghianatinya, membohonginya dantidak boleh menghinanya. Setiap muslim terhadapmuslim yang lain haram kehormatannya, harta dan

darahnya. Takwa ini ada di sini (dihati). Seorangcukup berbuat keburukan dengan menghinasaudaranya sesama muslim.” (Tirmidzi)122

Di dalam sabda Rasul tersebut sebagai sesama

manusia untuk saling menghormati dan dilarang untuk

menyakiti satu sama lain. Dari konsep tentang

persaudaraan ini terkandung makna kesadaran manusia

untuk saling berinteraksi dengan secara simpati dan

empati yaitu untuk tidak saling menyakiti.

Untuk itulah di dalam pembahasan ini akan diulas

data yang diperoleh dari lapangan dengan

mempertautkan teori-teori yang relevan, sehingga pada

gilirannya akan terlihat adanya kekurangan dan

kelebihan guru dalam melatih kecerdasan emosional

siswanya.122 Moh. Zuhri Dipl-Tafi dkk, Tarjamah Sunan at-Tirmidzi, (Semarang; as- Asyifa, 1992), hlm. 455

1. Ketrampilan Guru Melatih Kedisiplinan Siswa

a) Penyebab ketidakdisiplinan siswa

Menurut guru, penyebab ketidakdisiplinan siswa yang diwujudkan dalam bentuk keramain di dalam kelas, suka bermain-main dan sebagainya, disebabkan karena siswa masih terbawa suasana di taman kanak-kanak, pandangan ini bisa dibenarkan karena umumnya di taman kanak-kanak, guru masih sangat toleran terhadp perilaku-perilaku siswa yang menunjukkan kenakalan, seperti berteriak-teriak, berlari-lari dan bermain-main bersama teman-temannya, dan menganggap hal tersebut wajar dalam perkembangan pribadi mereka.

Menurut Jan Prasetyo, sebagimana dikutip Sinta Ratnawati, pendekatan guru yang demikian berangkat dari hakekat play group dan taman kanak-kanak itu sendiri yang sebenarnya untuk mempersiapkan kematangan afeksi-sosial anak dalam mengahadapi kehidupan di luar lingkungan keluarga.123

Kalaupun ada praktek pengajaran yang dilakukan guru menyangkut penguasaan materi secara kognitif, hal tersebut hanya menyentuh kemampuan tingkat dasar. Siswa hanya diajarkan mengeja huruf, membaca kata-kata atau kalimat pendek, menuliskan huruf atau angka, mewarnai, menggambar dan melakukan penjumlahan sederhana. Tetapi ketika mereka memasuki jenjang pendidikan dasar, suasana yang mereka jumpai bertolak belakang dengan suasana jenjang sebelumnya.

123 Sinta Ratnawati, Kelurga kunci sukses Anak, (Jakarta: Kompas, 2000),hlm. 63

Demikian juga di sekolah dasar mereka harus

mentaati peraturan sekolah yang diterapkan secara

ketat dan harus mengerjakan pekerjaaan rumah (PR),

yang bagi kebanyakan siswa merupakan beban

tersendiri. Apabila kenyataan ini diikuti dengan

pengelolaan kelas guru banyak menerapkan hukuman,

ancaman dan kritik yang berlebihan, maka minat

siswa terhadap aktivitas belajarnya bisa pudar

sama sekali.

Menghadapi masalah ini seharusnya guru tidak

menyimpulkan bahwa siswa yang masih suka bermain-

main dan tidak disiplin otomatis nakal. Kesukaan

siswa untuk bermain-main belum tentu berkemampuan

rendah, sebaliknya kemungkinan menyimpan potensi

yang sangat besar namun tidak teraktualisasikan

secara memadai karena berbagai kendala.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, bermain

merupakan aktivitas yang sangat disukai anak-anak

yang perkembangan pribadinya berlangsung dengan

baik. Permainan justru membantu anak-anak

mengembangkan ketrampilan sosialnya. Lewat

permainan, mereka mengerti aturan sosial, memahami

perasaan orang lain, dan mampu membangun kerja

sama dengan teman sebayanya. Anak-anak yang tidak

suka bermain dan lebih memilih untuk menyendiri

justru dicurigai mengalami hambatan dalam

perkembangan sosialnya.124

Oleh karena itu, guru harus tanggap terhadap

kecenderungan ini dan mampu memilih metode yang

tepat dalam mengantarkan anak memasuki masa

transisinya dari taman kanak-kanak ke sekolah

dasar.

Berangkat dari pendapatnya Elizabeth B.

Hurlock, menurut peneliti sekiranya hal tersebut

sudah di realiassikan oleh guru untuk mengatasi

masa transisi siswa dari Tk ke SD dengan

menggunakan metode-metode seperti; mengelilingi

lingkungan sekolah dan memberikan permainan-

124 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 323.

permainan seperti di TK (permainan bongkar pasang

huruf-huruf balok dan permainan dalam bentuk

gambar yang siap diwarnai)

Sebagaimana menurut pendapatnya Elizabeth B.

Hurlock bahwa bermain adalah aktivitas dan masanya

anak-anak dalam kehidupannya. Begitu pula dalam

ajaran Islam tidak pernah melarang anak-anak untuk

bermain, justru Islam sangat menghargai bahkan

mengajarkan anak-anak untuk bermain.

Rasulullah bersabda:

ى' لة كان0 من0 صاب� صب� ت� لي' ة اي�ن0 )رواة لة ق� وي� (عساكر واي�ن0 اي�“Barang siapa yang memiliki seorang anak

kecil, maka hendaknya dia bergaul dengan diasesuai dengan akalnya”125

Selain kondisi transisional di atas, faktor

lain yang juga mempengaruhi kedisiplinan anak

adalah pola asuh orang tua. Orang tua yang

permisif, serba memperbolehkan anaknya berbuat

125 Jauddah M. Awwad, Mendidik Secara Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 16

apapun, mengakibatkan anak tidak terlatih

mengendalikan dirinya. Akibatnya, mereka mengalami

kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sekolah

yang diatur secara tertib.

Orang tua dengan model penerapan disiplin

seperti itulah yang percaya bahwa membesarkan anak

sama dengan memberikan kasih sayang yang tiada

akhir dan tanpa syarat. Mereka beranggapan dengan

cara ini dapat meningkatkan rasa penghormatan diri

anak, dan menganggap disiplin sebagai sesuatu yang

dingin dan keras. Padahal pemberian model seperti

inilah yang nantinya akan merusak dan

membingungkan anak.126

b. Cara melatih kedisiplinan siswa

Untuk melatih kedisiplinan siswa, pada

umumnya guru disamping menerapkan cara-cara yang

sudah baku dan cara yang telah dimodifikasi dengan

cara Islami dengan memberikan nasihat-nasihat dan

126 Darlene Powell Hopson, Ph. D & Derek S. Hopson, Ph. D, Menuju Keluarga Kompak, 8 Prinsip Praktis MenjadiOrang tua yang Sukses, (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 163

pemberian cerita-cerita yang diadopsi dari ajaran

di dalam Al-Quran dan hadis Nabi SAW Sedangkan

cara-cara yang bakupun masih banyak yang mereka

gunakan, seperti menegur, mengancam akan

memberitahukan perilaku siswa pada orang tua,

menghukum siswa, memberi hadiah (reward), dan

meminta siswa mewarnai gambar di buku pelajaran.

Dalam menerapkan hukuman mereka lebih condong

dengan menggunakan pendekatan positif, seperti

meminta siswa untuk mengerjakan tugas soal-soal

latihan, meminta siswa untuk menghafalkan doa-doa

pendek dan ayat-ayat pendek (juz’ama), serta

meminta siswa mengerjakan shalat dhuha.

Sedangkan hukuman dengan pendekatan negatif

jarang mereka gunakan, meskipun dalam lapangan

masih ada yang menggunakan pendekatan ini ada

satu atau dua guru saja. Hukuman dengan pendekatan

ini seperti halnya meminta siswa yang melanggar

peraturan sekolah secara berulang-ulang untuk

berdiri di muka kelas, menyapu atau dijewer

telinganya. Hukuman negatif ini mereka terapkan

pada siswa kelas II dan kelas III, dengan

pertimbangan menurut guru yang menerapkan hukuman

ini, merasa kalau seumur anak di kelas II dan

kelas III sudah matang kondisi kejiwaan dan

intelektualitasnya, sehingga mereka tidak khawatir

dengan pemberlakuan hukuman tersebut.

Lainhalnya dengan guru yang menerapkan

hukuman dengan pendekatan positif, mereka lebih

mempertimbangkan pada aspek kejiwaan siswa yang

dikhawatirkan nantinya akan melemahkan kondisi

mental anak dan ditakutkan nantinya siswa akan

mempunyai persepsi yang tidak baik tentang gurunya

yang identik dengan kekerasan.

Oleh karena masalah ketidakdisiplinan siswa

dominan pada setiap jenjang. Berikut ini akan

diulas cara guru dalam melatih sikap disipliner

pada siswa.

1) Menegur siswa

Diantara cara-cara mendisiplinkan siswa, teguran merupakan cara yang seringkali digunakan guru. Cara ini memang dapat segera menghentikan

tingkah laku siswa yang tidak dikehendaki guru. Misalnya dengan mengatakan “Ayo, jangan ribut ya…, duduk yang rapi ditempat kalian masing-masing!”. Umumnya siswa langsung merespon teguran tersebut. Tetapi dalam waktu yang tidak lama, mereka bertingkah laku sepeti semula.

Hal ini terjadi karena taguran guru kurang spesifik mengarah pada perilaku siswa yang tidak diinginkannya. Guru cenderung memerintah secara umum, sehingga siswa tidak memahami kesalahannya secara jelas. Seharusnya ketika menegur, guru dapat menyampaikan secara tegas, singkat serta mengungkapkan perasaan ketidaksukannya terhadap perilaku siswa. Misalnya dengan mengatakan “ Saya kecewa karena kalian masih mengobrol, padahal sudah dua kali ibu peringatkan!”. Dengan berkata semacam itu, siswa dapat belajar mengerti perasaan guru dan memhami kesalahannya, sehingga diharapkan tidak akan mengulanginya lagi.

2) Mengancam

Cara ini sebenarnya sudah mendapatkan kritik dari pendidik dan psikolog, namun kenyataannya sering digunakan guru. Ketika teguran tidak berhasil dalam memperbaiki perilaku siswa, guru mengancam siswa dengan mengatakan “Faizir… kalau kamu masih nakal terus, nanti saya beritahu sama ibumu!”. Dangan ancaman seperti ini, guru telah membangunsteorotip tentang orang tua siswa sebagai figur yang menakutkan dan tidak mengerti perasan mereka.

Lebih jauh ancaman memberitahuakan pesan kepada siswa bahwa guru tidak menghargai kebutuhan meraka, sehingg membuat siswa merasa gelisah dan tertekan. Sebagaimana telah dijelaskan didalam Al-Quran bahwa salah satu sifat manusia yang berkeluh-kesah apabila mendapatkan cobaan. Firman Allah dalam Quran surat al-Ma’arij ayat 19-23:

ن0 سان0 ا­ ي� لق� الآ­ ا19هلوع) ج� ذ� ر مسة ( ا­ وعا) الس� ر� ا20خ� ذ� مسة ( وا­ر ي' وعا الخ� لآ مي� ) ا­ ن0 ن220لمصلي' 'Zي هم هم ( الد� ) صلآي� مون0 (23ذائ�

“Sesunguhnya manusia diciptakan keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpakesusahan, ia berkeluh-kesah, dan apabila ia

mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecualiorang-orang yang mengerajakan shalat, yangtetap berkesinambungan mengerjakan

shalatnya”127

Mendidik anak dengan ancaman sangatlah tidak tepat apabila diterapka pada anak seusia yang dini, sebab Al- Quran melarang bagi para orang tua dan pendidik supaya mengajarkan anaknya dengan lembut dan kasih-

127 Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: katoda, 1992), hlm 974

sayang. Sebagaimana dalam Al-Quran surat Luqman ayat 12 sebagai berikut:

ذ� ال وا­ مان0 ق� ة لق� ن� �µت ة وهو لآ­ عظ� ى' ي' ب� ي¸ رك� لآ ب¹ س� للة ي� ن0 ئ� رك� ا­ لم الس� م لظ� ي' (12)عظ�

“ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu

mempersekutukan Allah, sesunguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.128

Di dalam ayat tersbut di atas dalam menyampaikan pesan, Luqman al-Hakimmemanggil anaknya dengan panggilan yang penuh kasih sayang: “Ya Bunayya (Wahai anakku yang masih lugu)”. Panggilan tersebut sangat sesuai untukanak yang pada fase awal kehidupan mereka.

Ayat tersebut juga mengisyaratkan bagi para pendidik untuk tidak menggunakan pelabelan pada anak yang berperilaku kurang baik, hal ini akan berakibat buruk pada anak karena dapat merusak harga diri dan konsep diri mereka.

3) Menghukum siswa

Hukuman yang biasanya digunakan guru pada umumya adalah meminta siswa untuk mengerjakan tugas, menghafalkan doa-doa dan surat-surat pendek (juz’ama) ataupun meminta siswa untuk mengerjakan shalat dhuha. Sebagiandari guru-guru ini masih ada yang menggunakan hukuman secara fisik, seperti menyuruh siswa berdiri di depan kelas selama 10 menit, meminta siswa menyapu halaman, ataupun menjewer telinga siswa.

Cara-cara ini boleh saja diterapkan guru, karena dengan menerima hukuman, siswa dapat belajar dari kesalahannya dan mengerti bahwa tingkah lakunya tidak diterima guru. Akan tetapi hendaknya hukuman hendaknya dipilih sebagai alternatif terakhir, setelah guru memakai cara yang lain yang lebih bisa tolerir dan tidak membahayakan kondisi mental anak. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW:

ولآذكم مرو لآة� ا�الص ا� وهم ئ� �ي ت�� ع ا� ي� ن0 س ي' ي� ر س وهم واض� �ها ي ا� وهم علي' �ي ر ات�� عس�

. )رواة ن0 ي' و سي� ي� ( ذوذ ا� ي' والي�رمد�

128 Ibid, hlm. 654

“ Perintahkanlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika berumur tujuhtahun dan pukullah mereka (jika masih meninggalkan) kalau sudah berumursepuluh tahun.”( HR. Abu Daud dan Tirmidzi)129

Satu hal yang perlu menjadi catatan penting untuk para pendidik dalam menerapkan hukuman sebaiknya memperhatikan masalah konsistensi. Bersikap konsisten adalah cara yang terbaik untuk membuat anak mengetahui bahwa guru bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka katakan. Penerapan aturan secara konsisten dan hukuman yang wajar bagi siswa yang melanggar aturannya, akan memberikan efek lebih kuat pada diri anak dalam jangka waktu yang panjang, dibandingkan dengan sikap inkonsistensi yang di sertai hukuman berat.

Di samping menerapkan hukuman pada anak, sebelum diterapkannya hukuman ini siswa diajak oleh guru untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang diperbuat siswa itu terlebih dahulu dimusyawarahkan secara bersama. Jadi dalam usia yang dini ini siswa sudah diajak untuk menentukan keputusan.

Metode memecahkan masalah ini secara tidak langsung akan melatih anak untuk dapat memutuskan masalah secara sistematis dan dengan cara yang logis. Bila anak terlatih dengan pemecahan semacam ini, kelak mereka akan mudah mengenal pemecahan masalah yang dihadapi.

Memecahakan suatu masalah bersama siswa dalam hal mengambil keputusan konsekunsi yang akan diterima siswa bila siswa berperilaku yang melanggar tata tertib, berarti merupakan suatu contoh yang patut ditiruoleh para pendidik yang lainnya, sebab dalam hal ini guru menyadari akan eksistensi siswa yang mempunyai hak untuk bersuara atau mengemukakan suatu pendapat.

Sehingga dapat dikatakan dalam hal ini guru berusaha untuk menghindarisikap kesewenang-wenengan terhadap siswanya, untuk itulah segala sesuatunya yang berhubungan dengan siswa, baik itu bersangkutan dengan penetapan hukuman atau yang lainnya di putuskan bersama siswa dengan cara menjelaskan secara langsung dan sederhana apa yang menjadi keinginan dan harapan guru terhadap siswa, sehingga disini siswa tidak kehilangan haknya untuk bersuara.

Berkaitan dengan masalah tersebut di atas dalam Al-Quran diterangkan secara tersirat adanya sikap empati bahwa untuk menjauhi sikap kesewenang-wenangan dan dilarang menghardik atau dengan kata lain dilarang membentak dalam mendidik anak.

Allah SWT berfirman dalam Quran surat ad-

Dluha ayat 9-10:

م ي' ي� ماالي' ا� لآ ق� هر ق� ف� ل ي� ماالساب� لآ وا� هر) ق� ي� (10-9ت}

129 Muhyidin Abdul Hamid, Op. Cit, hlm. 196

"Adapun terhadap anak yatim, makajanganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Danterhadap orang yang minta-minta janganlah kamumenghardiknya."130

Namun perlu ditegaskan di sini bahwa antara hukuman dengan konskuensi itu berbeda dalam hal antara lain; pertama, konsekuensi membuat anak belajar mengenai sesuatu, sedangkan hukuman jarang sekali memberi pelajaran; kedua, efek samping dari pemberlakuan hukuman adalah anak menjadi pendedam dan sikapnya kasar,sehingga akan menimbulkan hukuman lain, sebaliknya konsekuensi mengajarkan hal baik kepada anak karena menunjukkan perilaku yang benar sebagaimana yang guru inginkan, dengan cara yang konkrit yang mudah dipahami anak; ketiga, dalam menyampaikan dengan cara hukuman biasanya dalam kondisi marah, sebaliknya apabila yang digunakan itu adalah konsekuensi dengan menunjukan rasa sedih danempati, sehingga konsekuensi yang diberikan menunjukkan bahwa tanggung jawab ada di pundak si anak dan ia tidak bisa berdebat atas konsekuensiyang diterimanya. Hasilnya anak akan belajar mengenai bagaimana harus bersikap baik karena jika ia bertingkah, maka ia sendiri yang akan mengalami kesulitan.131

Sebagai catatan tambahan dalam penerapan hukuman yang tentunya berbeda dengan konsekuensi di sini dimaksudkan agar guru lebih baik memilih konskuensi sebagai alternatif pertama dalam menangani masalah perilaku siswa. Sebab bagi anak, konsekuensi terasa seperti hukuman bila tidak disertai dengan persaan empati.

Sebagaimana dalam sabda nabi SAW memberikan pesan agar dapat mengendalikan marah ketika mengahadapi perilaku anak agar tetap tenang sebagai bentuk dalam mengelola emosi diri.

ى عن0 ن�� رة� ا� 'Zت ياللة هر ي' �ن0 رص ة,ا� �ول عن لى اللة رس ة للة ا ص لم علن' س وس ال: لن' �ق

د دئ�' �رعة� الساالص ما ئ� ئ� د ا­ دئ�' �ي' الس د� ك� المل سة ئ' ف� .)رواة ي� ب� �ض دالع� اري' عي� �خ و ت�

مسلم(130 Al-Quran dan Terjemahannya, Op. Cit, hlm.1070131 Ray Levy, Ph. D. & Bill O`Honlon, M. S, L. M. F. T, bersama Taylor Norris Goode, Cara Mmbesarkan Anak yang Suka Melawan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 131-132

“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda: "bukankah orang yang kuat itu karena banyak berkelahi, hanyalah orang yang kuat itu orang yang dapat mengusai nafsunya ketika marah"”.(HR. Bukhari dan Muslim)132

Dari hadits di atas mengisyaratkan bahwa dalam memberikan konsekuensi pada anak tidak dalam keadaan marah, sebab memberikan konsekuensi sesunguhnya mendidik bukannya memaksa, sehingga seorang pendidik harus menyadari apa yang dilakukan.

4) Mengalihkan Perhatian Siswa

Untuk menghindari kemungkinan siswa membuat keributan di dalam kelas, guru meminta siswa yang sudah menyelesaikan tugasnya untuk mewarnai gambar atau mengisi tugas-tugas yang secara sengaja oleh guru dengan cara mengkopi tugas itu dan diberikannya kepada anak yang cenderung ramai bila sudah mengerjakan tugas. Tugas-tugas yang dikopi ini yang oleh guru dinamakan dengan pengayaan.

Cara yang demikian patut diuji, karena dengan cara tersebut guru dapat mengantisipasi situasi yang tidak diharapkan sekaligus mengalihkan pehatian siswa dari kegiatan yang cenderung membosankan kepada kegiatanyang disukai mereka . Cara seperti itu juga merupakan sarana untuk pelepasan emosi siswa. Dengan cara pelepasan emosi biasanya menadapatkan manfaat yang sehat, di mana pada saat anak yang sedang marah, mereka tanpa disadari membutuhkan alat untuk pelepasan emosinya,sehinggga apabila pelepasannya tidak pada tempatnya jusrtu akan membuatsuasana kelas menjadi semakin ramai dan gaduh.

Tapi apabila pelepasan ini ditempatkan pada tempatnya akan menghasilkankemarahan menjadi akal sehat, seperti dengan menulis puisi atau menggambar. Psikiater Italia Roberto Assagioli mengatakan bahwa menulisadalah katarsis yang hebat.133

Selain dengan cara tersebut, untuk mengalihkan perhatian dan kebosanan siswa, guru juga dapat mengajak siswa menggerakkan badannya, menarik nafas yang dalam, dan memainkan pemainan yang ringan.

5) Memberi hadiah atau ganjaran

Metode ini berangkat dari prinsip yang sangat populer, yaitu jika guru hendak memperbesar atau mengembangkan suatu tingkah laku yang positif, maka diberi sesuatu yang menyenangkan sesudah perbuatan yang dikehendaaki itu dilaksanakanya.

Prinsip ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang mengisyaratkan adanya urgensi ganjaran dalam mendukung perilaku tertentu yang di tuntut untuk dipelajari. Dalam sebuah riwayat Ibnu Majah diartikan:

132 Husein Bahrelz, Kitab al-Jami`ah-Hadist Shahih Bukhari-Muslim, (Surabaya:Karya Utama, 1997), hlm. 240133 Thomas Armstrong, Setiap Anak Cerdas,Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intellegence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.139

“ Berikanlah upah seorang buruh sebelum

kering keringatnya”134

Memberi penghargaan atau imbalan kepada anak yang berperilaku baik yangsesuai dengan keinginan guru adalah sangat penting. Namun, di sini perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan imbalan ini tidak harus dengan imbalan yang berupa materi (uang, permen atau mainan), melainkanyang lebih berharga dari semua itu adalah pujian dan motivasi yang positif bagi siswa yang dapat meningkatkan harga diri dan rasa tanggungjawab siswa. Berkaitan dengan istilah imbalan (reward), Harris Clemes, Ph. D & Reynold Bean, Ed. M, memberikan istilah reward sebagai hal-hal yang dihargai anak atau hal-hal yang dibutuhkan olehnya.135

Pemberian imbalan dalam lapangan, sebagian guru menggunakan dengan pemberian imbalan dalam bentuk non materi yaitu dengan pujian, seperti ketika guru ingin memotivasi siswa untuk meraih prestasi dan semangat dalam belajar. Sebagai contohnya ketika guru meminta siswa untuk maju ke muka kelas untuk membaca buku atau untuk menyanyikan sebuah lagu dalam pelajaran bahasa Indonesia, seketika siswa selesai membacakannya guru tidak segan untuk memberikan pujian dan meminta siswa lainnya untuk memberikan tepuk tangan yang meriah.

Pujian guru terhadap muridnya tersebut dapat membantu percepatan dan kemajuan belajar siswa. Untuk itulah dapat dilihat bahwa mendidik anak dengan ganjaran atau imbalan ini merupakan cara yang efektif bila dibandingkan mendidik anak dengan hukuman (fisik). Hukuman fisik akan menimbulkan pengaruh yang buruk dalam kepribadian seorang murid; yang bisa menyebabkan adanya perasaan rendah diri dan si anak menjadi stres,karena selalu dibawah bayangan hukuman yang menakutkan, terkadang bukannya membuat anak berubah dalam arti positif, tapi berubah ke arah yang lebih buruk.

6) Memberi nasihat

Sebenarnya, metode mendidik anak dengan nasihat tidak hanya diterapkan untuk melatih kedisiplinan, namun pemberian nasihat ini cakupannya lebih luas, yang mana hampir semua guru menggunakan metode nasihat untuk membimbing dan mendidik anak di semua jenjang pendidikan. Dengan tujuan untuk meningkatkan mutu potensi anak, baik akal, emosi, sosial dan spiritual.

Adapun dalam menerapkan metode ini, guru biasanya menggunakan nasihat-nsihat yang merujuk pada ajaran-ajaran moral dalam agam Islam. seperti halnya ketika guru mengajarkan anak untuk bersikap saling menolong dan toleransi sesama temannya. Dalam melatih persahabatan antar siswa ini,

guru mengambil nasihat dalam sabda nabi SAW seperti berikut ini:

134 DR. M. Ustman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, pengantar: Ary Ginanjar Agustian, (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 162 135 Harris Cle mes, Ph. D. & Reynold Bean, Ed. M, Melatih Anak Bertanggung Jawab Petun juk Praktis Bagi Orang Tua dan Guru, (Jalarta: MitraUtama, 2001), hlm. 44

ن0 ال:وهو صلعم اللة رسول ا� ار على ق� ي� ة� المي� كرالصدق� ف� وذ� عق� والي�لة� د والمسي� لي' ا :ا� ي'رمن0 العلي' د خ� د الي' االي' لى, ق� ا السف� ة� هى' العلي' ف� ق� المي�

لى لة� السا هى' والسف� ئ� .

( اري رواة خ� ومسلم ت� ) " Sesungguhnya Rasulullah SAW khutbah di atas mimbar dan

menyebut sedekah dan minta-minta, maka bersabda: "Tangan di atas itu lebih baik dari tangan yang dibawah, tangan yang di atas itu

yang memberi dan yang di bawah yang meminta". (Bukhari dan Muslim136)

Dengan memberikan nasihat dapat membukakan mata anak-anak pada hakikat sesuatu, dan mendorongnya menuju situasi luhur, dan menghiasinya denganakhlak mulia, dan membekalinya dengan prinsip Islam. maka tidak heran, apabila Al-Quran memakai metode ini, yang berbicara pada jiwa dan mengulanginya dalam beberapa tempat dan nasihat seperti dalam Al-Quran surat Luqman dari ayat 12 sampai ayat 19.137

Pemberian nasihat dalam mendidik anak ini yang diterapkan oleh guru merupakan cara yang tepat dan sesuai dengan ukuran usia anak di akhir fase perkembangan anak, yaitu antara umur 6-12 tahun. Di usia ini mereka mulai berfikir logis, kritis, sudah mampu membandingkan apa yangdi rumah dengan yang mereka lihat di luar dan nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan secara absolut, mulai dianggap relatif. Maka dalam hal ini guru diharapkan mampu menjelaskan, memberikan pemahaman yang sesuai dengan tingkat berfikir mereka di usia dini.

7) Memberi cerita

Selain memberikan nasihat, guru juga menggunakan media cerita atau dongeng pada siswa. Guru biasanya mengambil cerita yang diberikan pada siswa diambil dari cerita tentang kisah 25 nabi, 30 kisah teladan, kisah Abu Nawas ataupun kisah yng menceritakan tentang nikmatnya surga dan sengsaranya bila ada di neraka.

Di samping cerita tersebut, terkadang guru memberikan suatu kisah yang dihubungkan dengan fenomena alam dan kehidupan sosial dan akhlak manusia. Seperti pada materi pelajaran IPA (Ilmu Pengetahaun Alam), guru menghubungkannya dengan menceritakan tentang tanda-tanda kiamat

136 Muh. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu' Waal Marjan, terj. Salim Bahresz, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 318 137 Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa`, 1981), hlm. 64-65

yang diambil dari ayat Al-Quran, sedangkan pada pelajaran IPS (Ilmu Pengetahaun Sosial) juga dihubungkan dengan hadits-hadits yang memberi pesan pada konsep hubungan antar manusia (Hablumminnas), dan begitu pulaguru memberikan ajaran tentang perilaku anak yang harus sesuai dengan akhlakul-karimah yang di hubungkannya dengan materi pelajaran PPKN (pedoman pendidikan kewarganegaraan), dan sebagainya.

Metode dengan memberikan cerita seperti tersebut di atas membawa pengaruh antusiasme siswa dalam belajar sekaligus lebih membekas dalam jiwa anak yang membawa pesan moral kehidupan yang pada gilirannya dapatmembentuk kepribadian anak yang lebih matang pada saat dewasanya nanti.

Pengaruh tersebut berjalan seiring dengan kematangan dan emosi anak yang dalam penyampaiannya dengan argumentasi yang logis138.

Sebagaimana dalam firman Allah surat Yusuf ayat 3, yang di dalamnya mengisyaratkan adanya metode pemberian cerita dengan tamsil.

حن0 ص ت� ق� ك� ي� 'ن0 عليحس صص ا� ما الق� ا ئ� ي� وجي' ك� ا� 'لي ا ا­ د� ن0 ه را� �ن0 الق كن�ب� وا­

لة من0 ي� ) لمن0 ف� ن0 لي' اق� .(3الع�

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)-nya adalah temasuk orang-orang yang belum mengetahui” 139

2. Ketrampilan Guru Melatih Kemandirian Siswa

a. Penyebab ketergantungan siswa

Masalah ketergantungan siswa dominan

terjadi di kelas I, Menurut guru, siswa

138 Ibid, hlm. 77139 Al-Quran dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm. 348

biasanya masih terbawa suasana di taman kanak-

kanak, yang ditandai ketergantungan yang

tinggi kepada orang tuanya. Segala aktivitas

hidup mereka, seperti makan, mandi, berangkat

ke sekolah, dan lain sebagainya masih

memerlukan bantuan orang tua. Kebiasaan-

kebisaan inilah yang pada gilirannya

menimbulkan permasalahan ketika mereka berada

di Sekolah Dasar.

Menurut Jan Prasetyo, sebagaimana dikutip

Sinta Ratnawati , ketergantungan anak tidak

terlepas dari pola asuh orang tua yang terlalu

melindungi anak, sehingga tidak memberi

kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan

orang lain. Padahal dalam melatih kemandirian

anak, sejak dini seharusnya orang berhubungan

dengan orang lain.140

Orang tua melatih anak untuk tidak

terlalu terikat kepadanya dan membiasakan

140 Sinta Ratnawati, Op. Cit, hlm. 62

mereka berhubungan dengan orang lain.

Kebiasaan ini akan memudahkan anak beradaptasi

dengan lingkungan sekolahnya, sehingga akan

mengurangi keluhan tentang keengganan belajar.

Sebagai contoh, di Taman Kanak-Kanak, orang

tua masih suka menunggu anaknya di sekolah,

padahal kebiasaan ini membuat anak tergantung

kepada orang tuanya dan dibawanya hingga ke

sekolah dasar.

b. Cara Melatih Kemandirian Siswa

Untuk melatih kemandirian siswa, biasanya

guru memberikan petunjuk kepada siswa tentang

aktivitas-aktivitas yang bisa di lakukan

mereka secara mandiri, terutama pada saat awal

mereka di kelas I. Usaha guru dalam melatih

kemandirian siswa ini didukung dan dibantu

oleh orang tua siswa, dengan melalui media

buku pantaun jadwal aktivitas yang dikerjakan

siswa setiap harinya; seperti jadwal shalat

lima waktu, baca Al-Quran, dan jadwal belajar

yang ditanda tangani oleh orang tua dan setiap

harinya dilaporkan pada guru serta

ditandatangani oleh guru pemegang kelas

masing-masing.

Selain melalui buku pantuan, cara lain

dalam menerapkan aktivitas-aktivitas sehari-

hari yang dapat dilakukan siswa adalah adanya

komunikasi dengan orang tua siswa. Komunikasi

guru dan orang tua siswa ini dapat dilakukan

setiap kali ada kesempatan bertatap muka

dengan orang tua siswa, seperti pada pertemuan

bulanan atau setiap orang tua siswa

mengantarkan anaknya ke sekolah.

Dengan menjalin komunikasi dengan orang

tua siswa ini, guru dapat mengontrol

sejauhmana siswa-siswanya telah melakukan

aktivitas kehidupan mereka secara mandiri,

seperti makan, mandi, berpakain dan

sebagainya, tanpa bantuan orang tua mereka.

Dengan cara ini pula guru dapat memperoleh

informasi yang lebih kaya mengenai siswa-

siswanya.

Hanya saja, cara ini mempersyarat orang

tua agar tidak memanjakan anaknya. Padahal

kebanyakan orang tua masih membiarkan anaknya

tergantung kepadanya. Sebagai contoh, para ibu

menganggap bahwa anak balita belum waktunya

disuruh makan sendiri, karenanya wajar jika

harus disuapi. Menurut Penelope Leach

sebagaimana dikutip Sinta Ratnawati, mengenai

kemampuan anak untuk makan sendiri. Menurutnya

pada usia 8 bulan, anak mulai bisa mengambil

sedikit makanan dan menjilatinya dengan

sendok. Awalnya mungkin makanan tersebut akan

berceceran pada baju, meja, lantai, wajah dan

rambutnya. Tetapi jika orang tua terus

bersabar melatihnya, dalam waktu beberapa

minggu ia dapat melakukanya dengan baik141

141 Ibid, hlm. 67

3. Ketrampilan Guru Mengatasi Kecemasan Siswa dan

Melatih Keberanian Siswa

a. Penyebab kecemasan siswa

Kecemasan adalah emosi negatif yang biasa

terjadi pada anak-anak, terutama ketika mereka

pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah

dasar. Dari data di lapangan ditemukan bahwa

reaksi yang menyertai kecemasan adalah

keinginan anak untuk ditungui oleh orang

tuanya selama di sekolah dan memperhatikan

orang tuanya lewat jendela kelas pada tahap

yang mengkhawatirkan. Kecemasan anak terhadap

sekolah, menurut Cici M. D Kaloh bisa

diwujudkan dalam bentuk stres, muntah-muntah,

sering buang air, dan ganggaun fisik lainnya.142

Pada umumya faktor yang menyebabkan

kecemasan bersekolah pada diri anak adalah

usianya yang masih terlalu dini. Tindakan

orang tua yang menyekolahkan anaknya pada usia

142 Ibid, hlm. 85

dini justru yang akan menimbulkan kecemasan

pada diri anak. Ketidaksiapannya ditinggalkan

orang tua di sekolah dan menghadapi lingkungan

yang masih asing sendirian merupakan

pengalaman yang traumatik bagi sebagian anak.

Akibatnya setiap kali orang tua mereka memaksa

ke sekolah, mereka selalu mencari alasan agar

bisa menghindari ke sekolah, seperti sakit

perut, pusing, bangun kesiangan dan lain

sebagainya. Kalaupun akhirnya mereka terpaksa

berangkat ke sekolah, biasanya mereka

ditunggui orang tuanya selama di sekolah.

Oleh karena itu, menurut Cici M. D Kaloh,

sebagaimana dikutip Sinta Ratnawati, sebaiknya

orang tua memasukkan anaknya ke sekolah ketiak

mereka sudah siap dilepas oarng tuanya dalam

waktu yang terbatas dan sudah mengenal

institusi yang bernama sekolah. Jika tanda-

tanda ini belum ditunjukkan anak, sebaiknya

orang tua tidak boleh memaksa anaknya untuk

bersekolah.143

Tindakan orang tua untuk menyekolahkan

anak pada usia dini diperkenankan sejauh hal

tersebut merupaka keinginan anak itu sendiri.

Ada pun waktu yang tepat untuk menyekolahkan

anak adalah pada saat mereka mulai tertarik

untuk bersekolah yang pada umumnya berlangsung

pada usia 6 samapi 7 tahun.

b. Cara Mengatasi Kecemasan Siswa dan Melatih

Keberanian Siswa

Untuk mengatasi kecemasan siswa dan

melatih keberanian siswa, terutama ketika

mereka petama kali duduk di kelas I, guru

meminta siswa maju ke depan untuk

memperkenalkan dirinya, menyuruh siswa

mengerjakan di papan tulis, dan membantu guru

membagikan buku-buku latihan. Cara ini memang

cukup membantu bagi siswa yang memiliki

143 Ibid, hlm. 85

kepercayaan yang tinggi. Tetapi bagi siswa

yang memiliki kepercayaan dirinya rendah atau

tidak mempunyai pengalaman pra sekolah, cara

yang dilakukan guru justru membuat mereka

merasa canggung dan beruasaha menghindari

permintaan guru.

Untuk mengantisipasi siswa yang memiliki

tingkat kecemasan yang tinggi dan kepercayaan

dirinya yang rendah ketika pertama kalinya di

sekolah guru membuat langkah-langkah sebagai

berikut:

1) Pada hari pertama masuk ke sekolah siswa

tidak langsung diwajibkan untuk menerima

pelajaran, melainkan di hari pertama kalinya

siswa masuk ke sekolah ini diisi dengan

kegiatan orientasi, seperti dengan

mengelilingi lingkungan sekolah dan di hari

ketiganya diisi dengan permainan.

2) Bekerjasama dengan orang tua siswa untuk

tidak menunggui anaknya di sekolah tetapi

dengan menyakinkan anaknya bahwa perpisahan

dengan mereka hanya sementara, dan setelah

pulang sekolah mereka akan mejemputnya di

gerbang sekolah atau bertemu kembali di

rumah. Tetapi sekiranya siswa yang memiliki

tingkat kecemasan yang cukup tinggi

memdapatkan keringan bagi orang tua untuk

menunggui anaknya di sekolah.

3) Merubah komposisi tempat duduk siswa

setiap seminggu sekali dengan secara teratur

dan berurutan secara bergilir.

Akan tetapi, disamping adanya kegiatan

yang dapat mengatasi kecemasan dan melatih

keberanian siswa tersebut di atas, ada

kegiatan orientasi yang dipilih guru, seperti

kegiatan baris-berbaris pada saat pertama

kali siswa masuk ke sekolah dasar ataupun

kegiatan baris-berbaris yang dilakukan setiap

harinya ketika akan masuk ke kelas sebaiknya

dihindari karena membuat siswa kehilangan

semangat dan merasa berhadapan langsung dengan

suasana formal.

4. Ketrampilan Guru Melatih Motivasi Belajar dan

Ketekunan

Siswa

a. Penyebab Rendahnya Motivasi Belajar

Rendahnya motivasi belajar siswa

diwujudkan dalam keengganan mengerjakan tugas

yang diberikan guru tidak berkonsentrasi dan

selalu terlambat dalam mengerjakan tugas.

Akibatnya, siswa yang bersangkutan memperoleh

prestasi belajar yang rendah.

Dasar motivasi pada diri anak menurut

Saphiro sebenarnya adalah keinginannya untuk

menguasai lingkungan yang diwarisinya secara

genetis. Sejak kehadirannya di muka bumi, anak

terlahir dengan keinginan untuk menguasai

lingkungan sekitarnya dengan berguling-guling,

duduk, berdiri, berjalan-jalan, dan berbicara.

Tetapi ketika menginjak usia 7 samapi 8 tahun,

pada saat memasuki sekolah dasar, mereka

merasakan pekerjaan sekolah sebagai beban

tersendiri. Akibatnya, mereka kehilangan

semangat untuk belajar dan menemukan sesuatu.144

Menurut Martin Covington, sebagaimana

dikutip Saphiro, bahwa anak yamg tidak

termotivasi cenderung mengharap keberhasilan

yang seadanya dan mereka hanya menetapkan

sasarannya di tingkat yang rendah pula.

Motivasi diri juga mempengaruhi percaya diri

anak. Apabila motivasi diri anak rendah, maka

kepercayaan diri mereka juga rendah.

Sebaliknya, jika motivasi diri anak tinggi, ia

akan memiliki kepercayan diri yang tinggi dan

mudah dalam menghadapi rintangan.145

144 Lawrence Saphiro, Mengajarkan Emosional Intellegence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 227

145 Ibid, hlm. 230

Sementara data dari lapangan, penyebab

dari rendahnya motivasi siswa dalam belajar

adalah:

1) Suasana emosional yanag diciptakan guru

Kebosanan menyebabkan motivasi belajar

siswa yang menurun drastis. Menurut Elizabeth

B. Hurlock, minat anak terhadap sekolah

cenderung menurun seiring pertambahan usia

dan digantikan dengan rasa bosan dan

ketidaksukaan. Salah satu faktor yang memicu

hal ini adalah suasana emosional yang

diciptakan guru di dalam kelas.

Dari data di lapangan, terlihat bahwa

pola pengajaran yang diterapkan guru

cenderung monoton. Setiap harinya siswa hanya

menjalankan aktivitas pembelajaran yang rutin

dan nyaris tanpa inovasi. Setelah kegiatan

belajar-mengajar dibuka dengan doa. Biasanya

siswa diminta membaca dan memperhatikan

penjelasan guru dan setelah itu siswa diminta

mengerjakan latihan baik yang terdapat

didalam buku pelajaran maupun di papan tulis.

Akhirnya, setelah tugas tersebut selesai

dikerjakan siswa, mereka diminta untuk

mengoreksi dan menyebutkan nilai yang mereka

peroleh. Hal ini berlangsung dari satu

pelajaran ke pelajaran berikutnya, sehingga

membuat siswa mudah mengalami kejenuhan.

2) Kurikulum yang terlalu berat

Kurikulun yang terlalu berat, menurut

Mary Ann Flynn, sebagaimana dikutip Sinta

Ratnawati, ditandai kecenderunag untuk lebih

menekankan cakupan materi daripada pemahaman,

mengorbankan kualitas kerja demi kuantitas

materi, dan pengajaranyna lebih menekankan

pada hafalan daripada kemampuan berfikir dan

inovatif.

Dari ciri-ciri diatas, kurikukum

yang diterapkan guru juga merupakan salah

satu faktor yang menyebabkan rendahnya

motivasi belajar siswa. Setiap hari siswa

harus menyekesaikan pokok-pokok bahasan yang

sudah ditargetkan guru, yang belum tentu

mereka kuasai sepenuhnya. Selanjutnya

disetiap akhir pelajaran, guru selalu

memberikan Pekerjaan rumah kepada siswa.

Kondisi ini menyebabkan siswa yang semula

bergairah dalam belajar, dapat turun

semangatnya karena terbebani tugas yang

menumpuk.

Dalam konteks ini, seharusnya guru tidak

semata-mata memprioritaskan pada kurikulum

yang ditargetkan, tetapi perlu memperhatikan

minat, kebutuhan, perbedaan serta tingkat

pengusaan siswa terhadap pelajaran.

b. Cara Memotivasi dan Melatih Ketekunan siswa

Untuk memotivasi siswa, ada beberapa

langkah yang telah dilakukan guru, yaitu:

1) Meminta siswa saling mengoreksi dan

menyebutkan nilai yang diperoleh

Cara ini memang dapat memotivasi siswa

agar berprestasi. Akan tetapi, bagi siswa

yang tingkat intelegensinya rendah atau yang

mempunyai kepercayaan dirinya yang rendah,

cara ini justru membuat mereka malu dan

merasa frustasi. Apabila hal tersebut

berlangsung terus-menerus, perasan tersebut

akan berkembang menjadi rendah diri yang akan

merusak konsep dirinya

Secara neurologis, emosi-emosi ekstrim

yang ditimbulkan rasa malu akan mengambil

jalan pintas dengan langsung menuju amigdala

dan menghindari jalur normal ketika menuju

neokorteks, tempat pencatatan informasi dan

tempat penyimpanan ingatan dalam otak.

Akibatnya emosi ekstrem tersebut akan

menimbulkan efek langsung yang berpengaruh

dalam diri anak146

Oleh karena itu, guru perlu berhati-hati

dalam menerapkan cara ini. Ia perlu

mempertimbangkan cara mana yang disukai dan

menghasilkan prestasai tinggi bagi siswa,

serta pelajaran mana yang kurang disukai dan

menghasilkan prestasi rendah bagi siswa.

Terhadap pelajaran pertama, cara ini pantas

dilakukan guru . Namun jika cara ini gagal,

sebaiknya guru menerapkan cara lain yang

dapat membantu motivasi diri siswa., misalnya

dengan memberikan hadiah.

2) Memuji dan memberi tepuk tangan

Dalam memotivasi siswa, sebenarnya guru

sudah melakukan cara ini, tetapi pujian

tersebut cendrung bersifat umum dan tidak

mengarah pada perilaku yang pantas dipuji.

146 Lawrence E. Saphiro, Op. Cit, hlm. 75

Misalnya dengan mengatakan, ‘Pintar”,

“bagus”, dan sebagainya.

Menurut Haim Ginott, sebagaimaan dikutip

Schaefer, pujian yang baik adalah pujian yang

secara spesifik mengarah pada satu tingkah

laku, bersifat deskriptif, dan tidak melebih-

lebihkan.147 Misalnya dengan mengatakan,

“Tulisanmu rapi, tanpa coretan dan seluruh

tandanya benar-benar kamu perhatikan”, dengan

cara ini, selain siswa termotivasi ia juga

mengerti tindakannya yang pantas dipuji guru.

Namun sebagai pedoman yang terpenting

ialah bahwa pujian yang diberikan kepada anak

hanya menyangkut kepada usaha anak untuk

melakukan sesuatu. Pujian diberikan hanya

menyangkut hasil-hasil yang dicapai anak dan

bukan menyangkut pada watak dan kepribadian

anak.

147 Charles Schaefer, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan anak, (Jakarta: Mitra Utama, 1990), hlm. 38-39

Selain pada dua cara tersebut di atas

yang mengarah pada cara guru memotivasi siswa

dalam belajar, ada satu cara lagi yang

terpenting bagi siswa untuk lebih bersemangat

dalam belajar dan berperilaku yang lebih baik.

Cara ini dipandang guru efektif dalam

menangani siswa dalam kesulitannya yaitu

dengan cara melakukan pendekatan sacara

perorangan atau individu atau juga dinamakan

dengan pendampingan. Pendampingan ini diberikan

pada siswa yang bermasalah maupun yang tidak;

artinya siswa yang dalam batas-batas yang

normal.

Beban bathin yang dirasakan anak di

sekolah berbagai macam bentuknya, dimulai dari

beban yang dibawanya dari rumah, seperti

merasa cemburu karena dinomorduakan oleh

kehadiran sang adik dan juga sampai pada beban

bathin yang mereka dapati di sekolah, seperti

dicemoohkan oleh temannya, dan sebagainya.

Beban bathin ini dapat dikatakan sebagai

stress anak di sekolah, sebagai contohnya juga

pekerjaan rumah yang diberikan guru dalam

jumlah yang berlipat-lipat. Hal yang demikian

yang menyebabkan anak tidak dapat

berkonsentarsi dalam belajar, yang pada

gilirannya anak berputus asa dan menunjukkan

ketidaksangupannya dalam mengerjakan soal-soal

latihan ataupun pekerjaan rumah.

Guru sebagai orang tua di sekolah,

melihat siswanya yang demikian, berusaha untuk

membantu siswa melalui proses pendampingan

dengan duduk bersama siswa yang bersangkutan

untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa

dalam keadaan yang tenang dan tidak dalam

suasana belajar yang formal, yang membuat

siswa tegang dan cemas. Membantu masalah di

sini dengan maksud hanya mendorong dan

membantu anak mencari jalan bagi pemecahan

kesulitan..

Membantu siswa memecahkan masalah ini

menurut M. Thalib, adalah merupakan upaya guru

dalam membiasakan anak memecahkan kesulitannya

sendiri dan sekaligus melatih anak

bertangungjawab.148

Sebagaimana dalam ayat Al-Quran yang

membei petunjuk kepada manusia untuk mencari

kesulitan masalahnya dengan tidak berputus

asa. Allaah berfirman dalam Quran surat Yusuf

ayat 87:

ا ى' ئ' ب� وا ت� هي� حسسوا اذ� ي} وسف� من0 ف� ة ي' ن' سوا ولآ واح� ن� ي' ة اللة روح من0 ت� ي� س ا­ ن� ي' ¹Zت من0 لآ

وم اللة روح لآالق� ن0 ا­ 'Zي (87) الكق�ر

“Hai anakku, pergilah kamu, maka carilahberita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” 149

148 M Thalib, 50 Pedoman Mendidik Anak menjadi Shaleh, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 1990), hlm. 1999149 Departemen Agama, Op. Cit, hlm323

Langkah dengan pendampingan tersebut

merupakan satu langkah yang kreatif yang

diciptakan guru dalam memahami perasaan siswa

dalam belajar, sehingga di sini dapat

dikatakan dalam belajar tidak ada

pengesampingan emosinal peserta didik. Belajar

dapat dikatakan berhasil, bila terciptanya

keseimbangan antara perasaan dan fikiran.

Namun alangkah baiknya bila guru

menciptakan suasana dan gaya belajar yang

sesuai dengan keinginan dan minat siswa;

seperti yang dikatakan oleh Bobby De Porter,

bahwa untuk melatih ketrampilan berprestasi

siswa guru dapat mengajar sesuatu yang

disenangi anak misalnya menemukan gaya belajar

yang tepat, kiat-kiat menulis dengan penuh

percaya diri dn sebagainya.150 Demikian pula,

perlunya guru untuk menanamkan sikap“Ketekunan

150 Bobby De porter & Mike Hernacki, Quantum Learning-Membiasakan Hidup Nyaman dan Menyenangkan, (terjemah: Alawiyah Abdurrahman), (Bandung: Kaifa, 1999), hlm. 109

dan Usaha” pada siswa yaitu dengan menghargai

nilai ketekunan siswa dan memanfaatkan

hobinya.

Sebagai implikasi adalah sikap

mengantisipasi keberhasilan pada anak juga

harus ditanamkan bagaimana menghadapi dan

mengatasi kegagalan. Ajarkan kepada mereka

bahwa keberhasilan seiring dibangun diatas

kegagalan, dan membantu mereka merasakan

ganjaran dari suatu keberhasilan atas

kerjasama yang tidak mungkin dicapai oleh satu

orang saja.

5. Ketrampilan Guru Melatih Kejujuran Siswa

a. Penyebab Kebohongan siswa

Menurut Saphiro, anak-anak mulai

berbohong hampir semenjak mereka mulai

berbicara. Umumnya pada usia 2 sampai 3 tahun

anak belum mencapai perkembangan kognitif dan

bahasa. Ia juga belum mampu melihat hubungan

langsung antara apa yang mereka katakan

dengan apa yang mereka perbuat. Menginjak

usia empat tahun, anak mulai mengerti bahwa

berbohong yang dilakukannya untuk mengelabui

orang lain merupakan perbuatan yang buruk151.

Jika perilaku ini berkembang menjadi

kebiasaan, anak yang suka berbohong cenderung

tidak disukai gurunya dan terkucil dari

pergaulan sosialnya, karena dipandang tidak

dapat dipercayai dan suka menyepelekan orang

lain

Selanjutnya menurut Paul Ekman dalam

bukunya Why Children Lie, sebagaimana dikutip

Saphiro, bahwa alasan yang menyebabkan anak

berbohong adalah untuk menghindari hukuman,

untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan,

dan semata-mata untuk mendapatkan pujian dari

temannya.152 151 Lawrence E. Saphiro, Op. Cit, hlm. 62152 Ibid, hlm. 63

Sementara dari data lapangan, yakni

dalam konteks pembelajaran di dalam kelas,

berbohong dilakukan siswa untuk menutupi

kelalaian, menghindari hukuman guru, menutupi

prestasi belajarnya yang rendah, dan

keinginan untuk mendapatkan perhatian guru

dan teman. Alasan yang lazimnya mereka

kemukakan adalah lupa mengerjakan tugas atau

tugas tertinggal di rumah.

b. Cara Melatih Kejujuran Siswa

Untuk melatih kejujuran kepada siswa,

biasanya guru memperingatkan siswa agar tidak

mencotek hasil pekerjaan temannya sebangku,

saling mengoreksi tugas, dan meminta siswa

menyebutkan nilai yang diperolehnya. Cara ini

patut dipertahankan karena siswa dilatih

bersikap jujur dan sportif. Hanya saja guru

perlu berhati-hati terhadap siswa yang tidak

mampu berkompetisi dan selalu memperoleh

prestsi rendah.

Dengan meminta siswa menyebutkan

nilainya,. Siswa yang bersangkutan justru

frustasi dan merasa dipermalukan. Akibatnya,

motiasi belajarnya bukan meningkat, tetapi

justru semakin turun. Menghadapi siswa yang

demikian, guru melakukan penedekatan secara

personal untuk mengetahui penyebab dari

kegagalannya itu dan juga dikomunikasikan dan

mencari penyelesaian masalah dengan

kerjasamanya orang tua siswa, sebagaiman

telah dijelaskan di bagian memotivasi siswa

dan melatih ketekunan siswa.

Perlu ditegaskan bahwa, guru merupakan

teladan bagi siswa dalam mempraktekan nilai

kejujuran. Jika guru melanggar janjinya,

siswa dengan cepat menagkapnya. Demikian juga

apa yang dikatakan guru harus diikuti dengan

tindakannya, agar tindakan ini pada

gilirannya akan menajdi panutan bagi anak.

Sebagaimana Rasululah SAW telah dijadikan

teladan bagi segenap tingkah laku dalam

kehidupan. Allah berfirman dalam Quran surat

al-Ahzab ayat 21:

د ان0 لف� ى لكم ك ول ف� وة� اللة رس س ة� ا� ن�ان0 لمن0 حس وااللة ك وم ت'رج� 'ر والي خ� وذ� الآ�

راللة كرا ي' (21). كث�

“Sesungguhnya pada Rasul Allah (Muhmmad)ada ikutan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan (pahala) Allah dan hari yang kemudian, serta ia banyak mengingat Allah.”153

Untuk itulah, guru dijadikan teladan

utama di sekolah, oleh sebab itu guru harus

menjaga dan berhati-hati dalam berkata dan

bertindak. Tindakan-tindakan yang dilakukan

guru akan cepat diserap siswa. Mereka

menganggap kebohongan adalah perilaku yang

wajar bagi semua orang. Mereka juga akan

153 Prof. H. Mahmud Yunus, Tarjamah Al-Quran Al-Karim, (Bandung: Al-Ma`arif, 1986), hlm. 379

belajar memparktekan kebohongan dalam

pergaulan sosial mereka.

Dalam melatih kejujuran, disamping guru

memberikan contoh yang baik pada siswa

ataupun dengan memberikan nasihat dan cerita,

guru perlu melatih kejujuran siswa dengan

mengajak mereka bermain-main. Misalnya,

permainan memasang ekor kuda yang sangat

populer di tanah air, atau permaina jatuh ke

belakang pada saat olah raga, dan permainan-

permainan lainnya yang melatih siswa untuk

mempercayai orang lain.

6. Ketrampilan Guru Melatih Ketrampilan Sosial

Siswa

a. Penyebab Perilaku Asosial Siswa

Perilaku asosial siswa terjadi di semua

kelas, misalnya siswa suka minta uang jajan

kepada temannya secara paksa, pekelahian

antar teman, serta adanya pengabaikan tata

krama sosial seperti menerima buku dari

gurunya dengan tangan kanan. Perilaku asosial

ini juga ditunjukkan dengan munculnya

antagonisme anak laki-laki terhdap anak

perempuan, misalnya dengan mengejek,

berteriak-teriak, dan membuka jilbab teman

perempuan. Selain dapat merusak hubungan

sosial antar sesama siswa, perilaku asosial

tersebut juga membuat siswa yang bersangkutan

terkucil dari teman-temannya.

Munculnya perilaku sosial di atas

sebenarnya tidak lepas dari perkembangan

sosial yang terjadi pada diri anak. Menurut

Elizabeth B. Hurlock, bahwa seiring dengan

pertambahan usia, anak semakin tertarik

bergaul dengan teman sebayanya dan

meninggalkan teman pergaulan dengan orang

dewasa. Mereka juga lebih mempercayai norma-

norma sosial yang dipegang kelompoknya

daripada norma-norma yang mereka terima dari

orang dewasa. Akibatnya, ketika terjadi

perbenturan antar norma kelompok dengan norma

sosial, mereka lebih menerima kelompoknya. 154

Lebih jauh menuruit Elizabeth B.

Hurlock, ketika mulai sekolah anak memasuki

“usia geng”, yaitu usia yang pada saat itu

kesadaran sosial anak berkembang dengan

pesat. Mereka belajar membentuk atau menjadi

anggota kelompok teman sebaya yang secara

bertahap menggantikan keluarga dalam

mempengaruhi perilaku.155

Gang merupakan usaha anak untuk

menciptakan miniatur masyarakat yang sesuai

bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Gang pada

umumnya terdiri atas anak-anak yang mempunyai

minat bermain yang sama, dan tujuan utamanya

adalah untuk bersenang-senang, yang

154 Elizabeth B. Hurlock, Op. Cit, hlm. 261155 Ibid, hlm. 264

kadangkala menjurus pada kenakalan, seperti

mengganggu dan lain sebagainya.

Pada saat yang sama, sejak usia 6 atau 7

tahun, anak laki-laki dan anak perempuan

mulai merasa senang apabila berada didalam

kelompok yang sama jenis kelompoknya. Apalagi

orang tua atau anggota keluarga lainnya juga

menekan anak untuk menghindari pergaulan

dengan lawan jenisnya, karena hal tersebut

dipandang akan mengucilkan anak dari

pergaulan sosialnya.

Dari sinilah sebenarnya bermula perilaku

antagonisme siswa terhadap lawan jenisnya.

Anak lelaki cenderung memandang rendah anak

perempuan, sehingga mereka menghindari

aktivitas yang dianggap sebagai aktivits

perempuan. Apabila perekembangan ini diikuti

dengan perlakuan yang diskriminatif dari

guru, maka antagonisme tersebut akan menjurus

pada tindakan-tindakan asosial lainnya,

seprti mengejek, menjahili, dan menyakiti

lawan jenisnya.

b. Cara Melatih Ketrampilan Sosial Siswa

Dalam menghadapi perilaku asosial siswa,

guru telah melakukan langkah-langkah yang

dapat mengantisipasi atau menghentikan

perilku tersebut, seperti mengubah komposisi

tempat duduk siswa setiap satu minggu sekali,

menasehati siswa tentang artinya

persahabatan, memberithu tata krama sosial

yang harus diperhatikan siswa, dan menangani

kasus-kasus sosial yang terjadi antar sesama

siswa.

Cara yang demikian diperkuat dengan

adanya tindakan guru yang mencoba melatih

siswa untuk berkompetisi secara berkelompok,

yakni dengan sistem belajar kelompok di dalam

kelas, sehingga memungkinkan mereka untuk

berinteraksi satu sama lain. Cara ini juga

sekaligus mengurangi potensi terjadinya

antagonisme tehadap lawan jenis, sehingga

anggapan anak laki-laki yang yang semula

memandang anak perempuan sebagai saingan

(rival), berubah menjadi partner dalam bekerja.

Begitu pula dalam memelihara hubungan

sosial dan melatih tata krama sosial siswa,

guru telah memberikan nasihat tentang etika-

etika pergaulan kepada kepada siswa dan

melakukn koreksi ulang terhadap pelanggaran

tata krama sosial yang dilakukan siswa,

seperti membuang sampah sembarangan, menguap

di depan umum, dan menerima barang dengan

tangan kiri. Sayangnya, dalam menasihati guru

tidak memfokuskan petunjuknya pada perilaku

siswa secara spesifik . Akibatnya nasihat

tersebut sulit dipahami dan dipraktekan

siswa.

Lain halnya dengan ketika guru melatih

tata krama sosial siswa, guru dapat

memanfaatkan momentum pada saat guru

menjumpai siswa yang datang terlambat dan

masuk ke dalam kelas tanpa mengucapkan salam,

di sini guru dapat mengoreksi ulang perilaku

siswa yang bersangkutan dengan menyuruhnya

keluar dari kelas dan mengulangi rangkaian

tata krama yang harus dilakukannya, seperti

mengetuk pintu sebelum masuk kelas,

mengucapkan salam, dan memohon izin kepada

guru perihal keterlambatannya.

Disamping itu, sebenarnya ada hal lain

yang lebih penting diperhatikan guru daripada

memberikan nasihat, yaitu melatih ketrampilan

berkomunikasi siswa. Dengan hal tersebut

disela-sela proses belajar-mengajar, waktu

guru tidak tersita hanya untuk berceramah

atau menangani kasus-kasus sosial siswa.

BAB. IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:

Pada umumnya masalah-masalah emosional siswa yang

dihadapi guru di sekolah dasar Muhammadiyah

Suronatan Yogyakarta khususnya kelas rendah yaitu

kelas 1, 2 dan 3, adalah masalah ketidakdisiplinan

yang ditandai dengan perilaku-perilaku siswa,

sebagai berikut; ramai di dalam kelas, terlambat

datang ke sekolah, tidak memakai seragam, tidak

mengerjakan PR atau melalaikan tugas, pertengkaran

antar siswa dan perbuatan asosial lain seperti

pemalak, serta juga masalah tata krama siswa.

Sedangkan secara khususnya masalah emosional siswa

yang dihadapi guru adalah masalah emosional yang

bersifat dominan terjadi pada tiap jenjang kelas.

Sebagaimana halnya yang terjadi di kelas satu adalah

masalah emosional, seperti rasa takut, cemas dan

khawatir, yang pada gilirannya akan menimbulkan

sikap ketergantungan pada orang tuanya. Masalah

emosional yang dominan terjadi di kelas dua adalah

motivasi belajar yang rendah, sedangkan di kelas

tiga adalah meningkatnya solidaritas sesama jenis

kelamin dan kecemburuan terhadap lawan jenis.

Konsep kecerdasan emosional anak menurut Perspektif

guru di SD Muhammadaiyah Suronatan Yogyakarta adalah

bahwa dalam hal mendidik siswa-siswinya, mereka

lebih mementingkan aspek afektif siswa disamping

aspek-aspek siswa lainnya, seperti aspek kognitif

dan aspek psikomotorik. Perhatian guru terhadap

aspek afektif siswa tersebut dituangkan kedalam

bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan sekolah, seperti

kegiatan intra sekolah atau kegiatan belajar-

mengajar dan dalam kegiatan ekstra kokurikuler.

Lebih khususnya lagi pada proses pembelajaran,

seperti pada penerepan hukuman terhadap siswa yang

melanggar peraturan sekolah ataupun siswa yang

berbuat tidak sesuai dengan tata krama sosial dan

berbuat asosial. Dalam memberikan hukuman guru lebih

menggunakan dengan hukuman yang tidak menyentuh

fisik siswa dengan pertimbangan kondisi kejiwaan

siswa, sehingga siswa dapat termotivasi dalam

belajar dan berperilaku yang lebih baik.

Cara guru melatih kecerdasan emosional siswa

disesuaikan dengan masalah emosional yang dihadapai,

baik yang bersifat persuasif (insidental) maupun

yang bersifat kuratif (klasikal). Adapun secara umum

guru dalam menghadapi masalah emosinal siswa adalah

dengan cara; menegur, mengancam, memberi hukuman,

memberikan nasihat dan cerita, serta melakukan

pendekatan secara individual (pendampingan).

Disamping itu pula guru mengambil tindakan secara

khusus terhadap kelas satu, seperti dalam menghadapi

masalah kemandirian siswa dan juga masalah ketakutan

dan kecemasan siswa dengan memberikan kebijakan

khusus pada orang tua siswa, memberikan permainan

dan mengelilingi lingkungan sekolah, dengan tujuan

untuk menghilangkan rasa cemas serta takut pada

siswa. Demikian pula dalam melatih kemandirian

siswa, guru memberikan secara khusus pada siswa

dengan mengecek tingkat kemandirian siswa serta

memberi petunjuk pada siswa tentang aktivitas-

aktivitas yang harus dilakukan siswa.

SARAN

Berangkat dari kesimpulan di atas, maka saran dari

penelitian ini, adalah:

Pada Guru.

Dalam menghadapi masalah emosional siswa yang cukup

kompleks pada tiap jenjang pendidikan dari umur 7-9

tahun, memang tidaklah mudah bagi guru untuk secara

optimal memberikan latihan-latihan dalam

mengembangkan kecerdasan emosional siswa. Sehingga

di sini perlunya perhatian guru yang lebih luas

terhadap kecerdasan emosional siswa dan kesadaran

diri untuk meningkatkan ketrampilannya dalam

melatih kecerdasan emosional siswa.

Dalam mengajar, sebaiknya guru menghilangkan sikap

diskriminasi terhadap siswa tertentu, artinya guru

tidak memihak salah satu murid tertentu atau

sekelompok siswa putera. Hal yang demikian akan

memunculkan sikap antagonisme dan kecemburuan

siswa terhadap siswa lawan jenisnya

Dalam memberikan hukuman siswa dengan memberikan

tugas yang berlipat-lipat, alangkah baiknya bila

guru melihat kondisi kejiwaan dan kemampuan

berpikirnya. Hal ini bila diabaikkan justru yang

terjadi adalah siswa yang kurang mampu dalam

berpikir akan membuatnya semakin takut dan enggan

untuk sekolah. Sebaliknya bagi siswa yang

berkemampuan lebih dalam berfikir, ia akan semakin

semangat dan tertantang dalam belajar. Begitu pula

dalam memberikan hukuman, sebaiknya guru

memberikannya sebagai alternatif terakhir disertai

dengan sikap empati. Artinya setelah guru

memberikan hukuman pada siswa, guru bersikap

seperti semula dan tidak membenci siswa setelah

siswa melakukan kesalahan.

Langkah guru dengan melakukan pendekatan secara

individual atau pendampingan, merupakan langkah

yang tepat dan adanya ketanggapan guru terhadap

masalah perasaan siswa. Jadi, dalam belajar di sini

adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran.

Demikian pula kedekatan guru dengan siswa perlu

dipertahankan selama tidak menggangu dalam proses

belajar-mengajar. Sebab hubungan guru dan siswa

yang akrab dan harmonis akan memunculkan semangat

belajar dan siswa akan lebih mencontoh segala

perilaku gurunya sebagai orang terdekatnya. Untuk

itulah perlunya guru agar lebih berhati-hati dalam

bertindak dan berbicara, karena guru adalah tokoh

panutan bagi siswa-siswanya sampai dewasa kelak.

Pemberian hukuman dengan jalan musyawarah bersama

siswa di sekolah ini sanagtlah tepat dan sebaiknya

dijalankan terus, karena disamping untuk memilih

jalan yang terbaik menurut kesepakatan bersama.

Musyawarah juga melatih siswa untuk mengambil suatu

keputusan yang diambil secara bersama dan tidak

mementingkan kepentingannya sendiri. Jadi disini

siswa dilatih untuk tidak bersikap egois.

Pada Sekolah.

a. Kebijakan-kebijakan sekolah yang berkaitan

dengan pengembangan kecerdasan emosional siswa,

baik secara umum maupun secara khusus sudah

menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian

sekolah pada aspek afeksi siswa. Namun hendaknya

kebijakan ini lebih diluaskan lagi pada proses

pelatihan kecerdasan emosional siswa secara

terprogram dan masuk dalam kurikulum sekolah, jadi

sifatnya tidak hanya komplementer untuk

memperlancar proses belajar-mengajar.

b. Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah

khususnya sebelum jam belajar dimulai tepatnya

ketika bel sekolah berbunyi siswa diwajibkan untuk

baris-berbaris di depan kelas dan satu-persatu

masuk ke kelas dan berjabat tangan dengan gurunya,

walaupun kegiatan ini dengan tujuan agar siswa

tertib dan rapi, tapi kegiatan ini secara tidak

langsung membuat siswa tegang dan cemas dan

kehilangan semangat karena menghadapi suasana

sekolah yang formal. Alangkah baiknya bila

kegiatan tersebut dighilangkan dan digantikan

dengan kegiatan yang membuat siswa tenang, tidak

tegang dan tetap semangat, seperti dengan

memberikan permainan tebak-tebakkan dan bagi siswa

yang bisa menjawabnya mendapat giliran masuk ke

kelas dan berjabat tangan dengan guru. Permainan

ini pun dapat dilakukan guru ketika jam belajar

selesai.

c. Sebaiknya pihak sekolah perlu mengantisipasi

bagi calon siswa yang akan masuk ke sekolah pada

usia yang masih dini. Sekolah hendaknya

menganjurkan pada orang tua siswa untuk tidak

menyekolahkan anaknya di sekolah dasar terkecuali

bila keinginan masuk sekolah karena keinginan

sendiri calon siswa tersebut. Hal ini perlu

menjadi perhatian, sebab anak yang belum siap

masuk ke tingkat sekolah dasar pada nantinya siswa

akan ketinggalan dalam menangkap pelajaran dan

yang lebih diutamakan adalah kondisi jiwa anak.

Bila kondisi jiwamya belum siap maka yang terjadi

adalah keengganan siswa umtuk belajar dan takut

masuk sekolah.

PENUTUP

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah,

penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik walaupun

dalam bentuk yang sederhana. Semua ini tidak terlepas

dari karunia dan rahmat-Nya serta berkat pengarahan

dari pembimbing.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari sempurna. Hal ini karena keterbatasan

penulis dalam menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan

dengan masalah ini. Oleh kartena itu saran dan kritik

yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan

skripsi ini.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada masyarakat

pada umumnya. Akhirnya semoga segala rahmat-Nya tetap

tercurah pada seluruh mahluk-Nya. Amin…

Yogyakarta, 16 Agustus 2004

Penulis

Nur Alimah

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali Imam, Ikhtisar Ihya ‘Ulumuddin, terjemah MochtarRosyadi dan Mochtar Yahya, [Yogyakarta:Al-Falah, 1981]

Amstrong Thomas, Setiap Anak Cerdas, [Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2002]

Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu PendekatanPraktek, [Jakarta: Rineka cipta, 1996]

Awwad M. Jauddah, Mendidik Anak Secara Islam, [Jakarta:Gema Insani, 1995]

Bahreiz Husein, Kitab al-Jami’ush-Shahih, Hadist ShahihBukhari Muslim, [Surabaya: Karya Utama,1977]

Clemes Harris & Reynold Bean, Melatih Anak BertanggungJawab, [Jakarta: Mitra Utama, 2002]

Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, [Jakarta: BulanBintang, 1970]

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, [Jakarta:Katoda, 1993]

Deporter Bobbi, Quantum Teaching, Mempraktekkan QuantumLearning di Ruang-Ruang Kelas, terjemah; AryNilandari, [Bandung, Kaifa, 2000]

Deporter Bobbi & Mike Hernacki, Quantum Learning-Membiasakan Hidup Nyaman dan Menyenangkan,[Bandung: Kaifa, 1999]

Drever James, Kamus Psikologi, [Jakarta: Bina Aksara,1980]

Elias J. Maurice dkk, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak DenganEQ, [Bandung: Kaifa, 2001]

Goleman Daniel, Emotional Intellegence, [Jakarta: GramediaPustaka Utama, 1999]

Gottman Joan & Jean De Claire, Kiat-Kiat Membesarkan AnakYang Memiliki Kecerdasan Emosional (EQ),[Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997]

Gunarso D. Singgih, Psikologi Praktis Anak, Remaja danKeluarga, [Jakarta: Gunung mulia, 1995]

Hamid Muhyidin, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak,[Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999]

Hurlock B. Elizabeth, Perkembangan Anak, [Jakarta:Erlangga, 1997]

Kartono Kartini, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya,[Jakarta: Rajawali, 1985]

Kartono Kartini, Psikologi Anak, “Psikologi Perkembangan”,[Bandung: Mandar Maju, 1990]

Levy Rey & Bill O’Hanlon, Cara Membesarkan Anak Yang SukaMelawan Tanpa Harus Hilang Kesabaran,[Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002]

Moleong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, [Bandung:Remaja Rosda Karya, 1997]

Najati Ustman, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi SAW,[Jakarta: Hikmah, 2003]

Nasih ‘Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam,[Semarang: Asy-Syifa, 1981]

Purwadarminta WJ.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,[Jakarta: Balai Pustaka, 1970]

Ratnawati Sinta, Keluarga Kunci Sukses Anak, [Jakarta:Kompas, 2000]

Salim Peter & Salim Yenny, Kamus Bahasa Kontemporer,[Jakarta: Modern English Press, 1991]

Saphiro E. Lawrence, Mengajarkan Emotional Intellegence PadaAnak, [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1998]

Schaefer Charles, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan Anak,[Jakarta: Mitra Utama, 1990]

Suharsono, Melejitkan EQ, IE, dan IS, [Jakarta: InisianiPress, 2002]

Sulaeman Dadang, Psikologi Remaja “Dimensi-DimensiPerkembangan”, [Bandung: Mandar Maju,1995]

Thalib .M., 50 Pedoman mendidik Anak Menjadi Shaleh,[Bandung: Irsyad Baitus-Salam, 1996]

Yusuf Syamsu .LN., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,pengantar; M. Djawad Dahlan, [Bandung:Remaja Rosda Karya, 2002]