METODE MELATIH KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK
(Studi Pada Ketrampilan Guru Melatih KecerdasanEmosional Siswa
SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta)
SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas DakwahUIN Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Tugas SebagaiSyarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam
Disusun Oleh :
Nur AlimahNIM. : 99222701
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAMFAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA2004 BAB. I
PENDAHULUAN
A. PENEGASAN ISTILAH
Untuk memperoleh gambaran dan pengertian yangjelas serta untuk menghindari salah tafsir tentang
judul ini, maka dianggap perlu untuk memeberipenegasan istilah berkaitan dengan judul ini.
1. Metode
Metode berasal dari bahasa Greek yang
terdiri dari kata meta yang berarti melalui dan
hodos yang berarti jalan. Jadi metode adalah jalan
yang dilalaui.1Metode juga berarti cara kerja yang
sistematis untuk mempermudah suatu kegiatan dalam
mencapai maksudnya.2
1 Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999), hlm. 72
2 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia danKontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 973
Penggunaan istilah metode dalam penelitian
ini dengan maksud menyelidiki tentang berbagai
cara yang digunakan sesuai dengan obyek yang
diteliti.
2. Melatih Kecerdasan Emosional pada Anak
Melatih dapat diartikan dengan membiasakan
diri atau belajar.3Menurut Daniel Goleman dalam
bukunya “Emotional Intellegence”, Kecerdasan emosional
adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri dan kemampuan mengelola emosi yang baik
pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang
lain.4
Jadi Emotional Intellegence merupakan suatu
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memanage
emosinya supaya dapat terarah, sehingga emosi
dapat digunakan secara proposional pada saat
3 Ibid, hlm. 8384 Daniel Goleman,Emotional Intellegence, terj. T. Hermaya
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 512
melakukan suatu tindakan serta dapat mengenali
efek positif dan efek negatif dari emosi itu.
Anak adalah seseorang yang pada suatu masa
dan perkembangan tertentu dan mempunyai potensi
untuk menjadi cerdas.5Sedangkan anak menurut
Zakiah Daradjat adalah manusia kecil yang berkisar
antara umur 0-12 tahun.6Dengan demikian, yang
dimaksud dengan melatih kecerdasan emosional pada
anak dalam penelitian ini ialah memberikan
pembelajaran atau pembiasaan diri pada anak,
khususnya anak pada umur sekitar 6–9 tahun tentang
kemampuan memahami perasaannya sendiri, orang
lain, memotivasi diri dan juga mampu memanage
emosinya secara proposional.
3. StudiStudi berasal dari bahasa Inggris Study,
diIndonesiakan melalui proses peminjaman kata dari
5 Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja PimpinanPendidikan, (Jakarta: Rinieka cipta. 1990), hlm. 166
6 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,1970) ,hlm.109
bahasa asing dengan mengagantikan huruf y memjadi
I, kemudian studi mempunyai arti penyelidikan.7
Agar lebih operasional, maka studi padapenelitian ini diartikan sebagai suatu
penyelidikan tentang metode yang digunakan gurudalam melatih kecerdasan emosional siswa.
4. Praktek Menurut Peter Salim dan Yenny Salim, praktek
adalah cara pelaksnaan teori secara nyata.8
Praktek yang dimaksud dalam skripsi ini adalah
praktek guru dalam mengenali emosi siswa,
mengendalikan perilaku–perilaku negatif siswa,
menjalin komunikasi secara empatik, dan menanamkan
nilai–nilai emosional dan sosial, seperti;
kedisiplinan, kemandirian, motivasi diri,
ketekunan, ketrampilan berkomunikasi dan tata
krama sosial. Siswa di sini dikhususkan pada siswa
kelas rendah yaitu kelas I, II, dan III sekolah
dasar.
5. SD Muhammadiyah Suronatan Adalah merupakan salah satu instansi sekolah
yyang dirintis oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang7 WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1970), hlm.878 Ibid, hlm. 1186
didirikan pada tahun 1918. Sekolah ini beradadibawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka maksuddari judul skripsi “METODE MELATIH KECERDASANEMOSIONAL PADA ANAK (Studi Pada Praktek guruMelatih Kecerdasan Emosional Siswa di SDMuhammadiyah Suronatan Yogyakarta), adalah
penelitian lapangan yang berusaha menggambarkanmengemukakan dan menguraikan data atau informasisebagaimana adanya tanpa memberikan perlakuan
terhadap subyek penelitian.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap anak yang lahir normal, baik fisik
maupun mentalnya berpotensi menjadi cerdas. Hal
yang demikian terjadi, karena secara fitrah
manusia dibekali potensi kecerdasan oleh Allah
SWT. Dalam rangka mengaktualisasikan dirinya
sebagai hamba (`abid ) dan wakil Allah (khalifah)
dimuka bumi.9Sebagaimana dalam firman Allah dalam
surat al–Baqarah ayat 30:
9 Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, cet. I, (Jakarta: InisiasiPress, 2002), hlm.13
ال واذ� �ك� ق ة� رب��ّك ئ�� �ّى للملآ� اعل ان� ى ج� ة� الآرض� ف� �ف لي' لى ج� الوا� ق� �عل ق ج� من0 ات�ها ي' سد ف� ف� ها ي' ي' ك� ف� ف�دماء وي'س حن0 ال ح وت� ب�س دك� ي�حم ّدس ت� �ف ك� وي� لى ل ال ق� �ق�ّى ق�رة� مالآ علم ان� .)الي� علمون0 (30: ي�
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada paramalaikat:” Sesungguhnya Aku hendak menjadikanseorang khalifah dimuka bumi”, mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah dimuka bumi itu orang yang akan membuat kerusakanpadanya dan menumpahkan darah, padahal kamisenantiasa bertasbih dengan memuji Engkau danmensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “SesunguhnyaAku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.10
Demikian pula dengan pendapat Al-Ghazali
bahwa:
“Anak dilahirkan dengan membawa fitrah yangseimbang dan sehat. Kedua orang tuanyalah
yang memberikan agama kepada mereka. Demikianpula anak dapat terpengaruhi sifat–sifat yangburuk. Ia mempelajari sifat–sifat yang burukitu dari lingkungan yang dihadapinya. Dari
corak hidup yang memberikan peranan kepadanyadan dari kebiasaan–kebiasaan yang
dilakukanya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuhanak belum sempurna, kekurangan ini
diatasinya dengan latihan dan pendidikan yangditunjang dengan makanan. Demikian pula
halnya dengan tabiat yang difitrahkan. kepada
10 Deperetmen Agama RI, Al – Qur`an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Kathoda, 1993), hlm.13
anak yang merupakan kebajikan yang diberikanal- Khalik kepadanya”.11
Pada masa sekarang ini, peran keluarga mulaimelemah dikarenakan perubahan sosial, politik danbudaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil
yang besar terhadap terbebasnya anak darikekuasaan orang tua, keluarga telah kehilangan
fungsinya dalam perkembangan emosi anak.Kehidupan anak-anak yang sudah memasuki usia
sekolah sebagian waktunya dihabiskan di sekolahmulai pagi hingga siang hari. Hal ini tidakmenutup kemungkinan bahwasanya mereka pun
berinteraksi dengan gurunya dan teman-temannya,hasil interaksi inipun akan mempengaruhi pola
perilaku mereka. Oleh karena itu sekolah merupakanrumah kedua setelah kehidupan mereka bersama orangtua dan saudaranya di rumah, di mana mereka dapat
bermain dan belajar.Pengaruh dari adanya perubahan sistem
politik, sosial dan budaya yang menyebabkan
melemahnya fungsi keluarga terhadap perkembangan
emosi anak, maka peran sekolah di sini sangat
penting dalam pembentukan pola perilaku anak-anak.
Pelaksanan pendidikan tidak mungkin lepas
dari faktor-faktor psikologis manusia di samping
faktor lingkungan sekitar, maka dalam proses
pengajaran perlu bahkan wajib berpegang pada
11 Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya `Ulumuddin, terjemah: KH. MochtarRosyadi & Mochtar Yahya, (Yogyakarta: Al-Falah, 1968), hlm. 15
petunjuk-petunjuk dari para ahli psikologi
terutama psikologi pendidikan dan psikologi
perkembangan, termasuk psikologi agama. Menurut
Al-Farabi dalam buku “Risalah Fissiyasah”, bahwasanya
perlu untuk memperhatikan faktor pembawaan dan
tabiat anak-anak. Anak-anak berbeda pembawaanya
satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan
harus sesuai dengan perbedaan pembawaan dan
kemampuan itu.12
Namun selama ini hanya sedikit orang tua yang
memperhatikan perkembangan kejiwaan anak secara
universal. Orang tua biasanya hanya memperhatikan
pada aspek jiwa yang langsung dapat teramati saat
itu juga. Seperti pada perkembangan aspek kognisi,
orang tua akan merasa sangat bahagia bila anaknya
yang masih balita sudah dapat menghafal abjad
ataupun mengenal bahasa asing. Mereka tidak sadar
bahwa anak akan mempunyai masalah-masalah di masa
depan yang penyelesainya tidak hanya ditentukan12 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim,
(Yogyakarta: Al-Amin Press, 1991), hlm.18
oleh keberhasilan orang tua dalam mengembangkan
aspek kognisinya atau IQ (Intelellegence Qoutien)-nya,
namun tak kalah penting adalah keberhasilan
pengembangan aspek emosi anak juga merupakan salah
satu faktor penting yang mementukan keberhasilan
anak di masa depan.
Dalam kaitannya dengan hubungan tersebut makaupaya untuk membangun dan mengembangkan kecerdasanemosional anak patut diperhatikan karena secarapsikologis bukan pikiran rasional saja yang dapat
membantu anak mengalami perkembangan, tetapipikiran emosional juga memberi dampak efektif. Halini melihat bahwa masa anak merupakan saat yangtepat untuk menerima dan menyerap informasi-
informasi baru.Jadi agar kecerdasan emosional anak dapat
berjalan dan berkembang dengan baik, makaseyogyanya diberikan pendidikan dan bimbingan yang
dilakukan oleh orang tua, dalam hal ini yangpaling berkompeten adalah guru kepada siswa dalammasa pertumbuhannya agar ia memiliki kepribadiandan kecerdasan yang cemerlang baik kecerdasan
logika maupun kecerdasan emosi.Demikian uraian-uraian yang menjelaskan
tentang betapa pentingnya arti kecerdasan
emosional bagi kehidupan modern dewasa ini, yang
dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.
Maka kecerdasan emosional ini semakin perlu
dipahami, dimiliki dan diperhatikan dalam
pengembanganya karena mengingat kondisi kehidupan
dewasa ini yang semakin kompleks. Kehidupan yang
semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat
buruk terhadap konstelasi kehidupan emosional
individu. Dalam hal ini, Daniel Goleman
mengemukakan hasil survey terhadap para orang tua
dan guru yang hasilnya menunjukkan bahwa ada
kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu
generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan
emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka
lebih kesepian dan pemurung, lebih beringasan dan
kurang menghargai sopan-santun, lebih gugup dan
mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.13
Dengan melihat hasil penemuan dari DanielGoleman yang mengarah pada arti penting kecerdasanemosional (EQ) bagi kehidupan manusia dewasa ini.Khusus bagi anak-anak, ketrampilan kecerdasanemosional (EQ) perlu disuguhkan sedini mungkinagar nantinya anak-anak (siswa) ini dapat tumbuhdan berkembang dengan baik dan sehat secara moral,
emosional, dan sosial.Merupakan tugas yang berat bagi orang tua
dalam memilih sekolah yang berkualitas bagi13 Syamsu Yusyf LN, op.cit, hlm.113
pendidikan anak-anaknya. Sekolah pada umumnyajarang ditemukan adanya pendidikan yang
berorientasi tidak hanya pada aspek kognitif danpsikomotirik saja melainkan aspek emosional
siswanya pun mendapatkan posisi yang cukup pentingdiperhatikan. Seperti keberadaan SD MuhammadiyahSuronatan Yogyakarta menempati posisi yang cukupdiperhitungkan sebagai instansi yang patut dipilihbagi pendidikan anak-anak sekarang. Karena sekolah
tersebut mempunyai iklim yang bagus bagiperkembangan emosional siswa.
Iklim yang mendukung terciptanya kecerdasanemosional anak ini nampak pada aktivitas belajar-mengajar baik di dalam maupun di luar kelas. Pola-pola kecerdasan emosional yang dikembangkan guru
di dalam kelas dengan jalan mengintegrasikandengan tiap-tiap mata pelajaran yang diajarkan
guru. Hal ini dikarenakan banyaknya bebankurikulum yang harus diajarkan guru dan tidaktersedianya waktu yang memungkinkan bagi merekauntuk memberikan pelatihan kecerdasan emosinal
secara khusus. Dengan mempertimbangkan keterbatasan
kemampuan penulis dalam memahami persoalaankecerdasan emosional, khususnya tentang
perkembangan kecerdasan emosional anak. Maka dalampenelitian ini penulis berusaha untuk menuangkanberbagai masalah emosional siswa yang dihadapi
guru beserta cara-cara guru dalam melatihkecerdasan emosional siswa di SD Muhammadiyah
Suronatan Yogyakarta.
C. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang masalah makaselanjutnya dapat dirumuskan permasalahan yang
menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu:
1. Apa saja masalah-masalah emosional siswa yang
dihadapi guru SD Muhmmadiyah Suronatan
Yogyakarta?
2. Bagaimana perspektif kecerdasan emosional bagi
anak menurut SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta?
3. Bagaimana cara guru melatih kecerdasan
emosional siswa di SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta?
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru SD Muhammdiayh Surontan Yogykarta.
2. Untuk mengetahui perspektif kecerdasan
emosional (EQ) menurut guru SD Muhammadiyah
Suronatan Yogyakarta.
3.Untuk mengetahui cara-cara guru melatih
kecerdasan emosional (EQ) siswa di SD
Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
E. MANFAAT PENELITIAN.
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi guru, penelitian ini menjadi umpan balik
(feed back) dalam rangka meningkatkan kemampuan
mengajarnya agar tidak semata mementingkan aspek
kogntif, tapi juga memperhatikan aspek emosi
peserta didik.
2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini memberikan
informasi tentang kecakapan guru dalam melatih
kecerdasan emosional (EQ) kepada anak, khususnya
siswa kelas I, II, dan III SD.
3. Menambah referensi bahan kajian ilmu, khususnya dalam wilayah ilmu Bimbingan dan Penyuluhan Islam tentang melatihS kecerdasan emosional anak.
F. KERANGKA TEORI.
1. Tinjauan Tentang kecerdasan Emosional (EQ).
a. Definisi Kecerdasan Emosional (EQ).
Untuk memahami kecerdasan emosional secara komprehensif, peneliti akan memaparkan terlebih dahulu makna dari emosi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar pijakan awal dalam membahas kecerdasan emosional tidak mengambang. Namun sebelummemaparkan definisi emosi, akan peneliti kemukakan
mengenai kondisi-kondisi yang mendasari emosi. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
a. Perasaan, misalnya perasaan takut
b. Impulsif dan dorongan, misalnya dorongan
untuk melarikan diri
c. Persepsi atau pengamatan, tentang apa-apa
yang membangkitkan emosi.14
Demikian pula dalam bukunya Syamsu Yusuf LN, tertuang di dalamnya tentang pendapatnya Sarlito Wirawan mengenai emosi, bahwa menurutnya emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah atau dangkal maupun pada tingkat yang luas atau mendalam.Yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi ( menghayati ) suatu situasi tertentu. Contohya; gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang dan sebagainya.15
Berangkat dari kerangka dasar tentang emosi, sebuah teori yang komprehensif tentang emosi kaitannya dengan kecerdasan emosional yang dikemukakan pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan John Mayer, merekamula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi yang baik pada diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi iniuntuk membimbing pikiran dan tindakan.16Selanjutnya Goleman juga mengemukakan tentang kecerdasan
14 Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja “Dimensi-Dimensi Perkembangan”,(Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.51
15 Syamsu Yusuf LN, op. cit, 2002, hlm. 11516 Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 8
emosional, yaitu kemampuan seperti kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stress, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.17
Sebenarnya teori Goleman tersebut dapat disimpulkan dalam perubahan-perubahan Bahasa Arab, “Man Shobaro Dzofaro”, artinya “Barang siapa yang bersabar, ia akan sukses” peribahasa ini bisa disimpulkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang yang sabar. Keadaan ini menunjukan bahwa ada hubungan antara sukses dan kecerdasan. Kecedasan bias dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar, seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar, itulahmengembangkan kecerdasan emosional.18 Demikianlah definisi kecerdasan emosional menurut beberapa pakar. Kecerdasan emosional (EQ) ini memangmerupakan istilah baru. Namun isi dari EQ ini adalahistilah-istilah, seperti; kesadaran diri, control diri, ketekunan, semangat, motivasi diri, empati, dan kecakapan social. Sebagai dasar-dasar dari kecerdasan emosional ini merupakan istilah lama yangpada substansinya adalah bagaimana seseoarang bisa mengenal, menguasai dan mengendalikan emosi yang adadalam dirinya merupakan ekses dari sikap ini, seseorang dapat dewasa dalam emosi (kecerdasan emosi).
b. Perkembangan Kecerdasan Emosional.
17 Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj: T. Hermaya,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlml.45
18 Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2001), hlm.240
Mengingat pentingnya peran emosi dalam kehidupan anak, tidaklah mengherankan kalau sebagian keyakinantradisional tentang emosi yang telah berkembang selama ini bertahan kukuh tanpa informasi yang tepatuntuk menunjang ataupun menentangnya–sebagai contoh ada keyakinan yang telah diterima secara luas bahwa sebagian orang dilahirkan dengan sifat yang lebih emosional dibanding yang lainnya. Konsekuensinya, sudah menjadi kenyataan yang diterima masyarakat bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah karakteristik ini. Pada zaman dulu perbedaan emosionalitas ini dinyatakan sebagai hasil dari perbedaan keadaan jasmani, dan pendapat mutakhir mengatakan bahwa perbedaan emosionalitas merupakan akibat dari perbedaan dalam kelenjar endokrin.19
Dari kedua pandangan awam tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan emosionalitas ini bersifat genetik atau (diturunkan). Nampaknya keyakinan awam tersebuttidak bisa diubah sebelum bukti ilmiah diperoleh, bahkan keyakinan telah bertahan kuat hingga mempergauli cara orang tua dan guru (para pendidik) yang mempunyai peran pengganti dalam bereaksi terhadap emosi anak.Namun berkat penelitian para pakar dalam berbagai bidang, khususnya para psikologi menunjukan bahwa sebenarnya faktor genetik bukanlah satu-satunya yangmempengaruhi emosionalitas anak, terdapat faktor lainnya yang sangat dominan, bahkan menentukan emosionalitas anak, yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini meliputi berbagai hal lainnya sepertilingkungan keluarga sebagai lingkungan yang pertama kali dapat mempengaruhi perkembangan emosionalitas anak; lingkungan sekolah; serta lingkungan masyarakat.Berbagai faktor lingkungan tersebut akhirnya dapat menyebabkan adanya keberagaman emosi anak (ciri khas
19 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta:Erlangga, 1997), hlm.210
emosi anak), yang berbeda dengan emosi orang dewasa.Orang dewasa yang belum memahami akan ciri khas emosi anak ini cenderung menganggap anak kecil sebagai “tidak matang”. Padahal sebetulnya tidak logis jika orang dewasa menuntut agar semua anak pada usia tertentu mempunyai pola emosi yang sama. Perbedaan individu tidak dapat dielakkan karena adanya perbedaan dalam berbagai hal, diantaranya adalah pematangan dan kesempatan belajar.Dari kedua faktor tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif. Maksudnya adalah bahwaapabila reaksi emosional yang tidak diinginkan dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.Sebagai akibat dari kedua faktor tersebut, maka dapat dipahami bahwa emosi anak seringkali sangat berbeda dari orang dewasa.. Namun terlepas dari adanya perbedaan individu dan faktor-faktornya, cirikhas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa diantaranya yang menjadi ciri khas (pola umum) emosi anak adalah emosi takut dan marah. Inilah yang menjadi faktor fundamental dari emosi.Sebagai faktor lain dari kecerdasan emosi adalah peran orang tua. Apabila seseoarng menjadi orang tua, maka terjadilah suatu keganjilan yang patut disesali, dimana mereka akan mulai memainkan suatu peran tertentu, dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi manusia. Kini sebagai orang tua mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia. Beban tanggung jawab yang berat ini merupakan tantangan bagi orang tua di mana mereka merasa bahwa mereka harus selalu bersikap konsisten dalam perasaan-
perasaan mereka, harus selalu menyanyangi anak-anak,harus menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.Selain peran orang tua, guru sebagai pihak lain yangikut terlibat dalam memupuk kecerdasan emosi anak memiliki peranan penting. Bahkan sering kali didapatkan, anak lebih manurut pada perintah gurunyadari pada perintah orang tuanya. Hal tersebut sah-sah saja, karena memang guru memiliki banyak peranannya tidak sebagai pengajar, tapi juga sebagaipendidik dan pembimbing.20Dalam perananya ini guru perlu mengusahakan diri agar dapat melaksanakan semuanya. Ketika perannya sebagai guru ia perlu yangharus dilakukannya, meskipun ketiga bidang ini dapattumpang tindih sifatnya, tetapi masing-masing mempunyaitekanan perhatian dan pendekatan yang berbeda-beda.
Quantum teaching, memberikan enam kunci bagi para guru untuk membangun suasana yang menyenangkan:21
1) Kekuatan terpendam niat, maksudnya adalah
seseorang guru harus mempunyai niat yang kuat
atau kepercayaan akan kemampuan dan motivasi
siswa.
20 Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya,(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.17
21 Bobby Deporter, Quantum Teaching, Mempraktekan Quantum Learningdi Ruang-Ruang Kelas, terjemah; Ary Nilandari, (Bandung: Kaifa,2000), hlm. 17-39
Dari teorinya Deporter ini dapat dijadikan sebagai metode dalam melatih kecerdasan emosional siswa adalah dengan melakukan empati. Sebagaimana juga yang terdapat dalam metode mendidik anak dalam ajaran Islam, seperti dalam firman Allah SWT:
س ح� ن0 ولي' 'Zي د� وا ال رك هم من0 لوت� لف� ة� ج� 'ري ا ذ� عف� �وا ض اف� �هم ج علي'
واللة ق� ي� لي' ولو ق� ق� ولآ والي' ساء: ف� دا.)الن� (9سدئ�'
“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orangyang seandainya meninggalkan dibelakang merekaanak-anak yang lemah, yang mereka khawatirterhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebabitu hendaklah mereka mengucapkan perkatanyang` benar”.(QS. An-Nisa:9)22
Ayat tersebut di atas dapat dijadikan pegangan oleh pendidik, bahwa sebelum mereka mendidik tentu saja harus bertakwa kepada Allah SWT dan berkata dengan perkataan yang benar dan diharapkan menjurus pada hukum yang benar. Dengan jalan menempatkan diri (berempati) pada orang lain sembari menghayatikelemahan mereka, niscaya ia akan benar-benar memperhatikan perkataan yang benar dan berdasarkan kepada takwa semata-mata karena
22 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 116
Allah SWT, sehingga mereka tidak menghiraukananak yang lemah.23
Sedemikian pentingnya niat kuat ini
sehingga akhirnya dapat berdampak pada peran
psikologis siswa dalam belajar, dan dengan
memperhatikan emosi siswa, maka guru dapat
mempercepat pembelajaran siswa. Demikian
dengan memahami emosi siswa, guru dapat
membuat pembelajaran lebih berarti dan
permanen.
2) Jalinan rasa simpati dan saling pengertian.
Dengan adanya dua sifat ini maka keterlibatan
antara siswa dan guru akan semakin erat,
karena dengan hubungan, akan membangun
jembatan menuju kehidupan bergairah siswa.
Dalam ajaran Islam, bersikap lemah
lembut dan penuh kasih saying merupakan dasar
dalam bermuamalah dengan anak. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam
23 Aabdul Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terjemah: HenryNoer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 178
bergaul dengan anak-anak, beliau memperlakukan
mereka dengan penuh kelembutan baik didalam
sikap atau perkataan beliau. Apabila ada
kesalahan yang dilakukan anak, beliau tidak
segan-segan untuk menegur dengan lembut dan
memberi penjelasan tentang letak kesalahnnya
dengan memakai argumentasi yang logis dan
mudah dipahami oleh mereka. Sehingga mereka
tidak mengalami kesalahan untuk yang kedua
kalinya.
Telah diriwayatkan oleh Aisyah ra.
Rasulullah SAW bersabda:
ق� اللة ِان0 ي' حب� رف� ق� ت' ى' الرف� مر ف� اري' كلة.)رواة الآ� خ� ومسلم( ت�“Sesungguhnya Allah adalah zat yang lembut,dan setiap perkara senang pada kelembutan”.(HR. Bukhori dan Muislim)24
Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-
Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW mengutusnya
24 Muhyidin Abdul Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar TangisAnak, (Yogyaarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 187-196
bersama Mu’adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah
SAW berkata pada mereka berdua:
عسر ي'سر ق�را.)رواة ولآ وعلما ولآي� ي� مسلم( ت}
“ Permudahlah dan janganlah kalian persukar,ajarkanlah ilmu dan janganlah kalianberlaku tidak simpati” 25
3) Keriangan dan ketakjuban. Dengan keriangan
kegiatan belajar-mengajar akan lebih
menyenangkan. Kegembiraan membuat siswa siap
belajar dengan lebih mudah dan bahkan dapat
mengubah sifat negatif. Untuk menambah
kegembiraan dapat digunakan afirmasi, yaitu
suara-suara untuk mengaktifkan dialog
internal, sebagai cerminan nilai-nilai dan
keyakinan guru serta berpengaruh kuat pada
pengalaman guru setiap saat; memberi (dan
menerima) pengakuan, di mana pada dasarnya,
setiap siswa senang diakui atau diterima.
25 Muhammad Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam,(Semarang: asy-Syifa, 1981), hlm. 155
Jadi, akuilah setiap usaha siswa, tidak hanya
usaha yang tepat; merayakan kerja keras, hal
ini akan mendorong siswa memperkuat rasa
tanggung jawab dan mengawali proses belajar
mereka sendiri. Selanjutnya dengan ketakjuban
sebagai alat belajar asli dapat menambahkan
arti lebih pada belajar, jika belajar diawali
dan dicari melalui ketakjuban.
Selanjutnya menurut Utsman Najati, bahwa
afirmasi juga berarti bahwa guru menyediakan
situasi yang baik bagi perkembangan emosi
anak, dan mendukung melalaui cara yang jelas
yang dikenali anak seperti memberikan ganjaran
pada siswa.26
Rasulullah SAW, menggunakan ganjaran
dalam membangkitkan dan memperkuat semangat
serta gairah untuk berlomba lari. Beliau
bersabda:
26 Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, Pengantar:Ary Ginanjar Agustian, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 166
“ “Siapa menang, ia akan mendapatkansesuatu dariku”. Lalu mereka merekaberlomba lari dan menubruk dada beliau,segera beliau memeluk dan menciummereka”27
4) Pengambilan resiko. Setiap belajar mengandung
resiko setiap kali seseorang bertualang untuk
belajar sesuatu yang baru ia mengambil resiko
besar diluar zona nyamannya. Dengan resiko ini
akan membawa siswa melampaui batas mereka
sebelumnya dan menambah dampak pengalamannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari; Rasulullah SAW bersabda:
“ Ilmu itu hanya dapat dikuasaidengan belajar; kecerdikan juga begitu.Barang siapa mengerjakan kebaikan iamendapatkannya. Sedangkan barang siapayang menghindari kejelekan ia akanterjaga darinya”.( HR. Thabrani dan al-Doruquthny)28
Maksud hadits di atas, menurut Utsman
Najati adalah bahwa belajar hanya dapat
ditempuh dengan mengerahkan segenap upaya
27 Ibid28 Ibid, hlm. 170
serta berpartisipasi aktif dan efektif dalam
proses belajar.29
5) Rasa saling memiliki. Dengan adanya saling
memiliki akan mempercepat proses pengajaran
dan meningkatkan rasa tanggung jawab siswa
Mendidik siswa dengan adanya rasa saling
memiliki, menurut Nashih Ulwan juga berarti
mendidik dengan penuh pehatian. Yang dimaksud
mendidik dengan perhatian adalah mencurahkan,
memperhatikan dan senantiasa mengikuti
perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan
moral, persiapan, spiritual dan sosial,
disamping selalu bertanya tentang situasi
pendidikan jasmani dan daya hasil ilmiahnya.
30
Di bawah ini ayat tentang keharusan
memperhatikan dan mengkontrol dalam mendidik
siswa. ها ي�' ا� ن0 ئ' 'Zي وا الد� �وا امي �كم فس ف� كم اي� اس واهلي' �وذهاالي اراوف� ئ�29 Ibid30 Muhammad Nashih Ulwan, Op.Cit, hlm.123
ارة� �ها والحخ ة� علي'ك لآظ� ملي� ون0 ع�عص داذلآي' مرهم اللة س� اا� ون0 معل ق� وي'
م: حري' .)الي} مرون0 و� (6ماي' “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalahkeluargamu dan dirimu daripada neraka, yangbahan bakarnya manusia dan batu, sedangpenjaganya malaikat-malaikat yang kasar dankeras, mereka tidak mendurhakai Allah tentangapa-apa yang disuruhnya dan mereka memperbuatapa-apa yang diperintahkan kepadanya”. (QS.At-Tahrim: 6)31
6) Keteladanan. Bertolak dari pepatah “Tindakan
berbicara lebih keras daripada kata-kata”, ini
mengandung arti bahwa diri seorang guru lebih
penting daripada pengetahuannya. Karena dengan
keteladanan dapat membangun hubungan,
memperbaiki kredibilitas dan meningkatkan
pengaruh.
Dalam Islam, Allah SWT telah menjadikan
nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan,
31 Mahmud Junus, Tarjamah al-Quran al-Karim, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 505-506
yang baik bagi manusia. Dalam al-Quran Allah
SWT berfirman:
د ان0 لف� ى' لكم ك ول ف� وة� للة رس س ة� ا� ن�ان0 لمن0 حس وااللة ك ت'رج�
وم ر والي' خ� كراللة الآ� : وذ� ب� خر� را.)الآ� ي' (21كث�“ Sesungguhnya pada rasul Allah (Muhammad)ada ikutan yang baik bagimu, yaitu bagiorang yang mengharapkan (pahala) Allahdanhari yang kemudian, serta ia banyak mengingatAllah”. (QS. al-Ahzab: 21)32
Telah diakui bahwa kepribadian rasul
sesungguhnya bukan hanya teladan buat satu
masa, satu generasi, satu bangsa atau satu
golongan. Tetapi merupakan teladan univeral,
untuk seluruh manusia dan seluruh generasi.
Teladan yang abadi dan tidak akan habis adalah
kepribadian rasul yang didalamnya terdapat
segala norma,nilai, dan ajaran Islam. 33
32 Ibid, hlm. 37933 Sri Harini dan Aba firdaus al-Hajwani, Mendidik Anak Sejak
Dini, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm.
Menurut an-Nahlawi, sebagaimana dikutip
Sri Harini dan Aba Firdaus al-Hajwani,
pendidikan melalui keteladanan ini dapat
diterapkan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah
keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan,
sifat ikhlas dan lain-lain. Sedangkan
keteladanan yang disengaja, misalnya memberi
contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat
yang benar dan lain- lain. Dalam pendidikan
Islam kedua macam keteladanan tersebut sama
pentingnya.34
Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa
sementara guru mengajak siswa dalam proses
belajar seumur hidup yang dinamis dan tak
terlupakan, guru menciptakan suasana prima yang
unik bagi para siswa, yang membuat siswa aman
tapi tertantang, dimengerti dan dirayakan.
Dengan menciptakan suasana yang prima tersebut,
34 Ibid
guru secara tidak langsung telah mendidik siswa
memiliki kecerdasan emosi.
Demikian juga, dengan lingkungan
masyarakat turut berperan dalam kecerdasan emosi
siswa. Adapun lingkungan masyarakat yang
berpengaruh adalah terutama teman-teman
sebayanya yang bersangkutan, dimana dalam masa
ini terjadi interaksi yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosi.
2. Tinjauan Tentang Perkembangan Emosi Pada Anak.
Setelah menguraikan konsep kecerdasan
emosional sebagaimana yang dipopulerkan oleh
Daniel Goleman, dalam bukunya “Emotional Intellegence”
(1995), adalah juga perlu memperhatikan penjelasan
teoritis tentang bagaimana perkembangan emosi yang
terjadi pada anak-anak. Hal ini penting karena
akan menjadi kerangka rujukan (Frame of Reference)
dalam membicarakan cara-cara guru melatih
kecerdasan emosional pada anak didiknya yang
merupakan pusat perhatian dalam penelitian ini.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, kemampuan
anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada
semenjak bayi baru dilahirkan. Gejala pertama
perilaku emosional ini adalah berupa
keterangsangan umum. Dengan meningkatnya usia
anak, reaksi emosional mereka kurang menyebar,
kurang sembarangan, lebih dapat dibedakan, dan
lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi
orang lain terhadap luapan emosi yang
berlebihan.35
Adapun ciri-ciri penampilan emosi pada anak
menurut Hurlock ditandai oleh intensitas yang
tinggi, sering kali ditampilkan, bersifat
sementara, cenderung mencerminkan; individualitas,
bervariasi seiring meningkatnya usia, dan dapat
diketahui melalui gejala perilaku.36
35 Elizabeth B. Hurloock, op,cit, hlm.210-21236 Ibid, hal.216
Berikut ini ada beberapa pola emosi yang
dijelaskan Hurlock, yang secara umum terdapat pada
diri anak, yaitu:
a).Rasa Takut.
Dikalangan anak yang lebih besar atau usia
sekolah, rasa takut berpusat pada bahaya yang
bersifat fantastik, adikodrati, dan samar-samar.
Mereka takut pada gelap dan makhluk imajinatif
yang diasosiasikan dengan gelap, pada kematian
atau luka, pada kilat guntur, serta pada
karakter yang menyeramkan yang terdapat pada
dongeng, film, televisi, atau komik
Terlepas dari usia anak, ciri khas yang
penting pada semua rangsangan takut ialah hal
tersebut terjadi secara mendadak dan tidak di
duga, dan anak-anak hanya mempunyai kesempatan
yang sedikit untuk menyesuaikan diri dengan
situasi tersebut. Namun seiring dengan
perkembangan intelektual dan meningkatnya usia
anak, mereka dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Selanjutnya reaksi rasa, seperti;
intelegensia, jenis kelamin, status sosial
ekonomi, kondisi fisik, hubungan sosial, urutan
kelahiran, dan faktor kepribadian.
b) Rasa Marah
Pada umumnya, kemarahan disebabkan oleh
berbagai rintangan, misalnya rintangan terhadap
gerak yang diinginkan anak baik rintangan itu
berasal dari orang lain atau berasal dari
ketidakmampuannya sendiri, rintangan tehadap
aktivitas yang sudah berjalan dan sejumlah
kejengkelan yang menumpuk. Pada anak-anak usia
sekolah, rintangan berpusat pada gangguan
terhadap keinginan, gangguan tehadap aktivitas
yang dilaksanakan, selalu di persalahkan, digoda
dan dibandingkan secara tidak menyenangkan
dengan orang lain atau anak lain.
Reaksi kemarahan anak-anak secara garis
besar dikategorisasikan menjadi dua jenis yaitu
reaksi impulsif dan reaksi yang ditekan. Reaksi
impulsif sebagian besar bersifat menghukum
keluar (extra punitive), dalam arti reaksi
tersebut diarahkan kepada orang lain, misalnya
dengan memukul, menggigit, meludahi, meninju,
dan sebagainya. Sebagian kecil lainnya bersifat
kedalam (intra punitive), dalam arti anak-anak
mengarahkan reaksi pada dirinya sendiri.
c) Rasa cemburu
Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap
kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan,
atau ancaman kehilangan kasih sayang. Cemburu
disebabkan kemarahan yang menimbulkan sikap
jengkel dan ditujukan kepada orang lain. Pola
rasa cemburu seringkali berasal dari takut yang
berkombinasi dengan rasa marah. Orang yang
cemburu sering kali merasa tidak tentram dalam
hubungannya dengan orang yang dicintai dan takut
kehilangan status dalam hubungannya itu.
Ada tiga sumber utama yang menimbulkan rasa
cmburu; pertama merasa diabaikan atau diduakan.
Rasa cemburu pada anak-anak umumnya tumbuh
dirumah. Sebagai contoh, seorang bayi yang baru
lahir yang pasti meminta banyak waktu dan
perhatian orang tuanya. Sementara itu kakaknya
yang lebih tua merasa diabaikan. Ia merasa sakit
hati terhadap adiknya itu. Kedua, situasi
sekolah, sumber ini biasanya menimpa anak-anak
usia sekolah. Kecemburuan yang berasal dari
rumah sering di bawa ke sekolah yang
mengakibatkan anak-anak memandang setiap orang,
baik guru atau teman-teman kelasnya sebagai
ancaman bagi keamanan mereka. Untuk melindungi
keamanan mereka, anak-anak kemudian
mengembangkan kepemilikan pada salah satu guru
atau teman sekelasnya. Kecemburuan juga bisa
disulut oleh guru yang suka membandingkan anak
satu dengan anak lain. Ketiga, kepemilikan
terhadap barang-barang yang dimiliki orang lain
membuat mereka merasa cemburu. Jenis kecemburuan
ini berasal dari rasa iri yaitu keadaan marah
dan kekesalan hati yang di tujukan kepada orang
yang memiliki barang yang diinginkannya itu.
d) Duka Cita atau Kesedihan.
Bagi anak-anak, duka cita bukan merupakan
keadaan yang umum. Hal ini dikarenakan tiga
alasan; Pertama, para orang tua, guru, dan orang
dewasa lainnya berusaha mengamankan anak
tersebut dari berbagai duka cita yang
menyakitkan. Karena hal itu dapat merusak
kebahagiaan masa kanak-kanak dan dapat menjadi
dasar bagi masa dewasa yang tidak bahagia.
Kedua, anak-anak terutama apabila mereka masih
kecil, mempunyai ingatan yang tidak bertahan
terlalu lama, sehingga mereka dapat dibantu
melupakan duka cita tersebut, bila ia dialihkan
kepada sesuatu yang menyenangkan. Ketiga
tersedianya pengganti untuk sesuatu yang telah
hilang, mungkin berupa mainan yang disukai, ayah
atau ibu yang dicintai, sehingga dapat
memalingkan mereka dari kesedihan kepada
kebahagiaan. Namun, seiring dengan meningkatnya
usia anak, kesediaan anak semakin bertambah dan
untuk mengalihkan kesedihan dari anak-anak tidak
efektif lagi.
e) Keingintahuan
Anak-anak menunujukan keingintahuan melalui
berbagai perilaku, misalnya dengan bereaksi
secara positif terhadap unsur-unsur yang baru,
aneh, tidak layak atau misterius dalam
lingkunganya dengan bergerak kearah benda
tersebut, memperlihatkan kebutuhan atau
keinginan untuk lebih banyak mengetahui tentang
dirinya sendiri atau lingkunganya untuk mencari
pengalaman baru dan memeriksa rangsangan dengan
maksud untuk lebih banyak mengetahui seluk-beluk
unsur-unsur tersebut.
f) Kegembiraan
Gembira adalah emosi yang menyenangkan yang
dikenal juga dengan kesenangan atau kebahagiaan.
Seperti bentuk emosi-emosi sebelumnya.
Kegembiraan pada masing anak berbeda-beda, baik
mencakup intensitas dan cara mengekspresikannya.
Pada anak-anak usia sekolah awal, sebagian
kegembiraan disebabkan oleh keadaan fisik yang
sehat, situasi yang ganjil, permainan kata-kata,
malapetaka ringan, atau suara yang tiba-tiba
sehingga membuat mereka tersenyum. Sebagian
lainnya, disebabkan karena mereka berhasil
mencapai tujuan yang mereka inginkan.
g) Kasih Sayang
Kasih sayang adalah reaksi emosional
terhadap seseorang atau binatang atau benda. Hal
ini menunjukan perhatian yang hangat, dan
memungkinkan terwujud dalam bentuk fisik atau
kata-kata verbal.
Anak-anak cenderung paling suka kepada
orang yang menyukai mereka dan bersikap ramah
terhadap orang itu. Kasih sayang mereka terutama
ditujukan kepada manusia atau objek lain yang
merupakan pengganti manusia, yaitu berupa;
binatang atau benda-benda. Agar menjadi emosi
yang menyenangkan dan dapat menunjang yang baik,
kasih sayang dari anak-anak harus berbalas.
Artinya harus ada tali penyambung yang
menghubungkan dengan orang yang disayanginya.37
Demikinlah uraian-uraian mengenai
penampilan-penampilan emosi yang sering tampak
menurut teorinya Hurlock, yang patut dan bahkan
menjadi sebuah kewajiban bagi orang tua dan para
pendidik. Dalam hai ini yang paling berkompeten
adalah guru. Sebab dengan mengetahui dan
memahami pola-pola emosi pada anak, guru akan
37 Ibid, hlm. 228
lebih untuk memberikan latihan-latihan emosi
secara baik.
a. Implementasi Pengembangan Kecerdasan Emosional
dalam Perkembangan Anak
Seorang psikolog Harvard, Jerome Kagan,
mengemukakan bahwa temperamen seorang anak
mencerminkan suatu rangkaian emosi bawaan
tertentu dalam otaknya. Sebuah cetak biru untuk
ekspresi emosi-sekaligus perilakunya sekarang
dan di masa mendatang. Menurut Kagan, seorang
anak yang pemalu lahir dengan amigdala yang
mudah terangsang, barang kali karena
kecenderungan turunan untuk mempunyai
norepinofrin atau senyawa kimia otak lain
berkadar tinggi yang merangsang pusat pengendali
emosi pada otak secara berlebihan. Melalui
penelitian bertahun-tahun, ia telah menemukan
bahwa 2/3 anak yang lahir pemalu tumbuh menjadi
anak yang kikuk, penyendiri dan mudah lebih
cemas, penakut, dan mengalami hambatan dalam
bergaul ketika dewasa. Anak-anak ini tampaknya
tidak mengembangkan saluran-saluran saraf antara
amigdala dan korteks yang akan memungkinkan
bagian otak untuk berpikir membantu bagian otak
emosi menenangkan diri.38
Jika manusia telah mengetahui besarnya
pengaruh kecerdasan emosi dalam menunjang
kesuksesan hidup seseorang, sudah sewajarnya
pula orang tua perlu menyiapkan anak-anak untuk
mencapai kecerdasan emosi pada kadar yang
tinggi. Karena EQ tidak berkembang secara
alamiah, artinya seseorang dengan tidak
sendirinya memiliki kematangan EQ semata-mata
didasarkan pada perkembangan usia biologisnya.
Sebaliknya kecerdasan emosi sangat bergantung
pada proses pelatihan dan bimbingan yang
kontinue.39
Dengan contoh hasil penelitian tersebut,
maka mekanisme pengembangan kecerdasan emosi38 Lawrence E. Saphiro, op.cit, hlm. 18 - 1939 Suharsono, op.cit, hal.64
pada anak dapat dimulai sejak anak masih bayi,
karena bayi juga mempunyai kecenderungan-
kecenderungan yang apabila tidak diperhatikan
secara seksama dapat berdampak pada perkembangan
emosinya tatkala ia besar nanti.
Anak-anak (dan orang tua yang kurang
dewasa) cenderung memandang dunia sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan mereka. Ketika anak
bertambah umur tujuh hingga delapan tahun,
mereka menjadi lebih mudah berunding,
berkompromi dan toleran. Tepat, seperti apa yang
diketahui orang tua, proses ini mengalami pasang
surut pada masa remaja. Banyak yang dapat
dilakukan orang tua setiap hari untuk
mengajarkan anak cara mengambil perspektif
berbeda.40Untuk dapat memahami kehidupan bayi dan
anak-anak yang masih sangat muda, maka kita
harus banyak menyadarkan diri pada observasi
tingkah laku anak-anak tersebut, sebab anak-anak40 Maurice J. Elias dkk, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,
(Bandung: Kaifa, 2001), hlm.43
itu tidak dapat bercerita tentang keadaan diri
sendiri, dan tidak mampu mengungkapkan kehidupan
psikisnya.41
Adapun pembentukan kecerdasan emosi pada
anak dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan
EQ, menurut pandangan Goleman isi pelatihan
emosional adalah sebagai berikut :
1) Kesadaran diri
2) Pengelolaan emosi
3) Ketekunan
4) Memotivasi diri
5) Empati
b. Fungsi Kecerdasan Emosi Bagi Guru dan Anak.
Sebenarnya berbicara tentang fungsi
kecerdasan emosi apabila ditinjau secara umum
sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,
yaitu agar seseorang dapat meraih kesuksesan
dalam hidupnya. Walaupun kesuksesan itu sendiri
masih dianggap sebagai sesuatu yang belum jelas,41 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan),
(Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.7
apakah kesuksesan dari segi materi atau non
materi. Terlepas dari sukses dari segi materi
atau non materi tersebut, disini peneliti akan
mencoba menggagas tentang fungsi kecerdasan
emosi bagi guru dan siswa dalam berbagai aspek,
agar pendidikan memperoleh hasil yang maksimal.
Bertolak dari pemikiran seperti di atas,
kesuksesan bagi seorang siswa di sekolah
seringkali diasumsikan sebagai yang berhasil
dalam prestasi akademiknya. Sehingga sangatlah
wajar apabila dari siswa yang memiliki
intelegensi yang tinggi diharapkan dapat
diperoleh prestasi belajar yang tinggi pula.
Untuk membahas kesuksesan siswa dengan
menekankan kecerdasan emosi ini, peneliti akan
melihat dulu pada apa yang dikatakan Gardner
mengenai berbagi kecerdasan yang sebenarnya
dimiliki anak.
Howard Gardner, dalam bukunya yang
berjudul “Multiple Intelegence” menegaskan bahwa
skala kecerdasan yang selama ini dipakai
ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga
kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses
untuk masa depan seseorang. Gambaran mengenai
spectrum kecerdasan yang luas telah membuka mata
para orang tua, maupun guru tentang adanya
wilayah-wilayah yang secara spontan akan
diminati oleh anak-anak dengan semangat yang
tinggi. Wilayah-wilayah tersebut adalah:
1) Kecerdasan Bahasa
Kecerdasan ini umumnya ditandai dengan
ini kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan
dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca.
2) Kecerdasan Musikal
Adalah kecerdasan yang memuat kemampuan
seseorang untuk peka terhadap suara-suara
nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk
dalam hal ini adalah nada dan irama.
3) Kecerdasan Visual Spasial
Kecerdasan ini memuat kemampuan seseorang
untuk mendiami secara mendalam hubungan antara
objek dan ruang.
4) Kecerdasan Kinestik
Kecerdasan yang memuat kemampuan
seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-
bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi
dan memecahkan berbagai masalah.
5) Kecerdasan Interpersonal
Menunujukan kemampuan seseorang untuk
peka terhadap perasaan orang lain. Mereka
cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan
orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi
dengan lingkungan sekelilingnya.
6) Kecerdasan Intra-personal
Menunujukan kemampuan seseorang untuk
peka terhadap perasaannya sendiri. Anak-anak
semacam ini selalu melakukan intropeksi diri,
mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya,
kemudian mencooba untuk memperbaiki diri,
sehingga anak ini cenderung menyukai kesendirian
dan kesunyaian, merenung dan berdialog dengan
dirinya sendiri.
7) Kecerdasan Naturalis
Yaitu kemampuan seseoarng untuk peka
terhadap lingkungan, misalnya senang berada di
lingkungan alam terbuka seperti pantai.42
Dari ketujuh spectrum kecerdasan yang
dikemukakan oleh Gardner di atas, Goleman
mencoba memberi penekanan pada aspek kecerdasan
intrapersonal atau pribadi. Inti dari kecerdasan
ini adalah mencakup kemampuan untuk membedakan
atau menanggapi dengan tepat suasana hati,
temperamen, motivasi, dan hasrat keinginan orang
lain. Namun, menurut Gardner kecerdasan antar
pribadi ini lebih menekankan pada aspek kognisi
atau pemahaman. Sementara factor emosi atau
perasaan kurang diperhatikan. Padahal, menurut
Goleman, faktor emosi ini sangat penting dan
42 Bobbi Deporter, op.cit, hlm.97-98
memberikan suatu warna yang kaya dalam
kecerdasan antar pribadi ini.
Di sini dapat disimpulkan bahwa betapa
pentingnya kecerdasan emosi dikembangkan pada
diri siswa. Karena betapa banyak dijumpai siswa,
di mana mereka begitu cerdas di sekolah, begitu
cemerlang prestasi akademiknya, bila tidak dapat
mengelola emosinya; seperti mudah marah, mudah
putus asa, atau angkuh dan sombong, maka
prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat
untuk dirinya. Ternyata, kecerdasan emosi perlu
dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia
dini. Karena hal ini yang mendasari ketrampilan
seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga
akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang
secara lebih optimal.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
kecerdasan emosi dipentingkan bagi siswa dalam
rangka mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh siswa yang bersangkutan, tanpa
harus memaksakan apa yang dikehendaki oleh orang
tuanya.
3. Melatih Kecerdasan Emosional Anak
Sampai sejauh ini belum ada literatur yang
secara spesifik yang membicarakan tentang
bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosi anak
didiknya. Kebanyakan litelatur yang beredar lebih
menyoroti tentang bagaimana cara orang tua membina
EQ anak-anaknya. Seperti bukunya Maurice J. Elias
dkk dengan bukunya “Cara efektif Mengasuh Anak dengan
EQ” dan bukunya Joan Gottman dan Jean De Claire
dalam bukunya “Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
EQ” (1992).
Sebagai Joan Gottman dan Jean De Claire,
mengidentifikasikan empat tipologi orang tua dalam
menyikapi ungkapan emosi-emosi anak mereka beserta
dampaknya yaitu:
a. Orang tua yang mengabaikan
Mereka tidak menghiraukan dan menganggap
sepi atau meremehkan emosi-emosi negatif anak.
Akibatnya anak menganggap bahwa perasaan-
perasaan itu keliru, tidak tepat atau tidak sah.
Mereka mungkin merasakan ada yang salah dari
perasaannya dan mungkin juga menghadapi
kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri
b. Orang tua yang tidak menyetujui
Mereka bersikap kritis terhadap ungkapan
perasaan-perasaan negatif anak mereka. Akibatnya
bagi anak adalah sama denga tipologi pertama.
c. Orang tua yang Laizees
Mereka menerima emosi anak-anak mereka
dan berempati tetapi tidak memberikan bimbingan
atau menentukan batas-batas tingkah laku anak
mereka. Akibatnya, anak tidak belajar mengatur
emosi mereka, menghadapi kesulitan untuk
berkonsentrasi, dan sulit menjalin persahabatan
atau bergaul dengan orang lain.
d. Orang tua yang berperan sebagai pelatih emosi
Mereka menghargai emosi-emsi negatif anak
sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab,
berempati dengan emosi yang dialami anak, namun
mereka membimbing dan menentukan batas-batas
tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, anak
belajar mempercayai perasaan perasaanya,
mengatur emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan
masalahnya. Mereka juga mempunyai harga diri
yang tinggi dan bergaul dengan orang lain secara
baik43
Di bagian lain, pada buku yang sama
Gottman dan De Claire juga menjelaskan lima
prinsip dasar bagi orang tua dalam melatih
kecerdasan emosional anak, yaitu:
a. Menyadari emosi anak
Langkah pertama melatih anak merasakan
emosi yang ada dalam diri orang tua itu sendiri
ketika anak mengalami masalah emosional.
Menyadari emosi diri sendiri sebelum merasakan
emosi anak bukan berarti merubah secara frontal43 Joan Goottman & Jean De Claire, Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang
Memiliki Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.4-5
karakter pribadi orang tua atau mengungkapkan
secara membabi buta apa yang mereka rasakan
kepada anak, melainkan mengenali kapan orang tua
merasakan suatu emosi, mengidentifikasikan
perasaan-perasaannya, dan peka terhadap hadirnya
emosi pada orang lain.
b. Mengakui emosi anak dan memanfaatkannya sebagai
peluang untuk membangun kedekatan dan mengajar
kecerdasan emosional pada anak.
Adalah penting bagi orang tua
memanfaatkan saat-saat kritis yang terjadi pada
anak seperti nilai lapor yang buruk, pergaulan
yang terganggu, atau pengalaman-pengalaman
negatif lainnya, untuk berempati dan membangun
kedekatan serta mengajari cara-cara mengatasi
perasaan tersebut kepada anak. Kemampuan selain
banyak menolong anak menangani perasaan-
perasaannya juga merupakan wujud konkrit dari
tanggung jawab orang tua terhadap anak.
c. Mendengarkan dan empati dan meneguhkan
perasaan anak
Langkah ketiga ini merupakan langkah
terpenting dalam melatih kecerdasan emosi anak.
Mendengarkan dengan emosi berbeda dengan sekedar
mengumpulkan data-data lewat telinga.
Mendengarkan dengan empati berarti mengunakan
mata untuk mengamati petunjuk fisik anak,
menggunakan imajinasi untuk melihat situasi dari
titik pandang anak, menggunakan kata-kata untuk
merumuskan kembali, menenangkan dan tidak
mengancam, memberi pertolongan kepada anak untuk
menamai (naming or labiling), dan akhirnya
menggunakan hati untuk merasakan apa yang
dirasakan anak.
d. Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-
kata
Langkah ini mudah dan sekaligus sangat
penting. Dalam melatih emosi anak, orang tua
perlu menolong anak memberi nama emosi-emosi
mereka sewaktu emosi-emosi tersebut timbul,
misalnya; tegang, cemas, sakit hati, marah dan
sebagainya. Dengan cara ini pula, anak-anak
ditolong untuk mengubah suatu perasaan yang
tidak jelas, menakutkan dan tidak nyaman menjadi
sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai batas-
batas, serta merupakan hal yang wajar dalam
kehidupan sehari-hari.
e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak
memecahkan masalahnya.
Langkah-langkah ini meliputi lima tahap,
yaitu:
1) Menetukan batas-batas
Anak-anak perlu memahami bahwa perasaan mereka bukanlah masalah, tapi yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku mereka yang keliru. Semua parasaandan hasrat itu dapat diterima tidak semua tingkah laku mereka dapat diterima. Oleh karenanya, tugas orang tua adalah menentukan batas-batas terhadap tindakan-tindakan anak bukan terhadap hasrat-hasratnya.
2) Menentukan sasaran
Untuk mengidentifikasi suatu sasaran disekitar penyelesaian masalah yang dihadapi anak, orang tua
perlu bertanya kepada anak mengenai apa yang diinginkannya berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Seringkali timbulnya perilaku-perilaku negatif pada anak disebabkan masalah yang sepele, namun mereka tidak dapat menjelaskannya. Oleh karenanya, dengan menuntun anak-anak menemukan sasaran disekitar masalah akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut.
3) Memikirkan pemecahan masalah yang mungkin
Setelah menetapkan sasaran yang tepat, orang tua dapat bekerja sama dengan angka memikirkan pemecahanmasalah yang mereka hadapi. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi anak karena memungkinkanya menemukan pemecahan alternatif. Tetapi penting sekali bagi orang tua menahan diri agar tidak mengambil alih masalah anak dan tetap mendorong anak mengemukakan gagasan-gagasan mereka.Anak-anak yang masih kecil orang tua dapat menyampaikan pemecahan masalah melalui permainan-permainan yang akrab dengan anak. Sedangkan anak yang lebih besar, orang tua dapat menggunakan prosessumbang saran. Mereka membiarkan anaknya menyampaikan ide-idenya tanpa dibatasi.
4) Mengevaluasi pemecahan masalah yang diusulkan
berdasarkan nilai-nilai keluarga
Setelah orang tua terlibat bersama anak mengemukakangagasan-gagasannya. Mereka juga harus mendorong anakmerenungkan setiap pemecahan secara terpisah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini; apakahpemecahan itu berhasil?, apakah pemecahan itu aman?,apa akibat dari pemecahan itu?, dan berbagai pertnayaan lainya. Hal ini membantu anak menjajaki pemecahan masalah yang akan dipilihnya.
5) Membantu anak memilih pemecahan masalah
Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong anak-anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut.Demikian kelima prinsip dalam melatih kecerdasan emosional anak yang dikemukakan oleh oleh Gottman dan Claire. Dimana prinsip-prinsip tersebut juga dapat diterapkan guru dalam melatih EQ murid-muridnya di sekolah. Tetapi ada perbedaan-perbedaan yang fundamental antara kondisi yang dihadapi guru di sekolah. Orang tua hanya menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka ketahui bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak mereka. Sebaliknya para guru menghadapi anak-anak yang berbeda dalam berbagai hal dan mereka tidak memiliki pengalaman yang spesifik tentang perkembangan emosi masing-masing muridnya. Selanjutnaya, materi yang diajarkan orang tua kepadaanak-anaknya lebih berorientasi kepada nilai-nilai moralitas dan sosial, sedangkan para guru selain menanamkan moralitas kepada murid-muridnya, mereka juga berkewajiban mengajarkan pengetahuan kognitif dan ketrampilan psikomotorik. Dengan kata lain, kondisi yang dihadapi guru di kelas adalah lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi orang tua di rumah.Dari sini dapat disimpulkan bahwa guru tidak mungkinmenyediakan waktu khusus untuk melatih EQ murid-muridnya. Mereka dapat mengembangkan EQ murid-muridnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa emosi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan belajar siswa.
G. METODE PENELITIAN.
Metode dalam skripsi yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah keseluruhan dari
sumber informasi yang dapat memberikan data sesuai
dengan masalah yang di teliti.44 Subyek yang masuk
dalam penelitian ini adalah guru kelas pemegang
kelas rendah, yaitu kelas I, kelas II, dan kelas
III. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah
proses pelaksanaan ketrampilan melatih kecerdasan
emosional siswa SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa subyek
ini harus dipandang sebagai informan yang di pilih
secara purposive atau sistem “Gethok Tular” atau
disebut juga dengan sistem “Snow Ball Sampling”.
Subyek ini dianggap penting peneliti sebagai
sumber informan (Key Information), karena mereka
dapat mengenal dengan baik dunia pengalaman mereka44Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,
(Jakarta: Rineka cipta, 1992), hlm 115
dan dapat mengungkapkan pengalaman tersebut kepada
peneliti.
.2. Penentuan Tehnik Pengumpulan Data.
Untuk mengumpulkan data penelitian, maka
peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Observasi
Dalam konteks penelitian ini, observasi
dilakukan dilingkungan yang alamiah, yaitu ruang
kelas, dimana ditempat inilah berlangsungnya
interaksi yang intensif antara guru dan siswa.
Melalui observasi, peneliti dapat menemukan
data-data yang tidak terungkap dalam wawancara
dan sekaligus dapat membandingkan data wawancara
tersebut dengan data observasi.
Selain itu dari segi penyelenggaraannya,
penelitian ini menerapkan observasi sistematik.
Artinya observasi dilakukan berdasarkan pedoman
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini
bermanfaat karena dapat mengarahkan peneliti
pada fokus penelitian. Di samping dapat
menangkap peristiwa-peristiwa yang diperlukan
secara lengkap dan utuh.
Metode ini digunakan untuk memperoleh
data tentang perilaku emosi-emosi siswa dan
proses pelatihan EQ siswa yang dilakukan guru
terhadap siswanya.
b. Wawancara
Wawancara adalah dialog oleh pewawancara
(interviewer) untuk memperoleh data atau
informasi dari terwawancara.45Adapun jenis
wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara
bebas terpimpin, artinya dengan pertanyaan bebas
namun sesuai dengan data yang ingin diketahui,
dengan menyiapkan daftar pertanyaan secara garis
besarnya. Sehingga memberikan kebebasan kepada
informan untuk mengemukakan pendapatnya, namun
tetap dalam konteks permasalahan penelitian.
45 Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm. 144
Dalam tehnik wawancara ini, peneliti
mengajukan pertanyaan yang mendalam (probing)
seputar praktek guru melatih EQ siswa kepada
informan.
c. Dokumentasi
Adalah cara mencari data mengenai hal
atau variabel yang berupa catatan-catatan atau
benda-benda tertulis, seperti; buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,
catatan harian, dan sebagainya.46
Dalam pelaksanaanya, peneliti mempelajari
dan mencatat dokumen yang relevan dengan
penelitian. Metode ini digunakan untuk
melengkapi informasi atas data yang telah
diperoleh dari observasi maupun wawancara yang
berhubungan dengan pelaksanaan melatih EQ siswa.
3. Penentuan Keabsahan Data.
46 Ibid, hlm. 131
Untuk menguji keabsahan data digunakan
triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data tersebut.
Dalam penelitian ini digunakan tehnik
pemeriksaan data yang memanfaatkan penggunaan
sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang telah
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal
ini dapat dicapai dengan jalan sebagai berikut:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di
depan dengan apa yang dikatakannya secara
pribadi
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang
tentang situasi penelitian dengan apa yang
dikatakan pada waktu itu
d. Membandingkan keadaan dan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen47
4. Analisis Data
Analisa data adalah proses penyederhanaan
data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
interpretasikan.48Dalam menganalisa data yang
penulis kumpulkan dari lapangan, penulis
menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu
menginterpretasikan data-data yang diperoleh dalam
bentuk kalimat-kalimat.49
Kemudian secara sistematis
diinterpretsaikan kedalam laporan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Data yang dapat diambil
dari hasil observasi, wawancara, studi dokumenter
47 Moleong, op.cit, hlm. 17848 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi (ed), Metodologi
Penelitian Survei, (Jakarta:LP3S, 1995), hlm. 2649 Winarno Surahmad, Penganatr Penelitian Ilmiah, (Bandung:
Tarsito, 1985), hlm. 162
dipelajari dan dipahami dengan seksama, kemudian
diambil kesimpulan.
PANDUAN WAWANCARA
A. Wawancara Pada Informan
1. Data pribadi informan
2. Pengalaman mengajar selama menjadi guru kelas
3. Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang
berkaitan dengan emosionalitas siswa yang berkesan
bagi guru.
4. Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi guru
didepan kelas.
5. Gejala-gejala yang dirasakan guru terjadi pada
siswa yang mempunyai masalah emosional.
6. Cara guru menangkap dan menilai masalah-masalah
emosional yang dialami siswa.
7. Cara guru menghadapi masalah-masalah emosonal
siswa.
8. Sumber emosional siswa yang dirasakan oleh guru.
9. Hambatan yang dihadapi guru dalam melatih
kecerdasan emosional siswa.
10. Nilai-nilai EQ yang dilatihkan guru kepada
siswa.
11. Cara guru melatih nilai-nilai EQ pada siswa.
12. Wawasan guru terhadap konsep EQ.
PANDUAN OBSERVASI
A. Umum
1. Letak geografis lokasi SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta
2. Situasi dan kondisi sekitar SD Muhammadiyah
Suronatan Yogyakarta
3. Pengaturan lingkungan SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta
B. Kegiatan belajar mengajar di SD Muhammadiyah
Suronatan Yogyakarta
1. Masalah-masalah emosional siswa yang muncul
didalam kelas
2. Gejala-gejala yang ditunjukkan siswa yang
memiliki masalah emosional, baik berupa gerak
tubuh, sikap, dan perkataan.
3. Kata-kata atau istilah-istilah asli yang
dikemukakan guru yang berhubungan dengan masalah-
masalah emosional siswa dan kejadian-kejadiannya.
4. Reaksi guru dalam menghadapi siswa yang mempunyai
masalah emosional.
5. Nilai-nilai EQ yang dilatihkan guru kepada siswa.
6. Cara-cara atau tindakan-tindakan guru dalam
melatih EQ siswa.
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. GAMBARAN UMUM SD MUHAMMADIYAH SURONATAN YOGYAKARTA
Sekolah dasar muhammadiyah Soronatan
Yogyakarta adalah sebuah lembaga pendidikan formal
yang bernaung dibawah persyarikatan Muhammadiyah
dengan pendirinya KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918.
Pada awal berdirinya SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta diberi nama "Standart School" dan
keberadaanya hanya dipeuntukkan bagi kaum lelaki
saja, sedangkan untuk kaum perempuan ditempatkan di
SD Muhammadiyah Kauman.
Seiring dengan adanya perkembangan zaman yang
ditandai dengan persaingan prestasi pendidikan yang
semakin ketat. Sekolah ini mengalami kemunduran, baik
itu dalam hal prestasi yang diraih oleh SD tersebut
ataupun animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya
juga semakin menurun. Untuk membangun kembali sistem
pendidikan yang unggul dalam prestasi, iman dan
takwa, kemudoian di tahun 1974 sekolah tersebut
digabung dengan SD Muhammadiyah yang berada di
wilayah Kauman. Dengan penggabungan ini, muncl
kembali kejayaan yang pernah diraihnya, dan
peningkatan prestasipun semakin kuat dalam persaingan
kancah dunia pendidikan di Indonesia khususnya di
Yogyakarta. Mengingat SD Muhammadiyah Suronatan
adalah SD Muhammadiyah yang pertama kali didirikan di
Indinesia dan kualitas pendidikannya yang bermutu dan
bernafaskan islami, maka animo masyarakat semakin
berminat untuk menyekolahkan anaknya di Sd trsebut
sampai sekarang50.
50 Wawancara dengan Bp. Kismadi, S.Pd, selaku Kepala SekolahSD Muhammadiyah Soronatan Yogyakarta, pada tanggal 17 Maret 2004
1. Dasar, Visi dan Misi SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta
a. Dasar
Sekolah Dasar Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta beazaskan pancasila dan UUD 1945 serta
berpedoman pada Al-Quran dan L-Hadits dan
keberadaanya di bawah naungan Persyarikatan
Muhammadiyah Daerah Yogyakarta.
b. Visi dan Misi SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta
Sesuai dengan motto yang dipegang oleh SD
Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta yaitu "Creatif
School With Islamic Insight" atau sekolah kreatif yang
berwawasan Islam, maka visi yang akan dibentuk
oleh SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta adalah
siswa unggul berdasarkan IMTAK (Iman dan Takwa)
dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi),
sedangkan misi yang dicanangkan oleh SD
Muhammadiyah Suronatan adalah sebgai berikut:
1) Menumbuh kembangkan hidup Islami dalam
kehidupan sehari-hari
2) Melaksnakan pross kegiatan belajar-mengajar
secara intensif sehingga potensi siswa dapat
berkembang secara optimal.
3) Mengembnagkan seluruh potensi warga sekolah
untuk mencapai tingkat keunggulan
4) Meningkatkan IMTAK ( Iman dan Takwa) dan
pengusaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi)
dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan
pihak terkait
5) Meningkatkan kedisiplinan dalam dalam berbagai
aspek sehingga menjadi manusia unggul yang ber-
akhlakul karimah.51
2. Struktur SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
51 Dokumntasi profil SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
PCMNgampilan
Dinas P&PKota YK
KepalaSekolah
KomiteSekolah
TataUsaha
Bendahara
WakaII
WakaI
WakaIII
Sumber data: Dokumentasi SD Muhammadiyah SuronatanYogyakarta,dikutip pada tanggal 28 April 2004
Keterangan:
1) PCM Ngampilan : Sunari SH
2) Dinas P&P DIY : Drs. Darno
3) Kepala Sekolah : Kismadi S.Pd
4) Komite Sekolah : Ahmad Husein SE
5) Tata Usaha : Sumardjiono S.Pd
6) Bendahara : Dwi Budi Ningsih S.Pdi
7) Wakil Kepala I : Supiyana Ama.Pd
Guru Guru
Murid
8) Wakil Kepala II : Martini S.Pd
9) Wakil Kepala III : Refi Sardiyah S.Ag
10) Guru
11) Karyawan
12) Satpam
B. KEBIJAKANSD MUHAMMADIYAH SURONATAN YOGYAKARTA
DALAM MENERAPKAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA
1. Kebijakan Secara Umum
Penerapan kecerdasan emosional siswa SD
Muhammadiyah Suronatan secara formalitas bukan
termasuk dalam kurikulum dan kegiatan belajar-
mengajar (KBM) di sekolah yang dikemas kusus dan
terstruktur oleh birokrasi tertentu serta ditangani
oleh ahli profsinal. Namun penerapan kecerdasan
emosional siswa di sini merupakan perpaduan yang
sinergis antara proses pembelajaran di kelas dan
pembentukan emosi anak yang dituangkan secara
sderhana dan tidak memakan banyak waktu.
Adapun kebijakan-kebijakan umum yang
berhubungan dengan pengembangan kecerdasan
emosional siswa SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta adalah melalui:52
a. Pertemuan orang tua atau wali murid dengan
guru
Komunikasi orang tua siswa dengan guru adalah
sangat penting bagi perkembangan siswa. Hal ini
mengingat anak adalah manusia kecil yang tidak
berdaya yang perlu sntuhan pembinaan, didikan dan
perlindunagn dari orang dewasa sedini mungkin. Oleh
karena itu, SD Muhammadiyah Suronatan berusaha
memfasilitasi ruang dan waktu bagi guru dan orng
tua siswa untuk saling bahu-membahu dalam mendidik
anak.
Pertemuan orang tua murid dengan guru
diadakan dalam putaran satu bulan sekali, agar
kondisi anak semakin terkontrol dibawah pantauan
52 Wawancara dengan Bp. Kismadi S.Pd, selaku Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Suronatan, tanggal 17 Maret 2004, pkl. 11.00 WIB, di ruang tamu
guru dan orang tua siswa. Salah satu upaya dalam
mengkontrol anak disediakan buku pantaun siswa
dalam format yang sederhana yang berisi jadwal
shalat lima waktu, jadwal tadarus, dan mata
pelajran yang dipelajari setiap harinya dengan
paraf orang tua dan guru.
b. Budaya Kedisiplinan Bagi Guru dan Siswa
Guna menghasilkan lulusan SD Muhammadiyah
Suronatan yang berkualitas secara intelektual,
moral dan spiritualitas, diperlukan adanya budaya
disiplin dalam ranah kehidupan belajar-mengajar di
sekolah. Pendisiplinan ini tidak hanya
diperuntukkan bagi siswa-siswinya, melainkan para
guru dan pihak yang terkait didalamnya harus mampu
memberi teladan kedisiplinan bgi anak-anak
didiknya.
c. Kegiatan Non Akademik
Upaya dalam menuangkan tujuan yang akan
dicapai, sekolah menggunakan media untuk mencapai
tujaun tersebut dalam wadah aktivits-aktivitas.
Salah satu aktivitas tambahan yang menjadi wadah
pembentuk bakat besrta alat yang menjadikan suatu
komunitas yang utuh dan bersatu-padu, sebgi contoh
kegiatan drum-band. Dimaan dalam kegiatan ini secar
tidak langsung dapat membntuk perilaku siswa dan
melatih siswa bersosialisasi dan berinteraksi
dengan siswa lainnya. Hal ini dapat dibuktiakn
dengan faktanya, bhwa pernah ada siswa yng
merupakan salah satu anggota drum-band yang msih
baru, sebelumnya anak ini berperilaku cenderung
individualistik dan egosentris. Namun setelah
diadakannya Training Centre tingkat nasional di
Kaliurang, ia melihat adanya kekompakkan dari
peserta drum-band dari sekolah lain, kemudian ia
tergerak untuk menjadi sepeti kelompok lainnya.53
d. Pertemaun Para Guru SD Muhammadiyah Suronatan
Yogyakarta
Pertemuan para guru dan pihak yang terkait di
SD Muhmmadiyah Suronatan, selain membahas mengenai
53 ? Ibid
perkembangan sekolah selanjutnya juga membahas
perkembangan peserta didiknya baik itu prestasi
belajar maupun perilaku siswa. Para guru di SD
Muahmmadiyah Suronatan baik dalam mengajar dan
mendidik siswa maupun dalam bergaul dengan siswa
setiap harinya di sekolah harus menciptakan
kedekatan dan keakraban dengan siswa di samping
selalu memotivasi siswa untuk belajar dan
berperilaku dengan baik dan sopan-santun. Dan yang
sangat penting diharapkan adalah adanya
keterjalinan komunikasi antara guru dan siswa di
luar kelas.
Keterjalian komunikasi yang erat dengan guru,
merupakan adalah satu cara penting untuk mengetahui
apakah si anak mendapatkan kemajuan; apakah
perilakunya makin positif atau negatif; apakah ia
bersungguh-sungguh atau tidak. Hal itu akan
membantu baik itu guru atau orang tua siswa untuk
menentukan kapan harus memberikan imbalan dan kapan
memberikan sangsi.
Sebaliknya, ketika guru dan orang tua
bertindak secara sendiri-sendiri dengan tujuan yang
berlawanan, anak akan menderita. Namun, kalau
mereka bekerja sama untuk mengubah perilaku anak,
hasil yang dramatis bisa dicapai.
2. Kebijakan Secara khusus
Penerapan kecerdasan emosional siswa dalam
konteks kebijakan secara khusus, artinya kebijakan-
kebiajakan yang dituangkan oleh personil SD
Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Dalam hal ini
khususnya para guru pemegang kelas atau yang
dinamakan guru kelas pada kelas rendah, yaitu kelas
I. II dan III. Adapun yang menjadi kebijakan guru
dalam menerapkan kecerdasan emosional siswa adalah
sebagai berikut:
a. Pengenalan Lingkungan Sekolah
Siswa sekolah dasar yang baru pertama kali
masuk ke lingkungan sekolah merupakan sesuatu yang
asing dan menakutkan bagi siswa ayng bersangkutan.
Aapalagi nuansa kehidupannya berbeda dengan yang
ada di taman kanak-kanak (TK). Biasanya anak yang
memasuki lingkungan baru pastinya akan penasaran
dengan apa yang mereka lihat dan mereka ingin tahu
dari berbagai sudut ruangan yang ada di sekolah.
Untuk itulah, di hari pertama sampai hari ketiga
diawal anak masuk sekolah, guru akan memperkenalkan
lingkungan sekolah dengan berjalan bersama dan
berbaris secara teratur mengelilingi ruangan-
ruangan yang ada di sekolah dimulai dari kantor
kepala sekolah, ruang guru, ruang kelas kelas satu
sampai kelas enam, kantin makan, tempat bermain dan
berolah-raga dan bahkan sampai pada kamar kecil
(toilet). Tujuan daripada diadakannya pengenalan
lingkungan lingkungan sekolah adalah agar siswa
tidak merasa asing dan takut54.
b. Memberikan Permainan-Permainan
Selain memperkenalkan lingkungan sekolah,
guru juag memperkenalkan permainan-permainan pada 54 ? Wawancara dengan Ibu Martini, selaku guru kelas IA, selasatanggal 27 April 2004
siswa kelas satu pertama kali masuk. Dengan
pertimbangan karena siswa kelas satu suasananya
masih terbawa di taman kanak-kanak yang masih suka
bermain-main, bercanda, ngobrol, berlari-lari dan
sebagainya.
Pemberian rangsangan seperti permainan ini
diharapkan nantinya siswa dapat belajar tanpa rasa
takut, cemas dan gelisah memasuki dunia barunya.
Permainan ini diberikan pada hari ke-empat siswa
masuk sekolah. Pemberian permaian ini tidak
selamanya diberikan, tetapi hanya sekali atau dua
kali dalam tiap bulannya sebagai selingan dalam
belajar55.
c. Siswa Boleh Ditunggu Oleh Orang Tuanya
Siswa yang berada di kelas satu mengalami
masa transisi dari taman kanak-kanak ke sekolah
dasar, sehingga tidak mudah bagi anak untuk
menerima lingkungan barunya. Ketergantungan pada
orang tua masih dibawanya sampai ke jenjang
55 ?Ibid
berikutnya. Hal yang demikian bisa dikarenakan usia
anak yang masih terlalu dini. Gejala-gejala yang
muncul dari sifat ketergantungan ini salah satunya
adalah minta ditunggu orang tuanya di sekolah, anak
mersa cemas dan khawatir bila ditinggal orang
tuanya.
Untuk menyikapi masalah siswa yang minta
ditunggui oleh orang tuanya, guru memberikan tiga
langkah kebijakan yaitu: Pertama, orang tua menunggu
siswa di dalam kelas dengan syarat tidak membantu
pekerjaan siswa. Kedua, bial kondisi anak sudah
menunjukkan gejala yang tidak kronis lagi, orang
tua menunggu di laur kelas dan si anak bisa melihat
orang tuanya dari dalam kelas. Ketiga, orang tua
menunggu siswa di luar kelas yang tidak terlihat
oleh siswa dan bila siswa tidak mempercayainya
siswa boleh keluar untuk membuktikan orang tuanya
masih berada di sekolah56.
56 ?Wawancara dengan Ibu Wiwik, selaku Guru Kelas I B, Senin tanggal 26 April 2004
Kebijakan pertama sampai kebijakan yang
ketiga merupakan kebijakan yang diterapkan guru
dalam melatih kecerdasan emosional siswa khusus
bagi kelas satu. Sedangkan kebijakan yang lainnya
berlaku secara umum baik itu kelas satu, kelas dua
atau kelas tiga. Adapun kebijakan-kebijakan
tersebut adalah:
d. Membuat ikatan perjanjian dengan siswa tenatng
konsekuensi tau hukuman bila ada siswa yang
melanggar tata tertib kelas
Keberadaan dan aspirasi siswa di kelas sangat
diperhatikan dan didengar oleh para guru dalam
segala hal, samapi pada hukuman pun demikian. Guru
tidak mengambil keputusan secara sepihak, melainkan
dimusyawarahkan bersama siswa, seperti hukuman bagi
siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR),
sebelumnya telah disepakati bagi siswa yang tidak
mengerjakan pekerjaan rumah konsekuensinya siswa
diberi tugas empat kali lipatnya tergantung pada
kondisi kejiwaan siswa. Demikian pula dalam masalah
keterlambatan siswa, disepakati konsekuensinya
berupa menghafalkan ayat-ayat pendek (Juz'ama) dan
doa-doa, serta menjalankan shalat dhuha pada waktu
jam istirahat57.
e. Siswa-siswi diwajibkan menabung
Menabung merupakan salah satu upaya guru
dalam melatih siswa untuk hidup hemat dan bersikap
dermawan terhadap yang membutuhkan. Adapun nantinya
uang tabungan tersebut dapat digunakan untuk dana
sosial bagi siswa yang orang tuanya kurang mampu,
dana khitan, dan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya
di dalam kelas seperti untuk membesuk anak yang
sakit dan sebagainya58.
f. Mewajibkan siswa untuk piket kelas atau bersih-
bersih kelas dan merapikan meja dan bangku belajar
setelah jam belajar berakhir
Kondisi dan kenyamanan kelas harus terjaga,
untuk itulah supaya kelas tetap bersih dan nyaman,
57 ?Wawancara denagn Ibu Martini, ibu Wiwik, ibu Tri, ibu Nurul dan bapak Budiono , di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta58 ?Ibid
perlu untuk membentuk tim kecil dan secara bergilir
membersihkan kelas setelah jam belajar selesai59.
Tugas piket kelas ini hukumnya wajib dan semua
siswa harus mematuhinya bila ada siswa yang
melanggar, maka pelanggaran siswa tersebut
dimasukkan dalam buku pelanggaran sekolah dan
ditandatangani oleh orang tua siswa.
Adapun bentuk pembagian tugas piket ini,
selain agar kelas tetap terjaga kebersihannya juga
untuk melatih siswa mandiri dan tanggung jawab,
sehingga pada gilirannya siswa akan terbiasa dalam
mengerjakan pekerjan rumah tangga dan mereka tidag
sungkan untuk mengerjakannya di rumah. Ataupun
sebaliknya, bila di rumah si anak biasa
terlibatsecara fisik, mental dan emosional dalam
mengatur dan memelihara rumah tangga, maka
kemampuan berbuat yang sama pun akan diperbuatnya
di sekolah dan aktivitas yang lain akan meningkat.
g. Memberiakn buku pantauan59 ?Hasil observasi di kelas I, II dan III SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta.
Buku pantauan paad dasarnya kebiajkan dari
sekolah, namun kewenangannya pada akhirnya
diserahkan pada guru kelas masing-masing kelas yang
mampu memantau setiap harinya di kelas dan paad
akhir tutup bulan dilaporkan pada kepala sekolah.
Pemberian buku pantauan ini untuk melihat
sejauhmana siswa melakukan aktivitasnya sehari-hari
baik itu belajarnya atau aktivitas keagamaan
seperti shalat dan tadarus yang ditanda tangani
langsung oleh orang tua siswa dan dilaporkan pada
guru kelas setiap hari. Sehingga dari buku pantauan
ini dapat terlihat jelas mana siswa yang benar-
benar melakukan aktivitas belajar, shalat atau
tadarusnya60. Selain mendorong siswa untuk belajar
lebih tekun dan giat juag denagn buku pantauan ini
diharapkan siswa untuk berlaku jujur terhadap guru
dan orang tuanya.
h. Memberikan fasilitas-fasilitas yang menunjang
kegiatan belajar-mengajar60 ?Dokumentasi kelas SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta, dikutip tanggal 27 April 2004
Fasilitas-fasilitas yang dimaksud adalah bisa
berupa media elektronika, seperti alat mikrofon
atau Wireless61, denagn media tersebut siswa dapat
mengaktualisasikan dirinya dengan menyanyi atau
berpuisi, dan dengan alat ini pula siswa merasa
terhibur dan senang. Melalui media ini terkadang
digunakan guru untuk melatih percaya diri siswa
yang pemalu untuk berbicara dengan alat bantuan
seperti mikrofon dan nanatinya didenagrkan sendiri
oleh siswa yang bersangkutan dan pada gilirannya
siswa akan mengetahui suaranya sendiri itu bagus
dan membuat siswa tersebut dapat percaya diri62.
i. Merubah komposisi duduk
Perubahan komposisi duduk sangatlah
diperlukan disamping untuk kesehatan mata juag
untuk merubah suasana belajar. Penempatan komposisi
duduk siswa yang harus berbeda setiap minggunya
juga akan mempengaruhi bagaimana siswa tersebut
61 ?Observasi di kelas III A, di SD Muhammadiayh Suronatan Yogyakarta, tanggal 8 Mei 2004 62 ?Wawancara dengan Ibu Wiwik, tanggal 8 Mei 2004
termotivasi untuk belajar dan mau tidak mau siswa
harus menemui teman sebangku yang berbeda-beda
pula63. Dengan demikian siswa dapat bersosialisasai
secara luas.
j. Mencatat pelanggaran siswa ke dalam buku
pelanggaran sekolah
Semua jenis pelanggaran yang dilakukan siswa
akan dimasukkan dalam buku pelanggaran dan setiap
bulannya dilaporkan pada orang tua siswa serta
dilaporkan dan ditandatangani oleh kepala sekolah64.
Dengan buku pelanggaran tersebut siswa akan lebih
berhati-hati untuk tidak melakukan pelanggaran
lagi, sehingga disinilah perlunya ketekunan siswa
untuk tidak berbuat yang melanggar peraturan
sekolah serta melalui buku pelanggaran ini siswa
dilatih untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang
diperbuatnya.
63 ?Wawancara denagn seluruh informan, di SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. 64 ?Dokumentasi kelas SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
BAB III
METODE MELATIH KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK
A. PENYAJIAN DATA
Setelah melakukan penelitian di lapangan, padaakhirnya diperoleh data-data yang berkaitan denganketrampilan guru melatih kecerdasan emosional siswa.Data ini diperoleh berdasarkan hasil pengamatan secaralangsung dan hasil wawancara dengan informan, dalambab ini akan dibahas tentang permasalahan emosionalyang dihadapi guru beserta nilai-nilai dan cara-caraguru dalam melatih kecerdasan emosional. Ketrampilandalam hal ini adalah pemahaman guru tentang melatihkecerdasan emosional yang diterapkan secara bersamadengan kegiatan belajar-mengajar di kelas setiapharinya.
Lebih jelasnya berikut ini akan dibahas tentangketrampilan guru dalam melatih kecerdasan emosionalpada setiap jenjang pendidikan secara terperinci, halini di karenakan permasalahan emosional siswa yangdihadapi guru dalam setiap kelas berbeda dan gejala-gejala yang tampak pada siswa kelas 1, 2 dan 3 jugaberbeda. Begitu pula dalam melatih kecerdasanemosional ini diklasifikasikan berdasarkan tingkatintelektualitas dan perkembangan pribadi siswa.
Adapun bentuk-bentuk ketrampilan guru dalammelatih kecerdasan emosional siswa adalah sebagaiberikut:
1. Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional
Siswa Kelas I
a. Masalah Emosional Siswa di Kelas I
1) Ketidakdisiplinan
Ketidakdisiplinan, terutama ketidakdisiplinandalam belajar merupakan masalah yang dominandihadapi guru. Hal ini disebabkan karena siswamasih terbawa kebiasaan di taman kanak-kanak, yangditandai kesenangan untuk bermain-bermain dantingginya ketergantungan kepada orang tua. Adapunbentuk-bentuk ketidakdisiplinan siswa tersebutadalah:a) Membuat keramaian di dalam kelas.
Siswa pada umumnya suka mengobrol dengan
teman sebangkunya, suka bermain-main, dan
bersenda gurau. Padahal perilaku-perilaku ini
menciptakan suasana gaduh di dalam kelas dan
membuat siswa lainnya tidak berkonsentrasi pada
tugas-tugas mereka.65
b) Terlambat datang ke sekolah
Sebagian besar siswa diantar jemput oleh
orang tua mereka ke sekolah. Hanya saja, karena
siswa biasanya belum mampu mempersiapkan dirinya
sendiri dan jarak rumah mereka dengan sekolah
yang cukup jauh, maka biasanya mereka terlambat65 Hasil observasi tanggal 4 Mei 2004, di kelas IA dan IB
sekolah. Hal ini diakui oleh guru kelas 1B,
sebagai berikut:
“ Saya kira wajar ya… apabila anak yang baru masuk kelas satu dan terlambat, sebabnya banyak anak-anak yang rumahnya jauh dan apalagi mereka’kan masih kecil, jadi belum bisa menyiapkan perlengkapan sekolahnya dan masih perlu bantuan orang tuanya. Pertama masuk ke kelas dan terlambat anak ini takut dan malah nggak mau masuk ke kelas. Kalau kejadiannya seperti saya anjurkan pada orang tua supayatidak terlambat lagi mengantarkan anaknya”66
c) Tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
Pekerjaan rumah adalah sesuatu yang masih
asing bagi siswa kelas satu, karena di jenjang
sebelumnya mereka tidak pernah mendapatkan tugas
semacam itu. Oleh karenanya, bagi sebagian siswa
pekerjaan rumah dirasakan sebagai beban dan
dianggap mengurangi waktu bermain mereka.
Akibatnya siswa sering melalaikan tugas tersebut
dan menganggapnya tidak membawa konsekuensi
apapun.67
2) Ketergantungan
Tingginya tingkat ketergantungan siswa kepadaorang tuanya selama di taman kanak-kanak ternyatamasih dibawa kejenjang berikutnya. Pada umumnyasiswa masih dibangunkan oleh orang tuanya,
66 Wawancara dengan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004 67 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004 dan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004
dimandikan, dan perlengkapan belajarnya juga masihdipersiapkan oleh orang tuanya.. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang biasanya memicuketerlambatan mereka datang ke sekolah.68
3) Cemas bila ditinggalkan orang tua di sekolah
Rasa cemas juga merupakan masalah emosionalsiswa yang sering dihadapi guru. Sumber kecemasanini adalah rasa takut yang ditimbulkan olehlingkungan yang masih asing, kehadiran guru yangbelum dikenal, dan khawatir kalau ditinggalsendirian oleh orang tuanya di sekolah. Terkaitdengan hal yamg terakhir yang disebutkan, gejala-gejala kekhawatiran siswa ditandai beberapaperilaku berikut ini:a) Menengok orang tuanya yang berada di luar kelas.
Walaupun siswa sudah berada di dalam kelas
dan mereka telah duduk di tempatnya masing-
masing, namun isyarat mata mereka dengan jelas
menunjukan perhatian mereka sebenarnya masih
tertuju kepada oreang tua mereka yang berada di
luar kelas
b) Sesekali menemui orang tua mereka di luar kelas.
Memperhatikan orang tua mereka dari dalam
kelas ternyata belum mencukupi. Untuk itu
sesekali mereka langsung menemui orang tua di
luar kelas, guna memastikan bahwa orang tua68 Ibid
mereka setia menunggu. Perilaku diatas hanya
berlangsung sebelum guru kelas memulai proses
belajar mengajar. Apabila guru sudah memasuki
kelas dan proses belajar mengajar telah di mulai;
maka perhatian siswa kepada orang tua mereka
sedikit demi sedikit berkurang.
c) Memperhatikan orang tua lewat jendela kelas.
Walaupun siswa sudah mulai berkonsentrasi
pada pengajaran guru di muka kelas, bukan berarti
rasa cemas siswa pudar secara keseluruhan.
Kadangkala mereka masih memperhatikan orang tua
melalui jendela kelas.69
4) Perilaku Asosial
a) Pemalak atau pengompas
Fenomena pemalakan, hampir ada di setiap
sekolah. Perilaku meminta uang atau barang milik
orang lain secara paksa yang dilakukan oleh anak
yang bermasalah itu jelas membuat lingkungan
sekitar tidak aman.
69 Ibid
Istilah pemalak yang di kenal di sekitar
sekolah disebut dengan ngompasi. Anak yang berbuat
perilaku seperti pemalak biasanya beroperasi
setiap jam istirahat, dimana ia merasa tidak puas
bila tidak meminta secara paksa dari
sasarannya.Adapun yang menjadikan anak
berperilaku menjadi pemalak kecil adalah
kurangnya perhatian dari orang tua atau bisa juga
dari mereka yang memiliki orang tua yang tidak
lengkap (single parent) dan ada yang disebabkan
karena mereka tidak di beri uang jajan oleh orang
tua mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh guru
kelas 1A:
“ Yang menggangu hubungan sosial siswa khususnya di kelas yang saya pegang angkatan tahun kemarin sekarang sudah kelas dua ada anak yangsukanya minta jajanan atau uang jajan sama temannya secara paksa atau kalau di sini namanya ngompasi, kalau temannya itu tidak mau memberi kadang di tendang atau dijambak rambutnya sampai anak itu menangis”70
b) Perkelahian
Perilaku asosial yang sering ditampakkan
oleh anak-anak biasanya dalam bentuk perkelahian.
70 Hasil wawancara denagn Ibu Martini tanggal 27 April 2004
Pemicu dari pertengkaran atau perkelahian
biasanya dari rasa jengkel dan dongkol anak
terhadap anak lainnya yang dianggapnya telah
mengganggu dan mengejeknya71.
c) Berbohong
Anak yang berbohong biasanya dalam masalah
nilai yang jelek. Ketika anak mendapatkan nilai
yang jelek, ada yang diantara orang tua mereka
yang tidak mau menerima nilai yang jelek dari
anaknya.
Untuk menghindari perlakuan dari orang tua
yang keras, anak berusaha menutupi kejelekannya
seperti nilai jelek tersebut digantikannya dengan
nilai yang bagus. Berbohong disini maksudnya
lebih mengarahkan pada rasa ketakutan anak
terhadap orang tuanya, tapi sebenarnya mereka
adalah anak-anak yang jujur bila berada di
71 Hasil Observasi tanggal 25 April 2004, di kelas IA
sekolah. Apabila mereka berhadapan di gurunya
mereka selalu jujur karena mereka merasa lebih
dekat dan menuruti gurunya daripada orang tuanya.
“ Anak berbohong biasanya dalam masalah nilai yang mereka peroleh itutidak memuaskan. Pernah ada siswa yang kalau dapat nilai jelek itu dipukul oleh bapaknya, sehingga kalau dia setiap mendapatkan nilai jelek digantikannya dengan nilai yang lebih bagus dengan cara menggantikan angka yang lebih tinggi yang tidak diperolehnya. Anak berbohong dibawah umur sepuluh tahun, karean tidak tahu baik-buruk suatu perbuatan karena mereka melihat sesuai dengan apa adanya, melainkan ia berusaha untuk menjauhi dan melindungi diri dari perbuatan orang yang lebih dewasa dalam hal ini orang tua, sehinga untuk menjelaskan tentang berbohong ini beserta dampaknya bukan dengan cara nasihat tentang dosa atau tidaknya suatu perbutan, tapi dengan cara menjelaskan pada mereka tentang surga dan neraka.” 72
d) Bertutur kata yang kurang sopan dan santun
Bertutur kata bagi anak-anak seusia yang
masih dini ini lebih menirukan gaya orang yang
lebih besar disekitarnya. Peniruan ini mereka
dapatkan lebih banyak dilingkungan rumahnya, dan
dibawa ke sekolah yang kemudian ditirukan oleh
anak-anak lainnya yang sebelumnya tidak tahu. Di
dalam kelas mereka berseloteh dengan kata-kata
yang kurang sopan seperti “monyet” atau “orang
edan” dan sebagainya.73
72 Hasil wawancara dengan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004 73 Hasil observasi tanggal 4 Mei 2004, di kelas IA
b. Nilai-Nilai dan Cara-Cara Guru Melatih
Kecerdasan Emosional Siswa di Kelas I
Pelbagai masalah emosional di atas adalahalasan utama yang menyebabkan para guru di SDMuhammadiyah Suronatan Yogyakarta merasa engganmenjadi guru kelas satu. Mereka pada umumnyamemilih untuk menjadi guru kelas di jenjanglainnya, karena masalah-masalah yang dihadapi dijenjang tersebut tidak sekompleks di kelas satu,yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan ekstradari guru. Oleh karenanya, walaupun menghadapitingkat kesulitan yang lebih tinggi, guru yangbertindak sebagai guru kelas satu merasa engganketika dipercayai menjadi guru kelas tersebut.
Selanjutnya, untuk mengatasi masalah-masalahemosional tersebut guru berusaha menanamkan nilai-nilai dengan cara-cara berikut ini:
1) Kedisiplinan
Untuk mengatasi keramaian, kelalaian siswadalam mengerjakan pekerjaan rumah, dan menghindariketerlambatan siswa datang ke sekolah. Gurumenekankan pentingnya kedisiplinan kepada siswa.Nilai ini dilakukan dengan cara-cara berikut ini:a) Menghukum siswa
Hukuman yang diberikan guru kepada siswa-
siswinya merupakan salah satu langkah yang cukup
efektif dalam menghadapi masalah-masalah
pembelajaran yang bersumber dari emosi siswa.
Namun hukuman ini tidak layaknya hukuman klasikal
seperti yang dipakai oleh sekolah-sekolah dulu
yang monoton.Hukuman yang diberikan ini lebih
mempertimbangkan pada kondisi kejiwaan siswa yang
ditakutkan akan melemahkan mental anak-anak. Guru
lebih memilih dengan memakai hukuman yang cukup
sederhana seperti siswa yang datang terlambat;
pertama mengisi buku pelanggaran tata tertib
sekolah, mengulang kembali cara-cara memasuki
ruang kelas dengan sopan dan santun dan yang
terakhir bila siswa tersebut terlalu sering
terlambat maka disuruh membaca doa-doa dan
menghafalinya (seperti doa ketika dan sesudah
makan) atau di suruh melaksanakan shalat Dluha.74
Adapun dalam mnghadapi siswa yang ramai di
dalam kelas, guru biasanya memberikan pengayaan
yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian siswa
dengan memberikan tugas pada siswa yang
bersangkutan untuk mengerjakan soal-soal latihan
dan bisa dikerjakan di dalam atau di luar kelas.75
b) Menegur dan mengancam 74 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004 75 Wawancara dengan Ibu Wiwik tanggal 26 April 2004
Teguran kepada siswa dilakukan guru apabila
siswa tidak memperhatikan pengajaran guru, tidak
berkonsentrasi pada tugas yang diberikan, siswa
yang suka jalan-jalan di dalam kelas (keliling
kelas) dan tidak duduk pada tempat duduknya
masing-masing. Biasanya guru menegur siswa dengan
menyebutkan nama siswa yang bersangkutan;
“Faizir… bisa diam tidak ?, kalau tidak bisa diam nanti kamu baca doa sendiri”76
c) Nasihat dengan cerita
Dalam menangani masalah emosional siswa
guru lebih seringnya menggunakan cara dengan
memberikan nasihat-nasihat.Nasihat-nasihat ini
berupa cerita atau kisah nabi, dongeng-dongeng
tentang binatang (fabel), atau kisah kocaknya si
Abu Nawas. Nasihat ini juga bisa berupa ungkapan-
ungkapan yang diambil dari hadist nabi, seperti
dalam menangani anak yang suka meminta-minta
dengan secara paksa (pemalak), guru biasanya
76 Hasil observasi tanggal 4 nei 2004
memberikan wejangan-wejangan dan memberikan
nasihat bahwa:
“Tangan yang di atas lebih baik dengan tangan yang ada di bawahnya”77
Atau dengan mengatakan kepada siswa
tersebut bahwa:
“Meminta secara paksa pada teman sama saja dengan mencuri, merampok dan menodong dan itu dosa, kalau dosa berarti kamu nanti masuk neraka yang ada apinya”.78
2) Kemandirian.
Kemandirian merupakan salah satu bentukkecerdasan emosional yang secara mencolok seringdiberikan guru, teruatama pada masa awal siswamemasuki sekolah dasar. Adapun cara guru melatihkemandirian siswa adalah:a) Mengecek tingkat kemandirian siswa
Hal ini dilakukan dengan bertanya
kepada siswa seputar kegiatan pribadi yang
dilakukan siswa secara mandiri. Sebagai contoh
pada satu waktu guru bertanya kepada siswa:
“Siapa yang tadi pagi dibangunkan ibunya masih rewel?, Tasya… kamu tadi pagi bangunnya jam berapa dan shalat shubuh tidak?”79
77 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004 78 Ibid79 Hasil obserbvasi tanggal 4 Mei 2004, di kelas IA
Menanggapi pertanyaan guru, siswa pada
umumnya langsung mengangkat tangannya.
b) Memberi petunjuk tentang aktivitas-aktivitas
mandiri yang dapat dilaksanakan siswa.
Selain mengecek tingkat kemandirian siswa,
guru juga menyebutkan urutan langkah-langkah yang
harus dilakukan siswa sebelum berangkat ke
sekolah. Pada saat itu guru mengatakan:
“ Baik anak-anak mulai besok pagi harus bangun lebih awal kemudian shalat shubuh, mandi, sarapan dan baru berangkat sekolah, kalau anak-anak bangunnya adzan shubuh jadinya tidak terlambat masuk sekolah”80
Kedua pendekatan ini menurut guru cukup
efektif karena siswa-siswinya ternyata mengikuti
saran-sarannya. Bila ditanya perihal apakah
mereka benar-benar telah mempersiapkan dirinya
sendiri sebelum berangkat ke sekolah, siswa
dengan antusias menunjukan jarinya dan hal ini
membuktikan bahwa mereka benar-benar mengikuti
saran guru.
3) Keberanian
80 Ibid
Seiring dengan nilai kemandirian, keberanianjuga merupakan salah satu nilai kecerdasanemosional yang secara intensif di lakukan gurukepada siswa-siswanya. Hal ini dilatihkan guruagar siswa dapat mengatasi ketakutan mereka dalammenghadapi situasi yang baru. Adapun cara gurumelatih siswa adalah sebagai berikut:a) Meminta siswa untuk maju ke muka kelas
Meminta siswa tampil ke muka kelas pada
awal pertemuan untuk memperkenalkan dirinya
adalah salah satu langkah yang di tempuh guru
untuk mengembangkan keberanian siswa. Walaupun
setiap siswa telah mengenakan tanda pengenal di
dada bagian kanan masing-masing, mereka tetap
diminta guru untuk maju ke depan dan menyebutkan
identitas dirinya. Kendati sebagian besar siswa
tampak masih malu-malu, pendekatan ini sedikit
banyak telah melatih keberanian siswa. Mereka
belajar untuk mengatasi ketakutan, rasa canggung
dan bersedia di nilai orang lain.81
b) Mengelilingi lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah adalah rumah kedua
setelah kehidupan mereka di keluarganya masing-81 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004
masing. Untuk itulah, betapa pentingnya
mengenalkan lingkungan sekolah kepada siswa kelas
satu. Langkah ini merupakan langkah yang cukup
ampuh dalam memupuk keberanian kepada siswa dalam
lingkungan barunya yaitu sekolah dasar.
Pengenalan terhadap lingkungan sekolah ini
diadakan tiga hari setelah siswa masuk ke
sekolah. Adapun pengenalan sekolah dilakukan
dengan cara mengelilingi lingkungan sekolah yang
dipandu langsung oleh guru kelas,langkah pertama
siswa berbaris rapi kemudian berjalan bersama
mengelilingi berbagai sudut ruangan di sekolah,
seperti ruang kantor kepala sekolah dan guru,
ruang-ruang kelas, kantin makan serta kamar kecil
(toilet).82
c) Meminta siswa mengerjakan soal-soal di muka
kelas
Mengerjakan soal-soal di muka kelas,
disamping befungsi untuk mengetahui sejauh mana
82 Ibid
tingkat pemahaman siswa terhadap pelajaran yang
sudah diajarkan guru, ternyata juga melatih
keberanian siswa. Tampil ke muka kelas dan
mengerjakan soal-soal latihan bukan pekerjaan
yang mudah bagi siswa. Tapi sebaliknya tugas ini
membutuhkan persiapan mental yang memadai. Jika
siswa tidak memiliki keberanian dan masih
diliputi rasa malu, ia tidak akan bersedia
melakukan hal tersebut. Sebaliknya jika siswa
memiliki keberanian, ia tidak akan menghindari
permintaan guru, bahkan mampu mengaktualisasikan
dirinya tanpa diminta oleh guru.83
d) Membantu guru membagikan buku latihan
Hal ini sepertinya sangat sepele, namun
kenyataannya mempunyai dampak psikologis yang
cukup besar bagi siswa. Ketika guru meminta siswa
membagikan buku latihan yang sudah dikoreksi,
ternyata mereka yang mendapatkan tugas merasa
dipercayai oleh guru, sehinga siswa sangat
83 Hasil obsevasi tanggal 4 & 8 Mei 2004, di kelas IA & IB
antusias dan seringkali berkompetisi untuk
mendapatkan kesempatan melaksanakan tugas
tersebut84.
4) Membina Persahabatan
Perilaku asosial siswa, seperti meminta uangjajanan pada temannya, dipandang guru dapatmenghambat hubungan sosial antar siswa. Untukitulah guru juga memperhatikan terjalinnyapersahabatan antar siswa adalah sebagai berikut:a) Menganalogikan hubungan antar siswa sebagai
sebuah keluarga.
Sebagai contoh dalam sebuah pertemuan guru
mengatakan kepada siswa:
“Kita ini satu keluarga, kalau di rumah yang menjadi orang tua kalianadalah bapak dan ibu kalian, tapi di sekolah, ibulah yang bertindak sebagai ayah dan ibu kalian. Makanya jangan rebut dan jangan berantem dalam satu keluarga”85
Dari sini terlihat jelas, bahwa guru
memandang persahabatan sebagai nilai yang sangat
penting. Ia menganalogikan hubungan antara guru
dan siswa denagn siswa lainnya adalah seperti84
? Ibid85 Wawancara dengan Ibu Martini tanggal 27 April 2004
sebuah keluarga, di mana guru bertindak sebagai
orang tua yang menggantikan peran ayah dan ibu
mereka di rumah dan setiap siswa terikat dalam
hubungan persaudaraan.
b) Memanggil siswa yang berperilaku asosial
Selain memberikan nasihat kepada siswa
tentang pentingnya persahabatan, guru juga
memberikan perhatian pada penanganan kasus-kasus
yang dapat merusak persahabatan antar sesama
siswa. Misalnya ketika guru mendapat laporan
tentang kenakalan siswa yang suka meminta jajan
kepada temannya dan memaksanya jika tuntutannya
tidak dipenuhi. Begitu menerima laporan guru
langsung memanggil siswa yang bersangkutan. Guru
bertanya;
“kenapa minta uang sama temannya?”, “tidak dikasih uang jajan Bu…”, jawab siswa. “kalau begitu, besok bawa makanan dari rumah”. Ujar guru selanjutnya. Kemudian guru menasihati siswa tersebut dengan mengatakan, “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang dibawah, tahu kan apa artinya itu?, artinya kamu itu lebih baik memberi bukannya meminta apalagi dengan memaksa, kalau meminta jajanpada temanmu dengan cara paksa berarti kamu sama saja denga pencuri,perampok dan yang sejenisnya, kamu mau dikatakan pencuri?, nggak mau’kan?, ya udah sekarang kamu minta maaf Risa”86
86
? Ibid
2. Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional
Siswa Kelas II
a. Masalah-masalah emosional siswa yang
dihadapai guru
1) Ketidakdisiplinan
Ketidakdisiplinan tidak hanya terjadi dikelas I, masalah ini bisa terjadi di kelas II.Hanya saja tingkat kesulitannya lebih rendah untukmengatasi hal tersebut, guru biasanya menegursiswa agar mengubah perilakunya tersebut. Adapunbentuk-bentuk ketidakdisiplinan tersebut adalah:a) Keramaian di dalam kelas
Keramaian ini biasanya dipicu oleh
kebiasaan siswa yang suka berbincang-bincang
selama mengerjakan tugas atau bersenda gurau
waktu menyerahkan tugas kepada guru.87
b) Tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
Seperti halnya di kelas I, kecenderungan
siswa untuk melalaikan PR juga masih terjadi di
kelas II. Untuk menutupi keteledorannya ini,
siswa biasanya beralasan bahwa PR tersebut
tertinggal di rumah atau lupa dikerjakan.87 Hasil observasi tanggal 12 Mei 2004, di kelas IIA
“Anak yang manja dan pemalas yang lebih sering melalaikan tugas dan beralasan bukunya tertinggal di rumah, sebenarnya belum mengerjakan karena kebiasaannya kalau ada PR di kerjakan saudara atau pembantunya”88
c) Melanggar peraturan sekolah
Melanggar peraturan yang biasanya dilakukan
oleh siswa itu tidak memakai seragam sekolah
sacara lengkap; seperti tidak memakai tanda
pengenal atau tidak memakai sabuk.89
2) Motivasi belajar yang rendah
Rendahnya motivasi diri, terutama motivasibelajar siswa, disamping guru merasa kesulitandalam mengelola pembelajaran, juga berdampak padarendahnya prestasi belajar siswa. Siswa yangmempunyai motivasi belajar yang rendah di tandaiperilaku berikut ini:a) Tidak terkonsentrasi dan tidak mau mengerjakan
tugas
Biasanya siswa yang tidak terkonsentrasi
maupun tidak mau mengerjakan tugas dikarenakan
oleh keadaan siswa dari rumah di bawa ke sekolah;
seperti anak yang biasa dimanja di rumah, siswa
tersebut akan kesulitan ketika di kelas di beri
88 Hasil wawancara dengan Ibu Tri tanggal 27 April 2004, selaku guru kelas IIB SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta 89 Wawancara dengan ibu Watiah tanggal 3 Mei 2004, selaku guru kelas IIA SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta
tugas latihan oleh guru atau siswa yang mempunyai
permasalahan di rumah; seperti siswa yang di
hadapi masalah percekcokan atau pertengkaran yang
terjadi pada kedua orang tuanya. Siswa-siswa yang
demikian akan sulit untuk berkonsentrasi dalam
pelajarannya, perilaku ini biasanya ditandai
dengan melamun atau bermalas-malasan di dalam
kelas.90
b) Lambat dalam mengerjakan tugas
Masalah siswa yang lambat dalam mengerjakan
tugas juga dipicu oleh keadaan ataupun kebiasaan
siswa di rumah dan di bawanya di sekolah. Siswa
yang manja biasanya lambat dalam mengerjakan
tugas di dalam kelas, hal ini biasanya disebabkan
kebiasaan siswa kalau ada PR dikerjakan oleh
orang lain ataupun tanpa bimbingan orang tua.91
3) Perilaku asosial
Perilaku asosial siswa yang pada umunyamerupakan kebiasaan yang dibawa dari rumah;seperti siswa yang suka atau cepat marah, maka
90 Ibid91 Wawancara dengan ibu Tri tanggal 27 april 2004
apabila di dalam kelas ada temannya yangmengejeknya langsung marah dan tidak ragu-raguuntuk membalasnya dengan pukulan atau tendangan.Ada pula siswa yang manja diejek sedikit samatemannya langsung menangis. Kurangnya sopan santunsiswa juga yang terjadi di dalam kelas, sepertimenerima barang dengan tangan kiri atau berkatayang tidak sopan di dalam kelas, walaupun hanyacelotehan siswa, adalah kebiasaan-kebiasaan siswayang sering dilakukan siswa, yang tidak sesuaidengan norma sosial. Oleh karena itu, tata kramasosial siswa juga diperhatikan guru di dalamkelas.92
b. Nilai-Nilai dan Cara-Cara Guru Melatih
Kecerdasan Emosional Siswa.
1) Kedisiplinan
Nilai ini mendapat prioritas utama karenamasalah kedisiplinan masih dominan terjadi. Untukmelatih nilai ini kepada siswa, guru melakukanlangkah-langkah berikut ini:a) Menegur dan mengancam siswa
Menghadapi siswa yang ramai di dalam kelas,
tindakan pertama yang dilakukan oleh guru
biasanya menegur secara langsung pada siswa yang
bersangkutan. Teguran ini biasanya dilakukan guru
ketika ada siswa yang tidak memperhatikan
penjelasan dari guru atau ketika siswa ramai di
92 Hasil obsarvasi tanggal tanggal 12 Mei 2004, di kelas IIA
dalam kelas; seperti jalan-jalan di dalam kelas.
Sebagaimana ada kejadian ketika kondisi kelas
ramai, maka guru mengatakan:
“Anak-anak tahu tidak kalian?, yang boleh jalan di dalam kelas hanya yang diberikan tugas untuk mengumpulkan buku latihan dan yang lainnya yang tidak berkepentingan duduk di bangkunya masing-masing!”93
Terkadang guru juga menggunakan ancaman
dalam menghadapi kelalaian siswa, sebagaimana
kejadian ada siswa yang tidak mengumpulkan tugas
latihan ataupun buku evaluasi nilai (Raport), oleh
guru dikatakan demikian:
“Yesa, kalau kamu besok tidak mengumpulkan buku raport, ibu tidak maumenaikkan kamu kelas tiga!”94
b) Memberi hukuman dengan meminta siswa
mengerjakan tugas
Keaadan kelas satu dengan kelas dua jelas
berbeda, di mana kenakalan di kelas satu bisa
ditolerir karena sudah dianggap wajar, tapi di
kelas dua guru sedikit keras dalam menanganinya.
Seperti halnya ketika ada siswa yang melanggar
93 Observasi tanggal 12 mei 2004, di kelas IIB94 Ibid
peraturan sekolah dengan tidak memakai seragam
secara lengkap, maka langkah pertama yang diambil
guru adalah dengan memasukkan pelanggaran siswa
tersebut kedalam buku pelanggaran sekolah.
Selain memasukkan pelanggaran siswa
kedalam buku pelanggaran, siswa pun diberikan
nasihat tantang penting dan manfaatnya berpakaain
rapih dan bersih, yang mana guru memberikan
nasihat-nasihat tentang kisah teladan atau dengan
memberikan nasihat bahwa “kebersihan merupakan
sebagian dari iman”, dan langkah yang terakhir, bila
siswa tersebut melakukan kesalahan secara
berulang-ulang, maka guru memberikannya hukuman
dengan meminta siswa untuk berdiri di muka kelas
atau menyapu di dalam dan di luar kelas.95
Adapun bagi siswa yang tidak mengerjakan
PR, maka guru menawarkan kepada siswa agar
mengerjakan PR-nya sebanyak lima kali lipatnya.
Tapi dengan melihat ekspresi wajah siswa yang
95Hasil wawancara denagn Ibu Watiah, pada tanggal 3 Mei 2004
menunjukan keberatan dengan hukuman tersebut,
membuat guru memberikan keringanan hukuman.
Akhirnya siswa diminta mengerjakan PR-nya
sebanyak dua kali lipat dan dikerjkan di teras
kelas.96
2) Tanggung jawab
Bertanggung jawab atas aktivitas belajaradalah salah satu kecerdasan emosional yangdilatihkan guru kepada siswa. Hal ini dilakukanterutama untuk mengatasi siswa yang tidak maumengerjakan tugasnya dan siswa yang selaluterlambat dalam mengerjakan tugas. Adapun caraguru dalam melatih nilai tersebut adalah sebagaiberikut:a) Mewajibkan siswa menyelesaiakan tugasnya
sesudah jam belajar di sekolah
Menghadapi siswa yang tidak berkonsentrasi
dan tidak mau mengerjakan tugasnya sera siswa
yang selalu terlambat dalam mengerjakan tugasnya,
guru mewajibkan mereka setelah jam belajar di
sekolah . Mereka dilarang pulang apabila tugas
96 Wawancara dengan Ibu Tri Ari Ruwantini, pada tanggal 27 April 2004
tersebut belum tuntas dan baru diperkenankan
pulang kalau sudah menyelesaikannya97.
Cara ini selain melatih tanggung jawab
siswa terhadap aktivitas belajarnya juga melatih
ketekunan dan kesabaran siswa.
b) Mewajibkan siswa melaksanakan piket kebersihan
kelas
Pada saat yang sama, guru juga melatih siswa agar bertanggung jawab terhadap kebersihan kelasnya. Untuk itu guru membuat jadwal piket siswa, di mana setiap siswa yang termasuk dalam jadwal piket pada hari tertentu harus membersihkan kelas selesai jam belajar di sekolah.98
3) Ketekunan dan kesabaran
Ketekunan dan kesabaran adalah modal utamadalam meraih prestasi belajar. Dalam konteks ini,guru melatih ketekunan dan kesabaran dengan caramemperhatikan setiap siswa yang sedang mengerjakantugas-tugas latihan dengan mengelilingi ruangankelas. Di samping itu juga melatih ketekunan dankesabaran siswa ketika siswa mengalami kesulitanmengerjakan tugas, maka siswa yang bersangkutanmaju ke meja guru dan kemudian diberikanpengarahan dan penjelasan dari guru.99
4) Motivasi berprestasi
Untuk memotivasi semangat siswa dalam meraihprestasi belajar yang tinggi, guru selalaumemberikan pujian pada siswa yang terlibat aktif
97 Observasi tanggal 12 mei 2004, di kelas IIB98 Ibid99 Hasil Observasi tanggal 11 & 12 Mei 2004, di kelaas IIA & IIB
dalam proses pembelajaran dan mampu menjawabpertanyaan guru dengan benar.100
5) Kejujuran
Untuk melatih kejujuran pada siswa, gurubiasanya meminta siswa menyebutkan nilai yangdiperoleh dengan mengangkat tangan setiap kaliguru menyebutkan nilai yang mungkin mereka perolehyang kemudian diteliti guru secara bergilir.101
Di samping itu juga guru memberikan nasihatdengan cerita-cerita untuk membiasakan anakberlaku jujur. Dalam melatih kejujuran, gurubiasanya menggunakan cerita tentang orang-orangyang berlaku tidak jujur beserta akibatnya.102
6) Membina persahabatan
Untuk melatih kesetiakawanan sosial siswa dankemampuan beradaptasi dengan lingkungannya, gurumelakukan langkah-langkah berikut:a) Memindahkan tempat duduk siswa secara berkala
Kecenderungan siswa pada usia sekolah dasar yang suka membentukkelompok sepermainan, pada gilirannya membuat mereka sering tidak toleran dengan kehadiran orang lain. Bahkan mereka tidak mau berhubungan dengan orang lain di luar kelompoknya. Oleh karena itu, dengan memindahkan tempatduduk siswa setiap minggu sekali, mereka harus belajar menerima kehadiran orang lain dan bersedia bekerjasama dengannya.
Di samping melatih ketrampilan sosial siswa, menrut guru cara ini juga bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan membagi komposisi duduk siswa secara seimbang, guru berharap bahwa siswa yang kemampuan belajarnya rendah termotivasi untuk meraih prestasi belajaryang lebih baik.sebaliknya siswa yang kemampunnya lebih dapat membantu siswa yang kemampunnya kurang. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut,guru mempertimbangkan tiga hal, yaitu prestasi belajar siswa, daya konsentrasi, dan kesehatan mata siswa.103
b) Meminta siswa untuk meminjamkan alat tulis
Kehidupan di dalam kelas antara satu siswa dengan siswa lainnyatentunya saling membutuhkan satu sama lain; Seperti dalam meminjamkan alat
100 Hasil observasi tanggal 12 Mei 2004, di kelas IIB101 Ibid 102 Hasil Observasi tanggal 11 Mei 2004, di kelas IIA103 Wawancara dengan Ibu Tri tanggal 27 April 2004 dan Ibu Watiah tanggal 3 Mei 2004
tulis-menulis, hal yang demikian perlu ditekankan pada siswa untuk saling tolong-menolong. Seperti halnya apabila ada siswa yang tidak membawa pensil berwarna, guru biasanya meminta kepada siswa yang mempunya pensil berwarna untuk meminjamkannya pada temannya yang membutuhkan.104
7) Memiliki tata krama sosial
Tata krama sosial merupakan ketrampilamsosial yang diperhatikan guru. Apalagi munculperilaku-perilaku siswa yang tidak sesuai dengannorma-norma sosial, guru langsung menegur danmemperingatkan siswa yang bersangkutan agar tidakmengulangi perbuatannya lagi. Sebagai contohketika guru menjumpai ada siswa yang menyerahkanbuku tulis kepada gurunya tersebut dengan tangankirinya. Secara spontan guru biasanya menegurseketika itu, dengan tindakan guru tidak maumenerima buku tulis itu. Menanggapi teguran guru,siswa tersebut langsung menarik tangan kirinya danmemajukan tangan kananya. Ia mengerti bahwamenerima segala sesuatu dengan tangan kiri yangdipandang tidak sopan secara sosial.105
Pada situasi yang lain, guru menjumpai siswayang terlambat dan langsung masuk ke kelas tanpamengucapka salam terlebih dahulu, maka gurumenegurnya dengan mengatakan:
“Nazam…ayo keluar!, coba kamu ulangi lagi bagaimana cara masuk ke kelas dengan baik”106
Setelah mendapatkan intruksi dari guru, siswatersebut menuruti perintah gurunya dan langsungmengulangi tata cara masuk ke kelas dengan sopan-santun.
Dua peristiwa di atas secara eksplisitmenunjukkan bahwa tata krama sosial adalah nilaiyang sangat yang diperhatikan guru kepadasiswanya.
104 Hasil observasi tanggal 15 Mei 2004, di kelaas IIA105 Hasil observasi 12 Mei 2004, di kelaas IIA106 Hasil observasi tanggal 14 Mei 2004
3. Ketrampilan Guru Melatih Kecerdasan Emosional di
Kelas III
a. Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapi
guru
1) Pengelompokan sosial dan kecemburuan terhadap
lawan jenis
Masalah-masalah emosional siswa yang dihadapiguru pada masing-masing jenjang pendidikanberbeda-beda sesuai dengan pertambahan usia,kematangan dan perkembangan intelektual siswa.Selain itu ada kecenderunagn terjadinya dominasisalah satu emosi atas emosi lainnya pada jenjangtertentu. Tetapi selanjutnya dominasi emositersebut digantikan dominasi emosi lainnya.
Demikian halnya di kelas III, masalahemosional yang menonjol adalah meningkatnyasolidaritas siswa terhadap kelompoknya yangdidasarkan pada kesamaan jenis kelamin. Gejala inidapat dilihat dari keengganan mereka untukberpisah tempat duduk dari teman akrabnya.
“Ada anak yang tidak cocok dengan kehadiran teman lainya, tapi mereka harus menerima berbagi bersama dan mau tidak mau dia tidakboleh memilih teman sebangkunya semaunya sendiri, dalam hal ini harus ada persamaan antar teman satu dengan teman lainnya. Kalau ada yang merasa tiak cocok saya tekankan pada mereka untuk menepisnya dan tidak boleh memilih salah satu”107
Pada saat yang sama, kecenderungan tersebutjuga diikuti dengan munculnya rasa cemburuterhadap lawan jenis karena di pandang mendapatkanperlakuan istimewa dari guru. Sebagai contohnya;
107 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah, selaku guru kelas IIIA SD Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta, tanggal 4 Mei 2004
ketika guru menyajikan mata pelajaran bahasaIndonesia yang kemudian diisi dengan latihanmenyanyi maju ke muka kelas dengan menggunakanwireless. Ada sekelompok siswa yang berantusias untukunjuk kebolehannya dalam menyanyi, mereka menyanyisecara berkelompok dan ada yang sendiri. Tetapidari semua rangkaian acara tersebut yang mencobauji kebolehan dalam menyanyi hanya siswa puterasaja dan siswa puteri hanya diam dan menyaksikanteman puteranya bernyanyi, mereka enggan menyanyimeskipun guru sudah membujuknya. Melihat situasiseperti ini guru tidak mengambil tindakan yanginisiatif untuk membujuk siswa puteri agar maubernyanyi.108
Dari contoh tersebut di atas siswa puterimerasa kelompoknya sesama puterinya dikalahkanoleh kelompok putera, sehingga kelompok puterilebih menerima kekalahannya dengan diam danmemgambil tindakan untuk tidak menyanyi di depankelas.
2) Ketidakdisiplinan
Beberapa bentuk perilaku indisipliner yangdilakukan siswa antara lain:a) Melanggar tata-tertib dan perintah guru
Hal ini diwujudkan dengan cara berjalan-jalan di dalam kelas dalam prosese belajar-mengajar berlangsung, bersiul-siul dan memukul-mukulmeja, menggangu suasana kelas, secara tidak langsung perbautan tersebut juga menyerang otoritas dan kewibawaan guru109.
b) Melalaikan tugas
Siswa sering terlambat mengerjakan tugas, tidak bersedia maju ke depan apabila diminta guru, tidak konsentrasi dalm pelajaran: sering melamun dan tidak mengerjakan tugas, biasanya dipicu oleh keadaan yang dibawa dari rumah. Berikut ini kutipan wawancara dengan guru kelas IIIA:
“Di kelas yang saya pegang ini, dulu pertama awal masuk kelas tiga ada ada tiga siswa yang bermasalah; yang pertama bernama Jenny, Jenny ini orang tuanya tidak rukun, di kelas ia sering melamun dan susah memahami pelajaran. Gejala ini seringkali muncul setiap ada
108Hasil observasi tanggal 15 Mei 2004, di kelas IIIA109 Hasil observasi tanggal 14 Mei 2004, di kelas IIIA
permasalahan dari rumahnya, maka untuk membantunya kembali bersemangat dalam pelajaran saya berikan dia tugas tambahan disamping itu juga saya beritahukan pada orang tuanya dalam pertemuan bulanan dengan orang tua siswa dan setiap gejala tersebut muncul seperti bermalas-malasan di meja belajar saya dekati dia dan saya beri nasihat. Kemudian si Hanum, kalauHanum permasalahnnya samaseperti Jenny dan cara melakukan pendekatannya pun sama seperti Jenny. Kedua siswa ini saya perhatikan pemahaman tentang ajaran agama masih sangat kurang, seperti tidak bisa mengaji karena keadaankelurga yang kurng begitu menpehatikan masalah agama. Sehingga dalam hal ini saya berikan mereka dengan pendekatan agama; sepertidengan nasihat bahwa “kalau kamu tidak bia mengaji, maka apabila sudah menjadi mayat dan kubur di liang lahatnya gelap nggak ada cahayanya makanya ngaji ya!” Sedangkan untuk Sanny masalahnya adalah ia punya ibu tiri yang tidak memperhatikannya, sehingga ia menjadi anak pemalas dan kurang berkonsentrasi dalam belajar, maka untuk menyelesaikannya pun sama dengan kedua siswa tadi. Selanjutnya untuk ketiga siswa ini saya letakkan meja belajarnya paling depan dengan pertimbangan pusat perhatian mereka terfokuskan pada pelajaran yang saya sampaikan di samping itu juga agar perhatian pada mreka lebih terkontrol. Demikian juga untuk memotivasi mereka saya menempatkan siswa yang pintar untuk menemani mereka belajar dan bisa meniru siswa yang pintar tersebut. Kalau saya temptkan mereka di belakang cenderung ramai dan tidak terkonsentrasi. Alhamdulillah sekarang mereka bertiga ada perubahanyang menonjol pada kenaikkan nilai yang mereka peroleh.”110
Penyebab lainnya dari siswa yang suka melalaikan tugas adalah dari adanya rasa tidak berminat maupun tertarik dari mata pelajaran tertentu, seperti pelajaran bahasa Indonesia dan PPKN. Mereka beranggapan bahwa kedua mata pelajaran tersebut membosankan dan tidak menantang, sehingga yang membuatnya sering melalaikan tugasnya, sedangkan mata pelajaran yang mereka meresa tertantang dan tertarik adalah mata pelajaranyang bersifat eksak; seperti pelajaran matematika dan IPA. Hal ini diakui oleh guru kelas IIIB:
“ Mereka juga terkadang malas mengerjakan PR, biasanya mereka tidak suka pada mata pelajaran yang sifatnya hafalan seperti PPKN dan bahasa Indonesia, mereka kurang meresponi dan kurang semngat dan nilainya pun jelek”111
Terkait dengan masalah ini, menurut guru; kebiasaan siswa yang melalaikan tugasnya merupakan indikator yang digunakan untuk mengidentifikasikan apakah siswa memiliki masalah emosional atau tidak. Selain indikator tersebut guru juga memperhatikan gejala-gejala yang tampak dalam perilaku siswa.
3) Perilaku asosial
Perilaku asosial siswa biasanya ditandaidengan adanya pertengkaran antar siswa, di mana
110 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004 111 Hasi wawancara dengan Bp. Budiono, selaku guru kelas IIIB SD Muhammadiyah Suronatan Yogyaakarta, tanggal 3 Mei 2004
pertengkaran ini dipicu oleh kebiasaan siswa yangsuka menggoda temannya satu sama lain; sepertiberkelahi dan kejahilan siswa putera yang sukamenggoda siswa puteri dengan membuka jilbabnya.
“Dalam hubungan dengan temannya, terkadang yang suka jahil dan yang berbuat nakal itu siswa putera, pernah ada yang iseng membuka jilbabnya siswa puteri dan si siswa puteri tidak mau meneriamaperlakuan temannya itu dan jadi marah”.112
b. Nilai-Nilai dan Cara-Cara Guru Melatih
Kecerdasan Emosional Siswa
Dalam menghadapi pelbagai masalah emosional siswa tersebut di atas,ada beberapa nilai keceradasan emosional dan langkah-langkah yang ditempuh guru yaitu:
1) Kedisiplinan
Perilaku-perilaku indisipliner siswa, sepertimelanggar tata tertib kelas, melalaikan tugas dansebagainya dihadapi guru dengan melatih nilai-nilai kedisiplinan denagn cara-cara sebagaiberikut:a) Menegur siswa
Cara tercepat yang selalu digunakan guru dalam menangani kedisiplinan atau kenakalan siswa adalah dengan memberikan teguran Di dalam kondisi kelas ramai, guru mengatakan:
“Anak-anak ayo…duduk di tempat duduk kalian masing-masing!”113
Walaupun dapat mengatasi situasi dengan segera, namun teguran tidak membawa perubahan yang dapat lama. Menurut situasi yang demikian tidak dapat berlangsung lama dan selang beberapa menit kemudian siswa ramai kembali. Keadaan seperti ini dianggapnya wajar oleh guru dengan mempertimbangkan tingkat usia dan perkemabangan emosional siswa yang belummatang.
112 Hasi wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004113 Hasil observasi tanggal 13 Mei 2004, di kelas IIIA
b) Mengancam siswa
Guru dalam menghadapi siswa yang tidak mengerjakan PR atau tugas latihan terkadang dengan menggunakan ancaman. Ancaman ini diberikan dengan maksud hanya untuk menakuti siswa dan memotivasii siswa untuk belajar dan tidak mengulangi perbuatannya lagi114.
2) Kejujuran
Memperoleh prestasi belajar yang tinggidengan cara yang jujur dan disamping perbuatanjujur yang lainnya seperti dalam hubungannyadengan guru-gurunya, orang tuanya atau teman-temandi sekitar siswa adalah nilai yang sangatditekankan oleh guru kepada siswa-siswinya. Nilai-nilai yang dilatihkan guru kepada siswa dengancara:a) Memperingatkan siswa
Apabila guru memdapatkan siswa yang berbuat tidak jujur biasanya siswa yang bersangkutan langsung diperingatkan dengan memberikan nasihat-nasihat dan cerita. Pemberian nasihat dan cerita tidak hanya diberikan ketika siswa bermasalah, tapi juga sebagai pengantar sehari-harisebelum mata pelajaran di mulai. Adapun tujuan guru memberikan nasihat dancerita ini agar siswa nantinya dapat belajar dengan semangat, menambah suasana kelas agar lebih segar dan ceria serta yang lebih penting adalah menanamkan nilai keagamaan pada siswa.
“Terkadang saya menggunakan nasihat dan cerita untuk membimbing anak untuk menjauhi perilaku yang tidak jujur, baik itu dilakukan seketika menghadapi anak yang ketahaun tidak berbuat jujur atau pun secara klasikal sebelum jam pelajaran pertama dimulai, biasanya sayaberikan pada mereka nasihat dan cerita-cerita tentang kisah nabi, kematian atau atau cerita tentang kiamat dan konsep surga-neraka.tapi anak-anak kalau sudah di ceritakan, mereka melah tertarik pada cerita dan enggan melanjutkan pada mata pelajaran”115
b) Meminta siswa saling memeriksa tugas dengan
teman sebangkunya
Dalam memberikan tugas latihan atau PR pada siswa, biasanya guru apabila tugasnya sudah di kerjakan oleh siswanya, guru dalam memberikan nilai dengan cara meminta pada siswa supaya hasil kerjanya ditukarkan dengan teman sebangkunya, setelah itu baru dikoreksi secara
114 Hasil observasi tanggal 8 mei 2004, di kelas IIIB115 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004
bersama. Cara yang demikain digunakan guru untuk menghindari perilaku tidak jujur pada siswa.116
3) Motivasi berprestasi
Siswa mempunyai karakter dan cara yangberbeda dalam meraih prestasi, selain tergantungpada dirinya sendiri juga pada orang-orang yangada di sekitarnya. Pendampingan dengan carapendekatan secara individu merupakan salah satuusaha guru dalam memotivasi siswa agarberprestasi. Adapun cara guru dalam pendampinganini biasanya guru langsung mendekati siswa yangyang di nilai kurang prestasinya denganmemberikannya arahan-arahan, pengertian, dannasihat.
“Biasanya kalau saya melihat siswa yang bermalas-malasan, seperti tidur-tiduran di meja dan siswa itu biasanya ramai dan ceria menjadidiam, langsung saya dekati ke mejanya dan langsung menanyakan masalahnya apa dan ada apa di rumah, apakah siswa itu sakit dan sebagainya. Karena saya sudah terbiasa dekat dengan anak-anak, maka si anak biasanya kalau ada masalah langsung cerita sama saya. Setelah anak bercerita tentang masalahnya, saya langsung beri dia nasihat dengan cerita. Biasanya saya memberikan cerita-cerita yang diambil dari kisah 30 kisah teladan atau juga terkadang tentang kisah 25 Rasul dan sebagainya yang penting ada nilai-niali Islamnya.”117
Disamping itu juga guru memberikan pelajarantambahan yang dikerjakan sesudah jam belajar.Pemberian jam pelajaran tambahan ini khususnyadiberikan pada siswa yang kurang terkonsentrasidalam belajar atau terlambat mengerjakan tugas.
“Siswa yang kurang paham terhadap pelajaran yang baru saja diberikan dan siswa yang tidak mau mengerjakan tugas, biasanya saya berikan mereka pelajaran tambahan dan dikerjakan sesudah jam belajar di sekolah sekitar jam sebelas dan mereka di perbolehkan pulang setelahdzuhur”118
4) Membina persahabatan
116 Hasil observasi tanggal 9 Mei 2004, di kelas IIIA 117 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul Arifah tanggal 4 Mei 2004118 Hasil wawancara dengan Bp. Budiono tangagl 4 Mei 2004
Untuk melatih persahabatan antar siswa, gurumenasihati agar siswa memelihara etika pergaulan.Misalnya ketika menghadapi siswa yang berbuatkurang sopan terhadap siswa puteri dengan membukajilbabnya, guru langsung mengambil tindakan denganmenegurnya yang kemudian diberikan peringatandengan nasihat seperti di bawah ini:
“Anak putera dengan anak puteri yang bukan muhrimnya atau sauadranya itu tidak boleh memperlihatkan auratnya termasuk juga rambut.”119
Seperti halnya juga ketika guru menghadapipertengkaran antar siswa, guru berusaha untuktidak membela salah satunya.
“Kalau ada anak yang bertengkar, saya sengaja untuk diam, saya biarkan saja mereka berkelahi. Biasanya kalau saya diamkan mereka malah berhenti sendiri, setelah itu baru saya panggil anak yang bertengkar tadi untuk menjelaskan kejadiannya seperti apa dan bagaimana sampai bisa terjadi dan kemudian saya meminta mereka untuksaling memaafkan dan tentu saja siswa yang bertengkar ini saya masukkan ke buku pelanggaran”120
Disamping tindakan-tindakan yang bersifatinsidental dari guru dalam menanamkan nilai-nilaipersahabatan pada siswa, ada satu cara lagi yangyang dilakukan guru dalam hal ini sepertimemberikan nasihat dan cerita-cerita secaraklasikal di dalam kelas sebelum jam pelajarandimulai. Adapun nasihat yang diberikan gurubiasanya tentang nilai dan ajaran agama Islamseperti tentang konsep persaudaraan yang isinyademikian :
“Umat Islam yang satu dengan umat Islam yang lainnya itu bersaudara, apabila yang satu sakit, maka yang lainnya pun merasakan sakit, untuk itu kalian tidak perlu berantem untuk menyelesaikan suatu masalah kalian”121
119 Haasil wawancara dengan Ibu Nurul tanggal 4 Mei 2004 120 Hasil wawancara dengan Bp. Budiono tanggal 4 Mei 2004121 Wawancara Ibu Nurul, tanggal 4 Mei 2004
B. ANALISIS
Sebagaimana telah disinggung dalam bab pertama
yang dimaksud melatih kecerdasan emosional siswa di
SD Muhammadiyah Suronatan tidak dilakukan secara dan
terencana serta terprogram, melainkan melatih
kecerdasan emosioanl di sini dilakukan secara
terintegrasi sejalan dengan proses pembelajaran di
dalam kelas. Hal ini dikarenakan SD Muhammadiyah
Suronatan adalah salah satu institusi pendidikan yang
Islami, maka secara tidak langsung di dalam proses
pembelajaran akan terciptanya nilai-nilai Islam yang
di tanamkan oleh institusi kepada anak-anak didiknya.
Dengan demikian, dalam proses belajar-mengajar
tentunya akan tersirat adanya upaya guru dalam
melatih kecerdasan emosioanl siswa dengan berpijak
pada nilai-nilai, ajaran dan norma-norma Islam.
Dimana dalam salah satu ajaran tentang pergaulan
antar manusia untuk tidak saling menyakiti.
Rasulullah Saw bersabda:
ى عن0 ن�� رة� ا� 'Zت ى هر ة اللة رض� ال عن� �ال:ق �ول ق لم اللة رسلمس لعم:ا� و ص ج� لم ا�ة المس وي� ج� ة ولآ لآت' ي� كد� ولآ ئ'ة.كلل د� خ� لم ت'لم على المسرام المس ة خ وي ومالة عرض� �ق لي� ة.ا�ا وذم ب� ههي�حس .من0 ت� ري�ر ام ق�ر ان0 الس� حي� ت'
اة ج� ي( المسلم.)رواة ا� رمد� ت�"Seorang muslim adalah saudara muslim yang
lain tidak boleh menghianatinya, membohonginya dantidak boleh menghinanya. Setiap muslim terhadapmuslim yang lain haram kehormatannya, harta dan
darahnya. Takwa ini ada di sini (dihati). Seorangcukup berbuat keburukan dengan menghinasaudaranya sesama muslim.” (Tirmidzi)122
Di dalam sabda Rasul tersebut sebagai sesama
manusia untuk saling menghormati dan dilarang untuk
menyakiti satu sama lain. Dari konsep tentang
persaudaraan ini terkandung makna kesadaran manusia
untuk saling berinteraksi dengan secara simpati dan
empati yaitu untuk tidak saling menyakiti.
Untuk itulah di dalam pembahasan ini akan diulas
data yang diperoleh dari lapangan dengan
mempertautkan teori-teori yang relevan, sehingga pada
gilirannya akan terlihat adanya kekurangan dan
kelebihan guru dalam melatih kecerdasan emosional
siswanya.122 Moh. Zuhri Dipl-Tafi dkk, Tarjamah Sunan at-Tirmidzi, (Semarang; as- Asyifa, 1992), hlm. 455
1. Ketrampilan Guru Melatih Kedisiplinan Siswa
a) Penyebab ketidakdisiplinan siswa
Menurut guru, penyebab ketidakdisiplinan siswa yang diwujudkan dalam bentuk keramain di dalam kelas, suka bermain-main dan sebagainya, disebabkan karena siswa masih terbawa suasana di taman kanak-kanak, pandangan ini bisa dibenarkan karena umumnya di taman kanak-kanak, guru masih sangat toleran terhadp perilaku-perilaku siswa yang menunjukkan kenakalan, seperti berteriak-teriak, berlari-lari dan bermain-main bersama teman-temannya, dan menganggap hal tersebut wajar dalam perkembangan pribadi mereka.
Menurut Jan Prasetyo, sebagimana dikutip Sinta Ratnawati, pendekatan guru yang demikian berangkat dari hakekat play group dan taman kanak-kanak itu sendiri yang sebenarnya untuk mempersiapkan kematangan afeksi-sosial anak dalam mengahadapi kehidupan di luar lingkungan keluarga.123
Kalaupun ada praktek pengajaran yang dilakukan guru menyangkut penguasaan materi secara kognitif, hal tersebut hanya menyentuh kemampuan tingkat dasar. Siswa hanya diajarkan mengeja huruf, membaca kata-kata atau kalimat pendek, menuliskan huruf atau angka, mewarnai, menggambar dan melakukan penjumlahan sederhana. Tetapi ketika mereka memasuki jenjang pendidikan dasar, suasana yang mereka jumpai bertolak belakang dengan suasana jenjang sebelumnya.
123 Sinta Ratnawati, Kelurga kunci sukses Anak, (Jakarta: Kompas, 2000),hlm. 63
Demikian juga di sekolah dasar mereka harus
mentaati peraturan sekolah yang diterapkan secara
ketat dan harus mengerjakan pekerjaaan rumah (PR),
yang bagi kebanyakan siswa merupakan beban
tersendiri. Apabila kenyataan ini diikuti dengan
pengelolaan kelas guru banyak menerapkan hukuman,
ancaman dan kritik yang berlebihan, maka minat
siswa terhadap aktivitas belajarnya bisa pudar
sama sekali.
Menghadapi masalah ini seharusnya guru tidak
menyimpulkan bahwa siswa yang masih suka bermain-
main dan tidak disiplin otomatis nakal. Kesukaan
siswa untuk bermain-main belum tentu berkemampuan
rendah, sebaliknya kemungkinan menyimpan potensi
yang sangat besar namun tidak teraktualisasikan
secara memadai karena berbagai kendala.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, bermain
merupakan aktivitas yang sangat disukai anak-anak
yang perkembangan pribadinya berlangsung dengan
baik. Permainan justru membantu anak-anak
mengembangkan ketrampilan sosialnya. Lewat
permainan, mereka mengerti aturan sosial, memahami
perasaan orang lain, dan mampu membangun kerja
sama dengan teman sebayanya. Anak-anak yang tidak
suka bermain dan lebih memilih untuk menyendiri
justru dicurigai mengalami hambatan dalam
perkembangan sosialnya.124
Oleh karena itu, guru harus tanggap terhadap
kecenderungan ini dan mampu memilih metode yang
tepat dalam mengantarkan anak memasuki masa
transisinya dari taman kanak-kanak ke sekolah
dasar.
Berangkat dari pendapatnya Elizabeth B.
Hurlock, menurut peneliti sekiranya hal tersebut
sudah di realiassikan oleh guru untuk mengatasi
masa transisi siswa dari Tk ke SD dengan
menggunakan metode-metode seperti; mengelilingi
lingkungan sekolah dan memberikan permainan-
124 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 323.
permainan seperti di TK (permainan bongkar pasang
huruf-huruf balok dan permainan dalam bentuk
gambar yang siap diwarnai)
Sebagaimana menurut pendapatnya Elizabeth B.
Hurlock bahwa bermain adalah aktivitas dan masanya
anak-anak dalam kehidupannya. Begitu pula dalam
ajaran Islam tidak pernah melarang anak-anak untuk
bermain, justru Islam sangat menghargai bahkan
mengajarkan anak-anak untuk bermain.
Rasulullah bersabda:
ى' لة كان0 من0 صاب� صب� ت� لي' ة اي�ن0 )رواة لة ق� وي� (عساكر واي�ن0 اي�“Barang siapa yang memiliki seorang anak
kecil, maka hendaknya dia bergaul dengan diasesuai dengan akalnya”125
Selain kondisi transisional di atas, faktor
lain yang juga mempengaruhi kedisiplinan anak
adalah pola asuh orang tua. Orang tua yang
permisif, serba memperbolehkan anaknya berbuat
125 Jauddah M. Awwad, Mendidik Secara Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 16
apapun, mengakibatkan anak tidak terlatih
mengendalikan dirinya. Akibatnya, mereka mengalami
kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sekolah
yang diatur secara tertib.
Orang tua dengan model penerapan disiplin
seperti itulah yang percaya bahwa membesarkan anak
sama dengan memberikan kasih sayang yang tiada
akhir dan tanpa syarat. Mereka beranggapan dengan
cara ini dapat meningkatkan rasa penghormatan diri
anak, dan menganggap disiplin sebagai sesuatu yang
dingin dan keras. Padahal pemberian model seperti
inilah yang nantinya akan merusak dan
membingungkan anak.126
b. Cara melatih kedisiplinan siswa
Untuk melatih kedisiplinan siswa, pada
umumnya guru disamping menerapkan cara-cara yang
sudah baku dan cara yang telah dimodifikasi dengan
cara Islami dengan memberikan nasihat-nasihat dan
126 Darlene Powell Hopson, Ph. D & Derek S. Hopson, Ph. D, Menuju Keluarga Kompak, 8 Prinsip Praktis MenjadiOrang tua yang Sukses, (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 163
pemberian cerita-cerita yang diadopsi dari ajaran
di dalam Al-Quran dan hadis Nabi SAW Sedangkan
cara-cara yang bakupun masih banyak yang mereka
gunakan, seperti menegur, mengancam akan
memberitahukan perilaku siswa pada orang tua,
menghukum siswa, memberi hadiah (reward), dan
meminta siswa mewarnai gambar di buku pelajaran.
Dalam menerapkan hukuman mereka lebih condong
dengan menggunakan pendekatan positif, seperti
meminta siswa untuk mengerjakan tugas soal-soal
latihan, meminta siswa untuk menghafalkan doa-doa
pendek dan ayat-ayat pendek (juz’ama), serta
meminta siswa mengerjakan shalat dhuha.
Sedangkan hukuman dengan pendekatan negatif
jarang mereka gunakan, meskipun dalam lapangan
masih ada yang menggunakan pendekatan ini ada
satu atau dua guru saja. Hukuman dengan pendekatan
ini seperti halnya meminta siswa yang melanggar
peraturan sekolah secara berulang-ulang untuk
berdiri di muka kelas, menyapu atau dijewer
telinganya. Hukuman negatif ini mereka terapkan
pada siswa kelas II dan kelas III, dengan
pertimbangan menurut guru yang menerapkan hukuman
ini, merasa kalau seumur anak di kelas II dan
kelas III sudah matang kondisi kejiwaan dan
intelektualitasnya, sehingga mereka tidak khawatir
dengan pemberlakuan hukuman tersebut.
Lainhalnya dengan guru yang menerapkan
hukuman dengan pendekatan positif, mereka lebih
mempertimbangkan pada aspek kejiwaan siswa yang
dikhawatirkan nantinya akan melemahkan kondisi
mental anak dan ditakutkan nantinya siswa akan
mempunyai persepsi yang tidak baik tentang gurunya
yang identik dengan kekerasan.
Oleh karena masalah ketidakdisiplinan siswa
dominan pada setiap jenjang. Berikut ini akan
diulas cara guru dalam melatih sikap disipliner
pada siswa.
1) Menegur siswa
Diantara cara-cara mendisiplinkan siswa, teguran merupakan cara yang seringkali digunakan guru. Cara ini memang dapat segera menghentikan
tingkah laku siswa yang tidak dikehendaki guru. Misalnya dengan mengatakan “Ayo, jangan ribut ya…, duduk yang rapi ditempat kalian masing-masing!”. Umumnya siswa langsung merespon teguran tersebut. Tetapi dalam waktu yang tidak lama, mereka bertingkah laku sepeti semula.
Hal ini terjadi karena taguran guru kurang spesifik mengarah pada perilaku siswa yang tidak diinginkannya. Guru cenderung memerintah secara umum, sehingga siswa tidak memahami kesalahannya secara jelas. Seharusnya ketika menegur, guru dapat menyampaikan secara tegas, singkat serta mengungkapkan perasaan ketidaksukannya terhadap perilaku siswa. Misalnya dengan mengatakan “ Saya kecewa karena kalian masih mengobrol, padahal sudah dua kali ibu peringatkan!”. Dengan berkata semacam itu, siswa dapat belajar mengerti perasaan guru dan memhami kesalahannya, sehingga diharapkan tidak akan mengulanginya lagi.
2) Mengancam
Cara ini sebenarnya sudah mendapatkan kritik dari pendidik dan psikolog, namun kenyataannya sering digunakan guru. Ketika teguran tidak berhasil dalam memperbaiki perilaku siswa, guru mengancam siswa dengan mengatakan “Faizir… kalau kamu masih nakal terus, nanti saya beritahu sama ibumu!”. Dangan ancaman seperti ini, guru telah membangunsteorotip tentang orang tua siswa sebagai figur yang menakutkan dan tidak mengerti perasan mereka.
Lebih jauh ancaman memberitahuakan pesan kepada siswa bahwa guru tidak menghargai kebutuhan meraka, sehingg membuat siswa merasa gelisah dan tertekan. Sebagaimana telah dijelaskan didalam Al-Quran bahwa salah satu sifat manusia yang berkeluh-kesah apabila mendapatkan cobaan. Firman Allah dalam Quran surat al-Ma’arij ayat 19-23:
ن0 سان0 ا ي� لق� الآ ا19هلوع) ج� ذ� ر مسة ( ا وعا) الس� ر� ا20خ� ذ� مسة ( وار ي' وعا الخ� لآ مي� ) ا ن0 ن220لمصلي' 'Zي هم هم ( الد� ) صلآي� مون0 (23ذائ�
“Sesunguhnya manusia diciptakan keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpakesusahan, ia berkeluh-kesah, dan apabila ia
mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecualiorang-orang yang mengerajakan shalat, yangtetap berkesinambungan mengerjakan
shalatnya”127
Mendidik anak dengan ancaman sangatlah tidak tepat apabila diterapka pada anak seusia yang dini, sebab Al- Quran melarang bagi para orang tua dan pendidik supaya mengajarkan anaknya dengan lembut dan kasih-
127 Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: katoda, 1992), hlm 974
sayang. Sebagaimana dalam Al-Quran surat Luqman ayat 12 sebagai berikut:
ذ� ال وا مان0 ق� ة لق� ن� �µت ة وهو لآ عظ� ى' ي' ب� ي¸ رك� لآ ب¹ س� للة ي� ن0 ئ� رك� ا لم الس� م لظ� ي' (12)عظ�
“ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesunguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.128
Di dalam ayat tersbut di atas dalam menyampaikan pesan, Luqman al-Hakimmemanggil anaknya dengan panggilan yang penuh kasih sayang: “Ya Bunayya (Wahai anakku yang masih lugu)”. Panggilan tersebut sangat sesuai untukanak yang pada fase awal kehidupan mereka.
Ayat tersebut juga mengisyaratkan bagi para pendidik untuk tidak menggunakan pelabelan pada anak yang berperilaku kurang baik, hal ini akan berakibat buruk pada anak karena dapat merusak harga diri dan konsep diri mereka.
3) Menghukum siswa
Hukuman yang biasanya digunakan guru pada umumya adalah meminta siswa untuk mengerjakan tugas, menghafalkan doa-doa dan surat-surat pendek (juz’ama) ataupun meminta siswa untuk mengerjakan shalat dhuha. Sebagiandari guru-guru ini masih ada yang menggunakan hukuman secara fisik, seperti menyuruh siswa berdiri di depan kelas selama 10 menit, meminta siswa menyapu halaman, ataupun menjewer telinga siswa.
Cara-cara ini boleh saja diterapkan guru, karena dengan menerima hukuman, siswa dapat belajar dari kesalahannya dan mengerti bahwa tingkah lakunya tidak diterima guru. Akan tetapi hendaknya hukuman hendaknya dipilih sebagai alternatif terakhir, setelah guru memakai cara yang lain yang lebih bisa tolerir dan tidak membahayakan kondisi mental anak. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW:
ولآذكم مرو لآة� ا�الص ا� وهم ئ� �ي ت�� ع ا� ي� ن0 س ي' ي� ر س وهم واض� �ها ي ا� وهم علي' �ي ر ات�� عس�
. )رواة ن0 ي' و سي� ي� ( ذوذ ا� ي' والي�رمد�
128 Ibid, hlm. 654
“ Perintahkanlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika berumur tujuhtahun dan pukullah mereka (jika masih meninggalkan) kalau sudah berumursepuluh tahun.”( HR. Abu Daud dan Tirmidzi)129
Satu hal yang perlu menjadi catatan penting untuk para pendidik dalam menerapkan hukuman sebaiknya memperhatikan masalah konsistensi. Bersikap konsisten adalah cara yang terbaik untuk membuat anak mengetahui bahwa guru bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka katakan. Penerapan aturan secara konsisten dan hukuman yang wajar bagi siswa yang melanggar aturannya, akan memberikan efek lebih kuat pada diri anak dalam jangka waktu yang panjang, dibandingkan dengan sikap inkonsistensi yang di sertai hukuman berat.
Di samping menerapkan hukuman pada anak, sebelum diterapkannya hukuman ini siswa diajak oleh guru untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang diperbuat siswa itu terlebih dahulu dimusyawarahkan secara bersama. Jadi dalam usia yang dini ini siswa sudah diajak untuk menentukan keputusan.
Metode memecahkan masalah ini secara tidak langsung akan melatih anak untuk dapat memutuskan masalah secara sistematis dan dengan cara yang logis. Bila anak terlatih dengan pemecahan semacam ini, kelak mereka akan mudah mengenal pemecahan masalah yang dihadapi.
Memecahakan suatu masalah bersama siswa dalam hal mengambil keputusan konsekunsi yang akan diterima siswa bila siswa berperilaku yang melanggar tata tertib, berarti merupakan suatu contoh yang patut ditiruoleh para pendidik yang lainnya, sebab dalam hal ini guru menyadari akan eksistensi siswa yang mempunyai hak untuk bersuara atau mengemukakan suatu pendapat.
Sehingga dapat dikatakan dalam hal ini guru berusaha untuk menghindarisikap kesewenang-wenengan terhadap siswanya, untuk itulah segala sesuatunya yang berhubungan dengan siswa, baik itu bersangkutan dengan penetapan hukuman atau yang lainnya di putuskan bersama siswa dengan cara menjelaskan secara langsung dan sederhana apa yang menjadi keinginan dan harapan guru terhadap siswa, sehingga disini siswa tidak kehilangan haknya untuk bersuara.
Berkaitan dengan masalah tersebut di atas dalam Al-Quran diterangkan secara tersirat adanya sikap empati bahwa untuk menjauhi sikap kesewenang-wenangan dan dilarang menghardik atau dengan kata lain dilarang membentak dalam mendidik anak.
Allah SWT berfirman dalam Quran surat ad-
Dluha ayat 9-10:
م ي' ي� ماالي' ا� لآ ق� هر ق� ف� ل ي� ماالساب� لآ وا� هر) ق� ي� (10-9ت}
129 Muhyidin Abdul Hamid, Op. Cit, hlm. 196
"Adapun terhadap anak yatim, makajanganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Danterhadap orang yang minta-minta janganlah kamumenghardiknya."130
Namun perlu ditegaskan di sini bahwa antara hukuman dengan konskuensi itu berbeda dalam hal antara lain; pertama, konsekuensi membuat anak belajar mengenai sesuatu, sedangkan hukuman jarang sekali memberi pelajaran; kedua, efek samping dari pemberlakuan hukuman adalah anak menjadi pendedam dan sikapnya kasar,sehingga akan menimbulkan hukuman lain, sebaliknya konsekuensi mengajarkan hal baik kepada anak karena menunjukkan perilaku yang benar sebagaimana yang guru inginkan, dengan cara yang konkrit yang mudah dipahami anak; ketiga, dalam menyampaikan dengan cara hukuman biasanya dalam kondisi marah, sebaliknya apabila yang digunakan itu adalah konsekuensi dengan menunjukan rasa sedih danempati, sehingga konsekuensi yang diberikan menunjukkan bahwa tanggung jawab ada di pundak si anak dan ia tidak bisa berdebat atas konsekuensiyang diterimanya. Hasilnya anak akan belajar mengenai bagaimana harus bersikap baik karena jika ia bertingkah, maka ia sendiri yang akan mengalami kesulitan.131
Sebagai catatan tambahan dalam penerapan hukuman yang tentunya berbeda dengan konsekuensi di sini dimaksudkan agar guru lebih baik memilih konskuensi sebagai alternatif pertama dalam menangani masalah perilaku siswa. Sebab bagi anak, konsekuensi terasa seperti hukuman bila tidak disertai dengan persaan empati.
Sebagaimana dalam sabda nabi SAW memberikan pesan agar dapat mengendalikan marah ketika mengahadapi perilaku anak agar tetap tenang sebagai bentuk dalam mengelola emosi diri.
ى عن0 ن�� رة� ا� 'Zت ياللة هر ي' �ن0 رص ة,ا� �ول عن لى اللة رس ة للة ا ص لم علن' س وس ال: لن' �ق
د دئ�' �رعة� الساالص ما ئ� ئ� د ا دئ�' �ي' الس د� ك� المل سة ئ' ف� .)رواة ي� ب� �ض دالع� اري' عي� �خ و ت�
مسلم(130 Al-Quran dan Terjemahannya, Op. Cit, hlm.1070131 Ray Levy, Ph. D. & Bill O`Honlon, M. S, L. M. F. T, bersama Taylor Norris Goode, Cara Mmbesarkan Anak yang Suka Melawan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 131-132
“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda: "bukankah orang yang kuat itu karena banyak berkelahi, hanyalah orang yang kuat itu orang yang dapat mengusai nafsunya ketika marah"”.(HR. Bukhari dan Muslim)132
Dari hadits di atas mengisyaratkan bahwa dalam memberikan konsekuensi pada anak tidak dalam keadaan marah, sebab memberikan konsekuensi sesunguhnya mendidik bukannya memaksa, sehingga seorang pendidik harus menyadari apa yang dilakukan.
4) Mengalihkan Perhatian Siswa
Untuk menghindari kemungkinan siswa membuat keributan di dalam kelas, guru meminta siswa yang sudah menyelesaikan tugasnya untuk mewarnai gambar atau mengisi tugas-tugas yang secara sengaja oleh guru dengan cara mengkopi tugas itu dan diberikannya kepada anak yang cenderung ramai bila sudah mengerjakan tugas. Tugas-tugas yang dikopi ini yang oleh guru dinamakan dengan pengayaan.
Cara yang demikian patut diuji, karena dengan cara tersebut guru dapat mengantisipasi situasi yang tidak diharapkan sekaligus mengalihkan pehatian siswa dari kegiatan yang cenderung membosankan kepada kegiatanyang disukai mereka . Cara seperti itu juga merupakan sarana untuk pelepasan emosi siswa. Dengan cara pelepasan emosi biasanya menadapatkan manfaat yang sehat, di mana pada saat anak yang sedang marah, mereka tanpa disadari membutuhkan alat untuk pelepasan emosinya,sehinggga apabila pelepasannya tidak pada tempatnya jusrtu akan membuatsuasana kelas menjadi semakin ramai dan gaduh.
Tapi apabila pelepasan ini ditempatkan pada tempatnya akan menghasilkankemarahan menjadi akal sehat, seperti dengan menulis puisi atau menggambar. Psikiater Italia Roberto Assagioli mengatakan bahwa menulisadalah katarsis yang hebat.133
Selain dengan cara tersebut, untuk mengalihkan perhatian dan kebosanan siswa, guru juga dapat mengajak siswa menggerakkan badannya, menarik nafas yang dalam, dan memainkan pemainan yang ringan.
5) Memberi hadiah atau ganjaran
Metode ini berangkat dari prinsip yang sangat populer, yaitu jika guru hendak memperbesar atau mengembangkan suatu tingkah laku yang positif, maka diberi sesuatu yang menyenangkan sesudah perbuatan yang dikehendaaki itu dilaksanakanya.
Prinsip ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang mengisyaratkan adanya urgensi ganjaran dalam mendukung perilaku tertentu yang di tuntut untuk dipelajari. Dalam sebuah riwayat Ibnu Majah diartikan:
132 Husein Bahrelz, Kitab al-Jami`ah-Hadist Shahih Bukhari-Muslim, (Surabaya:Karya Utama, 1997), hlm. 240133 Thomas Armstrong, Setiap Anak Cerdas,Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intellegence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.139
“ Berikanlah upah seorang buruh sebelum
kering keringatnya”134
Memberi penghargaan atau imbalan kepada anak yang berperilaku baik yangsesuai dengan keinginan guru adalah sangat penting. Namun, di sini perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan imbalan ini tidak harus dengan imbalan yang berupa materi (uang, permen atau mainan), melainkanyang lebih berharga dari semua itu adalah pujian dan motivasi yang positif bagi siswa yang dapat meningkatkan harga diri dan rasa tanggungjawab siswa. Berkaitan dengan istilah imbalan (reward), Harris Clemes, Ph. D & Reynold Bean, Ed. M, memberikan istilah reward sebagai hal-hal yang dihargai anak atau hal-hal yang dibutuhkan olehnya.135
Pemberian imbalan dalam lapangan, sebagian guru menggunakan dengan pemberian imbalan dalam bentuk non materi yaitu dengan pujian, seperti ketika guru ingin memotivasi siswa untuk meraih prestasi dan semangat dalam belajar. Sebagai contohnya ketika guru meminta siswa untuk maju ke muka kelas untuk membaca buku atau untuk menyanyikan sebuah lagu dalam pelajaran bahasa Indonesia, seketika siswa selesai membacakannya guru tidak segan untuk memberikan pujian dan meminta siswa lainnya untuk memberikan tepuk tangan yang meriah.
Pujian guru terhadap muridnya tersebut dapat membantu percepatan dan kemajuan belajar siswa. Untuk itulah dapat dilihat bahwa mendidik anak dengan ganjaran atau imbalan ini merupakan cara yang efektif bila dibandingkan mendidik anak dengan hukuman (fisik). Hukuman fisik akan menimbulkan pengaruh yang buruk dalam kepribadian seorang murid; yang bisa menyebabkan adanya perasaan rendah diri dan si anak menjadi stres,karena selalu dibawah bayangan hukuman yang menakutkan, terkadang bukannya membuat anak berubah dalam arti positif, tapi berubah ke arah yang lebih buruk.
6) Memberi nasihat
Sebenarnya, metode mendidik anak dengan nasihat tidak hanya diterapkan untuk melatih kedisiplinan, namun pemberian nasihat ini cakupannya lebih luas, yang mana hampir semua guru menggunakan metode nasihat untuk membimbing dan mendidik anak di semua jenjang pendidikan. Dengan tujuan untuk meningkatkan mutu potensi anak, baik akal, emosi, sosial dan spiritual.
Adapun dalam menerapkan metode ini, guru biasanya menggunakan nasihat-nsihat yang merujuk pada ajaran-ajaran moral dalam agam Islam. seperti halnya ketika guru mengajarkan anak untuk bersikap saling menolong dan toleransi sesama temannya. Dalam melatih persahabatan antar siswa ini,
guru mengambil nasihat dalam sabda nabi SAW seperti berikut ini:
134 DR. M. Ustman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, pengantar: Ary Ginanjar Agustian, (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 162 135 Harris Cle mes, Ph. D. & Reynold Bean, Ed. M, Melatih Anak Bertanggung Jawab Petun juk Praktis Bagi Orang Tua dan Guru, (Jalarta: MitraUtama, 2001), hlm. 44
ن0 ال:وهو صلعم اللة رسول ا� ار على ق� ي� ة� المي� كرالصدق� ف� وذ� عق� والي�لة� د والمسي� لي' ا :ا� ي'رمن0 العلي' د خ� د الي' االي' لى, ق� ا السف� ة� هى' العلي' ف� ق� المي�
لى لة� السا هى' والسف� ئ� .
( اري رواة خ� ومسلم ت� ) " Sesungguhnya Rasulullah SAW khutbah di atas mimbar dan
menyebut sedekah dan minta-minta, maka bersabda: "Tangan di atas itu lebih baik dari tangan yang dibawah, tangan yang di atas itu
yang memberi dan yang di bawah yang meminta". (Bukhari dan Muslim136)
Dengan memberikan nasihat dapat membukakan mata anak-anak pada hakikat sesuatu, dan mendorongnya menuju situasi luhur, dan menghiasinya denganakhlak mulia, dan membekalinya dengan prinsip Islam. maka tidak heran, apabila Al-Quran memakai metode ini, yang berbicara pada jiwa dan mengulanginya dalam beberapa tempat dan nasihat seperti dalam Al-Quran surat Luqman dari ayat 12 sampai ayat 19.137
Pemberian nasihat dalam mendidik anak ini yang diterapkan oleh guru merupakan cara yang tepat dan sesuai dengan ukuran usia anak di akhir fase perkembangan anak, yaitu antara umur 6-12 tahun. Di usia ini mereka mulai berfikir logis, kritis, sudah mampu membandingkan apa yangdi rumah dengan yang mereka lihat di luar dan nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan secara absolut, mulai dianggap relatif. Maka dalam hal ini guru diharapkan mampu menjelaskan, memberikan pemahaman yang sesuai dengan tingkat berfikir mereka di usia dini.
7) Memberi cerita
Selain memberikan nasihat, guru juga menggunakan media cerita atau dongeng pada siswa. Guru biasanya mengambil cerita yang diberikan pada siswa diambil dari cerita tentang kisah 25 nabi, 30 kisah teladan, kisah Abu Nawas ataupun kisah yng menceritakan tentang nikmatnya surga dan sengsaranya bila ada di neraka.
Di samping cerita tersebut, terkadang guru memberikan suatu kisah yang dihubungkan dengan fenomena alam dan kehidupan sosial dan akhlak manusia. Seperti pada materi pelajaran IPA (Ilmu Pengetahaun Alam), guru menghubungkannya dengan menceritakan tentang tanda-tanda kiamat
136 Muh. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu' Waal Marjan, terj. Salim Bahresz, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 318 137 Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa`, 1981), hlm. 64-65
yang diambil dari ayat Al-Quran, sedangkan pada pelajaran IPS (Ilmu Pengetahaun Sosial) juga dihubungkan dengan hadits-hadits yang memberi pesan pada konsep hubungan antar manusia (Hablumminnas), dan begitu pulaguru memberikan ajaran tentang perilaku anak yang harus sesuai dengan akhlakul-karimah yang di hubungkannya dengan materi pelajaran PPKN (pedoman pendidikan kewarganegaraan), dan sebagainya.
Metode dengan memberikan cerita seperti tersebut di atas membawa pengaruh antusiasme siswa dalam belajar sekaligus lebih membekas dalam jiwa anak yang membawa pesan moral kehidupan yang pada gilirannya dapatmembentuk kepribadian anak yang lebih matang pada saat dewasanya nanti.
Pengaruh tersebut berjalan seiring dengan kematangan dan emosi anak yang dalam penyampaiannya dengan argumentasi yang logis138.
Sebagaimana dalam firman Allah surat Yusuf ayat 3, yang di dalamnya mengisyaratkan adanya metode pemberian cerita dengan tamsil.
حن0 ص ت� ق� ك� ي� 'ن0 عليحس صص ا� ما الق� ا ئ� ي� وجي' ك� ا� 'لي ا ا د� ن0 ه را� �ن0 الق كن�ب� وا
لة من0 ي� ) لمن0 ف� ن0 لي' اق� .(3الع�
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)-nya adalah temasuk orang-orang yang belum mengetahui” 139
2. Ketrampilan Guru Melatih Kemandirian Siswa
a. Penyebab ketergantungan siswa
Masalah ketergantungan siswa dominan
terjadi di kelas I, Menurut guru, siswa
138 Ibid, hlm. 77139 Al-Quran dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm. 348
biasanya masih terbawa suasana di taman kanak-
kanak, yang ditandai ketergantungan yang
tinggi kepada orang tuanya. Segala aktivitas
hidup mereka, seperti makan, mandi, berangkat
ke sekolah, dan lain sebagainya masih
memerlukan bantuan orang tua. Kebiasaan-
kebisaan inilah yang pada gilirannya
menimbulkan permasalahan ketika mereka berada
di Sekolah Dasar.
Menurut Jan Prasetyo, sebagaimana dikutip
Sinta Ratnawati , ketergantungan anak tidak
terlepas dari pola asuh orang tua yang terlalu
melindungi anak, sehingga tidak memberi
kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan
orang lain. Padahal dalam melatih kemandirian
anak, sejak dini seharusnya orang berhubungan
dengan orang lain.140
Orang tua melatih anak untuk tidak
terlalu terikat kepadanya dan membiasakan
140 Sinta Ratnawati, Op. Cit, hlm. 62
mereka berhubungan dengan orang lain.
Kebiasaan ini akan memudahkan anak beradaptasi
dengan lingkungan sekolahnya, sehingga akan
mengurangi keluhan tentang keengganan belajar.
Sebagai contoh, di Taman Kanak-Kanak, orang
tua masih suka menunggu anaknya di sekolah,
padahal kebiasaan ini membuat anak tergantung
kepada orang tuanya dan dibawanya hingga ke
sekolah dasar.
b. Cara Melatih Kemandirian Siswa
Untuk melatih kemandirian siswa, biasanya
guru memberikan petunjuk kepada siswa tentang
aktivitas-aktivitas yang bisa di lakukan
mereka secara mandiri, terutama pada saat awal
mereka di kelas I. Usaha guru dalam melatih
kemandirian siswa ini didukung dan dibantu
oleh orang tua siswa, dengan melalui media
buku pantaun jadwal aktivitas yang dikerjakan
siswa setiap harinya; seperti jadwal shalat
lima waktu, baca Al-Quran, dan jadwal belajar
yang ditanda tangani oleh orang tua dan setiap
harinya dilaporkan pada guru serta
ditandatangani oleh guru pemegang kelas
masing-masing.
Selain melalui buku pantuan, cara lain
dalam menerapkan aktivitas-aktivitas sehari-
hari yang dapat dilakukan siswa adalah adanya
komunikasi dengan orang tua siswa. Komunikasi
guru dan orang tua siswa ini dapat dilakukan
setiap kali ada kesempatan bertatap muka
dengan orang tua siswa, seperti pada pertemuan
bulanan atau setiap orang tua siswa
mengantarkan anaknya ke sekolah.
Dengan menjalin komunikasi dengan orang
tua siswa ini, guru dapat mengontrol
sejauhmana siswa-siswanya telah melakukan
aktivitas kehidupan mereka secara mandiri,
seperti makan, mandi, berpakain dan
sebagainya, tanpa bantuan orang tua mereka.
Dengan cara ini pula guru dapat memperoleh
informasi yang lebih kaya mengenai siswa-
siswanya.
Hanya saja, cara ini mempersyarat orang
tua agar tidak memanjakan anaknya. Padahal
kebanyakan orang tua masih membiarkan anaknya
tergantung kepadanya. Sebagai contoh, para ibu
menganggap bahwa anak balita belum waktunya
disuruh makan sendiri, karenanya wajar jika
harus disuapi. Menurut Penelope Leach
sebagaimana dikutip Sinta Ratnawati, mengenai
kemampuan anak untuk makan sendiri. Menurutnya
pada usia 8 bulan, anak mulai bisa mengambil
sedikit makanan dan menjilatinya dengan
sendok. Awalnya mungkin makanan tersebut akan
berceceran pada baju, meja, lantai, wajah dan
rambutnya. Tetapi jika orang tua terus
bersabar melatihnya, dalam waktu beberapa
minggu ia dapat melakukanya dengan baik141
141 Ibid, hlm. 67
3. Ketrampilan Guru Mengatasi Kecemasan Siswa dan
Melatih Keberanian Siswa
a. Penyebab kecemasan siswa
Kecemasan adalah emosi negatif yang biasa
terjadi pada anak-anak, terutama ketika mereka
pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah
dasar. Dari data di lapangan ditemukan bahwa
reaksi yang menyertai kecemasan adalah
keinginan anak untuk ditungui oleh orang
tuanya selama di sekolah dan memperhatikan
orang tuanya lewat jendela kelas pada tahap
yang mengkhawatirkan. Kecemasan anak terhadap
sekolah, menurut Cici M. D Kaloh bisa
diwujudkan dalam bentuk stres, muntah-muntah,
sering buang air, dan ganggaun fisik lainnya.142
Pada umumya faktor yang menyebabkan
kecemasan bersekolah pada diri anak adalah
usianya yang masih terlalu dini. Tindakan
orang tua yang menyekolahkan anaknya pada usia
142 Ibid, hlm. 85
dini justru yang akan menimbulkan kecemasan
pada diri anak. Ketidaksiapannya ditinggalkan
orang tua di sekolah dan menghadapi lingkungan
yang masih asing sendirian merupakan
pengalaman yang traumatik bagi sebagian anak.
Akibatnya setiap kali orang tua mereka memaksa
ke sekolah, mereka selalu mencari alasan agar
bisa menghindari ke sekolah, seperti sakit
perut, pusing, bangun kesiangan dan lain
sebagainya. Kalaupun akhirnya mereka terpaksa
berangkat ke sekolah, biasanya mereka
ditunggui orang tuanya selama di sekolah.
Oleh karena itu, menurut Cici M. D Kaloh,
sebagaimana dikutip Sinta Ratnawati, sebaiknya
orang tua memasukkan anaknya ke sekolah ketiak
mereka sudah siap dilepas oarng tuanya dalam
waktu yang terbatas dan sudah mengenal
institusi yang bernama sekolah. Jika tanda-
tanda ini belum ditunjukkan anak, sebaiknya
orang tua tidak boleh memaksa anaknya untuk
bersekolah.143
Tindakan orang tua untuk menyekolahkan
anak pada usia dini diperkenankan sejauh hal
tersebut merupaka keinginan anak itu sendiri.
Ada pun waktu yang tepat untuk menyekolahkan
anak adalah pada saat mereka mulai tertarik
untuk bersekolah yang pada umumnya berlangsung
pada usia 6 samapi 7 tahun.
b. Cara Mengatasi Kecemasan Siswa dan Melatih
Keberanian Siswa
Untuk mengatasi kecemasan siswa dan
melatih keberanian siswa, terutama ketika
mereka petama kali duduk di kelas I, guru
meminta siswa maju ke depan untuk
memperkenalkan dirinya, menyuruh siswa
mengerjakan di papan tulis, dan membantu guru
membagikan buku-buku latihan. Cara ini memang
cukup membantu bagi siswa yang memiliki
143 Ibid, hlm. 85
kepercayaan yang tinggi. Tetapi bagi siswa
yang memiliki kepercayaan dirinya rendah atau
tidak mempunyai pengalaman pra sekolah, cara
yang dilakukan guru justru membuat mereka
merasa canggung dan beruasaha menghindari
permintaan guru.
Untuk mengantisipasi siswa yang memiliki
tingkat kecemasan yang tinggi dan kepercayaan
dirinya yang rendah ketika pertama kalinya di
sekolah guru membuat langkah-langkah sebagai
berikut:
1) Pada hari pertama masuk ke sekolah siswa
tidak langsung diwajibkan untuk menerima
pelajaran, melainkan di hari pertama kalinya
siswa masuk ke sekolah ini diisi dengan
kegiatan orientasi, seperti dengan
mengelilingi lingkungan sekolah dan di hari
ketiganya diisi dengan permainan.
2) Bekerjasama dengan orang tua siswa untuk
tidak menunggui anaknya di sekolah tetapi
dengan menyakinkan anaknya bahwa perpisahan
dengan mereka hanya sementara, dan setelah
pulang sekolah mereka akan mejemputnya di
gerbang sekolah atau bertemu kembali di
rumah. Tetapi sekiranya siswa yang memiliki
tingkat kecemasan yang cukup tinggi
memdapatkan keringan bagi orang tua untuk
menunggui anaknya di sekolah.
3) Merubah komposisi tempat duduk siswa
setiap seminggu sekali dengan secara teratur
dan berurutan secara bergilir.
Akan tetapi, disamping adanya kegiatan
yang dapat mengatasi kecemasan dan melatih
keberanian siswa tersebut di atas, ada
kegiatan orientasi yang dipilih guru, seperti
kegiatan baris-berbaris pada saat pertama
kali siswa masuk ke sekolah dasar ataupun
kegiatan baris-berbaris yang dilakukan setiap
harinya ketika akan masuk ke kelas sebaiknya
dihindari karena membuat siswa kehilangan
semangat dan merasa berhadapan langsung dengan
suasana formal.
4. Ketrampilan Guru Melatih Motivasi Belajar dan
Ketekunan
Siswa
a. Penyebab Rendahnya Motivasi Belajar
Rendahnya motivasi belajar siswa
diwujudkan dalam keengganan mengerjakan tugas
yang diberikan guru tidak berkonsentrasi dan
selalu terlambat dalam mengerjakan tugas.
Akibatnya, siswa yang bersangkutan memperoleh
prestasi belajar yang rendah.
Dasar motivasi pada diri anak menurut
Saphiro sebenarnya adalah keinginannya untuk
menguasai lingkungan yang diwarisinya secara
genetis. Sejak kehadirannya di muka bumi, anak
terlahir dengan keinginan untuk menguasai
lingkungan sekitarnya dengan berguling-guling,
duduk, berdiri, berjalan-jalan, dan berbicara.
Tetapi ketika menginjak usia 7 samapi 8 tahun,
pada saat memasuki sekolah dasar, mereka
merasakan pekerjaan sekolah sebagai beban
tersendiri. Akibatnya, mereka kehilangan
semangat untuk belajar dan menemukan sesuatu.144
Menurut Martin Covington, sebagaimana
dikutip Saphiro, bahwa anak yamg tidak
termotivasi cenderung mengharap keberhasilan
yang seadanya dan mereka hanya menetapkan
sasarannya di tingkat yang rendah pula.
Motivasi diri juga mempengaruhi percaya diri
anak. Apabila motivasi diri anak rendah, maka
kepercayaan diri mereka juga rendah.
Sebaliknya, jika motivasi diri anak tinggi, ia
akan memiliki kepercayan diri yang tinggi dan
mudah dalam menghadapi rintangan.145
144 Lawrence Saphiro, Mengajarkan Emosional Intellegence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 227
145 Ibid, hlm. 230
Sementara data dari lapangan, penyebab
dari rendahnya motivasi siswa dalam belajar
adalah:
1) Suasana emosional yanag diciptakan guru
Kebosanan menyebabkan motivasi belajar
siswa yang menurun drastis. Menurut Elizabeth
B. Hurlock, minat anak terhadap sekolah
cenderung menurun seiring pertambahan usia
dan digantikan dengan rasa bosan dan
ketidaksukaan. Salah satu faktor yang memicu
hal ini adalah suasana emosional yang
diciptakan guru di dalam kelas.
Dari data di lapangan, terlihat bahwa
pola pengajaran yang diterapkan guru
cenderung monoton. Setiap harinya siswa hanya
menjalankan aktivitas pembelajaran yang rutin
dan nyaris tanpa inovasi. Setelah kegiatan
belajar-mengajar dibuka dengan doa. Biasanya
siswa diminta membaca dan memperhatikan
penjelasan guru dan setelah itu siswa diminta
mengerjakan latihan baik yang terdapat
didalam buku pelajaran maupun di papan tulis.
Akhirnya, setelah tugas tersebut selesai
dikerjakan siswa, mereka diminta untuk
mengoreksi dan menyebutkan nilai yang mereka
peroleh. Hal ini berlangsung dari satu
pelajaran ke pelajaran berikutnya, sehingga
membuat siswa mudah mengalami kejenuhan.
2) Kurikulum yang terlalu berat
Kurikulun yang terlalu berat, menurut
Mary Ann Flynn, sebagaimana dikutip Sinta
Ratnawati, ditandai kecenderunag untuk lebih
menekankan cakupan materi daripada pemahaman,
mengorbankan kualitas kerja demi kuantitas
materi, dan pengajaranyna lebih menekankan
pada hafalan daripada kemampuan berfikir dan
inovatif.
Dari ciri-ciri diatas, kurikukum
yang diterapkan guru juga merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan rendahnya
motivasi belajar siswa. Setiap hari siswa
harus menyekesaikan pokok-pokok bahasan yang
sudah ditargetkan guru, yang belum tentu
mereka kuasai sepenuhnya. Selanjutnya
disetiap akhir pelajaran, guru selalu
memberikan Pekerjaan rumah kepada siswa.
Kondisi ini menyebabkan siswa yang semula
bergairah dalam belajar, dapat turun
semangatnya karena terbebani tugas yang
menumpuk.
Dalam konteks ini, seharusnya guru tidak
semata-mata memprioritaskan pada kurikulum
yang ditargetkan, tetapi perlu memperhatikan
minat, kebutuhan, perbedaan serta tingkat
pengusaan siswa terhadap pelajaran.
b. Cara Memotivasi dan Melatih Ketekunan siswa
Untuk memotivasi siswa, ada beberapa
langkah yang telah dilakukan guru, yaitu:
1) Meminta siswa saling mengoreksi dan
menyebutkan nilai yang diperoleh
Cara ini memang dapat memotivasi siswa
agar berprestasi. Akan tetapi, bagi siswa
yang tingkat intelegensinya rendah atau yang
mempunyai kepercayaan dirinya yang rendah,
cara ini justru membuat mereka malu dan
merasa frustasi. Apabila hal tersebut
berlangsung terus-menerus, perasan tersebut
akan berkembang menjadi rendah diri yang akan
merusak konsep dirinya
Secara neurologis, emosi-emosi ekstrim
yang ditimbulkan rasa malu akan mengambil
jalan pintas dengan langsung menuju amigdala
dan menghindari jalur normal ketika menuju
neokorteks, tempat pencatatan informasi dan
tempat penyimpanan ingatan dalam otak.
Akibatnya emosi ekstrem tersebut akan
menimbulkan efek langsung yang berpengaruh
dalam diri anak146
Oleh karena itu, guru perlu berhati-hati
dalam menerapkan cara ini. Ia perlu
mempertimbangkan cara mana yang disukai dan
menghasilkan prestasai tinggi bagi siswa,
serta pelajaran mana yang kurang disukai dan
menghasilkan prestasi rendah bagi siswa.
Terhadap pelajaran pertama, cara ini pantas
dilakukan guru . Namun jika cara ini gagal,
sebaiknya guru menerapkan cara lain yang
dapat membantu motivasi diri siswa., misalnya
dengan memberikan hadiah.
2) Memuji dan memberi tepuk tangan
Dalam memotivasi siswa, sebenarnya guru
sudah melakukan cara ini, tetapi pujian
tersebut cendrung bersifat umum dan tidak
mengarah pada perilaku yang pantas dipuji.
146 Lawrence E. Saphiro, Op. Cit, hlm. 75
Misalnya dengan mengatakan, ‘Pintar”,
“bagus”, dan sebagainya.
Menurut Haim Ginott, sebagaimaan dikutip
Schaefer, pujian yang baik adalah pujian yang
secara spesifik mengarah pada satu tingkah
laku, bersifat deskriptif, dan tidak melebih-
lebihkan.147 Misalnya dengan mengatakan,
“Tulisanmu rapi, tanpa coretan dan seluruh
tandanya benar-benar kamu perhatikan”, dengan
cara ini, selain siswa termotivasi ia juga
mengerti tindakannya yang pantas dipuji guru.
Namun sebagai pedoman yang terpenting
ialah bahwa pujian yang diberikan kepada anak
hanya menyangkut kepada usaha anak untuk
melakukan sesuatu. Pujian diberikan hanya
menyangkut hasil-hasil yang dicapai anak dan
bukan menyangkut pada watak dan kepribadian
anak.
147 Charles Schaefer, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan anak, (Jakarta: Mitra Utama, 1990), hlm. 38-39
Selain pada dua cara tersebut di atas
yang mengarah pada cara guru memotivasi siswa
dalam belajar, ada satu cara lagi yang
terpenting bagi siswa untuk lebih bersemangat
dalam belajar dan berperilaku yang lebih baik.
Cara ini dipandang guru efektif dalam
menangani siswa dalam kesulitannya yaitu
dengan cara melakukan pendekatan sacara
perorangan atau individu atau juga dinamakan
dengan pendampingan. Pendampingan ini diberikan
pada siswa yang bermasalah maupun yang tidak;
artinya siswa yang dalam batas-batas yang
normal.
Beban bathin yang dirasakan anak di
sekolah berbagai macam bentuknya, dimulai dari
beban yang dibawanya dari rumah, seperti
merasa cemburu karena dinomorduakan oleh
kehadiran sang adik dan juga sampai pada beban
bathin yang mereka dapati di sekolah, seperti
dicemoohkan oleh temannya, dan sebagainya.
Beban bathin ini dapat dikatakan sebagai
stress anak di sekolah, sebagai contohnya juga
pekerjaan rumah yang diberikan guru dalam
jumlah yang berlipat-lipat. Hal yang demikian
yang menyebabkan anak tidak dapat
berkonsentarsi dalam belajar, yang pada
gilirannya anak berputus asa dan menunjukkan
ketidaksangupannya dalam mengerjakan soal-soal
latihan ataupun pekerjaan rumah.
Guru sebagai orang tua di sekolah,
melihat siswanya yang demikian, berusaha untuk
membantu siswa melalui proses pendampingan
dengan duduk bersama siswa yang bersangkutan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa
dalam keadaan yang tenang dan tidak dalam
suasana belajar yang formal, yang membuat
siswa tegang dan cemas. Membantu masalah di
sini dengan maksud hanya mendorong dan
membantu anak mencari jalan bagi pemecahan
kesulitan..
Membantu siswa memecahkan masalah ini
menurut M. Thalib, adalah merupakan upaya guru
dalam membiasakan anak memecahkan kesulitannya
sendiri dan sekaligus melatih anak
bertangungjawab.148
Sebagaimana dalam ayat Al-Quran yang
membei petunjuk kepada manusia untuk mencari
kesulitan masalahnya dengan tidak berputus
asa. Allaah berfirman dalam Quran surat Yusuf
ayat 87:
ا ى' ئ' ب� وا ت� هي� حسسوا اذ� ي} وسف� من0 ف� ة ي' ن' سوا ولآ واح� ن� ي' ة اللة روح من0 ت� ي� س ا ن� ي' ¹Zت من0 لآ
وم اللة روح لآالق� ن0 ا 'Zي (87) الكق�ر
“Hai anakku, pergilah kamu, maka carilahberita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” 149
148 M Thalib, 50 Pedoman Mendidik Anak menjadi Shaleh, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 1990), hlm. 1999149 Departemen Agama, Op. Cit, hlm323
Langkah dengan pendampingan tersebut
merupakan satu langkah yang kreatif yang
diciptakan guru dalam memahami perasaan siswa
dalam belajar, sehingga di sini dapat
dikatakan dalam belajar tidak ada
pengesampingan emosinal peserta didik. Belajar
dapat dikatakan berhasil, bila terciptanya
keseimbangan antara perasaan dan fikiran.
Namun alangkah baiknya bila guru
menciptakan suasana dan gaya belajar yang
sesuai dengan keinginan dan minat siswa;
seperti yang dikatakan oleh Bobby De Porter,
bahwa untuk melatih ketrampilan berprestasi
siswa guru dapat mengajar sesuatu yang
disenangi anak misalnya menemukan gaya belajar
yang tepat, kiat-kiat menulis dengan penuh
percaya diri dn sebagainya.150 Demikian pula,
perlunya guru untuk menanamkan sikap“Ketekunan
150 Bobby De porter & Mike Hernacki, Quantum Learning-Membiasakan Hidup Nyaman dan Menyenangkan, (terjemah: Alawiyah Abdurrahman), (Bandung: Kaifa, 1999), hlm. 109
dan Usaha” pada siswa yaitu dengan menghargai
nilai ketekunan siswa dan memanfaatkan
hobinya.
Sebagai implikasi adalah sikap
mengantisipasi keberhasilan pada anak juga
harus ditanamkan bagaimana menghadapi dan
mengatasi kegagalan. Ajarkan kepada mereka
bahwa keberhasilan seiring dibangun diatas
kegagalan, dan membantu mereka merasakan
ganjaran dari suatu keberhasilan atas
kerjasama yang tidak mungkin dicapai oleh satu
orang saja.
5. Ketrampilan Guru Melatih Kejujuran Siswa
a. Penyebab Kebohongan siswa
Menurut Saphiro, anak-anak mulai
berbohong hampir semenjak mereka mulai
berbicara. Umumnya pada usia 2 sampai 3 tahun
anak belum mencapai perkembangan kognitif dan
bahasa. Ia juga belum mampu melihat hubungan
langsung antara apa yang mereka katakan
dengan apa yang mereka perbuat. Menginjak
usia empat tahun, anak mulai mengerti bahwa
berbohong yang dilakukannya untuk mengelabui
orang lain merupakan perbuatan yang buruk151.
Jika perilaku ini berkembang menjadi
kebiasaan, anak yang suka berbohong cenderung
tidak disukai gurunya dan terkucil dari
pergaulan sosialnya, karena dipandang tidak
dapat dipercayai dan suka menyepelekan orang
lain
Selanjutnya menurut Paul Ekman dalam
bukunya Why Children Lie, sebagaimana dikutip
Saphiro, bahwa alasan yang menyebabkan anak
berbohong adalah untuk menghindari hukuman,
untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan,
dan semata-mata untuk mendapatkan pujian dari
temannya.152 151 Lawrence E. Saphiro, Op. Cit, hlm. 62152 Ibid, hlm. 63
Sementara dari data lapangan, yakni
dalam konteks pembelajaran di dalam kelas,
berbohong dilakukan siswa untuk menutupi
kelalaian, menghindari hukuman guru, menutupi
prestasi belajarnya yang rendah, dan
keinginan untuk mendapatkan perhatian guru
dan teman. Alasan yang lazimnya mereka
kemukakan adalah lupa mengerjakan tugas atau
tugas tertinggal di rumah.
b. Cara Melatih Kejujuran Siswa
Untuk melatih kejujuran kepada siswa,
biasanya guru memperingatkan siswa agar tidak
mencotek hasil pekerjaan temannya sebangku,
saling mengoreksi tugas, dan meminta siswa
menyebutkan nilai yang diperolehnya. Cara ini
patut dipertahankan karena siswa dilatih
bersikap jujur dan sportif. Hanya saja guru
perlu berhati-hati terhadap siswa yang tidak
mampu berkompetisi dan selalu memperoleh
prestsi rendah.
Dengan meminta siswa menyebutkan
nilainya,. Siswa yang bersangkutan justru
frustasi dan merasa dipermalukan. Akibatnya,
motiasi belajarnya bukan meningkat, tetapi
justru semakin turun. Menghadapi siswa yang
demikian, guru melakukan penedekatan secara
personal untuk mengetahui penyebab dari
kegagalannya itu dan juga dikomunikasikan dan
mencari penyelesaian masalah dengan
kerjasamanya orang tua siswa, sebagaiman
telah dijelaskan di bagian memotivasi siswa
dan melatih ketekunan siswa.
Perlu ditegaskan bahwa, guru merupakan
teladan bagi siswa dalam mempraktekan nilai
kejujuran. Jika guru melanggar janjinya,
siswa dengan cepat menagkapnya. Demikian juga
apa yang dikatakan guru harus diikuti dengan
tindakannya, agar tindakan ini pada
gilirannya akan menajdi panutan bagi anak.
Sebagaimana Rasululah SAW telah dijadikan
teladan bagi segenap tingkah laku dalam
kehidupan. Allah berfirman dalam Quran surat
al-Ahzab ayat 21:
د ان0 لف� ى لكم ك ول ف� وة� اللة رس س ة� ا� ن�ان0 لمن0 حس وااللة ك وم ت'رج� 'ر والي خ� وذ� الآ�
راللة كرا ي' (21). كث�
“Sesungguhnya pada Rasul Allah (Muhmmad)ada ikutan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan (pahala) Allah dan hari yang kemudian, serta ia banyak mengingat Allah.”153
Untuk itulah, guru dijadikan teladan
utama di sekolah, oleh sebab itu guru harus
menjaga dan berhati-hati dalam berkata dan
bertindak. Tindakan-tindakan yang dilakukan
guru akan cepat diserap siswa. Mereka
menganggap kebohongan adalah perilaku yang
wajar bagi semua orang. Mereka juga akan
153 Prof. H. Mahmud Yunus, Tarjamah Al-Quran Al-Karim, (Bandung: Al-Ma`arif, 1986), hlm. 379
belajar memparktekan kebohongan dalam
pergaulan sosial mereka.
Dalam melatih kejujuran, disamping guru
memberikan contoh yang baik pada siswa
ataupun dengan memberikan nasihat dan cerita,
guru perlu melatih kejujuran siswa dengan
mengajak mereka bermain-main. Misalnya,
permainan memasang ekor kuda yang sangat
populer di tanah air, atau permaina jatuh ke
belakang pada saat olah raga, dan permainan-
permainan lainnya yang melatih siswa untuk
mempercayai orang lain.
6. Ketrampilan Guru Melatih Ketrampilan Sosial
Siswa
a. Penyebab Perilaku Asosial Siswa
Perilaku asosial siswa terjadi di semua
kelas, misalnya siswa suka minta uang jajan
kepada temannya secara paksa, pekelahian
antar teman, serta adanya pengabaikan tata
krama sosial seperti menerima buku dari
gurunya dengan tangan kanan. Perilaku asosial
ini juga ditunjukkan dengan munculnya
antagonisme anak laki-laki terhdap anak
perempuan, misalnya dengan mengejek,
berteriak-teriak, dan membuka jilbab teman
perempuan. Selain dapat merusak hubungan
sosial antar sesama siswa, perilaku asosial
tersebut juga membuat siswa yang bersangkutan
terkucil dari teman-temannya.
Munculnya perilaku sosial di atas
sebenarnya tidak lepas dari perkembangan
sosial yang terjadi pada diri anak. Menurut
Elizabeth B. Hurlock, bahwa seiring dengan
pertambahan usia, anak semakin tertarik
bergaul dengan teman sebayanya dan
meninggalkan teman pergaulan dengan orang
dewasa. Mereka juga lebih mempercayai norma-
norma sosial yang dipegang kelompoknya
daripada norma-norma yang mereka terima dari
orang dewasa. Akibatnya, ketika terjadi
perbenturan antar norma kelompok dengan norma
sosial, mereka lebih menerima kelompoknya. 154
Lebih jauh menuruit Elizabeth B.
Hurlock, ketika mulai sekolah anak memasuki
“usia geng”, yaitu usia yang pada saat itu
kesadaran sosial anak berkembang dengan
pesat. Mereka belajar membentuk atau menjadi
anggota kelompok teman sebaya yang secara
bertahap menggantikan keluarga dalam
mempengaruhi perilaku.155
Gang merupakan usaha anak untuk
menciptakan miniatur masyarakat yang sesuai
bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Gang pada
umumnya terdiri atas anak-anak yang mempunyai
minat bermain yang sama, dan tujuan utamanya
adalah untuk bersenang-senang, yang
154 Elizabeth B. Hurlock, Op. Cit, hlm. 261155 Ibid, hlm. 264
kadangkala menjurus pada kenakalan, seperti
mengganggu dan lain sebagainya.
Pada saat yang sama, sejak usia 6 atau 7
tahun, anak laki-laki dan anak perempuan
mulai merasa senang apabila berada didalam
kelompok yang sama jenis kelompoknya. Apalagi
orang tua atau anggota keluarga lainnya juga
menekan anak untuk menghindari pergaulan
dengan lawan jenisnya, karena hal tersebut
dipandang akan mengucilkan anak dari
pergaulan sosialnya.
Dari sinilah sebenarnya bermula perilaku
antagonisme siswa terhadap lawan jenisnya.
Anak lelaki cenderung memandang rendah anak
perempuan, sehingga mereka menghindari
aktivitas yang dianggap sebagai aktivits
perempuan. Apabila perekembangan ini diikuti
dengan perlakuan yang diskriminatif dari
guru, maka antagonisme tersebut akan menjurus
pada tindakan-tindakan asosial lainnya,
seprti mengejek, menjahili, dan menyakiti
lawan jenisnya.
b. Cara Melatih Ketrampilan Sosial Siswa
Dalam menghadapi perilaku asosial siswa,
guru telah melakukan langkah-langkah yang
dapat mengantisipasi atau menghentikan
perilku tersebut, seperti mengubah komposisi
tempat duduk siswa setiap satu minggu sekali,
menasehati siswa tentang artinya
persahabatan, memberithu tata krama sosial
yang harus diperhatikan siswa, dan menangani
kasus-kasus sosial yang terjadi antar sesama
siswa.
Cara yang demikian diperkuat dengan
adanya tindakan guru yang mencoba melatih
siswa untuk berkompetisi secara berkelompok,
yakni dengan sistem belajar kelompok di dalam
kelas, sehingga memungkinkan mereka untuk
berinteraksi satu sama lain. Cara ini juga
sekaligus mengurangi potensi terjadinya
antagonisme tehadap lawan jenis, sehingga
anggapan anak laki-laki yang yang semula
memandang anak perempuan sebagai saingan
(rival), berubah menjadi partner dalam bekerja.
Begitu pula dalam memelihara hubungan
sosial dan melatih tata krama sosial siswa,
guru telah memberikan nasihat tentang etika-
etika pergaulan kepada kepada siswa dan
melakukn koreksi ulang terhadap pelanggaran
tata krama sosial yang dilakukan siswa,
seperti membuang sampah sembarangan, menguap
di depan umum, dan menerima barang dengan
tangan kiri. Sayangnya, dalam menasihati guru
tidak memfokuskan petunjuknya pada perilaku
siswa secara spesifik . Akibatnya nasihat
tersebut sulit dipahami dan dipraktekan
siswa.
Lain halnya dengan ketika guru melatih
tata krama sosial siswa, guru dapat
memanfaatkan momentum pada saat guru
menjumpai siswa yang datang terlambat dan
masuk ke dalam kelas tanpa mengucapkan salam,
di sini guru dapat mengoreksi ulang perilaku
siswa yang bersangkutan dengan menyuruhnya
keluar dari kelas dan mengulangi rangkaian
tata krama yang harus dilakukannya, seperti
mengetuk pintu sebelum masuk kelas,
mengucapkan salam, dan memohon izin kepada
guru perihal keterlambatannya.
Disamping itu, sebenarnya ada hal lain
yang lebih penting diperhatikan guru daripada
memberikan nasihat, yaitu melatih ketrampilan
berkomunikasi siswa. Dengan hal tersebut
disela-sela proses belajar-mengajar, waktu
guru tidak tersita hanya untuk berceramah
atau menangani kasus-kasus sosial siswa.
BAB. IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:
Pada umumnya masalah-masalah emosional siswa yang
dihadapi guru di sekolah dasar Muhammadiyah
Suronatan Yogyakarta khususnya kelas rendah yaitu
kelas 1, 2 dan 3, adalah masalah ketidakdisiplinan
yang ditandai dengan perilaku-perilaku siswa,
sebagai berikut; ramai di dalam kelas, terlambat
datang ke sekolah, tidak memakai seragam, tidak
mengerjakan PR atau melalaikan tugas, pertengkaran
antar siswa dan perbuatan asosial lain seperti
pemalak, serta juga masalah tata krama siswa.
Sedangkan secara khususnya masalah emosional siswa
yang dihadapi guru adalah masalah emosional yang
bersifat dominan terjadi pada tiap jenjang kelas.
Sebagaimana halnya yang terjadi di kelas satu adalah
masalah emosional, seperti rasa takut, cemas dan
khawatir, yang pada gilirannya akan menimbulkan
sikap ketergantungan pada orang tuanya. Masalah
emosional yang dominan terjadi di kelas dua adalah
motivasi belajar yang rendah, sedangkan di kelas
tiga adalah meningkatnya solidaritas sesama jenis
kelamin dan kecemburuan terhadap lawan jenis.
Konsep kecerdasan emosional anak menurut Perspektif
guru di SD Muhammadaiyah Suronatan Yogyakarta adalah
bahwa dalam hal mendidik siswa-siswinya, mereka
lebih mementingkan aspek afektif siswa disamping
aspek-aspek siswa lainnya, seperti aspek kognitif
dan aspek psikomotorik. Perhatian guru terhadap
aspek afektif siswa tersebut dituangkan kedalam
bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan sekolah, seperti
kegiatan intra sekolah atau kegiatan belajar-
mengajar dan dalam kegiatan ekstra kokurikuler.
Lebih khususnya lagi pada proses pembelajaran,
seperti pada penerepan hukuman terhadap siswa yang
melanggar peraturan sekolah ataupun siswa yang
berbuat tidak sesuai dengan tata krama sosial dan
berbuat asosial. Dalam memberikan hukuman guru lebih
menggunakan dengan hukuman yang tidak menyentuh
fisik siswa dengan pertimbangan kondisi kejiwaan
siswa, sehingga siswa dapat termotivasi dalam
belajar dan berperilaku yang lebih baik.
Cara guru melatih kecerdasan emosional siswa
disesuaikan dengan masalah emosional yang dihadapai,
baik yang bersifat persuasif (insidental) maupun
yang bersifat kuratif (klasikal). Adapun secara umum
guru dalam menghadapi masalah emosinal siswa adalah
dengan cara; menegur, mengancam, memberi hukuman,
memberikan nasihat dan cerita, serta melakukan
pendekatan secara individual (pendampingan).
Disamping itu pula guru mengambil tindakan secara
khusus terhadap kelas satu, seperti dalam menghadapi
masalah kemandirian siswa dan juga masalah ketakutan
dan kecemasan siswa dengan memberikan kebijakan
khusus pada orang tua siswa, memberikan permainan
dan mengelilingi lingkungan sekolah, dengan tujuan
untuk menghilangkan rasa cemas serta takut pada
siswa. Demikian pula dalam melatih kemandirian
siswa, guru memberikan secara khusus pada siswa
dengan mengecek tingkat kemandirian siswa serta
memberi petunjuk pada siswa tentang aktivitas-
aktivitas yang harus dilakukan siswa.
SARAN
Berangkat dari kesimpulan di atas, maka saran dari
penelitian ini, adalah:
Pada Guru.
Dalam menghadapi masalah emosional siswa yang cukup
kompleks pada tiap jenjang pendidikan dari umur 7-9
tahun, memang tidaklah mudah bagi guru untuk secara
optimal memberikan latihan-latihan dalam
mengembangkan kecerdasan emosional siswa. Sehingga
di sini perlunya perhatian guru yang lebih luas
terhadap kecerdasan emosional siswa dan kesadaran
diri untuk meningkatkan ketrampilannya dalam
melatih kecerdasan emosional siswa.
Dalam mengajar, sebaiknya guru menghilangkan sikap
diskriminasi terhadap siswa tertentu, artinya guru
tidak memihak salah satu murid tertentu atau
sekelompok siswa putera. Hal yang demikian akan
memunculkan sikap antagonisme dan kecemburuan
siswa terhadap siswa lawan jenisnya
Dalam memberikan hukuman siswa dengan memberikan
tugas yang berlipat-lipat, alangkah baiknya bila
guru melihat kondisi kejiwaan dan kemampuan
berpikirnya. Hal ini bila diabaikkan justru yang
terjadi adalah siswa yang kurang mampu dalam
berpikir akan membuatnya semakin takut dan enggan
untuk sekolah. Sebaliknya bagi siswa yang
berkemampuan lebih dalam berfikir, ia akan semakin
semangat dan tertantang dalam belajar. Begitu pula
dalam memberikan hukuman, sebaiknya guru
memberikannya sebagai alternatif terakhir disertai
dengan sikap empati. Artinya setelah guru
memberikan hukuman pada siswa, guru bersikap
seperti semula dan tidak membenci siswa setelah
siswa melakukan kesalahan.
Langkah guru dengan melakukan pendekatan secara
individual atau pendampingan, merupakan langkah
yang tepat dan adanya ketanggapan guru terhadap
masalah perasaan siswa. Jadi, dalam belajar di sini
adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran.
Demikian pula kedekatan guru dengan siswa perlu
dipertahankan selama tidak menggangu dalam proses
belajar-mengajar. Sebab hubungan guru dan siswa
yang akrab dan harmonis akan memunculkan semangat
belajar dan siswa akan lebih mencontoh segala
perilaku gurunya sebagai orang terdekatnya. Untuk
itulah perlunya guru agar lebih berhati-hati dalam
bertindak dan berbicara, karena guru adalah tokoh
panutan bagi siswa-siswanya sampai dewasa kelak.
Pemberian hukuman dengan jalan musyawarah bersama
siswa di sekolah ini sanagtlah tepat dan sebaiknya
dijalankan terus, karena disamping untuk memilih
jalan yang terbaik menurut kesepakatan bersama.
Musyawarah juga melatih siswa untuk mengambil suatu
keputusan yang diambil secara bersama dan tidak
mementingkan kepentingannya sendiri. Jadi disini
siswa dilatih untuk tidak bersikap egois.
Pada Sekolah.
a. Kebijakan-kebijakan sekolah yang berkaitan
dengan pengembangan kecerdasan emosional siswa,
baik secara umum maupun secara khusus sudah
menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian
sekolah pada aspek afeksi siswa. Namun hendaknya
kebijakan ini lebih diluaskan lagi pada proses
pelatihan kecerdasan emosional siswa secara
terprogram dan masuk dalam kurikulum sekolah, jadi
sifatnya tidak hanya komplementer untuk
memperlancar proses belajar-mengajar.
b. Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah
khususnya sebelum jam belajar dimulai tepatnya
ketika bel sekolah berbunyi siswa diwajibkan untuk
baris-berbaris di depan kelas dan satu-persatu
masuk ke kelas dan berjabat tangan dengan gurunya,
walaupun kegiatan ini dengan tujuan agar siswa
tertib dan rapi, tapi kegiatan ini secara tidak
langsung membuat siswa tegang dan cemas dan
kehilangan semangat karena menghadapi suasana
sekolah yang formal. Alangkah baiknya bila
kegiatan tersebut dighilangkan dan digantikan
dengan kegiatan yang membuat siswa tenang, tidak
tegang dan tetap semangat, seperti dengan
memberikan permainan tebak-tebakkan dan bagi siswa
yang bisa menjawabnya mendapat giliran masuk ke
kelas dan berjabat tangan dengan guru. Permainan
ini pun dapat dilakukan guru ketika jam belajar
selesai.
c. Sebaiknya pihak sekolah perlu mengantisipasi
bagi calon siswa yang akan masuk ke sekolah pada
usia yang masih dini. Sekolah hendaknya
menganjurkan pada orang tua siswa untuk tidak
menyekolahkan anaknya di sekolah dasar terkecuali
bila keinginan masuk sekolah karena keinginan
sendiri calon siswa tersebut. Hal ini perlu
menjadi perhatian, sebab anak yang belum siap
masuk ke tingkat sekolah dasar pada nantinya siswa
akan ketinggalan dalam menangkap pelajaran dan
yang lebih diutamakan adalah kondisi jiwa anak.
Bila kondisi jiwamya belum siap maka yang terjadi
adalah keengganan siswa umtuk belajar dan takut
masuk sekolah.
PENUTUP
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah,
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik walaupun
dalam bentuk yang sederhana. Semua ini tidak terlepas
dari karunia dan rahmat-Nya serta berkat pengarahan
dari pembimbing.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Hal ini karena keterbatasan
penulis dalam menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan masalah ini. Oleh kartena itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
skripsi ini.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada masyarakat
pada umumnya. Akhirnya semoga segala rahmat-Nya tetap
tercurah pada seluruh mahluk-Nya. Amin…
Yogyakarta, 16 Agustus 2004
Penulis
Nur Alimah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali Imam, Ikhtisar Ihya ‘Ulumuddin, terjemah MochtarRosyadi dan Mochtar Yahya, [Yogyakarta:Al-Falah, 1981]
Amstrong Thomas, Setiap Anak Cerdas, [Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2002]
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu PendekatanPraktek, [Jakarta: Rineka cipta, 1996]
Awwad M. Jauddah, Mendidik Anak Secara Islam, [Jakarta:Gema Insani, 1995]
Bahreiz Husein, Kitab al-Jami’ush-Shahih, Hadist ShahihBukhari Muslim, [Surabaya: Karya Utama,1977]
Clemes Harris & Reynold Bean, Melatih Anak BertanggungJawab, [Jakarta: Mitra Utama, 2002]
Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, [Jakarta: BulanBintang, 1970]
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, [Jakarta:Katoda, 1993]
Deporter Bobbi, Quantum Teaching, Mempraktekkan QuantumLearning di Ruang-Ruang Kelas, terjemah; AryNilandari, [Bandung, Kaifa, 2000]
Deporter Bobbi & Mike Hernacki, Quantum Learning-Membiasakan Hidup Nyaman dan Menyenangkan,[Bandung: Kaifa, 1999]
Drever James, Kamus Psikologi, [Jakarta: Bina Aksara,1980]
Elias J. Maurice dkk, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak DenganEQ, [Bandung: Kaifa, 2001]
Goleman Daniel, Emotional Intellegence, [Jakarta: GramediaPustaka Utama, 1999]
Gottman Joan & Jean De Claire, Kiat-Kiat Membesarkan AnakYang Memiliki Kecerdasan Emosional (EQ),[Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997]
Gunarso D. Singgih, Psikologi Praktis Anak, Remaja danKeluarga, [Jakarta: Gunung mulia, 1995]
Hamid Muhyidin, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak,[Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999]
Hurlock B. Elizabeth, Perkembangan Anak, [Jakarta:Erlangga, 1997]
Kartono Kartini, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya,[Jakarta: Rajawali, 1985]
Kartono Kartini, Psikologi Anak, “Psikologi Perkembangan”,[Bandung: Mandar Maju, 1990]
Levy Rey & Bill O’Hanlon, Cara Membesarkan Anak Yang SukaMelawan Tanpa Harus Hilang Kesabaran,[Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002]
Moleong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, [Bandung:Remaja Rosda Karya, 1997]
Najati Ustman, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi SAW,[Jakarta: Hikmah, 2003]
Nasih ‘Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam,[Semarang: Asy-Syifa, 1981]
Purwadarminta WJ.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,[Jakarta: Balai Pustaka, 1970]
Ratnawati Sinta, Keluarga Kunci Sukses Anak, [Jakarta:Kompas, 2000]
Salim Peter & Salim Yenny, Kamus Bahasa Kontemporer,[Jakarta: Modern English Press, 1991]
Saphiro E. Lawrence, Mengajarkan Emotional Intellegence PadaAnak, [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1998]
Schaefer Charles, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan Anak,[Jakarta: Mitra Utama, 1990]
Suharsono, Melejitkan EQ, IE, dan IS, [Jakarta: InisianiPress, 2002]
Sulaeman Dadang, Psikologi Remaja “Dimensi-DimensiPerkembangan”, [Bandung: Mandar Maju,1995]
Thalib .M., 50 Pedoman mendidik Anak Menjadi Shaleh,[Bandung: Irsyad Baitus-Salam, 1996]
Yusuf Syamsu .LN., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,pengantar; M. Djawad Dahlan, [Bandung:Remaja Rosda Karya, 2002]
Top Related