Post on 01-Mar-2023
KONSEP KEBEBASAN MANUSIA MENURUT BARUCH SPINOZA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT POLITIK
Lorens Gafur, S.S.
Baruch Spinoza dilahirkan pada tanggal 24 November
tahun 1632 di kota Amsterdam-Belanda dari pasangan suami-
istri Michael Spinoza dan Hanna Debora D’Espinoza.1
Keluarganya adalah keturunan Yahudi yang datang dari
Portugis dan menetap di Amsterdam. Mereka terpaksa
meninggalkan Portugis karena di sana tidak ada kebebasan
untuk menjalankan hidup sebagai umat Yahudi. Bahkan
mereka dipaksa untuk memeluk agama Kristen.2 Setelah tiba
di Belanda, keluarga ini dengan bebas memeluk agama
Yahudi. Lebih dari itu, mereka bisa membangun komunitas
Yahudi di Amsterdam. Rupanya, Belanda merupakan negara
yang menjunjung tinggi kebebasan manusia waktu itu. Pada
tahun 1638, keluarga Spinoza mengalami peristiwa yang
menyedihkan, yakni kematian Debora, ibunda Spinoza. Waktu
itu, Spinoza masih berumur 6 tahun!
1 W.N.A. Klever, The Cambridge Companion to Spinoza, New York: Cambridge University Press, 2006, 14.
2 Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction, New York: Cambridge University Press, 2006, 1.
45
Sebagai umat Yahudi yang taat, Michael mendidik
Spinoza sejak dini dengan berlandaskan ajaran agama
Yahudi. Ia dididik untuk mengenal hukum Musa dan Kitab
Suci. Pendidikan ini diberikan tidak hanya di rumah,
tetapi juga di sekolah Yahudi. Ada dua orang Rabbi yang
menjadi pengajar Spinoza, yakni Saul Levi Morteira dan
Menasseh ben Israel. Keduanya mengakui bahwa Spinoza
adalah anak yang cerdas dan melebihi kemampuan teman-
temannya.3 Melihat kecerdasannya ini, orang tua dan kedua
Rabbi ini mengharapkan agar kelak Spinoza menjadi seorang
Rabbi yang cerdas.
Selain mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
agama Yahudi, Spinoza juga mendalami beberapa bahasa
asing yakni Latin, Yunani, Ibrani, Belanda, Spanyol,
Prancis, Yahudi, Jerman dan Italia. Ia juga tekun
mempelajari matematika dan ilmu-ilmu alam. Bahasa latin
dipelajarinya ketika masuk sekolah yang didirikan oleh
seorang pemikir liberal, Frances Van den Ende. 4 Di
sekolah ini, ia juga belajar filsafat Yunani klasik,
sastra, drama dan juga karya-karya para filsuf modern
(Descartes, Hobbes, Machiavelli).
3 Ibid.4 Ibid, xx.
46
Keseriusan Spinoza dalam mendalami pemikiran para
filsuf dan juga dalam berdiskusi dengan teman-temannya
yang liberal membawa Spinoza pada kesadaran baru untuk
mengkritisi ajaran agamanya. Otoritas nalar yang menjadi
kekuatan manusia dalam menemukan pengetahuan yang benar
seperti yang didengungkan oleh Descartes sangat menarik
baginya. Kemudian ia menjadi pemikir bebas dan tidak mau
tunduk pada tradisi Yahudi. Bahkan, ia menentang otoritas
Rabbi Yahudi. Baginya, apa yang diuraikan dalam Kitab
Suci Yahudi mengandung banyak hal yang tidak masuk akal.
Misalnya, ia tidak percaya pada mukjizat, sebab hal itu
merupakan kekeliruan manusia dalam menafsirkan hukum
alam.5 Ia juga tidak setuju kalau Israel itu bangsa
pilihan Allah, sebab hal itu merendahkan kedudukan bangsa
lain di dunia ini. Menurutnya, tidak ada bangsa yang
menjadi ‘anak emas’ Allah.6 Akibatnya, para pemuka agama
Yahudi di Amsterdam geram terhadapnya. Mereka mengajaknya
agar segera meninggalkan pola pikir yang bertentangan
dengan tradisi Yahudi tersebut. Akan tetapi, Spinoza
tidak menghiraukan larangan mereka. Bahkan, ia semakin
berani mengajak orang untuk memaksimalkan kemampuan akal
budinya dalam menafsirkan Kitab Suci. Konsekuensi lebih
5 Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, 44.
6 W.N.A. Clever, Op. Cit., 6.
47
lanjutnya, Spinoza diekskomunikasi dari komunitas Yahudi
pada tahun 1656.7 Ia dianggap mati oleh komunitas Yahudi
dan bahkan ada yang berusaha menikamnya demi menyenangkan
Yahwe. Waktu itu, ia masih berumur 24 tahun.
Ekskomunikasi yang dialami oleh Spinoza bersamaan dengan
sikap anti Descartes dalam banyak Universitas di Eropa,
sebab menurut beberapa teolog konservatif, pemikiran
Descartes dianggap sebagai cikal bakal ateisme.8
Pada tahun 1661, Spinoza meninggalkan Amsterdam dan
menetap di Rejnsburg. Di sana ia kadang-kadang berkumpul
dengan sekte Remonstrants yang menentang dengan keras
teologi Calvinist tentang doktrin predestinasi dari
Gereja Reformasi Belanda.9 Mereka menekankan ‘inner
light’ atau terang dari dalam tanpa terbelenggu oleh
dogma tertentu. Dalam bidang politik, ia bergabung dengan
Partai Kebebasan Belanda yang menolak kekuasaan pejabat
Calvinist dan bangunan monarkhi ‘kerajaan Orange’. Pada
tahun 1665, ia meninggalkan Rejnburg dan menetap di
Hague. Ia semakin dikenal banyak orang di Eropa.
Ketertarikannya dalam bidang optik membuatnya bisa
berkenalan dengan ilmuwan Belanda, Christian Huygens. Ia
juga dikunjungi oleh filsuf Leibniz. Selain itu, ia7 Steven Nadler, Op. Cit., 7.8 Ibid., xxi.9 Ibid., xxii.
48
berkorespondensi dengan Henry Oldenburg, seorang
sekretaris dari Keluarga Kerajaan di London. Rupanya,
Hague menjadi tempat terakhir bagi Spinoza. Bulan
Februari tahun 1673, Spinoza ditawarkan untuk menjadi
Profesor di Universitas Heidelberg (Jerman) dan mengajar
filsafat di sana.10 Akan tetapi, ia menolak tawaran itu.
Ia lebih memilih menjadi pemikir bebas dan pengasah
Lensa. Petualangan intelektual Spinoza berakhir pada
tanggal 21 Februari tahun 1677. Ia meninggal dunia dalam
usia yang masih terbilang muda, yakni 43 tahun.
3.1. Makna Etimologis Kebebasan
Secara etimologis kata kebebasan berasal dari bahasa
Latin libertas.11 Kata ini mempunyai beberapa arti seperti
berikut ini. 1) Hak yang dimiliki seseorang untuk secara
bebas memilih dari beberapa alternatif tindakan tanpa
dibatasi oleh otoritas. 2) Hak seseorang untuk tidak
dicampurtangani oleh pihak lain dalam pencarian nilai
atau pemilikan atas apa yang diinginkannya. 3) Hak
individu untuk mengekspresikan diri sebagaimana yang
mereka inginkan tanpa tekanan dan untuk menggunakan cara-
cara yang mereka inginkan demi memenuhi kepentingan-
10 Ibid., 27.11 Philipus Tule (ed.), Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1995, 185.
49
kepentingannya. 4) Ketiadaan tekanan-tekanan, hambatan-
hambatan, tegangan-tegangan atau kesulitan-kesulitan
eksternal dalam mengejar cita-cita tertentu. 5) Kemampuan
untuk bertindak sesuai dengan pilihan sendiri.
Kata kebebasan juga diterjemahkan dari bahasa
Inggris freedom.12 Lorens Bagus menerangkan beberapa
pengertian pokok tentang freedom. 1) Keadaan tidak dipaksa
atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, sejauh kebebasan
disatukan dengan kemampuan definitif dari penentuan diri.
2) Penentuan diri sendiri, pengendalian diri, pengaturan
diri dan pengarahan diri. 3) Kemampuan dari seorang
pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai kemauan
dan pilihannya. Mampu bertindak sesuai dengan apa yang
disukai atau menjadi penyebab dari tindakan-tindakan
sendiri. 4) Didorong dan diarahkan oleh motif, ideal,
keinginan dan dorongan yang dapat diterima sebagaimana
dilawankan dengan paksaan eksternal atau internal. 5)
Kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi
atau memperoleh pilihan.
Berdasarkan arti etimologi di atas, kita bisa
menyimpulkan bahwa kebebasan dapat dipahami sebagai
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri atau
12 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005, 406.
50
mengontrol dirinya dalam melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang dipikirkannya. Dalam hal ini tampak bahwa
kebebasan lebih bermakna positif. Maksudnya, kebebasan
dilihat sebagai konsekuensi dari adanya potensi alamiah
manusia untuk berpikir, berpendapat, berkehendak dan
bertindak dalam hidupnya. Selain itu, kebebasan juga
dipahami sebagai sebuah keadaan di mana tidak ada
hambatan atau kekangan dari luar yang menghalangi manusia
dalam bertindak. Dalam arti demikian, kebebasan lebih
dipahami secara negatif (ketiadaan represi dari pihak
luar).
Sejak lama, kebebasan sering dikaitkan dengan
konteks sosial politik.13 Dalam konteks sosial politik,
kebebasan diartikan sebagai keadaan kondusif di mana
seseorang bebas melakukan sesuatu tanpa kekangan dari
pihak lain. Sejauh tidak membahayakan orang lain atau
mengganggu kesejahteraan bersama, setiap orang bebas
melakukan kegiatan dalam negara. Misalnya, berpartisipasi
dalam tugas kenegaraan, aktif dalam sebuah partai politik
tertentu, bebas mengungkapkan pendapat dan
mengekspresikan kemampuan dirinya dan bebas memeluk agama
sesuai yang diyakininya. Hal ini menunjukkan bahwa
kebebasan merupakan hak alamiah yang tidak bisa13 Philipus Tule (ed.), Op. Cit., 186.
51
diasingkan dari hidup manusia. Kebebasan adalah kondisi
ideal yang selalu didambakan oleh setiap pribadi dalam
sebuah negara. Negara yang baik adalah negara yang
menjamin kebebasan individual warganya.
3.2. Konsep Kebebasan Manusia Menurut Spinoza
Setelah kita melihat arti etimologis kebebasan, pada
bagian ini kita diajak untuk mendalami konsep kebebasan
menurut Spinoza. Akan tetapi, sebelum mengulasnya,
alangkah baik jika kita terlebih dahulu menegaskan
kembali konsep Spinoza tentang substansi. Konsep
substansi ini memiliki hubungan erat dengan konsep
kebebasan. Substansi adalah sesuatu yang ada pada dirinya
sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. 14 Jadi,
substansi adalah apa yang berdiri sendiri dan ada oleh
dirinya sendiri. Berdasarkan definisi tersebut, substansi
itu hanya satu, yakni Allah. Dia adalah ada yang harus
ada dan menjadi sebab bagi dirinya sendiri (causa sui).
Konsekuensinya adalah segala sesuatu yang ada di bumi ini
(finite things) bergantung sepenuhnya kepada Allah.
14 Benedict de Spinoza, Ethics, EI3def, diterj. dari bahasa Latin olehMichael L. Morgan, Indiana Polis: Hackett Publishing Company, Inc,2002, 217. EI3def, artinya: buku Ethics bagian I, definisi 3. “Bysubstance I mean that which is in itself and is conceived through itself”.
52
Konsep substansi di atas berpengaruh pada konsep
Spinoza tentang sesuatu yang bebas. “Sesuatu dikatakan
bebas (liber) kalau ia berada dari keniscayaan alamiahnya
dan ditentukan untuk bertindak oleh dirinya sendiri.”15
Definisi ini sangat asing bagi kita. Mengapa? Karena
konsep tersebut menegaskan bahwa tindakan bebas muncul
dari keniscayaan. Sesuatu dikatakan bebas kalau ia
menyebabkan dirinya sendiri (self-caused). Dalam hal ini,
hanya Allah yang bebas secara absolut karena Ia
menyebabkan diri-Nya sendiri (causa sui).16 Semua hal
terbatas di dunia ini tidak memiliki kebebasan absolut.
Sebagai bagian dari alam yang merupakan hal-hal terbatas
(finite things) manusia tentu sangat bergantung pada Allah.
Dengan demikian, manusia tidak memiliki kebebasan. Konsep
ini penting karena akan menjadi fondasi bagi Spinoza
dalam menjelaskan kebebasan manusia.
Pertanyaannya, apakah benar manusia tidak memiliki
kebebasan? Pertanyaan ini bisa kita hubungkan dengan
kemampuan istimewa yang dimiliki oleh manusia yang tidak
dimiliki oleh hal-hal terbatas lainnya yakni akal budi.
Dengan akal budinya, manusia mampu memikirkan yang
terbaik untuk hidupnya. Berkaitan dengan hal ini, Spinoza
15 Ibid.16 Ibid.
53
menjelaskan dalam A Political Treatise bahwa pikiran manusia
diciptakan secara langsung oleh Allah.17 Konsekuensinya,
manusia lebih bebas bila dibandingkan dengan hal-hal
terbatas lainnya.
Selain itu, Spinoza menguraikan pula dalam Ethics:
“Dalam pikirannya, manusia memiliki sebuah pengetahuan
yang memadai tentang kekekalan dan ketakterbatasan Allah
sehingga ia memiliki kekuatan untuk berpikir secara
benar.”18 Hal ini menunjukkan keistimewaan manusia. Relasi
yang erat dengan Allah ini membuat manusia bergantung
kepada Allah. Akan tetapi, ketergantungan ini tidak
berarti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Manusia
tetap memiliki kebebasannya sebagai makhluk rasional.
Berkat kemampuan akal budinya, manusia mengambil bagian
dalam kebebasan Allah.19
Hal penting yang perlu kita sadari adalah kebebasan
yang dimiliki manusia tidak absolut seperti kebebasan
Allah sebab ia (manusia) tidak menyebabkan dirinya
sendiri. Berkat tuntunan akal budinya, manusia bisa
menentukan dirinya sendiri dan mengambil keputusan
17 Id., A Political Treatise, diterj. dari Bahasa Latin oleh R. H. M. Elwes, New York: Dover Publications, INC, 1951, 293.
18 Id., Ethics, EIIp47, 271.19 Bdk. Matthew J . Kisner, Spinoza on Human Freedom, New York:
Cambridge University Press, 2011, 19.
54
penting berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Manusia
berusaha untuk mempertahankan keberadaannya dan
meningkatkan kekuatan di dalam dirinya sehingga ia bisa
hidup. Kemampuan untuk mempertahankan diri ini disebut
conatus. Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan
sejauh memiliki persatuan dengan Allah, sebab hanya Allah
yang bebas secara absolut.20
3.2.1. Kebebasan sebagai Determinasi Diri
Spinoza melihat hubungan erat antara kebebasan
manusia dan rasionalitas. Bahkan ia menegaskan bahwa
kebebasan itu tak lain adalah hidup menurut tuntunan akal
budi.21 Kebebasan adalah kodrat manusia. Ia bersumber dari
dalam diri manusia untuk menentukan dirinya (self-
determination).22 Dalam hal ini, manusia bisa menentukan
dirinya sendiri apabila ia hidup di bawah tuntunan akal
budinya. Dengan demikian, manusia yang mampu
memaksimalkan kemampuan akal budinya akan mampu mengatur
dirinya seturut nilai-nilai yang mau diraihnya. Ia bisa
mengarahkan dirinya untuk menemukan apa yang terbaik dan
menghindari apa yang membahayakan kelangsungan hidupnya.
20 Bdk. Fernando Szlajen, Freedom in Spinoza’s Philosophy, Netherland: Mekorot Foundation, 2003, 6.
21 Benedict de Spinoza, A Political Treatise, 295.22 Bdk. Matthew J . Kisner, Op.Cit, 20.
55
Kebebasan yang dimiliki manusia merupakan sebuah
fakultas untuk bertindak secara rasional. Maksudnya,
tindakan-tindakan manusia diarahkan menurut pertimbangan
akal budi.23 Hal ini terjadi karena akal budi manusia
merupakan bagian dari akal budi ilahi yang nota bene
memiliki kebebasan absolut. Karena adanya relasi ini,
maka manusia berpartisipasi dalam kebebasan Allah.
Singkatnya, manusia bisa menentukan dirinya karena akal
budinya memiliki hubungan dengan akal budi Allah.24
Selain itu, manusia bisa menentukan dirinya kalau ia
memiliki ide-ide yang memadai tentang sesuatu (adequate
ideas).25 Kapan manusia memiliki ide-ide yang memadai?
Manusia memiliki ide-ide yang memadai tentang sesuatu
ketika ide-idenya memiliki isi yang sama dengan ide-ide
Allah tentang sesuatu. Hal ini didasarkan pada pemikiran
Spinoza bahwa hanya Allah yang memiliki ide-ide yang
memadai dan benar.26 Ide-ide Allah mengandung semua ide
dari hal-hal terbatas. Pernyataan ini menegaskan bahwa
ide-ide kita tentang sesuatu adalah memadai ketika
23 Bdk. Steven B. Smith, Freedom and Redemption in Ethics, London: Yale University Press, 2006, 200.
24 Bdk. Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997, 55. Di sini kita melihat pengaruh kaum Stoa terhadap Spinoza. Ia sependapat dengan kaum Stoa bahwa akal budi manusia merupakan bagian kecil dari akal budi ilahi.
25 Bdk. Matthew J . Kisner, Op.Cit., 22.26 Benedict Spinoza, Ethics, EIIp32, 264.
56
memiliki isi yang sama dengan ide-ide Allah tentang
sesuatu. Dengan kata lain, ide-ide kita adalah memadai
ketika ide-ide memadai dari Allah tentang sesuatu diisi
di dalam pikiran kita atau Ia menyusun pokok pikiran
kita.
Contoh yang bisa diambil tentang kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri (self-determination) adalah
seorang pejabat negara yang tergiur untuk melakukan
korupsi.27 Kalau ia memiliki pengetahuan yang memadai
tentang tugasnya sebagai seorang pejabat negara, ia pasti
tidak akan mewujudkan niatnya melakukan korupsi.
Pengetahuan memadai tentang tugas tersebut, antara lain:
1) Ia menyadari bahwa masyarakat memilihnya untuk menjadi
pejabat negara karena mereka percaya bahwa ia adalah
pribadi yang bertanggung jawab dan pasti bertindak
bijaksana tanpa merugikan kepentingan banyak orang. 2) Ia
juga menyadari bahwa tugasnya adalah menjamin
kesejahteraan banyak orang dan bukan mengejar kepentingan
diri sendiri. 3) Ia menyadari bahwa Allah pasti
menghendaki manusia agar selalu melakukan kebajikan,
mengejar summum bonum, yakni persatuan dengan Allah yang
menjamin kebahagiaan dan bukan menjadi pribadi yang rakus
27 Contoh ini dibuat sendiri oleh penulis berdasarkan pengertian kebebasan sebagai determinasi diri.
57
menghabiskan uang negara demi kepentingan sesaat.
Kesadaran ini memampukan pejabat tersebut untuk
mengendalikan dirinya sehingga tidak melakukan korupsi
dan kembali berjuang untuk melaksanakan tanggung jawabnya
dengan baik tanpa merugikan banyak orang. Kemampuan untuk
mendeterminasi diri bisa dilakukan ketika sang pejabat
tersebut hidup di bawah tuntunan akal budinya.
Dalam sudut pandang Spinoza, kita bisa mengatakan
bahwa pejabat negara tersebut telah melihat segala
sesuatu dari sudut pandang keabadiannya.28 Melalui kasih
rasional kepada Allah (amor Dei intellectualis), ia bisa
memandang segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini
secara menyeluruh (termasuk melihat tugasnya sebagai
pejabat negara), sehingga tidak ada lagi bagian-bagian
yang saling terpisahkan. Hal ini mendorongnya untuk
memikirkan kepentingan negara secara keseluruhan dan
bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, kita menemukan bahwa
kebebasan manusia itu praktis. Kebebasan itu bukan hanya
memiliki sebanyak mungkin ide yang memadai tetapi juga
mengikuti tuntunan akal budi dalam kehidupan sehari-hari
28 Bdk. Simon P. L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004, 217.
58
yang mengarahkan manusia pada pencapaian kebahagiaan
bersama orang lain. Karena itu, seseorang melakukan
kekeliruan kalau ia mengatakan bahwa kebebasan itu hanya
mencakup aktivitas intelektual, seperti kontemplasi,
refleksi filosofis dan pencarian ilmiah.29 Walaupun
aktivitas ini sangat penting untuk mengembangkan ide-ide
yang memadai, kita juga hendaknya mengakui bahwa
aktivitas tersebut memiliki hubungan dengan orang lain
dalam sebuah kehidupan bersama. Singkatnya, ide-ide
memadai yang dimiliki manusia hendaknya menuntun
tindakannya untuk berpartisipasi mengusahakan kebaikan
bagi semua orang.
3.2.2. Kebebasan sebagai Otonomi
Kebebasan mempunyai hubungan yang erat dengan
otonomi. Otonomi diartikan sebagai kemampuan manusia
untuk mengatur diri sendiri.30 Karena pengaturan diri
sinonim dengan determinasi diri maka kebebasan itu
mempunyai kaitan yang erat dengan otonomi. Manusia
dikatakan otonom kalau ia menggunakan rasionya dengan
baik dan memiliki ide-ide yang memadai. Manusia memiliki
ide memadai sejauh merujuk pada Allah yang memiliki ide
29 Bdk. Matthew J . Kisner, Op. Cit., 238.30 Ibid., 70.
59
memadai dan benar.31 Dengan demikian, otonomi yang
dimaksudkan oleh Spinoza berkaitan dengan hal-hal
substansial dalam diri manusia. Nilai-nilai tertentu yang
dimaksudkan di sini adalah pengetahuan tertentu yang
dimiliki oleh manusia. Kalau memiliki ide yang memadai
tentang sesuatu, manusia bisa mengontrol dirinya sehingga
selalu terarah pada kebaikan demi mempertahankan
eksistensinya sebagai makhluk rasional.
Selain itu, Spinoza juga mengungkapkan bahwa hal-
hal eksternal dapat mempromosikan otonomi manusia. 32
Pemahaman ini sangat menarik, sebab otonomi manusia
ternyata berkaitan erat dengan kondisi sosial dan
politik. Kondisi ini menjadi wadah untuk mengembangkan
sekaligus mengekspresikan otonomi manusia. Otonomi
manusia terdiri atas kekuatan rasional yang mana
membutuhkan bantuan hal-hal eksternal, secara khusus
pribadi-pribadi rasional. Secara psikologis, kita
ditentukan untuk meniru perasaan, kepercayaan dan
keputusan orang lain.33 Karena itu, kebahagiaan kita juga
dibangun bersama orang lain. Konsekuensinya, secara
alamiah kita bertanggung jawab untuk mencari kebahagiaan
orang lain. Tentu juga kodrat sosial tersebut bisa31 Benedict Spinoza, Ethics, EIIp36d, 264.32 Ibid., EIVp37s2, 340. Bdk. Ibid., EIVp40, 342.33 Ibid.
60
mengancam keberadaan orang lain apabila kita tidak mampu
mengendalikan diri. Akan tetapi, kalau kita mampu
mengendalikan diri, maka kodrat sosial tersebut merupakan
anugerah besar atau kebajikan yang membentuk kita menjadi
pribadi yang kuat dalam kehidupan bersama orang lain.
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, Spinoza
menegaskan bahwa demokrasi merupakan wadah yang terbaik
untuk mempromosikan otonomi karena di dalamnya setiap
warga negara diberi kesempatan untuk mengekspresikan
kemampuan dirinya dan mengembangkan kepekaan dalam
kehidupan bersama.34 Dalam hal ini, semakin jelas bagi
kita bahwa otonomi menurut Spinoza memiliki kodrat
relasional yakni berkaitan dengan kondisi sosial dan
politik. Relasi dengan orang lain dalam sebuah negara
turut membantu manusia dalam mengembangkaan diri sebagai
makluk rasional dan otonom.
3.2.3. Kebebasan sebagai Kebajikan
Spinoza juga menghubungkan kebebasan dengan
kebajikan.35 Mengapa kebebasan dikatakan sebagai
kebajikan? Dalam Ethics, Spinoza mengungkapkan relasi
kebajikan dengan kebebasan. “Prinsip pertama dari
34Bdk. Id., A Theological-Political Treatise, diterj.oleh Jonathan Israel, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, 206.
35 Id., A Political Treatise, 294.
61
kebajikan adalah mempertahankan diri dan melakukan
sesuatu sesuai tuntunan akal budi. Karena itu, manusia
yang tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak
mengetahui prinsip kebajikan dan konsekuensinya tidak
mengetahui semua kebajikan.”36 Hal penting yang patut
digarisbawahi adalah kebebasan dan kebajikan memiliki
fondasi utama yakni akal budi. Dengan demikian, seorang
manusia yang bijaksana pasti memiliki kebebasan. Dengan
kata lain, sejauh manusia bijaksana, ia juga bebas, sebab
manusia bijaksana dan bebas sama-sama dituntun oleh akal
budi.
Setiap tindakan manusia pasti memiliki hubungan
dengan pikirannya. Bahkan pikiran yang menjadi pengendali
setiap tindakan manusia. Dengan demikian, pikiran
manusia memiliki kekuatannya. Kekuatan pikiran ini
dinamakan fortitudo.37 Setiap aktivitas perasaan manusia
yang memiliki relasi dengan pikiran melahirkan pemahaman.
Dengan kata lain, fortitudo adalah dasar dari segala
aktivitas kebajikan. Lebih tepat lagi, fortitudo adalah
tendensi afektif yang mengarahkan kita menuju tingkah
laku kebajikan.38 Hal ini sejalan dengan apa yang
36 Id., Ethics, EIVp56d, 349. 37 Ibid., EIIIp59s, 351. 38 Bdk. Robert Duff, Spinoza’s Political and Ethical Philosophy, London: Macmillan and Co LTD, 1903, 115.
62
dikatakan oleh Spinoza bahwa kebebasan sejati manusia
selalu dihubungkan dengan kekuatan pikirannya atau fortitudo
yang bisa membawa orang untuk hidup di bawah tuntunan
akal budi. 39 Karakter ini harus berlandaskan pada ide-ide
yang memadai, karena ide-ide inilah yang mengendalikan
setiap tindakan kita.
Untuk memperjelas pemahaman tentang ‘the strength of
mind’ (fortitudo) ini, Spinoza membaginya dalam dua bagian
yakni courage atau animositas (self-regarding) dan generositas atau
nobility (other-regarding).40 Pertama, Courage. Spinoza
mendefinisikan courage sebagai kemampuan manusia untuk
bertindak berdasarkan akal budi, tepatnya, mempertahankan
keberadaan dirinya menurut tuntunan akal budi.41 Dengan
keberanian ini, manusia berjuang untuk menghadapi
ketakutan, sebab ketakutan itu adalah emosi yang
irasional. Karena itu, pribadi yang berani adalah pribadi
yang tetap tegar dalam krisis atau kenyataan yang
menyedihkan. Dengan demikian, courage berarti segala
aktivitas yang menguntungkan diri sendiri. Yang termasuk
courage adalah pengendalian diri (self-control), ketenangan
diri (sobriety) dan bertahan dalam bahaya (resourcefulness in
danger).39 Bdk. Benedict Spinoza, Ethics, EIVp69d, 356. 40 Ibid., EIIIp59s, 310.41 Benedict Spinoza, Ethics, EIIIp59s, 310.
63
Kedua, generositas. Spinoza mendefinisikan generositas
sebagai hasrat setiap individu di bawah tuntunan akal
budi yang berusaha membantu orang lain dan menjalin
persahabatan dengan mereka.42 Yang termasuk generositas
adalah modestia (kesopanan) dan mercy (belaskasihan).
Modestia adalah hasrat untuk menyenangkan orang lain dan
menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan mereka.
Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa modestia
berkaitan erat dengan persahabatan.43 Menurut Spinoza,
manusia bebas selalu berusaha membangun persahabatan
dengan orang lain.44 Bahkan hanya manusia bebas yang
sungguh-sungguh berjuang untuk saling menguntungkan satu
sama lain dan menjalin persahabatan yang paling dekat dan
sama-sama dimotivasi oleh cinta dalam perjuangan.45 Tidak
ada pribadi di bumi ini yang bernilai bagi sesamanya
selain seorang manusia yang hidup di bawah tuntunan akal
budi.
Sedangkan, mercy adalah lawan dari kekejaman.
Menurut Spinoza, mercy adalah sebuah disposisi yang
muncul dari ide-ide memadai yang menghadirkan kebaikan
dan membagikannya kepada sesama.46 Orang yang memiliki42 Ibid.43 Bdk. Mattew J. Kissner, Op. Cit, 210.44 Benedict Spinoza, Ethics, EIVp70d, 356.45 Ibid.46 Ibid, EIVp36d, 338.
64
kebajikan tidak akan menutup mata ketika menyaksikan
sesamanya mengalami kesulitan. Ia selalu berjuang dengan
banyak cara untuk membantu sesamanya sehingga kembali
mengalami kebahagiaan dalam hidupnya. Tindakan kebajikan
ini merupakan contoh perilaku manusia bebas yakni orang
yang hidup di bawah tuntunan akal budinya.
Berkaitan dengan kehidupan bernegara, Spinoza
mengharapkan agar warga negara berpartisipasi dalam
melakukan tindakan yang berguna bagi kemajuan negara. Ia
berpendapat bahwa seorang manusia yang hidup di bawah
tuntunan akal budi akan mengatur hidupnya seturut
kebaikan bersama dengan hidup sesuai hukum negaranya.47
Bahkan ia menegaskan bahwa setiap tindakan untuk
kepentingan negara adalah kebajikan:
Adalah kepastian bahwa kebajikan kepada negara merupakan
kebajikan paling tinggi yang dapat diberikan; karena jika
negara dihancurkan tidak ada yang baik dapat bertahan dan
segala sesuatu ada dalam bahaya; amarah dan kekafiran atau
ketaksalehan menjadi kekuatan dan setiap orang ditakuti.
Setiap tindakan kesalehan untuk seorang tetangga menjadi
tidak saleh jika tindakan itu membahayakan kesejahteraan
negara secara keseluruhan dan sebaliknya, setiap tindakan
47 Ibid, EIVp73, 357.
65
ketidaksalehan melawan seorang tetangga dianggap kesalehan
jika itu dilakukan untuk kepentingan pemeliharaan negara.48
3.2.4. Kebebasan dalam Hidup Bernegara
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia
lain. Karena itu, kebebasan manusia tidak bisa dipisahkan
dari keberadaan pihak lain dalam hidupnya. Kemampuan
manusia untuk memperoleh dan mengekspresikan kebebasan
individual bergantung pada relasinya dengan pihak-pihak
luar, termasuk kondisi politik dalam kehidupan bernegara.
Pemikiran Spinoza tentang kebebasan manusia tak
terlepas dari situasi politik di Belanda pada zamannya.
Konsep kebebasan sebagai determinasi diri berakar pada
sebuah tradisi kuno yakni Yunani (eleutheria) dan Romawi
(liber).49 Istilah eleutheria dan liber ini pertama-tama
merupakan istilah politik yang menjelaskan perbedaan
antara seorang warga negara dan seorang budak. Warga
negara hidup di bawah otoritasnya sendiri, sementara
budak hidup di bawah otoritas orang lain (majikan). Warga
48 Id., A Theological-Political Treatise, 242. It is certain that piety towards one’scountry is the highest piety that anyone can show, for if the state is dissolved, nothing goodcan exist; everything is put in danger; anger and impiety are the only powers, and everyoneis terri¢ed. It follows that any pious act that one can perform for a neighbour becomesimpious if it entails harm to the whole state, and, conversely, there can be no impious actagainst a neighbour which is not to be deemed pious if done for the preservation of thestate.49 Bdk. Mattew J. Kissner, Op. Cit, 21.
66
negara memiliki kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan
publik dan mempunyai harta milik pribadi. Dengan kata
lain, warga negara mempunyai kebebasan untuk mengatur
dirinya sendiri. Sementara itu, seorang budak hanya
bergantung pada tuannya dan tidak memiliki kebebasan.
Pengertian ini sangat relevan dengan situasi negara
Belanda pada waktu Spinoza hidup. Partai Republik di
Belanda (partai ini didukung oleh Spinoza) terinspirasi
dengan konsep kuno di atas. Pada waktu pangeran William
II wafat (dari istana Orange), Partai Republik yang
dipimpin oleh Johan de Witt yang mengambil alih
kekuasaan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
mengalami kebebasan.50 Konsep kebebasan sejati (true
freedom) yang dipopulerkan oleh Johan de Witt terinspirasi
dari Republik Inggris yang lebih dahulu menekankan
kebebasan manusia sebagaimana yang dirintis oleh hukum
Romawi yakni setiap orang menjadi tuan atas dirinya
sendiri dan memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya
sendiri.
Spinoza adalah pendukung Partai Republik yang
dipimpin oleh Johan de Witt.51 Ia tertarik dengan konsep
50 Bdk. W.N.A. Klever, The Cambridge Companion to Spinoza, New York: Cambridge University Press, 2006, 40.
51 Bdk. Mattew J. Kissner, Op. Cit, 22.
67
kebebasan yang diwariskan dari tradisi kuno Romawi dan
pada waktu itu dihidupkan kembali oleh Jan de Witt.
Dengan demikian, konsep kebebasan sebagai determinasi
diri jelas dipengaruhi oleh relasi Spinoza dengan Partai
Republik. Dengan kata lain, konsep kebebasan ini
mempunyai dimensi politik.
Ulasan Spinoza tentang kebebasan manusia sebagaimana
yang dicatat dalam karya-karyanya (Ethics, A Theological-
Political Treatise dan A Political Treatise) menegaskan bahwa tema
kebebasan manusia sangat sentral dalam petualangan
filosofisnya. Pertanyaannya, kebebasan macam apa yang
dimaksudkannya dalam sebuah negara? Menurut beberapa
pemikir, kebebasan pertama-tama diartikan sebagai
kebebasan pikiran dari emosi untuk bertindak seturut
kodratnya sendiri yakni bertindak secara bijaksana bukan
hanya demi kesejahteraan diri sendiri tetapi juga demi
kepentingan negara.52 Konsekuensinya, kebebasan seorang
warga negara tidak pertama-tama terletak pada ketiadaan
intervensi dari pihak penguasa atau pemerintah.
Dengan demikian, konsep kebebasan yang ditawarkan
Spinoza dalam Ethics penekanannya sama dengan konsep
kebebasan dalam buku-buku politiknya. Bahwasannya
52 Bdk. René Koekkoek, Spinoza’s Conception of Political Liberty and the Dutch Republic, 1650-1677, Amsterdam: Utrecht University, 2010, 16.
68
kebebasan itu muncul dari dalam diri manusia sebagai
kemenangan akal budi atas emosi-emosi yang menghancurkan
keberadaan manusia sebagai makhluk rasional.53 Sementara
itu, para penguasa atau pemerintah hanya bertanggung
jawab melindungi warganya agar mereka mampu
mengekspresikan kebebasannya dengan baik.
Dalam kehidupan bernegara, manusia bebas berbeda
dengan manusia yang rakus atau yang diperbudak oleh
keinginannya. Manusia bebas adalah seseorang yang hidup
di bawah bimbingan akal budinya.54 Bisa dikatakan bahwa
kebebasan merupakan kemenangan akal budi atas emosi-emosi
yang berpeluang untuk menghancurkan kehidupan bersama
(contoh emosi tersebut: hasrat untuk korupsi). Kemenangan
akal budi ini dibuktikan melalui aktivitas yang berguna
bagi kesejahteraan bersama, misalnya terlibat dalam
tugas-tugas pemerintahan dan bertanggung jawab dengan
tugas tersebut.
Selain itu, seorang warga negara yang bebas mematuhi
hukum negara dan bekerja sama dengan warga negara lainnya
untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Spinoza juga
menjelaskan bahwa seseorang yang hidup di bawah tuntunan
akal budi lebih bebas apabila ia hidup dalam sebuah
53 Bdk. Benedict Spinoza, Ethics, EIVp73d, 357.54 Id., A Theological-Political Treatise, 254
69
negara daripada hidup dalam kesendirian.55 Akal budi yang
menjadi pengendali dari seorang manusia bebas akan
menuntunnya juga untuk taat kepada pemimpin negara
sebagaimana ia taat pada Allah melalui agama yang
dianutnya.56
Selanjutnya, Spinoza menegaskan bahwa berpartisipasi
dalam demokrasi merupakan perwujudan kebebasan manusia di
dalam negara.57 Manusia bisa mengekspresikan dirinya dan
terlibat dalam usaha menciptakan kesejahteraan bersama.
Partisipasi dalam demokrasi membantu manusia untuk
membangun kebiasaan rasional yang menuntunnya kepada
kedewasaan sebagai pribadi yang memiliki akal budi.
Hal penting yang perlu diperhatikan tentang
kebebasan manusia dalam negara adalah kebebasan
individual.58 Berpikir, berbicara, publikasi dan beragama
adalah hak-hak alamiah yang diwujudkan setiap pribadi
dalam kehidupan bersama. Kebebasan yang muncul dari
kemampuan untuk mempertahankan diri ini (conatus)
menunjukkan bahwa konsep Spinoza tentang kebebasan dalam
perspektif politik masih sejalan dengan konsepnya dalam
55 Id., Ethics, EIVp73, 35756 Id., A Theological-Political Treatise , 194.57 Bdk. Lee ward, Spinoza and Democracy, Canada: University of Regina, 2009, 13.58 Bdk. Benedict Spinoza, A Theological-Political Treatise, 251.
70
Ethics. Kebebasan itu pertama-tama muncul dari dalam diri
sebagai hasil kerja akal budi manusia yang mengarahkannya
agar bertindak secara rasional. Sementara itu, negara
hanya menjamin perwujudan hak-hak alamiah ini. Jadi, yang
menjadi pengendali kebebasan itu adalah setiap pribadi,
sedangkan pihak luar (penguasa atau pemerintah) hanya
menjaminnya.59
3.3. Manusia Bebas
Setelah kita melihat konsep kebebasan manusia
menurut Spinoza, kita bisa bertanya: siapakah manusia
bebas menurut Spinoza? Berdasarkan konsep-konsep
kebebasan di atas, kita bisa mengatakan bahwa kebebasan
manusia tidak bisa dipisahkan dari eksistensinya sebagai
makhluk rasional.
3.3.1. Hidup Menurut Tuntunan Akal Budi
Manusia bebas adalah dia yang hidupnya hanya
dituntun oleh akal budi.60 Pandangan Spinoza ini kembali
menegaskan bahwa kebebasan manusia tidak bisa dipisahkan
dari rasionalitas. Manusia bebas adalah manusia yang
hanya hidup di bawah tuntunan akal budinya. Berkat akal
59 Ibid.60 Id., Ethics, EIV68d, 356. Bdk. juga Benedict Spinoza, A
Theological-Political Treatise, 195.
71
budinya, manusia bisa menentukan dirinya atau
mengendalikan dirinya tanpa terlarut dalam hawa nafsunya.
Manusia bebas memiliki kesadaran diri.61 Artinya, ia
mengetahui siapa dirinya dan untuk apa dia hidup di dunia
ini. Kesadaran ini mendorong manusia untuk menata
hidupnya sebaik mungkin dan melakukan kebajikan-kebajikan
hidup. Ia tekun dalam memperjuangkan hidupnya. Terhadap
setiap persoalan hidup, ia ditantang untuk berani
menghadapinya tanpa takut.
Selain itu, Spinoza menegaskan bahwa manusia bebas
selalu menginginkan kebaikan dan kehidupan, bukan
kematian. Hal ini ditegaskannya dalam Ethics:
Manusia bebas yakni ia yang hidup di bawah tuntunan
akal budi tidak dibimbing oleh ketakutan akan
kematian, tetapi secara langsung menginginkan kebaikan
yaitu untuk bertindak, hidup dan mempertahankan
dirinya sejalan dengan prinsip pencarian hal-hal
bermanfaat (keuntungan). Ia paling sedikit memikirkan
kematian dan kebijaksanaannya adalah sebuah meditasi
tentang kehidupan, bukan kematian .62
61 Ibid.62 Ibid, EIVp67d, 355.
72
Tampak bahwa bagi Spinoza manusia yang hidup menurut
tuntunan akal budinya mampu berjuang mempertahankan
dirinya dan mengarahkan dirinya kepada kebaikan. Ia
selalu memeditasikan kehidupan dan bukan kematian.
Mengapa manusia bebas tidak memikirkan kematian?
Alasannya, kematian adalah fakta yang harus dialami oleh
manusia. Karena itu, tidak ada langkah yang bisa
dilakukan manusia untuk membuat hidupnya kekal. Dengan
demikian, manusia yang memikirkan kematian hanya
menghabiskan waktu dalam kecemasan di atas fakta bahwa
manusia harus mati.63
Dalam relasi dengan sesama, manusia bebas berusaha
untuk bersikap murah hati dan selalu jujur.64 Sebagai
makhluk sosial, ia menyadari betapa pentingnya kehadiran
orang lain. Karena itu, saling mendukung adalah sikap
penting yang harus diwujudkan dalam hidupnya. Hal ini
ditegaskan juga oleh Spinoza dalam Ethics: “Hanya manusia
bebas yang sungguh-sungguh saling menguntungkan satu
sama lain dan bersatu dalam persaudaran yang erat serta
63 Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik zaman kuno hingga sekarang, diterj. oleh Sigit Jatmiko, dkk. (Judul Asli: History of western Philosophy and its connection with political and social circumstences from the earliest times to the present day), Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 758.64 Bdk. Benedict Spinoza, Ethics, EIVp72, 357.
73
sama-sama termotivasi oleh cinta dalam usaha untuk saling
menguntungkan.” 65
Dalam kehidupan bernegara, seorang manusia bebas
akan terlibat aktif dalam membangun kehidupan bersama.
Dengan akal budinya, manusia bebas akan mengendalikan
dirinya (determinasi diri) dan patuh pada aturan hidup
bersama yang telah ditetapkan di dalam sebuah negara.66 Ia
akan bersatu dengan sesamanya dan berjuang untuk saling
membahagiakan. Ia juga berani mengekspresikan dirinya
tanpa takut terhadap ancaman dari luar dirinya. Hal ini
ditegaskan oleh Spinoza dalam Ethics:
Manusia yang dituntun oleh akal budi tidak dibimbing
untuk mematuhi ketakutan, tetapi ia berusaha melindungi
dirinya oleh tuntunan akal budi. Dengan demikian, ia
semakin berusaha untuk hidup dengan bebas, berniat
melestarikan prinsip hidup bersama. Konsekuensinya, ia
ingin hidup sesuai keputusan bersama yang telah
ditetapkan di dalam negara. Karena itu, manusia yang
hidup di bawah tuntunan akal budi selalu ingin hidup
lebih bebas dengan menjaga hukum di dalam negara.67
Berdasarkan perjalanan hidup Spinoza (sebagaimana
telah diulas pada bagian sebelumnya), kita bisa
65 Ibid., EIVp71d, 356.66 Id., A Political Treatise, 313.67 Id., Ethics, EIVp73d, 357.
74
menyimpulkan bahwa ia adalah manusia bebas. Ia telah
hidup menurut tuntunan akal budinya. Kendati banyak
persoalan hidup (misalnya, diekskomunikasi dari agama
Yahudi, dibenci oleh para pemuka agama Kristen
Calvinist), ia tetap tegar. Keberaniannya dalam memberi
kritikan terhadap agama Yahudi menunjukkan bahwa akal
budinya dipakai secara maksimal untuk mengkritisi
realitas yang dihadapinya sekaligus mengajak banyak orang
agar berpikir kritis. Dalam rangka meningkatkan
pengetahuannya tentang banyak hal, ia terbuka untuk
berdiskusi dengan orang lain. Diskusi ini bisa ditemukan
dalam korespondensi yang dilakukannya dengan pemikir-
pemikir penting pada jamannya.
Dalam bidang politik, Spinoza menjadi pendukung
Partai Republik.68 Ia menyampaikan pemikirannya tentang
kebebasan dan aneka persoalan tentang kehidupan
bernegara. Ketertarikan terhadap politik ini
dituangkannya dalam bukunya A Theological-political Treatise dan A
Political Treatise. Dalam karya-karya ini Spinoza mengungkapkan
pandangannya tentang kehidupan bernegara, apa yang harus
dilakukan oleh penguasa dan warga negara demi terciptanya
masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.69
68 Bdk. Mattew J. Kissner, Op. Cit, 2269 Bdk. Benedict Spinoza, A Political Treatise, 313.
75
3.3.2. Negara sebagai Penjamin Kebebasan
Spinoza mengungkapkan bahwa negara memiliki peranan
penting bagi pertumbuhan hidup manusia sebagai makhluk
rasional.70 Adanya pemerintah yang mengatur kehidupan
bernegara dan aneka hukum yang dibentuk di dalam negara
sangat membantu manusia untuk menjalankan hidupnya dengan
baik dan harmonis dengan sesamanya. Kesadaran akan
pentingnya hal ini diungkapkan oleh Spinoza dalam buku
politiknya A Theological-political Treatise seperti yang dikutip
berikut ini.
…jika manusia telah ditetapkan oleh kodratnya bahwa
mereka tidak menginginkan apa-apa selain menuruti
tuntunan akal budi, masyarakat tidak memerlukan hukum-
hukum; manusia hanya perlu mempelajari ajaran moral yang
benar, sehingga mereka melakukan apa yang berguna bagi
diri mereka dengan tulus dan dengan pemikiran yang
bebas. Akan tetapi, mereka tidak ditetapkan demikian,
bahkan mereka jauh dari hal tersebut. Semua manusia
sungguh-sungguh mencari apa yang menarik tetapi hal itu
tidak berasal dari perintah akal budi. Mereka terbawa
jauh oleh keinginan sensual dan aneka hasrat demi
kepentingan sesaat. Karena itu, tidak ada masyarakat yang
bertahan tanpa pemerintah, karena hukum berfungsi
mengatur dan mengendalikan hasrat mereka.71
70 Id., A Theological-Political Treatise, 192.71 Ibid., 72-73. Now if human beings were so constituted by nature that they desirednothing but what true reason points them to, society would surely need no laws; men would
76
Kutipan di atas menegaskan bahwa umumnya manusia
tidak hidup menurut tuntunan akal budinya. Manusia lebih
menuruti dorongan perasaannya dan mengejar apa yang
menarik atau menguntung bagi hidupnya. Karena itu,
kehadiran pemimpin negara dengan aturan-aturannya
diharapkan mampu membimbing manusia agar hidup di bawah
tuntunan akal budinya dan berjuang untuk mengejar
kesejahteraan bersama. Spinoza memandang bahwa negara
mampu membantu manusia untuk mengendalikan hasratnya
sehingga menjadi lebih bebas.72 Baginya, manusia yang
hidupnya dituntun oleh akal budi lebih bebas dalam sebuah
negara, di mana ia hidup menurut keputusan bersama
daripada dalam kesendirian, di mana ia hanya mematuhi
dirinya sendiri.73
Aneka aturan dan jaminan terhadap kebebasan
individual merupakan sumbangan negara untuk warganya demi
menggapai kebahagiaan hidup. Karena itu, para penanggung
jawab negara harus menjalankan tugasnya ini dengan baik.
only need to learn true moral doctrine, in order to do what is truly useful of their own accordwith upright and free mind. But they are not so constituted, far from it. All men do indeedseek their own interest, but it is not from the dictate of sound reason; for the most part theypursue things and judge them to be in their interest merely because they are carried away bysensual desire and by their passions (which have no regard for the future and for otherthings).This is why no society can subsist without government and compulsion, and hencelaws, which moderate and restrain desires.72Bdk. René Koekkoek, Op. Cit.,76.73 Benedict Spinoza, Ethics, EIVp73, 357.
77
Selain itu, para warga negara juga harus aktif dalam
membangun negara. Mereka harus bekerja sama dengan sesama
dan dengan pemerintah dalam membangun negara. Mereka
juga hendaknya mematuhi undang-undang negara yang telah
ditetapkan.
3.3.2.1. Negara Membutuhkan Manusia Bebas
Siapakah yang bisa hidup dengan baik di dalam sebuah
negara? Manusia bebas! Yang bisa hidup dengan baik dalam
sebuah negara tak lain adalah pribadi-pribadi yang
dikendalikan oleh akal budinya.74 Mereka bisa
mengungkapkan pendapatnya dengan baik, berani mengeritik
penyimpangan yang terjadi dalam negara dan juga mau
mematuhi hukum yang telah ditetapkan demi kebaikan
bersama. Otoritas akal budi memampukan manusia bebas
untuk terlibat dalam seluruh dinamika kehidupan
bernegara. Kemampuan akal budi juga menyadarkan
keberadaannya sebagai makhluk sosial sehingga perlu
berpartisipasi bersama orang lain dalam membangun negara.
Dengan demikian, negara menjadi wadah bagi manusia bebas
untuk mengekspresikan kebebasannya sebagai makhluk
rasional.
74 Ibid.
78
Spinoza adalah manusia bebas! Karena itu, ia telah
pantas hidup dalam sebuah negara. Pengalaman
diekskomunikasi dari agama Yahudi tidak membuatnya putus
asa dalam mengekspresikan diri sebagai makhluk rasional.
Ia berjuang menemukan wadah yang menjamin kebebasan
individualnya. Wadah terbaik yang bisa menjadi penjamin
kebebasan itu ditemukannya dalam negara. Baginya, negara
adalah tempat bersatunya pribadi-pribadi yang mau
membangun hidup bersama dalam suasana damai demi
tercapainya kebahagiaan manusia.75 Hukum-hukum yang dibuat
dalam negara sangat membantu manusia untuk mengendalikan
diri dan mengaktualisasikan kebebasannya tanpa
menghancurkan manusia lain. Berkaitan dengan hal ini,
Spinoza sangat mengharapkan agar negara sungguh-sungguh
menjadi penjamin kebebasan manusia dan harapan ini dengan
jelas diutarakannya pada bab terakhir karyanya, A
Theological-Political Treatise:
Tujuan tertinggi dari pemerintahan adalah bukan untuk
mendominasi manusia dengan ketakutan, tetapi sebaliknya
untuk membebaskan manusia dari ketakutan. Ia harus hidup
aman; dengan kata lain, untuk memperkuat hak alamiahnya
agar hidup dan bekerja tanpa merugikan dirinya dan orang
lain. Sasaran pemerintahan adalah bukan mengubah manusia
dari makhluk rasional menjadi binatang, tetapi
75 Id., A Theological-Political Treatise, 202.
79
memampukannya untuk mengembangkan jiwa dan raganya dengan
aman dan untuk menggunakan akal budinya secara maksimal;
bukan untuk menunjukkan kebencian, kemarahan, kecemburuan
dan ketidakadilan dengan orang lain. Sungguh, tujuan
sejati dari pemerintahan adalah kebebasan!76
3.3.2.2. Demokrasi sebagai Sistem Pemerintahan yang
Terbaik
Di setiap negara pasti ada sistem pemerintahan
tertentu. Menurut Spinoza, demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang terbaik karena paling natural dan
paling sejalan dengan kebebasan manusia.77 Selain itu, di
dalam demokrasi para warga negara dengan bebas
berpartisipasi aktif dalam membangun negara. Demokrasi
juga bertujuan untuk menghindari keinginan yang irasional
dan menuntun manusia sebisa mungkin agar hidup di bawah
tuntunan akal budi sehingga mampu hidup dalam damai dan
penuh harmoni. Singkatnya, di dalam demokrasi, kebebasan
76 Ibid, 259. …that its ultimate purpose is not to dominate or control people by fear orsubject them to the authority of another. On the contrary, its aim is to free everyone fromfear so that they may live in security, so far as possible, that is, so that they may retain, to thehighest possible degree, their natural right to live and to act without harm to themselves orto others. It is not, I contend, the purpose of the state to turn people from rational beingsinto beasts or automata, but rather to allow their minds and bodies to develop in their ownways in security and enjoy the free use of reason, and not to participate in con£icts based onhatred, anger or deceit or in malicious disputes with each other. Therefore, the true purposeof the state is in fact freedom.77 Bdk. Lee Ward, Op. Cit., 4.
80
manusia untuk mengekspresikan dirinya sebagai makhluk
rasional dijamin. Berikut ini adalah pandangan Spinoza
tentang demokrasi.
Tujuan dasar demokrasi adalah menghindari keinginan yang
irasional dan membawa manusia sejauh mungkin agar hidup
di bawah tuntunan akal budi sehingga mereka bisa hidup
dalam damai dan harmonis. Demokrasi juga adalah sistem
pemerintahan yang paling natural dan paling sesuai
dengan kebebasan manusia. Di dalam demokrasi, seseorang
tidak memberikan hak naturalnya secara absolut. Ia hanya
memberikannya bersama-sama dengan masyarakat. Karena
itu, semua manusia tetap sama sebagaimana ketika mereka
berada dalam kondisi alamiah (state of nature).78
Konsep Spinoza tentang demokrasi mempunyai hubungan
erat dengan pandangan paling mendasarnya tentang
determinasi diri.79 Sistem pemerintahan demokrasi membuka
kesempatan kepada setiap pribadi untuk bersama-sama
menentukan perkembangan masyarakat dan aturan dalam hidup
bersama dan sebagai konsekuensinya adalah menentukan
(mendeterminasi) diri mereka sendiri. Demokrasi merupakan
78 Ibid, 207. …the basis and aim of a democracy is to avoid the desires as irrational danto bring men as far as possible under the control of reason, so that they may live in peaceand harmony….I think, I have now shown sufficiently clearly the basis of democracy: I haveespecially desired to do so, for I believe it to be of all forms of government the most natural,and the consonant with invidual liberty. In it no one transfers his natural right so absolutelythat he has no further voice in affairs, he only hands it over to the majority of as society,whereof he is a unit. Thus all men remain as they were in the state of nature, equals.79 Bdk. Lee Ward, Op. Cit., 5.
81
sistem politik yang paling baik karena percaya pada
kekuatan banyak orang yang bisa memperkokoh kesatuan dan
menjamin kesejahteraan banyak orang.80
Selain itu, di dalam negara demokrasi setiap warga
negara mempunyai kesempatan yang memadai untuk
mempengaruhi proses pembuatan hukum.81 Dengan demikian,
pembuatan hukum bukan monopoli orang-orang tertentu.
Keterlibatan warga negara dalam pembuatan hukum bermaksud
agar hukum atau aturan negara tersebut sungguh-sungguh
berguna bagi kepentingan banyak orang. Hal ini
menunjukkan bahwa orang-orang yang hidup dalam negara
demokrasi lebih bebas (seperti dalam state of nature)
daripada orang-orang yang hidup di dalam sistem
pemerintahan lainnya.
Partisipasi warga negara dalam proses demokrasi di
dalam sebuah negara akan terwujud ketika kebebasan
berpikir, berbicara dan beragama dijamin.82 Melalui
kebebasan tersebut, setiap pribadi mengaktualisasikan
dirinya sebagai makhluk rasional. Ia berjuang untuk
menentukan dirinya, mengontrol hidupnya sesuai tuntunan
akal budi demi mencapai kebahagiaan hidupnya.
80 Bdk. Benedict Spinoza, A Theological-Political Treatise, 205.81 Ibid.82 Ibid., 258. Bdk. René Koekkoek, Op. Cit., 81.
82
Berikut ini kita akan mendalami secara khusus
kebebasan individual (berpikir, berbicara dan beragama)
yang tidak bisa dirampas oleh siapapun dan perlu dijamin
dalam sebuah negara demokrasi.
Kebebasan Berpikir
Jika pikiran manusia mudah dikontrol seperti mengekang
lidah mereka, setiap penguasa akan memerintah dengan aman
dan tidak ada pemerintah yang kejam (menekan rakyatnya).
Karena semua orang akan hidup menurut pikiran yang
mengendalikan mereka dan akan menilai atau menentukan apa
yang benar atau salah, baik atau buruk, dalam kesesuaian
dengan keputusan mereka sendiri. Akan tetapi, sesuatu yang
tidak mungkin bahwa pikiran seorang manusia secara absolut
dapat dikontrol oleh orang lain. Karena tidak ada
seorangpun dapat menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada
orang lain, untuk berpikir secara bebas dan membuat
keputusan sendiri tentang apapun dan tidak dapat dipaksa
untuk melakukannya. Itulah sebabnya, pemerintah yang
berusaha mengontrol pikiran rakyatnya dianggap kejam, dan
penguasa tampak membahayakan dan merebut hak-hak mereka
ketika berusaha mengatakan kepada mereka apa yang harus
diterima sebagai kebenaran dan menolak sebagai kesalahan
dan kepercayaan apa yang menginspirasi mereka dalam
menyembah Allah. Karena semuanya ini telah tertanam dalam
83
diri setiap individu dan menjadi hak mereka sehingga tidak
bisa dirampas. 83
Kutipan di atas menegaskan bahwa kebebasan berpikir
adalah hak kodrati manusia yang tidak bisa dirampas oleh
pihak lain. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk
memaksa orang agar berpikir atau tidak berpikir tentang
sesuatu.84Setiap orang tidak dapat melepaskan haknya untuk
berpikir, sebab setiap orang adalah tuan atas pikirannya.
Kebebasannya untuk berpikir tidak dapat ditaklukkan oleh
siapapun. Karena itu, setiap orang berpikir tentang hal
yang berbeda dengan yang lainnya tidak dapat dipaksa
untuk berbicara dan berpikir sesuai dengan hati nurani
penguasa tertinggi.
Pandangan Spinoza ini mengandung harapan agar
dalam sebuah negara kebebasan berpikir harus dijunjung
tinggi dan dijamin oleh negara. Menurut Spinoza,
83 Ibid., 250. Were it as easy to control people’s minds as to restrain their tongues, everysovereign would rule securely and there would be no oppressive governments. For all menwould live according to the minds of those who govern them and would judge what is true orfalse, or good or bad, in accordance with their decree alone. But as we noted at thebeginning of chapter 17, it is impossible for one person’s mind to be absolutely underanother’s control. For no one can transfer to another person his natural right, or ability, tothink freely and make his own judgments about any matter whatsoever, and cannot becompelled to do so.This is why a government which seeks to control people’s minds isconsidered oppressive, and any sovereign power appears to harm its subjects and usurptheir rights when it tries to tell them what they must accept as true and reject as falseandwhat beliefs should inspire their devotion toGod. For these things are within eachperson’s own right,which he cannot give up evenwere he to wish to do so.84 Bdk. Robert Duff, Op. Cit., 472.
84
negara yang baik akan memberi kesempatan kepada
warganya untuk berpikir sesuai dengan apa yang
disukainya dan berbicara seturut apa yang
dipikirkannya.85 Terjaminnya kebebasan berpikir tentu
membuat warga negara aman dan mengalami kebahagiaan
dalam hidupnya.
Kebebasan Berbicara
Dalam kehidupan bernegara, setiap orang bebas
berbicara atau mengungkapkan pendapatnya. Manusia
berbicara untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan,
harapan dan kepercayaannya. Jika ada penguasa yang
memaksa seseorang berbicara tidak sesuai dengan apa yang
dipikirkannya tetapi sesuai dengan kemauan penguasa, maka
tindakan tersebut adalah kelaliman dan merupakan bentuk
penghancuran kebebasan manusia.86 Hal ini menunjukkan
bahwa kebebasan berbicara merupakan hak natural yang
tidak dapat ditaklukkan oleh orang lain. Tindakan represi
atau paksaan untuk tidak berbicara sangat berbahaya sebab
85 Bdk. Benedict Spinoza, A Theological-Political Treatise, 257.86 Bdk. Robert Duff, Op. Cit., 476.
85
para warga akan memberontak dalam rangka memperjuangkan
kebebasannya.
Menurut Spinoza, kebebasan berbicara sesuai dengan
apa yang dipikirkan setiap pribadi tidak mungkin dicabut
oleh penguasa.87 Akan tetapi, ada hal penting yang perlu
diperhatikan antara lain: kebebasan yang dimiliki manusia
tidak boleh mengganggu hak dan otoritas penguasa dan
tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum
negara. Selain itu, kebebasan tersebut tidak boleh
mengganggu ketenteraman bersama dan juga tidak
menghalangi kesetiaan dalam mengabdi negara.
Kebebasan Beragama
Setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan apa
yang terbaik demi kebahagiaan hidupnya. Akal budi
memampukan manusia untuk menemukan apa yang berfaedah
bagi dirinya. Menurut Spinoza, setiap manusia memiliki
hak untuk memeluk agama tertentu.88 Berkaitan dengan hal
demikian, tidak ada seorang pun yang bisa memaksa
seseorang untuk memeluk atau tidak memeluk agama87 Bdk. Benedict Spinoza, A Theological-Political Treatise, 260.88 Ibid., 264.
86
tertentu. Hak untuk memeluk agama adalah hak kodrati
manusia yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain.
Dengan demikian, negara, organisasi masyarakat atau agama
tertentu tidak mempunyai kuasa untuk memaksa seseorang
dalam menganut atau tidak menganut agama tertentu.89
Pemikiran Spinoza tentang kebebasan beragama ini
tidak bisa dipisahkan dari pengalaman hidupnya di
Belanda. Pada waktu itu, Spinoza diekskomunikasi dari
agama Yahudi karena dianggap sebagai penentang
ortodoksi.90 Pemikiran kritisnya yang terungkap dalam
keberaniannya dalam menafsirkan Kitab Suci secara liberal
atau tidak mengikuti tafsiran sebagaimana lazimnya
ternyata mengundang amarah dari pemuka agama Yahudi.
Setelah dibujuk untuk kembali menghargai ajaran Yahudi
dan Spinoza tidak menghiraukannya, maka mereka
mengekskomunikasinya.
Selain itu, ia juga menyaksikan sendiri bagaimana
kehidupan beragama di Belanda diwarnai dengan konflik
antara pihak tertentu. Khususnya, konflik di dalam Gereja
Reformasi Belanda antara partai Remonstrants dan kontra
Remonstrants yang menyita perhatian banyak orang.91
89 Bdk. Robert Duff, Op. Cit., 477.90 Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction, New York: Cambridge University Press, 2006, 791 Bdk. Benedict Spinoza, A Theological-Political Treatise, 247.
87
Kelompok Remonstrants merupakan himpunan orang-orang yang
dikeluarkan dari Gereja Reformasi Belanda pada tahun 1619
karena menolak doktrin predestinasi dan ajaran tentang
rahmat. Kelompok Remonstants ini mendukung Partai
Republik yang menjunjung tinggi kebebasan manusia. Kelak
Spinoza bergabung dengan kelompok ini. Di pihak lain, ada
kelompok Kontra Remonstrants yakni orang-orang
konservatif yang berani menentang kelompok Remonstrants
dan masih setia pada ortodoksi Calvinist. Kelompok
kontra Remonstrants ini menjadi pendukung Partai
Orangist.
Pengalaman di atas mendesak Spinoza untuk
mengungkapkan isi hatinya tentang hak alamiah manusia
untuk memeluk atau tidak memeluk agama tertentu. Ia
prihatin dengan pemerintah atau ororitas agama Yahudi
yang memaksa orang-orang agar mengikuti begitu saja
ajaran agama tanpa dikritisi oleh akal sehat.92
Menurutnya, di dalam kehidupan beragama, manusia dengan
bebas menggunakan akal budinya untuk menghayati hidup
keagamaannya dengan baik tanpa intervensi pihak lain.
Otoritas yang mengintervensi seseorang atau sekelompok
orang untuk memeluk agama tertentu adalah penguasa yang
lalim. Yang terpenting dalam sebuah agama adalah orang-92 Bdk. Steven Nadler, Op. Cit., 8.
88
orang berjuang untuk melakukan cinta kasih dan
keadilan.93
3.4. Kebahagiaan sebagai Tujuan Akhir Kebebasan
Jika ditanya, apakah tujuan akhir dari kebebasan
manusia menurut Spinoza? Jawabannya adalah menggapai
kebahagiaan hidup. Akan tetapi, apa hubungan kebebasan
dan kebahagiaan? Menurut Spinoza, kebebasan adalah
hakekat manusia. Berkat akal budinya, ia bisa menentukan
dirinya (self-determination) dan mengekspresikan kebebasan
itu dalam kehidupan bersama. Ia mempunyai kebebasan
berpikir, berbicara dan beragama. Inilah hak-hak
kodratinya sebagai makhluk rasional. Tidak ada seorangpun
yang bisa merampas kebebasannya ini. Dengan
mengekspresikan kebebasan ini, manusia mengalami
kebahagiaan.
Apa yang menjadi sumber kebahagiaan manusia?
Spinoza menegaskan bahwa mengenal Allah adalah tujuan
akhir hidup manusia. Berkat rasionya, manusia mampu
mengenal dan mencintai Allah secara intelektual (amor Dei
intelectualis). Ada dua hal penting yang bisa diuraikan
berkaitan dengan amor Dei intelectualis dalam hubungannya93 Bdk. Benedict Spinoza, A Theological-Political Treatise, 265.
89
dengan kebebasan dan kebahagiaan manusia.94 Pertama,
kebebasan itu tidak bersifat pasif, melainkan aktif.
Manusia secara intelektual mengenal, mencintai dan
menyerahkan diri kepada Allah. Ketiga kata ini,
‘mengenal, mencintai dan menyerahkan diri’ secara
intelektual menunjukkan suatu usaha atau kegiatan aktif.
Kedua, cinta kepada Allah juga bersifat intelektual
karena didasarkan pada pengertian dan pemahaman belaka,
bukan suatu hubungan antarpribadi. Dalam cinta ini,
manusia bisa melihat segala sesuatu dari sudut
keabadiannya (sub specie aeternitatis). Maksudnya, dalam diri
Allah kita bisa memandang segala sesuatu yang ada dalam
alam semesta ini secara menyeluruh, sehingga tidak ada
lagi bagian-bagian yang saling terpisahkan. Mengapa?
Alasannya, bagi Spinoza Allah adalah alam dan alam adalah
Allah (Deus sive Natura). Hal di atas telah ditegaskan oleh
Spinoza dalam Ethics:
Kebahagiaan adalah kepuasaan (kesenangan) diri yang
bersumber dari pengetahuan intuitif tentang Allah. Kita
perlu menyempurnakan pemahaman kita dengan mengenal
Allah, atribut-atribut dan tindakan-Nya. Karena itu,
bagi manusia yang hidup di bawah tuntunan akal budi,
94 Simon P. L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004, 217.
90
tujuan akhir hidupnya adalah mengenal dan mencintai
Allah secara intelektual atau amor Dei intelectualis.95
Kebebasan individual yang diperjuangkan oleh setiap
manusia (berpikir, berbicara dan beragama) dalam negara
demokrasi merupakan proses menggapai kebahagiaan. Negara
demokrasi yang menjamin kebebasan individual membantu
manusia untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.
Dengan jaminan tersebut, warga negara diharapkan mampu
mengembangkan kasih rasional kepada Allah (amor Dei
intelectualis) sebagai puncak kebahagiaannya. Hal ini
ditegaskan juga oleh Spinoza dalam A Theological-Political
Treatise:
Cinta kepada Allah adalah kebahagiaan tertinggi dari
manusia dan tujuan final dari segala aktivitasnya.
Selanjutnya, ia mencari hukum ilahi dan terfokus
mencintai Allah bukan karena takut akan hukuman maupun
mencintai sesuatu yang lain, misalnya kenikmatan,
ketenaran dan sebagainya, tetapi karena sebuah fakta
bahwa ia mengenal Allah atau ia mengetahui bahwa
pengetahuan akan Allah merupakan kebaikan tertinggi.
Karena itu, ringkasan dari hukum ilahi adalah mengakui
bahwa cinta kepada Allah sebagai kebaikan tertinggi,
bukan untuk mencintai-Nya karena ketakutan akan hukuman.
Karena kita mengakui bahwa Allah menjadi kebaikan
95 Benedict Spinoza, Ethics, EIVapp4, 358.
91
tertinggi, maka pengenalan dan cinta kepada Allah adalah
tujuan final di mana seluruh aktivitas kita diarahkan.96
Dengan demikian, kebebasan yang diperjuangkan atau
dihayati manusia dalam sebuah negara bukan hanya demi
kebebasan politis, tetapi lebih mendalam dari hal
tersebut yakni mengejar kebaikan tertinggi (summum
bonum): semakin mengenal dan mencintai Allah secara
intelektual.
Lebih lanjut, dalam A Political Treatise, Spinoza juga
mengungkapkan pendapatnya tentang kasih kepada Allah
sebagai tujuan pencarian akal budi manusia.
Sejauh agama diperhatikan, kita bisa memastikan bahwa
semakin seseorang mencintai Allah dan menyembah-Nya
dengan sepenuh hati, maka ia semakin bebas dan semakin
patuh kepada dirinya sendiri. Sementara itu, ketika kita
tidak menghargai aturan alamiah-yang mana kita tidak
mengetahuinya- tetapi hanya perintah akal budi ketika
96 Id., A Theological-Political Treatise, 61. Since love of God is the highest felicity andhappiness of man, his final end and the aim of all his actions, it follows that he aloneobserves the divine law who is concerned to love God not from fear of punishment nor love ofsomething else, such as pleasure, fame etc., but from the single fact that he knows God, orthat he knows that the knowledge and love of God is the highest good. The sum of the divinelaw therefore and its highest precept is to love God as the highest good, that is, as we havealready said, not to love Him from fear of punishment or penalty, nor for love of some otherthing by which we desire to be pleased. For the idea of God requires that God should be ourhighest good: i.e., that the knowledge and love of God is the ultimate end to which all ouractions are to be directed.
92
mereka memperhatikan agama (pada saat yang sama
menyadari bahwa hal ini telah disingkapkan oleh Allah
dalam diri kita, atau telah diungkapkan kepada para nabi
dalam bentuk hukum-hukum), kemudian, berbicara dalam
cara-cara manusia, kita mengatakan bahwa dia yang
mencintai Allah dengan segenap hati adalah taat kepada
Allah dan ia yang dikendalikan oleh hasrat yang buta
disebut pendosa. 97
Kutipan ini menunjukkan kepada kita bahwa menyembah
dan mencintai Allah dengan tekun adalah bagian penting
dari pencarian manusia di dunia ini. Ini adalah kebutuhan
alamiah manusia yang tertanam dalam dirinya dan tidak
bisa dirampas oleh siapapun. Dengan mengenal dan
mencintai Allah, manusia mampu meningkatkan kekuatannya
untuk mempertahankan diri (conatus) dan akhirnya mengalami
kebahagiaan.
Berdasarkan uraian di atas, kita bisa mengatakan
bahwa warga negara mampu menemukan kebahagiaan hidup
sebagai makhluk rasional kalau di dalam negara dijamin
kebebasan individual. Dengan kata lain, manusia mampu97 Id., Political Treatise, 299. As far as religion is concerned, it is also quite certain thatthe more a man loves God and worships him with all his heart, the more he is free and themore completely obedient to his own self. Still, when we have regard not to Nature's order -of which we are ignorant- but only to the dictates of reason as they concern religion (at thesame time realising that these are revealed to us by God as though speaking within us, orthat they were also revealed to the prophets in the form of laws) then, speaking in humanfashion, we say that he who loves God with all his heart is obedient to God, and he who isguided by blind desire is a sinner.”
93
mengungkapkan cinta rasional kepada Allah sebagai puncak
kebahagiaannya, kalau kebebasan berpikir, berbicara,
berekspresi dan beragama sungguh-sungguh dijunjung tinggi
di dalam negara. Hal inilah yang hendaknya disadari oleh
para penanggung jawab negara. Mereka harus menjamin
kebebasan kodrati para warganya demi menggapai
kebahagiaan sejati.
3. 5. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa ulasan tentang konsep kebebasan
manusia di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Spinoza
kebebasan itu tidak lain adalah kemampuan manusia untuk
hidup di bawah tuntunan akal budinya. Kebebasan bukan
terutama ketiadaan represi dari pihak luar dalam mengejar
keinginan tetapi merupakan kemenangan akal budi atas
emosi-emosi yang tidak membawa manusia pada
kesejahteraan. Kebebasan selalu bersumber dari dalam diri
manusia yang mengarahkannya agar bertindak secara
bijaksana dan tidak merugikan kepentingan orang lain.
Dengan demikian, konsep kebebasan sebagai
determinasi diri, otonomi dan kebajikan memiliki
fondasinya dalam diri manusia yakni akal budi. Manusia
bisa menentukan atau mengontrol dirinya, melakukan
kebajikan dan menjadi otonom karena ia menuruti perintah
94
akal budinya. Berkaitan dengan hal ini, kita juga perlu
menyadari bahwa manusia memiliki kebebasan karena akal
budinya memiliki hubungan dengan akal budi ilahi. Ia
hanya mengambil bagian dalam kebebasan Allah.
Dalam perspektif filsafat politik, tampak bahwa
konsep kebebasan manusia yang dimaksudkan Spinoza itu
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan seseorang sebagai
makhluk rasional sekaligus sosial. Sebagai makhluk
rasional, manusia didorong untuk menjalankan hidup sesuai
tuntunan akal budinya. Akan tetapi, sebagai makhluk
sosial, manusia membutuhkan orang lain. Karena itu, akal
budi yang dimiliki manusia hendaknya menjadi penuntun
dalam kehidupan bersama orang lain.
Selanjutnya, manusia bisa mengaktualisasikan
kebebasannya dalam negara melalui partisipasi dalam
demokrasi karena akal budi yang menjadi penuntun
hidupnya. Negara merupakan wadah yang tepat bagi manusia
untuk mewujudkan kebebasan individualnya. Yang pasti
adalah aneka aturan atau hukum yang ada di dalam negara
tidak boleh menutup ruang kebebasan bagi warganya.
Sebaliknya, hukum itu hendaknya menjamin kebebasan warga
negara. Selain itu, kebebasan warga negara juga tidak
boleh berlebihan atau tidak boleh bertentangan dengan
95
kepentingan umum. Warga negara tetap mematuhi hukum
negara. Bahkan mereka harus berjuang untuk menjamin
kesejahteraan semua orang.
Pemikiran Spinoza yang menekankan peranan akal budi
ini mengingatkan orang pada Thomas Aquinas. Filsuf besar
abad pertengahan ini menekankan arti pentingnya akal budi
manusia dalam pembuatan hukum di dalam kehidupan
bernegara. Dengan akal budinya, manusia memiliki segala
apa yang perlu untuk berpikir dan menghendaki yang benar
bagi dirinya dan sesamanya. Baginya, hukum yang ada di
dalam negara tidak lain adalah tatanan akal budi (ordo
rationis).98 Artinya, daya wajib dari hukum itu
didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat
memikirkannya. Pemahaman ini memiliki konsekuensi yakni
tidak semua peraturan hukum yang diperintahkan mewajibkan
orang untuk mematuhinya. Misalnya, perintah untuk
membunuh orang Yahudi pada zaman Nazi tidak memiliki daya
wajib sebab perintah itu tidak masuk akal.99 Spinoza juga
menekankan bahwa hukum dalam negara harus menjadi cetusan
akal budi manusia yang bertujuan membangun kesejahteraan
semua orang.
98 Bdk. Armada Riyanto, Filsafat Etika Politik, Malang: STFT Widya Sasana, 2007, 188. (manuscripto)
99 Ibid.
96
Kita juga menemukan bahwa Spinoza memaknai kebebasan
secara positif yakni tindakan yang muncul dari kekuatan
dari dalam diri seseorang dengan penggunaan akal budi
secara maksimal.100 Dalam sudut pandang filsafat politik,
kebebasan itu tidak pertama-tama dimaknai sebagai
ketiadaan intervensi dari pemerintah atau penguasa tetapi
sebuah kemampuan yang muncul dari dalam diri manusia
untuk bertindak secara bijaksana dalam negara tanpa
merugikan pihak lain. Kebahagiaan adalah tujuan akhir
ekspresi kebebasan manusia. Kebebasan berpikir,
berbicara, berekspresi dan beragama merupakan jalan
menuju kebahagiaan. Kalau kebebasan kodrati ini dapat
dihayati dengan baik dan sungguh-sungguh dijamin oleh
negara, maka manusia pasti menemukan kebahagiaan dalam
hidupnya. Kebahagiaan itu terletak pada persatuan dengan
Allah secara intelektual (amor Dei intellectualis). Spinoza
meyakini bahwa memberikan kasih rasional kepada Allah
akan memberikan suka cita intelektual kepada manusia.
Inilah puncak kebahagiaan manusia!
100 Ibid., 242.
97