(7) JURNAL@-Konstitusi & Persekusi Kebebasan Beragama di Daerah Arif Hidayat 2012

40
PERLINDUNGAN KONSTITUSI DAN PERSEKUSI KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN DI INDONESIA Oleh : Arif Hidayat Pengajar HTN/HAN Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES) Email: [email protected] Abstract This study investigated the constitutional protection of freedom of religion/belief in Indonesia. Freedom of religion as a right that can not be subtracted under any circumstances, have been guaranteed in Article 28 paragraph 1 of the 1945 Constitution and some regulations about human rights in Indonesia. As one of the rights that can not be reduced, then the supposed religious rights are universal and non discriminatory. Legal reality of the product of discriminatory laws and regulations in their application has opened a space for the coating of the offense, whether "violence by judicial" or acts of persecution that is based on the reality of the laws that were discriminatory. Condition "silent majority" and vulnerable communities are also increasingly make room for the persecution of religious freedom. Decision of the Constitutional Court (MK) which have rejected the constitutional review of the Act Number 1/PNPS/1965 about the Prevention of Abuse and/or the desecration religious can be read as a reinforcement of the juridical existence relating to the right of religious freedom. The decision constructing of the idea that various forms of desecration and blasphemy as violence in the name of religion or religious radicalism and the persecution of freedom of religion/belief in Indonesia that is not caused by juridical the product in the era of the old order or juridical emergency product, but it is more caused by the compilation of problems such as unfairness, disparity, and helplessness. Keywords: Constitutional Protection, Right to Freedom of Religion/Belief Abstrak Penelitian ini mengupas perlindungan konstitusi terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Hak beragama sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun, telah dijamin dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 dan beberapa regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi, maka hak beragama semestinya berlaku secara universal dan non diskriminasi. Realitas legal diskriminatif produk peraturan perundangan-undangan dalam aplikasinya telah membuka ruang bagi terjadinya pelapisan pelanggaran, baik “violence by judicial” maupun tindakan persekusi yang didasarkan pada realitas produk hukum yang diskriminatif. Kondisi “silent majority” dan masyarakat yang rentan juga semakin memberikan ruang bagi persekusi kebebasan beragama. Putusan Mahkamah

Transcript of (7) JURNAL@-Konstitusi & Persekusi Kebebasan Beragama di Daerah Arif Hidayat 2012

PERLINDUNGAN KONSTITUSI DAN PERSEKUSI KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN

DI INDONESIA

Oleh : Arif Hidayat

Pengajar HTN/HAN Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Email: [email protected]

AbstractThis study investigated the constitutional protection of freedom of religion/belief in

Indonesia. Freedom of religion as a right that can not be subtracted under anycircumstances, have been guaranteed in Article 28 paragraph 1 of the 1945 Constitutionand some regulations about human rights in Indonesia. As one of the rights that can not bereduced, then the supposed religious rights are universal and non discriminatory. Legalreality of the product of discriminatory laws and regulations in their application has openeda space for the coating of the offense, whether "violence by judicial" or acts of persecutionthat is based on the reality of the laws that were discriminatory. Condition "silent majority"and vulnerable communities are also increasingly make room for the persecution ofreligious freedom. Decision of the Constitutional Court (MK) which have rejected theconstitutional review of the Act Number 1/PNPS/1965 about the Prevention of Abuse and/orthe desecration religious can be read as a reinforcement of the juridical existence relating tothe right of religious freedom. The decision constructing of the idea that various forms ofdesecration and blasphemy as violence in the name of religion or religious radicalism andthe persecution of freedom of religion/belief in Indonesia that is not caused by juridical theproduct in the era of the old order or juridical emergency product, but it is more caused bythe compilation of problems such as unfairness, disparity, and helplessness.

Keywords: Constitutional Protection, Right to Freedom of Religion/Belief

AbstrakPenelitian ini mengupas perlindungan konstitusi terhadap kebebasan

beragama/berkeyakinan di Indonesia. Hak beragama sebagai salah satu hak yang tidakdapat dikurang dalam keadaan apapun, telah dijamin dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945dan beberapa regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai salah satu hakyang tidak dapat dikurangi, maka hak beragama semestinya berlaku secara universal dannon diskriminasi. Realitas legal diskriminatif produk peraturan perundangan-undangandalam aplikasinya telah membuka ruang bagi terjadinya pelapisan pelanggaran, baik“violence by judicial” maupun tindakan persekusi yang didasarkan pada realitas produkhukum yang diskriminatif. Kondisi “silent majority” dan masyarakat yang rentan jugasemakin memberikan ruang bagi persekusi kebebasan beragama. Putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) yang telah menolak Pengujian Konstitusional Undang-Undang Nomor1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,dapat dibaca sebagai penguatan terhadap eksistensi yuridis yang berhubungan denganhak kebebasan beragama. Putusan tersebut mengkonstruksi pemikiran bahwa berbagaibentuk penodaan dan pelecehan agama seperti kekerasan atas nama agama atauradikalisme agama maupun persekusi kebebasan beragama/berkeyakinan yang terjadi diIndonesia bukanlah disebabkan oleh produk yuridis di era orde lama atau produknyabersifat darurat, tetapi lebih disebabkan oleh kompilasi permasalahan sepertiketidakadilan, disparitas, dan ketidakberdayaan.

Kata Kunci: Perlindungan Konstitusional, Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

A. Pendahuluan

UU No.1/PNPS/Th.1965 maupun pemberlakuan turunan dalam

putusan politik baik berupa SKB (Surat Keputusan Bersama)

Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008

tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,

dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

dan Warga Masyarakat, maupun Perber (Peraturan Bersama)

Menag dan Mendagri 2006 yang merupakan revisi dari Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menag dan Mendagri No. 1/1969, dalam

praktiknya justru terbukti menjadi acuan bagi suatu kelompok

untuk meniadakan -bahkan dengan kekerasan- kelompok lain,

atas dasar klaim ”penodaan agama”.1

Selain itu, terdapat sekitar 21 produk kebijakan yang

dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintaan,

baik di tingkat nasional maupun lokal mengenai ”Peringatan

dan Perintah terhadap Kelompok Ahmadiyah”, yang mencantumkan

UU No. 1/1965 sebagai dasar hukumnya.2

Persoalan utama di balik regulasi tersebut dikarenakan

negara mendominasi ranah privat agama. Hak kebebasan

1 Kasus penyerangan dan penyerbuan terhadap kelompok Ahmadiyah yangterus menerus terjadi sampai saat ini

2 ____________, Laporan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2010, hlm. 6.

beragama yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan penganut

agama, telah diambil oper oleh negara. Dengan demikian,

wewenang negara pada agama sudah jauh menyimpang, bukan lagi

pada tataran yang semestinya, “tataran batasan agama” (at the

boundaries of religion), tapi sudah “melintasi tataran batasan

agama” (across the boundaries of religion) dengan mencampuri urusan

intern agama. Akibatnya, kelompok agama minoritas mengalami

upaya pengerdilan agama (the trivialization of religion).3

Kebebasan berkeyakinan dan larangan penodaan agama

adalah dua entitas yang selalu mengalami pergulatan serius

terkait HAM (Hak Kebebasan Berkeyakinan). Kenyataan seperti

inilah yang sedang dialami UU No.1/PNPS/Th.1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Bila

dilihat dari satu sisi, para pemohon judicial review, UU ini

telah merenggut kebebasan berkeyakinan. Alasannya, selama

ini telah banyak terjadi justifikasi penyesatan terhadap

kelompok minoritas keberagamaan. Mereka yang mempunyai

penafsiran lain terhadap ajaran agama dianggapnya sesat dan

telah menodai atau melecehkan suatu ajaran agama.

Bila dilihat dari sisi pendukung UU ini, larangan

penodaan agama merupakan instrumen untuk menjaga kebebasan

berkeyakinan tersebut agar selalu memperhatikan kerukunan

berkeyakinan. Dalam pandangan mereka, kebebasan menjalankan

ibadah harus selalu dikontrol. Salah satu kontrolnya adalah

menegaskan bahwa kebebasan berkeyakinan sebenarnya merupakan

kebebasan bersyarat. Dengan persyaratan ini, seseorang tidak

boleh mengekspresikan keberagamaannya dengan cara melukai

3 Benyamin F. Intan, “Peraturan Bersama (Perber) Kontraproduktif”, OpiniHarian Seputar Indonesia (Sindo), Selasa, 21 September 2010.

atau menodai ajaran suatu agama. Oleh sebab itulah

diperlukan peran negara membuat peraturan yang mengontrol

kebebasan berkeyakinan agar tidak terjadi penodaan agama.

Perdebatan demikian telah terjadi dalam sidang constitutional

review UU No.1/PNPS/Th.1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi

menolak permohonan constitutional review.

Penulis perlu memberikan beberapa koridor penulisan

hasil penelitian ini agar tidak mengalami perluasan

pembahasan yang tidak fokus dan menghindari kesimpangsiuran

penyajian. Pertama, kebebasan agama/berkeyakinan akan

dianalisis dengan perspektif Hukum & HAM dan relasi negara-

agama dalam perspektif kewenangan negara mengawal pemenuhan

HAM bidang kebebasan beragama/berkeyakinan. Kedua, penulis

juga perlu mempertegas bahwa bahasan kajian ini berkaitan

dengan persekusi kebebasan beragama/berkeyakinan di beberapa

daerah melalui pemantauan mediatik. Ketiga, mengenai masalah

undang-undang, penulis hanya akan membahas UU

No.1/PNPS/Th.1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama dan putusan judicial review-nya, serta hanya dalam

aspek materiilnya.

B. Metode Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah

pendekatan dengan melakukan penelitian secara mendalam

terhadap hukum yang berlaku. Penelitian normatif yang

berpangkal pada pendekatan pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dengan menganalisis keterhubungannya dengan

persoalan kebebasan beragama. Pengkajian ini dapat

digolongkan sebagai penelitian normatif-doktrinal dengan

pendekatan konseptual (conseptual approach). Melalui pendekatan

konseptual, peneliti akan merujuk pada prinsip-prinsip hukum

yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana

atau doktrin-doktrin hukum. Metode analisis yang digunakan

adalah metode analisis krisis (critical analysis) melalui

pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis).

Pengolah dan analisis data dilakukan dengan cara kualitatif

berdasarkan sajian (penyajian hasil penelitian) deskriptif.4

Tipe penelitian bersifat eksploratif5 yaitu suatu

penelitian yang dilakukan untuk memperdalam pengetahuan

mengenai suatu gejala tertentu atau untuk mendapatkan ide-

ide baru mengenai suatu gejala tertentu tersebut. Pemantauan

mediatik di beberapa daerah sebagai lokus area penelitian

dilakukan untuk mendukung penelitian kepustakaan, agar mampu

menawarkan solusi terhadap objek permasalahan yang dikaji

sebagai ius constituendum.6

C. Pembahasan

1. Pola Relasi Agama-Negara

Dalam rangka “pelibatan diri” negara untuk

memelihara kerukunan beragama/berkeyakinan, para founding

fathers telah membangun negara yang berdasarkan Pancasila.4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ketiga, (Jakarta: UI-

Press, 1986), hlm. 6. 5 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. Kelima, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2003), hlm. 25. 6 Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya,

Ifdhal Kasim (Ed.). (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002) hlm. 146-170.

Konsep ini berarti bahwa negara bukan berdasarkan satu

agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Negara tidak

identik dengan agama tertentu karena negara melindungi

semua agama yang ingin dipeluk rakyatnya asalkan tidak

menyimpang. Negara juga tidak melepaskan agama dari

urusan negara. Negara bertanggungjawab atas eksistensi

agama, kehidupan beragama dan kerukunan hidup beragama.

Keterkaitan antara agama dan negara di Indonesia dapat

dilihat dari lembaga-lembaga keagamaan, peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau

kehidupan keagamaan, dan kebijakan-kebijakan lain yang

bertalian dengan kehidupan keagamaan.7

Hal ini kemudian ditegaskan juga dalam Pembukaan UUD

1945 Aline IV bahwa dalam menjalankan kewajiban tersebut

maka Pancasila sebagai sebuah sistem ideologi adalah

menjadi dasarnya. Pancasila mempunyai 5 (lima) Sila yang

di antara mereka adalah merupakan satu kesatuan yang

tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketika

memaknai arti Ketuhanan dalam kehidupan berbangsa maka

akan hadir juga aspek kemanusiaan yang mempunyai segi

universalitas (human being as a whole), persatuan nasional

yang menjaga pluralitas, demokrasi yang agung (wisdom) dan

takzim terhadap kehendak rakyat, serta kesejahteraan

untuk semua yang searah dengan rasa keadilan.

Putusan a quo secara spesifik dan legal text adalah

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama, namun dalam kerangka di mana hukum itu akan eksis

7 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945 (Jakarta: UniversitasIndonesia Press, 1995), hlm. 146.

dan berkorelasi sosial-antropologis maka akan sangat

terkait erat dengan aspek ber-Ketuhanan dalam ranah

publisitas berkeagamaan dan berkeyakinan di Indonesia.

Kedudukan Undang-Undang tersebut kemudian secara

sederhana dan awam akan mudah dikaitkan, legitimasi

maupun eksistensinya, dengan Sila Ke-1 Pancasila yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut tentu sangat logis,

akan tetapi akan begitu bermasalah ketika Sila Ke-1

tersebut tidak dikaitkan dengan sila Pancasila yang

lainnya sebagai satu kesatuan. Lebih luas lagi,

menyangkut Pancasila sebagai ideologi yang terbuka,

Indonesia telah menjadi bagian dari sistem hukum

internasional yang dalam beberapa dekade ini telah dengan

masifnya mengintrodusir norma-norma hak asasi manusia

(HAM) yang bahkan telah diadopsi menjadi hak-hak

konstitusional melalui amandemen ke-2 UUD 1945.

Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi,

diantaranya, 2 (dua) kovenan penting HAM Internasional

yaitu Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu prinsip

pokok dari hak asasi manusia adalah ketidakterpisahan

(indivisibility) antara hak-hak yang satu dengan yang lainnya.

Memenuhi hak kebebasan beragama suatu kelompok tidak

berarti boleh melakukan diskriminasi terhadap kelompok

beragama atau berkepercayaan lainnya. Prinsip kesetaraan

(equality) harus selalu mengikuti setiap tindakan pemenuhan

kewajiban ne gara dalam penegakan hak asasi manusia

(protect, promote, fulfil).8

Dalam konteks kesetaraan terhadap semua pemeluk

agama dan kepercayaan, aspek perlindungan terhadap

kelompok minoritas yang rentan (minority-and-vulnarable groups)

harus mendapatkan perhatian yang lebih karena sejarah

telah membuktikan adanya kekerasan-kekerasan yang mereka

dapatkan baik oleh kelompok beragama lainnya (comission)

maupun minimnya perlindungan oleh negara (omission).9

Dengan melihat konstelasi hukum, hak asasi manusia,

Pancasila, dan pluralitas bangsa maka sudah sewajarnya

jika pertimbangan hukum dalam proses constitutional review UU a

quo oleh semua pihak (pemohon, pihak terkait, dan

terutama Mahkamah Konstitusi) sepatutnya, dan boleh

dikata tidak ada pilihan lain kecuali harus menggunakan

pendekatan yang komprehensif, interdisipliner, dan

kembali kepada kaidah-kaidah penafsiran hukum yang

menjunjung tinggi semangat keadilan dan kesetaraan

sebagai muara akhir dari alasan mengapa hukum itu

diciptakan.

Pendekatan para pemohon constitutional review UU

1/PNPS/1965 yang mengikuti pikiran sekularisme telah

menjebak bukan hanya ke dalam pemikiran yang rancu, juga

secara sadar atau tidak, ke dalam pikiran yang cenderung

berbeda dengan Pancasila. Sila pertama yang berbunyi

“Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi dasar yang memimpin8 Vide: Pasal 2 Par.1 ICCPR, Pasal 2 Par.2 ICESCR, Pasal 28I (2) UUD

1945, Pasal 3 (3) UU No.39/1999 tentang HAM.9 Hak atas affirmative action berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU No.39/1999

tentang HAM.

sila-sila yang lain, sebagaimana yang ditafsirkan oleh

Bung Hatta. Penafsiran Bung Hatta ini, apabila ditilik

dari sudut Islam, maka sila Ketuhanan yang Maha Esa tiada

lain identik dengan prinsip tauhid yang berhubungan

secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan,

persamaan, kekebasan, persaudaraan dan musyawah.10

Gagasan ini sekaligus sangat berbeda dengan

sekularisasi Nurcholis. Dia pernah menyatakan negara

merupakan salah satu segi kehidupan duniawi yang

dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama

merupakan aspek kehidupan lain (ukhrawi) yang dimensinya

adalah spiritual pribadi. Gagasan ini sekaligus langsung

mendapat kritik dari Prof. Rasjidi. Salah satu kritik

yang tajamnya seperti “agama Islam tidak hanya berdimensi

spiritual dan personal saja, tetapi sekaligus juga

berdimensi duniawi, sosio-kolektif”. Hal ini seperti iman

yang menjadi motor penggerak untuk melakukan karya

sosial.11 Dengan demikian pada dasarnya, antara agama dan

negara memang secara fitrah tidak bisa saling memisahkan

diri.

Dalam kasus eksistensi UU 1/PNPS/1965, hukum hendak

dirumuskan manusia tidak hanya hanya berangkat dari satu

segi penjelmaan hidup kemasyarakatan saja, yang semata-

10 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturandalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 152-157.

11 Buku yang dapat dibaca mengenai pemikiran Nurcholis Madjid, Islam,Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1989) dan Nurcholis Madjid, Islam,Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992). Sedangkan bukupengkritik dari pemikiran Nurcholis adalah Rasjidi, Koreksi terhadap Drs NurcholisMadjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) dan Faisal Ismail,Sekularisasi: Membongkar Kerancauan Pemikiran Nurcholis Madjid (Yogyakarta: YayasanNawesea, 2008).

mata hanya bertakluk kepada unsur-unsur yang ada dalam

pergaulan manusia dengan manusia saja dalam masyarakatnya

itu. Memang keberadaan perhubungan antar manusia dengan

manusia merupakan hak asasi antar sesama manusia. Namun

melebihi semua itu, setiap manusia yang menjadi anggota

masyarakat itu mempunyai pula –mau tidak mau– kewajiban

menciptakan hukum yang berguna untuk sesuatu yang

berhubungan dengan Tuhannya yang Maha Esa.12

Berkenaan dengan inilah Hazairin memperjelas

hubungan antara agama, hukum dan negara. Negara hanya

bertugas menjamin kerukunan umat beragama melaksanakan

peribadatannya. Sedangkan mengenai keabsahan peribadatan

suatu agama diserahkan kepada masing-masing institusi

agama yang mempunyai kewenangan untuk hal itu. Hazairin

menafsirkan rumusan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945

antara lain sebagai berikut: “Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yangbertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang dianut umatberagama di Indonesia. Negara RI wajib menjalankan syariat bagimasing-masing agama sesuai dengan syariatnya. Syariat yang tidakmemerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dankarena itu dapat berdiri sendiri adijalankan oleh setiap pemelukagama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allahbagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri-sendiri.”13

Pada tahun 1967, pemerintah telah mengambil

inisiatif untuk melakukan Musyawarah Antar-Umat Beragama

yang diharapkan dapat melahirkan gentlemen agreement di

antara para tokoh dan pemimpin agama dalam memelihara

kerukunan. Sayangnya, gentlemen agreement tersebut ditolak

oleh peserta dari agama Katolik dan Protestan karena12 Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta: Tintamas, 1974), hlm. 72.13 Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tintamas, 1973), hlm. 18-19.

terdapat klausul tentang larangan menyebarkan agama

kepada mereka yang telah memeluk suatu agama. Padahal di

sisi lain, peserta dari Islam, Hindu dan Budha menyambut

baik pengaturan itu dan sudah menyetujuinya.14

Tidak surut keinginan menciptakan kerukunan hidup

beragama, tahun 1969, terdapat tindak lanjut pertemuan

sebelumnya dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB)

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-

MAG/1969 tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan

dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan

Pengembanan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya”.

Selanjutnya, lahir beberapa Surat Keputusan lagi untuk

lebih mendukung regulasi sebelumnya. Sebagai tindak

lanjut regulasi jaminan akan ketertiban ibadah masing-

masing pemeluk agama, pemerintah membuat aturan

menyangkut tatacara penyebarluasan ajaran agama khusus

kepada pemeluknya dan penerimaan bantuan suatu lembaga

keagamaan dari luar negeri. Regulasi ini sebagaimana

tercermin dalam satu tahun saja, yakni 1978. Pada tahun

ini lahir dua Surat Keputusan sekaligus, yakni SK Menteri

Agama No. 70/1978 tentang “Pedoman Penyiaran Agama” dan

SK Menteri Agama No. 77/1978 tentang “Bantuan Luar Negeri

Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia”.

Berikutnya, kita dapat membaca posisi UU

No.1/PNPS/Th.1965 bukannya sebagai justifikasi wewenang

negara untuk menghakimi suatu penganut aliran yang14 M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Antar-Umat Beragama di Indonesia (Jakarta:

Media Dakwah, 1992). AM. Fatwa “ HAM, Pluralsime Agama dan KetahananNasional” Anshari Thayib (ed), HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: Pusat KajianStrategi dan Kebudayaan, 1997), hlm. 35.

dianggap sesat. Justifikasi sesat sepenuhnya masih

diserahkan kepada pihak yang berwenang. Untuk itulah

sebenarnya Pasal 2 mempunyai sinkronitasnya di sini.

Pasal itu dalam ayat 1 mengatakan “Barang siapa melanggar

ketentuan tersebut dalam Pasal 1 (penodaan agama) akan diberi perintah

dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu

keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam

Negeri”. Baru kemudian dalam pasal 2 ayat 2 dijelaskan

pembubaran bagi aliran tersebut berada di tangan

Presiden.

Ketiga komponen itu –agama, hukum dan negara–

apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris

yang merupakan suatu kesatuan dan berkaitan erat antara

satu dengan lainnya. Agama sebagai komponen pertama

berada pada posisi lingkaran yang terdalam, karena ia

merupakan inti dari lingkaran itu. Kemudian disusul oleh

hukum yang menempati lingkaran berikutnya. Negara sebagai

komponen ketiga berada dalam lingkaran terakhir. Posisi

tersebut memperlihatkan bahwa dalam lingkaran konsentris

ini, negara mencakup kedua komponen yang terdahulu yaitu

agama dan hukum.15

Berangkat dari ketiga komponen di atas, UU ini

berguna menjamin kerukunan beragama agar tidak dirusak

oleh kebebasan beragama berkeyakinan. Berikut adalah

argumen hukum Mahkamah Konstitusi: “Bahwa negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasidan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan.

15 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Studi-studi tentang Prinsip-prinsipnya. Dilihatdari Segi Hukum Islam dan Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 43.

Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaankebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragamaorang lain. Di sinilah negara akan mewujudkan tujuannya yakni untukmencapai kehidupan yang lebih baik (the best life possible)”. “…bahwadari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepadasetiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dankebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengantanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang”. 16

Dalam sebuah ungkapan, sebagaimana dikutip Munawir

Syadzali, bahwa “Freedom is not licensee”. Seperti yang tertera

dalam Pasal 1 dari Declaration on the Elimination of All Forms of

Intolerances and of Discrimination based on Religion and Belief (1981),

pemerintah dapat mengambil langkah melalui perundang-

undangan untuk mengatur agar kebebasan

beragama/berkeyakinan, serta kebebasan mengamalkan ajaran

agama dan berdakwah, jangan sampai menganggu keserasian

dan kerukunan hidup beragama yang pada gilirannya akan

membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan

pembangunan.17 Dengan demikian, jaminan yang diberikan

kepada negara adalah kebebasan yang bersyarat. Kebebasan

bukan berarti seseorang bebas sama sekali untuk berbuat

semau dia.

2. Kebebasan Beragama dari Sudut HAM

Kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia

berpijak pada perspektif hak asasi manusia, yang

meletakkan kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak

individu yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (non

derogable rights). Karena itu, definisi-definisi yang

digunakan mengacu pada definisi-definisi dalam disiplin16 Amar Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, hlm. 295. 17 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia, 1990), hlm. 230.

hukum hak asasi manusia. Kebebasan beragama merupakan hak

asasi manusia fundamental, melekat (in heren) pada diri

manusia karena eksistensinya sebagai manusia, sehingga

HAM harus dihormati karena diberikan oleh Tuhan bukan

diberikan oleh negara. Secara naturalis, HAM

didefinisikan sebagai hak-hak kodrati yang dimiliki

seluruh manusia di setiap saat dan di setiap tempat

semenjak lahir menjadi manusia.18 Hak-hak tersebut

meliputi hak hidup, kebebasan beragama dan berkeyakinan

seperti dinyatakan oleh Locke. Meminta pengakuan terhadap

hak-hak ini, sebagai contoh pengakuannya perlu mendapat

legitimasi dari negara, maka akan mereduksi hak-hak asasi

menjadi hak-hak hukum.19

Ahli HAM di Indonesia, seperti Muladi20 dan

Seotandyo21, juga mempunyai pendapat yang sesuai dengan

aliran naturalis di atas. Menurut mereka, HAM adalah hak

yang melekat (in heren) dalam diri setiap manusia karena

posisinya sebagai manusia. Pengertian ini kemudian telah

diakomodasi dalam Pasal 1 UU 39/1999 menyatakan bahwa HAM

adalah separangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum,

18 Jack Donelly, The Concept of Human Rights (New York: St Martin’s Press,1985), hlm. 8-27.

19 Maurice Cranston, What Are Human Rights? (New York: Basic Books, 1962),hlm. 1-3.

20 Muladi, Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum Indonesia (Jakarta: The HabibieCentre, 2002).

21 Soetandyo, HAM: Konsep dasar dan pengertiannya Yang Klasik Pada Masa AwalPerkembangannya, dalam Kumpulan Tulisan tentang HAM (Surabaya: PUSHAM UNAIR,2003).

Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.22

Terminologi agama atau keyakinan dalam perspektif

hak asasi manusia tidak diartikan secara sempit dan

tertutup tapi dikonstruksikan secara luas.

Kesalahapahaman umum yang terjadi, biasanya menyatakan

kepercayaan kepada Tuhan (theistik) sebagai yang disebut

agama. Perspektif hak asasi manusiajuga menegaskan, baik

penganut theistik, non theistik, maupun yang menyatakan tidak

mempunyai agama atau keyakinan sama-sama mempunyai hak

dan harus mendapat perlindungan.23

Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi kovenan

internasonal ini melalui UU No. 12/2005 tentang

Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil

dan Politik. Kovenan ini bersifat mengikat secara hukum

(legaly binding) dan sebagai negara pihak (state parties) yang

telah meratifikasi, Indonesia berkewajiban memasukkannya

sebagai bagian dari perundang-undangan nasional dan

memberikan laporan periodik kepada Komisi HAM PBB.

Berdasarkan instrumen hak asasi manusia dan

Konstitusi RI di atas secara ringkas definisi operasional

kebebasan beragama/berkeyakinan kebebasan meliputi

kebebasan untuk memeluk suatu agama atau keyakinan

pilihannya sendiri, kebebasan baik secara sendiri maupun

bersama-sama dengan orang lain menjalankan ibadah agama

atau keyakinan sesuai yang dipercayainya, serta mematuhi,

mengamalkan dan pengajaran secara terbuka atau tertutup,

22 UU 39/1999 tentang Ketentuan Pokok HAM.23 Paragraf 2 – Komentar Umum 22 tentang Pasal 18, Komite HAM PBB, 1993

termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, bahkan

untuk tidak memeluk agama atau keyakinan sekalipun.24

Hukum hak asasi manusia adalah hukum perdata

internasional yang meletakkan negara sebagai para pihak

(state parties); artinya negara adalah subyek hukum yang

berkewajiban mematuhi hukum hak asasi manusia. Indonesia

sebagai subyek hukum dalam hukum internasional hak asasi

manusia berkewajiban (obligation of the state) untuk menghormati

(to respect) dan melindungi (to protect) kebebasan setiap orang

atas agama atau keyakinan.

Meski sifat dasar HAM tidak dapat dihilangkan

ataupun dicabut dan bersifat total pada setiap manusia,

namun berdasarkan prinsip siracusa25 yang telah

disepakati, terdapat dua perlakuan terhadap implementasi

HAM, yaitu: prinsip non-derogable rights (hak-hak yang tak

dapat ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya) dan derogable

rights (hak-hak yang dapat ditunda atau ditangguhkan

pemenuhannya).26

Kebebasan perorangan yang mutlak, asasi, yakni forum

internum (kebebasan internal) di mana tak ada satu pihak

pun yang diperbolehkan campur tangan (intervensi)24 Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-hak Manusia (1948): “Setiap orang

berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal initermasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untukmenyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya,mempraktikkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendirimaupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

25 Prinsip Siracusa adalah prinsip tentang ketentuan pembatasan danderogasi hal dalam ICCPR. Lahir dalam pertemuan Panel 31 ahli hak asasimanusia dan hukum internasional dari berbagai negara di Sicilia Italiatahun 1984. Pertemuan ini menghasilkan seperangkat standar interpretasiatas klausul pembatasan hak dalam ICCPR.

26 Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Pasal 28 I, 28 E, 29 UUD NegaraRI 1945

terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak dan

kebebasan ini. Yang termasuk dalam rumpun kebebasan

internal adalah (1) hak untuk bebas menganut dan

berpindah agama; dan (2) hak untuk tidak dipaksa menganut

atau tidak menganut suatu agama.27 Sedangkan kebebasan

sosial atau forum externum (kebebasan eksternal), dalam

situasi khusus tertentu, negara diperbolehkan membatasi

atau mengekang hak-hak dan kebebasan ini, namun dengan

margin of discretion atau prasyarat yang ketat dan legitimate

berdasarkan prinsip-prinsip Siracusa. Termasuk dalam

rumpun kebebasan eksternal adalah (1) kebebasan untuk

beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik

secara tertutup maupun terbuka; (2) kebebasan untuk

mendirikan tempat ibadah; (3) kebebasan untuk menggunakan

simbol-simbol agama; (4) kebebasan untuk merayakan hari

besar agama; (5) kebebasan untuk menetapkan pemimpin

agama; (6) hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran

agama; (7) hak orang tua untuk mendidik agama kepada

anaknya; (8) hak untuk mendirikan dan mengelola

organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) hak untuk

menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi

keagamaan.28

Pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan

(violation of right to freedom of religion or belief) adalah tindakan

penghilangan, pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak27 Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Deklarasi Universal 1981

tentang Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi BerdasarkanAgama/Keyakinan, dan Komentar Umum No. 22 Komite HAM PBB.

28 Semua jaminan hak-hak ini tercantum dalam Pasal 18 ICCPR, KomentarUmum No. 22 Komite HAM PBB, dan Deklarasi Universal 1981 tentangPenghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/Keyakinan.

dan kebebasan dasar seseorang untuk

beragama/berkeyakinan, yang dilakukan oleh institusi

negara, baik berupa tindakan aktif (by commission) maupun

tindakan pembiaran (by comission). Intoleransi merupakan

turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem

kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang

lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari

kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain

hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi, seperti

Apartheid atau penghancuran orang secara disengaja

melalui genosida. Seluruh tindakan semacam itu berasal

dari penyangkalan nilai fundamental seorang manusia.29

Sedangkan diskriminasi adalah “setiap pembatasan,

pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak

langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar

agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status

sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan

politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau

penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak

asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik

individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,

hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”30

Mengacu pada pemaparan definisi-definisi di atas,

maka ada dua bentuk cara negara melakukan pelanggaran,

yaitu; [a] dengan cara melakukan tindakan aktif yang

memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur

29 UNESCO, Tolerance: The Threshold of Peace. A teaching/Learning Guide for Education forPeace, Human Rights and Democracy (Preliminary version), (Paris: UNESCO, 1994), hlm. 16

30 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1

tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan

seseorang dalam beragama/berkeyakinan (by commission); dan

[b] dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi

terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum (by

omission).

3. Persekusi Kebebasan Beragama di Indonesia

UU No.1/PNPS/1965 memberi kewenangan penuh kepada

negara untuk: (1) melalui Depag menentukan “pokok-pokok

ajaran agama”; (2) menentukan mana penafsiran agama yang

dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” dan

mana yang tidak; (3) jika diperlukan, melakukan

penyelidikan terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan

penyimpangan, dan menindak mereka. Dua kewenangan

terakhir dilaksanakan oleh BAKORPAKEM,31 yang semula

didirikan di Depag pada tahun 1954 untuk mengawasi agama-

agama baru, kelompok kebatinan dan kegiatan mereka.

Namun, semenjak 1960 tugas dan kewenangan diletakkan di

bawah Kejaksaan Agung. Sampai dengan tahun 1999,

Kejaksaan di berbagai daerah telah mengeluarkan 37

keputusan tentang aliran kepercayaan/keagamaan, dan

31 Keputusan Jaksa Agung RI no. KEP 108/J.A./1984 tentang pembentukantim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Keputusan JaksaAgung ini merupakan landasan dari berdirinya Team koordinasi PAKEM (TeamKoordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk daritingkat pusat sampai dengan tingkat kabupaten. Team Pakem di tingkat Pusatterdiri dari unsur Depdagri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kejaksaan Agung, Departemen Agama, Departemen Kehakiman, MABES ABRI, BAKINdan Mabes Polri.

kepolisian menyatakan 39 aliran kepercayaan dinyatakan

sesat.32

Masalah agama bukanlah menjadi urusan pemerintah

daerah dalam konteks otonomi daerah. Hanya saja, berbagai

kebijakan restriktif dan diskriminatif di tingkat

nasional tetap efektif dijalankan oleh para penyelenggara

pemerintahan daerah dan menjadi pemasung kebebasan

beragama/berkeyakinan. Politisasi agama terjadi dan

menguat di daerah-daerah dalam berbagai ritual politik

Pemilihan Kepala Daerah. Di beberapa daerah yang

mayoritas berpenduduk Islam, politisasi agama masih cukup

dominan menjadi kapital politik di daerah. Agama dan

etnisitas lainnya, di beberapa daerah, masih menjadi

kapital politik yang efektif mendulang dukungan publik.

SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, No.

KEP-033/A/JA/6/2008 tentang Peringatan dan Perintah

Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat,

sama sekali tidak menghentikan persekusi terhadap

kelompok Ahmadiyah. Jikapun kekerasan terhadap Ahmadiyah

berkurang, hal itu bukanlah dampak SKB yang dianggap oleh

pemerintah sebagai penyelesaian. Sejumlah kekerasan dan

pembakaran masjid Ahmadiyah tetap masih terjadi. Beberapa

pemerintah daerah aktif merujuk SKB ini sebagai landasan

‘penertiban’ jemaat Ahmadiyah.33 32 Uli Parulian Sihombing dkk, “Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap

Pengawasan Agama dan Kepercayaan”, (Jakarta: ILRC, 2008), hlm. 109-11733 Di NTB, dengan dalih telah terbit SKB, pembiaran terhadap pengungsi

internal jemaat Ahmadiyah terus berlangsung. Bantuan makanan juga telahdihentikan. Di Parakansalak Sukabumi, pemerintah setempat juga aktifmelakukan sejumlah tindakan pembatasan dan diskriminasi dalam bentuk

SETARA Institute, menyebutkan bahwa ada 10 wilayah

dengan tingkat persekusi kebebasan beragama/berkeyakinan

tertinggi yaitu, Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38

peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10

peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera

Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8

peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa

Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa). Kecuali Bali

dan NTT, 8 daerah lainnya merupakan daerah yang pada

tahun-tahun sebelumnya juga membukukan peristiwa

pelanggaran kebebasan beragama cukup tinggi. Jawa Barat

dan Jakarta bahkan selalu menempati urutan tertinggi.

Dari 200 peristiwa pelanggaran yang terjadi, di dalamnya

tercatat 291 tindakan pelanggaran. Perbedaan jumlah

tindakan pelanggaran dengan peristiwa yang terjadi,

muncul karena dalam satu peristiwa dapat terjadi berbagai

bentuk tindakan, misalnya, di dalam satu peristiwa

pengrusakan tempat ibadah, terdapat juga tindakan

penganiayaan terhadap jemaat, perampasan properti, dan

lain-lain. 34

Dengan menggunakan kerangka hak asasi manusia,

kerangka hukum pidana, dan kerangka etik demokrasi,

SETARA Institute membagi tindakan sejumlah 291 tindakan

tersebut sebagai berikut.35

pencabutan izin sekolah, penghentian hibah bagi madrasah, dan masjidnyadibakar. Di Kuningan, kondisi Ahmadiyah sedikit lebih baik dibanding tahunsebelumnya. Enam masjid yang sempat ditutup saat ini telah dibuka kembali.Meski demikian, pengucilan oleh masyarakat tetap terjadi. Lihat Harian UmumRepublika, 5 Juli 2009.

34 Margiyono, dkk., Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun Laporan Kondisi KebebasanBeragama/Berkeyakinan di Indonesia, (Jakarta: Setara Institute, 2010), hlm. 22.

35 Ibid., hlm. 27.

Tabel 1Rincian Kategori Tindakan Persekusi Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan

No Kategori Jumlah1 Sejumlah 139 tindakan negara terdiri dari:

a. tindakan aktif negara (by commission) 101 tindakanb. tindakan pembiaran oleh negara (by

omission)38 tindakan

pembiaran atas terjadinya kekerasan yangdilakukan warga negara

23 tindakan

tindakan tidak memproses secara hukum 15 tindakan2 Sejumlah 152 tindakan warga negara terdiri dari :

a. tindakan kriminal/perbuatan melawan hukum

86 tindakan

b. tindakan intoleransi 66 tindakan

Terhadap pelanggaran kategori by commission dan by

ommission kerangka legal untuk mempersoalkannya adalah

kerangka hak asasi manusia dan hukum hak asasi manusia

yang terdapat dalam kovenan sipil dan politik dan yang

terdapat di dalam sejumlah konvensi-konvensi hak asasi

manusia. Sedangkan untuk kategori tindakan kriminal yang

dilakukan oleh warga negara dan intoleransi, kerangka

legal yang bisa digunakan adalah Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP).

Tindakan intoleransi dalam berbagai bentuknya

sebenarnya bisa dipersoalkan dengan menggunakan Pasal 156

KUHP, hanya saja selama ini aparat penegak hukum tidak

pernah menerapkannya untuk menjerat praktik-praktik

intoleransi. Yang terjadi justru aparat hukum menerapkan

pasal 156a untuk menjerat orang-orang yang dituduh

melakukan penodaan agama. Dengan demikian, kategori

tindakan intoleransi tidak pernah diperkarakan dan

diadili.

Kategori pelanggaran by commission dan by ommission

dalam kerangka hukum hak asasi manusia merupakan bentuk

pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, karena negara

merupakan state parties yang terikat baik secara hukum (legally

binding) maupun terikat secara moral (morally binding) karena

telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil

dan Politik (ICCPR).

Pada kategori tindakan aktif negara, SETARA

Institute36 mencatat 101 tindakan pelanggaran kebebasan

beragama/berkeyakinan. Berikut ini adalah tabel yang

menunjukkan bentuk-bentuk tindakan negara dan beberapa

narasi peristiwa.Tabel 2

Rincian Kategori Tindakan Negara

Tindakan Aktif Negara (By Commission) JumlahDesakan pelarangan keyakinan 1Diskriminasi akses atas hak memperoleh pendidikan 1

Diskriminasi akses hak atas pekerjaan 1Diskriminasi akses hak atas hidup yang layak 1Diskriminasi hak atas pelayanan sipil 1Dukungan penyesatan keyakinan/aliran keagamaan 4Pelaporan atas keyakinan/aliran keagamaan 1Pelarangan ibadah dan aktivitas keagamaan 8Pelarangan keyakinan/aliran keagamaan 17Pelarangan mendirikan fasilitas keagamaan 1

36 Ibid., hlm. 32.

Pelarangan mendirikan rumah ibadah 3Pemaksaan pindah keyakinan 4Pembongkaran tempat ibadah 2Pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan 2Pemeriksaan Kepolisian & di Pengadilan 2Penahanan 7Penangkapan atas tuduhan sesat 8Penetapan status tersangka penodaan agama 2Pengabaian hak bagi IDPs 1Pengintaian aktivitas keagamaan 5Pengusiran Mahasiswa SETIA 2Pengusiran warga yang dituduh sesat 1Penuntutan 4Penyeragaman perilaku keagamaan 3Penyesatan keyakinan/aliran keagamaan 11Penyidikan tuduhan penodaan agama 3Tuduhan penodaan agama/keyakinan 2Vonis Pengadilan 3

Jumlah Tindakan Aktif Negara 101Pembiaran (By Omission) Jumlah

Pembiaran atas aksi kekerasan 23Pembiaran tidak memproses secara hukum 15

Jumlah Tindakan Pembiaran 38TOTAL TINDAKAN NEGARA 139

Bahkan dalam proses perkara constitutional review UU

1/PNPS/1965 sekalipun, terjadi beberapa persekusi yang

mengarah pada stigmatisasi Atheis.37 Teror dan intimidasi

menwarnai proses persidangan dan dialamatkan kepada

pemohon, kuasa pemohon, saksi dan ahli yang mendukung

pencabutan UU Penodaan Agama. Pada tanggal 12 Maret 2010,

37 Lihat, beberapa artikel online: “Hasyim: Waspadai Gerilya Kelompok Ateis.”Selasa, 16 Pebruari 2010,http://www.antaranews.com/berita/1266296609/hasyim-waspadai-gerilya-kelompok-ateis diakses terakhir 15 Oktober 2010; “Majelis Ulama Nilai Uji MateriUndang-Undang Penodaan Agama Keliru” Senin, 01 Februari 2010http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/01/brk,20100201-222560,id.html, diakses terakhir 15 Oktober 2010;http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/menag-minta-nu-dukung-uupenodaan-agama-17154; “Ketua Komnas Perempuan Diteriaki PKI” Jum’at, 12 Maret2010, http://news.okezone.com/read/2010/03/12/339/312013/ketua-komnas-perempuan-diteriaki-pki, diakses terakhir 15 Oktober 2010.

Ulil Abshar Abdalla, mendapatkan ancaman kekerasan dengan

teriakan ”halal darahnya” dan acaman “bunuh” di dalam

ruang persidangan.38 Teror dan intimidasi terjadi pula ke

kantor LBH Jakarta.39 Kekerasan terhadap Ahli, Saksi, dan

Kuasa Pemohon puncaknya terjadi pada sidang terakhir

yaitu persidangan tanggal 24 Maret 2010.40

4. Putusan MK & Kebebasan Beragama

Salah satu argumen MK dalam merumuskan keputusan

dalam constitutional review ini adalah, UU No.1/PNPS/1965 tidak

ada hubungan dengan kebebasan beragama, tapi hanya

terkait dengan penodaan agama. Berikut ini penulis akan

mengutip sejumlah pernyataan yang menjadi pertimbangannya

MK dalam mengambil keputusan. Sejumlah pernyataan

tersebut antara lain:“Menimbang bahwa menurut Mahkamah, UU Pencegahan PenodaanAgama tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akantetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukanperbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaanterhadap suatu agama serta pembatasan untuk melakukan penafsiranatau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yangdianut di Indonesia.”41

Menurut penulis, baik langsung maupun tidak

langsung, baik secara teoritik-konseptual maupun dari

segi praktek dalam pengadilan, delik penodaan agama tidak

38 LBH Jakarta di Teror, http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-diteror/, diakses terakhir 15 Oktober 2010; Aisya, Teror,http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=40623816578, diaksesterakhir 15 Oktober 2010.

39 LBH Jakarta di Teror, http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-diteror/

40 http://anbti.org/2010/03/hari-terakhir-persidangan-mahkamah-konstitusi-mengenai-uu-penodaan-agama/

41 Amar Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, hlm. 287.

dapat dilepaskan dari kebebasan beragama. Dalam kaitan

ini ada semacam kontradiksi dalam logika Mahkamah. Di

satu sisi, Mahkamah menolak mengkaitkan UU Pencegahan

Penodaan Agama dengan kebebasan beragama, namun di sisi

lain Mahkamah mengajukan argumen bahwa kebebasan beragama

tidaklah mutlak, dan UU ini merupakan bentuk pembatasan

terhadap kebebasan beragama.

Salah satu aspek dari argumen MK dalam persoalan

penodaan agama adalah persoalan individualisme dan

komunalisme. Kebebasan beragama merupakan konsep yang

lebih dekat dengan hak individu, sedang konsep penodaan

agama diarahkan untuk melindungi “hak komunal”. Dengan

demikian, tidak mengkaitkan persoalan penodaan agama

dengan kebebasan beragama merupakan cara mengelak dari

perbincangan yang lebih serius. UU Pencegahan Penodaan

Agama merupakan UU yang memang dibuat untuk membatasi

kebebasan seseorang, bukan saja dalam menyangkut cara

mengekspresikan keyakinan (forum eksternum), tapi juga

terkait dengan keyakinan dan penafsiran seseorang atas

agama (forum intenum). Karena itu, yang tidak mutlak bukan

forum eksternum, tapi hal-hal yang masuk kategori forum

internum, seperti soal penafsiran agama, pun tidak mutlak.42

Simaklah kutipan berikut:“Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagiandari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsirantersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama

42 Sulistyowati Irianto, “Mengapa Ditolak Seruan Membawa Bangsa Indonesia YangBerkeadilan Hukum Dan Berkeadilan Sosial?” Makalah dalam Eksaminasi Publik PutusanMahkamah Konstitusi tentang Penolakan terhadap Judicial Review UU No 1/1965tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama, Jakarta: Indonesian LegalResource Center, 9 Agustus 2010.

melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agamayang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehinggakebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifatmutlak atau absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologiyang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkansumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yangmengancam keamanan dan ketertiban umum apabila

dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Dalam haldemikianlah menurut Mahkamah pembatasan dapat dilakukan.”43

MK secara eksplisit mangakui bahwa penafsiran

keyakinan atas ajaran agama merupakan kebebasan yang

berada dalam wilayah forum internum. Namun, demi kepentingan

komunal dan politik “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka forum

internum pun bisa dibatasi. Hal ini berbeda dengan doktrin

HAM dan kebebasan beragama internasional yang melarang

intervensi terhadap forum internum. Pada wilayah ini, yang

perlu dilakukan Negara adalah memberi perlindungan agar

hak-hak tersebut tidak diganggu orang lain. Konsep inilah

yang disebut negative rights, yaitu kebebasan dalam bentuknya

yang negatif, yang terdiri dari unsur “bebas untuk”

melakukan berbagai hal yang bisa membuat manusia menjadi

manusia yang bebas. Hukum moralitas atau nilai-nilai

sosial yang mengatur tentang larangan melakukan

intervensi mengandung unsur kebebasan negatif. Aturan

tersebut untuk melindungi hak seseorang dari semua bentuk

intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya.44

43 Amar Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, hlm. 288-289.44 Berbeda dengan konsep negative rights adalah positive rights, atau kebebasan

positif. Kebebasan dalam bentuknya yang positif menekankan pada perlunyaintervensi Negara untuk memastikan terwujudnya sebuah bentuk kebebasan yangmenentukan seseorang untuk bisa mengatur bentuk-bentuk kehidupan manusiayang diinginkan. Jika tidak dilakukan intervensi, justru kebebasan itu akanterancam. Lebih jauh lihat Al-Hanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia,(Yogyakarta: Leksbang Grafika, 2010), hlm. 90-91.

Larangan melakukan prosiletisme (penyebaran agama secara

tidak patut) dan penghujatan agama sebenarnya dalam

konteks ini. Kadang-kadang dalam penyebaran agama

dilakukan dengan mengganggu kebebasan orang lain,

sehingga Negara perlu melakukan intervensi dalam bentuk

perlindungan kepada pemeluk agama. Demikian juga larangan

penghujatan agama dimaksudkan untuk melindungi perasaan

keagamaan individu dari kemungkinan dilukai orang lain.

Dengan menghukum proselitisme, sebenarnya Negara melakukan

intervensi terhadap kebebasan individu dalam

memanifestasikan agamanya demi melindungi kebebasan

keagamaan orang lain untuk tidak berpindah agama.

Demikian juga, pemberian hukuman pada pelaku penghujatan

agama, merupakan bentuk intervensi Negara terhadap

kebebasan berekspresi demi melindungi perasaan keagamaan

orang lain.45

Konsep penodaan agama dikacaukan dengan penyataan

kebencian (hatred speech). Untuk menghindari kesalahpahaman,

perlu dirumuskan bahwa penodaan agama hanya terkait

dengan hujatan dan pernyataan kebencian, sehingga aspek

penafsiran keyakinan agama dikeluarkan dari perbincangan

persoalan penodaan agama. Artinya, seseorang tidak bisa

dituduh melakukan penodaan agama hanya karena persoalan

penafsiran keagamaan, meskipun penafsiran tersebut

berbeda, bahkan menyimpang dari pemahaman kebanyakan

orang. Sayangnya, hal ini tidak ditegaskan MK, bahkan MK45 David Llewellyn and H. Victor Conde, “Freedom of Religion or Belief Under

International Humanitarian Law”, dalam Tore Lindolm, W. Cole Durham (editor),Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, (Oslo: The Norwegian Centre forHuman Rights, 2004), hlm. 160-163.

meligitimasi adanya delik penodaan agama yang terkait

dengan tafsir keagamaan. Hal inilah yang seharusnya

menjadi sasaran revisi UU Pencegahan Penodaan Agama.

Pembatasan kebebasan beragama hanya terkait dengan

pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan yang bersifat permusuhan, pelecehan dan

terhadap simbol-simbol suatu agama.

Persandingan legal reasoning para pemohon dan

Pertimbangan Putusan Mahkamah, dapat disarikan dalam

matrik berikut46.Matriks

Pendapat Pemohon vs Pendapat Hakim MK

PENDAPAT PEMOHON PENDAPAT HAKIM MAHKAMAHMenyangkut Formalitasnya

Formalitas UU Pencegahan PenodaanAgama bermasalah karena secarahistoris dibentuk dalam keadaandarurat revolusi

Secara materiil UU ini adalahmasih tetap dibutuhkan sebagaipengendali ketertiban umum dalamrangka KUB;

Pembentukan UU PencegahanPenodaan Agama sangat terkaitdengan konteks sosial politik dialam Demokrasi Terpimpin

Manakala norma tersebut masihrelevan pada suatu konteks yanglain, maka ketika itu normatersebut layak dipertahankan

UU Pencegahan Penodaan Agamatidak sah atau harus dinyatakanbatal karena tidak memenuhisyarat pembentukan (uji formal)

UU ini dibuat oleh Pemerintahpada masa Demokrasi Terpimpin,sudah diseleksi melalui KetetapanMPRS Nomor XIX/MPRS/1966, yanghasilnya menyebutkan tetapdiberlakukan sebagai UU.

UU ini cacat formal karena tidaksesuai dengan ketentuan UU No.10Tahun 2004 terutama mengenaisistematika dan hubungan antarapasal-pasal dan penjelasannyaserta lampiran UU

UU No. 10/2004 tidak dapatdijadikan pedoman dalam menilaipembentukan UU yang lahir sebelumlahirnya UU No.10/2004. KedudukanLampiran hanyalah pedoman/arahanyg tidak mutlak diikuti;

Menyangkut Materi Pokok PermohonanPasal 1 UU No.1/PNPS/1965

Rumusan pasal 1 UU ini telah UU ini tidak menentukan

46 Dalam Amar Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 ini, alasan berbeda(concurring opinion) sebagai jalan tengah disampaikan oleh Hakim Harjono.Sedangkan Hakim Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissentingopinion).

menimbulkan ketidakpastian hukumkarena sejumlah frasa seperti“penafsiran yang menyimpang” maupun“pokok-pokok ajaran agama” merupakanklausul yang multitafsir yangdapat digunakan untuk membatasikebebasan beragama orang lain.Penafsiran dan keyakinan beragamaadalah hal yang sangat privat danindividual, sehingga bukanmerupakan kewenangan negara untukmenghakimi keyakinan atau agamaseseorang

pembatasan kebebasan beragama,akan tetapi pembatasan untukmengeluarkan perasaan ataumelakukan perbuatan yang bersifatpermusuhan, penyalahgunaan ataupenodaan terhadap suatu agamaserta pembatasan untuk melakukanpenafsiran atau kegiatan yangmenyimpang dari pokok-pokokajaran agama yang dianut diIndonesia;

Apabila seseorang meyakinisesuatu secara privat danselanjutnya mengkomunikasikaneksistensi spiritual individunyakepada publik merupakan hakasasi. Hal itu merupakan bentukekspresi kebebasan berkeyakinan,berpikir, dan berpendapat yangdijamin UUD 1945;

UU ini tidak melarang untukmelakukan penafsiran terhadapsuatu ajaran agama ataupunmelakukan kegiatan keagamaan yangmenyerupai suatu agama yangdianut di Indonesia secarasendiri-sendiri. Yang dilarangadalah dengan sengaja di mukaumum menceritakan, menganjurkandukungan umum,…

Konsep agama yang diakui atautidak diakui oleh negara darisudut etika politik sebenarnyatidak dibenarkan karena bersifatpragmatis dan negara tidakberkompeten untuk menyatakan haltersebut

Meskipun terdapat keanekaragamanatas aliran agama namun padapokok-pokok agama tetap dapatdirumuskan dan disepakati, dankesepakatan itulah yang menjadikoridor atau ukuran;

Penafsiran ada dalam foruminternum, bersifat subjektifsehingga tidak boleh diintervensioleh negara, karena ada dalamkategori hak berpikir yang tidakboleh dilarang;

Walaupun merupakan forum internum,penafsiran harus tetapberkesesuaian dengan pokok-pokokajaran agama melalui metodologiyang benar berdasarkan sumberajaran agamanya. Jika tidak, akanmenimbulkan reaksi yang mengancamkeamanan/ketertiban umum (dan itumembuka peran negara).

Penafsiran “menyimpang” sangattergantung dari otonomimasyarakat kultural. Yang berhakuntuk mengatakan menyimpang danmenghukum ajaran menyimpangbukanlah sesama manusia melainkanhak Allah sebagai Tuhan.

Setiap agama memiliki pokok-pokokajaran yang diterima umum padainternal agama tersebut, oleh karenaitu yang menentukan pokok-pokokajaran agama adalah pihak internalagama masing-masing.

Negara tidak dapat menentukantafsiran yang benar mengenaiajaran suatu agama;

Negara tidak secara otonommenentukan pokok-pokok ajaranagama dari suatu agama, akantetapi hanya berdasarkan

kesepakatan dari pihak internalagama yang bersangkutan;

UU Pencegahan Penodaan Agamadiskriminatif karena hanyamembatasi pengakuan terhadap enamagama yaitu Islam, Kristen,Katolik, Hindu, Buddha, dan KhongHu Cu;

UU ini tidak membatasipengakuan atau perlindunganhanya terhadap 6 agama, tetapimengakui semua agama yangdianut oleh rakyat Indonesia,sebagaimana Penjelasan Umum UUini;

Makna kata “dibiarkan” yangterdapat di dalam PenjelasanPasal 1 paragraf 3 UU ini harusdiartikan sebagai tidakdihalangi dan bahkan diberi hakuntuk tumbuh dan berkembang,dan bukan dibiarkan dalam artidiabaikan;

Penyebutan agama-agama dalamPenjelasan tersebut hanyalahpengakuan secara faktual-sosiologis keberadaan agama-agama di Indonesia saat UU inidirumuskan;

Negara tidak berhak melakukanintervensi atas tafsiran terhadapkeyakinan atau kepecayaanseseorang untuk tidak mencampuripenafsiran atas agama tertentu;

Beragama sebagai meyakini suatuagama merupakan ranah foruminternum atau kebebasan/HAM.Sedangkan melaksanakan suatukeyakinan adalah forum externumyang terkait dengan HAM oranglain, kepentingan publik, dandengan kepentingan negara

Negara berkepentingan untukmembentuk peraturan per-UU-ansebagai tanggung jawabnya untukmenegakkan dan melindungi HAM.

Jika terdapat isi dari UUD 1945yang tidak sejalan dengankonvensi internasional maka UUD1945 tersebut harus diperbaiki;

Memperbaiki/mengubah isi UUD1945 adalah sepenuhnya wewenangMPR. Mahkamah hanya berwenangmenguji isi UU terhadap UUD1945;

Pasal 1 UU ini yang memberikanlarangan kepada setiap oranguntuk mempublikasikanpenafsiran berbeda dari agamayang dianut di Indonesia adalahbentuk pencegahan darikemungkinan konflik horizontalmasyarakat.

Beragama dalam konteks hakasasi individu tidak dapat

dipisahkan dari hak beragamadlm konteks hak asasi komunal

Pembatasan mengenai nilai-nilaiagama sebagai nilai-nilaikomunal masyarakat adalahpembatasan yang sah menurutkonstitusi.

Pasal 1 UU ini sebagai sebuahpembatasan atas kebebasanberagama.

Pasal 1 UU ini adalah bagiantidak terpisahkan dari maksudperlindungan terhadap hakberagama warga masyarakatIndonesia

Pasal 2 Ayat (1) UU No.1/PNPS/1965Kewenangan memberikan “perintah danperingatan keras” adalah bentuk daripemaksaan (coercion) atas kebebasanberagama yang sejatinya merupakanhak yang melekat dalam dirisetiap manusia;

Negara memang memiliki fungsisebagai pengendali sosial dandiberikan otoritas berdasarkanmandat dari rakyat dan konstitusiuntuk mengatur kehidupanbermasyarakat sesuai dengan UUD1945

Pemaksaan berupa “perintah danperingatan keras” menyebabkan negaraterjebak dalam intervensi ataskebebasan beragama yang merupakanhak asasi yang dijamin oleh UUD1945

Keberadaan SKB merupakan buktidari kehati-hatian dalampelaksanaan kewenangan negarauntuk melakukan tindakan hukumterhadap orang/kelompok yang dianggap menyimpang

SKB tidak memiliki landasan hukumyang tepat untuk menjadi alasanpemaksa untuk melarang keyakinanseseorang atau kelompok yangberbeda dengan keyakinan ataupenafsiran mayoritas

SKB bukanlah peraturan per-UU-an(regeling) melainkan penetapankonkret (beschikking). Tapi terlepasSKB berupa regeling atau beschikking,substansi perintah UU PencegahanPenodaan Agama tentang haltersebut tidak melanggarkonstitusi;

UU ini hanya bisa tegak apabiladilaksanakan bersama tindakan-tindakan fungsional yang kerasdan kadang-kadang diskriminatifterhadap mereka yang berbeda dandituduh menyimpang.

UU ini sudah tepat karena dibuatuntuk melindungi tiga kepentingankepentingan individu,sosial/masyarakat,dan negara),termasuk kepentingan paraPemohon.

Pasal 2 Ayat (2) UU No.1/PNPS/1965Pelarangan yang ditujukan untukmembubarkansebuah organisasi/aliranterlarang adalah bentuk daripengingkaran terhadap kebebasanberserikat, berkumpul, danmengeluarkan pendapat sebagaimanayang telah dijamin oleh UUD 1945.

Sebagai tindak lanjut Pasal 2Ayat (1), maka hal tersebutmerupakan ranah kebijakan yangmerupakan penerapan hukum danbukan sebagai permasalahankonstitusional;

para Pemohon telah salahmengartikan kebebasanberserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat sebagaisebuah hak yang tidak dapatdibatasi. Padahal demiketertiban umum maka hak itujuga dapat dibatasi oleh hukumdan diberikan sanksiadministratif

Pasal 3 UU No.1/PNPS/1965Klausul ‘pemidanaan’ telahmemasuki forum internum dari hakkebebasan beragama dan merupakanketentuan diskriminatif yangbersifat ancaman (threat) danmemaksa (coercion).

Perbedaan penjatuhan pidana yangditetapkan dalam putusanpengadilan bukan merupakan bentukdiskriminasi tapi merupakankewenangan hakim yang dapatmenilai berat/ringannya kasus;

Rumusan pasal a quo bertentangandengan syarat kriminalisasikarena tidak dapat berjalanefektif (unforceable) karena tidakdapat menggambarkan perbuatanyang dilarang dengan teliti(precision principle) sehinggabertentangan dengan prinsipkepastian hukum

Pasal 3 tidak dapat atau dapatditerapkan adalah permasalahanpenerapan hukum dan bukanpermasalahan konstitusional.

Pasal 3 ini tidak dapatdiartikan tersendiri, tapi satukesatuan yang utuh, sehinggajelas prinsip presisinya.

Pasal 3 ini merupakan ultimumremedium manakala sanksiadministrasi sebagaimana diaturdalam Pasal 2 UU ini tidakefektif;

Proses yudisial yang dilakukanoleh peradilan umum akanmemberikan kepastian penegakanhukum.

Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965Unsur-unsur pemidanaan(“permusuhan” “penyalahgunaan”,atau “penodaan”) yang terdapatdalam Pasal 4 UU ini tidakmengandung kejelasan sehinggabertentangan dengan asaskepastian hukum.

Putusan pengadilan tentangpenjatuhan pidana berdasarkanPasal 156a KUHP yang ternyataberbeda-beda, bukanlah merupakanbentuk ketidakpastian hukum dandiskriminasi, melainkan wujuddari pertimbangan hakim dalammemberikan keadilan sesuai dengankarakteristikkasus masing-masing

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Pola relasi negara-agama di Indonesia memungkinkan

legitimasi delik penodaan agama berdiri di atas prinsip

“Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjadi poros dari

seluruh sistem hukum di Indonesia. Dalam pandangan MK,

prinsip hukum Indonesia harus dilihat dengan cara

pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama,

serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan

bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan

hubungan antara agama dan negara (separation of state and

religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip

individualisme maupun prinsip komunalisme;

b. Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, kebebasan

beragama/berkeyakinan adalah negatif rights, di mana negara

tidak boleh mencampuri dengan tindakan-tindakan yang

mengurangi, membatasi, dan mencabut kebebasan itu.

Tugas negara adalah menjamin kebebasan. Konstruksi

hukum yang diskriminatif menjadi pemicu sekaligus

landasan berbagai persekusi masyarakat atas setiap

pandangan, keyakinan, dan agama, yang dianggap berbeda

dari mainstream atau dari sudut pandang negara. Namun

demikian, tugas pengelolaan hak oleh negara sangat

diperlukan untuk menetapkan rambu rule of the game guna

menghindari terjadinya conflict of interest.

c. Kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia

menunjukkan bahwa terdapat dua penyebab utama

terjadinya praktik pelanggaran kebebasan

beragama/berkeyakinan: (1) realitas legal diskriminatif

produk peraturan perundangan-undangan dalam aplikasinya

membuka ruang bagi terjadinya pelapisan pelanggaran;

baik violence by judicial maupun tindakan persekusi yang

didasarkan pada realitas produk hukum yang

diskriminatif; (2) adanya kondisi silent majority dan

masyarakat yang rentan. Silent majority adalah sikap memilih

diam dari sebagian besar masyarakat yang belum

teridentifikasi keberpihakannya;

d. Putusan MK mengenai permohonan Pengujian Undang-

Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bisa

dibaca sebagai vonis yang mengingatkan setiap pilar

negara dan warga negara untuk membangun cara berfikir,

bersikap, dan berperilaku yang menghargai atau

menghormati hak kebebasan beragama. Berbagai bentuk

penodaan agama seperti radikalisme atas nama agama

merupakan modus berfikir, bersikap, dan berperilaku

yang tidak menghormati hak beragama orang lain.

2. Saran

Fakta-fakta realitas legal diskriminatif dan impunitas

praktik persekusi masyarakat atas kebebasan

beragama/berkeyakinan menuntut adanya pemulihan komunitas

yang menjadi korban pelanggaran kebebasan

beragama/berkeyakinan, dan merealisasikannya beberapa

rekomendasi, yakni:

a. Bagi DPR RI & Pemerintah, diharapkan dapat merespons

secara arif, aspirasi sebagian masyarakat untuk

merevisi UU No.1/PNPS/1965 secara rasional &

mengedepankan dialog dan perlindungan terhadap

kelompok-kelompok minoritas;

b. Aparat Penegak Hukum, di satu sisi harus mampu

menerapkan pasal-pasal dalam UU No.1/PNPS/1965 secara

selektif dalam penanganan kasus-kasus terkait ajaran

berbeda/menyimpang dari agama pokok, dan perbedaan

penafsiran. Di sisi lain, ketegasan mengambil tindakan

hukum juga diperlukan terhadap pelaku-pelaku penyebaran

kebencian & permusuhan yang menyebabkan diskriminasi

dan kekerasan terhadap kelompok agama;

c. Masyarakat Sipil, diharuskan untuk mengedepankan

dialog dalam menyikapi perbedaan penafsiran dan ajaran

berbeda/menyimpang dan mengutamakan penegakan hukum

yang berorientasi pada perlindungan kelompok minoritas;

d. Media massa sudah selayaknya untuk meng-endors

jurnalisme damai (peace jounalism) dengan perspektif HAM

untuk selalu berpihak pada kepentingan kelompok

minoritas, cover both side, dan menggunakan istilah-istilah

yang tidak memberikan stigma/prejudice terhadap ajaran-

ajaran yang berbeda/menyimpang dari pokok agama-agama.

Daftar Pustaka

A. Buku & Makalah

____________, 2010. Laporan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2010.Al-Hanif, 2010. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia,

Leksbang Grafika, Yogyakarta.Azhary, Muhammad Tahir, 1992. Negara Hukum: Studi-studi tentang

Prinsip-prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum Islam dan Implementasinyapada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang,Jakarta.

Cranston, Maurice, 1962. What Are Human Rights? Basic Books, NewYork.

Donelly, Jack, 1985. The Concept of Human Rights, St Martin’sPress, New York.

Fatwa, A.M., 1997. “HAM, Pluralsime Agama dan KetahananNasional” Anshari Thayib (ed), HAM dan Pluralisme Agama,Pusat Kajian Strategi dan Kebudayaan, Surabaya.

Hazairin, 1973. Demokrasi Pancasila, Tintamas, Jakarta.Hazairin, 1974. Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas, Jakarta.Intan, Benyamin F. Peraturan Bersama (Perber) Kontraproduktif, Harian

Seputar Indonesia (Sindo), Selasa, 21 September 2010.Irianto, Sulistyowati, “Mengapa Ditolak Seruan Membawa Bangsa

Indonesia Yang Berkeadilan Hukum Dan Berkeadilan Sosial?” Makalahdalam Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusitentang Penolakan terhadap Judicial Review UU No 1/1965tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama, Jakarta:Indonesian Legal Resource Center, 9 Agustus 2010.

Ismail, Faisal, 2008. Sekularisasi: Membongkar Kerancauan PemikiranNurcholis Madjid, Yayasan Nawesea, Yogyakarta.

Llewellyn, David and Victor Conde, H., 2004.“Freedom ofReligion or Belief Under International HumanitarianLaw”, Tore Lindolm, W. Cole Durham (eds.), FacilitatingFreedom of Religion or Belief: A Deskbook, The Norwegian Centre forHuman Rights, Oslo.

Maarif, Ahmad Syafi’i, 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: StudiTentang Percaturan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta.

Madjid, Nurcholis, 1989. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Mizan, Bandung.

Madjid, Nurcholis, 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban,YayasanParamadina, Jakarta.

Margiyono, dkk., 2010. Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun LaporanKondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, SetaraInstitute, Jakarta.

Muladi, 2002. Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum Indonesia, TheHabibie Centre, Jakarta.

Natsir, M., 1992. Mencari Modus Vivendi Antar-Umat Beragama diIndonesia, Media Dakwah, Jakarta.

Rasjidi, 1977. Koreksi terhadap Drs Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi,Bulan Bintang, Jakarta.

Sihombing, Uli Parulian, dkk., 2008. “Menggugat Bakor Pakem:Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan”, ILRC,Jakarta.

Sjadzali, Munawir, 1990. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah danPemikiran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.Ketiga, UI-Press, Jakarta.

Sukardja, Ahmad, 1995. Piagam Madinah dan UUD 1945, UniversitasIndonesia Press, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2003. Metodologi Penelitian Hukum, Cet.Kelima, Rajawali Pers, Jakarta.

UNESCO, 1994. Tolerance: The Threshold of Peace. A teaching/Learning Guidefor Education for Peace, Human Rights and Democracy (Preliminaryversion), UNESCO, Paris.

Wignyosoebroto, Soetandyo, 2002. Hukum, Paradigma, Metode, danDinamika Masalahnya, Ifdhal Kasim (Ed.), ELSAM dan HUMA,Jakarta.

Wignyosoebroto, Soetandyo, 2003. HAM: Konsep dasar danpengertiannya Yang Klasik Pada Masa Awal Perkembangannya, dalamKumpulan Tulisan tentang HAM, PUSHAM UNAIR, Surabaya.

B. Pustaka Online

http://www.antaranews.com/berita/1266296609/hasyim-waspadai-gerilya-kelompok-ateis

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/01/brk,20100201-222560,id.html,

http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/menag-minta-nu-dukung-uupenodaan-agama-17154

http://news.okezone.com/read/2010/03/12/339/312013/ketua-komnas-perempuan-diteriaki-pki

http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-diteror/

http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=40623816578

http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-diteror/

http://anbti.org/2010/03/hari-terakhir-persidangan-mahkamah-konstitusi-mengenai-uu-penodaan-agama/

Biodata Penulis

Arif Hidayat, SHI., SH., MH. lahir di Magelang, Jawa Tengah,

22 Juli 1979. Alumnus Program S2 Konsentrasi Hukum Tata

Negara/Administrasi Negara di UII Jogjakarta tahun 2006. Aktif

menjadi peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengembangan

Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) dan Pusat Kajian Hukum,

Otonomi Daerah & Demokrasi (PusHOD). Sekarang menjabat

Direktur Eksekutive Public Defence Institute (P-Dei) Semarang.