ARIF HIDAYAT-Formalization of Sharia Law in Indonesia (A Constitusion Perspective) (KLIBEL 2013)

29
RELIGIOUS NATION STATE DAN FORMALISASI SYARI`AH DI INDONESIA Arif Hidayat Faculty of Law Semarang State University Sekaran Campus, Building C-4, Gunungpati, Semarang Central Java-Indonesia 50229 e-Mail: [email protected] Abstract This study aimed to describe the conceptualization and interpretation of sharia in the practice of law in Indonesia and its relation to the principles of human rights. Normative approach is used to highlight the relevance of constitutionalism in Islamic law. The results show that the formalization of Islamic Law in Indonesia should be done within the constitutional framework. Birth of a variety of legislation based on Islamic law, both at the central and at the local level, since June 22, 1945 shows the symptoms of Islamic law as the living law in Indonesian society. These symptoms can also be seen from the use of fatwa from sharia national council to fulfill the state law absence especially in the field of Islamic finance law. This phenomenon is also supported by an increase the Sharia Court in the Aceh Province, which was limited and the decision should be upheld by the General Court, now is part of the four types of courts under the Supreme Court. Keywords: formalization of Sharia, Constitutionalism, 1945. Pendahuluan Wacana tentang formalisasi syariat Islam merupakan topik laten bagi dunia politik Indonesia. Dalam pemikiran politik Islam, masalah hubungan agama dan negara, terdapat tiga paradigma, yaitu: (1) paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tak terpisahkan (integrated paradigm); (2) agama dan negara merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan; dan (3) agama merupakan suatu yang harus terpisah (Lili Romli, 2006: 28; Tatang Astarudin, 2006: 49). Kontekstualitas wacana seputar formalisasi syariah dipicu beberapa aspek. Pertama, adanya upaya sebagian partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 untuk mengamandemen Pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan “tujuh kata” 1

Transcript of ARIF HIDAYAT-Formalization of Sharia Law in Indonesia (A Constitusion Perspective) (KLIBEL 2013)

RELIGIOUS NATION STATE DAN FORMALISASI SYARI`AH DI INDONESIA

Arif Hidayat

Faculty of Law Semarang State UniversitySekaran Campus, Building C-4, Gunungpati, Semarang

Central Java-Indonesia 50229e-Mail: [email protected]

AbstractThis study aimed to describe the conceptualization and interpretation of

sharia in the practice of law in Indonesia and its relation to the principles of humanrights. Normative approach is used to highlight the relevance of constitutionalism inIslamic law. The results show that the formalization of Islamic Law in Indonesiashould be done within the constitutional framework. Birth of a variety of legislationbased on Islamic law, both at the central and at the local level, since June 22, 1945shows the symptoms of Islamic law as the living law in Indonesian society. Thesesymptoms can also be seen from the use of fatwa from sharia national council tofulfill the state law absence especially in the field of Islamic finance law. Thisphenomenon is also supported by an increase the Sharia Court in the Aceh Province,which was limited and the decision should be upheld by the General Court, now ispart of the four types of courts under the Supreme Court.

Keywords: formalization of Sharia, Constitutionalism, 1945.

PendahuluanWacana tentang formalisasi syariat Islam merupakan topik

laten bagi dunia politik Indonesia. Dalam pemikiran politikIslam, masalah hubungan agama dan negara, terdapat tigaparadigma, yaitu: (1) paradigma yang menyatakan bahwa antaraagama dan negara merupakan kesatuan yang tak terpisahkan(integrated paradigm); (2) agama dan negara merupakan suatu yangsaling terkait dan berhubungan; dan (3) agama merupakan suatuyang harus terpisah (Lili Romli, 2006: 28; Tatang Astarudin,2006: 49).

Kontekstualitas wacana seputar formalisasi syariah dipicubeberapa aspek. Pertama, adanya upaya sebagian partai politik,khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai BulanBintang (PBB) dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 untukmengamandemen Pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan “tujuh kata”

1

(dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalamPiagam Jakarta agar formalisasi syariah mempunyai landasankonstitusional yang jelas di Indonesia. Kedua, adanyaformalisasi beberapa elemen syariah Islam oleh pemerintahandaerah pada sebagian daerah di Indonesia, seperti propinsiNanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sulawesi Selatan, Banten,Riau, Ternate, Sumatra Barat, juga di Kabupaten Cianjur danTasikmalaya di Jawa Barat. Ketiga, adanya seruan dan kampanyeuntuk mengajak masyarakat untuk memformalisasikan syariatIslam dalam segala aspek kehidupan, seperti yang dilakukanbeberapa kelompok dan gerakan Islam, misalnya Hizbut Tahrir,Front Pembela Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MuhammadShiddiq Al-Jawi, 2002: v-vi; Husni Mubarrak A. Latief, 2010:52).

Diskursus formalisasi syariat Islam yang cukup gencartersebut telah menimbulkan pro dan kontra. Salah satupandangan berusaha mementahkan ajakan formalisasi syariatIslam. Penolakan formalisasi syariah ini diungkapkan denganberbagai argumentasi dan dalil. Misalnya, ada yang mengatakanbahwa Indonesia adalah masyarakat plural, tidak hanya muslim,maka formalisasi syariat Islam yang berlaku umum tidak dapatditerima. Bahkan ada yang mempertanyakan, kalau maumemformalisasikan syariat Islam, syariat Islam yang mana?Bukankah varian pemahaman umat Islam Islam tentang syariatIslam sifat beragam tidak tunggal? Ada pula yang menyatakanbahwa formalisasi syariat Islam berarti intervensi negaraterhadap kehidupan beragama yang seharusnya bersifat privatdan individual. Ada pula yang menolak formalisasi syariatIslam karena syariat Islam tidak sesuai dengan modernitas dankehidupan publik, misalnya Hukum Internasional, Hak-Hak AsasiManusia, Demokrasi, dan sebagainya (Adhian Husaini & NuimHidayat. 2002: 155-167; Jum Anggriani, 2011: 320-335).

Perdebatan soal formalisasi syariat Islam di Indonesiasemakin marak setelah dua partai Islam, PPP dan PBBsebagaimana telah diungkapkan di atas, mengusulkandikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945.Lebih dari itu, sejumlah Ormas Islam- minus Nahdlatul Ulamadan Muhammadiyah-menyuarakan aksi tuntutan kembalinya PiagamJakarta, yang berarti pula formalisasi syariat Islam di tanahair. Tampak sekali tuntutan ini membawa pengaruh di sejumlahdaerah. Dimulai dari Nanggroe Aceh Darussalam yang pertamakali secara khusus memberlakukan syariat Islam secara formal,

2

kini daerah lain sudah ancang-ancang mengambil keputusanserupa, seperti di Cianjur, Tasikmalaya, Sulawesi Selatan,Sumatera Barat, dan Pamekasan. Semua ini menunjukkan betapaseriusnya sosialisasi formalisasi syariat Islam yang dilakukanoleh sejumlah kelompok Islam (Nandang Burhanudin, 2004: 20;Khamazi Zada, 2006: 8).

Sementara di sisi lain, ada kelompok Islam yang menolakformalisasi syariat Islam. Biasanya mereka ini adalah kelompokyang selama ini getol menggagas pluralisme, inklusivisme,toleransi, dan kulturalisasi Islam. Tak berlebihan jikakelompok Islam ini secara tegas justru menginginkandeformalisasi syariat Islam. Syariat Islam secara formaltidaklah perlu. Karena yang menjadi poin mendasar keber-islaman di Indonesia adalah komitmen kepada agama secarasubstansialistik, bukan legalistik-formalistik, termasuk didalamnya acuan syariat agamanya (Charles Kurzman, 2001: xi-xii; Simarmata, 2006: 6).

Sedikitnya, ada tiga arus besar yang mengemuka dalammenyikapi formalisasi syariat Islam. Pertama, arus formalisasisyariat. Arus ini secara politis dinakhodai oleh oleh partai-partai Islam yang berlandaskan Islam, seperti PPP, PK(S).Selain itu didukung oleh kelompok-kelompok radikal yang mulaitampil ke permukaan, seperti Front Pembela Islam (FPI), KISDI,Hizbut Tahrir, dan beberapa organisasi kepemudaan dankemahasiswaan. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islamdijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara. Pencantumankembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945 menjadi salah satutarget utamanya (Irfan Suryahardi Awwas, 2001: 33-35).

Kedua, arus deformalisasi syariat. Arus ini memangkelihatan tidak segigih kelompok pertama dalammensosialisasikan gagasannya, tetapi bukan berarti tidakmempunyai basis akar rumput. NU dan Muhammadiyah termasukorganisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berada di gardadepan mengkampanyekan deformalisasi syariat. Karena setiapindividu muslim dapat melaksanakan syariat secara otonom, dantidak membutuhkan peran negara. Bahkan kalau negara melakukanintervensi dalam formalisasi syariat sangat dimungkinkan akanmereduksi substansi syariah. Sedangkan dari partai, hampirmayoritas partai besar menolak formalisasi syariat, sepertiPDIP, Golkar, PKB, PAN. Kelompok ini memilih pemaknaan syariatsecara substantif. Pemaknaan syariat tidak serta-mertadihegemoni negara, karena wataknya yang represif. Syariat

3

secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalamUUD 1954 tidak mempunyai alasan kuat dalam ranah politik(Zuhairi Misrawi, 2002: 7; I Made Dedy Priyanto, 2011: 6).

Ketiga, arus moderat. Arus ini sebenarnya minoritas.Penggagas utama gagasan moderat ini adalah KH ShalahuddinWahid, yang ingin mengambil jalan tengah dari perdebatan yangberseberangan. Akan tetapi sulit rasanya gagasan inimendapatkan dukungan, karena hanya berkutat pada tataranmoralitas, kehilangan kerangka strategis dan sulit diterapkanpada tataran praksis. Kelompok ini dikesankan mengambil jalantengah dengan menolak sekularisasi dan islamisasi, karenabudaya masyarakat muslim Indonesia mempunyai kekhasantersendiri. Sekularisasi dan Islamisasi merupakan barang imporyang tidak cocok dengan identitas masyarakat, sehinggakeduanya berpotensi untuk melakukan indoktrinisasi danideologisasi (Salahuddin Wahid, 2001: 23-28).

Akan tetapi terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasanformalisasi syariat Islam di atas, yang jelas ada kesulitandalam merealisasikan formalisasi syariat tersebut di atas.Hingga kini, belum ada satu negara pun di dunia yang dapatdipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan syariat Islam(Azyumardi Azra, 2001: 183; Muhammad Alim, 2010: 85). SyariatIslam memiliki relevansi dengan konstitusionalisme, mengingatembrio konstitusi tertulis adalah ‘piagam madinah’ (HarunNasution dan Bahtiar Effendy, 1995: vi-xiv).

Penelitian ini concern untuk mendeskripsikankonseptualisasi & interpretasi syariat itu sendiri, karenatanpa proses pendefinisian yang jelas, dapat dan dalamkebanyakan kasus akan bertabrakan dengan prinsip-prinsipkonstitusionalisme & hak asasi manusia. Fokus penelitian inijuga menyoroti relevansi konstitusionalisme dengan syariatIslam untuk menjelaskan tabiat formalisasi syariat diIndonesia dalam bingkai konstitusionalisme.

Religious Nation State di IndonesiaAlinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 memuat tujuan dan dasar

negara yang merupakan kerangka acuan negara Indonesia.Strategi pelembagaannya menuntut pembedaan antara pelembagaanmelalui negara dan pada masyarakat. Pancasila merupakanperpaduan unsur cipta, rasa, dan karsa budaya bangsaIndonesia, sehingga tidak ada satupun yang bertentangan dengankebhinnekaan subbudaya dan agama di Indonesia.

4

Menurut Pancasila, negara adalah berdasar atas Ketuhananyang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan adil dan Beradab. Hal initermuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945 yaitu PokokPikiran keempat. Rumusan yang demikian ini menunjukkan padakita bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalahbukan negara sekuler yang memisahkan negara dengan agama,karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat (1), bahwa negaraadalah berdasar atas Ketuhanan yan Maha Esa. Hal ini berartibahwa negara sebagai persekutuan hidup adalah Berketuhananyang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanandan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang derasal dari Tuhan. Nilai-nalai yang berasal dariTuhan yang pada hakikatnya adalah merupakan Hubungan Tuhanadalah merupakan sumber material bagi segala norma, terutamabagi hukum positif di Indonesia.

Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat(1) tersebut juga mengandung suatu pengertian bahwa negaraIndonesia adalah negara yang bukan hanya mendasarkan padasuatu agama tertentu atau bukan negara agama dan juga bukannegara Theokrasi. Negara Pancasila pada hakikatnya mengatasisegala agama dan menjamin segala kehidupan agama dan umatberagama, karena beragama adalah hak asasi yang bersifatmutlak.Dalam kaitannya dengan pengertian negara yangmelindungi seluruh agama di seluruh wilayah tumpah darah.

Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruhwarga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuaidengan keimanan dan ketakwaan masing-masing. Negara kebangsaanyang berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakanpenjelmaan dari hakikat kodrat manusia sebagai individumakhluk, sosial dan manusia adalah sebagai pribadi dan makhlukTuhan yang Maha Esa. Bilamana dirinci makna hubungan negaradengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut:

(1) Negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.(2) Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang

Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap wargamemiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadahsesuai dengan agama masing-masing.

(3) Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerismekarena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagaimakhluk Tuhan.

5

(4) Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golonganagama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemelukagama.

(5) Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karenaketaqwaan itu bukan hasil paksaan bagi siapapun juga.

(6) Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadaporang lain dalam menjalankan agama dalam negara.

(7) Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraanNegara harus sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan yangMaha Esa terutama norma-norma Hukum positif maupun normamoral baik moral negara maupun moral para penyelenggaranegara.

(8) Negara pada hakikatnya merupakan “…berkat rahmatAllah Yang Maha Esa.

Salah satu ciri pokok dalam Negara hukum pancasila ialahadanya jaminan terhadap Freedom of religion atau kebebasan. Tetapi,kebebasan beragama di Negara pancasila selalu dalam konotasiyang positif, artinya tiada tempat bagi atheisme ataupropaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangatberbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahamikonsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalamarti negatif. Sementara itu di Uni Soviet dan Negara komunislainnya “Freedom of Religion” memberikan pula jaminankonstitusional terhadap propaganda anti agama. Selainitu, As’ad (2009: 17) mengemukakan pula ciri Negara HukumIndonesia lainya yaitu tidak adanya pemisahan yang rigid danmutlak antara agama dan negara. Menurutnya agama dan negaraberada dalam hubungan yang harmonis. hal demikian sangatberbeda dengan di Amerika serikat yang menganut doktrinpemisahan agama dan gereja secara ketat. 

Di sisi lain Kartohadiprodjo (2010: 31) melihat NegaraHukum Pancasila berdasarkan atas asas kekeluargaan yangtercantum dalam UUD 1945. Yang diutamakan di dalam asaskekeluargaan adalah rakyat banyak namun harkat dan martabatmanusia tetap dihargai. hal demikian itu direfleksikan olehpasal 33 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa yang terpenting ituadalah kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran perseorangan.Akan tetapi, perseorangan itu berupaya sejauh tidak mengenaihajat hidup orang banyak. 

Negara Hukum Pancasila dapat dipahami melalui penelaahanpengertian Negara dan pengertian hukum dilihat dari sudut asaskekeluargaan. Dalam hubungan ini Latif (2011: 106)

6

mengemukakan bahwa hukum adalah suatu alat atau wahana untukmenyelenggarakan kehidupan Negara atau ketertiban danmenyelenggarakan kesejahteraan sosial. 

Berpijak pada tiga pendapat di atas disimpulkan bahwadalam penyelesaian UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, akantetapi konsep rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukankonsep Negara hukum Barat Eropa continental dan bukan pulakonsep rule of law dari Anglo Saxon melainkan konsep Negara HukumPancasila sendiri yang bercirikan: 

a. Hubungan erat antara agama dan negara b. Bertumpu pada KeTuhanan Yang Maha Esa c. Kebebasan beragama dalam arti positif d. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang dan e. Asas kekeluargaan dan kerukunan. 

Konseptualisasi & Interpretasi Syariat di IndonesiaSyari’at dalam ketentuan bahasa arab bermakna “jalan yang

lempang”, dalam istilah fiqh Islam ialah “hukum-hukum yangAllah tetapkan untuk para hamba-Nya dengan perantaraan paraRasul-Nya, agar diamalkan dengan penuh keimanan, baik hukumitu berpautan dengan amaliah, atau berpautan dengan aqidah danakhlaknya. Fungsi dan tujuan syariat (maqâshid asy-syarî‘ah) dibuatuntuk melepaskan manusia dari tekanan nafsu dan menanam kedalam dada manusia perasaan tunduk kepada aturan-aturan Ilahiuntuk memelihara tubuh masyarakat dengan jalan memeliharaagama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Jadi, sebuah perintah,larangan atau pernyataan teks memerlukan sebuah pemahamanuntuk dapat dilaksanakan sebagai jalan hidup. Selain itu,peristiwa-peristiwa baru yang belum ditetapkan oleh teks-teksagama juga memerlukan formulasi hukum untuk memastikanpandangan Islam mengenai hal itu. Kedua segi inilah yangdisebut fiqh atau pemahaman hukum (T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,1982: 9; Tono Sidik, 2003: 51-58).

Syariat Islam sampai saat ini sebenarnya mempunyai tigapengertian. Pertama, sebagai keseluruhan agama yang dibawa olehNabi Muhammad SAW. Kedua, keseluruhan teks-teks al-Quran danSunnah yang merupakan nilai-nilai hukum yang berasal dariwahyu Allah. Ketiga, pemahaman para ahli terhadap hukum yangberasal dari wahyu Allah dan hasil ijtihad yang berpedomankepada wahyu Allah. Pemahaman yang ketiga ini disebut fiqh.Karena melibatkan daya pikir dan analisis, terdapat lebih darisatu pemahaman terhadap nilai-nilai yang berasal dari wahyu.

7

Kesarjanaan Islam dalam bidang hukum telah melahirkan berbagaipemahaman dalam bentuk aliran yang disebut mazhab fiqh (RifyalKa’bah, 2004: 42-43; Pudjo Suharso, 2009: 12).

Pengertian Syariat Islam juga sering disamakan denganpengertian fiqh dan hukum Islam. Ketiganya memang sama-samamerupakan jalan yang berasal dari Allah, tetapi dariperkembangan sejarah Islam, ketiganya telah mengalamidiferensiasi makna. Syariat Islam secara umum adalahkeseluruhan teks Al-Quran dan as-Sunnah sebagai ketentuanAllah yang seharusnya menjadi pegangan manusia atau the right wayof religion. Sebagian dari jalan tersebut menyangkut hubungankhusus antara individu dan Allah dan sebagian lagi menyangkutpengaturan antar individu dalam kehidupan masyarakat. Bagianyang kedua, sebagiannya memerlukan kekuasaan negara untukmenjamin pelaksanaannya dan sebagian lagi menyangkut normaakhlak, etiket dan lain-lain yang diserahkan kepada ketaatanindividu (Abdullah Yusuf Ali, 1989: 1297).

Syariat Islam dikenal dengan Islamic Law, sedangkan fiqhIslam diterjemahkan dengan Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasaIndonesia, untuk Syari’at Islam sering dipergunakan istilahsyari’at atau hukum syara, sedangkan untuk fiqh Islamdigunakan istilah hukum fiqh atau kadang-kadang hukum Islam.Secara lebih dalam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1982: 44-46)menguraikan perbedaan antara keduanya sebagai berikut. a. Syariat substansi isinya terdapat di dalam al-Quran dan

kitab-kitab Hadist. Syariat yang dimaksud di sini adalahwahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul-Nya, dan fiqh adalah sebagaimana yang terdapat di dalamkitab-kitab fiqh. Pengertian fiqh adalah pemahaman manusiayang memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahamanitu.

b. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruanglingkup yang lebih luas karena kedalamannya, oleh banyakahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak. Fiqh bersifatinstrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yangmengatur pada perbuatan manusia, yang biasanya disebutsebagai perbuatan hukum.

c. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya,karena itu berlaku abadi, dapat berubah dari masa kemasa.

d. Syariat hanya satu, sedang fiqh mungkin lebih dari satuseperti (misalnya) terlihat aliran-aliran hukum yang disebutdengan mazhab-mazhab itu.

8

e. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fiqhmenunjukkan keragamannya. Meskipun kedua pandangan tersebutmemiliki kesamaan dalam melihat syariat Islam sebagai hukum,fiqh belum tentu syariat oleh karena ketentuan fiqh bisadiperoleh dari sumber di luar al-Quran dan as-Sunnah.

Konsep syari’at Islam menurut al-Qur’an, adalah; Pertama,kata syariat Islam dimaksudkan sebagai jalan yang lempang.Jalan atau petunjuk ini telah dipergunakan oleh Nabi Ibrahimdalam menata khidupan, temasuk membangun kepemimpinannya.Kedua, kata syariat Islam dipergunakan sebagai model atausistem yang dipergunakan oleh setiap umat dalam rentang waktudi zaman yang berbeda (shiratan wa minhaja). Dengan demikian,syariat dapat diartikannya sebagai jalan lurus yang mengandungnilai-nilai universal dalam seluruh aspek kehidupan manusia,material-immaterial, dunia dan akhirat, ibadah, muamalah, dansyiyasah (Abdullah Yusuf Ali, 1989: 1282).

Konstitusionalisme Islam di IndonesiaSalah satu perbedaan mendasar antara a nation-state dalam

pengertian modern dengan sebuah negara atau kerajaan di masalalu adalah karena keterikatan negara modern kepada sebuahkonstitusi yang jelas. Kedaulatan hukum di masa silam bukanlahdi tangan rakyat yang dijamin dalam konstitusi, tetapi ditangan raja yang memandang rakyat sebagai wajib patuhkepadanya. Sehubungan dengan ini, Moh. Hatta pada tahun tigapuluhan mengatakan bahwa dalam alam Indonesia merdeka,kekuasaan tidaklah berada di tangan “daulat tuanku”, tetapi ditangan rakyat yang ditetapkan melalui konstitusi (MohammadHatta, 1976: 123-137).

Konstitusi, didefinisikan Henry Campbell 1(999: 311)sebagai:

“the organic and fundamental law of a nation or state; establishing thecharacter and conception of its government, organizing such government,and regulating, distributing, and limiting the functions of its differentdepartments, and prescribing the extent and manner of the exercise ofsovereign powers.”

Sedangkan konstitusionalisme adalah teori atau prinsippemerintahan konstitusional atau keterikatan kepada teoritersebut. Lebih jelasnya, konstitusionalisme adalah “both thepractice of politics according to ‘rule of game’ which insure effective restraints upongovernmental and other political action, and the theory —explanatory andjustificatory— of the practice” (Carl J. Friedrich, 1972: 319-320).

9

Konstitusionalisme antara lain dapat digambarkan denganpiramida Hans Kelson dalam Pure Theory of Law (Hans Kelsen, 1957:288-302). Pada ujung paling atas terdapat grundnorm (normadasar) berupa UUD yang mengilhami tangga-tangga peraturanperundang-undangan yang ada di bawahnya, baik Tap MPR, UU,Perpu, PP, Pepres maupun Perda. Peraturan perundang-undanganyang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi. Sistem seperti iniberlaku hampir di semua nation-state yang berdasarkan konstitusidan kedaulatan hukum, termasuk Negara Republik Indonesia,sesuai rincian pasal-pasal yang ditetapkan oleh masing-masingkonstitusi.

Pembicaraan konstitusionalisme Islam sering dihubungkankepada Piagam Madinah yang mengatur prinsip-prinsippemerintahan berdasarkan Islam untuk warga negara yang tidakhanya terdiri dari ummat Islam (Ahmad Sukardja, 1995: 178;Ahmad Sukardja, 1993: 49). Mengingat konstitusi dankonstitusionalisme baru ada sejak berdirinya nation-state, makaPiagam Madinah sebenarnya bukanlah sebuah konstitusi dalampengertian modern. Bila dapat dikatakan, maka ia barumerupakan sebuah naskah pra-konstitusi yang mengatur dengansangat ringkas prinsip-prinsip umum pemerintahan negara.Pasal-pasalnya tidak memuat secara rinci tentang bagaimana UUDdan UU dibuat setelah kematian Nabi, pembagian kekuasaan,sistem peradilan dan lain-lain seperti lazimnya diatur dalamsebuah konstitusi negara bangsa.

Sungguhpun demikian, gagasan umum konstitusi, UU danperaturan perundang-undangan Islam terangkum dalam teks-teksQur’an dan Hadits serta hasil ijtihad para fuqaha’ muslimsepanjang zaman yang berusaha merumuskan prinsip-prinsipkonstitusional, hukum dan peraturan yang disarikan dari intidan semangat wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.

Konstitusionalisme Islam juga dapat dilihat darikonstitusi nation-state negara-negara Islam/berpenduduk mayoritasmuslim seperti Pakistan, Iran, Sudan dan bahkan Mesir danIndonesia. Bagaimanapun, konstitusi-konstitusi tersebut adalahcerminan atau bagian dari cerminan konstitusionalisme Islamdalam kondisi dan situasi lokal negara-negara ini.

Pemahaman syari‘at yang telah diformulasikan dalam bentukteks hukum berupa konstitusi, undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengikat warga negara dapat disebut hukumIslam. Ia adalah hukum negara atau bagian dari hukum negara,

10

dan sebagai ilmu, maka ia mempunyai cabang-cabang seperti ilmuhukum umum yang terdiri dari hukum konstitusional, hukumperdata, hukum pidana, hukum ekonomi dan seterusnya.

Berbagai permasalahan sering muncul sehubungan dengantuntutan pelaksanaan syari‘at Islam dalam suatu negaraberpenduduk mayoritas muslim. Syari‘at Islam memang jalanhidup ummat Islam secara keseluruhan tanpa melihat batasnegara, dan karena itu ia dapat menjadi dasar hukum negara.Bahkan seorang ahli hukum Sudan yang hijrah ke Amerika Utaradengan tegas menyatakan di awal bukunya bahwa:

“The Muslim peoples of the world are entitled to exercise their legitimatecollective right to self-determination in terms of an Islamic identity,including the application of the Islamic law, if they wish to do so. . .”(Abdullahi Ahmed An-Na‘im, 1996: 1).

Sayang sekali, syari‘at Islam yang ia harapkan menjadihukum publik di dunia Islam tidaklah syari‘at dalam konteksyang dipahami oleh fuqaha’ dan ahli hukum Islam selama ini,tetapi syari‘at yang telah mengalami reformasi total supayadapat sejalan dengan konstitusionalisme modern. Dengan katalain, demi menyesuaikan diri dengan gagasan-gagasankonstitusionalisme yang berasal dari Barat, menurutnya,pemahaman syari‘at seperti yang dipahami oleh para pendahuluperlu dirubah dan disesuaikan dengan keperluan masa sekarang.

Abdullah Ahmed an-Na'im (1996: 12) pernah mengatakanbahwa “penerapan hukum syariat tidak perlu dilakukan karenaini hanya akan memberikan sumbangan bagi mapannya rezim-rezimotoriter”. Pernyataan tersebut tidak cukup berlebihan melihatpengalaman negara-negara yang ingin menjadikan hukum Islamsebagai landasan legal konstitusi justru mengalami eksklusikarena telah dijadikan senjata yang ampuh untuk melakukanlegitimasi sebuah kekuasaan. Fakta terakhir yang terjadi diAfganistan cukup membuktikan, bahwa "pembangkangan" hukumnegara oleh rakyatnya pasca perang Osama vs Bush merupakanpukulan telak bagi pengagum formalisasi syariat Islam.

Bagaimanapun, berbagai permasalahan menyangkut syari‘atIslam dalam pembahasan konstitusionalisme harus dipecahkan.Salah satunya menyangkut pemahaman tentang syari‘at itusendiri. Bila berbicara syari‘at Islam dalam konteks hukumnegara di dunia Islam, baik konstitusional ataupun yang lain,maka yang dimaksud syari‘at secara umum adalah fiqh. Sementaraitu, fiqh tidak mungkin secara langsung menjadi hukum negara,karena semua mazhab dalam Islam melahirkan fiqh tidak untuk

11

menjadi hukum negara, tetapi sebagai hukum yang disarikan darisyari‘at, mencakup bidang yang lebih luas dari hukum negara.Bahkan ada di antara fuqaha’ yang enggan menuliskan mazhabnyauntuk dijadikan hukum negara. Jalan keluar yang ditempuhantara lain adalah membuat kompilasi atau kodifikasi hukumIslam. Kodifikasi yang terkenal adalah Kodifikasi al-Majallahyang dilakukan di Turki pada abad yang lalu. Sejak RepublikTurki mempunyai konstitusi berdasarkan sekularisme, kodifikasiini tidak lagi berlaku di Turki, tetapi menjadi dasar berbagaikompilasi dan undang-undang di beberapa negara di TimurTengah. Jauh sebelum itu, di beberapa daerah di NegaraMalaysia yang sekarang juga pernah dilakukan kodifikasi.Belanda sendiri di Indonesia juga membuat beberapa kompilasiuntuk pedoman para hakim dalam memutuskan perkara sesuai hukumIslam. Kita mengenal Mogharraer Code untuk daerah Semarang[1747], Compedium Freijer [1761] dan lain-lain. Indonesia yangmerdeka juga membuat Kompilasi Hukum Islam Indonesia padatahun 1989 untuk diberlakukan di Pengadilan Agama (RifyalKa‘bah, 1999: 51-56; Nurrohman, 2002: 37).

Permasalahan lainnya berhubungan dengan gagasan yangsalah tentang syari‘at dan hukum yang berlaku di negara-negaramuslim pada waktu ini. Kesalahan itu datang dari kedua belahpihak, pendukung syari‘at dan pendukung hukum. Satu pihakmengatakan bahwa hukum yang berlaku sekarang tidak islami dankarena itu harus diganti dengan syari‘at Islam. Pihak lainmengatakan bahwa syari‘at itu sudah sangat tua dan tidak mampumemenuhi kebutuhan hukum negara modern yang kompleks.Kekeliruan itu antara lain karena tidak adanya perbedaan yangtegas antara syari‘at, fiqh dan hukum dan tidak tersedianyastudi komparatif yang memadai antara syari‘at dan hukum.Misalnya, salah satu hasil kompilasi hukum Islam dari warisanfiqh tradisional di Mesir membuktikan bahwa inti darikompilasi itu sebenarnya tidak jauh berbeda dari hukum yangsudah berlaku di Mesir (M.S. al-‘Isymâwî, 1996: 11-12).

Dengan demikian, tidak terbukti klaim tidak islami yangsering dituduhkan kepada hukum yang berlaku di Mesir selamaini. Kecuali hukum pidana, sebagian besar hukum yang berlakudi negara itu tidak bertentangan dengan syari‘at. Bahkan salahseorang ahli hukum kita berpendapat dalam hal pelaksanaanhukum Islam ini, antara Mesir dan Indonesia sebenarnya tidakjauh berbeda (Ismail Suny, 1993: 217). Akhirnya kebijakan yangdiambil di negara itu, seperti juga di Indonesia, adalah

12

mengganti secara bertahap bagian-bagian hukum yang belumberjalan sesuai dengan syari‘at, dan itu dilakukan tanpapengumuman pemberlakuan syari‘at Islam secara resmi atau tanpamenambahkan kata Islam kepada nama negara.

Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa menegakkan negaramerupakan keharusan doktrinal dan praktis, dan sesuai denganpandangan klasik dari al-Asy‟ari beserta tokoh-tokoh lainnya.Menurutnya Allah telah membuat manfaat-manfaat agama danmanfaat dunia tergantung kepada para pemimpin, tidak perduliapakah Negara tersebut merupakan salah satu asas agama ataubukan. Ia tidak tertarik dengan institusi imamah (teokratis); iahanya menginginkan supremasi agama. Baginya bentuk danstruktur pemerintahan tidak penting atau paling-palingmerupakan hal yang sekunder baginya, yang terpenting adalahpelaksanaan syariah (Qamaruddin Khan, 1995: 63-64; MubarokJaih, 2002: 32).

Evolusi struktural yang berlangsung di negara-negaraMuslim menyangkut dimensi ajaran Islam dan politiknya. Dalamparuh pertama abad kedua puluh, gerakan-gerakan baru modelIkhwanul Muslimin dan Jamaah Islamiyah mulai bermunculan,tetapi belum begitu kuat. Kecenderungan utama dalam pemikirandan aksi politik saat itu mengarah pada progam dan perspektifyang makin sekuler. Meskipun gerakan-gerakan nasionalis yangmuncul juga mengandung unsur-unsur Islam yang penting, baikdari segi keanggotaan maupun konsep, nasionalisme tidakdisuarakan dalam pengertian Islam secara signifikan. Pascaperang Dunia II, ketika kebanyakan negara Muslim telah merdekadari jajahan Eropa, ideologi utama gerakan-gerakan protes danpembaruan radikal dibentuk oleh perspektif Barat, baik itudemokrasi, sosialis, maupun marxisme. Negara-negara denganmayoritas penduduk Muslim bergabung dalam dunia negara-bangsayang berdaulat. Sistem politiknya, baik yang berbentukrepublik, radikal, maupun kerajaan konservatif, mengembangkanstruktur-struktur yang pada dasarnya termasuk dalam kerangkanegara-bangsa modern. Perkembangan ini menentukan kontekspolitik di dunia Muslim ada paruh kedua abad kedua puluh.Tampil sebagai satuan-satuan politik yang berwujud negarabangsa, umat islam bermain di panggung politik internasionalmaupun domestik dalam bentuknya yang beragam dalam pengamalanSyariah, baik yang formal konstitusional maupun sosialsubstansial (John, L. Esposito & John O. Voll, 1999: 2-4).

13

Adalah suatu kenyataan bahwa di luar masalah-masalahkonstitusional, hukum Syariah hampir merupakan kekuatantertinggi di negara-negara islam di sepanjang sejarah.

Sistem kodifikasi hukum mulai dikenal sejak Code Napoleon(Code Civil, Code Penal, dan Codede Commerce) di mana pada awalnyaterjadi di negara-negara modern Eropa Kontinental. Indonesiasebagai negara yang menganut sistem kodifikasi mendapatpengaruh dari pemerintah Hindia Belanda. Artinya hukum yangberlaku di negara Republik Indonesia berasal dari perundanganmasa kolonial Hindia Belanda. Hal ini didasarkan pada Pasal 2Aturan Peralihan UUD 1945. Perkembangan dan pelaksanaanSyariat Islam di negara-negara muslim terjadi melalui proses-proses tasyri’ (legislasi).

Tidak mengherankan bila sejak Republik ini berdiri,Indonesia telah menghasilkan berbagai UU dan PP yang berujungkepada syari‘at Islam yang wajib dijalankan oleh wargamasyarakat beragama Islam. Misalnya adalah UU No. 1/1974 yangmengatur sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama (bagi ummatIslam adalah syari‘at Islam); UU No. 7/1989 tentang PeradilanAgama (Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia);PP No. 70 dan 72/1992 yang menjelaskan bank bagi hasil dalamUU No. No. 7/1992 sebagai bank berdasarkan syari‘at; UU No.10/1998 tentang Perbankan yang melegitimasi perbankansyari‘at; UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;UU No. 23/1999 tentang BI yang memberi mandat pembentukan bankatau cabang bank syari‘ah pemerintah; UU No. 38/1999 tentangPengelolaan Zakat. Selanjutnya adalah UU No. 44/1999 tentangPelaksanaan Keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh, yang jugamenyangkut tentang pelaksanaan syari‘at Islam. Terakhir sekaliadalah UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus DaerahIstimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yangmelaksanakan syari‘at Islam melalui Mahkamah Syarìah. Semuaitu adalah buah dari syari‘at Islam yang menjiwai danmerupakan bagian tidak terpisah dari konstitusi Indonesia.

Prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional NegaraRepublik Indonesia dirumuskan dalam UUD 1945. YuridisKonstitusional UUD 1945 yang berlaku pada periode 18 Agustus1945 sampai dengan Desember 1949 (periode ke-1) dan UUD 1945yang berlaku sesudah Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang(periode ke-2) adalah dua UUD yang sama sekali tidak serupa.UUD 1945 periode ke-1 tidak mempunyai kaitan dengan PiagamJakarta 22 Juni 1945, sedangkan UUD 1945 periode ke-2

14

mempunyai kaitan yang sangat erat, menjiwai dan bahkanmerupakan satu kesatuan integral dengan Piagam Jakarta(Hazairin, 1990: 69; Suko Wiyono; 2009: 37-45).

Piagam Jakarta adalah sebuah dokumen penting yangmembidani kelahiran negara Republik Indonesia. Menurut RifyalKa‘bah (2005: 106-111; Rifyal Ka’bah, 2007: 39), 7 kata dalamPiagam Jakarta yang dicoret yaitu anak kalimat “dengankewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”berarti kewajiban yang dibebankan oleh negara melaluiperaturan perundang-undangan kepada warga negara beragamaIslam. Hal itu karena syariat Islam dalam pelaksanaannya dapatdibagi kepada dua bagian. Bagian pertama adalah syariat yangtidak membutuhkan kekuasaan negara, dengan menyerahkanpelaksanaannya kepada ketaatan individu para penganut. Seluruhsyariat Islam sebenarnya sangat mengandalkan ketaatan individumuslim, tetapi juga ada bagian yang khusus menjadi tugasnegara. Bagian kedua ini merupakan kewajiban yang dibebankanoleh negara kepada individu sebagai bagian dari penegakanhukum dalam sebuah negara berdaulat.

Berbicara tentang syari‘at Islam dalam konteks UUD 1945,maka sejak awal sudah terdapat permulaan yang baik, sepertiterlihat dalam Piagam Jakarta yang mendahului Pembukaan UUD1945. Sekalipun terdapat kontroversi dan pencoretan yangdipertanyakan terhadap “tujuh kata”, tetapi oleh DekritPresiden 5 Juli 1959 yang diterima dan didukung oleh DPR RIhasil Pemilu 1955, Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 danmerupakan bagian yang tidak terpisah dari konstitusi, yaitudekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945. Di dalamkonsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut dengan tegasdinyatakan, Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakartatertanggal 22 juli 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakansuatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Dengandemikian, baik UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959maupun Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang telah menjadi satukesatuan integral tersebut secara yuridis konstitusional telahmenjadi hukum dasar positif, yaitu hukum dasar yang berlaku diNegara Republik Indonesia. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 tidaklagi menjadi kesatuan yang berada di luar konstitusi yangmasih harus dituntut pemberlakuannya, tetapi telah menjadimilik seluruh rakyat Indonesia yang wajib dilaksanakan,bersamaan dengan pelaksanaan UUD 1945 (Hazairin, 1990: 71).

15

Dekrit itu sendiri oleh ahli tata negara dipandang tidakkonstitusional karena peraturan perundang-undangan yang lebihrendah, yaitu dekrit sebagai Keputusan Presiden, tidak dapatmemberlakukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,yaitu konstitusi. Sungguhpun demikian, kesahan sebuah produkperundang-undangan juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat.Dalam kenyataannya, selama empat puluh tahun sampai sekarang,tidak terjadi penolakan terhadap dekrit tersebut (Hazairin,1990: 75). Ini berarti bahwa bangsa Indonesia menerima DekritPresiden 5 Juli 1959 dan juga menerima Piagam Jakarta menjiwaidan menjadi bagian yang tidak terpisah dari UUD 1945. PiagamJakarta merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Itulahsebabnya, pelaksanaan Syariat Islam bagi umat Islam di NegaraRepublik Indonesia, secara yuridis konstitusional adalah sah.

Pada zaman Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapatdibagi atas dua periode: Pertama, Periode penerimaan hukumIslam sepenuhnya yang disebut receptio incomplexu yakni periodeberlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karenamereka memeluk agama Islam. Sejak adanya kerajaan Islam diNusantara hingga zaman VOC, hukum Islam sudah berlaku,khususnya mengenai hukum kekeluargaan yang meliputi hukumperkawinan dan hukum kewarisan. BahkanVOC mengakui dalambentuk peraturan Resolutie der Indische Regering yang kemudian olehBelanda diberi dasar hukum Regering Reglement (RR) pada tahun1885.

Kedua, Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yangdisebut teori recptie. Teori ini mengandung pengertian bahwa hukumIslam itu berlaku apabila diterima atau dikehendaki oleh hukumadat. Teori ini diberi dasar hukum dalam UUD Hindia Belandayang menjadi pengganti RR, yaitu Wet op de staatsinrichdng vanNederlans Indie (IS). Pada tahun 1929 Melalui IS yang diundangkandalam stbl. No. 212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tatahukum Hindia Belanda yang bertujuan untuk menjatuhkan hukumIslam dari masyarakat Indonesia.

Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam berada dalam periodepenerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif (persusif source)dalam hukum konstitusi, yaitu sumber hukum yang baru diterimaorang apabila ia telah diyakini.

Dalam kenyataannya, sejak para pendiri bangsa mengesahkankata syariat Islam masuk ke dalam Piagam Jakarta pada tanggal22 Juni 1945, telah terjadi dinamika yang cukup berartitentang pemaknaan kata tersebut dalam sejarah hukum kita.Tidak dapat diragukan bahwa syariat Islam dalam khazanah

16

kajian Islam di Indonesia mempunyai makna yang jelas, tetapidari sudut hukum nasional belum mempunyai makna atau tafsirkongkrit.

L.J. van Apeldoorn, (2000: 416-417) menyebutkan bahwaditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, hukum adalah gejalasejarah yang tunduk pada pertumbuhan terus-menerus. Pengertianpertumbuhan memuat dua arti: unsur perubahan dan unsur stabilitet.Sungguhpun demikian, bila kita melihat produk perundang-undangan berhubungan dengan Islam yang dilahirkan di zamanrepublik, ternyata istilah hukum Islam dan syariat Islam(juga: syariah) digunakan silih berganti (interchangable).

Setelah Piagam Jakarta, istilah syariat masuk ke dalamkhazanah hukum Indonesia melalui berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, UUNo.7/1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 7 tahun 1992 juncto UUNo. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 30 tahun 1999tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No.28 tahun 2000 tentang Zakat, UU No. 9/2008 Tentang SuratBerharga Syariah Negara, UU No. 21/2008 Tentang PerbankanSyariah. Selanjutnya pada tanggal 10 September 2008 terbitPeraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tentang KompilasiHukum Ekonomi Syariah (KHES), dan lain-lain.

UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 1 ayat (12)dan Pasal 1 ayat (10) undang-undang tersebut dengan jelasmenyatakan bahwa yang dimaksud prinsip syariah adalah aturanperjanjian berdasarkan hukum Islam. Jadi istilah syariah disini disamakan dengan hukum Islam.

Jauh sebelum ini, yaitu tanggal 10 Juni 1991, telahterbit Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) berdasarkanInstruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991. KHI terdiri dari tigabuku tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan HukumPerwakafan. Khusus mengenai Buku III telah disempurnakanmenjadi UU No. UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Buku I dan BukuII KHI juga sedang mengalami revisi dan telah menjadi RUU, dancepat atau lambat tentu juga akan menjadi UU. Hukum Islamdalam KHI ini tidak lain adalah kompilasi syariat Islam dalambidang perkawinan, kewarisan dan kewakafan. Sejak diterbitkan,KHI telah digunakan sebagai hukum materiil di Peradilan Agama(PA) yang merupakan Peradilan Syariat Islam di Indonesia.

Istilah syariat juga muncul dalam Pasal 25 ayat (1), (2)dan (3) UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Daerah IstimewaAceh sebagai Propinsi Naggroe Aceh Darussalam yang disahkan

17

tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 114dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134).

Perundang-undangan syariat Islam di darah tingkat satudan tingkat dua tidak hanya melalui Qanun Propinsi NAD, tetapijuga berbagai Peraturan Daerah (Perda), Surat Edaran dan lain-lain di beberapa daerah.

Tabel 1 Regulasi Syariat Islam Sebelum 2010 di BerbagaiPropinsi

No Nama Perda/SK Isi Perda Regional Penggagas/

Penggerak

Problem

1 Perda No. 03 Tahun 2002

Larangan, pengawasan, penertiban, danpenjualan minuman keras

Bulukumba (Sulawesi Selatan)

Bupati Patabai Pabokori (Golkar)dan KPPSISulsel (Aziz KaharMuzakkar)

Penertibanmiras setengah hati; di komplek pariwisatamiras tidak dilarangatas nama pendapatandaerah

2 Perda No. 02 Tahun 2003

Pengelolaan zakat, infaq,dan shadaqah

Bulukumba (Sulawesi Selatan)

Bupati Patabai Pabokori (Golkar)dan KPPSISulsel (Aziz KaharMuzakkar)

Diskriminasi pelayanan publik; pemotongangaji guru secara sepihak untukpembangunan masjid

3 Perda No. 05 Tahun 2003

Berpakaian muslim dan muslimah

Bulukumba (Sulawesi Selatan)

Bupati Patabai Pabokori (Golkar)dan KPPSISulsel (Aziz

Pemaksaan terhadap minoritas (non Islam); tidak adanya

18

KaharMuzakkar)

layanan publik bagiyang tak berjilbab

4 Perda No. 6 Tahun 2005

Pandai baca Tulis Al-Qur’an Bagi Siswa danCalon Pengantin

Bulukumba (Sulawesi Selatan)

Bupati Patabai Pabokori (Golkar)dan KPPSISulsel (Aziz KaharMuzakkar)

Kawin larisemakin meningkat;konflik keluarga karena pembatalanpernikahanbagi yang tidak bisamengaji; diskriminasi perlakuan antara pejabatdan masyarakatbiasa dalam pernikahan; mematikan pengajian-pengajian(surau) kampung; komersialisasi ‘ngaji’; menguntungkan BKPRMI(BadanKoordinasiPersatuan Remaja Masjid

19

Indonesia)/ pihak yang berwenangmengeluarkan sertifikatkepandaianmengaji

Perda No. 15 Tahun 2005

Buta Aksara al-Quran,

Maros (Sulawesi Selatan)

Bupati Maros (Golkar) &DPRD Maros

komersialisasi ‘ngaji’

Perda No. 16 Tahun 2005

Busana Muslim Maros (Sulawesi Selatan)

Bupati Maros (Golkar)

Adanya diskriminasi layananpublik bagiyang tak berjilbab

Perda No. 17 Tahun 2005

Pengelolaan Zakat

Maros (Sulawesi Selatan)

DPRD Maros

Diskriminasi pelayanan publik; pemotongangaji guru secara sepihak untukpembangunan masjid

5 Perda No. 09 Tahun 2005 yang direvisi dengan Perda No. 9 Tahun 2009

Pengelolaan Zakat Profesi

Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat)

DPRD Lombok Tmur

Pemotongansepihak gaji guru yang minim; tidak adanya transparansi dari

20

Pemda6 Perda No. 18

Tahun 2001Larangan Perdedaran Minuman Beralkohol

Pamekasan (Madura)

Bupati Dwiatmo Hadiyanto(?) danDPRD Madura

Definisi miras terlalu umum sehingga dapat dimanfaatkan oknum tertentu

7 Surat Edaran Nomor061/2896/Org

Anjuran Pemakaian Seragam Kerja(Muslim/Muslimah) pada Hari-hari Kerja

Cianjur (Jawa Barat)

Bupati Wasidi Swastomo (PKB)

Anjuran pemakaian menjadi sebuah kewajiban yang diikuti sanksi

8 Instruksi Walikota Nomor451.442/Binsos-III/2005

Pewajiban Jilbab dan Busana Islami(bagiOrang Islam) & Anjuran Memakainya(untuk Non-Islam)

Padang (Sumatera Barat)

Fauzi Bahar (Golkar)

Anjuran jilbab untuk minoritas berubah menjadi sebuah ‘kewajibanyang taktertulis’

9 Surat Edaran BupatiNo.451/SE/04/ Sos/2001

Anjuran untukMemakai Pakaian SeragamSesuai denganKetentuan yang MenutupAurat bagi sisiwi SD, SLTP, SMU/SMK,Lembaga Pendidikan Kursus, dan

Tasikmalaya (Jawa Barat)

Bupati Tatang Farhanul Hakim(PPP) & DPRD (Fraksi PPP danPbB)

Anjuran menjelma menjadi kewajiban yang memaksa

21

PerguruanTinggi yang Beragama Islam

10 Qanun No. 13/2003

Maisir (Perjudian)

Nanggroe Aceh Darussalam(NAD)

DPRD NAD Sanksi yang diberlakukan belum menyentuh penjudi kelas kakap

11 Qanun No.14/2003

Khalwat (Mesum)

Nanggroe Aceh Darussalam(NAD)

DPRD NAD Pengertiansoal khalwat yang belumpadu antara perumus dan pelaksana;kekhawatiran perempuan sebagai korban

12 Qanun No.7/2004

Zakat Nanggroe Aceh Darussalam(NAD)

DPRD NAD Jika diterapkansecara terpisah atau tidakdiselaraskan dengan ketentuanmengenai perpajakandapat menimbulkan pajak ganda bagikaum Muslim

22

sehingga akan ada diskriminasi antara warga Muslim dengan non-Muslim

13 Surat GubernurRiau No.003.1/UM/08.1/2006

Pembuatan Papan Nama Arab Melayu

Riau Gubernur Rusli Zaenal (Golkar)

Kesalahan pada penulisan ejaan sehingga diperlukantim khususmenandakanbahwa masyarakatbelum siapsekaligus perlu diadakan anggaran khusus untukitu

Sumber: The Wahid Institute 2011

Beberapa Perda menunjukkan adanya dukungan terhadapsyariat Islam dari wakil-wakil rakyat di daerah-daerahtertentu. Melihat perkembangan sekarang, tidak mustahil jumlahPerda syariat Islam akan bertambah di masa depan. Ini tentu disamping perundang-undangan pada tingkat pusat yang akan lahirdalam waktu dekat atau di masa depan untuk mendukung reformasihukum di negeri ini.

Ternyata berbagai perda, himbauan dan surat edarantersebut mendapat tanggapan negatif dari 56 anggota DPR RIdengan alasan bahwa pembentukannya bertentangan denganPancasila dan UUD 1945 (Forum Keadilan, 2006: 84-85; Moh.Mahfud, MD, 2010: 38). Sungguhpun demikian, berbagai fraksi diDPR melalui juru bicara mereka tidak sependapat dengankelompok ini. Mereka menyatakan bahwa tidak ada persoalan

23

dengan perda-perda bernuansa syariah. Sebenarnya, dalam sebuahnegara demokrasi, adalah biasa bila terjadi perbedaan pendapattentang suatu masalah, tetapi bila ada pihak yang menyatakanbahwa perda tertentu bertentangan dengan undang-undang ataukonstitusi, sepatutnya yang bersangkutan menempuh jalur hukumdengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau MahkamahKonstitusi. Kedua lembaga inilah yang diberi wewenang olehundang-undang dan UUD untuk memeriksa, menetapkan danmemutuskan apakah sebuah peraturan perundang-undanganbertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi ataudengan konstitusi.

SimpulanNegara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan

hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagaimakhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu sifatdasar negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodratmanusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lainuntuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu negaramemiiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusiaadalah sebagai pendiri negara untuk mencapai tujuan manusiaitu sendiri.

Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidupbersama, berkedudukan kodrat sebagai makhluk pribadi dansebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Sebagai makhluk pribadiia dikaruniai kebebasan atas segala sesuatu kehendakkemanusiaannya. Sehingga hal inilah yang merupakan suatukebebasan asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang MahaEsa. Sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa ia memiliki hak dankewajiban untuk memenuhi harkat kemanusiaannya yaitu menyembahTuhan yang Maha Esa. Manifestasi hubungan manusia denganTuhannya adalah terwujud dalam agama. Negara adalah merupakanproduk manusia sehingga merupakan hasil budaya manusia,sedangkan agama adalah bersumber pada wahyu Tuhan yangsifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan manusia memiliki hak-hak dan kewajiban yang didasarkan atas keimanan danketakwaanya terhadap Tuhannya,sedangkan dalam negara manusiamemilik hak-hak dan kewajiban secara horizontal dalamhubungannya dengan manusia lain.

Kelahiran berbagai perundang-undangan berbasis syariatIslam, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sejak22 Juni 1945 menunjukkan gejala syariat Islam sebagai hukum

24

yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Gejala tersebut jugadapat dilihat dari penggunaan fatwa DSN akhir-akhir inisebagai pengganti kekosongan peraturan perundang-undangandalam bidang hukum ekonomi syariah. Gejala ini juga didukungoleh peningkatan kewenangan PA, termasuk Mahkamah Syariah diPropinsi NAD, yang tadinya terbatas dan putusannya harusdikuatkan oleh Pengadilan Umum, sekarang adalah bagian dariempat jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung RI.

Meskipun demikian, aplikasi syariat Islam tidak mestiharus melalui perangkat formal dan regulasi yang represif,tapi biarkan dikonsumsi sendiri oleh masyarakat menurutkeyakinan dan prinsip yang sesuai dengan norma yang dihargaisebagai kebijaksanaan. Syariat Islam harus dipahami sebagairuang yang memungkinkan bagi penganutnya untukmemperlakukannya sesuai dengan asumsi dan kemauan mereka demikebutuhan dan kebaikan masyarakat sendiri tanpa perlupemaksaan, kekerasan (violence), dan penyeragaman (uniformity).Inilah sumbangan terbesar bagi masyarakat demokratis.

25

Daftar Pustaka

Abdullah Yusuf Ali, 1989. The Holy Al-Quran: Text, Translation andCommentary. Maryland Amana Corporation. Brenwood

Abdullahi Ahmed An-Na‘im, 1996. Toward Islamic Reformation: CivilLiberties, Human Rights, and International Law. Syracuse UniversittyPress. New York

Adhian Husaini & Nuim Hidayat. 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,Penyimpangan, dan Jawabannya. Gema Insani Press. Jakarta

Ahmad Sukardja, 1993, “Siyasah Syar`iyyah dalam Konsep AbdulWahab Khallaf”, Jurnal Dinamika Hukum Darul Hukum, Edisi Kedua.

Ahmad Sukardja, 1995. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945.UI-PRESS. Jakarta

As’ad, Said Ali. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa.Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009.

Azyumardi Azra, “Belum Ada Negara Sebagai Acuan PelaksanaanSyariat Islam”, Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor),2001. Syariat Yes Syariat No; Dilema Piagam Jakarta dalam AmandemenUU 1945. Paramadina. Jakarta

Carl J. Friedrich, "Constitution and Constitutionalism" dalamInternational Encyclopedia of Social Sciences, 1972, Volume 3. TheMacmillan Company & The Free Press, Reprint Edition. NewYork.

Charles Kurzman. 2001. Wacana Islam Liberal Pemikiran IslamKontemporer dan Isu-Isu Global, terjemahan Bahrul Ulumdari Liberal Islam: a Sourcebook. Paramadina, Yayasan AdikaryaIKAPI dan The Ford Foundation. Jakarta

Hadari Nawawi, 1983. Metode Penelitian Sosial. Gajah Mada UniversityPress. Yogyakarta

Hans Kelsen, 1957. “Law, State, and Justice in the Pure Theoryof Law” dalam What Is Justice?. University of CaliforniaPress. Berkeley and Los Angeles

Harun Nasution dan Bahtiar Effendy. 1995. Hak Azasi Manusia dalamIslam. Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Firdaus. Jakarta

Hazairin, 1990. Demokrasi Pancasila. Penerbit Rineka Cipta.Jakarta

Henry Campbell Black, 1999. Black’s Law Dictionary. West PublishingCo. St. Paul, Minn

Husni Mubarrak A. Latief, 2010, “Sengkarut Hukuman Rajam dalamRancangan Qanun Jinayat Aceh”, Jurnal Sosio Religia, Vol. 9,No. 3, (Mei).

26

I Made Dedy Priyanto, 2011, “Instrumen Hukum Pembatalan PerdaSyari’ah di indonesia”, Jurnal Konstitusi PKK UdiknasDenpasar,  Vol. I, No. 2, (Nopember).

Ibnu Hadjar, 2006, “Syari’at Islam Dan Hukum Positif DiIndonesia”, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XVI(Desember).

Irfan Suryahardi Awwas, “ Menerapkan Piagam Cerdas” dalamKurniawan Zein dan Sarifuddin (editor). 2001. Syariat YesSyariat No; Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945.Paramadina. Jakarta

Ismail Suny, 1993. “Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesiadalam Bidang Hukum” dalam Islam dan Kebudayaan Indonesia.Yayasan Festival Istiqlal. Jakarta

John, L. Esposito & John O. Voll, 1999. Demokrasi di Negara-NegaraMuslim: Problem & Prospek, Alih Bahasa: Rahmani Astuti, Cet I.Mizan. Bandung

Jum Anggriani, 2011, “Kedudukan Qanun dalam SistemPemerintahan Daerah dan Mekanisme Pengawasannya”, JurnalHukum, Vol. 18, No. 3 (Juli).

Kartohadiprodjo, Soediman. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup BangsaIndonesia. Jakarta: Gatra Pustaka, 2010.

Khamazi Zada, 2006, “Perda Syariat: Proyek Syariati yangSedang Berlangsung”, Jurnal Taswirul Afkar; Refleksi PemikiranKeagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 20, (Januari-Maret).

L.J. van Apeldoorn, 2000. Pengantar Ilmu Hukum, Alih Bahasa:Oetarid Sadino, Cet. ke-28. PT Pradnya Paramita. Jakarta

Latif, Yudi. Pancasila Sakti. Artikel pada Majalah Gatra, Edisi No.48 Tahun XVII, 12 Oktober 2011, hlm. 106.

Lili Romli, 2006. Islam Yes, Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia. LIPI-Pustaka Pelajar. Yogyakarta

M.S. al-‘Isymâwî, 1996. asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qanûn al-Mishrî.Maktabah Madbûlî ash-Shaghîr, 1416. Cairo

Majalah Forum Keadilan, 2006, Edisi 25 Juni, No. 09. Moh. Mahfud, MD, 2010, “Politik Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional”, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV, No. 290,Januari, (Ikahi: Jakarta).

Mohammad Hatta, 1976. Kumpulan Karangan (Jakarta: Bulan Bintang)Mubarok Jaih, 2002, “Dinamika Pemikiran Hukum Islam di

Indonesia”, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. 26, No. 48, (Juli).Muhammad Alim, 2010, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya

dengan Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, FH UII, No.1Vol. 17 (Januari).

27

Muhammad Shiddiq Al-Jawi. 2002. “Formalisasi Syariah SuatuKeharusan”, Pengantar Penyunting Muhammad Ahmad Mufti danSami Shalih al-Wakil, Formalisasi Syariah Islam dalam KehidupanBernegara Suatu Studi Analisis, terjemahan al-Fakhr ar-Razi darijudul asli Attasyri` wa Sann al-Qawanin fi ad-Daulah al-Islamiyah:Dirasah Tahliliyah. Media Pustaka Ilmu. Yogyakarta

Nandang Burhanudin. 2004. Penegakan Syariat Islam Menurut PartaiKeadilan. al-Jannah Pustaka. Jakarta

Nurrohman, 2002, “Syari`at Islam, Negara dan TransformasiHukum Islam”, Jurnal Hukum Islam & Pranata Sosial Asy-Syari`ah, Vol.25, No. 2, (Juli-Desember).

Pudjo Suharso, 2009, “Pro Kontra Implementasi Perda Syari’ah(Tinjaun Elemen Masyarakat)”, Jurnal Al-Mawarid, Edisi XVI(Desember).

Qamaruddin Khan, 1995. Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, Alih Bahasa:Anas Mahyuddin, Cet. II. Pustaka. Bandung

Rifyal Ka‘bah, 1999. Hukum Islam di Indonesia. Universitas Yarsi.Jakarta

Rifyal Ka‘bah, 2005. “Piagam Jakarta 22 Juni 1945” dalam Politikdan Hukum Menurut al-Qur’an. Khairul Bayan. Jakarta

Rifyal Ka’bah, 2004. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. KhairulBayan. Jakarta

Rifyal Ka’bah, 2007, Fenomena Perda Syariat dalam Sistem HukumIndonesia”, Jurnal Hukum Suara Uldilag, Vol. 3 No. X(Oktober).

Rikardo Simarmata, 2006, “The Life of Law Has Not Been Logic”,Jurnal kerjasama  antara Forum Keadilan dan Huma  No. 42,(Februari).

Salahuddin Wahid, ”Negara Sekuler No! Negara Islam No!” dalamKurniawan Zein dan Sarifuddin (editor). 2001. Syariat YesSyariat No; Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945.Paramadina. Jakarta

Suko Wiyono, 2009, “Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam KerangkaNegara Hukum yang Demokratis Berdasarkan Pancasila”, JurnalMahkamah Konstitusi Republik Indonesia,  Vol. I, No. 2,(Nopember).

Suryono Sukanto & Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif,Cet. IV. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1982. Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam.Tintamas. Jakarta.

28

Tatang Astarudin, 2006, “Perda Syari’at; Aspirasi MasyarakatDaerah”, Jurnal Taswirul Afkar; Refleksi Pemikiran Keagamaan danKebudayaan, Edisi No. 20, (Januari-Maret).

Tono Sidik, 2003, “Penerapan Hukum Islam di Indonesia (PeluangKonstitusional & Implementasinya dalam Hukum Positif”,Jurnal Hukum Islam Unisia, Vol. 26, No. 48, (Desember).

Zuhairi Misrawi, ”Dekonstruksi Syariat; Jalan MenujuDesakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi” dalamJurnal Tashwirul Afkar, Edisi No.12 Tahun 2002. Lembaga Kajiandan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The AsiaFoundation. Jakarta

29