Post on 25-Feb-2023
Dini Rosidah
1135030064
BSI-B
FIQIH PUASA
Puasa merupakan ibadah agung yang hanya Allah saja yang
mengetahui seberapa besar pahalanya. Seorang yang berpuasa
juga akan mendapatkan dua kebahagiaan yang tidak dirasakan
oleh selain mereka, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan
kebahagiaan ketika mereka bertemu dengan Rabbnya. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda :
“Setiap amal Bani Adam dilipatgandakan, satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan
sampai tujuh ratus kali lipat. “
Allah berfirman, ”Kecuali puasa, ia untukKu dan Aku yang membalasnya. Dia
meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku.” “ Orang berpuasa mempunyai
dua kebahagiaan. Kebahagiaan pada waktu berbuka dan kebahagiaan pada waktu
bertemu Rabbnya. Sungguh aroma mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum
di sisi Allah daripada minyak kasturi.”
Dan Allah telah menyediakan pintu khusus di Surga bagi orang-
orang yang telah berpuasa ketika di dunia. Dari Sahal bin
Sa’ad , dari Nabi beliau bersabda;
”Di Surga ada delapan pintu. Di antaranya ada pintu yang bernama Rayyan, yang
hanya dimasuki oleh orang- orang yang berpuasa.”
Definisi Puasa
Puasa adalah menahan diri dari pembatal-pembatal puasa mulai
dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat
berpuasa sebagai ibadah kepada Allah.
Macam-macam Puasa
Puasa ada tiga jenis, yaitu :
1. Puasa Wajib Puasa wajib ada tiga macam, antara lain :
a. Puasa yang wajib karena zamannya (waktunya) itu sendiri,
yaitu puasa Ramadhan.
b. Puasa yang wajib karena suatu sebab, seperti puasa
kaffarah.
c. Puasa yang wajib karena diwajibkan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri, seperti; puasa nadzar.
PUASA RAMADHAN
Para salaf dahulu sangat berharap untuk dapat memasuki bulan
Ramadhan dan mengisinya dengan berbagai amalan shalih.
Diantara doa yang sering mereka panjatkan ialah; “Ya Allah,
selamatkanlah kami sampai Ramadhan. Dan selamatkan bagi kami
Ramadhan itu. Serta terimalah dari kami (amal-amal kami di
dalamnya)
Sungguh binasa dan celakalah orang-orang yang telah memasuki
bulan Ramadhan, tetapi setelah Ramadhan tersebut lewat ia
belum mendapatkan ampunan dari Rabbnya. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda;
“Binasalah seorang yang namaku disebut disisinya, tetapi ia tidak bershalawat
kepadaku. Binasalah seorang yang masuk bulan Ramadhan kemudian ia lepas (dari
Ramadhan) namun ia belum diampuni (dosanya). Binasalah seorang yang menemui
orang tuanya pada masa tua, namun (keberadaan) orang tuanya tidak mampu
memasukkannya ke dalam Surga.”
Diantara amalan Ramadhan yang paling utama adalah puasa
Ramadhan. Puasa Ramadhan juga merupakan sebab seseorang
mendapatkan ampunan Allah . Dari Abu Hurairah ia berkata,
bahwa Rasulullah bersabda;
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan landasan iman dan berharap pahala
dari Allah, maka dosanya yang telah berlalu akan diampuni.”
Hukum Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Diriwayatkan
dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ia
berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda;
”Islam didirikan diatas lima perkara, yaitu; bersaksi bahwa tidak ada Sesembahan
(yang berhak disembah dengan benar) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan
berpuasa pada bulan Ramadhan.”
Hukum puasa Ramadhan adalah wajib atas setiap muslim laki-laki
dan wanita yang sudah baligh, berakal, mampu berpuasa, mukim
(tidak safar), dan suci dari haidh dan nifas bagi wanita.
Allah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana Dia
mewajibkannya atas umat sebelumnya. Allah berfirman;
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang- orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.”
Orang yang mendapat keringanan Puasa , ialah :
1. Orang sakit Sakit
dibagi dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Sakit ringan
Yaitu sakit yang tidak memberikan pengaruh terhadap
puasa, demikian pula berbuka tidak memberikan keringan
kepadanya. Seperti; flu yang ringan, pusing yang
ringan, sakit gigi, dan sebagainya, maka dalam kondisi
seperti ini seorang tidak diperbolehkan berbuka
karenanya.
b. Sakit ringan yang bertambah parah
Yaitu yang awalnya sakit ringan kemudian bertambah
parah dan seorang merasa berat untuk berpuasa, akan
tetapi puasa tersebut tidak berdampak negatif terhadap
kesembuhan, maka dalam kondisi seperti ini seorang
dianjurkan untuk berbuka karenanya.
c. Sakit berat
Yaitu sakit yang menyebabkan seseorang merasa berat
melakukan puasa dan berpuasa dapat berakibat buruk
terhadap seseorang bahkan dapat mengantarkan kepada
kematiannya, maka dalam kondisi seperti ini seorang
diwajibkan berbuka karenanya dan haram baginya untuk
berpuasa.
2. Orang safar
Dalil bolehnya orang yang sakit dan orang yang safar
untuk tidak puasa dan menggantinya pada hari yang lain
adalah firman Allah :
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.”
Safar dibagi dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Safar yang dilakukan membuat seseorang berat untuk
melakukan puasa dan menghalanginya untuk melakukan
kebaikan.
Maka ketika itu berbuka lebih baik bagi dirinya.
Diantara dalilnya adalah hadits dari Jabir bin Abdillah
p, ia berkata;
“Suatu ketika Rasulullah berada dalam perjalanan, lalu
beliau melihat sekelompok orang yang berdesakan dan
orang yang sedang diteduhi, lalu beliau bertanya, “Apa
ini?” Mereka menjawab, “Ia sedang berpuasa.” Kemudian
Rasulullah abersabda, “Bukan termasuk kebaikan
(baginya), berpuasa didalam perjalanan.”
b. Safar yang dilakukan tidak membuat seseorang merasa
berat untuk berpuasa dan tidak menghanginya untuk
melakukan kebaikan
Maka berpuasa lebih baik baginya daripada berbuka. Hal
ini berdasarkan keumuman firman Allah :
“Dan berpuasa lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”
c. Safar yang dilakukan membuat seseorang merasa berat
untuk berpuasa dan dapat menyebabkan kematian.
Maka ketika itu ia wajib berbuka dan haram baginya
berpuasa. Hal ini seperti disebutkan dalam hadits Jabir
:
“Bahwa Rasulullah keluar menuju Makkah ketika fathu
Makkah pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga
sampai di Kura’ Al-Ghamim sementara orang- orang ikut
berpuasa, kemudian beliau meminta diambilkan segelas
air dan mengangkatnya sehingga semua orang melihatnya,
lalu beliau meminumnya. Setelah itu dikatakan kepada
beliau bahwa sebagian orang tetap berpuasa. Maka
Rasulullah bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang
melakukan maksiat, mereka orang yang melakukan
maksiat.”
3. Orang yang sudah tua
Orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa, maka tidak ada
qadha‟ baginya, tetapi hanya diwajibkan membayar fidyah
(memberi makan orang miskin). Sebagaimana firman Allah :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu „Abbas :
“Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak puasa dan memberi
makan setiap hari untuk seorang miskin dan tidak ada qadha’ baginya.”
4. Wanita yang hamil
5. Wanita yang menyusui
Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak
mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila
mereka berpuasa, maka boleh bagi mereka untuk berbuka
dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah, tetapi
mereka tidak wajib mengqadha‟. Ini adalah pendapat Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar p. Ini juga madzhab Ishaq dan
pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata; “Jika wanita
yang hamil khawatir akan dirinya, begitu pula wanita yang
menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan,
maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian
memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari
yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha‟
puasa.”
Juga riwayat dari Nafi’ , ia berkata;
“Salah seorang puteri dari Ibnu Umar p menjadi isteri
salah seorang laki-laki Quraisy, ketika Ramadhan ia
sedang hamil lalu ia kehausan, maka Ibnu „Umar p
memerintahkan untuk berbuka dan memberi makan seorang
miskin setiap hari (yang ditinggalkan).”
Hal-hal yang Membatalkan Puasa :
A. Hal-hal yang membatalkan puasa dan diwajibkan
mengqadha’. Hal-hal yang membatalkan puasa dan
diwajibkan mengqadha‟ antara lain :
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Muntah dengan sengaja
3. Haidh dan nifas
4. Sengaja mengeluarkan mani
5. Niat kuat untuk berbuka
6. Murtad (keluar dari Islam)
B. Hal-hal yang membatalkan puasa dan diwajibkan
mengqadha’ sekaligus kaffarah ,antara lain :
1. Jima’
Jika seorang suami sengaja jima‟ dengan isterinya –
bukan karena keterpaksaan-, maka batallah puasa
kedua orang terebut, dan keduanya wajib
mengqadha‟nya, dan kaffarah diwajibkan kepada suami
dan isteri. Dan ini adalah pendapat Jumhur ulama‟.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata;
“Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah, lalu
berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah celaka.”
Beliau bertanya, “Apa yang mencelakakanmu?” Ia
menjawab, “Aku telah mencampuri isteriku pada saat
bulan Ramadhan.” Beliau bertanya, “Apakah engkau
mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?” Ia
menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah engkau
mampu puasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab,
“Tidak.” Lalu ia duduk, kemudian Nabi memberinya
sekeranjang kurma seraya bersabda, “Bersedekahlah
dengan ini.” Ia berkata, “Apakah kepada orang yang
lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu
hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang
lebih memerlukannya daripada kami.” Maka tertawalah
Nabi sampai terlihat gigi taringnya, kemudian
bersabda, “Pergilah dan berilah makan keluargamu
dengan kurma itu.”
Kaffarah berbuka karena jima‟ di siang hari bulan
Ramadhan adalah :
a. Memerdekakan hamba sahaya.
b. Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan
berturut- turut.
c. Jika tidak mampu, maka memberi makan enam puluh
orang miskin, masing-masing orang miskin dengan
setengah sha’ makanan.
2. Orang yang menunda qadha’ puasa tanpa alasan yang
syar’i, hingga datang Ramadhan berikutnya Seorang
yang menunda qadha puasa Ramadhan tanpa alasan yang
syar‟i, hingga datang Ramadhan berikutnya, maka
hendaklah ia mengqadha‟, bertubat, serta memberi
makan seorang miskin setiap hari yang ia berbuka di
dalamnya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdul Aziz bin
„Abdullah bin Baz
FIQIH QURBAN DAN AQIQAH
Qurban
Untuk mengkaji masalah qurban ini, akan diuraikan pertama kali
tentang
pengertian qurban dan dasar hukumnya, kemudian ketentuan-
ketentuan penting
tentang qurban, tatacara qurban, dan fungsi qurban.
a. Pengertian qurban dan dasar hukumnya
Kata qurban berasal dari bahasa Arab qurban yang berarti dekat
atau mendekatkan diri kepada sesuatu. Menurut istilah, qurban
diartikan sebagai bentuk ibadah kepada Allah dengan
menyembelih binatang pada hari raya ‘Idul Adlha dan hari
Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Istilah yang
digunakan dalam kitab-kitab fikih untuk qurban adalah
udlhiyah, yang berarti menyembelih binatang pada pagi hari.
Ibadah qurban semula merupakan syariat Nabi Ibrahim a.s.
Beliau pertama- tama mendapatkan perintah berqurban bukan
dengan binatang, tetapi beliau diperintahkan untuk menyembelih
puteranya yang sangat dicintainya, yaitu Nabi Isma’il a.s.
Dengan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah, Nabi Ibrahim
melaksanakan perintah untuk menyembelih puteranya itu. Namun,
ketika Nabi Ibrahim meletakkan pisau penyembelihannya pada
leher Nabi Isma’il, Allah mengganti Isma’il dengan domba,
sehingga yang diqurbankan Ibrahim tidak lagi puteranya, tetapi
seekor domba. Syariat Nabi ibrahim ini kemudian juga menjadi
syariat Nabi Muhammad Saw. Dasar hukum dianjurkannya berqurban
adalah firman Allah dalam surat al- Kautsar ayat 1-3 dan surat
al-Hajj ayat 36:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang- orang
yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. al-Kautsar (108): 1-3).
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah,
kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama
Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).
Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri
makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-
minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta
itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. al-Hajj (22):
36).
Dalam surat al-Kautsar di atas terlihat bahwa Allah
memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan shalat dan
berqurban. Kemudian dalam surat al-Hajj Allah menjelaskan
tatacaranya dengan singkat. Dasar hukum lainnya adalah
beberapa hadits Nabi Saw, yang di antaranya seperti di bawah
ini:
“Saya diperintah untuk menyembelih qurban dan qurban itu sebagai sunnah bagi
kamu” (HR. at-Tirmidzi).
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa yang memiliki kemampuan, tetapi ia tidak mau berqurban, maka
janganlah ia menghampiri tempat shalat kami” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah).
Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa qurban itu sangat
dianjurkan (sunnah muakkad). Namun, Nabi tidak mewajibkan
qurban itu bagi umat Islam, meskipun bagi beliau sendiri
qurban itu diwajibkan.
b. Beberapa ketentuan tentang qurban
Untuk kesempurnaan ibadah qurban, ada baiknya diperhatikan
beberapa ketentuan di bawah ini:
1. Jenis binatang dan syaratnya. Binatang yang dapat
diqurbankan adalah kambing, domba, sapi, kerbau, dan
unta. Binatang yang digunakan qurban adalah binatang
yang baik, yakni sudah cukup umurnya dan tidak memiliki
cacat. Untuk kambing, sudah berumur dua tahun atau sudah
berganti giginya dan untuk domba (kambing kibas), sudah
berumur satu tahun lebih. Untuk sapi dan kerbau, juga
sudah berumur dua tahun. Sedang untuk unta, sudah berumur
lima tahun. Adapun larangan menyembelih binatang yang
cacat ditegaskan dalam hadits Nabi saw. Dalam salah satu
haditsnya, Nabi bersabda:
”Empat macam binatang yang tidak boleh dijadikan qurban, yaitu binatang yang
buta dan jelas kebutaannya, binatang yang sakit dan jelas sakitnya, binatang yang
pincang dan jelas kepincangannya, dan binatang yang kurus yang tidak bergajih”
(HR. at-Tirmidzi).
2. Jumlah hewan qurban.
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang, sedang
seekor sapi, kerbau, atau unta bisa untuk qurban tujuh
orang. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Jabir,
ia berkata:
“Kami telah menyembelih qurban bersama-sama Rasulullah Saw. pada tahun
Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh
orang” (HR. Muslim).
3. Waktu Penyembelihan
Waktu menyembelih qurban adalah pada hari nahar, yaitu
pada hari raya ‘Idul Adlha (tanggal 10 Dzulhijjah), dan
hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Terkait dengan ini Nabi Saw. bersabda:
“Barang siapa yang menyembelih qurban sebelum sembahyang ‘Idul Adlha,
maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa menyembelih
qurban sesudah shalat ‘Idul Adlha dan dua khutbahnya, maka sungguh ia
telah menyempurnakan ibadahnya dan ia telah mengikuti sunnah kaum
muslimin” (HR. al-Bukhari).
Dalam hadits yang lain Nabi Saw. bersabda:
“Semua hari Tasyriq adalah waktu untuk menyembelih qurban” (HR.
Ahmad).
4. Yang menyembelih Qurban
Yang paling berhak untuk menyembelih binatang qurban
adalah yang berqurban sendiri. Jika yang berqurban tidak
bisa, maka diserahkan kepada orang lain yang mampu
menyembelihnya.
5. Pembagian daging Qurban
Daging binatang qurban sebagiannya (sepertiganya) dapat
diberikan kepada yang berqurban sendiri, dan sisanya
dibagikan kepada fakir miskin yang ada di sekitarnya.
Para ulama sepakat bahwa daging qurban tidak boleh
dijual. Bagi yang berqurban karena nazar, maka ia tidak
boleh mengambil bagian dari daging qurbannya sedikit pun.
6. Sunah Qurban
Untuk kesempurnaan berqurban disunnahkan sewaktu
menyembelih qurban membaca basmalah dan membaca shalawat
atas Nabi, membaca takbir, berdoa agar Allah menerima
qurban tersebut, dan binatang yang disembelih dihadapkan
ke arah kiblat.
c. Tatacara qurban
Dari beberapa ketentuan di atas dapatlah dijelaskan
urutan tatacara penyembelihan hewan qurban sebagai
berikut:
1) Pertama yang harus dilakukan adalah memilih hewan
qurban yang sebaik- baiknya dengan ketentuan seperti di
atas.
2) Diupayakan bagi yang berqurban melakukan penyembelihan
sendiri, tetapi jika ia tidak mampu melakukannya,
serahkan pada orang yang mampu.
3) Cara menyembelih hewan atau binatang qurban sama
seperti cara menyembelih binatang pada umumnya, yaitu :
Binatang yang akan disembelih hendaknya direbahkan miring
dan posisi kepalanya di arah selatan serta dihadapkan ke
arah kiblat dengan telinga kirinya menempel ke tanah.
Agar binatang yang disembelih tidak bergerak-gerak yang
mengganggu penyembelihannya, maka hendaknya binatang itu
dipegangi beberapa orang dengan kuat atau dibantu dengan
tali pengikat; menggunakan pisau yang tajam; dan bagian
yang dipotong adalah urat nadi di leher agar cepat mati.
4) Sewaktu menyembelih hendaknya membaca basmalah,
shalawat, dan takbir, serta berdoa kepada Allah.
5) Setelah disembelih, hewan qurban itu dipotong-potong
dan disendirikan dagingnya, tulang-tulangnya, kulitnya,
dan bagian-bagian hewan lainnya. Setelah semuanya
ditimbang, maka sepertiganya diberikan kepada yang
berqurban ( shahibul qurban ) dan selebihnya di bagikan
kepada masyarakat sekitar, terutama fakir miskin, dengan
ukuran disesuaikan dengan jumlah daging qurban dan jumlah
penerimanya.
d. Fungsi Qurban
Sebagai ibadah yang sangat dianjurkan, qurban memiliki
fungsi atau hikmah yang sangat berarti, baik bagi yang
berqurban maupun bagi orang lain. Di antara fungsi atau
hikmahnya adalah sebagai berikut:
1) Mengenang peristiwa besar yang dialami Nabi Ibrahim
a.s. dan puteranya Nabi Isma’il a.s., dalam rangka
mentaati perintah Allah Swt. Karena itu, kita sebagai
umat Nabi Muhammad Saw. yang juga sedapat mungkin
meneladani ketaatan Nabi Ibrahim beserta Isma’il tersebut
dalam rangka lebih mendekatkan diri kepada Allah.
2) Agar umat Islam banyak mengingat Allah dengan
mengagungkan dan memuji nama-Nya bersamaan dengan
melakukan penyembelihan hewan qurban itu. Daging hewan
qurban kemudian dapat dinikmati bersama-sama antara yang
berqurban dan orang-orang lain yang menerima bagian
daging qurban.
3) Bagi fakir miskin, peristiwa qurban merupakan saat
yang membahagiakan, karena pada saat itu mereka dapat
menikmati kelezatan daging qurban yang mungkin tidak
dinikmatinya di waktu-waktu yang lain.
4) Hikmah yang paling penting dari qurban adalah lebih
mendekatkan diri shahibul qurban kepada Allah. Karena
itu, modal utama untuk melakukan qurban adalah
ketakwaannya, bukan yang lain.
5) Di akhirat kelak, binatang yang diqurbankan akan
membantu mengantarkan yang berqurban menuju surga.
Aqiqah
a. Pengertian dan dasar hukum aqiqah
Untuk memahami arti dari aqiqah, ada baiknya kalian
mengingat kembali peristiwa yang terjadi di lingkungan
kalian yang terkait dengan adanya kelahiran seorang bayi.
Biasanya, seorang yang memiliki ketaatan agama yang kuat,
ketika dikaruniai seorang bayi, ia akan melakukan
serangkaian tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
Saw. Nabi menganjurkan kepada orang tua yang dikaruniai
anak untuk memberi nama yang baik, mencukur rambutnya,
dan menyembelih kambing sebagai ungkapan ibadah kepada
Allah. Yang terakhir inilah yang dalam istilah agama
disebut aqiqah. Dengan demikian, aqiqah merupakan salah
satu bentuk ibadah kepada Allah dengan menyembelih
kambing di saat kelahiran seorang bayi. Aqiqah sangat
dianjurkan kepada orang yang bertanggung jawab memberi
nafkah kepada sang bayi. Dengan kata lain, hukum aqiqah
adalah sunnah bagi orang yang bertanggung jawab atas
nafkah sang bayi. Yang paling berhak dalam hal ini adalah
orang tuanya, kakeknya, atau keluarga terdekat lainnya.
Nabi Saw. bersabda:
“Anak yang baru lahir menjadi gadai sampai disembelihkan baginya aqiqah
pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya, dan bersamaan dengan itu
dicukur rambutnya serta diberinya nama” (HR. Ahmad dan at-
Tirmidzi).
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa aqiqah merupakan
upaya untuk membebaskan sang bayi dari gadai kepada
Allah, sehingga bayi itu benar-benar merupakan anak dari
orang tuanya. Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa
aqiqah itu dilakukan pada hari yang ketujuh dari
kelahiran sang bayi. Jika pada hari ketujuh tidak bisa,
maka aqiqah dapat dilakukan pada hari keempat belas atau
hari kedua puluh satu dari kelahiran bayi. Jika ketiga
hari yang dianjurkan itu juga belum dapat dilaksanakan,
maka aqiqah dapat dilakukan kapan pun waktunya. Bersamaan
dengan aqiqah ini disunnahkan juga untuk dilakukan
pemotongan rambut bayi dan pemberian nama untuknya.
Karena begitu pentingnya tujuan aqiqah tersebut, ada
ulama yang mewajibkannya. Namun, jumhur (kebanyakan)
ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah.
Ketentuan jumlah kambing yang disembelih dalam aqiqah
dijelaskan dalam hadits berikut:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa di antara kalian yang ingin beribadah tentang anaknya,
hendaklah ia melaksanakan aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing
dan untuk anak perempuan seekor kambing” (HR. Ahmad, Abu Daud,
dan an-Nasa’i).
Dari hadits tersebut jelaslah bahwa aqiqah untuk anak
laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan
seekor kambing. Namun demikian jika tidak mampu
menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki, maka
boleh saja seseorang menyembelih hanya seekor kambing
saja untuk anak laki-laki. Terkait dengan hal ini, Ibnu
Abbas berkata:
“Bahwasanya Nabi Saw. telah beraqiqah untuk (cucunya) Hasan dan Husain,
masing-masing seekor kibas (kambing)” (HR. Abu Daud).
b. Beberapa ketentuan tentang aqiqah
Berdasarkan beberapa hadits Nabi Saw. dan pendapat para
ulama, dapat dijelaskan beberapa ketentuan mengenai
aqiqah sebagai berikut:
1) Aqiqah hukumnya sunnah bagi orang yang bertanggung
jawab atas biaya hidup sang bayi.
2) Bentuk aqiqah adalah menyembelih dua ekor kambing
untuk bayi anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak
perempuan. Bagi yang tidak mampu, boleh saja menyembelih
seekor kambing untuk anak laki-laki.
3) Persyaratan tentang hewan aqiqah sama seperti
persyaratan hewan qurban.
4) Daging hewan aqiqah dibagikan kepada fakir miskin,
keluarga, dan tetangga dalam bentuk siap saji (sudah
dimasak). Di samping dibagikan, daging aqiqah dapat juga
dinikmati oleh yang beraqiqah.
5) Waktu penyembelihan aqiqah adalah tujuh hari, empat
belas hari, atau dua puluh satu hari setelah kelahiran
seorang bayi. Jika pada waktu-waktu itu tidak bisa, maka
bisa dilakukan di waktu-waktu yang lain.
Ibadah aqiqah terkait dengan kelahiran seorang anak.
Bersamaan dengan kelahiran anak ini, Islam menetapkan
beberapa ketentuan seperti berikut:
1) Menyambut kehadiran sang anak dengan gembira
bagaimanapun keadaannya.
2) Anak yang baru lahir hendaklah dibacakan adzan di
telinga sebelah kanan dan dibacakan iqamah di telinga
sebelah kiri.
3) Setelah itu cepatlah menentukan nama yang baik untuk
sang bayi.
4) Bersamaan dengan pemberian nama, disunnahkan juga
untuk mencukur rambut sang bayi
5) Ketika anak mulai mengenal lingkungan sosialnya, maka
berilah pengalaman yang terbaik untuknya menurut
ketentuan ajaran Islam agar anak dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan fitrah keislamannya.
c. Tatacara aqiqah
Tatacara yang dapat dipenuhi dalam rangka melakukan
aqiqah adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan hewan
(kambing) yang akan disembelih untuk aqiqah, yakni seekor
untuk bayi perempuan dan dua ekor untuk bayi laki-laki.
2) Lakulan cara-cara penyembelihan sebagaimana dijelaskan
dalam tatacara qurban di atas.
3) Pada waktu menyembelih, hendaknya yang menyembelih
membaca basmalah dan takbir serta meniatkan untuk aqiqah
bagi sang bayi siapa.
4) Daging yang disembelih kemudian dimasak dan dibagikan
kepada kaum kerabat, tetangga, dan fakir miskin untuk
dinikmati bersama-sama dengan yang beraqiqah.
d. Hikmah aqiqah
Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah
yang memiliki hikmah yang besar, di antaranya adalah:
1) Yang paling pokok adalah untuk memperoleh rido dari
Allah Swt.
2) Anak yang lahir tidak lagi tergadai sehingga memiliki
hubungan yang sangat erat dengan orang tuanya, dan di
akhirat kelak akan memberi syafaat kepada orang tuanya.
3) Salah satu bentuk shadaqah kepada fakir miskin,
keluarga, dan orang-orang yang terdekat dengan sang bayi
dan orang tuanya.
4) Aqiqah merupakan sunnah Nabi Saw. yang sebaiknya
diikuti oleh setiap umat Islam yang mampu.
FIQIH MUAMALAHA. Pengertian
Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering
disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau al-
mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
”Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi” (QS.
Fathir : 29)
Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu
syai'im bi syai'in. Artinya adalah menukar sesuatu dengan
sesuatu.
- Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-
Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah : tukar
menukar harta dengan harta secara kepemilikan.
- Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa
jual-beli sebagai : pertukaran harta dengan harta
dengan kepemilikan dan penguasaan
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau
menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan
hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan".
B. Dasar Masyru'iyah
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh
berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma'
dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba”
(QS. Al-Baqarah : 275)
Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW
bersabda :
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda:
“Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang
mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-
beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah
seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya.
Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-
beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)
C. Hukum Jual Beli
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya
mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-
Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu
seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan
dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu
dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk
yang dilarang beliau SAW.
D. Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun
sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual-
beli itu menjadi tidak sah hukumnya. Rukunnya ada tiga
perkara, yaitu :
a. Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi
syarat
b. Adanya akad / transaksi
c. Adanya barang / jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas satu persatu masing-masing rukun jual-beli
untuk lebih dapat mendapatkan gambaran yang jelas.
1. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka
yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan
transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku
yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya
bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau
tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka
termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil
yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-
belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil.
Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau
orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil
hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak
kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual-
beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah
karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya.
Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau
suruhan saja.
2.Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk
bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang
ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli
menjawab,"Aku terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan
lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-
belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem
mu'athaah, (اه yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli (م�عاط���untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang
diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang
diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar
boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara
syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana arti
bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis
yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging
babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan
lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah
saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu:
”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan
berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum
dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan
madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan
manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan
yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti
kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa,
srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan
alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan
orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila
setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka
jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk
kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka.
Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli
maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.
c.Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu
benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau
wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu
dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka
walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak
itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang
mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada
pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian
juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi,
dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka
posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil,
maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan
pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya
adalah sebagai berikut :
“Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk
mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang
memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian
nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya.” (HR.
Tirmizi - Hadits hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan hadits ini
lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari
hasan menjadi hadits shahih
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-
beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya
mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik
aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan
pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli
barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi
batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu
sudah dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar
untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan
untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan
harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor
kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau
pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu".
(HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Bisa Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena
tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.
Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di
alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik
maupun secara hukum.
Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah
diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa
dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah
menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa
diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk
diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak
mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi
kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya
sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli
dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan
ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau
pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu
kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian
pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan
peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan
spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual
sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara
lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin
keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-
syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu
produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik,
misalnya :
- Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara
lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan
tentang data-data produk secara rinci. Seperti
ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan
lainnya.
- Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa
dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample
barang.
- Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila
mengalami masalah.
FIQIH MUNAKAHAT
POLIGAMI
Poligami disyari’atkan di dalam Islam. Sebagaimana firman
Allah :
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga atau empat.”
QS. An-Nisa‟ : 3.
Hendaknya seorang mukmin dan mukminah menerima ketetapan
syari’at poligami dengan lapang dada. Allah berfirman :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi wanita mukminah,
jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka (mengambil)
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat (dengan) kesesatan yang nyata.” QS.
Al-Ahzab : 36
Karena seorang mukmin dan mukminah adalah orang-orang yang
mengimani seluruh isi Al-Quran. Mereka mengimani ayat tentang
poligami1813 sebagaimana mereka mengimani ayat tentang
pernikahan. Allah mengingatkan dalam firman-Nya;
“Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian
yang lain(nya)?” QS. Al-Baqarah : 85.
Hikmah Poligami
Di dalam poligami terdapat banyak kemaslahatan, di
antaranya :
a. Memperbanyak keturunan, sehingga menambah jumlah umat
Islam
Sebagaimana diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar y ia
berkata, Nabi bersabda :
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku ingin
membanggakan (jumlah) kalian dari umat-umat (nabi terdahulu).” HR.
Ahmad, Baihaqi Juz 7 : 13254, dengan sanad yang shahih
dan Abu Dawud : 2050, lafazh ini miliknya. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul
Jami’ : 2940.
Dengan berpoligami memperbesar peluang memperbanyak
keturunan untuk menambah jumlah umat Islam.
b. Mengatasi permasalahan sedikitnya jumlah kaum laki-laki
Sebagaimana diriwayatkan dari Anas ia berkata, aku
mendengar Rasulullah bersabda :
“Di antara tanda-tanda Hari Kiamat (adalah); sedikitnya ilmu, tersebarnya
kebodohan, tersebarnya perzinaan, banyaknya wanita, dan sedikitnya laki-
laki, hingga lima puluh wanita hanya ada satu orang laki-laki (yang
mengurusnya).” HR. Bukhari Juz 1 : 81, lafazh ini
miliknya, Tirmidzi Juz 4 : 2025, Ibnu Majah : 4045, dan
Ahmad.
Dengan sedikitnya jumlah laki-laki, maka akan banyak
wanita yang tidak mendapatkan pasangan. Sehingga
solusinya adalah dengan poligami.
c. Mengatasi permasalahan jima ketika isteri sedang; haidh,
nifas, atau sakit
Ketika isteri sedang haidh atau nifas, maka suaminya
tidak boleh menjima’inya. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah , dari Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang menggauli isterinya dalam keadaan haidh atau pada
duburnya atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap apa yang
telah diturunkan kepada Muhammad (yaitu; Al-Qur’an).” HR. Tirmidzi
Juz 1 : 135, Ibnu Majah : 639. Hadits ini dishahihkan
oleh Syaikh Al- Albani 5 dalam Irwa’ul Ghalil : 2006.
d. Manyalurkan kecenderungan syahwat laki-laki yang lebih
besar daripada wanita
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia (laki-laki) kecintaan (syahwat)
kepada wanita.” QS. Ali-Imran : 14.
Syarat-syarat Berpoligami
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi ketika akan
berpoligami, antara lain :
1. Tidak menikahi lebih dari empat orang wanita dalam satu
masa yang sama
2. Suami mampu memberikan nafkah kepada semua isterinya
3. Suami mampu berlaku adil di antara para isterinya dalam
perkara lahiriyah (Dalam hal: nafkah, makanan, pakaian,
tempat tinggal, bermalam, dan yang semisalnya.)
4. Suami mampu menjaga kehormatan isteri-isterinya
5. Tidak dikhawatirkan melalaikan hak-hak Allah
Hukum Poligami
Hukum asal poligami adalah mubah, jika terpenuhi syarat-
syaratnya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama’. Dan hukumnya
dapat berubah menjadi : sunnah, wajib, makruh, bahkan haram –
jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi dan tujuannya adalah
untuk menyakiti isteri.- Perubahan hukum tersebut tergantung
pada kondisi dan kemampuan pelaku poligami.
Catatan :
- Diperbolehkan berbeda ukuran mahar dan walimah di
antara para isteri.
- Apabila seorang suami menikah dengan seorang gadis,
maka ia dianjurkan untuk bermalam dengannya selama
tujuh hari, sebelum melakukan gilir. Adapun jika
suami tersebut menikah dengan seorang janda, maka ia
dianjurkan untuk bermalam dengannya selama tiga hari
sebelum melakukan gilir.
- Tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk
menyatukan isteri- isterinya dalam satu rumah.
Karena Nabi dahulu juga membuatkan rumah untuk
masing-masing isteri beliau.
- Tidak diperbolehkan bagi seorang isteri untuk
meminta suaminya agar mentalak isteri yang lainnya.
TALAK
Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan. Talak merupakan
perbuatan yang membanggakan bagi setan. Sebagaimana
diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ia berkata, Rasulullah
bersabda :
”Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian ia mengutus
pasukan. Yang paling dekat kedudukan kepadanya adalah yang paling besar
fitnahnya (kepada manusia). Salah seorang dari mereka datang dan berkata, ”Aku
telah melakukan ini dan itu. Lalu iblis berkata, ”Kamu belum melakukan apa-apa.”
Kemudian salah seorang dari mereka datang dan berkata, ”Aku tidak meninggalkan
(manusia), sehingga aku bisa memisahkannya dengan isterinya.” Kemudian iblis
mendekatinya dan berkata. ”Kamu memang hebat.” HR. Muslim Juz 4 :
2813. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam As-
Silsilah Ash-Shahihah Juz 7 : 3261
Suami (yang merdeka) mempunyai tiga talak atas isterinya dan
talak merupakan hak suami. Sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah,
kemudian kalian mentalak mereka.” QS. Al-Ahzab : 49.
Hukum Talak
Pada talak berlaku hukum taklifi yang lima; talak bisa
berhukum wajib, mustahabb (dianjurkan), mubah, makruh, dan
haram.
1. Wajib
Ketika terjadi pertikaian antara suami isteri dan juru
damai pun tidak dapat mendamaikan mereka, bahkan
permasalahannya semakin memanas, maka ketika itu suami wajib
mentalakkan isterinya. Atau ketika suami menjatuhkan ila’
kepada isterinya dan telah berlalu empat bulan, sedangkan
suami tetap tidak bersedia jima’ dengan isterinya, maka
ketika itu suami juga wajib mentalakkan isterinya.
2. Mustahabb
Ketika isteri melalaikan hak-hak Allah seperti meninggalkan
shalat- atau isteri melalaikan hak suaminya –seperti ia
tidak menjaga kehormatannya,- maka ketika itu talak hukumnya
menjadi mustahabb.
3. Mubah
Ketika akhlak/perilaku isteri kepada suaminya sangat buruk,
sementara suami tidak melihat adanya harapan untuk dapat
berubah, maka ketika itu talak hukumnya menjadi mubah.
4. Makruh
Talak dimakruhkan hukumnya ketika dilakukan bukan karena
kebutuhan. Diriwayatkan dari Amr bin Dinar , ia berkata:
”Ibnu ‘Umar mentalak isterinya lalu isterinya berkata,
”Apakah engkau melihat sesuatu yang engkau benci dariku?” Ia
menjawab, ”Tidak.” Isterinya berkata, ”Mengapa engkau
mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?” Amr
bin Dinar berkata, ”Akhirnya Ibnu Umar kembali meruju’nya.”
HR. Sa’id bin Manshur : 1099, dengan sanad yang shahih.
5. Haram
Talak menjadi haram hukumnya ketika suami menjatuhkan talak
kepada isterinya dalam keadaan haidh/nifas atau dalam masa
suci yang telah dijima’i dan belum jelas kehamilannya. Haram
pula mentalak tiga dengan satu lafazh/dalam satu majelis.
Inilah yang disebut dengan talak yang bid’ah.
Syarat-syarat Talak
Syarat talak terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Syarat yang berhubungan dengan yang mentalak
Syarat yang berhubungan dengan yang mentalak ada empat,
antara lain :
1. Orang yang mentalak adalah suami bagi wanita yang
ditalak
2. Orang yang mentalak telah mencapai baligh.
Sehingga talak yang yang dilakukan oleh anak kecil –
meskipun sudah mumayyiz,- maka talaknya tidak sah. Ini
adalah pendapat Jumhur ulama’
3. Orang yang mentalak adalah orang yang berakal
4. Talak dilakukan tanpa paksaan
b. Syarat yang berhubungan dengan yang ditalak
Syarat yang berhubungan dengan yang ditalak ada dua,
antara lain :
1. Orang yang ditalak adalah isteri bagi suami yang
mentalak
2. Talak benar-benar ditujukan oleh suami kepada
isterinya, baik berupa; ucapan, isyarat, sifat, maupun
niat.
Macam-macam Talak
Macam-macam talak dapat dilihat dari beberapa sisi, antara
lain :
1. Talak berdasarkan shighat yang dilafazhkan
Talak berdasarkan shighat yang dilafazhkan dibagi menjadi
dua, yaitu:
- Lafazh sharih
Lafazh yang sharih yaitu ucapan yang secara jelas
menunjukkan bahwa itu adalah talak dan tidak
mengandung makna lainnya. Seperti ucapan, “Aku
mentalakmu,” “Engkau aku talak,” dan yang
semisalnya. Talak yang sharih ini tetap dianggap
sah, meskipun diucapkan dengan bergurau.
- Lafazh kinayah
Lafazh kinayah yaitu ucapan yang mengandung makna
talak dan makna lainnya. Seperti ucapan, “Pulanglah
engkau kepada keluargamu” , “Engkau sekarang
terlepas,” dan yang semisalnya. Ucapan-ucapan
semacam ini tidak dianggap sebagai talak, kecuali
jika disertai niat untuk mentalak.
2. Talak berdasarkan sifatnya
Talak berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu :
- Talak sunni
Talak sunni adalah talak yang sesuai dengan
syari’at, yaitu suami mentalak isteri pada waktu
suci yang belum dijima’i atau talak yang dilakukan
suami pada saat isterinya hamil, dengan kehamilan
yang jelas.
- Talak bid’i
Talak bid’i adalah talak yang menyelisihi syari’at.
Talak semacam ini adalah haram, pelakunya berdosa,
meskipun demikian talaknya tetap jatuh. Ini adalah
pendapat Jumhur ulama’. Suami yang menjatuhkan talak
bid’i wajib meruju’ isterinya –jika itu bukan talak
tiga.- Ini adalah pendapat Imam Malik dan Dawud Azh-
Dzhahiri
Talak bid‟i terbagi menjadi dua macam :
Bid’ah berkaitan dengan waktu
Yaitu suami menjatuhkan talak kepada isterinya
pada waktu haidh/nifas atau pada waktu suci
yang telah dijima‟inya, sementara belum jelas
kehamilannya.
Bid’ah berkaitan dengan bilangan
Yaitu suami menjatuhkan talak tiga dengan satu
kalimat sekaligus atau menjatuhkan tiga talak
secara terpisah, dalam satu majelis. Misalnya
suami mengatakan kepada isterinya, ”Aku
mentalakmu, aku mentalakmu, aku mentalakmu.”
3. Talak berdasarkan pengaruh yang dihasilkan
Talak berdasarkan pengaruh yang dihasilkan dibagi menjadi
dua, yaitu:
- Talak raj’i
Talak raj’i adalah talak yang dengannya suami masih
berhak untuk meruju’ isterinya pada masa iddah,
tanpa mengulangi akad nikah yang baru, walaupun
tanpa keridhaan isteri. Para ulama telah bersepakat
bahwa seorang laki-laki merdeka jika ia mentalak
isterinya di bawah tiga kali, maka ia berhak
meruju’nya pada masa iddah. Sehingga talak raj’i
adalah talak suami kepada isteri dengan talak
pertama dan talak kedua. Allah berfirman :
”Talak (yang dapat diruju’ itu) dua kali. Setelah itu (suami dapat)
menahan dengan baik atau menceraikan dengan baik.” QS. Al-
Baqarah : 229
Isteri yang telah ditalak raj’i oleh suaminya
menjalani masa iddahnya di rumah suaminya.
Sebagaimana firman Allah :
”Janganlah engkau keluarkan isteri-isteri (yang telah ditalak raj’i) dari
rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali jika
mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” QS. Ath-Thalaq :
1
Para ulama telah bersepakat bahwa isteri yang
ditalak raj’i tetap berhak mendapatkan nafkah dan
tempat tinggal. Diriwayatkan dari Fathimah binti
Qa’is ia berkata, Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal adalah hak isteri, jika
suami (masih memiliki hak) ruju’ kepadanya.” HR. Nasa’i Juz
6 : 3403. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani 5 dalam Shahihul Jami’ : 2334
- Talak bain
Talak bain adalah talak yang menjadikan suami tidak
berhak meruju’ isterinya yang ditalaknya.
4. Talak berdasarkan waktu terjadinya
Talak berdasarkan waktu terjadinya dibagi menjadi tiga,
yaitu :
- Talak munajjaz
Talak munajjaz yaitu talak yang redaksinya tidak
berkaitan dengan suatu syarat atau masa yang akan
datang dan maksud suami yang mentalak adalah jatuh
talak saat itu juga. Misalnya suami berkata kepada
isterinya, ”Engkau aku talak,” atau ”Aku
mentalakmu,” dan yang semisalnya. Talak semacam ini
jatuh pada saat itu juga, karena ia tidak dibatasi
oleh sesuatu apa pun.
- Talak mudhaf ilal mustaqbal
Talak mudhaf ilal mustaqbal yaitu yang disandarkan
pada waktu yang akan datang. Misalnya suami berkata
kepada isterinya, ”Aku mentalakmu besok,” atau ”Aku
mentalakmu di awal bulan depan.” Talak semacam ini
jatuh pada waktu yang disebutkan. Ini adalah
pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid, Ishaq,
dan Dawud Azh-Zhahiri
- Talak mu’allaq ala syartin
Talak mu’allaq ala syartin yaitu talak yang
digantungkan oleh suami kepada syarat terjadinya
sesuatu. Misalnya suami berkata kepada isterinya,
”Jika engkau keluar rumah, maka engkau aku talak.”
Talak semacam ini dibagi dalam dua kondisi :
Maksudnya agar isteri melakukan atau
meninggalkan sesuatu
Maksudnya adalah untuk mentalak isteri
Ruju’
Ruju’ adalah mengembalikan isteri yang telah ditalak (bukan
dengan talak bain) ke dalam pernikahan, tanpa akad nikah yang
baru. Ruju’ tidak memerlukan wali, mahar, persetujuan isteri,
dan izin dari walinya. Dan ruju’ adalah hak suami, sebagaimana
firman Allah :
“Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk meruju’nya” QS. Al-Baqarah :
228
Syarat sah ruju’.
Syarat sah ruju’ adalah :
- Isteri yang ditalak telah dijima’i sebelumnya. Jika
suami mentalak isterinya yang belum pernah dijima’i,
maka suami tersebut tidak berhak untuk meruju’nya.
Ini adalah ijma’ para ulama’.
- Talak yang dijatuhkan di bawah talak tiga (talak
raj’i)
- Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan
tebusan, maka isteri menjadi bain.
- Ruju’ dilakukan pada masa iddah dari pernikahan yang
sah. Jika masa ‘iddah isteri telah habis, maka suami
tidak berhak untuk meruju’nya. Ini adalah ijma’ para
ulama’ fiqih
FIQIH MAWARIS
Pengertian Hukum Waris
Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian.
Peristiwa kematian ini, terjadi ada anggota keluarga, misalnya
ayah, ibu , atau anak. Apabila orang yang meninggal itu
mempunyai harta atau kekayaan maka yang menjadi pokok
permasalahan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta
kekayaan yang ditinggalkan. Artinya, siapakan yang berhak atas
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Dan juga
siapakah yang wajib menanggung dan membereskan hutang-hutang
si pewaris jika ia meninggalkan hutang yang menjadi
kewajibannya.
Unsur-unsur Dalam Pewarisan
Untuk terjadinya pewarisan seperti dijabarkan di atas , maka
proses tersebut adalah meliputi unsur-unsur berikut dibawah
ini :
1. Adanya pewaris
Pewaris yaiutu seorang yang memiliki harta kekayaan dan
meneruskan atau mengoperkan harta tersebut keada
seseorang sebagai ahli waris. Memang mninggalnya pewaris
merupakan peristiwa yang sangat penting dalam pewarisan,
akan tetapi tidak mempengaruhi secara radikal terhadap
proses penerusan atau pengoperan harta waris tersebut.
Hal ini sangat berbeda apabila kita bandingkan dengan
proses pewarisan menurut KUH Perdata dimana pasal 830
ditetapkkan bahwa setelah pewaris meninggal barulah
warisan dapat dibuka, sedangkan dalam waris adat tidak
demikian halnya.
2. Adanya Ahli Waris
Ahli waris adalah semua orang yang akan menerima
penerusan atau pembagian warisan , baiki sebagai ahli
waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan
ahli waris tetapi mendapat warisan. Ahli warisan
merupakan salah satu unsur yang penting dalam hal
pewarisan sehubungan dengan adanya peristiwa kematian
seorang pewaris. Pada prinsipnya para ahli waris pemilik
dan ahli waris pemilik dari harta peninggalan itu adalah
anak-anaknya, termasuk dalam kandungan ibunya jika lahir
hidup.
3. Adanya Harta Warisan
Pengertian dari harta warisan adalah semua harta yang
ditinggalkn oleh seorang yang meninggal dunia baik harga
benda itu sudah dibagi atau belum dibagi.
Syarat-syarat Ahli Waris
Pada asasnya tidak orang, meskipun seorang bayi yang baru
lahir, adalah cakapa untuk mewaris. Hanya ada undang-undang
telah ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya
tidak patut menerima warisan. Mereka diantaranya ialah seorang
ahli waris yang menggelapkan, memusnahkan, atau memalsukan
wasiat atau dengan kekerasan atau ancaman menghalang-halangi
si meninggal untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya.
Sedangkan syarat sahnya menerima warisan adalah :
- Ahli waris masih hidup
- Ahli waris tidak dihukum karena dipersalahkan
membunuh atau mencoba membunuh pewaris
- Ahli waris sehat jasmani dan rohani
Syarat umum bagi pewaris :
- Pikiran sehat
- Berumur cukup
- Dalam pewarisan tidak ada tekanan dari siapapun
Disamping itu , mengenai ahli waris terhadap harta peninggalan
si yang meninggal, kewajiban tersebut antara lain :
- Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta
peninggalan dibagi
- Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan
dan lain-lain
- Melunasi hutang-hutang si pewaris jika pewaris
meninggalkan hutang
- Melaksanakan wasiat jika ada
FIQIH JINAYAH
PENGERTIAN JINAYAH
Fiqih jinayah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan
jinayah. Pengertian fiqih secara bahasa berasal dari kata
faqiha, yang berarti mengerti, paham. Sedangkan secara istilah
sesuai yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah
sebagai berikut :
ة� ص�لي ف� ه�ا ال�ت� س��ب� م�ن� ادل�ت� ة� ال�مكت� ة� ال�عملي� رع�ي الاح�كام ال�ش% ة ه�و ال�علم ب�� ق� ة� . ال�ف� رع�ي موع�ة� الاح�ك�ام ال�ش�% و م�ج� او ه��
ة� صلي ف� ها ل�ت� اده� م�ن� ادل�ت� ف� ة� ال�مست� .ال�عملي“fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci. Atau fiqih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.
Adapun jinayah menurut bahasa adalah :
ة سي� ر وم�ااك�ت� ة� ال�مرء م�ن� ش% ي ن� ج� .اسم ل�ما ي�“nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang dia
usahakan”.
Kata jinayat adalah jama’ dari kata jinayah. Jinayah
adalah akar kata (masdar) dan mashdar tidak dapat dijadikan
kata jama’ kecuali apabila bertujuan memberi arti bermacam-
macam yaitu disengaja, tersalah dan sengaja yang tersalah.
RUKUN ATAU UNSUR JINAYAH
Pengertian jinayah yang mengacu pada perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh syara’ dan diancam dengan had atau ta’zir
telah mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-
perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah berasal dari
ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya perbuatan-
perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika
perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.
Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara’, maka
larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang
berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat
menerima panggilan (khitab) dan orang yang mampu memahami
pembebanan (taklif) dari syara’ tersebut
Makhrus Munajat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang
dikenai hukumjinayah jika memenuhi dua unsur; yaitu umum dan
khusus. Unsur umum terdiri dari; 1. Formil, yaitu adanya
ketentuan undang-undang. 2, Materiil, yaitu sifat yang melawan
hukum. 3. Moril, yaitu pelakunya mukallaf. Sedangkan unsur khusus
ialah unsur yang hanya terdapat pada perdana tertentu dan
antara satu jenis berbeda dengan lainnya, seperti pencurian
jika ada barangnya
a. Unsur Formal (Ar-Rukn, Al-Syar’i), yaitu adanya nash atau
ketentuannya yang menunjukkannya sebagai jarimah, atau dapat
juga diartikan adanya ketentuan yang melarang perbuatan-
perbuatan tertentu yang disertai dengan hukuman ancaman atas
perbuatan-perbuatan tersebut. Jarimah tidak akan terjadi
sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus ada unsur ini
antara lain firman Allah dalam QS. al-Isra`: 15 yang
mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum
mengutus utusan-Nya. Ajarannya ini berisi ketentuan bahwa
hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran
Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan
dan undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa.
b. Unsur Material (Al-Rukn, Al-Madzi), yaitu adanya perbuatan
melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan atau adanya
unsur perbuatan yang membentuk jinayah baik melakukan pebuatan
yang dilarang, atau melakukan perbuatan yang diharuskan.
Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi
Muhammad saw atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati,
selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan
dengan nyata.
c. Unsur Moral (Al-Rukn, Al-Adabi), yaitu adanya niat pelaku
untuk berbuat jarimah. Pelaku kejahatan adalah orang yang
dapat menerima khitab artinya pelaku kejahatan tadi
adalah mukallaf atau orang yang telah baligh, sehat akal
dan ikhtiyar (berkebebasan berbuat). Sehingga mereka dapat
dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
Sehingga dapat disimpulkan bawa suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai Jinayah, jika perbuatan tersebut
mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu
perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.