FIQIH PUASA

47
Dini Rosidah 1135030064 BSI-B FIQIH PUASA Puasa merupakan ibadah agung yang hanya Allah saja yang mengetahui seberapa besar pahalanya. Seorang yang berpuasa juga akan mendapatkan dua kebahagiaan yang tidak dirasakan oleh selain mereka, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika mereka bertemu dengan Rabbnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda : “Setiap amal Bani Adam dilipatgandakan, satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat. “ Allah berfirman, ”Kecuali puasa, ia untukKu dan Aku yang membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku.” “ Orang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan. Kebahagiaan pada waktu berbuka dan kebahagiaan pada waktu bertemu Rabbnya. Sungguh aroma mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah daripada minyak kasturi.” Dan Allah telah menyediakan pintu khusus di Surga bagi orang- orang yang telah berpuasa ketika di dunia. Dari Sahal bin Sa’ad , dari Nabi beliau bersabda; ”Di Surga ada delapan pintu. Di antaranya ada pintu yang bernama Rayyan, yang hanya dimasuki oleh orang- orang yang berpuasa.” Definisi Puasa

Transcript of FIQIH PUASA

Dini Rosidah

1135030064

BSI-B

FIQIH PUASA

Puasa merupakan ibadah agung yang hanya Allah saja yang

mengetahui seberapa besar pahalanya. Seorang yang berpuasa

juga akan mendapatkan dua kebahagiaan yang tidak dirasakan

oleh selain mereka, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan

kebahagiaan ketika mereka bertemu dengan Rabbnya. Diriwayatkan

dari Abu Hurairah ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda :

“Setiap amal Bani Adam dilipatgandakan, satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan

sampai tujuh ratus kali lipat. “

Allah berfirman, ”Kecuali puasa, ia untukKu dan Aku yang membalasnya. Dia

meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku.” “ Orang berpuasa mempunyai

dua kebahagiaan. Kebahagiaan pada waktu berbuka dan kebahagiaan pada waktu

bertemu Rabbnya. Sungguh aroma mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum

di sisi Allah daripada minyak kasturi.”

Dan Allah telah menyediakan pintu khusus di Surga bagi orang-

orang yang telah berpuasa ketika di dunia. Dari Sahal bin

Sa’ad , dari Nabi beliau bersabda;

”Di Surga ada delapan pintu. Di antaranya ada pintu yang bernama Rayyan, yang

hanya dimasuki oleh orang- orang yang berpuasa.”

Definisi Puasa

Puasa adalah menahan diri dari pembatal-pembatal puasa mulai

dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat

berpuasa sebagai ibadah kepada Allah.

Macam-macam Puasa

Puasa ada tiga jenis, yaitu :

1. Puasa Wajib Puasa wajib ada tiga macam, antara lain :

a. Puasa yang wajib karena zamannya (waktunya) itu sendiri,

yaitu puasa Ramadhan.

b. Puasa yang wajib karena suatu sebab, seperti puasa

kaffarah.

c. Puasa yang wajib karena diwajibkan oleh seseorang terhadap

dirinya sendiri, seperti; puasa nadzar.

PUASA RAMADHAN

Para salaf dahulu sangat berharap untuk dapat memasuki bulan

Ramadhan dan mengisinya dengan berbagai amalan shalih.

Diantara doa yang sering mereka panjatkan ialah; “Ya Allah,

selamatkanlah kami sampai Ramadhan. Dan selamatkan bagi kami

Ramadhan itu. Serta terimalah dari kami (amal-amal kami di

dalamnya)

Sungguh binasa dan celakalah orang-orang yang telah memasuki

bulan Ramadhan, tetapi setelah Ramadhan tersebut lewat ia

belum mendapatkan ampunan dari Rabbnya. Diriwayatkan dari Abu

Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda;

“Binasalah seorang yang namaku disebut disisinya, tetapi ia tidak bershalawat

kepadaku. Binasalah seorang yang masuk bulan Ramadhan kemudian ia lepas (dari

Ramadhan) namun ia belum diampuni (dosanya). Binasalah seorang yang menemui

orang tuanya pada masa tua, namun (keberadaan) orang tuanya tidak mampu

memasukkannya ke dalam Surga.”

Diantara amalan Ramadhan yang paling utama adalah puasa

Ramadhan. Puasa Ramadhan juga merupakan sebab seseorang

mendapatkan ampunan Allah . Dari Abu Hurairah ia berkata,

bahwa Rasulullah bersabda;

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan landasan iman dan berharap pahala

dari Allah, maka dosanya yang telah berlalu akan diampuni.”

Hukum Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Diriwayatkan

dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ia

berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda;

”Islam didirikan diatas lima perkara, yaitu; bersaksi bahwa tidak ada Sesembahan

(yang berhak disembah dengan benar) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan

Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan

berpuasa pada bulan Ramadhan.”

Hukum puasa Ramadhan adalah wajib atas setiap muslim laki-laki

dan wanita yang sudah baligh, berakal, mampu berpuasa, mukim

(tidak safar), dan suci dari haidh dan nifas bagi wanita.

Allah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana Dia

mewajibkannya atas umat sebelumnya. Allah berfirman;

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang- orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.”

Orang yang mendapat keringanan Puasa , ialah :

1. Orang sakit Sakit

dibagi dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

a. Sakit ringan

Yaitu sakit yang tidak memberikan pengaruh terhadap

puasa, demikian pula berbuka tidak memberikan keringan

kepadanya. Seperti; flu yang ringan, pusing yang

ringan, sakit gigi, dan sebagainya, maka dalam kondisi

seperti ini seorang tidak diperbolehkan berbuka

karenanya.

b. Sakit ringan yang bertambah parah

Yaitu yang awalnya sakit ringan kemudian bertambah

parah dan seorang merasa berat untuk berpuasa, akan

tetapi puasa tersebut tidak berdampak negatif terhadap

kesembuhan, maka dalam kondisi seperti ini seorang

dianjurkan untuk berbuka karenanya.

c. Sakit berat

Yaitu sakit yang menyebabkan seseorang merasa berat

melakukan puasa dan berpuasa dapat berakibat buruk

terhadap seseorang bahkan dapat mengantarkan kepada

kematiannya, maka dalam kondisi seperti ini seorang

diwajibkan berbuka karenanya dan haram baginya untuk

berpuasa.

2. Orang safar

Dalil bolehnya orang yang sakit dan orang yang safar

untuk tidak puasa dan menggantinya pada hari yang lain

adalah firman Allah :

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka

(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada

hari-hari yang lain.”

Safar dibagi dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

a. Safar yang dilakukan membuat seseorang berat untuk

melakukan puasa dan menghalanginya untuk melakukan

kebaikan.

Maka ketika itu berbuka lebih baik bagi dirinya.

Diantara dalilnya adalah hadits dari Jabir bin Abdillah

p, ia berkata;

“Suatu ketika Rasulullah berada dalam perjalanan, lalu

beliau melihat sekelompok orang yang berdesakan dan

orang yang sedang diteduhi, lalu beliau bertanya, “Apa

ini?” Mereka menjawab, “Ia sedang berpuasa.” Kemudian

Rasulullah abersabda, “Bukan termasuk kebaikan

(baginya), berpuasa didalam perjalanan.”

b. Safar yang dilakukan tidak membuat seseorang merasa

berat untuk berpuasa dan tidak menghanginya untuk

melakukan kebaikan

Maka berpuasa lebih baik baginya daripada berbuka. Hal

ini berdasarkan keumuman firman Allah :

“Dan berpuasa lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”

c. Safar yang dilakukan membuat seseorang merasa berat

untuk berpuasa dan dapat menyebabkan kematian.

Maka ketika itu ia wajib berbuka dan haram baginya

berpuasa. Hal ini seperti disebutkan dalam hadits Jabir

:

“Bahwa Rasulullah keluar menuju Makkah ketika fathu

Makkah pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga

sampai di Kura’ Al-Ghamim sementara orang- orang ikut

berpuasa, kemudian beliau meminta diambilkan segelas

air dan mengangkatnya sehingga semua orang melihatnya,

lalu beliau meminumnya. Setelah itu dikatakan kepada

beliau bahwa sebagian orang tetap berpuasa. Maka

Rasulullah bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang

melakukan maksiat, mereka orang yang melakukan

maksiat.”

3. Orang yang sudah tua

Orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa, maka tidak ada

qadha‟ baginya, tetapi hanya diwajibkan membayar fidyah

(memberi makan orang miskin). Sebagaimana firman Allah :

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan (jika mereka tidak

berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.”

Berkata Ibnu „Abbas :

“Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak puasa dan memberi

makan setiap hari untuk seorang miskin dan tidak ada qadha’ baginya.”

4. Wanita yang hamil

5. Wanita yang menyusui

Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak

mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila

mereka berpuasa, maka boleh bagi mereka untuk berbuka

dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah, tetapi

mereka tidak wajib mengqadha‟. Ini adalah pendapat Ibnu

Abbas dan Ibnu Umar p. Ini juga madzhab Ishaq dan

pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad

Nashiruddin Al-Albani

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata; “Jika wanita

yang hamil khawatir akan dirinya, begitu pula wanita yang

menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan,

maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian

memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari

yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha‟

puasa.”

Juga riwayat dari Nafi’ , ia berkata;

“Salah seorang puteri dari Ibnu Umar p menjadi isteri

salah seorang laki-laki Quraisy, ketika Ramadhan ia

sedang hamil lalu ia kehausan, maka Ibnu „Umar p

memerintahkan untuk berbuka dan memberi makan seorang

miskin setiap hari (yang ditinggalkan).”

Hal-hal yang Membatalkan Puasa :

A. Hal-hal yang membatalkan puasa dan diwajibkan

mengqadha’. Hal-hal yang membatalkan puasa dan

diwajibkan mengqadha‟ antara lain :

1. Makan dan minum dengan sengaja

2. Muntah dengan sengaja

3. Haidh dan nifas

4. Sengaja mengeluarkan mani

5. Niat kuat untuk berbuka

6. Murtad (keluar dari Islam)

B. Hal-hal yang membatalkan puasa dan diwajibkan

mengqadha’ sekaligus kaffarah ,antara lain :

1. Jima’

Jika seorang suami sengaja jima‟ dengan isterinya –

bukan karena keterpaksaan-, maka batallah puasa

kedua orang terebut, dan keduanya wajib

mengqadha‟nya, dan kaffarah diwajibkan kepada suami

dan isteri. Dan ini adalah pendapat Jumhur ulama‟.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata;

“Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah, lalu

berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah celaka.”

Beliau bertanya, “Apa yang mencelakakanmu?” Ia

menjawab, “Aku telah mencampuri isteriku pada saat

bulan Ramadhan.” Beliau bertanya, “Apakah engkau

mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?” Ia

menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah engkau

mampu puasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab,

“Tidak.” Lalu ia duduk, kemudian Nabi memberinya

sekeranjang kurma seraya bersabda, “Bersedekahlah

dengan ini.” Ia berkata, “Apakah kepada orang yang

lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu

hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang

lebih memerlukannya daripada kami.” Maka tertawalah

Nabi sampai terlihat gigi taringnya, kemudian

bersabda, “Pergilah dan berilah makan keluargamu

dengan kurma itu.”

Kaffarah berbuka karena jima‟ di siang hari bulan

Ramadhan adalah :

a. Memerdekakan hamba sahaya.

b. Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan

berturut- turut.

c. Jika tidak mampu, maka memberi makan enam puluh

orang miskin, masing-masing orang miskin dengan

setengah sha’ makanan.

2. Orang yang menunda qadha’ puasa tanpa alasan yang

syar’i, hingga datang Ramadhan berikutnya Seorang

yang menunda qadha puasa Ramadhan tanpa alasan yang

syar‟i, hingga datang Ramadhan berikutnya, maka

hendaklah ia mengqadha‟, bertubat, serta memberi

makan seorang miskin setiap hari yang ia berbuka di

dalamnya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdul Aziz bin

„Abdullah bin Baz

FIQIH QURBAN DAN AQIQAH

Qurban

Untuk mengkaji masalah qurban ini, akan diuraikan pertama kali

tentang

pengertian qurban dan dasar hukumnya, kemudian ketentuan-

ketentuan penting

tentang qurban, tatacara qurban, dan fungsi qurban.

a. Pengertian qurban dan dasar hukumnya

Kata qurban berasal dari bahasa Arab qurban yang berarti dekat

atau mendekatkan diri kepada sesuatu. Menurut istilah, qurban

diartikan sebagai bentuk ibadah kepada Allah dengan

menyembelih binatang pada hari raya ‘Idul Adlha dan hari

Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Istilah yang

digunakan dalam kitab-kitab fikih untuk qurban adalah

udlhiyah, yang berarti menyembelih binatang pada pagi hari.

Ibadah qurban semula merupakan syariat Nabi Ibrahim a.s.

Beliau pertama- tama mendapatkan perintah berqurban bukan

dengan binatang, tetapi beliau diperintahkan untuk menyembelih

puteranya yang sangat dicintainya, yaitu Nabi Isma’il a.s.

Dengan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah, Nabi Ibrahim

melaksanakan perintah untuk menyembelih puteranya itu. Namun,

ketika Nabi Ibrahim meletakkan pisau penyembelihannya pada

leher Nabi Isma’il, Allah mengganti Isma’il dengan domba,

sehingga yang diqurbankan Ibrahim tidak lagi puteranya, tetapi

seekor domba. Syariat Nabi ibrahim ini kemudian juga menjadi

syariat Nabi Muhammad Saw. Dasar hukum dianjurkannya berqurban

adalah firman Allah dalam surat al- Kautsar ayat 1-3 dan surat

al-Hajj ayat 36:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka

dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang- orang

yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. al-Kautsar (108): 1-3).

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah,

kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama

Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).

Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri

makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-

minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta

itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. al-Hajj (22):

36).

Dalam surat al-Kautsar di atas terlihat bahwa Allah

memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan shalat dan

berqurban. Kemudian dalam surat al-Hajj Allah menjelaskan

tatacaranya dengan singkat. Dasar hukum lainnya adalah

beberapa hadits Nabi Saw, yang di antaranya seperti di bawah

ini:

“Saya diperintah untuk menyembelih qurban dan qurban itu sebagai sunnah bagi

kamu” (HR. at-Tirmidzi).

Rasulullah Saw. bersabda:

“Barang siapa yang memiliki kemampuan, tetapi ia tidak mau berqurban, maka

janganlah ia menghampiri tempat shalat kami” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah

dari Abu Hurairah).

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa qurban itu sangat

dianjurkan (sunnah muakkad). Namun, Nabi tidak mewajibkan

qurban itu bagi umat Islam, meskipun bagi beliau sendiri

qurban itu diwajibkan.

b. Beberapa ketentuan tentang qurban

Untuk kesempurnaan ibadah qurban, ada baiknya diperhatikan

beberapa ketentuan di bawah ini:

1. Jenis binatang dan syaratnya. Binatang yang dapat

diqurbankan adalah kambing, domba, sapi, kerbau, dan

unta. Binatang yang digunakan qurban adalah binatang

yang baik, yakni sudah cukup umurnya dan tidak memiliki

cacat. Untuk kambing, sudah berumur dua tahun atau sudah

berganti giginya dan untuk domba (kambing kibas), sudah

berumur satu tahun lebih. Untuk sapi dan kerbau, juga

sudah berumur dua tahun. Sedang untuk unta, sudah berumur

lima tahun. Adapun larangan menyembelih binatang yang

cacat ditegaskan dalam hadits Nabi saw. Dalam salah satu

haditsnya, Nabi bersabda:

”Empat macam binatang yang tidak boleh dijadikan qurban, yaitu binatang yang

buta dan jelas kebutaannya, binatang yang sakit dan jelas sakitnya, binatang yang

pincang dan jelas kepincangannya, dan binatang yang kurus yang tidak bergajih”

(HR. at-Tirmidzi).

2. Jumlah hewan qurban.

Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang, sedang

seekor sapi, kerbau, atau unta bisa untuk qurban tujuh

orang. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Jabir,

ia berkata:

“Kami telah menyembelih qurban bersama-sama Rasulullah Saw. pada tahun

Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh

orang” (HR. Muslim).

3. Waktu Penyembelihan

Waktu menyembelih qurban adalah pada hari nahar, yaitu

pada hari raya ‘Idul Adlha (tanggal 10 Dzulhijjah), dan

hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Terkait dengan ini Nabi Saw. bersabda:

“Barang siapa yang menyembelih qurban sebelum sembahyang ‘Idul Adlha,

maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa menyembelih

qurban sesudah shalat ‘Idul Adlha dan dua khutbahnya, maka sungguh ia

telah menyempurnakan ibadahnya dan ia telah mengikuti sunnah kaum

muslimin” (HR. al-Bukhari).

Dalam hadits yang lain Nabi Saw. bersabda:

“Semua hari Tasyriq adalah waktu untuk menyembelih qurban” (HR.

Ahmad).

4. Yang menyembelih Qurban

Yang paling berhak untuk menyembelih binatang qurban

adalah yang berqurban sendiri. Jika yang berqurban tidak

bisa, maka diserahkan kepada orang lain yang mampu

menyembelihnya.

5. Pembagian daging Qurban

Daging binatang qurban sebagiannya (sepertiganya) dapat

diberikan kepada yang berqurban sendiri, dan sisanya

dibagikan kepada fakir miskin yang ada di sekitarnya.

Para ulama sepakat bahwa daging qurban tidak boleh

dijual. Bagi yang berqurban karena nazar, maka ia tidak

boleh mengambil bagian dari daging qurbannya sedikit pun.

6. Sunah Qurban

Untuk kesempurnaan berqurban disunnahkan sewaktu

menyembelih qurban membaca basmalah dan membaca shalawat

atas Nabi, membaca takbir, berdoa agar Allah menerima

qurban tersebut, dan binatang yang disembelih dihadapkan

ke arah kiblat.

c. Tatacara qurban

Dari beberapa ketentuan di atas dapatlah dijelaskan

urutan tatacara penyembelihan hewan qurban sebagai

berikut:

1) Pertama yang harus dilakukan adalah memilih hewan

qurban yang sebaik- baiknya dengan ketentuan seperti di

atas.

2) Diupayakan bagi yang berqurban melakukan penyembelihan

sendiri, tetapi jika ia tidak mampu melakukannya,

serahkan pada orang yang mampu.

3) Cara menyembelih hewan atau binatang qurban sama

seperti cara menyembelih binatang pada umumnya, yaitu :

Binatang yang akan disembelih hendaknya direbahkan miring

dan posisi kepalanya di arah selatan serta dihadapkan ke

arah kiblat dengan telinga kirinya menempel ke tanah.

Agar binatang yang disembelih tidak bergerak-gerak yang

mengganggu penyembelihannya, maka hendaknya binatang itu

dipegangi beberapa orang dengan kuat atau dibantu dengan

tali pengikat; menggunakan pisau yang tajam; dan bagian

yang dipotong adalah urat nadi di leher agar cepat mati.

4) Sewaktu menyembelih hendaknya membaca basmalah,

shalawat, dan takbir, serta berdoa kepada Allah.

5) Setelah disembelih, hewan qurban itu dipotong-potong

dan disendirikan dagingnya, tulang-tulangnya, kulitnya,

dan bagian-bagian hewan lainnya. Setelah semuanya

ditimbang, maka sepertiganya diberikan kepada yang

berqurban ( shahibul qurban ) dan selebihnya di bagikan

kepada masyarakat sekitar, terutama fakir miskin, dengan

ukuran disesuaikan dengan jumlah daging qurban dan jumlah

penerimanya.

d. Fungsi Qurban

Sebagai ibadah yang sangat dianjurkan, qurban memiliki

fungsi atau hikmah yang sangat berarti, baik bagi yang

berqurban maupun bagi orang lain. Di antara fungsi atau

hikmahnya adalah sebagai berikut:

1) Mengenang peristiwa besar yang dialami Nabi Ibrahim

a.s. dan puteranya Nabi Isma’il a.s., dalam rangka

mentaati perintah Allah Swt. Karena itu, kita sebagai

umat Nabi Muhammad Saw. yang juga sedapat mungkin

meneladani ketaatan Nabi Ibrahim beserta Isma’il tersebut

dalam rangka lebih mendekatkan diri kepada Allah.

2) Agar umat Islam banyak mengingat Allah dengan

mengagungkan dan memuji nama-Nya bersamaan dengan

melakukan penyembelihan hewan qurban itu. Daging hewan

qurban kemudian dapat dinikmati bersama-sama antara yang

berqurban dan orang-orang lain yang menerima bagian

daging qurban.

3) Bagi fakir miskin, peristiwa qurban merupakan saat

yang membahagiakan, karena pada saat itu mereka dapat

menikmati kelezatan daging qurban yang mungkin tidak

dinikmatinya di waktu-waktu yang lain.

4) Hikmah yang paling penting dari qurban adalah lebih

mendekatkan diri shahibul qurban kepada Allah. Karena

itu, modal utama untuk melakukan qurban adalah

ketakwaannya, bukan yang lain.

5) Di akhirat kelak, binatang yang diqurbankan akan

membantu mengantarkan yang berqurban menuju surga.

Aqiqah

a. Pengertian dan dasar hukum aqiqah

Untuk memahami arti dari aqiqah, ada baiknya kalian

mengingat kembali peristiwa yang terjadi di lingkungan

kalian yang terkait dengan adanya kelahiran seorang bayi.

Biasanya, seorang yang memiliki ketaatan agama yang kuat,

ketika dikaruniai seorang bayi, ia akan melakukan

serangkaian tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad

Saw. Nabi menganjurkan kepada orang tua yang dikaruniai

anak untuk memberi nama yang baik, mencukur rambutnya,

dan menyembelih kambing sebagai ungkapan ibadah kepada

Allah. Yang terakhir inilah yang dalam istilah agama

disebut aqiqah. Dengan demikian, aqiqah merupakan salah

satu bentuk ibadah kepada Allah dengan menyembelih

kambing di saat kelahiran seorang bayi. Aqiqah sangat

dianjurkan kepada orang yang bertanggung jawab memberi

nafkah kepada sang bayi. Dengan kata lain, hukum aqiqah

adalah sunnah bagi orang yang bertanggung jawab atas

nafkah sang bayi. Yang paling berhak dalam hal ini adalah

orang tuanya, kakeknya, atau keluarga terdekat lainnya.

Nabi Saw. bersabda:

“Anak yang baru lahir menjadi gadai sampai disembelihkan baginya aqiqah

pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya, dan bersamaan dengan itu

dicukur rambutnya serta diberinya nama” (HR. Ahmad dan at-

Tirmidzi).

Dari hadits di atas, jelaslah bahwa aqiqah merupakan

upaya untuk membebaskan sang bayi dari gadai kepada

Allah, sehingga bayi itu benar-benar merupakan anak dari

orang tuanya. Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa

aqiqah itu dilakukan pada hari yang ketujuh dari

kelahiran sang bayi. Jika pada hari ketujuh tidak bisa,

maka aqiqah dapat dilakukan pada hari keempat belas atau

hari kedua puluh satu dari kelahiran bayi. Jika ketiga

hari yang dianjurkan itu juga belum dapat dilaksanakan,

maka aqiqah dapat dilakukan kapan pun waktunya. Bersamaan

dengan aqiqah ini disunnahkan juga untuk dilakukan

pemotongan rambut bayi dan pemberian nama untuknya.

Karena begitu pentingnya tujuan aqiqah tersebut, ada

ulama yang mewajibkannya. Namun, jumhur (kebanyakan)

ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah.

Ketentuan jumlah kambing yang disembelih dalam aqiqah

dijelaskan dalam hadits berikut:

Rasulullah Saw. bersabda:

“Barang siapa di antara kalian yang ingin beribadah tentang anaknya,

hendaklah ia melaksanakan aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing

dan untuk anak perempuan seekor kambing” (HR. Ahmad, Abu Daud,

dan an-Nasa’i).

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa aqiqah untuk anak

laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan

seekor kambing. Namun demikian jika tidak mampu

menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki, maka

boleh saja seseorang menyembelih hanya seekor kambing

saja untuk anak laki-laki. Terkait dengan hal ini, Ibnu

Abbas berkata:

“Bahwasanya Nabi Saw. telah beraqiqah untuk (cucunya) Hasan dan Husain,

masing-masing seekor kibas (kambing)” (HR. Abu Daud).

b. Beberapa ketentuan tentang aqiqah

Berdasarkan beberapa hadits Nabi Saw. dan pendapat para

ulama, dapat dijelaskan beberapa ketentuan mengenai

aqiqah sebagai berikut:

1) Aqiqah hukumnya sunnah bagi orang yang bertanggung

jawab atas biaya hidup sang bayi.

2) Bentuk aqiqah adalah menyembelih dua ekor kambing

untuk bayi anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak

perempuan. Bagi yang tidak mampu, boleh saja menyembelih

seekor kambing untuk anak laki-laki.

3) Persyaratan tentang hewan aqiqah sama seperti

persyaratan hewan qurban.

4) Daging hewan aqiqah dibagikan kepada fakir miskin,

keluarga, dan tetangga dalam bentuk siap saji (sudah

dimasak). Di samping dibagikan, daging aqiqah dapat juga

dinikmati oleh yang beraqiqah.

5) Waktu penyembelihan aqiqah adalah tujuh hari, empat

belas hari, atau dua puluh satu hari setelah kelahiran

seorang bayi. Jika pada waktu-waktu itu tidak bisa, maka

bisa dilakukan di waktu-waktu yang lain.

Ibadah aqiqah terkait dengan kelahiran seorang anak.

Bersamaan dengan kelahiran anak ini, Islam menetapkan

beberapa ketentuan seperti berikut:

1) Menyambut kehadiran sang anak dengan gembira

bagaimanapun keadaannya.

2) Anak yang baru lahir hendaklah dibacakan adzan di

telinga sebelah kanan dan dibacakan iqamah di telinga

sebelah kiri.

3) Setelah itu cepatlah menentukan nama yang baik untuk

sang bayi.

4) Bersamaan dengan pemberian nama, disunnahkan juga

untuk mencukur rambut sang bayi

5) Ketika anak mulai mengenal lingkungan sosialnya, maka

berilah pengalaman yang terbaik untuknya menurut

ketentuan ajaran Islam agar anak dapat tumbuh dan

berkembang sesuai dengan fitrah keislamannya.

c. Tatacara aqiqah

Tatacara yang dapat dipenuhi dalam rangka melakukan

aqiqah adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan hewan

(kambing) yang akan disembelih untuk aqiqah, yakni seekor

untuk bayi perempuan dan dua ekor untuk bayi laki-laki.

2) Lakulan cara-cara penyembelihan sebagaimana dijelaskan

dalam tatacara qurban di atas.

3) Pada waktu menyembelih, hendaknya yang menyembelih

membaca basmalah dan takbir serta meniatkan untuk aqiqah

bagi sang bayi siapa.

4) Daging yang disembelih kemudian dimasak dan dibagikan

kepada kaum kerabat, tetangga, dan fakir miskin untuk

dinikmati bersama-sama dengan yang beraqiqah.

d. Hikmah aqiqah

Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah

yang memiliki hikmah yang besar, di antaranya adalah:

1) Yang paling pokok adalah untuk memperoleh rido dari

Allah Swt.

2) Anak yang lahir tidak lagi tergadai sehingga memiliki

hubungan yang sangat erat dengan orang tuanya, dan di

akhirat kelak akan memberi syafaat kepada orang tuanya.

3) Salah satu bentuk shadaqah kepada fakir miskin,

keluarga, dan orang-orang yang terdekat dengan sang bayi

dan orang tuanya.

4) Aqiqah merupakan sunnah Nabi Saw. yang sebaiknya

diikuti oleh setiap umat Islam yang mampu.

FIQIH MUAMALAHA. Pengertian

Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering

disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau al-

mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :

”Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi” (QS.

Fathir : 29)

Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu

syai'im bi syai'in. Artinya adalah menukar sesuatu dengan

sesuatu.

- Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-

Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah : tukar

menukar harta dengan harta secara kepemilikan.

- Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa

jual-beli sebagai : pertukaran harta dengan harta

dengan kepemilikan dan penguasaan

Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau

menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan

hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas

dasar saling merelakan".

B. Dasar Masyru'iyah

Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh

berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma'

dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :

“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba”

(QS. Al-Baqarah : 275)

Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW

bersabda :

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda:

“Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang

mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-

beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah

seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya.

Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-

beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)

C. Hukum Jual Beli

Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya

mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-

Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu

seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan

dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu

dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk

yang dilarang beliau SAW.

D. Rukun Jual-beli

Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun

sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual-

beli itu menjadi tidak sah hukumnya. Rukunnya ada tiga

perkara, yaitu :

a. Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi

syarat

b. Adanya akad / transaksi

c. Adanya barang / jasa yang diperjual-belikan.

Kita bahas satu persatu masing-masing rukun jual-beli

untuk lebih dapat mendapatkan gambaran yang jelas.

1. Adanya Penjual dan Pembeli

Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka

yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan

transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku

yang harus berakal dan baligh.

Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya

bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau

tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka

termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).

Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil

yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-

belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil.

Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau

orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil

hukumnya sah.

Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak

kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual-

beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk

membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah

karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya.

Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau

suruhan saja.

2.Adanya Akad

Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk

bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang

ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli

menjawab,"Aku terima".

Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan

lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-

belikan termasuk barang yang rendah nilainya.

Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem

mu'athaah, (اه yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli (م�عاط���untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.

3. Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan

Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang

diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang

diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar

boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara

syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi

beberapa syarat, yaitu :

a. Suci

Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana arti

bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis

yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging

babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan

lainnya.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah

saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu:

”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan

berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)

b. Punya Manfaat

Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum

dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan

madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan

manusia.

Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan

yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti

kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa,

srigala, macan, burung gagak.

Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan

alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan

orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila

setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka

jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk

kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka.

Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli

maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.

c.Dimiliki Oleh Penjualnya

Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu

benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau

wakil.

Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu

dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka

walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak

itu.

Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang

mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada

pihak lain.

Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian

juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi,

dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka

posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.

Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil,

maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan

pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya

adalah sebagai berikut :

“Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk

mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang

memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali

dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian

nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya.” (HR.

Tirmizi - Hadits hasan)

Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan hadits ini

lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini

diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari

hasan menjadi hadits shahih

Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-

beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya

mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik

aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan

pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli

barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi

batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu

sudah dianggap sah.

Dalilnya adalah hadits berikut ini :

'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar

untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan

untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan

harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor

kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau

pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu".

(HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).

d. Bisa Diserahkan

Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena

tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.

Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di

alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik

maupun secara hukum.

Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah

diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa

dipastikan penyerahannya.

Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah

menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa

diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.

e. Harus Diketahui Keadaannya

Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk

diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak

mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi

kualitasnya.

Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya

sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli

dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.

Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan

ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau

pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.

Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu

kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian

pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan

peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan

spesifikasi yang diberikan.

Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual

sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara

lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin

keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-

syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu

produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik,

misalnya :

- Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara

lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan

tentang data-data produk secara rinci. Seperti

ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan

lainnya.

- Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa

dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample

barang.

- Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila

mengalami masalah.

FIQIH MUNAKAHAT

POLIGAMI

Poligami disyari’atkan di dalam Islam. Sebagaimana firman

Allah :

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga atau empat.”

QS. An-Nisa‟ : 3.

Hendaknya seorang mukmin dan mukminah menerima ketetapan

syari’at poligami dengan lapang dada. Allah berfirman :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi wanita mukminah,

jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka (mengambil)

pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan

Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat (dengan) kesesatan yang nyata.” QS.

Al-Ahzab : 36

Karena seorang mukmin dan mukminah adalah orang-orang yang

mengimani seluruh isi Al-Quran. Mereka mengimani ayat tentang

poligami1813 sebagaimana mereka mengimani ayat tentang

pernikahan. Allah mengingatkan dalam firman-Nya;

“Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian

yang lain(nya)?” QS. Al-Baqarah : 85.

Hikmah Poligami

Di dalam poligami terdapat banyak kemaslahatan, di

antaranya :

a. Memperbanyak keturunan, sehingga menambah jumlah umat

Islam

Sebagaimana diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar y ia

berkata, Nabi bersabda :

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku ingin

membanggakan (jumlah) kalian dari umat-umat (nabi terdahulu).” HR.

Ahmad, Baihaqi Juz 7 : 13254, dengan sanad yang shahih

dan Abu Dawud : 2050, lafazh ini miliknya. Hadits ini

dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul

Jami’ : 2940.

Dengan berpoligami memperbesar peluang memperbanyak

keturunan untuk menambah jumlah umat Islam.

b. Mengatasi permasalahan sedikitnya jumlah kaum laki-laki

Sebagaimana diriwayatkan dari Anas ia berkata, aku

mendengar Rasulullah bersabda :

“Di antara tanda-tanda Hari Kiamat (adalah); sedikitnya ilmu, tersebarnya

kebodohan, tersebarnya perzinaan, banyaknya wanita, dan sedikitnya laki-

laki, hingga lima puluh wanita hanya ada satu orang laki-laki (yang

mengurusnya).” HR. Bukhari Juz 1 : 81, lafazh ini

miliknya, Tirmidzi Juz 4 : 2025, Ibnu Majah : 4045, dan

Ahmad.

Dengan sedikitnya jumlah laki-laki, maka akan banyak

wanita yang tidak mendapatkan pasangan. Sehingga

solusinya adalah dengan poligami.

c. Mengatasi permasalahan jima ketika isteri sedang; haidh,

nifas, atau sakit

Ketika isteri sedang haidh atau nifas, maka suaminya

tidak boleh menjima’inya. Sebagaimana hadits yang

diriwayatkan dari Abu Hurairah , dari Nabi bersabda:

“Barangsiapa yang menggauli isterinya dalam keadaan haidh atau pada

duburnya atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap apa yang

telah diturunkan kepada Muhammad (yaitu; Al-Qur’an).” HR. Tirmidzi

Juz 1 : 135, Ibnu Majah : 639. Hadits ini dishahihkan

oleh Syaikh Al- Albani 5 dalam Irwa’ul Ghalil : 2006.

d. Manyalurkan kecenderungan syahwat laki-laki yang lebih

besar daripada wanita

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia (laki-laki) kecintaan (syahwat)

kepada wanita.” QS. Ali-Imran : 14.

Syarat-syarat Berpoligami

Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi ketika akan

berpoligami, antara lain :

1. Tidak menikahi lebih dari empat orang wanita dalam satu

masa yang sama

2. Suami mampu memberikan nafkah kepada semua isterinya

3. Suami mampu berlaku adil di antara para isterinya dalam

perkara lahiriyah (Dalam hal: nafkah, makanan, pakaian,

tempat tinggal, bermalam, dan yang semisalnya.)

4. Suami mampu menjaga kehormatan isteri-isterinya

5. Tidak dikhawatirkan melalaikan hak-hak Allah

Hukum Poligami

Hukum asal poligami adalah mubah, jika terpenuhi syarat-

syaratnya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama’. Dan hukumnya

dapat berubah menjadi : sunnah, wajib, makruh, bahkan haram –

jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi dan tujuannya adalah

untuk menyakiti isteri.- Perubahan hukum tersebut tergantung

pada kondisi dan kemampuan pelaku poligami.

Catatan :

- Diperbolehkan berbeda ukuran mahar dan walimah di

antara para isteri.

- Apabila seorang suami menikah dengan seorang gadis,

maka ia dianjurkan untuk bermalam dengannya selama

tujuh hari, sebelum melakukan gilir. Adapun jika

suami tersebut menikah dengan seorang janda, maka ia

dianjurkan untuk bermalam dengannya selama tiga hari

sebelum melakukan gilir.

- Tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk

menyatukan isteri- isterinya dalam satu rumah.

Karena Nabi dahulu juga membuatkan rumah untuk

masing-masing isteri beliau.

- Tidak diperbolehkan bagi seorang isteri untuk

meminta suaminya agar mentalak isteri yang lainnya.

TALAK

Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan. Talak merupakan

perbuatan yang membanggakan bagi setan. Sebagaimana

diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ia berkata, Rasulullah

bersabda :

”Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian ia mengutus

pasukan. Yang paling dekat kedudukan kepadanya adalah yang paling besar

fitnahnya (kepada manusia). Salah seorang dari mereka datang dan berkata, ”Aku

telah melakukan ini dan itu. Lalu iblis berkata, ”Kamu belum melakukan apa-apa.”

Kemudian salah seorang dari mereka datang dan berkata, ”Aku tidak meninggalkan

(manusia), sehingga aku bisa memisahkannya dengan isterinya.” Kemudian iblis

mendekatinya dan berkata. ”Kamu memang hebat.” HR. Muslim Juz 4 :

2813. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam As-

Silsilah Ash-Shahihah Juz 7 : 3261

Suami (yang merdeka) mempunyai tiga talak atas isterinya dan

talak merupakan hak suami. Sebagaimana firman Allah :

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah,

kemudian kalian mentalak mereka.” QS. Al-Ahzab : 49.

Hukum Talak

Pada talak berlaku hukum taklifi yang lima; talak bisa

berhukum wajib, mustahabb (dianjurkan), mubah, makruh, dan

haram.

1. Wajib

Ketika terjadi pertikaian antara suami isteri dan juru

damai pun tidak dapat mendamaikan mereka, bahkan

permasalahannya semakin memanas, maka ketika itu suami wajib

mentalakkan isterinya. Atau ketika suami menjatuhkan ila’

kepada isterinya dan telah berlalu empat bulan, sedangkan

suami tetap tidak bersedia jima’ dengan isterinya, maka

ketika itu suami juga wajib mentalakkan isterinya.

2. Mustahabb

Ketika isteri melalaikan hak-hak Allah seperti meninggalkan

shalat- atau isteri melalaikan hak suaminya –seperti ia

tidak menjaga kehormatannya,- maka ketika itu talak hukumnya

menjadi mustahabb.

3. Mubah

Ketika akhlak/perilaku isteri kepada suaminya sangat buruk,

sementara suami tidak melihat adanya harapan untuk dapat

berubah, maka ketika itu talak hukumnya menjadi mubah.

4. Makruh

Talak dimakruhkan hukumnya ketika dilakukan bukan karena

kebutuhan. Diriwayatkan dari Amr bin Dinar , ia berkata:

”Ibnu ‘Umar mentalak isterinya lalu isterinya berkata,

”Apakah engkau melihat sesuatu yang engkau benci dariku?” Ia

menjawab, ”Tidak.” Isterinya berkata, ”Mengapa engkau

mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?” Amr

bin Dinar berkata, ”Akhirnya Ibnu Umar kembali meruju’nya.”

HR. Sa’id bin Manshur : 1099, dengan sanad yang shahih.

5. Haram

Talak menjadi haram hukumnya ketika suami menjatuhkan talak

kepada isterinya dalam keadaan haidh/nifas atau dalam masa

suci yang telah dijima’i dan belum jelas kehamilannya. Haram

pula mentalak tiga dengan satu lafazh/dalam satu majelis.

Inilah yang disebut dengan talak yang bid’ah.

Syarat-syarat Talak

Syarat talak terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Syarat yang berhubungan dengan yang mentalak

Syarat yang berhubungan dengan yang mentalak ada empat,

antara lain :

1. Orang yang mentalak adalah suami bagi wanita yang

ditalak

2. Orang yang mentalak telah mencapai baligh.

Sehingga talak yang yang dilakukan oleh anak kecil –

meskipun sudah mumayyiz,- maka talaknya tidak sah. Ini

adalah pendapat Jumhur ulama’

3. Orang yang mentalak adalah orang yang berakal

4. Talak dilakukan tanpa paksaan

b. Syarat yang berhubungan dengan yang ditalak

Syarat yang berhubungan dengan yang ditalak ada dua,

antara lain :

1. Orang yang ditalak adalah isteri bagi suami yang

mentalak

2. Talak benar-benar ditujukan oleh suami kepada

isterinya, baik berupa; ucapan, isyarat, sifat, maupun

niat.

Macam-macam Talak

Macam-macam talak dapat dilihat dari beberapa sisi, antara

lain :

1. Talak berdasarkan shighat yang dilafazhkan

Talak berdasarkan shighat yang dilafazhkan dibagi menjadi

dua, yaitu:

- Lafazh sharih

Lafazh yang sharih yaitu ucapan yang secara jelas

menunjukkan bahwa itu adalah talak dan tidak

mengandung makna lainnya. Seperti ucapan, “Aku

mentalakmu,” “Engkau aku talak,” dan yang

semisalnya. Talak yang sharih ini tetap dianggap

sah, meskipun diucapkan dengan bergurau.

- Lafazh kinayah

Lafazh kinayah yaitu ucapan yang mengandung makna

talak dan makna lainnya. Seperti ucapan, “Pulanglah

engkau kepada keluargamu” , “Engkau sekarang

terlepas,” dan yang semisalnya. Ucapan-ucapan

semacam ini tidak dianggap sebagai talak, kecuali

jika disertai niat untuk mentalak.

2. Talak berdasarkan sifatnya

Talak berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu :

- Talak sunni

Talak sunni adalah talak yang sesuai dengan

syari’at, yaitu suami mentalak isteri pada waktu

suci yang belum dijima’i atau talak yang dilakukan

suami pada saat isterinya hamil, dengan kehamilan

yang jelas.

- Talak bid’i

Talak bid’i adalah talak yang menyelisihi syari’at.

Talak semacam ini adalah haram, pelakunya berdosa,

meskipun demikian talaknya tetap jatuh. Ini adalah

pendapat Jumhur ulama’. Suami yang menjatuhkan talak

bid’i wajib meruju’ isterinya –jika itu bukan talak

tiga.- Ini adalah pendapat Imam Malik dan Dawud Azh-

Dzhahiri

Talak bid‟i terbagi menjadi dua macam :

Bid’ah berkaitan dengan waktu

Yaitu suami menjatuhkan talak kepada isterinya

pada waktu haidh/nifas atau pada waktu suci

yang telah dijima‟inya, sementara belum jelas

kehamilannya.

Bid’ah berkaitan dengan bilangan

Yaitu suami menjatuhkan talak tiga dengan satu

kalimat sekaligus atau menjatuhkan tiga talak

secara terpisah, dalam satu majelis. Misalnya

suami mengatakan kepada isterinya, ”Aku

mentalakmu, aku mentalakmu, aku mentalakmu.”

3. Talak berdasarkan pengaruh yang dihasilkan

Talak berdasarkan pengaruh yang dihasilkan dibagi menjadi

dua, yaitu:

- Talak raj’i

Talak raj’i adalah talak yang dengannya suami masih

berhak untuk meruju’ isterinya pada masa iddah,

tanpa mengulangi akad nikah yang baru, walaupun

tanpa keridhaan isteri. Para ulama telah bersepakat

bahwa seorang laki-laki merdeka jika ia mentalak

isterinya di bawah tiga kali, maka ia berhak

meruju’nya pada masa iddah. Sehingga talak raj’i

adalah talak suami kepada isteri dengan talak

pertama dan talak kedua. Allah berfirman :

”Talak (yang dapat diruju’ itu) dua kali. Setelah itu (suami dapat)

menahan dengan baik atau menceraikan dengan baik.” QS. Al-

Baqarah : 229

Isteri yang telah ditalak raj’i oleh suaminya

menjalani masa iddahnya di rumah suaminya.

Sebagaimana firman Allah :

”Janganlah engkau keluarkan isteri-isteri (yang telah ditalak raj’i) dari

rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali jika

mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” QS. Ath-Thalaq :

1

Para ulama telah bersepakat bahwa isteri yang

ditalak raj’i tetap berhak mendapatkan nafkah dan

tempat tinggal. Diriwayatkan dari Fathimah binti

Qa’is ia berkata, Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal adalah hak isteri, jika

suami (masih memiliki hak) ruju’ kepadanya.” HR. Nasa’i Juz

6 : 3403. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-

Albani 5 dalam Shahihul Jami’ : 2334

- Talak bain

Talak bain adalah talak yang menjadikan suami tidak

berhak meruju’ isterinya yang ditalaknya.

4. Talak berdasarkan waktu terjadinya

Talak berdasarkan waktu terjadinya dibagi menjadi tiga,

yaitu :

- Talak munajjaz

Talak munajjaz yaitu talak yang redaksinya tidak

berkaitan dengan suatu syarat atau masa yang akan

datang dan maksud suami yang mentalak adalah jatuh

talak saat itu juga. Misalnya suami berkata kepada

isterinya, ”Engkau aku talak,” atau ”Aku

mentalakmu,” dan yang semisalnya. Talak semacam ini

jatuh pada saat itu juga, karena ia tidak dibatasi

oleh sesuatu apa pun.

- Talak mudhaf ilal mustaqbal

Talak mudhaf ilal mustaqbal yaitu yang disandarkan

pada waktu yang akan datang. Misalnya suami berkata

kepada isterinya, ”Aku mentalakmu besok,” atau ”Aku

mentalakmu di awal bulan depan.” Talak semacam ini

jatuh pada waktu yang disebutkan. Ini adalah

pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid, Ishaq,

dan Dawud Azh-Zhahiri

- Talak mu’allaq ala syartin

Talak mu’allaq ala syartin yaitu talak yang

digantungkan oleh suami kepada syarat terjadinya

sesuatu. Misalnya suami berkata kepada isterinya,

”Jika engkau keluar rumah, maka engkau aku talak.”

Talak semacam ini dibagi dalam dua kondisi :

Maksudnya agar isteri melakukan atau

meninggalkan sesuatu

Maksudnya adalah untuk mentalak isteri

Ruju’

Ruju’ adalah mengembalikan isteri yang telah ditalak (bukan

dengan talak bain) ke dalam pernikahan, tanpa akad nikah yang

baru. Ruju’ tidak memerlukan wali, mahar, persetujuan isteri,

dan izin dari walinya. Dan ruju’ adalah hak suami, sebagaimana

firman Allah :

“Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk meruju’nya” QS. Al-Baqarah :

228

Syarat sah ruju’.

Syarat sah ruju’ adalah :

- Isteri yang ditalak telah dijima’i sebelumnya. Jika

suami mentalak isterinya yang belum pernah dijima’i,

maka suami tersebut tidak berhak untuk meruju’nya.

Ini adalah ijma’ para ulama’.

- Talak yang dijatuhkan di bawah talak tiga (talak

raj’i)

- Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan

tebusan, maka isteri menjadi bain.

- Ruju’ dilakukan pada masa iddah dari pernikahan yang

sah. Jika masa ‘iddah isteri telah habis, maka suami

tidak berhak untuk meruju’nya. Ini adalah ijma’ para

ulama’ fiqih

FIQIH MAWARIS

Pengertian Hukum Waris

Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian.

Peristiwa kematian ini, terjadi ada anggota keluarga, misalnya

ayah, ibu , atau anak. Apabila orang yang meninggal itu

mempunyai harta atau kekayaan maka yang menjadi pokok

permasalahan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta

kekayaan yang ditinggalkan. Artinya, siapakan yang berhak atas

harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Dan juga

siapakah yang wajib menanggung dan membereskan hutang-hutang

si pewaris jika ia meninggalkan hutang yang menjadi

kewajibannya.

Unsur-unsur Dalam Pewarisan

Untuk terjadinya pewarisan seperti dijabarkan di atas , maka

proses tersebut adalah meliputi unsur-unsur berikut dibawah

ini :

1. Adanya pewaris

Pewaris yaiutu seorang yang memiliki harta kekayaan dan

meneruskan atau mengoperkan harta tersebut keada

seseorang sebagai ahli waris. Memang mninggalnya pewaris

merupakan peristiwa yang sangat penting dalam pewarisan,

akan tetapi tidak mempengaruhi secara radikal terhadap

proses penerusan atau pengoperan harta waris tersebut.

Hal ini sangat berbeda apabila kita bandingkan dengan

proses pewarisan menurut KUH Perdata dimana pasal 830

ditetapkkan bahwa setelah pewaris meninggal barulah

warisan dapat dibuka, sedangkan dalam waris adat tidak

demikian halnya.

2. Adanya Ahli Waris

Ahli waris adalah semua orang yang akan menerima

penerusan atau pembagian warisan , baiki sebagai ahli

waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan

ahli waris tetapi mendapat warisan. Ahli warisan

merupakan salah satu unsur yang penting dalam hal

pewarisan sehubungan dengan adanya peristiwa kematian

seorang pewaris. Pada prinsipnya para ahli waris pemilik

dan ahli waris pemilik dari harta peninggalan itu adalah

anak-anaknya, termasuk dalam kandungan ibunya jika lahir

hidup.

3. Adanya Harta Warisan

Pengertian dari harta warisan adalah semua harta yang

ditinggalkn oleh seorang yang meninggal dunia baik harga

benda itu sudah dibagi atau belum dibagi.

Syarat-syarat Ahli Waris

Pada asasnya tidak orang, meskipun seorang bayi yang baru

lahir, adalah cakapa untuk mewaris. Hanya ada undang-undang

telah ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya

tidak patut menerima warisan. Mereka diantaranya ialah seorang

ahli waris yang menggelapkan, memusnahkan, atau memalsukan

wasiat atau dengan kekerasan atau ancaman menghalang-halangi

si meninggal untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya.

Sedangkan syarat sahnya menerima warisan adalah :

- Ahli waris masih hidup

- Ahli waris tidak dihukum karena dipersalahkan

membunuh atau mencoba membunuh pewaris

- Ahli waris sehat jasmani dan rohani

Syarat umum bagi pewaris :

- Pikiran sehat

- Berumur cukup

- Dalam pewarisan tidak ada tekanan dari siapapun

Disamping itu , mengenai ahli waris terhadap harta peninggalan

si yang meninggal, kewajiban tersebut antara lain :

- Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta

peninggalan dibagi

- Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan

dan lain-lain

- Melunasi hutang-hutang si pewaris jika pewaris

meninggalkan hutang

- Melaksanakan wasiat jika ada

FIQIH JINAYAH

PENGERTIAN JINAYAH

Fiqih jinayah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan

jinayah. Pengertian fiqih secara bahasa berasal dari kata

faqiha, yang berarti mengerti, paham. Sedangkan secara istilah

sesuai yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah

sebagai berikut :

ة� ص�لي ف� ه�ا ال�ت� س��ب� م�ن� ادل�ت� ة� ال�مكت� ة� ال�عملي� رع�ي الاح�كام ال�ش% ة ه�و ال�علم ب�� ق� ة� . ال�ف� رع�ي موع�ة� الاح�ك�ام ال�ش�% و م�ج� او ه��

ة� صلي ف� ها ل�ت� اده� م�ن� ادل�ت� ف� ة� ال�مست� .ال�عملي“fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil

yang terperinci. Atau fiqih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat

praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.

Adapun jinayah menurut bahasa adalah :

ة سي� ر وم�ااك�ت� ة� ال�مرء م�ن� ش% ي ن� ج� .اسم ل�ما ي�“nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang dia

usahakan”.

Kata jinayat adalah jama’ dari kata jinayah. Jinayah

adalah akar kata (masdar) dan mashdar tidak dapat dijadikan

kata jama’ kecuali apabila bertujuan memberi arti bermacam-

macam yaitu disengaja, tersalah dan sengaja yang tersalah.

RUKUN ATAU UNSUR JINAYAH

Pengertian jinayah yang mengacu pada perbuatan-perbuatan

yang dilarang oleh syara’ dan diancam dengan had atau ta’zir

telah mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-

perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah berasal dari

ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya perbuatan-

perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika

perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.

Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara’, maka

larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang

berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat

menerima panggilan (khitab) dan orang yang mampu memahami

pembebanan (taklif) dari syara’ tersebut

Makhrus Munajat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang

dikenai hukumjinayah jika memenuhi dua unsur; yaitu umum dan

khusus. Unsur umum terdiri dari; 1. Formil, yaitu adanya

ketentuan undang-undang. 2, Materiil, yaitu sifat yang melawan

hukum. 3. Moril, yaitu pelakunya mukallaf. Sedangkan unsur khusus

ialah unsur yang hanya terdapat pada perdana tertentu dan

antara satu jenis berbeda dengan lainnya, seperti pencurian

jika ada barangnya

a.         Unsur Formal (Ar-Rukn, Al-Syar’i), yaitu adanya nash atau

ketentuannya yang menunjukkannya sebagai jarimah, atau dapat

juga diartikan adanya ketentuan yang melarang perbuatan-

perbuatan tertentu yang disertai dengan hukuman ancaman atas

perbuatan-perbuatan tersebut. Jarimah tidak akan terjadi

sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus ada unsur ini

antara lain firman Allah dalam QS. al-Isra`: 15 yang

mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum

mengutus utusan-Nya. Ajarannya ini berisi ketentuan bahwa

hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran

Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan

dan undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa.

b.         Unsur Material (Al-Rukn, Al-Madzi), yaitu adanya perbuatan

melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan atau adanya

unsur perbuatan yang membentuk jinayah baik melakukan pebuatan

yang dilarang, atau melakukan perbuatan yang diharuskan.

Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah

mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi

Muhammad saw atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati,

selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan

dengan nyata.

c.         Unsur Moral (Al-Rukn, Al-Adabi), yaitu adanya niat pelaku

untuk berbuat jarimah. Pelaku kejahatan adalah orang yang

dapat menerima khitab artinya pelaku kejahatan tadi

adalah mukallaf atau orang yang telah baligh, sehat akal

dan ikhtiyar (berkebebasan berbuat). Sehingga mereka dapat

dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.

Sehingga dapat disimpulkan bawa suatu perbuatan dapat

dikategorikan sebagai Jinayah, jika perbuatan tersebut

mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu

perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.