ushul fiqih
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
Transcript of ushul fiqih
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat
bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti
syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya
maupun pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang
menyebabkan kekaburan Istislah ini,
yaitu : Pertama, Bahwasannya syari’at telah memelihara
segala kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan
petunjuknya berupa Qiyas.
Kedua, Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan
kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang
yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan
para mufti. Oleh karena itu dalam makalah ini pemakalah
akan memaparkan dan menjelaskannya secara mendetail.
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Istislah al- mashlahah al-
mursalah?
b. Bagaimana hujjah Ulama tentang Istislah al- mashlahah
al-mursalah?
c. Apa-apa saja macam-macam Istislah al- mashlahah al-
mursalah?
3. Tujuan Penulisan
a. Menambah wawasan ilmu pengetahuan kita
1
b. Menyelesaikan tugas matakuliah yang telah diberikan
oleh Dosen
c. Memahami al- mashlahah al-mursalah lebih mendalam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Mashlahah Al-Mursalah
Sebelum membahas tentang maslahah mursalah, terlebih dahulu
perlu dibahas lebih dahulu tentang maslahah, karena maslahah
mursalah merupakan salah satu bentuk dari maslahah. Maslahah
berasal dari kata shalaha dengan penambahan “alif” di awalnya
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “ buruk”
atau “ rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalh yaitu
manfaat atau terlepas daripadanya kerusakan. (Syarifuddin,
Amir, 2011, hal. 345).
Pengertian maslahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam
artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat2
bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan
seperti menghasilkan keuntungan atau kesenengan ;atau dalam
arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan
atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung dua sisi, yaitu
menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau
menhindarkan kemudaratan.
Menurut Abdul wahhab al-khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul
Fikih ,
ل دل دل�ي��� ه��ا, ول�م ي���� ق� ي� حق� ارع ح�كم��ا ل�ت� �رع ال�ش�� �ش�� ي� ل�م ي�� ت� : ال�مص��لحة� ال��� ي/ن- ول�ي� ص��� طلأح الأ3 ي� اص��� ة� ,ف: ي� ال�مطلق��� لة� ا3 ال�مص��لحة� ال�مرس���ا. ل�غ: Fل ا و دل�ي� ار ا3 Gي ل اع�ت� دل�ي� Gد ي� ي� ق� ها ل�م ت�� ن�: ة� لأ3 ت� م�طلق� ها.وس�مي� ان�3 ل�غ: Fو ا اره�ا ا3 Gي رع�ي� ع�لي� اع�ت� �، )ش لأف: حة� 2003ح�: (74، ص�ف:
"Al- Maslahah Al Mursalah artinya mutlak (umum), menurut
istilah ulama ushul adalah kemaslahatan yang oleh syar’i tidak
dibuatkan hukum untuk mewujudkannya,tidak ada dalil syara’
yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Ia
disebut mutlak (umum) karena tidak dibatasi oleh bukti
dianggap atau bukti disia-siakan". Artinya bahwa penetapan
suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan
kemaslahatan umat manusia; yakni menarik suatu manfaat,
menolak bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia. Dan
bahwa kemaslahatan itu tidak terbatas bagian-bagiannya dan
tidak terbatas pada perorangan,akan tetapi kemaslahatan itu
seiring dengan kemajuan peradaban dan berkembang sesuai dengan
perkembangan lingkungan. (Khalaf, 2002, hal. 110)
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh
al-manfa’at, baik artinya ataupun wajannya (timbangan kata),
yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-
3
shalah, seperti halnya lafazh al-manfaat sama artinya dengan
al-naf’u. (syafe'i, 2010, hal. 117)
Bisa juga dikatakan bahwa al-maslahah itu merupakan bentuk
tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih. Semuanya mengandung
arti adanya manfaat baik secara asal maupun melaui suatu
proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun
pencegaan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan
penyakit. Semua itu bisa dikatakan maslahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara aalah sifat
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk
mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan deimikian, al- Maslahah
al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat
suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat, dan tidak ada
illah yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan hukum
kejadian tersebut, kemudian ditentukan sesuatu yang sesuai
dengan hukum syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat,
maka suatu kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-
Mursalah. Tujuan al-Maslahah al-Mursalah adalah kemaslahatan;
yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya.
Sedangkan alasan dikatakan al-Marsalahah al-Mursalah,
karena syara memutlakannya bahwa didalamnya tidak tersapat
kaidah syara yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
B. Definisi Menurut Ulama Ushul
4
Menurut para ulama ushul. Sebagian ulama menggunakan istilah
al-Maslahah al-Mursalah itu dengan kata al-Munasib al-Mursal. Ada
pula yang meggunakan al-istishlah dan ada pula yang
menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah
tersebut walupun tampak sama memiliki sau tujuan, maing-
masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum
yang didirikan atas dasar maslahat dapat diinjau dari tiga
segi yaitu:
a. Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang
dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai
pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Akte
nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, akan
kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang
menunjukan pntingnya pembuatan akte nikah tersebut.
Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-maslahah
al-mursalah (maslahah yang terlepas dari dalil khusus),
tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at
Islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washaf
al-munasib) yng mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum
agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte
nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan
syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan
tetapi, sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil
khusus. Oleh karena itu, dari sisiini ia disebut al-
munasib al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang
terlepas dari dalil syara’ yang khusus).
5
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah
yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini
penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah
satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut
istishlah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka
dipakai istilah al-Maslahah al-Mursalah. Istilah ini yang
paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang kedua, dipakai
istilah al-munasib al mursal. Istilah tersebut digunakan
oleh Ibnu Hajib dan Baidawi. Untuk segi yang ketiga dipakai
istilah al-istishlah, yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab
Al-Mustasyfa, atau dipakai istilah al-isti’dal al mursal.
Seperti yang dipakai Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat.
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-
Maslahah al-Mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap
manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum,
namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau
menolaknya. Dibawah ini akan dbahas beberapa pandangan para
ulama tentang hakikat dan pengertian al-Maslahah al-Mursalah.
Menurut Abu Nur Zuhair, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu
sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui
atau tidaknya oleh syara’.
Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu maslahah yang
sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara
umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi
bukti diakui atau tidaknya.
Al-Ghazali menyatakan, setiap maslahah yang kembali
kepada pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari Al-
6
Quran, As-Sunnah dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari
ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui
metode qiyas, harus ada dalil asal (maqis alaih). Cara
mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah
dari beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari Al-quran,
sunnah, qarinah-qarinah maupun dari isyarat-isyarat. Oleh
sebab itu, cara penggalian maslahah seperti itu disebut al-
Maslahah al-Mursalah. Artinya, terlepas dari-dalil secara
khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa
dalil syara’.
Dari pernyataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan
bahwa al-Maslahah al-Mursalah (istishlah) menurut pandangannya
adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash
syara’ yang tidak merupkan dalil tambahan terhadap nash
syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’. Menurut
pandangannya, ia merupakan hujjah qath’iyyat selama
mengandung arti pemeliharan maksud syara’, walaupun dalam
penerapannya zhanni.
Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan apabila kita menafsirkan
maslahah dengan pemeliharaan maksud syara’ maka tidak ada
jalan bagi kita untuk berselisih dalam mengikutinya, bahkan
wajib meyakini bahwa maslahah seperti itu adalah hujjah
agama. Sekiranya dikatakan ada perbedaan pendapat dala hal
itu, perbedaan tersebut hanya merupakan pertentangan antara
satu maslahah dengan maslahah lainnya atau per tentangan
tujun syara’ dengan yang lainnya. Dalam halini, kita wajib
men-tarjih yang lebih kuat.
7
Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki
mengatakan bahwa al-Maslahah al-Mursalah adalah setiap prinsip
syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai
dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-
dalil syara’. Maka prinsip tesebut adalah sah sebagai dasar
hukum dan dapat dijadikan rujukan sepanjang ia telah manjadi
prinsip dan digunakan syara’ yang qath’i. Dari pengertian
yang dikemukakan Al-Syatibi tersebut bisa diambil kesimpulan
bahwa:
a. Al-Maslahah al-Mursalah menurut Asy-Syatibi adalah suatu
maslahah yang tidak ada nash tertentu, tetapi sesuai
dengan tindakan syara’.
b. Kesesuaian maslahah denga syara’ tidak diketahui dari
satu dalil dan tidak dari nash yang khusus, melainkan
dari beberapa dalil dan nash secara keseluruhan yang
menghasilkan hukum qath’I walaupun secara bagian-
bagiannya tidak menunjukkan qath’i.
Setelah dikemukakan beberapa pengertian al-Maslahah meneurut
beberapa ulama ushul, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat
al-Maslahah dlam syari’at Islam adalah setiap manfa’at yang
tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu’tabar
(diakui) atau tidaknya manfa’at itu.
Adapun al-Maslahah al-Mursalah menurut Imam Malik sebagaimana
hasil analisis Al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai
dengn tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang
berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat
dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder).
8
Penjelasan definisi-definisi di atas, juga menunjukkan
bahwa tidak semua yang mengandung unsure manfaat bisa
dikatakan Maslahah Mursalah, jika tidak termasuk maqashid asy-
syari’ah.
Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa al-Maslahah al-Mursalah
adaah segala sesuatu yang dilakukan oleh eorang Imam dalam
kekuasaannya, seperti keputusan seorang imam untuk
memerdekakan hamba sahaya, membunuhnya, dan membebaninya
tebusan dengan harta. Kebijakan-kebijakan tersebut telah
tercantum dalam nash Al-Quran dan As-Sunah.
Tidak juga dikatakan al-Maslahah al-Mursalah bila ada dua
kemaslahatan yang saling bertentangan dan masing-masing
mempunyai penguat atau pembatal. Hal tersebut tidak masuk
dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.
Selain itu, juga termasuk al-Maslahah al-Mursalah segala
kemaslahatan yang bertentangan dengan nash atau qiyas yang
sahih, baik pertentangannya secara umum maupun mutlaq.
Karena semua pertentangan tergadap keduanya terdapat penguat
untuk membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
Namun demikian, al-Maslahah al-Mursalah itu jangan dipahami
tidak memiliki dalil untuk dijadikan sandarannya atau jauh
dari dalil-dalil pembatalna. Tapi harus dipahami bahwa al-
Maslahah al-Mursalah berdasarkan pada dalil yang terdapat pada
syara’, namun tidak dikhususkan terhadap al-Maslahah al-Mursalah
ini. bisa dikatakan melalui metode yang jauh, seperti
penjagaan terhadapa roh, akal dan keturunan.
Diantara contoh yang dapat dikatakan al-Maslahah al-Mursalah
adalah kemaslahatan daulah Islam dalam penjagaan harta
9
penduduk oleh tentara ketika membutuhkannya, atau ketika
adanya musuh, juga ketika tidak sedikitpun harta yang
dimiliki oleh Negara karena dibelanjakan untuk hal-hal yang
kurang bermanfaat. Kemaslahatan seperti itu tidak ada
penguatnya dan tidak pula ada dalil yang membatalkannya,
namun termasuk asalah satu dari maksud ketentuan syariat,
yakni menjaga agama.
C. Posisi Para Ulama dalam Al-Maslahah Al-Mursalah
2.1 Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para Ulama
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa masalah istishlah
merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan di
kalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat,
dinyatakan bahwa tidak sah mengambil masalah yang menggunakan
Al-Maslahah Al-Mursalah karena tidak ada dalil yang
mengisyaratkannya.
Diantara par aulama, tidak ada seorangpun yang menyangkal
pendapat diatas, kecuali imam malik. Di bawah ini akan di
terangkan pendapat beberapa ulama dalam kitab Ushul tentang
Al-Maslahah Al-Mursalah:
1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, “para ulama dari
golongan syafi’I, hanafi dll telah sepakat untuk tidak
berpegang kepada istislah, kecuali imam malik, dan diapun
tidak sependapat engan para pengikutnya. Para ulama
tersebut sepakat untuk tidak memakai istislah dalam
setiap kemaslahahan, kecuali dalam kemaslahatan yang
penting dan khusus secara Qath’i. mereka tidak
10
menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting,
tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu
disebut mursal. Akan tetapi jika gharib atau ada
pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat.
Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam Al-Ghazali
memakainya, dia menerimanya dari Asy Syafi’I dan Malik.
Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.
3. Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham,
berpendapat tentang adanya maslahah mursalah itu telah
diperdebatkan dikalangan ara ulama, yang dapat dibagi
dalam empat pendapat:
a. Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya.
b. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara
mutlak
c. Imam ASy Syafi’I dan para pembesar golongan hanafiyah
memakai Al-Maslahah Al-Mursalahdalam permasalahan yang
tidak dijumpai dasar hukumnya yang shahih. Namun mereka
mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang
shahih. Hal itu senada dengan pendapat Al-Juwaini.
d. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu
ada dalam tahap tahsin atau tajayyun (perbaikan),
tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas.
Adapun bila berada dalam martabat penting boleh
memakainya, tetapi harus memenuhi beberapa syarat.
Diapun berkata, jangan sampai para mujtahid menjauhi
untuk melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda
11
tentang derajat pertengahan: yakni martabat kebutuhan.
Dalam kitab Al-Mustasyfa, dia menolaknya, namun dalam
kitab Syafa’u al-Ghalil, dia menerimanya (Al-Mustasyfa,
I:141).
Dengan melihat beberapa pendapat ulama diatas
jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang menerima istishlah
secara mutlak.
a. Posisi Imam Abu Hanifa terhadap Al-Maslahah Al-
Mursalah
Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-
Tasyri’ Al-Islami hal 89: “Pendapat yang mashyur yang
tertulis dalam berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak
memakai istishlah dan tidak menganggapnya sebagai dalil
syara. Hal itu didasarkan pada berbagai tinjauan:
1. Para Ahli Fiqih Irak dalam mukaddimahnya berkata bahwa
hukum syara’ itu mengandung maksud kemaslahatan,
sehingga perlu mencari berbagai alasan untuk mencapai
kemaslahatan tersebut. Mereka menggunakan akal dan roh
nash sehingga banyak sekali membuat takwil-takwil yang
sesuai dengan akal mereka dengan maksud untuk mencari
kemaslahatan. Pendapat yang lebih jauh lagi bahwa para
pemimpin fiqh irak tidak menggunakan istishlah, seperti
Ibrahim An-Nakha’I, dia tidak menggunakan istishlah,
tetapi senantiasa berhujjaj untuk kemaslahatan. Mereka
termasuk yang mendahulukan qiyas dan menjaga
kemaslahatan.
2. Mereka hanya memakai istishsan dan tidak menggunakan
istishlah, dan menganggap bahwa istishlas itu bagian
12
dari istihsan yang bersandarkan pada adat, kepentingan,
dan kemaslahatan. Namun, bila mereka dikatakan
berhujjaj dengan istishlah, mereka tidak mengakuinya
dan hanya menganggap bahwa mereka telah berdalil dengan
istishan dan ‘urf.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para
ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath hukum dengan
cara istishlah yang sama artinya dengan istishan menurut
Imam Abu Hanifa.
Adapun penggunaan ‘urfkhususnya dikalangan Hanafiyah
lebih luas dibanding istishlah terhadap hal-hal yang
tidak ada nashnya. Hal ini tentunya bebas bagi tiap-tiap
daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai
kemaslahatan hidup mereka. Tak heran jika banyak hukum
yang didasarkan pada ‘urf menurut Hanafiyah sebenarnya
sama dengan istishlas menurut ulama lainnya.
D. Macam-macam Mashlahah
Sebagai mana dijelaskan diatas bahwa mashlahah dalam
artian syara’ bukan hanya disasarkan pada pertimbangan akal
dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat
mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi
lebih jauh lagi, yaitu bahwa yangdianggap baik oleh akal juga
harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,
yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan.
Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’
dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau
tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan
13
manusia, yaitu Agama, jiwa, Akal, keturunan, Harta. Juga dapat
dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupa
manusia kepada lima hal tersebut
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum, maslahah ada tiga macam, yaitu : maslahah
dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan mashlahah tahnisiyah.
a. Mashlahah dharuriyah
Mashlahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan
manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punyaarti
apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima tersebut
tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin
atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut
adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena
itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi
pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau
tindakan yang secara langsung menuju pada atau
menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima
unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah
melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah
tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat
dharuri
b. Mashlahah hajiyah
Mashlahah hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat
kebutuhan hidup manusia kepadanya tidk berada pada
tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara
langsung bagi oemenuhan kebutuhan pokok yang lima
(dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah
14
sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Contoh mashlahah
hajiyah adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama;
makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk
sempurnanya akal; melakukan jual beli untuk mendapatkan
harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau mashlaha
dalam tingkat haji.
c. Mashlahah tahsiniyah
Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan
hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkatan dharuri,
juga tidak sampai tingkatan haji; namun kebutuhan
tersebut perlu perlu terpenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia Mashlahah
tahsiniyah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan
dengan lima kebutuhan pokok manusia.
Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara berurutan
menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang
kuat adalah mashlahah dharuriyah, kemudian dibawahnya
adalah mashlaha hajiyah dan yang berikutnya mashlahah
tahsiniyah.
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik
oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum, mashlahah itu disebut juga dengan munasib atau
keserasian maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam
artian munasib itu dari segi pembuat hukum (syar’i)
memerhatikannya atau tidak, mashlahah terbagi menjadi
tiga macam,yaitu:
a. Mashlahah al mutabaroh
15
Yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syar’i.
Maksudnya, ada petunjuk dari syar’i, baik langsung
maupun tidak langsung,, yang memberikan penunjuk
pada adanya mashlahah yang menjadi alasan dalam
menetapkan hukum. Dari segi langsung tidak
langsungnya petunjuk ( dalil) terhadap mashlaha
tersebut, mashlahah dibagi menjadi dua:
1) Munasib mu’tasir, yaitu ada petunjuk langsung dari
pembuat hukum syar’i yang memrhatikan mashlahah
tersebut. Maksudnya, ada petunjuk syara’ dalam
bentuk nash atau ijma’ yang menetapkan bahwa
mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan
hukum. Contohnya dalil nash yang menunjuk langsung
kepada mashlahah, umpamanya tidak baiknya
mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan
haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut
mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan
atau penyakit.
2) Munasib mualim
Yaitu tidakada petunjuk langsung dari syara’ baik
dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian
syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara
tidak langsung ada.
b. Mashlahah al-Mulghah, atau mershlahah yang ditolak,
yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi
tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk
syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal
menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan
16
syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang
berbeda dengan apa yang dituntun oleh mashlahah itu.
c. Mashlahah al-Mursalah, atau yang juga biasa disebut
Istishlah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal
sejalan dengan tujuan syara’dalam menetapkan hukum;
namun tidak ada petunjuk syara’ yang
memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk
syara’ yang menolaknya.
E. Syarat-syarat berpegang kepada Mashalihul Mursalah
Para ulama yang menjadikan al Mashlahah al Mursalah sebaga
hujjah sangat berhati-hati dalam menggunakannya, sehingga
tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan
nafsu, oleh karena itu ada 3 syarat dalam berpegang teguh pada
Mashlahah Mursalah:
1. Mashlahat itu harus jelas dan pasti bukan hanya berdasarkan
kepada prasangka
Artinya, enetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-
benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya.
2. Mashlahat itu bersifat umum, bukan untk kepentingan pribadi
Artinya, penetaan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat
menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak
bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil
dari mereka.
3. hukum yang ditetapkan berdasarkan mashlahat itu
tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah
ditetapkan oleh nash atau ijma. Maka tidak syah menganggap
17
suatu kemaslahata yang menuntut persamaan hak waris antara
anak laki-laki dengan perempuan. kemaslahatan ini sia-sia
karena bertentangan dengan nash al-Qu’an
F. Alasan ulama yang menjadikannya sebagai hujjah
jumhur ulama berpendapat bahwa al maslahah al mursalah adalah
hujjah syara’ yang dipakai landasa penetapan hukum. kejadian
yang tidak ada hukumnya dalam nash, ijma’, qiyas atau
istihsan, maka ditetapkan hukum yang dituntut oleh
kemaslahatan umum.
alasan mereka dalam hal ini ada dua:
1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak
ada habisnya. maka seandainya hukum tidak ditetapkan
sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan hanya
berdasarkan syari’ saja, maka banyak kemaslahatan manusia
di berbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. tujuan
penetapan hukum itu antara lain menerapkan kemaslahatan
umat manusia.
2. orang yang mau meneliti penetapan hukum yang
dilakukan para sahabat nabi, tabi’in dan imam-imam
mujtahid mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum
yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum,
bukan karena ada saksi dianggap oleh syari’.
G. Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan al mashlahah al
mursalah
Sebagian ulama umat islam berpendapat bahwa kemaslahatan
umum itu tidak menjadi dasar penetapan hukum, meskipun tidak
18
ada saksi syara’ yang menyatakan dianggap atau tidaknya
kemaslahatan itu. mereka menggunakan dua alasan:
1. Syariat itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia,
baik dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang ditunukkan
oleh kias. Karena syari’ tidak akan membiarkan manusia dalam
kesia-siaan dan tidak membiarkan kemaslahatan yang manapun
tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk
kemaslahatan itu. jadi tidak ada kemaslahatan tanpa ada saksi
dari syar’I yang menunjukkan anggapannya. sedangkan
kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang
menunjukkan anggapannya. sedangkan kemaslahatan yang tidak
ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya, pada
hakikatnya adalah bukan kemaslahatan, melainkan kemaslahatan
semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.
2. penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah
membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para
pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa. sebagian bagi
mereka kadang-kadang dikalahkan oleh keinginan nafsunya dan
keinginan, sehingga mereka menghayalkan kerusakan sebagai
kemaslahatan. sedangkan kemaslahatan adalah suatu hal yang
relative, tergantung sudut pandang dan lingkungan. maka
penetapan hukum syari’at karena kemaslahatan umum berarti
membuka pintu kejelekan.
H. Mashlahah Mursalah sebagai Metode Ijtihad
Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan mashlahah al-
mu’tabarah, namun tidak menempatkannya sebagai dalil dan
metode yang berdiri sendiri. Ia digunakan karena adanya
19
petunjuk syara’ yang mengakuinya, baik secara langsung atau
tidak langsung. Pengakuan akan mashlahah dalam bentuk ini
sebagai metode ijtihad karena adanya petunjuk syara’
tersebut. Ia diamalkan dalam rangka pengamalan qiyas.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai
penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah
karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan
diterimanya mashlahah itu oleh syar’i baik secara langsung
maupun tidak langsung, karena sebagaimana disebutkan
diatas bahwa diamalkannya mashlahah itu oleh jumhur ulama
adalah karena adanya dukungan syar’i, meskipun secara tidak
langsung. Digunakannya mashlahah itu bukan karena semata
ia adalah mashlahah, tetapi karena adanya dalil syara’ yang
mendukungnya.
Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad
dengan menggunakan mashlahah mursalah, diantaranya:
1. Mashlahah Mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan
bersifat umum, dalam arti dapet diterima oleh akal
sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi
manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara
utuh.
2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang
hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan
tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu
mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang
hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil
20
syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an
dan Sunah, maupun ijma’ ulama terdahulu.
4. Mashlahah Mursalah itu diamalkan dlaam kondisi yang
memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak
diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada
dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh
untuk menghindarkan umat dari kesulitan.
Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah
mursalah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’adz ibn
Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil al-ra’yi bila tidak
menemukan ayat Al-Qur’an dan Sunah Nabi untuk
menyelesaikan sebuah kasus hukum.
2. Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas
dikalanngan sahabat nabi tentang penggunaan mashlahah
mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima
bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan.
3. Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan
telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syar’i),
maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah
memenuhi tujuan syar’i. Meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya. Sebaliknya bila tidak digunakan
untuk menetapkan suatu kemshlahatan dalam kebijaksaaan
hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh
syar’i (Pembuat Hukum). Melalaikan tujuan syar’i adalah
suatu perbuatan yang batal.
4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum
tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka
21
akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah
sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan
menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat
al-Baqarah(2): 185 dan Nabi pun menghendaki umatnya
menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Kelompok ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai
metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang diantaranya
adalah:
1. Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang
membenarkannya atau yang di sebut mu’tabarah, maka ia
telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak
ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak
mungkin disebut sebagai suatu maslahah. Mengamalkan
sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui
akan kurang lengkapnya Al-Quran maupun Sunah Nabi. Hal
ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah
Nabi. Padahal Al-Quran dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa
Al-Quran dan Sunnah itu telah sempurna dan meliputi
semua hal.
2. Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan
tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan
hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan
menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim
dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan Al-Ghazali
untuk menggunakan istihsan dan maslahah mursalah
sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara
seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang
berat untuk penetapan hukum.
22
3. Menggunakan maslahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada
nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam
menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang
teraniaya atas nama hukum.
4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang
tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi
kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan
berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya
hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang
dengan orang lain.
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argumen
masing-masing ulama yang menerima dan yang menolak metode
maslahah mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada
perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima,
ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan
menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula
kelompok yang menolak, ternyata dasar penolaknya adalah
karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada
kesalahan jika sampai menetapkan hukum dengan sekehendak
hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya khehawatiran
ini dapat dihindarkan, umpamanya telah ditemukan garis
kesamaan dengan prinsip asal, mereka uga akan menggunakan
mashlahah mursalah dalam ber ijtihaj sebagaimana imam
asyafi’i sendiri melakukannya.
Selanjutnya terlihatbahwa ulama yang menggunakan
mashlahah mursalah itu menetapkan batas wilayah
penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah
ibadah, seperti muamalah dan adat.
23
1. Kesimpulan
Mashlahah al-Mursalah, yaitu yang mutlak menurut istilah
para ahli ilmu ushul fiqh ialah suatu kemaslahatan dimana
Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir
kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas
pengakuan atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak,
karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui atau dalil
yang membatalkannya.
2. Saran
Kami selaku pemakalah menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu saran dan
masukan dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam
penyempurnaan makalah ini.
25