ushul fiqih

26
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang menyebabkan kekaburan Istislah ini, yaitu : Pertama, Bahwasannya syari’at telah memelihara segala kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuknya berupa Qiyas. Kedua, Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Oleh karena itu dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan dan menjelaskannya secara mendetail. 2. Rumusan Masalah a. Apa yang dimaksud dengan Istislah al- mashlahah al- mursalah? b. Bagaimana hujjah Ulama tentang Istislah al- mashlahah al-mursalah? c. Apa-apa saja macam-macam Istislah al- mashlahah al- mursalah? 3. Tujuan Penulisan a. Menambah wawasan ilmu pengetahuan kita 1

Transcript of ushul fiqih

BAB I

PENDAHULUAN

1.            Latar Belakang

Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat

bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti

syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya

maupun pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar

pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang

menyebabkan kekaburan Istislah ini,

yaitu : Pertama, Bahwasannya syari’at telah memelihara

segala kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan

petunjuknya berupa Qiyas.

Kedua, Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan

kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang

yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan

para mufti. Oleh karena itu dalam makalah ini pemakalah

akan memaparkan dan menjelaskannya secara mendetail.

2.            Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan Istislah al- mashlahah al-

mursalah?

b.      Bagaimana hujjah Ulama tentang Istislah al- mashlahah

al-mursalah?

c.       Apa-apa saja macam-macam Istislah al- mashlahah al-

mursalah?

3.            Tujuan Penulisan

a.       Menambah wawasan ilmu pengetahuan kita

1

b.      Menyelesaikan tugas matakuliah yang telah diberikan

oleh Dosen

c.       Memahami al- mashlahah al-mursalah lebih mendalam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Mashlahah Al-Mursalah

Sebelum membahas tentang maslahah mursalah, terlebih dahulu

perlu dibahas lebih dahulu tentang maslahah, karena maslahah

mursalah merupakan salah satu bentuk dari maslahah. Maslahah

berasal dari kata shalaha dengan penambahan “alif” di awalnya

yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “ buruk”

atau “ rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalh yaitu

manfaat atau terlepas daripadanya kerusakan. (Syarifuddin,

Amir, 2011, hal. 345).

Pengertian maslahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-

perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam

artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat2

bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan

seperti menghasilkan keuntungan atau kesenengan ;atau dalam

arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan

atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung dua sisi, yaitu

menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau

menhindarkan kemudaratan.

Menurut Abdul wahhab al-khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul

Fikih ,

ل دل دل�ي��� ه��ا, ول�م ي���� ق� ي� حق� ارع ح�كم��ا ل�ت� �رع ال�ش�� �ش�� ي� ل�م ي�� ت� : ال�مص��لحة� ال��� ي/ن- ول�ي� ص��� طلأح الأ3 ي� اص��� ة� ,ف: ي� ال�مطلق��� لة� ا3 ال�مص��لحة� ال�مرس���ا. ل�غ: Fل ا و دل�ي� ار ا3 Gي ل اع�ت� دل�ي� Gد ي� ي� ق� ها ل�م ت�� ن�: ة� لأ3 ت� م�طلق� ها.وس�مي� ان�3 ل�غ: Fو ا اره�ا ا3 Gي رع�ي� ع�لي� اع�ت� �، )ش لأف: حة� 2003ح�: (74، ص�ف:

"Al- Maslahah Al Mursalah artinya mutlak (umum), menurut

istilah ulama ushul adalah kemaslahatan yang oleh syar’i tidak

dibuatkan hukum untuk mewujudkannya,tidak ada dalil syara’

yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Ia

disebut mutlak (umum) karena tidak dibatasi oleh bukti

dianggap atau bukti disia-siakan". Artinya bahwa penetapan

suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan

kemaslahatan umat manusia; yakni menarik suatu manfaat,

menolak bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia. Dan

bahwa kemaslahatan itu tidak terbatas bagian-bagiannya dan

tidak terbatas pada perorangan,akan tetapi kemaslahatan itu

seiring dengan kemajuan peradaban dan berkembang sesuai dengan

perkembangan lingkungan. (Khalaf, 2002, hal. 110)

Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh

al-manfa’at, baik artinya ataupun wajannya (timbangan kata),

yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-

3

shalah, seperti halnya lafazh al-manfaat sama artinya dengan

al-naf’u. (syafe'i, 2010, hal. 117)

Bisa juga dikatakan bahwa al-maslahah itu merupakan bentuk

tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih. Semuanya mengandung

arti adanya manfaat baik secara asal maupun melaui suatu

proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun

pencegaan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan

penyakit. Semua itu bisa dikatakan maslahah.

Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara aalah sifat

menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk

mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.

Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan

mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan deimikian, al- Maslahah

al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai

dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat

suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat, dan tidak ada

illah yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan hukum

kejadian tersebut, kemudian ditentukan sesuatu yang sesuai

dengan hukum syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan

pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat,

maka suatu kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-

Mursalah. Tujuan al-Maslahah al-Mursalah adalah kemaslahatan;

yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya.

Sedangkan alasan dikatakan al-Marsalahah al-Mursalah,

karena syara memutlakannya bahwa didalamnya tidak tersapat

kaidah syara yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.

B. Definisi Menurut Ulama Ushul

4

Menurut para ulama ushul. Sebagian ulama menggunakan istilah

al-Maslahah al-Mursalah itu dengan kata al-Munasib al-Mursal. Ada

pula yang meggunakan al-istishlah dan ada pula yang

menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah

tersebut walupun tampak sama memiliki sau tujuan, maing-

masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum

yang didirikan atas dasar maslahat dapat diinjau dari tiga

segi yaitu:

a. Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang

dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai

pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Akte

nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, akan

kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang

menunjukan pntingnya pembuatan akte nikah tersebut.

Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-maslahah

al-mursalah (maslahah yang terlepas dari dalil khusus),

tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at

Islam.

b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washaf

al-munasib) yng mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum

agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte

nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan

syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan

tetapi, sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil

khusus. Oleh karena itu, dari sisiini ia disebut al-

munasib al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang

terlepas dari dalil syara’ yang khusus).

5

c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah

yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini

penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah

satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut

istishlah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).

Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka

dipakai istilah al-Maslahah al-Mursalah. Istilah ini yang

paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang kedua, dipakai

istilah al-munasib al mursal. Istilah tersebut digunakan

oleh Ibnu Hajib dan Baidawi. Untuk segi yang ketiga dipakai

istilah al-istishlah, yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab

Al-Mustasyfa, atau dipakai istilah al-isti’dal al mursal.

Seperti yang dipakai Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat.

Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-

Maslahah al-Mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap

manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum,

namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau

menolaknya. Dibawah ini akan dbahas beberapa pandangan para

ulama tentang hakikat dan pengertian al-Maslahah al-Mursalah.

Menurut Abu Nur Zuhair, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu

sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui

atau tidaknya oleh syara’.

Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu maslahah yang

sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara

umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi

bukti diakui atau tidaknya.

Al-Ghazali menyatakan, setiap maslahah yang kembali

kepada pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari Al-

6

Quran, As-Sunnah dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari

ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui

metode qiyas, harus ada dalil asal (maqis alaih). Cara

mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah

dari beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari Al-quran,

sunnah, qarinah-qarinah maupun dari isyarat-isyarat. Oleh

sebab itu, cara penggalian maslahah seperti itu disebut al-

Maslahah al-Mursalah. Artinya, terlepas dari-dalil secara

khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa

dalil syara’.

Dari pernyataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan

bahwa al-Maslahah al-Mursalah (istishlah) menurut pandangannya

adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash

syara’ yang tidak merupkan dalil tambahan terhadap nash

syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’. Menurut

pandangannya, ia merupakan hujjah qath’iyyat selama

mengandung arti pemeliharan maksud syara’, walaupun dalam

penerapannya zhanni.

Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan apabila kita menafsirkan

maslahah dengan pemeliharaan maksud syara’ maka tidak ada

jalan bagi kita untuk berselisih dalam mengikutinya, bahkan

wajib meyakini bahwa maslahah seperti itu adalah hujjah

agama. Sekiranya dikatakan ada perbedaan pendapat dala hal

itu, perbedaan tersebut hanya merupakan pertentangan antara

satu maslahah dengan maslahah lainnya atau per tentangan

tujun syara’ dengan yang lainnya. Dalam halini, kita wajib

men-tarjih yang lebih kuat.

7

Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki

mengatakan bahwa al-Maslahah al-Mursalah adalah setiap prinsip

syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai

dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-

dalil syara’. Maka prinsip tesebut adalah sah sebagai dasar

hukum dan dapat dijadikan rujukan sepanjang ia telah manjadi

prinsip dan digunakan syara’ yang qath’i. Dari pengertian

yang dikemukakan Al-Syatibi tersebut bisa diambil kesimpulan

bahwa:

a. Al-Maslahah al-Mursalah menurut Asy-Syatibi adalah suatu

maslahah yang tidak ada nash tertentu, tetapi sesuai

dengan tindakan syara’.

b. Kesesuaian maslahah denga syara’ tidak diketahui dari

satu dalil dan tidak dari nash yang khusus, melainkan

dari beberapa dalil dan nash secara keseluruhan yang

menghasilkan hukum qath’I walaupun secara bagian-

bagiannya tidak menunjukkan qath’i.

Setelah dikemukakan beberapa pengertian al-Maslahah meneurut

beberapa ulama ushul, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat

al-Maslahah dlam syari’at Islam adalah setiap manfa’at yang

tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu’tabar

(diakui) atau tidaknya manfa’at itu.

Adapun al-Maslahah al-Mursalah menurut Imam Malik sebagaimana

hasil analisis Al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai

dengn tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang

berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat

dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder).

8

Penjelasan definisi-definisi di atas, juga menunjukkan

bahwa tidak semua yang mengandung unsure manfaat bisa

dikatakan Maslahah Mursalah, jika tidak termasuk maqashid asy-

syari’ah.

Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa al-Maslahah al-Mursalah

adaah segala sesuatu yang dilakukan oleh eorang Imam dalam

kekuasaannya, seperti keputusan seorang imam untuk

memerdekakan hamba sahaya, membunuhnya, dan membebaninya

tebusan dengan harta. Kebijakan-kebijakan tersebut telah

tercantum dalam nash Al-Quran dan As-Sunah.

Tidak juga dikatakan al-Maslahah al-Mursalah bila ada dua

kemaslahatan yang saling bertentangan dan masing-masing

mempunyai penguat atau pembatal. Hal tersebut tidak masuk

dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.

Selain itu, juga termasuk al-Maslahah al-Mursalah segala

kemaslahatan yang bertentangan dengan nash atau qiyas yang

sahih, baik pertentangannya secara umum maupun mutlaq.

Karena semua pertentangan tergadap keduanya terdapat penguat

untuk membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.

Namun demikian, al-Maslahah al-Mursalah itu jangan dipahami

tidak memiliki dalil untuk dijadikan sandarannya atau jauh

dari dalil-dalil pembatalna. Tapi harus dipahami bahwa al-

Maslahah al-Mursalah berdasarkan pada dalil yang terdapat pada

syara’, namun tidak dikhususkan terhadap al-Maslahah al-Mursalah

ini. bisa dikatakan melalui metode yang jauh, seperti

penjagaan terhadapa roh, akal dan keturunan.

Diantara contoh yang dapat dikatakan al-Maslahah al-Mursalah

adalah kemaslahatan daulah Islam dalam penjagaan harta

9

penduduk oleh tentara ketika membutuhkannya, atau ketika

adanya musuh, juga ketika tidak sedikitpun harta yang

dimiliki oleh Negara karena dibelanjakan untuk hal-hal yang

kurang bermanfaat. Kemaslahatan seperti itu tidak ada

penguatnya dan tidak pula ada dalil yang membatalkannya,

namun termasuk asalah satu dari maksud ketentuan syariat,

yakni menjaga agama.

C. Posisi Para Ulama dalam Al-Maslahah Al-Mursalah

2.1 Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para Ulama

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa masalah istishlah

merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan di

kalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat,

dinyatakan bahwa tidak sah mengambil masalah yang menggunakan

Al-Maslahah Al-Mursalah karena tidak ada dalil yang

mengisyaratkannya.

Diantara par aulama, tidak ada seorangpun yang menyangkal

pendapat diatas, kecuali imam malik. Di bawah ini akan di

terangkan pendapat beberapa ulama dalam kitab Ushul tentang

Al-Maslahah Al-Mursalah:

1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, “para ulama dari

golongan syafi’I, hanafi dll telah sepakat untuk tidak

berpegang kepada istislah, kecuali imam malik, dan diapun

tidak sependapat engan para pengikutnya. Para ulama

tersebut sepakat untuk tidak memakai istislah dalam

setiap kemaslahahan, kecuali dalam kemaslahatan yang

penting dan khusus secara Qath’i. mereka tidak

10

menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting,

tidak berlaku umum, serta tidak kuat.

2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu

disebut mursal. Akan tetapi jika gharib atau ada

pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat.

Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam Al-Ghazali

memakainya, dia menerimanya dari Asy Syafi’I dan Malik.

Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.

3. Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham,

berpendapat tentang adanya maslahah mursalah itu telah

diperdebatkan dikalangan ara ulama, yang dapat dibagi

dalam empat pendapat:

a. Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya

sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya.

b. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara

mutlak

c. Imam ASy Syafi’I dan para pembesar golongan hanafiyah

memakai Al-Maslahah Al-Mursalahdalam permasalahan yang

tidak dijumpai dasar hukumnya yang shahih. Namun mereka

mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang

shahih. Hal itu senada dengan pendapat Al-Juwaini.

d. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu

ada dalam tahap tahsin atau tajayyun (perbaikan),

tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas.

Adapun bila berada dalam martabat penting boleh

memakainya, tetapi harus memenuhi beberapa syarat.

Diapun berkata, jangan sampai para mujtahid menjauhi

untuk melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda

11

tentang derajat pertengahan: yakni martabat kebutuhan.

Dalam kitab Al-Mustasyfa, dia menolaknya, namun dalam

kitab Syafa’u al-Ghalil, dia menerimanya (Al-Mustasyfa,

I:141).

Dengan melihat beberapa pendapat ulama diatas

jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang menerima istishlah

secara mutlak.

a. Posisi Imam Abu Hanifa terhadap Al-Maslahah Al-

Mursalah

Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-

Tasyri’ Al-Islami hal 89: “Pendapat yang mashyur yang

tertulis dalam berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak

memakai istishlah dan tidak menganggapnya sebagai dalil

syara. Hal itu didasarkan pada berbagai tinjauan:

1. Para Ahli Fiqih Irak dalam mukaddimahnya berkata bahwa

hukum syara’ itu mengandung maksud kemaslahatan,

sehingga perlu mencari berbagai alasan untuk mencapai

kemaslahatan tersebut. Mereka menggunakan akal dan roh

nash sehingga banyak sekali membuat takwil-takwil yang

sesuai dengan akal mereka dengan maksud untuk mencari

kemaslahatan. Pendapat yang lebih jauh lagi bahwa para

pemimpin fiqh irak tidak menggunakan istishlah, seperti

Ibrahim An-Nakha’I, dia tidak menggunakan istishlah,

tetapi senantiasa berhujjaj untuk kemaslahatan. Mereka

termasuk yang mendahulukan qiyas dan menjaga

kemaslahatan.

2. Mereka hanya memakai istishsan dan tidak menggunakan

istishlah, dan menganggap bahwa istishlas itu bagian

12

dari istihsan yang bersandarkan pada adat, kepentingan,

dan kemaslahatan. Namun, bila mereka dikatakan

berhujjaj dengan istishlah, mereka tidak mengakuinya

dan hanya menganggap bahwa mereka telah berdalil dengan

istishan dan ‘urf.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para

ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath hukum dengan

cara istishlah yang sama artinya dengan istishan menurut

Imam Abu Hanifa.

Adapun penggunaan ‘urfkhususnya dikalangan Hanafiyah

lebih luas dibanding istishlah terhadap hal-hal yang

tidak ada nashnya. Hal ini tentunya bebas bagi tiap-tiap

daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai

kemaslahatan hidup mereka. Tak heran jika banyak hukum

yang didasarkan pada ‘urf menurut Hanafiyah sebenarnya

sama dengan istishlas menurut ulama lainnya.

D. Macam-macam Mashlahah

Sebagai mana dijelaskan diatas bahwa mashlahah dalam

artian syara’ bukan hanya disasarkan pada pertimbangan akal

dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat

mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi

lebih jauh lagi, yaitu bahwa yangdianggap baik oleh akal juga

harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,

yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan.

Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’

dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau

tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan

13

manusia, yaitu Agama, jiwa, Akal, keturunan, Harta. Juga dapat

dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupa

manusia kepada lima hal tersebut

1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan

hukum, maslahah ada tiga macam, yaitu : maslahah

dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan mashlahah tahnisiyah.

a. Mashlahah dharuriyah

Mashlahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang

keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan

manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punyaarti

apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima tersebut

tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin

atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut

adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena

itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi

pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau

tindakan yang secara langsung menuju pada atau

menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima

unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah

melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah

tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat

dharuri

b. Mashlahah hajiyah

Mashlahah hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat

kebutuhan hidup manusia kepadanya tidk berada pada

tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara

langsung bagi oemenuhan kebutuhan pokok yang lima

(dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah

14

sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi

pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Contoh mashlahah

hajiyah adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama;

makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk

sempurnanya akal; melakukan jual beli untuk mendapatkan

harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau mashlaha

dalam tingkat haji.

c. Mashlahah tahsiniyah

Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan

hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkatan dharuri,

juga tidak sampai tingkatan haji; namun kebutuhan

tersebut perlu perlu terpenuhi dalam rangka memberi

kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia Mashlahah

tahsiniyah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan

dengan lima kebutuhan pokok manusia.

Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara berurutan

menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang

kuat adalah mashlahah dharuriyah, kemudian dibawahnya

adalah mashlaha hajiyah dan yang berikutnya mashlahah

tahsiniyah.

2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik

oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan

hukum, mashlahah itu disebut juga dengan munasib atau

keserasian maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam

artian munasib itu dari segi pembuat hukum (syar’i)

memerhatikannya atau tidak, mashlahah terbagi menjadi

tiga macam,yaitu:

a. Mashlahah al mutabaroh

15

Yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syar’i.

Maksudnya, ada petunjuk dari syar’i, baik langsung

maupun tidak langsung,, yang memberikan penunjuk

pada adanya mashlahah yang menjadi alasan dalam

menetapkan hukum. Dari segi langsung tidak

langsungnya petunjuk ( dalil) terhadap mashlaha

tersebut, mashlahah dibagi menjadi dua:

1) Munasib mu’tasir, yaitu ada petunjuk langsung dari

pembuat hukum syar’i yang memrhatikan mashlahah

tersebut. Maksudnya, ada petunjuk syara’ dalam

bentuk nash atau ijma’ yang menetapkan bahwa

mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan

hukum. Contohnya dalil nash yang menunjuk langsung

kepada mashlahah, umpamanya tidak baiknya

mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan

haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut

mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan

atau penyakit.

2) Munasib mualim

Yaitu tidakada petunjuk langsung dari syara’ baik

dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian

syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara

tidak langsung ada.

b. Mashlahah al-Mulghah, atau mershlahah yang ditolak,

yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi

tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk

syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal

menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan

16

syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang

berbeda dengan apa yang dituntun oleh mashlahah itu.

c. Mashlahah al-Mursalah, atau yang juga biasa disebut

Istishlah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal

sejalan dengan tujuan syara’dalam menetapkan hukum;

namun tidak ada petunjuk syara’ yang

memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk

syara’ yang menolaknya.

E. Syarat-syarat berpegang kepada Mashalihul Mursalah

Para ulama yang menjadikan al Mashlahah al Mursalah sebaga

hujjah sangat berhati-hati dalam menggunakannya, sehingga

tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan

nafsu, oleh karena itu ada 3 syarat dalam berpegang teguh pada

Mashlahah Mursalah:

1. Mashlahat itu harus jelas dan pasti bukan hanya berdasarkan

kepada prasangka

Artinya, enetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-

benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya.

2. Mashlahat itu bersifat umum, bukan untk kepentingan pribadi

Artinya, penetaan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat

menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak

bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil

dari mereka.

3. hukum yang ditetapkan berdasarkan mashlahat itu

tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah

ditetapkan oleh nash atau ijma. Maka tidak syah menganggap

17

suatu kemaslahata yang menuntut persamaan hak waris antara

anak laki-laki dengan perempuan. kemaslahatan ini sia-sia

karena bertentangan dengan nash al-Qu’an

F. Alasan ulama yang menjadikannya sebagai hujjah

jumhur ulama berpendapat bahwa al maslahah al mursalah adalah

hujjah syara’ yang dipakai landasa penetapan hukum. kejadian

yang tidak ada hukumnya dalam nash, ijma’, qiyas atau

istihsan, maka ditetapkan hukum yang dituntut oleh

kemaslahatan umum.

alasan mereka dalam hal ini ada dua:

1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak

ada habisnya. maka seandainya hukum tidak ditetapkan

sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan hanya

berdasarkan syari’ saja, maka banyak kemaslahatan manusia

di berbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. tujuan

penetapan hukum itu antara lain menerapkan kemaslahatan

umat manusia.

2. orang yang mau meneliti penetapan hukum yang

dilakukan para sahabat nabi, tabi’in dan imam-imam

mujtahid mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum

yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum,

bukan karena ada saksi dianggap oleh syari’.

G. Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan al mashlahah al

mursalah

Sebagian ulama umat islam berpendapat bahwa kemaslahatan

umum itu tidak menjadi dasar penetapan hukum, meskipun tidak

18

ada saksi syara’ yang menyatakan dianggap atau tidaknya

kemaslahatan itu. mereka menggunakan dua alasan:

1. Syariat itu sudah mencakup seluruh kemaslahatan manusia,

baik dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang ditunukkan

oleh kias. Karena syari’ tidak akan membiarkan manusia dalam

kesia-siaan dan tidak membiarkan kemaslahatan yang manapun

tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk

kemaslahatan itu. jadi tidak ada kemaslahatan tanpa ada saksi

dari syar’I yang menunjukkan anggapannya. sedangkan

kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang

menunjukkan anggapannya. sedangkan kemaslahatan yang tidak

ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya, pada

hakikatnya adalah bukan kemaslahatan, melainkan kemaslahatan

semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.

2. penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah

membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para

pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa. sebagian bagi

mereka kadang-kadang dikalahkan oleh keinginan nafsunya dan

keinginan, sehingga mereka menghayalkan kerusakan sebagai

kemaslahatan. sedangkan kemaslahatan adalah suatu hal yang

relative, tergantung sudut pandang dan lingkungan. maka

penetapan hukum syari’at karena kemaslahatan umum berarti

membuka pintu kejelekan.

H. Mashlahah Mursalah sebagai Metode Ijtihad

Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan mashlahah al-

mu’tabarah, namun tidak menempatkannya sebagai dalil dan

metode yang berdiri sendiri. Ia digunakan karena adanya

19

petunjuk syara’ yang mengakuinya, baik secara langsung atau

tidak langsung. Pengakuan akan mashlahah dalam bentuk ini

sebagai metode ijtihad karena adanya petunjuk syara’

tersebut. Ia diamalkan dalam rangka pengamalan qiyas.

Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai

penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah

karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan

diterimanya mashlahah itu oleh syar’i baik secara langsung

maupun tidak langsung, karena sebagaimana disebutkan

diatas bahwa diamalkannya mashlahah itu oleh jumhur ulama

adalah karena adanya dukungan syar’i, meskipun secara tidak

langsung. Digunakannya mashlahah itu bukan karena semata

ia adalah mashlahah, tetapi karena adanya dalil syara’ yang

mendukungnya.

Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad

dengan menggunakan mashlahah mursalah, diantaranya:

1. Mashlahah Mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan

bersifat umum, dalam arti dapet diterima oleh akal

sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi

manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara

utuh.

2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang

hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan

tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu

mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.

3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang

hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam

menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil

20

syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an

dan Sunah, maupun ijma’ ulama terdahulu.

4. Mashlahah Mursalah itu diamalkan dlaam kondisi yang

memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak

diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada

dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh

untuk menghindarkan umat dari kesulitan.

Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah

mursalah, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’adz ibn

Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil al-ra’yi bila tidak

menemukan ayat Al-Qur’an dan Sunah Nabi untuk

menyelesaikan sebuah kasus hukum.

2. Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas

dikalanngan sahabat nabi tentang penggunaan mashlahah

mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima

bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan.

3. Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan

telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syar’i),

maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah

memenuhi tujuan syar’i. Meskipun tidak ada dalil khusus

yang mendukungnya. Sebaliknya bila tidak digunakan

untuk menetapkan suatu kemshlahatan dalam kebijaksaaan

hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh

syar’i (Pembuat Hukum). Melalaikan tujuan syar’i adalah

suatu perbuatan yang batal.

4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum

tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka

21

akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah

sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan

menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat

al-Baqarah(2): 185 dan Nabi pun menghendaki umatnya

menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.

Kelompok ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai

metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang diantaranya

adalah:

1. Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang

membenarkannya atau yang di sebut mu’tabarah, maka ia

telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak

ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak

mungkin disebut sebagai suatu maslahah. Mengamalkan

sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui

akan kurang lengkapnya Al-Quran maupun Sunah Nabi. Hal

ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah

Nabi. Padahal Al-Quran dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa

Al-Quran dan Sunnah itu telah sempurna dan meliputi

semua hal.

2. Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan

tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan

hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan

menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim

dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan Al-Ghazali

untuk menggunakan istihsan dan maslahah mursalah

sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara

seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang

berat untuk penetapan hukum.

22

3. Menggunakan maslahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada

nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam

menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang

teraniaya atas nama hukum.

4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang

tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi

kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan

berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya

hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang

dengan orang lain.

Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argumen

masing-masing ulama yang menerima dan yang menolak metode

maslahah mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada

perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima,

ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan

menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula

kelompok yang menolak, ternyata dasar penolaknya adalah

karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada

kesalahan jika sampai menetapkan hukum dengan sekehendak

hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya khehawatiran

ini dapat dihindarkan, umpamanya telah ditemukan garis

kesamaan dengan prinsip asal, mereka uga akan menggunakan

mashlahah mursalah dalam ber ijtihaj sebagaimana imam

asyafi’i sendiri melakukannya.

Selanjutnya terlihatbahwa ulama yang menggunakan

mashlahah mursalah itu menetapkan batas wilayah

penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah

ibadah, seperti muamalah dan adat.

23

BAB III

PENTUTUP

24

1.      Kesimpulan

Mashlahah al-Mursalah, yaitu yang mutlak menurut istilah

para ahli ilmu ushul fiqh ialah suatu kemaslahatan dimana

Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir

kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas

pengakuan atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak,

karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui atau dalil

yang membatalkannya.

2.      Saran

Kami selaku pemakalah menyadari masih banyak kekurangan

dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu saran dan

masukan dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam

penyempurnaan makalah ini.

25

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, A. w. (2002). Ilmu Ushul Fiikih . Jakarta: Pustka Amani.

syafe'i, r. (2010). ilmu ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. (2011). ushul fiqh 2. Jakarta: KENCANA.

, ع. ا. ) لأف: ة.(. 2003ح�: ق� ص�ول ال�ف: ي�bث�ع�لم ا3 . دار اح�د

26