FIQIH TRADISI.pdf - Institutional Repository of UIN SATU ...

275
9 786026 827036 >

Transcript of FIQIH TRADISI.pdf - Institutional Repository of UIN SATU ...

9 7 8 6 0 2 6 8 2 7 0 3 6 >

ISBN 602-6827-03-X

P e n d a h u l u a n

1

F i q i h T r a d i s i

2

P e n d a h u l u a n

3iii

F i q i h T r a d i s i

4

FIQIH TRADISIMenyibak Keragaman dalam Keberagamaan

Penulis:Kutbuddin Aibak

Desain sampul dan Tata letak:Kukuh Adi Prabowo

ISBN: 978-602-6827-03-6

Penerbit:KALIMEDIAPerum POLRI Gowok Blok D 3 No. 200Depok Sleman Yogyakartae-Mail: [email protected]. 082 220 149 510

Distributor oleh:KALIMEDIATelp. 0274 486 598E-mail: [email protected]

Cetakan, 1 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

iv

P e n d a h u l u a n

5

Agama Islam memiliki ajaran-ajaran yang universal,dimensi-dimensi ajarannya menitikberatkan pada sisi kese-imbangan, keselarasan dan keharmonisan serta kemaslahat-an. Dimensi keseimbangan ini dapat dilihat pada aspek dunia-akhirat, jasmani-rohani, individual-sosial, dan seterusnya. Padasisi lain, Islam juga memberikan kebebasan dan menghargaiperbedaan yang ada dalam keberagamaan.

Dalam bidang agama, Islam mengakui adanya pluralismekarena hal ini merupakan sunnatullah. Sehingga bagi masya-rakat beragama tentu harus mengedepankan nilai-nilai toleransidalam beragama, saling menghormati, dan tidak memaksa-kan kehendak orang lain, baik yang seagama maupun tidak.Dalam bidang ibadah memang tidak boleh ada kreativitas dancampur tangan manusia karena ibadah merupakan hak danotoritas Tuhan untuk menetapkannya, akan tetapi ketika adaperbedaan dalam praktik ibadah selama tidak keluar dariketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka sikap yangharus diutamakan adalah saling menghargai dan menghormati,bukan saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar.

KATA PENGANTAR

v

F i q i h T r a d i s i

6

Dalam bidang akidah, Islam benar-benar menekankankemurnian dalam isi dan prosesnya. Karena akidah inilah yangmelahirkan bentuk pengabdian kepada Allah semata. Meski-pun begitu, hal yang lebih penting lagi adalah bahwa akidahharus berpengaruh ke dalam segala aktivitas yang dilakukanmanusia, sehingga berbagai aktivitas tersebut selalu bernilaiibadah dan menjadi amal shalih.

Selanjutnya dalam bidang sosial; bidang sosial ini meru-pakan bidang yang paling menonjol, karena seluruh ajaranIslam akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan sosial, kesejah-teraan manusia. Islam menjunjung tinggi nilai-nilai tolongmenolong, saling menasehati, kesetikawanan, egaliter (ke-samaan derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Sehinggaketinggian derajat manusia hanya diukur dengan ketaqwaan-nya, lain tidak.

Demikian juga dalam bidang ekonomi; kehidupan manu-sia harus seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan duniadan akhirat. Islam menolak kehidupan yang bercorak sekularis-tik, kehidupan yang memisahkan antara dunia dengan agama.Lebih lanjut, alam semesta sebagai ladang untuk mencari danmempertahankan kehidupan, karena itu harus dimanfaatkansebagaimana aturan yang telah ditetapkan Allah, bukan malahmelakukan eksploitasi besar-besaran terhadapnya. Termasukjuga dalam bidang pekerjaan; Islam memandang bahwa kerjasebagai ibadah kepada Allah. Kerja yang dikehendaki Islamadalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian kepadaAllah dan yang bermanfaat bagi orang lain. Kerja yang pro-fesional, kerja yang didukung ilmu pengetahuan, keahlian,pengalaman, kesungguhan, dan seterusnya.

vi

P e n d a h u l u a n

7

Atas dasar itu semua, maka kajian fiqih ibadah yang se-harusnya sarat dengan nilai-nilai dan dimensi-dimensi sosial,disinyalir telah jauh atau kering dari nilai-nilai tersebut —baikdalam pembelajaran maupun aplikasinya—, maka hal ini harussegera diakhiri. Karena ada titik jenuh yang dialami oleh ba-nyak orang (terutama kalangan mahasiswa) ketika merekahanya belajar tentang fiqih ibadah tanpa diperluas pembahas-annya dan dikaitkan dengan fenomena-fenomena atau per-soalan-persoalan sosial. Titik jenuh ini pada akhirnya berefekpada kemalasan dalam belajar dan mengkaji secara lebih men-dalam atas tema-tema yang ada dalam fiqih ibadah. Di sisilain, dalam bidang sosial keagamaan seringkali apa yang dilaku-kan oleh masyarakat muslim lebih pada formalitas dan rutini-tas belaka, sehingga nilai-nilai sosial yang hakiki dan harusdikedepankan dalam upaya membangun moralitas masya-rakat belum bisa diraih. Sehingga pada hal-hal tertentu, ger-sangnya nilai-nilai sosial itu berakibat pada ketidakseimbang-an interaksi manusia dengan alam (baca: musibah/bencana).

Lebih tampak atas gersangnya nilai-nilai sosial dan moralitu bisa disaksikan dalam berbagai tradisi masyarakat Islam(Jawa). Mulai dari tradisi yang sangat kental dengan praktikibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji dalam berbagaimomentumnya; sampai dengan tradisi yang kental denganunsur-unsur kejawen yang berwujud pada berbagai macam sla-metan.

Oleh karena itu, kehadiran buku ini dirasa cukup pentingbagi mereka yang ingin mengkaji lebih mendalam tentangfiqih ibadah —baik ibadah mahdhah, ibadah sosial, lingkung-an maupun ibadah yang telah berwujud pada sebuah tradisi—yang dikaitkan dengan dimensi-dimensi sosial keagamaan

vii

F i q i h T r a d i s i

8

yang sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Meskipuntidak bisa dipungkiri bahwa buku ini merupakan kumpulandari berbagai artikel yang telah diterbitkan media massa(koran dan jurnal), dan tema-temanya pun juga berbeda-beda,termasuk adanya pengulangan uraian dalam beberapa tema;tetapi lebih dari itu, dan yang lebih penting adalah bagaimanapembaca dapat memahami ide dasar dari semua tematersebut. Bahwa semua aspek kehidupan ini tidak akanpernah jauh dan kering dari nilai-nilai atau dimensi-dimensisosial, bahkan ibadah mahdhah sekalipun. Meskipun padakenyataannya, nilai-nilai dan dimensi-dimensi inilah yangseringkali terlupakan dan sengaja dilupakan.

Keberhasilan dalam penulisan buku ini tentu tidakdapat dielakkan karena dukungan dari berbagai pihak, mulaidari jajaran pimpinan IAIN Tulungagung sampai para kolegadi Jurusan Syariah, atas semuanya disampaikan banyakterima kasih. Secara lebih khusus kepada kedua orang tuapenulis, Kusnan-Mardliyah, semoga amal shaleh beliauberdua diterima Allah Swt.; istri yang tercinta, Rina Mardia,terima kasih atas semua perhatian dan pengorbanannya; danbuah hati yang pertama dan kedua, Scientia Tazkiyatun NadaAuliya (Cinta), dan Loubba Nadja Ayback el Fairuza (IbexJunior), semoga kalian berdua bisa ‘membaca’ kebaikan-kebaikan yang ada pada ayah, dan mengambil hikmah atashal yang tidak baik. Demikian juga kepada saudara kandungpenulis, Alfan Fansyuri dan Iva Ikmalah, terima kasih atassemuanya, semoga Allah membalas kebaikan-kebaikanmereka semua dengan balasan yang berlipat ganda.Last but notless, tentu saja kepada penerbit kalimedia Yogyakarta yang telahmenerbitkan buku ini, sehingga menjadi buku yang layak

viii

P e n d a h u l u a n

9

dibaca dan dikaji oleh para pemerhati di bidang ini. Akhir-nya, kritik dan saran dari para pembaca akan penulis terimadengan tangan terbuka dan lapang dada. Semoga kehadiranbuku ini bisa mengurangi kepenatan dan kejenuhan yangselama ini terjadi.

Penulisback_ayback

ix

F i q i h T r a d i s i

10

P e n d a h u l u a n

11

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS vDAFTAR ISI xi

Bagian PertamaPendahuluan 1

Bagian KeduaFiqh Thaharah Orang Awam 13

- Bersuci dari Hadats/Najis 15- Wudlu, Mandi dan Tayammum 31

Bagian KetigaFiqh Ibadah Masyarakat Awam 41

- Syahadat Sebagai Pondasi Keislaman 43- Shalat: Ragam Perbedaan dalam Praktek 51- Zakat: antara Ibadah Sosial dan Religius 67- Puasa: antara Nilai-nilai Teologis dan Sosial-Religius 79- Haji: antara Ibadah dan Ambisi Pribadi 101

Bagian KeempatFiqh Sosial Kaum Muslim 111

- Problema Nikah Sirri 113

xi

F i q i h T r a d i s i

12

- Pornografi dan Pornoaksi sebagai Virus Peradaban 119- Lembaga Pemasyarakatan: antara Proses Rehabilitasi

dan Fitrah Kehidupan Manusia 127- Moral Hukum: Aspek yang Terlupakan 133- Teroris Intelektual 139- Penyakit Akut Masyarakat 145- Khutbah Jum’at: antara Pesan Sosial-Religius dan

Pengantar Tidur 151- Kurban: Puncak Pengabdian 155- Membangun Moralitas Masyarakat 159

Bagian Kelima

Fiqh Lingkungan Masyarakat Pinggiran 163- Alam Juga ‘Manusia’ 165- Alam, Interaksi yang Sering Terlupakan 169- Bencana: Bukan Musibah Tetapi Kecerobohan 179- Bencana: Akibat Dosa Sosial Kita 185- Teologi Lingkungan dan Upaya Meminimalisasi

Bencana 191

Bagian Keenam

Fiqh Tradisi ‘Wong nDeso’ 197- Tradisi Megengan: Sebuah Fenomena Pergeseran

Tradisi 199- ‘Tamu Agung’ yang Kurang di-Agung-kan 221- Memperingati Nuzulul Quran: Mengurai Pesan

Penting Nuzulul Qur’an 227- Idul Fitri: Tergusurnya Nilai-nilai Silaturrahim 233- Piala Dunia = Perjudian Dunia 237- Habis Sidak, Kembali Lagi? 243- Agenda Mendesak Pasca Pilkades 249

SUMBER BACAAN 255BIOGRAFI PENULIS 261

xii

P e n d a h u l u a n

13

P E N D A H U L U A NB a g i a n P e r t a m a

F i q i h T r a d i s i

14

P e n d a h u l u a n

15

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa me-miliki sekian banyak tradisi atau kebiasaan yang hampirdapat dipastikan antara satu daerah dengan daerah lain me-miliki perbedaan, dan sekaligus menjadi ciri khas atau karak-teristik masing-masing daerah. Masyarakat Muslim Jawamisalnya, sebagai komunitas yang terbesar dari seluruh pen-duduk Indonesia, memiliki kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi yang unik dan berbeda. Perbedaan tradisi yang dimilikioleh masyarakat muslim Jawa tersebut tidak hanya berkaitandengan kehidupan sosial tetapi juga dalam hal kehidupankeberagamaan.

Dalam konteks kehidupan keberagamaan ini, kita bisamenyaksikan adanya sekian banyak perbedaan yang terdapatpada masyarakat muslim Jawa dalam melakukan ritual ke-agamaan khususnya, mulai dari ritual keagamaan (ibadah)yang wajib, sunnah maupun yang masih diperdebatkan statushukumnya. Perbedaan ini terjadi antara lain dikarenakan olehlatar belakang kultur sosial masyarakat muslim yang berbeda,

PENDAHULUAN

1

F i q i h T r a d i s i

16

adat kebiasaan masyarakat tersebut dalam mengapresiasikanajaran agama, maupun adanya perbedaan keyakinan darimasing-masing individu atau golongan/kelompok keagamaan.

Atas kenyataan itu, sebenarnya ada hal yang sangat pen-ting yang mesti dikedepankan oleh semua orang atau golong-an. Rasa kebersamaan inilah yang mesti dinomorsatukan diatas perbedaan-perbedaan itu. Seberapa pun perbedaan yangada, sebanyak apa pun perbedaan itu, rasa kebersamaan, soli-daritas sosial harus selalu dikedepankan. Perbedaan-perbeda-an itu jangan sampai dan jangan dijadikan sebagai benih-benihkonflik atau permusuhan dalam kehidupan beragama danbermasyarakat. Walaupun memang dalam kenyataannya, halitu masih sangat sulit diwujudkan. Kadang-kadang kebersama-an itu terkoyak oleh suatu perbedaan yang kecil dan sepele.Sungguh, suatu hal yang sangat disayangkan.

Oleh karena itu, dalam hal ini perlu ditegaskan bahwadalam hidup dan kehidupan manusia terdapat semacaminteraksi yang tidak bisa ditiadakan dan ditinggalkan. Inter-aksi yang dimaksud adalah bahwa antara manusia yang satudengan manusia lainnya harus saling menjalin hubungan atauinteraksi, baik secara individual maupun kelompok. Karenamanusia tidak akan pernah diakui kemanusiaannya, apabiladalam hidupnya tidak pernah menjalin hubungan dengan se-samanya. Keharusan menjalin hubungan atau interaksi antarasesama manusia merupakan fitrah kemanusiaan. Apabilamanusia meniadakan interaksi ini, berarti manusia tersebuttelah kehilangan kemanusiaannya dan telah kehilanganfitrahnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia memang dituntut untukmenjalin hubungan dengan manusia lainnya. Akan tetapi proses

viii2

P e n d a h u l u a n

17

interaksi ini bukanlah merupakan sesuatu yang mudah. Karenapada kenyataannya dalam interaksi ini manusia dihadapkanpada banyak persoalan, baik persoalan yang ada dalam dirinyasendiri (intern) maupun persoalan yang ada di luarnya (ekstern),baik manusia lainnya maupun lingkungan. Adakalanya per-soalan (faktor-faktor) itu mendukung proses interaksi manusia,adakalanya juga merupakan penghambat atau penghalang.Pada persoalan (faktor) yang mendukung interaksi manusia,merupakan suatu hal tidak perlu dipersoalkan, karena inter-aksi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi padapersoalan (faktor) yang menghambat atau menghalangi inter-aksi ini yang perlu mendapatkan perhatian secara lebih, lebihdari sekedar interaksi biasanya. Pada faktor yang kedua inidibutuhkan proses pemikiran yang lebih, agar proses inter-aksi yang dilakukan berjalan dengan baik, bukan malah sebalik-nya.

Interaksi sesama manusia ini merupakan fitrah dansunnatullah, sekaligus merupakan salah satu hubungan yangharus dijalin oleh manusia diantara hubungan-hubungan lain-nya. Karena ada tiga macam hubungan/interaksi yang harusdijalin dan dijaga oleh manusia yaitu hubungan dengan Tuhan-nya (habl min Allâh), sesamanya (habl min an-nâs), dan denganalam (habl min al-‘alam). Ketiga macam hubungan ini memilikisisi urgensi yang sama, artinya antara hubungan pertama,kedua, dan ketiga merupakan hubungan yang harus dilaku-kan oleh manusia secara seimbang (balance) dan harmonis.Sikap dan hubungan yang melebihkan salah satu hubungandiantara ketiga hubungan tersebut, merupakan sikap yangakan dapat membawa manusia pada posisi dan keadaan yangkurang harmonis. Apalagi jika sikap yang ditunjukkan adalah

ix3

F i q i h T r a d i s i

18

sikap yang bertentangan, tentu tiada keharmonisan dalamhidup.

Pertama, menjalin dan menjaga hubungan dengan Tuhan(habl min Allâh). Pada kenyataannya merupakan hubunganyang harus dijalin dan dijaga antara yang diciptakan (makhluk)dengan Penciptanya (khaliq). Bagi umat yang beragama, apapun agamanya dan mempunyai kepercayaan/keyakinan bahwaada Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam semesta,maka dapat dipastikan kemungkinan besar dia akan menjalinhubungan itu, tanpa harus mendapakan tekanan-tekanan. Se-baliknya, kalau ada manusia yang tidak beragama dan tidakmengakui adanya Tuhan, maka tentu juga dapat dipastikanbahwa mereka tidak akan pernah menjalin hubungan denganTuhan, karena mereka tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Walau-pun mendapat ‘tekanan-tekanan’ dari manapun, dia tidak akanpernah percaya, kecuali apabila pada suatu waktu dia men-dapatkan semacam petunjuk dari Sang Pencipta, Tuhan.

Dalam proses interaksi dengan Tuhan ini, tidak ada tujuanyang ingin dicapai oleh manusia kecuali keharmonisan hu-bungan dengan-Nya. Dalam rangka keharmonisan hubunganini, pada akhirnya Tuhan memberikan atau menurunkan atur-an-aturan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh manusia.Keharmonisan hubungan dengan Tuhan sebagai penciptamanusia itu akan berjalan dengan baik dan lurus, apabila ma-nusia mengetahui, mengerti dan melaksanakan aturan-aturanyang telah ditetapkan oleh Tuhan, serta menjadikan aturan-aturan itu sebagai pedoman dalam setiap perilakunya. Hal inimemang harus demikian, karena tanpa manusia mentaati atur-an-aturan (wahyu, kitab suci) yang dibuat oleh Tuhan, makatentu ketidakharmonisan (disharmonisasi) hidup manusia

viii4

P e n d a h u l u a n

19

akan terjadi. Manusia akan mengalami berbagai kegoncang-an, ketidakpastian dalam menapaki hidup dan kehidupan-nya, karena dia lari dari jalan yang telah ditunjukkan Pencipta-nya. Dalam Islam, aturan-aturan itu telah diturunkan kepadaMuhammad Rasulullah Saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir,yang berwujud wahyu al-Qur’an dan Hadits/Sunnah Rasul-ullah sebagai pedoman/aturan pokoknya.

Kedua, menjalin dan menjaga hubungan dengan sesamamanusia (habl min an-nâs). Sebagaimana uraian di atas bahwamanusia adalah makhluk sosial; sebagai makhluk sosial keber-adaan manusia tidak bisa meniadakan manusia lainnya. Padahakekatnya, eksistensi manusia ikut ditentukan oleh manusialainnya, sehingga apabila manusia ingin diakui dan diper-hitungkan keberadaannya, maka dia harus berinteraksi denganmanusia lainnya. Ketiadaan interaksi yang dilakukan olehseseorang, akan menyebabkan dia terasingkan dan bahkan ter-kucilkan dari komunitas, masyarakat. Karena diakui atau tidak,dimensi sosial ini juga merupakan fitrah manusia, sunnatullah,yang harus dijaga dan dikembangkan dalam kehidupannya,baik bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Walaupunmungkin sedikit berbeda dengan interaksi dengan Tuhan,karena aturan-aturan dalam interaksi sesama manusia ini padaumumnya berasal dan dibuat serta disepakati dari dan olehmanusia sendiri.

Sebagaimana interaksi dengan Tuhan, interaksi sesamamanusia ini juga memiliki tujuan-tujuan tertentu. Secara umumtujuan interaksi sesama manusia adalah untuk menciptakankeharmonisan hubungan diantara mereka. Keharmonisanhubungan dalam berbagai hal dan berbagai bidang kehidup-an. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keharmonisan

ix5

F i q i h T r a d i s i

20

hubungan dengan sesama manusia, diperlukan adanya suatuaturan, norma-norma yang dapat menjadikan interaksi itu ber-jalan dengan harmonis. Aturan-aturan atau norma-norma itu,pada umumnya merupakan aturan atau norma yang dibuatdan desepakati oleh manusia sendiri. Setelah ada aturan ataunorma yang disepakati, kemudian dilaksanakan dalam kehi-dupan sehari-hari dengan berbagai konsekuensi logisnya. Kon-sekuensi logisnya adalah kalau aturan dan norma itu ditaati,maka akan tercipta keharmonisan interaksi diantara sesamamanusia; sebaliknya apabila ada pelanggaran maka akan dikena-kan sanksi. Lebih dari itu —dan mungkin ini yang terpenting—bagaimana aturan-aturan yang dibuat oleh manusia dalam rangkainteraksinya berpedoman dan mengambil pesan universal dariaturan-aturan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Tuhan.

Ketiga, menjalin dan menjaga hubungan dengan alam se-kitar (habl min al-‘alam). Sebagaimana dua interaksi sebelum-nya, interaksi yang ketiga ini merupakan interaksi yang tidakbisa dipisahkan dengan dua hubungan sebelumnya. Dalammenjalin hubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia,manusia membutuhkan tempat atau sarana, dan alam inilahtempat atau sarana yang dijadikan manusia untuk bisa men-jalin dua hubungan di atas. Tanpa adanya alam dan interaksiyang dijalin manusia dengannya, maka dapat dipastikan ma-nusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan Tuhan mau-pun dengan manusia. Walaupun pada kenyataannya, hubung-an dengan alam ini sering diabaikan dan tidak dihiraukan olehmanusia. Bahkan yang terjadi adalah ‘penjajahan’ atas alam,alam diciptakan untuk manusia dan harus patuh kepada ma-nusia. Padahal sebenarnya posisi dan eksistensi antara manu-sia dengan alam adalah sama, yaitu sama-sama makhluk Tuhan.

viii6

P e n d a h u l u a n

21

Dimana keduanya harus patuh dan tunduk kepada Pencipta-nya, Tuhan; bukan antara yang satu dengan yang lainnya salingmenguasai dan menang sendiri. Walaupun pada umumnya,memang inilah yang terjadi, penguasaan besar-besaran ma-nusia atas alam. Pada akhirnya alam ‘berontak’, ‘marah’ atasberbagai perilaku manusia terhadapnya, sehingga berbagaibencana alam dan musibah terjadi silih berganti. Mulai daribencana-bencana yang kecil sampai yang besar, gempa, banjirdan Tsunami.

Pada sisi lain, mungkin bisa dikatakan bahwa sebenar-nya alam tidak ‘marah’ atau ‘berontak’, tetapi sebenarnya alamsedang mengingatkan manusia atas berbagai perilaku negatif-nya, perilaku a-moral dan a-susilanya. Karena perilaku negatifmanusia telah keterlaluan dan melampaui batas-batas kemanu-siaan, dan karena pada kenyataannya, perilaku-perilaku negatifitu tidak ‘diam’. Maksudnya, perilaku-perilaku negatif yang di-pertontonkan manusia itu tidak berhenti di situ saja, bahwaketika perilaku negatif terjadi hanya manusia (seseorang) yangmelakukannya saja yang terkena imbasnya, akan tetapi perilakunegatif yang dilakukan seseorang itu berimbas pada sese-orang/manusia lainnya, ‘imbas sosial’. Perilaku negatif denganimbas sosial ini pada gilirannya akan dapat menyebabkan datang-nya peringatan dari Tuhan, Sang Pencipta alam. Walaupun ketikahal ini benar-benar terjadi, kenyataannya tidak sedikit dari ma-nusia yang tidak memperhatikan peringatan itu, mereka tetapmenunjukkan perilaku-perilaku negatif, baik dengan sesamamanusia maupun dengan alam, ekspolitasi besar-besaran ter-hadap alam. Seolah-olah ada dan tidaknya bencana itu tidakberpengaruh sama sekali terhadap keberadaannya. Oleh karenaitu, sebenarnya sebagaimana dua hubungan di atas, manusia

ix7

F i q i h T r a d i s i

22

dalam menjalin hubungan dengan alam ini juga harus meng-ikuti aturan-aturan yang terdapat dalam alam. Karena memangalam memiliki aturan, sunnatullah tersendiri yang harusdipahami oleh manusia dalam rangka menjalin hubungandengannya. Dan hanya dengan mengikuti aturan-aturan alaminilah hubungan atau interaksi manusia dengan alam itu bisaberjalan dengan baik dan harmonis. Bukankah alam jugamakhluk?

Hal yang terpenting dalam menjalin dan menjagahubungan dengan ketiga dimensi interaksi tersebut adalahbagaimana manusia mendudukkan semuanya dengan lan-dasan spiritual, ibadah. Dimensi ibadah harus diejawantah-kan dalam ketiga hubungan tersebut, hubungan manusiadengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan lebih-lebih hubungan manusia dengan Tuhannya. Hubungan atauinteraksi (ibadah) manusia dengan Tuhan memang dan harusdiniati ibadah, semata-mata menyembah kepada Tuhan,Allah SWT, lain tidak. Karena memang hanya dengan ibadah-lah manusia bisa menghadap, bertemu dan bercengkeramadengan Tuhan, walaupun tidak jarang hal ini juga dirasasangat sulit. Dikatakan sulit, karena pada kenyataannya, tidaksedikit dari kita sebagai umat yang beragama dalam men-jalankan ibadahnya selalu salah sasaran, kita beribadahkepada Allah tapi kita tidak ingat Allah, bahkan yang lebihparah lagi kita malah ingat dengan sesuatu atau hal-hal yangbersifat duniawi.

Hal —kesulitan— tersebut juga terjadi pada dua macamhubungan lainnya, yaitu hubungan manusia dengan manu-sia, dan manusia dengan alam. Sebagai manusia yang berimandan beragama, sudah semestinya dua hubungan (interaksi)

viii8

P e n d a h u l u a n

23

itu dilakukan dengan dilandasi nilai-nilai ilahiyah-ubudiyah.Nilai-nilai ilahiyah-ubudiyah adalah nilai-nilai yang dapatmenghantarkan kita kepada sikap dan keyakinan mengesa-kan Tuhan dan beribadah hanya kepada Tuhan, Allah SWT.Relasi dan interaksi yang dilakukan dalam kedua macamhubungan tersebut, seharusnya diniati ibadah, semata-matataat-patuh kepada Allah dan mengharap ridha-Nya, mewujud-kan aktivitas sehari-hari (duniawi) yang bernuansa dan ber-nilai ukhrawi. Namun demikian, nuansa-nilai ilahiyah-ubudiyahdalam kedua interaksi ini juga dirasa sangat sulit untuk di-laksanakan. Hal ini cukup beralasan, karena sebagaimana hu-bungan yang pertama, manusia dengan Tuhan sebagaihubungan yang utama, manusia atau seseorang masih merasasulit untuk menemukan kepuasan kekhusyu’an (ke-enjoy-an)dalam melakukan ibadah, apalagi dua hubungan lainnya, sesamamanusia dan alam. Kalau demikian adanya, maka yang lebihpenting adalah bagaimana kita terus dan terus berusaha untukmenemukan titik kepuasan itu dalam ketiga macam hubung-an tersebut. Proses inilah yang akan benar-benar berarti dihadapan Ilahi Rabbi, Allah Swt.

ix9

F i q i h T r a d i s i

24viii

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

25

BERSUCI DARI HADATS/NAJIS WUDLU, MANDI DAN TAYAMMUM

F I Q I H T H A H A R A HO R A N G A W A M

B a g i a n K e d u a

ix

F i q i h T r a d i s i

26viii

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

27

Dalam pembahasan fiqih, secara umum selalu diawalidengan uraian tentang thaharah. Secara khusus, dalam semuakitab atau buku fiqh ibadah selalu diawali dengan thaharah.Hal ini tidak lain karena thaharah (bersuci) mempunyai hubung-an yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah.Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya,dalam melaksanakan suatu amalan ibadah, seseorang harusterlebih dahulu berada dalam keadaan bersih lagi suci, baikdari hadas kecil maupun hadas besar, termasuk sarana dan pra-sarana yang digunakan dalam beribadah, mulai dari pakaian,tempat ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, thaharahdengan ibadah ibarat dua sisi mata uang, dimana antara satudengan lainnya tidak bisa saling meniadakan. Hal ini sebagai-mana tersurat dalam firman Allah Swt. surat al-Baqarah ayat222:

“Sesungguhnya Allah manyukai orang-orang yang taubat danmenyukai orang-orang yang menyucikan diri”.

Dalam hal ini Islam merupakan agama yang sangat mem-perhatikan dan lagi mementingkan kebersihan/kesucian, dan

IBERSUCI DARI HADAS/NAJIS

ix13

F i q i h T r a d i s i

28

memandang penting kebersihan/kesucian itu sebagai bagiandari iman. Kebersihan itu sebagian dari iman, sebagaimana dalamhadis Rasulullah saw: an-Nadhafatu minal iman (kebersihanitu sebagian dari iman).

Secara sepintas hadis tersebut mengandung makna yangcukup sempit, yaitu kebersihan yang hanya berkaitan dengankebersihan fisik yang harus dijaga, dan orang-orang yang mampumenjaga kebersihan ini adalah orang-orang yang beriman.Artinya, sebagai bagian dari tanda-tanda orang yang berimanadalah seorang mukmin selalu menjaga dan memelihara ke-bersihan. Padahal kalau dicermati lebih mendalam, hadis ter-sebut mempunyai makna yang cukup luas dan mendalam. Di-mana menjaga kebersihan dalam arti luas sangat dianjurkanoleh Islam. Kebersihan yang harus dijaga tidak hanya keber-sihan badan, pakaian, makanan, tempat atau pun lainnya; akantetapi dalam semua aspek kehidupan manusia, manusia yangberiman dan bertaqwa. Kebersihan dalam berbagai bidang ke-hidupan, baik sosial, politik, ekonomi, maupun bidang-bidanglainnya. Kebersihan yang menyeluruh, meliputi kebersihanjasmani maupun rohani, kebersihan materi dan immateri, per-kataan maupun perbuatan, dan kebersihan duniawi maupunukhrawi. Dan semuanya diarahkan dalam rangka ibadah, meng-gapai ridha Allah SWT, sehingga hanya orang-orang seperti itu-lah yang pantas untuk mendapatkan predikat mukmin, mukminyang sebenarnya.

Secara khusus, dalam pembahasan ini hanya akan di-bahas tentang kebersihan dalam kaitannya dengan perbuatanseseorang yang akan melakukan ibadah. Kebersihan atau ber-suci dalam perspektif fiqih adalah bersuci dari hadas maupunnajis. Bersuci dari hadas meliputi hadas kecil maupun hadas

viii14

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

29

besar; dan bersuci dari najis meliputi najis mukhaffafah, muta-wasithah maupun mughaladhah.

Sebagaimana uraian di atas bahwa Islam sangat memper-hatikan dan menjaga kebersihan/kesucian. Kebersihan/kesuci-an dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat urgen.Hal ini tercermin dalam sekian banyak ayat al-Qur’an maupunhadis Nabi Muhammad saw baik secara tersurat maupun tersirat.Karena dalam setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim,pada hakikatnya harus berada dalam keadaan suci, bersih/suci dari hadas kecil maupun hadas besar serta suci dari najis,baik najis ringan, najis sedang maupun berat.

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak akanpernah bisa melepaskan diri dari hadas, baik hadas kecil mau-pun hadas besar. Hadas kecil seperti buang air kecil (kencing),buang angin (kentut), buang air besar (berak) atau sesuatu yangkeluar dari dua lubang (qubul dan dubur) selain mani/darahhaid/nifas; sedangkan hadas besar seperti ihtilam (mimpi basah),mengeluarkan air mani, bersenggama, atau pun haid dan nifas.Hadas kecil maupun hadas besar tersebut harus dibersihkanatau disucikan, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Dan dalamIslam cara membersihkan hadas kecil maupun hadas besarmemiliki cara-cara tersendiri, dan sudah menjadi ketentuanbaku.

Hadas kecil misalnya, kita mungkin sering kali menyak-sikan atau secara tidak sengaja tahu ada orang yang kencingatau buang air kecil di sembarang tempat, di pinggir jalan ataudi bawah pohon-pohon atau di tempat lainnya. Lebih parah lagi,setelah mereka buang air kecil, ternyata tidak dibersihkan ataudisucikan. Padahal mereka tahu ada banyak tempat yang pantasuntuk buang air kecil atau berak, misalnya di toilet umumwalau-

15

F i q i h T r a d i s i

30

pun harus membayar atau mampir ke masjid untuk buang airkecil/berak di kamar mandi/wc yang ada dan itu gratis. Ataukalau tidak, seseorang bisa buang hajat di sungai, sehinggamereka bisa mensucikan hadasnya dengan air sungai. Walau-pun dalam kondisi tertentu kebersihan dan kesucian harustetap dijaga, dan dalam Islam terdapat cara lain untuk member-sihkan atau menyucikan hadas kecil tersebut, misalnya denganbenda keras/padat yang diusapkan pada qubul atau dubur.Hal demikian dilakukan apabila seseorang yang berhadas keciltidak menemukan atau mendapati air untuk mensucikannya.Dan dalam tenggang waktu yang lama atau sebentar, ketikaseseorang mendapati air maka ia dianjurkan (lebih baik) untukmensucikan kembali qubul dan dubur dengan air.

Contoh tersebut menunjukkan bahwa Islam benar-benarmemperhatikan kesucian/kebersihan. Di mana pun, kapan pun,dan dengan apa pun seorang muslim harus menjaga keber-sihan/kesucian, sehingga tidak ada alasan untuk tidak men-jaga kebersihan/kesucian ini. Dari aspek ini, dapat dimaknaidan ditunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sem-purna dan elastis. Hal ini sesuai dengan hadis di atas danbahkan menjadi ciri tersendiri bagi seseorang yang beriman.Kesucian atau kebersihan badan ini harus selalu dijaga, tidakhanya ketika akan melakukan ibadah, akan tetapi harus dijagasetiap saat, di mana pun dan kapan pun, khususnya pada setiapseseorang berada dalam kondisi berhadas. Sebagai sebuahanalog yang sederhana, seorang muslim tidak akan pernahmelakukan ibadah dalam keadaan berhadas. Kalau pun ada,maka ibadah yang dilakukan oleh seseorang itu dihukumi tidaksah. Hal tersebut juga terkait erat dengan hadis RasulullahSaw yang menyatakan bahwa sebagian siksa kubur itu diberi-

viii16

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

31

kan kepada orang-orang yang tidak menjaga kebersihan/kesucian. Artinya, orang muslim yang tidak menjaga kesuciandari hadas, misalnya buang air kecil, berarti dia berada dalamkeadaan najis.

Demikian juga dengan hadas besar; walau sedikit berbedadengan hadas kecil dalam prakteknya, tetapi memiliki ke-samaan urgensi dan tujuan yaitu menjaga kebersihan/kesuci-an. Selain berbeda wujud, bentuk maupun esensi hadas kecildan hadas besar; perbedaan itu juga terdapat pada prosespenyucian. Perbedaan proses penyucian antara penyucian hadaskecil dengan hadas besar tersebut terletak pada cara dan prak-teknya. Kalau hadas kecil dibersihkan dengan cara menyi-ramkan air pada tempat keluarnya hadas kecil sampai bersih,sedangkan hadas besar adalah dengan cara menyiramkan airke seluruh badan (mandi besar/jinabat).

Lebih dari itu perbedaan yang cukup signifikan dan men-dasar antara keduanya adalah niat. Kalau seseorang yang ber-hadas kecil tidak membutuhkan niat untuk membersihkan-nya, ketika dia tidak akan melakukan ibadah yang meng-haruskan wudlu terlebih dahulu; sedangkan seseorang yangmembersihkan atau menyucikan diri dari hadas besar yaitudengan mandi jinabat, dia harus berniat menghilangkan hadasbesar tersebut. Apabila seseorang melakukan mandi untukmenghilangkan hadas besar tidak berniat, maka dia belumbisa dikatakan suci dari hadas besar; dan tentunya dia harusmenghilangkan hadas besar itu lagi, mandi lagi dengan niatmenghilangkan hadas besar.

Selanjutnya, apabila seseorang yang melakukan mandibesar tidak berniat untuk menghilangkan hadas besar, makaselama dia belum mandi besar dengan niat itu berarti dia ber-

17

F i q i h T r a d i s i

32

ada dalam keadaan hadas, dan dia tidak dibenarkan melaku-kan ibadah-ibadah yang dilakukan orang dalam keadaan suci.Hal demikian tentu sangat tergantung dengan keyakinan atassuatu madzhab (fiqh) yang dianut oleh seseorang. Artinya,kalau uraian tersebut di atas merupakan aturan-aturan yangdipakai di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, maka tentu ataumungkin tidak sama dan akan berbeda dengan madzhab lain-nya, misalnya madzhab Hanafi, Maliki, atau madzhab Han-bali, sebagaimana dapat dilihat dalam perbedaan-perbedaanpraktek ibadah. Hal demikian dilakukan semata-mata untukikhtiyath, berhati-hati dalam setiap melakukan ibadah.

Persoalan lain yang hampir sama dan tidak dapat di-pisahkan dalam thaharah ini adalah pembahasan tentang najis.Dalam beberapa hal, antara hadas dengan najis tidak bisa salingmeniadakan, yaitu ketika seseorang dalam keadaan berhadaskecil maupun besar, maka seseorang itu berada dalam keada-an najis. Seperti segala sesuatu yang keluar dari qubul dandubur adalah najis dan orangnya berhadas, kecuali air manikarena tidak najis. Walaupun ada sedikit perbedaan, kalauhadas terkait dengan keberadaan seseorang secara langsung,sedangkan najis lebih luas lagi yaitu berkaitan dengan manu-sia dan segala sesuatu yang berada di luar manusia (hewanmaupun lainnya yang dipandang najis). Hadas hanya terjadiatas perbuatan manusia sendiri, sedangkan najis terjadi atasperbuatan manusia dan pihak lain, (kotoran) hewan misalnyayang mengenai manusia atau benda-benda lain yang kenanajis dan mengenai manusia.

Ada beberapa macam pembagian najis, yaitu najis mu-khaffafah, mutawasithah, dan muqhaladhah (Rasjid, 2006: 21-22). Najis mukhaffafah adalah najis yang ringan, najis yang

viii18

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

33

dalam penyuciannya dilakukan dengan proses yang sangatsederhana, yaitu cukup dengan menyiramkan air pada tempatyang terkena najis. Contoh klasik dari jenis najis mukhaffafahini misalnya air seni bayi laki-laki yang belum diberi makanapa-apa selain asi (air susu ibu), maka penyuciannya cukupdengan menyiram tempat atau sesuatu yang terkena air ken-cing tersebut dengan air tanpa harus digosok-gosok.

“Kencing kanak-kanak perempuan dibasuh, dan kecing kanak-kanaklaki-laki diperciki” (HR. Tirmidzi).

Najis mutawasithah yaitu najis yang masuk dalam kate-gori sedang; najis yang dalam proses penyuciannya tidaksesederhana pada najis mukhaffafah, melainkan membutuh-kan beberapa kali proses, yaitu menyiramkan air beberapa kalipada tempat yang terkena najis sampai wujud dan bau najisitu hilang. Proses penyucian jenis najis ini dilakukan denganmenyiramkan air beberapa kali pada tempat yang terkena najis,dan kadang-kadang juga membutuhkan alat penyuci lainnyaseperti detergen, sabun atau lainnya. Hal demikian dilakukantidak lain dalam rangka bersikap hati-hati, agar dengan ke-yakinan tertentu seseorang yakin bahwa najis itu telah hilangdan tempat (sesuatu) yang dibersihkan itu sudah menjadi suci.

Najis mutawasithah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitunajis hukmiah dan najis ‘ainiyah. Najis hukmiah adalah najisyang diyakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa danwarnanya. Najis hukmiah ini seperti kencing yang sudah lamakering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mensucikannajis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang

( )

19

F i q i h T r a d i s i

34

kena najis. Sedangkan najis ‘ainiyah adalah najis yang masihada zat, bau, rasa dan warnanya; kecuali warna atau bau yangsangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Caramensucikan najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat,bau, rasa dan warnanya.

Sampai di sini, kita tidak jarang menemukan seseorangatau sekelompok orang dalam suatu masyarakat —atau bahkanmungkin kita sendiri— yang menganggap bahwa sesuatu yangterkena najis itu tidak begitu bermasalah. Mereka menganggap—bahkan yang lebih parah menjadi sebuah keyakinan— bahwasesuatu yang terkena najis tidak perlu dibersihkan, apalagibila najisnya itu hanya sedikit (kecil). Dalam anggapan mereka,sesuatu yang kena najis, apabila najisnya sudah kering, makasesuatu (benda) yang terkena najis itu akan menjadi suci dengansendirinya tanpa harus dibersihkan. Apakah hal ini terkaitdengan najis mukhaffafah (ringan) atau mutawasithah (sedang).Hal (sikap) yang lebih fatal lagi apabila seseorang tidak meng-hiraukan atau menyamakan antara sesuatu yang terkena najisdan tidak.

Hal atau sikap tersebut dalam kondisi tertentu mungkinbisa jadi tidak begitu bermasalah dan tidak menjadi masalah,tetapi dalam kondisi yang lain akan menjadi masalah. Kondisiatau keadaan yang tidak bermasalah apabila sesuatu terkenanajis adalah kondisi atau keadaan dimana seseorang tidak akandan tidak sedang melakukan ibadah. Karena dalam hal ibadahdituntut dan diharuskan semuanya dalam keadaan suci danbersih, baik individu yang melakukan ibadah maupun saranaprasarana yang digunakan untuk beribadah dan sekaligustempat beribadah. Di luar ibadah, kalau kita mau mengambilsikap yang paling ekstrim adalah bahwa hal tersebut juga tidak

viii20

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

35

bermasalah dan tidak menjadi masalah. Tetapi yang menjadipertanyaan adalah apakah kita tidak malu apabila bergaulatau berhubungan dengan orang lain, karena sesuatu yang kitapakai itu terkena najis. Atau apakah dalam ber-syirkah (srawung)kita tidak menjaga, tidak mengindahkan dan tidak menghargaiorang lain. Karena bisa jadi orang lain merasa terganggu dengankehadiran kita yang terkena najis (kotor, jorok). Kalau demiki-an adanya, maka kita termasuk orang-orang yang tidak ber-perangai dengan perangai yang baik, kita termasuk orang-orang yang tidak memperhatikan kebersihan dan kesucian.

Lebih dari itu, sebenarnya apabila kita bisa lebih cermatdan teliti serta berhati-hati, permasalahan najis ini tidak hanyaberhenti pada asumsi tersebut. Tetapi terdapat hal yang pen-ting yang dalam hal ini perlu diperhatikan dan diindahkan.Hal penting tersebut adalah moral (etika: baik-buruk). Ketikasesuatu terkena najis, maka tentu sebagai orang yang bermoralakan dengan segera membersihkan najis tersebut, tidak me-nunda-nunda atau membiarkannya begitu saja. Sebagai orangyang beriman dan berakhlak, tentu kita akan merasa risihdengan sesuatu yang terkena najis, dan tentunya tidak akankita pakai serta sesegera mungkin untuk dibersihkan. Sebagaisebuah contoh kecil, sandal (alas kaki) yang terkena najis(kotoran ayam misalnya). Apabila sandal itu kita pakai, makayang merasa terganggu dengan bau anyirnya tidak hanyaorang lain tetapi kita sendiri juga merasa terganggu, sehinggaakan lebih baik jika sandal itu dibersihkan terlebih dahulu.Apalagi jika yang terkena najis itu adalah bagian dari pakaiankita, misalnya celana, baju atau bagian lainnya. Sehingga dalamhal ini yang perlu diperhatikan tidak hanya najis an sich tetapi

21

F i q i h T r a d i s i

36

juga aspek etika atau moral (bagaimana perasaan atau sikaporang lain).

Akan tetapi hal demikian —sebagaimana contoh di atas—pada kondisi tertentu tidak berlaku sebegitu ketat. Karena padakenyatannya apabila diperlakukan secara ketat, yang terjadimalah ketidakefisienan dan ketidakefektifan sebuah pekerjaan.Misalnya, seseorang yang sedang bekerja di peternakan, baikternak ayam petelur, sapi, kambing atau lainnya. Dalam kondisiseperti ini maka orang yang bekerja tidak diperbolehkan untukmencuci bagian-bagian yang terkena kotoran (najis) dengancara yang berkali-kali. Artinya setiap terkena kotoran langsungdicuci, kemudian ketika terkena kotoran lagi langsung dicucilagi. Tentu hal demikian malah menjadikan pekerjaannya tidaksegera selesai dan tertunda-tunda, serta dia juga akan dimarahioleh pemiliki ternak tersebut. Sehingga dalam kondisi yangdemikian, maka seseorang tidak dibenarkan untuk membersih-kan kotoran (najis) secara langsung. Melainkan ketika semuapekerjaan sudah selesai maka baru si pekerja tersebut member-sihkan semua bagian yang terkena kotoran. Oleh karena itu,dalam hal ini situasi dan kondisi juga harus menjadi dan dijadi-kan pertimbangan tersendiri oleh setiap orang. Kapan dan disaat apa kotoran (najis) itu harus sesegera mungkin dibersih-kan, dan kapan boleh ditunda pembersihannya.

Dalam hal kebersihan dan kesucian ini, sikap kejeliandan kehati-hatian perlu diperhatikan dan dikembangkan sertadikedepankan. Sikap yang meng-enteng-kan atau menganggapsepele segala sesuatu yang berkaitan dengan kebersihan ataukesucian merupakan sikap yang kurang baik. Dan apabila sikapseperti ini dibiarkan secara terus menerus maka ada kemung-kinan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.Apalagi

viii22

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

37

jika sikap yang demikian dilakukan dan terjadi pada saat sese-orang akan dan sedang beribadah. Dalam banyak hal memangajaran Islam tidak memberatkan dan tidak membebani sesuatudi atas kemampuan seseorang (pemeluknya). Namun demikianseseorang juga tidak dibenarkan bersikap seenaknya sendiri,semau gue, dalam mengindahkan dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Prinsip tidak memberatkan dan tidak membebanisesuatu di atas kemampuan seseorang tentu harus dipahamisecara proporsional.

Hal demikian, dalam pandangan penulis adalah meru-pakan persoalan yang cukup penting. Karena pada kenyataan-nya tidak sedikit dari anggota masyarakat kita yang kurangpaham dan tidak begitu peduli atas persoalan-persoalan yangterkait dengan kebersihan dan kesucian ini. Dalam pandang-an sementara orang, kebersihan/ kesucian ini tidak memilikisesuatu yang urgen, tidak memiliki nilai-nilai atau norma-normatertentu. Mereka menganggap bahwa kebersihan itu merupakansesuatu hal yang sepele, dan tidak ada sangkut pautnya denganibadah. Mereka hanya menjaga kebersihan (kesucian) ketikamelaksanakan ibadah saja, sehingga di luar ibadah (mahdhah)mereka tidak begitu memperdulikannya.

Kalau najis mukhaffafah (ringan) dan mutawasithah (sedang)merupakan bentuk atau macam najis yang sering kali kita jum-pai dan memang kebanyakan najis itu yang terjadi atau dialamioleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Maka agak sedi-kit berbeda dengan macam najis yang ketiga ini, yaitu najismughaladhah. Najis mughaladhah ini merupakan najis yang ter-golong berat. Tingkat beratnya najis ini bukan diukur dengancara ditimbang, bobotnya 10 kg atau 50 kg, bukan seperti itupemahamannya; tetapi memang ada jenis najis tertentu

23

F i q i h T r a d i s i

38

sehingga untuk membersihkan atau mensucikan najis ini di-perlukan cara-cara khusus yang harus dilaksanakan oleh sese-orang yang terkena najis mughaladhah. Dalam banyak bukufiqh, kategori najis berat ini selalu dicontohkan dengan najisyang terdapat pada anjing.

Dalam kehidupan bermasyarakat yang plural, kita tidakjarang menyaksikan ada anggota masyarakat yang memeliharaanjing misalnya.* Terlepas dari hal-hal yang baik yang ada padaanjing dan yang menjadi keinginan seseorang untuk memeli-hara anjing, misalnya untuk keamanan rumah dan sebagainya,sebenarnya hal yang perlu dipertimbangkan dan mungkin lebihpenting adalah kebersihan/kesucian. Artinya, apakah denganmemelihara anjing seseorang dapat terhindar dari najis, atausesuatu yang dimiliki oleh seseorang bisa terhindar dari anjing.Demikian juga apakah orang-orang sekitarnya akan dapatdipastikan terhindar dari najis yang disebabkan oleh anjing,

* Dalam hal ini perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadaphadis-hadis yang menerangkan anjing, apakah anjing memang meru-pakan salah satu binatang yang dapat membawa najis mughaladah(berat), karena dalam kenyataannya terdapat perbedaan di antara paraulama. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Khaled Abou El Fadl, bahwapandangan sebagain besar ulama tentang larangan memelihara anjingdi luar upaya perlindungan dan keamanan menurut dia adalah pan-dangan pra-modern. Oleh karena itu, perlu metodologi baru dalam me-mosisikan anjing di tengah umat Islam. Hemat dia, persoalan memeliharaanjing bukanlah semata-mata persoalan teologis, melainkan persoalanbudaya. Larangan memelihara anjing sesungguhnya lebih terkaitdengan budaya, bukan teologi. Dalam sebuah masyarakat yang mem-budayakan anjing sebagai salah satu hewan piaraan, maka tidak adasalahnya bila anjing diperkenankan sebagaimaa hewan lain, sepertianjing, burung, kucing, dan lain-lain. Di sini terlihat bahwa prinsip kese-taraan tidak semata-mata kesetaraan antara sesama manusia, tapi jugakesetaraan sesama makhluk lainnya sebagaimana hewan. Lihat JurnalPerspektif Progresif (2005: 16).

viii24

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

39

termasuk barang-barang atau sesuatu yang dimiliki oleh sese-orang, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Hal ini tidak bisadiingkari, karena pada kenyatannya, anjing ini telah diklaimsebagai hewan yang dapat menimbulkan najis berat. Apa danmengapa anjing ini dikatakan sebagai hewan yang dapat me-nimbulkan najis berat, apakah air liurnya saja yang najis atauseluruh anggota fisik anjing yang najis, saya kira dapat dibacadalam berbagai referensi fiqih, khususnya yang membahastentang thaharah dan najis.

Islam telah memberikan cara-cara tertentu untuk meng-hilangkan atau mensucikan najis mughaladhah. Dalam halini para ahli fiqih telah memberikan ‘aturan main’ yang harusdilaksanakan untuk mensucikan najis yang masuk dalam kate-gori berat ini. Aturan main yang telah kita pahami adalah ketikaseseorang atau sesuatu terkena najis berat maka cara mensuci-kannya dengan menggunakan air sebanyak 7 (tujuh) kali,salah satunya dicampur dengan tanah. Volume 7 kali ini yangmungkin terjadi perbedaan pendapat di kalangan masyarakatawam. Apakah pensucian sebanyak 7 kali itu menggunakantimba kecil atau besar, atau lainnya, atau cukup dengan gayungyang setiap kali digunakan untuk mandi. Terlepas dari perbeda-an yang ada, hemat penulis mungkin apa yang ada dalam suatukebiasaan (tradisi) masyarakat tertentu itu yang perlu diguna-kan. Artinya, dalam hal ini adalah rasionalitas masyarakat dalammensucikan sesuatu; ketika masyarakat menganggap bahwauntuk mensucikan najis berat cukup dengan menggunakangayung mandi, maka bisa jadi sudah cukup dan sesuatu yangterkena najis itu sudah suci. Akan tetapi apabila ada kebanyak-an anggota masyarakat yang menganggap bahwa untuk men-sucikan najis berat ini harus menggunakan timba, tidak cukup

25

F i q i h T r a d i s i

40

hanya dengan gayung misalnya, maka timbalah yang diguna-kan untuk menghitung volume air satu kali, sehingga kalaupensucian itu sebanyak 7 kali maka dibutuhkan 7 kali air dalamtimba yang salah satunya dicampur dengan tanah/debu.

Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam hadis NabiMuhammad saw. yang berbunyi:

“Cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing,hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampurdengan tanah” (HR. Muslim).

Secara individual, ketika sesuatu yang kita miliki ataudiri kita terkena anjing (air liur) memang sudah menjadi ke-harusan bagi kita untuk menyucikannya sesuai dengan aturanyang telah diberikan dalam Islam. Akan tetapi, sebagai seorangmuslim awam, tidak jarang kita lebih banyak mengabaikanproses penyucian itu, dengan dalih karena tidak mengetahuiatau tidak paham bagaimana cara penyucian yang harus di-lakukan. Lebih dari itu, secara sosial, jangan sampai kehidup-an bertetangga atau bermasyarakat menjadi retak dengan ter-jadinya konflik misalnya hanya karena anjing. Artinya, sebagaimakhluk sosial, kita diharapkan mampu menghargai tetanggakita yang memelihara anjing. Andai mereka termasuk orangIslam, maka akan lebih baik jika kita bisa memberi nasihat-nasihatdengan cara yang ma’ruf sehingga lambat laun mereka tidakmemelihara anjing lagi.

Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita harus selaluberusaha untuk menjaga kebersihan dan kesucian. Hal ini di-

( )

viii26

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

41

karenakan selain sebagai perintah Allah dan Rasul-Nya, jugamerupakan tindakan untuk menjaga kesehatan, baik kesehat-an lahir maupun batin. Jadi, Islam benar-benar memperhati-kan kebersihan dan kesucian, dan bahkan hal ini merupakansesuatu yang sangat penting.

27

F i q i h T r a d i s i

42viii

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

43

Agama Islam sangat memperhatikan kebersihan/kesuci-an, dan memandang penting kebersihan/kesucian itu sebagaibagian yang tidak terpisahkan dalam rentetan ibadah. Dalampelaksanaan suatu ibadah dibutuhkan adanya kebersihan/ke-sucian. Dan bahkan dalam beberapa aspek, ibadah itu adalahkebersihan atau kesucian itu sendiri. Artinya, ibadah yang benaradalah ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang telah men-jaga kebersihan dan mensucikan diri. Ibadah yang diterimaoleh Allah adalah ibadah yang sesuai dengan aturan ajaranIslam, karena dalam semua praktek ibadah pada kenyataan-nya didahului dengan berbagai macam praktek penyucian diri.Bahkan, penyucian diri ini tidak hanya terkait dengan hal-halyang bersifat fisik saja, tetapi psikis pun juga sangat dianjurkan.

Salah satu di antara praktek penyucian diri yang harusdilakukan oleh umat Islam dalam rangka beribadah kepadaAllah SWT adalah wudlu. Wudlu menempati posisi yang cukuppenting dalam semua praktek ibadah, dan bahkan menjadisalah satu syarat utama atas sah atau tidaknya suatu praktekibadah.

Dalam perkembangannya, wudlu sebagai wahana men-sucikan diri dari hadas kecil, dapat digantikan dengan praktek

IIWUDLU, MANDI DAN TAYAMUM

29

F i q i h T r a d i s i

44

penyucian lainnya yaitu ketika tidak didapatkan air. Karenawudlu memang sangat erat dan membutuhkan adanya air.Praktek penyucian lain yang dapat menggantikan wudlu ketikatidak ada air adalah tayamum, yaitu mensucikan diri denganmenggunakan debu yang bersih lagi suci (sha’îdan thayyiban).

Lain halnya ketika seseorang berada dalam kondisi ber-hadas besar, maka proses penyucian yang dilakukan bukanlagi dengan wudlu, melainkan dengan mandi besar atau mandijinabat. Dan dalam kenyataannya, mandi jinabat ini juga mem-butuhkan adanya air. Hal yang hampir sama juga terjadi padamandi jinabat ini, yaitu ketika tidak ada air, maka yang harusdilakukan seorang muslim dalam rangka menghilangkan hadasbesar bukan dengan cara bergulung-gulung dengan debu (tanah),melainkan cukup dengan tayamum sebagaimana tayamumsebagai pengganti wudlu.

Berkaitan dengan wudlu, mandi (jinabat) dan tayamumini, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 6yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakanshalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengansiku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan

viii30

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

45

kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jikakamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buangair (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memper-oleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidakhendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamudan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu ber-syukur.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, jelas bahwa bagi orang-orang yang beriman yang akan melakukan shalat diwajibkanuntuk berwudlu terlebih dahulu, dan bagi orang yang berhadasbesar dapat dihilangkan dengan mandi jinabat, serta ketikatidak terdapat air (setelah dilakukan berbagai cara untuk men-dapatkan air), maka wudlu atau mandi itu bisa diganti dengantayamum. Dalam hal ini Allah SWT menunjukkan bahwa syari’atIslam yang telah ditetapkan itu bukanlah merupakan sesuatuyang kaku (rigit), melainkan sangat fleksibel dan terdapatberbagai kemudahan dalam pelaksanaannya.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwaperintah wudlu ditujukan bagi siapa saja yang akan melakukanibadah kepada Allah SWT. Ibadah shalat wajib, shalat sunat,melakukan ibadah haji dan umrah dengan berbagai macamibadah yang terdapat di dalamnya, maupun ibadah-ibadah yanglainnya seperti mengaji al-Qur’an; semuanya diwajibkan untukmensucikan diri (berwudlu atau tayamum) terlebih dahulu.Perintah yang diwajibkan Allah SWT ini bukan mempunyai artisekadarnya begitu saja sebagaimana yang banyak dipahamiumat Islam sendiri, tetapi lebih dari itu perintah Allah ini mempu-nyai banyak hikmah yang seringkali belum bisa dipahami. Misal-nya dalam praktek wudlu, mengapa Allah menetapkan bahwa

31

F i q i h T r a d i s i

46

anggota atau bagian tubuh tertentu yang harus dibasuh dandiusap, yaitu wajah, kedua tangan sampai dengan siku, sebagi-an rambut kepala, dan kedua kaki sampai kedua mata kaki.Demikian juga dengan tayamum, mengapa hanya wajah dankedua tangan saja yang diusap, bukan sebagaimana wudluatau bukan anggota tubuh yang lainnya.

Ketika perintah wudlu ini ditelaah dan dikaji secara lebihmendalam, ternyata akan kita dapatkan berbagai rahasia besaryang tersimpan di dalam praktek wudlu tersebut. Terdapatberbagai hikmah yang ingin ditunjukkan oleh Allah kepadamanusia, orang-orang yang beriman, yang kadang-kadang kitabelum tahu apa hikmah di balik itu semua. Beberapa hikmahatau nilai-nilai yang tersimpan di balik praktek wudlu tersebutantara lain, bahwa ternyata kebanyakan perbuatan dosa ataumaksiat yang dilakukan oleh manusia adalah berasal atau ber-awal dari beberapa anggota tubuh tersebut, yaitu dari wajah,tangan, kaki, dan termasuk telinga.

Beberapa indera yang terdapat dalam wajah adalahmata, hidung dan mulut (lidah) yang sebagai sifat manusiawimanusia selalu berbuat maksiat. Anggota tubuh yang tidakketinggalan dalam perbuatan maksiat ini, adalah kedua tangandan kedua kaki. Meskipun perbuatan maksiat itu semuanyaberawal dari hawa nafsu, tetapi dalam pengejawantahannyamembutuhkan indera-indera tersebut.

Sebagai sebuah analog, hal ini tidak jauh berbeda dengan—dalam bidang— kesehatan. Manusia sebagai makhluk yangberdimensi jasmani dan rohani, dalam hidup dan kehidupan-nya tidak selamanya berada dalam kondisi yang sehat fisik mau-pun rohaninya. Kesehatan fisik seringkali terganggu denganberbagai macam penyakit (rasa sakit), misalnya sakit kepala,

32

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

47

panas dingin, influenza, sakit gigi, dan berbagai macam pe-nyakit yang lebih berat lainnya. Upaya penyembuhan yangdilakukan atas berbagai rasa sakit (penyakit) tersebut adalahdengan meminum obat-obat tertentu yang sesuai dengan jenispenyakit (sakit)nya dan mungkin juga dengan jalan disuntik(pada bagian pantatnya), bukan dengan cara menyembuhkanatau mengobati bagian anggota tubuh yang merasa sakit; misal-nya ketika sakit kepala, mengapa tidak kepalanya yang diobatiatau disuntik, tetapi malah meminum obat melalui mulut ataudisuntik bagian tubuh yang lain (pantat).

Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat para ulamafiqh dalam praktek wudlu dan berbagai hal yang membatal-kannya. Sebagaimana dapat ditunjukkan beberapa di antara-nya adalah bagaimana cara mengusap rambut, ada yang ber-pendapat semua rambut kepala yang harus diusap, dan adayang berpendapat cukup sebagian saja. Bagaimana membasuhatau mengusap kedua kaki, karena pada kenyataannya ayatyang berbunyi wa arjulakum dapat dibaca wa arjulikum (seba-gaimana dalam qira’ah sab’ah). Ketika dibaca wa arjulakum yangdi-‘athaf-kan kepada fa ighsilû, maka kedua kaki harus dibasuhdimana konotasi membasuh berarti air harus mengalir; lainhalnya ketika dibaca wa arjulikum, maka kedua kaki tidak lagidibasuh tetapi cukup diusap karena di-athaf-kan pada waimsahû bi ru’ûsikum.

Demikian juga dalam hal yang membatalkan, misalnyaaw lamastum al-nisâ’, ada ulama yang memberikan pemaham-an bahwa yang membatalkan wudlu itu adalah ketika bersen-tuhan kulit tanpa ada pembatas (atau sesuatu yang melin-dungi kulit) antara laki-laki dengan perempuan yang bukanmuhrimnya, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’iyah; ada

33

F i q i h T r a d i s i

48

juga yang memberikan hukum bahwa salah satu yang mem-batalkan wudlu itu bukan bersentuhan kulit lain jenis yangbukan muhrimnya tetapi aw lamastum al-nisâ’ itu diartikan hu-bungan suami isteri (jima’, bersetubuh) sebagaimana madzhabMalikiyah, sehingga sebagai konsekuensinya menyentuh kulitlain jenis yang bukan muhrim tidak membatalkan wudlu.

Dalam prakteknya, kita bisa melihat adanya perbedaandalam melaksanakan wudlu. Hal ini sudah menjadi sebuahkonsekuensi atas perbedaan yang telah terjadi dalam upayamemahami nash (al-Qur’an) sebagai dasar hukum pokok. Per-bedaan apa pun yang terjadi dalam praktek wudlu, mengusapsebagian rambut kepala atau mengusap seluruhnya, mem-basuh atau mengusap kedua kaki, sebagaimana kita saksikandalam kehidupan sehari-hari, maka yang paling penting danpokok adalah bukan perbedaan pada anggota-anggota badanyang harus dibasuh/diusap pada saat melaksanakan wudlu.Dengan kata lain, anggota-anggota badan tertentu mulai dariwajah, kedua tangan, rambut, telinga, dan kedua kaki yang harusdibasuh/diusap, maka harus diusap/dibasuh, bukan anggotabadan lainnya.

Lebih dari itu, dalam melaksanakan wudlu seorang Muslimharus benar-benar berhati-hati dan memperhatikan berbagaihal demi keabsahan wudlu tersebut. Rukun wudlu satu demisatu harus dilaksanakan secara berhati-hati dan sempurna. Mem-basuh atau mengusap anggota badan pada saat melaksanakanwudlu sudah dianggap cukup ketika hanya dibasuh/diusapsatu kali dengan catatan harus sempurna. Akan tetapi apabilatidak atau belum sempurna, maka harus disempurnakan sehinggakebanyakan umat Islam melaksanakan wudlu dengan mem-basuh atau mengusap lebih dari satu kali, tiga kali misalnya.

34

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

49

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seseorangyang melaksanakan wudlu antara lain adalah air yang telahdipakai berwudlu dan batasan-batasan anggota badan yangmenjadi rukun wudlu. Air yang dipakai untuk berwudlu harusair yang suci lagi mensucikan, bukan air musta’mal apalagiair kotor atau najis. Tata caranya adalah kalau air yang suci lagimensucikan itu ada dalam bak mandi maka airnya harus lebihdari dua kulah, bila kedua tangan sebagai alat pembasuh inginmengambil air secara langsung (tangan masuk ke dalam airbak mandi); karena kalau tidak demikian, maka air yang kurangdari dua kulah itu akan menjadi air yang musta’mal (air sucitetapi tidak dapat digunakan untuk mensucikan). Sebagai kon-sekuensinya, ada cara lain yaitu dengan menggunakan alatlain untuk mengambil air (seperti gayung). Atau jika air itu ber-ada pada tempat yang kecil (kendi, timba atau lainnya), makabisa dengan cara mengalirkannya. Dengan catatan, air yangtelah dipakai untuk mengusap atau membasuh jangan sampaijatuh ke air atau ke kedua telapak tangan yang akan membasuh/mengusap anggota wudlu lainnya. Karena kalau air itu jatuhke telapak tangan dan digunakan untuk membasuh/mengusap,maka air itu menjadi air musta’mal dan wudlunya juga tidak/belum sah.

Atas dasar uraian tersebut, kita mungkin tidak jarangmenemukan orang lain yang melaksanakan wudlu dengantanpa memperhatian beberapa hal sepele di atas. Kita mungkinsering menyaksikan orang yang berwudlu seolah-olah semau-nya sendiri, tidak memperhatikan air yang dipakai itu mus-ta’mal atau tidak. Demikian juga kita menyaksikan orang yangmelakukan wudlu dengan tanpa memperhatikan batas-batasanggota yang menjadi rukun wudlu, sehingga wudlunya menjadi

35

F i q i h T r a d i s i

50

kurang sempurna. Dan bahkan, hal-hal yang sepele tersebutakan dapat menjadikan wudlu kita tidak sah, karena belumsempurna dalam pelaksanaannya.

Oleh karena itu, wudlu harus dilaksanakan secara sem-purna, karena wudlu menjadi ‘kunci’ atas sah tidaknya ibadahseseorang. Hal ini tidak lain, karena pada kenyataannya semuaibadah, baik wajib maupun sunnah harus didahului denganwudlu untuk mensucikan diri dari hadas kecil. Ibadah shalatwajib atau sunnah, ibadah haji atau umrah, mengaji al-Qur’anatau ibadah-ibadah lainnya harus didahului dengan berwudlu.Dengan kata lain, orang yang akan melaksanakan suatu ibadahitu harus dalam keadaan suci, baik suci dari hadas kecil mau-pun besar. Untuk mensucikan diri dari hadas kecil, seseorangcukup dengan melaksanakan wudlu.

Terkait erat dengan praktek wudlu ini, seseorang yangmelaksanakan wudlu juga harus berniat bahwa ia melak-sanakan wudlu. Niat itu ada dalam hati, bukan dilafalkan ataudiucapkan dengan mulut. Artinya ketika seseorang mengucap-kan lafal niat wudlu maka itu bukan niat tetapi lafal (bunyi)niat, karena niat harus ada dalam hati. Dan niat berwudlu iniharus dilaksanakan pada saat membasuh anggota wudluyang pertama kali. Dengan kata lain, niat harus ‘dipasang’ padasaat membasuh muka atau wajah yang pertama kali. Akantetapi dalam pelaksanaannya boleh jadi ada perbedaan antaramadzhab yang satu dengan madzhab lainnya, tergantung kitadalam beribadah mengikuti madzhab siapa.

Niat menduduki posisi yang cukup penting dalam semuaibadah. Sebagaimana disinyalir dalam hadis Nabi saw:

36

F i q i h T h a h a r a h O r a n g A w a m

51

Sesungguhnya segala perbuatan yang dilaksanakan tergantungpada niatnya.

Mengapa dalam melaksanakan wudlu, seseorang harusberniat bahwa dia berwudlu? Lain dan tidak, karena padakenyataannya seseorang yang melakukan wudlu sama persisdengan orang yang mencuci muka atau membersihkan anggota-anggota badan dari kotoran. Orang lain tidak akan tahu, apa-kah seseorang itu berwudlu atau hanya membersihkan se-bagian anggota badan. Sehingga dalam hal ini, orang yangbenar-benar tahu bahwa dia sedang melakukan wudlu adalahpelaku/orang itu sendiri. Hal ini karena seseorang itu berniatmelakukan wudlu.

Hal yang tidak jauh berbeda dengan wudlu adalah mandi(mandi jinabat). Seseorang yang melakukan mandi jinabatsama persis dengan seseorang yang melakukan mandi biasa.Artinya apa yang dilakukan oleh orang yang mandi jinabatdengan mandi biasa sama saja, sama-sama membasuh seluruhbadan. Hal yang membedakan dalam praktek ini adalah niat,dan niat ini menduduki posisi yang cukup penting. Dengankata lain orang yang berhadas besar, maka cara mensucikan-nya adalah dengan mandi besar (jinabat), yang dalam praktek-nya seseorang harus berniat mandi jinabat pada saat air yangpertama kali diguyurkan atau dibasuhkan ke kepala.

Berkaitan dengan ini pula (niat), maka ketika seseorangyang berada dalam hadas kecil atau hadas besar tidak men-dapati air untuk mensucikannya, maka cukup dengan tayamum(mengusap wajah dan tangan), mensucikan hadas tersebutdengan debu yang besih/suci. Dalam prakteknya juga sama,yaitu bagi orang yang melakukan tayamum juga harus berniat

37

F i q i h T r a d i s i

52

dalam hati bahwa dia bertayamum untuk menghilangkan hadaskecil atau hadas besar.

Lain halnya dengan orang-orang yang tidak mau mem-perhatikan kesucian, yaitu orang-orang yang mungkin hanyamengaku-ngaku beragama Islam, Islam KTP, tetapi merekatidak mau melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Sehinggaketika mereka berada dalam kondisi berhadas kecil atau ber-hadas besar, mereka tidak mau tahu, tidak memperdulikan-nya. Dia mau shalat tidak berwudlu, demikian juga ketika ber-hadas besar juga tidak mau mandi jinabat. Walhasil, merekaadalah orang-orang yang perilakunya tidak jauh berbeda denganhewan/binatang, karena tidak dapat dan tidak mau membeda-kan antara suci dengan berhadas.

Demikianlah beberapa uraian yang dapat diketengah-kan, pada kenyataannya tampak dan jelas bahwa Islam sangatmemperhatikan kesucian dan kebenaran praktek ibadah yangdilakukan oleh para pengikutnya, umat Islam. Kesempurnaanseseorang dalam melakukan suatu praktek ibadah menjadikunci ke-maqbul-an (diterimanya) atas suatu ibadah itu sendiri.

38

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

53

SYAHADAT SEBAGAI PONDASI KEISLAMAN SHALAT: RAGAM PERBEDAAN DALAM PRAKTEK ZAKAT: ANTARA IBADAH SOSIAL DAN RELIGIUS PUASA: ANTARA NILAI-NILAI TEOLOGIS

DAN SOSIAL-RELIGIUS HAJI: ANTARA IBADAH DAN AMBISI PRIBADI

F I Q I H I B A D A HM A S Y A R A K A T A W A M

B a g i a n K e t i g a

F i q i h T r a d i s i

54

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

55

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sem-purna diantara sekian banyak ciptaan Tuhan lainnya. Manusiajuga dibekali dan diberi berbagai keistimewaan yang sekali-gus membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya. Sakingcintanya Tuhan kepada manusia, dan sebagai wujud cinta kasihsayang-Nya, Tuhan memberikan berbagai pedoman, ajaran dantuntutan hidup agar manusia selalu berada pada garis ataujalan yang benar, jalan yang mengarahkan manusia untuk se-lalu berada dalam kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam perkembangan sejarah klasik, kita temukan ber-bagai bentuk agama dan kepercayaan yang telah dianut olehmanusia. Mulai dari kepercayaan animisme, dinamisme sampaipolitheisme. Demikian juga dengan agama-agama samawi(seperti Yahudi, Nasroni, Islam) maupun ardhi (misalnya AgamaMesir Kuno, Majusi, Hindu, Budha, atau pun yang lainnya).Semuanya tidak lain adalah dalam rangka bagaimana manusiabisa menjalin hubungan dengan Tuhan. Bagaimana manusiabisa selalu mengadakan kontak batin dengan Tuhan. Walaupundalam kenyataannya, tidak bisa diingkari bahwa tidak sedikitdari mereka yang tidak percaya pada adanya Tuhan, mereka ini-lah yang disebut dengan golongan atheis.

ISYAHADAT SEBAGAI PONDASI

KEISLAMAN

F i q i h T r a d i s i

56

Kebutuhan manusia akan Tuhan itu pada perkembangan-nya berwujud dengan berbagai perilaku ritual ibadah, yangditujukan dalam rangka menghamba dan menyembah kepadaTuhan. Bagi agama-agama ardhi (agama-agama bumi yang di-ciptakan oleh manusia), ritual ibadah itu diciptakan sendiri olehmanusia dengan berbagai ajarannya. Ajaran-ajaran ini yangkemudian menjadi pegangan hidup bagi seluruh pemeluknya.Lain halnya dengan agama samawi (agama-agama yang berasaldari langit, Tuhan), ritual ibadah itu sudah mempunyai bentuktersendiri. Bentuk ritual ibadah agama samawi ini secara khusustelah ditetapkan oleh Tuhan bagi pemeluk-pemeluknya. Takayal kalau kemudian terdapat berbagai perbedaan antara agamaardhi dengan agama samawi, walaupun mempunyai tujuanakhir yang sama.

Secara khusus, agama Islam sebagai agama samawi mem-punyai ritual ibadah tersendiri, ritual ibadah yang lebih lengkapdan sempurna dibandingkan dengan ritual-ritual ibadah agama-agama samawi lainnya. Islam memiliki ajaran-ajaran, tuntun-an-tuntunan dalam berbagai bidang kehidupan, khususnyadalam pembahasan ini adalah ibadah. Ajaran-ajaran itu diturun-kan oleh Tuhan, Allah SWT, Dzat Yang Maha Esa dan Kuasakepada Nabi Muhammad Saw., sebagai Nabi dan Rasul yangterakhir. Ajaran-ajaran Allah tersebut kemudian disebarluas-kan oleh Rasulullah, Muhammad Saw. Dan orang-orang yangmenjadi pemeluk agama Islam ini disebut Muslim.

Orang-orang yang mempunyai agama selain Islam danorang-orang yang tidak beragama (atheis) tidak mempunyaikewajiban untuk melakukan aturan atau ajaran-ajaran yang di-bawa oleh Nabi Muhammad saw tersebut. Aturan-aturan atauajaran-ajaran Islam tersebut hanya berlaku bagi mereka yang

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

57

memeluk agama Islam, lain tidak. Oleh karena itu bagi siapasaja yang ingin masuk Islam, maka ada beberapa aturan atauajaran yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Mereka yangingin masuk Islam harus terlebih dahulu berikrar, bersaksi denganmengucapkan dua kalimat syahadat. Ikrar atau kesaksian iniharus diucapkan dengan sepenuh hati, dan tidak boleh setengah-setengah.

Dua kalimat syahadat itu berbunyi:

“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammadadalah utusan (Rasul) Allah”.

Dua kalimat tersebut merupakan kalimat yang wajib danharus diucapkan oleh semua orang non Islam yang akan masukdan memeluk agama Islam. Pada masa awal Islam, pelaksana-an pengucapan dua kalimat syahadat itu cukup sederhana, yaitusiapa saja yang akan masuk Islam bersyahadat, mengucapkandua kalimat syahadat tersebut di depan Nabi Muhammad saw.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terdapat pada agama-agama lain, agama-agama selain Islam. Artinya, agama-agamanon Islam juga mempunyai aturan-aturan tersendiri yang harusditaati oleh pengikut-pengikutnya. Demikian juga denganorang-orang yang akan masuk agama tersebut, bagi orang yangakan masuk dan menjadi pemeluk agama non Islam juga di-haruskan mengikuti aturan yang hampir mirip dengan syahadatdalam agama Islam. Agama Kristen misalnya, bagi orang yangakan menjadi pemeluk agama Kristen harus dibaptis terlebihdahulu. Karena dengan dibaptis inilah seseorang telah secararesmi menjadi pemeluk agama Kristen. Sebagai kon-

F i q i h T r a d i s i

58

sekuensinya, orang yang baru masuk agama tersebut juga harusberusaha untuk terus mengikut berbagai macam aturan danajaran yang telah ditetapkan.

Pada masa sekarang, proses pelaksanaan pengucapan duakalimat syahadat itu juga tidak jauh berbeda, yaitu diucapkandi depan seorang tokoh, ulama atau kiai, dan disaksikan olehbeberapa orang serta kemudian dicatat bahwa dia telah masukIslam dan resmi menjadi umat Islam (Muslim). Setelah itu,orang yang baru masuk Islam tersebut harus belajar sedikitdemi sedikit untuk memahami berbagai ajaran dan tuntunanagama Islam, baik dalam hal ibadah maupun aspek-aspek ke-hidupan lainnya. Walaupun demikian, maka ketika kita men-dapati seseorang yang masuk Islam dan sudah mengucapkanserta berikrar bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muham-mad adalah utusan Allah”; tetapi secara resmi tidak diucap-kan di depan seorang kiai atau ulama, maka dengan sendirinyaorang tersebut sebenarnya juga telah masuk Islam. Dan se-bagai konsekuensinya, dia harus mentaati dan melaksanakanberbagai aturan dan ajaran yang telah ditetapkan agama Islam.

Dalam hal ini perlu dipahami, bahwa pengucapan duakalimat syahadat itu bukan sekadar pengucapan belaka, akantetapi merupakan suatu totalitas diri, pengakuan secara totaldari seseorang yang masuk Islam atas Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan dimintai pertolong-an, dan Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah (utusan Allah)yang membawa risalah ketuhanan yang sempurna. Lebih dariitu, pengucapan dua kalimat syahadat ini menjadi titik pangkal,tonggak utama bagi orang-orang yang baru masuk Islam. Olehkarena itu, keinginan tulus seseorang yang masuk Islam harusbenar-benar dihargai, karena hal itu juga merupakan hak asasi

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

59

manusia. Bahkan sebagai muallaf, Islam mengharuskan kepadapengikutnya untuk memberikan perhatian yang lebih kepadamereka yang baru masuk Islam. Hal ini disebabkan oleh beber-apa hal, antara lain karena selain sebagai orang yang baru masukIslam yang kemungkinan keadaan hati atau pendiriannya masihlabil, perhatian Islam terhadap mereka juga berwujud atasberhaknya mereka mendapatkan bagian zakat dari orang-orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat.

Pada akhirnya, apapun bentuk perhatian yang diberikanIslam dan pengikutnya terhadap mereka yang baru masukIslam, jelas menunjukkan bahwa Islam benar-benar memberi-kan perhatian yang lebih terhadap mereka.

Fitrah ManusiaPada hakekatnya, semua manusia yang lahir telah mempu-

nyai fitrah yaitu fitrah ketuhanan. Fitrah ketuhanan yangtelah diberikan oleh Allah SWT sejak sebelum manusia lahir,yaitu ketika masih berada dalam kandungan. Fitrah ketuhan-an ini diberikan oleh Allah SWT dan dimiliki oleh siapa saja,baik anak yang dilahirkan oleh orang non Islam maupun anakyang dilahirkan oleh orang Islam itu sendiri, semuanya mempu-nyai fitrah tersebut. Fitrah ketuhanan yang secara lebih men-dasar sebenarnya tidak bisa dihilangkan dan dipungkiri begitusaja. Sebagaimana tersurat dalam surat al-A’râf [7] ayat 172:

Pada tahap perkembangannya, fitrah ketuhanan (ketauhid-an) tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktoryang mempengaruhi fitrah manusia tersebut merupakan segalasesuatu yang berada di sekitar manusia, baik lingkungan ke-

F i q i h T r a d i s i

60

luarga, masyarakat maupun faktor pendidikan pada umum-nya. Lingkungan merupakan faktor yang tidak bisa dipisah-kan dengan perkembangan fitrah manusia, karena lingkung-an dapat dikatakan sebagai faktor utama dalam proses pem-bentukan fitrah ketauhidan atau keagamaan manusia itu sendiri.Hal ini sangat nyata sekali, terbukti ketika sebuah keluargamenganut agama tertentu dan mempunyai anak, maka padaumumnya pasti anak itu juga akan ikut agama orang tuanya.Dengan kata lain, ketika agama orang tua itu Islam, maka sudahbarang tentu anaknya akan beragama Islam. Demikian jugaketika agama orang tua itu Nasrani, maka anak yang dilahirkandan setelah dewasa juga akan mengikuti agama orang tuanya,begitu seterusnya. Terlepas adanya fenomena yang menunjuk-kan ada satu dua orang yang keluar dari hukum umum ter-sebut, yaitu ada satu dua atau beberapa orang yang keluar dariagama tertentu dan masuk menjadi pemeluk agama lainnya,sebagai agama baru yang diyakininya.

Hal tersebut sesuai dengan hadis Rasulullah saw yangberbunyi:

“Setiap anak yang dilahirkan itu berada dalam keadaan fitrah(ketauhidan), ibu-bapaknyalah yang menjadikan ia bergama Yahudi,Nasrani dan Majusi”.

Hadis di atas menyatakan bahwa fitrah ketuhanan ataufitrah ketauhidan manusia sangat dipengaruhi oleh lingkung-an dimana ia berada. Artinya, fitrah ketauhidan itu akan terustumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh perkem-bangan lingkungan. Secara khusus, dalam hadis tersebut

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

61

dinyatakan bahwa orang tuanyalah yang mempunyai peng-aruh besar atas fitrah ketauhidan seorang anak. Orang tualahyang menjadikan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasranimaupun Majusi. Dengan kata lain, pada umumnya, apa punagama seorang anak sangat tergantung pada pendidikan ke-agamaan yang diberikan oleh orang tua.

Oleh karena itu, ketika agama yang dianut dalam suatukeluarga (orang tua) adalah agama Islam, maka dapat dipasti-kan bahwa anak-anaknya pun juga beragama Islam. Bahkananak-anak Islam tersebut tidak akan pernah secara formalmengucapkan ikrar atas dua kalimat syahadat tersebut, tidakpernah mengucapkan bahwa saya masuk Islam, asyhadu anlâ Ilâha illa Allâh wa asyhadu anna Muhammad Rasûl Allâh. Siapapun, baik dari kalangan keluarga priyayi atau dari keluarga awam,maka tidak akan pernah mengucapkan syahadat sebagaitanda bahwa dia masuk Islam. Hal ini terjadi karena secaraotomatis (alami), anak akan ikut dan menganut agama orangtuanya. Lebih dari itu, memang pada kenyataannya tidak adaaturan-aturan yang mengikat bahwa anak yang mengikuti agamaorang tuanya harus melalui prosedur atau aturan legal-formal.

Sebagai perbandingan, kita juga tidak akan pernah mene-mukan atau menjumpai bahwa anak-anak yang berasal darikeluarga yang beragama Kristen misalnya, akan melakukanhal yang demikian. Anak-anak orang yang beragama Kristenjuga tidak akan pernah dibaptis terlebih dahulu untuk kemudi-an dicatat sebagai orang yang beragama Kristen. Hal demiki-an kemungkinan juga terjadi pada agama-agama lain. Jadi,bagi anak-anak Islam tidak diperlukan lagi untuk mengucap-kan syahadat, sebagaimana hal demikian juga ditemukanpada anak-anak non Islam yang memeluk agama non Islam

F i q i h T r a d i s i

62

tersebut. Fenomena ini tidak berarti bahwa syahadat itu tidakperlu dan tidak penting. Akan tetapi hal yang lebih mendasardan yang perlu dipahami adalah bahwa pada dasarnya peng-ikraran atau pengucapakan dua kalimat syahadat itu, secarakhusus dan formal hanya diberlakukan bagi orang-orang yangbaru masuk Islam, orang-orang yang beragama non Islamyang kemudian masuk Islam.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

63

Islam merupakan agama yang memiliki aturan-aturandan ajaran-ajaran yang lengkap dan sempurna. Kelengkapandan kesempurnaan ajaran-ajarannya dapat dilihat dalamberbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek kehidupan yang men-jadi perhatian Islam tidak hanya aspek kehidupan yang ber-hubungan langsung dengan Allah SWT sebagai Dzat Penciptadan satu-satunya Dzat yang wajib disembah (habl min Allâh);akan tetapi aspek kehidupan itu juga meliputi hubungan sesamamanusia (habl min al-nâs) maupun hubungan dengan makhluklainnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan (habl min al-‘alam).

Dalam hubungan secara langsung dengan Allah, Islamtelah memberikan tata cara khusus yang harus dilakukan olehumat Islam. Tata cara yang mengatur hubungan langsung denganAllah secara khusus adalah shalat. Sebagai ibadah mahdhah,shalat merupakan satu-satunya ibadah langsung yang dapatmenjembatani hubungan batin manusia dengan Allah, hu-bungan makhluk dengan Penciptanya. Dan bahkan karena urgen-nya, sampai-sampai Rasulullah saw dalam menerima titah shalatini harus diisra’-mi’rajkan, Rasulullah secara langsung bertemu

IISHALAT: RAGAM PERBEDAAN

DALAM PRAKTEK

F i q i h T r a d i s i

64

dengan Allah, beliau diperintah oleh Allah untuk melaksanakanshalat.

Dalam pelaksanaannya, semua bentuk ibadah padakenyataannya didahului dengan berbagai macam praktekpenyucian diri secara fisik, termasuk dalam hal ini adalah ibadahshalat. Praktek penyucian diri secara fisik yang diatur dalamajaran Islam tidak lain adalah wudlu. Wudlu harus dilakukanterlebih dahulu oleh semua orang Islam yang akan melak-sanakan shalat, karena dengan wudlu ini seseorang berartitelah menghilangkan dan suci dari hadats kecil. Lain halnyadengan mereka yang berhadats besar, maka baginya berlakuaturan tersendiri dalam menghilangkan hadats besar yaitudengan mandi jinabat, —sebagaimana yang telah dijelaskanpada pembahasan sebelumnya.

Setelah seseorang berwudlu (suci dari hadats kecil) danmandi jinabat (suci dari hadats besar), maka barulah dia bolehmelaksanakan shalat atau ibadah-ibadah lainnya. Dalam prak-teknya, shalat dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri (indi-vidual) maupun secara berjama’ah. Dan shalat juga harusdilaksanakan dalam kondisi apa pun, tidak boleh ditinggal-kan. Karena pada kenyataannya, ada cara-cara khusus (tersen-diri) dalam melaksanakan shalat ketika seseorang beradadalam kondisi terpaksa (rukhshah). Misalnya kondisi sese-orang yang sakit parah, maka dia tetap harus melaksanakanshalat dengan cara tertentu, tidak sebagaimana orang yangsehat. Kondisi seseorang yang tidak tahu arah kiblat, sedangdalam keadaan kebingungan, kondisi orang yang cacat se-mentara maupun seumur hidup, dan seterusnya.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwashalat adalah ibadah mahdhah yang dalam prakteknya

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

65

diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri salam denganmelakukan rukun dan syarat-syarat serta bacaan-bacaan ter-tentu.

Dalam melaksanakan takbiratul ihram, semua ulamasepakat bahwa kedua tangan harus diangkat, dan kita jugasependapat bahwa mengangkat kedua tangan pada saattakbiratul ihram itu adalah wajib. Akan tetapi pada kenyataan-nya, para ulama berbeda pendapat tentang posisi kedua tangansaat diangkat pada waktu melaksanakan takbiratul ihram.Apakah posisi kedua tangan diangkat tinggi-tinggi membentuksudut 90 derajat (menyamping) dengan kedua telapak tangandihadapkan ke depan; atau kedua tangan diangkat sedang-sedang membentuk sudut 45 derajat (agak ke depan) denganposisi kedua telapak tangan saling berhadapan dan berdekat-an dengan kedua telinga; atau posisi kedua tangan hampirsama dengan posisi yang terakhir ini, tetapi agak sedikit kebawah dan kedua telapak tangan berada di bawah dagu ataudi depan dada; dan seterusnya. Dan hal ini merupakan praktekyang setiap waktu kita temukan pada diri seseorang yang me-lakukan shalat. Pada hakikatnya, sebagaimana yang kita pahami,takbiratul ihram harus mengangkat kedua tangan sebagaiisyarat atau simbolnya.

Perbedaan posisi kedua tangan pada saat takbiratulihram itu juga berlanjut pada perbedaan posisi kedua tangansetelah takbiratul ihram. Apakah posisi kedua tangan diletak-kan di depan dada agak tinggi sedikit; atau diletakkan di bawahdada di atas pusar; atau diletakkan tepat di (depan) pusar; ataudiletakkan segaris dengan pusar tapi agak ke kiri —pemaham-an masyarakat untuk menutupi hati—; atau kedua tangandiletakkan di bawah pusar dengan posisi agak sedikit nyantai.

F i q i h T r a d i s i

66

Dan ini merupakan perbedaan-perbedaan yang kita temukandi masyarakat, baik kita tahu pada saat kita melakukan shalatatau tidak melakukan shalat. Dan bahkan perbedaan itu jugaterjadi pada gerakan tangan setelah takbiratul ihram dan se-belum diletakkan sebagaimana perbedaan posisi di atas(misalnya di depan dada dan seterunya). Gerakan tangansetelah takbiratul ihram dimaksud adalah ada yang langsungdiletakkan di bawah dada atau ada yang diputar-putar ter-lebih dahulu. Artinya kedua tangan diputar di depan dadabeberapa kali, baru kemudian diletakkan di dada atau padaposisi lainnya.

Terlepas adanya perbedaan mengangkat kedua tanganpada saat takbiratul ihram dan posisi tangan setelah takbiratulihram, yang jelas dan yang tidak boleh ditinggalkan adalahniat, niat shalat pada saat takbiratul ihram. Niat ini menem-pati posisi yang cukup penting dalam setiap amal perbuatanmanusia, termasuk dalam hal ini shalat. Seseorang melakunkan shalat apa saja, prakteknya adalah sama, berapa pun jumlahraka’atnya; yang membedakan hanyalah niatnya saja. Niatapakah seseorang itu melaksanakan shalat wajib atau shalatsunnat; niat apakah seseorang melaksanakan shalat zhuhuratau ‘ashar, dan seterusnya. Apalagi jika dianalogkan, bahwaorang yang melaksanakan shalat itu hampir mirip/sama denganorang yang berolah raga. Jadi niat menduduki posisi sangatpenting dalam shalat; ketika seseorang melakukan shalat tetapidia belum niat shalat, maka shalatnya tidak sah dan dia di-nyatakan belum melaksanakan shalat, sehingga harus meng-ulang lagi.

Hal yang lebih penting lagi yang harus dipahami dandilakukan oleh seseorang yang melaksanakan shalat adalah

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

67

bahwa niat itu dilaksanakan pada saat takbiratul ihram, bukansebelumnya atau sesudahnya; dan niat itu letaknya ada didalam hati. Artinya, niat itu tidak dilafalkan atau diucapkandengan lisan. Bunyi niat memang bisa kita ucapkan, misalnyaushalli fardha al-zhuhri… (saya niat shalat zhuhur…), tetapiitu adalah bunyinya bukan niat, karena niat ada dalam hati.Dengan kata lain pada saat takbiratul ihram hati kita harusmelafalkan lafazh niat shalat itu. Sekali lagi, niat ini tidak bolehditinggalkan dan letaknya ada dalam hati (dalam bahasa Jawadisebut krenthék).

Pada tahap selanjutnya, orang yang shalat harus melak-sanakan rukun-rukun yang terdapat dalam shalat. Setelahniat, berdiri bagi orang yang kuasa, takbiratul ihram, sebagai-mana telah diuraikan di atas dan pada kenyataannya tiga rukunpertama ini berada pada satu posisi. Satu posisi yang dimak-sud di sini adalah bahwa orang yang melakukan shalat,langsung secara bersamaan melakukan ketiga rukun tersebut.Artinya orang yang akan melakukan shalat, harus berdiri (bilabisa berdiri) dan pada saat itu pula dia melakukan takbiratulihram disertai dengan niat dalam hati. Bukan dalam arti niatsendiri, posisi berdiri sendiri, dan takbiratul ihram sendiri;tidak, tetapi ketiga rukun pertama itu dilakukan dalam satukali perbuatan.

Rukun selanjutnya adalah membaca surat al-Fatihah,ruku’ serta tuma’ninah (diam sebentar), i’tidal serta tuma’ninah,sujud dua kali serta tuma’ninah, duduk diantara dua sujudserta tuma’ninah, duduk akhir, membaca tasyahud akhir, mem-baca shalawat atas Nabi Muhammad saw, memberi salamyang pertama, dan menertibkan rukun.

F i q i h T r a d i s i

68

Dalam melaksanakan rukun-rukun shalat tersebut,kebanyakan diantara kita atau sering kali kita menemukanorang yang melakukan shalat tidak atau kurang begitu mem-perhatikan tuma’ninah, yaitu suatu keadaan dimana seseorangberhenti atau diam sebentar sebelum melakukan rukun (per-buatan) berikutnya. Kita tidak jarang melakukan shalat ataumenemukan orang yang melakukan shalat dengan gerakan-gerakan yang cukup cepat, antara rukun yang satu denganrukun selanjutnya dilakukan secara cepat, seolah-olah tidakada jeda diantara rukun tersebut, sampai-sampai dalamtempo waktu sekitar 1 menit shalat itu sudah selesai. Padahaljeda (diam sebentar/tuma’ninah) diantara rukun-rukun inimerupakan rukun shalat itu sendiri. Sehingga apabila adaseseorang yang melakukan shalat dengan cara ini, berarti orangtersebut belum melakukan rukun shalat secara sempurna.Dengan kata lain, tidak adanya tuma’ninah dalam setiap rukunshalat, berarti tidak adanya kesempurnaan dalam shalat.

Pemahaman yang hampir sama juga akan terjadi bagiorang-orang yang melakukan shalat, dimana dalam setiaprukunnya sudah ada jeda yang cukup tetapi ada bagian tubuhlain yang bergerak-gerak, misalnya pada saat i’tidal (bangundari ruku’) kedua tangan atau salah satunya melakukangerakan-gerakan secara terus menerus, maka seseorang yangmelakukan shalat seperti ini juga bisa dikatakan kurang sem-purna. Atau pada saat melakukan rukun-rukun yang lain, ter-dapat gerakan-gerakan —dalam pemahaman orang awam—lebih dari 3 kali, maka gerakan-gerakan itu menjadikan shalatkurang sempurna dan bahkan dapat membatalkan shalat itusendiri. Oleh karena itu, tuma’ninah (diam sebentar) yangmenjadi salah satu rukun dalam shalat harus benar-benar

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

69

dilaksanakan. Jadi, tuma’ninah adalah posisi atau keadaandimana seseorang tidak melakukan apa pun, tidak ada gerak-an-gerakan kecuali ucapan atau lafazh yang diucapkan dalamsuatu rukun.

Pada saat seseorang melakukan i’tidal (posisi berdirisetelah ruku’), ternyata juga kita temukan adanya perbedaandiantara umat Islam. Perbedaan itu berkaitan dengan posisikedua tangan, bagaimana posisi kedua tangan setelah bangundari ruku’. Apakah posisi kedua tangan kembali sebagaimanasebelum melakukan ruku’, yaitu kedua tangan diletakkan didepan/menempel dada; atau kedua tangan berada dalamposisi sebagaimana sebelum melakukan takbiratul ihram.Perbedaan ini terjadi disebabkan adanya pemahaman bahwaposisi kedua tangan setelah ruku’ adalah kembali pada posisisebagaimana semula. Dalam memahami posisi semula inilahterjadi perbedaan pendapat, apakah semula sebelum melaku-kan takbiratul ihram atau semua sebelum melakukan ruku’.Terlepas adanya perbedaan posisi kedua tangan setelah ruku’(pada saat i’tidal), yang jelas dan yang harus dilakukan olehorang yang shalat adalah pada saat itu harus tuma’ninah (diam).

Perbedaan selanjutnya juga akan kita temukan pada saatseseorang mengerjakan rukun berikutnya yaitu sujud. Sujuddalam shalat setiap satu raka’atnya dilakukan sebanyak 2(dua) kali, yang diantara dua sujud itu terdapat (posisi) duduk.Pada saat seseorang yang shalat melakukan sujud ini, ternyatasecara khusus juga ditemukan adanya ketidaksamaan atasposisi kedua tangan dan kedua kaki; walaupun secara umumsama, yaitu sama-sama melakukan sujud. Dalam pemahamanorang awam, posisi kedua tangan pada saat sujud ini adayang meyakini harus dibuka 45 derajat, atau 15 derajat, dan

F i q i h T r a d i s i

70

bahkan dalam posisi ndlosor (posisi dimana kedua tangantidak membentuk sudut). Demikian juga dengan posisi keduakaki, ada yang jari-jari kedua kaki dipancatkan (menekan kelantai), ada yang yang sekedar menempel pada lantai (tempatshalat), atau posisi antara telapak kaki kanan dengan kaki kiritidak sama, dan bahkan ada yang meletakkan kedua telapakkaki saling bertindihan (atas bawah). Adanya perbedaan-per-bedaan (kecil) yang seringkali kita jumpai ini, bukan dimak-sudkan untuk menunjukkan adanya ketidak-konsistenandalam melakukan sujud, akan tetapi memang seperti itulahpemahaman yang terjadi pada orang-orang awam, dan bah-kan kita mungkin termasuk di dalamnya. Lebih dari itu, halyang lebih penting dalam melakukan rukun ini (sujud) adalahbagaimana posisi dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedualutut, dan kedua telapak kaki (jari-jari kaki) menempel padatempat sujud (shalat), ini yang lebih penting.

Selanjutnya, dalam melakukan rukun duduk diantaradua sujud pun juga terdapat perbedaan. Perbedaan ini ber-kaitan dengan bagaimana posisi kedua telapak kaki. Apakahposisi kedua telapak kaki sama-sama menjadi tempat (alas)duduk, yaitu antara telapak kaki kanan dan kaki kiri bertin-dihan (atas bawah); atau posisi antara telapak kaki kanantidak sama dengan posisi telapak kaki kiri, yaitu kaki kanandipancatkan sedangkan kaki kiri dijadikan alas untuk duduk(diduduki), atau ada juga yang telapak kaki kanannya hanyamenempel, tidak dipancatkan.

Demikian juga pada saat seseorang melakukan tahiyatawal. Posisi duduk pada tahiyat awal pun juga terdapat per-bedaan sebagaimana perbedaan dalam posisi duduk diantaradua sujud. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya, posisi

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

71

duduk tahiyat awal sama persis dengan posisi duduk diantaradua sujud, sehingga kalau ternyata terdapat perbedaan, makaperbedaan itu juga berkisar pada perbedaan yang terjadi padaduduk diantara dua sujud.

Rukun shalat yang terakhir sebelum salam adalahtahiyat akhir. Pada saat seseorang melakukan tahiyat akhir,posisi duduk yang dilakukan adalah sama, yaitu posisi dudukdengan kaki kanan dipancatkan dan kaki kiri dimasukkan dibawah kaki kanan, sedangkan pantat menempel pada lantai(tempat shalat) secara langsung. Pada posisi ini mungkintidak ditemukan adanya perbedaan, kecuali bagi orang yangtidak bisa duduk secara sempurna. Akan tetapi, pada saatmelakukan rukun ini juga ditemukan berbagai perbedaansebagaimana perbedaan yang telah terjadi pada rukun-rukunsebelumnya. Perbedaan yang dimaksud dalam tahiyat akhirini adalah posisi tangan kanan dan jari telunjuk tangan kanan.Perbedaan yang terjadi pada posisi tangan kanan ini adakala-nya dalam posisi jari-jari mengepal dan adakalanya tidakmengepal. Sedangkan posisi jari telunjuk tangan kanan,dalam hal ini kita temukan beberapa perbedaan, antara lain:pertama, posisi jari telunjuk yang sejak awal tahiyat sudahdiangkat; kedua, posisi sama seperti pertama tetapi jari telunjukdigerak-gerakkan secara terus menerus sampai salam; ketiga,posisi jari telunjuk yang baru diangkat pada saat seseorangmelafalkan bacaan asyhadu an lâ ilâha illa Allâh (tepatnya padalafazh illa).

Demikianlah beberapa perbedaan yang kita temukanpada saat seseorang melakukan shalat, mulai dari takbiratulihram sampai salam. Perbedaan-perbedaan yang sengaja di-tunjukkan dan diuraikan dalam tulisan ini bukan dimaksud-

F i q i h T r a d i s i

72

kan untuk menunjukkan bahwa ini praktek yang benar danini praktek yang salah; akan tetapi perbedaan-perbedaan yangterjadi ini dimaksudkan untuk diketahui dan dipahami olehsemua umat Islam Indonesia umumnya dan orang awam khusus-nya, bahwa praktek shalat yang kita kerjakan pada kenyata-annya terdapat sekian banyak perbedaan. Tujuan dari hal inisemua adalah agar bagaimana masyarakat sekitar (masyarakatawam khususnya) lebih siap dalam memahami dan meng-hadapi perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga hal-hal yangnegatif seperti konflik atau permusuhan dan lain-lainnya bisadihindari. Sekaligus menjadikan masyarakat awam lebihdewasa dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada.Karena terlepas dari beberapa perbedaan tersebut di atas, ketikaseseorang yang melakukan shalat dan sudah memenuhi syaratrukunnya, maka shalat mereka sudah sah.

Shalat BerjamaahHal lain yang sangat erat kaitannya dengan pembahasan

shalat adalah shalat berjamaah. Tidak jauh berbeda denganpraktek shalat yang telah diuraikan di atas, shalat berjamaahpun pada kenyataannya terdapat sebuah fenomena dalammasyarakat yang patut untuk dicermati.

Sebagaimana telah menjadi rahasia umum, bahwa shalatberjamaah itu lebih baik dan lebih banyak pahalanya diban-ding dengan shalat sendiri-sendiri. Shalat berjamaah dapatdilaksanakan dimana saja, di rumah, masjid, mushalla maupuntempat-tempat lainnya. Selain itu, dalam shalat berjamaah ter-kandung nilai-nilai sosial yang perlu dipahami dan diapli-kasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai sosial yangseringkali belum dapat dipahami secara proporsional, dan

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

73

nilai-nilai yang terkandung dalam shalat itu sendiri yang belumbisa secara maksimal dijadikan pedoman dalam kehidupansehari-hari.

Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat kitaadalah pelaksanaan shalat secara individual (sendiri-sendiri),padahal pada saat itu terdapat orang lain yang shalat; atau padasaat itu terdapat sekumpulan orang yang sedang melaksana-kan shalat berjamaah. Fenomena ini terjadi mungkin atasbeberapa faktor, ada kemungkinan seseorang itu tidak paham,sengaja atau tidak sengaja, tidak mau tahu atau mungkin jugakarena dia tergesa-gesa. Bahkan mungkin kita juga termasuksalah satu di dalamnya. Hal atau perbuatan seperti ini harus-lah dihilangkan.

Ketika shalat berjamaah sedang berlangsung di dalammasjid misalnya, kemudian datang seseorang; dia tidakkemudian bergabung dengan jamaah yang sudah ada, tetapidia malah shalat sendiri. Kemudian datang seseorang yanglain, dia juga shalat sendiri; demikian seterusnya. Kondisi sepertiini sebenarnya bukan suatu problem yang perlu diperdebat-kan, akan tetapi kondisi atau fenomena seperti ini perlu dicer-mati, dan karena menunjukkan seberapa dalam tingkat pema-haman keagamaan seseorang. Demikian juga hal ini terjadiketika tidak ada orang yang shalat berjamaah, tetapi terdapatsatu atau dua orang yang sedang melakukan shalat.

Hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi, karena shalatberjamaah itu mudah sekali untuk dilaksanakan. Baik ketikasekumpulan orang berniat melakukan shalat bersama-samasecara berjamaah, atau ada orang yang shalat kemudian oranglain yang datang berikutnya langsung menyusul di belakang-nya untuk langsung berniat menjadi makmum dalam shalat

F i q i h T r a d i s i

74

tersebut. Kondisi pertama, yaitu ketika ada sekumpulan orangyang shalat berjamaah, maka orang yang datang belakangandapat langsung mengambil posisi dalam barisan shalatjama’ah tersebut; orang inilah yang disebut sebagai makmummasbuq.

Sedangkan pada kondisi kedua, yaitu tidak ada orangyang shalat berjamaah, tetapi terdapat orang yang shalat,maka seseorang atau beberapa orang yang datang berikutnyadan mendapati ada orang yang shalat, maka sebenarnya iacukup langsung menjadi makmum di belakangnya. Dalamkondisi ini, seseorang yang akan menjadi makmum tidak perlumemperdulikan atau memperhitungkan shalat imam, orangyang sedang shalat itu melakukan shalat apa tidak perlu diper-timbangkan. Misalnya ada orang yang shalat zhuhur kemu-dian kita makmum di belakangnya dengan niat shalat yangsama dan niat menjadi makmum; demikian juga ketikaseseorang shalat sunnat, lalu kita shalat fardhu dan menjadimakmumnya, maka cukup dengan kita berniat makmum ke-padanya sesuai dengan shalat yang akan kita kerjakan. Sehinggadalam hal ini kesamaan shalat misalnya shalat fardhu denganshalat fardhu tidak diperhitungkan. Dengan kata lain, ketikakita mendapati ada orang yang shalat (apakah shalat wajib,sunnat atau shalat qadha’), maka kita dapat langsung menjadimakmum di belakangnya. Di sinilah kemudahan dalam shalatberjamaah. Tetapi pada kenyataannya hampir dapat dipasti-kan bahwa kesadaran terhadap shalat berjamaah ini masihsangat minim.

Dalam praktek shalat berjamaah semacam ini, sebagai-mana yang kita ketahui dan terjadi di masyarakat, adakalanyamakmum yang datang kemudian (masbuq) menepuk punggung

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

75

imam, dan adakalanya tidak menepuk punggung atau lenganimam. Dalam hal ini bagi orang yang datang kemudian danmendapati ada satu orang yang shalat, lalu dia hendak men-jadi makmumnya, maka dia cukup berniat menjadi makmum,dengan menepuk punggung/lengan imam atau tidak, samasaja, yang penting dia berniat menjadi makmum.

Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat berjamaah itudapat dilaksanakan minimal oleh dua orang. Artinya, satuorang menjadi imam dan seorang lagi menjadi makmum. Dalamprakteknya, shalat berjamaah yang minimal dilaksanakanoleh dua orang berbeda dengan shalat berjamaah yang dilak-sanakan oleh tiga orang atau lebih. Dalam berjamaah, ketikaorang yang melaksanakan shalat hanya dua orang, maka shalatimam dan makmum harus berada dalam satu garis/baris.Maksudnya, misalnya diumpamakan ada sebuah garis, makaposisi telapak kaki orang yang menjadi imam agak kedepandan posisi telapak kaki orang yang makmum agak sedikit kebelakang. Artinya, pada garis yang sama, telapak kaki imammenyentuh garis, dan telapak kaki makmum juga menyentuhgaris yang sama. Sehingga dengan pengertian ini, kalau adaorang yang shalat berjamaah dengan jumlah minimal (duaorang) dan posisi antara imam dan makmum berjauhan —misalnya 0,5 sampai 1 meter— maka shalat mereka tidak di-hitung berjamaah; artinya shalatnya sah, tetapi pahala ber-jamaahnya hilang. Praktek shalat berjamaah seperti ini jugamasih kurang dipahami oleh umat Islam secara umum. Dengankata lain, masyarakat Islam secara umum masih menyamakanpraktek shalat berjamaah dengan dua orang dan shalat ber-jamaah dengan tiga orang atau lebih.

F i q i h T r a d i s i

76

Sedangkan shalat berjamaah yang jumlahnya 3 (tiga)orang atau lebih, yaitu satu orang menjadi imam dan dua oranglainnya atau lebih menjadi makmum, dalam prakteknya ber-beda dengan shalat berjamaah yang dilaksanakan oleh duaorang. Dalam prakteknya, shalat berjamaah yang jumlahnya3 (tiga) orang atau lebih, maka dilaksanakan dengan meng-ambil posisi depan belakang. Maksudnya, satu orang yang men-jadi imam berada di garis (shaf) depan, sedangkan dua orangatau lebih yang menjadi makmum berada pada garis (shaf)belakangnya, dengan posisi saling berdekatan. Apabila tidakdemikian, maka fadhilah (keutamaan = pahala) berjamaah jugaakan hilang.

Kondisi yang hampir sama dengan shalat berjamaahdua orang, juga akan dialami shalat berjamaah dengan tigaorang atau lebih. Kondisi dimaksud adalah bahwa pada shalatberjamaah yang dilaksanakan lebih dari tiga orang akan menye-babkan fadhilah berjamaah hilang sebagaimana shalat ber-jamaah dua orang, apabila ada orang yang keempat atau selan-jutnya ikut berjamaah tetapi tidak berada pada garis (shaf)yang sama, padahal pada saat itu garis (shaf) yang ada masihkosong. Artinya, orang yang datang kemudian dan dia men-jadi makmum masbuq (makmum yang tertinggal) tidak beradasatu garis dengan makmum lainnya, padahal masih ada tempatyang kosong. Maka shalat bagi makmum yang masbuq inifadhilah berjamaahnya juga hilang, dia tidak mendapatkanfadhilah berjamaah dikarenakan dia mendirikan shaf sendiri.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam praktek shalatberjamaah adalah bahwa makmum tidak boleh mendahuluiimam. Dimana pun dan kapan pun shalat berjamaah itu di-laksanakan, dan bahkan dengan siapa pun; makmum tetap

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

77

tidak boleh mendahului imam. Hal ini perlu dimengerti dandipahamkan, karena tidak sedikit masyarakat kita yang me-langgar aturan ini, artinya ada sebagian masyarakat yangbelum mengerti bahwa orang yang menjadi makmum dalamshalat berjamaah itu tidak boleh mendahului imam dan harusmengikuti apa yang dikerjakan imam. Dalam hal ini dapatdianalogkan dengan pemimpin dan yang dipimpin; dimanapada aturan secara umum, orang yang dipimpin selamanyaakan mengikuti apa yang diperintahkan oleh pemimpin.

Dalam prakteknya, baik shalat berjamaah secara langsungmaupun masbuq (makmum yang tidak menemui takbiratulihram imam), bagi makmum wajib niat bahwa ia shalat danmenjadi makmum. Di sinilah yang juga membedakan antaraimam dengan makmum; kalau imam tidak wajib niat menjadiimam, sedangkan makmum harus (wajib) niat menjadi mak-mum. Apabila dia tidak niat menjadi makmum, maka shalatjamaahnya tidak terhitung (sama dengan shalat sendiri).

Selanjutnya, shalat berjamaah tidak dapat dilaksanakanjika orang yang menjadi makmum adalah orang yang hendakshalat dalam kondisi tertentu. Maksudnya, dalam kondisitertentu misalnya seseorang sedang bepergian, maka dia tidakboleh menjadi makmum ketika shalat yang akan dikerjakanadalah shalat jama’ maupun qashar. Demikian juga ketikashalat yang akan dikerjakan seseorang adalah shalat qadha’,maka dia tidak boleh menjadi makmum atas shalat imamdalam kondisi normal (ada’). Orang yang berada dalam kondisidemikian boleh melaksanakan shalat berjamaah hanya denganorang yang sama, yaitu orang yang sama-sama melaksanakanshalat jama’ qashar atau salat qadha’ maupun shalat lainnya.

F i q i h T r a d i s i

78

Hal yang terakhir dalam pembahasan shalat ini adalahbahwa orang yang hidup dan mengaku Islam, maka dia wajibmelaksanakan shalat sampai kapan pun. Dikandung maksudbahwa orang yang kurang normal fisiknya, sakit, tidak bisaberdiri, berbaring di atas tempat tidur, bepergian (di dalamkendaraan) dan kondisi-kondisi lainnya; tetap dan wajib melak-sanakan shalat sesuai dengan kondisi yang ada pada waktuitu. Orang yang kurang normal fisiknya, maka ia tetap berke-wajiban untuk melaksanakan shalat. Orang yang sakit harusmelaksanakan shalat sesuai dengan kondisinya, dan seterus-nya. Bahkan, bagi orang yang sudah tidak bisa apa-apa, hanyabisa dengan isyarat maka dia tetap berkewajiban shalat denganisyarat sampai dia dishalati (meninggal dunia).

Jadi, pada hakekatnya tidak ada satu orang pun yangboleh meninggalkan shalat. Apa pun kondisinya, maka orangIslam harus tetap shalat sesuai dengan kemampuannya. Demi-kian juga siapa pun dia, apakah wali, ulama, kiai, pejabat, orangawam maupun gelandangan; kalau dia mengaku sebagai umatIslam, maka tetap harus melaksanakan shalat. Dan shalat yangdikerjakan adalah shalat yang telah diajarkan oleh Rasulullahsaw, yaitu shalat (ibadah) yang diawali dengan takbiratul ihramdan akhiri dengan salam (di dalamnya melakukan gerakan-gerakan atau rukun yang telah diajarkan Allah kepada Rasul-ullah saw, sesuai dengan syarat rukunnya); tidak ada carashalat dalam bentuk lain, semuanya sama. Dan tidak ada alasanapa pun yang dibenarkan bagi seseorang untuk dapat mening-galkan shalat. Memang benar bahwa dalam melaksanakanshalat itu ada rukhshah (keringanan), tetapi bukan kebolehanuntuk meninggalkan shalat sebagaimana yang terjadi dan di-pahami oleh masyarakat awam.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

79

IIIZAKAT: ANTARA IBADAH SOSIAL

DAN RELIGIUS

Islam mengajarkan kepada umat manusia agar dalamhidup dan kehidupannya dapat menjaga keseimbangan, ke-serasian dan keharmonisan dalam berbagai bidang kehidup-an. Menjaga keserasian dan keseimbangan aspek jasmaniahdan rohaniah, material spiritual, aspek individual dan sosial,serta aspek duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan, keserasiandan keharmonisan yang harus dijaga dalam berbagai aspekkehidupan ini tidak lain dalam rangka menciptakan kebaha-giaan dan kesejahteraan hidup manusia.

Apalagi umat Islam, orang-orang yang telah memelukagama Islam, menjadikan Islam sebagai way of life, maka tentusudah menjadi keharusan bagi mereka untuk menjaga kese-imbangan dan keserasian aspek-aspek kehidupan tersebut.Orang-orang yang belum berhasil atau tidak mau menjaga ke-seimbangan, tentu adalah orang-orang yang akan merugi dalamhidup dan kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Secara khusus, bentuk keseimbangan dan keserasian yangharus dijaga oleh umat Islam dalam uraian ini adalah hubung-an antara manusia dengan Allah dan dengan sesama manusia.Dalam hal ini sebagai suatu ibadah yang berdimensi sosial dan

F i q i h T r a d i s i

80

yang harus dijaga dalam rangka menyeimbangkan hubungandengan sesama mausia adalah penunaian zakat. Zakat sebagaipraktek ibadah sosial merupakan salah satu bentuk ibadahyang harus ditunaikan oleh umat Islam, dan termasuk salahsatu rukun Islam.

Sebagai salah satu pondasi ajaran Islam, zakat merupa-kan kewajiban yang harus dikeluarkan oleh umat Islam yangtelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Kewajibanmengeluarkan zakat ini tidak hanya terbatas pada zakat jiwa(zakat fitrah) saja, tetapi juga zakat mal (harta benda) termasukzakat profesi. Dalam hal ini, kesadaran untuk menumbuhkanjiwa sosial-religius sangat penting dan perlu dikedepankan olehsemua umat Islam. Sehingga pada akhirnya diharapkan bentuk-bentuk kesenjangan sosial yang selama ini dirasakan oleh umatIslam akan dengan sendirinya terhapus.

Pada kenyataannya menumbuhkan sikap dan jiwa sosial-religius ini tidak mudah, cukup sulit dan membutuhkan waktudalam prosesnya. Bisa saja kesadaran ini muncul secara instan,tetapi kesadaran yang instan ini tentu tidak akan berjalan lama.Mereka sadar pada saat suatu waktu, tetapi di waktu yang laindan dalam waktu yang relatif lama, mereka sudah dan mudahmelupakannya. Sehingga perlu di-manage agar kesadaran sosial-religius ini berjalan dan bertahan dalam waktu yang lama danbahkan seterusnya.

Menumbuhkan sikap sosial-religius kepada masyarakatbahwa menunaikan zakat dalam bentuk apapun dan atas apapun merupakan perintah Allah dan kewajiban manusia sebagaimakhluk Tuhan dan makhluk sosial. Dan bahkan bila perludibentuk semacam kontrak sosial diantara sesama mereka,sehingga kesenjangan-kesenjangan dan sekat-sekat sosial

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

81

dapat diminimalisir. Dan lambat laun masyarakat ekonomikebawah, fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat terangkatderajat ekonomi dan status sosialnya. Tetapi hal ini bukanlahmerupakan hal yang mudah.

Sebenarnya kalau dicermati tidak hanya zakat yangmerupakan ibadah sosial-religius, tetapi masih banyak bentuk-bentuk sosial-religius lainnya, seperti infaq, shadaqah, hadiahatau pun bentuk-bentuk pemberian lain yang selalu menge-depankan sisi sosial-religiusnya. Dengan kata lain, dalam bentukibadah mahdhah (wajib), zakat memang harus dikeluarkanbagi orang yang mampu dan telah memenuhi persyaratan, danini menjadi kunci kesuksesan sosial seseorang dalam dimensikehidupan sosial lainnya. Artinya, ketika seseorang memilikikesadaran yang tinggi atas kewajiban menunaikan zakat, makaibadah-ibadah sosial lainnya yang termasuk dalam kategorisunnah akan dengan sendirinya mengikuti kesadaran itu.Walaupun tidak dapat dipungkiri, bahwa orang yang mempu-nyai kesadaran atas kewajiban ini masih minim sekali. Karenamereka lebih sering kedunyan (mempertahankan harta bendayang dimilikinya tanpa mau membagi-bagi sebagian kecil darihartanya, harta benda adalah segala-galanya).

Pada sisi lain, terdapat sebuah fenomena yang cukupunik, sebuah fenomena yang menjadi kebalikan atas fenomenadi atas. Fenomena tersebut adalah adanya kesadaran masyarakatIslam awam yang tetap melaksanakan atau menunaikan zakatwalaupun pada kenyataannya harta benda yang dimilikinyabelum mencapai satu nishab (batas minimal bagi seseorang ber-kewajiban untuk mengeluarkan zakat). Hal ini bisa kita lihatdalam masyarakat petani, ketika mereka mendapatkan hasildari tanamannya dan sudah dihitung atau dikalkulasi dengan

F i q i h T r a d i s i

82

berbagai biaya pemeliharaan, dan ternyata hanya kembalimodal atau bahkan kadang-kadang malah rugi. Atau merekatahu bahwa harta benda atau penghasilannya belum mencapaisatu nishab, tetapi mereka tetap mengeluarkan sebagian peng-hasilannya untuk diberikan kepada tetangga sekitarnya (fakirmiskin). Kenyataan seperti ini bukan kemudian harus disalah-kan, tetapi justru sikap-sikap yang demikian inilah yang perluditumbuh-kembangkan pada diri masyarakat kita, agar sikap-sikap yang mengedepankan dimensi sosial lebih diutamakandaripada kepentingan pribadi yang seringkali bersifat sesaat.

Sikap yang mereka lakukan tidak lain adalah merupakansikap kehati-hatian (ihtiyath) masyarakat awam yang memegangteguh prinsip-prinsip ajaran Islam. Mereka takut kalau-kalauhasil panen mereka wajib dizakati tetapi mereka tidak menge-luarkan zakatnya, sehingga lebih baik mereka mengeluarkanzakat meskipun belum terkena kewajiban. Kalaupun kemudi-an bukan merupakan zakat, maka mereka tidak mengalamikerugian, karena apa yang telah mereka keluarkan dan berikankepada orang lain merupakan bentuk ibadah sosial-religiusyang tentu Allah sudah memperhitungkan kebaikan ataupaha-lanya. Baik kebaikan dalam hubungannya dengan sesamamanusia maupun kebaikan yang berhubungan dengan Tuhan.

Apabila keadaan yang terjadi adalah keadaan sebagai-mana di atas, berarti seseorang telah melakukan dan menjagakeseimbangan serta keserasian antara dua dimensi, yaitu men-jaga keserasian dimensi sosial dan dimensi religius secara ber-samaan. Mereka telah menjaga keseimbangan kesalehanreligius dengan kesalehan sosial. Suatu langkah dan sikapyang sangat dirasa berat oleh kebanyakan umat Islam. Karenaseringkali yang terjadi adalah salah satu diantara dua dimensi,

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

83

kalau tidak dimensi sosial atau dimensi religius yang diung-gulkan, atau mungkin setengah-setengah. Selain itu juga karenasaleh dalam dimensi sosial saja akan menyebabkan seseorangjauh dari Tuhan, dan sebaliknya, jika seseorang saleh dalamdimensi religius saja maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat.Jadi menjaga keserasian dan keseimbangan dimensi sosialdan religius (hubungan vertikal dan horisontal) adalah meru-pakan sikap atau perilaku yang sangat penting, dan ini tidakmudah.

Selanjutnya, ketika seseorang menunaikan zakat, ter-masuk infaq, shadaqah atau bentuk pemberian lainnya, makadia tidak boleh lupa akan niat, niat apa dan untuk apa dia menge-luarkan sebagian harta bendanya. Niat ini merupakan suatuhal yang penting dan tidak boleh diabaikan. Hal ini tidak lain,karena antara mengeluarkan zakat dengan infaq atau shadaqahadalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan sebagian dariharta yang dimiliki kepada orang lain. Kalau seseorang tidakniat, maka dia tidak mendapatkan kebaikan atau pahala dariTuhan, karena perbuatannya tidak didasarkan atas nama Allah.Apalagi jika perbuatan seseorang itu adalah mengeluarkanzakat, ketika seseorang tidak berniat (baik lupa atau tidak)mengeluarkan zakat, maka dia belum gugur kewajiban, se-hingga orang seperti ini masih berkewajiban untuk menge-luarkan zakat dari sebagian harta yang dimilikinya.

Walaupun pada kenyataannya memang terdapat per-bedaan-perbedaan di antara madzhab-madzhab yang ada. Satumadzhab mengharuskan niat atas segala sesuatu atau perbuat-an yang akan dilakukan, sedangkan madzhab yang lain agaklebih mempermudah, yaitu apa yang dilakukan seseorangitulah niatnya, tanpa harus ada waktu tersendiri dan tanpa

F i q i h T r a d i s i

84

harus melafalkannya dalam hati sebagaimana dalam praktekibadah-ibadah lainnya. Lebih dari itu, apa yang kita lakukan,baik ibadah mahdhah maupun ibadah sosial, semuanya ter-gantung pada madzhab yang dianut oleh seseorang. Apabilaseseorang menganut madzhab tertentu yang mengharuskanniat atas segala sesuatu atau perbuatannya, maka sebagai kon-sekuensinya dia harus niat terhadap perbuatan yang ia laku-kan. Demikian juga sebaliknya dengan madzhab yang lain,apabila tidak mengharuskan niat atas segala perbuatan atauibadah, karena apa yang dilakukan sudah merupakan niatdengan sendirinya, maka sebagai konsekuensinya pengikutdari madzhab itu juga tidak perlu niat secara khusus.

Apa yang dimaksud penulis di atas bukanlah merupa-kan suatu pendapat yang kaku (rigit), bahwa segala sesuatuharus diawali dengan niat —mau ibadah harus niat dulu, maumelakukan perbuatan sosial juga harus niat dulu— sama sekalitidak. Akan tetapi tidak lain bahwa apa yang dimaksudkanpenulis adalah sikap kehati-hatian (ihtiyath) dalam segala haltermasuk mengeluarkan zakat. Sebagai seorang awam(masyarakat awam), segala sesuatu (termasuk ibadah) tentumenjadi penting untuk dijelaskan dan ditegaskan agar tidakterjadi kesalahan dalam praktek dan operasionalnya. Sekali-gus untuk menumbuhkan sikap keyakinan terhadap ibadahatau perbuatan yang dilakukan.

Zakat dan PajakPada sisi yang lain, pembahasan tentang zakat ini cukup

menarik ketika dikaitkan dengan pajak. Tanggal 1 Juli 2011,Harian Radar Tulungagung (Jawa Pos Group) telah memberita-kan bahwa kesadaran masyarakat Tulungagung untuk

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

85

membayar pajak belum maksimal. Terbukti masih ada delapan(8) kecamatan yang pembayaran pajaknya belum terpenuhi100%, yaitu kecamatan Kedungwaru, Tulungagung, Kauman,Boyolangu, Ngunut, Rejotangan, Pucanglaban dan Campur-darat. Atau sekitar 8,6% masyarakat Tulungagung yang belumtaat membayar pajak. Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkanbegitu saja, karena boleh jadi di daerah/kabupaten lain jugamasih ada yang belum taat membayar pajak. Atas dasar feno-mena tersebut, maka penulis berinisiatif untuk memberikansumbangsih pemikiran atas problem tersebut melalui tulisanini.

Sebagaimana kita pahami bersama, Islam mengajarkanbahwa harta kekayaan itu bukan merupakan tujuan hidup, tetapisebagai wasilah untuk saling memberi manfaat dan memenuhikebutuhan. Bagi orang yang berwawasan demikian, maka hartakekayaannya akan membawa kebaikan bagi dirinya maupunbagi masyarakat, dan sebaliknya bagi orang yang memandangharta kekayaan sebagai tujuan hidupnya dan sebagai sumberkenikmatannya, maka akan berubah menjadi inti syahwat yangberimplikasi merusak dan membuka berbagai kemungkinanpenderitaan.

Ajaran Islam tidak menyukai adanya penumpukan ke-kayaan (taksid al-amwal) hanya terpusat pada beberapa gelintirorang saja dalam suatu masyarakat, karena akan melahirkanpola kehidupan mewah pada sekelompok kecil, juga dapatmendorong timbulnya penindasan dan penderitaan. Oleh karenaitu, sebagai makhluk sosial, manusia (umat Islam) harus menge-luarkan atau memberikan sebagian harta kekayaannya —ketikasudah mencapai satu nishab— kepada mereka yang berhak(mustahiq), sebagai pelaksanaan atas perintah Allah.

F i q i h T r a d i s i

86

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang harusdilaksanakan oleh setiap orang Islam. Ada lima macam hartayang sudah disepakati untuk dikeluarkan zakatnya, yaitu uangemas atau perak (nuqud); barang dan modal dagang (‘urudhal-tijarah); ternak unta, sapi dan kambing yang dipelihara tanpamemerlukan biaya makanannya (sawa’im); hasil pertaniandan buah-buahan tertentu (zuru’ dan tsimar); dan harta ter-pendam (rikaz).

Apabila seseorang telah mengeluarkan zakat berarti diatelah membersihkan diri, jiwa dan hartanya. Dia telah mem-bersihkan jiwanya dari penyakit kikir dan membersihkanhartanya dari hak orang lain yang ada dalam hartanya itu.Orang yang berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya daripenyakit dengki, iri hati terhadap orang yang mempunyaiharta.

Di sisi lain, pajak ialah suatu pembayaran yang dilaku-kan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal penyelenggaraanjasa-jasa, untuk kepentingan umum. Menurut para ahli ke-uangan, pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadapwajib pajak, yang harus disetorkan sesuatu kepada negaradengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali darinegara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluar-an umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuanekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang dicapaioleh negara.

Di Indonesia, kita mengenal pajak bumi, yaitu pajak yangdipungut dari sawah dan tegalan/kebun, ditambah lagi sekarangdengan pajak bangunan yang terkenal dengan sebutan PBB(Pajak Bumi dan Bangunan). Di samping itu dikenal pula

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

87

pajak materai, pajak pelabuhan, pajak radio, televisi dansebagainya.

Sistem perpajakan sekarang ini memang sesuai denganhukum-hukum syari’at Islam, selama pajak tersebut dikum-pulkan dari orang yang wajib mengeluarkannya secara adildan dibelanjakan untuk hal-hal yang dihalalkan Allah, sertaberorientasi pada kebaikan, kemanfaatan, peningkatan dankemajuan umat, seperti mendirikan lembaga pendidikan,proyek-proyek pertanian, industri, pedagangan, kesehatandan fasilitas-fasilitas pokok masyarakat lainnya.

Relasi Zakat dan PajakTerlepas dari adanya perbedaan dan persamaan antara

zakat dengan pajak, cukup menarik jika kita menyimak danmencermati kembali konsep “Agama Keadilan” yang diusungoleh Masdar F. Mas’udi, khususnya tentang zakat dan pajak.

Dalam hal ini, Masdar menawarkan konsep baru tentangzakat (dan pajak). Dalam pengamatannya, zakat merupakanajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalanyang banyak dihadapi umat manusia, yakni ketidakadilan.Ajaran zakat bukanlah ajaran yang mengarah untuk kepen-tingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatandan keadilan semesta. Menurutnya, inti ajaran zakat yangmutlak, universal dan tidak berubah adalah: (1) siapa pun yangmemiliki kelebihan harta maka ia harus menginfaqkan sebagi-an harta (rizki) yang diterimanya itu; (2) harta (rizki) yangdiinfaqkan oleh atau yang dipungut dari yang mampu itu harusdigunakan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat,dengan memprioritaskan mereka yang lemah. Orang-orangnon-Islam yang lemah, disamping orang-orang Islam sendiri,

F i q i h T r a d i s i

88

tetap harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat, agarbisa mengurangi beban ekonomi yang menjadi tanggung jawabmereka. Kemaslahatan yang dimaksud dalam hal ini adalahkemaslahatan menyeluruh, lintas agama, suku dan juga golong-an (Fuad, 2005: 102).

Umat Islam, khususnya para pemimpin dan ulama, tidakbisa menghindarkan diri dari tanggung jawab atas terjadinyaketidakadilan semesta yang disebabkan oleh Negara. Denganmemisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat Islam telahbenar-benar memisahkan negara dari agama. Pemisahan inimenyebabkan umat Islam menanggung beban yang sangatberat karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, yaitumenunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayarpajak sebagai kewajiban warga negara. Akibatnya, kewajibanmengeluarkan zakat selalu terkalahkan oleh keharusan mem-bayar pajak.

Relasi antara “zakat” sebagai konsep keagamaan (ke-ruhanian) di satu sisi, dan “pajak” sebagai konsep keduniawi-an (kelembagaan) di sisi lain, sama sekali bukan dualisme yangdikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis.Zakat bukanlah suatu yang harus dipisahkan, diparalelkan,dan apalagi dipertentangkan dengan “pajak’, melainkan iajustru harus disatukan sebagaimana disatukannya ruh denganbadan, atau jiwa dengan raga. “Zakat” merasuk ke dalam“pajak” sebagai badan atau raga. Oleh karena itu, pertanyaanyang menyangkut operasionalisasi dan ketentuan tersebutadalah pertanyaan yang hanya relevan untuk pengaturan pajak,bukan zakat. Zakat adalah soal niat, soal motivasi, soal ko-mitmen spiritual-moral yang ada pada orang-orang yang ber-iman selaku rakyat yang membayarkan pajak. Dimanaberdasar-

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

89

kan keimanannya itu, orang bukan saja merasa berkewajibanmembayar pajak pada negara atau melalui negara, akan tetapiia juga berhak mentransendentasikan pembayaran pajaknyaitu sebagai penunaian zakat (Mas’udi: 1991: 119).

Menurut Masdar F. Mas’udi, pembayaran pajak denganniat zakat akan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yangdibayarkan itu bukan sebagai persembahan atau pembayaranutang kepada negara, melainkan kewajiban yang harus ditunai-kan karena Allah Swt. sesuai dengan perintah-Nya. Ikrarbatiniah ini dapat menjadikan pembayaran pajak ini bersifatduniawi namun bernilai ukhrawi, dan sekaligus memberikanefek pembebasan dari kungkungan negara.

Ide penggabungan antara zakat dan pajak yang digagasoleh Masdar ini merupakan ide yang memang sangat kontro-versial dan sering disalahpahami sebagai upaya untuk menya-makan antara zakat dan pajak. Dalam hal ini, Masdar sebenar-nya hanya ingin mengatakan bahwa zakat adalah konsep etikdan moral untuk pajak.

Terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, sebagaiseorang mukmin dan muslim, tentunya hal yang perlu dike-depankan dalam kaitannya dengan zakat dan pajak ini adalahsebuah konsep tentang kemaslahatan dan keadilan. Artinya,sebagai seorang yang beriman, tentu dia harus mengeluarkanzakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah Swt.; dansebagai warga negara, tentu dia juga harus mengeluarkanpajak sebagai kewajiban horisontalnya kepada pemerintah(negara). Hal tersebut tentu akan mendatangkan kemaslahat-an (kebaikan), baik kemaslahatan bagi dirinya sendiri dankeluarga maupun kemaslahatan masyarakat umum; dan padaakhirnya juga akan tercipta sebuah keadilan.

F i q i h T r a d i s i

90

Sebagai umat Islam dan warga negara yang baik, sikapyang bijak dan yang perlu dikedepankan atas gagasan kontro-versial yang dikemukakan Masdar adalah: (1) bila kita ter-masuk orang yang kaya, maka kita tidak boleh mengikuti pen-dapat tersebut; artinya kita tetapi membayar pajak dan zakat,bahkan ‘bunga-bunga sosial’ lainnya seperti infaq, shadaqah,wakaf, hibah, dan lain sebagainya. (2) Jika kita termasuk golong-an menengah (kaya tidak, miskin juga tidak), maka kita tetapmembayar keduanya. (3) Kalau kita termasuk orang tidak mampumembayar kedua-duanya sekaligus, maka kita bisa mengikutipendapat Masdar, yaitu membayar pajak dengan niat zakat.(4) Bila kita termasuk orang yang tidak mampu membayar salahsatunya (zakat tidak dan pajak juga tidak), karena kita termasukgolongan yang berada di bawah kemiskinan, maka terhadapgolongan ini tentu saja dibebaskan dari beban tersebut, dan bah-kan merekalah yang berhak menerima zakat dan pendaya-gunaan atas pajak. Semoga kita termasuk orang-orang yangsadar atas kedua kewajiban itu dan bisa melaksanakannya.Bukan malah sebaliknya, menjadi pembangkang dan mafia-mafia pajak.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

91

IVPUASA: ANTARA NILAI-NILAI

TEOLOGIS DAN SOSIAL-RELIGIUS

Puasa: antara Niat dan Manisfestasinya“Marhaban ya Ramadhan”; itulah ungkapan yang diucap-

kan oleh kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia dandunia untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Hirukpikuk untuk menyambut kedatangan bulan itu terjadi dimana-mana, telepon, sms, facebook, email atau media lainnya baikmedia cetak maupun elektronik. ‘Tamu Agung’ itu kini telahdatang lagi. Ibadah puasa Ramadhan pun dikerjakan lagi. Akan-kah hal ini hanya menjadi rutinitas belaka? Oleh karena itu,ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dihayati terkaitdengan ibadah puasa ini.

Dalam melaksanakan ibadah, terdapat satu hal sangatprinsip dan mendasar dalam pelaksanaan ibadah, termasukpuasa. Hal yang prinsip dan mendasar ini adalah niat, ibadahpuasa Ramadhan yang kita lakukan harus didasarkan padaniat. Artinya, dalam pandangan orang awam, kita harus niatdalam hati bahwa kita melaksanakan ibadah puasa. Sakingpentingnya niat ini, sampai-sampai anggota masyarakat kitamelaksanakannya secara bersamaan dalam satu waktu, seolah-olah menjadi forum formalnya. Waktu tertentu dan forum

F i q i h T r a d i s i

92

formal yang dimaksud adalah pada waktu setelah selesai me-laksanakan shalat tarawih. Umat Islam melaksanakan niatberpuasa secara bersamaan pada saat sesudah tarawih.Nawaitushauma ghadin ‘an adai fardhi al-syahri ramadhana hadzihi sanatifardha lillahi ta’ala.

Dalam hal ini terdapat sesuatu yang penting, yang kadang-kadang orang (masyarakat) awam kurang tahu dan kurangmengerti. Sesuatu itu adalah niat yang letaknya di dalam hati.Niat puasa yang dilafalkan dengan lisan secara bersama-samapada saat setelah tarawih itu bukanlah niat, melainkan bunyidari niat. Sehingga apabila seseorang belum niat dalam hati-nya bahwa dia puasa, maka orang yang seperti ini dapat di-katakan sebagai orang yang belum niat dan puasanya belumsah. Oleh karena itu, masyarakat awam jangan sampai lupabahwa setelah melafalkan bunyi niat puasa bersama-sama,mereka juga harus berniat dalam hati; atau dilakukan secarabersamaan. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, bahwa halseperti ini juga tergantung pada kebijakan suatu madzhabfiqh yang dianut oleh masyarakat. Apabila seseorang meng-ikuti madzhab tertentu dan berbeda dengan pengikut madzhablainnya, maka orang tersebut harus konsisten dengan keyakin-an yang dianutnya. Innama al-a’malu bi al-niyyat wa innamalikulli imri-in ma nawa (Sesungguhnya amal perbuatan [segalasesuatu] itu tergantung niatnya, dan hasil yang didapat bagiseseorang itu sesuai dengan niatnya).

Selanjutnya, kalau dicermati ibadah puasa ini meru-pakan ibadah yang sifatnya individual, jasmaniyah-ruhiyah.Memang benar bahwa ibadah puasa ini dilaksanakan secaraserempak oleh seluruh umat Islam sedunia tanpa terkecuali,tetapi pada hakekatnya ibadah ini adalah ibadah individual.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

93

Dalam arti bahwa orang yang melaksanakan puasa dan yangtahu bahwa dia itu berpuasa hanyalah dirinya sendiri, oranglain tidak ada yang tahu. Apalagi jika puasa yang dilakukanadalah puasa sunnah. Maka dalam hal ini orang lain tidak akanpernah tahu, jika orang yang berpuasa (shâim) tidak memberi-tahukan kepada orang lain bahwa dia puasa; dan ketika tidakditanya oleh orang lain.

Lebih dari itu, dalam ibadah puasa ini juga terdapatrahasia yang besar, rahasia yang tidak akan pernah ada orang(manusia) yang tahu. Karena rahasia ini yang tahu hanyaAllah SWT, dan bahkan Dia telah menjustifikasi bahwa puasaini adalah milik Allah, artinya Dia-lah yang akan memberikanbalasan pahala atas orang-orang yang melakukan ibadahpuasa. Dan balasan pahala atas orang yang berpuasa ini masihmenjadi rahasia Allah SWT, menjadi hak prerogatif Allah.Sehingga di sini pula yang menunjukkan adanya perbedaanantara ibadah puasa dengan ibadah lainnya. Sebagaimanadalam hadis qudsi dinyatakan bahwa: “Puasa itu untuk-Ku,Aku yang akan memberi balasannya”.

Hal yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimanakita bisa mengambil nilai-nilai sosial-teologis dari pelaksana-an ibadah puasa. Mengambil nilai-nilai sosial-teologis untukkemudian dijadikan sebagai pedoman dan pegangan dalammenjalani hidup di dunia ini, dalam kehidupan sehari-haripada sebelas bulan lainnya. Hal inilah yang dirasa cukup sulituntuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Sebagaimana ibadah-ibadah mahdhah lainnya, seperti shalat,zakat maupun haji; bagaimana kita bisa melaksanakan danmengimplementasikan nilai-nilai sosial-religius yang terkan-dung dalam ibadah tersebut. Karena pada kenyataannya yang

F i q i h T r a d i s i

94

terjadi adalah sebuah fenomena yang ‘ambigu’. Kita bisamelaksanakan ibadah puasa, shalat dan lainnya dan bahkankita mungkin menjustifikasi diri kita sebagai golongan yangibadahnya terbaik, tetapi dalam kehidupan sosial nyaris “nolputhul”, tidak membekas sama sekali. Sampai di sini, sudah-kah kita berpikir dan mau mengoreksi diri kita sendiri; kitasebagai umat Islam termasuk golongan yang mana? Golongan‘kiri’ (abangan) yang nyaris tidak pernah mengimplementasi-kannya, golongan kanan (priyayi) yang hampir dapat dipasti-kan selalu mengimplementasikan; atau golongan tengah(golongan yang magak: ibadah yes, maksiat yes), kanan-kiriok!. Atau mungkin kita termasuk golongan yang pintar ‘mem-provokasi’ orang lain agar berbuat baik, sedangkan kita tidakpernah atau jarang melakukannya.

Di sinilah sebenarnya nilai-nilai sosial-religius yang harusmenjadi dasar pijakan bagi semua umat Islam dalam mena-paki kehidupan ini. Jangan sampai kita terjebak pada hal-halyang sifatnya formalitas belaka, tanpa diimbangi denganaktualisasi ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Namun demi-kian, kita juga jangan sampai kebablasan, dengan menganggapbahwa yang paling penting adalah dimensi kehidupan sosial,sedangkan dimensi ukhrawi ditinggalkan sama sekali. Olehkarena itu yang paling penting adalah bagaimana kita bisamenyeimbangkan dan menselaraskan dimensi ukhrawi danduniawi dalam aktualisasi kehidupan bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara. Semoga, dengan puasa Ramadhan kitabisa mensinergikan aspek-aspek duniawi dengan nilai-nilaiukhrawi.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

95

Puasa sebagai Ibadah TerberatSebagai umat Islam, tentu kita semua sudah tahu dan

paham apa itu rukun Islam, ada berapa rukun Islam, dan bagai-mana melaksanakan rukun Islam, serta bagaimana kon-sekuensi bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya.

Kalau dipahami dan dicermati secara lebih mendalam,rukun Islam tersebut terbagi kedalam beberapa kategori;pertama, ibadah jasmaniyah-ruhiyah, yaitu ibadah yang dalampelaksanaannya membutuhkan adanya fisik/jasmani dan rohanisekaligus; ibadah yang termasuk dalam kategori ini adalahshalat dan puasa. Kedua, ibadah maliyah-ruhiyah, yaitu ibadahyang dalam pelaksanaannya memerlukan adanya harta bendadan dimensi rohani; ibadah yang masuk dalam kategori iniadalah zakat. Dan ketiga, ibadah jasmaniyah-maliyah-ruhiyah,yaitu ibadah yang dalam penunaiannya mengharuskan ada-nya jasmani, harta benda dan rohani sekaligus, yaitu ibadahhaji.

Sebagai ibadah jasmaniyah-ruhiyah, shalat dan puasamemang tidak ada perbedaan, karena dalam pelaksanaannyasama-sama membutuhkan adanya jasmani dan rohani. Meski-pun dari sisi tata cara pelaksanaannya, kedua ibadah itu memangberbeda; shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiridengan salam, yang di dalamnya terdapat gerakan-gerakandan bacaan-bacaan tertentu, sedangkan puasa tidak demikianadanya.

Shalat dilaksanakan sehari semalam sebanyak lima kalidan dalam waktu-waktu yang telah ditentukan; shubuh, zhuhur,ashar, maghrib, dan isya’. Secara khusus, dalam pelaksana-annya, shalat dalam satu waktu mungkin hanya membutuh-kan 2-5 menit; 2 menit bagi seseorang yang shalatnya ekstra

F i q i h T r a d i s i

96

cepat (kesusu), dan 5 menit bagi orang yang nyantai (tidaktergesa-gesa). Meskipun demikian, ada juga yang melaksana-kan shalat lebih dari 5 menit dalam satu waktu, misal shalatdi Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah.Akan tetapi, baik 2 atau 5 menit atau yang lebih dari itu sama-sama mengharuskan adanya ke­khusyu’-an (konsentrasi), aspekruhiyah/rohani. Pada aspek kekhusyu’an inilah yang dirasa beratoleh seseorang dalam melakukan shalat.

Zakat sebagai ibadah maliyah-ruhiyah, merupakan ibadahyang dalam pelaksanaannya membutuhkan adanya oranglain sebagai penerima, bersentuhan langsung dengan dimensisosial. Baik zakat fitrah maupun zakat mal (harta benda) misal-nya, keduanya berlaku persyaratan-persyaratan tertentu. Tetapiyang lebih mendasar adalah bahwa ibadah ini membutuhkanadanya harta benda dan penunaiannya harus didasarkan atassisi ruhiyah, semata karena Allah Swt. Hal ini tidak lain karenapada kenyataannya, tidak sedikit dari anggota masyarakat kitayang belum sadar atas kewajiban membayar zakat ini. Apalagijika mereka bersikukuh bahwa harta kekayaan mereka meru-pakan hasil jerih payah (keringat) mereka sendiri, sehinggatidak ada hak untuk orang lain. Pada aspek inilah yang mungkindirasa berat bagi mereka.

Demikian juga dengan ibadah haji, sebagai ibadah jasmani-yah-maliyah-ruhiyah, ibadah ini juga memiliki karakteristiktersendiri. Pelaksanaannya membutuhkan fisik yang kuat, ada-nya harta yang berlebih, dan kekhusyu’an dalam melaksana-kannya. Secara khusus, dalam konteks Indonesia, ibadah inimembutuhkan biaya yang cukup besar, dan pelaksanaannyapun berada di Makkah al-Mukarramah dan sekitarnya denganberbagai prakteknya, sehingga hanya mereka yang mampu

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

97

saja yang berkewajiban untuk menunaikannya (man istatha’ailaihi sabila). Biaya yang banyak dan kekhusyu’an dalam melak-sanakannya inilah yang dirasa berat.

Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa semua ibadahitu berdimensi sosial dan kita harus bisa mengejawantahkan-nya dalam kehidupan sehari-hari. Terlepas dari berbagai dimensisosial dalam berbagai macam ibadah tersebut, puasa memilikikekhasan tersendiri. Karena dalam pelaksanaannya tidak mem-butuhkan adanya ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan tertentusebagaimana shalat, tidak membutuhkan adanya harta sebagai-mana zakat, dan tidak membutuhkan biaya yang banyak sertaberada di tempat tertentu sebagaimana haji dan ini hanya ber-laku bagi mereka yang mampu. Akan tetapi, sebagaimana shalat,puasa harus dilaksanakan oleh semua orang Islam, lintasbatas baik kalangan maupun golongan.

Karena keumumannya inilah —berlaku bagi semuaorang— maka ibadah puasa dirasa cukup berat, apalagi jikadicermati bahwa puasa melebihi semua hal yang berat yangterdapat pada ibadah lainnya. Hal ini tidak lain karena orangyang berpuasa tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarangoleh agama; baik makan, minum dan hubungan seksual yangdapat membatalkan puasa maupun hal-hal yang dapat meng-urangi pahala puasa, seperti berkata-kata kotor, memfitnah,mengadu domba ataupun yang lainnya. Dalam konteks inilah,mengapa Rasulullah bersabda bahwa “banyak orang yangberpuasa tetapi dia tidak merasasakan nikmatnya puasa, kecualirasa lapar dan dahaga”.

Apalagi dalam pelaksanaan ibadah puasa ini, seseorangdituntut untuk berusaha khusyu’ (tidak melakukan hal-halyang membatalkan dan hal-hal yang dapat mengurangi pahala

F i q i h T r a d i s i

98

puasa) mulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnyamatahari atau sekitar 13 jam. Dan hal ini dilaksanakan selamasebulan penuh, 29 sampai 30 hari. Di sinilah aspek yang dirasasangat berat bagi masyarakat pada umumnya. Semua ibadahdisadari atau tidak, boleh jadi memang berat untuk dilaksana-kan. Shalat memang membutuhkan kekhusyu’an, tetapi ke-khusyu’an dalam hanya berdurasi beberapa menit yaitu ketikashalat itu dikerjakan. Selesai shalat, selesai pula kekhusyu’anitu. Zakat juga membutuhkan kekhusyu’an, tetapi kekhusyu’an-nya hanya berlangsung beberapa detik di saat seseorang mem-bayarkan zakat. Ibadah haji juga demikian, dalam pelaksana-annya membutuhkan kekhusyu’an, akan tetapi kekhusyu’anitu berlangsung beberapa hari saja. Berbeda dengan puasa,ibadah puasa benar-benar membutuhkan waktu yang cukuplama untuk melakukan kekhusyu’an itu, yaitu selama kuranglebih 13 jam dan dalam waktu sebulan penuh, antara 29-30 hari.Sungguh luar biasa beratnya, karena kalau tidak bisa khusyu’maka yang kita dapatkan hanyalah lapar dan dahaga semata.

Atas berbagai karakteristik dan kriteria puasa (baca:berat) inilah, maka Allah menjanjikan bahwa mereka yang dapatmelakukan ibadah puasa dengan khusyu’ akan diampuni semuadosanya dan akan suci kembali sebagaimana waktu dia di-lahirkan. Lebih dari itu, ibadah puasa ini juga mendapatkanjaminan tersendiri dari Allah, yang tidak dijumpai dalam ibadah-ibadah lainnya. Sebagaimana tersebut dalam hadis qudsi-Nya,Allah berfirman: Puasa itu untuk-Ku, Aku yang akan memberibalasannya. Dengan demikian puasa memiliki kedudukan ter-sendiri di sisi Allah Swt. Semoga kita semua benar-benar bisamelaksanakan ibadah puasa ini dengan penuh keikhlasan,sehingga selain tidak merasakan beratnya ibadah puasa, dan

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

99

penuh dengan kekhusyu’an sehingga kita akan mendapatkanapa yang telah dijanjikan oleh Allah Swt.

Puasa: Diantara Orang Sakit dan PekerjaSeluruh umat Islam sedunia diwajibkan untuk berpuasa

Ramadhan apabila waktunya telah tiba, yaitu pada bulan suciRamadhan. Dalam Islam, syari’at puasa ini bukanlah meru-pakan hal atau ibadah yang baru, akan tetapi agama Islam hanyameneruskan dan menyempurnakan praktek puasanya. Karenapada kenyataannya, umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muham-mad saw diutus telah ada praktek puasa itu khususnya padaumat-umat Nabi/Rasul terdahulu. Sebagaimana tersurat dalamfirman Allah surat al-Baqarah [2] ayat 183:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasasebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agarkamu bertakwa”.

Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwa tujuan akhir dariibadah puasa adalah agar umat Islam semakin meningkatkankeimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT Secara logismemang benar bahwa puasa itu untuk meningkatkan keiman-an dan ketaqwaan. Sebagai sebuah analog bahwa orang yangmelakukan puasa secara syari’at adalah dengan cara menahandan menjaga dari makan dan minum serta hal-hal yang dapatmembatalkan puasa. Apabila dipertimbangkan secara logika,siapa yang ingin lapar, siapa yang ingin haus, siapa yang ingindilarang melakukan hal-hal atau perbuatan yang diperboleh-

F i q i h T r a d i s i

100

kan. Tentu tidak ada yang mau melakukannya, tetapi karenapuasa sebagai perintah Allah dan untuk meningkatkan derajatkeimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, maka umatIslam rela dan ikhlas untuk melaksanakannya. Apalagi ternyatapuasa itu berlangsung cukup lama, yaitu 29 sampai 30 hari.Atas dasar ini pula, maka ada benarnya ketika sebagian umatIslam menganggap bahwa ibadah puasa merupakan ibadahyang paling berat.

Dalam praktek dan pada kenyataannya masih banyaksaudara-saudara kita yang belum sadar akan pentingnya ibadahpuasa ini. Terbukti tidak sedikit dari mereka, terutama masya-rakat awam yang masih belum mau melakukan ibadah puasa.Bahkan ada beberapa di antaranya adalah orang yang darisegi ekonominya mampu (kelas ekonomi menengah ke atas).Oleh karena itu benar bahwa ibadah ini adalah ibadah yangdilaksanakan dalam rangka meningkatkan keimanan dan ke-taqwaan kepada Allah SWT dan hanya orang-orang yangmempunyai keimanan dan ketaqwaan itulah yang mau me-lakukannya, sebagaimana ibadah-ibadah mahdhah lainnya.Tanpa adanya keimanan dan ketaqwaan dalam diri sese-orang, maka dapat dipastikan ibadah-ibadah yang disyari’at-kan Islam tidak akan pernah dilaksanakan, termasuk dalamhal ini puasa (Ramadhan).

Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa sebenarnya ibadahpuasa ini juga merupakan ibadah yang dilaksanakan secara‘lintas batas’ sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, tidak mem-bedakan kaya miskin, tua muda, sakit sehat, dan lain sebagai-nya. Semua yang meyakini bahwa Islam sebagai agamanya,pada hakekatnya harus melaksanakan ibadah-ibadah yangtelah disyari’atkan Allah tanpa terkecuali. Walaupun dalam

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

101

pelaksanaannya akan terdapat berbagai macam cara sesuaidengan kemampuan seseorang. Dan di sinilah letak kemudah-an dan kefleksibelan ibadah dalam Islam, tidak kaku dan tidakmemaksa.

Bagi orang sakit misalnya, ada praktek puasa secara khu-sus. Islam memberikan keringanan (rukhshah) dalam melak-sanakan puasa bagi orang yang sakit. Beberapa keringanandalam melaksanakan puasa itu antara lain: kalau seseorangyang sakit itu bisa melaksanakan puasa sebagaimana orangyang sehat dan dia mempunyai keyakinan atas itu, maka diaboleh melaksanakannya sebagaimana orang sehat, dan hal inidipandang sebagai praktek yang luar biasa. Kalau seseorangyang sakit tidak memiliki keyakinan atas itu, maka dia bolehtidak berpuasa dengan catatan membayar fidyah dan dia akanmenggantinya di hari lain. Akan tetapi sakit di sini bukanlahsakit yang ringan misalnya sakit kepala atau flu, melainkansakit yang berat atau parah yang tidak memungkinkan sese-orang untuk berpuasa. Sedangkan bagi orang yang sudah benar-benar tua dan tidak mampu berpuasa, maka cukup denganmembayar fidyah.

Demikian juga bagi orang-orang yang bekerja berat.Setiap hari bekerja dan di bulan Ramadhan juga bekerja; Islammemberikan keringanan bagi mereka pekerja berat. Keringan-an yang diberikan Islam bukan atas dasar asal-asalan tanpaadanya konsekuensi. Akan tetapi tentunya ada batasan-batas-an yang harus dipahami oleh umat Islam khususnya kaumpekerja bahwa bukan karena bekerja terus kemudian dia diberikeringanan untuk tidak berpuasa. Karena pada hakekatnyakeringanan itu diberikan kepada mereka untuk kemudian puasaitu dilaksanakan pada hari dan bulan lainnya. Pertanyaannya

F i q i h T r a d i s i

102

adalah adakah dia akan mau mengganti atau berpuasa di haridan bulan lain selain bulan Ramadhan? Karena pada kenyata-annya, kalau seseorang itu bekerja terus menerus, baik di luarbulan Ramadhan maupun di bulan Ramadhan dan dia bekerjaberat, maka yang terjadi adalah dia tidak akan pernah berpuasaseumur hidupnya. Di sinilah hal yang perlu dipikirkan dandipertimbangkan, sehingga tidak akan terjadi pelaksanaanibadah atas dasar semaunya sendiri.

Permasalahan di atas bisa dikatakan sebagai permasa-lahan yang cukup serius, karena pada kenyataannya tidaksedikit dari umat Islam yang menjadi pekerja berat. Fenomenaatau permasalahan tersebut harus segera dicarikan solusi se-cepat mungkin. Ada beberapa solusi yang dapat ditawarkansebagai alternatif pemecahannya, antara lain: pekerja berattersebut harus istirahat pada bulan Ramadhan dan mencariganti pekerjaan yang ringan selama di bulan Ramadhan agartetap bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Tetapi apakah inimungkin?, karena pada kenyataannya mencari pekerjaan sangatsulit sekarang ini, yang terjadi malah PHK dan penggusuran.Alternatif berikutnya adalah pemiliki pabrik atau perusahaanatau pemborong harus memberikan keringanan pekerjaanbagi mereka umat Islam agar dapat melaksanakan puasa danbisa tetap bekerja. Keringanan ini bisa berwujud pada peng-urangan jam kerja atau keringanan pekerjaannya dengan mem-berikan jam istirahat yang lebih dari sebelum berpuasa. Alter-natif selanjutnya adalah pihak pemborong atau pemilik per-usahaan/pabrik harus mau mengganti jam kerja di malamhari, dengan jumlah jam kerja sama dengan jam kerja siang.

Ketiga alternatif di atas seolah-olah hampir tidak mungkinuntuk dilaksanakan. Di satu sisi, semua pekerja tidak mau

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

103

kehilangan pekerjaannya, dan di sisi lain tidak ada pemborongatau pemilik perusahaan/pabrik yang mau mempekerjakanpekerja di malam hari. Andaikan pemborong atau pemilik pabrikmau melakukannya, maka permasalahan pekerja untuk bisaberpuasa bulan Ramadhan akan terlaksana. Tetapi apabila tidakada kemauan dari pemborong atau pemilik perusahaan, makaselamanya kaum pekerja yang beragama Islam tidak akan pernahmelakukan puasa di bulan Ramadhan. Jadi harus ada kebi-jakan tersendiri dari para pemborong atau pemilik perusaha-an/pabrik. Mungkinkah?

Oleh karena itu di sinilah letaknya unsur keimanan danketaqwaan. Kalau berbagai alteranatif di atas semuanya tidakmungkin dilaksanakan, maka semuanya kembali kepada pekerjaitu sendiri, tergantung pada diri pekerja. Kalau kaum pekerjamemiliki keyakinan, keimanan dan ketaqwaan kepada Allahdengan sebenar-benar taqwa, maka yakinlah bahwa dia akanmampu melakukan pekerjaannya dalam kondisi berpuasa.Menjadi buruh bangunan misalnya, sebagai contoh pekerjaanberat, kalau seseorang itu memiliki keyakinan bahwa Allahakan memberikan kekuatan pada diri mereka, maka insya Allahdia akan kuat melakukan pekerjaannya dalam keadaan ber-puasa. Artinya, bahwa janganlah pekerjaan-pekerjaan itu dijadi-kan alasan untuk tidak melakukan puasa. Jangan karena bekerjakemudian seseorang tidak berpuasa. Jiwa seperti inilah yangperlu dimiliki oleh semua umat Islam.

Lain halnya dengan permasalahan di atas (puasa bagipekerja), bagi orang awam pun juga terdapat permasalahan-permasalahan yang seringkali juga menyebabkan merekatidak melakukan ibadah, baik puasa, shalat maupun ibadah-ibadah lainnya, pada hal di saat yang sama dia adalah orang

F i q i h T r a d i s i

104

yang mengaku sebagai orang Islam. Tidak jauh berbeda denganfenomena di atas, seringkali kita juga menemukan orang-orangawam baik remaja, pemuda maupun orang dewasa yang tidakmelaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kita mem-berikan nasihat-nasihat juga tidak didengarnya, dan merekatidak mau tahu. Oleh karena itu, dalam hal ini yang menjadidasar pokok lagi penting adalah keimanan dan ketaqwaan.Keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah-lah yangmenjadikan dia mau melakukan semua perintah agama dalamkondisi apa pun dan bagaimana pun. Atau sebaliknya, dia akanmeninggalkan semua perintah agama karena keimanan danketaqwaan itu tidak dimilikinya.

Permasalahan lain yang muncul di masyarakat (negara)kita adalah adanya perbedaan jumlah hari dalam melaksana-kan ibadah puasa Ramadhan, baik awal penentuan puasa mau-pun penghabisannya. Di masyarakat (negara) kita beberapatahun terakhir telah terjadi perbedaan penentuan hari per-tama dalam pelaksanaan ibadah puasa dan penghabisannya.Artinya terdapat perbedaan dalam penentuan awam Ramadhandan awal Syawwal, dan hal ini sudah berlangsung berkali-kali.Perbedaan itu tidak hanya terjadi antara satu organisasi ke-agamaan dengan organisasi keagamaan lainnya, melainkandalam satu organisasi keagamaan sendiri juga sudah terjadiperbedaan, dan masing-masing perbedaan itu berlandaskanpada argumentasi-argumentasi yang dipandang mendekatikuat (kalau tidak bisa dikatakan kuat). Hal seperti ini padaakhirnya menjadikan kondisi keberagamaan masyarakatkurang menentu. Padahal sebenarnya kita (negara) memilikilembaga keagamaan tertinggi yang mewadahi organisasi-organisasi keagamaan tersebut. Lalu dimana eksistensi

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

105

lembaga tersebut? Belum lagi terdapat opini yang menya-takan bahwa permasalahan agama bukan merupakan urusanpemerintah atau negara, dan seterusnya. Negara dalam halini pemerintah tidak boleh turut campur dengan urusan-urusanagama. Sudah sedemikian parahkah kondisi negara kita?

Terlepas adanya perbedaan diantara umat Islam Indonesiadalam penentuan awal Ramadhan dan awal Syawwal; ter-dapat satu hal sangat prinsip dan mendasar dalam pelaksana-an ibadah puasa ini. Hal yang prinsip dan mendasar ini ada-lah niat, ibadah puasa Ramadhan yang kita lakukan harusberdasarkan niat. Artinya, dalam pandangan orang awam, kitaharus niat dalam hati bahwa kita melaksanakan ibadah puasa.Saking pentingnya niat ini, sampai-sampai anggota masya-rakat kita melaksanakannya secara bersamaan dalam satuwaktu, seolah-olah menjadi forum formalnya. Waktu tertentudan forum formal yang dimaksud adalah pada waktu setalahselesai melaksanakan shalat tarawih. Umat Islam melaksana-kan niat berpuasa secara bersamaan pada saat sesudahtarawih.

Dalam hal ini terdapat sesuatu yang penting, yang kadang-kadang orang (masyarakat) awam kurang tahu dan kurangmengerti. Sesuatu itu adalah niat yang letaknya di dalam hati.Niat puasa yang dilafalkan dengan lisan secara bersama-samapada saat setelah tarawih itu bukanlah niat, melainkan bunyidari niat. Sehingga apabila seseorang belum niat dalam hati-nya bahwa dia puasa, maka orang yang seperti ini dapat di-katakan sebagai orang yang belum niat dan puasanya belumsah. Oleh karena itu, masyarakat awam jangan sampai lupabahwa setelah melafalkan bunyi niat puasa bersama-sama,mereka juga harus berniat dalam hati. Akan tetapi, untuk

F i q i h T r a d i s i

106

kesekian kalinya, bahwa hal seperti ini juga tergantung padakebijakan suatu madzhab fiqh yang dianut oleh masyarakat.Apabila seseorang mengkuti madzhab tertentu dan berbedadengan pengikut madzhab lainnya, maka orang tersebut haruskonsisten dengan keyakinan yang dianutnya, sebagaimanahal-hal yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Selanjutnya, kalau dicermati ibadah puasa ini meru-pakan ibadah yang sifatnya individual. Memang benar bahwaibadah puasa ini dilaksanakan secara serempak oleh seluruhumat Islam sedunia tanpa terkecuali, tetapi pada hakekatnyaibadah ini adalah ibadah individual. Dalam arti bahwa orangyang melaksanakan puasa dan yang tahu bahwa dia itu ber-puasa hanyalah dirinya sendiri, orang lain tidak ada yang tahu.Apalagi jika puasa yang dilakukan adalah puasa sunnah.Maka dalam hal ini orang lain tidak akan pernah tahu, jikaorang yang berpuasa (shâim) tidak memberitahukan kepadaorang lain bahwa dia puasa; dan ketika tidak ditanya olehorang lain.

Lebih dari itu, dalam ibadah puasa ini juga terdapatrahasia yang besar, rahasia yang tidak akan pernah ada orang(manusia) yang tahu. Karena rahasia ini yang tahu hanyaAllah SWT, dan bahkan Dia telah menjustifikasi bahwa puasaini adalah milik Allah, artinya Dia-lah yang akan memberikanbalasan pahala atas orang-orang yang melakukan ibadahpuasa. Dan balasan pahala atas orang yang berpuasa ini masihmenjadi rahasia Allah SWT, menjadi hak prerogatif Allah.Sehingga di sini pula yang menunjukkan adanya perbedaanantara ibadah puasa dengan ibadah lainnya. Sebagaimanadalam hadis qudsi dinyatakan bahwa shaum li wa ana ajzi bihi(puasa itu untuk-Ku, Aku yang akan memberi balasannya).

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

107

Hal yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimanakita bisa mengambil nilai-nilai sosial-teologis dari pelak-sanaan ibadah puasa. Mengambil nilai-nilai sosial-teologisuntuk kemudian dijadikan sebagai pedoman dan pegangandalam menjalani hidup di dunia ini, dalam kehidupan sehari-hari pada sebelas bulan lainnya. Hal inilah yang dirasa cukupsulit untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Sebagaimana ibadah-ibadah mahdhah lainnya, seperti shalat,zakat maupun haji; bagaimana kita bisa melaksanakan danmengimplementasikan nilai-nilai sosial-religius yang ter-kandung dalam ibadah tersebut. Karena pada kenyataannyayang terjadi adalah sebuah fenomena yang ‘ambigu’. Kita bisamelaksanakan ibadah puasa, shalat dan lainnya dan bahkankita mungkin menjustifikasi diri kita sebagai golongan yangibadahnya terbaik, tetapi dalam kehidupan sosial nyaris “nolputhul”, tidak membekas sama sekali. Sampai di sini, sudah-kah kita berpikir dan mau mengoreksi diri kita sendiri; kitasebagai umat Islam termasuk golongan yang mana? Golongan‘kiri’ (abangan) yang nyaris tidak pernah mengimplementasi-kannya, golongan kanan (priyayi) yang hampir dapat dipasti-kan selalu mengimplementasikan; atau golongan tengah(golongan yang magak), kiri tidak, kanan juga tidak. Ataumungkin kita termasuk golongan yang pintar ‘memprovokasi’orang lain agar berbuat baik, sedangkan kita tidak pernah ataujarang melakukannya.

Di sinilah sebenarnya nilai-nilai sosial-religius yangharus menjadi dasar pijakan bagi semua umat Islam dalammenapaki kehidupan ini. Jangan sampai kita terjebak padahal-hal yang sifatnya formalitas belaka, tanpa diimbangi denganaktualisasi ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Namun

F i q i h T r a d i s i

108

demikian, kita juga jangan sampai kebablasan, dengan meng-anggap bahwa yang paling penting adalah dimensi kehidup-an sosial, sedangkan dimensi ukhrawi ditinggalkan samasekali. Oleh karena itu yang paling penting adalah bagaimanakita bisa menyeimbangkan dan menselaraskan dimensi ukhrawidan duniawi dalam aktualisasi kehidupan bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara.

Ramadhan: Bulan Solidaritas Semu?Ada banyak hikmah yang terkandung dalam ibadah

puasa Ramadhan, sebagaimana hikmah-hikmah yang terdapatdalam ibadah-ibadah lain yang disyari’atkan Allah SWT.Secara sepintas ibadah puasa terlihat seperti ibadah yang hanyamenahan lapar dan dahaga. Pemahaman seperti ini juga terjadipada ibadah lain, shalat misalnya, secara sederhana juga bisadigambarkan bahwa shalat adalah ibadah yang dilakukandengan gerakan-gerakan tertentu, gerakan-gerakan tubuh.Dalam pemahaman seperti ini, tidak salah jika ada seseorangyang mengatakan bahwa shalat itu tidak jauh berbeda denganolah raga, dan seterusnya.

Apabila pemahaman seperti di atas yang kita kedepan-kan, maka yang terjadi adalah sebuah pemahaman yang sangatsempit dan rigit. Lebih dari itu, pemahaman ini juga akan ber-implikasi pada praktek puasa yang penuh dengan keterpak-saan dan ke-nggrundel-an, ketidaksabaran, mudah marahkalau merasa lapar dan dahaga. Dan bahkan akan dapat me-nyebabkan seseorang tidak melakukan ibadah puasa, karenadia tidak dapat menahan rasa lapar dan dahaga, serta ber-asumsi bahwa puasa itu dapat menyiksa diri.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

109

Dari tahun ke tahun, kalau pemahaman seperti ini yangtertanam dalam diri seseorang, maka dapat dipastikan bahwamereka termasuk golongan orang-orang yang tidak tahu apahakekat puasa Ramadhan, dan apa hikmah di balik itu semua.Padahal terdapat banyak hikmah yang terkandung dalam ibadahpuasa Ramadhan. Walaupun pada kenyataannya, sangat sulitmenemukan hikmah puasa Ramadhan dan belum tentu semuaorang dapat merasakan hikmah tersebut.

Beberapa hikmah puasa Ramadhan itu antara lain adalahmenumbuhkan kesadaran atas penderitaan orang-orang fakirdan miskin. Dengan ibadah puasa Ramadhan ini kita bisasadar dan dapat merasakan bagaimana sulitnya penghidupanmasyarakat miskin. Ketika tidak ada sesuatu yang dapat di-makan, maka secara sederhana kita dapat merasakan bagai-mana rasa lapar yang dirasakan kaum miskin. Walaupun padakenyataannya, kesadaran atas penderitaan kaum miskin itubelum dapat menggerakkan hati kita untuk membantu mereka,belum dapat menumbuhkan sikap solidaritas kita terhadappenderitaan mereka. Sekaligus, kesadaran itu seringkali belumdapat menjadikan ‘bunga-bunga sosial’ kita semerbak danbertebaran pada diri mereka dan di sekeliling mereka.

Sikap solidaritas sosial terhadap fakir miskin ini sekali-gus juga merupakan hikmah dari ibadah puasa Ramadhan.Ibadah puasa Ramadhan mengajarkan dan mendidik kitauntuk menjadi insan-insan yang berkepribadian tangguh danmemiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kita jangan hanya dapatmerasakan penderitaan mereka —yang tidak jarang perasaanitu adalah perasaan semu—, akan tetapi bagaimana kita bisaberbuat lebih dari itu, yaitu diimbangi dengan sikap-sikapsosial yang mendidik.

F i q i h T r a d i s i

110

Sikap-sikap sosial yang mendidik ini antara lain dapatberwujud dengan kita memberikan bantuan, sumbangan berupaapapun untuk sedikit membantu meringankan beban pen-deritaan mereka. Bantuan ini tidak hanya berwujud pada makan-an yang kita berikan pada saat berbuka puasa dengan iming-iming pahala sebagaimana pahalanya orang puasa. Sebagai-mana kita tidak jarang mengadakan acara buka bersama atausahur bersama dan lain-lainnya —walaupun pada kenyataan-nya, orang-orang seperti ini pun juga masih belum banyak yangmelakukannya. Akan tetapi lebih dari itu, mungkin kita bisamemberikan bantuan berupa pekerjaan, bantuan biaya pen-didikan bagi anak-anak mereka. Atau mungkin juga berwujudbantuan kolektif, artinya bantuan-bantuan dari semua orangdalam suatu desa dikumpulkan menjadi satu untuk kemudi-an digunakan dalam rangka pembiayaan pendidikan anak-anakmiskin, atau anak-anak yatim, tentu hal ini lebih bermanfaat.

Lebih dari itu, kita (masyarakat) juga harus sadar bahwajangan sampai sikap-sikap solidaritas seperti ini, solidaritassosial di bulan suci Ramadhan, hanya berhenti di sini. Mak-sudnya, kita berlomba-lomba untuk melakukan amal-amalibadah sosial hanya di bulan Ramadhan saja, habis bulanRamadhan berakhir pula solidaritas itu. Hal ini yang harusdiperhatikan dan dipikirkan, agar kita jangan menjadi orang-orang muslim yang memiliki solidaritas semu. Solidaritas sosialyang hanya sesaat di bulan Ramadhan saja, sedangkan disebelas bulan lainnya kita tidak mau melakukannya. Sebagai-mana ketika terjadi bencana, musibah kita baru berbondong-bondong untuk memberikan bantuan. Karena bukan solidaritassosial di bulan Ramadhan (termasuk pada saat bencana/musibahterjadi) yang dipentingkan, akan tetapi solidaritas sosial di

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

111

luar bulan Ramadhan (tidak hanya ketika ada musibah) itulahyang amat sangat dipentingkan. Solidaritas yang dapat me-warnai hidup dan kehidupan kita sehari-hari sehingga dapatmembuahkan hasil, dan solidaritas sosial yang dapat menyer-bakkan aroma harum nan wangi tidak hanya pada diri kitatetapi juga pada orang-orang di sekitar kita.

Memang menumbuhkan sikap solidaritas sosial yanghakiki tidaklah mudah, akan tetapi bagaimana kita mau ber-usaha mencoba dan mencoba, mengetuk hati kita untuk berbuatdan mementingkan orang banyak, terutama untuk masyarakatmiskin. Sikap-sikap seperti ini tidak akan pernah muncul, apa-bila kita tidak melatihnya, mulai dari diri kita sendiri dan sedikitdemi sedikit, dan bila perlu memang harus dipaksakan agarmenjadi terbiasa. Semoga kita bisa melakukannya dan akhir-nya kita dapat terbiasa atas sikap-sikap solidaritas tersebut.Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang berman-faat dan memberikan manfaat kepada manusia lainnya?Khairun nas anfauhum linnas.

F i q i h T r a d i s i

112

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

113

VHAJI: ANTARA IBADAHDAN AMBISI PRIBADI

Haji merupakan rukun Islam yang kelima; ritual ibadahyang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam yang sudahmampu. Maksud mampu dalam hal ini tidak hanya mampudalam hal materi (biaya) semata, tetapi juga mampu dalamhal jasmani maupun rohani/psikis. Ibadah ini sedikit berbedadengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah yang membutuhkantotalitas diri, ibadah yang tidak bisa dilaksanakan kecualihanya di ‘Rumah Allah’ (Baitullah).

Sebagai ibadah jasmaniah-maliyah-ruhiyah, haji tidakhanya membutuhkan adanya jasmani yang sehat, tetapi jugamembutuhkan biaya yang tidak sedikit dan rohani yang sehat/matang pula. Memang syarat mampu dalam melaksanakanibadah haji ini adalah mampu dalam hal biaya; artinya bagisiapa saja yang sudah mempunyai biaya yang cukup makadia wajib melaksanakan ibadah haji, dan bahkan dalam pelak-sanaannya tidak bisa ditunda lagi. Penundaan secara sengajaatas ibadah ini selain berdosa juga seringkali menyebabkanhal-hal negatif yang tidak diinginkan, dan kadang-kadang diluar keampuan manusia.

F i q i h T r a d i s i

114

Akan tetapi, pada perkembangannya mampu dalam halbiaya masih terdapat unsur lain yang perlu dipertimbangkanlagi. Unsur lain yang perlu dipertimbangkan lagi tersebutmisalnya kesehatan fisik, dan termasuk kesehatan jiwa (psikis).Artinya, kewajiban melakukan ibadah haji tersebut bisa ditundaapabila orang yang akan melakukan ibadah haji menderitasakit parah, sehingga harus menunggu kesembuhannya terlebihdahulu. Demikian juga ketika seseorang sudah berkewajibanmelakukan ibadah haji, tetapi kondisi jiwa (psikis)nya kurangnormal, maka boleh jadi penundaan atas ibadahnya merupakanlangkah yang tidak perlu disalahkan. Walaupun pada kenyata-annya, tidak sedikit dari calon jamaah haji yang nekat berang-kat dengan kondisi fisik yang kurang memungkinkan. Haldemikian bisa saja terjadi ketika calon jamaah haji memilikiniat (kemauan) yang kuat dan yakin atas kekuasaan Allah SWT.

Oleh karena itu, untuk memenuhi persyaratan tersebut,di Indonesia telah ditempuh suatu kebijakan, bahwa bagi siapasaja yang akan melakukan ibadah haji harus melakukan peme-riksaan kesehatan (general check up). Hal ini dilakukan, dengantujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misal-nya di Tanah Suci malah sakit parah tidak bisa melakukanibadah haji, menjadi tanggungan orang lain, dan sebagainya.Selain itu, pada kenyataannya bahwa dalam pelaksanaannya,ibadah haji boleh diwakilkan; misalnya ada orang Islam yangsudah berkewajiban melakukan ibadah haji, tetapi dia sakitparah dan dalam waktu yang lama, maka ibadah hajinya bolehdiwakilkan oleh salah satu anggota keluarganya. Atau ketikadi Tanah Suci sakit dan tidak bisa melaksanakan beberaparukun haji, maka sebagai gantinya boleh meminta orang lainuntuk melaksanakannya.

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

115

Dalam pelaksanaannya, orang Islam Indonesia yangakan melaksanakan ibadah haji telah dikoordinir oleh Kemen-terian Agama. Sehingga terdapat sekian banyak prosedur yangharus dilalui, mulai pendaftaran sampai pemberangkatan.Bahkan beberapa tahun terakhir ini, walaupun biaya mahalakan tetapi jumlah calon jamaah haji malah semakin meningkatsampai melebihi kuota yang telah ditetapkan. Pada akhirnya,tidak sedikit dari calon jamaah haji Indonesia yang daftartahun ini tetapi tidak bisa melaksanakan ibadah haji padatahun yang sama, melainkan pada tahun berikutnya. Hal inibukan berarti bahwa ada unsur kesengajaan atas penundaanibadah haji dari calon jamaah itu, melainkan karena kuota yangsudah penuh dan memang tidak ada jalan lain selain me-nunggu tahun berikutnya karena memang sudah diatur olehpemerintah. Sehingga kalau yang terjadi demikian, makatidak ada dosa bagi calon jamaah haji tersebut, dan memangsebagai warga negara yang baik harus mentaati peraturanpemerintah yang berlaku. Oleh karena itu, pelaksanaan ibadahhaji sekarang berbeda dengan zaman dahulu.

Meningkatnya jumlah calon jamaah haji dari tahun ketahun menunjukkan bahwa orang Islam Indonesia memangbenar-benar mempunyai komitmen yang tinggi atas syari’atAllah, dan ingin menyempurnakan rukun Islamnya. Akantetapi dalam hal ini terdapat suatu pertimbangan yang layakuntuk dipikirkan, bahwa jangan sampai ibadah haji yangdilakukan itu berdasarkan atas berbagai alasan yang sifatnyasesaat dan serba duniawi. Hal demikian bisa saja terjadi, se-bagaimana mungkin para politikus yang ingin mendapatkansimpati dari masyarakat atas kepentingan tertentu. Atau adaseseorang yang melaksanakan ibadah haji karena status

F i q i h T r a d i s i

116

sosialnya, kalau tidak ibadah haji dia akan dicemooh, menjadibahan perbincangan masyarakat sekitar, dan seterusnya.

Lebih dari itu, sebenarnya ada sebuah fenomena yangperlu dipertimbangkan dan perlu mendapatkan perhatian,khususnya oleh orang-orang yang akan dan sudah melak-sanakan ibadah haji. Fenomena tersebut adalah kemiskinandan keterbelakangan. Hal ini menjadi sangat penting, karenapada kenyataannya sedikit sekali dan bahkan mungkin tidakada orang-orang yang memiliki kepedulian sosial (sense of social)terhadap masyarakat miskin. Kebanyakan masyarakat kitatidak mau tahu dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Apayang dimaksud dalam uraian ini adalah bagaimana kita bisamengedepankan dimensi-dimensi sosial yang pada kenyata-annya kadang-kadang jauh lebih penting dibanding denganibadah mahdhah.

Sebagaimana dalam pelaksanaan ibadah haji, hal yangperlu dipertimbangkan dan mendapatkan perhatian adalahbagaimana perasaan (komitmen) kita terhadap masyarakatmiskin, apakah ibadah haji memang kebutuhan yang sangatmendesak, apakah tidak lebih baik ketika kita lebih mementing-kan masyarakat miskin di sekitar kita, karena banyak sekalimasyarakat miskin yang membutuhkan uluran tangan kita.Artinya kita bisa saja menunda keberangkatan untuk melak-sanakan ibadah haji, karena faktor sosial yang seringkali jauhlebih penting. Pertanyaan sederhana yang perlu dimunculkanadalah untuk apa kita melaksanakan ibadah haji sedangtetangga kita dalam keadaan kesusahan, masyarakat sekitarkita sedang kesulitan ekonomi dan lain sebagainya. Apakahtidak lebih baik menunda ibadah haji karena alasan sosial yangjauh lebih penting. Dan sederetan pertanyaan atau pertim-

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

117

bangan lainnya yang perlu dikedepankan. Karena ibadah hajiadalah ibadah individual (personal) sedangkan membantumasyarakat miskin adalah ibadah sosial.

Lebih parah lagi jika orang yang melaksanakan ibadahhaji adalah orang yang sudah pernah melakukan ibadah haji.Artinya ada seseorang yang melaksanakan ibadah haji lebihdari satu kali. Dalam pandangan kita, mungkin ibadah hajiyang dilakukan oleh orang yang seperti ini —yang lebih darisatu— adalah ibadah haji yang ‘sia-sia’. Alasannya sederhanasaja, karena mengapa atau untuk apa melakukan ibadah hajilebih dari satu kali, padahal di saat yang sama seseorang itumasih belum bisa memperbaiki akhlak-moralnya, masih seringmelakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh sese-orang yang telah melakukan ibadah haji. Lebih dari itu, danmungkin ini yang lebih penting, bahwa banyak orang-orangmiskin di sekitarnya yang membutuhkan ‘bunga-bunga sosial’mereka. Jangankan ibadah haji yang kedua, ketiga dan seterus-nya, ibadah haji pertama yang kemudian dibatalkan karenaalasan sosial-kemasyarakatan mungkin akan dipandang olehTuhan sebagai ibadah yang lebih baik dan memiliki atau men-dapatkan pahala yang sama dengan orang yang telah melaku-kan ibadah haji. Dan bahkan mungkin dia akan dicatat olehAllah sebagai orang yang benar-benar melakukan ibadah haji.Bukankah hal ini merupakan sesuatu hal yang mungkin sajaterjadi di ‘mata’ Allah. Dalam hal ini, lain dan tidak adalahbagaimana sebenarnya kita dapat lebih mengedepankandimensi-dimensi (kepentingan) sosial (sense of social) di ataskepentingan dan ambisi pribadi (individual).

Pada sisi lain, kita juga tidak jarang menyaksikan orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dalam kondisi fisik

F i q i h T r a d i s i

118

yang —dalam pandangan kita—bertentangan. Maksudnya,tidak sedikit orang yang berangkat ibadah haji dalam keadaansakit tetapi setelah pulang dari Tanah Suci malah sembuhdan sehat. Dan bahkan menurut cerita dari sesama jama’ah haji,dia malah segar bugar dapat melaksanakan semua amalan-amalan wajib dan sunnah haji di Baitullah maupun di tempat-tempat lain. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit dari jama’ahhaji yang ketika berangkat dalam kondisi sehat wal ‘afiyat,tetapi pulang dari haji malah mendapat ‘ganjaran’ dari Tuhanberupa sakit, seperti lumpuh, strok, dan kondisi-kondisi sakitsebagainya. Lain dan tidak, kadang-kadang hal itu merupa-kan akibat dari berbagai perilaku yang telah dilakukan selamasebelum berangkat ihram. Pada posisi (keadaan) seperti ini,ternyata seringkali kita juga belum bisa mengambil pelajaran(ibrah), ada apa di balik itu semua, apa hikmah-hikmahnya.

Sampai di sini, mungkin kita bisa merenungkan danmemikirkan bahwa sebenarnya ada kaitan erat yang tidak bisadipisahkan antara perbuatan manusia dengan akibat-akibatyang akan terjadi dan dipikulnya. Perbuatan manusia yangbaik juga akan mendapatkan balasan yang baik, dan perbuat-an manusia yang jelek juga akan mendapatkan balasan yangjelek. Balasan dari Tuhan ada kalanya diberikan langsung didunia, dan ada kalanya juga ditangguhkan untuk kemudiandiberikan di akhirat nanti. Secara khusus bagi mereka yangakan berangkat ibadah haji dalam kondisi sakit, lalu ketikadi Tanah Suci sehat dan sampai pulang juga sehat adalah mung-kin merupakan ujian dari Allah. Demikian juga ketika adacalon jamaah haji dalam kondisi sehat, tetapi di Tanah Harammalah sakit dan tidak dapat melaksanakan semua amalanibadah haji, bahkan sampai pulang di rumah juga masih sakit

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

119

dan tak kunjung sembuh, maka hal ini juga merupakan ujiandari Allah, kasih sayang Tuhan kepada mereka.

Jadi, dalam melaksanakan ibadah haji ini ada banyakhal yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lebih lanjut.Apakah kepentingan-kepentingan individual yang harusselalu dikedepankan ataukah kepentingan-kepentingan sosialyang mungkin lebih penting. Bagi mereka yang sejak awalsudah berniat ihram, ibadah haji, dengan mencari dan meng-umpulkan rezeki dari Allah SWT, dan sudah bertahun-tahunproses pengumpulannya, maka ketika tiba waktunya (pang-gilan Ilahi) tentu tidak boleh ditunda-tunda. Dan pada saatitu mungkin merupakan anugerah Allah yang terbesar, karenasetiap umat Islam pasti mendambakan untuk bisa melaksana-kan rukun Islam yang kelima ini. Akan tetapi bagi merekayang sudah melaksanakan ibadah haji, maka ketika ada ke-lebihan harta, karena Allah memang telah menganugerahkannikmat-Nya kepada mereka, maka ada baiknya merekamempertimbangkan dimensi-dimensi sosial kemasyarakatanyang mungkin lebih membutuhkan uluran tangan mereka.

Di sisi lain, pada masyarakat Jawa terdapat sebuah ke-biasaan tersendiri yang terkait erat dengan ibadah haji. Ke-biasaan tersebut merupakan bagian dari sebuah rentetan‘ritual’ ibadah haji, baik sebelum berangkat, pada saat melak-sanakan ibadah haji maupun lebih-lebih setelah pulang dariibadah haji. Kebiasaan yang terkait erat dengan pelaksanaanibadah haji tersebut adalah selamatan. Selamatan yang di-adakan sebelum pemberangkatan seseorang yang akan me-nunaikan ibadah haji, sebagai tanda atau simbol rasa syukurkepada Allah dan untuk meminta berkah serta tambahan doapangestu dari masyarakat sekitar. Acara selamatan ini dilak-

F i q i h T r a d i s i

120

sanakan dalam rangka memohon kepada Allah agar dalammelaksanakan ibadah haji nanti, dia diberikan kekuatan olehAllah baik lahir dan batin serta dapat melaksanakan semuaamalan ibadah haji dengan sempurna. Sehingga, dalam halini, kita banyak menyaksikan orang-orang yang datang untukmemberikan ucapan selamat dan doa restu selama berhari-hari, selain uapacara selamatan yang formal secara tersendiri.

Pada saat seseorang melaksanakan ibadah haji pun,ritual-ritual upacara selamatan itu juga tetap dan masih di-berlangsungkan. Ritual upacara selamatan ini dilaksanakansampai seseorang yang menunaikan ibadah haji itu kembali(pulang). Pada masyarakat Jawa, tradisi selamatan yang di-tujukan kepada seseorang yang melaksanakan ibadah hajiyang tentunya diselenggarakan oleh orang-orang atau keluargayang ditinggalkan, memiliki tatacara tertentu dan dilaksana-kan satu minggu sekali. Tatacara selamatan (kirim doa) inidilaksanakan dengan mengundang beberapa orang (biasanyajama’ah Yasin Tahlil lingkungan RT) untuk membaca ataumelafalkan bacaan-bacaan tertentu, misalnya membaca suratYasin beberapa kali, yang sebelumnya diawali dengan hadiahsurat Fatihah beberapa kali dan diakhiri dengan doa mengharapkeselamatan kepada Allah SWT. Di akhir ritual selamatanini para jamaah disediakan makanan satu piring dan satugelas minuman teh atau lainnya. Kadang-kadang pada waktupulang dari upacara selamatan ini, mereka juga diberi berkat(satu porsi makanan dalam sebuah wadah). Demikian jugapada upacara selamatan yang paling akhir yaitu ketika sese-orang yang ihram akan pulang, para jamaah diberi kenang-kenangan (hadiah, souvenir), misalnya sarung, baju, sajadahdan lain sebagainya. Hal demikian dilakukan sebagai tanda

F i q i h I b a d a h M a s y a r a k a t A w a m

121

ucapan terima kasih atas bantuan doa-doa yang dikirimkankepada anggota keluarganya yang melaksanakan ibadah haji.

Demikian juga halnya dengan upacara selamatan yangdilaksanakan setelah seseorang pulang dari ibadah haji. Se-lamatan ini dilaksanakan beberapa minggu, dan bahkan adayang sampai satu bulan. Secara khusus, selamatan ini dilak-sanakan dalam bentuk pemberian hidangan makanan kecil-kecil (kue-kue), satu porsi nasi dan minuman, serta tidak keting-galan juga air zam zam. Pada umumnya, dalam kesempatanini para jamaah yang datang tidak hanya orang-orang yangtinggal di lingkungan dusun atau desanya, tetapi juga orang-orang yang jauh tempat tinggalnya, tidak lain karena hubung-an famili, kerabat, teman, atasan atau bawahan, dan relasisosial lainnya. Tidak lain, maksud dan tujuan mereka adalahuntuk silaturrahim dan memberi ucapan selamat atas selesai-nya menunaikan ibadah haji, dan mereka semua mendoakansemoga menjadi haji yang mabrur. Dalam hal ini mereka jugameminta barokah doa kepada seseorang yang pulang dariibadah haji tersebut, secara khusus agar mereka segera men-dapatkan panggilan dari Allah untuk bisa melaksanakanibadah yang sama. Di akhir kunjungan (silaturrahim)nya,tidak jarang mereka —kebanyakan orang-orang dekat— diberioleh-oleh, misalnya berupa tasbih, sajadah, peci (kopyah) ataulainnya.

Hal lain yang sudah menjadi kebiasaan pada saatmereka silaturrahim adalah mereka selalu menanyakan danmembicarakan bagaimana keadaan seseorang yang ibadahhaji tersebut, dari berangkat, keadaan di Tanah Suci, dan sam-pai perjalanan pulang. Sehingga dalam kesempatan ini ter-dapat sekian banyak cerita yang disampaikan oleh ‘tamu

F i q i h T r a d i s i

122

Allah’ tersebut. Bahkan tidak sedikit, pada akhirnya merekamengarah pada unsur pembicaraan yang membicarakanorang lain (menggunjing, ngerasani atau bentuk-bentuk lain-nya). Hal demikian ini sebenarnya dan alangkah lebih baikjika dihindari. Demikian seterusnya, jika yang mereka kun-jungi dalam rangka ziarah haji ini ada banyak tempat, karenakebetulan memang ada banyak temannya atau familinya yangpulang dari ibadah haji.

Akhirnya, sebagai upacara yang paling terakhir darisemua rentetan penyelenggaraan selamatan dalam rangkapelaksanaan ibadah haji ini adalah penutupan acara selamat-an secara formal secara besar-besaran. Di masyarakat Jawa,acara ini sering kali dilaksanakan dengan mengundang salahseorang muballigh (da’i, penceramah). Hal ini dilaksanakandalam rangka menutup atau mengakhiri semua rentetanupacara selamatan haji. Hal demikian tidak lain karena padakenyataannya, tidak sedikit dalam pandangan orang awam,akan menjadi aneh jika seseorang yang telah menunaikanibadah haji tersebut tidak menyelenggarakan serentetanupacara selamatan ini. Dan bahkan yang mungkin lebih parahlagi adalah akan menjadi bahan pembicaraan, pergunjinganmasyarakat sekitar. Oleh karena itu, terlepas dari berbagai sudutpandang negatif atas rentetan upacara selamatan haji ini, yangjelas hal inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam Jawadalam ikut memberikan dukungan moril atas pelaksanaanibadah haji. Tentunya, upacara selamatan haji ini belum tentudapat kita ketemukan pada tradisi masyarakat Indonesialainnya, bahkan di dunia Islam lainnya; kalau pun ada, mung-kin dan bisa jadi dalam bentuk upacara selamatan yang ber-beda.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

123

PROBLEMA NIKAH SIRRI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI SEBAGAI VIRUS

PERADABAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN: PROSES

REHABILITASI DAN FITRAH KEHIDUPAN MANUSIA MORAL HUKUM: ASPEK YANG TERLUPAKAN

TERORIS INTELEKTUAL PENYAKIT AKUT MASYARAKAT

KHUTBAH JUM’AT: ANTARA PESAN SOSIAL-RELIGIUS DAN PENGANTAR TIDUR KURBAN: PUNCAK PENGABDIAN

MEMBANGUN MORALITAS MASYARAKAT

F I Q I H S O S I A LK A U M M U S L I M

B a g i a n K e e m p a t

F i q i h T r a d i s i

124

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

125

IPROBLEMA NIKAH SIRRI

Belakangan ini kita sering mendengar berbagai isu ataufenomena yang mengusik berbagai kalangan. Fenomena ke-agamaan ini muncul bukan tanpa adanya faktor-faktor yangmelatarbelakanginya. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahuibahwa dalam banyak hal, sebuah fenomena itu muncul karenadilatarbelakangi oleh berbagai faktor, baik langsung maupuntidak langsung, intern maupun ekstern dalam kehidupan ber-masyarakat dan bernegara. Demikian juga fenomena yangterjadi pada tahun lalu, munculnya perdebatan atas pemidana-an nikah sirri. Sebagaimana Rancangan Undang-Undangtentang Hukum Material Peradilan Bidang Perkawinan (RUUHMPBP). Masyarakat pun kian gencar memperbincangkansanksi pidana bagi pelaku nikah sirri, mut’ah (kontrak), per-kawinan kedua, ketiga dan keempat, perceraian tanpa di mukapengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggungjawab, menikahkan atau menjadi wali nikah.

Perdebatan dan kontroversi atas kasus pemidanaannikah sirri ini terjadi tidak lain karena disebabkan oleh beber-apa hal, antara lain karena adanya ’perang dingin’ antara wilayahnegara dengan wilayah agama. Di sisi lain, ada kemungkinan

F i q i h T r a d i s i

126

nikah sirri ini menyebabkan atau mendatangkan kemadharat-an. Dan mungkin hal yang terakhir ini yang banyak terjadi dikehidupan masyarakat Indonesia, sehingga diperlukan peng-aturan tersendiri melalui perundang-undangan.

Fenomena paling mutakhir terkait dengan anak yangdihasilkan dari hubungan gelap. Sebagaimana diputuskanoleh Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa hari yang lalu (17Pebruari 2012) bahwa anak yang lahir di luar perkawinan me-miliki hubungan perdata dengan ayah biologis. Lebih lanjutdijelaskan bahwa aturan itu mengikat terhadap segala bentukpernikahan tidak resmi, mulai dari pernikahan sirri, perzina-an, perselingkuhan hingga kumpul kebo. Dalam kasus per-nikahan sirri yang terakhir ini, Machica Mochtar mengajukangugatan uji materi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.

Perlu ditegaskan bahwa perkawinan merupakan titik awaldalam membentuk rumah tangga, sehingga sudah semestinyapersoalan rumah tangga menjadi prioritas utama yang yangmenjadi pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Artinya, rumah tangga yang diwujudkan melalui perkawinanharus diatur secara tegas dalam hukum dan perundang-undang-an agar dapat tercapai adanya kepastian hukum, sehingga ter-hindar dari kemadharatan dalam kehidupan bermasyarakat.Apalagi tujuan perkawinan adalah untuk membina rumahtangga bahagia sejahtera dunia akhirat, mawaddah wa rahmah.Firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Dandi antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakanuntukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramurasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

127

Di negara kita, sebenarnya telah ada ketentuan hukumyang dengan jelas memberikan alur yang tepat terhadap sese-orang yang akan melangsungkan perkawinan, sebagaimanadiatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2): “tiap-tiapperkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku”. Pencatatan perkawinan ini merupakan per-wujudan siasah syar’iyyah dari pemerintah yang harus ditaatiuntuk terwujudnya kemaslahatan.

Oleh karena itu, nikah sirri adalah pernikahan yang hanyamemenuhi prosedur keagamaan. Nikah sirri artinya nikahsecara rahasia, tanpa melaporkannya ke KUA atau KantorCatatan Sipil. Perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilak-sanakan secara diam-diam atau perkawinan yang dirahasia-kan dimana perkawinan sirri tersebut hanya dilaksanakandi muka seorang tokoh agama atau kyai/ulama dengan meng-indahkan syariat Islam, akan tetapi tanpa adanya pencatatanyang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

Akibat Hukum Perkawinan SirriSebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai

akibat-akibat hukum, bagi bagi suami, istri maupun bagi anak-anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan tersebut, sepertipenyelesaian harta bersama, penguasaan anak, kewajibanmemikul biaya pendidikan anak.

Perkawinan sirri adalah perkawinan yang tidak sah ber-dasarkan perundang-undangan yang berlaku yang menya-takan bahwa anak yang sah adalah anak yang dihasilkandalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, maka anaktersebut hanya berhak mewarisi ibunya, hal ini sesuai dengan

F i q i h T r a d i s i

128

hukum perdata dan Undang-undang Perkawinan No. 1Tahun 1974 pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa anakyang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunyadan keluarga ibunya.

Perkawinan ini juga berdampak pada hal-hal sebagaiberikut: pertama, terhadap isteri: (1) istri tidak dianggap sebagaiistri yang sah, (2) istri tidak memiliki atas nafkah dan warisandari suami jika ia meninggal dunia, (3) istri tidak memiliki hakatas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secarahukum perkawinan tersebut tidak akan pernah terjadi. Secarasosial, seorang istri akan sulit bersosialisasi karena perempu-an tersebut dianggap telah tinggal serumah dengan laki-lakitanpa ikatan perkawinan atau dianggap sebagai istri sim-panan.

Kedua, terhadap anak; (1) status anak yang dilahirkandianggap sebagai anak yang tidak sah. Konsekuensinya, anakhanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan ke-luarga ibu. Artinya anak tidak mempunyai hubungan hukumterhadap ayahnya (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan, pasal100 KHI). Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggapsebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan namaibu yang melahirkannya, dan hal ini akan berdampakj seriussecara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya. (2) ketidak-jelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubung-an antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga suatu waktu bisasaja ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anakkandungnya. (3) yang jelas dirugikan adalah anak tidak berhakatas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisandari ayahnya.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

129

Ketiga, terhadap laki-laki atau suami; dalam hal ini ham-pir tidak ada dampak yang merugikan bagi suami, yang terjadijustru sebaliknya, laki-laki atau suami mendapatkan keuntung-an, karena: (1) suami bebas menikah lagi, karena perkawinansebelumnya dianggap tidak sah di mata hukum, (2) suami bisaberkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikannafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya, (3)tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisandan lainnya (Huda, 2009: 13-14).

Apabila demikian, maka nikah sirri tentu lebih banyakmendatangkan madharat dibandingkan manfaatnya. Jelassekali nikah sirri tidak dapat mewujudkan maksud-maksuddisyari’atkannya pernikahan.

Sebagai catatan terakhir, bahwa kita mengetahui agama(Islam) memiliki hukum-hukum dan aturan-aturan, demikianjuga negara. Ketika hal-hal yang ada dalam agama dimasuk-kan (atau dipaksa masuk) pada ranah negara, maka negosiasiatau dialog antara agama dan negara merupakan suatu halyang penting dan tidak bisa dihindari. Hal yang harus digaris-bawahi adalah bahwa negosiasi antara agama dengan negaraharus mengarah pada satu tujuan yaitu demi terciptanya ke-maslahatan, bukan sebaliknya. Walaupun dalam banyak halmasih perlu dikaji dan diteliti secara lebih kritis dan men-dalam.

Perkawinan sirri menyisakan banyak persoalan hukum,terutama akibat hukum terhadap anak yang lahir dari per-kawinan tersebut. Selain itu juga terdapat dampak psikologisdan sosiologis yang akan dialami oleh mereka yang terlibatlangsung dari perkawinan sirri tersebut. Oleh karena itu, mun-culnya gagasan tentang pemidanaan nikah sirri perlu disambut

F i q i h T r a d i s i

130

positif, tetapi dengan catatan bukan pada ranah pidananya.Demikian juga dengan munculnya keputusan Mahkamah Kons-titusi (MK) atas anak hubungan gelap juga harus disambutpositif, karena dengan demikian kaum lelaki tidak seenaknyasendiri melakukan hubungan gelap lagi, apalagi jika ada anakmaka dia tidak bisa lari dari tanggung jawab.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

131

IIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

SEBAGAI VIRUS PERADABAN

Perkembangan dan kebebasan media massa merupakantolok ukur kemajuan dunia informasi. Kemajuan dunia infor-masi ini dapat kita saksikan di seluruh belahan dunia, termasukdi Indonesia, media cetak dan elektronik telah berkembangcukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid,televisi, VCD, dan internet sangat jauh meningkat. Namunpeningkatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan pening-katan kualitas. Bila dicermati isinya, banyak media yang tidakberbobot dan terkesan hanya memenuhi alasan selera pasar.Salah satu yang ditonjolkan adalah eksploitasi seksual. Kasus-kasus pornografi yang mencuat beberapa waktu lalu —dansekarang juga masih terjadi— adalah bukti akan rendahnyakualitas kebanyakan media yang ada.

Terlepas dari perdebatan tentang definisi pornografi danpornoaksi, bila media-media itu dicermati dari sudut pandangisi dan gambarnya, tidak ada asosiasi lain kecuali orientasiseksual. Gambar atau foto perempuan dengan pakaian minim(bahkan ada yang hanya ditutupi dengan daun pisang) sertanarasi yang dituturkan secara vulgar jelas-jelas tidak dapatdiasosiasikan lain selain seksual. Celakanya, media semacam

F i q i h T r a d i s i

132

ini secara bebas bisa diperoleh dengan mudah di kios-kios kecilpinggir jalan maupun di perempatan lampu lalu lintas. Siapapun bisa mengakses tanpa melihat batas usia, tentu denganharga yang sangat murah.

Lahan subur bagi berkembangnya pornografi dan porno-aksi yang sangat meresahkan adalah juga melalui VCD. Jutaankeeping VCD porno yang beredar di masyarakat, siap untukditonton oleh siapapun dan dimanapun. Dengan hanya ber-modal beberapa lembar uang ribuan, orang yang tingkat ekonomi-nya rendah sekalipun dapat menikmati tayangan yang saratdengan unsur seksual vulgar tersebut. Tayangan TV pun tidakketinggalan mulai berani turut ambil bagian dalam mena-yangkan eksploitasi seksual. Demikian juga dengan sejumlahvideo klip bagi dari lagu-lagu Barat maupun dalam negeri ham-pir dapat dikatakan sealu menonjolkan unsur seksual. KasusInul misalnya, semakin menambah panjang daftar pornografidan pornoaksi. Iklan dan film pun tidak jauh berbeda. Bahkanperkembangan yang terakhir, pornografi dan pornoaksi sudahmerambah pada telepon genggam (HP).

Pornografi dan pornoaksi yang tampil dalam dunia“abstrak” di tabloid, VCD, TV, internet, dan HP ternyata mene-mukan bentuk “kongkret”-nya di tengah masyarakat. Hadir-nya sejumlah tempat hiburan yang membuka pintu lebar-lebar bagi eksploitasi seksual cukup untuk dikatakan “gayungbersambut”. Tempat-tempat semacam itu seakan menjadi mediapenyaluran yang pas dari apa yang telah mereka lihat di tabloid,TV, VCD, internet maupun HP. Adanya transaksi seks di sejum-lah cafe dan diskotik bukan menjadi rahasia lagi. Kalau dulu,kehidupan seks bebas dilakukan untuk tujuan mencari uang, tetapisekarang sudah merambah ke arah sekadar “just have a fun”.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

133

Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara terusmenerus dengan suguhan atau menu yang tidak mengindah-kan batas-batas nilai kesopanan dan kesusilaan, bukan tidakmungkin masyarakat akan sampai pada satu titik dimana porno-grafi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yangtabu dan asusila. Masyarakat akan menjadi terbiasa dan meng-anggap semua itu sebagai kewajaran. Diawali dengan terbiasamelihat dan membaca, lama kelamaan perilaku pun berubah.Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikapapatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melaku-kan apapun tanpa adanya kontrol masyarakat.

Lemahnya kontrol masyarakat akan mengarah pada ter-bentuknya budaya permisif. Nilai-nilai yang mendasari peri-laku masyarakat sebagai tatanan yang seharusnya dijaga men-jadi terpinggirkan, atau bahkan terkikis habis. Masyarakatmenjadi sangat permisif terhadap segala bentuk penyimpang-an yang terjadi, karena batasan nilai telah memudar. Akarbudaya yang menjunjung tinggi nilai dan religi menjadi ter-cerabut. Tidak ada lagi kata tabu, malu apalagi dosa. Ujung-ujungnya adalah desakralisasi seks. Seks tidak lagi dipahamisebagai hal sakral yang hanya terdapat dalam lembaga per-kawinan. Seks pun menjadi ‘barang’ murahan yang bisa dilaku-kan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak meng-herankan jika kemudian angka kelahiran di luar pernikahansaat ini semakin meningkat. Bahkan yang lebih memprihatin-kan, praktek aborsi ilegal terjadi dimana-mana dan sering dijadi-kan sebagai penyelesaian akhir, meskipun —disadari atautidak— beresiko tinggi, yaitu kematian.

Dampak pornografi dan pornoaksi ibarat virus yangmenebarkan kanker di tubuh peradaban. Pornografi selain

F i q i h T r a d i s i

134

hanya akan membuat pikiran berorientasi pada hal-hal yangberbau seks, juga akan menggiring pada perubahan tata nilai.Nilai-nilai religius akan tergusur dan kepedulian masyarakatterhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Lebih parahlagi, perilaku yang mengutamakan intelektualitas dan budayatinggi berupa kreativitas dan kasih sayang berganti menjadibudaya rendahan seperti seks dan kekerasan.

Antara Nilai-nilai Sosial/Moral dan SeksualTolok ukur peradaban suatu masyarakat tercermin dari

penjagaan nilai-nilai moral dalam setiap aspek hidupnya.Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebaikan memberi peluangyang sangat besar bagi hancurnya sendi-sendi kehidupanmasyarakat tersebut. Pada dasarnya susunan sosial adalahsusunan moral. Masyarakat disusun menurut peraturan moral.Kegiatan akal budi yang mengarahkan manusia pada pema-haman tentang tatacara dan perjalanan kehidupan sosial, sifatdunia sosial, interaksi sosial antar sesama manusia, tidak dapatdikatakan lain kecuali nilai moral itu sendiri.

Salah satu masalah yang cukup memprihatinkan berkait-an dengan nilai-nilai sosial, khususnya nilai moral adalah makinmaraknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat.Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk kejahatansosial berupa perbuatan yang diasosiasikan sebagai eksploi-tasi seksual rendahan. Seksualitas pada dirinya sendiri memangmampu mengungkapkan banyak hal tentang manusia. Ke-bermaknaannya meliputi banyak dimensi yakni dimensibiologis-fisik, behavioral, klinis, psiko-sosial, sosio-kulturaldan yang tidak kalah penting adalah dimensi religius. Akantetapi jika keseluruhan dan kesakralan maknanya direduksikan

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

135

pada nilai komersial, tentu ia menjadi masalah besar. Peng-eksploitasian seks sebagai barang komoditi mengakibatkanseseorang terkondisi untuk memandang seks sebagai barangkonsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjaditanpa batas dan arah. Salah satu gejala yang dapat dilihat ada-lah gaya hidup free sex yang pada saat ini telah menggoyahkanaturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan (Gunawan,1993: 2).

Pornografi dan pornoaksi memang sudah lama diper-debatkan, diprotes dan bahkan ditentang banyak kalangan.Ironisnya, penyelesaian terhadap masalah ini belum menam-pakkan hasil yang diharapkan. Penyelesaian umumnya ter-hambat karena terjebak pada perdebatan tentang definisi“pornografi”. Masing-masing pihak memiliki penafsiranyang berbeda yang dapat ditarik ulur sesuai kepentingan sipenafsir. Perangkat hukum pun belum memiliki konsep yangjelas tentang masalah ini, akibatnya kasus-kasus pornografipun lewat demikian saja. KUHP Indonesia mencantumkanbatasan yang sangat tidak jelas berkaitan dengan pornografi.Pasal 282 ayat 1 misalnya, tertulis: barangsiapa menyiarkan,mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan ataugambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggarkesusilaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahunenam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratusrupiah. Pasal lain yang juga tidak banyak memberi penjelasanadalah pasal 533 ayat 1, di dalamnya tertulis: barangsiapa ditempat lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjuk-kan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yangdibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu mem-bangkitkan nafsu birahi remaja dapat diancam dengan pidana

F i q i h T r a d i s i

136

kurungan paling lama dua tahun. Kata-kata “melanggar kesusila-an” dan “mampu membangkitkan nafsu birahi remaja”pengertiannya seringkali ditarik ulur. Karena itu, pasal-pasalini sering dianggap sebagai pasal karet, artinya memiliki banyakpenafsiran. Di saat perdebatan tentang definisi masih ber-langsung, bersamaan dengan itu dampak pornografi terusmenggoyang sendi-sendi kehidupan.

Secara umum ada dua hal yang dapat dilihat sebagai pe-nyebab maraknya pornografi dan pornoaksi, yaitu budayapatriarkhi dan kepentingan komersialisme. Pornografi yang ter-dapat dalam sejumlah media massa menyiratkan fungsinyasebagai meaning maker yang sangat berperan dalam melestari-kan budaya patriarkhi dengan menonjolkan mainstream sosokperempuan yang stereotipikal. Disebut stereotip karena iamerupakan konsepsi atau pelabelan sifat berdasarkan prasangkadan subyektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga merugi-kan yang diberi label. Opini yang digulirkan media massaumumnya menempatkan perempuan sebagai “makhluk fungsi-onal bagi laki-laki”, lebih khusus lagi untuk “kegunaan seksual”.Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan alasankomersialisasi. Kekuatan feminin yang bertumpu pada dayapikat dari kekenyalan otot dan kelembutan garis-garis tubuhperempuan dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu mitosyang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur kapitalisme.Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakancoverdan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex appeal)untuk sekadar memancing para konsumennya. Dunia perfilm-an bahkan secara gamblang memanfaatkan seks untuk men-jaring penonton sebanyak-banyaknya, demikian pula gambar

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

137

iklan, lukisan, lirik lagu beserta penampilan artis-artisnya, novelserta produk-produk di berbagai bidang lainnya.

Eksploitasi seksual di media massa menurut kalanganfeminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadapperempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini meng-acu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan ter-hadap perempuan yang berbunyi: Kekerasan secara fisik, seksualdan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasukperkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksualdi tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya,perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Munculnya eks-ploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dannegara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilaisosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendimasyarakat.

F i q i h T r a d i s i

138

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

139

IIILEMBAGA PEMASYARAKATAN:

Proses Rehabilitasi dan FitrahKehidupan Manusia

Ada sesuatu yang menarik, yang perlu dicermati olehsemua orang terkait dengan rumah tahanan. Dari segi fisikkonstruksi bangunannya, rumah tahanan atau lembaga pema-syarakatan (rumah besi) sebenarnya tidak jauh berbeda denganbentuk rumah-rumah pada umumnya. Akan tetapi bangunanyang satu ini dianggap mempunyai hal-hal “misterius” yangacapkali dianggap sebagai bangunan yang “menakutkan”. Haldemikian tidak hanya berhenti di situ saja, akan tetapi munculsesuatu anggapan yang sudah menjadi rahasia umum bahwaorang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang“menyeramkan”.

Ditinjau dari segi fungsinya, rumah tahanan (penjara)digunakan untuk menahan —tempat tinggal— orang-orangyang berbuat kesalahan. Untuk orang-orang yang telah berbuatkejahatan dan diputuskan oleh pengadilan sebagai orang yangsalah (jahat). Penghuni rumah tersebut sama dengan penghunirumah-rumah pada umumnya. Walaupun pada hakekatnya,para penghuni rumah yang satu ini disebabkan karena telah

F i q i h T r a d i s i

140

berbuat kesalahan (kejahatan), dan telah divonis oleh pihakyang berwajib sebagai orang yang bersalah. Terlepas daribeberapa kasus yang dinilai oleh seseorang atau kelompokyang menyatakan bahwa seseorang itu tidak bersalah tetapidia dihukum, sedangkan yang salah malah bebas berkeliaran.

Di Indonesia, dalam segi kuantitasnya rumah-rumahtahanan tersebut telah banyak jumlahnya. Sampai-sampairumah tahanan tersebut tidak mencukupi untuk ditempati olehorang-orang yang telah berbuat salah (jahat). Karena semakinhari semakin bertambah banyak jumlah orang yang berbuatsalah/jahat.

Antara Klaim Masyarakat dan Fitrah Kehidupan ManusiaKeberadaan rumah tahanan tersebut memang sudah

seharusnya dan tidak bisa dipisahkan dari hidup dan kehidup-an manusia. Karena dalam hidup dan kehidupannya, manusiaseringkali berbuat kesalahan/kejahatan. Sehingga dalam ke-hidupan manusia dibutuhkan adanya aturan-aturan ataunorma-norma kebaikan yang dapat membatasi seseorang agartidak melanggar aturan-aturan atau norma-norma tersebut.Apabila ada pihak-pihak yang melanggar, maka tentu merekaakan mendapatkan sanksinya. Bagi mereka yang berbuat salah/jahat dan sudah divonis pihak yang berwajib dan terbukti salah,maka mau tidak mau dia harus dipenjara. Akan tetapi, per-masalahannya adalah bagaimana keberadaan orang-orangyang berada atau tinggal di dalamnya?

Keberadaan orang-orang yang tinggal di dalam rumahtahanan atau lembaga pemasyarakatan yang nota bene merekaadalah orang-orang yang telah berbuat jahat tidak begitu bisaditerima oleh masyarakat. Seolah-olah masyarakat sudah

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

141

sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang jahat, orang-orang yang kotor yang menjadi sampah masyarakat.

Dan, klaim mereka terhadap orang-orang yang telah ber-buat jahat itu ternyata tidak hanya berhenti di situ saja, yaituketika orang yang berbuat jahat itu dipenjara, akan tetapi merekatetap mengklaim bahwa orang-orang tersebut tetap sebagaiorang-orang yang berbuat jahat, mereka akan dan tetap sebagaisampah masyarakat. Meskipun mereka sudah bebas darihukuman tahanannya, mereka tetap dianggap akan dan selalumeresahkan masyarakat. Bahkan sampai anak dan keluarga-nya juga menerima imbasnya atas kesalahan atau kejahatanyang telah diperbuatnya. Apalagi jika kejahatan yang merekalakukan tergolong dalam kejahatan yang besar. Jelas lebih tidakbisa diterima lagi.

Klaim masyarakat terhadap mereka yang terlah berbuatsalah/jahat sebenarnya tidak pada tempatnya dan tidak bolehterjadi, serta terlalu berlebihan. Karena manusia itu dalamhidup dan kehidupannya akan dan selalu berada pada duaposisi, salah dan benar; kadang-kadang ia benar dan kadang-kadang juga salah. Sehingga pemahaman terhadap ajaran agama,kesadaran dan kedewasaan dibutuhkan untuk meminimalisirkesalahan itu. Al-Insan mahal al-khatha’ wa an-nisyan (manusiaitu tempatnya salah dan lupa).

Manusia sebenarnya memang tidak akan pernah bisaluput dari yang namanya kesalahan. Seberapa pun pandainyadia, seberapa pun ‘alim-nya dia, karena ia adalah manusia, makakemungkinan besar dia akan (pernah) berbuat kesalahan. Akantetapi, jangan sampai terulang lagi kesalahan yang sama dalamproses kehidupan ini.

F i q i h T r a d i s i

142

Seseorang berbuat salah atau jahat sebenarnya tidak hanyamerupakan siklus kehidupan manusia, bahwa suatu saat iaakan berbuat salah/jahat dan pada saat yang lain ia akan ber-buat benar/baik. Akan tetapi, hal tersebut merupakan fitrahkehidupan manusia, bahwa manusia itu tidak akan selama-nya berada dalam kebenaran. Dan yang lebih penting dari itu,kesalahan adalah merupakan sebuah proses dalam kehidup-an yang harus dialami manusia dalam rangka mencapai ke-bahagiaan, dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik.

Kesalahan yang pada titik kulminasi (puncak)-nya adalahberupa kejahatan, yang akhirnya bagi mereka yang melakukanakan dihukum dan ditahan/dipenjara sebenarnya merupakanproses kehidupan manusia dalam rangka mencapai kebaikantersebut. Dengan kata lain, rumah tahanan atau lembaga pema-syarakatan (penjara) sebenarnya merupakan tempat untukmerenung, memikirkan dan kemudian merehabilitasi atassegala kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukannya. Se-hingga ketika ia bebas dari penjara, mereka —kalau ia sadardan insyaf— akan memperbaiki kehidupannya, menatap masadepan dengan penuh percaya diri dan berlandaskan padaajaran-ajaran agama (Islam).

Akan tetapi, apakah mereka sadar tentang fitrah kehidup-an itu, dan demikian pula dengan masyarakat, apakah masya-rakat juga sadar bahwa itu semua merupakan fitrah kehidupan?

Sehingga bila ada usaha untuk kearah kebaikan itu ter-wujud, maka klaim masyarakat tersebut tidak akan pernah ter-jadi. Kalaupun toh sudah ada kemauan untuk berbuat baik,sedangkan masyarakat tidak mau tahu —cuek— terhadap apayang dilakukannya, maka masyarakatlah yang sebenarnya

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

143

tidak mengerti tentang fitrah manusia itu sendiri, dan merekaperlu disadarkan.

Walaupun sebenarnya rehabilitasi itu tidaklah semudahitu. Ia memerlukan proses yang cukup lama, setahap demi se-tahap. Bahkan bila perlu, pihak yang ingin merehabilitasi diri-nya itu harus didampingi oleh seseorang yang benar-benar bisamengarahkan, pendamping terapi psikologi.

Pada akhirnya, hal yang lebih penting sebagai sesamaanggota masyarakat dan sebagai manusia yang beragama ada-lah bagaimana kita bisa menerima kehadiran mereka, mem-bantu mereka dalam proses rehabilitasi keberadaannya. Danmemaafkan segala kesalahan (kejahatan) mereka setelahmereka dihukum. Sehingga bisa bersatu, saling bahu mem-bahu dalam kehidupan bermasyarakat, dan dalam rangkamembangun dan memajukan berbagai sendi kehidupanmasyarakat, karena bagaimanapun juga lebih baik menjadibekas penjahat yang kemudian memperbaiki hidupnya dari-pada menjadi bekas dermawan, atau bekas orang yang baik.

F i q i h T r a d i s i

144

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

145

IVMORAL HUKUM:

ASPEK YANG TERLUPAKAN

Apa kabar Indonesiaku? Bagaimana wajah hukum dinegeri tercinta ini? Apakah penegakan hukum di tanah airkita sudah memenuhi keadilan? Adakah masyarakat kita sudahmerasakan dan menikmati sisi positif dari penegakan hukumitu? Dan seterusnya seabrek pertanyaan yang membuat kepalakita pusing, dan kadang-kadang memang kita dibuat pusing.

Keputusan yang terakhir dalam bidang hukum di negerikita adalah terdakwa kasus video porno mesum Nazriel Ilhamalias Ariel telah divonis hukuman penjara selama 3,5 tahundan denda Rp. 250 juta dikurangi masa tahanan. Ariel terbuktimelanggar pasal 29 UU No. 44/2008 tentang Pornografi, yakniterbukti secara sah dan meyakinkan membuat sekaligus me-nyebarkan aksi pornografi. Putusan tersebut jauh lebih rendahdaripada tuntutan jaksa yang menuntut Ariel hukuman pen-jara lima tahun tiga bulan. Beberapa waktu sebelumnya jugasudah diputuskan hukuman atas Gayus yang divonis 7 tahunpenjara beserta denda yang harus dibayarnya.

Akan tetapi, apabila kita bisa menelisik dan mengkritisiberbagai kebijakan yang terjadi di bidang hukum, mungkin

F i q i h T r a d i s i

146

kita akan bersuara lantang, bahwa hukum kita masih jauh darikeadilan. Tentu hal ini bukan isapan jempol belaka, realitasmenunjukkan bahwa masih banyak orang-orang kalangan atasyang diduga bersalah tapi masih bebas berkeliaran bak orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa. Kalau pun dihukum,hukuman yang diberikan tidak sepadan dengan kesalahan ataupelanggaran yang telah dilakukan. Di sisi lain, tidak sedikitdari anggota masyarakat kita dari kalangan kaum bawah,miskinpapa, yang hanya karena sehelai rambut kesalahannya benar-benar mendapat ganjaran yang setimpal, yaitu mendekamdalam penjara beberapa bulan atau beberapa tahun. Gara-garamencuri ketela, terong, pisang, atau hal sepele lainnya, merekadihukum dan dipenjara. Sungguh ironis dan sangat disayang-kan.

Moral Hukum yang Tak TersentuhDalam tradisi hukum Islam klasik, kita tidak pernah bisa

menolak ijtihad yang dilakukan oleh Khalifah kedua, yaituKhalifah Umar ibn Khaththab r.a. Kebijakan-kebijakan hukumyang dibuat dan ditempuh oleh Khalifah kedua ini, padawaktu itu, benar-benar mencengangkan dan membuat pusingpara penegak hukum dan shahabat yang lain. Kebijakan-kebi-jakan yang ditempuh dalam upaya penegakan hukum —se-olah-olah— dilakukan dengan tidak mengindahkan dan tidakberlandaskan serta berada di luar teks (al-Qur’an dan Hadis).Dan bahkan menjadi landasan hukum dalam berijtihad bagipara ulama pada periode-periode berikutnya.

Beberapa contoh kebijakan dalam penegakan hukumyang ditempuh oleh Umar ibn Khaththab adalah pembebasan

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

147

hukuman atas seorang pencuri dalam kasus pencurian, danpenghapusan pendistribusian zakat pada mu’allaf.

Terkait dengan kasus yang pertama misalnya, pembebas-an hukuman atas seorang pencuri yang telah mencapai satunishab. Jelas dalam ayat al-Qur’an ditegaskan bahwa as-sariquwa as-sariqatu faqtho’u aydiyahuma... (pencuri laki-laki danpencuri perempuan yang telah mencapai satu nishab harusdipotong tangannya..). Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwapencuri tersebut harus dipotong tangannya. Akan tetapi, apayang dilakukan oleh Umar? Beliau tidak serta merta langsungmenghukum pencuri itu, tetapi menyelidiki dan mengkritisiberbagai faktor yang melatarbelakangi mengapa pencurianitu dilakukan.

Walhasil, pada kenyataannya ada banyak faktor yangmelingkupi tindakan pencurian itu. Beberapa faktor tersebutantara lain kondisi pencuri tersebut yang hidup serba ke-kurangan, kelaparan, dan sudah berusaha untuk mendapat-kan makanan secara halal tapi tidak terpenuhi, serta dia hampirkehilangan nyawanya dan keluarganya. Sehingga tidak adajalan lain kecuali dengan melakukan pencurian. Di sisi lain, daripihak yang kecurian yaitu orang yang kaya raya dan hidup serbamewah; ternyata dia tidak mengindahkan ajaran-ajaran Islamseperti kewajiban membayar zakat, dan apatis terhadap ling-kungan sosial masyarakat sekitar. Apalagi anjuran memper-banyak infaq, shadaqah, hadiah atau perbuatan sunnah lain-nya juga tidak pernah dilakukan. Si kaya raya tersebut tidakmau tahu dengan kondisi kehidupan tetangga sekitarnya,sehingga sampai tetangganya kelaparan juga tidak tahu.

Atas berbagai latar belakang sosial tersebut, maka Khali-fah Umar ibn Khaththab akhirnya memutuskan untuk meng-

F i q i h T r a d i s i

148

hukum si kaya raya tersebut (pihak yang hartanya dicuri), bukanorang yang mencuri. Jadi dalam kasus pencurian ini, Khalifahkedua membebaskan si pencuri, dan sebaliknya menghukumsi kaya raya. Dalam hal ini, aspek moral hukumlah yang selaludikedepankan oleh Umar, sehingga kebijakannya seringkali‘kelihatan’ di luar teks dan kontroversial.

Apa (kebijakan) yang dilakukan oleh Khalifah kedua inipatut dijadikan landasan kebijakan dalam menetapkan danmemutuskan hukum atas berbagai kasus pidana atau punperdata yang ada di negeri tercinta ini. Para penegah hukum diIndonesia seyogyanya berusaha meniru kebijakan-kebijakanyang ditempuh oleh Umar ibn Khaththab. Mereka harus bisa‘melihat’ fenomena yang ada dan terjadi di sekitar kasus-kasusyang terjadi dan mengkaji berbagai latar belakang yang me-nyebabkan tindakan melanggar hukum itu terjadi.

Para penegak hukum harus berani bertindak di luar teks,baik teks al-Qur’an, Hadis dan produk hukum Islam lainnyamaupun teks-teks hukum positif (kitab undang-undang) yangada di negara kita. Para penegak hukum tidak hanya berhentipada hitam di atas putih (pasal-pasal) yang ada dalam kitabundang-undang tersebut, tetapi mereka harus bisa melampauipasal-pasal itu. Pasal-pasal yang ada dalam kitab undang-undang tersebut tetap dijadikan sebagai landasan dalam me-netapkan hukum, akan tetapi keputusannya tidak boleh me-ninggalkan berbagai faktor yang melingkupi atas kasus yangterjadi.

Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan bahwa adafaktor moral (moral hukum) yang seringkali terlupakan dantidak tersentuh dalam penegakan hukum di negeri kita ini.Atau bahkan, aspek moral hukum ini tidak pernah dijadikan

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

149

sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum di negeri kita.Oleh karena itu dibutuhkan sikap-sikap keberanian untukmelakukan tindakan di luar teks hukum positif kita, di luar apayang tertulis dalam pasal-pasal. Kemaslahatan memang harusselalu dikedepankan, akan tetapi ketika dihadapkan padasebuah kasus tertentu, maka tidak hanya kemaslahatan yangdikedepankan, akan tetapi moral hukum juga harus diutama-kan. Bahkan bila kedua aspek tersebut dihadapkan-hadap-kan, maka moral hukumlah yang harus diutamakan. Sehinggadiharapkan tercipta keadilan yang selama ini didambakan olehmasyarakat Indonesia.

F i q i h T r a d i s i

150

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

151

VTERORIS INTELEKTUAL

Dalam buku Conference of the Book (2001), Guru BesarHukum Islam University of California Los Angeles, KhaledM. Abou El Fadl menyatakan bahwa teroris intelektual adalahpemeras emosi. Teroris-teroris ini yang kerap kali bersikapdiskriminatif terhadap ras, jenis kelamin, kelas, atau fanatikdalam beragama, dan menggunakan bahasa teror. Terorisintelektual ini sama kejinya dengan teroris yang mengguna-kan kekerasan.

Konon, bangsa kita —tidak bisa dipungkiri— sebagaibangsa yang mengedepankan nilai-nilai luhur yang diwaris-kan nenek moyang, dan kebanyakan adalah nilai-nilai yangpositif yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Akantetapi, mengapa sekarang nilai-nilai itu mulai luntur? Bahkanpredikat-predikat negatif mulai dilekatkan pada bangsa ini,mulai dari negeri/bangsa yang terbelakang, korup sampai padateroris.

Terkait issu (predikat) yang terakhir (teroris), kita benar-benar tidak habis pikir, bangsa yang mayoritas penduduknyaberagama Islam, ternyata kasus-kasus teroris terjadi dimana-

F i q i h T r a d i s i

152

mana. Kita bisa menyaksikan beberapa tahun terakhir ini, dalamsetiap hari dan minggunya, kehidupan masyarakat Indonesiadipenuhi dengan berbagai informasi tentang terorisme. Infor-masi-informasi tentang terorisme itu ditayangkan oleh semuastasiun televisi (media elektronik) dan media cetak; baik infor-masi-informasi yang dikemas dalam sebuah berita atau liput-an maupun informasi-informasi dari mulut ke mulut. Pendekkata, tiada hari tanpa informasi terorisme. Sampai sekarangperburuan terhadap mereka yang terlibat jaringan teroris terusdilakukan.

Informasi-informasi terorisme ini didengar, dilihat, dandiperbincangkan oleh hampir semua kalangan/golongan, darianak-anak hingga orang tua. Termasuk perbincangan secarailmiah yang dimuat dalam berbagai media cetak. Akal pikiranatau nalar masyarakat Indonesia sudah penuh dengan hal-halyang terkait dengan terorisme. Sampai-sampai mereka sepakatuntuk memunculkan satu statemen bahwa teroris itu adalahmereka yang melakukan kekerasan dengan cara melakukanpengeboman (bom bunuh diri).

Statemen tersebut mungkin benar, dan tidak ada salahnya;akan tetapi bila kita mencermati secara mendasar, maka akankita temukan bentuk teroris yang lain, yang mungkin memilikiakibat yang sama seriusnya. Satu bentuk teroris yang mungkinkita tidak pernah menganggapnya teroris, dan bahkan tidakpernah tersirat sedikit pun dalam pikiran kita. Satu bentukteroris ini adalah teroris intelektual.

Terminologi Teoris IntelektualSecara sepintas, mungkin kita beranggapan bahwa per-

nyataan Abou El Fadl tersebut tidak berdasar sama sekali.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

153

Karena pada kenyataannya, yang dinamakan teroris adalahmereka yang selalu menggunakan kekerasan dalam menyam-paikan sesuatu. Lebih khusus lagi, merujuk kepada berbagaikasus yang ada di negari kita, yang dinamakan teroris adalahmereka yang melakukan pengeboman di berbagai tempat (bombunuh diri); mulai dari bom Bali, Jakarta dan tempat-tempatlain yang tidak hanya terjadi sekali.

Akan tetapi, apabila kita menelaah lebih serius dan men-dalam, kita mungkin akan bersuara serempak bahwa apa yangdikatakan Abou El Fadl adalah benar dan cukup berdasar. Halini dikarenakan menurut sifatnya, teror adalah penghentianpenggunaan nalar, dan tidak adanya keseimbangan nalar, dandengan sendirinya berarti musyawarah itu terhenti. Selain itu,juga karena menurut esensinya, kemampuan untuk bernalarberarti kemampuan untuk memahami dan membedakan.

Kalau kita menengok jauh ke belakang, yaitu Islam padamasa klasik, maka kita akan menemukan berbagai ragam per-bedaan pendapat (misalnya di bidang fiqh/hukum Islam ada-nya berbagai mazhab) sungguh benar-benar ada dan itu dihargai.Dinamika perbedaan faham keagamaan sungguh luar biasa,dan hal ini juga yang menyebabkan Islam sampai pada kejaya-an atau keemasannya. Jargon ikhtilafu ummati rahmatun (bahwaperbedaan pendapat di antara umatku itu adalah rahmat), yangkonon itu adalah hadis Nabi, benar-benar hidup dan dirasa-kan keharmonisannya.

Akan tetapi, setelah masa itu sampai sekarang, perbeda-an-perbedaan yang ada sudah dianggap bukan merupakanrahmat lagi, melainkan seolah-olah sebagai sebuah bencanaatau sumber konflik. Apalagi jika ada pihak-pihak tertentu yangikut campur di dalamnya, maka eksistensi perbedaan-per-

F i q i h T r a d i s i

154

bedaan itu semakin ‘membahayakan’. Lebih nampak atas halini adalah fenomena pluralitas yang ada di negeri ini, Indo-nesia.

Pluralitas yang dimiliki oleh bangsa kita sebenarnyamemang merupakan kekayaan tersendiri yang perlu dijagadan dilestarikan serta dibanggakan. Akan tetapi, beberapatahun terakhir ini pluralitas itu seolah-olah sirna. Karena ber-bagai perbedaan yang ada dan yang mungkin baru bermun-culan harus ‘dipeti-eskan’, harus dikubur untuk selama-lama-nya. Kebebasan berpikir, mengemukakan berpendapat didepan umum, perbedaan keyakinan dan sebagainya dibatasi,kalau tidak boleh dikatakan dilarang, bahkan sampai di-hukumi haram.

Kita Teroris Intelektual?Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pluralitas

bangsa kita terdapat dalam berbagai hal; mulai dari suku,bahasa, agama/keyakinan, budaya, adat istiadat, dan sebagai-nya, termasuk juga pendidikan. Hal ini merupakan keniscaya-an dan sekaligus sebagai sunnatullah yang tidak bisa di-hindari.

Keberagaman kebudayaan bangsa kita merupakananugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang harus disyukuri dandilestarikan. Jangan sampai keberagaman (pluralitas) inimenjadi benih-benih konflik di antara sesama pendudukIndonesia, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kitamenyikapinya sebagai elemen-elemen yang mempersatukankita dan memperkuat persatuan bangsa Indonesia.

Sekian banyak pluralitas yang ada pada bangsa ini jangansampai sirna oleh paradigma, nalar maupun sikap-sikap yang

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

155

membatasi kebebasannya dalam berkreasi. Musyawarah(negosiasi) mufakat harus selalu dikedepankan, ketika terjadiperbedaan pendapat. Demikian juga perbedaan-perbedaanyang terjadi pada pluralitas yang lainnya. Dalam hal ini sikapinklusif harus selalu dikedepankan dalam berbagai pluralitas,jika kita ingin menjaga kebebasan dalam berkreasi, baik dalamwacana, paradigma, kebijakan maupun dalam bentuk peri-laku. Tentunya, kebebasan dalam berkreasi dan dalam menjagapluralitas ini harus dilandasi dengan moralitas yang tinggi.

Sikap-sikap inklusif-pluralis dalam hidup keberagamanharus selalu dijaga, baik dalam bidang agama/kepercayaan,adat-istiadat, pendidikan/kebudayaan maupun berbagaibidang kehidupan lainnya. Apabila tidak bisa demikian, makapembatasan keunikan dan keberagaman budaya, agama danlain-lain juga merupakan bentuk teroris. Dan ingat, bahwaterorisme merupakan bentuk yang sama sekali tidak ber-budaya. Dengan demikian, kalau kita merujuk pada pendapatAbou El Fadl, maka jelas bahwa sikap-sikap anti pluralitasjuga merupakan teroris intelektual.

F i q i h T r a d i s i

156

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

157

VIPENYAKIT AKUT MASYARAKAT

Merubah sebuah tradisi atau kebiasaan memang tidakmudah, apalagi kalau tradisi atau kebiasaan itu sudah men-darah-daging, berurat berakar dalam kehidupan masyarakat.Membutuhkan waktu yang cukup lama, butuh tenaga yangekstra dan bila perlu dengan pengorbanan.

Tradisi atau kebiasaan itu pada dasarnya bisa dikategori-kan menjadi dua bagian besar, yaitu tradisi yang baik dan tradisiyang buruk. Tradisi yang baik tentunya akan dipertahankanadan dilestarikan. Lain halnya dengan tradisi yang buruk, tradisiatau kebiasaan itu harus dihilangkan dan dilenyapkan darikehidupan masyarakat. Permasalahannya adalah bagaimanakalau tradisi atau kebiasaan yang buruk itu sudah lama sekali,sudah mendarah-mendaging, berurat berakar dalam hidupdan kehidupan masyarakat. Misalnya kasus minum minumankeras (mabuk-mabukkan) di Indonesia yang kian lama tidaksemakin berkurang atau musnah, malahan kian lama kianbertambah besar dan meluas serta merajalela, yang seolah-olah tidak akan ada akhirnya dan tidak akan pernah berakhir,serta tidak akan pernah bisa dimusnahkan. Bahkan tidak

F i q i h T r a d i s i

158

sedikit di antara mereka yang semakin kreatif dengan caramengoplos minum minuman keras.

Minum minuman keras di Indonesia sudah begitu meluastidak hanya di kota-kota besar saja, tetapi di desa-desa sudahterkena imbasnya, bahkan sampai di desa-desa yang terpencilsekalipun, dapat dipastikan tidak bisa lepas dari “tradisi” ataukebiasaan buruk tersebut. Merambah sangat cepat, tidak hanyapada kalangan masyarakat elite saja tetapi juga pada kalanganmasyarakat bawah (awam), tidak hanya orang-orang yang kayasaja tetapi juga terjadi pada orang-orang miskin, tidak saja padaorang-orang dewasa laki-laki/perempuan tetapi juga sudahmenjangkit pada anak-anak.

Dengan kata lain, minum minuman keras itu sudah men-jangkit dan menjadi penyakit dalam “tubuh” kehidupan masya-rakat Indonesia, sehingga seolah-olah tidak ada obat yang bisamenyembuhkannya. Belum lagi tentang masalah-masalahyang lainnya, seperti perjudian, narkotika, dan obat-obatanterlarang lainnya. Dan sederetan praktek-praktek kebiasaanyang tidak sesuai dengan norma-norma, baik norma susila,kesopanan, apalagi norma agama.

Minum minuman keras yang terjadi di Indonesia (ter-masuk Tulungagung dan Blitar) ini dengan berbagai macamdan bentuknya sudah melampaui batas-batas kegemaran.Yang pada akhirnya menjadikan pemerintah kehilangan akaldan cara atau strategi untuk memberantas kebiasaan buruktersebut. Mau dengan cara apa lagi harus diberantas, dengancara bagaimana lagi kebiasan-kebiasaan buruk itu bisa di-berantas. Sudah sekian banyak nyawa melayang karena minumminuman keras.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

159

Perspektif AgamaDalam tradisi masyarakat jahiliyah —masyarakat bangsa

Arab sebelum Islam— praktek-praktek terhadap hal-hal yangbertentangan dengan dan merendahkan hak asasi manusia itusangat kentara sekali, termasuk dalam hal ini minum minumankeras, dimana pada masyarakat jahiliyah itu sudah melampauibatas-batas kegemaran. Dalam hidup dan kehidupan merekaterlewatkan dengan praktek-praktek yang merendahkan hakasasi manusia tersebut.

Setelah Islam datang, praktek-praktek itu sedikit demisedikit, setahap demi setahap dihilangkan dari hidup dankehidupan mereka. Sampai pada akhirnya kebiasaan mabuk-mabukkan itu diharamkan (QS. al-Maidah: 90). Karena ter-masuk perbuatan keji, dan perbuatan syaitan. Akan tetapi dalamperjalanan pengharaman terhadap minuman keras itu punternyata tidak sebegitu mudah membalikkan kedua telapaktangan. Buktinya, setelah lebih dari 15 abad yang lalu Islammengharamkan minuman keras dengan berbagai macam danbentuknya, ternyata sampai sekarang kebiasaan buruk itu masihmerajalela, masih menjamur dalam kehidupan masyarakat.

Dalam perspektif sejarah, kita bisa mencermati dari ber-bagai sumber, secara khusus al-Qur’an dan hadis, bahwa minum-an keras (miras), apa pun macam dan jenisnya adalah haram.Sebab pengharaman (‘illah)nya adalah bahwa miras itu mengan-dung alkohol, memabukkan, dan menghilangkan akal sehat,dan bahkan dalam jumlah tertentu dapat menghilangkan nyawaseseorang.

Dasar hukum pengharaman minuman keras tidak saja adapada agama (Islam khususnya), akan tetapi negara/pemerin-tah pun juga sudah mengaturnya (baca: hukum positif).

F i q i h T r a d i s i

160

Dalam surat al-Maidah ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orangyang beriman sesungguhnya minum minuman khamr, berjudi,berkorban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan kejitermasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamuberuntung”.

Dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw. juga disebut-kan, antara lain: “setiap yang memabukkan itu khamr dansetiap yang memabukkan itu haram” (kullu musykirin khamrunwa kullu musykirin haramun). Dalam kaidah ushul fiqh jugadisebutkan bahwa “apa saja yang memabukkan dalam jumlahbanyaknya, maka sedikitnya adalah haram” (ma asykara katsi-ruhu fa qaliluhu haramun).

Dalam ajaran agama, Islam khususnya menegaskanbahwa apa yang dilarang dan apa yang diperintah itu sudahjelas dan gamblang. Hal-hal yang diperintah agama (Islam)kepada pemeluknya untuk dilaksanakan tentu sarat denganhikmah dan kebaikan-kebaikan bagi manusia, pemeluk agamaitu sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang dilarang oleh agama(Islam) kepada pemeluknya agar tidak melakukan dan men-jauhinya tentu juga karena di sana banyak kemadharatan yangterkadung di dalamnya. Sehingga pelarangan-pelarangan itupun pada akhirnya juga akan membawa dan demi kebaikanmanusia juga, pemeluknya sendiri.

Kemadharatan yang terkandung dalam minum minum-an keras itu akan bisa mengenai diri pelaku sendiri, keluargamaupun masyarakat sekitarnya, serta lebih luas lagi negara/bangsa, dan mungkin hal ini yang merupakan salah satu penye-bab dari keterpurukan bangsa Indonesia dalam berbagai krisisyang seolah-olah tidak akan pernah berakhir. Pada perkem-bangan selanjutnya madharat itu akan menimpa pada generasi

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

161

muda, yang akhirnya menjadikan generasi muda yang mem-punyai moral rendah, dekadensi moral, kenakalan remaja, danlain-lainnya. Generasi muda yang mungkin tidak jauh ber-beda dari generasi sebelumnya dalam hal melakukan praktek-praktek terhadap hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang ada.

Sebagai akhir tulisan ini, ada baiknya disimak sebuahkisah; konon, ada seseorang yang taat beribadah (baca: tokohagama), berakhlak mulia, menjadi panutan masyarakat, dansekian banyak kebaikan lainnya. Pada suatu hari ia disuruholeh kawanan penyamum/berandal agar dia mau melakukanperbuatan yang dilarang agamanya, yaitu berzina dan mem-bunuh. Tokoh masyarakat tadi benar-benar tidak mau melaku-kan kedua perbuatan itu karena jelas-jelas dilarang oleh agama-nya. Kawanan penyamun tidak kurang akal, kemudian merekamenguji keimanan sang tokoh agama itu dengan alkohol. Padaawalnya sang tokoh agama tersebut tidak mau, tapi lama ke-lamaan karena desakan dan tantangan dari para penyamun,maka sang tokoh agama itu mau meminumnya meski hanyasedikit. Waktu terus berjalan, para penyamun semakin ke-girangan, dan sang tokoh agama itu pun merasakan nikmat-nya minum minuman keras, bertambah dan bertambah jumlahyang diminum. Akhirnya sang tokoh agama tadi benar-benarmabuk. Pada kondisi mabuk ini, apa yang terjadi? Ternyata sangtokoh agama ini melakukan zina dan membunuh. Walhasil,sedemikian besar dampak yang ditimbulkan oleh minumminuman keras. Dalam kasus Tulungagung dan Blitar sudahbanyak nyawa melayang secara sia-sia disebabkan oleh mirasini. Adakah para generasi muda kita tidak segera sadar dan

F i q i h T r a d i s i

162

menjauhi kebiasaan buruk itu? Semoga mereka segera men-dapatkan petunjuk dari Allah Swt., Amin.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

163

VIIKHUTBAH JUM’AT:

Antara Pesan Sosial-Religiusdan Pengantar Tidur

Shalat berjamaah memang lebih baik dan lebih utamadaripada shalat sendiri, karena shalat berjamaah selain men-dapatkan keutamaan (pahala) yang berlipat-lipat sebagaimanadigambarkan dalam hadits Rasulullah Saw.: shalat jama’aafdhal min shalat al-fardi bi sab’atin wa ‘isyrina darajah, shalatjamaah juga dapat mendatangkan sekian banyak efek dimensisosial. Misalnya bahwa dalam shalat berjamaah tidak ada unsurperbedaan, antara kaya dengan miskin, pejabat dengan rakyat,kiai dengan orang awam dan seterusnya, karena pada waktushalat semuanya di mata Allah sama, mereka menempati shaf(baris) yang sama. Walaupun demikian, kenyataannya di ma-syarakat masih sangat kurang kesadarannya atas shalat ber-jamaah ini. Bahkan sampai muncul sebuah asumsi, bahwajangankan shalat berjamaah, shalat sendiri saja kadang-kadang,dan itu pun kalau ingat.

Kalau pada umumnya, shalat dengan berjamaah itu tidakwajib, maka terdapat satu macam shalat yang harus (wajib)dilaksanakan secara berjamaah, tidak boleh tidak. Shalat ter-sebut adalah ibadah shalat jum’at, terlepas adanya perbedaan

F i q i h T r a d i s i

164

pendapat dan prakteknya, yaitu adanya golongan yang memakaidua adzan dan ada yang hanya adzan satu kali. Termasuk dalamrangkaian shalat jum’at berjamaah adalah khutbah, khutbahsebanyak dua kali. Bagi semua umat Islam harus mengikutikhutbah jum’at, karena khutbah jum’at merupakan rukun shalatjum’at. Sehingga bagi seseorang yang tidak punya ‘udzur, makatidak diperbolehkan meninggalkan khutbah ini. Walaupunpada kenyataannya seringkali masyarakat awam lebih senangberangkat shalat jum’at menjelang shalat itu mau dilaksana-kan, sehingga pada saat khutbah kedua mereka baru datang.

Pada keadaan yang hampir sama juga dialami oleh jamaahshalat jum’at yang datang terlebih dahulu. Seringkali danmungkin dapat dipastikan bahwa setiap jum’at dan setiapkhutbah disampaikan terdapat orang-orang yang lebih enjoyngomong (berbincang-bincang) dengan jamaah lainnya. Pada-hal ketika khutbah disampaikan para jamaah shalat jum’atdilarang untuk berbincang-bincang. Lebih ironis lagi, sebenar-nya mereka juga sudah tahu dan mengerti kalau dilarang ber-bicara pada saat khutbah dibacakan, tetapi mereka tidak mautahu dan tetap asyik berbincang-bincang. Seringkali juga merekaadalah orang-orang awam, walaupun juga tidak sedikit di-antara mereka adalah orang-orang yang mengerti ajaran Islam(bukan awam). Kalau yang berbincang-bincang itu adalah anakkecil tentu tidak menjadi masalah, tetapi mereka adalah remaja,pemuda, dan bahkan orang dewasa. Selama khutbah dilak-sanakan, mereka tetap saja ‘khutbah’ sendiri dengan teman-temannya. Bahkan andaikan khutbah itu tidak ada akhirnya,maka mungkin mereka juga berbincang-bincang, ngobrol terusmenerus sampai shalat jum’at dilaksanakan. Pada akhirnya,

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

165

bagi mereka keberadaan khutbah tidak pernah dihiraukan,ada khutbah atau tidak adalah sama saja.

Fenomena lain yang juga hampir sama adalah bergeser-nya eksistensi dan esensi khutbah jum’at dari tuntunan men-jadi tontonan. Kalau beberapa puluh tahun yang lalu, khutbahjum’at merupakan wahana yang cukup tepat untuk mensyiar-kan ajaran Islam, nilai-nilai moral Islam yang dapat dijadikansebagai tuntunan dan pedoman hidup; maka sekarang syiaritu telah dan hanya menjadi tontonan belaka, bak sinetron ataufilm yang ditayangkan di televisi. Pesan-pesan rohaniah-duniawi-ukhrawi tidak pernah digubris, tidak pernah diperhatikan,apalagi dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Apa yangmereka dengar dalam khutbah hanyalah sekadarnya saja,selesai khutbah hilanglah pesan-pesan itu. Ibarat pesan yangmasuk lewat telinga kanan, tetapi pada saat yang sama keluarmelalui telinga kiri, begitu seterusnya. Hal yang tidak jauhberbeda juga terjadi dalam dakwah Islamiyah, baik pengajian,tabligh akbar maupun forum-forum lainnya. Oleh karena itumereka (yang termasuk orang ‘awam’) kalau tidak datangbelakangan, datang lebih awal tetapi sesampainya di masjidmereka asyik ngobrol dengan jamaah lainnya.

Lebih dari itu, dalam khutbah jum’at juga didapati feno-mena lain yang memiliki persamaan dengan fenomena-fenomena di atas. Fenomena dimaksud adalah adanya jamaahshalat jum’at yang tidur pada saat khutbah disampaikan.Terlepas apakah tidurnya disengaja atau tidak disengaja, yangjelas mereka tidur dalam posisi duduk bersila. Pada kenyata-annya, jumlah orang yang tidur pada saat khutbah disampai-kan tidaklah sedikit, lalu untuk apa mereka datang kalau ke-mudian tidur dan tidak mendengarkan khutbah yang disampai-

F i q i h T r a d i s i

166

kan oleh khatib. Kondisi dan keadaan seperti ini pada akhir-nya juga menyebabkan tidak pernah tersampaikannya pesan-pesan ukhrawi, sehingga ada khutbah setiap seminggu sekaliatau tidak adalah sama saja, tidak ada fungsi dan gunanya. Yanglebih ironis lagi adalah ketika selesai shalat jum’at, apabilamereka ditanya tentang apa yang disampaikan khatib dalamkhutbah jum’at, mereka mungkin akan menjawab tidak tahusama sekali. Belum lagi, apabila khutbah yang disampaikanitu terlalu panjang, sehingga para jamaah yang tidur semakinnyenyak (pulas) dan yang tidak tidur mungkin tambahnggrundel.Karena tidak bisa dipungkiri, masyarakat kita, awam khusus-nya adalah masyarakat yang senang terhadap khutbah yangpendek-pendek, cepat selesai dan segera pulang.

Ketika khutbah selesai dan shalat jum’at selesai dilaksana-kan, ternyata memang benar, mereka tidak jarang langsungpulang, lamcling (salam langsung plencing). Mereka tidakmengikuti ritual ibadah selanjutnya, yaitu wiridan dan berdoabersama-sama. Padahal bisa jadi ketika sampai di rumah merekajuga akan tidur lagi. Bagi mereka yang bekerja, mereka sese-gera mungkin berangkat untuk bekerja, seolah-olah ibadahshalat jum’at adalah ibadah yang mengganggu aktivitas merekadalam bekerja, dan seterusnya. Fenomena-fenomena sepertiinilah yang terjadi di masyarakat kita, dan semestinya kitasadar dan menyadarkan mereka yang belum sadar, agar maumelaksanakan perintah agama secara lebih tekun dan istiqa-mah. Karena bagaimana pun juga, fenomena seperti ini meru-pakan salah satu dari sekian banyak faktor yang ikut menye-babkan umat Islam sulit untuk maju.

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

167

VIIIKURBAN:

PUNCAK PENGABDIAN

Umat Islam sedunia tentu tidak akan pernah lupa danmelupakan bulan Dzulhijjah, karena bulan ini merupakan bulanyang bersejarah bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Pada bulanini umat Islam dari berbagai belahan dunia sedang melaksana-kan ibadah haji. Ibadah yang termasuk rukun Islam yang kelima.

Perlu dipahami, bahwa ibadah haji ini tidak hanya seke-dar bermakna ibadah secara vertikal saja, dalam arti hubung-an dengan Allah Swt. Akan tetapi, lebih jauh dari itu dan yanglebih penting lagi adalah bahwa ibadah haji ini merupakanibadah yang benar-benar menanamkan dan mengajarkan kepadaumat Islam bahwa mereka semua adalah sama. Mereka semuaadalah umat yang satu, tidak ada satu pun yang perlu dibeda-kan di antara mereka, baik status sosial, pejabat atau rakyatjelata; status ekonomi, kaya atau miskin; warna kulit, hitamatau putih; semuanya sama, baik yang sama-sama melaksana-kan ibadah haji dan sama-sama memakai kain putih maupuntidak. Hal yang membedakan di antara mereka hanyalah satuyaitu keimanan dan ketaqwaannya.

Selain itu, pada saat yang bersamaan, umat Islam di seluruhdunia juga sedang merayakan hari raya kurban, Idul Adha.

F i q i h T r a d i s i

168

Gema takbir ada di mana-mana, di masjid, mushalla, di se-panjang jalan maupun di tempat-tempat yang akan dilak-sanakan ibadah shalat ‘Id seperti di lapangan. Rasa haru ber-campur gembira bersatu padu dengan gegap gempita lantun-an takbir. Suara takbir pun menggema dan bersahut-sahutan.Pada saat itu, sejenak kita melakukan perenungan bahwa tidakada yang agung dan tidak ada yang wajib disembah kecualiAllah Swt.

Setelah selesai melaksanakan shalat ‘Id, umat Islamdianjurkan untuk berkurban, yaitu menyembelih hewan kurban,tentu saja bagi mereka yang mampu. Anjuran berkurban inimerupakan ibadah sunnah yang memiliki nilai-nilai danmakna yang cukup mendalam dalam ajaran Islam. Nilai-nilaidan makna dari ibadah kurban itu tidak lain adalah kesalehanritual dan kesalehan sosial. Dua kesalehan yang sebenarnyadalam bentuk aktivitas apa pun dan di mana pun tidak bolehdipisahkan; jasmani-rohani, dunia-akhirat, vertikal-horisontal.

Kesalehan ritual tentu terkait langsung dengan ibadahseseorang kepada Tuhannya, Allah Swt. Sedangkan kesalehansosial yang terkait erat dengan nilai dan makna ibadah kurbanadalah ajaran tentang ibadah sosial, solidaritas atau kepeduli-an sosial. Ajaran yang sesuai dengan keberadaan manusiasebagai makhluk sosial. Dengan menyembelih hewan kurbanyang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada fakirmiskin diharapkan kita benar-benar memiliki perasaan dansikap yang sama sebagaimana yang dirasakan oleh ‘kaumpapa’, kaum nestapa. Bukan solidaritas sosial yang ‘semu’,dan juga bukan solidaritas sosial yang sesaat.

Solidaritas sosial ‘semu’ tidak lain adalah solidaritas yangdibangun di atas perasaan yang penuh dengan rasa malu;

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

169

malu kalau tidak berkurban, malu kalau tidak memberi ke-pada kaum fakir miskin, dan malu yang penuh denganegoisme. Bukan malu yang didasarkan atas keimanan danketaqwaan kepada Allah Swt. Sedangkan maksud solidaritassesaat, tidak lain adalah bahwa kepedulian sosial itu hanyakita lakukan sesaat, hanya saat ini saja, saat hari raya kurban;sedangkan saat dan waktu yang lain di luar idul kurban kitatidak pernah melakukan solidaritas sosial itu. Selesai kurban,selesai pula solidaritas sosialnya. Bila ingin melakukan soli-daritas sosial lagi, menunggu satu tahun lagi, yaitu saat idulkurban lagi.

Secara lebih mendalam, apabila ditelaah dan dikaji lebihlanjut, sebenarnya simbolisme penyembelihan hewan kurbanini memiliki nilai-nilai yang cukup tinggi, yang tidak bisa di-pisahkan dengan keimanan dan ketaqwaan serta kehidupanini. Sebuah nilai yang sarat dengan pengorbanan dan peng-abdian. Artinya, ketika seseorang telah memiliki keimanandan ketaqwaan yang mendalam kepada Allah Swt., dalamarti ibadah mahdhah (wajib) telah dilaksanakan sesuai denganketentuan syariat Islam dan bersamaan dengan itu hubungansecara sosial pun juga dijalin dan dijaga dengan baik, makauntuk membuktikan atas ‘kebaikan’ hubungan secara vertikaldan horisontal itu harus dibuktikan dengan pengorbanan.

Pengorbanan yang harus dilakukan untuk membukti-kan ‘keimanan dan ketaqwaan’ secara vertikal dan horisontalini mengisyaratkan bahwa tidak jarang ketika seseorang telahtinggi kualitas keimanan dan ketaqwaannya, maka semakintinggi/besar pula ujian dan cobaan yang diberikan dalam hidup-nya. Hingga sampai pada ujian dan cobaan yang paling besar,yaitu harus mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai,

F i q i h T r a d i s i

170

disenangi atau disayangi —dalam kasus Nabi Ibrahim a.s ada-lah menyembelih putra satu-satunya, Ismail a.s, yang menjadikesayangannya. Besarnya ujian dan cobaan paralel dengantingginya keimanan dan ketaqwaan seseorang, jika dijalanidengan tulus ikhlas dan tidak putus asa, tentu memiliki nilaidan derajat tersendiri di hadapan Allah Swt. dan di hadapanmanusia lainnya. Dan tentu saja, hal ini merupakan bukti peng-abdian yang paling tinggi, sebuah puncak pengabdian.

Puncak pengabdian ini hanya akan bisa terwujud bagiorang-orang yang memiliki spirit ibadah dan jiwa sosial yangtinggi, ibadah vertikal dan horisontal, serta keseimbanganibadah di antara keduanya. Bagi mereka, apa pun yang dimiliki-nya siap untuk ‘dikorbankan’ dalam rangka mencapai ridhaAllah Swt. Mereka inilah ‘Pahlawan sejati’.

Oleh karena itu, sudahkah kita menjadi ‘pahlawan sejati’dengan mengurbankan sebagian harta yang kita miliki untuksaudara-saudara kita? Kalau belum, maka inilah saatnya men-jadi ‘pahlawan sejati’, pahlawan yang akan dihormati dandihargai tidak hanya oleh sesama manusia tetapi juga olehTuhan, Allah Swt. Inilah saatnya, menyeimbangkan kesalehanritual kita dengan kesalehan sosial. Semoga kita termasuk orang-orang yang benar-benar bisa menyeimbangkan kesalehanritual dan kesalehan sosial, fastabiqul khairat, berlomba-lom-balah menuju jalan kebajikan. Selamat berkurban!

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

171

IXMEMBANGUN MORALITAS

MASYARAKAT

Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah... Sungguhpada diri Rasulullah itu benar-benar terdapat teladan yangbaik...

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di era teknologidan informasi sekarang ini berbagai hal dapat kita saksikandan kita rasakan, bahkan kita lebih sering mengalami dandimudahkan dengan kemajuan teknologi informasi itu. Hal-hal yang positif maupun yang negatif sudah tidak bisa dielak-kan keberadaannya. Dan tentu saja hal ini merupakan se-bagian dari efek atau dampak kemajuan teknologi informasitersebut.

Sisi positif kemajuan teknologi; hampir semua kebutuh-an manusia benar-benar dimudahkan, lebih cepat, serba cepatdan serba instan. Internet misalnya, dengan bantuan duniamaya ini manusia benar-benar dininabobokkan, sehinggasemua informasi dapat diakses. Tetapi dengan sarana duniamaya ini juga, manusia bisa mengakses hal-hal yang negatif,hal-hal yang bertentangan dengan norma susila maupun agama(baca: porno). Pada kenyataannya, sisi negatif dari internet

F i q i h T r a d i s i

172

inilah yang lebih membawa dampak pada kehidupan manusia,terutama kalangan remaja. Sehingga tidak bisa dielakkan lagi,dekadensi moral terjadi di mana-mana.

Tidak sedikit dari kalangan remaja yang memiliki‘tradisi’ luar biasa; mulai dari tawuran antar pelajar, nongkrongtiap malam, hura-hura/foya-foya, mabuk-mabukkan, berbuatmesum/free sex, melakukan pencurian sampai pada pem-bunuhan. Sungguh benar-benar tradisi yang luar biasa. Gene-rasi penerus yang mestinya kedepan akan melanjutkan estafetkepemimpinan bangsa dan eksistensi bangsa ini, ternyatamalah berperilaku yang berlawanan dengan hati nurani bangsaini.

Lebih khusus lagi, dalam kehidupan keluarga tidak sedikitanak yang berani kepada orang tua, durhaka kepada orangtua dalam sekian ragam macam dan bentuknya; dalam kehidup-an bermasyarakat tidak sedikit di antara mereka yang menjadi‘sampah’ masyarakat; dan dalam kehidupan berbangsa-ber-negara tidak sedikit juga ‘penjahat-penjahat’ negara. Sekianbanyak fenomena ini tentu terjadi karena hilangnya nilai-nilaimoralitas dalam diri seseorang.

Upaya Membangun MoralitasPenjagaan nilai-nilai moral dalam setiap aspek kehidup-

an masyarakat merupakan cerminan tolok ukur peradabansuatu masyarakat itu sendiri. Pelanggaran terhadap nilai-nilaikebaikan memberi peluang yang sangat besar bagi hancurnyasendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut. Pada dasarnyasusunan sosial adalah susunan moral. Masyarakat disusunmenurut peraturan moral. Kegiatan akal budi yang mengarah-kan manusia pada pemahaman tentang tatacara dan perjalanan

F i q i h S o s i a l K a u m M u s l i m

173

kehidupan sosial, sifat dunia sosial, interaksi sosial antar sesamamanusia, tidak dapat dikatakan lain kecuali nilai-nilai moralitu sendiri.

Adagium yang mungkin sering dilupakan oleh umatIslam adalah: wa innama al-umama al-akhlaqu baqiyat wa inhumudzahabat akhlaquhum dzahabu (Kejayaan suatu bangsa ter-gantung pada akhlak/moral, jika akhlak/moralnya baik, makajayalah bangsa itu; dan apabila akhlak/moral suatu bangsaitu jelek/buruk, maka hancurlah bangsa itu). Adagium ini tentubenar dan tidak salah lagi; kejayaan suatu bangsa memang ter-gantung pada moralitas masyarakatnya, dan kejayaan suatumasyarakat juga tergantung pada moralitas masyarakatnya.Demikian juga kejayaan seseorang tergantung pada moralitasindividu/personnya. Apabila secara individu sebagai anggotamasyarakat kita termasuk orang-orang yang berakhlak baik,maka tentu masyarakat adalah masyarakat yang baik, demi-kian juga dengan bangsa/negara. Demikian juga sebaliknya.

Dalam hadis Nabi Muhammad Saw. disebutkan bahwabeliau (Nabi Muhammad Saw.) tidak diutus kecuali untukmenyempurnakan akhlak yang mulia (innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq). Nabi Muhammad-lah yang telahmerubah dan membawa perubahan peradaban manusia me-lalui akhlak/moral. Oleh karena itu, melalui momentumperingatan maulid Nabi Muhammad Saw. ini mari kita ber-sama-sama menyatukan tekad untuk meningkatkan moralitaskita, moralitas manusia, moralitas remaja dan generasi muda.Karena manusia adalah makhluk yang beradab, berpendidik-an, berperikemanusiaan, dan yang lebih penting lagi adalahmakhluk yang bertuhan/berketuhanan. Bukan makhluk yang

F i q i h T r a d i s i

174

biadab, bodoh, tidak berperikemanusiaan dan bukan makhlukyang tidak bertuhan (atheis).

Hal tersebut dapat diwujudkan dengan cara menanam-kan nilai-nilai akhlak mulia sedini mungkin, nilai-nilai yangsyarat dengan norma-norma baik norma agama maupun normasusila; pendidikan yang diselenggarakan berbasis etika/moral,remaja atau generasi muda harus dibekali dengan nilai-nilaiagama-moral-norma, dan tidak kalah pentingnya adalah peranmasyarakat dan negara dalam menegakkan moralitas masya-rakat Indonesia. Sehingga pada akhirnya terdapat keseim-bangan antara peradaban duniawi manusia dengan peradab-an ukhrawi.

Lebih dari itu, kemajuan peradaban manusia dalamberbagai bidang merupakan pencapaian intelektual manusiayang luar biasa dan perlu diapresiasi. Akan tetapi, jangan lupasebagai umat yang beragama kita harus membentengi dengankeimanan dan ketaqwaan yang benar-benar kokoh, sertamemfilter berbagai informasi yang diterima. Kemajuan ilmupengetahuan dan teknologi harus diimbangi dengan keman-tapan dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.Dengan kata lain, sisi moralitas harus dikedepankan danmengawal kemajuan peradaban manusia. Semoga peradabanmanusia Indonesia semakin maju dan bermoral serta beradab!

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

175

ALAM JUGA ‘MANUSIA’ ALAM, INTERAKSI YANG SERING TERLUPAKAN BUKAN MUSIBAH TETAPI KECEROBOHAN BENCANA: AKIBAT DOSA SOSIAL KITA

TEOLOGI LINGKUNGAN DAN UPAYA MEMINIMALISASIBENCANA

F I Q I H L I N G K U N G A NM A S Y A R A K A T P I N G G I R A N

B a g i a n K e l i m a

F i q i h T r a d i s i

176

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

177

IALAM JUGA ‘MANUSIA’

Apa kabar Indonesiaku? Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.Itulah jawaban yang pantas kita ucapkan bagi kondisi bangsakita sekarang ini. Bagaimana tidak? Hari berganti hari, bulanberganti bulan, tahun pun juga terus berganti; akan tetapi dalamkenyataannya, musibah demi musibah yang silih berganti danterus menerus menimpa bangsa kita, belum juga ‘bosan’, belumjuga hengkang dari hadapan kita. Seolah-olah tiada hari tanpamusibah.

Di akhir tahun 2008 hingga pasca pemilu 2009, seren-tetan musibah terus menerus menimpa bangsa kita. Bahkandiawal tahun 2012 ini sungguh luar biasa seabrek musibah ter-jadi dimana-mana. Hingga muncul mitos yang dikait-kaitkandengan Presiden kita, SBY. Gempa bumi, tanah longsor, pesawatjatuh, kapal tenggelam, berbagai kecelakaan transportasi darat,dan seterusnya masih menyelimuti kehidupan masyarakatkita. Akibat dari musibah ini banyak nyawa melayang, kerugi-an fisik-material baik yang diderita oleh masing-masingindividu maupun negara sudah tidak bisa dihitung lagi.

Ada apa, kenapa dan mengapa? Oh… negeriku! Dimanadan kemana predikat yang engkau sandang sebagai negeri

F i q i h T r a d i s i

178

yang tentram, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto rahardjo?Dan serentetan pertanyaan lainnya.

Manusia Lupa dengan Alam ‘Manusia’-nyaMusibah demi musibah yang terus menerus menimpa

dan dialami bangsa kita, tidak lain sebenarnya adalah meru-pakan akibat dari proses yang cukup panjang, proses ketidak-adilan kita terhadap mereka (alam lingkungan). Sikap danperilaku yang zhalim yang kita berikan kepada mereka. Kitatelah mengeksploitasi mereka, kita telah merampas hak-hakmereka. Mereka telah memberikan kepada kita manfaat yangbesar dan memenuhi berbagai kebutuhan kita, tetapi kita tidaksedikit pun memberikan kemanfaatan pada mereka, bahkankita mungkin termasuk orang-orang yang rakus.

Ingatlah, bahwa alam itu adalah ‘manusia’ (makhluk), diamengetahui dan merasakan apa yang telah diperbuat manu-sia terhadapnya. Ketika kebaikan itu kita berikan kepadanya,maka mereka juga akan memberikan kebaikan kepada kita.Akan tetapi lain, jika kita (manusia) berbuat kezhaliman pada-nya dan hal itu berjalan terus menerus dan bertahun-tahun,maka tentu ‘rasa sakit’ itu akan semakin mendalam. Sehinggamenjadi kemarahan yang luar biasa, dan suatu saat akan men-jadi bom waktu yang siap meledak. Boleh jadi apa yang sekarangdirasakan dan dialami bangsa kita merupakan puncak ‘kema-rahan’ mereka, dan boleh jadi pula hal itu merupakan sebagi-an kecil dari awal kemarahannya.

Hutan yang tidak dijaga dan dipelihara dengan baik, makaakan mendatangkan bahaya yang cukup besar bagi kita, palingtidak bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Pembalakan liar,ilegal logging, dan seterusnya merupakan perilaku yang merugi-

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

179

kan, baik bagi alam, manusia maupun bagi negara. Banjir, tanahlongsor dan musibah lainnya merupakan bagian yang tak ter-pisahkan dari kezhaliman yang kita perbuat.

Hal tersebut pada akhirnya juga berimbas pada tergang-gunya ekosistem laut. Ekosistem laut yang seharusnya kitajaga demi keseimbangan alam, ternyata tidak bisa kita jaga,karena berbagai perilaku buruk yang telah kita lakukan. Ber-bagai pencurian terhadap kekayaan laut, transaksi terlarangyang dilakukan di atas atau di dalam laut dan lain sebagainya,telah menjadikan laut yang pada awalnya menjadi teman yangpenuh dengan kemesraan, berubah menjadi musuh yang me-nyeramkan. Ombak yang cukup tinggi, melalap habis apa sajayang ada di depannya.

Sebenarnya, langsung atau tidak langsung, alam (ling-kungan) telah ‘marah’ kepada kita. Secara langsung, alam marahkarena perbuatan buruk kita terhadapnya, dan kita tidak pernahberbuat baik kepadanya. Secara tidak langsung, alam marahkarena dia terus menerus melihat dan menyaksikan perbuat-an zhalim yang kita lakukan setiap hari, baik dalam hubung-annya dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Sehinggamuncul dibenak ‘pikiran’ mereka: “Kok ada ya manusia sepertiitu?”.

Di pihak lain, mungkin saja alam (lingkungan) telahmembantu menyadarkan kita untuk kembali kepada jalan ke-baikan, membantu kita untuk kembali kepada Tuhan. Ketikamanusia telah diingatkan dengan cara baik-baik tetapi tidakkunjung kembali kepada Tuhan, akhirnya mereka mengingat-kan manusia dengan kemarahan. Bahkan bisa jadi hal ini meru-pakan peringatan Tuhan, rasa kasih dan sayang Tuhan (rahmanrahim-Nya) kepada kita semua untuk kembali mengingat-Nya,

F i q i h T r a d i s i

180

menjalin hubungan yang harmonis dengan-Nya maupundengan semua makhluk-Nya.

Belajar, belajar dan belajarlah pada alam lingkungan,wahai manusia! Alam adalah guru yang tidak diam, dia selalumengajari kita dengan berbagai fenomenanya. Akan tetapi,seringkali kita tidak mau tahu dan dengan sengaja mengesam-pingkannya. Padahal, kita ada dan hidup di dalamnya; mulaidari lahir, dewasa dan lalu mati tetap berada di dalamnya. Kalaudemikian, berarti kita adalah anak manusia yang durhaka.Oleh karena itu, janganlah engkau lupa dengan rumahmu, alamini, wahai manusia!.

Dalam hal ini, perlu ditegaskan bahwa perbuatan-per-buatan zhalim baik terhadap alam lingkungan maupun sesamamanusia adalah merupakan dosa-dosa sosial. Dosa-dosa yangharus dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada Tuhansaja, tetapi juga kepada mereka (alam dan manusia). Zhaharaal-fasadu fi al-barri wa al-bahri bima kasabat aydi al-nas (“Telahtampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulahtangan [perbuatan zhalim] manusia”).

Insyaflah, sadarlah wahai manusia, berhentilah berbuatzhalim dan segeralah kembali kepada Tuhan, Allah Swt. dengantaubatan nashuha, karena sesungguhnya Allah Maha Penerimataubat.

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

181

IIALAM: INTERAKSI

YANG SERING TERLUPAKAN

Islam mengajarkan kepada umat manusia agar dalamhidup dan kehidupannya dapat menjaga keseimbangan, ke-serasian dan keharmonisan dalam berbagai bidang kehidup-an. Menjaga keserasian dan keseimbangan aspek jasmaniahdan rohaniah, material spiritual, aspek individual dan sosial,serta aspek duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan, keserasiandan keharmonisan yang harus dijaga dalam berbagai aspekkehidupan ini tidak lain dalam rangka menciptakan ke-bahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia.

Apalagi umat Islam, orang-orang yang telah memelukagama Islam, menjadikan Islam sebagai way of life, maka tentusudah menjadi keharusan bagi mereka untuk menjaga kese-imbangan dan keserasian aspek-aspek kehidupan tersebut.Orang-orang yang belum berhasil atau tidak mau menjagakeseimbangan, tentu adalah orang-orang yang akan merugidalam hidup dan kehidupannya, baik di dunia maupun diakhirat. Secara khusus, bentuk keseimbangan dan keserasianyang harus dijaga oleh umat Islam dalam uraian ini adalahhubungan antara manusia dengan Allah, sesama manusia,dan alam.

F i q i h T r a d i s i

182

Triple InteractionDalam hidup dan kehidupan manusia terdapat semacam

interaksi yang tidak bisa ditiadakan dan ditinggalkan. Inter-aksi yang dimaksud adalah bahwa antara manusia yang satudengan manusia lainnya harus saling menjalin hubungan atauinteraksi, baik secara individual maupun kelompok. Karenamanusia tidak akan pernah diakui kemanusiaannya, apabiladalam hidupnya tidak pernah menjalin hubungan dengan se-samanya. Keharusan menjalin hubungan atau interaksi antarasesama manusia merupakan fitrah kemanusiaan. Apabilamanusia meniadakan interaksi ini, berarti manusia tersebuttelah kehilangan kemanusiaannya dan telah kehilanganfitrahnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia memang dituntut untukmenjalin hubungan dengan manusia lainnya. Akan tetapiproses interaksi ini bukanlah merupakan sesuatu yang mudah.Karena pada kenyataannya dalam interaksi ini manusiadihadapkan pada banyak persoalan, baik persoalan yang adadalam dirinya sendiri (intern) maupun persoalan yang adadi luarnya (ekstern), baik manusia lainnya maupun lingkung-an. Adakalanya persoalan (faktor-faktor) itu mendukung prosesinteraksi manusia, adakalanya juga merupakan penghambatatau penghalang.

Pada persoalan (faktor) yang mendukung interaksimanusia, merupakan suatu hal tidak perlu dipermasalahkan,karena interaksi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Akantetapi pada persoalan (faktor) yang menghambat atau meng-halangi interaksi ini perlu mendapatkan perhatian secaralebih, lebih dari sekedar interaksi biasanya. Pada faktor yangkedua ini dibutuhkan proses pemikiran yang lebih, agar proses

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

183

interaksi yang dilakukan berjalan dengan baik, bukan malahsebaliknya.

Interaksi sesama manusia ini merupakan fitrah dansunnatullah, sekaligus merupakan salah satu hubungan yangharus dijalin oleh manusia diantara hubungan-hubunganlainnya. Karena ada tiga macam hubungan/interaksi (tripleinteraction) yang harus dijalin dan dijaga oleh manusia yaituhubungan dengan Tuhannya (habl min Allâh), sesamanya (hablmin an-nâs), dan dengan alam (habl min al-‘alam). Ketiga macamhubungan ini memiliki sisi urgensi yang sama, artinya antarahubungan pertama, kedua, dan ketiga merupakan hubunganyang harus dilakukan oleh manusia secara seimbang (balance)dan harmonis. Sikap dan hubungan yang melebihkan salah satuhubungan diantara ketiga hubungan tersebut, merupakansikap yang akan dapat membawa manusia pada posisi dankeadaan yang kurang harmonis, demikian juga sebaliknya.

Pertama, menjalin dan menjaga hubungan dengan Tuhan(habl min Allâh). Pada kenyataannya merupakan hubunganyang harus dijalin dan dijaga antara yang diciptakan (makhluk)dengan Penciptanya (khaliq). Bagi umat yang beragama, apapun agamanya dan mempunyai kepercayaan/keyakinan bahwaada Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam semesta,maka dapat dipastikan kemungkinan besar dia akan menjalinhubungan itu, tanpa harus mendapatkan tekanan-tekanan.Sebaliknya, kalau ada manusia yang tidak beragama dan tidakmengakui adanya Tuhan, maka tentu juga dapat dipastikanbahwa mereka tidak akan pernah menjalin hubungan denganTuhan, karena mereka tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Walau-pun mendapat ‘tekanan-tekanan’ dari manapun, dia tidak

F i q i h T r a d i s i

184

akan pernah percaya, kecuali apabila pada suatu waktu diamendapatkan semacam petunjuk dari Sang Pencipta, Tuhan.

Dalam proses interaksi dengan Tuhan ini, tidak ada tujuanyang ingin dicapai oleh manusia kecuali keharmonisan hubung-an dengan-Nya. Dalam rangka keharmonisan hubungan ini,pada akhirnya Tuhan memberikan atau menurunkan aturan-aturan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh manusia.Keharmonisan hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta ma-nusia itu akan berjalan dengan baik dan lurus, apabila manusiamengetahui, mengerti dan melaksanakan aturan-aturan yangtelah ditetapkan oleh Tuhan, serta menjadikan aturan-aturanitu sebagai pedoman dalam setiap perilakunya. Hal ini memangharus demikian, karena tanpa manusia mentaati aturan-aturan(wahyu, kitab suci) yang dibuat oleh Tuhan, maka tentu ketidak-harmonisan (disharmonisasi) hidup manusia akan terjadi.Manusia akan mengalami berbagai kegoncangan, ketidakpasti-an dalam menapaki hidup dan kehidupannya, karena dia laridari jalan yang telah ditunjukkan Penciptanya. Dalam Islam,aturan-aturan itu telah diturunkan kepada Muhammad Rasul-ullah Saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir, yang berwujud wahyual-Qur’an dan Hadits/Sunnah Rasulullah sebagai pedoman/aturan pokoknya.

Kedua, menjalin dan menjaga hubungan dengan sesamamanusia (habl min an-nâs). Sebagaimana uraian di atas bahwamanusia adalah makhluk sosial; sebagai makhluk sosial keber-adaan manusia tidak bisa meniadakan manusia lainnya. Padahakekatnya, eksistensi manusia ikut ditentukan oleh manusialainnya, sehingga apabila manusia ingin diakui dan diper-hitungkan keberadaannya, maka dia harus berinteraksi denganmanusia lainnya. Ketiadaan interaksi yang dilakukan oleh

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

185

seseorang, akan menyebabkan dia terasingkan dan bahkanterkucilkan dari komunitas, masyarakat. Karena diakui atautidak, dimensi sosial ini juga merupakan fitrah manusia,sunnatullah, yang harus dijaga dan dikembangkan dalam ke-hidupannya, baik bermasyarakat, berbangsa maupun ber-negara. Walaupun mungkin sedikit berbeda dengan interaksidengan Tuhan, karena aturan-aturan dalam interaksi sesamamanusia ini pada umumnya berasal dan dibuat serta disepakatidari dan oleh manusia sendiri.

Sebagaimana interaksi dengan Tuhan, interaksi sesamamanusia ini juga memiliki tujuan-tujuan tertentu. Secara umumtujuan interaksi sesama manusia adalah untuk menciptakankeharmonisan hubungan diantara mereka. Keharmonisanhubungan dalam berbagai hal dan berbagai bidang kehidup-an. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keharmonisanhubungan dengan sesama manusia, diperlukan adanya suatuaturan, norma-norma yang dapat menjadikan interaksi itu ber-jalan dengan harmonis. Aturan-aturan atau norma-norma itu,pada umumnya merupakan aturan atau norma yang dibuatdan disepakati oleh manusia sendiri. Setelah ada aturan ataunorma yang disepakati, kemudian dilaksanakan dalam ke-hidupan sehari-hari dengan berbagai konsekuensi logisnya.Konsekuensi logisnya adalah kalau aturan dan norma itu di-taati, maka akan tercipta keharmonisan interaksi diantarasesama manusia; sebaliknya apabila ada pelanggaran makaakan dikenakan sanksi. Lebih dari itu —dan mungkin ini yangterpenting— bagaimana aturan-aturan yang dibuat oleh manu-sia dalam rangka interaksinya berpedoman dan mengambilpesan universal dari aturan-aturan yang telah dibuat dan di-tetapkan oleh Tuhan.

F i q i h T r a d i s i

186

Ketiga, menjalin dan menjaga hubungan dengan alamsekitar (habl min al-‘alam). Sebagaimana dua interaksi sebelum-nya, interaksi yang ketiga ini merupakan interaksi yang tidakbisa dipisahkan dengan dua hubungan sebelumnya. Walau-pun hubungan dengan dimensi yang ketiga ini seringkali di-lupakan. Dalam menjalin hubungan dengan Tuhan maupunsesama manusia, manusia membutuhkan tempat atau sarana,dan alam inilah tempat atau sarana yang dijadikan manusiauntuk bisa menjalin dua hubungan di atas. Tanpa adanya alamdan interaksi yang dijalin manusia dengannya, maka dapatdipastikan manusia tidak akan bisa menjalin hubungan denganTuhan maupun dengan manusia. Walaupun pada kenyata-annya, hubungan dengan alam ini sering diabaikan dan tidakdihiraukan oleh manusia. Bahkan yang terjadi adalah ‘pen-jajahan’ atas alam, alam diciptakan untuk manusia dan haruspatuh kepada manusia. Padahal sebenarnya posisi dan eksis-tensi antara manusia dengan alam adalah sama, yaitu sama-sama makhluk Tuhan. Dimana keduanya harus patuh dantunduk kepada Penciptanya, Tuhan; bukan antara yang satudengan yang lainnya saling menguasai dan menang sendiri.Walaupun pada umumnya, memang inilah yang terjadi, peng-uasaan besar-besaran manusia atas alam. Pada akhirnya alam‘berontak’, ‘marah’ atas berbagai perilaku manusia terhadap-nya, sehingga berbagai bencana alam dan musibah terjadisilih berganti. Mulai dari bencana-bencana yang kecil sampaiyang besar, gempa, tanah longsor, banjir dan Tsunami.

Pada sisi lain, mungkin bisa dikatakan bahwa sebenar-nya alam tidak ‘marah’ atau ‘berontak’, tetapi sebenarnya alamsedang mengingatkan manusia atas berbagai perilaku negatif-nya, perilaku a-moral dan a-susilanya. Karena perilaku negatif

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

187

manusia telah keterlaluan dan melampaui batas-batas kema-nusiaan, dan karena pada kenyataannya, perilaku-perilakunegatif itu tidak ‘diam’. Maksudnya, perilaku-perilaku negatifyang dipertontonkan manusia itu tidak berhenti di situ saja,bahwa ketika perilaku negatif terjadi hanya manusia (sese-orang) yang melakukannya saja yang terkena imbasnya, akantetapi perilaku negatif yang dilakukan seseorang itu berimbaspada seseorang/manusia lainnya, ‘imbas sosial’. Perilaku negatifdengan imbas sosial ini pada gilirannya akan dapat menye-babkan datangnya peringatan dari Tuhan, Sang Pencipta alam.Walaupun ketika hal ini benar-benar terjadi, kenyataannyatidak sedikit dari manusia yang tidak memperhatikan pe-ringatan itu, mereka tetap menunjukkan perilaku-perilakunegatif, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam,ekspolitasi besar-besaran terhadap alam. Seolah-olah ada dantidaknya bencana itu tidak berpengaruh sama sekali terhadapkeberadaannya. Oleh karena itu, sebenarnya sebagaimanadua hubungan di atas, manusia dalam menjalin hubungandengan alam ini juga harus mengikuti aturan-aturan yang ter-dapat dalam alam. Karena memang alam memiliki aturan,sunnatullah tersendiri yang harus dipahami oleh manusiadalam rangka menjalin hubungan dengannya. Dan hanya denganmengikuti aturan-aturan alam inilah hubungan atau interaksimanusia dengan alam itu bisa berjalan dengan baik dan har-monis. Bukankah alam juga makhluk?

Hal yang terpenting dalam menjalin dan menjaga hu-bungan dengan ketiga dimensi interaksi tersebut adalahbagaimana manusia mendudukkan semuanya dengan lan-dasan spiritual, ibadah. Dimensi ibadah harus diejawantah-kan dalam ketiga hubungan tersebut, hubungan manusia

F i q i h T r a d i s i

188

dengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan lebih-lebih hubungan manusia dengan Tuhannya. Hubungan atauinteraksi (ibadah) manusia dengan Tuhan memang dan harusdiniati ibadah, semata-mata menyembah kepada Tuhan, AllahSWT, lain tidak. Karena memang hanya dengan ibadahlahmanusia bisa menghadap, bertemu dan bercengkerama denganTuhan, walaupun tidak jarang hal ini juga dirasa sangat sulit.Dikatakan sulit, karena pada kenyataannya, tidak sedikit darikita sebagai umat yang beragama dalam menjalankan ibadah-nya selalu salah sasaran, kita beribadah kepada Tuhan tapikita tidak ingat Tuhan, bahkan yang lebih parah lagi kita malahingat dengan sesuatu atau hal-hal yang bersifat duniawi.

Hal —kesulitan— tersebut juga terjadi pada dua macamhubungan lainnya, yaitu hubungan manusia dengan manu-sia, dan manusia dengan alam. Sebagai manusia yang ber-iman dan beragama, sudah semestinya dua hubungan (inter-aksi) itu dilakukan dengan dilandasi nilai-nilai ilahiyah-ubudiyah. Nilai-nilai ilahiyah-ubudiyah adalah nilai-nilai yangdapat menghantarkan kita kepada sikap dan keyakinan meng-esakan Tuhan dan beribadah hanya kepada Tuhan, AllahSWT. Relasi dan interaksi yang dilakukan dalam kedua macamhubungan tersebut, seharusnya diniati ibadah, semata-matataat-patuh kepada Allah dan mengharap ridha-Nya, me-wujudkan aktivitas sehari-hari (duniawi) yang bernuansa danbernilai ukhrawi. Namun demikian, nuansa-nilai ilahiyah-ubudiyah dalam kedua interaksi ini juga dirasa sangat sulituntuk dilaksanakan. Hal ini cukup beralasan, karena sebagai-mana hubungan yang pertama, manusia dengan Tuhan se-bagai hubungan yang utama, manusia atau seseorang masihmerasa sulit untuk menemukan kepuasan kekhusyu’an (ke-

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

189

enjoy-an) dalam melakukan ibadah, apalagi dua hubunganlainnya, sesama manusia dan alam. Kalau demikian adanya,maka yang lebih penting adalah bagaimana kita terus danterus berusaha untuk menemukan titik kepuasan itu dalamketiga macam hubungan tersebut. Oleh karena itu, menjagakesalehan individual merupakan kewajiban setiap orang,sedangkan mengembangkan kesalehan individual menujukesalehan sosial merupakan tanggung jawab kita bersama,dan inilah yang dirasa cukup berat. Wa-ibtaghi fi ma a-takaAllah al-dar al-akhirat wa la tansa nashibaka min al-dunya wa ahsinkama ahsana Allah ilaika wa la tabghi al-fasad fi al-ardh inna Allahla yuhibbu al-mufsidin (“Dan carilah pada apa yang telah di-anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenik-matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan jangan-lah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. SesungguhnyaAllah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”[QS. al-Qashash: 77]).

F i q i h T r a d i s i

190

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

191

IIIBENCANA: BUKAN MUSIBAH

TETAPI KECEROBOHAN

Badai belum juga berlalu dari negeri kita. Musibah-bencana masih terus datang silih berganti. Nyawa-nyawamanusia bergelimpangan bagaikan barang-barang yang tiadaharganya; tangisan manusia terdengar dimana-mana, di seluruhpenjuru negeri ini; banyak anak yang kehilangan orang tua-nya, banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya;tidak bisa dielakkan lagi, negeri ini pun bersimpah darah dannanah.

Musibah-musibah ini telah mendapatkan dan menyitaperhatian banyak pihak; mulai dari media massa baik cetakmaupun elektronik, konsentrasi pemerintah untuk sementarawaktu dicurahkan pada musibah-musibah ini untuk mencarisolusinya, bahkan tidak ketinggalan juga masyarakat luas.Seolah-olah telinga kita sudah sakit karena teralu banyak men-dengarkan berita musibah, mata kita sudah sangat lelah me-lihatnya, dan mulut kita sampai kehabisan kata-kata.

Demikian juga sudah banyak tulisan-tulisan yang dimuatdalam berbagai harian umum, majalah, koran dan lain se-bagainya; semuanya membicarakan musibah-bencana yang

F i q i h T r a d i s i

192

dialami bangsa ini. Sebagaimana harian Duta Masyarakat (15/1/2007) yang juga memuat tulisan-tulisan tentang musibahtersebut, misalnya Fajar Kurnianto yang berjudul “Bencana,Taqdir dan Upaya Manusia” dan beberapa tulisan sebelum-nya, termasuk juga tulisan ini.

Lebih dari itu, musibah-musibah tersebut pada akhirnyajuga memunculkan berbagai persepsi dan sikap yang seolah-olah menuduh dan menyalahkan pihak tertentu, saling meng-kambing-hitamkan. Padahal yang hitam tidak hanya kambingsaja, ada juga ‘kotak hitam’ Adam Air yang pada waktu itu belumbisa ditemukan dan kotak inilah yang akan bisa memecahkanmisteri atas musibah yang menimpa pesawat tersebut.

Dalam hal ini, jika kita mencoba menganalisis/meng-uraikan beberapa fenomena tersebut, bahwa musibah-musibahitu pada hakekatnya belum tentu merupakan taqdir Tuhan,belum tentu ‘kemarahan’ alam, dan seterusnya; sehingga seolah-olah tidak ada yang salah dan bukan kesalahan kita.

Apabila kita mau mengakui apa yang terjadi dan dialamibangsa Indonesia mulai dari musibah tenggelamnya KM Seno-pati, hilangnya Adam Air, banjir, tanah longsor, dan flu burung,gizi buruk dan seterusnya, sebenarnya kalau dicermati, belumtentu merupakan musibah atau bencana yang dengan sendiri-nya datang dan menimpa negeri kita. Karena sesuatu itu tidakakan terjadi kalau tidak ada penyebabnya.

Ada banyak kalangan yang mengatakan bahwa apa yangdialami bangsa ini merupakan musibah, bencana, dan nasibatau bahkan taqdir Tuhan. Sehingga musibah-nusibah itu haruskita terima apa adanya tanpa mencari sebab-sebabnya dan mem-berikan alternatif pemecahannya. Dengan kata lain musibahitu dibiarkan berlalu begitu saja, tidak ada sangkut-pautnya

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

193

dengan perilaku manusia. Dalam posisi seperti ini, tidak jarangdi antara kita mengatakan dengan nada yang sinis dan tanpabeban apa pun, “Tuhan sedang marah”.

Kata “musibah”, “bencana” atau padanan kata (sinonim)lainnya, mudah sekali kita ucapkan. Bahkan bila terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, sesuatu yang negatif yang terjadipada diri kita, dianggap sebagai musibah. Padahal kalau kitacermati, sebenarnya konsep musibah itu tidak sesederhana dansemudah yang kita ucapkan. “Ini musibah…”, “itu musibah...”,“ya mau bagaimana lagi karena musibah…”, sehingga me-munculkan sikap apatis, tanpa adanya sikap introspeksi; danujung-ujungnya pun saling menyalahkan, bahkan Tuhanlahyang salah.

Istilah musibah dengan berbagai derivasinya ini harusdipahami secara proporsional. Suatu kejadian atau peristiwabisa dikatakan sebagai musibah ketika segala sesuatu yangada dan terkait dengannya sudah dipersiapkan dengan mak-simal, matang dan baik, lalu dalam prosesnya terjadi kece-lakaan, maka inilah yang disebut dengan musibah. Bukansecara serta-merta, apa saja yang terjadi dan menimpa kita,lembaga atau bangsa dikatakan sebagai musibah, sekali lagitidak seperti itu. Apa yang kita lakukan dengan tidak mem-perhitungkan berbagai segi positif-negatifnya, apa yang di-lakukan oleh suatu lembaga/perusahaan dengan tidak mem-perdulikan resikonya, tidak dilakukan secara proporsionaldan profesional, maka hal itu bukan merupakan musibah,melainkan suatu kecerobohan.

Peristiwa tenggelamnya KM Senopati misalnya, yang me-newaskan ratusan orang, bisa jadi bukan merupakan musibah,tetapi kecerobohan. Karena dalam kenyataannya jumlah

F i q i h T r a d i s i

194

penumpang kapal ini melebihi standart (aturan)nya, melebihijumlah maksimal. Sehingga pada akhirnya menyebabkankapal ini tenggelam karena kelebihan beban. Maka kecelaka-an ini bukan merupakan musibah, tetapi kecerobohan.

Hilangnya pesawat Adam Air, yang diduga karena cuacaburuk yang kemudian pesawat tersebut meledak di atas, ataujatuh ke laut lalu meledak dan memakan korban lebih dari100 orang yang sampai sekarang belum ditemukan; mungkinjuga bukan merupakan musibah, tetapi kecerobohan. Karenamenurut beberapa kalangan pesawat ini sudah kadaluwarsa,out of date. Sebagai sarana/alat transportasi udara, tentu AdamAir mempunyai aturan batas maksimal operasional. Kalaubatas maksimal operasional ini dilanggar, dan kemudian ter-jadi kecelakaan, maka hal itu bukan musibah, tetapi kecero-bohan. Misalnya rentang waktu yang sesuai aturan pener-bangan suatu pesawat adalah 10 tahun, maka jika lebih dari10 tahun masih dipakai, maka hal-hal negatif kemungkinanbesar akan terjadi, dan itu bukan musibah.

Terjadinya bencana tanah longsor dan banjir yang jugamenewaskan banyak orang dan berbagai kerugian yang dialami,mungkin juga bukan merupakan musibah, tetapi kecerobah-an. Bagaimana tidak? Karena dalam kenyataannya banyakhutan yang digunduli, pembalakan liar (illegal logging), sehinggafungsi hutan sebagai pelindung dan penahan atas derasnyahujan sudah tidak berfungsi lagi. Hutan yang seharusnya dijagadan dipelihara, dalam kenyataannya kita telah merusaknya.Pada akhirnya longsor dan banjir terjadi dimana-mana, makahal ini juga bukan merupakan musibah, tetapi kecerobohan.

Demikian juga dengan mewabah dan menyebarnya kem-bali firus flu burung yang telah menyebabkan beberapa orang

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

195

meninggal, juga bukan merupakan musibah, tetapi lagi-lagiadalah kecerobohan kita. Hal ini disebabkan karena kurang-nya pemahaman kita terhadap “hidup sehat”, kebersihanlingkungan kurang diperhatikan, dan pemeliharaan unggasyang baik dan sehat juga tidak kita pedulikan. Akhirnya wabahfirus flu burung menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya,dan unggas pun dimusnahkan secara massal. Apakah ini yangdinamakan musibah/bencana?, bukan sekali lagi bukan, tetapihal itu merupakan kecerobohan kita.

Sampai akhirnya satu golongan menyalahkan golonganyang lain; golongan tertentu menyalahkan pemerintah ataumusibah-musibah itu dilimpahkan kepada pemerintah. Banyakkalangan yang mengkritik habis-habisan atas kinerja peme-rintah, pada akhirnya pemerintah pun balik mengkritik golong-an tersebut, dan seterusnya. Pada akhirnya antara golonganyang satu dengan golongan lain saling ‘semprot menyemprot’.Seolah-olah dialah yang benar dan pihak-pihak lain yang salah.

Sebagai sebuah penegaskan ada baiknya disampaikandi sini bahwa apa yang terjadi dan dialami bangsa kita sekarangini, kebanyakan bukanlah musibah, bukan serta-merta kitakatakan sebagai taqdir Tuhan, melainkan kecerobohan, ulahtangan-rekayasa manusia. Kecerobohan-kecerobohan yangtelah kita lakukan inilah yang menyebabkan berbagai musibahitu terjadi, sebagai akibat dari perbuatan manusia. Sikap yangmenganggap entheng, ringan atas sesuatu merupakan kece-robohan, dan menjadi awal dari sebab terjadinya musibah.Apalagi, jika kita pahami bahwa terjadinya musibah bukansaja karena perilaku-perilaku fisik-jasmaniyah sebagaimanabisa kita saksikan di berbagai tempat, akan tetapi musibahitu juga bisa terjadi lantaran ‘dosa-dosa sosial kita’, sebagaimana

F i q i h T r a d i s i

196

yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya. Semogakita semua bisa mengambil hikmah dari kecerobohan-ke-cerobohan ini.

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

197

IVBENCANA:

AKIBAT ‘DOSA-DOSA SOSIAL’ KITA

Inna lillahi wa inna ilahi rajiun, untuk kesekian kalinya.Itulah satu ungkapan yang pantas kita ucapkan bagi kondisibangsa kita sekarang ini. Bagaimana tidak? Hari berganti hari,bulan berganti bulan, tahun pun juga terus berganti; akan tetapidalam kenyataannya, musibah demi musibah yang silih ber-ganti dan terus menerus menimpa bangsa kita, belumjuga ‘bosan’, belum juga hengkang dari hadapan kita. Seolah-olah tiada hari tanpa musibah. Bahkan sampai mimpi punberkenaan dengan musibah.

Di penghujung tahun 2004 sampai sekarang ini, seren-tetan musibah terus menerus menimpa bangsa kita. Mulaidari Tsunami sebagai musibah yang paling besar, lumpurLapindo, musibah banjir, tanah longsor, dan seterusnya. Bah-kan buruknya cuaca yang masih menyelimuti, menyebabkansekian banyak musibah bagi bangsa kita. Lautan luas yangbiasanya mendatangkan penghidupan bagi rakyat Indonesia,hari ini dia sedang ‘marah besar’, sehingga apa saja yang me-lintas di atasnya langsung dilumat dan dihempaskan. Mulaidari perahu nelayan yang terbalik, kapal-kapal besar yang

F i q i h T r a d i s i

198

terdampar dan tenggelam yang memakan banyak korban.Pada akhirnya, ketika itu untuk sementara waktu semua pelayar-an dihentikan.

Demikian juga dengan wilayah udara, yang biasanyasebagai jalan transportasi yang relatif cepat dan mendatang-kan pendapatan bagi negara, hari ini juga sedang ‘marah’. Yangterakhir, korban dari keganasan cuaca ini adalah hilangnyapesawat Adam Air yang membutuhkan waktu berbulan-bulanuntuk menemukannya. Dengan cuaca buruknya, dia meng-halangi semua transportasi udara, sehingga dari dan tujuankemana saja untuk sementara waktu (pada waktu itu) jugadihentikan. Dan ternyata ketika, Adam Air sudah diketemu-kan dan black box terbaca, ternyata memang terjadi gangguan-gangguan pada pesawat tersebut, yang bisa jadi bukan hanyakarena disebabkan oleh cuaca.

Ada apa, kenapa dan mengapa? Oh… negeriku! Dimanadan kemana predikat yang engkau sandang sebagai negeriyang tentram, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto rahardjo?Dan serentetan pertanyaan lainnya.

Perlu dipahami bahwa sebenarnya musibah demi musibahyang terus menerus menimpa dan dialami bangsa kita, tidaklain sebenarnya adalah merupakan akibat dari proses yangcukup panjang, proses ketidakadilan kita terhadap mereka(alam lingkungan). Sikap dan perilaku yang zhalim yang kitaberikan kepada mereka. Kita telah mengeksploitasi mereka,kita telah merampas hak-hak mereka. Mereka telah memberi-kan kepada kita manfaat yang besar dan memenuhi berbagaikebutuhan kita, tetapi kita tidak sedikit pun memberikan ke-manfaatan pada mereka, bahkan kita mungkin termasuk orang-orang yang rakus.

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

199

Ingatlah, bahwa alam itu adalah ‘manusia’ (makhlukhidup), dia mengetahui dan merasakan apa yang telah diper-buat manusia terhadapnya. Ketika kebaikan itu kita berikankepadanya, maka mereka juga akan memberikan kebaikankepada kita. Apabila kita mau menjaga ekosistem alam, makaalam juga akan memperhatikan kita. Akan tetapi lain, jika kita(manusia) berbuat kezhaliman padanya dan hal itu berjalanterus menerus dan bertahun-tahun, maka tentu ‘rasa sakit’ ituakan semakin mendalam dan parah. Sehingga menjadi ‘kema-rahan’ yang luar biasa, dan suatu saat akan menjadi bom waktuyang siap meledak. Boleh jadi apa yang sekarang dirasakandan dialami bangsa kita merupakan puncak ‘kemarahan’ mereka,dan boleh jadi pula hal itu merupakan sebagian kecil dari awalkemarahannya. Atau bahkan dalam asumsi positifnya, alamsedang menunjukkan bahwa dialah yang sebenarnya berhakuntuk disebut sebagai ‘manusia’ yang manusiawi, sehinggadia mengingatkan kepada manusia lainnya —sebagai sisi ma-nusiawi alam— untuk memperingatkan saudaranya (manusia)yang telah dan sedang terlelap dengan berbagai tindakan peri-laku asusila dan amoral.

Hutan yang tidak dijaga dan dipelihara dengan baik, makaakan mendatangkan bahaya yang cukup besar bagi kita, palingtidak bagi mereka yang tinggal di sekitarnya, di lereng-lereng.Pembalakan liar, illegal logging, dan seterusnya merupakanperilaku yang merugikan, baik bagi alam, manusia maupun baginegara, dan bahkan bagi kestabilan dan kelestarian bumi.Banjir, tanah longsor dan musibah-musibah lainnya merupakanbagian yang tak terpisahkan dari kezhaliman yang kita perbuat.Simbiosis-mutualisme yang seharusnya dijaga oleh manusia,

F i q i h T r a d i s i

200

akhirnya terkoyak oleh perbuatan-perbuatan negatif manusiasendiri. Hukum alam pun akhirnya tidak bisa dihindari.

Hal tersebut pada akhirnya juga berimbas pada terganggu-nya ekosistem laut. Ekosistem laut yang seharusnya kita jagademi keseimbangan alam, ternyata tidak bisa kita jaga, karenaberbagai perilaku buruk yang telah kita lakukan. Berbagai pen-curian terhadap kekayaan laut, transaksi terlarang yang dilaku-kan di atas atau di dalam laut dan lain sebagainya, telah men-jadikan laut yang pada awalnya menjadi teman yang penuhdengan kemesraan —sebagaimana yang telah ditundukkan Allahbagi manusia—, berubah menjadi musuh yang menyeramkan.Ombak yang cukup tinggi, melalap habis apa saja yang ada didepannya. Sehingga pada akhirnya, musibah-musibah di lautpun tidak bisa dihindari, tenggelamnya kapal Senopati yangmemakan korban ratusan jiwa,dan kapal-kapal lainnya.

Sebenarnya, langsung atau tidak langsung, alam (ling-kungan) telah ‘marah’ kepada kita. Secara langsung, alam marahkarena perbuatan buruk kita terhadapnya, dan kita tidak pernahberbuat baik kepadanya. Secara tidak langsung, alam marahkarena dia terus menerus melihat dan menyaksikan perbuat-an zhalim yang kita lakukan setiap hari, baik dalam hubungan-nya dengan Allah maupun dengan sesama manusia, termasukterhadap mereka. Sehingga muncul dibenak ‘pikiran’ mereka:Kok ada ya manusia seperti itu ???

Di pihak lain, mungkin saja alam (lingkungan) telah mem-bantu menyadarkan kita untuk kembali kepada jalan kebaikan,membantu kita untuk kembali kepada Tuhan. Ketika manusiatelah diingatkan dengan cara baik-baik tetapi tidak kunjungkembali kepada Tuhan, tidak juga menyadari berbagai ke-salahan dan kezhaliman yang dilakukannya, akhirnya mereka

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

201

mengingatkan manusia dengan kemarahan. Bahkan bisa jadihal ini merupakan peringatan Tuhan, rasa kasih dan sayangTuhan (rahman rahim-Nya) kepada kita semua untuk kembalimengingat-Nya, menjalin hubungan yang harmonis dengan-Nya maupun dengan semua makhluk-Nya.

Oleh karena itu perlu dipahami dan ditegaskan bahwaperbuatan-perbuatan zhalim baik terhadap alam lingkunganmaupun sesama manusia adalah merupakan dosa-dosa sosial.Dosa-dosa yang harus dipertanggungjawabkan tidak hanyakepada Tuhan saja, tetapi juga kepada mereka (alam dan manu-sia). Zhahara al-fasâdu fi al-barri wa al-bahri bimâ kasabat aydian-nâs (“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebab-kan oleh ulah tangan [perbuatan zhalim] manusia”).

Insyaflah, sadarlah wahai manusia, berhentilah berbuatzhalim dan segeralah kembali kepada Tuhan, Allah Swt. dengantaubatan nashuha, karena sesungguhnya Allah Maha Penerimataubat.

F i q i h T r a d i s i

202

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

203

VTEOLOGI LINGKUNGAN

DAN UPAYA MEMINIMALISASIBENCANA

Ada sebuah fenomena yang kerap kali manusia lupa,atau bahkan kita dengan sengaja melupakannya serta ber-sikap acuh tak acuh. Sebuah fenomena yang tidak bisa dipisah-kan dari hidup dan kehidupan manusia sebagai khalifah Allahdi bumi. Fenomena tersebut adalah keseimbangan, keselaras-an dan keserasian antara manusia dengan alam (lingkungan).

Mengapa berbagai bencana terjadi di negeri yang kononsubur makmur ini. Mengapa terjadi gempa, tanah longsor,banjir, berbagai penyakit dan bencana lainnya. Musibah-musibah yang terjadi dan dialami bangsa kita, tidak lain karenakita kurang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan,sering kali kita bertindak ceroboh; membuang sampah sem-barangan, menebang pohon secara liar, kita belum bisa mema-hami bagaimana konsep hidup sehat sebenarnya, dan seterus-nya. Bahkan kita tidak mempunyai kepedulian itu sama sekali.

Di lain pihak, kita sering kali menganggap bahwa alam(lingkungan) akan dan selalu memberikan keuntungan danmanfaat kepada kita. Dan kita selalu mengambil manfaat yangsebesar-besarnya atas alam (lingkungan), tanpa memperduli-

F i q i h T r a d i s i

204

kan keberadaannya. Akhirnya, eksploitasi-eksploitasi terhadaplingkungan terjadi dimana-mana.

Kesatuan Manusia dan Alam adalah SunnatullahManusia dan alam ibarat dua sisi mata uang, antara satu

dengan yang lainnya tidak bisa saling meniadakan. Manusiadalam hidup dan kehidupannya membutuhkan alam, demi-kian juga sebaliknya, alam membutuhkan manusia. Kesatuanmanusia dan alam merupakan fitrah kehidupan (sunnatullah).

Sebagai sunnatullah (hukum alam), keberadaan alam(lingkungan) harus benar-benar diperhatikan, dijaga dan di-lestarikan. Ketika kita memberikan hal-hal yang baik kepadaalam, maka mereka juga akan membalasnya dengan kebaik-an. Demikian juga ketika kita memperlakukannya secara buruk,maka kita akan mendapatkan keburukan pula.

Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam(lingkungan) merupakan ‘harga mati’. Bila manusia ingin hidupbahagia dan sejahtera, jauh dari marabahaya, bencana; makasalah satu kuncinya adalah manusia harus menjalin dan men-jaga hubungan yang harmonis dengan lingkungan. Hal ini tidaklain, karena berbagai musibah yang dialami bangsa kita, lebihdisebabkan kurangnya kepekaan kita terhadap lingkungan.Mengapa alam ‘marah’?, tidak lain karena dosa-dosa sosial yangtelah kita perbuat terhadap mereka (alam).

Di samping itu, Allah Swt., Tuhan semesta alam (rabbal-‘alamin) memang sudah memerintahkan kepada kita untukselalu menjaga hubungan baik dengan alam lingkungan (hablmin al-‘alam), disamping dua hubungan yang lain yaitu hubung-an dengan Allah (habl min Allah), dan hubungan dengan se-sama manusia (habl min al-nas).

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

205

Dalam banyak ayat disebutkan bagaimana alam ini di-ciptakan, bagaimana bumi dihamparkan, bagaimana lautditundukkan bagi manusia, dan bagaimana gunung-gunungitu ditancapkan, dan berbagai pernyataan lainnya dalam al-Qur’an. Pada intinya, kita diperintah untuk mempelajari kejadi-an alam semesta ini. Sehingga bila suatu ketika terdapat hal-hal yang ‘ganjil’ yang terjadi pada alam, maka manusia diharap-kan akan bisa mencarikan solusinya sesuai dengan ilmu yangtelah dipelajari dan dikuasainya.

Lebih dari itu, tujuan Allah menyuruh manusia untukmenjaga hubungan yang harmonis dengan lingkungan, denganmempelajari berbagai seluk-beluknya adalah dalam rangkamenunjukkan bahwa Allah, Tuhan alam semesta ini adalahDzat Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, Yang Maha luas ilmu-Nya dan manusia tidak akan pernah bisa menandingi-Nya.Sehingga manusia akan selalu meminta pertolongan kepada-Nya dalam menyelesaikan berbagai masalah (bencana/musibah)yang terjadi, dan akhirnya berserah diri kepada-Nya, ber-tasbih,memuji keagungan dan kebesaran-Nya. Inilah yang dimaksuddengan konsep teologi lingkungan, yaitu memahami berbagaiciptaan Tuhan (alam lingkungan) dan menjalin hubungandengannya berlandaskan pada nilai-nilai agama, nilai-nilaiketuhanan.

Nilai-nilai teologis inilah yang sebenarnya diajarkanTuhan kepada kita semua. Allah mengajarkan kepada kitabagaimana menguak berbagai hikmah, mengambil pelajaran,ibrah dari berbagai macam ciptaan-Nya. Karena tidak ada satupun dari semua ciptaan-Nya yang sia-sia. Nilai-nilai teologisini pula yang akan mengantarkan manusia untuk sampai ke-pada Tuhan (percaya dan beriman). Bagi mereka yang sudah

F i q i h T r a d i s i

206

beriman, akan semakin meningkatkan keimanannya; dan bagimereka yang belum beriman akan tersingkap “kegelapannya”dan seraya meng-Esakan Tuhan. Sehingga pada akhirnya kitaakan bisa memperlakukan alam sekitar ini sebagaimanamestinya.

Dengan demikian jelas, bahwa terjadinya musibah danberbagai bencana, tidak lain karena adanya hubungan yangtidak harmonis antara manusia dengan alam. Hubungan har-monis yang diperintahkan Tuhan tidak diindahkan dan tidakdi-gubris. Oleh karena itu, hubungan yang harmonis antaramanusia dengan alam harus selalu dijaga dan dilestarikan.Hubungan simbiosis-mutualisme, hubungan yang salingmenguntungkan perlu dan harus selalu dikedepankan dalamrangka meminimalisir berbagai musibah atau bencana yangselama ini menimpa bangsa kita.

Untuk mengakhiri tulisan ini, ada baiknya dikutip beber-apa ayat dalam surat al-Ghâsyiyah:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diadiciptakan; dan langit, bagaimana ia ditinggikan?; dan gunung-gunungbagaimana ia ditegakkan?; dan bumi bagaimana ia dihamparkan?;maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalahorang yang memberi peringatan.

Sekecil apa pun perbuatan baik kita, terhadap ling-kungan atau pun lainnya, tentu akan mendapatkan balasanpahala dari Allah Swt., demikian juga sekecil apapun per-

F i q i h L i n g k u n g a n M a s y a r a k a t P i n g g i r a n

207

buatan buruk kita, pasti akan dimintai pertanggungjawaban.Mari kita ciptakan lingkungan yang sehat, kita tingkatkansikap kepedulian sosial terutama terhadap lingkungan, dankita sebarluaskan gerakan cinta lingkungan dengan berlan-daskan pada nilai-nilai agama.

F i q i h T r a d i s i

208

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

209

TRADISI MEGENGAN: SEBUAH FENOMENAPERGESERAN TRADISI

‘TAMU AGUNG’ YANG KURANG DI-AGUNG-KAN MEMPERINGATI NUZULUL QURAN: MENGURAI

PESAN PENTING NUZULUL QUR’AN IDUL FITRI: TERGUSURNYA NILAI-NILAI

SILATURRAHIM PIALA DUNIA = PERJUDIAN DUNIA HABIS SIDAK, KEMBALI LAGI?

AGENDA MENDESAK PASCA PILKADES

F I Q I H T R A D I S I‘W O N G n D E S O’

B a g i a n K e e n a m

F i q i h T r a d i s i

210

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

211

ITRADISIMEGENGAN:

Sebuah Fenomena Pergeseran Tradisi

Dalam Islam terdapat delapan bulan yang dinyatakansebagai bulan suci, yaitu bulan Muharram (Suro), Shafar (Sapar),Rabi’ul Awwal (Mulud), Rajab (Rejeb), Sya’ban (Ruwah),Ramadhan (Poso), Dzulqa’idah (Selo), dan Dzulhijjah (Besar).Pada bulan-bulan tersebut umat Islam, khususnya umat IslamIndonesia (Jawa) melakukan banyak ritual atau perayaan untukmemperingatinya, dan memang dalam delapan bulan ter-sebut mempunyai arti penting sehingga harus diperingati.Melalui peringatan atau perayaan itu keterkaitan dengan iden-titas sebagai Muslim diekspresikan melalui simbol-simboltertentu. Makna penting bulan-bulan tersebut lebih dapat di-telusuri dalam sejarah Islam daripada dalam kitab suci. Polaumum peringatan ataupun perayaannya terdiri atas satu ataukombinasi berbagai elemen, seperti berpuasa, berdoa, shalatsunnah, membaca al-Qur’an, membaca riwayat tokoh muslimatau cerita menyangkut kemuliaan bulan-bulan tersebut,pengajian serta menyajikan makanan atau benda-benda lainsebagai simbol perayaannya (Muhaimin, 2001: 173).

F i q i h T r a d i s i

212

Dalam pandangan Clifford Geertz (1992: 5), agama meru-pakan sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku dalam masya-rakat. Simbol-simbol ini mempunyai makna yang diwujud-kan kedalam bentuk ekspresi realitas hidupnya. Oleh karenaitu Geertz lebih menekankan pada budaya dari dimensi agama.Dalam hal ini agama dianggap sebagai bagian dari budaya.Sehingga dalam kenyataannya, seringkali simbol-simbol itumemiliki arti penting (urgen) dalam kehidupan masyarakatIslam Jawa, dan bahkan di sinilah letak nilai kepuasan sese-orang dalam menjalankan ritual keagamaannya.

Budaya dan agama kadang-kadang sulit dibedakandalam pelaksanaan sehari-hari. Agama seringkali mempeng-aruhi pemeluknya dalam bersikap maupun bertingkah lakubahkan berpola pikir untuk menyelesaikan persoalan-per-soalan yang kadang-kadang kurang melihat budaya-budayamasyarakat yang sudah ada. Namun, budaya kadang jugamenahan diri untuk berdiri sendiri dan tidak mau bercampurdengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, walaupuntidak jarang sebenarnya memiliki kesamaan akan dasar dantujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat setempat. Perilakuseperti ini dapat dilihat pada kebanyakan masyarakat diTulungagung khususnya di kecamatan Sumbergempol. Merekamelakukan sebuah tradisi megengan yang dilakukan padaakhir bulan Sya’ban (Ruwah) oleh kebanyakan para penduduk.

Tradisi megengan ini menjadi menarik untuk diteliti, karenadi era modern sekarang ini ketika perubahan dan perkem-bangan ilmu pengetahuan semakin maju, tetapi upacara atautradisi megengan masih dipegang teguh dan masih tetap ber-langsung. Di samping juga gerakan yang dilakukan oleh ke-lompok keagamaan, misalnya Muhammadiyah yang awalnya

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

213

sebagai gerakan pemurnian Islam belum juga mampu mem-pengaruhi upacara tradisi lokal yang menurut mereka termasukbid’ah, dan bahkan bisa jadi ada sebagian diantara merekayang ikut melakukan tradisi ini. Di sisi lain, juga tidak sedikitdari para intelektual yang berada di Tulungagung belum mampumenyentuh atau mempengaruhi budaya tersebut. Walaupunada perubahan-perubahan tetapi tidak esensial terhadap peri-laku budaya yang menjadi bentuk agama lokal.

Atas dasar fenomena tersebut, maka terdapat beberapapersoalan mendasar yang menarik dan penting untuk ditelaahsecara lebih mendalam, antara lain tentang pelaksanaan tradisimegengan dan perubahan atau pergeseran yang terjadi dalampelaksanaannya.

Berdasarkan dua masalah pokok tersebut, maka ada beber-apa teori (kerangka teori) yang digunakan, antara lain teoriCliffort Geertz, Daniel L. Pals, Mark R. Woodward, AndrewBeatty, Koentjoroningrat, dan Parsudi Suparlan. MenurutClifford Geertz (1992: 5) agama merupakan sebuah sistemsimbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbol-simbolini mempunyai makna yang diwujudkan kedalam bentukekspresi realitas hidupnya. Oleh karena itu Geertz lebih mene-kankan pada budaya dari dimensi agama. Dalam hal ini agamadianggap sebagai bagian dari budaya. Kebudayaan adalahsebuah pola makna-makna (a pattern of meanings) atau ide-ideyang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyara-kat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan danmengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbolitu (Pals, 2001: 386). Salah satu dari sekian banyak simbol ke-agamaan yang dipraktekkan masyarakat Islam Jawa adalahslametan megengan.

F i q i h T r a d i s i

214

Mark R. Woodward (1988) mengemukakan bahwa agamaJawa baik dalm bentuk populer maupun mistik, pada dasar-nya adala adaptasi sufisme dan oleh karena itu merupakanbentuk (atau bentuk-bentuk) lokal Islam. Dalam pandanganAndrew Beatty (2001: 38), slametan adalah sebuah contohekstrim dari apa yang barangkali disebut “ambiguitas yangteratur”. Selanjutnya, slametan beruntung karena luar biasaeksplisit dimana unsur-unsur multivokalnya tidak semata-mata tindakan atau simbol-simbol material melainkan kata-kata, yakni kata-kata yang hanya akan bermakna apabila di-ucapkan selama upacara. Demikian juga dalam konsepsi Koen-tjoroningrat (1988), bahwa kebudayaan diartikan sebagaiwujudnya, yang mencakup keseluruhan dari gagasan, kelaku-an, dan hasil kelakuan. Wujud kebudayaan ini dilakukan denganmengacu pada kerangka konsep unsur-unsur budaya univer-sal yang menghasilkan taksonomi kebudayaan. Sedangkandalam pandangan Suparlan (1998: 111), kebudayaan adalahpedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenar-annya oleh masyarakat tersebut.

Sebagai bagian dari adat muslim, slametan merupakanpraktek yang populer yang dilaksanakan oleh semua lapisanmasyarakat, baik yang taat maupun tidak, orang berpangkatataupun orang biasa, dan diantara orang yang kaya dan miskin.Esensi dari slametan ini adalah sedekah dan doa. Jadi padadasarnya adat ini bersifat Islami, yang sumbernya dapat ditemuibaik secara eksplisit maupun implisit di dalam al-Qur’an mau-pun Hadits. Islam pun sesungguhnya menganjurkan umat-nya untuk senantiasa bersedekah dan berdoa, bahkan di saatmenghadapi sesuatu yang kurang penting atau mengerjakansesuatu yang bersifat teknis.

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

215

Sama halnya dengan masyarakat lain, tampaknya masya-rakat Tulungagung percaya bahwa kehidupan berkembangmelalui tahapan-tahapan yaitu pra-kelahiran, saat kelahiran,pasca-kelahiran, kematian dan pasca-kematian, dan bahwa dalamtiap-tiap tahap juga memiliki sub-sub tahap. Masyarakat Tulung-agung menganggap bahwa perjalanan melalui tahap-tahaptersebut merupakan tahap-tahap yang penting karena meru-pakan hal yang kritis dan riskan. Peralihan dari satu tahap ketahap berikutnya diharapkan belangsung dengan lancar danselamat. Sayangnya mereka tidak kuasa berbuat banyak, karenasemua tahap berada di luar kekuasaan manusia. Jadi agarsegalanya berlangsung dengan selamat, atau untuk meraya-kan keberhasilan dalam melalui satu tahap, diadakanlahslametan.

Kata ‘slamet’ dipinjam dari kata Arab salamah (jamak:salamat) yang berarti damai dan selamat. Padanannya yangbersinonim penuh adalah kajatan, syukuran, tasyakuran dansedekah. Masing-masing dari kata tersebut juga meminjamistilah Arab yaitu hajah (jamak: hajat) yang berarti ‘keperluan’,syukr yang berarti ‘terima kasih’, tasyakur berarti ‘pernyataanterima kasih’, dan shadaqah yang berarti ‘memberi sedekah atausesuatu baik harta ataupun benda kepada orang lain’(Muhaimin, 2001: 199).

Di Tulungagung, istilah kajatan, yang semula berartimemiliki kajat (hajat, keperluan) biasanya diacu untuk meng-gambarkan pelaksanaan yang serupa dengan slametan. Kajatanjuga memiliki konotasi penting atau hal yang menggembira-kan. Lebih khusus lagi, kajatan menggambarkan harapan akankesehatan menyusul suatu perhelatan, seperti khitanan ataupernikahan. Lebih khusus lagi, istilah kajatan/kajat ini dipakai

F i q i h T r a d i s i

216

untuk persembahan dalam setiap acara slametan, yaitungajatna (mempersembahkan).

Syukuran atau tasyakuran berarti perayaan baik besarmaupun kecil sebagai ungkapan rasa terima kasih (kepadaAllah), atau terima kasih karena sesuatu (apapun bentuknya)telah berlangsung secara selamat dan lancar, seperti terbebasdari kesulitan, sembuh dari sakit, mendapatkan keberhasilanatau keuntungan, dan lain-lain.

Sedangkan sedekah berarti melakukan sedekah. Kataini juga mempunyai arti dan konotasi yang sama denganslametan. Dalam berbagai konteks, sedekah, kajatan, slametan,dan sedekahan dapat dipertukarkan. Intinya adalah meng-harapkan orang lain untuk berdoa (kepada Allah) untuk kese-lamatan individu yang bersangkutan, sebagai imbalannyaindividu (tuan rumah) tersebut menyediakan makanan baikuntuk slametan, untuk dibawa pulang, atau kedua-duanya.Jadi ada makna timbal balik dalam penyelenggaraa slametanini. Yaitu hadiah (berupa shalawat atau doa) dan hadiah yangdidapat berupa hidangan atau makanan (berkat); atau mung-kin sebaliknya makanan sebagai pemberian dan doa sebagaihadiah (Muhaimin, 2001: 200).

Makna yang pertama terjadi jika tuan rumah (shahib al-hajah) mengundang para tetangga dan kerabat untuk meng-hadiri acara doa bersama. Setelah itu hidangan disajikan, baikdengan atau tanpa berkat. Bagi mereka yang tidak hadir karenaalasan tertentu, makanan atau berkat dikirimkan ke rumahmereka atau dititipkan para undangan yang berdekatan rumah-nya. Di Tulungagung, hal ini dikenal dengan istilah bandulan.

Makna yang kedua terjadi jika shahib al-hajah tidak mem-buat undangan, dia cukup menyuruh seseorang baik kerabat

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

217

atau tetangganya untuk dimintai tolong membawakanmakanan (sedekah atau derma) langsung ke alamat penerima(tetangga dan kerabat). Cara penyajian makanan sudah di-kemas sedemikian rupa dan mengandung pesan simbolis ten-tang tujuan dan jenis slametan yang diadakan dan secaratidak langsung menyampaikan maksud si pengirim.

Sedangkan ziarah, artinya berkunjung ke sebuah tempatsuci dengan cara tertentu. Kata ziarah dipinjam dari bahasaArab ziyara yang artinya ‘kunjungan’. Kata ini pada dasarnyadapat diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke semuaobyek, baik berupa tempat maupun orang. Namun, sebagaiistilah lokal, ziarah merujuk kepada kunjungan resmi kepadaorang terkemuka (seperti kiai) atau ke sebuah tempat suci(makam atau peninggalan kramat wali atau orang suci) yangmengisyaratkan untuk mendapatkan barakah (ngalap berkah)(Muhaimin, 2001: 252). Walaupun kunjungan kepada sese-orang yang masih hidup seperti kepada seorang kiai yangdihormati juga dilakukan, ini hanyalah bentuk penghormatanbiasa, tetapi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalahziarah ke makam (tempat sakral), yang pada umumnya dilak-sanakan pada bulan Ruwah.

Di kalangan (santri) NU, sudah menjadi pemandanganumum bahwa ziarah ini dilakukan pada hari Kamis sore atauJum’at pagi. Ketika mereka ada di rumah, maka makam ibu-bapak dan keluarganya yang diziarahi. Ritual yang dikerjakansangat tergantung pada diri individu itu sendiri. Bagi yangpeka terhadap lingkungan, maka sebelum kirim doa terlebihdahulu membersihkan lingkungan dari sampah dedaunanatau rerumputan. Atau mengganti bunga-bunga yang sudahkering di atas makam. Setelah itu, baru membaca al-Qur’an,

F i q i h T r a d i s i

218

kalimat thayyibah, atau membaca surat Yasin (Fattah, 2006:146-148). Secara lebih khusus, ziarah ini dilaksanakan pada bulanRuwah (Sya’ban) menjelang Ramadhan dan bulan Ramadhanmenjelang Syawal. Dalam pelaksanaannya tidak ada batasanyang mengikat, semua dilakukan dengan ikhlas, kemudiandiakhiri dengan doa kepada Allah Swt. Dalam doa ini biasanyamereka mendoakan orang tua dan keluarga serta leluhurnya,orang-orang yang dihormatinya (kiai/guru), diri sendiri dansemua umat Islam tanpa terkecuali.

Dalam konteks penelitian ini, berdasarkan beberapakonsepsi tersebut, maka slametan yang dimaksud adalah sla-metan dalam bentuk megengan. Slametan megengan ini hanyadilaksanakan sekitar sepuluh hari terakhir pada bulan Sya’ban/Ruwah. Tradisi megengan ini merupakan salah satu bentuktradisi dan ritual yang dilaksanakan untuk memohon kepadaAllah agar diberi kekuatan lahir dan batin dalam menghadapidan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, serta untuk meng-irim doa atau mendoakan para leluhur yang telah meninggaldunia.

Megengan: antara Tradisi Lokal dan Tradisi IslamKebanyakan antropolog yang mempelajari masyarakat

Jawa sependapat bahwa slametan adalah jantungnya agamaJawa (Beatty, 2001: 39). Dalam hal ini Geertz (1960: 11) memulaiuraiannya dengan mengatakan bahwa “di pusat keseluruhansistem agama Jawa, terdapatlah suatu ritus yang sederhana,formal, jauh dari keramaian dan dramatis: itulah slametan”.Geertz (1960: 11-15, 40-41) meneruskan uraian garis besar unsur-unsur yang esensial bagi slametan apa saja, apakah slametanuntuk panenan, sunatan atau perayaan Islam. Dalam kebiasa-

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

219

annya, tuan rumah menyampaikan sambutan dalam bahasaJawa halus yang menjelaskan maksud acara tersebut kepadapara tamunya, doa dalam bahasa Arab dibaca oleh para tamu,makanan dibagikan dan dimakan sedikit, dan sisanya dibawapulang. Secara khusus, hadirin dalam acara itu mendoakannenek moyang tuan rumah, para nabi Muslim, dan seterus-nya.

Apakah slametan, dalam bentuk ini benar-benar beradadi pusat keseluruhan sistem agama Jawa, apakah memangada keseluruhan sistem agama Jawa itu dalam kenyataan.Dalam setiap uraiannya Geertz mengaburkan isu tersebut de-ngan menempatkan deskripsinya dalam satu bagian mengenaikepercayaan petani akan makhluk halus, salah satu dari tigavarian dalam sistem totalnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Andrew Beatty (2001:67) bahwa dia tidak dapat menemukan seorang pun yangmenganggap slametan adalah ritus Islami. Meski slametanmengandung unsur-unsur Islam, kebanyakan orang meng-anggap bahwa slametan sangat berciri Jawa dan pra Islam ataubahkan diilhami oleh Hindu. Konsep-konsep Islam disesuai-kan dan dalam hal tertentu diberi pengertian yang sepenuh-nya berbeda dari yang dikenal oleh Muslim, atau mungkinjuga dikosongkan dari muatan Islam tertentu dengan meng-ubah pengertiannya menjadi simbol-simbol universal.

Mark Woodward mengemukakan bahwa agama Jawabaik dalam bentuk popular maupun mistik, pada dasarnya ada-lah adaptasi sufisme dan oleh karena itu merupakan bentuk(atau bentuk-bentuk) lokal Islam. Dengan demikian dikotomikejawen dan santri merujuk pada pembagian dalam Islam.Menurut Woorward, mistisisme priyayi lebih banyak berhutang

F i q i h T r a d i s i

220

pada teosofi Ibn ‘Arabi daripada agama India Jawa pra Islam;dan pujian-pujian atas para nabi dan slametan yang diprak-tekkan oleh petani Jawa disejajarkan dengan Islam populardimana pun, di Asia dan Asia Tenggara. Oleh karenanya, skalavariasi kebudayaan bukanlah salah satu derajat Islamisasi,melainkan penekanan pada aspek-aspek yang berbeda dariIslam. Jadi menurut Woodward seperti halnya sebagian ahlilain, memandang agama Jawa sebagai satu agama, namunfaktor yang menyatukan adalah Islam, dan bukan Jawa sepertidikemukakan Geertz (Beatty, 2001: 41).

Pengakuan kembali agama Jawa sebagai Islam adalahsuatu hal yang patut didukung, sekurang-kurangnya sebagaipenyeimbang anggapan yang selama ini, dan sebagai tandaberkembangnya gerakan dalam kajian Asia Tenggara belakang-an ini untuk meluruskan penyimpangan ilmiah karena sikapliberal yang antipati terhadap Islam. Selanjutnya menurutWoodward (1988: 62), (1) slametan adalah produk interpretasiteks-teks Islam dan mode tindakan ritual yang diketahui dandisepakati bersama oleh masyarakat Muslim (bukan Jawa)yang lebih luas; dan (2) slametan sekurang-kurangnya di JawaTengah tidak secara khusus atau bahkan pada dasarnya bukanritus pedesaan melainkan menggunakan model pemujaankerajaan, dalam hal ini kraton Yogyakarta yang dilihatnyasebagai inspirasi Sufi (Woodward, 1988: 85). Dengan kata lain,bentuk dan makna slametan berakar dari Islam tekstual seba-gaimana diinterpretasi dalam pemujaan negara. Skripturalisini, pandangan atas-bawah terhadap ritual pedesaan ber-lawanan dengan Geertz yang berpandangan bahwa slametan(“ritual inti” dalam agama Jawa) berakar dalam tradisi pe-desaan yang animis.

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

221

Ada sebuah cara yang dipandang terbaik untuk menge-tahui kemurnian nafas Islami adat dalam ritual, yaitu denganmengamati perayaan hari besar atau bulan suci Islam. Kesulit-annya adalah menelusuri secara historis kapan ritual peraya-an semacam ini mulai dilakukan. Menurut Rippin (1990: 98),ritual semacam perayaan maulid Nabi Muhammad Saw.misalnya, dimulai pada abad 13 M. Tapi perayaan hari-haribesar lain secara eksplisit berakar pada al-Qur’an dan Hadits,yang menyiratkan bahwa ritual maulid telah dilakukan ketikaNabi masih hidup. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini,lebih ditekankan pada bagaimana perayaan (tradisi) megenganitu dilaksanakan, bukan pada asal usul sejarahnya meskipunhal ini memang tidak dapat diabaikan.

Dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa, slametanmegengan dilakukan untuk menyambut datangnya bulanRamadhan. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Islam Jawadengan penuh ketaatan. Tradisi megengan ini dilakukan padabulan Sya’ban atau Ruwah, yaitu sekitar tanggal 20 sampai29 Sya’ban/Ruwah sebelum bulan Ramadhan. Dalam pelak-sanaannya, tradisi megengan ini pada umumnya diikuti olehsemua masyarakat daerah setempat, dalam wilayah RT atauRW. Dalam pandangan mereka, tradisi megengan ini meru-pakan bentuk dan wujud ketaatan terhadap agama yang di-yakininya.

Pada kenyataannya, tradisi megengan ini merupakansalah satu bentuk tradisi dan ritual yang dilaksanakan untukmemohon kepada Allah agar diberi kekuatan lahir dan batindalam menghadapi dan melaksanakan puasa di bulan Rama-dhan, serta untuk mengirim doa atau mendoakan para leluhur

F i q i h T r a d i s i

222

yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang diungkapkanoleh Maliki (14/8/2009) bahwa:

Tradisi megengan ini merupakan tradisi Islam, karena tradisiini dilakukan dalam rangka menyambut datangnya bulan suciRamadhan. Dalam megengan ini, umat Islam (masyarakatyang melaksanakan megengan) mengharap kepada Allah agardiberi kekuatan lahir dan batin dalam melaksanakan puasaRamadhan. Selain itu, dalam megengan ini juga mengirim doakepada leluhur yang telah meninggal dunia.

Tradisi megengan di masyarakat Sumbergempol biasanyadilakukan di rumah masing-masing warga, dari satu rumahke rumah yang lain dan dalam waktu sekitar 9 sampai 10 hari,dan bahkan kadang-kadang dalam satu hari tradisi ini dilaku-kan di puluhan rumah warga. Dalam tradisi megengan ini ter-dapat ambengan atau sedekah, yaitu nasi beserta lauk pauk-nya, antara lain ketan (jadah), apem, kacang, tahu tempe, telur,ayam, dan serundeng.

Pada pelaksanaannya, seorang warga yang akan melak-sanakan megengan mengundang tetangga-tetangga sekitarpada waktu yang telah ditentukan. Setelah para undangandatang, kemudian ritualnya membaca kalimat thayyibah yaitusurat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas, lalu dilanjut-kan ayat Kursi dan doa yang dipimpin oleh sesepuh atau senior(tokoh) warga setempat. Biasanya sebelum kalimat thayyibahdiucapkan, tokoh yang memimpin ritual tradisi ini menyam-paikan pembukaan (muqaddimah atau ngajatna dalam bahasaJawa) yang mengantarkan atas hajat yang akan dilaksanakan.

Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubah-an serta perkembangan penduduk, dalam melaksanakan

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

223

megengan ini ada beberapa warga yang diantaranya sudahtidak memegang teguh pendirian para nenek moyangnya(leluhurnya). Terbukti dengan beberapa macam ambengan ataumenu yang tidak lengkap sebagaimana tradisi sebelumnyayang dilakukan oleh leluhurnya. Hal ini bisa dilihat pada tradisimegengan yang dilaksanakan di Bendiljati Kulon Sumber-gempol. Sebagaimana yang diinformasikan oleh Ahmad (13/8/2009) bahwa:

Ada sebagian kecil dari masyarakat lingkungan sini yangmelaksanakan megengan, tetapi sudah tidak seperti para pen-dahulunya, misalnya ambengan (berkat) yang disajikan dandiberikan kepada undangan, lauk pauknya ada yang tidaksama, berbeda.

Dalam pandangan warga Sumbergempol khususnya,sebenarnya tidak ada persoalan atau hal-hal yang negatif yangakan terjadi jika mereka tidak melakukan tradisi megengan ini.Bagi orang yang tidak melakukan megengan tidak akan ter-kena bencana atau musibah, berdosa atau lainnya. Tetapi karenatradisi megengan ini sudah merupakan tradisi yang turuntemurun dan dipandang baik serta tidak bertentangan denganajaran Islam, maka tradisi ini tetap dipegang teguh dan tetapdilaksanakan setiap tahunnya.

Masyarakat Muslim seperti itu, yang masih bertingkahlaku seperti tradisi jawa kuno atau tradisi Hindu-Budha menurutKoentjoroningrat (1984: 310) dianggap sebagai masyarakatyang masih setia pada the Javanese religion (agama Jawa). Se-dangkan menurut Cliffort Geertz (1986: 103) disebut abanganyang dihubungkan dengan sinkritisme.

F i q i h T r a d i s i

224

Tradisi megengan ini pada kenyataannya tidak hanyadilaksanakan di Kabupaten Tulungagung saja, tetapi di kabu-paten-kabupaten lainnya juga ada dan masih tetap melak-sanakan tradisi megengan. Dan secara khusus pada umumnyamereka yang melakukan tradisi megengan ini adalah kaumnahdliyyin (warga NU).

Selanjutnya, dalam rentetan tradisi megengan ini jugatidak bisa dipisahkan dengan tradisi ruwahan, sebuah tradisiyang secara khusus dilakukan dengan berziarah kubur. Seba-gaimana dipahami bahwa ruwahan diadakan dalam rangkamemperingati Ruwah, bulan kedelapan kalender Jawa yangbertepatan dengan bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalamkalender Islam. Dalam pandangan orang Jawa, Ruwah mung-kin berasal dari kata Arab, ruh (jamak: arwah) yang berarti jiwa.Menurut tradisi setempat pada malam tanggal 15, per-tengahan bulan Ruwah (nisfu Sya’ban), pohon kehidupan yangpada daunnya tertulis nama-nama manusia bergoyang. Jikadaun gugur, ini berarti orang yang namanya tertera di dauntersebut akan mati pada tahun mendatang (Qadhi, 1992: 33).Tidaklah mengherankan jika sejumlah orang menggunakanhari tersebut untuk mengenang yang mati atau berziarah.

Sesuai dengan tradisi ini, sebuah hadits yang diriwayat-kan oleh Tirmidzi menyatakan bahwa pada malam nisfu (per-tengahan) bulan Sya’ban, Allah turun ke surga yang palingrendah dan mengunjungi makhluk hidup untuk memberikanampunan-Nya. Sebagai perbandingan, salah satu sumbersebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin, ada orang Cirebonyang mengatakan bahwa dengan bulan panen pangapura (saatmenuai ampunan) dan karenanya ini merupakan saat yangpaling baik bagi mereka yang ingin bertaubat. Setelah shalat

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

225

maghrib pada hari ke-15 bulan tersebut (15 Ruwah/nisfu sya’ban)orang-orang membaca surah Yasin tiga kali dan berpuasa dihari tersebut (tanggal 15 siang). Bagi kebanyakan pendudukdesa, Ruwah dikenal sebagai bulan untuk dedonga (berdoa)dan ngunjung (bersilaturrahmi). Dipimpin oleh Kepala Desadan para sesepuh, mereka berziarah ke makam-makam leluhur(Muhaimin, 2001: 195). Hal demikian juga terjadi di Tulung-agung walaupun pada kenyataannya terdapat beberapapraktek yang berbeda, misalnya dalam pelaksanaan ziarahkubur tidak secara bersama-sama yang dipimpin oleh KepalaDesa, melainkan dilaksanakan secara individual. Hal demi-kian juga bisa diperhatikan dalam tradisi daerah lain sepertidi Nganjuk misalnya.

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa tidakada kejelasan mengapa bulan Ruwah yang dipilih untukmelakukan ritual ini. Akan tetapi yang jelas, ritual ini sudahberjalan bertahun-tahun bahkan bisa jadi ratusan tahun yangkemudian menjadi tradisi, dan mereka merasa tidak memilikialasan untuk mengubah atau menghilangkan tradisi ini karenatidak ada salahnya.

Pendapat lain mengatakan bahwa pemilihan pertengah-an Ruwah untuk berziarah bersumber dari berbagai tradisiNabi. Salah satu tradisi ini didasarkan pada kisah yangmenceritakan bahwa pada nisfu sya’ban Nabi dengan diam-diam pergi ke Baqi (kompleks makam di Madinah) dan berdoadi sana hingga meneteskan air mata. Ali, sahabat sekaligusmenantunya, yang mengikuti secara diam-diam melihat darijauh apa yang diperbuat Nabi. Melihat Nabi menangis, sha-habat Ali lalu menghampiri dan bertanya apa sebabnya. Nabimenjelaskan bahwa hari ini adalah malam pengampunan

F i q i h T r a d i s i

226

dosa (lailah al-bara’ah) dan beliau berdoa untuk pengampunanAllah bagi nenek moyangnya dan atas dosa kaum mukmin(Muhaimin, 2001: 196). Hal ini menunjukkan bahwa Islam pun,dengan caranya tersendiri memiliki bentuk pemujaan ter-hadap leluhur.

Pergeseran PelaksanaanMegenganAda beberapa tradisi atau tata cara yang terdapat dalam

masyarakat Jawa dalam menghormati leluhur atau nenekmoyangnya. Semua itu berhubungan dengan peristiwa se-lamatan setelah kematian. Megengan adalah salah satu bentuktradisi yang dilaksanakan dalam rangka pengagungan ter-hadap leluhur (kirim doa) dan menghormati datangnya bulanRamadhan. Tradisi megengan ini ada kemungkinan tidak hanyaterdapat pada masyarakat Jawa, tetapi juga terdapat padamasyarakat luar Jawa, walaupun mungkin dalam sebutan danbentuk yang berbeda. Menurut Rachmat Subagya (1981: 196),tradisi penghormatan para leluhurnya walaupun Islam telahdipeluk sebagai agamanya, namun mereka masih tetap meme-lihara tradisi penghormatan para leluhurnya atau nenekmoyangnya.

Megengan merupakan bagian dari selamatan (slametan).Selamatan adalah upacara pokok dari unsur ritus agama Jawa.Selamatan juga sebuah simbol mistik sosial yang dalam pelak-sanaannya biasanya dilakukan di rumah dengan dihadiri olehanggota keluarga, teman-teman kerja, kerabat-kerabat yangtinggal di kota (tetangga-tetangga sekitar) yang dipimpin olehseorang Modin (Geertz, 1960: 11). Modin, dalam hal ini akanmemimpin acara jika kebetulan pada waktu itu hadir, akan

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

227

tetapi jika tidak ada maka seorang yang senior atau lebih ahliyang ditunjuk untuk memimpin acara (slametan).

Kata-kata pertama yang diucapkan pembicara adalahsalam berbahasa Arab yang diarahkan kepada para tamu,kemudian dilanjutkan dengan bahasa Jawa halus (krama). Pem-bicara kemudian mengidentifikasi peranannya sendiri sebagaiwakil dari tuan rumah (shahib al-hajah) untuk kemudian me-nyampaikan keinginan-keinginan (niat) tuan rumah atas penye-lenggaraan acara tersebut. Pada umumnya, pembicara ini jugamengidentifikasi semua ambengan yang dikeluarkan olehtuan rumah sampai sedetail-detailnya sekaligus dengan mak-sud-maksud simbolik. Setiap unsur dipersembahkan secaraindividual atas nama tuan rumah, dan setiap kalimat per-sembahan (ngajatna) disambut oleh para tamu undangandengan ucapan inggih (ya) secara bersama-sama.

Pada waktu dulu, pelaksanaan megengan ini hanya cukupsehari saja. Semua masyarakat yang akan megengan mem-persiapkan segala sesuatunya pada hari itu juga. Sehinggawarga atau tetangga yang diundang dalam acara ini tidak henti-hentinya melaksanakan/membacakan doa dari satu rumahke rumah warga yang lain, dari sore sampai larut malam baruselesai. Kalau dalam satu lingkungan (RT/RW) ada 30 keluarga,maka pada hari itu juga mereka melaksanakan megengan,dan 30 rumah itu yang harus diselesaikan dalam sehari (antarajam 2 sore sampai 12 malam).

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Bapak Abdul Ghani(14/8/2009) bahwa:

Pada waktu dulu megengan itu tidak seperti sekarang ini, kalaudulu dilaksanakan hanya satu hari, dimana semua warga/

F i q i h T r a d i s i

228

tetangga yang diundang saling bertandang dari rumah yangsatu ke rumah lainnya, dari sore hingga larut malam. Kalauada 30 rumah ya berarti mendapat 30 berkat dalam sehari itu,sehingga tidak jarang kalau kemudian makanan (berkat) itudijemur atau diberikan kepada ayam atau unggas lainnya.

Kemudian beberapa tahun yang lalu, pelaksanaannyatidak sampai larut malam, mungkin sampai jam 9 malam saja.Sekarang tradisi ini sedikit bergeser, kalau sebelumnya dilaku-kan di setiap rumah dan seolah-olah wajib bagi setiap rumah,sekarang sudah mulai dilaksanakan secara berkumpul atauberkelompok. Pelaksanaan tradisi secara berkelompok ini di-lakukan di salah satu masjid atau mushala warga setempatdengan jumlah warga yang megengan dibatasi dan dibagi men-jadi beberapa hari. Tujuan pelaksanaan tradisi megengan secarakolektif ini tidak lain agar tidak ada warga yang melaksana-kan megengan secara serempak dan hanya satu hari saja sertasecara individual. Karena sebagaimana tradisi sebelumnya,megengan secara individual setiap rumah, menyebabkan banyakmakanan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagaimana mesti-nya, dan kebanyakan hanya dibuang atau diberikan unggasatau dijemur, sehingga menyia-nyiakan rezeki (mubadzir).Sehingga dengan pelaksanaan yang demikian, maka akan lebihterkoordinir dan terjadwal, termasuk berkat (ambengan) yangdibawa ke masjid atau mushala juga dibatasi agar tidakmubadzir.

Demikian juga, pergeseran itu juga terjadi pada pem-bagian berkat-nya, kalau sebelumnya berkat (menu-menumakanan yang akan dibagikan) itu masih sendiri-sendirisehingga ketika selesai jama’ahnya masih harus membagi-bagisendiri; sekarang sudah lebih sistematis dan praktis, yaitu

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

229

diletakkan dalam satu wadah yang sudah lengkap dengannasi dan lauknya, dan jama’ah yang diundang tinggal meng-ambil satu per satu tanpa harus membagi-bagi (menata) terlebihdahulu. Bagi mereka yang tidak bisa hadir karena sesuatuhal, berkat itu dikirimkan ke rumahnya, baik dikirim langsungmaupun dititipkan kepada jamaah yang hadir untuk diberi-kan kepada mereka yang tidak hadir (dalam istilah Tulung-agung disebut bandulan).

Lebih dari itu, dalam tradisi ini juga muncul sebuahgagasan baru yang dilakukan oleh para generasi muda/orangdewasa. Gagasan baru dalam tradisi megengan yang diharap-kan oleh para generasi muda/orang dewasa adalah bagaimanaagar megengan ini bisa dirubah baik dalam tradisi maupunbentuknya. Artinya megengan tetap dilaksanakan, tetapi tradisi-nya tidak lagi mengumpulkan beberapa warga untuk kemu-dian membaca kalimat thayyibah (dzikir) dan setelah itumendapatkan berkat atau ambengan; tetapi diganti denganpenggalangan dana, dan hasilnya digunakan untuk menyan-tuni anak yatim atau fakir miskin. Artinya, tradisi megenganyang semula berupa makanan itu diganti dengan uang ataulainnya dengan niat megengan dan untuk kegiatan sosial ke-agamaan, sehingga dengan demikian diharapkan unsur ke-mubadzir-an dalam tradisi megengan ini tidak ada lagi. Dankelihatannya memang jauh lebih bermanfaat dibandingkandengan hanya berupa makanan. Bentuk perubahan lain jugasudah pernah terjadi, yaitu orang yang megengan tidak lagimembuat nasi plus lauk pauknya (berkat), akan tetapi sudahdiganti dengan 0,5 kg sampai 1 kg gula pasir atau bentuk lain-nya. Bagi mereka yang melaksanakan demikian, tidak adaalasan lain kecuali agar lebih bermanfaat dan bisadimanfaatkan.

F i q i h T r a d i s i

230

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Asmuni(13/8/2009) bahwa:

Masyarakat sekitar kita memang masih tetap melaksanakanmegengan dan mereka cukup bersemangat (antusias). Dalamhal ini, ada beberapa orang yang melakukan (berniat) me-gengan tetapi sedekah yang diberikan tidak lagi berupa nasilengkap dengan lauk pauknya, tetapi sudah diganti denganuang atau barang, misalnya gula pasir. Dalam pandanganmereka yang penting adalah niatnya, dan dengan cara sepertiini menurut mereka lebih bermanfaat.

Pada kenyataannya, sebenarnya tradisi megengan initidak jauh berbeda dengan tradisi-tradisi masyarakat Jawapada umumnya. Hal yang membedakan dengan tradisi lain-nya hanyalah pada waktunya saja, dimana megengan ini hanyadilaksanakan sekitar satu minggu diakhir bulan Sya’banmenjelang bulan Ramadhan. Sehingga dengan konsepsi sepertiini, maka tradisi-tradisi Jawa lainnya seperti slametan dansebagainya yang tidak dilaksanakan pada akhir bulan Sya’ban,maka tidak dapat disebut sebagai megengan.

Sisi pergeseran lainnya tampak dalam pelaksananziarah kubur. Pada awalnya pelaksanaan megengan ini sangaterat dan tidak bisa dipisahkan dengan ziarah kubur. Artinyaorang-orang yang megengan sekaligus berziarah kubur kemakam orang tuanya maupun leluhurnya. Ketika ziarah kubur,mereka membaca kalimat thayyibah tahlil, membaca suratYasin dan diakhiri dengan doa. Tujuannya tidak lain adalahuntuk mendoakan orang tua dan para leluhurnya yang telahmeninggal agar diampuni segala dosa-dosanya, diterima semuaamal kebaikannya dan mendapatkan tempat yang layak

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

231

sesuai dengan amal perbuatannya. Akan tetapi sekarang,tradisi ziarah kubur ini hampir musnah; umat Islam yangmelaksanakan megengan sudah mulai jarang berziarah kubur.Dalam pandangan mereka, mendoakan orang tua atau leluhurdalam rangka megengan tidak harus pergi ke makam, akantetapi di rumah atau di masjid/mushalla sama saja, yang pen-ting adalah niat dan tujuannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkanbahwa pertama, tradisi megengan ini merupakan salah satubentuk tradisi dan ritual yang dilaksanakan untuk memohonkepada Allah agar diberi kekuatan lahir dan batin dalam meng-hadapi dan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, sertauntuk mengirim doa atau mendoakan para leluhur yang telahmeninggal dunia. Slametan megengan ini sudah berjalanberpuluh-puluh tahun bahkan bisa jadi ratusan tahun yangkemudian menjadi tradisi, dan umat Islam Jawa merasa tidakmemiliki alasan untuk mengubah atau menghilangkan tradisiini karena tidak ada salahnya. Dalam tradisi masyarakat Islamdi Jawa, slametan megengan dilakukan untuk menyambutdatangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini dilakukan oleh masya-rakat Islam Jawa dengan penuh ketaatan. Tradisi megenganini dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah, yaitu sekitartanggal 20 sampai 29 Sya’ban/Ruwah sebelum bulan Rama-dhan. Dalam pelaksanaannya, tradisi megengan ini pada umum-nya diikuti oleh semua masyarakat daerah setempat. Dalampandangan mereka, tradisi megengan ini merupakan bentukdan wujud ketaatan terhadap agama yang diyakininya.

Kedua, dalam pelaksanaan megengan ini terjadi beber-apa perubahan atau pergeseran, baik dalam waktu, tempat,volume, maupun dalam bentuknya serta tradisi ziarah kubur.

F i q i h T r a d i s i

232

Pertama, pergeseran waktu terjadi dari pelaksanaan megeng-an hanya sehari selama berjam-jam menjadi berhari-hari dalamhitungan menit. Kedua, pergeseran tempat, dari rumah-rumahke mushalla/masjid. Ketiga, pergeseran volume/jumlah orangyang melaksanakan megengan dari semua orang dalam satuwaktu menjadi beberapa orang dalam beberapa hari. Kempat,pergeseran bentuk/jenis berkat dari makanan menjadi finan-sial yang diberikan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.Sedangkan kelima, dalam ziarah kubur terjadi pergeseran darisemangat kolektif (secara berjamaah) menjadi semangat indi-vidual.

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

233

II‘TAMU AGUNG’ YANG KURANG

DI-ANGUNG-KAN

Bulan puasa adalah bulan yang suci dan bulan yang di-muliakan oleh Allah Swt. Bulan yang oleh Pencipta alam semestadan isinya dijustifikasi sebagai bulan yang lebih baik dan lebihutama daripada seribu bulan. Sebagaimana tersurat dalam salahsatu firman-Nya dalam surat al-Qadr:

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”.

Bulan yang misteri, bulan yang tidak akan pernah terkuakmisterinya, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan ber-taqwa serta orang-orang yang melakukan ibadah puasa dengansebenarnya.

Mengapa perintah berpuasa ini hanya ditujukan kepadaorang-orang yang beriman? Jika kita perhatikan ayat al-Qur’anyang menjelaskan perintah Allah Swt. kepada orang yangberiman untuk berpuasa dalam Ramadhan, tujuannya tidak lainadalah membentuk manusia yang bertaqwa (QS. al-Baqarah[2]: 183). Perintah berpuasa ini hanya ditujukan kepada orang

F i q i h T r a d i s i

234

yang beriman, karena beriman adalah tingkatan terendahdalam proses keagamaan, sehingga untuk menuju ke tingkatselanjutnya yang lebih tinggi, manusia diperintahkan untukmelaksanakan ibadah puasa (Salahuddin Wahid, MengetahuiKadar Diri, Jawa Pos, 30 September 2007).

Dalam tradisi masyarakat kita, masyarakat Jawa khu-susnya, berbagai persiapan untuk menyambut kedatangan‘Tamu Agung’ telah dan selalu dilakukan; mulai dari me-gengan, silaturrahim kepada kedua orang tua untuk memintabarokah doa sampai ziarah kubur (makam) keluarga yang telahmeninggal terlebih dahulu. Termasuk dalam hal ini adalahkegiatan-kegiatan bulan Ramadhan, seperti pesantren kilat,tadarrus al-Qur’an, ceramah-ceramah keagamaan, buka ber-sama, dan seabrek kegiatan positif lainnya.

Akan tetapi, di sisi lain dan pada saat yang bersamaan;tidak sedikit dari anggota masyarakat kita yang bersikap acuhtak acuh, tidak mau tahu dengan bulan Ramadhan. Ramadhanatau bukan bagi mereka sama saja. Bulan yang seharusnyadihormati dan diutamakan oleh umat manusia, tetapi merekakurang dan bahkan tidak menghormatinya. Padahal Tuhansendiri, Allah Swt. amat sangat menghormati bulan ini. Peng-hormatan bulan Ramadhan, tidak lain adalah dengan caramelaksanakan ibadah puasa dan melakukan berbagai amalkebaikan serta meninggalkan perbuatan-perbuatan yang jelekyang dilarang oleh agama.

Sikap dan perbuatan negatif yang dilakukan oleh se-bagian anggota masyarakat kita yang notabene adalah orangIslam inilah yang sebenarnya harus menjadi perhatian kita.Memang selama ini mungkin kita sudah memberikan per-hatian kepada mereka dengan berbagai macam cara, akan

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

235

tetapi dalam kenyataannya mereka masih saja melakukan hal-hal yang negatif tersebut; mulai dari tidak mau melaksanakanpuasa, makan di tempat terbuka, warung-warung tidak ditutuppada siang hari, sampai melakukan hal-hal yang dilarang olehagama, termasuk perbuatan mempengaruhi orang lain agartidak berpuasa, dan seterusnya.

Kenyataan seperti inilah yang harus diprihatinkan,mengapa hal-hal seperti itu masih saja terjadi; tahun bergantitahun, mereka tetap saja melakukannya dan bahkan hampirdapat dipastikan bahwa orang yang melakukan adalah orangyang sama. Kalau sudah begini, siapa yang salah, siapa yangharus disalahkan serta siapa yang harus menanggung aki-batnya?, dan seterusnya.

Dalam hal ini, yang penting bukan kita harus mencarisiapa yang salah dan yang harus disalahkan. Akan tetapi bagai-mana kita dapat membentuk masyarakat dan lingkungan yangbersih dari perbuatan-perbuatan negatif tersebut. Denganmemulai dari diri kita sendiri, kemudian anggota keluargakita, lalu tetangga kita, masyarakat sekitar kita dan seterusnyasecara lebih luas, maka insya Allah orang-orang yang berbuatkeburukan itu akan berkurang dan hilang dari masyarakatkita. Bagaimana kita bisa melokalisir ruang gerak mereka, mem-batasi aktivitas mereka. Dalam hal ini tidak ada jalan lainkecuali dengan kebersamaan. Kebersamaan dalam melaku-kan kebaikan adalah merupakan salah satu kunci keber-hasilannya.

Lebih dari itu, kesadaran semua pihak juga merupakanfaktor yang tidak kalah pentingnya. Kesadaran untuk selaluberusaha berbuat kebaikan dan kesadaran untuk selalumengurangi dan meninggalkan keburukan. Kesadaran inilah

F i q i h T r a d i s i

236

sebenarnya yang dibutuhkan pada saat sekarang ini. Menum-buhkan kesadaran pada diri seseorang bukan merupakanperbuatan yang mudah. Bahkan dalam banyak kasus, merekasebenarnya sudah tahu bahwa perbuatan buruk itu dilarang,dan ironisnya, mereka dengan sengaja melakukannya tanpaada rasa takut sedikit pun.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak, agarmereka mau menghormati ‘Tamu Agung’ ini, tetapi tetap merekatidak nggubris. Mulai dari cara-cara yang halus dan sopan sepertinasehat menasehati; sampai pada cara-cara yang berbau kerasdan memaksa, seperti swepping dan penyegelan, dan lain-lain.Upaya-upaya ini tidak lain dilakukan adalah dalam rangkamenghormati kesucian dan keagungan ‘Tamu Agung’, tamuAllah itu sendiri, yaitu bulan Ramadhan. Bulan dimana seluruhumat Islam sedunia diwajibkan untuk melaksanakan ibadahpuasa. Hanya orang-orang yang memiliki keimanan dan ke-taqwaan, akhlak terpuji dan kesadaran yang tinggi inilah, orang-orang yang benar-benar dapat menghormati Tamu Allah yangAgung, bulan suci Ramadhan.

Sebagai sebuah analog, kita bisa melihat bagaimanapenghormatan yang diberikan oleh masyarakat Indonesia se-cara umum, dengan penghormatan yang lebih kepada semuaorang yang berpangkat dan menduduki jabatan, mulai darikepala desa, bupati, gubernur sampai Presiden, termasuk tokohagama. Bahkan penghormatan itu diberikan dalam berbagaimacam dan bentuk, mulai dari penghormatan (baca: sum-bangan) materiil maupun spiritual, penjagaan dan pengaman-an secara ketat, dan seterusnya dalam penghormatan yangsecara berlebihan. Lalu mengapa terhadap bulan Ramadhan

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

237

kita tidak bisa seperti itu? Kita tidak atau kurang memberikanpenghormatan yang lebih?

Marilah kita jaga dan kita hormati bulan Ramadhan inidengan menjalankan puasa secara ikhlas dan memperbanyakamal ibadah, serta tidak melakukan hal-hal yang negatif, ataupaling tidak mari kita mengurangi perilaku-perilaku negatifyang selama ini telah kita lakukan. Mari kita mulai dari diri kitasendiri. Insya Allah kita dapat melakukannya. Amin, selamatmenunaikan ibadah puasa.

F i q i h T r a d i s i

238

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

239

IIIMEMPERINGATI

NUZULUL QUR’AN:Mengurai Pesan Penting Nuzulul Qur’an

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tanggal 17 Ramadhanmerupakan tanggal dimana ayat-ayat al-Qur’an untuk per-tama kali diturunkan Allah Swt. kepada junjungan kita NabiMuhammad Saw., dan ini merupakan pendapat jumhur ulama’.Setiap tahun pula, di bulan Ramadhan, khususnya pada tanggal17 itu, umat Islam selalu memperingatinya dengan berbagaikegiatan, baik kegiatan dalam skala kecil maupun besar. Demi-kian juga dengan tulisan ini, tidak lain adalah dalam rangkamengingat kembali apa sebenarnya pesan esensial (penting)dari ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan padatanggal 17 Ramadhan itu.

Perlu dipahami bahwa salah satu dari sekian banyakrahasia dan hikmah bulan Ramadhan adalah bahwa bulanini merupakan bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’anuntuk pertama kali (syahr nuzul al-Qur’an). Ayat-ayat Allah yangpertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. ada-lah lima ayat yang pertama dari surat al-‘Alaq. Ayat-ayat ini

F i q i h T r a d i s i

240

juga yang menjadi tonggak sejarah perubahan pribadi NabiMuhammad Saw. secara khusus, dan tonggak sejarah umatmanusia secara umum.

Kelima ayat itu berbunyi: Iqra’ bismi rabbika al-ladzi khalaq.Khalaq al-insan min ‘alaq. Iqra’ wa rabbuka al-akram. Al-ladzi ‘allamabi al-qalam. ‘Allama al-insana ma lam ya’lam {Bacalah dengan(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah men-ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) denganperantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidakdiketahuinya}.

Kelima ayat ini (surat al-‘Alaq ayat 1-5) merupakan ayat-ayat yang menegaskan tentang pentingnya ilmu pengetahu-an, dimana hal ini dapat diperoleh dengan membaca dan mem-baca, meneliti, observasi, berpikir dan merenungkan segalasesuatu ciptaan Allah Swt. Ayat-ayat ini juga mengisyaratkantentang pentingnya ‘pembacaan’ atas ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an/hadits) maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta danseluruh isinya), ayat-ayat mikro dalam diri penciptaan manu-sia dan ayat-ayat makro dalam penciptaan alam semesta.

Proses ‘pembacaan’ yang dilakukan —yang terangkumdalam makna iqra’ yang mempunyai arti menyampaikan,menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya— harus berlandaskan pada nilai-nilaiilahiyah (ketuhanan) atau tauhid (iqra’ bi ismi rabbika al-ladzikhalaq). Nilai-nilai ketuhanan ini harus benar-benar tertanampada diri seseorang dalam melakukan ‘pembacaan’ pada ber-bagai aktivitasnya, baik sebelum maupun sesudah proses‘pembacaan’, dan bahkan ketika proses ‘pembacaan’ itu sedangberlangsung.

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

241

Proses ‘pembacaan’ dengan mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai ilahiyah ini tidak lain adalah di-maksudkan agar seseorang dapat terhindar dari proses ‘pem-bacaan’ yang salah, yang dapat menyebabkan seseorang memi-liki akhlak yang tercela, dekadensi moral, dan kebobrokan peri-laku manusia serta perilaku yang semakin jauh dari Tuhan.Nilai-nilai yang akan menjadikan seseorang memiliki budipekerti yang terpuji, insan cendekia yang berakhlak mulia,intelektual atau cendekiawan yang sekaligus seorang ulamadan ulama yang sekaligus seorang cendekiawan/intelektual,serta ilmuwan yang selalu tunduk-patuh pada aturan-aturanTuhan, intelektual-rabbani. Sosok insan/pribadi yang dalam al-Qur’an disebut Ulû al-Albâb.

Ulû al-Albâb adalah intelektual rabbani atau cendekia-wan sekaligus ulama. Mereka adalah orang-orang yang mampumelakukan ‘pembacaan’ dengan berdasarkan pada nilai-nilaiketuhanan (ilahiyah) atas ayat-ayat qauliyah dan kauniyah; orang-orang yang mampu merekayasa kegiatan pikir dan dzikir dalammewujudkan karya-karya nyata, yaitu amal shalih (menyatu-kan dzikir, pikir dan amal shalih).

Secara lebih khusus, Ulû al-Albâb adalah sosok insan yanghanya takut kepada Allah (QS. al-Baqarah [2]: 179 & 197, ath-Thalâq [65]: 10, ar-Ra’d [13]: 21), banyak berpikir dan berdzikir(QS. Ali ‘Imrân [3]: 190), memperoleh hikmah (QS. al-Baqarah[2]: 269), sanggup mengambil pelajaran dari umat terdahulu(QS. Yûsuf [12]: 111, az-Zumar [39]: 18), bersungguh-sungguhmencari/menggali ilmu (QS. Ali ‘Imrân [3]: 7), dengan mere-nungkan ciptaan Allah di langit dan bumi (QS. Ali ‘Imrân [3]:190, az-Zumar [39]: 21), mengambil pelajaran dari kitab yangdiwahyukan Allah (QS. Shâd [38]: 29, al-Mu’min [40]: 54),

F i q i h T r a d i s i

242

sanggup sendirian mempertahankan pendirian/keyakinandan tak terpesona dengan bilangan banyak dalam kejelekan(QS. al-Mâidah [5]: 100), berusaha menyampaikan peringatanAllah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid(QS. Ibrâhîm [14]: 52), memenuhi janji kepada Allah, me-nyambung apa yang diperintahkan Allah, menghubungkan-nya, bersabar, memberi infak dan menolak kejelekan dengankebaikan (QS. ar-Ra’d [13]: 19-20), serta bangun tengah malamyang diisi dengan ruku’ dan sujud di hadapan Allah Swt. (QS.az-Zumar [39]: 9).

Dengan kata lain, ulû al-albâb adalah orang atau golong-an masyarakat yang mempunyai kemampuan lebih dalammeresapi ketaqwaan dan mempunyai penampilan tingkahlaku yang lebih bermoral, beradab dan berakhlak (keshalihanindividual dan sosial). Mereka termasuk golongan intelektualrabbani yaitu intelektual atau orang-orang terpelajar, cerdikcendikia (yang mampu memfungsikan akalnya dalam melaku-kan ‘pembacaan’; memikirkan, menganalisis, merenungkanfenomena alam dan kehidupan, serta dalam mencari peme-cahan atau jalan keluar setiap masalah yang dihadapinya danmasyarakatnya), dan berketuhanan, berlandaskan pada nilai-nilai teologis. Pada akhirnya, merekalah orang-orang yangakan dapat mengenal dan mengetahui Tuhannya, Allah Swt.,dan merekalah (ulû al-albâb) yang dapat melakukannya.

Itulah pesan penting yang terkandung dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai wahyu pertama yang diturunkan AllahSwt. kepada Nabi Muhammad Saw. yang selalu kita peringatisetiap malam tanggal 17 Ramadhan. Oleh karena itu, mum-pung masih di bulan Ramadhan, mari menata hati dan peri-laku kita khususnya dalam melakukan segala aktivitas

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

243

duniawi maupun ukhrawi agar sesuai dan selaras dengannilai-nilai yang terkandung dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 se-cara khusus, dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam(ilahiyah) secara umum.

F i q i h T r a d i s i

244

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

245

IVIDUL FITRI:

Tergusurnya Nilai-nilai Silaturrahim

Ramadhan adalah bulan yang suci dan bulan yangdimuliakan oleh Allah Swt. Bulan yang oleh Pencipta alamsemesta dan isinya dijustifikasi sebagai bulan yang lebih baikdan lebih utama daripada seribu bulan. Sebagaimana tersuratdalam salah satu firman-Nya dalam surat al-Qadr: lailatul qadrikhairun min alfi syahr. Akan tetapi, pada kenyataannya kita patutberduka, karena bulan yang mulai ini akan segera pergi lagi,meninggalkan kita semua dalam waktu satu tahun. Setelahsatu tahun (sebelas bulan) nanti, dia akan datang dan kembalilagi meghampiri kita semua. Dia datang tanpa harus diun-dang, dan pergi tanpa harus disertai.

Kita memang harus berduka, bersedih, karena bulan suciini akan berlalu di saat kita belum bisa memperoleh keutama-an-keutamaannya. Kita mungkin termasuk orang yang belumbisa menguak misteri kemuliaan bulan Ramadhan. Sehinggakita harus merasa rugi dengan kepergiaannya. Walaupun padasaat yang sama, sebagian besar masyarakat kita, termasukkita sendiri, diakui atau tidak, sebenarnya merasa senang dan

F i q i h T r a d i s i

246

bahagia karena sebentar lagi Idul Fitri akan tiba, pesta keme-nangan umat Islam. Bahkan sebagian masyarakat mungkinada yang menganggap bahwa puasa ini merupakan penyiksa-an, sehingga dengan berlalunya bulan ini mereka merasaterbebaskan, bebas bagaikan burung yang terbang.

Ada sebuah fenonema yang perlu dicermati dalam kaitan-nya dengan Idul Fitri ini. Karena pada kenyataannya, daritahun ke tahun, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Islamhampir tidak jauh berbeda. Tradisi yang monoton itu adalahtradisi konsumtif masyarakat kita menjelang Idul Fitri, sebuahtradisi yang mungkin bisa dikatakan kurang baik. Karena setiaptahun menjelang Idul Fitri masyarakat kita asyik berbelanja,baik pakaian maupun makanan-makanan. Memang tradisi initidak ada yang melarang, dan bahkan tidak berhak untuk di-larang, akan tetapi paling tidak dalam pandangan penulis,tradisi ini perlu direnungkan kembali. Sampai dimanakah sisikebaikan (urgensi) tradisi konsumtif ini? Karena pada saatyang bersamaan, tidak sedikit dari saudara-saudara kita yangkekurangan, dan benar-benar membutuhkan bantuan, ulurantangan kita.

Tradisi lain yang juga tidak jauh berbeda adalah tradisisilaturrahim. Tradisi yang sudah bertahun-tahun dipertahan-kan oleh umat Islam sebagai tradisi yang baik. Tradisi yangdapat menjembatani antara seseorang dengan orang lainnyauntuk saling bermaaf-maafan, saling minta maaf dan memberimaaf atas semua kesalahan dan kekhilafan yang telah dilaku-kan. Pada akhirnya, beberapa tahun terakhir ini, tradisi silatur-rahim sudah mulai tergusur oleh kemajuan ilmu pengetahu-an dan teknologi. Bagaimana tidak? Kalau dulu pada saat idulfitri, semua orang saling bertamu dari satu rumah ke rumah lain-

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

247

nya, baik yang dekat maupun yang jauh, untuk silaturrahimmeminta maaf. Tetapi sekarang, dengan adanya handphone(HP) atau internet, tradisi silaturrahim ini sudah mulai hilang.Mereka meminta maaf cukup dengan saling telepon, SMS, ataumelalui email. Lewat sarana teknologi ini, mereka juga salingmengucapkan selamat lebaran, selamat meraih kemenangan.Padahal bila dicermati kemenangan yang mana, dan kemenang-annya siapa?

Itulah beberapa luapan kegembiraan sebagian umatIslam, yang belum tentu mereka mengerti apa hakikat lebaranitu sendiri. Apa makna dan hikmah yang perlu diambil dalamIdul Fitri ini, untuk kemudian dijadikan tuntunan dalam ke-hidupan sekarang dan mendatang. Bukan sekedar gembiradan gembira, tanpa tahu apa arti sebenarnya. Sungguh sangatdisayangkan. Memang tidak ada yang melarang kalau kitabergembira dan bersenang-senang di hari yang fitri ini, karenahal itu memang merupakan salah satu fitrah manusia. Tetapi,perlu dipilah dan dibedakan, bagaimana kegembiraan yangharus dilakukan oleh orang dewasa dengan kegembiraan se-orang anak. Jangan sampai kita bergembira atau bersenang-senang layaknya anak kecil yang bergembira dan bersenang-senang.

Lebih dari itu, dengan kemajuan teknologi, nilai-nilaikebersamaan, persaudaraan, dan bahkan kekeluargaan sudahmulai hilang, terkikis sedikit demi sedikit. Sebuah perubahanyang memberi dampak cukup signifikan terhadap nilai-nilaitersebut. Seseorang tidak lagi bersusah payah untuk bertamudari satu rumah ke rumah yang lain untuk meminta maaf, me-lainkan cukup dengan telepon atau SMS saja untuk memintamaaf. Kita memang tidak bisa menghindar dari kemajuan ilmu

F i q i h T r a d i s i

248

pengetahuan dan teknologi, tetapi hal yang lebih penting adalahbagaimana menggunakan kemajuan teknologi ini sebagaisarana yang positif. HP misalnya, bukan kemudian kita me-minta maaf lewat telepon atau SMS; tetapi yang lebih pentingadalah bagaimana kita dapat menghubungi seseorang agarbisa bertemu di rumahnya untuk bertamu, silaturrahim danmeminta maaf, untuk kemudian saling memaafkan. Sehinggaada semacam jaminan bahwa kita bisa bertemu dengan sese-orang di rumahnya, hari apa dan jam berapa. Inilah sebenar-nya nilai positif yang perlu diambil dari kemajuan teknologi(HP). Pada akhirnya, meminta maaf dan saling memaafkandapat dilakukan secara langsung, tidak melalui telepon atauSMS.

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

249

VPIALA DUNIA = PERJUDIAN DUNIA

Gong atau genderang World Cup 2010 beberapa harilagi akan ditabuh sebagai tanda diresmikan dan dimulainyapesta dunia, sepak bola dunia. Event besar itu memang meru-pakan satu dari sekian event penting yang ditunggu-tungguoleh masyarakat dunia, yang dilaksanakan empat tahun sekali.Sebuah pesta besar yang digemari tidak hanya oleh merekayang dewasa, tetapi semua orang, mulai dari anak-anak, remajasampai dewasa, bahkan mereka yang tua-tua pun juga ikutambil bagian.

Kegemaran mereka terhadap olah raga yang satu ini tidakhanya sebatas ungkapan perasaan semata bahwa mereka itusenang. Akan tetapi mereka membuktikan kegemaran merekaitu dengan membeli sticker-sticker, kostum, sepatu, bola, maskotpiala dunia, mereka tidak pernah melewatkan satu pun daripertandingan-pertandingan tersebut dengan menonton televisi,dan bahkan bisa jadi diantara mereka ada yang pergi menon-ton langsung di Afrika Selatan.

Kegemaran mereka ternyata tidak hanya berhenti di situsaja —pada hal-hal yang positif—, tetapi sampai-sampai mereka

F i q i h T r a d i s i

250

melakukan suatu perbuatan yang negatif. Suatu perbuatanyang bertentangan dengan norma-norma agama dan hukum.Suatu perbuatan yang selama ini ingin dilenyapkan dan di-musnahkan oleh rakyat Indonesia khususnya dan masyarakatdunia umumnya.

Perbuatan negatif tersebut adalah perjudian atau“tomboan/taruhan”. Perjudian tersebut tidak hanya terjadi pada merekayang menonton langsung di Afrika Selatan saja. Akan tetapi,secara umum masyarakat dunia pun terlibat di dalam praktekperjudian tersebut, padahal mereka hanya melihat televisi danberada jauh dari pusat penyelenggaraan pesta tersebut.

“Hebat”, itu mungkin ungkapan yang pantas diucapkanatas “kekompakan” mereka dalam praktek perjudian tersebut.Suatu kata “sepakat” yang sulit dicarikan perbandingannyadalam kehidupan modern nan global ini. Suatu praktek pe-langgaran terhadap hukum yang selama ini ingin dimusnah-kan, tapi dunia malah “kompak” menggelarnya. Seolah-olahmereka telah dikomando oleh satu kekuatan besar yang tidakada satu orang atau negara pun yang bisa menghalanginya.

Jangankan event yang besar seperti itu, event-event yangkecil saja mereka ‘bersemangat’ untuk mengadakan taruhan.Dalam pesta-pesta atau hiburan-hiburan yang lingkupnya kecilmereka seringkali memasang taruhan. Apakah hiburan yangdiadakan di desa-desa atau pun di kota-kota. Dan bahkan tanpaadanya event atau pesta/hiburan pun mereka setiap harinyamengadakan tomboan. Sehingga seolah-olah tiada hari tanpatomboan (perjudian).

Dengan ditabuhnya gong pembukaan Piala Dunia 2010di Afrika Selatan sebagai tanda peresmiannya, seolah-olahmemberikan “lampu hijau” kepada masyarakat dunia untuk

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

251

melakukan praktek perjudian. Memberikan kesempatanseluas-luasnya dan sebesar-besarnya kepada masyarakatdunia untuk melakukan “taruhan” atau tomboan. Memberikankesempatan kepada masyarakat dunia untuk memasangtaruhan yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain, seolah-olahdengan diresmikannnya Piala Dunia 2010 ini diresmikan pulaPerjudian Dunia.

Taruhan yang mereka pasang dalam event besar ini ke-mungkinan cukup besar, karena keuntungan yang menjanji-kan pun juga tidak kalah besarnya. Bahkan bagi mereka yangbenar-benar “gila” terhadap event besar dan perjudian ini,kemungkinan akan memberikan taruhan yang sebesar-besar-nya, dan bila perlu sampai menjual apa yang mereka miliki,sepeda motor, mobil atau bahkan rumahnya.

Secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidaksadar, mereka telah berada dalam arena bahaya yang besar, yangsetiap saat dan sewaktu-waktu bahaya itu siap menenggelam-kannya, siap menghancurkan kehidupan mereka. Bahaya itutidak hanya akan menimpa pada mereka yang kalah saja, akantetapi juga akan menimpa pada mereka yang menang taruh-an. Sebagai imbasnya, tidak hanya menimpa dirinya sendiri yangbertaruhan, akan tetapi juga akan menimpa keluarganya,masyarakat dan bahkan negara.

Bagi mereka yang menang kelihatannya memang merekasenang dan kaya raya, padahal sebenarnya hal itu merupakanawal dari kekalahan dan kehancurannya. Sebaliknya, bagimereka yang kalah tidak menjadikan mereka sadar dan insyafatas kekalahannya itu, akan tetapi menjadikan mereka se-makin sering mamasang taruhan. Karena ingin “balas dendam”atas kekalahan-kekalahan yang dideritanya. Sehingga pada

F i q i h T r a d i s i

252

akhirnya akan menjadikan mereka berada dalam kemiskinan.Bagi dirinya sendiri; bahaya itu bisa berupa penyakit

setres, malas bekerja, menjual apa saja yang dia miliki untukperjudian itu, melakukan berbagai cara untuk mendapatkanuang sebagai modal untuk berjudi, dan bahkan pada titik kli-maksnya akan menjadikan mereka putus asa dan akhirnyabunuh diri.

Bagi keluarganya; bahaya itu bisa berupa kemiskinan,ketidakharmonisan dan ketidaktentraman hidup, rumah tanggamenjadi berantakan (broken home), isteri dan anak-anaknyatidak lagi diperhatikan, pendidikan dan masa depan anak-anaknya tidak dihiraukan, dan pada titik klimaksnya bahayaitu akan berwujud perceraian.

Bagi masyarakat; bahaya itu bisa berupa ketidakstabilankeamanan, masyarakat yang a-moral dan a-susila, masyarakatyang sumber dayanya rendah dan tidak mempunyai kesiapanuntuk memajukan dan membangun desa atau kotanya. Masya-rakat yang menjadi hambatan bagi proses pembangunanbangsanya.

Bagi bangsa/negara; bahaya itu bisa berupa semakinbanyaknya jumlah orang yang kecanduan terhadap perjudi-an, semakin banyak pelanggaran-pelanggaran terhadaphukum, semakin banyak tindakan-tindakan kriminal, yangpada akhirnya stabilitas keamanan menjadi kacau-balau, danmenghambat laju pembangunan di berbagai bidang. Dan padatitik klimaksnya menjadikan bangsa atau negara itu terpurukdan krisis di berbagai bidang.

Sungguh sangat disayangkan, sebuah event yang besarseperti Piala Dunia ini yang seharusnya dijadikan sebagai ajangberkompetisi untuk menunjukkan kemampuan dan keunggul-

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

253

an dari masing-masing negara di dunia, pada akhirnya dijadi-kan sebagai ajang untuk praktek perjudian oleh masyarakatdunia, baik yang ikut sebagai peserta Piala Dunia 2010 mau-pun yang tidak ikut sebagai peserta, yang pada akhirnya secaralangsung atau tidak langsung akan merugikan sebuah bangsayang bersangkutan itu sendiri.

Siapa pun yang ikut dalam praktek perjudian ini, seber-apa pun taruhan yang diberikan untuk perjudian ini, dan negaramana pun yang ikut dalam “pesta” perjudian ini, berarti se-cara langsung atau tidak langsung telah ikut “mengesahkanatau melegalkan” sesuatu hal yang bertentangan denganhukum dan agama (Islam). Pada akhirnya, kalau ini dibiarkansecara terus menerus maka bersiap-siaplah untuk menunggu“tendangan finalti” kehancurannya, sebab cepat atau lambatorang, keluarga, masyarakat, negara/bangsa yang seperti iniakan mengalami kehancuran.

Akhirnya apapun nama dan bentuk judi semuanya ada-lah perbuatan keji dan harus dijauhi. Sebagai bahan renunganmarilah kita pikirkan apa yang telah difirmankan Allah dalamsurat al-Maidah ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orang yangberiman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorbanuntuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalahperbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

F i q i h T r a d i s i

254

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

255

VIHABIS SIDAK, KEMBALI LAGI?

Hiruk pikuk kegembiraan lebaran belum berlalu,masyarakat dalam berbagai stratifikasi sosial kembali men-jalankan rutinitasnya, mulai dari petani/nelayan, pegawainegeri maupun pejabat pemerintah dan wakil rakyat. Merekayang mudik kini telah kembali (balik) ke tempat semula dimana mereka bekerja dan bertempat tinggal. Ada yang daridesa/daerah balik ke kota, dari tanah Jawa ke luar Jawa, danbahkan ada yang balik ke luar negeri.

Dalam tradisi lebaran ini, ada sekian banyak aktivitas yangterkait erat dengan lebaran, mulai dari takbiran, membayar zakatfitrah, shalat ‘Id, silaturrahim ke sanak famili dan tetangga,puasa syawal sampai dengan kupatan. Termasuk dalam rang-kaian ini adalah inspeksi mendadak (sidak) di berbagai lem-baga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang padatahun ini dilakukan mulai hari senin 5 September 2011. Ter-kait dengan sidak, ada sebuah fenomena yang patut dicermatidan dikritisi, karena pada kenyataannya sidak ini sudah ber-jalan bertahun-tahun namun hasilnya hanya begitu-begitu saja,

F i q i h T r a d i s i

256

masih banyak PNS yang bolos, seolah-olah tidak ada rasa jerabagi mereka, padahal sudah ada beberapa oknum PNS yangterkena sanksi.

Sanksi bagi PNSSebagai sebuah contoh, di lingkungan Kementerian

Agama, berdasarkan Surat Edaran Inspektur JenderalKementerian Agama nomor IJ/Kp.08.2/0982/2010 tertanggal3 September 2010 misalnya, ada beberapa macam hukumandisiplin yang dikaitkan dengan penilaian DP3 kepadapegawai yang tidak disiplin dengan kriteria sebagai berikut:pertama, pegawai yang tidak hadir tanpa keterangan yang sah(TK) selama 1 (satu) hari dikenakan sanksi hukuman disiplinberupa “teguran tertulis” berdasarkan Peraturan Pemerintahnomor 53 Tahun 2010 dan penurunan nilai DP3 pada unsurketaatan sebesar 3 poin sesuai Peraturan Pemerintah nomor10 Tahun 1979 jo. KMA nomor 493 Tahun 2003;

Kedua, pegawai yang tidak hadir tanpa keterangan yangsah (TK) selama 2 (dua) hari dikenakan sanksi hukuman di-siplin berupa “pernyataan tidak puas secara tertulis” ber-dasarkan Peraturan Pemerintah nomor 53 Tahun 2010 danpenurunan nilai DP3 pada unsur ketaatan sebesar 6 poinsesuai Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1979 jo. KMAnomor 493 Tahun 2003;

Ketiga, pegawai yang tidak hadir tanpa keterangan (TK)selama 3 (tiga) hari dikenakan sanksi hukuman disiplinberupa “penundaan kenaikan gaji berkala (KGB) selama 1(satu) tahun” berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 53Tahun 2010 dan penurunan nilai DP3 pada unsur ketaatan

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

257

sebesar 9 poin sesuai Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun1979 jo. KMA nomor 493 Tahun 2003;

Keempat, pegawai yang tidak hadir tanpa keterangan(TK) selama 4 (empat) hari dikenakan sanksi hukuman di-siplin berupa “penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu)tahun” berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 53 Tahun2010 dan penurunan nilai DP3 pada unsur ketaatan sebesar12 poin sesuai Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1979jo. KMA nomor 493 Tahun 2003.

Sikap Disiplin Ekuivalen dengan Ajaran AgamaBerbagai macam sanksi sebagaimana tersebut di atas

misalnya, pada kenyataannya tidak atau kurang begitu di-indahkan oleh para abdi negara. Mereka menganggap bahwasanksi-sanksi itu tidak begitu berpengaruh pada mereka,karena toh mereka tetap menjadi PNS, meskipun nilai DP3-nya diturunkan, penundaan gaji berkala atau pun penundaankenaikan pangkat. Mungkin bagi orang-orang yang sepertiini perlu diberlakukan sanksi pemecatan sebagai PNS.

Jika demikian, mungkin ada baiknya sidak ini dilakukantidak hanya pada tiga atau dua hari sebelum dan setelah lebaran,tetapi juga pada saat-saat yang lain di luar hari besar Islamatau hari besar nasional. Karena boleh jadi, mereka yang kurangdisiplin di luar waktu lebaran menjadi disiplin pada saatlebaran karena adanya sidak. Dengan demikian akan benar-benar diketahui, PNS yang benar-benar disiplin dengan PNSyang kurang disiplin. Jangan sampai sesuatu yang negatifterjadi berulang-ulang. Kalau ada sidak mereka sangat di-siplin, kerja dengan semangat; akan tetapi bila sudah tidak

F i q i h T r a d i s i

258

ada sidak mereka masuk dan kerja seenaknya. Habis sidak,kembali lagi ke sikap semula, kembali ke habitatnya.

Selain itu, pemerintah (pusat maupun daerah) atau instansiyang terkait harus benar-benar konsisten dengan sanksi yangdiberlakukan bagi PNS yang bolos tanpa alasan yang dibenar-kan. Lebih dari itu, pemerintah atau instansi terkait melaluiatasannya di masing-masing lembaga/institusi juga harusmemperhatikan PNS yang disiplin dengan berbagai macamperhatian, misalnya dengan menaikkan nilai DP3 di luar yangbiasanya, pemberian penghargaan atau lainnya.

Memang, menumbuhkan sikap disiplin itu cukup sulit,kedisiplinan itu ‘mahal harganya’, dan tidak bisa dinilai denganuang. Sikap disiplin itu bisa muncul dari masing-masing individudengan kesadaran yang mendalam atas tugas dan fungsinyasebagai Abdi Negara. Selain itu, sikap ini juga akan dengan sen-dirinya muncul ketika seorang Abdi Negara itu memiliki ting-kat tanggungjawab yang tinggi dan ketaqwaan kepada TuhanYang Maha Esa, Allah Swt.

Bagi mereka, orang-orang yang sadar dengan tugas dantanggungjawabnya bukan merupakan hal yang sulit untukmelakukan dan meningkatkan kedisiplinan. Bahkan dalamkonsep agama Islam, kedisiplinan itu ekuivalen dengan ke-imanan dan ketaqwaan, sejalan dengan ajaran agama. Di sisilain, bagi orang-orang yang seperti ini, bekerja merupakan ibadahkepada Allah Swt. Oleh karena itu, marilah kita menjadi PNSyang benar-benar disiplin, memahami dan melaksanakantugas serta tanggung jawab kita sebagai Abdi Negara danPelayan Masyarakat dengan dilandasi keikhlasan serta ibadahkepada Allah, tidak sekadar menuntut gaji. Jangan sampai kitamenjadi Abdi Negara layaknya anak muda yang brutal tidak

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

259

tahu rambu-rambu lalu lintas; kalau ada lampu merah me-nyala mereka terjang dan ketika di-semprit Polisi, merekabilang ‘maaf saya tidak tahu kalau ada bapak polisi’. Maksud-nya, sebagai PNS jangan sampai kita bekerja dengan disiplinhanya ketika ada sidak, hanya ketika ada atasan. Jadi karyawan,jadilah karyawan yang takwa; jadi pegawai, jadilah pegawaiyang takwa; jadi pejabat, jadilah pejabat yang takwa, dan se-terusnya jadi apa pun harus dilandasi dengan takwa. Semogaapa yang kita lakukan sebagai abdi negara atau pelayan masya-rakat benar-benar diridhai Allah dan menjadi amal shalih kitasemua, Amin.

F i q i h T r a d i s i

260

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

261

VIIAGENDA MENDESAK

PASCA PILKADES

Pesta pasti berakhir, demikian juga pilkades pasti ber-lalu. Kini semua masyarakat desa di Kabupaten Tulungagungtinggal menunggu bagaimana sepak terjang semua kepaladesa yang terpilih. Visi, misi dan program yang telah disam-paikan pada waktu sebelum pilkades, kini tinggal menungguperwujudannya. Masyarakat sangat berharap atas terciptanyakehidupan bermasyarakat yang harmonis, guyup rukun dandemokratis.

Namun, dalam hal ini ada sebuah kenyataan yang harusdipahami oleh semua anggota masyarakat di masing-masingdesa di Kabupaten Tulungagung ini. Bahwa dalam pemilihankepala desa ini yang pasti ada pihak yang menang, dan banyakpihak yang kalah. Jumlah yang kalah pasti lebih banyak darijumlah yang menang, karena yang dipilih dan menjadi kepaladesa hanya satu orang. Dari jumlah calon kepala desa seba-nyak 443 se-Kabupaten Tulungagung, yang jadi kepala desapasti cuma 189 sesuai dengan desa yang menyelenggarakanpilkades.

Pada kenyataannya, terdapat banyak hal yang tidak bisadipungkiri setelah pesta pemilihan ini. Ada banyak problem

F i q i h T r a d i s i

262

yang dihadapi oleh semua kepala desa yang baru. Selain agenda-agenda program yang telah dicanangkan dalam rangka me-wujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan dan ini meru-pakan agenda-agenda yang penting; terdapat beberapa agendalain yang tidak kalah pentingnya pasca pemilihan kepala desaini. Agenda tersebut adalah mendamaikan, meng-ice breaking­­­-kan atau mencairkan massa dari calon kades yang kalah; karenasudah ‘suratan’, sudah menjadi adat kebiasaan masyarakatkita dimana yang kalah pasti sulit menerima kenyataan, sulitmenerima kekalahan itu. Sehingga mereka tidak akan pernahlegowo, bahkan implikasi yang dimunculkan bisa jadi lebih dariitu. Mereka mungkin saja akan melakukan perbuatan-per-buatan negatif dalam rangka menggagalkan program kadesterpilih. Mereka akan menjadi batu penghalang bagi kades ter-pilih dalam mencapai tujuannya, membuat keonaran, ke-rusakan di sana-sini.

Agenda tersebut tidak boleh dilupakan, dan tidak bisadianggap enteng oleh kades terpilih. Seringkali suasana men-jadi tidak kondusif, karena ulah mereka yang kalah. Merekatidak bisa menerima begitu saja kekalahannya. Kades terpilihkemungkinan besar akan menghadapi berbagai kesulitan. Ke-sulitan menggandeng atau merangkul mereka. Dalam hal inikades pasti akan membutuhkan waktu dan kesabaran dalammengkondusifkan suasana, mengajak mereka yang kalahuntuk bersama-sama membangun dan memajukan desa.

Agar suasana yang tidak kondusif itu tidak berjalan ber-latur-larut, maka kades terpilih harus bisa menyikapi keme-nangannya secara tawadhu’. Kades terpilih dan massanya tidakperlu terlalu gembira dan meluapkan kegembiraan itu denganberbagai hal yang berlebihan, dan tidak mau tahu dengan pihak

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

263

yang kalah. Kades terpilih, kader dan massanya tidak perlubersikap sombong dan angkuh. Karena diakui atau tidak,kemenangan itu juga atas jasa mereka yang kalah.

Kondisi yang tidak harmonis dan tidak kondusif ini ke-mungkinan besar akan terjadi, jika kades-kades terpilih tidakdapat menyikapinya secara lebih dini. Apalagi jika desa-desatersebut termasuk dalam kategori daerah yang rawan konflik.Sebagaimana yang dilansir Ratu (25/1/2007), bahwa terdapat10 desa yang rawan konflik. Luapan emosi kekalahan merekakemungkinan akan dilampiaskan dalam berbagai bentuk dantindakan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sem-bunyi.

Demikian juga dengan pihak yang kalah, semua calon kadesyang kalah dengan kader dan massanya, juga harus bersikaplebih arif. Pihak yang kalah harus berani menyatakan kekalah-annya, bersikap ‘jantan’, gentle. Bersikap berani dan mau me-nerima kekalahannya. Calon kades yang kalah dan tidak siapmenerima kekalahan itu akan berakibat fatal. Akibat intern,bisa jadi mereka yang kalah menjadi stress, karena sudahmengeluarkan uang berpuluh-puluh juta, dan akhirnya kalah.Sebagaimana kita ketahui kasus di Sumenep, gara-gara kalahdalam pilkades, tanah makam yang sudah diwakafkan dansudah puluhan mayat dikubur, ujung-ujungnya tanah itu di-minta lagi dan mayat-mayatnya harus dipindahkan. Sungguhperilaku yang sangat tidak manusiawi. Lebih dari itu, calon kades-kades yang kalah juga harus mampu meredam dan mengen-dalikan massanya agar tidak berlaku brutal. Sikap menerimadengan arif dalam kekalahan inilah sebenarnya yang dapat men-jadikan mereka sebagai pahlawan sejati. Mampukah merekasemua bersikap demikian? Kita tunggu saja.

F i q i h T r a d i s i

264

Beberapa hal yang diuraikan di atas, sebenarnya meru-pakan bagian dari “Ikrar Calon Kades”, yang telah dinyatakanoleh semua calon kades beberapa waktu lalu sebelum pemi-lihan dilaksanakan. Bunyi ikrar tersebut adalah: (1) Ikut pe-milihan dan pemungutan suara, (2) Jaga persatuan dan ke-satuan, (3) Siap sukseskan pilkades yang aman dan tertib, (4)Hormati hasil pemungutan suara, (5) Himbau ke masyarakatagar menerima hasil pemungutan suara, dan (6) Bersama-samamembangun desa (Ratu, 25/1/2007).

Ikrar yang terakhir tersebut merupakan ikrar yang palingpenting dan merupakan tujuan pilkades. Dimana program-program kepala desa bersama dengan rakyatnya harus di-arahkan untuk membangun dan memajukan desa. Akan tetapi,ikrar yang keenam tersebut tidak akan mungkin terwujud jikapoint sebelumnya, sebagai ikrar yang kelima tidak tercapai.Masyarakat harus menerima hasil pemungutan suara, apa ada-nya, kalah atau menang. Oleh karena itu, ikrar yang kelima inimenduduki posisi yang tidak kalah pentingnya dan meru-pakan agenda yang mendesak.

Lebih penting lagi, jika kemudian dalam kenyataannyadidapatkan berbagai problem kekecewaan dari pihak yangkalah. Bahkan bagi banyak pihak yang seringkali mereka meng-adakan taruhan, botoan dalam pilkades ini. Sehingga tidak adaagenda yang mendesak yang harus segera mendapatkan per-hatian dan diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh kadesterpilih, selain mencairkan suasana. Kades yang terpilih dengansemua massanya harus mengajak kepada pihak yang kalah(kades dan kadernya) untuk benar-benar menepati ‘janji’ se-bagaimana yang telah diikrarkan bersama-sama. Semoga kitasemua bisa menerima hasil pilkades ini dengan hati yang

F i q i h T r a d i s i ‘ W o n g n D e s o ’

265

legowo, dapat menjadikan hal itu semua sebagai proses demo-krasi, dan bersama-sama membangun desa. [Selamat bagisemua kades yang terpilih, dan berbesar hatilah calon-calonkades yang tidak terpilih].

F i q i h T r a d i s i

266

S u m b e r B a c a a n

267

SUMBER BACAAN

Kitab/BukuAl-Qur’an dan TerjemahnyaAhkamul Fuqaha. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,

Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NahdlatulUlama (1926-1999 M), penj. M. Djamaluddin Miri.Surabaya: LTN NU Jawa Timur bekerjasama denganDiantama, 2004.

Abou El Fadl, Khaled M. Conference of the Book The Search forBeauty in Islam (2001), Musyawarah Buku: Menyu-suri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (terj.Abdullah Ali). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,2002.

Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqh Kontemporer (edisi Revisi).Yogyakarta: Teras, 2009.

Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa: Suatu PendekatanAntropologi, terj. Achmad Fedyani Saefuddin. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Bisri, KH. A. Mustofa. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya:Khalista, 2005.

F i q i h T r a d i s i

268

Connolly, Peter (ed.) Approaches to the Study of Religion, terj.Imam Khoiri. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogya-karta: LKiS, 2002.

Dawson, Catherine. Practical Research Methods. Oxford UnitedKingdom: How to Books Ltd., 2002.

Fattah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta:Pustaka Pesantren, 2006.

Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar PartisipatorisHingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius,1992.

Geertz, Clifford. Mojokuto. Jakarta: Grafitipress, 1986.Geertz, Clifford. The Religion of Java. Toronto Ontario: The Free

Press, Paper Black, The Macmillan Company, 1960.Gunawan, FX. Rudi. Filsafat Sex. Yogyakarta: Bentang, 1993.Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga

Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.Koentjoroningrat. Ilmu Antropologi. Jakarta: Bharata, 1988.Koentjoroningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: P.N. Balai Pustaka,

1984.Mahfudh, MA. Sahal. Nuasa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS,

2004.Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam

Islam. Jakarta: P3M, 1991.Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1998.Mughniyah, M. Jawad. Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki,

Syafi’i, Hambali, terj. Masykur A.B., dkk. Jakarta:Lentera, 2008.

S u m b e r B a c a a n

269

Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon.Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.

Nata, Abuddin (ed.). Masail al-Fiqhiyah. Bogor: Kencana, 2003.Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan

Muzir, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama.Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.

Qadhi, A. Ahmad. Nur Muhammad, Menyingkap Asal-usulKejadian Makhluk. Bandung: Al-Husaini, 1992.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo,2006.

Rippin, A. Muslims: Their Religious Beliefs and Practices, vol. 1.London: Routledge, 1990.

Sholikhin, Muhammad. Ritual dan Tradisi Islam Jawa.Yogyakarta: Narasi, 2010.

Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: SinarHarapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981.

Suparlan, Parsudi. “Penelitian Agama Islam: TinjauanDisiplin Antropologi”, dalam Mastuhu dan M.Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:Tinjauan Antar-Disiplin Ilmu. Bandung: PenerbitNuansa bekerjasama dengan Pusjarlit, 1998.

Woodward, Mark R., “The Slametan: Textual Knowledge andRitual Performance in Central Javanese Islam”,dalam History of Religions, 1988.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Kompilasi Hukum Islam.

Artikel Koran/JurnalJurnal Perspektif Progresif edisi perdana Juli-Agustus 2005.Radar Tulungagung (Jawa Pos Group), Tanggal 25 Januari 2007.

F i q i h T r a d i s i

270

Huda, Miftahul. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yangLahir dari Perkawinan Sirri”, dalam Jurnal JabalHikmah, vol. 2 No. 4 Juli 2009.

Aibak, Kutbuddin. “Fenomena Tradisi Megengan diTulungagung”, Jurnal Millah Agustus 2010, UIIYogyakarta (terakreditasi).

________. “Akibat Dosa-dosa Sosial Kita”, Duta Masyarakat,Tanggal 6 Januari 2007.

________. “Teologi Lingkungan dan Upaya MeminimalisasiBencana”, Duta Masyarakat, Tanggal 11 Januari 2007.

________. “Bukan Musibah, Tapi Kecerobohan”, Jawa PosRadar Tulungagung, Tanggal 26 Januari 2007.

________. “Agenda Pasca Pilkades”, Jawa Pos Radar Tulung-agung, Tanggal 31 Januari 2007.

________. “Nilai Sosio-Teologis Terabaikan”, Jawa Pos RadarTulungagung, Tanggal 21 Pebruari 2007.

________. “Solidaritas Semu”, Jawa Pos Radar Tulungagung,Oktober 2007.

________. “Pesan Sosial-Religius”, Jawa Pos Radar Tulung-agung, Tanggal 13 Pebruari 2009.

________. “Lembaga Pemasyarakatan”, Jawa Pos Radar Tulung-agung, Tanggal 20 Maret 2009.

________. “Pesan Religius dan Pengantar Tidur”, Jawa PosRadar Tulungagung, Tanggal 14 Agustus 2009.

________. “Keimanan dan Ketakwaan sebagai Garansi Puasa”,Jawa Pos Radar Blitar, Tanggal 31 Agustus 2009.

________. “Alam Juga ‘Manusia’”, Jawa Pos Radar Tulungagung,Tanggal 16 Oktober 2009.

________. “Kesatuan Manusia dan Alam”, Jawa Pos RadarTulungagung, Tanggal 4 Desember 2009.

S u m b e r B a c a a n

271

________. “Piala Dunia = Perjudian Dunia”, Jawa Pos RadarBlitar, Tanggal 9 Juni 2010.

________. “Ramadan: Tamu Agung?”, Jawa Pos Radar Tulung-agung, Tanggal 16 Agustus 2010.

________. “Puasa: Diantara Orang Sakit dan Pekerja”, JawaPos Radar Tulungagung, Tanggal 24 Agustus 2010.

________. “Memperingati Nuzulul Quran: Mengurai PesanPenting Nuzulul Qur’an”, Jawa Pos Radar Tulung-agung, Tanggal 2 September 2010.

________. “Zakat: Antara Ibadah Sosial dan Religius”, JawaPos Radar Tulungagung, Tanggal 8 September 2010.

________. “Alam, Interaksi yang Sering Terlupakan”, Jawa PosRadar Tulungagung, Tanggal 15 September 2010.

________. “Moral Hukum: Aspek yang Terlupakan”, Jawa PosRadar Tulungagung, Tanggal 3 Juni 2011.

________. “Pornografi dan Pornoaksi Sebagai Virus Per-adaban”, Jawa Pos Radar Tulungagung, Tanggal 15Juni 2011.

________. “Puasa: antara Niat dan Manifestasinya”, Jawa PosRadar Tulungagung, Tanggal 3 Agustus 2011.

________. “Sadar Bayar Zakat dan Pajak”, Jawa Pos Radar Blitar,Tanggal 6 Agustus 2011.

________. “Puasa Ibadah Terberat”, Jawa Pos Radar Blitar,Tanggal 9 Agustus 2011.

________. “Ramadan: Bulan Kesemuan”, Jawa Pos Radar Blitar,Tanggal 16 Agustus 2011.

________. “Antara Puasa dan Lebaran”, Jawa Pos Radar Blitar,Tanggal 1 September 2011.

________. “Habis Sidak, Kembali Lagi?”, Jawa Pos Radar Blitar,Tanggal 15 September 2011.

F i q i h T r a d i s i

272

________. “Haji: Antara Ibadah Personal dan Sosial”, Jawa PosRadar Blitar, Tanggal 16 Oktober 2011.

________. “Kurban: Puncak Pengabdian”, Jawa Pos RadarBlitar, Tanggal 1 Nopember 2011.

________. “Penyakit Akut Masyarakat”, Jawa Pos Radar Blitar,Tanggal 22 Januari 2012.

________. “Membangun Moralitas Masyarakat”, Jawa PosRadar Blitar, Tanggal 3 Pebruari 2012.

________. “Teroris Intelektual”, Jawa Pos Radar Blitar, Tanggal1 Maret 2012.

B i o g r a f i P e n u l i s

273

BIOGRAFI PENULIS

Kutbuddin Aibak, lahir di Nganjuk, Jawa Timur, pada24 Juli 1977. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) lulus tahun1990, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) lulus tahun 1993dan Madrasah Aliyah Al-Hidayah (MA) lulus tahun 1996, ditempuh di kota kelahirannya, Baron Nganjuk. Setelah itu, diamenempuh program program Strata satu (S-1) di SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung padajurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam,lulus tahun 2000. Kemudian pada tahun 2001 dia melanjutkanstudinya pada Program Pascasarjana (S-2) Universitas IslamMalang (UNISMA) Program Studi Islam, lulus Maret 2003;dan mulai tahun 2007 dia melanjutkan studinya di ProgramPascasarjana (S-3) Universitas Islam Negeri (UIN) SunanKalijaga Yogyakarta.

Dia adalah staf pengajar atau dosen luar biasa SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung mulai tahun2001-2003, dan pada akhir tahun 2003 ia diangkat menjadipegawai negeri (dosen tetap) di perguruan tinggi yang sama.Selain sebagai dosen, pada tahun 2006-2010 dia dipercaya

F i q i h T r a d i s i

274

untuk menjadi Ketua Unit Penerbitan STAIN Tulungagung.Mulai pertengahan tahun 2010-2014 dia dipercaya menjadiKetua Program Studi Muamalah Jurusan Syariah STAINTulungagung

Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain KajianFiqh Kontemporer (Surabaya: eLKAF bekerjasama dengan P3MSTAIN Tulungagung, 2006); Metodologi Pembaharuan HukumIslam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008); Teologi Pembacaan:dari Tradisi Pembacaan Paganis Menuju Rabbani (Yogyakarta: Teras,2009); dan Kajian Fiqh Kontemporer (edisi revisi) (Yogyakarta:Teras, 2009). Selain itu, dia juga sebagai penyunting pelaksanadalam beberapa jurnal kampus dan banyak menulis artikeldalam jurnal-jurnal tersebut, baik Jurnal TA’ALLUM (JurnalPendidikan Islam), Jurnal AHKAM (Jurnal Hukum Islam),Jurnal KONTEMPLASI (Jurnal Keushuluddinan), JurnalDINAMIKA PENELITIAN maupun jurnal EPISTEMÉ (JurnalPengembangan Ilmu Keislaman); dan juga beberapa jurnaldi luar STAIN seperti Sosio-Religia LinkSAS-Yogyakarta, danjurnal Millah UII Yogyakarta; termasuk beberapa artikel yangdimuat di media cetak (koran). Selain itu, penulis juga aktifdalam berbagai kegiatan ilmiah, seperti diskusi, bedah buku,seminar internasional/regional/nasional, penelitian, danpelatihan/workshop. Penulis dapat dihubungi melalui085736431546 atau email: [email protected]