FIQIH MAWARIS

35
ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB.

Transcript of FIQIH MAWARIS

ASSALAMU’ALAIKUMWR. WB.

FIQIH MAWARISPENDIDIKAN AGAMA ISLAM

XII IPA – XII IPSSMA MUHAMMADIYAH 4

2014 - 2015

KELOMPOK 5

Siti Alatimah

Siti Santi

RANI

Gilang

Dian

MAWARIS

DEFINISI ASAS – ASAS HUKUM

KEWARISAN

HUBUNGAN DENGAN HUKUM

WARIS NASIONAL

SEBAB DAN PENGHALANG WARISAN

SUMBER HUKUM

Definisi Fiqih Mawaris Mawaris secara bahasa merupakan bentuk plural yang artinya "harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia". Fiqih mawaris seringkali disebut ilmu faraidl, juga bentuk plural yang secara bahasa artinya"bagian tertentu", atau "ketentuan".

Adapun definisi Fiqih mawaris secara istilah, sebagaimana disebutkan oleh Hashbi al-Siddiqy ialah "Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima warisan, orang-orang yang tidak berhak menerimanya. Bagian masing-masing ahli waris dan cara pembagiannya.

Para ulama memberikan nama lain dari Ilmu Mawaris dengan nama Ilmu Faraidh ( ض� رائ�� ال�ف����� (ع�لمdan mereka memberikan definisi dengan pengertian berikut:

        ل ك� ض خ� ا ي�� م� ة� معرف� ل ل� موص� ال� ساب# ال�ح لم ع� و ي,�ث* ال�موار ة ق� ف�� و ه�   ة� رك� الت� م�ن6 ق� ح� ى ذ�

“Ilmu Mawarsi adalah ilmu pengetahuan tentang pewarisan dan ilmu hitung yang dapat menyampaikan untuk mengetahui apa-apa yang khusus bagi setiap orang yang memiliki hak dalam pewarisan”

Ilmu Mawaris itu merupakan pemahaman atau pengetahuan

tentang harta pusaka (warisan). Sebagian ulama

memberikan definisi yang tidak jauh beda, namun lebih

sempurna daripada definisi di atas dengan ungkapan:

  در  ق�� ة� عرف� وم� Bك ل� ذ� ة� عر�ف� م� لى Gا ل حساب# ال�موص� ال� ة� عرف� م� و رب* Gالإ ب�# ق� عل مت� ال� ة ق� ال�ف�   ق�� ح� ى� ذ� ل ك ل� ة� رك� الت� ن6 م� ب# ال�واج�#

“Ilmu Fiqh yang berhubungan dengan pembagian pusaka,

pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat

menyampaikan kepada pembagian harta pusaka itu, dan

pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari

harta peninggalan untuk masing-masing pemilik harta

pusaka”Home

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN   Asas

Individual

  Asas Keadilan Berimbang

  Asas Kewarisan Semata Akibat

Kematian

Asas Bilatera

l

Home

Asas Ijbari

Asas IjbariKata Ijabari secara bahasa dapat diartikan “paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal ini hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendiri. Artinya pemberi waris tidak memiliki perbuatan hukum baik untuk menolak atau menghalanginya terjadinya peralihan harta tersebut.

Dengan kata lain, bahwa dengan meninggalnya pemberi waris maka hartanya langsung dapat berpindah tangan kepada penerima warisan, apakah ia suka menerima atau tidak dengan tanpa pengecualian. Ijbar ini dapat dilihat pada tiga sisi: 1). Segi peralihan harta. 2). Segi jumlah harta yang beralih. 3). Segi penerima warisan.

Ketentuan asas ini bersumber pada firman Allah an-Nisa’ (4) ayat 7: dimana kata  “Nashib" pada ayat yang dimaksud  dapat berarti saham, jatah, bagian dari harta peninggalan si pewaris sebagaimana yang dimaksud ayat tersebut. Ayat 7 (tujuh) yang dimaksud adalah:

         و   ون6 ب,# �ر ق� الإ� و دان6 وال� ال� Bت��رك� ما ب# م� ي� ص ئ�� ال ج�# ل�لر ا� ب# jي ص ئ�� ت*ر ك� و ا� ل ق�� ما م� ون6 ب,# �ر ق� الإ� و دان6 وال� ال� Bت��رك� ا م م� ب# ي� ص ئ�� ساء لن� ال� ف�روص�� م�Artinya:“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan.

home

Asas Bilateral

yaitu seorang dapat menerima hak warisan dari dua jalur; ibu dan ayah. Asas ini secara tegas ditemui dalam ketentuan al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7 di atas dan berikut  11 –surat al-Nisa'-

Home

Asas Individualhome

yaitu bahwa setiap orang berhak atas bagian

yang didapatinya tampa terkait dengan ada

atau tidak adanya pada ahli waris lainnya.

Dengan demikian bagian yang diperoleh seorang

dari harta warisan adalah dapat dimiliki

secara perorangan dan tidak ada sangkut

pautnya ahli waris lain terhadap harta yang

diterimanya, sehingga ia memiliki kebebasan

penuh terhadap harta yang diterimanya.

Dasar hukum asas individual Ketentuan atas asas ini adalah berdasarkan ayat 7 surat al-Nisa’, di sana dijelaskan bagian untuk anak laki-laki dan anak perempuan dari harta peninggalan kedua orang tua.

Asas Keadilan BerimbangYaitu asas yang mengarahkan kepada

perimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan, sehingga faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.

Hal ini berbeda dengan yang diberlakukan pada adat yang dikenal dengan garis keturunan patrinial, yaitu garis keturunan yang ditarik dari keturunan bapak.

DASAR HUKUM

Dasar hukum asas peimbangan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176.

Home

Asas Kewarisan Semata Akibat KematianYaitu bahwa hukum waris Islam memandang terjadinya pewarisan semata-semata disebabkan adanya kematian pemberi warisan. Sementara harta yang diberikan pada saat pemberi warisan masih hidup bukanlah dinamakan harta warisan, melainkan hibah atau wasiat.

Home

SUMBER HUKUM WARISIlmu Waris bersumber dari sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. yang diperkuat oleh Ijma ulama. Al-Qur’an sebagai sumber pertama menjelaskan secara jelas hak-hak penerimaan warisan dari harta warisan yang ditinggalkan, seperti yang dijelaskan dalam berbagai ayat, seperti ayat 7, 11, 12 dan 176 dari surat al-Nisa’, dan surat lainnya.

 Disamping itu ilmu Mawaris Islam

bersumber dari al-Hadist, seperti

hadist yang diriwayatkan al-Dairamiy:

  " :       وا ف� ح ال� م ل س� و ة لي� ع� ال�لة ى ل ص� ى� ب# ال�ي� ال ق��"     ر  ك� ذ� ل رج�# ولى هو لإ� ف�� ى� ق� ب�{ ما ف�� لها، ه� ا� ب�# ض� ال�ف�رائ��

“Nabi bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada

orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya

untuk orang laki-laki yang lebih utama”.

Selain hadist di atas itu, Ijma’ juga merupakan salah satu sumber dari ilmu Mawaris, karena banyak hal yang menjadi kesepakatan ulama yang diterapkan dalam pembagian harta warisan, seperti : Next

a.  Status pembagian warisan antara kakek dan saudara-saudara.

Dalam al-Qur'an hal ini tidak dijelaskan, akan tetapi menurut kebanyakan ulama dengan cara mengikuti pandangan Zaid bin Sabit, bahwa bagian kakek harus mendapat bagian yang paling menguntungkan, dari beberapa  cara: Muqasamah

(bagi rata), 1/6 seluruh harta peninggalan, 1/3 sisa, jika mereka bersama zawil furudh lainnya dan jika mereka tidak bersama zawil furudh mereka menerima muqasamah dan  1/3 seluruh harta.

b.  Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal menerima warisan bersama saudara-saudara ayah cucu yang meninggal tadi.

Menurut undang-undang Hukum Waris Mesir setelah mengadopsi pandangan ulama Salafi dan Khalafi, bahwa cucu tadi mendapat warisan dengan jalan wasiat wajibah.

Misalnya ada seorang meninggal dunia (A), dia mempunyai dua orang anak (B) dan (C) dimana  (C) ini telah meninggal lebih

dahulu sebelum (A) meninggal dan memiliki anak (D). Maka harta peninggalan si (A)

diambil seluruhnya (B) sebab ia menghijab cucu (D). Tetapi, susugguhnya ia akan

mendapatkan bagian ayahnya bila ayahnya masih hidup, oleh karena itu ia diberikan

dengan jalan wasiat wajibah

Home

HUBUNGAN DENGAN HUKUM WARIS NASIONALHukum waris Islam merupakan bagian hukum yang diberlakukan

bagi orang-orang yang memeluk agama Islam, sebab di

Indonesia diberlakukan pada umumnya beberapa hukum waris,

diataranya:

1. Untuk warga negara golongan Indonesia asli, pada

perinsipnya berlaku hukum adat sesuai dengan daerah

masing-masing.

2. Untuk warga negara golongan Indonesia asli yang beragama

Islam di berbagai daerah diberlakukan hukum Islam yang

sangat berpengaruh.

3.  Bagi orang Arab pada umumnya berlaku hukum Islam secara

keseluruhan.

4. Bagi orang-orang Tionghoa dan Erofa berlaku hukum

warisan dari Gugerlijik Wetboeh.

Home

SEBAB DAN PENGHALANG WARISANA.   SEBAB-SEBAB KEWARISAN

Nasab ( سب# Perkawinan (ال�ن���( واج6 (ال�ر�

Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada 2 :

Nasab ( سب# atau hubungan (ال�ن���kekerabatanNasab ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya :

slide

“Dan orang-orang yang beriman sesudahmu,

kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu

maka orang-orang itu termasuk golonganmu

(juga). Orang-orang yang mempunyai

hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak

terhadap sesamanya (daripada yang bukan

kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”Home

Seorang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya.

.  Perkawinan ( واج6 .(ال�ر�

Hal ini berdasarkan firman

Allah :

      Bت��رك� ا م� ف� ص ئ�� م ك ل� وة�... ي�� الإ� م ك واج�# ر� ا�

“Dan bagi kamu seperdua dari harta

yang ditinggalkan oleh istri-istri

kamu”

Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut :

1. Perkawinan Yang dimaksud dengan perkawinan di sini

adalah perkawinan yang sah menurut agama,

yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat

dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran

Islam, baik sudah dipergauli atau belum

pernah dipergauli. Disamping itu, perkawinan

itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh

Pengadilan Agama, karena perkawinan yang

fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang

tidak sah.

Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi.

Tidak termasuk dalam hal ini hubungan

yang disebabkan perzinahan, walaupun

adanya hubungan badan antara pezina,

mereka tidak dapat saling mewarisi, dan

anak yang dilahirkan akibat perzinahan

tidak mendapatkan warisan dari bapaknya,

tapi akan mendapatkan dari ibunya.

2.  Perkawinan itu dalam posisi: Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh/tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya perkawinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.