Post on 07-Jan-2023
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Filologi
Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan
kata dari philos yang berarti “teman” dan logos yang berarti “pembicaraan” atau
“ilmu”. Dalam bahasa Yunani philologia berarti “senang berbicara” yang
kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu”, “senang
kepada tulisan-tulisan” dan kemudian “senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai
tinggi” seperti karya-karya sastra (Siti Baroroh Baried, dkk, 1994:2). Edwar
Djamaris (2006:3), menjelaskan bahwa filologi adalah suatu ilmu yang objek
penelitiannya naskah-naskah lama. Naskah di sini adalah semua bahan tulisan
tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan.
Menurut Achadiati Ikram (1992) dalam kumpulan makalah filologi,
menyebutkan bahwa filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala
segi kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan yang mencakup
bahasa, sastra, adat-istiadat, hukum, dan lain sebagainya. Sementara itu, filologi
secara khusus ialah studi tentang naskah untuk menelusur kembali suatu teks
dalam bentuknya yang seasli mungkin.
B. Objek Penelitian Filologi
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Dalam filologi, istilah
teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah
merupakan sesuatu yang konkret (Baried, dkk, 1994:6). Jadi, naskah dapat dilihat
atau dipegang (1994:55), sedangkan teks artinya muatan naskah, sesuatu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
hanya dapat dibayangkan saja (1994:57). Baried, dkk (1994:55) juga
menyebutkan bahwa objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang
menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa
masa lampau. Naskah menurut Edwar Djamaris (2006:3) adalah semua bahan
tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan
rotan. Naskah tersebut sering disebut dengan manuscript atau handscrifth.
C. Langkah Kerja Penelitian Filologi
Langkah kerja penelitian filologi adalah langkah-langkah dan cara yang
harus dilakukan oleh para filolog dalam penelitian filologi. Ada beberapa hal yang
perlu dilakukan dalam penelitian filologi, yaitu pengumpulan data (inventarisasi
naskah), deskripsi naskah, pertimbangan dan pengguguran naskah, penentuan
naskah yang asli atau yang berwibawa, ringkasan isi cerita transliterasi, suntingan
teks, glosari dan komentar teks (Djamaris, 2006:9-10).
Menurut Edi S. Ekadjati dalam kumpulan makalah filologi, langkah kerja
penelitian filologi adalah inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan
naskah, pemilihan teks yang akan diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara
dan penyajian teks (1992:1-8). Kemudian, langkah kerja menurut Masyarakat
Pernaskahan Nusantara (Manassa), terdiri atas penentuan sasaran penelitian,
inventarisasi naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi
naskah, dan penerjemahan teks. Teori tersebut tidak selamanya dapat diterapkan
dalam semua penanganan naskah karena setiap naskah memiliki kondisi yang
berbeda-beda sehingga penanganannya pun juga disesuaikan.
Penanganan KDBK II menggunakan langkah kerja penelitian filologi
menurut Edwar Djamaris yang dimodifikasikan dengan langkah kerja penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
filologi menurut Manassa. KDBK II adalah naskah tunggal sehingga tidak
memerlukan adanya penentuan naskah dasar maupun perbandingan naskah.
Secara terperinci, langkah kerja penanganan naskah KDBK II adalah
sebagai berikut.
1. Penentuan Sasaran Penelitian
Langkah pertama adalah menentukan sasaran penelitian, karena banyak
ragam naskah yang perlu dipilih, baik tulisan, bahan, bentuk maupun isinya.
Berdasarkan hal tersebut, ditentukan sasaran penelitian bahwa naskah yang diteliti
adalah Jawa carik, ditulis pada kertas, berbentuk prosa dan berisi tentang adat-
istiadat, yaitu permainan tradisional anak. Semua itu terangkum dalam KDBK II.
2. Inventarisasi Naskah
Apabila penentuan penelitian suatu naskah telah ditetapkan, maka langkah
selanjutnya ialah mencatat naskah dan teks cetakan yang berjudul sama atau berisi
cerita yang sama, yang termuat dalam katalogus di berbagai perpustakaan,
terutama di pusat-pusat studi Indonesia di seluruh dunia. Di samping itu, perlu
dicari naskah-naskah yang mungkin masih tersimpan dalam koleksi perseorangan
(Baried, dkk, 1994:65). Edwar Djamaris (2006:11) juga mengemukakan bahwa
pengumpulan data dilakukan dengan mendaftar naskah dari berbagai katalogus
naskah di berbagai perpustakaan universitas dan museum. Di samping katalogus,
sumber lainnya adalah buku atau daftar naskah yang terdapat di perpustakaan,
museum dan instansi lain yang menaruh perhatian pada naskah.
3. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah
Observasi pendahuluan dilakukan dengan cara mengecek data secara
langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang diungkapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
oleh katalog. Setelah mendapatkan data yang dimaksud yakni KDBK II, maka
selanjutnya dibuat deskripsi naskah.
Deskripsi naskah ialah uraian ringkasan naskah secara terperinci.
Deskripsi naskah penting untuk mengetahui kondisi naskah dan sejauh mana isi
mengenai naskah yang diteliti. Emuch Hermansoemantri menguraikan bahwa
deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan informasi atau data
mengenai: judul naskah; nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah;
keadaan naskah; ukuran naskah; tebal naskah; jumlah baris setiap halaman; huruf,
aksara, tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur
naskah; pengarang atau penyalin, asal-usul naskah yang tersimpan di masyarakat;
fungsi sosial naskah; serta ikhtisar teks atau cerita (1986: 2).
4. Transliterasi
Transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari
abjad satu ke abjad yang lain (Edwar Djamaris, 2006:19). Siti Baroroh Baried,
dkk (1994:64) mengungkapkan bahwa transliterasi sangat penting untuk
memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan huruf daerah. Dalam
melakukan transliterasi, perlu diikuti pedoman penulisan yang sesuai dengan
ejaan yang sudah dibakukan. Berdasarkan pedoman, transliterasi harus
memperhatikan ciri-ciri teks asli sepanjang hal itu dapat dilaksanakan karena
penafsiran teks yang bertanggungjawab sangat membantu pembaca dalam
memahami isi teks.
5. Kritik Teks
Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya „seorang hakim‟,
krinein berarti „menghakimi‟, kriterion yang berarti „dasar penghakiman‟. Kritik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada
tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks
yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya (constitutio textus) (Baried, dkk,
1994:61).
Kritik teks menurut Edwar Djamaris (2006:42) adalah pengkajian,
pertimbangan, perbandingan, dan penentuan teks yang asli atau teks yang
autoritatif, serta pembersihan teks dari segala macam kesalahan. Sebagai
pertanggunjawaban perbaikan bacaan, semua perbedaan bacaan dicatat dalam
sebuah catatan yang disebut aparat kritik (apparatus criticus).
6. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya, yang bersih
dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.
Penyuntingan teks dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan
pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca,
penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita (Djamaris, 2006:9).
Aparat kritik (apparatus criticus) merupakan suatu pertanggungjawaban
perbaikan bacaan dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan
merupakan kelengkapan kritik teks (Djamaris, 2006:8). Dalam aparat kritik juga
ditampilkan kelainan bacaan yang merupakan kata-kata atau bacaan salah di
dalam naskah.
Penyuntingan teks dengan edisi standar, yaitu suntingan teks berdasarkan
satu naskah saja. Suntingan dilakukan dengan penyesuaian ejaan, tanda baca,
susunan kalimat, alinea, dan bagian-bagian cerita. Penyuntingan diperbolehkan
dengan memberi anak judul pada bagian-bagian cerita, sehingga memudahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
pembacaan dan pemahaman tanpa menghilangkan ciri-ciri bahasa lama (Djamaris,
2006:41).
Edisi kritis pada suatu naskah dinilai lebih banyak membantu pembaca.
Pembaca dibantu mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual atau yang
berkenaan dengan interpretasi, sehingga pembaca dapat terbebas dari kesulitan
mengerti isinya. Kritis berarti bahwa penyunting mengidentifikasi sendiri bagian
dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar.
7. Sinopsis
Sinopsis adalah ringkasan cerita secara garis besarnya saja yang
merupakan gambaran singkat isi teks, sehingga mencakup semua isi dari cerita.
Hal itu bertujuan agar memudahkan pembaca dalam memahami isi teks yang
terdapat dalam naskah. Pola-pola penyajian sinopsis dalam permainan tradisional
menurut Sukirman Dharmamulya (1981) meliputi nama permainan, hubungan
permainan dengan peristiwa lain, latar belakang sejarah perkembangan, latar
belakang sosial budaya, peserta permainan, peralatan, iringan, jalannya
permainan, peranannya masa kini, dan tanggapan masyarakat.
D. Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris, folklore. Folklore terdiri
dari dua kata, yaitu folk dan lore. Folk sama artinya dengan kata kolektif. Menurut
Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
lainnya. Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan
secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Definisi folklor secara keseluruhan ialah sebagian kebudayaan suatu
kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam
apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat
(mnemonic device) (James Danandjaja,1997:1-2).
Menurut Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, folklor dapat
digolongkan menjadi 3 golongan besar yaitu:
1. Folklor lisan (verbal folklore), yaitu folklor yang bentuknya murni lisan.
Contohnya antara lain (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan,
pangkat tradisional dan title kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional, seperti
peribahasa, pepatah dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional seperti teka-teki;
(4) puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair; (5) cerita prosa rakyat
seperti mite, legenda dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat.
2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) yaitu folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Contohnya antara lain
adalah kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-
istiadat, upacara, pesta rakyat dan sebagainya.
3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore) yaitu folklor yang bentuknya bukan
lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Golongan ini
dibagi menjadi dua, yaitu material (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat,
pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-
obatan tradisional) dan non material (gerak isyarat rakyat/gesture, bunyi
isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Berdasarkan pembagian di atas, maka dapat diketahui bahwa permainan
anak-anak termasuk dalam permainan rakyat yang merupakan folklor sebagian
lisan.
E. Permainan Tradisional
Menurut Redfield dalam Widodo (2012), permainan tradisional adalah
bagian dari “tradisi kecil”. Ia tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari
kebudayaan masyarakat tradisional di suatu wilayah.
Umar Kayam (1981) mengungkapkan bahwa permainan tradisional adalah
satu dari sekian banyak kesenian tradisional yang memilki sifat-sifat sebagai
berikut.
1. Memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang
mendukungnya.
2. Merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan
dan didukung oleh masyarakat penunjangnya.
3. Merupakan bagian dari “kosmos” kehidupan yang bulat integral dan tidak
terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi.
4. Bukan merupakan kreativitas individu-individu, melainkan tercipta secara
anonim di tengah kolektif yang menunjangnya.
James Danandjaja (1997) mengungkapkan bahwa berdasarkan perbedaan
sifat permainan, maka permainan rakyat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
(1) permainan untuk bermain (play) dan (2) permainan untuk bertanding (game).
Permainan untuk bermain lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang,
sedangkan permainan untuk bertanding kurang mempunyai sifat itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Permainan untuk bertanding mempunyai lima sifat khusus, seperti (1)
terorganisasi, (2) perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit
dua orang peserta, (4) mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang
dan siapa yang kalah, dan (5) mempunyai peraturan permainan yang telah
diterima bersama oleh para pesertanya (Roberts, Arth, dan Bush dalam James
Danandjaja, 1997:171).
Roberts dan Sutton Smith dalam Danandjaja (1997) juga mengungkapkan
bahwa permainan bertanding dapat dibagi lagi ke dalam: (1) permainan
bertanding yang bersifat keterampilan fisik (game of physical skill), (2) permainan
bertanding yang bersifat siasat (game of strategy), dan (3) permainan yang bersifat
untung-untungan (game of change).
Selain pengelompokan di atas, permainan tradisional dapat dibagi lagi ke
dalam tiga bagian, yaitu (1) permainan tanpa iringan lagu (permainan fisik/gerak),
(2) permainan lagu (hanya menyanyikan lagu saja) dan (3) permainan disertai
iringan lagu atau permainan gerak dan lagu (Ni Nyoman Seriati dan Nur Hayati,
2010).
Fungsi permainan rakyat antara lain adalah fungsi rekreasi (menghibur),
sebagai media belajar yang sangat penting bagi kanak-kanak untuk melatih
keterampilan fisik dan mengembangkan daya pikir, dan fungsi pedagogi yang
mendidik seorang anak untuk menjadi orang yang berjiwa sportif. Semua fungsi-
fungsi itu dapat diperas menjadi satu, yaitu apa yang oleh R.E. Herron dan B.
Sutton-Smith disebut sebagai fungsi untuk menyiapkan kanak-kanak agar kelak
dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat orang dewasa (Danandjaja,
1997: 181).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Menurut Hurlock (1993), permainan tradisional mempunyai fungsi
psikologis yang penting bagi perkembangan anak. Pada semua usia, permainan
atau bermain merupakan kegiatan yang memberikan kesenangan dan perasaan
positif bagi anak. Tedjasaputra (2001) mengungkapkan bahwa bermain
mempunyai fungsi dalam aspek fisik, motorik kasar dan halus, perkembangan
sosial, emosi dan kepribadian, kognisi, ketajaman pengindraan, dan mengasah
ketrampilan (Iswinarti, 2010).
Penelitian mengenai permainan tradisional anak saat ini marak dilakukan.
Penelitian-penelitian yang telah ada antara lain “Nilai-nilai Terapiutik Permainan
Tradisional Engklek untuk Anak Usia Sekolah Dasar” oleh Iswinarti (2010),
“Permainan Tradisional sebagai Media Stimulasi Aspek Perkembangan Anak
Usia Dini” oleh Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo dan Ellya Rakhmawati
(2011), “Permainan Tradisional Jawa Gerak dan Lagu untuk Menstimulasi
Keterampilan Sosial Anak Usia Dini” oleh Ni Nyoman Seriati dan Nur Hayati
(2010), “Intervensi Psikologi dengan Permainan Tradisonal” oleh Dewi Retno
Suminar (2012), dan sebagainya.
F. Karakter
Karakter menurut Thomas Lickona (1992) merupakan sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik. Aristoteles mengungkapkan bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang dilakukan terus
menerus (Wibowo, 2012:32).
Suyanto (2010) menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sementara itu, Musfiroh (2008) berpendapat bahwa karakter mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills) (Wibowo, 2012:33-34).
Menurut Kemendiknas (2010), karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai dasar atau landasan dalam
mengolah cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Wibowo, 2012:35).
Pendidikan karakter menurut Suyanto diartikan sebagai pendidikan budi
pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (actions). Melalui pendidikan karakter yang sistematis dan
berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
itulah yang akan menjadi bekal penting seorang anak dalam menghadapi masa
depannya (Wibowo, 2012: 33). Sementara itu, Kemendiknas mengemukakan
bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai
karakter bangsa pada peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter
sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif,
dan kreatif (Wibowo, 2012: 35).
Suyanto dalam Suparlan (2012) menyebutkan ada sembilan pilar karakter
yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia. Sembilan pilar karakter itu
adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
2. Kemandirian dan tanggungjawab;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
3. Kejujuran/amanah,
4. Hormat dan santun;
5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
6. Percaya diri dan pekerja keras;
7. Kepemimpinan dan keadilan;
8. Baik dan rendah hati, dan;
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Selain 9 pilar karakter di atas, Wibowo (2012:43-44) juga menyebutkan
adanya 18 pilar nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki
oleh setiap suku di Indonesia menurut Pusat Kurikulum, Balitbang (Badan
Penelitian dan Pengembangan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional. 18 pilar tersebut adalah sebagai berikut.
1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur : perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin : tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja keras : perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
6. Kreatif : berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri : sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis : cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin tahu : sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, baik yang dilihat
maupun yang didengar.
10. Semangat kebangsaan : cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta tanah air : cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai prestasi : sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat atau komunikatif : tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta damai : sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar membaca : kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
16. Peduli lingkungan : sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-
upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli sosial : sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung jawab : sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting
dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut (Suparlan, 2012).
Grafik 38
9 Pilar Menurut Para Pegiat Pendidikan Karakter
Sumber: http://suparlan.com/2/2012/07/23/pendidikan-karakter/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9
(sembilan) pilar yang saling berkaitan, yaitu:
1. responsibility (tanggung jawab);
2. respect (rasa hormat);
3. fairness (keadilan);
4. courage (keberanian);
5. honesty (kejujuran);
6. citizenship (kewarganegaraan);
7. self-discipline (disiplin diri);
8. caring (peduli), dan
9. perseverance (ketekunan).
Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan karakter mencakup
empat ruang lingkup, yaitu home, school, community, dan bussiness. Pendidikan
karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), lalu dikembangkan di
lembaga pendidikan sekolah (school), dan diterapkan secara nyata di dalam
masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha
dan dunia industri (bussiness).
Selain, pilar-pilar pendidikan karakter di atas, ada pula yang menekankan
pentingnya tujuh pilar karakter yang didasarkan pada nilai-nilai dasar manusia.
Ketujuh pilar tersebut adalah sebagai berikut:
1. honesty (ketulusan, kejujuran)
2. kindness (rasa sayang)
3. generosity (kedermawanan)
4. courage (keberanian)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
5. freedom (kebebasan)
6. equality (persamaan), dan
7. respect (hormat).
Dalam penelitian ini, pilar pembentukan karakter yang akan dijadikan
landasan atau dasar dalam pengkajian isi naskah KDBK II adalah teori 18 pilar
nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa menurut Pusat Kurikulum
Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional.