Post on 19-Jan-2016
description
Laporan Kasus
Tonsilektomi
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani KepaniteraanKlinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Unsyiah –RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun Oleh:
NURIL ANNISSA
NIM. 0807101010104
Pembimbing:
dr. Novina R., Sp.THT-KL
\
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAHKUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang Tonsilektomi.
Salawat dan salam juga penulis haturkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada pembimbing, dr. Novina
R., Sp.THT-KL yang telah meluangkan waktunya sehingga referat ini dapat selesai disusun.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian tinjauan kepustakaan ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tinjauan
kepustakaan ini masih jauh dari kesempurnaan dan penulis mengharapkan kritik beserta saran
untuk perbaikan tinjauan kepustakaan ini.Akhir kata penulis berharap tinjauan kepustakaan ini
dapat berguna bagi kita semua.
Banda Aceh, Mei 2014
Nuril Annissa
BAB I LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Cut Nurul Faizah
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Punge Blang Cut, Banda Aceh
No CM : 957589
Tgl lahir : 31 Juli 2005
BB : 16 kg
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri menelan
Keluhan Tambahan :
Mendengkur, sulit menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri saat menelan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan saat cuaca dingin ataupun saat cuaca sedang panas. Rasa nyeri membuat pasien sulit untuk makan. Ibu pasien mengatakan amandel os makin lama makin membesar dan tenggorokan yang berwarna merah. Os juga mendengkur saat tidur sejak 3 bulan yang lalu. Terbangun karena sesak nafas (-). Os juga sering mengalami demam. Demam yang dirasakan hilang timbul.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Os didiagnosa menderita sakit jantung sejak usia 3 bulan oleh dokter spesialis jantung anak. Os di bawa ke dokter jantung anak karena sulit menghisap ASI
Saat berumur 2 tahun os pernah biru saat sedang menangis kuat
Os sering di rawat di RS karena mencret dan demam
Riwayat Pemakaian Obat :
Os rutin mengkonsumsi obat untuk jantung seperti lasix, furosemid, captopril dan digoksin
Dalam 1 bulan terakhir os rutin kontrol ke Poli THT dan diberikan Amoksisilin serta Paracetamol
Riwayat Kehamilan :
Selama hamil, ibu melakukan ANC sebanyak 2x ke bidan, riw. Trauma(-), demam (-). Ibu juga merasakan mual dan muntah yg berat serta merasa lemas. Hal ini berbeda pada kehamilan sebelumnya
Riwayat Kelahiran :
Os lahir secara normal dengan BBL 3000 gr. Os merupakan anak ke-2. Riwayat biru saat lahir (-). Os menangis kuat saat lahir
Riwayat Imunisasi :
imunisasi dasar lengkap
Riwayat Pemberian makanan:
ASI non eksklusif sejak bayi
III. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Heart Rate : 96 x/menit
- Suhu : 36,4oC
- Pernafasan : 26 x/menit
Kulit
Warna : kuning langsat
Turgor : Kembali cepat
Sianosis (perifer/sentral) : (-)
Oedema : (-)
Ikterus : (-)
Kepala
Rambut : Berwarna hitam, distribusi merata,sukardicabut.
Wajah : Simetris, oedema (-), deformitas (-)
Mata : Conjunctiva palpebra inferior pucat (-/-), Sklera ikterik
(-/-), sekret (-
/-), mata cekung(-)
Telinga :
Preaurikuler : Auricular sign (-), tragus sign (-), pembesaran KGB (-)
Auricula Dextra Sinistra :
- CAE lapang, laserasi (-), hiperemis (-)
- Serumen minimal
- Sekret (-)
- Membrana timpani utuh, reflek cahaya (+), gambaran cairan di belakang MT (-),
hiperemis (-)
Hidung (rhinoskopi anterior) :
- NCH (-)
- Mukosa merah muda, hiperemis (-)
- Sekret (-), darah (-)
- Konka inferior hipertrofi (-), udem (-)
- Septum nasi deviasi (-)
- Pasase udara (+), obstruksi (-)
Mulut dan orofaring
Bibir : Bibir pucat (-), mukosa basah (+), sianosis (-)
Lidah : Tremor (-), hiperemis (-)
Palatum : mukosa merah muda, massa (-)
Tonsil : Hiperemis (+/+ ) T4 – T3 , Kripta melebar (+), Detritus (+) Sikatrik (-)
Dinding faring posterior : sulit dinilai
Laring
Laringoskopi indirek : sulit dinilai, pasien tidak kooperatif
Maksilofasial
Simetri (+), Parese N.Kranialis (-) Massa (-) Hematom (-) Kesan down syndrome (+)
Leher
Inspeksi : Simetris, retraksi ( - ) Pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : kesan simetris
Tipe pernapasan : Thorako-abdominal
Retraksi : (-)
Palpasi
Stem Premitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
Perkusi
Perkusi Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru Tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-/-), Wh (-/-) Rh (-/-), Wh (-/-)
Lap. Paru Tengah Rh (-/-), Wh (-/-) Rh (-/-), Wh (-/-)
Lap. Paru bawah Rh (-/-), Wh (-/-) Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
Perkusi : Batas-batas jantung sulit dinilai, pasien tidak kooperatif
Auskultasi : BJ I > BJ II , bising sistolik (+)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi ( - ), vena kolateral ( - )
Palpasi : Nyeri Tekan ( - ), defans muscular ( - )
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : Ballotement tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik (normal)
Genetalia & Anus : dalam batas normal
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG- Pemeriksaan Laboratorium Darah (30 April 2014) :
Hb: 15,1 Ht: 42% Leu: 8,6 Erit: 5,0 Trom: 17,6 LED: 25 CT/BT: 2’/7’ Diftell: 1/0/3/47/43/6 SGOT/SGPT: 31/16 Ur/Cr: 37/0,8 KGDS: 106
- Foto X-Ray Thorax
Kesimpulan : Cord an Pulmo dalam batas normal
- Konsul bagian Anak : Saat ini tidak dijumpai kelainan pulmonal. Dijumpai kelainan cardiac. Saran dari cardiolog agar dapat di pertimbangkan pemberian cairan durante operasi (untuk tonsilektomi).
- Konsul bagian Anestesi :
Pada prinsipnya kami akan membantu tindakan anestesi pasien ini dengan ASA 3. Mohon:
Konfirmasi dengan echocardiografi Inform consent Puasa Back up PICU
- Konsul bagian Jantung Anak :Mengenai os ini yang direncakana tonsilektomi dengan GA dari kami sarankan pertimbangkan pemberian cairan durante operasi Echocardiography (28 April 2014) :
VSD DCSA 6 mm ASD (-), BDA Kesimpulan: VSD DCSA, Pulmonal Hypertension (+)
V. DIAGNOSATonsilitis kronis.
VI. TATA LAKSANATonsilektomi menjadi pilihan terapi pada pasien ini. Berikut laporan operasinya :
- Pasien dalam posisi supine dalam anestesi general.
- Dilakukan tindakan a dan antiseptic pada daerah mulut dan sekitar.
- Tonsil kanan dan kiri dibebaskan dari fossa tonsilaris dengan menggunakan alat Starium.
- Kemudian dilakukan kuratase adenoid.
- Operasi selesai.
Instruksi pasca operasi :
- Awasi tanda vital dan perdarahan.
- Co-amoxyclav syrup 3 x cth II
- Proris syrup 3 x cth II
- Diet lunak bertahap. Tidak boleh hangat/panas.
- Hari 1 -2 : diet cair dingin.
- Hari 3-4 : diet lunak.
- Hari 5 dan seterusnya : diet biasa.
VII. PROGNOSISQuo ad vitam : dubia ad bonamQuo ad functionam : dubia ad bonamQuo ad sanactionam : dubia ad bonam
BAB II
DISKUSI KASUS
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun bilateral.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.2 Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa
tonsilektomi adalah pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor.Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena
durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.
Tonsilektomi pertama kali diperkenalkan 2000 tahun yang lalu oleh Celcus dengan cara
diseksi digital radikal.Menjerat dan menggunting tonsil (tonsilektomi) diperkenalkan sekitar abad 19,
begitu juga alat pengungkit tonsil (tonsil elevator). Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah
dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di
Amerika Serikat.3 Pada saat itu tonsilektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan pasien dalam
keadaan duduk. Namun dari waktu ke waktu angka ini mengalami penurunan, diperkirakan 278.000
anak-anak dibawah 15 tahun dilakukan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi. Di Indonesia,
data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun,
data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 1999-2003 menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi.4 Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 2002-2004
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.5
Anatomi dan Fisiologi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil.Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.Walaupun
tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas kearah nasofaring
sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang
ditemukan.Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering
menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2)
arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan
cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden.Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden.Aliran balik melalui vena-vena tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus faring disekitar kapsul tonsil dan vena lidah.
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda
(deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke
kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah
bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal)
dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsilaris
diantara sudut orofaring antara arcus faring anterior dan arcus faring posterior. Tonsil palatina tidak
selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar.
Tonsil palatina terletak di lateral orofaring dibatasi oleh :
Lateral : muskulus konstriktor faring superior
Anterior : muskulus palatoglossus
Posterior : muskulus palatofaringeus
Superior : palatum molle
Inferior : tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau
kripti tonsila.Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang
kriptus.Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus.Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh
tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.
B. Tonsil Faringeal (adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama
dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen
terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya.Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.Adenoid tidak
mempunyai kriptus.Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan
orifisium tuba eustachius.Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi dan
menghilang pada umur 14 tahun.
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika.
Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
Jenis Teknik Tonsilektomi
Ada beberapa teknik untuk melakukan tonsilektomi. Pada dasarnya, teknik-teknik ini memiliki
prinsip yang sama, hanya alat yang digunakan dan cara mengatasi komplikasi yang berbeda. Teknik-
teknik yang biasa digunakan untuk melakukan tonsilektomi, antara lain:
1. Cara Guillotine Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder. Di negara-negara
maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada anak-anak
dalam anestesi umum.
Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan berhadapan dengan pasien.
Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan pembuka mulut. Lidah
ditekan dengan spatula.
Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri.
Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil
dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan
sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine.
Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan bantuan jari,
tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan ditangani.
2. Cara diseksi Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini digunakan pada
pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum maupun lokal. Teknik :
Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit ekstensi.
Posisi operator di proksimal pasien.
Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya secara
tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat.
Perdarahan ditangani.
3. Cryogenic tonsillectomy Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery
yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai
adalah freon dan cairan nitrogen.
4. Electrosterilization of tonsil Merupakan suatu pembedahan dengan cara koagulasi listrik pada
jaringan tonsil (bedah listrik). Alat yang biasanya digunakan adalah monopolar blade, monopolar
suction, dan monopolar/bipolar diathermy. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi
elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan
gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada
teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru
yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam
jalur listrik (electrical pathway). Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang
dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan
sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif
dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi
tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan
hipertrofi tonsil.3 Indikasi tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), indikasi absolut dan indikasi relatif.
Indikasi absolut
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan
komplikasi kardiopulmoner.
b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.
Indikasi relatif
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat.
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik β-laktamase resisten.
d) Perbesaran tonsil unilateral yang diduga keganasan
Pada keadaan tertentu seperti pada keadaan abses peritonsil (quincy), tonsilektomi dapat dilakukan
bersamaan dengan insisi abses.
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi atau keadaan dimana operasi
tonsilektomi sulit untuk dilakukan pada pasien tersebut, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi
dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Pada pasien ini, meski dengan penyakit jantung bawaan yang membuat teknik anestesi menjadi rumit
dengan pulmonal hypertensionnya, kondisi sang pasien sudah memenuhi kriteria absolut; di mana ia
mulai menunjukkan pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia, serta
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner. Dengan kondisi tanpa tonsillitis saja, pasien sudah
bermasalah dengan perfusi Oksigennya dikarenakan kondisi Ventricle Septal Defect-nya, apalagi jika
dengan obstruksi jalan nafas yang akan membuat asupan Oksigen menjadi lebih sedikit.
Persiapan Praoperasi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di tangan dokter
ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok (THT).Mengingat tonsilektomi
umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus
dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien
yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan
kerjasama dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian
preoperasi terhadap pasien.6 Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun
spesialis anestesi. Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh dari
anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik.Penilaian laboratoris dan radiologik kadang
dibutuhkan.Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan
kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi
tertentu.Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan yang
harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.
Pada pasien ini, dengan segala pertimbangan yang sudah disebutkan, operasi tetap dijalankan
dengan persiapan maintenance cairan ketat durante operasi oleh tim anestesi, terutama dengan kondisi
pulmonal hypertensionnya.
Informed consent perlu diberikan pada pasien sehubung dengan tindakan, komplikasi, dan risiko
yang potensial dialami oleh pasien.Selain itu puasa harus dilakukan sebelum operasi.Lamanya puasa
tergantung pada umur pasien.
Perawatan Postoperasi
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized oleh
Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang
diberikan antibiotika postoperasi.Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral.Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk
infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus
diterapi dengan antibiotika.Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin
pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang berlebihan
bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi.Selain itu juga bisa menyebabkan
bertambahnya pembengkakan di faring.Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum
secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa
nyeri.
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan postoperatif.
Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke
makanan lunak merupakan standar perawatan.
Pada pasien ini, diet lunak diberikan secara bertahap. Makanan hangat dan panas dihindari sebab
khawatir perdarahan muncul kembali dikarenakan vasodilatasi terangsang untuk terjadi dan lebih rentan
untuk rupture/ perdarahan kembali. Diet dingin cair diberikan justru untuk tujuan sebaliknya;
vasokontriksi sehingga perdarahan semakin tidak terjadi. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian diet
lunak untuk tahapan menuju diet biasa 5 hari pasca operasi. Seharusnya, dengan obstruksi tidak ada lagi,
sulit menelan atau disfagia sudah tidak akan ditemui lagi, seperti pada pasien ini. Bahkan dalam kasus
pasien ini, pasca operasi, meski sempat dipantau 1x24 jam di Perinatal Intensive Care Unit, pasien
menunjukkan kondisi yang baik dan langsung diperbolehkan pulang dengan catatan perkara diet dijaga
seperti yang sudah ditentukan.
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal,
sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun
komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.7
1) Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan
adenoidektomi (brookwood ent associates).Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:8,9
o Laringospasme
o Gelisah pasca operasi
o Mual muntah
o Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
o Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung
o Hipersensitif terhadap obat anestesi
2) Komplikasi bedah10
Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).11Perdarahan dapat
terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi
pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage”
dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi.
Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi
sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat
menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan
hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan
sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti,
bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah
dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.
Nyeri Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus
atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri
berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri
tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter
menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri
pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat
menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya
dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian
cairan intravena dibutuhkan.
3) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan
pneumonia.
Pada pasien ini, komplikasi yang terjadi kebanyakan hanya komplikasi anestesi berupa mual
muntah dan gelisah pasca operasi. Namun dengan kondisi bawaan berupa VSD dan PH, meskipun
pasien tidak begitu sesak atau menunjukkan tanda-tanda corpulmonal memburuk, pasien tetap
dipantau selama 1 x24 jam setelah operasi.
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun bilateral.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.2 Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering
dilakukan dalam sejarah operasi.
Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai tonsilektomi, telah dikatakan banyak sekali
kontroversi yang dilaporkan mengenai tonsilektomi.Hal ini dikarenakan pelaksanaan tonsilektomi dalam
jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu.Besarnya jumlah ini
karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti
ilmiah atau studi klinis.Sering kali pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengangkatan
tonsil. Kebanyakan anak-anak mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan
dengan pertumbuhan usia.Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan
bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Sehingga American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan
tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli.Berdasarkan indikasi dan kontraindikasi serta
mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi, diharapkan dokter spesialis THT yang melakukan
tonsilektomi dapat lebih selektif dalam memilih pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97
2. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT,
editors. Atlas of Head and Neck Surgery- Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams &
Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2- 327-6
3. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5
4. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.
5. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.
6. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk. Persiapan rutin
prabedah elektif. HTA Indonesia 2003
7. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group
8. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF,
Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children. Philadelphia: WB
Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.
9. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH, Morgan
GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.
10. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies buku ajar penyakit
THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi 6, 2008 : 337-40
11. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy. Otolaryngol Head Neck
Surg 1998;118:61-8