Post on 24-Oct-2015
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
TINJAUAN MEDIS APHRODISIAKA DAN DISFUNGSI
EREKSI1
Dr. dr. H. Ibnu Pranoto, SpOG, SpAnd2
Pendahuluan
Terdapat banyak obat atau ramuan pembangkit gairah atau yang dikenal
aphrodisiaka (aphrodisiacs) yang beredar di pasaran, mulai dari obat tradisional hingga
obat yang konon diimport. Bentuknya pun beraneka, yang semuanya diperuntukkan
mengatasi ganmgguan seksual kaum pria. Agar memiliki nilai lebih, iklannya pun
digarap dengan sentuhan-sentuhan vulgar, dan seringkali disertai embel-embel tanpa efek
samping. Kiat bisnis dengan memanfaatkan ketidaktahuan serta tendensi masyarakat
untuk mencoba “pengobatan tradisional nenek moyang” menyebabkan praktik
pengobatan yang irrasional ini tumbuh subur. Aphrodisiaka adalah makanan, minuman,
obat-obatan, parfum atau aroma, atau alat yang diklaim memiliki khasiat dapat
membangkitkan atau meningkatkan gairah seksual atau libido. Definisi yang lebih luas
termasuk produk-produk yang meningkatkan kemampuan seksual. Aphrodisiaka
merupakan istilah yang mengambil nama dari Aphrodite, dewi asmara dan kecantikan
Yunani.
Sejarah aphrodisiaka, antara mitos & sains
Aphrodisiaka telah lama digunakan untuk meningkatkan libido. Mandrake
(Mandragora officinarum), salah satu famili kentang-kentangan, telah digunakan sebagai
aphrodisiaka sejak masa Perjanjian Lama.
Orang-orang Romawi mempercayai organoterapi sebagi suatu pengobatan
terhadap impotensia. Oleh karena itu, banyak laki-laki yang mengkonsumsi organ seksual
1 Disampaikan dalam Seminar “Pengaruh dan efek samping aphrodisiaka, sebuah tinjauan medis dan sosial” , BEM Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 8 Agustus 20042 Staf edukatif Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
binatang jantan seperti kelinci, atau penis harimau yang dikeringkan, yang masih
dikonsumsi di Taiwan dan Korea Selatan sebagai sup yang harganya sangat mahal.
Orang-orang Cina kuno juga menggunakan genital binatang sebagai metode
meningkatkan potensi. Kijang dikenal luas untuk organoterapi, dan banyak orang minum
darah kijang atau makan penis kijang, bahkan hingga sekarang.
Aristotle merupakan orang pertama yang menyebutkan cantharide sebagai suatu
aphrodisiaka. Bahan aktif yang dikandungnya, cantharidin (hexahydro-3,7-dimethyl-4,4-
epoxyisobenofuran-1,3-dione) diekstraksi dari sejenis kumbang yang dikeringkan dan
dibuat dalam bentuk bubuk, yang juga dikenal sebagai lalat Spanyol (Spanish fly). Di
alam sengatan serangga ini dapat menyebabkan kulit melepuh, bahkan bisa menimbulkan
kematian. Livia, istri kaisar Romawi Tiberius dahulu biasa mencampurkan cantharide
pada makanan anggota keluarga kerajaan yang lain, sehingga mereka melakukan
tindakan seksual yang menyimpang, yang kemudian beritanya disebarluaskan untuk
menjatuhkan reputasi mereka.
Berbagai aphrodisiaka yang yang berasal dari binatang-binatang yang aneh telah
digunakan sejak lama, seperti darah ular, lemak punuk unta yang dicairkan (digunakan
untuk lubrikasi penis sebelum hubungan seksual) dan lintah. Beberapa lintah dimasukkan
ke dalam botol dan kemudian disimpan dalam ruang yang hangat dan gelap, sampai
menjadi gumpalan yang menyatu dan kemudian digunakan untuk pemijatan pada penis.
Ada beberapa alasan mengapa makanan-makanan tertentu dianggap sebagai
aphrodisiaka. Di beberapa negara makanan-makanan tersebut dianggap memiliki khasiat
aphrodisiaka karena kerancuan penerjemahan dan bahasa. Contohnya, vanilla dianggap
sebagai aphrodisiaka yang hebat oleh karena istilahnya disangkutpautkan dengan istilah
Latin vagina. Alasan lain adalah bahwa bahan-bahan tertentu seperti cabe dan makanan
yang banyak mengandung rempah, menimbulkan respons tubuh menyerupai respon yang
terjadi pada saat hubungan seksual, seperti berkeringat dan “terbakar”.
Makanan-makanan lain dianggap memiliki khasiat aphrodisiaka oleh karena
bentuknya yang mirip dengan organ genital. Bahan-bahan seperti telur, biji bunga
matahari dan umbi-umbian yang melambangkan benih atau semen juga secara tradisional
dipercaya dapat meningkatkan kemampuan seksual. Selain itu, tiram yang memiliki
2
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
kesamaan tekstur dan sangat mirip dengan organ seksual wanita, ginseng, alpukat,
mentimun dan wortel, cula badak yang melambangkan penis ereksi dan popular di Cina
dan Korea, semuanya diklaim sejak lama dapat meningkatkan potensi
Banyak makanan laut (seafood), terutama ikan, dipercaya memiliki khasiat
aprodisiak. Hal ini mungkin dikaitkan dengan dewi Aphrodite yang lahir di laut. Industri
dan pemasaran aphrodisiaka di masyarakat demikian besar, bahkan hingga sekarang. Ada
ratusan atau mungkin ribuan jenis produk aphrodisiaka yang ditawarkan.
Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, berbagai efek
seksual aphrodisiaka hanyalah berdasarkan dongeng belaka, bukan fakta yang didukung
sains. Pada tahun 1989, FDA mengumumkan bahwa tidak ada bukti ilmiah khasiat
aphrodisiaka terhadap disfungsi seksual. Temuan FDA ini menentang tradisi yang sudah
berlangsung ribuan tahun untuk mendapatkan kemampuan seksual yang lebih baik
dengan aneka tanaman, ramuan, obat dan magis.
Selain menyatakan tidak efektif, FDA juga menyatakan bahwa kadang-kadang
aphrodisiaka dapat membahayakan kesehatan. Pernah dilaporkan kematian seorang laki-
laki New York berumur 23 tahun oleh karena toksisitas efek yang mirip dengan digoksin
dan gagal jantung akibat mengkonsumsi aphrodisiaka yang disebut dengan “Love Stone”
yang berasal dari India. Menurut analisis, zat yang terkandung di dalamnya adalah
bufotenine dan senyawa-senyawa bufadienolides, yaitu resibufogenine, bufalin dan
cinobufagin. Senyawa bufadienolides dapat diperoleh dari bisa atau produk sekresi dari
katak dan tanaman tertentu. Senyawa ini merupakan steroid kardiotonik yang
menimbulkan efek seperti digoksin. Senyawa yang sama juga terdapat pada aphrodisiaka
“Chan Su” dari Cina.
Beberapa produk aphrodisiaka yang dipasarkan untuk meningkatkan fungsi
seksual seperti “Verve” dan “Jolt” mengandung gamma-butyrolactone. Substansi ini
dapat dikonversi menjadi senyawa yang dapat menimbulkan efek toksik yang
membahayakan, termasuk kejang dan koma.
3
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
Impotensi dan disfungsi ereksi
Impotensi adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
yang memadai untuk sanggama, ejakulasi atau keduanya. Karena semua laki-laki
mengalami problem ereksi pada saat-saat tertentu secara temporer, dokter perlu
mempertimbangkan adanya impotensi jika kegagalan melakukan sanggama terjadi
minimal 25% dari keseluruhan usaha sanggama. Impotensi bukan merupakan hal baru di
bidang kedokteran atau sejarah manusia, tetapi tidak mudah mendiskusikan masalah ini
secara terbuka terutama oleh penderitanya. Hal ini dipengaruhi oleh budaya tentang
seksualitas atau kejantanan pria, yang justru menghambat banyak penderitanya untuk
mendapatkan pertolongan medis. Sebaliknya sebagian besar akan mencari pertolongan
non medis atau menggunakan berbagai aphrodisiaka. Istilah impotensi berasal dari
bahasa Latin yang berarti hilangnya kekuatan, kemampuan atau keperkasaan. Istilah
impotensi dinilai terlalu luas atau berlebihan, oleh karena itu diganti istilah yang lebih
tepat, yaitu disfungsi ereksi.
Dahulu disfungsi ereksi lebih banyak disebabkan oleh konflik mental atau
emosional. Saat ini para ahli percaya bahwa 70% disfungsi ereksi dilatarbelakangi oleh
kondisi fisik tertentu, sedangkan faktor psikologis punya kontribusi 30%. Faktor fisik
yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah gangguan atau sumbatan
pada pembuluh darah, diabetes, gangguan syaraf, gangguan pada jaringan erektil pada
penis, trauma atau komplikasi operasi, efek samping obat-obatan, penyakit kronis,
gangguan hormonal, kecanduan alkohol atau obat-obatan, dan perokok berat.
Laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi secara tiba-tiba seringkali memiliki
masalah psikologis. Ereksi biasanya masih bisa terjadi pada saat tidur atau ketika bangun
tidur pada pagi hari. Faktor psikologis yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi
misalnya stress atau kecemasan yang timbul akibat beban kerja di kantor atau di rumah,
kekhawatiran tentang kemampuan seksualnya, perselisihan rumah tangga, orientasi
seksual yang menyimpang atau depresi.
Anatomi penis dan fisiologi ereksi
4
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
Penis tersusun dari 2 silinder paralel jaringan erektil yang disebut corpora
cavernosa dan 1 silinder yang letaknya di ventral dan ukurannya lebih kecil, yang disebut
corpus spongiosum. Corpus spongiosum ini mengelilingi uretra dan di bagian distal
membentuk glans penis (Gambar 1). Corpora cavernosa tersusun dari jalinan rongga
cavernosa yang saling berhubungan dan dibatasi oleh endotel vaskuler. Kedua corpora
cavernosa ini dipisahkan oleh sekat yang tidak komplit sehingga keduanya berfungsi
sebagai satu unit kesatuan. Aliran darah disuplai terutama oleh cabang-cabang arteri
pudenda interna. Masing-masing cabang arteri ini membentuk cabang-cabang yang lebih
kecil yang berhubungan dengan rongga cavernosa. Aliran darah balik terjadi melalui
venula postcavernosa yang kemudian menyatu menjadi vena emisaria magna dan
bermuara pada vena dorsalis profunda. Penis diinervasi oleh syaraf otonom maupun
somatik. Serabut syaraf parasimpatis berasal dari medula spinalis segmen sakral,
sedangkan serabut syaraf simpatis berasal dari medula spinalis segmen thorakal dan
lumbal bagian atas. Serabut sensoris dan motoris somatis berasal dan kembali ke medula
spinalis segmen sakral dan menginervasi penis dan perineum melalui nervus pudendus.
Gambar 1. Anatomi penis
5
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
Gambar 2. Mekanisme ereksi. (A) Pada fase tidak ereksi (flaksid), pembuluh arteri
berkonstriksi dan pembuluh vena tidak terkompresi. (B) Pada fase ereksi, relaksasi otot polos
pada trabekula dan pembuluh arteri mengakibatkan aliran darah meningkat, yang mengisi dan
mengembangkan ruang cavernosa. Aliran darah balik berkurang karena ruang cavernosa yang
mengembang menekan pleksus venosus dan vena yang lebih besar.
Pada penis yang tidak ereksi (flaksid), terdapat keseimbangan antara aliran darah
yang masuk dan yang keluar dari korpus erektil. Terjadinya ereksi merupakan hasil
interaksi yang kompleks antara sistem syaraf dan vaskuler. Ereksi penis dapat
ditimbulkan setidaknya oleh 2 mekanisme, yaitu psikogenik sentral dan reflekogenik,
yang saling berinteraksi selama aktivitas seksual normal. Ereksi psikogenik diawali
secara sentral yang merupakan respons terhadap rangsangan pendengaran, visual, bau-
bauan, atau imajinasi. Ereksi refleksogenik terjadi akibat rangsangan pada reseptor
sensoris pada penis, melalui interaksi medula spinalis, dan menyebabkan aksi eferen
somatis dan parasimpatis.
Pada keadaan terangsang, aktivitas parasimpatis memicu serangkaian peristiwa
yang diawali dengan pelepasan nitric oxide dan berakhir dengan peningkatan kadar
mediator intraseluler cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Peningkatan kadar
cGMP menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler dan trabekula. Aliran darah ke dalam
corpora cavernosa meningkat sangat dramatis. Pengisian ruang cavernosa yang cepat
6
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
menyebabkan penekanan pada venula yang mengakibatkan penurunan aliran balik vena.
Proses ini disebut corporeal veno-occlusive mechanism. Kombinasi peningkatan aliran
masuk secara cepat dan penurunan aliran keluar secara cepat menimbulkan tekanan
intracavernosa yang mengakibatkan penis menegang secara progresif dan ereksi penuh
(Gambar 2).
Evaluasi & terapi disfungsi ereksi
Pasien yang mengalami disfungsi ereksi memerlukan pemeriksaan yang
menyeluruh baik pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan psikologis. Hal ini
diperlukan untuk menentukan klasifikasi disfungsi ereksi mengetahui kondisi-kondisi
yang berhubungan dengan disfungsi ereksi dan terapi yang sesuai. Pemeriksaan
penunjang yang mungkin diperlukan adalah pemeriksaan tekanan darah, kadar glukosa
dalam darah atau urin, dan pemeriksaan kadar hormone tertentu. Kadang-kadang
diperlukan juga pemeriksaan fungsi vaskuler, seperti ultrasonografi colour Doppler,
arteriografi, atau respons terhadap obat yang diijeksikan.
Pilihan terapi disfungsi ereksi tergantung jenis disfungsi ereksi tersebut apakah
bersifat psikogenik atau organik. Terapi disfungsi ereksi tipe psikogenik meliputi terapi
konseling psikoseksual dan medikamentosa oral. Terapi disfungsi ereksi tipe organik
meliputi terapi intracavernosa, alat bantu vakum, pembedahan, terapi pengganti
androgen, dan medikamentosa oral.
Terapi medikamentosa yang ada memiliki efektivitas yang terbatas. Trazodone
(Desyrel®) memiliki angka keberhasilan sekitar 25%. Efek samping yang mungkin timbul
berupa mengantuk, lemas, dan keluhan gastrointestinal. Bila dikombinasikan dengan
yohimbine (Yocon®) akan menimbulkan efek sinergistik dan mungkin dapat
meningkatkan angka keberhasilan terapi. Yohimbine (Yocon®) memiliki efek terapi
terutama pada disfungsi ereksi tipe psikogenik dan dapat meningkatkan gairah seksual.
Angka keberhasilannya sekitar 20-25%. Efek samping yang mungkin timbul berupa
gelisah, nyeri kepala, dan mual. Yohimbine tidak boleh diberikan pada pasien-pasien
dengan hipertensi.
7
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
Obat baru inhibitor phosphodiesterase-5 (PDE-5) tampaknya lebih menjanjikan.
Obat ini bekerja memecah cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dan meningkatkan
relaksasi otot polos corpus cavernosa dengan diperantarai oleh nitric oxide. Contoh
preparat ini adalah sildenafil (Viagra ®). Angka keberhasilannya sekitar 90% pada
disfungsi ereksi dengan penyebab organik yang tidak diketahui. Pada pasien disfungsi
ereksi dengan penyebab organik diabetes angka keberhasilannya sekitar 50%. Karena
merupakan obat baru, efek samping dan keamanan obat ini masih belum banyak
diketahui. Obat ini sama sekali tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat terapi
nitrogliserin atau isosorbide.
Preparat agonis dopaminergik seperti apomorphine (Uprima®) memiliki efek
sentral pada hipotalamus. Obat ini memiliki angka keberhasilan sekitar 60% pada
disfungsi ereksi tipe psikogenik bila diberikan melalui injeksi subkutan. Hanya saja efek
samping yang dilaporkan cukup banyak, terutama mual dan muntah. Preparat
apomorphine sublingual dapat mengurangi efek samping yang terjadi.
Terapi lainnya adalah dengan injeksi sendiri ke dalam corpora cavernosa dengan
prostaglandin E1, seperti alprostadil (Gambar 3). Terapi ini cukup efektif, dengan angka
keberhasilan sekitar 80%. Efek samping yang mungkin timbul berupa priapisme, memar,
nyeri, dan lesi fibrosis pada penis. Alprostadil juga dapat dimasukkan ke dalam uretra
pada disfungsi ereksi dengan berbagai sebab (Gambar 4). Angka keberhasilannya sekitar
40% dan cara ini relatif aman.
Gambar 3. Injeksi intracavernosa
8
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto
Gambar 4. Cara memasukkan alprostadil ke dalam uretra dengan aplikator
Kepustakaan
1. Shah J. Erectile dysfunction through the ages. BJU International 2002; 90(4)
2. Barry TL, Petzinger G, Zito SW. GC/MS comparison of the West Indian aphrodisiac “Love Stone” to the Chinese medication “Chan Su”: Bufotenine and related bufadienolides. J Forensic Sci 1996;41(6):1068-1073.
3. Nordenberg T. Looking for a libido lift? The facts about aphrodisiacs. US Food and Drug Administration. http://www.fda.gov/fdac/features/196.html.
4. Food and Drug Administration. Aphrodisiac drug products for over-the-counter human use. Federal Register 1989;54(129).
5. Miller TA. Diagnostic evaluation of erectile dysfunction. American Family Physician. January 1, 2000
6. Wagner G, de Tejada IS. Update on male erectile dysfunction. BMJ 1998;316:678-82.
7. Wibowo S. Pengobatan impotensi terkini. Makalah seminar
8. Pranoto I. Seputar masalah impotensi pada usia reproduksi. Makalah seminar
9. Rizal DM. Fisiologi respon seksual manusia. Makalah seminar
10. Holmes S, Kirby R, Carson C. Male erectile dysfunction. Oxford: Health Press, 1997.
11. Brosman SA, Leslie SW. Erectile dysfunction. Emedicine. July 28, 2004. http://www.emedicine.com/med/topic3023.htm
12. Dismore W, Evans C. Erectile dysfunction. BMJ 1999;318:387-90.
9