Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

14
Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto TINJAUAN MEDIS APHRODISIAKA DAN DISFUNGSI EREKSI 1 Dr. dr. H. Ibnu Pranoto, SpOG, SpAnd 2 Pendahuluan Terdapat banyak obat atau ramuan pembangkit gairah atau yang dikenal aphrodisiaka (aphrodisiacs) yang beredar di pasaran, mulai dari obat tradisional hingga obat yang konon diimport. Bentuknya pun beraneka, yang semuanya diperuntukkan mengatasi ganmgguan seksual kaum pria. Agar memiliki nilai lebih, iklannya pun digarap dengan sentuhan- sentuhan vulgar, dan seringkali disertai embel-embel tanpa efek samping. Kiat bisnis dengan memanfaatkan ketidaktahuan serta tendensi masyarakat untuk mencoba “pengobatan tradisional nenek moyang” menyebabkan praktik pengobatan yang irrasional ini tumbuh subur. Aphrodisiaka adalah makanan, minuman, obat-obatan, parfum atau aroma, atau alat yang diklaim memiliki khasiat dapat membangkitkan atau meningkatkan gairah seksual atau libido. Definisi yang lebih luas termasuk produk-produk yang meningkatkan kemampuan 1 Disampaikan dalam Seminar “Pengaruh dan efek samping aphrodisiaka, sebuah tinjauan medis dan sosial” , BEM Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 8 Agustus 2004 2 Staf edukatif Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1

Transcript of Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Page 1: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

TINJAUAN MEDIS APHRODISIAKA DAN DISFUNGSI

EREKSI1

Dr. dr. H. Ibnu Pranoto, SpOG, SpAnd2

Pendahuluan

Terdapat banyak obat atau ramuan pembangkit gairah atau yang dikenal

aphrodisiaka (aphrodisiacs) yang beredar di pasaran, mulai dari obat tradisional hingga

obat yang konon diimport. Bentuknya pun beraneka, yang semuanya diperuntukkan

mengatasi ganmgguan seksual kaum pria. Agar memiliki nilai lebih, iklannya pun

digarap dengan sentuhan-sentuhan vulgar, dan seringkali disertai embel-embel tanpa efek

samping. Kiat bisnis dengan memanfaatkan ketidaktahuan serta tendensi masyarakat

untuk mencoba “pengobatan tradisional nenek moyang” menyebabkan praktik

pengobatan yang irrasional ini tumbuh subur. Aphrodisiaka adalah makanan, minuman,

obat-obatan, parfum atau aroma, atau alat yang diklaim memiliki khasiat dapat

membangkitkan atau meningkatkan gairah seksual atau libido. Definisi yang lebih luas

termasuk produk-produk yang meningkatkan kemampuan seksual. Aphrodisiaka

merupakan istilah yang mengambil nama dari Aphrodite, dewi asmara dan kecantikan

Yunani.

Sejarah aphrodisiaka, antara mitos & sains

Aphrodisiaka telah lama digunakan untuk meningkatkan libido. Mandrake

(Mandragora officinarum), salah satu famili kentang-kentangan, telah digunakan sebagai

aphrodisiaka sejak masa Perjanjian Lama.

Orang-orang Romawi mempercayai organoterapi sebagi suatu pengobatan

terhadap impotensia. Oleh karena itu, banyak laki-laki yang mengkonsumsi organ seksual

1 Disampaikan dalam Seminar “Pengaruh dan efek samping aphrodisiaka, sebuah tinjauan medis dan sosial” , BEM Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 8 Agustus 20042 Staf edukatif Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

1

Page 2: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

binatang jantan seperti kelinci, atau penis harimau yang dikeringkan, yang masih

dikonsumsi di Taiwan dan Korea Selatan sebagai sup yang harganya sangat mahal.

Orang-orang Cina kuno juga menggunakan genital binatang sebagai metode

meningkatkan potensi. Kijang dikenal luas untuk organoterapi, dan banyak orang minum

darah kijang atau makan penis kijang, bahkan hingga sekarang.

Aristotle merupakan orang pertama yang menyebutkan cantharide sebagai suatu

aphrodisiaka. Bahan aktif yang dikandungnya, cantharidin (hexahydro-3,7-dimethyl-4,4-

epoxyisobenofuran-1,3-dione) diekstraksi dari sejenis kumbang yang dikeringkan dan

dibuat dalam bentuk bubuk, yang juga dikenal sebagai lalat Spanyol (Spanish fly). Di

alam sengatan serangga ini dapat menyebabkan kulit melepuh, bahkan bisa menimbulkan

kematian. Livia, istri kaisar Romawi Tiberius dahulu biasa mencampurkan cantharide

pada makanan anggota keluarga kerajaan yang lain, sehingga mereka melakukan

tindakan seksual yang menyimpang, yang kemudian beritanya disebarluaskan untuk

menjatuhkan reputasi mereka.

Berbagai aphrodisiaka yang yang berasal dari binatang-binatang yang aneh telah

digunakan sejak lama, seperti darah ular, lemak punuk unta yang dicairkan (digunakan

untuk lubrikasi penis sebelum hubungan seksual) dan lintah. Beberapa lintah dimasukkan

ke dalam botol dan kemudian disimpan dalam ruang yang hangat dan gelap, sampai

menjadi gumpalan yang menyatu dan kemudian digunakan untuk pemijatan pada penis.

Ada beberapa alasan mengapa makanan-makanan tertentu dianggap sebagai

aphrodisiaka. Di beberapa negara makanan-makanan tersebut dianggap memiliki khasiat

aphrodisiaka karena kerancuan penerjemahan dan bahasa. Contohnya, vanilla dianggap

sebagai aphrodisiaka yang hebat oleh karena istilahnya disangkutpautkan dengan istilah

Latin vagina. Alasan lain adalah bahwa bahan-bahan tertentu seperti cabe dan makanan

yang banyak mengandung rempah, menimbulkan respons tubuh menyerupai respon yang

terjadi pada saat hubungan seksual, seperti berkeringat dan “terbakar”.

Makanan-makanan lain dianggap memiliki khasiat aphrodisiaka oleh karena

bentuknya yang mirip dengan organ genital. Bahan-bahan seperti telur, biji bunga

matahari dan umbi-umbian yang melambangkan benih atau semen juga secara tradisional

dipercaya dapat meningkatkan kemampuan seksual. Selain itu, tiram yang memiliki

2

Page 3: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

kesamaan tekstur dan sangat mirip dengan organ seksual wanita, ginseng, alpukat,

mentimun dan wortel, cula badak yang melambangkan penis ereksi dan popular di Cina

dan Korea, semuanya diklaim sejak lama dapat meningkatkan potensi

Banyak makanan laut (seafood), terutama ikan, dipercaya memiliki khasiat

aprodisiak. Hal ini mungkin dikaitkan dengan dewi Aphrodite yang lahir di laut. Industri

dan pemasaran aphrodisiaka di masyarakat demikian besar, bahkan hingga sekarang. Ada

ratusan atau mungkin ribuan jenis produk aphrodisiaka yang ditawarkan.

Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, berbagai efek

seksual aphrodisiaka hanyalah berdasarkan dongeng belaka, bukan fakta yang didukung

sains. Pada tahun 1989, FDA mengumumkan bahwa tidak ada bukti ilmiah khasiat

aphrodisiaka terhadap disfungsi seksual. Temuan FDA ini menentang tradisi yang sudah

berlangsung ribuan tahun untuk mendapatkan kemampuan seksual yang lebih baik

dengan aneka tanaman, ramuan, obat dan magis.

Selain menyatakan tidak efektif, FDA juga menyatakan bahwa kadang-kadang

aphrodisiaka dapat membahayakan kesehatan. Pernah dilaporkan kematian seorang laki-

laki New York berumur 23 tahun oleh karena toksisitas efek yang mirip dengan digoksin

dan gagal jantung akibat mengkonsumsi aphrodisiaka yang disebut dengan “Love Stone”

yang berasal dari India. Menurut analisis, zat yang terkandung di dalamnya adalah

bufotenine dan senyawa-senyawa bufadienolides, yaitu resibufogenine, bufalin dan

cinobufagin. Senyawa bufadienolides dapat diperoleh dari bisa atau produk sekresi dari

katak dan tanaman tertentu. Senyawa ini merupakan steroid kardiotonik yang

menimbulkan efek seperti digoksin. Senyawa yang sama juga terdapat pada aphrodisiaka

“Chan Su” dari Cina.

Beberapa produk aphrodisiaka yang dipasarkan untuk meningkatkan fungsi

seksual seperti “Verve” dan “Jolt” mengandung gamma-butyrolactone. Substansi ini

dapat dikonversi menjadi senyawa yang dapat menimbulkan efek toksik yang

membahayakan, termasuk kejang dan koma.

3

Page 4: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

Impotensi dan disfungsi ereksi

Impotensi adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi

yang memadai untuk sanggama, ejakulasi atau keduanya. Karena semua laki-laki

mengalami problem ereksi pada saat-saat tertentu secara temporer, dokter perlu

mempertimbangkan adanya impotensi jika kegagalan melakukan sanggama terjadi

minimal 25% dari keseluruhan usaha sanggama. Impotensi bukan merupakan hal baru di

bidang kedokteran atau sejarah manusia, tetapi tidak mudah mendiskusikan masalah ini

secara terbuka terutama oleh penderitanya. Hal ini dipengaruhi oleh budaya tentang

seksualitas atau kejantanan pria, yang justru menghambat banyak penderitanya untuk

mendapatkan pertolongan medis. Sebaliknya sebagian besar akan mencari pertolongan

non medis atau menggunakan berbagai aphrodisiaka. Istilah impotensi berasal dari

bahasa Latin yang berarti hilangnya kekuatan, kemampuan atau keperkasaan. Istilah

impotensi dinilai terlalu luas atau berlebihan, oleh karena itu diganti istilah yang lebih

tepat, yaitu disfungsi ereksi.

Dahulu disfungsi ereksi lebih banyak disebabkan oleh konflik mental atau

emosional. Saat ini para ahli percaya bahwa 70% disfungsi ereksi dilatarbelakangi oleh

kondisi fisik tertentu, sedangkan faktor psikologis punya kontribusi 30%. Faktor fisik

yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah gangguan atau sumbatan

pada pembuluh darah, diabetes, gangguan syaraf, gangguan pada jaringan erektil pada

penis, trauma atau komplikasi operasi, efek samping obat-obatan, penyakit kronis,

gangguan hormonal, kecanduan alkohol atau obat-obatan, dan perokok berat.

Laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi secara tiba-tiba seringkali memiliki

masalah psikologis. Ereksi biasanya masih bisa terjadi pada saat tidur atau ketika bangun

tidur pada pagi hari. Faktor psikologis yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi

misalnya stress atau kecemasan yang timbul akibat beban kerja di kantor atau di rumah,

kekhawatiran tentang kemampuan seksualnya, perselisihan rumah tangga, orientasi

seksual yang menyimpang atau depresi.

Anatomi penis dan fisiologi ereksi

4

Page 5: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

Penis tersusun dari 2 silinder paralel jaringan erektil yang disebut corpora

cavernosa dan 1 silinder yang letaknya di ventral dan ukurannya lebih kecil, yang disebut

corpus spongiosum. Corpus spongiosum ini mengelilingi uretra dan di bagian distal

membentuk glans penis (Gambar 1). Corpora cavernosa tersusun dari jalinan rongga

cavernosa yang saling berhubungan dan dibatasi oleh endotel vaskuler. Kedua corpora

cavernosa ini dipisahkan oleh sekat yang tidak komplit sehingga keduanya berfungsi

sebagai satu unit kesatuan. Aliran darah disuplai terutama oleh cabang-cabang arteri

pudenda interna. Masing-masing cabang arteri ini membentuk cabang-cabang yang lebih

kecil yang berhubungan dengan rongga cavernosa. Aliran darah balik terjadi melalui

venula postcavernosa yang kemudian menyatu menjadi vena emisaria magna dan

bermuara pada vena dorsalis profunda. Penis diinervasi oleh syaraf otonom maupun

somatik. Serabut syaraf parasimpatis berasal dari medula spinalis segmen sakral,

sedangkan serabut syaraf simpatis berasal dari medula spinalis segmen thorakal dan

lumbal bagian atas. Serabut sensoris dan motoris somatis berasal dan kembali ke medula

spinalis segmen sakral dan menginervasi penis dan perineum melalui nervus pudendus.

Gambar 1. Anatomi penis

5

Page 6: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

Gambar 2. Mekanisme ereksi. (A) Pada fase tidak ereksi (flaksid), pembuluh arteri

berkonstriksi dan pembuluh vena tidak terkompresi. (B) Pada fase ereksi, relaksasi otot polos

pada trabekula dan pembuluh arteri mengakibatkan aliran darah meningkat, yang mengisi dan

mengembangkan ruang cavernosa. Aliran darah balik berkurang karena ruang cavernosa yang

mengembang menekan pleksus venosus dan vena yang lebih besar.

Pada penis yang tidak ereksi (flaksid), terdapat keseimbangan antara aliran darah

yang masuk dan yang keluar dari korpus erektil. Terjadinya ereksi merupakan hasil

interaksi yang kompleks antara sistem syaraf dan vaskuler. Ereksi penis dapat

ditimbulkan setidaknya oleh 2 mekanisme, yaitu psikogenik sentral dan reflekogenik,

yang saling berinteraksi selama aktivitas seksual normal. Ereksi psikogenik diawali

secara sentral yang merupakan respons terhadap rangsangan pendengaran, visual, bau-

bauan, atau imajinasi. Ereksi refleksogenik terjadi akibat rangsangan pada reseptor

sensoris pada penis, melalui interaksi medula spinalis, dan menyebabkan aksi eferen

somatis dan parasimpatis.

Pada keadaan terangsang, aktivitas parasimpatis memicu serangkaian peristiwa

yang diawali dengan pelepasan nitric oxide dan berakhir dengan peningkatan kadar

mediator intraseluler cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Peningkatan kadar

cGMP menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler dan trabekula. Aliran darah ke dalam

corpora cavernosa meningkat sangat dramatis. Pengisian ruang cavernosa yang cepat

6

Page 7: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

menyebabkan penekanan pada venula yang mengakibatkan penurunan aliran balik vena.

Proses ini disebut corporeal veno-occlusive mechanism. Kombinasi peningkatan aliran

masuk secara cepat dan penurunan aliran keluar secara cepat menimbulkan tekanan

intracavernosa yang mengakibatkan penis menegang secara progresif dan ereksi penuh

(Gambar 2).

Evaluasi & terapi disfungsi ereksi

Pasien yang mengalami disfungsi ereksi memerlukan pemeriksaan yang

menyeluruh baik pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan psikologis. Hal ini

diperlukan untuk menentukan klasifikasi disfungsi ereksi mengetahui kondisi-kondisi

yang berhubungan dengan disfungsi ereksi dan terapi yang sesuai. Pemeriksaan

penunjang yang mungkin diperlukan adalah pemeriksaan tekanan darah, kadar glukosa

dalam darah atau urin, dan pemeriksaan kadar hormone tertentu. Kadang-kadang

diperlukan juga pemeriksaan fungsi vaskuler, seperti ultrasonografi colour Doppler,

arteriografi, atau respons terhadap obat yang diijeksikan.

Pilihan terapi disfungsi ereksi tergantung jenis disfungsi ereksi tersebut apakah

bersifat psikogenik atau organik. Terapi disfungsi ereksi tipe psikogenik meliputi terapi

konseling psikoseksual dan medikamentosa oral. Terapi disfungsi ereksi tipe organik

meliputi terapi intracavernosa, alat bantu vakum, pembedahan, terapi pengganti

androgen, dan medikamentosa oral.

Terapi medikamentosa yang ada memiliki efektivitas yang terbatas. Trazodone

(Desyrel®) memiliki angka keberhasilan sekitar 25%. Efek samping yang mungkin timbul

berupa mengantuk, lemas, dan keluhan gastrointestinal. Bila dikombinasikan dengan

yohimbine (Yocon®) akan menimbulkan efek sinergistik dan mungkin dapat

meningkatkan angka keberhasilan terapi. Yohimbine (Yocon®) memiliki efek terapi

terutama pada disfungsi ereksi tipe psikogenik dan dapat meningkatkan gairah seksual.

Angka keberhasilannya sekitar 20-25%. Efek samping yang mungkin timbul berupa

gelisah, nyeri kepala, dan mual. Yohimbine tidak boleh diberikan pada pasien-pasien

dengan hipertensi.

7

Page 8: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

Obat baru inhibitor phosphodiesterase-5 (PDE-5) tampaknya lebih menjanjikan.

Obat ini bekerja memecah cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dan meningkatkan

relaksasi otot polos corpus cavernosa dengan diperantarai oleh nitric oxide. Contoh

preparat ini adalah sildenafil (Viagra ®). Angka keberhasilannya sekitar 90% pada

disfungsi ereksi dengan penyebab organik yang tidak diketahui. Pada pasien disfungsi

ereksi dengan penyebab organik diabetes angka keberhasilannya sekitar 50%. Karena

merupakan obat baru, efek samping dan keamanan obat ini masih belum banyak

diketahui. Obat ini sama sekali tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat terapi

nitrogliserin atau isosorbide.

Preparat agonis dopaminergik seperti apomorphine (Uprima®) memiliki efek

sentral pada hipotalamus. Obat ini memiliki angka keberhasilan sekitar 60% pada

disfungsi ereksi tipe psikogenik bila diberikan melalui injeksi subkutan. Hanya saja efek

samping yang dilaporkan cukup banyak, terutama mual dan muntah. Preparat

apomorphine sublingual dapat mengurangi efek samping yang terjadi.

Terapi lainnya adalah dengan injeksi sendiri ke dalam corpora cavernosa dengan

prostaglandin E1, seperti alprostadil (Gambar 3). Terapi ini cukup efektif, dengan angka

keberhasilan sekitar 80%. Efek samping yang mungkin timbul berupa priapisme, memar,

nyeri, dan lesi fibrosis pada penis. Alprostadil juga dapat dimasukkan ke dalam uretra

pada disfungsi ereksi dengan berbagai sebab (Gambar 4). Angka keberhasilannya sekitar

40% dan cara ini relatif aman.

Gambar 3. Injeksi intracavernosa

8

Page 9: Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi

Tinjauan Medis Aphrodisiaka & Disfungsi Ereksi Ibnu Pranoto

Gambar 4. Cara memasukkan alprostadil ke dalam uretra dengan aplikator

Kepustakaan

1. Shah J. Erectile dysfunction through the ages. BJU International 2002; 90(4)

2. Barry TL, Petzinger G, Zito SW. GC/MS comparison of the West Indian aphrodisiac “Love Stone” to the Chinese medication “Chan Su”: Bufotenine and related bufadienolides. J Forensic Sci 1996;41(6):1068-1073.

3. Nordenberg T. Looking for a libido lift? The facts about aphrodisiacs. US Food and Drug Administration. http://www.fda.gov/fdac/features/196.html.

4. Food and Drug Administration. Aphrodisiac drug products for over-the-counter human use. Federal Register 1989;54(129).

5. Miller TA. Diagnostic evaluation of erectile dysfunction. American Family Physician. January 1, 2000

6. Wagner G, de Tejada IS. Update on male erectile dysfunction. BMJ 1998;316:678-82.

7. Wibowo S. Pengobatan impotensi terkini. Makalah seminar

8. Pranoto I. Seputar masalah impotensi pada usia reproduksi. Makalah seminar

9. Rizal DM. Fisiologi respon seksual manusia. Makalah seminar

10. Holmes S, Kirby R, Carson C. Male erectile dysfunction. Oxford: Health Press, 1997.

11. Brosman SA, Leslie SW. Erectile dysfunction. Emedicine. July 28, 2004. http://www.emedicine.com/med/topic3023.htm

12. Dismore W, Evans C. Erectile dysfunction. BMJ 1999;318:387-90.

9