disfungsi mandibula 2-11

37
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Disfungsi Mandibula Dalam ilmu kedokteran, sindrom adalah kumpulan dari gejala-gejala yang secara kolektif mengindikasikan atau menjadi karakteristik dari suatu penyakit, penyimpangan psikologis ataupun keadaan yang menyimpang. Istilah sindrom dapat digunakan hanya untuk menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan diagnosa. Namun terkadang, beberapa sindrom dijadikan nama penyakit (The American Heritage, 2000) Pada sindrom disfungsi mandibula, pasien mungkin mengeluh mengenai satu atau beberapa simtom berikut ini : keterbatasan gerak rahang, terganggunya fungsi sendi (kliking, krepitus, deviasi sewaktu membuka mulut), nyeri otot, nyeri sendi dan wajah, dan nyeri sewaktu menggerakkan mandibula. Daftar ini dibuat mengikuti indeks disfungsi mandibula dari Heltimo. Sakit dan nyeri tekan biasanya bersifat unilateral tetapi bisa berubah dari satu sisi ke sisi yang lain. Pasien mungkin mengeluh sulit membuka mulut atau makan, dan bisa menyebabkan “terkuncinya” sendi mandibula. Adakalanya dikeluhkan sakit kepala dan nyeri di leher serta bahu. Pasien biasanya dapat menunjukkan daerah yang sakit pada wajah dan leher serta pada kondilusnya sendiri. Gejala umumnya bersifat intermeiten dan sering mereda, misalnya selama masa liburan. Dengan demikian, terlihat juga bahwa faktor psikologis ikut terlibat dan ini akan dikembangkan. Hal ini menunjukkan adanya komponen ketegangan dan sekarang dipercayai secara luas bahwa respons terhadap stres akan menimbulkan ketegangan otot yang kemudian menimbulkan nyeri (Thomson, 2007). Newton (1984) mengatakan bahwa daerah yang paling sering terkena sindrom ketegangan adalah otot posterior dari leher dan daerah oksipital, otot punggung bagian bawah, dan beberapa otot bahu. Ia juga menambahkan bahwa isitilah “sindrom sendi temporomandibula” tidak tepat karena sendi itu sendiri jarang terkena secara patologis (Thomson, 2007).

description

random

Transcript of disfungsi mandibula 2-11

Page 1: disfungsi mandibula 2-11

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Disfungsi Mandibula

Dalam ilmu kedokteran, sindrom adalah kumpulan dari gejala-gejala yang

secara kolektif mengindikasikan atau menjadi karakteristik dari suatu penyakit,

penyimpangan psikologis ataupun keadaan yang menyimpang. Istilah sindrom dapat

digunakan hanya untuk menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan

diagnosa. Namun terkadang, beberapa sindrom dijadikan nama penyakit (The

American Heritage, 2000)

Pada sindrom disfungsi mandibula, pasien mungkin mengeluh mengenai satu

atau beberapa simtom berikut ini : keterbatasan gerak rahang, terganggunya fungsi

sendi (kliking, krepitus, deviasi sewaktu membuka mulut), nyeri otot, nyeri sendi dan

wajah, dan nyeri sewaktu menggerakkan mandibula. Daftar ini dibuat mengikuti

indeks disfungsi mandibula dari Heltimo. Sakit dan nyeri tekan biasanya bersifat

unilateral tetapi bisa berubah dari satu sisi ke sisi yang lain. Pasien mungkin

mengeluh sulit membuka mulut atau makan, dan bisa menyebabkan “terkuncinya”

sendi mandibula. Adakalanya dikeluhkan sakit kepala dan nyeri di leher serta bahu.

Pasien biasanya dapat menunjukkan daerah yang sakit pada wajah dan leher serta

pada kondilusnya sendiri. Gejala umumnya bersifat intermeiten dan sering mereda,

misalnya selama masa liburan. Dengan demikian, terlihat juga bahwa faktor

psikologis ikut terlibat dan ini akan dikembangkan. Hal ini menunjukkan adanya

komponen ketegangan dan sekarang dipercayai secara luas bahwa respons terhadap

stres akan menimbulkan ketegangan otot yang kemudian menimbulkan nyeri

(Thomson, 2007).

Newton (1984) mengatakan bahwa daerah yang paling sering terkena sindrom

ketegangan adalah otot posterior dari leher dan daerah oksipital, otot punggung

bagian bawah, dan beberapa otot bahu. Ia juga menambahkan bahwa isitilah “sindrom

sendi temporomandibula” tidak tepat karena sendi itu sendiri jarang terkena secara

patologis (Thomson, 2007).

Page 2: disfungsi mandibula 2-11

Beberapa survei mengenai disfungsi sistem mastikasi sudah dilakukan di

Swedia. Berdasarkan penelitian tersebut, Helkimo (1976) memperkenalkan indeks

disfungsi yang mengklasifikasikan gejala secara numerik sesuai dengan

keparahannya. Survei ini dan kritikan van der Veele dkk. sudah pernah disinggung

dalam telaah literatur. Di antara berbagai kelas disfungsi yang berlainan, perbedaan

tipe-tipe interferensi oklusal yang bervariasi tidak bermakna. Meskipun demikian,

keadaan gigi-geligi yang di periksa umumnya buruk dan rata-rata hanya sedikit gigi

yang tersisa dengan frekuensi pemakaian protesa penuh yang lebih tinggi pada pasien

yang mempunyai gejala daripada pasien yang tidak bergejala. Tidak ada perbedaan

yang bermakna pada derajat disfungsi antara laki-laki dan perempuan atau antara

kelompok umur (Thomson, 2007).

2.1.1 Patologi

Respons patologis terhadap aktivitas yang berlebihan didemonstrasikan oleh

Christensen dan Moesmann (1967) melalui penelitiannya pada manusia dan hewan.

Mereka menyimpulkan bahwa suatu kondisi “fibrositis otot” dapat disebabkan oleh

hiperfungsi otot yang menimbulkan lesi mekanis pada jaringan ikat interfibrilar dan

mengakibatkan terjadinya radang aseptik yang serius. Jadi, di sini diperlihatkan

suatau reaksi patologis pada otot dan merupakan satu-satunya bukti histopatologis

sampai saat ini (Thomson, 2007).

Anggapan bahwa penyebab MDS adalah otot kurang mendapat dukungan dari

penelitian patologis. Kelelahan, spasme, cedera intramuskular, dan kelainan otot

adalah suatu kemungkinan penyebab nyeri dan disfungsi. Seperti disebutkan pada

telaah literatur, telah dilakukan penelitian histopatologi oleh Christensen dan

Moesmann (1967), yang menetapkan diagnosis inflamasi aseptik serosa dari jaringan

ikat otot. Keadaan ini dikenal dengan istilah lebih umum yakni “fibrositis otot dan

dianggap berkaitan dengan hiperfungsi otot. Osteoartritis (Blackwood, 1963)”

didiagnosis dari penelitian postmortem pada pasien-pasien yang mengalami gejala

sendi tetapi kelompok umurnya jauh lebih tua dibandingkan yang biasa ditemukan

pada MDS (Thomson, 2007).

Page 3: disfungsi mandibula 2-11

Perubahan viskositas cairan sinovial bisa merupakan respons patologis terhadap

toksin yang beredar dalam tubuh dan merupakan penyebab krepitus. Kelihatannya

tidak mungkin keadaan ini berhubungan dengan disfungsi mandibula, walaupun gerak

kondilus protusi bisa memperberat kndisi ini. Sebaliknya, efusi dari cairan jaringan

ini ke ruang sendi, yang menimbulkan pembengkakan dan nyeri, merupkan cerminan

dari respons terhadap cedera atau disfungsi yang sudah berlangsung lama. Relasi

oklusal barangkali terpengaruh semantara dan istirahat dari fungsi oklusal

diperlakukan untuk mencegah kerusakan (Thomson, 2007).

Berry (1963) mengatakan bahwa semua metode perawatan menimbulkan

perubahan gerak mastikasi dan masing-masing metode ini mempunyai kegunaan.

Franks (1965) menggambarkan suatu pola gerakan yang terganggu akibat perubahan

oklusi yang mengakibatkan perubahan pada ambang eksitabilitas dari neuron yang

mengatur gerak rahang. Ia mengatakan bahwa ambang ini dapat diubah oleh pengaruh

dari sistem saraf pusat (seperti stres emosional), yang mengakibatkan aktivitas

hipertonik. Sebaliknya, Yemm (1969a, b) mengatakan bahwa kontak prematur antara

gigi-gigi yang berantagonis merupakan faktor sekunder dari kelainan otot atau sendi.

Newton (1969) mengatakan bahwa aksi protusi secara refleks dari otot mastikasi bisa

terganggu oleh rangsangan dari pusat yang lebih tinggi, yang bekerja melalui

pembentukan retikular dan merangsang terjadinya kontraksi yang kuat pada otot

elevator. Berry (1969) menduga adanya hubungan antara penyakit-penyakit ringan

yang kronis dengan nyeri sendi dan bahwa kondisi ini berasal dari sumber yang sama,

yang mengindikasikan adanya persepsi sentral dari keadaan stres yang dimediasi oleh

fungsi hipotalamus. Jadi, nyeri yang timbul pada beberapa orang bisa berasal dari

sendi atau gangguan otot tetapi pada orang yang lain bukan berasal dari sumber

tersebut (Thomson, 2007).

Laskin (1969) menduga adanya penyebab psikofisiologis dari kelelahan akibat

kebiasaan mulut yang kronis yang sering dilakukan secara tidak sadar dan guna

mengurangi ketegangan. Karena faktor yang mengawalinya biasanya bersifat

emosional daripada fisik, perawatannya harus diarahkan ke aspek ini. Perbaikan dari

konflik yang melatarbelakangi timbulnya kebiasaan rongga mulut ini mungkin sukar,

Page 4: disfungsi mandibula 2-11

walaupun dengan psikoterapi, sehingga dianjurkan untuk melakukan pendekatan

secara tim (Thomson, 2007).

Moulton (1957) seorang psikiater, meneliti 35 pasien dengan nyeri sendi

mandibula. “sekurangnya separuh”, katanya, “menyadari memiliki kehidupan yang

telah mencapai klimaksnya”. Separuh lainnya mengkaitkan nyeri ini dengan “trauma

berlebihan pada daerah gigi”. Jadi, kecemasan dan stres dikaitkan dengna sindrom ini,

dan nyeri psikogenik beserta dengan efek fasial menjadi suatu entitas klinis. Telah

digunakan perangkat alat untuk terapi guna memugar cacat oklusal dan mengontrol

kebiasaan parafungsi (bruksisme). Thomson (1959) memeriksa dan merawat 100

pasien, beberapa diantaranya dirawat dengan perangkat alat dan memperoleh

keberhasilan 70%. Pada saat bersamaan ia juga meneliti 100 pasien dengan distribusi

usia yang sama dan menemukan insidens disfungsi oklusal yang sama tetapi tanpa

gejala nyeri, kecuali pada 18 kasus dengan nyeri yang dirasakan pada salah satu sendi

tetapi hilang dengan sendirinya tanpa dirawat. Penelitian ini diulangi pada tahun 1971

dengan hasil yang sama, tetapi dengan menambahkan kesadaran akan peran stres

emosional dalam riwayat penyakitnya seperti disebutkan oleh para pasien yang

ditelitinya (Thomson, 2007).

Rough dan Solberg (1976) membahas dampak psikologis pada kelainan sendi

mandibula tetapi tidak dapat mengkaitkannya dengan satu kerangka acuan saja.

Mereka menemukan sedikit bukti yang mengindikasikan bahwa komponen psikologis

“berkorelasi dengan satu trait kepribadian tertentu”, dan bahwa komponen ini

memiliki “etiologi multigaktor yang bekerja pada organ target” (Thomson, 2007).

Molin (1937) melakukan penelitian komperhensif terhadap aspek psikologik

dan psikiatrik dari sindrom ini. Lebih lanjut, ia juga mengestimasi toleransi nyeri dan

mengukur daya otot yang digunakan dengan elektromiografi. Kelompok nyeri dan

kelompok kontrol juga diperiksa. Molin menemukan bahwa skor untuk “kerentanan

terhadap kecemasan” dan “ketegangan otot” lebih tinggi pada kelompok nyeri.

Terkait dengan masalah tentang bagaimana meredakan gerakan rahang parafungsi,

diperkenalkan sistem umpan-balik (biofeedback). Sistem ini memungkinkan pasien

melihat (atau mendengar) apa yang terjadi dalam otot mereka dan bagaimana gerak

yang berbahaya dapat dikendalikan. Ketika diterapkan oleh Berry dan Wilmot (1977)

Page 5: disfungsi mandibula 2-11

dengna menggunakan Mytron 220, 24 dari 35 pasien merasa tertolong dalam waktu

kurang dari 2 bulan, 7 pasien dalam waktu 3-5 bulan, 2 relaps sudah respons awal

yang baik (mereka mungkin menderita depresi) dan 2 tidak datang. Keberhasilan

yang lebih mutakhir dilaporkan oleh Carlsson dan Gale (1977), Stenn, Mothersill dan

Brooke (1979), Wepman (1980) dan Hijzen, Slangen dan van Houweligen (1986).

Penelitian mengenai kombinasi umpan balik dan antidepresan oeleh Gassel dan

Alderman (1975) juga memberikan kontribusi yang berharga. Bukti lebih lanjut dari

respons patologis dalam otot wajah diberikan oleh Berry dan Yemm (1974) dan

Yemm (1976) yang melaporkan bahwa percobaan mengukur temperatur pada kulit di

atas otot masseter (dengan mengukur emisi sinar inframerah) menunjukkan bahwa

kulit di atas daerah otot yang nyeri lebih panas daripada daerah yang sama di sisi

lainnya. Akan tetapi, Yemm (1976) mengatakan bahwa walaupun nyeri dan rasa tidak

enak dari disfungsi sendi mandibula dapat timbul hanya dari otot rahang, jangan

sampai diabaikan kemungkinan adanya kerusakan sendi akibat cedera atau penyakit

(Thomson, 2007).

Juniper (1987) menambahkan pendapatnya dalam bahasan ini dengan mengutip

Yemm (1969) dan Rugh dan Solberg (1976) yang menunjukkan bahwa reaksi

terhadap stres pada pasien dengan tanda dan gejala disfungsi sendi temporo

mandibula adalah berupa kontraksi otot masseter yang berlebihan. Selanjutnya

dikatakannya bahwa otot pterigoideus medial juga berkontraksi dan membebani

meniskus pada tendon insersinya. Jika hiperaktivitas ini berlangsung terus, akan

terjadi kerusakan yang semakin parah, sering kali dalam episode yang berkaitan

dengan meningkatnya stres psikologis. Ini semua disebutkan pada artikel mengenai

patogenesis disfungsi sendi temporomandibula dan pantas mendapatkan penelitian

lebih lanjut (Thomson, 2007).

Akhirnya, Lundeen, Sturdevant dan George (1987) menyinggung keterkaitan

antara hiperaktivitas otot dengan nyeri otot yang mempunyai korelasi bermakna

dengan deepresi dan gangguan aktivitas. Pemeriksaan pada pasien-pasien ini harus

meliputi pemeriksaan stres, depresi, dan tingkat aktivitas (Thomson, 2007).

Page 6: disfungsi mandibula 2-11

2.1.2 Gejala-Gejala Pada Sindrom Disfungsi Mandibula

Salah satu atau beberapa gejala berikut ini bisa membantu dalam menentukan

diagnosis: Nyeri samar pada daerah preaurikular, nyeri selama pengunyahan, nyeri

sewaktu membuka mulut lebar-lebar, nyeri tekan di atas dan di depan kondilus,

keterbatasan membuka mulut, terkuncinya (fiksasi) mandibula, kekakuan mandibula

sewaktu bangun tidur, keletuk sendi pada waktu membuka dan menutup mulut, dan

krepitus atau bunyi gemertak pada rongga sendi. Dapat pula ditemui faktor-faktor

stres emosional dan ketakutan akan timbulnya rasa sakit pada wajah yang menambah

kecemasan. adanya stres sering kali bisa diketahui dengan mengajukan pertanyaan

tertentu, seperti apakah pasien merasa tegang ketika mengemudi, saat terlambat, dan

apakah ketegangan ini membuat pasien menggelutkan gigi. Di samping itu, udara

dingin atau lembap juga bisa dihubungkan dengan nyeri berulang (rekuren), seperti

juga dengan kondisi-kondisi lain yang mengenai sendi dan otot (Thomson, 2007).

Penjelasan mengenai keletuk, locking, nyeri, dan kepekaan yang dialami pada

MDS adalah sebagai berikut:

a. Keletuk dan bunyi-bunyi sendi mandibula yang lain

Fenomena ini dapat digambarkan sebagai suatu interferensi terhadap gerak

translatori kondilus dan meniskus selama gerak menutup dan membuka dari

mandibula. Lingir superior pada kondilus memungkinkan terjadinya interferensi antar

kondilus dan meniskus sewaktu keduanya bergerak. Normalnya, aktivitas otot adalah

sedemikian sehingga meniskus yang fleksibel bergerak mulus antara kondilus dan

eminentia. Jika posisi awal kondilus berubah (misalnya akibat perubahan posisi

interkuspa), arah gerakannya bisa berubah dan zona posterior yang lebih tebal secar

sementara terjebak antara kondilus dan eminentia. Respons neuromuskular biasanya

menghasilkan gerak adaptasi yang dibutuhkan untuk menyempurnakan gerak

membuka mulut. Penyimpangan gerak membuka untuk menghindari keletuk akan

terjadi dan akan muncul sekuen lebih lanjut dari kelutuk dan gerak adaptasi. Tidak

adanya serabut nyeri pada meniskus, membuat keletuk jarang sekali menimbulkan

nyeri, tetapi jika resistensi meningkat (misalnya karena meningkanya viskositas caran

sinovial) gerak yang diperlukan untuk meneruskan gerak membuka bisa

mengakibatkan robeknya serabut otot (pterigoideus lateralis). Akan terjadi adaptasi

Page 7: disfungsi mandibula 2-11

lebih lanjut dengan nyeri dan kekakuan sebagai gejala yang menyertainya (Thomson,

2007).

Keletuk umunya terjadi selama gerak membuka mulut tetapi juga bisa terjadi

sesaat sebelum menutup meulut ketika meniskus bergerak ke belakang pada arah

yang sudah berubah (Thomson, 2007).

Fakta bahwa keletuk bisa dihilangkan dengan membuka mandibula dan

menutupnya pada sumbu retrusi atau dengan meletakkan bidang gigit (bite plane)

berkontak dengan insisivus bawah tepat sebelum gerak penutupan, mendukung

penjelasan ini. Jadi, perubahan posisi interkuspa adalah suatu kemungkinan penyebab

keletuk. Penyebab lain adalah gerak membuka mandibula yang berlebihan dan

mendadak yang mengakibatkan pergeseran meniskus atau clenching gigi yang

berkepanjangan sehingga pembukaan berubah akibat otot yang lelah (Thomson,

2007).

Keletuk juga bisa terjadi secara intermiten pada remaja akibat gerak adaptasi

sewaktu pertumbuhan sedang berlangsung. Namun di sinipun, keadaan tersebut bisa

dihindari dengan menutup dan membuka pada sumbu retrusi (Thomson, 2007).

Watt (1980) telah mengadakan penelitian terhadap 191 pasien dengna disfungsi

sendi mandibula, menggunakan rekaman sinkron dari bunyi sendi dan oklusal yang

berasal dari rekaman gnatosonik. Ia menunjukkan bahwa bunyi sendi

temporomandibula bervariasi antara siklus menutup dan membuka serta antara

berbagai kunjungan pasien. Bunyi sendi bisa diidentifikasi dari bunyi oklusal melalui

posisinya pada rekaman oklusal, bunyi yang terjadi 30 menit sebelum bunyi oklusal

utama bisa diinterpretasikan sebagai bunyi sendi. Watt mengklasifikasikan bunyi

tersebut menjadi keletuk dan krepitus, kemudian keduanya dikelompokkan lagi

menjadi lunak dan keras, bergantung pada kualitasnya. Lebih lanjut, ia

mengklasifikasikan bunyi menjadi “sempit”, “menengah”, dan “lebar” yang

mengindikasikan posisi rahang ketika bunyi terjadi. Ia juga menjelaskan bahwa

keletuk lembut adalah gerak mendadak dari ligamen, krepitus lembut (yang timbul

dan hilang) adalah efek permukaan dan tidak selalu berhubungan dengan tanda

anatomis, keletuk keras mungkin mengindikasikan adanya kelainan sendi dan sering

kali disertai dengan krepitus keras yang menunjuadanya cacat spesifik pada

Page 8: disfungsi mandibula 2-11

permukaan sendi, krepitus keras (seperti bunyi sepatu menginjak batu-batuan) hampir

selalu tanda diagnostik dari perubahan artritis (Thomson, 2007).

Van wiligen (1979) melakukan analisis mengenai gerak kondilar sagital dari

keletuk sendi mandibula dengan menggunakan pantograf yang dicekatkan pada gigi-

gigi atas dan anterior bawah (permukaan labial) tanpa mengganggu oklusi yang ada

dan penutupan bibir. Kedua busur mempunyai fotoreseptor, dengan busur mandibula

ditempatkan diatas sumbu retrusi dan busur maksila yang statis digunakan sebagai

titik acuan. Dengan menggunakan skaner gerakan, posisi fotoreseptor pada bidang

sagital ditentukan menggunakan alat optik elektronik. Lima pasien disfungsi dengan

keletuk sendi dibandingkan dengan lima subjek tanpa gejala sendi mandibula.

Hasilnya menunjukkan bahwa pada kelompok yang mengalami keletuk terdapat

penyimpangan dari pola gerakan yang terlihat pada kelompok sehat. Diduga

penyebabnya adalah dislokasi dari diskusi (Thomson, 2007).

Fakta bahwa keletuk jarang menimbulkan respon patologis, baik pada jaringan

sendi maupun otot, menjelaskan sifat adaptasi dari jaringan-jaringan tersebut. Jadi

jika keletuk ditemukan sebagai salah satu gejala maka keadaan tersebut tidak bisa

disebut sebagai kelainan (Thomson, 2007).

b. Terkuncinya mandibula (fiksasi mandibula)

Gejala yang mengganggu ini, yang biasanya berlangsung pada posisi membuka

mulut, bisa merupakan suatu kelanjutan dari keletuk. Spasme otot yang mengikuti

keletuk persisten dapat membuat mandibula terkunci pada posisi tempat biasanya

terjadi keletuk., sehingga dapat diasosiasikan dengan posisi interkuspa yang berubah.

Dua sumber terkuncinya mandibula yang lainnya adalah pertama, spasme otot setelah

terjadinya cedera pada mandibula baik karena benturan atau regangan yang

berlebihan dan kedua spasme pada posisi subluksasi yang berhubungan dengan

bentuk eminentia artikulasi selama mas perkembangan yang memungkinkan kondilus

meluncur kedepan didepan eminentia. Dislokasi merupakan perluasan dari kondisi

yang terakhir ini. Kondisi sistem mastikasi yang tidak efektif juga bisa menimbulkan

spasme (trismus) yang kelihatannya protektif, tetapi perlu diteliti kebenarannya. Rasa

terkejut alih-alih dari nyeri merupakan tanda dari fiksasi rahang dan karena itu

Page 9: disfungsi mandibula 2-11

menenangkan pasien serta terapi guna mengurangi kejang otot, merupakan cara

perawatan yang diperlukan (Thomson, 2007).

c. Nyeri

Pada MDS ada tiga faktor yang bisa diasosiasikan dengan nyeri, interferensi

tonjol yang mengakibatkan perubahan aktivitas otot mastikasi yang sudah mapan,

aktivitas parafungsi, dan gangguan emosi. Dua yang terakhir ini biasanya saling

berhubungan. Kombinasi dari ketiganya bahkan biasa memberikan penjelasan

(Thomson, 2007).

Perubahan diatas lebih mudah menimbulkan nyeri pada otot mandibula jika otot

sudah pernah terkena cedera. Didalam sendi, serabut-serabut nyeri saling beramifikasi

dengan pembuluh darah di dalam mebran sinovial dan peiosteum didekatnya, tetapi

meniskus tidak dipasok oleh serabut nyeri. Jadi baru jika meniskus tergeser terhadap

membran sendi akan timbul rasa nyeri. Oleh karena itu, nyeri sendi intrakapsular

yang bukan karena infeksi adalah akibat dari cedera yang relatif keras, seperti

misalnya dilokasi atau distraksi meniskus (karena spasme otot) terhadap membran

sendi. Nyeri sendi yang tidak begitu hebat pada sindrom ini kemungkinan adalah

akibat cedera otot yang diikuti dengan pembentukan jaringan parut, yang kelak akan

meregang selama gerakan rahang. Sifat nyeri yang unilateral menunjukan bahwa

pengunyahan yang berlebihan atau parafungsi pada satu sisi saja telah mengakibatkan

cedera dan bahwa gerak unilateral menunjukan bahwa pengunyahan yang berlebihan

atau parafungsi pada satu sisi saja telah mengakibatkan cedera dan bahwa gerak

unilateral yang sama memperhebat cedera tersebut (Thomson, 2007).

Peran interferensi tonjol bervariasi dari pergeseran kecil selama fungsi oklusi

sampai overclosure mandibula pada posisi interkuspa. Interferensi tonjol bisa timbul

akibat kebiasaan parafungsi atau tanggalnya gigi atau retorasi gigi yang tidak tepat,

tetapi aktivitas otot yang tidak relevan kelihatannya merupakan penyebab utama.

Efek perubahan aktivitas otot pada gigi geligi adalah terganggunya rangsangan

proprioseptif kepusat refleks yang bersangkutan. Keadaan ini bisa menimbulkan

gerak adaptasi yang toleran (misal pada anggota gerak) atau koordinasi yang buruk

dan spasme (seperti pada sendi yang nyeri atau kaku). Jika suatu lesi otot sudah

Page 10: disfungsi mandibula 2-11

mapan, akan merupakan daerah aktivitas yang telah melemah dan impuls dari pusat-

pusat yang lebih tinggi cenderung diarahkan kesini. Faktor yang menentukan respons

adaptasi atau inkoordinasi adalah derajat aktivitas pada sistem limbus. Kelompok

struktur ini pada otak menentukan intensitas stimuli dari korteks oleh emosi seperti

marah, ketakutan, panik dan agresif. Stimuli ini harus bersiap untuk melakukan

tingkat aktivitas fisik yang memadai dan ini merupakan fungsi dari hipotalamus.

Jaringan sistem limbus dan hipotalamus dianggap saling brhubungan dalam aktivitas-

aktivitas seperti uasha fisik yang ditimbulkan oleh ansietas (Thomson, 2007).

Jadi interferensi tonjol, kebiasaan parafungsi, dan gangguan emosional saling

berhubungan dalam respons patologis yang melibatkan otot-otot sistem mastikasi.

Peran yang dimainkan oleh gangguan emosional pertama klai ditekankan pada dua

penelitian asli yang dilakukan oleh Moulton (1955a, b) mengenai manifestasi oral dan

dental dari ansietas. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Molin (1973b)

melaporkan dua kelompok pasien dengna MDS dan satu kelompok kontrol yang

diperiksa untuk menentukan personal trait dan toleransi terhadap nyeri yang sengaja

dibuat. Ia menyimpulkan bahwa personality trait dan gangguan emosional berperan

penting dalam etiologi (Thomson, 2007).

Nyeri orofacial sebagai manifestasi manifestasi kelainan psikiatrik dilaporkan

oleh Harris dan Davies (1980). Mereka mengatakan bahwa “secara klinis sungguh

salah jika menganggap bahwa nyeri tersebut hanya mengada-ada belaka” dan bahwa

pada banyak kasus, nyeri timbul dari gangguan biokimia di dalam pembuluh darah,

otot, dan saraf, tanpa memiliki hubungan dengan aktivitas otot yang tidak relevan.

Juga, banyak pasien yang mengerotkan gigi-gigi dan sama sekali tidak mengalami

nyeri sendi maupun kelainan psikiatrik. Merupakan tuugas dokter gigi untuk bekerja

sama dengan psikiatris guna mencari metode untuk memeriksa sindrom ini tanpa

perlu merujuk pasien untuk memperoleh perawatan psikiatrik (Thomson, 2007).

Di luar perbedaan pendapat dalam hal penyebab nyeri wajah, kelihatannya ada

ketertkaitan antara stres emosional dengan aktivitas otot yang tidak relevan,

sementara gangguan oklusal berfungsi sebagai stimulus perifer untuk memulai atau

mengendalikan sindrom itu (Thomson, 2007).

Page 11: disfungsi mandibula 2-11

d. Nyeri tekan

Nyeri pada palpasi paling umum terjadi di atas atau di depan kondilus dan

keadaan ini menunjukkan adanya keterlibatan daerah insersio otot pterigoideus

lateralis atau masseter. Kondilus itu sendiri bisa mengalami nyeri tekan, yang

menunjukkan kemungkinana adanya sinovitis. Nyeri tekan juga bisa terasa di dalam

mulut, di belakang, dan di lateral daerah tuberositas maksila tempat otot pterigoideus

lateralis dan medialis berorigo (Thomson, 2007).

e. Hubungan dengan penyakit ringan kronis

Seperti sudah pernah disebutkan terdahulu, Berry (1969) menemukan adanya

penyakit-penyakit ringan tertentu pada 100 kasus nyeri disfungsi mandibula. Penyakit

ini meliputi migren, nyeri punggung, leher, dan bahu, penyakit pruritus kulit, hay

fever, dan asma. Enam puluh empat persen dari sampel mengidap dua atau lebih

penyakit ini, Berry menduga bahwa asal kondisi ini adalah persepsi dari stres yang

dimediasi oleh fungsi hipotalamus (Thomson, 2007).

2.2 Pemeriksaan Sindrom Disfungsi mandibula

2.2.1 Anamnesa

Pertanyaan yang diajukan dengan hati-hati akan dapat menjalin hubungan yang

baik dengan pasien, yang selanjutnya akan menaruh rasa percaya terhadap dokter gigi

sehingga ia tidak hanya menceritakan kndisi yang dialaminya dengna akurat tetapi

juga merasakan bahwa kondisinya telah di rawat(Thomson, 2007).

a. Rasa sakit / nyeri

Bila pasien merasakan adanya rasa nyeri, maka yang paling penting untuk

diketahui adalah lokasi, sifat, dan lamanya terjadi rasa nyeri / sakit tersebut.waktu

timbunya rasa sakit juga dicatat, misalnya pagi hari atau setelah makan. Banyak

pasien yang dapat secara tepat menggambarkan sifat dari rasa sakit dan lokasi

anatomis maupun penyebarannya. Jika sakit kepala merupakan keluhan pasien, maka

penting untuk diketahui lokasi, sifat, frekuensi dan lama timbulnya sakit kepala

Page 12: disfungsi mandibula 2-11

tersebut. Kegagalan / keberhasilan analgesik, baik yang diresepkan maupun yang

dibeli bebas sangat berarti dalam hal ini, karena merupakan indikator derajat

ketidakenakan yang timbul atau derajat ambang reaksi nyeri dari penderita.

Hilangnya rasa sakit / nyeri dengan pemijatan atau terapi panas / dingin juga

merupakan informasi yang penting (Pedersen, 1996)

b. Bunyi sendi

Jika pasien mengeluh adanya bunyi sendi atau kliking (suara berkeretek), maka

saat timbulnya dan perubahan pada suara sendi tersebut merupakan informasi yang

perlu diketahui. Banyak pasien menggambarkan volume bunyi sendi yang dialaminya

sebagai sesuatu yang memalukan pada saat makan. Jika kliking yang timbul diketahui

sebabnya, misalnya trauma yaitu benturan mandibula, perawatan gigi yang terlalu

lama, menguap terlalu lebar, maka hal tersebut juga dicatat. Keluhan kliking yang

kemudian menghilang secara spontan juga merupakan temuan yang penting

(Pedersen, 1996)

c. Perubahan luas pergerakan

Penyembuhan kliking sering kali diikiuti oleh keluhan terbaru, yaitu nyeri akut

dan berkurangnya luas pergerakan yang nyata, khususnya pada jarak antara insisal,

dimana penemuan ini merupakan petunjuk utama terjadinya keadaan closed-lock.

Close-lock yang timbul hilang dikatakan oleh penderita sebagai tertahannya atau

terkuncinya mandibula. Gambaran subyektif yang sering ditemukan pada

berkurangnya luas pergerakan ini adalah kekakuan rahang bawah. Keluhan yang

timbul biasanya adalah ketidak mampuan menggigit dalam berbagai derajat

pembukaan mulut. Karena spasme otot juga menyebabkan berkurangnya pembukaan

mulut, maka dibutuhkan satu diagnosis banding yang biasanya tidak bisa ditentukan

hanya melalui riwayat penyakit saja (Pedersen, 1996)

d. Perubahan oklusi

Beberapa penderita mengeluhkan perubahan gigitan, dengan menyatakan”gigi

saya tidak terkatup secara tepat atau tidak seperti biasa”. Keluhan ini dapat

Page 13: disfungsi mandibula 2-11

merupakan tanda terjadinya perubahan degeneratif tingkat lanjut atau spasme otot

akut (Pedersen, 1996)

e. Informasi keadaan kolateral

Setelah riwayat utama diperiksa secara menyeluruh, selanjutnya dapat

dikumpulkan informasi keadaan kolateral. Kondisi-kondisi lain yang mengenai

kepala dan leher, seperti sinusitis akut atau kronis, sakit pada telinga, atau gangguan

pengelihatan dicatat. Kondisi sistemik seperti DJD, arthritis rheumatoid, arthritis

juvenile dapat berkaitan. Riwayat tentang kondisi obesitas, colitis ulseratif, hipertensi,

nyeri pinggang bagian bawah atau migraine juga dicatat (Pedersen, 1996)

f. Perawatan sebelumnya

Informasi mengenai perawatan sebelumnya seringkali juga membantu. Banyak

pasien dengan gangguan fungsi/penyakit TMJ memiliki riwayat panjang kunjungan

ke berbagai dokter, yang seringkali disertai dengan hasil yang tidak memuaskan.

Kronologi perawatan sebelumnya, baik pemberian obat, mekanisme, maupun secara

bedah juga dicatat. Seringkali pasien dengan seketika menceritrakan riwayat

perawatan gigi yang telah diterimanya, tapi melupakan perawatan yang diterimanya

dari chiropractor, osteopat, dan terapis fisik. Keikutsertaan praktisi-praktisi ini sering

hanya terungkap dengan mengajukan pertanyaan khusus (Pedersen, 1996)

g. Stres

Walaupun stres dikatakan memiliki peranan etiologis yang penting dalam

gangguan fungsi atau penyakit TMJ, cukup sulit untuk memperkirakan secara tepat

stress yang dialami penderita atau reaksi penderita dal;am menghadapinya. Seringkali

pasien menyatakan hubungan sebab-akibat antara pekerjaan baru, perceraian,

kematian, penyakit pada keluarganya atau hal-hal yang ditimbulkan oleh anggota

keluarganya dengan mulai timbulnya keadaan tersebut. Beberapa penderita bahkan

kemungkinan akan mengkaitan kualitas tidurnya yang rendah dengan mulai

timbulnya bruxism atau clenching dengan keadaan stress. Banyak menunjukkan

tingkat sterssnya melalui riwayat pemberian obat, yaitu penggunaan obat penenang

Page 14: disfungsi mandibula 2-11

( tranquilizer), sementara yang lainnya secara sengaja ataupun tidak menutupi

kecemasannya. Untuk menentukan dengan tepat keadaan emosional pasien biasanya

dibutuhkan beberapa kunjungan dengan kemungkinan pengiriman/rujukan untuk

evaluasi psikologis, dan terapi control stress selanjutnya (Pedersen, 1996)

Diktum yang paling sering dikutip dari Sir William Osler bisa di terapkan di

sini: “Dengarkan pasien, ia sedang memberikan diagnosa kepada anda”. Pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan harus terbuka (apa yang anda rasa tidak enak?) bukan

tertutup (Apakah sendi anda terasa sakit?). deskripsi yang diberikan oleh pasien

mengenai apa yang terasa tidak enak memberikan tanggung jawab perawatan pada

dokter dan ini cenderung menghilangkan kekhawatiran. Pertanyaan mengenai lokasi,

waktu terjadinya, saat timbulnya, fungsi yang berkaitan dengannya, dan setiap

periode remisi, akan membantu menentkan diagnosis pendahuluan. Selanjutnya pasen

bisa ditenangkan dengan mengatakan bahwa penyebab nyeri (atau keletuk) mungkin

suatau “ketegangan otot” atau “kekakuan otot” atau kelelahan akibat cara penggunaan

rahang. jadi, faktor emosional nyeri ditiadakan dan pemeriksaan bisa dilakukan tanpa

menimbulkan ketakutan pasien (Thomson, 2007)

Berikut adalah contoh daftar pertanyaan untuk mendapatkan informasi

yang diperlukan dari pasien dan merupakan bentuk kuesioner yang dianjurkan

(Thomson, 2007) :

1. Sosial

Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan (dan anak), sumber rujukan.

1. Gejala yang sedang dialami atau sifat keluhan

Lebih baik dapatkan gejala dan daerah nyeri yang, diceritakan oleh pasien sendiri,

demikian juga dengan pertanyaan, pertanyaan terbuka lebih baik dari pertanyaan

tertutup.

Pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu:

(a) Ceritakan mengenai masalah dan rasa tidak nyaman yang Anda alami.

(b) Dapatkah Anda menunjukkan daerah asalnya?

(c) Bagaimana nyeri tersebut menurut Anda? (jika pasien menyebut ada nyeri.

Perhatikan kata sifat yang digunakan misalnya "samar", "neuralgia" atau "terbakar".

Page 15: disfungsi mandibula 2-11

(d) Nyeri terasa di mana saja?

(e) Apakah ada keluhan sewaktu mengunyah? Menggigit makanan yang keras?

Tertawa? Menguap?

Seberapa lebar Anda bisa membuka mulut? Lakukan pengukuran misalnya

dengan jangka Willis.

(g) Apakah Anda merasakan sesuatu pada rahang sewaktu bangun di pagi hari? Jika ya,

jelaskan (Informasi yang diperlukan mengenai kekakuan).

(h) Apakah Anda mendengar bunyi pada rahang? Jika ya, jelaskan.

3. Riwayat nyeri atau gangguan dan sifat timbuInya

(a) Seberapa lama Anda mengalami hal ini?

(b) Ceritakan bagaimana asal mulanya.

(c) Apakah ini terjadi mendadak atau perlahan-lahan?

Informasi yang diperlukan adalah aktivitas yang tidak biasa dari rahang seperti

membuka mulut untuk waktu yang lama, atau mendadak membuka mulut ke satu sisi,

tanpa menanyakan hal tersebut terang-terangan kepada pasien.

4. Perkembangan nyeri dan/atau bunyi sendi

(a) Apakah mereda atau timbul kembali tanpa penyebab yang jelas?

(b) Apakah itu membuat Anda tidak bisa tidur?

(c) Apakah Anda minum obat? Obat apa itu? Apakah efektif?

(d) Apakah suhu mempengaruhinya? Udara dingin? Udara lembap?

(a) Apakah Anda sudah pemah mendapat perawatan untuk keadaan tersebut?

Perawatan macam apakah itu? Apakah berhasil? Apakah keadaan tersebut membaik

atau memburuk?

5. Emosi sebagai suatu faktor

Nilailah dengan pertanyaan-pertanyaan yang taktis dan terus-terang:

(a) Apakah Anda mudah tersinggung akhir-akhir ini? Diburu waktu? Terlalu banyak

yang perlu Anda lakukan?

(b) Apakah Anda menyadari bahwa nyeri timbul sewaktu perasaan Anda sedang

terganggu?

Page 16: disfungsi mandibula 2-11

(c) Apakah Anda mengerotkan atau menekan kuat-kuat gigi-gigi Anda ketika Anda

sedang dikejar waktu atau berkonsentrasi atau ketika Anda sedang sibuk?

(d) Apakah nyeri membuat Anda mengerotkan gigi?

(e) Apakah nyeri hilang sewaktu Anda bebas dari kecemasan? Sewaktu Anda berlibur?

6. Suhu

Apakah suhu memengaruhi nyeri yang Anda alami? Dingin,

Lembap, Panas?

7. Riwayat medis masa lalu

Pertanyaan diarahkan pada pemeriksaan penyebab sistemis:

(a) Apakah Anda mengalami nyeri atau kekakuan pada sendi yang lain?

(b) Apakah Anda mendapat perawatan untuk kondisi sendi yang lain?

(c) Sakit kepala? Pilek? Gangguan sinus?

(d) Apakah Anda sedang menjalani perawatan untuk suatu keadaan yang

Anda alami sekarang atau pernah Anda alami dahulu?

8. Riwayat gigi dan fungsinya dewasa ini

Pertanyaan diarahkan pada mencari cedera yang baru terjadi pada sendi,

penyebab perubahan hubungan gigi, atau keausan gigi:

(a) Tanggal pencabutan gigi terakhir? Apakah ada cedera pada rahang pada saat

itu atau sesudahnya?

(b) Cedera: jatuh, benturan, menguap terlalu lebar, atau tertawa?

(c) Riwayat gigi palsu, jika ada.

(d) Ortodonsi.

(e) Kebiasaan mengerot dan menggerenyot gigi? Apakah Anda sering

menggerenyot gigi-gigi Anda?

Anda suka mengunyah pada satu sisi? Memakan makanan yang keras? Ada

timbunan sisa makanan? (Thomson, 2007)

2.2.2 Pemeriksaan Klinis

Page 17: disfungsi mandibula 2-11

Pemeriksaan klinis untuk pasien dengan kemungkinan gangguan

fungsi/penyakit TMJ sebagian besar didasarkan atas pengamatan/pemantauan, palpasi

dan auskultasi (Pedersen, 1996)

a. Palapasi

Palpasi dilakukan perkuatan maupun peroral dan melibatkan jaringan lunak dan

keras. Pada bagian fasial, mandibula dapat dipalpasi pada tepi posterior dan tepi

bawah, dari symphisis hingga prosesus condylaris. Kutub lateral dari prosesus

condylaris paling baik dideteksi melalui subzygomatic/preauricular. Palpasi bilateral

pada saat pergeseran mandibula merupakan data yang paling utama, khususnya bila

terdapat keterbatasan unilaten yang nyata. Aspek lateral posterior dari sendi bisa

dipalapasi pada ujung endaural. Palapasi endaural pada kedua sisi secara bergantian

pada saat pergeseran mandibula seringkali memberikan gambaran yang jelas karena

bentuk palpasi langsung ini tidak menimbulkan tekanan pada otot yang terlibat, maka

nyeri saat disentuh kemungkinan berasal dari intra-artikula misalnya artritides,

trauma, atau kapsulitis (Pedersen, 1996)

Palpasi otot. Kombinasi palpasi bidigital/ bimanual perkuatan atau peroral pada

musculus suprahyideus dan sublingualis bisa dilakukan langsung. Palpasi otot yang

berhubungan dengan sendi juga bisa dilakukan langsung. Palpasi otot yang

berhubungan dengan sendi juga bisa dilakukan dengan mudah, kecuali untuk m.

Pterygoideus lateralis yang sulit dijangkau. M.maseter dan temporalis berada berada

di superfisial dan bisa langsung dipalpasi diwajah. Perlekatan musculus temporali

pada prosesus coronoideus dan tepi anterior musculus masseter juga bisa dievalusi

peroral. Musculus pterygoideus interna dapat diraba melalui rongga mulut dan wajah,

pada aspek inferomadial ramus yang merupakan tempat perlektan otot tersebut

(Pedersen, 1996)

Palpasi servikal. Palpasi musculus sternocleido mastoideus, musculus trapezius,

dan otot-otot lain pada servikal posterior diindikasikan jika diduga terjadi sindrom

MDP atau jika pasien menunjukan penyebaran rasa nyeri pada daerah tersebut. Sekali

lagi, disini digunakan teknik bimanual bilateral. Pada palpasi akan teraba adanya

muscle splinting (otot mengencang) dan kejang otot jika kondisi tersbut telah

menimbulkan rasa sakit dan nyeri pada tekanan otot. Penekanan otot terhadap tulang

Page 18: disfungsi mandibula 2-11

dibawahnya digunakan untuk mendeteksi triger point miofasial, triger point ini

dikenali dengan adanya rasa nyeri lokal dan nyeri yanmg menyebar (Pedersen, 1996)

b. Auskultasi

Auskulatasi stetoskop pada sendi memungkinkan penentuan sifat dan waktu

timbulnya bunyi abnormal secara lebih tepat. Penentuan kliking dan besar pembukaan

insisal dipermudah dengan auskultasi kliking yang terjadi pada awal fase membuka

mulut menunjukan dislokasi ductus anteior ringan, sementara kliking yang terjadi

atau timbul lebih lambat berkaitan dengan kelainan dengan kelainan meniscus. Pada

kasus kasus resipokal, terjadinya bunyi “klik” pada saat membuka dan mendekatkan

jarak antara antara kliking seringkali menunjukan suatu pergeseran diskus yang sudah

kronis dan sudah berlangsung lama, yang dapat berkurang dengan sendirinya.

Krepitus sendi yang ditunjukan melalui bunyi kemertak atau mencericit yang lebih

sering timbul pada saat translasi dibandingkan dengan rotasi kemungkinan

merupakan tanda-tanda DJD. Perforasi perlekatan posterior discus juga berkaitan

dengan krepitus sendi. Pergerkan TMJ yang normal akan menimbulkan suara

perlahan, sebagai mana pada sendi yang terkena penyakit ekstratikular. Secara umum,

sendi yang sehat tidak akan menimbulkan suara fungsional (biasanya tidak ada suara

kemertak atau “kliking” ), yang menarik adalah terdapatnya sekelompok penderita

asimtomatik, tetapi menunjukan “kliking’’ pada sendi, yang harus dipertimbangkan

dalam diagnosis banding dari disfungsi TMJ (Pedersen, 1996)

c. Inspeksi/ Pengamatan

Pada saat memeriksa pasien, salah satu atau beberapa tanda berikut ini mungkin

ditemukan oleh dokter gigi atau disebutkan pasien, pergeseran mandibula dari posisi

istirahat ke IP habitual, lebih suka mengunyah dengan satu sisi, kebiasaan clenching

atau mengerot (grinding) dan bekas-bekas gigi pada mukosa pipi, jejas keausan pada

gigi kurangnya dukungan gigi posterior, deviasi mandibula sewaktu pasien membuka

mulut leber-leber ke sisi yang terserang dan kesulitan menutup bibir bersama-sama

pada posisi istirahat (Thomson, 2007).

Page 19: disfungsi mandibula 2-11

Tanda-tanda ini sering kali ditemukan pada gigi-geligi dari sejumlah besar

pasien yang diperiksa dan tidak bisa dianggap sebagai penyebab. Meskipun demikian,

bila tanda-tanda ini diperbaiki kondisi tersebut sering kali mereda (Thompson, 2007).

Pemeriksaan khusus hendaknya dilakukan dengna menaati apa yang digariskan

pada lampiran, yang memungkinkan ditegakkannya diagnosis dari salah satu keadaan

berikut ini:

1. Inkompetensi bibir dan posisi istirahat tidak pasti akibat konflik antara

seal bibir dengan posisi gigi yang mengakibatkan kelelahan otot karena

berinsersi pada sendi.

2. Posisi interkuspa yang berubah.

3. Parafungsi kambuhan (rekuren).

4. Mastikasi unilateral.

5. Interferensi tonjol pada sisi kerja dan nonkerja selama mastikasi dan

selama pengerotan parafungsi.

6. Lokasi nyeri.

(Thomson, 2007).

• Oklusi

Pemeriksaan gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan khususnya faktor

oklusi, merupakan awal yang tepat. Gangguan oklusi secara umum bisa langsung

diperiksa, yaitu misalnya gigitan silang (crossbite), gigitan dalam (deep overbite),

gigi supraerupsi dan daerah tak bergigi yang tidak direstorasi. Abrasi ekstrem dan aus

karena pemakaian seringkali merupakan tanda khas penderita bruxism atau clenching,

yang bisa langsung dikenali. Protesa yang digunakan diperiksa stabilitas, fungsi dan

abrasi / aus pada oklusal. Perhatikan kemungkinan perbedaan oklusi/ relasi sentrik

dan pergeseran (Pedersen, 1996).

• Pembukaan antar insisal

Luas pergerakan mandibula juga dievaluasi pada tahap selanjutnya. Pembukaan

antar insisal bervariasi lebarnya, tetapi biasanya pada orang yang dewasa sekitar 40

hingga 50 mm. pembukaan antar insisal diukur dengan penggaris millimeter atau

Page 20: disfungsi mandibula 2-11

jangka, dengan memperhatikan overbite vertkalnya. Pada keadaan closed lock luas

pergerakan berkurang, dan pembukaan sering terbatas hanya sekitar 25-30 mm.

spasme otot juga menyebabkan keterbatasan pembukaan antar insisal yang nyata,

yang berkisar dari fiksasi total yakni penutupan mandibula dengan paksaan hingga

pengurangan 10-30 persen. Spasme otot juga menyebabkan rasa sakit pada akhir

pergerakan mandibula , yang terutama dirasakan pada insersio temporalis atau daerah

persilangan ptrygomasseter. Faktor pembatas pergerakan mandibula pada kasus

miospasme adalah gerak menahan akibat adanya sakit/tidak enak yang ditimbulkan.

Unutuk itu, lebih baik membuat dua pengukuran antar insisal, satu secara paksa dan

satu tidak. Berkurangnya luas pergerakan mandibula juga terlihat pada kasus

hipertrofi prosesus coronoideus bilateral yang jarang terjadi (Pedersen, 1996).

• Pergerakan lain

Pergeseran lateral juga diukur, biasanya pada titik atau garis tengah, dan

dibandingkan kesimetrisannya (angka yang didapat biasanya 8 hingga 10 mm).

gangguan internal, misalnya dislokasi discus, akan membatasi pergeseran ke sisi yang

berlawanan. Dengan adanya fraktur unilateral pada subcondylaris pergeseran ke sisi

yang berlawanan. Dengan adanya fraktur unilateral pada subcondylaris pergeseran ke

sisi yang berlawanan tidak terjadi atau berkurang. Bila muskulus pterygoideus

lateralis inferior mengalami spasme, usaha menggeser ke samping, ke sisi berlawanan

akan menimbulkan rasa sakit. Pergerakan protrusive diukur saat terjadi celah antara

tepi insisal gigi – gigi anterior. Pergerakan protrusive (yang normalnya 6-10 mm0

mungkin tidak terlalu terbatasi pada kasus spasme otot elevator, bahkan walaupun

jarak antar insisal cukup banyak berkurang (Pedersen, 1996).

• Deviasi

Deviasi mandibula baik pada saat membuka mulut atau protrusi akan terlihat

jelas dan seringkali berhubungan dengan gangguan fungsi pasca trauma atau

gangguan kronis atau akut. Osteoarthritis akan menyebabkan deviasi kearah sisi yang

terkena pada saat membuka mulut. Jika terdapat dislokasi discus ke anterior, maka

gerakan membuka mulut atau digerakan protrusive kadang dapat menyebabkan

Page 21: disfungsi mandibula 2-11

deviasi kesisi yang mengalami disfungsi. Bila ada spasme unilateral pada musculus

masseter atau temporalis, maka deviasi akan mengarah ke sisi yang terkena

(Pedersen, 1996).

d. Model studi yang terpasang di artikulator

Cetakan kedua rahang juga dibuat pada kunjungan pertama, bersama dengan

transfer busur-wajah dari sumbu kondilus arbiter. Rekaman prakontak interoklusal

juga harus dibuat jika diperkirakan ada interferensi tonjol, bila tidak ada, model

bawah dapat dipasang disesuaikan dengan atasnya. Jadi, pemeriksaan pendahuluan

relasi oklusal sekarang bisa dilakukan dan bisa diambil keputusan mengenai apakah

akan melakukan penapakan patografik dari gerak border mandibula. Penapakan ini

bermanfaat dalam menentukan reprodusibilitas gerakan dengan membandingkannya

dengna hasil penapakan yang dibuat sesudah perawatan. Otot-otot yang cedera tidak

dapat menghasilkan penapakan border atau yang dapat direproduksi. Model yang

terpasang pada artikulator juga dapat digunakan untuk membuat overlai (Thomson,

2007).

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiografi

Sudah banyak radiograf sendi temporomandibula yang dibuat untuk mengetahui

sindrom ini dan cukup banyak radiasi yang terabsorbsi dengan hanya sedikit bukti

diagnostik. Penulisan pribadi dihantui rasa bersalah bila mengirim pasien untuk

dibuat radiograf, sama seperti peklinik lain dalam katiannya dengan akibat radiasi

(Thomson, 2007).

Kebanyakan sendi dengan kondisi degeneratif atau terinfeksi dan memiliki

tanda-tanda radiograf sudah didiagnosis dan dirawat sebelum mencapai bagian klinik

gigi. lebih lanjut, satu-satunya proyeksi radiografi yang bisa diandalkan untuk melihat

kondilus adalah tomograf karena tidak ada ruang pada kapsul sendi yang berfungsi

sebagai pembanding dengan proyeksi biasa (Thomson, 2007).

Page 22: disfungsi mandibula 2-11

Tomography

Tomography sendi temporomandibular dihasilkan melalui pergerakan yang

sinkron antara tabung X-ray dengan kaset film melalui titik fulkrum imaginer pada

pertengahan gambaran yang diinginkan termasuk juga Linear tomography dan

complex tomography. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tomografi merupakan

metode yang baik untuk menggambarkan perubahan tulang dengan arthrosis pada

sendi temporomandibular. Untuk mengevaluasi posisi kondil pada fossa glenoid,

tomografi lebih terpercaya daripada proyeksi biasa dan panoramik. Secara klinis,

posisi kondil tetap merupakan aspek yang penting dalam melakukan bedah orthognati

and orthodontic studies. Kerugian yang paling besar dalam tomografi adalah

kurangnya visualisasi jaringan lunak sendi temporomandibular, juga pada

radiography biasa (Henny, 1998)

Arthrography

Terdapat dua tehnik arthgraphy pada sendi temporomandibular. Pada single-

contrast arthography, media radioopak diinjeksikan ke rongga sendi atas atau bawah

atau keduanya. Pada double-contrast arthography, sedikit udara diinjeksikan ke dalam

rongga sendi setelah injeksi materi kontras.Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan antara kedua tehnik. Jika sejumlah kecil bahan kontras medium air

disuntikkan pada ruang superior dan inferior sendi, diskus artikularis dan

perlekatannya akan terlihatbatasnya dan posisinya bisa dilacak sepanjang pergerakan

mendibula (Henny, 1998)

Bagaimanapun, hanya ruang interior yang dibutuhkan untuk menetapkan posisi

normal dan abnormal dari diskus tehadap hubungannya dengan kondil selama

translasi. Bentuk ruang sendi (synovial cavities) akan bervariasi tergantung perubahan

mulut apakah membuka atau menutup dan kondil akan bertranslasi kedepan pada

eminensia. Arthrogram ini merupakan satu-satunya metode yang tersedia untuk

melihat hubungan yang sebenarnya antara diskus dan kondil yang dapat

divisualisasikan, dan ia sangat penting untuk pnegakkan diagnosis pada kelainan

internal yang terjadi (Henny, 1998)

Page 23: disfungsi mandibula 2-11

Keakuratan diagnosa posisi diskus 84% sampai 100% dibandingkan dengan the

corresponding cryosectional morphology dan dari penemuan bedah. Performasi dan

adhesi juga dapat ditunjukkan dengan teknik ini. Penelitian-penelitian telah

menunjukkan pentingnya diagnosis dan identifikasi kerusakan sendi

temporomandibular internal. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan dengan

menggunakan tehnik arthography, menunjukkan bahwa arthography dapat

meningkatkan keakuratan diagnosa perforasi dan adhesi diskusi Sendi

Temporomandibular dengan MRI (Henny, 1998)

Computed tomography

Pada tahun 1980, computed tomography (CT) mulai diaplikasikan ankilosis

sendi temporomandibular, fraktur kondil, dislokasi dan perubahan osseous. Pada

laporan terdahulu, keakuratan dalam penentuan lokasi diskus tinggi (81%) jika

dibandingkan dengan CT dan penemuan bedah. Beberapa laporan

mempertimbangkan bahwa CT dapat menggantikan proyeksi arthrograpy dalam

diagnosis dislokasi diskus pada kelainan sendi temporomandibular. Bagaimanapun,

keakuratan dari penentuan dislokasi diskus hanya sekitar 40%-67% pada CT dalam

studi material spesimen autopsi. Keakuratan dalam perubahan osseus dari sendi

temporomandibular dalam CT dibandingkan dengan material cadaver sekitar 66%-

87%. Beberapa laporan menunjukkan bahwa bukti arthrosis dalam radiograf dapat

atau tidak dapat dihubungkan dengan gejala klinis nyeri disfungsi. Jadi pasien tanpa

perubahan osseus changes di sendi temporomandibular, bisa saja merasa nyeri, dan

asien tanpa gejala abnormalitas tulang bisa bebas nyeri. CT bukanlah metode yang

baik untuk mendiagnosa kelainan sendi temporomandibular (Henny, 1998)

Magnetic Resonance Imaging

Beberapa penelitian telah membandingkan MRi sendi temporomandibular

dengan arthography dan CT. Hasil MRI juga dibandingkan dengan observasi anatomi

dan histologi. Pada penelitian terhadap spesimen autopsi, keakuratan MRI

Page 24: disfungsi mandibula 2-11

mengevaluasi perubahan osseus adalah 60% sampai 100% dan keakuratan

mengevaluasi dislokasi diskus adalah 73% sampai 95. Semua penelitian diatas

menunjukkan bahwa MRI adalah metode terbaik untuk pencitraan jaringan keras dan

jaringan lunak sendi temporomandibular. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

dislokasi diskus yang ditunjukkan MRI ternyata memeliki hubungan dengan cliking,

nyeri, dan gejala disfungsi Sendi Temporomandibular lain. Setiap kali nyeri kliis dan

gejala disfungsi sendi temporomandibular ditemukan tanpa adanya dislokasi diskus

pada MRI maja diduga diagnosis pencintraan tersebut false positive atau false

negative. Walaupun beberapa penelitian menyetujui bahwa nyeri otot adalah salah

satu aspek utama kelainan TMJ, bukti perubahan patologis otot pengunyahan tidak

diperhitungkan dalam diagnosis pencitraan. Beberapa laporan menunjukkan MRI

tidak hanya merupakan metode yang akurat untuk mendeteksi posisi diskus tetapi

juga merupakan teknik potensial untuk mengevaluasi perubahan patologis

pengunyahan pada kelainan Sendi Temporomandibular. Akan tetapi, tidak ada

laporan yang menghubungkan abnormalitas otot penguyahan pada MRI dengan gejala

klinis (Henny, 1998)

2.3 Penegakan Diagnosa

Diagnosis penyakit / gangguan fungsi TMJ tergantung pada pemeriksaan klinis

dan riwayat yang menyeluruh serta ketepatan interpretasi hasil rontgen (Pedersen,

1996)

Keluhan utama yang paling sering dirasakan pada penyakit / gangguan fungsi

sendi temporomandibula adalah rasa nyeri dan rasa tidak enak yang disertai dengan

kliking (clicking) atau keluhan sendi lainnya (Pedersen, 1996)

Diagnosis dari MDS dapat ditegakkan berdasarkan gejala yang disebutkan

pasien dan fungsi yang berubah atau berlebihan. Keadaan ini bisa mengakibatkan

kelelahan atau cedera derajat rendah. Nyeri di atas daerah kondilus atau ramus

menunjukkan daerah-daerah spasme pada otot. Kondisi infeksi dan degeneratif dapat

disingkirkan dengna diagnosis banding, dengan uji laboratorium jika dibutuhkan. Di

samping itu, beberapa bentuk ketegangan emosional biasanya juga dijumpai.

Berdasarkan pada diagnosis ini rencana perawatan bisa terdiri atas :

Page 25: disfungsi mandibula 2-11

1. Menjelaskan keadaan tersebut dan menenangkan pasien untuk

menghilangkan kecemasannya.

2. Memberi nasihat mengenai rehabilitasi untuk mendapatkan basis

fisioterapik bagi perawatan lebih lanjut.

3. Pesawat untuk mencegah kebiasaan parafungsi.

4. Penyesuaian oklusal.

5. Pesawat untuk merestorasi gigi-gigi dan/atau OVR yang terganggu.

(Thomson, 2007).

2.3.1 Cara Diagnostik Khusus

Injeksi diagnostik. Rasa sakit yang diduga berasal dari otot-otot yang berhubungan

dengan TMJ dapat dibuktikan melalui penyuntikan bahan anastesi lokal pada otot yang

terkena. Biasanya dipilih bahan anastesi lokal tanpa vasokontriktor, terutama procaine

karena lebih tidak miotoksik daripada lidocaine. Penyuntikan musculus masseter dapat

dilakukan peroral maupun perkutan. Penyuntikan dilakukan kurang lebih pada

pertengahan tepi anterior beberapa kali untuk dapat menganastesi bagian dalam maupun

permukaan. Musculus temporalis dianastesi beberapa kali dengan menyuntikan jarum

tepat di superior arcus zygomaticus. Pterygoideus lateralis, khususnya bagian anterior,

dapat dianastesi baik secara perkutan maupun peroral. Dengan mandibula dalam keadaan

terbuka penuh, jarum diarahkan posterosuperolateral dari titik insersi pada batas superior

pillar fucial anterior. Bila perkutan penyuntikan dilakukan di anterior arcus zygomaticus,

dan jarum jam diarahkan ke inferior. Musculus pterygoideus internus disuntik dari arah

oral dengan memasukkan jarum ke tepi anterior musculus yang ditandai oleh batas tengah

pillar faucial anterior (Pedersen, 1996).

Artroskopi TMJ. Dengan dikembangkannya alat artroskopi mini, pemeriksaan TMJ

secara artroskopik dapat dilakukan. Digunakan artroskopik berdiameter luar 2,4 dan 2,7

mm dan diameter optikal 1,7 dan 2,3 mm. Lensa pembesar bervariasi dari pembesaran 1

x hingga 5 x tergantung pada jarak antara obyek dan tujuan artroskop. Prosedur ini

dilakukan dengan bantuan anestesi lokal (dengan cara infiltrasi dan blok nervus

auriculotemporalis serta sedasi) atau dengan anestesi umum (Pedersen, 1996).

Page 26: disfungsi mandibula 2-11

Evaluasi rongga sendi superior. Rongga sendi superior lebih besar dan lebih

mudah untuk diperiksa dengan artroskop daripada rongga inferior. Pertama-tama, rongga

sendi diperlebar dengan bantuan larutan anestesi ataupun larutan sline (1-1,5 ml). Pada

ruang yang akan diperiksa, dimasukkan sebuah kanalu atau stylet tajam melalui insisi

kecil yang dibuat di kulit, dan sementara itu mandibula dipertahankan dalam posisi

terbuka, dengan jarak antar insisal 30 mm. Setelah jalan masuk didapatkan, digunakan

stylet tumpul. Artroskop ditempatkan dalam kanula dan dimasukkan pada rongga sendi.

Mandibula digerakkan dan pemeriksaan dilakukan dengan cara memajukan, menarik, dan

mengubah-ubah angulasi artroskop. Pergerakan ini dilakukan sementara berada dalam

rongga sendi. Dengan irigasi saline isotonik bertekanan melalui kanula, akan diperoleh

pemandangan yang jelas. Hasil pemeriksaan direkam dengan cinecamera atau kamera

video (Pedersen, 1996).

Artroskopi anatomi. Artroskopi untuk gambaran anatomi meliputi membran

sinovial inferior dan superior beserta lipatannya, tonjolan discus, dan permukaan

articular. Evaluasi secara dinamis dapat dilakukan dengan pengamatan selama pergerakan

mandibula. Penelitian artroskopi dari permukaan articular discus untuk menentukan

pergeseran, deformitas, atau perforasi memiliki nilai diagnotik klinis yang paling besar.

Pembedahan artroskopik, yaitu penghilangan perlekatan dan pengukuran untuk

membatasi gerak yang berlebihan, telah dicoba. Irigasi yang dilakukan selama proses

artroskopi bermanfaat untuk menghilangkan kotoran-kotoran sendi rongga sinovial

(Pedersen, 1996).

Analisis akustik. Tersedia alat untuk mengetahui terjadinya bising sendi pada saat

membuka atau munutup dan mengukur intensitas dan karakternya. Masing-masing

kelainan khusus dari TMJ ditandai dengan hubungan yang unik antara suara yang

dihasilkan dengan pergerakan sendinya. Secara umum, sendi yang normal atau yang

terlibat penyakit ekstrakapsuler tidak menunjukkan adanya suara. Jika terjadi kelainan

internal dengan tanda-tanda pergeseran discus dengan perbaikan, akan bisa langsung

terdeteksi dengan adanya kliking yang bersahutan. Yang menarik, “kliking” teramati

pada jarak antar insisal membuka dan menutup yang sama. Jika diidentifikasikan adanya

Page 27: disfungsi mandibula 2-11

pergeseran discus tanpa perbaikan, maka pola umum dari bunyi sendi akan hilang, dan

akan didapatkan pola acak pada siklus penutupan atau pembukaan. DJD ditandai dengan

suara yang berlangsung lama, yang terus bertahan selama siklus membuka. Jika

amplitudo bisa diukur, amplitudo cenderung meningkat dengan makin parahnya penyakit

sendi. Analis akustik menawarkan teknik nonivasif alternatif untuk mengetahui kelainan

internal dan penyakit degeneratif tertentu dari TMJ (artrofonometri atau sonografi digital)

(Pedersen, 1996).

2.3.2 Diagnosis banding

Karena kondisi ini tidak bersifat infeksi ataupun degeneratif, perlu ditentukan

diagnosis bandingnya dari kondisi-kondisi berikut ini : artritis reumatoid,

osteoartritis, neuralgia trigeminal, artritis infektif spesifik, sakit kepala dari penyebab

sistemik, infeksi sinus dan telinga, nyeri dengan penyebab gigi, neuralgia migren

fasial, lesi pada sistem saraf pusat, dan nyeri wajah atipikal (Thompson, 2007).

Dari segi diagnosis banding, kondisi nyeri wajah atipikal dan migren ini patut

diperhatikan dan dimengerti oleh dokter gigi yang menangani nyeri wajah dan sendi,

untuk menentukan kapan dan ke mana pasien akan dirujuk. Moore dan Nally (1975)

menyumbangkan suatu analisis terhadap 100 pasien dengan nyeri wajah atipikal dan

mengatakan bahwa pada setiap kasus nyeri umumnya menyebar (difusi) dan tidak

terlokalisir pada daerah tertentu. Kebanyakan pasien “tidak memiliki ingatan yang

baik” dan sering kali mengubah deskripsi mengenai gejala dan daerah nyerinya. Dua

pasien mengalami neuralgia trigeminal paroksimal dengan daerah pemicu pada

wajah, tetapi hanya dua. Hipnotis dan analgesik tidak meredakan nyerinya tetapi

klordiazepoksid dan amitriptilin “sangat efektif pada sebagian besar kasus”

(Thomson, 2007).

Suatu penelitian komperhensif dari migren klasik dan umum telah dilakukan

oleh Ruff, Moss, dan Lombardo (1986). Mereka menggambarkan versi migren klasik

sebagai suatu nyeri kepala vaskular mumi, dan tidak dapat memberikan jawaban atas

penyebab dan proses patologis umum, kecuali menduga bahwa “pola perilaku oral,

nyeri wajah, dan disfungsi sendi temporomandibula mempunnyai kaitan dengan nyeri

Page 28: disfungsi mandibula 2-11

kepala”. Ide dasarnya adalah bahwa migren umum lebih merupakan suatu kelainan

otot ketimbang suatu kelainan vaskular (Thomson, 2007).

Etala-Ylitalo, Syrjӓnen dan Halonen (1987) telah berusaha memecahkan

pertanyaan mengenai apakah frekuensi kelainan sendi temporomandibula yang tinggi

pada pasien yang mengalami artritis reumatoid dipermudah oleh maloklusi. Sebuah

penelititan longitudinal dewasa ini sedang dilakukan namun tidak bisa menjawab

pertanyaan “mengapa beberapa individu dengan tanda dan gejala disfungsi mandibula

menjadi cacat sedangkan lainnya tidak”. Untuk ini tersedia daftar acuan yang cukup

panjang (Thomson, 2007).

Akhirnya akan dibicarakan satu acuan lagi yang menyinggung kembali masalah

psikologi. Ini terkait dengan laporan Hughes dkk. (1989) dari hasil penelitian

terhadap 138 pasien yang berkunjung secara tetap ke klinik psikiatri di rumah sakit

gigi. Ditekankan pentingnya pemakaian wawancara psikiatrik yang baku dan

berbentuk klasifikasi multiaksial yang disebut DSM-111. Klasifikasi ini memberikan

kode khusus untuk sindrom nyeri tertentu dan didesain untuk mengkatagorikan

keluhan nyeri berdasarkan daerah, sifat, keparahan, sistem, dan dugaan etiologinya.

Semua pasien diperiksa dan dirawat oleh psikiater dan ahli bedah mulut. Tingkat

kelainan psikiatrik pada pasien-pasien ini di atas 90%. Tingginya tingkat kelainan

psikiatrik yang bisa diobati ini menunjukkan perlunya kerja sama yang baik antara

dokter gigi di klinik-klinik nyeri dengan psikiater (Thomson, 2007).

Barangkali telaah ini terlalu panjang, namun toh masih banyak pertanyaan yang

belum terjawab dan penelitian yang belum terungkapkan. Kami mohonkan maaf bagi

para peneliti yang tak sempat diungkapkan hasil penelititannya. Mungkin sindrom ini

terlalu dibesar-besarkan separti ditunjukkan dalam surat yang dikirim dari California

(Pogrol, 1987) berjudul The Wonders of the Temporomandibular Joint. Di satu pihak

keadaan ini tidak bisa dilebih-lebihkan, namun di lain pihak, pasien-pasien ini tidak

boleh diabaikan (Thomson, 2007).

Page 29: disfungsi mandibula 2-11

2.4 Penatalaksanaan

Perawatan dimulai dengan konsultasi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan,

analisis oklusal, dan konseling pendahuluan untuk mengontrol gerak rahang yang

membahayakan. Perawatan lebih lanjut bergantung pada kebutuhan selanjutnya, yang

bisa terdiri atas pemakaian pesawat untuk mengontrol parafungsi, mengganti gigi-gigi

yang hilang, mengganti permukaan oklusal yang rusak, dan pada setiap kunjungan,

konseling mengenai cara mengoreksi gerakan dan mencegah kebiasaan yang merusak

(Thomson, 2007).

Penatalaksanaa penyakit/gangguan fungsi sendi temporomandibula (TMJ)

secara mekanis meliputi penggunaan splint, penyesuaian oklusal, restorasi prostetik,

dan perawatan ortodontik. Spint oklusal digolongkan sesuai fungsi yang diharapkan,

yaitu penjauhan, perbaikan oklusi dan reposisi mandibula. Splint untuk menjauhkan

dan memperbaiki oklusi ditujukan untuk menormalkan rangsangan sensoris dan

proprioseptif yang timbul dari adanya gangguan fungsi oklusal, sehingga

mengahambat perangsangan afferent yang mencetuskan “kaku otot” dan

memperparah spasme otot. Sebaliknya alat reposisi mandibula, digunakan terutama

untuk merawat keadaan pergesesaran discus ke anterior. Daya reposisi terjadi dengan

menutupnya mulut, dimana pada saat itu splint akan menyebabkan processus

condylaris ke depan. Translasi processus condylaris ini dimaksudkan untuk

mempermudah pengurangan pergeseran discus ke anterior. Tetapi dengan splint

membutuhkan penanganan profesional yang terus menerus untuk penyesuaian dan

pemenuhan kebutuhan penderita dalam hubungan dengan penggunaan yang benar.

Semua alat interoklusal memiliki kecenderungan membangkitkan tanda-tanda

sensoris dan proprioseptif yang terganggu. Hal ini nantinya dapat mengiritasi dan

memperparah kondisi yang sebenarnya akan dirawat (Pedersen, 1996)

Gangguan oklusi diatasi dengan pengasahan selektif, pembuatan

restorasi/protesa, perawatan ortodontik, dan pencabutan gigi. Sebelum dilakukan

prosedur perawatan yang ireversibel, harus benar-benar dipastikan bahwan oklusi

yang terjadi bukan merupakan akibat dari spasme otot. Tujuan utama perawatan

gangguan oklusi biasanya adalah untuk mendap[at panduan anterior. Pada panduan

anterior, hanya gigi anterior yang berkontak selama pergerakan mandibula protrusive

Page 30: disfungsi mandibula 2-11

dan lateral. Tetapi oklusi, dari penyetimbangan hingga pembuatan restorasi/protesa

dan perawatan ortodontik, seringkali membutuhkan pemakaian splint oklusal pada

tahap selanjutnya. Pencabutan mungkin dibutuhkan atau kemungkinan satu-satunya

jalan untuk membebaskan oklusi terkunci (Pedersen, 1996)

2.4.1 Konseling

Jelaskan kepada pasien bahwa nyeri, kesulitan mengunyah, dan bunyi pada

rahang mungkin disebabkan oleh perubahan cara pemakaian otot yang sudah biasa

dilakukan. “anda mengunyah dengan cara tidak benar dan sendi anda menderita

karenanya”. “tidak mengherankan otot-otot anda tersa sakit”. “Ini adalah masalah

yang sama sepaeti kaki terkilir, bahau kaku, atau nyeri pada siku”. Jelaskan bahwa

penyebabnya barang kali adalah menguap yang terlalu lebar, makan makanan yang

terlalu keras, atau membukan mulut yang terlalu lama sewaktu mendapat perawatan

gigi, dan bahwa otot “cedera” atau “lelah”. Penjelasan seperti ini akan menenangkan

pasien, mengurangi kecemasan, dan bisa menyebuhkan kondisi tersebut (Thomson,

2007).

Ajukan pertanyaan kepada pasien dengan penuh simpati mengenai situasi yang

menimbulkan ketegangan (terlambat, mengendara di jalan yang ramai, frustasi

terhadap pekerjaannya, masalah dalam pendidikan atau hubungan) dan jelaskan

bahwa konflik emosional dan ketegangn bisa keluar berupa hiperaktibitas otot.

Menghentakkan kaki ke alantai, berkelahi, adalah salah satu bentuk penyaluran, tetapi

salah satu yang paling umum adalah mengerot dan menggerenyotkan gigi. rangsang

ini timbul pada sistem retikular dari batang otak dan memungkinkan terjadinya

kotraksi otot masseter sementara kontraksi otot digastrikus terhambat. Pasien harus

mendapat koseling mengenai aspek kehidupan sehari-hari, dengan menitikberatkan

pada usaha menolong diri sendiri (Thomson, 2007).

2.4.2 Nasihat Rehabilitasi

Berikan nasihat mengenai gerak berikut ini untuk merehabilitasi otot-otot.

1. “Pada waktu makan, mengunyahlah dengan dagu ke belakang dan

gunakan kedua sisi rahang sekaligus”. Dengan cara ini fungsi bilateral otot akan

Page 31: disfungsi mandibula 2-11

terestorasi, khususnya pterigoideus lateralis yang jarang mendapat kesempatan

meregang. “Cobalah untuk tidak mengkontakkna gigi-gigi sewaktu mengunyah

makanan dengan hanya kontak gigi sewaktu anda menelan”.

2. “Jika anda sedang tidak mengunyah makanan, biarkan gigi-gigi tidak

saling bersentuha. Terutama hindari mengerot dan menggerenyotkan yang membuat

otot lelah dan gigi-gigi aus”. Aturan (golden rule) untuk semua masalah fungsional

otot mandibula adalah “bibir saling menyentuh, gigi-gigi saling terpisah, jangan

pernah melanggar aturan ini”. Atau dengan kata lain, gunakan posisi istirahat

sepanjang waktu jika anda tidak menggunakan otot rahang untuk aktivitas yang

relevan. Untuk membantu mencegah aktivitas otot yang tidak relevan dan

mengerotkan gigi, tempatkan sepotong kecil kapas di antara gigi-gigi posterior pada

satu sisi dan “jangan menggigitnya”.

3. Pada saat bangun dan sebelum makan, buka dan tutup mulut dengan dagu

pada posisi di belakang, beberapa kali sehingga gigi-gigi anda saling menyentuh di

belakang posisi kontak yang biasa. “Anjuran yang membantu untuk gerakan ini

dikeluarkan oleh Juniper (1986)” yang menganjurkan agar anda duduk dengan

nyaman dan meletakkan lidah di belakang gigi-gigi insisivus. Ujung lidah kemudian

ditekuk ke belakang ketika menyentuh palatum keras. Ini adalah gerak menutup dan

membuka pada lengkung retrusi dan menyiapkan otot untuk mastikasi dengan gigi-

gigi posterior secara bilateral. Selain itu, juga memberikan regangn pasif yang lembut

untuk otot pterigoideus lateralis. Keadaan ini bisa disebut sebagai gerak kondisional

(conditioning movement) dan bisa disamakan dengan seorang atlit yang melakukan

pemanasan sebelum mengikuti lomba. Otot suprahoideus (di belakang dagu dan di

bawah lidah) harus terasa berkontraksi. Gerak membuka dan menutup pada lengkung

ini juga akan menahan keletuk dan menenangkan pasien bahwa gejala yang

mengganggu ini bisa disembuhkan.

4. Untuk seal bibir yang tidak semburna, “Buat rahang relaks dan biarkan

bibir saling terbuka”. Atau dengan kata lain, lakukan posisi istirahat sesungguhnya

dan lupakan mengenai seal bibir. Tindakan ini akan mengurangi kelelahan dan nyeri

yang disebabkan oleh usaha yang persisten untuk mempertahankan seal. Untuk

mendapatkan seal bibir, perawatan ortodontik mungkin merupakan indikasi, dan

Page 32: disfungsi mandibula 2-11

instruksi mengenai memperthankan seal mulut antara bibir bawah dan lidah atau gigi-

gigi atas terbukti merupakan alternatif yang efektif (Thomson, 2007).

Respons pasien terhadap pertanyaan “Bagaimana kabar anda?” harus

diperhatian dan perhatian ini sebaiknya diperlihatkan kepada pasien. Tindakan ini

akan menambah nilai jawaban yang diberikannya dan akan mendorong diberikannya

pertanyaan yang akurat. Jarang sekali gejala yang dialami pasien sudah benar-benar

mereda tetapi perbaikan biasanya sering ditemukan. Pertanyaan mengenai mengerot

dan menggerenyot, kebiasaan mengunyah pada satu sisi, dan kesadaran akan kontak

gigi sewaktu mengunyah akan bisa menunjukkan perlunya (atau tidak perlunya)

pemakaian overlai, penggantian gigi, dan penyesuaian oklusal. Pertanyaan mengenai

ketegangan emosi sering kali diajukan dan konseling lebih lanjut bisa dilaksanakan

sebagai bagian dari perawatan, khususnya jika dianjurkan oleh dokter-pasien

(Thomson, 2007).

2.4.3 Pesawat Overlai

Harus diambil kepututsan pada kunjungna pertama mengenai perlunya membuat

pesawat untuk mengontrol kebiasaan mengerot dari gigi-gigi sewaktu tidur.

Keputusan ini bisa diterntukan berdasarkan pernyataan pasien bahwa sewaktu bangun

rahangnya terasa kaku atau bahwa kebiasaan pasien bahwa sewaktu bangun

rahangnya terasa kaku atau bahwa kebiasaan tersebut sulit dikontrol. Pesawat yang

terbukti paling efektif (menurut pengalaman penulis) adalah yang dibutat menutupi

gigi-gigi insisivus dan kaninus atas dan membentuk kontak pada bidang datar yang

terpoles dengan insisivus dan kaninus bawah. Jadi, gigi-gigi posterior bisa dibuat

tidak saling menyentuh (disklusi). Penghilangan oklusi semua gigi posterior

kelihatannya membantu melenyapkan siklus stimulus periodontium (umpan balik)

dna impuls yang menimbulkan kelelahan, cedera, atau kejang pada otot-otot

mandibula (Thomson, 2007).

Di pihak lain, menutup seluruh lengkung rahang atas atau bawah dengan akrilik

atau bahan lain terbukti membantu, seperti sudah dianjurkan pada telaah literatur, dan

bahkan penutupan palatum (tanpa overlai) juga bisa mengurangi gejala. Namun,

Page 33: disfungsi mandibula 2-11

prosedur yang dianjurkan di atas terbukti efektif menurut pengalaman penulis 40

tahun berpraktik klinis (Thomson, 2007).

Pemasangan overlai harus menjamin diperolehnya kontak yang merata dari gigi-

gigi insisivus mendibula pada overlai dan harus mendiskusikan gigi posterior (tidak

berkontak) sambil memastikan bahwa pengepit retensi tidak berkontak. Pasien harus

diajari cara membuka dan memasang overlai dan diberitahu cara membersihkan dan

penyimpanannya (dalam air di dalam wadah tertutup). Overlai harus dibuat dengan

hati-hati untuk mencegah agar tidak terlalu banyak menutupi gigi-gigi insisivus, yang

bisa mengakibatkan kerusakan pada restorasi, atau membuat tipis tepi email dna

mahkota. Pasien juga perlu diberitahu agar memakai pesawat sewaktu tidur dan

sepanjang hari di saat-saat seperti mengemudi, ketika sendirian, dan pada situasi-

situasi yang menimbulkan ketegangan, yang pemakaiannya tidak membuat pasien

malu (Thomson, 2007).

Karena tujuan pemakaian pesawat adalah untuk mencegah berkontaknya semua

gigi, termasuk insisivus, sedikit kemungkinan bahwa pesawat akan menekan insisivus

bawah (Thomson, 2007).

Jika pereawatan overlai terbukti berhasil mengurangi gejala dan disfungsi, perlu

dilakukan analisis lebih lanjut dari fungsi oklusal. Keberhasilan pemakaian pesawat

sudah mengurangi kelelahan dan kekakuan otot serta memungkinkan kesembuhan

setiap cedera otot, sekurang-kurangnya sebagian. Jika interferensi tonjol masih ada,

tunjukkan pada pasien disertai nasihat untuk memriksa setiap ketidaknyamanan yang

mungkin disebabkannya. Pasien bisa dianjurkan untuk membuka pesawat selama satu

malam dan melaporkan apakah gejalanya timbul kembali. Jika tidak, teruskan sampai

dua malam, dan seterusnya. Pasien juga bisa diminta untuk memperlihatkan

kebutuhan akan permukaan kunyah dalam kaitannya dengan penggantian gigi-gigi

yang sudah tanggal atau posisi interkuspa yang berubah. Faktor-faktor berikut ini

sekarang harus dipertimbangkan (Thomson, 2007).

1. Efek gigi yang tanggal, yang sering disebut sebagai “hilangnya dukungan

untuk rahang saya”. Bahkan pengasahan permukaan oklusal dari gigi akrilik pada

protesa sebagian lepasan bisa dilrasakan pasien sebagai tanggalnya gigi. penggantian

gigi harus dipertimbangkan.

Page 34: disfungsi mandibula 2-11

2. Kenaikan OVR harus dilihat dengan perhatian yang lebih mendalam. Jika

hilangnya OVR jelas terlihat, akibatnya tanggalnya gigi-gigi yang menyebabkan

perubahan posisi dari gigi yang tertinggal atau akibat geligi tiruan yang dibuat dengan

relasi vertikal yang terlalu pendek, keadaan ini harus direstorasi tetapi praktik

“menaikkan gigitan” secara empiris merupakan kontradikasi.

3. Dikenalinya interferensi tonjol pada gerak menutup lengkung retrusi yang

menyimpang ke satu sisi atau ke sisi lain harus diperbaiki dengan penyesuaian

oklusal.

4. Sebuah rencana harus disusun untuk mengurangi ketegangn emosi yang

tampaknya merupakan penyebab hiperaktivitas otot. Tindakan ini bisa dilakukan

melalui pemberian obat yang terseleksi dengan hati-hati atau dengan merujuk pasien

ke dokter untuk mendapat perawatan lebih lanjut, atau perawatan spesialis.

Dengan demikian, perawatan bergantung pada keputusan yang ditentukan oleh

faktor-faktor yang ada dan kebutuhan simtomatik dari pasien (Thomson, 2007).

2.4.4 Mendorong Dilakukannya Fisioterapi

Tidak ada tindakan perawatan lanjutan, kecuali fisioterapi, yang bisa diberikan

sampai efek pemakaian pesawat overlai diketahui. Untuk ini biasanya dibutuhkan

waktu satu bulan sesudah pemakaian. Selama waktu ini, pasien bisa diminta untuk

mengunyah dengan kedua sisi, dengan dagu ke belakang dan tanpa gigi-gigi saling

beroklusi, untuk mempertahankan postur “bibir menutup, gigi-gigi tidak menyentuh”

sewaktu mandibula dalam keadaan tidak berfungsi dan untuk melakukan gerak

menutup dan membuka retrusi pada waktu bangun dan sebelum makan (Thomson,

2007).

2.4.5 Medikasi

Kurang atau bahakan tidak pengalaman dalam pemberian obat-obatan untuk

MDS, membuat tidaklah bijaksana untuk menulis subyek ini kecuali meneruskan

pengalaman orang lain. Tidak diragukan lagi, obat-obatan terbukti dapat membantu

menghilangkan nyeri dan spasme otot. Pada pemakaian analgesik dan relaksan otot,

dilaporkan timbulnya rekurensi gejala pada hampir semua kasus sesudah obat

Page 35: disfungsi mandibula 2-11

dihentikan. Sebaliknya, beberapa obat terbukti merupakan alat bantu perawtan yang

berharga. Dari golongan analgesik, asam mefenamat (Ponstan) dan pentazokin

hidrokhlorid (Fortal) terbukti sangat membantu. Relaksan otot yang digunakan

meliputi mefenesin (Myanesin), orfenadrin sitrat (Norflex), khlormesanon dengan

parasetamol (Lobak), metokarbamol (Robaxin) dan diazepam (Valium), dengan

keberhasilan intermiten. Dengna penekanan pada strs emosional, obat penenang dan

anti depresan tampaknya merupakan indikasi. Pengguanaan flufenazin hidrokhlorid

dan nortriptilin (Motival) dianjurkan (Harris dan Davies, 1980) untuk artromialgia

fasial, selain terapi lainnya. Obat-obat ini bisa memperbaiki mood dan tonus vaskular.

Efek sampingnya minimal tetapi mencakup meningkatnya kecenderungan

mengantuk, yang tentunya kurang disukai oleh pelajar, suatu golongan yang umum

terkena sindrom ini. Baru-baru ini, Reinmann dan Harris (1984) telah berhasil

menunjukkan bahwa dothiepin (Prothiaden) berhasil mengurangi gejala pada

percobaan klinis buta-ganda dibandingkan plasebodan pelindung gigitan lunak.

Dokter yang berpengalaman, yang umunya pendai mengkombinasikan tindakan

menenangkan dan rehabilitasi otot dengan terapi oklusal minimal, akan sangat

terbantu dengan adanya obat-obatan ini dan turunannya yang lebih baik. Telaah

mengenai sedasi dental yang dilakukan Ryder dan Wright (1988) mungkin juga

bermanfaat. Barangkali jika agen-agen ini direferensikan sebagai obat, akan kurang

dicurigai baik ole dokter gigi maupun pasien (Thomson, 2007).

2.4.6 Operasi Sendi

Beberapa keadaan tertentu hanya dapat ditangani secara bedah, sedang keadaan

lainnya dapat ditangani secara konservatif maupun bedah, dan akhirnya ada satu

kelompok, dimana pembedahan dipilih setelah penanganan secara konservatif gagal

mencapai hasil yang dikehendaki. Kasus-kasus yang membutuhkan pembedahan

adalah ankilosis tulang, eksisi neoplasia, hyperplasia processus condylaris,

rekonstruksi processus condylaris, dan penanganan beberapa fraktur sub condylaris

secara pembedahan. Kasus lain dapat ditangani secara nonbedah maupun bedah, yaitu

dislokasi kambuhan dan DJD. Kelompok terakhir merupakan kelompok kasus dimana

kelainan internal TMJ ditunjukkan berupa pergeseran discus ke anterior dengan atau

Page 36: disfungsi mandibula 2-11

tanpa perbaikan. Pasien yang mengalami kondisi terakhir ini juga bias ditangani

dengan terapi konservatif. Mengabaikan manfaat penanganan secara konservatif

cenderung menimbulkan sejumlah besar operasi yang tidak berdasar. Sebaliknya,

tetap mempertahankan terapi konservatif yang terus diperpanjang pada keadaan yang

jelas tidak bisa disembuhkan juga tidak dibenarkan (Pedersen, 1996)

Rowe (1972) telah membuat daftar dari berbagai kondisi yang memerlukan

tindakan operasi. Selain masalah patologis yang lebih parah, seperti ankilosis, artritis

yang tidak bisa ditolelrir, dan neoplasma, ia juga memasukkan artrosis (tidak bisa

dirawat dengan metode perawatan konservatif). Ia menggambarkan diasar-dasar dari

sebagian besar masalah yang melibatkan disfungsi sendi mandibula sebagai “suatu

gangguan pada aktivitas otot yang terkoordinir, yang umumnya timbul dari maloklusi

dan sering kali diperhebat oleh faktor psikologi termasuk ketegangan

neuromuskular”. Anatomi terapan dan teknik operasi dijabarkannya dengan akurat.

Prosedur operasi pada sendi sering kali merupakan jalan keluar terakhir untuk pasien

yang benar-benar dalam kebingungan karena kelainan sendi, namun tindakan ini

jangan dilakukan tanpa konsultasi yang cermat dan mendalam antara dokter gigi, ahli

bedah, dan pasien (Thomson, 2007).

2.4.7 Perawatan pasca-terapi

Sesudah fungsi yang baik diperoleh melalui fisioterapi, penyesuaian oklusal,

atau dentistri retoratif dan penghilangan tanda serta gejala disfungsi, pasien diminta

datang kembali dalam waktu empat bulan untuk memastikan bahwa gerakan

mandibula yang tepat tetap dipertahankan dan bahwa gigi-gigi tidak saling

bersentuhan ketika sedang tidak digunakan. Tekanan kembali pada pasien untuk tidak

mengkontakkan gigi-giginya selama mastikasi dan berikan konseling mengenai cara

pencegahan melalui penggunaan gerak kondisioning untuk mandibula (regangan pasif

perlahan) sewaktu bangun tidur dan sebelum makan. Terapi pencergahan yang paling

baik adalah mengunyah dengan kedua sisi mulut sekaligus dan dengan posisi dagu ke

belakang. Pengunyahan unilateral cenderung menyebabkan kontak tonjol yang tidak

diharapkan pada sisi nonkerja dan cenderung otot pterigoideus lateralis di sisi

Page 37: disfungsi mandibula 2-11

tersebut. Akhirnya, sikap yang positif terhadap fungsi yang baik diperlukan

(Thomson, 2007).