disfungsi ereksi

29
PENDAHULUAN Disfungsi ereksi (DE) merupakan kelainan dari fungsi seksual laki-laki yang biasa terjadi. Kelainan fungsi ini dapat menyerang semua kalangan laki-laki kelompok usia manapun dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas hidup pria. Dikarenakan meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya prevalensi diabetes dan penyakit kardiovaskuler, akibat terhadap gaya hidup dan kualitas hidup pada pria dengan disfungsi ereksi dinilai sangat besar. Sempat diperkirakan bahwa dulu, pada tahun 1995, lebih dari 152 juta pria di seluruh dunia mengalami DE. Dan pada tahun 2025, prevalensi DE di dunia diperkirakan akan mencapai sekitra 322 juta di seluruh dunia. Tingkat keparahan, prevalensi dan insiden dari Disfungsi Ereksi meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. The Massachusetts Male Aging Study mensurvei 1,709 pria berusia 40–70 tahun pada tahun 1987 and 1989, menggunakan sebuah self-administered questionnaire yang meminta partisipan untuk menilai diri mereka sendiri apakah mereka masuk ke dalam criteria orang yang tidak menderita

description

urology

Transcript of disfungsi ereksi

PENDAHULUAN

Disfungsi ereksi (DE) merupakan kelainan dari fungsi seksual laki-laki yang biasa

terjadi. Kelainan fungsi ini dapat menyerang semua kalangan laki-laki kelompok usia

manapun dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas hidup pria.

Dikarenakan meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya prevalensi

diabetes dan penyakit kardiovaskuler, akibat terhadap gaya hidup dan kualitas hidup

pada pria dengan disfungsi ereksi dinilai sangat besar. Sempat diperkirakan bahwa

dulu, pada tahun 1995, lebih dari 152 juta pria di seluruh dunia mengalami DE. Dan

pada tahun 2025, prevalensi DE di dunia diperkirakan akan mencapai sekitra 322 juta

di seluruh dunia. Tingkat keparahan, prevalensi dan insiden dari Disfungsi Ereksi

meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. The Massachusetts Male

Aging Study mensurvei 1,709 pria berusia 40–70 tahun pada tahun 1987 and 1989,

menggunakan sebuah self-administered questionnaire yang meminta partisipan untuk

menilai diri mereka sendiri apakah mereka masuk ke dalam criteria orang yang tidak

menderita DE, DE minimal, DE moderat, ataupun DE komplit. Dari studi tersebut

didapatkan total prevalensi DE sebesar 52% dengan 17,2% partisipan merupakan

penderita DE minimal, 25,2% merupakan penderita DE moderat, dan 9,6%

mengalami DE komplit.

Prevalensi dan tingkat keparahan DE meningkat seiring dengan semakin tuanya umur

seseorang. Apabila disesuaikan dengan usia, pasien dengan tingkat edukasi yang

lebih rendah, penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes memiliki kemungkinan yang

lebih tinggi untuk terkena Disfungsi ereksi. Pada studi yang sama, sebuah sampel dari

847 pria tanpa DE pada 1987-1989 terus diamati secara prospektif hingga 1995-1997.

Angka insidensi DE pada populasi ini diestimasikan mencapai 26 kasus per 1000.

The crude incidence rate of ED in this population was estimated to be about 26 cases

per 1,000 man-years (95% CI: 22.5–29.9). Rasio insidensi DE meningkat tiap

kelompok decade usia tertentu. Sebagai contoh, di sebuah studi yang sama ditemukan

angka kejadian DE pada kelompok pria usia 50-59 adalah 29.8 kasus per 1000 pria,

sedangkan pada kelompok usia 60-69 tahun ditemukan 46,4 kasus per 1000 pria.

Pada sebuah survei cross sectional dilakukan pada sebuah fasilitas kesehatan primer

di Kanada. Sekitar 50 % dari 3.921 pria usia 40–88 tahun menderita DE (IIEF “EF”

skor <21). Adanya penyakit kardiovaskuler atau diabetes memiliki hubungan dengan

meningkatnya resiko seseorang untuk menderita DE setelah dilakukan penyesuaian

kelompok usia dan faktor lain.

A. Definisi

Disfungsi Ereksi (DE) didefinisikan sebagai ketidakmampuan persisten untuk

mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang memadai untuk performasi

seksual yang memuaskan. National Institutes of Health (NIH) Consensus

Development Conference pada tahun 1992 merekomendasikan penggunaan

istilah erectile dysfunction untuk kejadian impotence. Belum ada consensus

universal atau kriteria secara global tentang seberapa konsisten dan lama

durasi masalah (ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan kondisi

ereksi penis yang memadai untuk melakukan performa seksual yang

memuaskan) dialami seseorang yang dapat dikatakan memenuhi criteria

seseorang mengalami Disfungsi Ereksi. Namun, periode persistensi selama 3

bulan telah disarankan di beberapa guideline klinis.

B. Anatomi Penis

Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar tambahan

dan penis. Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah

korpora kavernosa yang saling berpasangan dan sebuah korpus spongiosum

yang berada di sebelah ventralnya. Penis adalah organ seks utama yang

letaknya di antara kedua pangkal paha. Penis mulai dari arcus pubis menonjol

ke depan berbentuk bulat panjang (lihat gambar 1).

Korpora kavernosa dibungkus oleh jaringan fibroelastik tunika albuginea

sehingga menjadi suatu kesatuan, sedangkan di sebelah proksimal terpisah

menjadi 2 sebagai krura penis. Setiap krus penis dibungkus oleh otot

isiokavernosa yang kemudian menempel pada rami osis ischii.

Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma urogenitalis

hingga muara uretra eksterna. Sebelah proksimal korpus spongiosum dilapisi

oleh otot bulbokavernosus. Korpus spongiosum ini berakhir pada sebelah

distal sebagai glands penis. Ketiga korpora, yakni dua buah korpora kavernosa

dan sebuah korpus kavernosum dibungkus oleh fasia buck dan lebih lebih

superfisial lagi oleh fasia Colles atau fasia Dartos yang merupakan kelanjutan

dari fasia Scarpa.

Di dalam setiap korpus yang terbungkus oleh tunika albuginea terdapat

jaringan erektil yang berupa jaringan kavernus (berongga) seperti spon.

Jaringan ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh

endotelium dan otot polos kavernosus. Rongga lakuna ini dapat menampung

darah yang cukup banyak sehingga menyebabkan ketegangan batang penis.

Tumor malignant

Gangren

Kelainan Kongenital (polidaktil)

Peripheral Vascular Disease

C. Patofisiologi

Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit

pembuluh darah, cedera dan tumor oleh karena penyebab di atas, Amputasi

harus dilakukan karena dapat mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya

meliputi :

a. Kecepatan metabolism

Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan

penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah

sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.

b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih

besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid

plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar ke

ruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan

oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga

menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke

hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga

terjadi peningkatan diuresis.

c. Sistem respirasi

1. Penurunan kapasitas paru

Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka

kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam

rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.

2. Perubahan perfusi setempat

Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi

perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara

mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan

atau infeksi) terjadi hipoksia.

3. Mekanisme batuk tidak efektif

Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan

sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih

kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.

d. Sistem Kardiovaskuler

1. Peningkatan denyut nadi

Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin

dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering

dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.

2. Penurunan cardiac reserve

Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini

mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan

isi sekuncup.

3. Orthostatik Hipotensi

Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana

arteriol dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi

lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak

berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi

menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk

memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien

merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan

pingsan.

e. Sistem Muskuloskeletal

1. Penurunan kekuatan otot

Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler

memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan,

demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu

sehingga menjadikan kelelahan otot.

2. Atropi otot

Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya

penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi

dan paralisis otot.

3.   Kontraktur sendi

Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta

adanya keterbatasan gerak.

4. Osteoporosis

Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan

persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis

dan tulang menjadi keropos.

f. Sistem Pencernaan

1. Anoreksia

Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi

sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi

serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya

nafsu makan.

2.   Konstipasi

Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan

spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat

dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air

besar.

g. Sistem perkemihan

Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing

berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya

gravitasi dan pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat

menyebabkan :

- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu

ginjal.

- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang

biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.

h. Sistem integumen

Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan

bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah

dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,

hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit

dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

D. Jenis-jenis amputasi

Berdasarkan tujuannya amputasi dibagi atas

a. Amputasi sementara. Amputasi ini mungkin diperlukan jika

penyembuhan primer tidak mungkin terjadi. Alat gerak diamputasi

sedistal mungkin, kemudian dibuat flap kulit yang dijahit secara

longgar diatas gumpalan kasa. Re-amputasi kemudian dilakukan saat

kondisi stump memungkinkan.

b. Defenitive end bearing amputation. Amputasi ini dilakukan jika

kemudian akan diberikan beban berat badan pada ujung stump. Pada

keadaan ini parut amputasi tidak boleh terletak diujung stump dan

tulang harus padat tidak berongga. Untuk itu tulang harus dipotong

melewati sendi atau mendekati sendi. Contohnya adalah amputasi

melewati sendi lutut dan Syme’s amputation.

c. Defenitive non-end bearing amputation. Ini merupakan amputasi

yang paling sering dilakukan. Seluruh amputasi anggota gerak atas dan

kebanyakan amputasi anggota gerak bawah termasuk dalam jenis ini.

Karena beban berat badan tidak akan ditumpukan pada ujung stump,

maka parut luka dapat terletak terminal.

Berdasarkan teknik yang dipakai secara garis besar amputasi dibagi atas :

1. Amputasi terbuka (open amputation)

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana

pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi

terbuka dilakukan pada luka yang kotor, seperti luka perang atau infeksi

berat antara lain gangrene, dibuat sayatan dikulit secara sirkuler

sedangkan otot dipotong sedikit proximal dari sayatan kulit dan digergaji

sedikit proximal dari otot.

ujung stump tidak ditutup dengan flap kulit dan amputasi ini dilakukan

sebagai tindakan sementara yang akan diikuti dengan penjahitan sekunder,

re-amputasi, revisi, dan rekonstruksi plastik. Open amputation bertujuan

untuk mencegah atau menghilangkan infeksi sehingga penutupan stump

dapat dilakukan tanpa resiko terbukanya kembali jahitan. Indikasinya

adalah bagi luka yang terinfeksi dan kerusakan jaringan lunak luas atau

kontaminasi tinggi. Open amputation terbagi dua jenis, yaitu open

amputation with inverted skin flaps dan circular open amputation. Pada

jenis yang pertama penutupan luka dilakukan kemudian setelah 10-14 hari

tanpa memerlukan pemendekan stump. Pada jenis kedua penyembuhan

luka sering lama dan dipengaruhi oleh tarikan kulit terus menerus diujung

stump yang cenderung menarik seluruh jaringan ke ujung stump. Circular

open amputation juga diikuti oleh pembentukan parut diujung stump yang

akan menyulitkan pemasangan prosthesis. Untuk menghindari

penyembuhan yang lama dan letak parut yang tidak baik, circuler open

amputation sering diikuti dengan re-amptation yang lebih proksimal.

2. Amputasi tertutup (closed amputation)

Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan

dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan

memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.

Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya

meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga

kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan

persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).

pada amputasi jenis ini, ujung stum ditutup dengan flap kulit. Amputasi

jenis ini memerlukan pemasangan drain yang biasanya dibiarkan selama

48-72 jam setelah operaasi. Ujung stump akan memiliki bentuk yang lebih

baik dengan letak parut yang diatur tidak pada ujung stump sehingga

memudahkan pemakaian prostesis kemudian. Amputasi seperti ini

dilakukan pada keadaan yang tidak disertai infeksi berat dengan kerusakan

jaringan lunak atau kontaminasi yang minimal.

E. Indikasi Amputasi

Indikasi amputasi adalah 3D

a. dead (dying), penyakit pembuluh darah perifer bertanggung jawab

terhadap hampir 90% dari seluruh amputasi. Penyebab lainnya adalah

trauma parah, luka bakar, dan frost bite.

b. dangerous, penyakit yang tergolong berbahaya adalah tumor ganas, sepsis

yang potensial lethal dan crush injury. Pada crush injury pelepasan

torniquet atau penekanan lain akan berakibat pada kegagalan ginjal (crush

syndrome).

c. damn nuisance, ada keadaan dimana mempertahankan anggota gerak

dapat lebih buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak sama sekali.

Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh nyeri, malformasi berat, sepsis

berulang atau kehilangan fungsi yang berat. Kombinasi antara deformitaas

dan kehilangan sensasi khususnya merupakan masalah yang berat dan

pada alat gerak bawah cenderung untuk menyebabkan ulserasi karena

tekanan.

Adapun suatu penilaian apakah suatu ekstremitas dapat dipertahankan atau

harus diamputasi dapat dilakukan dengan penilaian Mangled Extremity

Severity Score (MESS) yang dapat dihitung dengan melakukan evaluasi

terhadap ektremitas yang terluka. Adapun evaluasi yang dilakukan ialah

sebagai berikut:

Dimana poin kurang dari 7 menandakan bahwa ekstremitas dapat

dipertahankan dan skor 7 atau lebih mengindikasikan amputasi ekstremitas.

F. Lokasi

Kebanyakan amputasi pada anggota gerak bawah dilakukan pada lokasi

dibawah dari tempat paling distal dimana pulsasi arteri masih teraba.

Kadangkala, khususnya pada amputasi transtibial (below knee) level dapat

dimodifikasi dengan pengukuran transcutaneus oxygen pressure. Lokasi

amputasi dilakukan oleh tuntutaan desain prothesis dan fungsi lokal. Stump

yang terlalu pendek akan membuat prosthesis cenderung tergelincir, stump

yang terlalu panjang akan mendapatkan sirkulasi yang tidak adekuat dan akan

terasa nyeri atau mengalami ulserasi , disamping itu juga akan menyulitkan

pemasangan prosthesis. Namun dengan semakin meningkatnya ketrampilan

para ahli prosthesis, amputasi dapat dilakukan pada lokasi dimanapun.

G. Prinsip Tehnik Amputasi

Torniquet selalu digunakan kecuali jika terdapat insufisiensi arterial. Flap

kulit dibuat sedemikian rupa sehingga panjang gabungan keseluruhan flap

sama dengan 1,5 x lebar anggota gerak pada level amputasi. Sebagai suatu

ketetapan, flap anterior dan posterior dengan panjang yang sama dipakai

untuk amputasi pada anggota gerak atas dan amputasi transfemoral (above

knee), uhntuk amputasi below knee falp posterior dibuat lebih panjang.

Otot dipotong distal dari tempat pemotongan tulang, kelompok otot yang

saling berhadapan kemudian dijahit diatas ujung tulang dan juga ke

periosteum (myoplasty) sehingga memberikan kontrol otot yang lebih baik

dan juga sirkulasi yang lebih baik. Saraf dipotong proksimal dari tempat

pemotongan tulang. Harus benar-benar diperhatikan agar ujung saraf yang

terpotong tidak mendapatkan tekanan karena tumpuan berat badan.

Tulang dipotong pada tempat yang telah ditentukan. Pada amputasi transtibial

bagian depan tibia biasanya dibuat serong dan dikikir agar terbentuk tepi yang

halus dan membulat. Fibula dipotong 3 cm lebih pendek. Pembuluh darah

utama diikat, dan setiap sumber perdarahan diikat dengan baik. Pada closed

amputation kulit dijahit tanpa tegangan, drain dipasang dan kemudian stump

dibalut erat. Jika terbentuk hematoma, harus segera dievakuasi. Pembalutan

berulang dengan pembalut elastis dilakukan untuk membantu pengerutan

stump dan menciptakan bentuk ujung yang konikal. Otot-otot harus tetap

dilatih, sendi tetap dijaga agar bergerak dan pasien diajarkan untuk

menggunakan prosthesisnya.

H. Level Amputasi

Amputasi dilakukan pada bagian terdistal yg masih berhasil sembuh. Prinsip

penentuan level amputasi adalah menyelamatkan alat gerak sepanjang

mungkin dan fungsi yang paling baik.

Penentuan level yang optimum untuk amputasi secara akurat sulit dilakukan

hanya berdasarkan pemeriksaan klinis (tidak adanya denyut nadi) dan

viabilitas (vaskularisasi) jaringan saja selama operasi. Saat ini, penilaian

selain dilakukan secara klinis dan pada saat operasi juga diperkuat dengan

sejumlah metode-metode uji pra operasi seperti; arteriografi pra amputasi,

pengukuran tekanan darah segmental dengan mempergunakan ultrasound

Doppler dan teknik lainnya, penentuan aliran darah ke kulit yang diukur oleh

xenon radioactive clearance, dan pengukuran tekanan oksigen secara

transcutaneous. Seluruh hal tersebut bila dilakukan akan memberikan hasil

yang baik untuk menilai keberhasilan penyembuhan luka(3,5,9).

Level amputasi ditentukan 2 faktor:

a. Sirkulasi pada bagian yang diamputasi

b. Functional usefulness (seperti, kebutuhan pemakaian prosthesis).

Level Amputasi Ekstremitas Atas

Level Amputasi Ekstremitas Atas dan Bawah

I. Komplikasi

- Komplikasi Dini

Disamping komplikasi operasi yang lazim (khususnya perdarahan

sekunder karena infeksi), terdapat 3 komplikasi khusus yaitu

hematoma, terbukanya kembali flap dan gangren gas.

Hemostasis yang baik sebelum penutupan luka serta pemakaian

suction drainage akan memperkecil frekwensi terjadinya hematoma.

Hematoma dapat memperlambat penyembuhan luka dan menjadi

media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Hematoma harus

diaspirasi, dan kemudian dibalut dengan erat.

Terbukanya kembali skin flap dapat disebabkan oleh iskemia, jahitan

yang terlalu tegang, atau (pada amputasi below knee) disebabkan oleh

tibia yang ditinggalkan terlalu panjang dan menekan flap. Clostridia

dan spora penyebab gangren gas yang berasal dari perineum dapat

menginfeksi amputasi above knee yang terletak tinggi (atau re-

amputasi) khususnya jika dilakukan pada jaringan yang sudah

iskemik.

- Komplikasi Lanjut

Komplikasi lanjut dapat terjadi pada kulit, otot, arteri, saraf, sendi, dan

tulang.

Pada kulit komplikasi yang sering terjadi adalah eksim yang disertai

pembengkakan purulen yang nyeri di inguinal. Pada keadaan ini

diindikasikan untuk tidak memakai prothesis untuk sementara.

Ulserasi biasanya terjadi karena sirkulasi yang tidak baik, dan untuk

itu diperlukan amputasi pada level yang lebih tinggi . jika sirkulasi

baik dan kulit disekitar ulkus sehat, maka eksisi 2.5 cm tulang yang

dilanjutkan dengan penjahitan kembali sudah memadai. Jika terlalu

banyak otot yang disisakan diujung stump, efek bantalan yang tidak

stabil akan menyebabkan pemakaian prothesis terganggu. Pada

keadaan ini jaringan lunak yang berlebihan harus dibuang.

Sirkulasi yang tidak baik akan menyebabkan stump yang dingin dan

kebiruan yang mudah membentuk ulkus. Masalah seperti ini sering

terjadi pada amputasi below knee dan karenanya diperlukan amputasi

ulang. Saraf yang terpotong selalu membentuk gumpalan (neuroma)

dan kadangkala ini terasa nyeri. Dengan mengeksisi 3 cm saraf diatas

neuroma kadangkala akan menghilangkan keluhan. Cara lain adalah

dengan mengelupas seluruh epidural dan fasikulus saraf sepanjang 5

cm. Dan kemudian ditutup dengan perekat jaringan sintesis atau

ditanam kedalam otot atau tulang jauh daari titik yang mendapat

tekanan.

Phantom limb adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

suatu sensasi dimana kaki yang telah dipotong masih dirasakan

keberadaannya. Pasien harus diberitahukan tentang kenyataan

sebenarnya dan pada akhirnya sensasi tersebut akan berkurang dan

menghilang. Phantom limb yang teraas nyeri akan sulit ditanagani.

Menekuk-nekuk ujung limb secara intermiten dapat dilakukan untuk

mengatasi gangguan phantom limb dan nyeri karena neuroma.

Sendi diatas level amputasi mungkin akan kaku atau mengalami

deformitas. Deformitas yang sering terjadi adalah fixed flexion atau

fixed abduction pada sendi panggul karena amputasi above knee

(disebabkan otot adduktor dan hamstring yang telah dipotong).

Deformitas ini dapat dicegah dengan melakukan latihan. Jika

deformitas ini telah terlanjur terjadi, osteotomy subtrochanteric

mungkin diperlukan. Fixed flexion pada lutut juga dapat akan

menyebabkan kesulitan berjalan dan karenanya harus dicegah.

Spur sering terbentuk diujung tulang, tetapi biasanya tidak nyeri. Jika

terdapat infeksi spur mungkin akan berukuran besar dan nyeri

sehingga mungkin diperlukan eksisi ujung tulang bersamaan spur. Jika

tulang akan menyebabkan sedikit pembebanan maka akan terjadi

osteoporosis yang dapat menimbulkaan fraktur. Fraktur seperti ini

paling baik ditangani dengan fiksasi interna.

DAFTAR PUSTAKA

Bentley G. 2014. European Surgical Orthopaedics and Traumatology.

London: Effort

Brunicardi FC. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Ninth Edition. Access

Surgery

Sjamsuhidajat R, Jong W D. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2008: Jakarta;

EGC.

Apley A G, Solomon L. 1993. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures

7th ed. Butterworth Heinmann; London.