disfungsi ereksi
-
Upload
jeanna-salima -
Category
Documents
-
view
43 -
download
6
description
Transcript of disfungsi ereksi
PENDAHULUAN
Disfungsi ereksi (DE) merupakan kelainan dari fungsi seksual laki-laki yang biasa
terjadi. Kelainan fungsi ini dapat menyerang semua kalangan laki-laki kelompok usia
manapun dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas hidup pria.
Dikarenakan meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya prevalensi
diabetes dan penyakit kardiovaskuler, akibat terhadap gaya hidup dan kualitas hidup
pada pria dengan disfungsi ereksi dinilai sangat besar. Sempat diperkirakan bahwa
dulu, pada tahun 1995, lebih dari 152 juta pria di seluruh dunia mengalami DE. Dan
pada tahun 2025, prevalensi DE di dunia diperkirakan akan mencapai sekitra 322 juta
di seluruh dunia. Tingkat keparahan, prevalensi dan insiden dari Disfungsi Ereksi
meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. The Massachusetts Male
Aging Study mensurvei 1,709 pria berusia 40–70 tahun pada tahun 1987 and 1989,
menggunakan sebuah self-administered questionnaire yang meminta partisipan untuk
menilai diri mereka sendiri apakah mereka masuk ke dalam criteria orang yang tidak
menderita DE, DE minimal, DE moderat, ataupun DE komplit. Dari studi tersebut
didapatkan total prevalensi DE sebesar 52% dengan 17,2% partisipan merupakan
penderita DE minimal, 25,2% merupakan penderita DE moderat, dan 9,6%
mengalami DE komplit.
Prevalensi dan tingkat keparahan DE meningkat seiring dengan semakin tuanya umur
seseorang. Apabila disesuaikan dengan usia, pasien dengan tingkat edukasi yang
lebih rendah, penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes memiliki kemungkinan yang
lebih tinggi untuk terkena Disfungsi ereksi. Pada studi yang sama, sebuah sampel dari
847 pria tanpa DE pada 1987-1989 terus diamati secara prospektif hingga 1995-1997.
Angka insidensi DE pada populasi ini diestimasikan mencapai 26 kasus per 1000.
The crude incidence rate of ED in this population was estimated to be about 26 cases
per 1,000 man-years (95% CI: 22.5–29.9). Rasio insidensi DE meningkat tiap
kelompok decade usia tertentu. Sebagai contoh, di sebuah studi yang sama ditemukan
angka kejadian DE pada kelompok pria usia 50-59 adalah 29.8 kasus per 1000 pria,
sedangkan pada kelompok usia 60-69 tahun ditemukan 46,4 kasus per 1000 pria.
Pada sebuah survei cross sectional dilakukan pada sebuah fasilitas kesehatan primer
di Kanada. Sekitar 50 % dari 3.921 pria usia 40–88 tahun menderita DE (IIEF “EF”
skor <21). Adanya penyakit kardiovaskuler atau diabetes memiliki hubungan dengan
meningkatnya resiko seseorang untuk menderita DE setelah dilakukan penyesuaian
kelompok usia dan faktor lain.
A. Definisi
Disfungsi Ereksi (DE) didefinisikan sebagai ketidakmampuan persisten untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang memadai untuk performasi
seksual yang memuaskan. National Institutes of Health (NIH) Consensus
Development Conference pada tahun 1992 merekomendasikan penggunaan
istilah erectile dysfunction untuk kejadian impotence. Belum ada consensus
universal atau kriteria secara global tentang seberapa konsisten dan lama
durasi masalah (ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan kondisi
ereksi penis yang memadai untuk melakukan performa seksual yang
memuaskan) dialami seseorang yang dapat dikatakan memenuhi criteria
seseorang mengalami Disfungsi Ereksi. Namun, periode persistensi selama 3
bulan telah disarankan di beberapa guideline klinis.
B. Anatomi Penis
Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran kelamin, kelenjar tambahan
dan penis. Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah
korpora kavernosa yang saling berpasangan dan sebuah korpus spongiosum
yang berada di sebelah ventralnya. Penis adalah organ seks utama yang
letaknya di antara kedua pangkal paha. Penis mulai dari arcus pubis menonjol
ke depan berbentuk bulat panjang (lihat gambar 1).
Korpora kavernosa dibungkus oleh jaringan fibroelastik tunika albuginea
sehingga menjadi suatu kesatuan, sedangkan di sebelah proksimal terpisah
menjadi 2 sebagai krura penis. Setiap krus penis dibungkus oleh otot
isiokavernosa yang kemudian menempel pada rami osis ischii.
Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma urogenitalis
hingga muara uretra eksterna. Sebelah proksimal korpus spongiosum dilapisi
oleh otot bulbokavernosus. Korpus spongiosum ini berakhir pada sebelah
distal sebagai glands penis. Ketiga korpora, yakni dua buah korpora kavernosa
dan sebuah korpus kavernosum dibungkus oleh fasia buck dan lebih lebih
superfisial lagi oleh fasia Colles atau fasia Dartos yang merupakan kelanjutan
dari fasia Scarpa.
Di dalam setiap korpus yang terbungkus oleh tunika albuginea terdapat
jaringan erektil yang berupa jaringan kavernus (berongga) seperti spon.
Jaringan ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh
endotelium dan otot polos kavernosus. Rongga lakuna ini dapat menampung
darah yang cukup banyak sehingga menyebabkan ketegangan batang penis.
Tumor malignant
Peripheral Vascular Disease
C. Patofisiologi
Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit
pembuluh darah, cedera dan tumor oleh karena penyebab di atas, Amputasi
harus dilakukan karena dapat mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya
meliputi :
a. Kecepatan metabolism
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan
penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah
sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih
besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid
plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar ke
ruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan
oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga
menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke
hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga
terjadi peningkatan diuresis.
c. Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka
kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam
rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
2. Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi
perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara
mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan
atau infeksi) terjadi hipoksia.
3. Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih
kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.
d. Sistem Kardiovaskuler
1. Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin
dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering
dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2. Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan
isi sekuncup.
3. Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
arteriol dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi
lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak
berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi
menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk
memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien
merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan
pingsan.
e. Sistem Muskuloskeletal
1. Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler
memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan,
demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu
sehingga menjadikan kelelahan otot.
2. Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi
dan paralisis otot.
3. Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta
adanya keterbatasan gerak.
4. Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan
persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis
dan tulang menjadi keropos.
f. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi
serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya
nafsu makan.
2. Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan
spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat
dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air
besar.
g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi dan pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat
menyebabkan :
- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu
ginjal.
- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang
biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.
h. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah
dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,
hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit
dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
D. Jenis-jenis amputasi
Berdasarkan tujuannya amputasi dibagi atas
a. Amputasi sementara. Amputasi ini mungkin diperlukan jika
penyembuhan primer tidak mungkin terjadi. Alat gerak diamputasi
sedistal mungkin, kemudian dibuat flap kulit yang dijahit secara
longgar diatas gumpalan kasa. Re-amputasi kemudian dilakukan saat
kondisi stump memungkinkan.
b. Defenitive end bearing amputation. Amputasi ini dilakukan jika
kemudian akan diberikan beban berat badan pada ujung stump. Pada
keadaan ini parut amputasi tidak boleh terletak diujung stump dan
tulang harus padat tidak berongga. Untuk itu tulang harus dipotong
melewati sendi atau mendekati sendi. Contohnya adalah amputasi
melewati sendi lutut dan Syme’s amputation.
c. Defenitive non-end bearing amputation. Ini merupakan amputasi
yang paling sering dilakukan. Seluruh amputasi anggota gerak atas dan
kebanyakan amputasi anggota gerak bawah termasuk dalam jenis ini.
Karena beban berat badan tidak akan ditumpukan pada ujung stump,
maka parut luka dapat terletak terminal.
Berdasarkan teknik yang dipakai secara garis besar amputasi dibagi atas :
1. Amputasi terbuka (open amputation)
Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana
pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi
terbuka dilakukan pada luka yang kotor, seperti luka perang atau infeksi
berat antara lain gangrene, dibuat sayatan dikulit secara sirkuler
sedangkan otot dipotong sedikit proximal dari sayatan kulit dan digergaji
sedikit proximal dari otot.
ujung stump tidak ditutup dengan flap kulit dan amputasi ini dilakukan
sebagai tindakan sementara yang akan diikuti dengan penjahitan sekunder,
re-amputasi, revisi, dan rekonstruksi plastik. Open amputation bertujuan
untuk mencegah atau menghilangkan infeksi sehingga penutupan stump
dapat dilakukan tanpa resiko terbukanya kembali jahitan. Indikasinya
adalah bagi luka yang terinfeksi dan kerusakan jaringan lunak luas atau
kontaminasi tinggi. Open amputation terbagi dua jenis, yaitu open
amputation with inverted skin flaps dan circular open amputation. Pada
jenis yang pertama penutupan luka dilakukan kemudian setelah 10-14 hari
tanpa memerlukan pemendekan stump. Pada jenis kedua penyembuhan
luka sering lama dan dipengaruhi oleh tarikan kulit terus menerus diujung
stump yang cenderung menarik seluruh jaringan ke ujung stump. Circular
open amputation juga diikuti oleh pembentukan parut diujung stump yang
akan menyulitkan pemasangan prosthesis. Untuk menghindari
penyembuhan yang lama dan letak parut yang tidak baik, circuler open
amputation sering diikuti dengan re-amptation yang lebih proksimal.
2. Amputasi tertutup (closed amputation)
Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan
dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan
memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.
Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya
meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga
kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan
persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).
pada amputasi jenis ini, ujung stum ditutup dengan flap kulit. Amputasi
jenis ini memerlukan pemasangan drain yang biasanya dibiarkan selama
48-72 jam setelah operaasi. Ujung stump akan memiliki bentuk yang lebih
baik dengan letak parut yang diatur tidak pada ujung stump sehingga
memudahkan pemakaian prostesis kemudian. Amputasi seperti ini
dilakukan pada keadaan yang tidak disertai infeksi berat dengan kerusakan
jaringan lunak atau kontaminasi yang minimal.
E. Indikasi Amputasi
Indikasi amputasi adalah 3D
a. dead (dying), penyakit pembuluh darah perifer bertanggung jawab
terhadap hampir 90% dari seluruh amputasi. Penyebab lainnya adalah
trauma parah, luka bakar, dan frost bite.
b. dangerous, penyakit yang tergolong berbahaya adalah tumor ganas, sepsis
yang potensial lethal dan crush injury. Pada crush injury pelepasan
torniquet atau penekanan lain akan berakibat pada kegagalan ginjal (crush
syndrome).
c. damn nuisance, ada keadaan dimana mempertahankan anggota gerak
dapat lebih buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak sama sekali.
Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh nyeri, malformasi berat, sepsis
berulang atau kehilangan fungsi yang berat. Kombinasi antara deformitaas
dan kehilangan sensasi khususnya merupakan masalah yang berat dan
pada alat gerak bawah cenderung untuk menyebabkan ulserasi karena
tekanan.
Adapun suatu penilaian apakah suatu ekstremitas dapat dipertahankan atau
harus diamputasi dapat dilakukan dengan penilaian Mangled Extremity
Severity Score (MESS) yang dapat dihitung dengan melakukan evaluasi
terhadap ektremitas yang terluka. Adapun evaluasi yang dilakukan ialah
sebagai berikut:
Dimana poin kurang dari 7 menandakan bahwa ekstremitas dapat
dipertahankan dan skor 7 atau lebih mengindikasikan amputasi ekstremitas.
F. Lokasi
Kebanyakan amputasi pada anggota gerak bawah dilakukan pada lokasi
dibawah dari tempat paling distal dimana pulsasi arteri masih teraba.
Kadangkala, khususnya pada amputasi transtibial (below knee) level dapat
dimodifikasi dengan pengukuran transcutaneus oxygen pressure. Lokasi
amputasi dilakukan oleh tuntutaan desain prothesis dan fungsi lokal. Stump
yang terlalu pendek akan membuat prosthesis cenderung tergelincir, stump
yang terlalu panjang akan mendapatkan sirkulasi yang tidak adekuat dan akan
terasa nyeri atau mengalami ulserasi , disamping itu juga akan menyulitkan
pemasangan prosthesis. Namun dengan semakin meningkatnya ketrampilan
para ahli prosthesis, amputasi dapat dilakukan pada lokasi dimanapun.
G. Prinsip Tehnik Amputasi
Torniquet selalu digunakan kecuali jika terdapat insufisiensi arterial. Flap
kulit dibuat sedemikian rupa sehingga panjang gabungan keseluruhan flap
sama dengan 1,5 x lebar anggota gerak pada level amputasi. Sebagai suatu
ketetapan, flap anterior dan posterior dengan panjang yang sama dipakai
untuk amputasi pada anggota gerak atas dan amputasi transfemoral (above
knee), uhntuk amputasi below knee falp posterior dibuat lebih panjang.
Otot dipotong distal dari tempat pemotongan tulang, kelompok otot yang
saling berhadapan kemudian dijahit diatas ujung tulang dan juga ke
periosteum (myoplasty) sehingga memberikan kontrol otot yang lebih baik
dan juga sirkulasi yang lebih baik. Saraf dipotong proksimal dari tempat
pemotongan tulang. Harus benar-benar diperhatikan agar ujung saraf yang
terpotong tidak mendapatkan tekanan karena tumpuan berat badan.
Tulang dipotong pada tempat yang telah ditentukan. Pada amputasi transtibial
bagian depan tibia biasanya dibuat serong dan dikikir agar terbentuk tepi yang
halus dan membulat. Fibula dipotong 3 cm lebih pendek. Pembuluh darah
utama diikat, dan setiap sumber perdarahan diikat dengan baik. Pada closed
amputation kulit dijahit tanpa tegangan, drain dipasang dan kemudian stump
dibalut erat. Jika terbentuk hematoma, harus segera dievakuasi. Pembalutan
berulang dengan pembalut elastis dilakukan untuk membantu pengerutan
stump dan menciptakan bentuk ujung yang konikal. Otot-otot harus tetap
dilatih, sendi tetap dijaga agar bergerak dan pasien diajarkan untuk
menggunakan prosthesisnya.
H. Level Amputasi
Amputasi dilakukan pada bagian terdistal yg masih berhasil sembuh. Prinsip
penentuan level amputasi adalah menyelamatkan alat gerak sepanjang
mungkin dan fungsi yang paling baik.
Penentuan level yang optimum untuk amputasi secara akurat sulit dilakukan
hanya berdasarkan pemeriksaan klinis (tidak adanya denyut nadi) dan
viabilitas (vaskularisasi) jaringan saja selama operasi. Saat ini, penilaian
selain dilakukan secara klinis dan pada saat operasi juga diperkuat dengan
sejumlah metode-metode uji pra operasi seperti; arteriografi pra amputasi,
pengukuran tekanan darah segmental dengan mempergunakan ultrasound
Doppler dan teknik lainnya, penentuan aliran darah ke kulit yang diukur oleh
xenon radioactive clearance, dan pengukuran tekanan oksigen secara
transcutaneous. Seluruh hal tersebut bila dilakukan akan memberikan hasil
yang baik untuk menilai keberhasilan penyembuhan luka(3,5,9).
Level amputasi ditentukan 2 faktor:
a. Sirkulasi pada bagian yang diamputasi
b. Functional usefulness (seperti, kebutuhan pemakaian prosthesis).
I. Komplikasi
- Komplikasi Dini
Disamping komplikasi operasi yang lazim (khususnya perdarahan
sekunder karena infeksi), terdapat 3 komplikasi khusus yaitu
hematoma, terbukanya kembali flap dan gangren gas.
Hemostasis yang baik sebelum penutupan luka serta pemakaian
suction drainage akan memperkecil frekwensi terjadinya hematoma.
Hematoma dapat memperlambat penyembuhan luka dan menjadi
media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Hematoma harus
diaspirasi, dan kemudian dibalut dengan erat.
Terbukanya kembali skin flap dapat disebabkan oleh iskemia, jahitan
yang terlalu tegang, atau (pada amputasi below knee) disebabkan oleh
tibia yang ditinggalkan terlalu panjang dan menekan flap. Clostridia
dan spora penyebab gangren gas yang berasal dari perineum dapat
menginfeksi amputasi above knee yang terletak tinggi (atau re-
amputasi) khususnya jika dilakukan pada jaringan yang sudah
iskemik.
- Komplikasi Lanjut
Komplikasi lanjut dapat terjadi pada kulit, otot, arteri, saraf, sendi, dan
tulang.
Pada kulit komplikasi yang sering terjadi adalah eksim yang disertai
pembengkakan purulen yang nyeri di inguinal. Pada keadaan ini
diindikasikan untuk tidak memakai prothesis untuk sementara.
Ulserasi biasanya terjadi karena sirkulasi yang tidak baik, dan untuk
itu diperlukan amputasi pada level yang lebih tinggi . jika sirkulasi
baik dan kulit disekitar ulkus sehat, maka eksisi 2.5 cm tulang yang
dilanjutkan dengan penjahitan kembali sudah memadai. Jika terlalu
banyak otot yang disisakan diujung stump, efek bantalan yang tidak
stabil akan menyebabkan pemakaian prothesis terganggu. Pada
keadaan ini jaringan lunak yang berlebihan harus dibuang.
Sirkulasi yang tidak baik akan menyebabkan stump yang dingin dan
kebiruan yang mudah membentuk ulkus. Masalah seperti ini sering
terjadi pada amputasi below knee dan karenanya diperlukan amputasi
ulang. Saraf yang terpotong selalu membentuk gumpalan (neuroma)
dan kadangkala ini terasa nyeri. Dengan mengeksisi 3 cm saraf diatas
neuroma kadangkala akan menghilangkan keluhan. Cara lain adalah
dengan mengelupas seluruh epidural dan fasikulus saraf sepanjang 5
cm. Dan kemudian ditutup dengan perekat jaringan sintesis atau
ditanam kedalam otot atau tulang jauh daari titik yang mendapat
tekanan.
Phantom limb adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
suatu sensasi dimana kaki yang telah dipotong masih dirasakan
keberadaannya. Pasien harus diberitahukan tentang kenyataan
sebenarnya dan pada akhirnya sensasi tersebut akan berkurang dan
menghilang. Phantom limb yang teraas nyeri akan sulit ditanagani.
Menekuk-nekuk ujung limb secara intermiten dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan phantom limb dan nyeri karena neuroma.
Sendi diatas level amputasi mungkin akan kaku atau mengalami
deformitas. Deformitas yang sering terjadi adalah fixed flexion atau
fixed abduction pada sendi panggul karena amputasi above knee
(disebabkan otot adduktor dan hamstring yang telah dipotong).
Deformitas ini dapat dicegah dengan melakukan latihan. Jika
deformitas ini telah terlanjur terjadi, osteotomy subtrochanteric
mungkin diperlukan. Fixed flexion pada lutut juga dapat akan
menyebabkan kesulitan berjalan dan karenanya harus dicegah.
Spur sering terbentuk diujung tulang, tetapi biasanya tidak nyeri. Jika
terdapat infeksi spur mungkin akan berukuran besar dan nyeri
sehingga mungkin diperlukan eksisi ujung tulang bersamaan spur. Jika
tulang akan menyebabkan sedikit pembebanan maka akan terjadi
osteoporosis yang dapat menimbulkaan fraktur. Fraktur seperti ini
paling baik ditangani dengan fiksasi interna.
DAFTAR PUSTAKA
Bentley G. 2014. European Surgical Orthopaedics and Traumatology.
London: Effort
Brunicardi FC. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Ninth Edition. Access
Surgery
Sjamsuhidajat R, Jong W D. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2008: Jakarta;
EGC.
Apley A G, Solomon L. 1993. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures
7th ed. Butterworth Heinmann; London.