Post on 30-Oct-2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya
lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya
meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005).
Proses desak ruang tidak saja memenuhi rongga tengkorak yang
merupakan ruang tertutup, akan tetapi proses neoplasmatik sendiri dapat
menimbulkan pendarahan setempat. Peningkatan tekanan intrakranial
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang
intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur
utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu
contoh konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005).
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying
lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun,
sedang menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10%
dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum
(Iskandar, 2002).
Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,
periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space
occupying lesion intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada
wanita. Selain itu, 18 kasus ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus
terjadi pada rentan usia 20-29 tahun, 13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus
pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.
Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa
pada usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).
2
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah
Tujuan Umum
Untuk mengetahui definisi space occupying lesion intrakranial.
Untuk mengetahui patofisiologis yang disebabkan oleh space
occupying lesion intrakranial.
Untuk mengetahui macam-macam space occupying lesion
intrakranial.
Untuk mengetahui manifestasi klinis space occupying lesion
intrakranial.
Untk mengetahui penegakan diagnostis space occupying lesion
intrakranial.
Untk mengetahui penatalaksanaan keluhan dan gejala space
occupying lesion intrakranial.
Tujuan Khusus
Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai space occupying
lesion (SOL) intrakranial.
I.3 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah mampu
memberikan pengetahuan dan wawasan tentang space occupying lesion
(SOL) intrakranial bagi mahasiswa dan pembaca.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.I Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses (Ejaz
Butt, 2005).
II.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion
Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga
volume dari ruang tersebut relatif tetap. Kranium mempunyai sebuah lubang
keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang
memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Keseimbangan isi komponen
dalam ruang intra kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie.
Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan
menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai konsekuensi
dari space occupying lesion (SOL) (Sumardjono,2004).
Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar,
kurang lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula,
dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas
variasi yang cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan
tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat
dikeluarkan.
4
Sistem karotis dan sistem vertebrobasiler merupakan dua sistem arteria
terpisah yang mengalirkan darah ke otak, tetapi keduanya disatukan oleh
pembuluh-pembuluh anastomosis yang membentuk sirkulus arteriosus
Willisi. Arteri serebri posterior dihubungkan dengan arteri serebri media (dan
arteri serebri anterior) lewat arteri komunikan posterior. Kedua arteri serebri
anterior dihubungkan oleh arteri komunikan anterior sehingga terbentuk
lingkaran yang lengkap. Arteri-arteri ini merupakan penyelamat bilamana
terjadi perubahan tekanan arteri yang dramatis. Cabang-cabang sistem karotis
dan vertebrobasiler juga mempunyai pembuluh-pembuluh penghubung (Price
and Wilson, 2005).
Lingkaran Willis terbentuk ketika arteri karotis interna (AKI) memasuki
rongga tengkorak bilateral dan membagi ke dalam arteri serebri anterior
(ASA) dan arteri serebri tengah (AST). Arteri serebri anterior kemudian
disatukan oleh arteri komunikasi anterior (Akom). Koneksi ini membentuk
setengah anterior (sirkulasi anterior) dari lingkaran Willis. Arteri basilar,
dibentuk oleh arteri vertebralis kiri dan kanan, cabang ke arteri kiri dan kanan
arteri serebri posterior (ASP) dan membentuk sirkulasi posterior. Arteri
serebri posterior ini melengkapi lingkaran Willis dengan mengikuti sistem
karotis internal melalui arteri komunikan posterior (R Shane Tubbs,2011).
Dalam keadaan fisiologik, jumlah darah yang mengalir ke otak (CBF =
cerebral blood flow) ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak permenit.
Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-
1400 gram adalah 700-840 ml permenit. Dari jumlah darah itu, satu
pertiganya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar (Mahar Mardjono,
1989).
Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya
sedemikian rupa sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan
perfusi berubah-ubah. Pengaturan lumen ini dinamakan autoregulasi.
Konstriksi terjadi apabila tekanan intralumen melonjak dan dilatasi jika
tekanan tersebut menurun. Reaksi dinding pembuluh darah terhadap fluktuasi
tekanan intalumental sangat cepat yaitu dalam beberapa detik (Mahar
Mardjono, 1989).
5
Penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg masih dapat berlalu
tanpa menimbulkan gangguan sirkulasi serebral. Tetapi jika tekanan darah
sistemik turun sampai dibawah 50 mmHg, autoregulasi serebral tidak mampu
menagan cerebral blood flow yang normal. Batas peningkatan tekanan darah
sistemik yang masih dapat ditanggulangi autoregulasi adalah 200mmHg
sistolik dan 110-120 mmHg diastolik. Jika tekanan darah sistemik lebih tinggi
dari batas atas tersebut, amak autoregulasi yang mengadakan vasokontriksi
dapat terjadi secara ekstrim sehingga timbul vasospasmus (Mahar Mardjono,
1989).
Gambar 1. Sirkulus Arteriosus Willisis(medscape,2011)
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal dari
sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel lateral.
Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan kemudian
melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan yang disekresikan di ventrikel
6
lateral, mula-mula mengalir ke dalam ventrikel ketiga. Setelah mendapat
sejumlah cairan dari ventrikel ketiga, cairan tersebut mengalir ke bawah di
sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar
dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di
lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna,
yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah
serebelum (Guyton, 2007).
Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang
mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam vili
arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar dan sinus
venosus lainnya di serebrum (Guyton, 2007).
Gambar 2. Pembentukan Cairan Serebrospinal
(Guyton, 2007)
Setiap bagian pada ruang intrakranial menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm
H2O atau 4 – 15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang
terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak
(1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan
desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan
7
intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie nenberikan suatu konsep pemahaman
peningkatan tekanan intrakranial. Teori ini menyatakan bahwa tulang
tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya
meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan mengurangi
volumenya (Price, 2005).
Gambar 3. Doktirn Monroe-Kellie(Sumardjono,2004)
Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan
konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan
abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg
dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Peningkatan tekanan
intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga
kranialis. Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema
sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan
tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak
ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena
dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan
peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi
8
cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid
menimbulkan hidrosefalus.
Gambar 4. Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial
(Satyanegara, 2010)
Selain itu, penyebab peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang
diakibatkan trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga
mencapai tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan
intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya
kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu
iskhemia serebri. Tumor otak yang makin membesar akan menyebabkan
pergeseran CSS dan darah perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).
9
Gambar 5. Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan
Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.
(Satyanegara, 2010)
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra
kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya
tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra
kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan
penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48
jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan
Perfusi Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK
harus diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka
dapat terjadi kematian (Sumardjono,2004).
10
Gambar 6. Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya
(Sumardjono,2004)
II.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion
1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses
desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial (Satyanegara, 2010)
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya
didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang
berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak
didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis
neoplasma, dikelompokkan atas kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak
infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu,
ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya
metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total.
Secara histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler,
pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan
11
diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun
teratur tanpa adanya formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur
tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk
metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua
faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial (Price,
2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak
dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan
jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang
bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah
arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut
dan gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai
manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi,
invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa tumor
membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga
memperberat gangguan neurologis fokal (Price, 2005).
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan
tampilan sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn
berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari berbagai negara.
Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926)
berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan
dengan diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh
faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan
tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan
(1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas dan
menghubungkannya dengan prognosis (Satynegara, 2010).
12
Tabel 1. Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan
Cushing Kernohan
Astrositoma
Oligodendroglioma
Ependioma
Meduloblastoma
Glioblastoma
multiforme
Pinealoma
(teratoma)
Ganglioneuroma
(glioma)
Neuroblastoma
Papiloma pleksus
khoroid
Tumor
“unclassified”
Astrositoma grade I
dan II
Oligodendroglioma
grade I−IV
Ependioma
Meduloblastoma
Astrositoma grade III
dan IV
Pinealoma
Neuroastrositoma grade
I
Neuroastrositoma grade
II−III
Tumor campur
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010
a. Astrositoma
Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang
tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang
berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma
pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti
glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik biasanya adalah
13
lesi infiltratif berbatas samar yang menyebabkan parenkim membesar dan
batas substansia grisea/substansia alba kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).
Tumor ini pada umumnya tumbuh lambat. Oleh karena itu penderita
sering tidak datang berobat walaupun tumor sudah berjalan bertahun-tahun
sampai tumbul gejala (Price, 2005).
Gambar 7. Astrositoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
Gambar 8. MRI Anaplastik Astrositoma
(Satyanegara, 2010)
14
b. Oligodendroglioma
Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa dan
biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan sitogenik yang
sering terjadi pada oligodendroglioma adalah hilangnya heterozigositas di
lengan panjang kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1. Secara
makroskopis, oligodendroglioma biasanya lunak dan galantinosa. Tumor
ini memiliki batas yang lebih tegas dibandingkan dengan astrositoma
infiltratif dan sering terjadi kalsifikias. Secara mikroskopis,
oligodendroglioma dibedakan dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus
bulat seragam (Vinay Kumar dkk, 2007).
Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit
diperkirakan. Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan kontras
dalam pemeriksaan radiografik, aktivitas proliferatif, dan karakteristik
sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis (Vinay Kumar dkk,
2007).
c. Ependimoma
Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di
dalam salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis.
Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada dua dekade pertama
kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada orang dewasa.
Ependioma intrakranial paling sering timbul di ventrikel keempat, tempat
tumor ini mungkin menyumbat CSS dan menyebabkan hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intrakranial (Vinay Kumar dkk, 2007).
Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari
dinding ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga
ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang dengan papilar yang jelas
(Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi neoplasma.
Tumor intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Karena lokasinya di dalam sistem
ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang subarakhnoid
(Vinay Kumar dkk, 2007).
15
Gambar 9. Ependimoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
d. Glioblastoma
Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau
neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat berupa
masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah nekrosis
dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai dengan suatu daerah
bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan. Dapat timbul dimana saja
tetapi paling sering terjadi di hemisfer otak dan sering menyebar ke sisi
kontralateral melalui korpus kalosum (Price, 2005).
Gambar 10. Glioblastoma
(Vinay Kumar dkk, 2007)
16
Gambar 11. MRI Glioblastoma
(Satyanegara, 2010)
e. Meduloblastoma
Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan bertumbuh
sangat cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak. Sekitar 20%
neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma (Arthur, 2012).
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di infratentorial, di
bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel ke empat. Pada analisis
kromosom ditemukan hilangnya informasi genetik di bagian distal
kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari regio yang mengkode protein
p53 pada sebagian besar pasien. Ini diduga bertanggung jawab terhadap
perubahan neoplastik dari sel-sel punca serebelum menjadi neoplasma
(Arthur, 2012).
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata
ditegakkan 1 – 5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis yang ada
timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi intrakranial.
Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan mengeluh nyeri
kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan terlihat anak berjalan
seperti tersandung, sering jatuh, melihat dobel, dan mata menjadi juling.
Pada tahap ini biasanya baru dilakukan pemeriksaan neurologis yang
17
secara khas akan memperlihatkan papiledema atau paresis nervus abdusens
(n. VI) (Arthur, 2012).
Gambar 12. Gambaran Skematik Meduloblastoma
(Netter’s Neurology, 2012)
f. Tumor Pleksus Khoroid
Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa massa
dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk mirip dengan
kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk sesuai dengan kontur
ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi melalui foramen-foramen ke
dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke dalam rongga subarakhnoid.
Tumor ini mendesak jaringan otak namun tidak menginvasinya (Vinay
Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal. Tumor intraventrikel
IV dapat menimbulkan gejala nistagmus dan ataksia (Vinay Kumar dkk,
2007).
g. Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari meningen,
sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung arakhnoid dan dura.
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi
jaringan sekitarnya, tetapi menekan struktur yang berada dibawahnya.
Tumor ini terletak di sekitar batang otak dan di dasar tengkorak.
18
Pertumbuhan tumor ini lambat sehingga gejala dapat kurang diperhatikan
dan diagnosisnya salah. Gejala-gejalanya adalah epilepsi idiopatik,
hemiparesis, dan afasia (Price, 2005).
h. Pinealoma
Pinealoma hanyalah sebagian kecil dari lesi intrakranial dan
mencakup tumor-tumor yang berasal dalam korpus pinealis maupun dari
pleksus koroideus (papila koroideus) sekitarnya. Pinealoma menekan
akuaduktus (menyebabkan hidrosefalus obstruktif) dan juga hipotalamus.
Papila koroideus menyebabkan perdarahan intraventrikel dan juga
menyumbat sistem ventrikel (Price, 2005).
2. Hematom Intrakranial
a. Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat,
2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price, 2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit
kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala
neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
19
Gambar 13. Hematom Epidural
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
(R. Sjamsuhidajat, 2004)
b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang
menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran
hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh
karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika
dibandingkan dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari
ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu
ketiga (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma
sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang
tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum
obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma
kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke
20
dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu
setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom
subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat
kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya
tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang menyebabkan
menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap rangsangan
vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan pergeseran
isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya herniasi
unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak (Price, 2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal.
Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal
demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi
oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma
sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan
tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat
robekan membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga
meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti
perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematom subdural akan
mengalami perubahan-perubahan yang khas. Hematoma subdural
kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi,
dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala dan
21
tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif dalam
tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif
yang lebih tinggi (Price, 2005).
Gambar 14. Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural
(Price, 2005)
Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan
hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang
(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap
sebagai neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat, 2004).
22
Gambar 15. Hematom Subdural
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
(R. Sjamsuhidajat, 2004)
c. Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang
subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan
intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat, 2004).
3. Abses Otak
Abses otak adalah kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul
fibrosa parenkim otak terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
fokus yang berdekatan atau melalui vaskular. Kebanyakan abses otak
terjadi karena diseminasi hematogen dari peradangan yang jauh, trauma,
pembedahan, ekstensi langsung dari sinusitis (Price, 2005).
23
Gambar 16. Abses Otak
(Satyanegara, 2010)
Abses otak umumnya terjadi akibat masuknya organisme ke dalam
susunan saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi atau melalui
proses penyebaran langsung atau metastasis dari fokus-fokus infeksi.
Organisme yang paling sering dijumpai adalah golongan streptokokus
aerobik, stafilokokus, hemofilus, enterobakteria, serta pneumokokus
(Satyanegara, 2010).
Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan gejala untuk
abses otak (Satyanegara, 2010) :
a. Tipe I Masa Fokal Akut
Penderita kelompok ini memiliki gejala dan tanda proses desak
ruang dari suatu lesi massa intrakranial yang progresif dalam
beberapa hari bahkan sampai beberapa jam. Corak gejalanya sesuai
dengan lokasi abses seperti abses di lobus temporal. Gejala-gejala
tersebut disertai dengan demam yang tidak begitu tinggi, kesadaran
berkabut, sehingga kadang defisit neurologis yang masih ringan
sulit terdeteksi.
b. Tipe II Hipertensi Intrakranial
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berkaitan dengan
peninggian tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, mual, muntah,
24
penurunan kesadaran, gangguan daya ingat, dan perubahan
personalitas serta papiledema.
c. Tipe III Destruksi Difus
Gejala-gejala yang mengandung komponen destruksi yang
progresif seperti gangguan neurologis yang tak sesuai dengan
estimasi klinis dan keadaan intrakranialnya.
d. Tipe IV Defisit Neurologis Fokal
Gejala yang berkembang sedemikian lambatnya sehingga
sering kali diinterpretasi sebagai suatu neoplasma yang tumbuh
lambat.
Gambar 17. Gejala Fokal yang Terlihat pada Abses Otak
(Price, 2005)
4. Kontusio Serebri
Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. Yang
penting untuk terjadinya lesi kontusio adalah adanya akselerasi kepala
yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat
berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang
otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap
lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade itu otak tidak
mendapatkan input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama
blokade reversibel berlangsung (Mahar Mardjono, 1989).
25
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut, autoregulasi pembuluh darah
serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah
menajdi rendah dan nadi menjadi lambat. Pusat vegetatif ikut terlibat,
maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Mahar
Mardjono, 1989).
II.4 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space
Occupying Intracranial
II.4.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum
dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.
Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang
memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya
umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala (Syaiful Saanin, 2012).
1. Nyeri Kepala
Sakit kepala merupakan gejala umum yang dapat sirasakan
pada tahap tumor intrakranial. Sifat sakit kepala tersebut berupa
nyeri berdenyut-denyuatau rasa penuh dikepala seolah-olah
kepala mau meledak. Kebanyakan struktur di kepala tidak
sensitif nyeri, ahli bedah saraf dapat melakukan kraniotomi
major dalam anestesia lokal karena tulang tengkorak dan otak
sendiri dapat ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri
didalam kranium adalah arteria meningeal media beserta
cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging
veins, serta dura didasar fossa kranial. Peninggian tekanan
intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi membendung
dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus venosus
serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal. Nyeri
26
yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori
kranial kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga
disebabkan oleh spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini
mungkin berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks
bila mekanisme nyeri bekerja (Syaiful Saanin, 2012).
Nyeri kepala paling hebat dirasakan pada pagi hari, karena
selama tidur malam PCO2 serebral ,meningkat, sehingga
mengakibatkan peningkatan cerebral blood flow (CBF) dan
dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial. Lonjakan
tekanan intrakranial sejenak karena batuk, mengejan atau
berbangkis memperberat nyeri kepala (Mahar Mardjono, 1989).
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel
keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi
hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah sering
timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini disebabkan
oleh tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur
malam sehingga PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah
penderita dengan tekanan intrakranial yang meninggi adalah
khas, yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual (Mahar
Mardjono, 1989).
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih
dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan
27
dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi
drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan
menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina
serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus
(Syaiful Saanin, 2012).
II.4.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
a. Tumor
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial
atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering
adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala
hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas)
menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna
(jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat
berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar
tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya
memberikan gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior
atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan
gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan
(Saanin, 2004, Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang
meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana
intrakranium dapat berakhir hingga koma. Tekanan
intrakranium yang meninggi dapat menyebabkan ruang
tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula
menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak
sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang
28
berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan
neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan
pada vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya
tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan
gejala-gejala yang mencerminkan tekanan intrakranium yang
meninggi. Hal ini mungkin disebabkan karena aliran CSF
pada aquaductus yang berpusat di fosa kranium posterior
dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat meninggi dengan
cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke
lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral
dari fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi
medial unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah
dan ke kolong tepi bebas daun tentorium. Karena
desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali
mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus
okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan kan terjadi
dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi
herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon
oleh tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan
dari terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri serebeli
superior. Pada tahap berkembangnya paralisis
okulomotoris, kesadaran akan menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang
otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang
supratentorial dan secara berangsur-angsur akan
menimbulkan kompresi ke bagian rostral batang otak.
29
Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai
menggangu diansefalon biasanya berupa gangguan
perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah keluhan
cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap
batang otak akan menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke
samping kiri dan kanan
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat,
akan terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk
melonjak terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar
dan tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula
oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan,
okuler dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan
gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun
mesensefalon akan terjadi.
2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan
intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala
yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status
mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan
30
muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang
lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada
lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan
defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan
gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau
pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan
gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000):
a. Sakit kepala
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas,
mungkin saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya,
glioma pada tahap dini dapat mendekam di otak tanpa
menimbulkan gejala apapun. Sebaliknya, astrositoma
derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika menduduki
daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik
Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior
(tumor infratentorial) dapat dengan cepat menekan
saluran CSS. Karena itu, sakit kepala akan terasa sejak
awal dan untuk waktu yang lama tidak menunjukkan
gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial yang
berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan
gejala defisit neurologik akibat pergeseran atau atau
desakan terhadap batang otak. Maka dari itu, tuli sesisi,
vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus, oftalmoplegia
(paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan)
perifer fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat
dibedakan dengan jelas. Pusing kepala biasanya
disebabkan oleh oftalmoplegia (yang menimbulkan
diplopia). Kombinasi pusing kepala ataupun sakit kepala
31
dan diplopia harus menimbulkan kecurigaan terhadapa
adanya tumor serebri, terutama tumor serebri
infratentorial.
b. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan
intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama
sebagai gejala dari glioblastoma multiform. Kejang tonik
biasanya timbul pada tumor di fosa kranium posterior.
c. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan
kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya inisiatif
adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor
lobus frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk
dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya
somnolen hingga koma. (4,9,10) Tumor di sebagian
besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental,
misalnya demensia, apatia, gangguan watak dan serta
gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi juga
akan terjadi terutama jika tumor tersebut mendesak
sistem limbik (khususnya amigdala dan girus cinguli)
karena sistem limbik merupakan pusat pengatur emosi.
d. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang
perkembangannya lambat seperti astrositoma,
oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering
terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor
pada lobus parietal dan temporal.
b. Abses Otak
Pada stadium awal gambaran klinik abses otak tidak khas,
terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan
gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit
kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala
32
menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala
infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik
fokal. (Haslam, 2004 ; Goodkin, 2004)
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-
gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia
homonim disertai kesadaran yang menurun menunjukkan
prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan
perforasi ke dalam kavum ventrikel. (Haslam, 2004 ; Goodkin,
2004)
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan
pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan
kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan
motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila
perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik,
berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah
gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada
satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti
ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang
sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.
(Goodkin, 2004)
c. Kontusio Serebri
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”)
“countrecoup” dan “intermediated”, menimbulkan gejala defisit
neurologik, yang bisa berupa refleks Babinski yang positif dan
kelumpuhan U.M.N. Setelah penderita pulih kembali, si penderita
biasanya menunjukkan gambaran ”organic brain syndrom”. Pada
pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak
dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang
menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran
berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak
dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang
berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya
33
selalu dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya
bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis
yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam
jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau
kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak
jarang berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan
intrakranial. (Mardjono,2010)
Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan
mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan
demikian timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan
kematian bila tidak dapat diputus. (Chusid, 1990)
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan
biasa atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya
baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai
kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap
fleksi pada sendi siku. (Chusid, 1990)
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas,
kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya
tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan
hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan
keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi. (Chusid, 1990)
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu
bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala
menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu,
pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang
kematian. (Chusid, 1990)
II.4.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion
Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
34
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi
fokal yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan
muntah dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan.
Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di
bagian otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di
bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran
intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan
disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom
lain dari tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar
daerah premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat
menyebabkan refleks memegang dan anosmia (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum
yang diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau
parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang.
Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan
kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi.
Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
2. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah
motorik sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral
sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah
menimbulkan destruksi strukturil, maka gejalanya berupa
hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk
serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior
akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
35
3. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis
kurang menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan
timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan
terjadi gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi
auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan
dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus
temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan
kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
4. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah
sensorik. Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil,
maka segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral
yang bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini
akan menimbulkan astereognosia dan ataksia sensorik. Bila
bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul gejala
yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat
terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic radiation
sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari lobus
parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan
lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan
fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk
mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta
apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang
bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik).
Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala
36
utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain
diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral
dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala
yang muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput.
Kemudian dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia
homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering
ditandai dengan persepsi kontralateral episodik terhadap
cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala
yang baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering
timbul dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor
yang menduduki korpus kalosum (Saanin, 2004, Bradley,
2000).
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan
hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan
ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal
dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga
menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea,
galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
37
8. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek
lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan
ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan
hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput
merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor
serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
II.4.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil
dari lokasi tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur
intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan
kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor pada
korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia) (Bradley,
2000).
Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada
tumor intrakranium (Bradley, 2000):
1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat
tekanan intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan
pada nervus optikus secara langsung. Papil akan terlihat berwarna
merah tua dan ada perdarahan di sekitarnya. Untuk melihat
papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau oftalmoskopi.
Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula
spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan
tercermin pada ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada
kedaan demikian, fungsi lumbal tidak boleh dilakukan dapat
38
menyebabkan herniasi serebelum di foramen magnus yang dapat
mengkahiri kehidupan.
2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat
menyebabkan ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.
3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan
gangguan pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga
menimbulkan bradikardi (melambatnya denyut jantung) atau
tekanan darah sistemik meningkat secara progresif.
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang
otak dari luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi
sentral rostro-kaudal terhadap batang otak menyebabkan
pernafasan yang lambat namun dalam.
5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi.
Penipisan tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat,
sedangkan penebalan tulang sebagai akibat rangsang dari
meningioma yang gepeng.
II.5 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita
yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas.
Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui
pemeriksaan fisik neurologik ditemukan adanya gejala seperti edema papil
dan deficit lapangan pandang (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008,
Eccher,2004 ).
Perubahan tanda vital pada kasus space occupying lesion intrakranial,
meliputi (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):
a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi
yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini
39
dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di
medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan
menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan
pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial yang
cepat dan dapat berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat
sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing,
dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut
nadi disertai dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini
terus berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan tekanan intrakranial
berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme
dekompensasi berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari
disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang
menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema
otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang
40
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil
nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil
odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi (EEG) adalah tehnik untuk merekan aktivitas
elektrik otak melalui tengkorak utuh. Tindakan pemeriksaan ini aman
dan sama sekali tidak menyakiti orang yang diperiksa.
Elektroensefalografi dapat mengungkapkan tanda-tanda gangguan
fungsi otak fokal atau global, seperti disfungsi otak pada penderita
epilepsi, tumor serebri, infark, hemoragi, kontusia serebri, ensefalitis
dan berbagai keadaan psikiatrik (Mahar Mardjono, 1989).
Garis-garis besar tehnik perekaman adalah dengan elektroda yang
ditempelkan pada berbagai daerah tengkorak potensial permukaan
otak direkam. Perekaman ini berlalu terus menerus untuk episoda
beberapa menit. Hasilnya dicatat pada kertas yang berjalan. Kecepatan
jalannya kertas dapat diatur, sehingga kertas dapat berjalan 1,5 cm, 3
cm dan 6 cm perdetik. Viltasi yang direkam oleh galvanometer
dilakukan oleh alat pencatat, sehingga potensial tercatat dengan tinta
pada kertas yang berjalan berupa gelombang-gelombang. Ini
41
dilakukan melalui alat amplifikasi supaya potensial otak sebesar 50
mikrovolt dapat diperbesar sehingga dapat menggerakkan pena
pencatat. Dengan memasang 16 elektroda pada tempat-tempat di
tengkorak, aktivitas seluruh otak dapat diselidiki (Mahar Mardjono,
1989).
Seluruh korteks serebri merupakan medan listrik yang diproduksi
pada ujung-ujung dendrit. Potensial neuron pada setiap waktu
berbeda, sehingga potensial dendritik pada korteks selalu berubah
juga. Fluktuasi potensi inilah yang tercatat pada kertas
elektroensefalografi dan dikelompokkan 4 jenis gelombang menurut
frekuensinya, yaitu (Mahar Mardjono, 1989):
1. Gelombang alfa, bersiklus 8-13 perdetik.
2. Gelombang beta, bersiklus lebih dari 13 perdetik.
3. Gelombang teta, bersiklus 4-7 perdetik.
4. Gelombang delta, bersiklus kurang dari 4 perdetik.
Gambar 18. Gambaran Gelombang Alfa, Beta, Teta, dan Delta
(Neurologi Klinis Dasar, 1989)
Proses desak ruang intrakranial mencakup tumor serebri, abses
serebri dan perdarahan di dalam ruang tengkorak. Sebuah lesi
struktural di otak yang agak akut pada salah satu hemisferium
biasanya menimbulkan gelombang delta pada tempat lesinya atau di
42
daerah sekitarnya. Abses serebri biasanya membangkitkan aktivitas
delta dengan amplitudo yang tinggi (Mahar Mardjono, 1989).
Jenis proses desak ruang intrakranial lain yang dapat diungkapkan
oleh elektroensefalografi adalah hematoma subdural. Elektroda yang
merekan aktivitas korteks yang tertindih oleh hematoma subdural
memperlihatkan supresi dari gelombang alfa dan timbulnya
gelombang lambat yang tidak teratur (Mahar Mardjono, 1989).
Tumor serebri yang berada di fossa kranii posterior atau di jaringan
otak pada garis tengah yang terletak jauh dari permukaan otak,
biasanya tidak menimbulkan gambaran yang khas, yang diperlihatkan
elektriensefalografi dalam keadaan tersebut adalah letupan gelombang
teta atau delta secara paroksimal pada seluruh permukaan (Mahar
Mardjono, 1989).
Foto polos kepala
Pada Anak:
1. Sutura melebar
Pada umur 7 tahun sutura mulai mendekati dimana hal
ini mungkin terlihat setelah umur 14 atau 15 tahun. Keadaan ini
tidak terlihat setelah umur 25 atau 30 tahun.
Satura yang melebar ini terutama jelas terlihat pada
sutura koronaria dan sutura sagitalis serta jarang terlihat pada
sutura lambdoidea (Iskandar,2002).
2. Ukuran kepala yang membesar
Ukuran kepala yang membesar dijumpai pada:
• Ventrikel yang membesar
Pada hidrosefalus ditemukan ventrikel yang
membesar, misalnya disebabkan oleh suatu stenosis
aquaduktus Sylvii, Arnold Chiari Malfornation atau Dendy
Walker Cyst (Iskandar,2002).
• Ventrikel yang normal
43
Dijumpai pada edem serebri, space ocuping lesion
dan megalencephaly (Iskandar,2002).
3. Craniolacunia
Craniolacunia adalah suatu gambaran menyerupai alur
yang berbentuk oval atau seperti jari pada tabula interns dengan
diantaranya terdapat bony ridge. Tanda ini terlihat pada
neonatus sampai bayi berumur 6 bulan. Keadaan ini
berhubungan dengan myelomeningocele, ecephalecele, stenosis
aquaductus sylvii dan arnold chiari malformation
(Iskandar,2002).
4. Erosi dorsum sellae
Pada anak-anak erosi dorsum sellae merupakan tanda
lanjut dari tekanan tinggi intrakranial. Untuk terjadinya erosi
dorsum sellae membutuhkan waktu beberapa minggu. Keadaan
ini hanya terlihat pada 30% kasus dengan tekanan tinggi
intrakranial. Jika erosi dorsum sellae tidak disertai dengan
sutura yang melebar, umumnya hal ini disebabkan oleh lesi
fokal pada daerah sella (Iskandar,2002).
5. Bertambahnya convolutional marking
Untuk suatu tekanan tinggi intrakranial bertambahnya
convolutional marking tidak dapat dipercaya. Dalam keadaan
normal keadaan ini bervariasi antara umur 4-10 tahun
(Iskandar,2002).
Pada dewasa
1. Erosi dorsum sellae
Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae
dan merupakan gambaran yang khas. Pada tekanan tinggi
intrakranial yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak
jelas terlihat. Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum
sellae disebabkan oleh tekanan dari dilatasi ventrikel III dan
pada umumnya ditemukan pada penderita dengan tumor pada
44
fossa posterior dan hidrosefalus. Erosi sellae oleh karena
tekanan tinggi intrakranial harus dibedakan dari lesi destruksi
lokal. Selain daripada adenoma pituitaria yang terdiri atas
meningioma, chordoma, craniopharyngioma dan aneurisma
(Iskandar,2002).
2. Pergeseran kelenjar pineal
Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik,
kelenjar pineal terlihat terletak di garis tengah. Jika terjadi
pergeseran dari kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada
satu sisi garis tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial.
Pada umumnya sebagai penyebabnya adalah tumor
intrakranial, tetapi lesi seperti subdural hematom dan massa
non neoplastik dapat menyebabkan hal yang sama
(Iskandar,2002).
3. Kalsifikasi Patologi
Pada space occupying lession dapat terlihat adanya
kalsifikasi yang patologik. Keadaan ini terlihat dengan
gambaran radiologik kira-kira pada 5%-10% kasus
(Iskandar,2002).
Arteriografi
Arteriografi karotis dan vertebralis merupakan metode radiologik
dengan jalan pembuatan foto rontgen pembuluh-pembuluh darah
intrakranial setelah arteri karotis atau arteri vertebralis diisi dengan
substansi radio-opak. Yang umum digunakan adalah hypaque 50%.
Sebanyak 30 sampai 40 mL, hypaque disuntikkan dengan tekanan
yang cukup besar untuk dapat disemprotkan di dalam arteri karotis
interna atau arteri vertebralis. Dengan demikian, bentuk dan
perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna atau arteri basilaris
dapat divisualisasika pada doto-rontgen. Oleh karena susunan
pembuluh darah yang divisualisasikan oleh arteriografi (angiogram)
karotis dan vertebral, maka pemeriksaan ini dikerjakan dengan
45
maksud untuk mendapatkan informasi yang mengungkapkan kelainan
pada susunan vaskular. Kelainan tersebut dapat bersifat gangguan
intraluminal (obstruksi, dilatasi patologik seperti aneurisma,
malformasi vaskular0 atau gangguan ekstravaskular yang menggeser,
menarik dan menekan suatu pembuluh darah setempat (Mahar
Mardjono, 1989).
Letak, bentuk dan perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna
pada orang yang sehat menunjukkan variasi yang berarti. Pada arteri
karotis interna lateral tampak arteri oftalmika sebagai cabang kecil
pertama dari arteri karotis interna pada sifon bagian tengahnya.
Setinggi itu arteri serebri posterior meninggalkan karotis interna dari
belakang. Pada ujung arteri karotis terlihat cabang-cabang yang
menuju ke depan yaitu arteri serebri anterior yang kemudian
memberikan cabang yang dinamakan arteri kalosomarginalis dan
arteri perikalosa. Ke dorsal dan sentral ujung arteri karotis interna
memberikan cabang-cabang yang dinamakan arteri kelompok Sylvius
dimana yang terbesar dikenal sebagai arteri serebri media dan yang
berukuran sedang dikenal dengan arteri temporalis media dan arteri
tempralis posterior. Di bawah pangkal arteri kelompok Sylvius terlihat
arteri koroidea yang berinduk pada dinding belakang arteri karotis
interna (Mahar Mardjono, 1989).
46
Gambar 19. Arteriografi Karotis Lateral yang Normal
(Mahar Mardjono, 1989)
Pada arteriogram karotis dengan proyeksi pemotretan
anterioposterior dapan dipelajari cabang-cabang besar arteri karotis
interna. Arteri serebri anterior berjalan tepat di garis tengah dan sifon
karotis berada dipangkalnya. Kelompok sifon karotis ke arah tempral
terdiri dari cabang-cabang kelompok Sylvius. Arteriogram vertebralis
lebih sukar untuk dipelajari. Namun, cabang arteri masih dapat
dikenali (Mahar Mardjono, 1989).
47
Gambar 20. Arteriografi karotis Anterior yang Normal
(Mahar Mardjono, 1989)
Gambar 21. Arteriogram Vertebralis
(Mahar Mardjono, 1989)
48
Perjalanan arteri yang patologik diberi julukan yang
menggambarkan polanya. Tanda memegang (grasping sign) adalah
pola cabang-cabang arteri yang seolah-olah memegang tumor. Tanda
yang dulukis sebagai draping sign atau tanda menudungi adalah
perjalan cabang arteri yang seolah-olah menuduni tumor (Mahar
Mardjono, 1989).
Bila terdapat tumor yang mendesak pangkal cabang-cabang arteri
tertentu, maka sudut yang terbentuk oleh cabang-cabang arteri
emnjadi runcing seolah-oleh cabang tersebut hendak memasuki
terowongan. Tanda yang terlukis dinamakan telescoping of the blood
vessels atau penguncupan cabang-cabang pembuluh darah. Tumor
serebri dapat menyisihkan pembuluh darah ke samping, sehingga
cabang-cabang pembuluh darah yang bersangkutan terbentang. Tanda
ini dikenal dengan spread-out blood vessels. Pada penyumbatan arteri,
cabang-cabang distal dari obstruksi itu tidak tampak (Mahar
Mardjono, 1989).
Gambar 22. Arteriogram karotis Normal dengan Contoh-Contoh
Arteriogram Berpola Abnormal
(Mahar Mardjono, 1989)
49
Berbagai neoplasma menimbulkan vaskularisasi baru disaerahnya.
Bila pembuluh-pembuluh darah baru halus, maka suatu tempat radio-
opak akan terlihat yang dinamakan blush. Tanda tersebut lebih
mengarah kepada meningioma daripada glioblastoma. Tetapi, baik
apda meningioma maupun glioblastoma dapat dijumpai pembuluh-
pembuluh baru yang ukurannya lebih besar daripada kapilar sehingga
banyak pembuluh darah tampak sebagai garis yang berliku-like.
Malformasi pembuluh darah serebral akan tampak sebagai pembuluh
darah yang berdiameter luar biasa besar (Mahar Mardjono, 1989).
Gambar 23. Pola Arteriogram Karotis Normal dengan Contoh-
Contoh Arteriogram Karotis Malformasi Arterio-Venous dan
Tumor Serebri
(Mahar Mardjono, 1989)
Pada hematoma subdural, sesuai dengan lokalisasi perdarahan,
akan tampak pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media
maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang luas, tetapi
pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media dan vena
serebri interna sangat sedikit, maka harus dilakukan angiografi sisi
kontralateral. Membedakan hematoma epidural dan hematoma
50
subdural pada angioma sering sulit. Jika arteri meningea media
terdesak kearah median (ke dalam), maka diagnosis hematoma
epidural bisa ditegakkan (Sjahriar Rasad, 2009).
Computerized Tomografi (CT Scan)
CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta
mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan
pada tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis,
sedang pada parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan
juga dapat menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa
daerah hipodensiti. Setelah pemberian kontrast, akan terlihat kontrast
enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah
hiperdensiti (Iskandar,2002).
Kelemahan CT Scan menurut Davuis (1976) kurang mengetahui
adanya tumor yang berpenampang kurang dri 1,5 cm dan yang terletak
pada basis kranii (Iskandar,2002).
1. CT Scan yang Memperlihatkan Tumor
Perbedaan antara jaringan tumor yang saru dengan yang
lainnya terungkap pleh CT scan, sehingga variasi densitas yang
menggambarkan suatu jenis tumor mengungkapkan cirinya.
Densitas gambat CT scan dapat diperjelas dengan penyuntikan
kontras, yang dalam jargon radiologik dikenal sebagai
enchancement (Mahar Mardjono, 1989).
Glioma memperlihatkan kepadatan yang rendah yang bereaksi
positif pad enchancement. Ependimoma menunjukkan kepadatan
yang rendah tapi kepadatannya tergantung sifat keganasannya.
Yang ganas memperlihatkan kepadatan yang tinggidengan reaksi
terhadap enchancement yang positif (Mahar Mardjono, 1989).
Meningioma memperlihatkan kepadatan yang tinggi dan dapat
memperlihatkan gambaran khas, oleh karena bagian pusatnya
menunjukkan kepadatan yang rendah yang mengungkapkan adanya
jaringan nekrotik.
51
Gambar 24. Meningioma
(Sjahriar Rasad, 2009)
2. CT Scan yang Memperlihatkan Hematoma
Hematoma epidural tampak area hiperdens berbatas tegas,
bentuk bikonveks melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel sisi kontralateral. Lokasi yang paling sering dikenai
adalah tempral, frontal atau fossa posterior (Sjahriar Rasad, 2009).
Gambar 25. Hematoma Epidural
(Sjahriar Rasad, 2009)
Hematoma subdural terlihat sebagai bentuk lensa dengan
kepadatan yang tinggi. Hematoma subdural akut berbentuk sebagai
52
arit dan batasnya berliku-liku yang berhubungan dengan lesi
kontusio. Hematoma sundural subkronik berbentuk seperti lensa
dengan kepadatan jaringan tinggi. Hematoma subdural kronik
memperlihatkan lepadatan yang kira-kira sama dengan jaringan
otak normal. Oleh karena itu, hematoma sundural kronik sering tak
dikenali. Dengan enchancement dapat diperjelas batas antara
jaringan otak dan hematoma subdural (Mahar Mardjono, 1989).
3. CT Scan yang Memperlihatkan Abses Serebri
Kepadatannya rendah, terutama dipusatnya. Setelah dibuat
enchancement terlihat cincin yang menggambarkan kapsel abses.
Disekitar abses tampak edema (Mahar Mardjono, 1989).
Gambar 26. Abses Serebri
(Sjahriar Rasad, 2009)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
53
MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan
antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi. (Iskandar,2002)
II.6 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying
Lesion
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan tekanan intrakranial
adalah pengangkatan dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan
hematoma. Peningkatan tekanan intrakranial pasca operasi jarang terjadi
hari-hari ini dengan meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik
khusus untuk menghindari pengangkatan otak. Peningkatan tekanan
intrakranial adalah sebuah fenomena sementara yang berlangsung untuk
waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder segar karena hipoksia,
bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan untuk mencegah
peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan membantu. Berikut
merupakan tindakan yang dapat dilakukan (Widjoseno, 2004, Eccher,2004).
a. Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan tekanan intrakranial adalah
untuk mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial memerlukan
intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi
untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada
pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan
ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan
vena sentral yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik
vena sehingga akan meningkatkan tekanan intrakranial (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung
kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa
pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian
54
analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam
kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan tekanan intrakranial pada komdisi normal dan
pada pasien dengan cedera kepala melalui mekanisme penurunan
tekanan hidrostatis cairan serebrospinal yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan
untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan
dengan kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala
pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi
pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna
dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat
membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian
menggunakan terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien
dengan cedera kepala, perdarahan subaraknoid, perdarahan
intrakranial, dan kondisi yang lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai
profilaksis pada pasein dengan tumor otak dapat menghasilkan
penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek samping
yang juga cukup besar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga
cerebral blood flow akan turun dan volume darah otak
berkurang dan dengan demikian mengurangi tekanan
55
intrakranial. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus
dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140
mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil
atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai tekanan intrakranial
turun. Hyper barik O2, hipotermia masih dalam tahap
percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada dasarnya
menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi volume
darah otak dan tekanan intrakranial (Kaye, 2005, Eccher,2004).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi tekanan intrakranial, tetapi hanya jika
digunakan dengan benar: itu adalah diuretik osmotik yang
paling umum digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai
scavenger radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak
berbahaya. Gliserol dan urea merupak golongan yang jarang
digunakan hari ini. Beberapa teori telah dikemukakan mengenai
mekanisme yang mengurangi tekanan intrakranial (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang
menurunkan viskositas darah dan menyebabkan
vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan
menurunkan tekanan intrakranial dan dapat mengurangi
produksi cairan serebrospinal oleh pleksus choroideus.
Dalam dosis kecil dapat melindungi otak dari iskemik
karena fleksibilitas eritrosit meningkat (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas
sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang
56
signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih
baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan
oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24
jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih
umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.
Efek Manitol pada tekanan intrakranial maksimal adalah 1 /
2 jam setelah infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam
sebagai sebuah aturan. Dosis yang benar adalah dosis
terkecil yang akan berpengaruh cukup terhadap tekanan
intrakranial. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan
garis dasar osmolalitas serum meningkat secara bertahap
dan saat ini melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus
dihentikan. Penggunaan lebih lanjut tidak efektif dan
cenderung menimbulkan gagal ginjal. Diuretik seperti
furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan
manitol untuk mempercepat ekskresi dan mengurangi
osmolalitas serum awal sebelum dosis berikutnya. Beberapa
mengklaim, bahwa furosemid manitol dapat meningkatkan
output. Beberapa memberikan furosemid sebelum manitol,
sehingga mengurangi overload sirkulasi. Fenomena
rebound adalah karena pembalikan gradien osmo tekanan
intrakranial sebagai akibat kebocoran progresif dari agen
osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau karena
tekanan intrakranial yang meningkat kembali (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial ketika tindakan-
tindakan lain gagal, tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka
menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan menekan
metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan dengan
demikian volume darah otak yang berkurang mengakibatkan
57
penurunan tekanan intrakranial. Fenobarbital yang paling banyak
digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30 menit dan 1-
3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk memantau
dekat tekanan intrakranial dan ketidakstabilan hemodinamik harus
menemani setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu
dan masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan
integritas dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan
mengurangi edema. Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi
tekanan cerebral blood flow dan arteri sehingga mengurangi tekanan
intrakranial. Selain itu mengurangi metabolisme otak dan permintaan
energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi
yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari
temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode
ini dapat mungkin menurunkan tekanan intrakranial dengan
menurunkan metabolisme dari otak. Metode terapi hipotermia
selama 48 jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan TCB. Metode terapi ini selama 8 jam atau lebih dapat
dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan tekanan
intrakranial.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada
ahli yang berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan
fisiologi yang berhubungan dengan hipotermia dan mampu
merespon dengan cepat perubahan tersebut. Komplikasi dari metode
hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di bawah 32°C.
dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti
pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang
berat dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada
jaringan diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik.
58
Sindroma klinis didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan
aktivasi sebagian dari nilai APTT, penurunan level fibrinogen,
peningkatan level fibrin, dan penurunan jumlah platelet. APTT yang
memanjang ditangani dengan memberikan fresh frozen plasma.
Kadar Fibrinogen di bawah 150 mg/dL memerlukan penanganan
berupa pemberian krioprecipitate. Pemberian platelet harus
dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien dengan jumlah
platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan
memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur
secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter
dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan
untuk mengeluarkan cairan serebrospinal dengan tujuan untuk
mengurangi tekanan intrakranial. Drain tipe ini dikenal dengan EVD
(ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang terjadi dimana CSf
dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan untuk mengurangi tekanan
intrakranial, Drainase tekanan intrakranial melalui punksi lumbal
dapat digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan
tekanan intrakranial tersebut telah disingkirkan. Material sintetik
59
digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang
diangkat. Tindakan pemasangan material sintetik ini dkenal dengan
cranioplasty (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk
mengangkat tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan
untuk mengangkat bekuan darah (hematom), untuk mengontrol
perdarahan, aneurisma otak, abses otak, memperbaiki malformasi
arteri vena, mengurangi tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk,
2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu
harus dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan
penyebab dan lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn
neuroimaging. Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010):
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat
diberikan pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas
dan mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID
memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi
pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum
operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau
yang khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan
minum 6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur
sesaat sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka
tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital
atau insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang
60
melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran
tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi
dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya
akan suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti
pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang
telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan
akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi
di dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit
dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka
arteri yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak
mungkin bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi
arteri vena, kelainannya dipotong kemudian disambung kembali
dengan pembuluh darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,
2010).
b. Hidrosefalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis
sejak beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898
berupa membuat shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak
di ruang tengkorak yang tersumbat ke tempat lain dengan
menggunakan alat sejenis kateter berdiameter kecil. Cara mekanik
ini terus berkembang, seperti Matson (1951) menciptakan pintasan
dari rongga ventrikel ke saluran kencing (ventrikulo ureter),
Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari rongga ventrikel ke
rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952), Scott
(1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan
ke arah ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut
61
(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah dengan menggunakan
katup pengaman.Teknologi pintasan terus berkembang dengan
ditemukan bahan-bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya
menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting karena selang
pintasan itu ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut dalam
waktu yang lama bahkan seumur hidup penderita sehingga perlu
dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh. Tindakan dilakukan
terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di
daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan
selaput otak yang selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang,
disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga
perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung
selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang
ditanam di bawah kulit sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini,
2008).
c. Tumor Otak
Modalitas penanganan terhadap tumor otak mencakup tindakan-
tindakan (Satyanegara, 2010):
1. Terapi Operatif
Tindakan terapi operasi apda tumor otak (khususnya yang
ganas) bertujuan untuk mendapatkan diagnosa pasti dan
dekompresi internal mengingat bahwa obat-obat antiedema otak
tidak dapat diberikan secara terus menerus. Prinsip penangan
tumor jinak adalah pengambilan total, sementara pada tumor
ganas tujuannya selain dekompresi juga memudahkan untuk
pengobatan selanjutnya (kemoterapi atau radioterapi) sehingga
mendapatkan outcome yang lebih baik. Persiapan prabedah,
penanganan pembiusan, teknik operasi dan penanganan
pascabedah sangat berperan penting dalam menentukan
keberhasilan penanganan operatif terhadap tumor otak. Khusus
pada kasus-kasus dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial,
ahli bedah harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya
62
herniasi otak padawaktu mulai dilakukan induksi anestesi.
Kadang kala diperlukan pemberian steroid maupun Mannitol 15-
30 menit sebelum tindakan operasi. Ada beberapa jenis insisi kulit
yang dilakukan dimana hal ini disesuaikan dengan lokasi
tumornya dan perlu pertimbangan untuk memelihara salah satu
arteri tetap intak untuk pemulihan luka operasi pada kulit.
2. Terapi Konservatif (Nonoperasi)
a. Radioterapi
Radioterapi untuk tumor-tumor susunan saraf pusat
kebanyakan menggunakan sinar X dan sinar Gamma. Tujuan
dari terapi ini adalah menghancurkan tumor dengan dosis yang
masih dapat ditoleransi oleh jaringan normal yang
ditembusnya. Terapi radiasi modern terbatas pada radiasi
megavoltase (energi yaitu >1 juta elektron volt) yang
mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan kilovoltase
seperti penetrasi yang lebih dalam dan absorpsi pada tulang,
kulit, jaringan subkutan yang lebih minimal. Saat ini yang
banyak dipakai adalah Co60 (mengeluarkan sinar Gamma
1,117 dan 1,33 Mev) dan Akselerator linier (Sinar X 4-25
Mev). Keberhasilan terapi radiasi pada tumor ganas otak
diperankan oleh beberapa faktor:
Terapi yang baik dan tidak melukai struktur kritis
lainnya.
Sensitivitas sel tumor dengan sel normal.
Tipe sel yang disinar.
Metastasis yang ada.
Kemampuan sel normal untuk repopulasi.
Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval
antarfraksi radiasi.
63
Ada beberapa tipe cidera radiasi yang perlu
dipertimbangkan dan diperhatikan pada penderita-penderita
yang menjalaninya:
Edema yang terjadi pada saat hari-hari pertama dan
akhirnya terapi radiasi, efek ini dapat diatasi dengan
pemberian glukokortikoid.
Akibat demielinisasi saraf sehingga menimbulkan
gejala-gejala defisit neurologis yang berlangsung
sampai berminggu-minggu setelah terapi radiasi
berakhir. Demielinisasi ini hanya bersifat sementara
dan akan pulih secara spontan.
Nekrosis radiasi, yang biasanya muncup pascaradiasi
dengan dosis yang lebih dari 600 rad, mulai dari
beberapa bulan pertama sampai dengan puncak waktu
antara 1-3 tahun pascaterapi.
b. Kemoterapi
Peranan kemoterapi tunggal untuk tumor ganas otak masih
belum mencapai nilai keberhasilan yang bermakna. Saat ini
yang menjadi titik pusat perhatian modalitas terapi ini adalah
tumor-tumor otak jenis astrositoma (grade III dan IV),
glioblastoma dan astrositoma anaplastik beserta variannya.
Ada beberapa obat kemoterapi untuk tumor ganas otak yang
saat ini beredar di kalangan media yaitu: HU (hidroksiurea), 5-
FU (5-fluorourasil), PCV (Prokarbazin, CCNU, Vincristine),
Nitrous urea (PCNU, BCNU/Karmustin, CCNU/lomustin,
MTX (metrotreksat), DAG (Dianhidrogalaktitol) dan
sebagainya. Potensi kemoterapi pada susunan saraf di samping
didasarkan oleh farmakologi sendiri juga perlu
dipertimbangkan aspek farmakokinetiknya mengingat adanya
sawar darah otak. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan
melalui intra-arterial (infus, perfusi), intratekal/intraventrikuler
64
(punksi lumbal, punksi sisterna, via pudentz/Omyma
reservoir), atau intra tumoral.
c. Immunoterapi
Yang mendasari modalitas terapi ini adalah anggapan
bahwa tumbuhnya suatu tumor disebabkan oleh adanya
gangguan fungsi immunologi tubuh sehingga diharapkan
dengan melakukan restorasi sistem immun dapat menekan
pertumbuhan tumor. Walaupun peranannya secara bermakna
masih belum seluruhnya terbukti, pemberian immunoterapi
secara terapi ajuvan/alternatif tambahan banyak diterapkan
untuk kasus-kasus tumor jenis glioma (dimana sistem imunnya
menurun) yang mempunyai survival yang panjang atau tidak
menjalani tindakan terapi lainnya. Adapun jenis obat-obat yang
sering digunakan sebagai immuno-modulator antara lain
adalah: BCG/Levamizole, Visivanil, dan PS/K.
Pemilihan jenis terapi bergantung pada beberapa faktor, antara
lain: kondisi umum penderita, tersedianya alat diagnostik yang
lengkap, tingkat pengertian penderita dan keluarganya, luasnya
metastasis, dan sebagainya, Pendekatan terhadap penderita dan
keluarganya harus benar-benar baik sehinga pihak penderita atau
keluarganya tidak merasakan dirugikan sebagai akibat dari tindakan
yang akan dilakukan (Harsono, 2011).
d. Hematoma
Hematoma subdural akut atau subakut merupakan suatu keadaan
gawat darurat, tujuan dari pengobatan termasuk penilaian life saving,
kontrol pada gejala-gejala, memperkecil atau pencegahan gangguan
otak permanen/lebih lanjut. Penilaian life saving termasuk usaha-
usaha pada breathing dan circulation (Sinson, 2004).
1. Konservatif
Pada penderita hematoma subdural dengan volume yang kecil
dapat dikelola secara konservatif. Sebagian penderita ini
65
mengalami pemulihan yang baik dan sebagian lagi dilakukan
operasi evakuasi hematom beberapa hari kemudian. Beberapa
petunjuk untuk menyeleksi penderita hematoma subdural akut
dengan terapi konservatif (Sinson, 2004):
Glasgow coma scale (GCS) ≥13 ketika cedera
Pada CT scan tidak ditemukan adanya intrakranial
hematom lain atau edema otak
Midline shift <10 mm
tidak ada basal cisternal effacement
Hematoma subdural akut yang minimal (<5mm) ketebalan
hematomnya pada CT scan, tanpa efek masa yang
mempengaruhi midline shift atau tanda-tanda neurologis, dapat
diikuti secara klinis. Resolusi hematom dapat didokumentasikan
dengan gambar serial, sebab hematoma subdural akut yang
diobati secara konservatif dapat berkembang menjadi hematoma
yang kronis. Pengobatan medis yang darurat disebabkan herniasi
transtentorial dengan pemberian manitol (penderita yang
mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat dan tekanan darah
yang normal), pemberian diuretik ini digunakan untuk
mengurangi pembengkakan. Pemberian phenytoin (dilatin)
untuk mengurangi resiko kejang yang terjadi akibat serangan
pasca trauma, karena penderita yang mempunyai resiko epilepsi
pasca trauma 20% setelah hematoma subdural akut (Sinson,
2004).
Phenytoin efektif diberikan sampai dengan hari ke tujuh
setelah cidera dan tidak efektif untuk pencegahan serangan pada
trauma lanjut. Pemberian antibiotika diberikan untuk
menurunkan resiko infeksi pada post operasi. Pemberian
transfusi dengan fresh frozen plasma (FFP) dan trombosit,
dengan mempertahankan prothombine time diantara rata-rata
normal dan nilai trombosit >100.000. pemberian kortikosteroid,
66
seperti deksametason dapat digunakan untuk mengurangi
inflamasi dan pembengkakan pada otak (Sinson, 2004).
2. Pembedahan
Evakuasi secara bedah merupakan pegobatan definitif dan tak
boleh terlambat, karena menimbulkan resiko iskemia otak dan
hiperventilasi. Pembedahan hematoma subdural akut dengan
kraniotomi yang culup luas untuk mengurangi penekanan pada
otak, menghentikan perdarahan aktif subdural, dan evakuasi
jendela darah intra parenkimal (Sinson, 2004).
Setelah evakuasi hematoma pada hematoma subdural akut,
pemberian obat ditujukan untuk pengontrolan terhadap tekanan
intrakranial dan mempertahankan tekanan perfusi serebral diatas
60-70 mmHg. Parameter ini dipertahankan selama periode
operatif. Bila dalam 24 jam ditemuka terjadinya suatu hematoma
subdural akut berulang atau ada suatu peningkatan tekanan
intrakranial, dilakukan follow up sengan pemeriksaan CT Scan
ulang segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi
suatu hematoma subdural. Pemeriksaan pembekuan trombosit
darah setelah tindakan operasi (PTT, PTTK) diikuti untuk
mengoreksi jika ada suatu resiko perdarahan tambahan (Sinson,
2004).
e. Penatalaksanaan Abses Otak
Terapi definitif untuk abses melibatkan : (Haslam, 2004 ; Mardjono
2010)
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang
dapat mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
67
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang
tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan
organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya
tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin
generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera
kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi
dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi
ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan
ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi
akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi
dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime
atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna
meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri
anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana
alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit
jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole.
Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi
dengan vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis,
atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin
karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.
Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada
abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang
secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada
pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang
berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
(Haslam, 2004)
Drug Dose Frekwensi dan rute
68
Cefotaxime
(Claforan) 50-100
mg/KgBBt/Hari
2-3 kali per hari,
IV
Ceftriaxone
(Rocephin)
50-100
mg/KgBBt/Hari
2-3 kali per hari,
IV
Metronidazole
(Flagyl)
35-50
mg/KgBB/Hari
3 kali per hari,
IV
Nafcillin (Unipen,
Nafcil)
2 grams
setiap 4 jam,
IV
Vancomycin
15 mg/KgBB/Hari
setiap 12 jam,
IV
Tabel 1. Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
(Haslam, 2004)
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan
steroid dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat
menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya
dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko
potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang
dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan
ditapering dalam 3-7 hari. (Haslam, 2004)
69
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan
pertimbangan adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil
edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada CT
scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off,
dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil
edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak
dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa
secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti
cerebritis atau dengan abses yang multipel. (Haslam, 2004 ;
Mardjono 2010)
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi
antara antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi
eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur
pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and
biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses
batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi. (Haslam,
2004 ; Mardjono 2010)
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak
menguntungkan, seperti: small deep abscess, multiple abscess dan
early cerebritic stage. (Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif
ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
(Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi
kraniotomi mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna
mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri,
disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar,
tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal. (Haslam, 2004; Mardjono
2010)
70
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan
abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan
sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik
dan aspirasi abses. (Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan,
karena prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas
jika dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan
adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di
dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa
posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi,
seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula
dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik
bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan
awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu. (Haslam, 2004 ;
Mardjono 2010)
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses
dan posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan
dihentikan tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan
durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan
neurologis, EEG dan neuroimaging). (Haslam, 2004 ; Mardjono
2010)
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita
sudah mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering.
Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan
klinis penderita selanjutnya. (Haslam, 2004 ; Mardjono 2010)
71
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,
serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak. Penyebabnya
meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak. Ruang intrakranial ditempati
oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan
tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh
konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial. Gejala umum timbul
karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari
tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status
mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. (Price,
2005).
III.2 Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam referat ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul ini. Penulis berharap para
pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi sempurnanya referat ini dan penulisan referat di kesempatan
berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya juga
para pembaca pada umumnya.
72
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, H. 2012. Neurologi : Ringkasan Topik Lesi desak Ruang Intrakranial dan
Neoplasma Otak. Diunduh pada tanggal 30 Desember 2012.
Bradley, Walter G. 2000. Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in
Clinical Practice edisi 3. Butterworth. Botson.
Butt, Ejaz. 2005. Intracranial Space Occupying Lesions A Morphological Analyis:
http://www.thebiomedicapk.com/articles/31.pdf diunduh pada tanggal 30
Desember 2012.
Chusid JG.1990. Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional. Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press.
Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In :
Suarez JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey :
Humana Press
Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta. Erlangga.
Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and
Prognosis of Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.
Available at http://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at 8 januari
2013
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. Halaman
804-805.
Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogtakarta. UGM
Iskandar, Japardi. 2002. Gambaran CT Scan Pada Tumor Otak Benigna :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1991/1/bedah-iskandar
%20japardi11.pdf diunduh pada tanggal 30 Desember 2012.
Kumar, vinay. 2007. Buku Ajar patologi RobbinsVolume 2. Jakarta. EGC.
Halaman 929.
Lombardo MC. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price SA, Wilson LM,
eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
73
Mardjono, Mahar. 1989. Neurologi Klinis Dasar Edisi Ke-5. Jakarta. Dian
Rakyat. Halaman 429-454.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta. EGC. Halaman 1167.
Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
Halaman 359.
Robert H. A. Haslam. 2004. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of
Pediatrics 17th ed. USA. WB Saunders.
Saanin, Syaiful. 2012. Neurosurgeon : Tekanan Intrakranial :
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Anfis.html diunduh pada tanggal
4 Januari 2013.
Saainin, Syaiful. Tumor Intrakranial :
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Pendahuluan.html diakses 3
Januari 2013
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta. Gramedia. Halaman 265-
293.
Shane Tubbs, R. Circle of Willis Anatomi. Diunduh dari :
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 8 Januari 2013.
Sinson, PG. 2004. Subdural Hematoma :
http://www.emedicine.com/med/topic2885.htm diunduh pada tanggal 10
Januari 2013.
Syamsjuhidayat, R, dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta.
EGC.
Thamburaj AV. 2008. Intracranial Pressure. [online].
http://www.thamburaj.com/intracranial_pressure.htm. diakses 3 januari 2013